retina

35
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Anatomi Retina Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semi transparan dan multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare dan berakhir di tepi ora serrata. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga tertumbuk dengan membrane Bruch, khoroid dan sclera. Disebagian besar tempat, retina dan epitellium pigmen retina mudah terpisah hingga membentuk suatu ruang subretina. Tetapi pada diskus optikus dan ora serrata, retina dan epithelium pigmen retina saling melekat kuat, sehingga membatasi perluasan cairan sub retina. Lapisan – lapisan retina, mulai dari sisi dalamnya adalah: 1. Membrana limitans interna, merupakan membrana hialin antara retina dan badan kaca. 2. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson – akson sel ganglion yang berjalan menuju nervus optikus. Di dalam lapisan – lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah retina. 1

Upload: des-dearaini

Post on 15-Sep-2015

21 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Anatomi, histologi, dan fisiologi retina. Penyakit mata yang terkait dengan kerusakan retina.

TRANSCRIPT

BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Anatomi Retina

Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semi transparan dan multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare dan berakhir di tepi ora serrata. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga tertumbuk dengan membrane Bruch, khoroid dan sclera. Disebagian besar tempat, retina dan epitellium pigmen retina mudah terpisah hingga membentuk suatu ruang subretina. Tetapi pada diskus optikus dan ora serrata, retina dan epithelium pigmen retina saling melekat kuat, sehingga membatasi perluasan cairan sub retina.

Lapisan lapisan retina, mulai dari sisi dalamnya adalah:

1. Membrana limitans interna, merupakan membrana hialin antara retina dan badan kaca.

2. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson akson sel ganglion yang berjalan menuju nervus optikus. Di dalam lapisan lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah retina.

3. Lapisan sel ganglion yang merupakan lapis badan sel daripada neuron kedua.

4. Lapisan fleksiform dalam,yang mengandung sambungan sambungan sel ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar.

5. Lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal.

6. Lapisan pleksiform luar, yang mengandung sambungan sambungan sel bipolar dan sel horisontal dengan fotoreseptor.

7. Lapisan inti luar sel fotoreseptor, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan batang. Ketiga lapisan dibawahnya avaskular dan mendapat metabolisme dari kapiler koroid.

8. Membrana limitans eksterna yang merupakan membrana ilusi.

9. Lapisan fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina terdiri atas selbatang yang mempunyai bentuk ramping, dan sel kerucut.

10. Epitelium pigmen retina

Gambar 1. Lapisan Anatomis Retina

Ditengah tengah retina posterior terdapat makula. Ditengah makula, sekitar 3.5 mm di sebelah lateral diskus optikus,terdapat fovea, yang secara klinis jelas jelas merupakan suatu cekungan yang memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan oftalmoskop. Fovea merupakan zona avaskular di retina. Foveala adalah bagian paling tengah pada fovea, disini fotoreseptornya adalah sel kerucut, dan bagian retina yang paling tipis.Semua gambaran histologis ini memberikan diskriminasi visual yang halus.

Retina menerima darah dari dua sumber: Khoriokapilaria yang berada tepat di luar membran Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan pleksiformis luar, lapisan inti luar, fotoreseptor dan lapisan epitelium pigmen retina; sertacbang cabang dari arteri sentralis retinae, yang mendarahi dua per tiga sebelah dalam. Fovea sepenuhnya diperdarahi oleh khoriokapilaria dan mudah terkena kerusakan yang tak dapat diperbaiki kalau retina mengalami abrasi.

1.2 Fisiologi Mata

Retina adalah jaringan paling kompleks di mata. Untuk melihat, mata harus berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor kompleks dan sebagai suatu transducer yang efektif. Sel sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu saraf impuls yang dihantarkan lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus dan akhirnya ke korteks penglihatan. Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan yan terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea centralis, terdapat hubungan hampi 1:1 antara fotoreseptor kerucut, sel gangglionnya dan serat saraf yang keluar,dan hal ini menjamin penglihatan paling tajam. Di retina perifer, banyak fotoreseptor dihubungkan ke sel ganglion yang sama,dan diperlukan sistem pemancar yang lebih kompleks. Akibat dari susunan seperti itu adalah bahwa makula terutama digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fototopik) sedangkan bagian retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan terutama untuk penglihatan perifer dan malam (skotopik).

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 ABLATIO RETINA

2.1.1 Definisi

Ablasio Retina (Retinal Detachment) adalah kelainan retina di mana lapisan kerucut dan batang (lapisan sensorik) terpisah dari lapisan epitel pigmen (Retinal Pigment Epithelium Layer). Secara embriologis sel kerucut dan sel batang retina tidak memiliki perlekatan struktural dengan koroid atau lapisan epitel pigmen, sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas.Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang dari koroid atau lapisan epitel pigmen akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid yang bila berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi yang menetap.

