ringkasan eksekutif sukarno. 1998. kajian … agribisnis, (f) apakah dalam bermitra para pelaku...
TRANSCRIPT
RINGKASAN EKSEKUTIF
SUKARNO. 1998. Kajian Kinerja Kemitraan Usaha Pada KegiatanPengembangan Perkebunan Wilayah Khusus (P2WK) Oi Wilayah P2WKKakao Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi 0.1 Yogyakarta. dibawahbimbingan Harianto dan Arif Imam Suroso.
Sesuai arahan GBHN 1993, pelaksanaan pembangunan Sektor
Pertanian termasuk Sub Sektor Perkebunan dalam Pelita VI ditempuh melalui
pendekatan agribisnis/agroindustri berbasis pedesaan. Pendekatan agribisnis
tersebut menghendaki adanya kerjasama dan keterkaitan antar pelaku
(kemitraan) berdasarkan prinsip saling memertukan, saling menguatkan dan
saling menguntungkan diantara pihak yang bermitra.
Dari empat pola pengembangan perkebunan yang dilaksanakan
selama ini, pola perusahaan inti rakyat (PIR) dan pola perkebunan besar relatif
telah lebih maju dan mantap dalam penerapan sistem agribisnis karena telah
memadukan secara utuh berbagai komponen agribisnis, mulai dari aspek
penyediaan sarana produksi, proses produksi, pengolahan dan pemasaran hasH
ke dalam satu kesatuan unit usaha ekonomi. Sedangkan pada dua pola
pengembangan perkebunan yang lain yaitu : unit pelayanan pengembangan
(UPP) dan pola Swadaya, pelaksanaan agribisnis perkebunan relatif belum
menyentuh pada sub sistem pengolahan dan pemasaran hasH, sehingga untuk
pelaksanaan agribisnis secara utuh masih diperlukan kehadiran perusahaan
mitra.
Mengingat semakin terbatasnya kemampuan dana pemerintah, maka
pembangunan perkebunan melalui pola PIR dan pola UPP yang memertukan
dukungan dana pemerintah cukup besar sejak awal Pelita V semakin dikurangi
pengembangannya, sebaliknya peran masyarakat semakin didorong dan diberi
kesempatan yang seluas-Iuasnya dalam pendanaan pembangunan perkebunan.
http://www.mb.ipb.ac.id
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka untuk mempercepat peningkatan
pendapatan masyarakat yang ada di wilayah tertinggal/miskin maka sejak tahun
1990/1991 Pemerintah memperkenalkan pola pembangunan perkebunan
Swadaya berbantuan yang dikenal dengan kegiatan pembangunan perkebunan
wilayah khusus (P2WK). Pada kegiatan P2WK Pemerintah melalui dana APBN
memberikan bantuan hibati tahun I untuk penyediaan benih dan 'saprodi 'lain,
pembukaan lahan dan penanaman. Sedangkan untuk biaya pemeliharaan tahun
II dan seterusnya diharapkan bersumber dari kredit perbankan atau sumber
dana masyarakat lainnya. Konsep dasar pengembangan P2WK adalah
penerapan agribisnis secara utuh melalui pencapaian skala ekonomi usaha
dengan menghadirkan perusahaan besar swastalBUMN sebagai avalis/penjamin
petani dalam memperoleh dana pemeliharaan mulai tahun ke II dan bertindak
pula sebagai perusahaan mitra usaha petani dalam penanganan pengolahan
dan pemasaran hasil petani.
Pengembangan perkebunan model P2WK yang awalnya dimulai
tahun 1989/1990 di Kabupaten Gunung Kidul 0.1 Yogyakarta untuk komoditi
kakao selanjutnya berkembang di 26 propinsi, melibatkan 14 perusahaan mitra
menangani 12 komoditi perkebunan. Sampai dengan tahun 1997 sebagian areal
perkebunan rakyat pada wilayah P2WK sudah mulai menghasilkan dan
kemitraan usaha antara kelompok tani dengan perusahaan mitra telah mulai
tumbuh berkembang. Namun demikian belum diketahui seberapa jauh
keberhasilan pengembangan kegiatan P2WK telah dicapai, seperti : (a) apakah
luas areal yang dikembangkan telah mencapai skala ekonomi usaha yang
diinginkan, ( b) apakah petani memperoleh harga pembelian yang wajar, (c)
bagaimana mutu hasil produksi petani, (d) apakah petani mempunyai komitmen
kemitraan yang tinggi dengan menjual seluruh hasil produksinya kepada
perusahaan mitra, (e) apakah kemitraan sudah utuh mencakup seluruh sub
sistem agribisnis, (f) apakah dalam bermitra para pelaku sudah mampu mandiri
bebas dari campur tangan pihak luar, dan (g) apakah dengan menjadi peserta
http://www.mb.ipb.ac.id
P2WK petani mampu mengembalikan kredit yang ditenma untuk membiayai
investasi tanaman/pemeliharaan lanjutan. Karena hasil kinerja kemitraan
merupakan pencerminan dan pelaksanaan proses pengembangan P2WK
sebelumnya maka pertanyaan selanjutnya apakah proses pelaksaan
pemabangunan P2Wk sesuai dengan acuan dan ketentuan yang telah
dipersyaratkan. Jawaban dan seluruh pertanyaan tersebut saat ini belum
diketahui secara lengkap mengingat sampai saat ini belum pemah dilakukan
evaluasi secara mendalam mengenai kine~a kemitraan yang telah dicapai pada
kegiatan P2WK.
