makalah ttg retensi urin

161
UNIVERSITAS INDONESIA PENGARUH RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOUR THERAPY TERHADAP KLIEN PERILAKU KEKERASAN DI RUANG RAWAT INAP RSMM BOGOR TAHUN 2010. MANUSKRIP PENELITIAN Dewi Eka Putri NPM : 0806469565 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA DEPOK JULI 2010 Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Upload: roger-webster

Post on 01-Jan-2016

93 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Ttg Retensi Urin

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOUR THERAPY TERHADAP KLIEN PERILAKU KEKERASAN DI RUANG RAWAT INAP RSMM BOGOR TAHUN 2010.

MANUSKRIP PENELITIAN

Dewi Eka Putri

NPM : 0806469565

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA

DEPOK

JULI 2010

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 2: Makalah Ttg Retensi Urin

PENGARUH RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOUR THERAPY TERHADAP KLIEN PERILAKU KEKERASAN DI RUANG RAWAT INAP RSMM BOGOR TAHUN 2010

Dewi Eka Putri, Budi Anna Keliat2dan Yusron Nasution3

Program Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Jakarta 10430, Indonesia

Email : [email protected]

Abstrak

Perilaku kekerasan (PK) adalah respon kemarahan maladaptif dalam bentuk perilaku menciderai diri, orang lain dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran Pengaruh Rational Emotive Behaviour Therapy terhadap penurunan perilaku kekerasan di ruang rawat inap RSMM Bogor. Desain “Quasi Experimental Pre-Post Test with “Control Group” dengan intervensi Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT). Sampel penelitian adalah 53 klien skizoprenia paranoid dengan PK, terdiri atas 25 kelompok intervensi dan 28 orang kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan respon kognitif dan sosial serta penurunan respon emosi, perilaku dan fisiologis secara bermakna (P-value� 0,05) pada klien yang mendapatkan REBT. REBT direkomendasikan untuk diterapkan pada klien PK bersama dengan tindakan keperawatan generalis.

Kata Kunci: Perilaku Kekerasan, Rational Emotive Behaviour Therapy.

Abstract

Violent behavior is a maladaptive anger response, which is shown by the People whom treated themselves, others and the environment. The study aims to get the explanation of the effect rational emotive behavioral therapy in reducing violent behavioral in Bogor RSMM hospital. Design with “Quasi-Experimental design Pre-Post Test with Control Group” and the intervention of rational emotive behavior therapy (REBT). The samples of this research are 53 clients with paranoid schizophrenia who has violent behavior, consisted of 25 clients as intervention group and 28 clients as control group. The Results of this research show the increasing response of cognitive, social and reducing of emotional response, behavioral, and physiological significantly, at (P-value �0,05) on the clients who get REBT. In �2 times frequency treated associated with the client's social response increased. REBT are recommended to provide to the clients with REBT critical nursing generalist.

Keywords : Violent behavior, Rational Emotive Behavior Therapy

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 3: Makalah Ttg Retensi Urin

��

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Hidup sehat adalah idaman setiap orang, untuk itu setiap orang berupaya menjaga

kesehatannya. Berdasarkan Undang-Undang tentang kesehatan nomor 36 tahun 2009

pasal 1 ayat 1 menjelaskan definisi kesehatan adalah keadaan sehat baik fisik,

mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup

produktif secara sosial dan ekonomis. Dengan demikian individu yang sehat adalah

individu yang dapat hidup dengan produktif di dalam kehidupannya.

Kesehatan jiwa merupakan hal yang dibutuhkan oleh setiap orang untuk

menghasilkan manusia yang berkualitas dan terbebas dari gangguan jiwa. Kesehatan

jiwa adalah keadaan sejahtera ditandai dengan perasaan bahagia, keseimbangan,

merasa puas, pencapaian diri dan optimis (Stuart & Laraia, 2005). Kesehatan jiwa

adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis dan sosial yang terlihat dari

hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep

diri yang positif dan kestabilan emosional (Johnson, 1997, dalam Videbeck, 2008).

Menurut WHO (2001) mendefinisikan kesehatan jiwa sebagai suatu kondisi

sejahtera dimana individu menyadari kemampuan yang dimilikinya, dapat mengatasi

stress dalam kehidupannya, dapat bekerja secara produktif, dan mempunyai

kontribusi dalam kehidupan bermasyarakat.

Departemen Kesehatan (2003), mendefinisikan kesehatan jiwa sebagai suatu kondisi

mental yang sejahtera yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif, sebagai

bagian dari kualitas hidup seseorang dengan memperhatikan semua segi

kehidupannya. Dari definisi-definisi diatas dapat diketahui bahwa kesehatan jiwa

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 4: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

seseorang terlihat dari kondisi individu secara emosional, psikologis, dan sosial yang

memiliki kemampuan koping yang efektif dalam menghadapi kehidupannya,

berhubungan dengan orang lain dan memiliki pencapaian diri yang optimal yang

akan memberikan kepuasan pada diri sendiri sehingga dapat hidup produktif baik

bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat sekitar.

Laporan WHO (2001) menjelaskan bahwa status kesehatan jiwa secara global

memperlihatkan 25% penduduk pernah mengalami gangguan mental dan perilaku,

namun hanya 40% yang terdiagnosis. Di Indonesia, jumlah penderita masalah

kesehatan jiwa cukup tinggi dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun dan

hampir di seluruh bagian dari wilayah Indonesia dalam beberapa dekade ini,

populasi mengalami masa sulit karena konflik, kemiskinan maupun bencana alam.

Sejumlah besar masyarakat Indonesia mengalami penderitaan mental yang bervariasi

mulai dari tekanan psikologis ringan hingga gangguan jiwa akut.

WHO (2006) mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia mengalami

gangguan jiwa, dimana panik dan cemas adalah gejala paling ringan (Maramis,

2006). Berdasarkan data status kesehatan jiwa di Indonesia dapat dilihat dari hasil

riset kesehatan dasar (Ris.Kes.Das, 2007) yang dilakukan oleh Badan Penelitian

Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan yang menunjukkan prevalensi

gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 4.6 permil, dengan kata lain dari 1000

penduduk Indonesia empat sampai lima diantaranya menderita gangguan jiwa berat.

Dari data diatas jelas tergambar bahwa penderita gangguan jiwa di Indonesia sangat

banyak mulai dari yang mengalami gangguan jiwa ringan sampai berat. Meskipun

gangguan jiwa tidak menyebabkan kematian secara langsung namun akan

menyebabkan penderitanya menjadi tidak produktif dan bahkan menjadi sangat

tergantung dengan orang lain.

WHO (2001) mendefinisikan gangguan jiwa mengacu pada kriteria yang ditetapkan

oleh International Statistical Classification of Deseases and Related Health Problem

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 5: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

edisi sepuluh yang menyebutkan bahwa gangguan jiwa merupakan sekumpulan

gangguan pada fungsi pikir, emosi, perilaku dan sosialisasi dengan orang sekitar.

Definisi lain tentang gangguan jiwa yang digunakan praktisi keperawatan

bersumber dari American Psychiatric Association (2000, dalam Varcarolis, 2006),

gangguan jiwa didefinisikan sebagai suatu sindrom atau pola psikologis atau

perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan

adanya distres atau disabilitas atau disertai peningkatan risiko kematian yang

menyakitkan, nyeri, disabilitas atau kehilangan kebebasan. Sementara Townsen

(2005) mengungkapkan gangguan jiwa merupakan respon maladaptif terhadap

stresor dari lingkungan internal dan eksternal yang ditunjukkan dengan pikiran,

perasaan, dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma lokal dan budaya

setempat, dan mengganggu fungsi sosial, pekerja, dan fisik individu. Sedangkan

menurut Kaplan dan Sadock (2007), gangguan jiwa merupakan gejala yang

dimanifestasikan melalui perubahan karakteristik utama dari kerusakan fungsi

perilaku atau psikologis yang secara umum diukur dari beberapa konsep norma,

dihubungkan dengan distress atau penyakit, tidak hanya dari respon yang diharapkan

pada kejadian tertentu atau keterbatasan hubungan antara individu dan lingkungan

sekitarnya.

Departemen Kesehatan (Dep.Kes, 2003) mendefinisikan gangguan jiwa sebagai

suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi

jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam

melaksanakan peran sosialnya. Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas maka

gangguan jiwa merupakan respon maladaptif individu berupa perubahan pada fungsi

psikologis atau perilaku yang tidak sesuai dengan norma lokal dan budaya setempat

yang menyebabkan timbulnya penderitaan dan hambatan dalam melaksanakan peran

sosialnya.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 6: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

Skizoprenia merupakan salah satu diagnosa medis dari gangguan jiwa yang paling

banyak ditemukan dan merupakan gangguan jiwa berat. Skizoprenia adalah

sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu,

termasuk fungsi berpikir dan berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan

realitas, merasakan dan menunjukkan emosi dan berperilaku yang dapat diterima

secara rasional (Stuart & Laraia, 2005). Perilaku maladaptif dari klien dengan

skizoprenia adalah penampilan yang buruk, berkurangnya kemampuan untuk

bekerja, perilaku streotip, agitasi, agresif, dan negativism. Munculnya pikiran negatif

pada klien skizoprenia dikarenakan adanya kesulitan dalam berpikir jernih dan logis,

sering kali sulit konsentrasi sehingga perhatian mudah beralih dan berlanjut

membuat klien menjadi gaduh gelisah(Stuart & Laraia, 2005). Dari penjelasan diatas

dapat diketahui bahwa klien dengan skizofrenia mengalami perubahan- perubahan

pada perasaan, pikiran dan perilaku menjadi maladaptif.

Menurut data statistik direktorat kesehatan jiwa, pasien gangguan jiwa terbesar

adalah skizofrenia yaitu 70% (Dep.Kes, 2003). Kelompok Skizofrenia juga

menempati 90% pasien di rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia (Jalil, 2006).

