revisi app kronik hal 17 slsai
TRANSCRIPT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Barat
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN
Nama Mahasiswa : Richard Leonardo Tanda Tangan
NIM : 11-2013-153
Dokter Pembimbing : dr. Diah SpB
dr. Michael SpB
dr. Rahmat SpB
dr. Rino SpB
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. F
1
Umur : 17 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Jl. Siaga II/28 001/003, Jakarta Pusat
II. ANAMNESA
Autoanamnesa : 7 September 2014
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah selama 2 bulan SMRS.
Keluhan tambahan : Mual, muntah, demam, sakit kepala.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Os datang ke IGD RSUD Tarakan dengan keluhan nyeri perut kanan
bawah sejak 2 bulan yang lalu. Nyeri dirasakan hilang timbul, awalnya rasa sakit
dirasakan di daerah ulu hati kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Os
mengaku merasa mual dan muntah. Muntah 3x hari ini, isi cairan makanan,
volume ½ gelas aqua, tidak ada darah merah atau hitam. Os juga merasa demam
dan sakit kepala. Demam terus menerus, sempat turun saat minum obat
paracetamol, namun panas lagi. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada
Riwayat Alergi Obat : Tidak ada
III. PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : Compos Mentis
2
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Berat Badan : 52 kg
Tinggi badan : 158 cm
Gizi : Baik (IMT : 20,82)
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 37,5˚ C
STATUS GENERALIS
Kepala : Normocephali, distribusi rambut merata.
Mata : Pupil bulat isokor, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik
Telinga : secret (-), serumen -/-, nyeri tekan mastoid -/-
Hidung : septum deviasi (-),pernapasan cuping hidung (-),udem mukosa (-)
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, T1-T1 tenang
Leher : KGB tidak teraba membesar
Thoraks :
Pulmo : Inspeksi : gerak napas simetris
Palpasi : vokal fremitus paru simetris dikedua
hemithoraks
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
3
Auskultasi : suara Napas vesikuler, Rhonki -/-,
Wheezing-/-
Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi :
• Batas atas jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
• Batas kiri jantung : ICS V 1 jari medial linea
midclavikularis sinistra
• Batas kanan jantung : ICS IV linea sternalis dextra
Auskultasi : BJ I-II regular, Murmur (-), Gallop
(-)
Abdomen : Inspeksi : Abdomen datar, benjolan (-)
Palpasi : Nyeri tekan mcburney (+), defans
muskuler (-),
Perkusi : timpani (+) Shifting dullness (-), undulasi (-)
Auskultasi : BU (+) normal.
Ekstremitas: Akral hangat, sianosis (-), Oedem (-)
Pemeriksaan khusus:
- Obturator sign (+)
- Psoas sign (+)
- Blumberg sign (-)
- Rovsing sign (-)
4
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
(7 September 2014)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi umum
• Hemoglobin 13,6 g/dL 13– 18
• Leukosit 14.600/uL 4.000-10.000
• Eritrosit 4,74 juta 4,5 – 5,5
• Hematokrit 40,1 % 40 –50
• Trombosit 284.000/uL 150.000 – 450.000
Hematologi dan hemostatis
• BT 2 < 3 menit
• CT 12 < 15 menit
V. RESUME
Nn. F berusia 17 tahun datang ke IGD RSUD Tarakan dengan keluhan nyeri perut
kanan bawah sejak 2 bulan yang lalu, Mual (+), muntah (+), demam (+), sakit kepala (+).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 100/70 mmHg, nadi 80x/menit, pernapasan
24x/menit, suhu 37,50C, nyeri tekan McBurney (+), Obturator sign (+), Psoas sign (+).
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit 14.600/mm3
5
VI. DIAGNOSIS KERJA
Apendisitis kronik eksaserbasi akut
VII. DIAGNOSIS BANDING
• Apendisitis perforasi
VIII. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa : IVFD RL 20 tetes/menit
Inj Ceftriakson 1x2 gram I.V
Inj Ondansetron 3x4 mg I.V
RL/12 jam
Non medikamentosa : Operatif (Apendisektomi)
IX. PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungtionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pendahuluan
Apendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat awam
sesungguhnya kurang tepat, karena usus buntu yang sebenarnya adalah sekum. Organ yang tidak
6
diketahui fungsinya ini sering menimbulkan masalah kesehatan. Peradangan akut apendiks
memerlukan tindak bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya.1
2. Anatomi
Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran
3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar dibagian
distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis
pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan ini memungkinkan
apendiks bergerak, dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
penggantungnya.
Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu dibelakang sekum,
dibelakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis
ditentukan oleh letak apendiks. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di sekitar
umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan
mengalami gangren.1
Gambar no.1 Posisi apendiks
7
3. Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir dimuara
apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang
dihasilkan oleh GALT (Gut Asosiated Lymphoid of Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran
cerna, termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap
infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran
cerna dan di seluruh tubuh.1
4. Etiologi
Apendisitis merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya.
Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus. Di samping
hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan
sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa
apendiks akibat parasit seperti E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran
kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan
mempermudah timbulnya apendisitis akut.1
5. Epidemiologi
Apendisitis merupakan kedaruratan bedah paling sering di negara-negara barat.2
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang
dilaporkan. Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens
pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, ketika insidens
pada lelaki lebih tinggi.1
8
6. Patofisiologi
a. Apendisitis disebabkan mula-mula oleh sumbatan lumen.
b. Obstruksi lumen apendiks disebabkan oleh penyempitan lumen akibat hiperplasia
jaringan limfoid submukosa. Feses yang terperangkap dalam lumen apendiks mengalami
penyerapan air dan terbentuklah fekolit yang akhirnya sebagai kausa sumbatan.
c. Sumbatan lumen apendiks menyebabkan keluhan sakit disekitar umbilikus dan
epigastrium, nausea dan muntah.
d. Proses selanjutnya ialah invasi kuman E.Coli dan spesibakteriodes dari lumen ke lapisan
mukosa, submukosa, lapisan muskularis dan akhirnya ke peritoneum parietalis terjadilah
peritonitis local kanan bawah. Suhu tubuh mulai naik.
e. Gangren dinding apendiks disebabkan oleh oklusi pembuluh darah dinding apendiks
akibat distensi lumen apendiks. Bila tekanan intra lumen terus meningkat terjadi perforasi
dengan ditandai kenaikan suhu tubuh meningkat dan menetap tinggi.
Tahapan peradangan apendisitis :
1. Apendisitis akut (sederhana, artinya tanpa perforasi)
2. Apendisitis akut perforasi (termasuk apendisitis gangrenosa, karena gangrene dinding
apendiks sebenarnya sudah terjadi mikroperforasi).3
Patologi apendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan
dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Upaya pertahanan tubuh berusaha membatasi
proses radang ini dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga
terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrate apendiks. Di
dalamnya, dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika
tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang
dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. Apendiks yang pernah meradang tidak akan
9
sembuh sempurna tetapi membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Suatu saat, organ
ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut.1
7. Manifestasi klinik
Gejala klinik apendisitis adalah :
a. Nyeri abdomen periumbilikal, mual, muntah.
b. Lokalisasi nyeri menuju fosa iliaka kanan
c. Pireksia ringan
d. Pasien menjadi kemerahan, takikardia, lidah berselaput, halitosis.
e. Nyeri tekan (biasanya saat lepas) di sepanjang titik McBurney.
f. Nyeri tekan pelvis sisi kanan pada pemeriksaan per rektal.
g. Peritonitis jika apendiks mengalami perforasi.
h. Massa apendiks jika pasien datang terlambat.2
10
Gambar no.2 Manifestasi klinis apendisitis
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh terjadinya
peradangan mendadak pada umbai cacing yang memberikan tanda setempat, baik disertai
maupun tidak disertai dengan rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri
samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di sekitar
umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam, nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney. Di sini,
nyeri dirasa lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga merupakan nyeri somatik
setempat dan merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum, biasanya pasien
mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.
Bila apendiks terletak retrosekal retroperitoneal, tanda nyeri perut kanan bawah tidak
begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal karena apendiks terlindung oleh sekum.
Rasa nyeri lebih kearah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi
otot psoas mayor yang menegang dari dorsal. Radang pada apendiks yang terletak di rongga
pelvis dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik
meningkat dan pengosongan rektum menjadi lebih cepat serta berulang. Jika apendiks tadi
menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing akibat rangsangan
apendiks terhadap dinding kandung kemih. Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik.
