retensi urin
DESCRIPTION
j/lk;l';l.;TRANSCRIPT
TAMBAHAN
KLASIFIKASI
Retensi urin akut
Retensi urin yang akut adalah ketidakmampuan berkemih yang tiba-tiba dan disertai
rasa sakit meskipun buli-buli terisi penuh. Berbeda dengan kronis, tidak ada rasa sakit
karena sedikit2 nimbunnya. Kondisi yang terkait adalah tidak dapat berkemih sama
sekali, kandung kemih penuh, terjadi tiba-tiba, disertai rasa nyeri, dan keadaan ini
termasuk kedaruratan dalam urologi. Kalau tidak dapat berkemih sama sekali segera
dipasang kateter.
Retensi urin kronik
Retensi urin kronik adalah retensi urin ‘tanpa rasa nyeri’ yang disebabkan oleh
peningkatan volume residu urin yang bertahap. Misalnya lama-lama tidak bisa kencing.
pada pembesaran prostat, pembesaran sedikit-sedikit, bisa kencing sedikit tapi bukan
karena keinginannya sendiri tapi keluar sendiri karena tekanan lebih tinggi daripada
tekanan sfingternya. Kondisi yang terkait adalah masih dapat berkemih, namun tidak
lancar , sulit memulai berkemih (hesitancy), tidak dapat mengosongkan kandung kemih
dengan sempurna (tidak lampias). Retensi urin kronik tidak mengancam nyawa, namun
dapat menyebabkan permasalahan medis yang serius di kemudian hari.
GAMBARAN KLINIS
Gejala retensi urin dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan pada pasien, yang
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Pemeriksaan subyektif
Yaitu mencermati keluhan yang disampaikan oleh pasien yang digali melalui
anamnesis yang sistematik. Dari pemeriksaan subyektif biasanya didapat
keluhan seperti nyeri suprapubik, mengejan karena rasa ingin kencing, serta
kandung kemih berasa penuh.
Dari hasil anamnesis biasanya diperoleh :
Tidak bisa kencing atau kencing menetes /sedikit-sedikit
Nyeri dan benjolan/massa pada perut bagian bawah
Riwayat trauma: "straddle", perut bagian bawah/panggul, ruas tulang
belakang.
Pada kasus kronis, keluhan uremia
2. Pemeriksaan obyektif
Yaitu melakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien untuk mencari data-data
yang objektif mengenai keadaan pasien. Dari pemeriksaan obyektif dengan
metode palpasi atau perkusi, biasanya ditemukan massa di daerah
suprasimfisis karena kandung kemih yang terisi penuh dari suatu retensi urin.
Inspeksi:
Penderita gelisah
Benjolan/massa perut bagian bawah
Tergantung penyebab : batu di meatus eksternum, pembengkakan
dengan/tanpa fistulae didaerah penis dan skrotum akibat striktura
uretra, perdarahan per uretra pada kerobekan akibat trauma.
Palpasi dan perkusi
Teraba benjolan/massa kistik-kenyal (undulasi) pada perut bagian
bawah.
Bila ditekan menimbulkan perasaan nyeri pada pangkal penis atau
menimbulkan perasaan ingin kencing yang sangat mengganggu.
Terdapat keredupan pada perkusi.
Dari palpasi dan perkusi dapat ditetapkan batas atas buli-buli yang penuh,
dikaitkan dengan jarak antara simfisis-umbilikus. Tergantung penyebabnya :
- teraba batu di uretra anterior sampai dengan meatus eksternum.
- teraba dengan keras (indurasi) dari uretra pada striktura yang panjang
- teraba pembesaran kelenjar prostat pada pemeriksaan colok dubur.
- teraba kelenjar prostat letaknya tinggi bila terdapat ruptur total uretra
posterior
3.1 PENANGANAN RETENSI URINE
Urin dapat dikeluarkan dengan cara Kateterisasi atau Sistostomi. Penanganan pada
retensi urin akut berupa : kateterisasi – bila gagal – dilakukan Sistostomi.