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan kegiatan P2WK terutama
dalam mewujudkan sistem agribisnis secara utuh melalui kegiatan kemitraan
perlu dilakukan penelitian mengenai kine~a kemitraan antara petani/kelompok
tani dengan perusahaan mitra. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan : (1)
mengevaluasi kine~a kemitraan usaha antara kelompok tani peserta P2WK
dengan perusahaan mitra-nya (PT. Pagilaran); (2) mengevaluasi proses
pelaksanaan pengembangan P2WK; (3) merumuskan saran rekomendasi upaya
peningkatan kine~a kemitraan di wilayah P2WK dan penyempumaannya proses
pelaksanaan dilapangan. Kajian dilakukan melalui studi kasus pada kemitraan
P2WK kakao Kabupaten Gunung Kidul Propinsi Dati I Yogyakarta.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan Desember 1997 - Januan 1998 melalui
pengamatan di lapang, wawancara dan diskusi dengan petani/pengurus
kelompok tani, perusahaan mitra, instansi pembina terkait dan nara sumber/ahli
yang menggagas dan merumuskan konsep pengembangan P2WK. Data dan
informasi yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis dengan mengukur
kine~a masing-masing indikator kinerja dan mengukur kine~a masing-masing
faktorlsub faktor yang mempengaruhi evaluasi proses pengembangan P2WK
kakao. Karena masing-masing indikator kine~a dan faktorlsub faktor yang
mempengaruhi proses pengembangan P2WK bobot prioritasnya tidak selalu
sama maka untuk memperoleh hasil akhir evaluasi, masing-masing nilai kinerja
http://www.mb.ipb.ac.id
indikator kemitraan dan faktorlsub faktor proses ditentukan terlebih dahulu nilai
bobot prioritasnya dengan menggunakan metode analisis hirarki proses (AHP).
Hasil kajian yang diperoleh menunjukkan bahwa secara umum
kemitraan P2WK kakao di Kabupaten Gunung Kidul kine~anya sudah baik (nilai
: 2,2 ). Hal ini tercermin dari : (a) kemitraan sudah mencakup seluruh sub sistem
agribisnis yang berarti komitmen perusahaan mitra untuk mengembangkan
kakao rakyat cukup tinggi, (b) volume penjualan kakao petani kepada mitra
usahanya mencapai 92,7 % dari target produksi, yang berarti komitmen bisnis
petani dalam kemitraan sangat baik, (c) petani mampu mengembalikan kredit
investasi yang diperoleh dari Bank melebihi jumlah yang telah ditargetkan, hal ini
berarti usahatani kakao yang dikembangkan petani memberikan nilai tambah
yang memadai disamping adanya komitmen bisnis petani yang tinggi dalam
memenuhi kewajiban hutangnya. Namun demikian dalam pelaksanaan
kemitraan dilapangan masih dijumpai kelemahan-kelemahan, yaitu rendahnya
harga beli kakao petani, mencapai 65 % dari harga kakao ekspor/FOB akibat
rendahnya mutu kakao petani dan kurang transparan serta kurang
proporsionalnya dalam penentuan harga kakao petani. Disamping itu kemitraan
yang sudah be~alan sejak tahun 1989 sampai saat ini masih belum mampu
mandiri mengatasi berbagai masalah yang timbul dilapangan, tetapi masih
memerlukan pembinaan, penyuluhan dan pemberian bantuan saranalprasarana
dari pemerintahlDinas Perkebunan.