American Association Psychiatric (2000) menyebutkan beberapa penelitian

melaporkan bahwa kelompok individu yang didiagnosa mengalami skizoprenia

mempunyai insiden lebih tinggi untuk mengalami perilaku kekerasan (APA, 2000

dalam Sadino, 2007). Dari survey yang dilakukan oleh The National Institute of

Mental Nursing Health’s Epidemiologic Catchment Area terhadap 10.000 orang

yang pernah melakukan perilaku kekerasan di temukan 37,7% berhubungan dengan

penyalah gunaan zat, 24,6% alkoholik, 12,7 % skizoprenia, 11,7 gangguan depresi

berat, 11% gangguan bipolar dan 2,1% tanpa gangguan ( Kaplan & Saddock, 1995

dalam Keliat, 2003). Menurut Dyah (2009) jumlah klien skizoprenia dengan perilaku

kekerasan berdasarkan riwayat kekerasan didapatkan bahwa klien yang memiliki

riwayat kekerasan baik sebagai pelaku, korban, atau saksi lebih banyak yaitu 62,5%

dari 72 responden yang diteliti. Jadi dengan demikian jelas tergambar bahwa

perilaku kekerasan banyak ditemukan pada klien dengan skizoprenia.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 7: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

Perilaku kekerasan adalah respon maladaptif dari marah. Marah adalah perasaan

jengkel atau perasaan yang tidak menyenangkan yang merupakan bagian dalam

kehidupan sehari-hari ( Stuart & Sundeen, 1995; Rawlins, et al, 1993), hal ini berarti

bahwa marah adalah normal dialami oleh setiap individu. Respon marah yang

dialami oleh setiap orang berada pada rentang respon kemarahan yang berbeda-

beda, dapat berupa: 1) Perilaku pasif yang ditandai dengan ketidakmampuan

mengkonfrontasikan masalahnya, merasa tegang, dan gangguan hubungan

interpersonal, 2) Perilaku asertif ditandai dengan menyampaikan perasaan diri secara

langsung tetapi menghormati orang lain, berbicara jelas dan nyata, kontak mata

langsung tetapi tidak tajam, gesture memberi penekanan pada pembicaraan tetapi

tidak menantang, postur tegak tetapi rileks. 3) Perilaku kekerasan ditandai dengan

seseorang melanggar hak-hak orang lain, melakukan tindakan kekerasan fisik dan

verbal, merasa harga dirinya tinggi bila lebih kuat dari orang lain (Beck, 1993).

Istilah marah (anger), agresif (aggression), dan perilaku kekerasan (violence) sering

digunakan bergantian dalam menguraikan perilaku yang terkait dengan kekerasan

(Rawlins, et, al 1993). Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku untuk

melukai atau mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan secara verbal atau fisik

(Stuart & Laraia, 2005). Perilaku kekerasan berfluktuasi dari tingkat rendah sampai

tinggi yaitu dari memperlihatkan permusuhan pada tingkat rendah sampai pada

melukai dalam tingkat serius dan membahayakan (Stuart & Laraia,

2001;2005;2009). Proses perkembangan perilaku kekerasan, masih menjadi

perdebatan antara nature vs nurture , dibawa sejak lahir atau diperoleh selama

perkembangan. Menurut teori biopsikososial disebabkan oleh interaksi yang

kompleks antara faktor biologik, psikologik dan sosiokultural (Kneisl; Wilson &

Trigoboff, 2004). Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa perilaku kekerasan

adalah respon kemarahan yang maladaptif dalam bentuk perilaku menciderai diri

sendiri, orang lain dan lingkungan sekitarnya secara verbal maupun nonverbal mulai

dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 8: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

Pada klien dengan perilaku kekerasan, individu merupakan orang yang ambigue,

selalu dalam kecemasan, mempunyai penilaian yang negatif terhadap diri dan orang

lain, ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah dengan baik sehingga perilaku

kekerasan merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah.

Perilaku kekerasan merupakan salah satu gejala yang menjadi alasan bagi keluarga

untuk merawat klien di rumah sakit jiwa karena berisiko membahayakan dirinya dan

orang lain (Keliat, 2003). Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa perilaku

kekerasan adalah perilaku yang menakutkan dan membahayakan bagi dirinya,

keluarga dan masyarakat sehingga mereka berusaha mencari pertolongan dengan

membawa klien ke rumah sakit dan berharap selama mendapat pengobatan dan

perawatan di rumah sakit perilaku klien berkurang atau berubah.

Perilaku adalah hal yang dapat diobservasi, dicatat, diukur, bergerak atau berespon

(Stuart & Laraia, 2005). Mengubah perilaku dapat dilakukan dengan 3 strategi

(WHO, dalam Notoadmojo, 2003) yaitu menggunakan kekuasaan/

kekuatan/dorongan, pemberian informasi, diskusi partisipan. Sedangkan menurut

Sunaryo (2004) menyatakan bahwa perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa

hal yaitu kebutuhan, motivasi, sikap dan kepercayaan. Dari pernyataan diatas dapat

diketahui bahwa perilaku dapat dirubah dengan pemberian informasi, diskusi dan

motivasi berdasarkan kebutuhan dan keyakinan individu, perubahan tersebut dapat

diobservasi atau diukur.

Intervensi secara umum yang dilakukan pada pasien dengan perilaku agresif /

perilaku kekerasan bervariasi yang berada dalam rentang preventive strategies,

Anticipatory Strategies, dan Containment Strategies (Stuart & Laraia, 2005). Strategi

pencegahan (preventive strategies), meliputi kesadaran diri, psikoedukasi pada

klien, dan latihan asertif. Strategi antisipasi (Anticipatory Strategies) meliputi

komunikasi, perubahan lingkungan, perilaku dan psikofarmaka. Kemarahan yang

dapat mengancam keselamatan diri sendiri, orang lain dan lingkungan (kegawat

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 9: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

daruratan psikiatri) yang tidak dapat dikontrol dengan terapi psikofarmaka maka

perlu dilakukan strategi penahanan (containment Strategies) yang meliputi

manajemen krisis, pembatasan gerak, dan pengikatan.

Fokus tindakan untuk perilaku agresif atau perilaku kekerasan adalah mengarahkan

untuk pengurangan perilaku impulsif, tehnik manajemen marah, terapi drama, terapi

musik dan terapi dansa (Cleven, 2006 dalam Choi, 2008). Menurut Boyd dan Nihart

(1998) tindakan untuk klien dengan perilaku kekerasan yaitu terapi edukasi, tought

stopping, bibliotherapy dan terapi musik. Penelitian tentang pentingnya edukasi bagi

klien dengan perilaku kekerasan telah dilakukan oleh Keliat (2003) yaitu edukasi

pada klien dengan menggunakan standar asuhan keperawatan (SAK) cara

mengontrol marah baik secara : (1) Fisik : tarik nafas dalam jika sedang kesal,

berolah raga, memukul bantal / kasur atau pekerjaan yang memerlukan tenaga. (2)

Secara verbal : katakan anda sedang marah atau kesal/ tersinggung. (3) Secara sosial

: lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang sehat, latihan asertif , latihan

manajemen perilaku kekerasan. (4) Secara spiritual.

Selanjutnya penelitian untuk terapi lanjutan yaitu terapi musik pada klien dengan

perilaku kekerasan telah dilakukan pula. Menurut Endang (2009) terapi musik dapat

menurunkan perilaku kekerasan yang diketahui dari respon fisik, respon kognitif ,

respon perilaku dan respon sosial klien. Namun dalam pelaksanaan terapi musik

sedikit mengalami kendala karena membutuhkan persiapan alat-alat yang memadai

seperti, VCD player/ tape recorder, kaset CD yang berisikan musik klasik karena

jenis musik ini yang dapat menstimulasi otak sehingga menghasilkan respon yang

diharapkan, serta membutuhkan ruangan khusus agar tidak diganggu oleh klien

lainnya. Hal ini menjadi kendala karena tidak semua rumah sakit memiliki alat-alat

yang dibutuhkan untuk pelaksanaan terapi musik. Disamping itu tidak semua pasien

menyukai atau mengenal musik klasik tersebut. Dengan demikian terapi ini masih

belum bisa dilakukan untuk semua klien dan semua rumah sakit yang merawat klien

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 10: Makalah Ttg Retensi Urin

Universitas Indonesia

dengan perilaku kekerasan. Dari terapi diatas dapat diketahui bahwa perilaku

kekerasan dapat mengalami penurunan pada respon fisik, kognitif, perilaku dan

sosial.

Menurut Vedebeck (2008) tindakan keperawatan untuk klien dengan perilaku

kekerasan adalah terapi kognitif, logoterapi, terapi realita dan psikoedukasi keluarga.

Sedangkan menurut Stuart dan Laraia (2005) adalah terapi asertif, time outs, dan

token economy. Terapi assertiveness trainning dan terapi perilaku kognitif juga telah

dilakukan penelitian untuk mengurangi perilaku kekerasan pada individu. Menurut

Wahyuningsih (2009) perilaku kekerasan pada kelompok yang mendapat terapi

generalis dan asertif training menurun secara bermakna pada respon fisik, respon

kognitif, respon perilaku dan respon sosial klien. Sedangkan menurut Fauziah (2009)

terapi perilaku kognitif dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku klien

skizoprenia dengan perilaku kekerasan. Kedua terapi yang diberikan pada klien

perilaku kekerasan di atas berfokus pada upaya penurunan perilaku kekerasan

dengan menstimulasi kognitif atau melihat respon kognitif, respon fisik, respon

sosial dan respon perilaku.

Klien dengan perilaku kekerasan mengalami perubahan respon kognitif berupa

gangguan proses pikir yaitu gangguan dalam mempersepsikan sesuatu serta tidak

mampu membuat alasan (Boyd & Nihart, 1996). Respon kognitif merupakan hasil

penilaian terhadap kejadian yang menekan, pilihan koping yang digunakan, reaksi

emosional, fisiologis, perilaku dan sosial individu (Stuart & Laraia, 2005). Setelah

terjadi penilaian kognitif terhadap situasi , individu akan menampilkan respon afektif

yang dimunculkan dengan emosi berupa marah, gembira, sedih, menerima, antisipasi

atau respon emosi lainnya (Stuart & Laraia, 2005). Pernyataan-pernyataan diatas

dapat disimpulkan bahwa pada klien dengan perilaku kekerasan mengalami

perubahan pada respon kognitif yang nantinya akan berpengaruh terhadap respon

afektif yang dimunculkan dalam bentuk emosi seperti kemarahan. Hal ini

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 11: Makalah Ttg Retensi Urin

Universitas Indonesia

menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan pada klien dengan perilaku

kekerasan juga perlu mengacu kepada emosi selain kognitif dan perilaku.