3.1.1. Kateterisasi
Kateterisasi Uretra adalah memasukkan kateter ke dalam buli-buli melalui uretra.
Tujuan Kateterisasi
Tindakan ini dimaksudkan untuk tujuan diagnosis maupun untuk tujuan terapi.
Tindakan diagnosis antara lain adalah :
1. Kateterisasi pada wanita dewasa untuk memperoleh contoh urin guna
pemeriksaan kultur urin.
2. Mengukur residu (sisa) urin yang dikerjakan sesaat setelah pasien selesai
miksi.
3. Memasukkan bahan kontras untuk pemeriksaan radiologi, antara lain :
Sistografi atau pemeriksaan adanya refluks vesiko-ureter melalui pemeriksaan
voiding cysto-urethrography (VCUG).
4. Pemeriksaan urodinamik untuk menentukan tekanan intra vesika.
5. Untuk menilai produksi urin pada saat dan setelah operasi besar.
Indikasi kateterisasi :
1. Mengeluarkan urin dari buli-buli pada keadaan obstruksi infravesikal, baik
yang disebabkan oleh hiperplasia prostat maupun oleh benda asing (bekuan
darah) yang menyumbat uretra.
2. Mengeluarkan urin pada disfungsi buli-buli.
3. Diversi urin setelah tindakan operasi sistem urinaria bagian bawah, yaitu pada
operasi prostatektomi, vesikolitektomi.
4. Sebagai splint setelah operasi rekonstruksi uretra untuk tujuan stabilisasi
uretra.
5. Memasukkan obat-obatan intravesika, antara lain sitostatika atau antiseptik
untuk buli-buli.
Kontraindikasi kateterisasi :
Ruptur uretra, ruptur buli-buli, bekuan darah pada buli-buli.
Macam-macam Kateter
Kateter dibedakan menurut ukuran, bentuk, bahan, sifat, pemakaian, sistem
retaining (pengunci), dan jumlah percabangan.
Ukuran Kateter
Ukuran kateter dinyatakan dalam skala Cheriere’s (French). Ukuran ini
merupakan ukuran diameter luar kateter.
1 Cheriere (Ch) atau 1 French (Fr) = 0,33 milimeter atau
1 milimeter = 3 Fr
Jadi, kateter yang berukuran 18 Fr artinya diameter luar kateter itu adalah 6 mm.
Kateter yang mempunyai ukuran yang sama belum tentu mempunyai diameter
lumen yang sama karena adanya perbedaan bahan dan jumlah lumen pada kateter
itu.
Bahan kateter dapat berasal dari logam (stainless), karet (lateks), lateks dengan
lapisan silikon (siliconized) dan silikon.
Bentuk Kateter
Straight catheter merupakan kateter yang terbuat dari karet (lateks), bentuknya
lurus dan tanpa ada percabangan. Contoh kateter jenis ini adalah kateter Robinson
dan kateter Nelaton.
Disadur dari Basuki B. Purnomo, Dasar-dasar Urologi, edisi kedua, halaman
230
Coude catheter yaitu kateter dengan ujung lengkung dan ramping. Kateter ini
dipakai jika usaha kateterisasi dengan memakai kateter berujung lurus mengalami
hambatan yaitu pada saat kateter masuk ke uretra pars bulbosa yang berbentuk
huruf “S”, adanya hiperplasia prostat yang sangat besar, atau hambatan akibat
sklerosis leher buli-buli. Contoh jenis kateter ini adalah kateter Tiemann.
Tindakan Kateterisasi
Pada wanita
Pemasangan kateter pada wanita jarang menjumpai kesulitan karena uretra
wanita lebih pendek. Kesulitan yang sering dijumpai adalah pada saat mencari
muara uretra karena terdapat stenosis muara uretra atau tertutupnya muara uretra
oleh tumor uretra / tumor vaginalis / serviks. Untuk itu mungkin perlu dilakukan
dilatasi dengan busi a boule terlebih dahulu.
Pada pria
Teknik kateterisasi pada pria adalah sebagai berikut :
1. Setelah dilakukan desinfeksi pada penis dan daerah sekitarnya, daerah
genitalia dipersempit dengan kain steril.