Pelaksanaan proses pengembangan P2WK kakao Gunung Kidul
secara umum menunjukkan hasil kine~a cukup baik (nilai : 0,645). Hal ini
tercermin dari: (a) upaya menghadirkan perusahaan mitra oleh Dinas
Perkebunan sudah dilakukan secara baik dan sungguh-sungguh (nilai : 0,115),
baik melalui pemberian insentif dan dukungan/perlindungan secara penuh
kepada perusahaan mitra sehingga perusahaan mitra dapat berperan
menumbuhkan kemitraan dengan petani sesuai harapan yang diinginkan, (b)
adanya teknologi baru dalam pengembangan budidaya kakao (klonalisasi/teknik
http://www.mb.ipb.ac.id
sambung samping) terhadap tanaman kakao petani ( nilai : 0,061), sehingga
secara bertahap produktivitas kakao petani semakin meningkat. Sementara itu
proses ketertibatan petani dalam pengembangan P2WK kakao masih kurang
optimal (nilai : 0,257), karena belum semua petani mampu melakukan
pengelolaan usahatani secara swadaya dan berkelompok.
Faktor proses pengembangan P2WK yang pelaksanaannya masih
lemah adalah : (a) upaya mewujudkan luasan tanaman kakao yang belum
mampu mencapai skala ekonomi minimal sesuai sasaran yang diharapkan ( 500
Ha), sebagai akibat dari pelaksanaan teknis budidaya kakao (penanaman pohon
naungan dan pemupukan) tidak sesuai baku teknis yang dipersyaratkan dan
kurang tersedianya dana pemeliharaan lanjutan tahun ke II dan ke III, (b)
komitmen petugas untuk mensukseskan program P2WK masih kurang. Hal ini
tercermin dari : penempatan petugas lapangan yang tidak sesuai dengan rasio
yang dibutuhkan; kemampuan SDM petugas yang kurang memadai; dan
kegiatan pengawalan lapangan yang kurang intensif dan efektif.
Untuk meningkatkan kinerja kemitraan P2WK kakao Gunung Kidul
dipertukan adanya berbagai upaya sebagai berikut : (a) perusahaan mitra
bersama-sama Dinas Perkebunan setempat menentukan rumus harga beli
kakao petani yang jelas, proporsional, mempertimbangkan faktor biaya
operasinal perusahaan mitra dan mampu menampung setiap perubahan harga
yang te~adi di pasar; (b) penetapan harga kakao petani dikaitkan dengan tingkat
mutu hasil kakao, dimana kakao mutu baik memperoleh insentif dan kakao mutu
rendah dikenakan pinalti; (c) upaya penikatan mutu kakao petani melalui
pengenaan sistem insentif dan pinalti juga perlu diikuti dengan peningkatan
kegiatan penyuluhanllatihan mutu kakao kepada petani baik melalui praktek
lapang, magang di kebun perusahaan mitra, studi banding maupun penyediaan
sarana pengolahan yang memadai baik mengenai jumlah maupun kwalitas
sarana pengolahan itu sendiri; (d) peningkatan kegiatan swadaya petani untuk
melakukan pemeliharaan dan pembibitan secara berkelompok perlu terus
http://www.mb.ipb.ac.id
didorong dengan diupayakan adanya penyediaan dana/modal kredit dari Bank
atau sumber dana lainnya sepanjang persyaratannya tidak terlalu memberatkan
petani; (e) pelaksanaan klonalisasilsambung samping tanaman di tingkat petani
dalam upaya meningkatan produktivitas dan mutu hasil yang sudah mulai
dipraktekan petani agar supaya diteruskan dan diperluas dengan menyediakan
bahan tanaman (entres) dalam jumlah yang mencukupi.
Mengingat bahwa pengembangan P2WK merupakan kegiatan
pembangunan perkebunan yang cukup strategis maka disarankan program ini
dapat diteruskan di masa yang akan datang. Dan untuk menunjang keberhasilan
pelaksanaannya maka perlu dilakukan berbagai langkah : (a) mempersiapkan
terlebih dahulu jumlah petugas dan kemampuan petugas yang cukup memadai
sesuai luasan areal yang akan dikembangkan dan jenis komoditi yang akan
dikembangkan, (b) dalam menentukan komoditi, calon petani dan calon lahan
agar benar-benar selektif dan tetap harus memenuhi persyaratan teknis dan
ekonomis sesuai kondisi wilayah setempat, (c) dalam memilih perusahaan mitra
harus selektif yaitu perusahaan yang mempunyai sumber daya yang kuat,
pengalaman luas dan komitmen yang kuat dalam pengembangan komoditi
perkebunan yang dipilih, (d) mempersiapan program pelatihan dan penyuluhan
kepada petani secara lebih terpadu antara Dinas Perkebunan dengan
perusahaan mitra, (e) agar perusahaan mitra dapat menjalankan fungsinya
sebagai mitra petani dengan baik diperlukan dukungan dan perlindungan yang
nyata dari Pemerintah DaerahlDinas Perkebunan khususnya pada saat
komoditas yang diusahakan petani mulai menghasilkan, hal ini untuk
menghindari campur tangan pelaku pasar yang akan dapat merusak mekanisme
kemitraan yang dikembangkan.
http://www.mb.ipb.ac.id