Berdasarkan teori diatas maka perlu adanya intervensi pada klien dengan perilaku

kekerasan yang mengarah kepada fisik, afektif (emosi), kognitif,fisiologis, perilaku,

dan sosial. Terapi Asssertiveness Trainning, terapi Musik dan terapi Perilaku

Kognitif belum mengarahkan intervensinya secara langsung kepada emosi klien

dengan perilaku kekerasan. Untuk itu agar intervensi untuk klien dengan perilaku

kekerasan lebih optimal maka perlu adanya suatu terapi yang juga mengarah pada

emosi. Adapun terapi yang dapat dilakukan untuk itu adalah Rational Emotive

Behaviour Therapy ( REBT).

Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) ditemukan oleh Albert Ellis,

merupakan suatu pendekatan pemecahan masalah yang rasional, yang diarahkan

untuk masalah perilaku individu. Elis berkeyakinan bahwa mempelajari kecemasan

yang irrasional lebih awal akan bertahan di dalam memori manusia dari pada

dihilangkan. Oleh karena itu beliau memutuskan untuk mengajarkan kliennya

merubah pikiran yang tidak rasional (irrasional) dan memberikan penjelasan rasional

untuk masalah perilakunya ( Ellis, 1962 dalam Adomeh, 2006). Berdasarkan teori

REBT memodifikasi keyakinan yang irrasional secara spesifik dapat menurunkan

perilaku agresif. REBT dan treatmen lain bertujuan untuk mengurangi keyakinan

irrasional dan menguatkan keyakinan rasional yang dapat efektif untuk anak dan

dewasa yang marah dan agresif.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Johan Rieckert (2000) terhadap 28

orang wanita yang mempunyai riwayat seksual abuse pada masa kanak-kanak, terapi

REBT secara signifikan dapat mengurangi depresi, kecemasan, kemarahan, perasaan

bersalah dan harga diri yang rendah. Penelitian lainnya juga menyatakan bahwa

emosional yang mengganggu pada remaja berkisar pada hiperaktivitas, menarik diri,

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 12: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

kegagalan dalam mencapai tingkat perkembangan yang seharusnya, kesulitan

belajar, perilaku agresif, kurang konsentrasi dan tidak mampu berhubungan dengan

orang lain ( Ellis, 1962 dalam Adomeh, 2006). Dengan demikian tingkah laku yang

didasarkan pada cara berpikir yang irrasional dapat menimbulkan emosi yang tidak

menyenangkan sehingga dibutuhkan pembelajaran agar memiliki kemampuan untuk

mencari penjelasan yang rasional dalam memecahkan masalah perilaku.

Penelitian keparawatan di indonesia tentang Pengaruh Rasional Emotif Behaviour

Therapy terhadap klien dengan perilaku kekerasan juga belum diketahui.

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk menerapkan Rational Emotive

Behaviour Therapy pada klien dengan perilaku kekerasan di ruang rawat inap

Rumah Sakit Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor.

Rumah sakit Marzoeki Mahdi merupakan rumah sakit yang terbesar dan tertua di

Indonesia, rumah sakit rujukan, memiliki kasus yang bervariasi dan cukup banyak

serta sangat terbuka akan pembaharuan. Rumah sakit ini memiliki 400 kapasitas

tempat tidur, dengan BOR sebesar 64,4%, TOI sebesar 47,96 hari dan LOS 86,7 hari

(Data tahun 2009). Berdasarkan data (2009) kasus skizoprenia yang ditemukan di

RSMM adalah 33,27% di rawat jalan, 36,99% di ruang gawat darurat dan 20,3%

yang di rawat inap. Adapun jumlah kasus yang terbanyak ditemukan pada klien yang

dirawat yaitu Halusinasi 26,24%, Defisit perawatan diri 19,15%, Isolasi sosial

16,31%, HDR 13% dan PK 10,64% dari masalah keperawatan klien yang dirawat di

RSMM Bogor (Data Aplikasi 2 & Residensi 2 Keperawatan Jiwa).

RSMM juga merupakan rumah sakit pendidikan. Sejak tahun 2000, RSMM bekerja

sama dengan Fakultas Ilmu Keperawatan UI mengembangkan ruang model praktik

keperawatan profesional, sehingga aplikasi dalam jangka panjang memungkinkan

untuk menjadi model pembelajaran. Mahasiswa yang berpraktek di RSMM

dibimbing dengan terstruktur oleh pihak rumah sakit dan dosen pembimbing dari

pendidikan. Mahasiswa yang praktek lapangan di RSMM mulai dari mahasiswa D3

sampai dengan mahasiswa S2 psikologi dan Spesialis keperawatan serta kedokteran.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 13: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

Hal ini memungkinkan bagi klien yang di rawat mendapatkan terapi-terapi yang

bervariasi dan berkelanjutan. Khusus untuk keperawatan di RSMM sudah diterapkan

terapi-terapi lanjutan disamping terapi standar atau generalis yang wajib diberikan,

baik untuk individu, kelompok maupun keluarga seperti CT, CBT, terapi musik,

terapi asertif dan psikotherapy untuk keluarga.

1.2 Rumusan Masalah

Perilaku kekerasan merupakan urutan 5 besar dari masalah keperawatan yang

ditemukan di RSMM. Adapun urutan jumlah kasus yaitu Halusinasi 26,24%, Defisit

perawatan diri 19,15%, Isolasi sosial 16,31%, HDR 13% dan PK 10,64% dari

masalah keperawatan klien yang dirawat di RSMM Bogor (Data Aplikasi 2 &

Residensi 2 Keperawatan Jiwa). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di

atas maka peneliti menyusun serangkaian rumusan masalah dalam penelitian ini,

yaitu:

1.2.1. Telah dilaksanakannya terapi generalis pada klien dengan perilaku

kekerasan sesuai dengan standar asuhan keperawatan kepada klien yang

dirawat di RSMM Bogor.

1.2.2. Telah dilaksanakannya terapi keperawatan yang lanjut seperti CBT,

Assertive Trainning dan Terapi Musik (psikotherapi) pada klien dengan

perilaku kekerasan namun belum diberikan pada semua klien yang dirawat

dan hanya diberikan pada saat mahasiswa S2 dan spesialis keperawatan

berpraktek di ruang rawat RSMM Bogor.

1.2.3. Rational Emotive Behaviour Therapy belum diterapkan pada klien dengan

perilaku kekerasan di RSMM Bogor.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 14: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

1.2.4. Belum diketahui sejauh mana Pengaruh Rational Emotive Behaviour

Therapy dalam menurunkan perilaku kekerasan yang meliputi respon

kognitif, emosi dan perilaku pada klien dengan perilaku kekerasan di

RSMM Bogor

Oleh karena itu, peneliti ingin menerapkan terapi yaitu Rational Emotive Behaviour

Therapy dalam mengatasi masalah perilaku kekerasan, adapun pertanyaan penelitian

yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah:

1.2.1. Apakah terapi generalis dan Rational Emotive Behaviour Therapy

berpengaruh terhadap penurunan perilaku kekerasan pada klien yang dirawat

di ruang rawat inap RSMM Bogor.

1.2.2. Apakah Rational Emotive Behaviour Therapy berpengaruh terhadap

penurunan perilaku kekerasan pada klien yang dirawat di ruang rawat inap

RSMM Bogor.

1.2.3. Apakah Rational Emotive Behaviour Therapy berpengaruh dalam

meningkatkan kemampuan klien mengontrol perilaku kekerasan yang

meliputi respon kognitif, emosi dan perilaku yang adaptif pada klien dengan

perilaku kekerasan di ruang rawat inap RSMM

1.2.4. Adakah faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perubahan perilaku pada

klien dengan perilaku kekerasan di ruang rawat inap RSMM Bogor.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang Pengaruh Rational

Emotive Behaviour Therapy terhadap penurunan perilaku kekerasan di ruang rawat

inap RSMM Bogor.

Tujuan Khusus

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 15: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah:

1.3.1. Diketahuinya karakteristik klien yang mengalami perilaku kekerasan di RS

Marzoeki Mahdi Bogor.

1.3.2. Diketahuinya kemampuan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan

sebelum dilakukan Rational Emotive Behaviour Therapy di ruang rawat

inap RSMM Bogor.

1.3.3. Diketahuinya kemampuan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan

sebelum dan setelah dilakukan Rational Emotive Behaviour Therapy pada

kelompok yang mendapatkan intervensi di ruang rawat inap RSMM Bogor.

1.3.4. Diketahuinya kemampuan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan

sebelum dan setelah dilakukan Rational Emotive Behaviour Therapy pada

kelompok yang tidak mendapatkan intervensi di ruang rawat inap RSMM

Bogor

1.3.5. Diketahuinya perbedaan perubahan kemampuan klien dalam mengontrol

perilaku kekerasan setelah dilakukan REBT pada kelompok yang mendapat

intervensi dan pada kelompok yang tidak mendapat intervensi di ruang

rawat inap RSMM Bogor

1.3.6. Diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan klien dalam

mengontrol perilaku kekerasan di ruang rawat inap RSMM Bogor

1.4 Manfaat Penelitian

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 16: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

1.4.1 Manfaat Aplikatif

1.4.1.1. Menambah kemampuan perawat spesialis dalam melakukan terapi-

terapi spesialis khususnya Rational Emotive Behaviour Therapy

sebagai suatu bentuk terapi individu.