2. Kateter yang telah diolesi dengan pelicin / jelly dimasukkan ke dalam
orifisium uretra eksterna.
3. Pelan-pelan kateter didorong masuk dan kira-kira pada daerah daerah sfingter
uretra eksterna akan terasa tahanan; pasien diperintahkan untuk mengambil
nafas dalam supaya sfingter uretra eksterna menjadi lebih relaks. Kateter terus
didorong hingga masuk ke buli-buli yang ditandai dengan keluarnya urin dari
lubang kateter.
4. Kateter terus didorong masuk ke buli-buli hingga percabangan kateter
menyentuh meatus uretra eksterna.
5. Balon kateter dikembangkan dengan 5-10 ml air steril.
6. Jika diperlukan kateter menetap, kateter dihubungkan dengan pipa penampung
(urinbag).
7. Kateter difiksasi dengan plester di daerah inguinal atau paha bagian proksimal.
3.1.2. Kateterisasi Suprapubik
Kateterisasi Suprapubik adalah memasukkan kateter dengan membuat lubang
pada buli-buli melalui insisi suprapubik dengan tujuan mengeluarkan urin.
Kateterisasi suprapubik ini biasanya dikerjakan pada :
1. Kegagalan pada saat melakukan kateterisasi uretra.
2. Ada kontraindikasi untuk melakukan tindakan transuretra, misalkan pada
ruptur uretra atau dugaan adanya ruptur uretra.
3. Untuk mengukur tekanan intravesikal pada studi sistotonometri.
4. Mengurangi penyulit timbulnya sindroma intoksikasi air pada saat TUR
Prostat.
Pemasangan kateter sistostomi dapat dikerjakan dengan cara operasi
terbuka atau dengan perkutan (trokar) sistostomi.
Sistostomi Trokar
Kontraindikasi Sistostomi Trokar : tumor buli-buli, hematuria yang belum jelas
penyebabnya, riwayat pernah menjalani operasi daerah abdomen / pelvis, buli-
buli yang ukurannya kecil (contracted bladder), atau pasien yang mempergunakan
alat prostesis pada abdomen sebelah bawah.
Tindakan ini dikerjakan dengan anestesi lokal dan mempergunakan alat trokar.
Disadur dari Basuki B. Purnomo, Dasar-dasar Urologi, edisi kedua, halaman
239
Alat-alat dan bahan yang digunakan :
1. Kain kasa steril.
2. Alat dan obat untuk desinfeksi (yodium povidon).
3. Kain steril untuk mempersempit lapangan operasi.
4. Semprit beserta jarum suntik untuk pembiusan lokal dan jarum yang telah
diisi dengan aquadest steril untuk fiksasi balon kateter.
5. Obat anestesi lokal.
6. Alat pembedahan minor, antara lain : pisau, jarum jahit kulit, benang sutra
(zeyde).
7. Alat trokar dari Campbel atau trokar konvensional.
8. Kateter Foley (ukuran tergantung alat trokar yang digunakan). Jika
mempergunakan alat trokar konvensional, harus disediakan kateter Naso-
gastrik(NG tube) no. 12.
9. Kantong penampung urine (urinebag).
Langkah-langkah Sistostomi Trokar :
1. Desinfeksi lapangan operasi.
2. Mempersempit lapangan operasi dengan kain steril.
3. Injeksi (infiltrasi) anestesi lokal dengan Lidokain 2% mulai dari kulit,
subkutis hingga ke fasia.
4. Insisi kulit suprapubik di garis tengah pada tempat yang paling cembung +
1 cm, kemudian diperdalam sampai ke fasia.
5. Dilakukan pungsi percobaan melalui tempat insisi dengan semprit 10 cc
untuk memastikan tempat kedudukan buli-buli.
6. Alat trokar ditusukkan melalui luka operasi hingga terasa hilangnya tahanan
dari fasia dan otot-otot detrusor.