Gambar 2. Ablatio Retina

2.1.2 Gejala Klinis

Metamorfopsia berupa makropsi dan mikropsi.

Fotopsia, melihat adanya kilatan-kilatan cahaya beberapa hari sampai beberapa minggu sebelumnya (merupakan gejala dini).

Cairan ablasi bergerak ke tempat yang rendah, maka penderita merasakan seolah-olah melihat suatu tirai yang bergerak

Bila terjadi dibagian temporal, dimana terletak makula lutea, maka visus sentral lenyap. Sedangkan bila terdapat di bagian nasal, visus sentral lebih lambat terganggu.

Lambat laun tirai makin turun dan menutupi sama sekali matanya, karena terdapat ablasi retina total, sehingga persepsi cahaya menjadi 0.

Adanya gangguan lesi yang terletak anterior terhadap kiasma (retina atau saraf optikus) menyebabkan gangguan lapang pandang unilateral.

2.1.3 Faktor Predisposisi

Myopia

Perdarahan vitreus

Inflamasi korioretinal

Operasi intraokuler

2.1.4 Klasifikasi Berdasarkan Patogenesis

Ablasi retina regmatogenosa (Rhegmatogenous Retinal Detachment)

Ablasi retina non-regmatogenosa/eksudatif (Non-Rhegmatogenous Retinal Detachment)

Ablasi retina traksi (Tractional Retinal Detachment)

2.1.4.1 Ablasi retina regmatogenosa (Rhegmatogenous Retinal Detachment)Ablasi retina regmatogenosa merupakan jenis ablasi retina yang paling sering terjadi. Ablasi terjadi akibat adanya robekan pada retina sehingga cairan masuk ke belakang antara sel pigmen epitel dengan lapisan sensorik retina. Terjadi pendorongan retina oleh humour vitreus yang masuk melalui robekan atau defek pada retina ke rongga subretina.

Ablasi retina regmatogenosa dibagi menjadi ablasi retina regmatogenosa traumatik dan ablasi retina regmatogenosa non-traumatik. Ablasi retina regmatogenosa traumatik terjadi karena suatu trauma, baik trauma indirek atau trauma ringan, kontusio, ataupun trauma perforasi yang menyebabkan robeknya retina. Sedangkan ablasi retina regmatogenosa non-traumatik terjadi pada mata yng memiliki faktor predisposisi seperti mata dengan miop tinggi, pasca renitis, afakia, dan retina yang memperlihatkan degenerasi di bagian perifer.

a. Gambaran klinis Pasien ARR biasanya mengalami fotopsia atau floaters/muscae volitantes, terdapat gangguan penglihatan yang kadang-kadang terlihat sebagai tabir yang menutup. Apabila ablasi mengenai macula penglihatan akan turun secara akut.

Pada mata yang mengalami defek, biasanya memiliki tekanan intraokuler yang lebih rendah atau lebih tinggi apabila telah terjadi neovaskulr glaucoma pada ablasi yang telah lama.

b. Pemeriksaan penunjang : Oftalmoskopi binokuler indirek dengan depresi sklera memperlihatkan peninggian retina sensorik translusen yang terlepas. Bisa terdapat satu atau lebih pemutusan retina, misalnya robekan berbentuk tapal kuda, lubang atrofik bundar, atau robekan sirkumferensial anterior (dialisis retina).

Gambar 3. Robekan retina

c. Pengobatan Pengobatan pada ablasi retina adalah pembedahan dengan tujuan melekatkan kembali bagian retina yang terlepas dengan diatermi, krioterapi atau laser. Pembedahan ini dapat berupa :

Scleral buckling, pemutusan retina ditumpangkan pada sklera yang cekung oleh suatu eksplan.

Retinopeksi pneumatik adalah tindakan yang terdiri atas penyuntikan udara atau gas yang dapat memuai intraokular untuk melakukan tamponade pada retina yang terputus sementara adhesi korioretina terbentuk.

Apabila makula terkena oleh proses ARR, prognosis untuk pemulihan penglihatan total kurang begitu memuaskan.

Gambar 4. Encircling Buckle(diambil dari: Kanski JJ. Clinical ophthalmology- A systemic approach. 5th ed. Edinburgh: Buttenworth-Heineman.;2003)

2.1.4.2 Ablasi retina non-regmatogenosa/ eksudatif (Non-Rhegmatogenous Retinal Detachment)Ablasi retina non-regmatogenosa/ eksudatif merupakan hasil dari penimbunan cairan di bawah retina sensorik dan terutama disebabkan oleh penyakit pada lapisan epitel pigmen dan koroid. Ablasi dapat terjadi walaupun tanpa pemutusan retina atau traksi vitreoretina. Penyakit degeneratif, inflamasi, dan infeksi yang terbatas pada makula, termasuk neovaskularisasi subretina yang disebabkan oleh bermacam-macam hal mungkin berkaitan dengan ablasio jenis ini.

Penglihatan dapat berkurang dari ringan sampai berat. Ablasi ini dapat hilang atau menetap bertahun-tahun setelah penyebabnya berkurang atau hilang. Pengobatan ditujukan pada penyakit penyebabnya.2.1.4.3 Ablasi retina traksi (Tractional Retinal Detachment)a. Gambaran klinis

Ablasi retina traksi merupakan jenis ablasi retina tersering kedua, biasanya terjadi karena adanya proliferasi membran vitreus yang mengkontraksi dan mengelevasi retina, sehingga lapisan neurosensorik retina terlepas dari lapisan epitel pigmen. Ablasi jenis ini terutama disebabkan oleh retinopati diabetes proliferatif, retinopati pada prematuritas atau trauma mata.

Ciri khas ablasi retina yang terjadi karena traksi adalah permukaan retina yang lebih konkaf , immobile dan cenderung lebih lokal biasanya tidak meluas ke ora serata. Pada beberapa kasus, traksi dapat menyebabkan robekan pada retina sehingga terjadi ARR, pada kasus ini, retina menjadi lebih mobile dan memiliki lipatan ireguler dan bergelombang yang merupakan ciri khas ARR. b. Pengobatan

Terapi primer untuk ablasi retina akibat traksi adalah bedah vitreoretina dan mungkin melibatkan vitrektomi, pengangkatan membran, scleral buckling, dan penyuntikan gas intraokular.

2.1.5 Komplikasi Bila ablasinya berlangsung lama, maka pada retina timbul gangguan metabolisme. Zat-zat toksik yang ditimbulkan menyebabkan degenerasi dan atrofi retina, sel batang dan kerucut menjadi rusak karena hubungan dengan kapiler koroid terputus. Dapat menimbulkan uveitis dengan glaukoma dan katarak sebagai penyulitnya 2.1.6 Prognosis Baik sekali, bila pertama kali operasi berhasil 50-60% Bila operasi pertama tidak berhasil, diulangi dua kali, prognosis 15% Prognosis buruk sekali pada operasi yang berulang kali atau ablasi yang lama Prognosis buruk pada myopia tinggi (karena adanya degenerasi retina)2.2 DIABETIC RETINOPATHY

Diabetes melitus merupakan penyebab utama kebutaan pada usia 20 s.d. 75 tahun di Amerika Serikat. Hal ini didukung oleh penemuan bahwa individu dengan diabetes melitus cenderung menjadi buta 25 kali lebih banyak dibandingkan individu yang tidak menderita diabetes melitus. Adapun retina merupakan struktur yang metabolismenya sangat aktif. Oleh karena itu, retina merupakan target organ yang rentan terhadap gangguan mikrovaskular pada diabetes melitus.

Mekanisme patofisiologi terjadinya diabetic retinopathy adalah hilangnya sel-sel perisit retina, meningkatnya permeabilitas pembuluh darah retina, gangguan aliran darah retina, dan abnormalitas mikrovaskular retina, di mana semuanya itu menyebabkan terjadinya iskemi retina.

Diabetic retinopathy diklasifikasikan menjadi 3 tahap :

1. Nonproliferative Retinopathy (Stage I)

2. Preproliferative Diabetic Retinopathy (Stage II)

3. Proliferative Diabetic Retinopathy (Stage III)

2.2.1 Nonproliferative Retinopathy (Stage I)

Nonproliferative Retinopathy terutama ditemukan pada individu yang telah terkena DM > 20 tahun, namun juga sering muncul pada akhir dekade pertama atau awal dekade kedua dari perjalanan penyakit DM. Stadium ini ditandai oleh adanya peningkatan permeabilitas kapiler, dilatasi vena, pembentukan mikroaneurisma serta pendarahan superfisial (flame-shaped) dan profunda (blot).

Gambar 5. Early Diabetic Retinopathy with exudates and microaneursyms

(Sumber : http://www.rvscny.com)

Gambar 6. Fluorescein angiogram showing leakage from microaneursyms

(Sumber : http://www.rvscny.com)

Mikroaneurisma merupakan penonjolan dinding kapiler, dengan bentuk berupa bintik merah kecil, sedangkan vena mengalami dilatasi dan menjadi berkelok-kelok. Pendarahan superfisial yang terjadi berbentuk flame-shaped disebabkan oleh lokasinya yang terletak pada lapisan serabut saraf yang horisontal, sedangkan pendarahan profunda berbentuk blot karena sel sel dan akson pada lapisan profunda yang vertikal.

Pada stadium ini juga dapat terjadi edema makula yang merupakan penyebab paling sering hilangnya visus pada penderita diabetic retinopathy. Edema ini disebabkan kebocoran serum melalui dinding pembuluh darah yang inompeten. Edema dapat fokal atau difus, yang ditandai oleh gambaran retina yang berawan dan tebal disertai dengan mikroaneurisma dan eksudat intraretina.

Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya khusus yaitu iregular, kekuning-kuningan. Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun. Kondisi ini sering muncul pada keadaan hipertensi dan hiperlipoproteinemia. Soft exudate muncul dan hilang dalam waktu yang lebih sering, berhubungan dengan meningkatnya permeabilitas kapiler.

2.2.2 Preproliferative Diabetic Retinopathy (Stage II)

Seiring dengan progresivitas dari oklusi mikrovaskular, terjadi peningkatan iskemi retina pada daerah yang perfusinya buruk, yang pada akhirnya terbentuk area infark. Gambaran yang khas adalah cotton wool patches yang merupakan infark lapisan serabut saraf akibat iskemi retina serta abnormalitas pembuluh darah retina di mana terjadi dilatasi segemental yang ireguler.

Edema makula disertai iskemi yang signifikan pada zona avaskular fovea memiliki prognosis visus yang buruk, baik dengan atau tanpa terapi laser, bila dibandingkan dengan mata yang edema namun perfusinya masih cukup baik.

2.2.3 Proliferative Diabetic Retinopathy (Stage III)

Stadium ini merupakan komplikasi mata yang paling berbahaya akibat diabetes melitus. Pada stadium ini terbentuk neovaskularisasi sebagai respon terhadap hipoksia retina akibat iskemi retina yang progresif.

Pada keadaan normal, membran hyaloid, yaitu permukaan luar dari vitreous, berhubungan dengan kapsul lensa posterior, serabut zonula, epitel pars plana, retina dan diskus optikus. Hubungan antara membran hyaloid dengan kapsul lensa dan diskus optikus ini erat pada awal kehidupan, namun kemudian segera menghilang. Pada mata di mana hubungan vitreous dengan kapsul lensa dan diskus optikus ini menghilang sempurna, jarang terbentuk neovaskularisasi dan pendarahan vitreous. Namun pada mata dengan Proliferative Diabetic Retinopathy, terjadi adhesi vitreoretinal. Neovaskularisasi yang terbentuk akan mengalami fibrosis dan membentuk jaringan fibrovaskuler yang kuat yang menarik retina dan menyebabkan kontraksi vitreous yang terus menerus. Adapun neovaskularisasi yang sering terbentuk pada permukaan diskus optikus dan makula ini sangat rapuh dan mudah ruptur. Hal ini menyebabkan pendarahan vitreous dan pada akhirnya ablasi retina. Akibatnya visus akan menghilang secara tiba-tiba.

Gambar 7. Area neovaskularisasi di mana terdapat kebocoran fluorescein pada pemeriksaan angiography

(Sumber : http://www.emedicine.com)

Gambar 8. Proliferasi fibrovaskular dalam rongga vitreous

(Sumber : http://www.emedicine.com)2.2.4 Penatalaksanaan Penderita ditanya untuk melengkapi anamnesis yang sudah ada seperti lamanya menderita diabetes, terkontrol atau tidak, kapan kontrol terakhir,dll.

Lakukan pemeriksaan dasar seperti visus, tekanan bola mata, segmen anterior, Amsler grid, BFE bila belum dilakukan sebelum dirujuk.

Lakukan pelebaran pupil dengan midriatikum bila tekanan mata normal.

Lakukan pemeriksaan fundus dengan funduskopi direk atau indirek.

Catat tanda-tanda retinopati yang teramati. Tentukan derajat retinopati berdasarkan klasifikasi.

Tentukan pengobatan atau tindakan yang akan diberikan:

Konservatif : rujuk ke bagian penyakit dalam, pemberian antioksidan dan vasodilator perifer.

Fotokoagulasi laser

Panretinal Cryocoagulation (PRC)

Vitrektomi tertutup

Tentukan kapan kontrol.

Penatalaksanaan Khusus pada berbagai stadium Diabetic Retinopathy

Mata normal atau NPDR ringan dengan mikroaneurisma yang jarang : diperiksa setiap 6-12 bulan.

NPDR tanpa edema makula : diperiksa setiap 4-6 bulan

NPDR dengan edema makula yang tidak bermakna secara klinis, tapi tajam penglihatan sudah menurun : diperiksa setiap 4 bulan. Pemeriksaan FFA (Fundus Fluorescein Angiography) mungkin bermanfaat.

NPDR dengan edema makula yang bermakna secara klinis : perlu pemeriksaan FFA, fotokoagulasi laser harus dilakukan, keadaan pasien harus terkontrol (tekanan darah diastolik