1.4.1.2. Menambah wawasan, pengetahuan dan kemampuan akan terapi -

terapi spesialis untuk pendidikan lanjutan dan sertifikasi nantinya.

1.4.1.3. Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan jiwa pada klien dengan

perilaku kekerasan, khususnya asuhan keperawatan untuk spesialis.

1.4.2 Manfaat Keilmuan

1.4.2.1. Metode Rational Emotive Behaviour Therapy sebagai salah satu

terapi spesialis keperawatan jiwa bagi individu yang mengalami

perilaku kekerasan

1.4.2.2. Penelitian ini sebagai evidance based dalam mengembangkan

Rational Emotive Behaviour Therapy bagi keperawatan.

1.4.3 Manfaat Metodologi

1.4.3.1 Dapat menerapkan teori atau metode yang terbaik dalam

meningkatkan kemampuan klien yang mengalami masalah perilaku

kekerasan.

1.4.3.2 Hasil penelitian berguna sebagai data dasar bagi penelitian

selanjutnya untuk menurunkan perilaku kekerasan dengan

menggunakan desain penelitian lainnya.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 17: Makalah Ttg Retensi Urin

���

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Sebagai landasan dan rujukan dalam penelitian, akan dikemukakan beberapa konsep dan

teori serta hasil penelitian yang terkait dengan bidang penelitian ini. Adapun konsep dan

teori ini meliputi : konsep skizoprenia, konsep perilaku kekerasan, konsep Rational

Emotive Behaviour Therapy ( REBT) dan tehnik pelaksanaan Rational Emotive

Behaviour Therapy ( REBT).

2.1 Skizoprenia

Skizoprenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang biasanya diderita pada usia

remaja akhir atau dewasa awal, dikarakteristikkan dengan terjadinya distorsi

persepsi, pikiran, dan emosi yang tidak sesuai (WHO, 2001). Skizoprenia adalah

kombinasi dari gangguan pikir, gangguan persepsi, perilaku abnormal, gangguan

afektif dan ketidakmampuan dalam bersosialisasi (Fontaine, 2003 : 396). Ini berarti

bahwa induvidu mengalami kesulitan dalam berpikir jernih, mengenali realita,

menentukan perasaan, mengambil keputusan dan berhubungan dengan orang lain.

Menurut Videbeck (2008) skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi

otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku

yang aneh. Skizofrenia juga merupakan suatu gangguan psikotik yang kronik, sering

mereda, namun hilang timbul dengan manifestasi klinis yang amat luas variasinya

(Kaplan, 2000 : 407). Dengan demikian skizoprenia adalah suatu gangguan jiwa

berat yang bervariasi penyebabnya, terutama disebabkan oleh adanya gangguan pada

otak yang berpengaruh terhadap pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku

sehingga menimbulkan manifestasi klinis berupa ketidakmampuan dalam

menentukan perasaan, mengambil keputusan dan bersosialisasi dengan orang lain.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 18: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

2.1.1 Penyebab Skizoprenia

Skizoprenia bukanlah gangguan yang tunggal namun merupakan suatu

sindrom dengan banyak variasi dan banyak penyebab. Menurut Stuart dan

Laraia (2005) penyebab Skizoprenia terdiri atas biologis, psikologis, sosial

dan lingkungan.

2.1.1.1. Biologis

Bila dilihat penyebab skizoprenia dari segi biologis maka faktor-

faktor yang termasuk didalamnya adalah genetik, neurotransmiter,

neurobiologi, perkembangan saraf otak dan teori-teori virus.

Pengaruh faktor genetik terhadap skizoprenia belum teridentifikasi

secara spesifik namun pengaruh lokasi kromosom 6 pada gen

berkontribusi dan berhubungan dg kromosom 4, 8, 15, dan 22 untuk

terjadinya skizoprenia (Buchanan & Carpenter, 2000 dalam Stuart

& Laraia, 2005). Anak dengan orang tua yang salah satunya

mengalami skizoprenia mempunyai resiko 15% dan bila kedua

orang tua mengalami skizoprenia maka anak akan beresiko 35%

mengalami skizoprenia juga (Stuart & Laraia, 2005).

Pada individu dengan skizoprenia ditemukan bahwa korteks

prefrontal dan korteks limbik otak tidak berkembang dengan

sempurna. Biasanya ditemukan peningkatan volum otak, fungsi

yang abnormal dan neuro kimia yang menunjukkan perubahan pada

system neurotransmitter. Fokus pada korteks frontal

mengimplikasikan gejala negatif pada skizoprenia dan system

limbik (dalam lobus temporal) mengimplikasikan gejala positif

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 19: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

pada skizoprenia serta system neurotransmitter menghubungkan

kedua daerah tersebut terutama dopamine, serotonin dan glutamate

(Stuart & Laraia, 2005).

Berdasarkan teori virus yang disampaikan bahwa pada masa

kehamilan khususnya pada trimester kedua bila terpapar virus

influenza beresiko untuk terjadinya skizoprenia pada anak (Stuart &

Laraia, 2005).

2.1.1.2. Psikologis

Skizoprenia disebabkan karena keluarga dan perilaku individu itu

sendiri. Bila dilihat dari keluarga, ibu yang sering cemas, perhatian

yang berlebihan atau tidak ada perhatian, ayah yang jauh atau yang

memberikan perhatian berlebihan, konflik pernikahan, dan anak

yang didalam keluarga selalu dipersalahkan ( Stuart & Laraia,

2005), ini semua merupakan teori yang menggambarkan

komunikasi dalan bentuk pesan ganda sehingga individu yang

menerimanya beresiko untuk mengalami skizoprenia.

Menurut Boyd dan Nihart (1998) terjadinya perilaku agresif atau

perilaku kekerasan secara psikologis adalah dorongan naluri,

adanya gangguan atau hambatan dalam mencapai tujuan, stimulus

internal dan eksternal yang dirasa sebagai suatu yang berbahaya,

emosi yang negatif membawa pada perilaku yang irrasional dan

gaya interaksi yang memaksa.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 20: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

2.1.1.3 Sosial dan lingkungan

Menurut Townsend (2005), banyak hal yang telah dicoba untuk

dikaitkan dengan masalah gangguan jiwa seperti skizoprenia dan

salah satu faktornya adalah masalah status sosial. Status

sosioekonomi mengacu pada pendapatan, pendidikan dan pekerjaan

individu (Lipson et al, 1996 dalam Videbeck, 2008). Status

sosioekonomi yang rendah lebih banyak menimbulkan risiko

mengalami skizofrenia dibanding pada tingkat sosioekonomi tinggi

(Mila, 2009). Disamping sosial, budaya juga merupakan faktor yang

mempengaruhi perilaku agresif atau kekerasan. Kemiskinan, sosial

dan budaya yang tidak harmonis dapat menyebabkan skizoprenia.

Stressor sosiokultural, stress yang menumpuk dapat mendorong

terjadinya awitan skizoprenia dan gangguan psikotik lainnya

( Stuart & Sundeen, 1998).

Menurut teori keluarga, bagian fungsi keluarga yang berkaitan

dengan peran keluarga dalam munculnya skizofrenia adalah

keluarga yang sangat mengekspresikan emosi (High expressed

emotion) (Isaacs, 2005 dalam Wardhani, 2009). Keluarga dengan

ciri ini dianggap terlalu ikut campur secara emosional, kasar dan

penuh kritikan. Faktor lingkungan meliputi status ekonomi yang

rendah dan lingkungan yang penuh kekerasan (Wardhani, 2009).

2.1.2 Gejala Skizoprenia

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 21: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

Banyak gejala yang terlihat pada klien dengan skizoprenia namun tidak

semua orang yang mengalami menunjukkan gejala yang sama. Tanda dan

gejala dari skizoprenia dibagi dalam empat dimensi utama yaitu gejala

positif, gejala negatif, gejala kognitif dan gejala depresi dan perubahan mood

lainnya. Dimensi-dimensi dari skizoprenia ini memiliki mekanisme dasar

yang berbeda dan menunjukan pola respon yang berbeda untuk tindakan

yang sesuai (Eli Lilly dalam Stuart & Laraia, 2005; Tandon et.al, 2003 dalam

Varcarolis, 2006).

2.1.2.1. Gejala Positif terdiri atas halusinasi, delusi, bicara yang tidak

terorganisasi dan perilaku yang aneh.

2.1.2.2. Gejala Negatif terdiri atas afek tumpul, ketidakmampuan dalam

berpikir, kehilangan motivasi, ketidakmampuan dalam mengalami

perasaan senang dan kegembiraan

2.1.2.3. Gejala Kognitif terdiri atas kurang perhatian, mudah terdistraksi,

gangguan memori, ketidakmampuan dalam memecahkan masalah,

ketidakmampuan dalam mengambil keputusan, dan tidak logis.

2.1.2.4. Gejala Depresi dan Perubahan Mood terdiri atas dysphoria,

keinginan bunuh diri dan ketidakberdayaan.

Dari semua dimensi yang dijelaskan diatas menyebabkan individu

mengalami perubahan dalam kemampuan kerja, berhubungan dengan orang

lain, merawat diri, fungsi sosial dan pada akhirnya terlihat pada kualitas

hidup (Quality of Life) yang menurun.

2.1.3 Tipe Skizoprenia

Berdasarkan DSM-IV-TR (APA, 2000) tipe dari skizoprenia terdiri atas :

2.1.3.1 Skizoprenia Paranoid

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 22: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

Skizofrenia Paranoid adalah jenis penyakit jiwa yang paling umum.

Gambaran klinisnya relatif stabil, sering ditemukan adanya rasa

curiga, delusi, pada umumnya ditemani oleh halusinasi terutama

halusinasi pendengaran, gangguan persepsi , gangguan afek,

gangguan pada keinginan/minat, suara dan gejala katatonik tidaklah

menonjol (ICD 10 WHO, 1992). Gambaran utamanya adalah asyik

dengan satu atau beberapa delusi atau halusinasi pendengaran yang

sering ( DSM-IV-TR dalam Stuart & Laraia, 2005).