Pada awalnya, anak sering hanya menunjukkan gejala rewel dan tidak mau makan. Anak sering
tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Beberapa jam kemudian, anak akan muntah sehingga
menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, apendisitis sering baru diketahui
setelah terjadi perforasi. Pada bayi 80-90% apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani pada
waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang berusia lanjut, gejalanya sering samar-
samar saja sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi.
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan muntah. Hal ini perlu
dicermati karena pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada
11
kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak
dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih di region lumbal kanan.1
8. Pemeriksaan
Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5-38,50C. Bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 10C.
Pada inspeksi perut, tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita
dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses
periapendikuler. Pada palpasi, didapatkan nyeri yang terbatas pada region iliaka kanan, bisa
disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri
bawah, akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut rovsing. Pada apendisitis
retrosekal atau retroileal, diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri.
Karena terjadi pergeseran sekum ke kraniolaterodorsal oleh uterus, keluhan nyeri pada
apendisitis sewaktu hamil trimester II dan III akan bergeser ke kanan sampai ke pinggang kanan.
Tanda pada kehamilan trimester I tidak berbeda dengan pada orang tidak hamil karena itu perlu
dibedakan apakah keluhan nyeri berasal dari uterus atau apendiks. Bila penderita miring ke kiri,
nyeri akan berpindah sesuai dengan pergeseran uterus, terbukti proses bukan berasal dari
apendiks. Peristaltik usus sering normal tetapi juga dapat menghilang akibat adanya ileus
paralitik pada peritonitis generalisata yang disebabkan oleh apendisitis perforata. Pemeriksaan
colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi dapat dicapai dengan jari telunjuk, misalnya
pada apendisitis pelvika. Pada apendisitis pelvika, tanda perut sering meragukan, maka kunci
diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Pemeriksaan uji psoas dan uji
obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji
psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau
fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan, ditahan. Bila apendiks yang meradang
menempel di otot psoas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator
digunakan untuk melihat bilamana apendiks yang meradang bersentuhan dengan otot obturator
12
internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul
pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendisitis pelvika.1
8.1 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik apendisitis, didapatkan :
a. Keadaan umum penderita benar-benar terlihat sakit.
b. Suhu tubuh naik ringan pada apendisitis sederhana. Suhu tubuh meninggi dan menetap
sekitar 400C atau lebih bila telah terjadi perforasi.
c. Dehidrasi ringan sampai berat bergantung pada derajat sakitnya. Dehidrasi berat pada
pesakit apendisitis perforasi dengan peritonitis umum. Hal disebabkan oleh kekurangan
masukan, muntah, kenaikan suhu tubuh dan pengumpulan cairan dalam jaringan viskus
(udem) dan rongga peritoneum.
d. Abdomen : Tanda-tanda rangsangan peritoneal kuadran kanan bawah. Pada apendisitis
perforasi lebih jelas, seperti defans muskuler, nyeri ketok dan nyeri tekan.
e. Tidak jarang dijumpai tanda-tanda obstruksi usus paralitik akibat proses peritonitis lokal
ataupun umum.3
f. Inspeksi : Pada appendisitis akut biasanya ditemukan distensi perut.
g. Palpasi : pada regio iliaka kanan (pada titik Mc Burney) apabila ditekan akan terasa nyeri
(nyeri tekan Mc Burney) dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (nyeri lepas Mc
Burney). Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri
tekan perut kanan bawah (Nyeri tekan merupakan kunci diagnosis dari appendisitis).
Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah yang
disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah
dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Blumberg
(Blumberg Sign). Khusus untuk appendisitis kronis tipe Reccurent/Interval Appendicitis
13
terdapat nyeri di titik Mc Burney, tetapi tidak ada defans muscular sedangkan untuk yang
tipe Reccurent Appendicular Colic ditemukan nyeri tekan di apendiks.
h. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui letak apendiks yang meradang.
Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi
panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila
appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri.
Gambar no.3 Uji psoas sign
Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang, kontak
dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada
apendicitis pelvika.
Gambar no.4 Uji obturator sign
i. Pemeriksaan colok dubur : Jika daerah infeksi dapat dicapai saat dilakukan
pemeriksaan ini, akan memberikan rasa nyeri pada arah jam 9 sampai jam 12. Maka
14
kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pada appendisitis pelvika
kunci diagnosis adalah nyeri terbatas pada saat dilakukan colok dubur.
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis appendisitis
masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi pada
perempuan dibanding laki-laki. Hal ini dapat disadari mengingat pada perempuan terutama yang
masih muda sering mengalami gangguan yang mirip appendisitis. Keluhan itu berasal dari
genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologik lain.
Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis appendisitis meragukan, sebaiknya dilakukan
observasi penderita di rumah sakit dengan pengamatan setiap 1-2 jam. Foto barium kurang dapat
dipercaya. Ultrasonografi dan laparoskopi bisa meningkatkan akurasi diagnosis pada kasus yang
meragukan.1
8.2 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang umum pada apendisitis adalah :
a. Diagnosis berdasarkan klinis, namun sel darah putih (hamper selalu leukositosis) dan
CRP (biasanya meningkat) sangat membantu.
b. Ultrasonografi untuk massa apendiks dan jika masih ada keraguan untuk menyingkirkan
kelainan pelvis lainnya (misalnya kista ovarium).
c. Laparoskopi biasanya digunakan untuk menyingkirkan kelainan ovarium sebelum
dilakukan apendisektomi pada wanita muda.
d. CT scan (heliks) pada pasien usia lanjut atau dimana penyebab lain masih mungkin.2
8.2.1 Pemeriksaan radiologi
a. Foto polos abdomen dikerjakan apabila dari hasil pemeriksaan riwayat sakit dan
pemeriksaan fisik meragukan.
15
b. Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran perselubungan mungkin terlihat
ileal atau caecal ileus.
c. Patognomonik bila terlihat gambaran fekolit.
Foto polos pada apendisitis perforasi :
a. Gambaran perselubungan lebih jelas dan dapat tidak terbatas di kuadran kanan bawah
b. Penebalan dinding usus disekitar letak apendiks, seperti sekum dan ileum
c. Garis lemak pra peritoneal menghilang
d. Skoliosis ke kanan
e. Tanda-tanda obstruksi usus seperti garis-garis permukaan cairan-cairan akibat paralisis
usus-usus lokal di daerah proses infeksi.
Gambaran tersebut di atas seperti gambaran peritonitis pada umumnya, artinya dapat
disebabkan oleh bermacam-macam kausa. Apabila pada foto terlihat gambaran fekolit maka
gambaran seperti tersebut diatas patognomonik akibat apendisitis.
Laboratorium
Tabel no.1 pemeriksaan penunjang apendisitis
8.2.2 Pemeriksaan laboratorium
16
a. Pemeriksaan darah : leukosit ringan umumnya pada apendisitis sederhana. Lebih dari
13.000/mm3 umumnya pada apendisitis perforasi. Tidak adanya leukositosis tidak
menyingkirkan apendisitis. Hitung jenis : terdapat pergeseran ke kiri.
b. Pemeriksaan urin : sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit lebih dari normal
bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika.3
• Sistem skor Alvarado
Diagnosis apendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya berdasarkan
gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi antara anak, orang tua dan
dokter. Anak belum mampu untuk mendiskripsikan keluhan yang dialami, suatu hal yang
relatif lebih mudah pada umur dewasa. Keadaan ini menghasilkan angka apendektomi
negatif sebesar 20% dan angka perforasi sebesar 20-30%. Salah satu upaya meningkatkan
kualitas dan kuantitas pelayanan medis ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah
banyak dikemukakan cara untuk menurunkan insidensi apendektomi negatif, salah
satunya adalah dengan instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring
sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif. Alfredo
membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda dan dua temuan
laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk menilai
derajat keparahan apendisitis. Dalam sistem skor Alvarado ini menggunakan faktor risiko
meliputi migrasi nyeri, anoreksia, nausea dan atau vomitus, nyeri tekan di abdomen
kuadran kanan bawah, nyeri lepas tekan, temperatur lebih dari 37,20C, lekositosis dan
netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan bawah dan lekositosis mempunyai
nilai 2 dan keenam sisanya masing-masing mempunyai nilai 1, sehingga kedelapan faktor
ini memberikan jumlah skor 10.
Skor Alvarado
Faktor Risiko Skoring
~ migrasi nyeri 1
17
~ nausea dan vomitus 1
~ anoreksia 1
Tanda
~ nyeri kuadran kanan bawah 2
~ nyeri lepas tekan 1
~ temperatur > 37,20C 1
Laboratorium
~ angka lekosit > 10.000 2
~ persentase netrofil > 75% 1
Total Skor 10
Tabel no.2 Skor Alvarado
Nilai :
< 4 kronis
4 – 7 ragu-observasi
> 7 akut
10. Etiologi
Neonatus
Penyebab apendisitis adalah penyakit hirscsprung, emboli akibat anomali jantung, NEC
(necrotizing enterocolitis) atau infark mesenterium.
18
Anak
Penyebab apendisitis adalah paling sering disebabkan oleh sumbatan cacing askaris.4
11. Diagnosis banding
Diagnosis banding untuk apendisitis adalah :
a. Limfadenitis mesenterika pada anak-anak.
b. Penyakit pelvis pada wanita (misalnya penyakit inflamasi pelvis, ISK, kehamilan ektopik,
rupture kista korpus luteum).
c. Lebih jarang : Penyakit Crohn, kolesistitis, perforasi ulkus duodenum, pneumonia kanan
bawah, torsio testis kanan, diabetes mellitus pada pasien yang lebih muda dan usia
pertengahan.
d. Jarang : perforasi karsinoma sekum, diverticulitis sigmoid, diverticulitis sekum pada
pasien yang lebih tua.2
Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding :
1. Gastroenteritis. Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa nyeri.
Nyeri perut sifatnya lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Sering dijumpai adanya
hiperperistaltik. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan
apendisitis akut.
2. Demam dengue. Demam dengue dapat dimulai dengan nyeri perut mirip peritonitis.
Pada penyakit ini, didapatkan hasil tes positif pada rumple leede, trombositopenia,
dan peningkatan hematokrit.
19
3. Limfadenitis mesenterika. Limfadenitis mesenterika yang biasa didahului oleh
enteritis atau gastroenteritis, ditandai dengan nyeri perut, terutama perut sebelah
kanan, serta perasaan mual dan nyeri tekan perut yang sifatnya samar, terutama perut
sebelah kanan.
4. Kelainan ovulasi. Folikel ovarium yang pecah pada ovulasi dapat menimbulkan nyeri
pada perut kanan bawah di tengah siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang
sama pernah timbul lebih dahulu. Tidak ada tanda radang, dan nyeri biasa hilang
dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari.
5. Infeksi panggul. Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut.
Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut
lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin.
Pada colok vagina, akan timbul nyeri hebat di panggul jika uterus diayunkan. Pada
gadis dapat dilakukan colok dubur jika perlu untuk diagnosis banding.
6. Kehamilan di luar kandungan. Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan
keluhan yang tidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar
rahim dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis
dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vagina, didapatkan nyeri
dan penonjolan rongga Douglas dan pada kuldosentesis didapatkan darah.
7. Kista ovarium terpuntir. Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan
teraba massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vagina, atau colok
rektal. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menentukan
diagnosis.
8. Endometriosis eksterna. Endometrium di luar rahim akan menimbulkan nyeri di
tempat endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul ditempat itu karena
tidak ada jalan ke luar.
9. Urolitiasis pielum/ureter kanan. Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut yang
menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering
ditemukan. Foto polos perut atau urografi intravena dapat memastikan penyakit
20
tersebut. Pielonefritis sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri
kostovertebral di sebelah kanan, dan piuria,
10. Penyakit saluran cerna lainnya. Penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah
peradangan di perut, seperti diverticulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau
lambung, kolesistitis akut, pankreatitis, diverticulitis kolon, obstruksi usus awal,
perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel apendiks.1
12. Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya
pilihan yang baik adalah apendiktomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi, biasanya tidak perlu
diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforate. Penundaan
tindak bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.
Apendiktomi bisa dilakukan secara terbuka atau dengan laparoskopi. Bila apendiktomi terbuka,
insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak
jelas, sebaiknya dilakukan observasi terlebih dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi
dapat dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan
laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapt segera menentukan akan dilakukan operasi
atau tidak.1
12.1 Pembedahan
Pembedahan dikerjakan bila rehidrasi dan usaha penurunan suhu tubuh telah tercapai.
Suhu tubuh tidak melebihi 38 derajat, produksi urin berkisar 1-2 ml/kg/jam. Nadi di bawah
120/menit.
12.1.2 Teknik pembedahan
Insisi transversal di sebelah kanan sedikit di bawah umbilikus. Sayatan Fowler Weier
lebih dipilih, karena cepat dapat mencapai rongga abdomen dan bila diperlukan sayatan dapat
diperlebar ke medial dengan memotong fasia dan otot rektus. Sebelum membuka peritoneum tepi
21
sayatan diamankan dengan kasa. Membuka peritoneum sedikit dahulu dan alat penghisap telah
disiapkan sedemikian rupa sehingga nanah dapat langsung terisap tanpa kontaminasi ke tepi
sayatan-sayatan peritoneum diperlebar dan penghisapan nanah diteruskan. Appendiktomi
dikerjakan seperti biasa. Pencucian rongga peritoneum mutlak dikerjakan dengan larutan NaCl
fisiologis sampai benar-benar bersih. Cairan yang dimasukkan terlihat jernih sewaktu diisap
kembali. Pengumpulan nanah biasa ditemukan di fossa apendiks, rongga pelvis, di bawah
diafragma dan diantara usus-usus. Luka sayatan dicuci dengan larutan NaCl fisiologis juga
setelah peritoneum dan lapisan fasia yang menempel peritoneum dan sebagian otot di jahit.
Penjahitan luka sayatan jangan dilakukan terlalu kuat dan rapat.
Pemasangan drain intraperitoneal masih merupakan kontroversi. Bila pencucian rongga
peritoneum benar-benar bersih, drain tidak diperlukan. Lebih baik dicuci bersih tanpa drain
daripada dicuci kurang bersih dipasang drain.3
Insisi Grid Iron (McBurney Incision)
Insisi Gridiron pada titik McBurney. Garis insisi parallel dengan otot oblikus eksternal, melewati
titik McBurney yaitu 1/3 lateral garis yang menghubungkan spina liaka anterior superior kanan
dan umbilikus.5
Lanz transverse incision
Insisi dilakukan pada 2 cm di bawah pusat, insisi transversal pada garis miklavikula-midinguinal.
Mempunyai keuntungan kosmetik yang lebih baik dari pada insisi grid iron.6
Rutherford Morisson’s incision (insisi suprainguinal)
Merupakan insisi perluasan dari insisi McBurney. Dilakukan jika apendiks terletak di parasekal
atau retrosekal dan terfiksir.
Low Midline Incision
Dilakukan jika apendisitis sudah terjadi perforasi dan terjadi peritonitis umum.
22
Insisi paramedian kanan bawah
Insisi vertikal paralel dengan midline, 2,5 cm di bawah umbilikus sampai di atas pubis.7
13. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada apendisitis adalah :
a. Infeksi luka.
Infeksi tetap merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pasca bedah apendisitis.
Meskipun infeksi dapat terjadi di banyak tempat. Lokasi pembedahan adalah tempat terjadinya
infeksi yang paling menonjol. Pengobatan abses intra-abdomen biasanya berupa drainase
perkutan dan antibiotik intravena yang memberikan hasil baik.2,8
b. Abses intraabdomen (pelvis, fosa iliaka kanan, subfrenikus)
c. Perlekatan
d. Aktinomikosis abdomen
e. Piemia porta.8
f. Obstruksi usus
g. Infertilitas
h. Risiko infertilitas tuba pada pasien perempuan pasca apendisitis tidak jelas.
i. Lain-lain
Pasien lanjut usia mempunyai angka komplikasi yang lebih tinggi.8
23
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan sehingga berupa massa
yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.
Massa periapendikuler. Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada massa
periapendikuler dengan pembentukan dinding yang belum sempurna, dapat terjadi penyebaran
pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti oleh peritonitis purulenta generalisata.
Oleh karena itu, massa perpendikuler yang masih bebas (mobile) sebaiknya segera dioperasi
untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasinya masih mudah. Pada anak, dipersiapkan
operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan masa peripendikuler yang terpincang
dengan pendindingan yang sempurna sebaiknya dirawat terlebih dahulu dan diberi antibiotik
sambil dilakukan pemantauan terhadap suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila
sudah tidak ada demam, massa perpendikuler hilang, dan leukosit normal, penderita boleh
pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat
perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses
apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan
teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit.
Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti dengan adannya masa yang nyeri di region
illiaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa atau abses periapendikuler.
Kadang keadaan ini sulit dibedakan dari karsinoma sekum, penyakit Crohn, dan amuboma. Perlu
juga disingkirkan kemungkinan akinomikosis intestinal, enteritis tuberkulosa, dan kelainan
ginekologik sebelum memastikan diagnosis massa apendiks. Kunci diagnosis biasa terletak pada
anamnesis yang khas. Apendiktomi dilakukan pada infiltrate periapendikuler tanpa pus yang
telah ditenangkan. Sebelumnya, pasien diberi antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman
aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan
apendiktomi. Pada anak kecil, wanita hamil dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif
tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya. Bila sudah
terjadi abses, dianjurkan drainase saja, apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian.
Jika pada saat dilakukan drainase bedah, apendiks mudah diangkat, dianjurkan sekaligus
dilakukan apendiktomi.
24
Apendisitis perforata. Adanya fekalit didalam lumen, umur (orang tua atau anak kecil)
dan keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam terjadinya perforasi
apendiks. Insidens perforasi pada penderita di atas usia 60 tahun dilaporkan sekitar 60% faktor
yang mempengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang samar,
keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen, dan
atherosklerosis. Insidens tertinggi pada anak disebabkan oleh dinding apendiks yang masih tipis,
anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses pendindingan
kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat dan omentum anak belum
berkembang. Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan
demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi nyeri seluruh perut, dan perut menjadi tegang
dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi di seluruh perut, mungkin disertai dengan
pungtum maksimum di region iliaka kanan, peristaltis usus dapat menurun sampai menghilang
akibat adanya ileus paralitik. Abses rongga peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar
terlokalisasi di suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan subdiafragma. Adanya massa
intraabdomen yang nyeri disertai demam harus dicurigai sebagai abses. Ultrasonografi dapat
membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses subdiafragma harus dibedakan dengan
abses hati, pneumonia basal, atau efusi pleura. Ultrasonografi dan foto rontgen dada akan
membantu membedakannya.
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman gram negatif
dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum
pembedahan. Perlu dilakukan laparatomi dengan insisi yang panjang, supaya dapat dilakukan
pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin yang adekuat secara mudah
serta pembersihan kantong nanah. Akhir-akhir ini, mulai banyak dilaporkan pengelolaan
apendisitis perforasi secara laparoskopi apendiktomi. Pada prosedur ini, rongga abdomen dapat
dibilas dengan mudah. Hasil dilaporkan tidak berbeda jauh dibandingkan dengan laparatomi
terbuka, tetapi keuntungannya adalah lama rawat lebih pendek dan secara kosmetik lebih baik.
Karena terdapat kemungkinan terjadi infeksi luka operasi, sebaiknya dilakukan pemasangan
penyalir subfasia. Kulit dibiarkan terbuka dan nantinya akan dijahit bila sudah dipastikan tidak
ada infeksi. Pemasangan penyalir intraperitoneal tidak perlu dilakukan pada anak karena justru
lebih sering menyebabkan komplikasi infeksi.1
25
14. Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat, tingkat mortalitas dan morbiditas dari penyakit ini sangat
kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi
komplikasi.
15. Daftar pustaka
1. Sjamsuhidajat, de Jong. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2012.h.755-62.
2. Grace PA, Borley NR. At a glance ilmu bedah. Jakarta: Erlangga; 2006.h.106-7.
3. Reksoprodjo S. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta: FKUI: 1995.h.109-12.
4. http://kedokteranebook.blogspot.com/2013/09/apendisitis-akut-pada-anak-acute.html
5. Skandalakis JE, Colborn GL, Weidman TA, et al. Editors. Skandalakis’ Surgical
Anatomy. USA: McGrawHill. 2004.
6. Russell RCG, Williams NS, Bulstrode CJK. Editors. Bailey and Love’s Short Practice of
Surgery. 24th Ed. London: Arnold. 2004.
7. Patnalk VG, Singla RK, Bansal VK. Surgical Incisions-Their Anatomical Basis. J Anat.
Soc. India 50(2) 170-178 (2001)
8. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Ilmu bedah sabiston. Edisi ke-
17. Jakarta: EGC; 2010.h.632-5.
26