7. Alat obturator dibuka dan jika alat itu sudah masuk ke dalam buli-buli akan
keluar urine memancar melalui sheath trokar.
8. Selanjutnya bagian alat trokar yang berfungsi sebagai obturator (penusuk)
dan sheath dikeluarkan melalui buli-buli sedangkan bagian slot kateter
setengah lingkaran tetap ditinggalkan.
9. Kateter Foley dimasukkan melalui penuntun slot kateter setengah lingkaran,
kemudian balon dikembangkan dengan memakai aquadest 10 cc. Setelah
balon dipastikan berada di buli-buli, slot kateter setengah lingkaran
dikeluarkan dari buli-buli dan kateter dihubungkan dengan kantong
penampung urin (urinbag).
10. Kateter difiksasikan pada kulit dengan benang sutra dan luka operasi
ditutup dengan kain kasa steril.
Menusukkan alat trokar ke dalam buli-buli
Disadur dari Basuki B. Purnomo, Dasar-dasar Urologi, edisi kedua, halaman
241
Setelah yakin trokar masuk ke buli-buli, obturator dilepas dan hanya slot kateter
setengah lingkaran ditinggalkan
Disadur dari Basuki B. Purnomo, Dasar-dasar Urologi, edisi kedua, halaman
241
Jika tidak tersedia alat trokar dari Campbell, dapat pula digunakan alat trokar
konvensional, hanya saja pada langkah ke-8, karena alat ini tidak dilengkapi
dengan slot kateter setengah lingkaran maka kateter yang digunakan adalah NG
tube nomer 12 F. Kateter ini setelah dimasukkan ke dalam buli-buli pangkalnya
harus dipotong untuk mengeluarkan alat trokar dari buli-buli.
Penyulit
Beberapa penyulit yang mungkin terjadi pada saat tindakan maupun setelah
pemasangan kateter sistotomi adalah :
1. Bila tusukan terlalu mengarah ke kaudal dapat mencederai prostat.
2. Mencederai rongga / organ peritoneum.
3. Menimbulkan perdarahan.
4. Pemakaian kateter yang terlalu lama dan perawatan yang kurang baik akan
menimbulkan infeksi, ekskrutasi kateter, timbul batu saluran kemih,
degenerasi maligna mukosa buli-buli, dan terjadi refluks vesiko-ureter.
Sistostomi Terbuka
Sistostomi terbuka dikerjakan bila terdapat kontraindikasi pada tindakan
sistostomi trokar atau bila tidak tersedia alat trokar. Dianjurkan untuk melakukan
sistostomi terbuka jika terdapat jaringan sikatriks / bekas operasi di daerah
suprasimfisis, sehabis mengalami trauma di daerah panggul yang mencederai
uretra atau buli-buli, dan adanya bekuan darah pada buli-buli yang tidak mungkin
dilakukan tindakan per uretram. Tindakan ini sebaiknya dikerjakan dengan
memakai anestesi umum.
Tindakan
1. Desinfeksi seluruh lapangan operasi.
2. Mempersempit daerah operasi dengan kain steril.
3. Injeksi anestesi lokal, jika tidak mempergunakan anestesi umum.
4. Insisi vertikal pada garis tengah + 3-5 cm diantara pertengahan simfisis dan
umbilicus.
5. Insisi diperdalam sampai lemak subkutan hingga terlihat linea alba yang
merupakan pertemuan fasia yang membungkus muskulus rektus kiri dan
kanan. Muskulus rektus kiri dan kanan dipisahkan sehingga terlihat jaringan
lemak, buli-buli dan peritoneum. Buli-buli dapat dikenali karena warnanya
putih dan banyak terdapat pembuluh darah.
6. Jaringan lemak dan peritoneum disisihkan ke kranial untuk memudahkan
memegang buli-buli.
7. Dilakukan fiksasi pada buli-buli dengan benang pada 2 tempat.
8. Dilakukan pungsi percobaan pada buli-buli diantara 2 tempat yang telah
difiksasi.