2.1.3.2 Skizoprenia Disorganisasi

Individu mengalami proses pikir yang tidak terorganisasi, perilaku

yang tidak terorganisasi serta mempunyai afek yang datar atau tidak

sesuai. Semua gejala ini menonjol seperti tidak teorganisasi dalam

bicara dan berperilaku (DSM-IV-TR dalam Stuart & Laraia, 2005).

2.1.3.3 Skizoprenia katatonik

Gangguan psikomotor yang menonjol adalah gambaran yang penting

dan dominan dan dapat bergantian dengan yang ekstrim seperti

hiperkinesis dan pingsan, ketaatan yang otomatis dan negatif, sikap

dan postur kaku dalam waktu yang lama, episode kekerasan dapat

menggambarkan kondisi, karena alasan yang kurang dipahami

penyakit jiwa katatonik ini sekarang jarang ditemukan di Negara

industry (ICD 10 WHO, 1992).

2.1.3.4 Skizoprenia Terdiferensiasi

Gejala yang ditemukan sama dengan gejala pada kondisi umum dari

skizoprenia tetapi kriteria untuk tipe yang lainnya tidak ditemukan

(DSM-IV-TR dalam Stuart & Laraia, 2005).

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 23: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

2.1.3.4 Skizoprenia Residual

Skizoprenia residual dapat terjadi pada individu dengan skizoprenia

jangka panjang. Kriteria untuk skizoprenia tidak ditemukan dan

begitu juga dengan kriteria pada sub tipe lainnya. Ini semua adalah

kelanjutan dari gangguan awal yang di indikasikan oleh gejala

negatif, atau adanya pengurangan dari dua atau lebih gejala umum

skizoprenia (DSM-IV-TR dalam Stuart & Laraia, 2005). Pada

skizoprenia ini seseorang tidak lagi menunjukkan gejala positif

(halusinasi, delusi, bicara tidak teratur, dan perilaku yang tidak

teratur atau perilaku katatonik), namun masih menunjukkan gejala

negatif yang mencakup; afek datar, kurang merasakan kesenangan

dalam hidup, hilangnya kemampuan untuk melaksanakan kegiatan

yang telah direncanakan, kurang berinteraksi dengan orang lain dan

tidak dapat merawat diri sehingga membutuhkan bantuan untuk

aktivitas seharia-hari.

Perbedaan tipe dari skizoprenia adalah berdasarkan pengalaman terhadap

gejala-gejala yang dialami oleh individu. Selama gejala-gejala yang dialami

individu berubah-rubah maka tipe skizoprenia dari individu dapat lebih dari

satu tipe. Menurut Keliat (2003), perilaku kekerasan lebih sering terjadi pada

skizoprenia paranoid dengan jumlah responden sebanyak 57 orang (76%) dan

18 responden (24%) dengan skizoprenia yang lainnya. Berdasarkan survey

yang dilakukan Sulastri (2008) terhadap18 klien perilaku kekerasan,

ditemukan 80 % (14 orang) dengan diagnosa skizoprenia paranoid sedangkan

sisanya termasuk skizoprenia jenis lainnya. Jadi dapat diketahui bahwa

skizoprenia paranoid adalah tipe skizoprenia yang paling sering mengalami

perilaku kekerasan.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 24: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

2.1.4 Terapi Psikofarmaka

Perawat penting memahami gejala skizofrenia karena tidak semua pasien

mempunyai gejala yang sama. Perbedaan gejala yang dialami pasien menjadi

dasar penetapan diagnosa keperawatan. Skizofrenia dapat diawali dengan atau

tanpa fase prodormal (early psikosis). Gejala yang tampak pada fase ini adalah

gangguan pola tidur, gangguan napsu makan, perubahan perilaku, afek datar,

pembicaraan yang sulit dimengerti, berfikir tidak realistik, dan perubahan

dalam penampilan. Jika gejala ini muncul dan langsung mendapatkan terapi

maka skizofrenia dapat dihindari. Namun pada beberapa pasien, mereka tidak

menyadari atau tidak mengalami fase ini sehingga tidak mendapatkan

penangganan awal dan berakhir pada skizofrenia. Pengobatan skizofrenia

lebih efektif bila dimulai sedini mungkin saat gejala mulai muncul (World

Federation for Mental Health, 2008).

Tatalaksana pengobatan Skizoprenia mengacu pada penatalaksanaan

Skizoprenia secara umum yaitu:

2.1.4.1. Anti Psikotik

Obat-obat antipsikotik efektif mencegah menyebaran keadaan

akut dan mencegah relaps. Terdapat dua macam obat antipsikotik

yaitu antipsikotik tradisional (tipikal) dan antipsikotik atipikal.

Jenis antipsikotik atipikal merupakan generasi baru antipsikotik.

Atipikal antipsikosis tidak hanya mengatasi gejala skizoprenia

tapi juga meningkatkan kualitas hidup. Obat ini merupakan

pilihan pertama karena memiliki karakteristik : efek

ekstrapiramidal minimal, mengatasi gejala positif sebaik

mengatasi gejala negatif dan meningkatkan neurokognitif

(Varcarolis, et. Al. , 2006)

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 25: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

Obat yang termasuk atipikal antipsikosis yaitu clozapine,

risperidone, olanzapine dan quetiapine. Target kerja kelompok

atipikal mengatasi baik gejala positif maupun negatif. Golongan

atipikal mempunyai efek samping lebih ringan dari golongan

tipikal dan walaupun muncul gejala efek samping, biasanya

pasien masih bisa mentoleransinya. Selain itu kelompok atipikal

juga bisa mengatasi gejala cemas dan depresi, menurunkan

kecenderungan perilaku bunuh diri dan memperbaiki fungsi

neurokognitif (Varcarolis 2006 dalam wardhani, 2009).

Sedangkan yang termasuk jenis antipsikotik tipikal yaitu : antara

lain haloperidol, tiflourorazine, chlorpromazine (CPZ) dan

loxapine(Varcarolis, et. al, 2006). Target kerja kelompok tipikal

adalah mengatasi gejala positif,. Golongan tipikal mempunyai

efek samping lebih dari golongan atipikal (Kuo, 2004 dalam

Varcarolis 2006).

Efek samping obat antipsikotik dikelompokkan menjadi dua yaitu

efek samping neurologis dan non neurologis. Efek samping

neurologis meliputi gejala ekstrapiramidal (reaksi distonia akut,

akatisia, dan Parkinson), kejang dan sindrom maligna neuroleptik.

Efek samping non neorologis mencakup sedasi, fotosensitivitas,

dan gejala antikolinergik (mulut kering, pandangan kabur,

kontsipasi, retensi urin, dan hipotensi ortostatik)

(Videbeck,2008dalam wardhani, 2009).

2.1.4.2. Anti Manik

Skizoprenia disertai dengan gejala akut perilaku kekerasan diatasi

dengan pemberian antimanik seperti lithium (Varcarolis, Carson

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 26: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

& Shoemaker, 2006). Lithium membantu menekan episode

kekerasan pada skizoprenia.

2.1.4.3. Obat pencegahan efek ekstrapiramidal

Pemberian antipsikotik mempunyai efek sindrom ekstrapiramidal

yaitu mulut kering, parkison, reaksi distonik. Jenis obat

pencegahan sindrom ekstrapiramidal yaitu trihexyphenidil (THP),

biperidin dan diphenhidramine hydrochloride (Varcarolis, Carson

& Shoemaker, 2006). Trihexyphenidil (Artane) dosis yang

digunakan : 1 – 15 mg/hari dan difehidamin dosis yang diberikan

10 – 400 mg/hari untuk semua bentuk parkinsonisme, dan untuk

menghilangkan reaksi ekstrapiramidal akibat obat (Kaplan &

Sadock, 1998).

2.2 Perilaku Kekerasan

Perilaku kekerasan pada pasien gangguan jiwa merupakan situasi kegawatan

psikiatri yang memerlukan penanganan yang cepat agar tidak membahayakan

pasien, orang lain termasuk petugas kesehatan, dan lingkungannya.

2.2.1 Definisi

Perilaku Kekerasan/Agresifitas adalah perilaku yang bertujuan untuk melukai

seseorang secara fisik atau psikologis (Berowitz dalam Soetjiningsih,

2004).WHO (1999) mengemukakan bahwa kekerasan adalah penggunaan

kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan untuk diri sendiri,

perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang kemungkinan besar

mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 27: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

perkembangan atau perampasan hak. Perilaku kekerasan adalah tindakan

menciderai orang lain, diri sendiri, merusak harta benda (lingkungan), dan

ancaman secara verbal (Keliat, 2003). Perilaku agresif adalah suatu fenomena

komplek yang dapat terjadi pada klien dengan skizoprenia, gangguan mood,

gangguan kepribadian borderline, gangguan perilaku dan ketergantungan

obat (Fontaine, 2003). Dari semua pernyataan diatas maka perilaku

kekerasan atau agresifitas dapat didefinisikan sebagai perilaku melukai diri

sendiri, orang lain/sekelompok orang dan lingkungan, baik secara verbal,

fisik, dan psikologis yang akan mengakibatkan trauma, perampasan hak,

kerugian psikologis dan bahkan kematian.

2.2.2 Proses Terjadi Perilaku kekerasan

Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon maladaptif dari marah.

Marah adalah reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi

yang merangsang, termasuk ancaman, agresi lahiriah, pengekarangan diri,

serangan lisan, kekecewaan atau frustrasi (Chaplin, 2002 dalam Triantoro,

2009). Dyer menyatakan marah sebagai suatu reaksi terhadap frustrasi yang

teralih dimana seseorang berbuat dengan cara-cara yang sesungguhnya ia

tidak menginginkannya. Seseorang yang sangat marah tidak dapat

mengendalikan perbuatannya. Orang yang tidak dapat mengontrol

perbuatannya adalah orang yang menderita gangguan kejiwaan (Purwanto &

Mulyono, 2006). Perilaku kekerasan adalah akibat dari kemarahan yang

ekstrim atau kecemasan (panik). Alasan spesifik dari perilaku agresif

berbeda-beda untuk setiap orang (Stuart & Laraia, 2005).

