review ilmu hadits

10
Nama : Rakhmat Nur Ilmi NIM : 14250007 Prodi : IKS Kelas : A Tugas Ringkasan Ke-hujjah-an Hadis/Sunnah Para ulama sepakat bahwa al-Qur’an menempati kedudukan tertinggi atas semua orang Muslim. Sedangkan Hadis atau Sunnah menempati kedudukan kedua setelah al-Qur’an. Meskipun demikian, al-Qur’an tidak pernah menyatakan bahwa sumber dasar hukum kedua adalah Hadis atau Sunnah. Hanya saja, al-Qur’an selalau menyinggung tentang kepatuhan terhadap Rasulullah saw, bahkan ini merupakan suatu kewajiban. Ia juga menegaskan kewajiban mengikuti segala perilaku beliau. Dengan demikian, sumber hukum Islam kedua bukanlah istilah khusus tersebut, tetapi konsep yang menelurkan kewenangannya secara langsung dari al- Qur’an. Allah swt juta telah menjelaskan kedudukan Nabi Saw dalam artian hadis/sunnah beliau sebagai berikut: Sebagai pens-syarah (penafsir) al-Qur’an. Sebagi pembuat hukum Sebagi teladan kaum muslimin Wajib dipatuhi oleh seluruh kaum muslimin Dengan demikian seorang muslim tidak bisa hanya memakai al-Qur’an saja dan meninggalakan Sunnah. Sebab, di samping hal itu tidak mungkin, juga tidak dibenarkan menurut ketentuan syari’ah. Oleh karena itu, Imam Syafi’I mengatakan bahwa setiap orang yang menerima hukum-

Upload: ilmirakhmat

Post on 22-Dec-2015

11 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Berisi materi kuliah Hadits dari Jurusan Kesejahteraan Sosial UIN-SUKA

TRANSCRIPT

Page 1: Review Ilmu Hadits

Nama : Rakhmat Nur Ilmi

NIM : 14250007

Prodi : IKS

Kelas : A

Tugas Ringkasan

Ke-hujjah-an Hadis/Sunnah

Para ulama sepakat bahwa al-Qur’an menempati kedudukan tertinggi atas semua orang Muslim.

Sedangkan Hadis atau Sunnah menempati kedudukan kedua setelah al-Qur’an. Meskipun demikian, al-

Qur’an tidak pernah menyatakan bahwa sumber dasar hukum kedua adalah Hadis atau Sunnah. Hanya

saja, al-Qur’an selalau menyinggung tentang kepatuhan terhadap Rasulullah saw, bahkan ini merupakan

suatu kewajiban. Ia juga menegaskan kewajiban mengikuti segala perilaku beliau. Dengan demikian,

sumber hukum Islam kedua bukanlah istilah khusus tersebut, tetapi konsep yang menelurkan

kewenangannya secara langsung dari al-Qur’an. Allah swt juta telah menjelaskan kedudukan Nabi Saw

dalam artian hadis/sunnah beliau sebagai berikut:

Sebagai pens-syarah (penafsir) al-Qur’an.

Sebagi pembuat hukum

Sebagi teladan kaum muslimin

Wajib dipatuhi oleh seluruh kaum muslimin

Dengan demikian seorang muslim tidak bisa hanya memakai al-Qur’an saja dan meninggalakan

Sunnah. Sebab, di samping hal itu tidak mungkin, juga tidak dibenarkan menurut ketentuan syari’ah. Oleh

karena itu, Imam Syafi’I mengatakan bahwa setiap orang yang menerima hukum-hukum yang diwajibkan

oleh Allah, maka berarti ia menerima Sunnnah-sunnah Rasul-Nya serta menerima hukum-hukumnya. Pun

sebaliknya, orang yang menerima Sunnah-sunnah Rasul, berarti ia menerima perintah-perintah Allah.

Kodifikasi Hadis

Penulisan hadis pada zaman Nabi memang sudah ada, namun hal itu dilakukan oleh sahabat

secara individu untuk kepentingan pribadi dan tidak dibukukan secara massal. Para Sahabat Nabi saw

menaruh perhatian yang tinggi terhadap Hadis Nabi saw. Mereka berusaha untuk memperoleh Hadis-

Hadis Nabi saw dengan cara mendatangi Majelis Rasul saw serta mendengar dan menyimak pesan atau

nasihat yang disampaikan beliau.

Page 2: Review Ilmu Hadits

Namun sejarah penulisan hadis secara resmi dan massal dalam arti sebagai kebijakan pemerintah

barulah terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Azis (memerintah 99 H/717 M- 124 H/

742 M). yang pada masa ini kodifikasi hadis dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Umar bin Abdul Aziz

yaitu; hilangnya hadis dengan meninggalnya para ulama, bercampurnya hadis yang shahih dengan yang

palsu, semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam. kiranya akibat dari pergolakan politik yang ada saat

itu.

Dalam durasi waktu yang lama telah terjadi banyak pemalsuan hadis yang dilakukan oleh

berbagai golongan dengan beragam kepentingan dan tujuan. Kenyataan inilah yang kemudian membuat

ulama hadis dalam usaha membukukan hadis harus melakukan perjalanan menghubungi periwayat yang

tersebar di berbagai daerah yang jauh. Juga harus mengadakan penelitian dan penyeleksian terhadap

semua hadis yang akan mereka bukukan. Karena itulah proses pembukuan hadis secara menyeluruh

memakan waktu cukup panjang.

Kemudian usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan hadis secara besar-

besaran terjadi pada abad ke 3 H yang dilakukan oleh para ulama, seperti Imam al-Bukhari, Imam

Muslim, Imam Abu Dawud, Imam al-Turmudzi, dan lain-lain. Dengan dibukukan hadis-hadis Nabi saw

oleh para ulama di atas, dan buku mereka pada masa selanjutnya telah jadi rujukan para ulama yang

datang kemudian.

Hadis Ditinjau Dari Segi Kualitas dan Kuantitas Periwayat

Apabila kita berbicara mengenai hadis berdasarkan kuantitas (banyaknya) periwayat. Memiliki

beberapa syarat maka hadis ini dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.

1. Hadis Mutawatir

Kata mutawatir secara etimologi ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut

antara satu dengan yang lain.

Sedangkan secara terminologi hadis mutawatir adalah hadis yang merupakan tanggapan pancaindera,

yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan

bersepakat untuk dusta

Dalam definisi lain, hadis mutawatir ialah suatu (hadis) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang

menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad

hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan (tabaqah).

Syarat-syarat hadis mutawatir;

a. Hadis yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap)

pancaindera. Tidak dapat dikategorikan dalam hadis mutawatir, yaitu segala berita yang

Page 3: Review Ilmu Hadits

diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-

sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela.

b. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk

berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak

memungkinkan bersepakat dusta.

- Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan

jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.

- Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah

para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.

- Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan

ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji,

yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat

65).

- Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang.

c. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun

thabaqat berikutnya.

Hadis mutawatir ini dibagi ke dalam dua macam yakni; mutawatir lafdzi, dan mutawatir

maknawi.

2. Hadis Ahad

Secara etimologi ahad mempunyai arti wahid, satu, artinya hadis yang diriwayatkan oleh seorang

diri. Akan tetapi secara terminologi, hadis ahad didefinisikan sebagai hadis yang tidak memenuhi syarat-

syarat hadis mutawatir. Atau dapat dikatakan hadis ahad adalah hadis yang bukan mutawatir.

Hadis Ahad ini dibagi menjadi 3 bagian:

a. Hadis Masyhur

Masyhur artinya yang disiarkan, yang diterangkan, yang diunjukkan. Secara istilah

hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga sanad yang berlainan rawi-rawinya.

b. Hadis ‘Aziz

‘Aziz artinya sedikit, gagah, kuat. Menurut istilah ilmu hadis, hadis aziz adalah suatu

hadis yang diriwayatkan oleh dua sanad yang berlainan rawi-rawinya.

c. Hadis Gharib

Secara etimologi gharib berarti al-munfarid (menyendiri), atau al-ba’id ’an aqarib

(jauh dari karib kerabat). Sedangkan menurut terminologi, hadis gharib adalah hadis yang

diriwayatkan oleh satu orang rawi, tidak ada orang lain yang menceritakan selain dia.

Sebagian ulama menyebut hadis ini dengan al-fard.

Page 4: Review Ilmu Hadits

Kemudian hadis ditinjau dari kualitas sanadnya, para ulama membagi hadis menjadi tiga bagian,

yaitu hadis shahih, hasan, dan dhaif.

1. Hadis Shahih

Shahih secara etimologi berarti benar, sah. Sedangkan secara terminologi ada beberapa

pendapat di kalangan para ahli hadis.

Menurut Ibnu Shalah, hadis shahih adalah hadis yang musnad, yang sanadnya

bersambung , diceritakan oleh orang-orang yang adil dan dlabith sampai akhir, tidak ada syadz

dan tidak berillat.

Menurut Imam Nawawi, hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, rawi-

rawinya adil dan dlabith, tidak syadz dan tidak berillat.

Al-Baghawi mendefinisikan hadis shahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh

keduanya (Bukhari dan Muslim) atau salah satu dari keduanya.

Al-Khataby mendefinisikan hadis shahih secara lebih sederhana yakni hadis shahih

adalah hadis yang sanadnya bersambung dan penyampaiannya adil.

Menurut Muhammad Ajjaj al-Khatib, hadis shahih adalah hadis yang sanadnya

bersambung, diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqat (adil dan dlabith) dari permulaan sampai

akhir, tidak syadz dan tidak berillat.

Syarat-syaratnya;

Berdasarkan beberapa definisi muhadisin tersebut, suatu hadis dikategorikan dalam hadis

shahih jika telah memenuhi syarat; sanadnya bersambung, rawinya adil, rawi kuat hafalan, tidak

syadz, dan tidak berillat.

a. Sanadnya Bersambung

Yang dimaksud dengan sanad bersambung (ittishal al-sanad) adalah sanad yang selamat dari

keguguran. Dengan kata lain, tiap-tiap rawi saling bertemu dan menerima langsung dari guru

yang memberinya.

b. Rawi Bersifat Adil

Definisi adil kaitannya dengan periwayatan berbeda dengan adil dalam persaksian. Menurut

muhadisin, adil adalah istiqamatu al-din dan muru`ah . Istiqamatu al-din adalah

melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang haram yang

mengakibatkan pelakunya fasik. Sedangkan muru`ah adalah melaksanakan adab dan akhlak

yang terpuji dan meninggalkan perbuatan yang menyebabkan orang lain mencelanya.

c. Rawi Dlabith

Page 5: Review Ilmu Hadits

Dlabith ada dua macam yakni dlabith al-shadri dan dlabith al-kitab. Dlabith al-shadri adalah

kuat ingatannya, ingatnya lebih banyak dari pada lupanya, dan kebenarannya lebih banyak

dari kesalahannya. Jika seseorang memiliki ingatan yang kuat, sejak dari menerima sampai

menyampaikan kepada orang lain, dan igatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan di mana

saja dikehendaki, disebut orang yang dlabith al-shadri. Sedangkan dlabith al-kitabah adalah

orang yang menyampaikan berdasarkan buku catatannya.

d. Tidak Syadz

Syadz secara bahasa artinya rusak. Sedangkan menurut istilah ahli hadis, syadz/syudzudz

adalah suatu riwayat yang sama mengenai suatu permasalahan yang bertentangan dengan

riwayat yang lebih kuat dan sulit untuk dikompromikan antara dua riwayat tersebut.

e. Tidak Ber-‘illat

‘Illat artinya penyakit, cacat. Illat hadis adalah sutau penyakit yang samar-samar yang dapat

menodai kesahihan suatu hadis. Misalnya meriwayatkan hadis secara muttasil terhadap

hadis-hadis mursal (yang gugur seorang sahabat yang meriwayatkannya). Demikian juga,

dapat dianggap suatu ‘Illat hadis, yaitu suat sisipan yang terdapat pada matan hadis.

2. Hadis Hasan

Secara etimologi hasan berarti baik, bagus. Sedangkan secara terminologi hadis hasan adalah

hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, kurang dlabith, sanadnya bersambung, selamat dari syadz

dan ‘illat yang tercela.

Dari definisi di atas, yang membedakan antara hadis shahih dan hasan adalah dari segi

kedlabithannya. Hadis shahih mensyaratkan taam al-dlabith (kuat/sempurna hafalan), sedangkan hadis

hasan, khafif al-dlabith (kurang kuat/lemah hafalan).

Sebagaimana hadis shahih, hadis hasan terbagi menjadi dua macam yaitu hasan li dzatihi

dan hasan li ghairihi.

Page 6: Review Ilmu Hadits

3. Hadis Dhaif

Secara etimologi dhaif artinya lemah. Menurut Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H) hadis dhaif

adalah

“Hadis yang tidak memenuhi kriteria hadis shahih dan hasan.”

Dengan demikian hadis dhaif merupakan hadis yang salah satu syarat atau lebih dari persyaratan-

persyaratan hadis shahih atau hadis hasan tidak terpenuhi.

Lima persyaratan untuk menentukan kriteria sebuah hadis yakni; kesinambungan sanad, keadilan

rawi, kedlabithan rawi, tidak terdapat kejanggalan (syadz), dan terhindar dari cacat (‘illat), dapat

dijadikan standar untuk menilai sebuah hadis apakah termasuk shahih, hasan, atau dhaif.

Dari sisi kesinambungan sanad pada hadis dhaif, terbagi dalam lima macam hadis yakni; hadis

mursal, munqathi`, mu’dlal, mudallas, dan mu`allal.

a. Hadis Mursal

Hadis mursal adalah hadis yang terputus sanadnya pada tingkatan shahaby (sahabat),

sehingga dari tingkat tabi`iy langsung ditarik kepada nabi Muhammad saw tanpa

menyebutkan generasi sahabat.

b. Hadis Munqathi` adalah hadis yang terputus sanadnya seorang rawi atau beberapa rawi tetapi

tidak secara berturut-turut.

c. Hadis Mu’dlal

Hadis Mu’dlal adalah hadis yang terputus sanadnya dua perawi atau lebih secara berturut-

turut.

d. Hadis Mudallas

Hadis mudallas adalah hadis yang isnadnya tersembunyi, baik itu tersembunyi sanadnya atau

guru (syaikh)-nya.

e. Hadis Mu`allal

Hadis mua’allal adalah hadis yang memiliki cacat (‘illat), sehingga bisa menyingkap atas

ketidaksahihannya meski secara lahir tidak nampak memiliki cacat. Cacat tersebut bisa jadi

pada sanad hadis atau matan hadis, atau bahkan keduanya.