9. Dilakukan pungsi dan sekaligus insisi dinding buli-buli dengan pisau tajam
hingga keluar urin, yang kemudian (jika perlu) diperlebar dengan klem. Urin
yang keluar dihisap dengan mesin penghisap.
10. Eksplorasi dinding buli-buli untuk melihat adanya : tumor, batu, adanya
perdarahan, muara ureter atau penyempitan leher buli-buli.
11. Pasang kateter Foley ukuran 20F-24F pada lokasi yang berbeda dengan luka
operasi.
12. Buli-buli dijahit 2 lapis yaitu muskularis-mukosa dan sero-muskularis.
13. Ditinggalkan drain redon kemudian luka operasi dijahit lapis demi lapis.
Balon kateter dikembangkan dengan aquadest 10 cc dan difiksasikan ke kulit
dengan benang sutra.
3.2. KOMPLIKASI
Retensi urine dapat mengakibatkan :
a. Buli-buli akan mengembang melebihi kapasitas maksimal sehingga tekanan
didalam lumennya dan tegangan dari dindingnya akan meningkat.
b. Bila keadaan ini dibiarkan berlanjut, tekanan yang meningkat didalam lumen
akan menghambat aliran urin dari ginjal dan ureter sehingga terjadi hidroureter
dan hidronefrosis dan lambat laun terjadi gagal ginjal.
c. Bila tekanan didalam buli-buli meningkat dan melebihi besarnya hambatan di
daerah uretra, urin akan memancar berulang-ulang (dalam jumlah sedikit) tanpa
bisa ditahan oleh penderita, sementara itu buli-buli tetap penuh dengan urin.
Keadaan ini disebut : inkontinensi paradoksa atau "overflow incontinence"
d. Tegangan dari dinding buli-buli terns meningkat sampai tercapai batas toleransi
dan setelah batas ini dilewati, otot buli-buli akan mengalami dilatasi sehingga
kapasitas buli-buli melebihi kapasitas maksimumnya, dengan akibat kekuatan
kontraksi otot buli-buli akan menyusut.
e. Retensi urin merupakan predileksi untuk terjadinya infeksi saluran kemih (ISK)
dan bila ini terjadi, dapat menimbulkan keadaan gawat yang serius seperti
pielonefritis, urosepsis, khususnya pada penderita usia lanjut.
Urin yang tertahan lama di dalam buli-buli, secepatnya harus dikeluarkan, karena
jika dibiarkan, akan menimbulkan masalah, seperti : mudah terjadi infeksi saluran
kemih, kontraksi otot buli-buli menjadi lemah, timbul hidroureter dan hidronefrosis
yang selanjutnya akan dapat menimbulkan gagal ginjal.
Akibat retensi urin kronis dapat terjadi : trabekulasi (serat-serat otot detrusor
menebal), sacculae (tekanan intravesika meningkat, selaput lendir diantara otot-otot
membesar), divertikel, infeksi, fistula, pembentukan batu, overflow incontinence.
Patofisiologi
Normalnya urine tersusun dari bahan organik dan an organik terlarut
Terjadinya presipitasi kristal
Membentuk inti baru
Mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan lain menjadi kristal
Menempel di saluran kemih Retensi kristal
Batu saluran kemih Obstruksi saluran kemih
Mengendapkan bahan lain sehingga batu menadi lebih besar
Kristal semakin besar, menyebabkan obstruksi
Urine terkumpul diatas
Stagnasi urine Rasa ingin BAK, Dilatasi pada bagian Retensi urine
tapi tidak lampias Hidroureter
Mikroorganisme
Otot berkontraksi melawan obstruksi
GANGGUAN ELIMINASI URINE
RETENSI URINARIUSGANGGUAN
RASA NYAMAN
RESIKO INFEKSI
DAFTAR PUSTAKA
Retensi Urin Permasalahan dan Penatalaksanaannya. Widjoseno Gardjito Lab/UPF Ilmu Bedah FK Unair/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.
Schwartz, Seymour I. 2009. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Ed 6. EGC Jakarta
Ganong. Review of medical Phisiologi. USA. McGraw-Hill companies. 2003