Model Stress Adaptasi Stuart dari keperawatan jiwa memandang perilaku

manusia dalam perspektif yang holistik terdiri atas biologis, psikologis dan

sosiokultural, dan aspek- aspek tersebut saling berintegrasi dalam perawatan.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 28: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

Komponen biospikososial dari model tersebut termasuk dalam faktor

predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan

mekanisme koping (Stuart & Laraia, 2005).

2.2.2.1 Faktor Biologi

Faktor biologis secara alami dapat menjadi salah satu faktor

penyebab (predisposisi) atau menjadi faktor pencetus (presipitasi)

terjadinya perilaku kekerasan pada individu. Faktor predisposisi

yang berasal dari biologis dapat dilihat sebagai suatu keadaan atau

faktor resiko yang dapat mempengaruhi peran manusia dalam

menghadapi stressor. Adapun yang termasuk dalam faktor biologis

ini adalah struktur otak. Struktur otak yang berhubungan dengan

perilaku agresif adalah system limbik, lobus frontal, dan

hypothalamus. Ketidakseimbangan neurotransmitter juga

mendorong munculnya perilaku kekerasan (Niehoff, 2002;

Hoptman , 2003 dalam Stuart & Laraia, 2005).

Sistem limbik berkaitan dengan mediasi dorongan dasar (basic

drive) dan ekspresi emosi serta tingkah laku manusia seperti:

makan, agresi dan respon sexual, termasuk proses informasi dan

memori. Sintesa informasi ke dan dari area lain di otak

mempengaruhi emosi dan perilaku. Perubahan dalam system limbic

berakibat pada peningkatan atau penurunan perilaku agresif, amuk

dan takut (Vacarolis, 2003).

Lobus frontal berperan penting dalam mediasi tingkah laku yang

berarti dan pikiran yang rasional. Lobus ini merupakan bagian

dimana pikiran dan emosi berinteraksi. Kerusakan pada lobus frontal

berakibat gangguan pertimbangan, perubahan kepribadian, masalah

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 29: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

pengambilan keputusan, ketidaksesuaian dalam berhubungan dan

luapan agresif.

Hipotalamus juga berperan dalam mempengaruhi terjadinya perilaku

agresif /kekerasan, dimana kondisi stress akan meningkatkan level

hormon steroid, yang disekresi kelenjar adrenal. Reseptor saraf

untuk hormon ini menjadi kurang sensitif dalam mengkompensasi,

sehingga hipotalamus yang berada pada dasar otak dan berfungsi

sebagai system alarm otak merangsang kelenjar pituitary untuk

menghasilkan lebih banyak steroid. Setelah stimulasi berulang

system berespon lebih kuat terhadap provokasi. Respon inilah yang

menyebabkan stress traumatik pada anak bersifat permanen sehingga

beresiko memiliki perilaku kekerasan. Lobus temporal dari otak

terbagi beberapa struktur dengan sistem limbik. Memori adalah

integrasi dari pikiran, memori sebelumnya adalah penting untuk

penilaian kognitif dalam menghadapi stimulus baru, lobus ini dapat

meningkatkan perilaku agresif (Vacarolis, 2003).

Neurotransmitter di otak meningkat/menurun dapat mempengaruhi

perilaku. Gangguan keseimbangannya akan merangsang atau

menghambat perilaku agresif. Lesch dan Mersdorf (2000)

menyebutkan bahwa perilaku agresif dipengaruhi oleh gen

serotonergik (Kneisl; Wilson & Trigoboff, 2004). Rendahnya

neurotransmitter serotonin meningkatkan irritabilitas,

hipersensitivitas terhadap provokasi, dan perilaku amuk. Individu

dengan impulsive, bunuh diri, dan membunuh, mempunyai lebih

rendah serotonin daripada level 5-HIAA.

Penelitian ini telah menunjukkan adanya hubungan antara agresif

impulsive dengan rendahnya level neurotransmitter serotonin. Suatu

gangguan genetik pada fungsi serotonin merupakan predisposisi

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 30: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

terjadinya perilaku agresif impulsif (Kavoussi. et al., dalam

Vacarolis, 2003). Neurotransmitter lain yang berkaitan dengan

perilaku agresif adalah dopamine, norepinephrine, dan acetylcholine

serta asam amino Gamma-aminobutyric acid (GABA). Korteks

prefrontal juga berperan penting dalam menghambat perilaku agresif.

Area spesifik pada korteks prefrontal adalah region orbitofrontal.

Stimulasi pada area ini mencegah marah dan agresif. Lesi pada area

ini menyebabkan perilaku impulsif (Stuart & Laraia, 2005).

Karakteristik biologis lain yang berhubungan dengan perilaku

kekerasan adalah riwayat penggunaan obat NAPZA dan frekuensi di

rawat. Penggunaan NAPZA akan mempengaruhi fungsi otak,

mempengaruhi terapi dan perawatan yang diberikan (Dyah, 2009).

Frekuensi dirawat menunjukkan seberapa sering individu dengan

perilaku kekerasan mengalami ke kambuhan. Perilaku kekerasan

pada skizoprenia sering terjadi karena penyakit yang tidak terkontrol,

putus obat, kecemasan karena kegagalan dalam mengerjakan sesuatu

atau situasi yang menciptakan perilaku kekerasan (Stuart & Laraia,

2005).

Stressor presipitasi adalah stimuli yang diterima individu sebagai

tantangan, ancaman atau tuntutan. Stressor presipitasi perilaku

kekerasan dari faktor biologi dapat disebabkan oleh gangguan

feedback di otak dalam proses informasi. Stimuli penglihatan dan

pendengaran pada awalnya di saring oleh hipotalamus dan dikirim

untuk diproses oleh lobus frontal dan bila informasi yang sampaikan

terlalu banyak maka akan di kirim ke ganglia basal dan di ingatkan

lagi hipotalamus untuk memperlambat transmisi ke lobus frontal.

Penurunan fungsi dari lobus frontal menyebabkan gangguan pada

proses feedback dalam penyampaian informasi (Stuart & Laraia,

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 31: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

2005). Proses elektrik yang melibatkan elektolit juga mempengaruhi,

penurunan proses ini ditunjukkan dengan ketidakmampuan individu

dalam memilih stimuli (Perry et al., 1999 dalam vacarolis, 2003).

Faktor biologis lainnya yang merupakan predisposisi dapat menjadi

presipitasi dengan memperhatikan asal stressor, baik internal atau

lingkungan eksternal individu. Waktu dan frekuensi terjadinya

stressor perilaku kekerasan penting untuk dikaji (Stuart & Laraia,

2005).

2.2.2.2 Faktor Psikologis

Faktor psikologis merupakan salah satu predisposisi atau presipitasi

dalam proses terjadinya perilaku agresif/kekerasan. Menurut Stuart

dan Laraia (2005) yang termasuk dalam faktor psikologis

diantaranya kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, dan

pertahanan psikologi. Suatu pandangan psikologi tentang perilaku

agresif menyatakan bahwa pentingnya faktor perkembangan atau

pengalaman hidup dalam membatasi kemampuan individu untuk

memilih koping mekanisme yang bukan perilaku kekerasan. Teori

pembelajaran sosial mengemukakan bahwa perilaku agresif

dipelajari melalui proses sosialisasi sebagai hasil dari pembelajaran

internal dan eksternal. Pembelajaran internal terjadi selama individu

mendapat reinforcement ketika melakukan perilaku agresif.

Pembelajaran eksternal terjadi selama observasi model peran seperti

peran sebagai orang tua, kelompok, saudara, olah raga dan figure

dari entertainmen (Stuart & Laraia, 2005).

Faktor perkembangan atau pengalaman hidup yang membatasi

mekanisme koping nonviolence menurut Stuart dan Laraia (2009)

sebagai berikut :

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 32: Makalah Ttg Retensi Urin

Universitas Indonesia

2.2.2.2.1. Gangguan otak organik, mental retardasi,

ketidakmampuan belajar yang mengganggu kapasitas

bertindak secara efektif terhadap frustasi

2.2.2.2.1. Deprivasi emosional yang berat atau penolakan terhadap

anak, orang tua penggoda berkontribusi pada kurang rasa

percaya dan harga diri

2.2.2.2.1. Mengalami kekerasan, korban child abuse atau sering

melihat kekerasan dalam keluarga dapat menanamkan pola

penggunaan kekerasaan sebagai cara menyelesaikan

masalah. Menurut Kneisl; Wilson & Trigoboff, (2004)

Perilaku agresif dipelajari dari: menjadi saksi tindak

kekerasan, menonton perilaku kekerasan pada anak-anak

dari media, seperti: TV, film, musik, video games. The

American Academy of Pediatrics (2001) paparan media

yang menampilkan kekerasan mempunyai pengaruh

bermakna pada kesehatan anak-anak & remaja. Media

kekerasan berkontribusi pada perilaku agresif dan

desensitisasi untuk kekerasan. COC (2001) menjadi saksi

tindak kekerasan berakibat pada perkembangan anak-anak.

Menurut Boyd dan Nihart (1998) terjadinya perilaku agresif atau

perilaku kekerasan secara psikologis adalah dorongan naluri, adanya

gangguan atau hambatan dalam mencapai tujuan, stimulus internal

dan eksternal yang dirasa sebagai suatu yang berbahaya, emosi

negatif yang membawa pada perilaku irrasional dan gaya interaksi

yang memaksa. Faktor psikologis lain dapat berupa kegagalan,

kegagalan dapat berakibat frustrasi (Stuart & Laraia, 2005).

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 33: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

Kegagalan sering diartikan oleh individu dengan ketidakmampuan,

respon yang muncul pada saat individu mengalami kegagalan dapat

berupa penyalahan terhadap diri sendiri, atau orang lain yang

ditunjukkan dengan perilaku kekerasan (Dyah, 2009).

Stresor dari faktor psikologis ini dapat menjadi pencetus (presipitasi)

yaitu apabila stimulus merubah atau menekan sehingga memunculkan

gejala saat ini. Selanjutnya perlu dikaji asal stressor psikologis itu

apakah dari internal individu ataupun lingkungan ekternalnya, waktu

terjadinya stressor dan jumlah stressor psikologis yang terjadi dalam

suatu waktu (Stuart & Laraia, 2005). Dengan demikian faktor

psikologis ini bisa menjadi penyebab sekaligus pencetus terjadinya

masalah perilaku kekerasan.

2.2.2.3 Sosial Budaya dan Spiritual

Faktor sosial, budaya juga merupakan faktor predisposisi terjadinya

perilaku kekerasan pada individu. Karakteristik yang termasuk pada

sosial budaya seperti: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,

peran sosial, latar belakang budaya, agama dan kayakinan individu

(Stuart & Laraia, 2005), riwayat perilaku kekerasan di masa lalu

(American Psychiatric Assosiations, 2000; steinert, Wiebe, &

Gebhardt, 1999 dalam Fauziah, 2009). Sedangkan pendapat ahli

lainya menyatakan faktor sosial adalah aspek yang dimiliki individu

yang terdiri dari konsep diri, hubungan interpersonal, peran budaya

lingkungan dan keluarga sehingga dapat menjalankan fungsinya

dalam masyarakat (Wiliam Rawlin & Beck, 1993).

Berdasarkan pendapat diatas disampaikan bahwa jenis kelamin

merupakan salah satu karakteristik sosial budaya. Jenis kelamin

adalah ciri fisik, karakter dan sifat yang berbeda. Laki-laki lebih

sering melakukan perilaku agresif (Stuart & Laraia, 2005).

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 34: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

Berdasarkan hasil penelitian dinyatakan bahwa karakteristik jenis

kelamin berhubungan dengan kejadian perilaku kekerasan verbal (p

value 0,001) dan klien laki-laki dua kali lipat lebih banyak dari klien

perempuan, serta usia yang paling banyak 30 tahun ke bawah (Keliat,

2003).

Namun berdasarkan penelitian Kelliat dkk, (2008) pada penelitian

karakteristik klien yang dirawat di bangsal MPKP menyebutkan ada

63,9% berjenis kelamin laki-laki, 82,5% terdapat pada golongan

umur dewasa yaitu umur 33 tahun sampai 55 tahun. Selain itu

penelitian yang dilakukan Keliat (2003) menyebutkan karakeristik

pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan mempengaruhi dalam

kejadian perilaku kekerasan, dimana sebahagian besar berpendidikan

menengah dan rendah, tidak bekerja, tidak kawin dan dirawat untuk

pertama kali di rumah sakit.

Faktor sosiokultural lainya adalah norma budaya yang dapat

membantu mengartikan makna ekspresi marah dan dapat mendorong

untuk mengekspresikan marah secara asertif sehingga membantu

menjaga kesehatan diri. Hukuman diterapkan terhadap perilaku

kekerasan melalui norma hukum atau adanya kontrol sosial. Norma

yang mereinforcement perilaku kekerasan akan berakibat ekspresi

marah dengan cara destruktif. Kondisi sosial lain yang dapat

menimbulkan perilaku kekerasan seperti : kemiskinan dan

ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup, masalah perkawinan,

keluarga single parent, pengangguran, kesulitan mempertahankan tali

persaudaraan, struktur keluarga, dan kontrol sosial ( Stuart & Laraia,

2005).

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 35: Makalah Ttg Retensi Urin

Universitas Indonesia

Kepercayaan (spiritual), nilai dan moral mempengaruhi ungkapan

marah individu (Kelliat & Sinaga, 1991). Keyakinan akan membantu

individu dalam memilih ekspresi kemarahan yang diperbolehkan.

Aspek spiritual adalah komponen kehidupan individu yang terkait

dengan falsafah hidup, nilai, keyakinan dan religi (Rawlins, et. Al,

1993 dalam keliat, 2003). Secara umum seseorang menuntut

kebutuhannya dari orang lain atau lingkungan sehingga timbul

frustrasi apabila tidak terpenuhi dan selanjutnya timbul marah

sehingga mempengaruhi kualitas spiritual seseorang.

Stresor dari faktor sosiokultural ini dapat juga menjadi presipitasi

yaitu apabila stimulus merubah atau menekan sehingga memunculkan

gejala saat ini. Selanjutnya perlu dikaji asal stressor sosiokultural,

waktu terjadinya stressor dan jumlah stressor psikologis yang terjadi

dalam suatu waktu (Stuart & Laraia, 2005). Dengan demikian banyak

sekali stresor sosiokultural yang dapat mempengaruhi dan menjadi

penyebab ataupun pencetus perilaku kekerasan.

2.2.3 Tanda dan Gejala Perilaku Kekerasan

Gejala-gejala yang terlihat pada klien dengan skizoprenia tidak dialami oleh

semua orang yang didiagnosa engan skizoprenia. Pada klien dengan perilaku

kekerasan terlihat adanya gejala positif dari empat dimensi utama gejala

skizoprenia. Ketika Individu mendapatkan stressor dalam faktor predisposisi

maupun presipitasi yang berasal dari biologis, psikologis maupun

sosiokultural akan berlanjut pada proses penilaian terhadap stressor tersebut.

Penilaian stresor adalah proses dari situasi stres yang komprehensif yang

berada pada beberapa tingkatan. Secara spesifik proses ini melibatkan respon

kognitif, respon afektif, respon fisiologis, respon perilaku dan respon sosial

(Stuart & Laraia, 2009).

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 36: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

2.2.3.1 Respon Kognitif

Bentuk yang berbeda dari agresi dapat dihubungkan dan

berhubungan dengan psikologis seperti permusuhan, kemarahan, dan

keyakinan yang irrasional. Hubungan pemikiran dan emosi ini

berperan penting dalam menerjemahkan marah menjadi perilaku

agresif (Cristopher, 2010). Pada individu dengan perilaku agresif

atau perilaku kekerasan berpikir secara irrasional akan tercermin dari

kata-kata yang digunakan. Kata-kata yang tidak logis menunjukkan

cara berpikir yang salah dan kata-kata yang tepat menunjukkan cara

berpikir yang tepat. Perasaan dan pikiran negatif serta penolakan diri

harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang

dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara

verbalisasi yang rasional (Faizmh, 2009).

Sebagian besar pengalaman hidup seseorang melalui proses

intelektual. Peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi pada

lingkungan, selanjutnya di olah dalam proses intelektual sebagai

suatu pengalaman. Oleh karena itu perlu diperhatikan cara seseorang

marah, mengidentifikasi keadaan yang menyebabkan marah,

bagaimana informasi dip roses, diklarifikasikan dan di integrasikan.

Sedangkan menurut Boyd dan Nihart (1998) tanda dan gejala

perilaku kekerasan dapat diketahui secara kognitif yaitu akan

ditemukan tekanan atau gangguan pada pikiran.

2.2.3.2 Respon Afektif (Emosi)

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 37: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

Marah sebagai suatu emosi yang mempunyai ciri-ciri aktivitas saraf

simpatetik yang tinggi (Davidoff, 1991 dalam Triantoro, 2009).

Bagaimanapun pengalaman emosional dari marah tidak selalu

mengarah pada respon antagonis (Averil, 1983 dalam Christopher,

2010). Kekerasan adalah merupakan salah satu dari respon afektif

(emosi) marah yang maladaptif. Seseorang yang marah merasa tidak

nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel, merasa ingin berkelahi,

mengamuk, bermusuhan, sakit hati, menyalahkan, menuntut, mudah

tersinggung, euporia yang berlebihan atau tidak tepat, dan afek labil

(Stuart & Laraia, 2009). Sedangkan menurut Boyd dan Nihart (1998)

tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat diketahui secara afektif

yaitu akan ditemukan iritabilitas, depresi, marah, kecemasan, dan

apati.

2.2.3.3 Respon Fisiologis

Menurut Beck respons fisiologis marah timbul karena kegiatan

system syaraf otomom bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga

tekanan darah meningkat, frekuensi denyut jantung meningkat,

wajah merah, pupil melebar, dan frekuensi pengeluaran urin

meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti

meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot seperti tangan di kepal,

tubuh kaku dan reflek yang cepat, hal ini disebabkan karena energy

yang dikeluarkan saat marah bertambah (Purwanto, 2006 dalam

Triantoro, 2009).

Tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat diketahui secara fisiologi

yaitu akan ditemukan gangguan tidur, sakit kepala, sakit perut dan

peningkatan tekanan darah (Boyd & Nihart 1998). Menurut Stuart

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 38: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

dan Laraia (2009), Perilaku kekerasan dapat dilihat dari wajah

tegang, tidak bisa diam, mengepalkan atau memukulkan tangan,

rahang mengencang, peningkatan pernafasan, dan kadang tiba-tiba

seperti kataton.

2.2.3.4 Respon Perilaku

Respon perilaku menarik perhatian dan timbulnya konflik pada diri

sendiri perlu di kaji, seperti melarikan diri, bolos bekerja atau

penyimpangan seksual (Purwanto, 2006 dalam Triantoro, 2009).

Marah selalu dihubungkan dengan perilaku agresif dan bentuk

perilaku kekerasan lainnya. Perilaku agresif tidak selalu terjadi

dalam pengalaman marah. Bentuk yang berbeda dari agresi dapat

dihubungkan dan berhubungan dengan psikologis seperti

permusuhan, kemarahan, dan keyakinan yang irrasional (Averil,

1983 dalam Christopher, 2010). Menurut Boyd dan Nihart (1998)

tanda dan gejala perilaku kekerasan secara perilaku akan ditemukan

penurunan interaksi sosial.

Menurut Morison (1993, dalam Keliat, 2003) perilaku kekerasan

terdiri dari perilaku kekerasan pada orang lain berupa serangan fisik,

memukul, melukai; perilaku kekerasan pada diri sendiri berupa

ancaman melukai, melukai diri; perilaku kekerasan pada lingkungan

berupa merusak perabotan rumah tangga, merusak harta benda,

membanting pintu; perilaku kekerasan verbal berupa kata-kata kasar,

nada suara tinggi dan permusuhan.

2.2.3.5 Respon Sosial

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 39: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

Menurut Beck, emosi marah sering merangsang kemarahan orang

lain. Sebagian orang menyalurkan kemarahan dengan menilai dan

mengkritik tingkah laku orang lain sehingga orang lain merasa sakit

hati. Proses tersebut dapat menyebabkan seseorang menarik diri dari

orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan seseorang memerlukan

saling berhubungan dengan orang lain. Pengalaman marah dapat

mengganggu hubungan interpersonal. Cara seseorang

mengungkapkan marah, merefleksikan latar belakang budayanya

(Purwanto, 2006 dalam Triantoro, 2009). Keyakinan, nilai dan moral

mempengaruhi ungkapan marah seseorang. Aspek ini dapat

mempengaruhi hubungan seseorang dengan lingkungan. Hal yang

bertentangan dengan norma dapat menimbulkan kemarahan dan

dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak berdosa (Purwanto,

2006 dalam Triantoro, 2009). Menurut Boyd dan Nihart (1998) tanda

dan gejala perilaku kekerasan secara sosial akan ditemukan

penurunan interaksi sosial.

Tanda dan gejala perilaku kekerasan lainnya menurut Stuart dan

Laraia (2009) adalah verbalisasi yaitu menggunakan ancaman verbal

secara langsung atau dengan membayangkan hal yang membuat klien

marah, perhatian mudah beralih, bicara keras dan tinggi serta riwayat

delusi atau pikiran paranoid dan tingkat kesadaran yaitu

kebingungan, terjadinya perubahan status mental, disorientasi,

ganguan daya ingat dan tidak mau diarahkan.

Dengan menemukan dan melihat adanya tanda dan gejala yang

ditunjukkan oleh klien perilaku kekerasan melalui respon kognitif,

afektif, fisiologis, perilaku dan sosialnya maka tingkatan perilaku

kekerasan yang dialami klien dapat diukur dengan berpedoman

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 40: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

kepada lima respon yang ditunjukkan tersebut. Dengan demikian

instrument penelitian yang dibuat harus dapat mengukur respon-

respon yang ditunjukkan oleh klien sehingga dapat ditentukan tingkat

perilaku kekerasan yang dialami.

2.2.4 Rentang Respon Kemarahan

Perilaku Kekerasan merupakan respon kemarahan. Respon kemarahan dapat

berfluktuasi dalam rentang adaptif sampai maladaptif (Keliat & Sinaga,

1991). Rentang respon marah menurut Stuart dan Sundeen (1995) dijelaskan

dalam skema 2.1 dimana agresif dan amuk (perilaku kekerasan) berada pada

rentang respon yang maladaptif.

Skema 2.1 Rentang Respon Marah Menurut Stuart dan Sundeen ( 1995)

2.2.4.1 Asertif

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Frustrasi Amuk Agresif

Pasif Asertif

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 41: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

Perilaku asertif adalah menyampaikan suatu perasaan diri dengan

pasti dan merupakan komunikasi untuk menghormati orang lain.

Individu yang asertif berbicara dengan jujur dan jelas. Mereka dapat

melihat norma dari individu lainnya dengan tepat sesuai dengan

situasi. Pada saat berbicara kontak mata langsung tapi tidak

mengganggu, intonasi suara dalam berbicara tidak mengancam.

Individu yang asertif dapat menolak permintaan yang tidak beralasan

dan menyampaikan rasionalnya kepada orang lain dan sebaliknya

individu juga dapat menerima dan tidak merasa bersalah bila

permintaannya di tolak orang lain ( Stuart & Laraia, 2005).

2.2.4.2 Pasif

Individu yang pasif sering mengenyampingkan haknya dari

tersepsinya terhadap hak orang lain. Ketika seseorang yang pasif

marah maka dia akan berusaha menutupi kemarahannya sehingga

meningkatan tekanan pada dirinya. Pola interaksi seperti ini dapat

menyebabkan gangguan perkembangan (Stuart & Laraia, 2005).

2.2.4.3 Frustrasi

Frustrasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan

yang kurang realistis atau hambatan dalam mencapai tujuan (Stuart

& Sundeen, 2005). Frustrasi adalah kegagalan individu dalam

mencapai tujuan yang diinginkan Frustrasi akan bertambah berat jika

keinginan yang tidak tercapai memiliki nilai yang tinggi dalam

kehidupan (Rawlin, William & Beck, 1993).

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 42: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

2.2.4.4 Agresif

Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu

merasa harus bersaing untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

Seseorang yang agresif di dalam hidupnya selalu mengarah pada

kekerasan fisik dan verbal. Perilaku agresif pada dasarnya

disebabkan karena menutupi kurangnya rasa percaya diri

(Bushman& Baumeister, 1998 dalam Stuart & Laraia, 2005). Agresif

adalah perilaku mengancam dan memusuhi orang lain dan atau

lingkungan ( Rawlins et al., 1993).

2.2.4.5. Amuk ( Perilaku Kekerasan )

Amuk atau perilaku kekerasan adalah perasaan marah dan

bermusuhan yang kuat yang disertai kehilangan control diri sehingga

individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan

( Keliat & Sinaga, 1991). Menurut Stuart dan Laraia (2009) perilaku

kekerasan berfluktuasi dari tinggkat rendah sampai tinggi yaitu yang

disebut dengan hirarki perilaku agresif dan kekerasan (Gambar 2.2)

Gambar 2.2 Hirarki perilaku pada klien dengan perilaku kekerasan

Melukai dalam tingkat serius dan berbahaya

Melukai dalam tingkat yang tidak berbahaya

Mengucapkan kata-kata ancaman dengan rencana melukai

Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan

Mengucapkan kata-kata ancaman tanpa melukai

� ���� ���� ���� ���

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 43: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

Mendekati orang lain dengan ancaman

Bicara keras dan menuntut

Memperlihatkan permusuhan pada tingkat rendah

Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa perilaku

kekerasan mempunyai tingkatan berdasarkan perilakunya

mulai dari yang terendah yaitu memperlihatkan permusuhan

pada tingkat rendah sampai pada tinggakatan yang tertinggi

yaitu melukai dalam tingkat serius dan membahayakan.

Rentang respon individu terhadap kemarahan yang dialami dapat dikelompokkan

berdasarkan respon yang ditunjukkan, seperti yang dapat dilihat pada table 2.3

Tabel 3.2 Respon-Respon pada Rentang Respon Kemarahan

� ������ ������ ������ ����� ����

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 44: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

Rentang Respon

Respon

Asertif

Pasif

Frustrasi

Agresif

Amuk

Kognitif Berfikir rasional berbicara dengan jujur dan jelas,

Mengenyamping kan haknya daripada persepsinya terhadap hak orang lain.

Berfikir kurang rasional karena memiliki tujuan yang kurang realistis atau

Berfikir irrasional dan kurang percaya diri. menilai dan mengkritik tingkah laku orang lain

Kehilangan konrol diri

Afektif Tidak merasa tersinggung dan bersalah bila ditolak

Merasa tertekan Merasa gagal, merasa tidak bersemangat dan kurang motivasi

Merasa marah, merasa bersaing dan merasa malu

Merasa marah dan bersaing yang kuat.

Fisiologis Tidak ada perubahan pada fisiologis.

Tidak ada perubahan pada fisiologis.

Terjadi perubahan fisiologis namun belum mengganggu.

Tekanan darah meningkat, frekuensi denyut jantung meningkat. wajah tegang, tidak bisa diam, mengepalkan atau memukulkan tangan, rahang mengencang, peningkatan pernafasan,

Tekanan darah meningkat, frekuensi denyut jantung meningkat, , peningkatan pernafasan,dan pupil melebar, dan frekuensi pengeluaran urin meningkat, wajah merah dan tegang, serta rahang mengencang,

Perilaku Saat berbicara kontak mata langsung tapi tidak mengganggu, intonasi suara dalam berbicara tidak mengancam.

Menghindari masalah dan menutupi kemarahannya.

Menghindar dari masalah

Tidak menghargai hak orang lain, Bermusuhan perilaku mengarah pada kekerasan verbal dan fisik

Bermusuhan, perilaku mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

Sosial Klien dapat berinteraksi dengan baik dan menghargai orang lain

Menghindar dari orang lain

Menghindar dari orang lain

Hubungan interpersonal berkurang dan cendrung menyakiti orang lain

Hubungan interpersonal berkurang dan cendrung menyakiti orang lain

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 45: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

2.2.5 Sumber Koping

Sumber koping merupakan kekuatan yang dapat membantu klien dalam

mengatasi stressor yang dihadapinya. Sumber koping akan dapat membantu

dalam proses terapi yang dijalani oleh klien selama mendapatkan pertolongan

dari tenaga kesehatan khususnya perawat. Menurut Stuart dan Laraia

(2005;2009) Sumber koping terdiri atas kemampuan yang dimiliki oleh

individu dalam memecahkan masalah, dukungan sosial baik dari keluarga,

kelompok, teman, dan orang-orang yang ada disekitar klien, asset ekonomi

dan keyakinan serta nilai-nilai positif yang dimiliki oleh klien. Disamping itu

kesehatan, dukungan spiritual, keterampilan sosial serta kesehatan fisik.

Sumber koping yang adekuat akan mampu membuat individu beradaptasi

dengan stressor yang dihadapi dan mengatasi masalah yang ditemui.

Keluarga merupakan salah satu sumber pendukung utama dalam

penyembuhan klien dengan skizoprenia (Videbeck, 2008). Dengan

banyaknya perilaku kekerasan ditemukan pada klien dengan skizoprenia

maka dukungan keluarga juga sangat dibutuhkan oleh klien dengan perilaku

kekerasan. Hal ini disebabkan karena pada akhirnya klien akan berada di

dalam keluarga setelah kembali dari rumah sakit.

Pengetahuan dan intelegensi adalah sumberkoping lainnya yang akan

menuntun individu untuk melihat cara lain dalam menghadapi stress. