review

9
STRUKTUR LOGIKA TEOLOGI ISLAM (MUTAKALLIMUN) Makalah diajukan sebagai tugas mata kuliah FILSAFAT ISLAM Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Amin Abdullah Oleh: Subhani Kusuma Dewi Program Studi agama dan FIlsafat Konsenstrasi Filsafat Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2012 1. Pendahuluan “….The Logic of the early Kalam is Stoic in its base, and it was the Stoics who for centuries had to guard against the attacks of their skeptic adversaries”

Upload: luthfi-smailing

Post on 08-Jul-2016

220 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

k

TRANSCRIPT

Page 1: Review

STRUKTUR LOGIKA TEOLOGI ISLAM (MUTAKALLIMUN)

Makalah diajukan sebagai tugas mata kuliah FILSAFAT ISLAM

Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Amin Abdullah

                                                                                      

 

 

Oleh: Subhani Kusuma Dewi

 

 

 

 

Program Studi agama dan FIlsafat

Konsenstrasi Filsafat Islam

Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

2012

 

1. Pendahuluan

“….The Logic of the early Kalam is Stoic in its base, and it was the Stoics who for centuries had to guard against the attacks of their skeptic adversaries”

(Josef van Ess, in Issa J. Bullouta An Anthology of Islamic Studies)

 

 

Pengaruh Filsafat Yunani klasik terhadap pemikiran Filsafat Islam generasi awal memanglah sudah diakui keabsahannya oleh banyak pemikir dan peneliti filsafat Islam. Akan tetapi, seberapa pengaruh pemikiran tersebut terhadap Teologi Islam,

Page 2: Review

masih banyak perdebatan mengenainya. Dr. Syamsuddin Arif dalam tulisannya Filsafat Islam; Tinjauan Historis-Kritis, membagi perbedaan pandangan tentang pengaruh ini dalam tiga pemikiran. Pada pandangan pertama, ada beberapa Islamis yang menyatakan bahwa filsafat Islam adalah kelanjutan dari filsafat Yunani kuno, antara lain tampak pada pendapat Ernest Renan (1852) saat berbicara konteks Filsafat Islam dalam tulisannya mengenai Ibn Rusyd. Sementara pandangan kedua –diwakili pandangan revisionis- berpendapat bahwa filsafat Islam adalah murni hasil kegiatan intelektual umat Islam yang telah dipupuk –bahkan- sejak kurun pertama Islam, dan juga berasal dari kandungan Al-Qur’an itu sendiri. Tokoh seperti M.M. Sharif (1966) adalah salah satu penggagas pandangan ini. Pandangan ketiga melihat filsafat Islam tidak lain muncul sebagai reaksi atas doktrin agama lain (Yahudi dan Kristiani) yang telah berkembang lebih dahulu pada waktu itu. Pandangan dan teknik argumentasi para Teolog tidak lain adalah adopsi beberapa pemikiran yang ada di tradisi filsafat Yunani. Pendapat yang terakhir ini lah digawangi salah satunya oleh Josef van Ess.

Makalah ini, tidak lain adalah upaya studi secara sitemik terhadap struktur logika dari Teolog yang lebih banyak disarikan dari bacaan dengan judul yang sama The Logical Structure of Islamic Theology, karya Islamilog asal Universitas of Tübingen, Jerman, Josef van Ess. Makalah van Ess yang ditulisnya dalam antologi an Anthology of Islamic Studies (dieditori oleh Issa J Bullota) adalah sebuah refleksi kritis atas struktur logika yang dibangun oleh Teologi Islam. Tulisan van Ess menjadi semacam uji materiil atas metode-metode yang digunakan Teolog untuk menyusun keabsahan berfikir mereka. lebih jauh, van Ess juga menapaki jejak-jejak filsafat Yunani klasik dari metode berfikir Kalam (juga digunakan dalam studi Fiqh) dari umat Islam. Ia menggunakan metode historis dan secara detail menganalisis corak berfikir para mutakallimun, dan difokuskan pada perbedaan serta persamaan terminologi yang mereka digunakan, baik  mutakallimun sendiri ataupun filosof Yunani klasik. Salah satu pendapatnya yang orisinil, setidaknya menurut pembacaan penulis, ketika van Ess secara sistematis mengahdirkankan bukti  bahwa dasar struktur logika Teologi Islam adalah berdasar pada logika Stoik, dan bukan logika Aristotelian seperti yang banyak dikemukakan oleh penulis muslim.

Sebagai sebuah usaha membaca tulisan van Ess, makalah ini tentu memiliki beberapa kekurangan di dalam pembacaannya, baik dari karya van Ess secara khusus, ataupun pemahaman tentang logika berfikir Teolog Islam secara umum. Hal itu semata-mata berasal dari kemiskinan pengetahuan dari penulis. Dan, atas masukan dan saran dari ruang diskusi adalah ruang yang sangat konstruktif bagi makalah ini.

2. Bagaimana Logika Dasar dari Teologi Islam?

Dalam tulisannya, van Ess membagi pembahasan ke dalam tiga tema bahasan yang juga sekaligus menjadi pembagi bab dari makalah ini. Bagian pertama ini

Page 3: Review

dari tulisan tersebut, van Ess menelaah terminologi yang digunakan oleh Teolog Islam, seperti pengertian tentang “kalam” itu sendiri. Ada beberapa terminologi lain yang cukup penting dipahami, antara lain penyebutan kalam, sa’il-mas’ul sebagai subjek dari adab al-jadal, serta keberadaan wajhu-t-ta’alluq sebagai aspek penghubung, juga antara madlul dengan dalil dimana kebenaran itu dibangun. Menurut van Ess, istilah ‘kalām’ adalah terjemah dari ‘dialexis’, ‘diálektos’ dan ‘dialektika’ dalam bahasa Yunani kuno yang diartikan sebagai logika demonstratif tentang kebenaran dari sebuah keyakinan. Istilah ini, selanjutnyan dibedakan dari dengan struktur logika Aristotelian yang didasarkan pada silogisme (adanya premis mayor, premis minor, dan kesimpulan dan adanya middle term dari kedua premis).[1] Teolog Islam sendiri sudah mengenal silogisme a la Aristoteles, tetapi memaknainya dengan terminologi qarina,[2] dan bukan sulujismus atau qiyas.[3]

Beberapa di antara ahli Kalam tidak menggunakan terminologi mantiq untuk menyebut metode berfikirnya, melainkan adab al-kalam atau adab al-jadal[4] yang dipahami sebagai seni berdialog, menggunakan metode dialektik, semacam jawab wa-su’al, dengan adanya mas’ul dan sa’il sebagai aktornya. Karakter logika seperti ini terwujud dalam tesis wa in qala qa’ilun …..qulna ….. atau wa la yuqalu inna … li-anna naqulu… Karakter dasar dari struktur logika ahli Kalam ini, kemudian memiliki beberapa konsekuensi dalam praktiknya, antara lain 1) cara penyampaian logika yang defensif. Van Ess menyebut demikian, karena masing-masing dari kedua aktor secara reaktif berusaha untuk menolak cara berfikir lawan bicaranya, sehingga bukan kebenaran asali yang ingin ditemukan, melainkan kebenaran yang muncul dari usaha merubuhkan rasionalisasi lawan bicara. Sebagaimana van Ess berkomentar;

“Many of the arguments were made for momentary success; they proved that one was right, but not always that one   had the complete truth. They were critical, but not constructive, valid, but not formally valid; Kalam means the triumph of the argumentum ad hominem”

Selain itu, logika berfikir ini juga 2) bersifat apologetik  baik di dalam internal kaum muslim, ataupun ketika berhadapan dengan kaum Kristiani ataupun Yahudi. Dibalik sisi non-produktif tersebut, logika ini memiliki aspek positif, yakni fleksibilitas ahli Kalam terhadap pemikiran yang baru bagi mereka. Karenanya Pseudo-Qudama’ dalam tulisannya Kitab Naqd an-nathr membedakan antara jadal dengan bahth. Pada kasus yang pertama, dialektika, seseorang akan memunculkan argument menurut logika berfikir lawan debatnya, sedangkan pada kata yang terakhir, dengan logika burhani seseorang akan mencari kebenaran melalui bukti yang tepat.

 

3. Teologi Islam; Logika Kaum Stoa atau Aristoteles?

Page 4: Review

Setelah melakukan studi atas kebenaran yang dibangun oleh logika berfikir dalam Kalam, pada bab kedua, van Ess berkesimpulan bahwa metode berfikir Kalam secara umum  dapat dikategorikan memiliki basis dari logika menurut Kaum Stoa (Stoic), walaupun  pernyataan itu bukanlah sebuah generalisasi. Baginya, pengaruh dari Plato, juga logika Aristotelian (syllogism) juga masih terlihat dalam pemikiran kaum Mutakallimun. Tetapi, yang terpenting dicatat oleh van Ess adalah adopsi ahli kalam terhadap logika ma’ani[5] atau ma’na yang digunakan untuk menjelaskan tentang Tuhan, agaknya lebih dekat pada logika disjungtif dan hipotetik dari aliran Stoa. 

Dalam hal ini, van Ess sedang berbicara tetnang pentingnya proses istidlal di dalam qiyas, dimana sebuah opini dibangun melalui bukti tersebut. Disitu terdapat beberapa terminologi kunci, misalnya proses tersebut harus melibatkan adanya dalil (bukti) dan madlul alaihi (sesuatu yang dianalogikan) serta pentingnya ta’alluq di antara keduanya. Selain ketiga aspek tersebut, terdapat mekanisme penilaian, yakni wajhu at-ta’alluq (yang dilakukan sebagai proses memenuhi konsistensi dari sebuah logika).

Keterhubungan antara dalil dan madlul melalui Ta’alluq memiliki pengertian bahwa penanda selayaknya memiliki keterhubungan/paralelitas dengan esensi dari benda yang ditandai. Misalnya, seorang anak yang melihat punggung ibunya dapat saja menyimpulkan bahwa disitulah sang ibu berada (memahami seluruh badan ibu di tempat tersebut). Tetapi pada kasus lain si anak mendengar sebuah suara (barangkali mirip dengan suara ibu), kemudian merasa dapat menyimpulkan pula bahwa itulah ibunya (yang juga bagian dari esensi ibu). Pada kasus yang kedua, ta’alluq tidak terjadi. Padahal, secara ghalibnya, ta’alluq harus memiliki karaktker lebih spesifik, dan inilah yang disebut sebagai wajh at-ta’alluq (bentuk paralelitas). Contoh nyata dari logika ini adalah sebuah ayat dari Al-Qur’an yang dipahami sebagai alasan –pasti- diturunkannya sebuah perintah kepada umatnya, sebenarnya yang terjadi adalah “proses menghubungkan” bahwa Allah adalah Maha bijaksana, yang Maha Mengetahui segala kebaikan bagi umat-Nya dan menjauhkan umat dari keburukan bagi mereka. Dari logika berfikir ini, van Ess memperlihatkan, bagaimana proses pembuktian yang dilakukan dalam logika Teolog Islam, tidak semata-mata menekankan pada bahasan tentang terminology yang saling berbeda atau sama, lebih jauh, ini adalah persoalan penilaian dan keputusan.

4. Refleksi

Van Ess telah membuktikan bahwa nyatanya, qiyas tidaklah sesederhana pembuktian satu pernyataan yang masih hipotetik atau masih diragukan keabsahannya melalui analogi. Praktik istidlal untuk membuktikan keberadaan Allah, juga meragukan pendapat Teolog bahwa qiyas adalah berbeda dari silogisme.[6] Qiyas, dengan demikian –di dalam nalar Teolog Islam- adalah terminologi yang umum bagi seluruh aktivitas penalaran untuk mendapatkan sebuah pengetahuan. Atau, qiyas juga bermakna seluruh usaha spekulatif

Page 5: Review

(rasional) yang menjadi penghubung bagi pengetahuan baru. Dan, generalisasi ini memiliki kekhasan tersendiri bila kita menghubungkan struktur logika ini kepada aliran Shiah yang dalam tataran Teologi nya lebih banyak menghindarkan diri dari qiyas, dan lebih menyandarkan putusan tentang teologi kepada Imam. Uniknya, Shiah bukannya menghindar –sama sekali- dari Qiyas. Pemikiran individu (di dalam qiyas) tidaklah memiliki nilai yang pasti dan final.

 

5. Daftar Pustaka

Van Ess, Josef, The Logical Structure of Islamic Theology dalam Issa J Boullata (ed.) An Antology of Islamic Studies (McGill: Institute of Islamic Studies McGill University, 1970),

Adamson, Peter, 2005, The Cambridge Companion to Arabic Philosophy,  (USA: Cambridge University Press)

 

[1] Pada masa Aristoteles logika disebut dengan analitika, upaya meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan dialektika sebagai usaha meneliti argumen yang berangkat dari proposisi, dimana kebenaranya masih diragukan

[2] Terminologi Qarina secara etimologi berarti dua buah premis yang memiliki satu kesamaan/hubungan terminologi di dalamnya. Terminologi ini mulai dipakai oleh para mantiqiyyun (ahli logika), satu generasi sebelum Al-Farabi. Tokoh yang terakhir juga menggunakan terminologi qarina sebagai premis kedua dari silogisme.

[3] Pada bagian kedua dari tulisannya, van Ess juga mengkritik pendapat Pseudo-Qudama’ atas perbedaan antara silogisme dengan qiyas. Bagi Pseudo-Qudama’, pebedaan terletak pada –hanya- satu premis yang digunakan dalam logika qiyas. Sementara, van Ess melihat, qiyas juga terdiri atas dua premises, yakni dengan munculnya sebuah silogisme (hipotetik) yang sebenarnya juga berasal dari tradisi Stoik. 

[4] Antara lain disebut oleh karya-karya Mutahhar b. tahir al-Maqdisi kitab al-Bad’ wat-ta’rikh, Pseudo-Qudama’ dengan Kitab Naqd an-nathr, juga Karaite al-Qirqisani Kitab al-Anwar, dan sebagainya.  

[5] Dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai concept, meaning, ataupu bahkan dipahami sebagai intelligible. Sedang dalam Yunani disamakan dengan intentio, tetapi secara semantik justru terlalu luas dari makna aslinya dalam bahasa Arab. Dalam penjabarannya, van Ess menjelaskan logika ini meliputi dari dua dalil

Page 6: Review

(bukti), yakni commemorative sign, (istidlal bish-shahid ‘ala-l- shahid) merujuk pada fakta yang telah diketahui. Missal, seseorang yang melihat asap akan tahu itu sebagai petunjuk dari adanya api, karena ia sudah pernah mendapatkan pengetahuan tentang asap yang muncul dari api (pembakaran). Kedua, indicative sign (istidlal bish-shahid ‘ala-l-ghaib), sebaliknya adalah petunjuk yang tersembunyi karena seseorang belum pernah mengetahui sebelumnya, dan mungkin tidak akan sepenuhnya mendapatkan pengetahuan tersebut. Pada petunjuk yang pertama, Teolog Islam menggunakannya sebagai petunjuk akan adanya Tuhan.  terakhir itulah dibangun dalil adanya Tuhan. Terminologi ma’na, atau ma’ani mencapai kemasyhuran di era filsafat Islam, terutama digunakan oleh Ibn Sina

[6] Nyatanya, beberapa Teolog tidak sepakat menggunakan metode penalaran ini (istidlal bish-shahid ‘ala-l-ghaib) untuk memahami adanya Allah. Adalah ‘Abbad b Salman, seorang Mu’taziliyang menolaknya karena penghubung yang digunakan tidak dapat merengkuh esensi dari Allah sendiri, sehingga logika itu adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk digunakan kepada pengetahuan tentang Tuhan. Sedangkan, madzhab Hanbali dengan bila kaifa, menyatakan qiyas ini sebagai praktik yang teramat sia-sia, karena manusia tidak memerlukan bukti apapun untuk mengetahui-Nya, karena Al-Qur’an, yang diturunkan untuk umat Islam,  adalah nyata-nyata bukti adanya Tuhan itu sendiri.  

 

 

REVIEW BUKU  (6-8 lbr)

1. PENDAHULUAN

-mengurai persoalan mendasar dr buku

-APRESIASI SINGKAT TENTANG BUKU

- apa yang akan anda tulis di dalam MAKALAH

2. PEMETAAN ISI BUKU MELALUI LANDASAN FILSAFAT ILMU

PROBLEM MENDASAR DAN PANDANGAN MENDASAR (ONTOLOGI)

CARA MEMBANGUN SEBUAH PENGETAHUAN (EPISTEMOLOGI)

KONSEP ETIS ILMU (PSIKOLOGI) à AKSIOLOGI

3. REFLEKSI

Page 7: Review

4. DAFTAR PUSTAKA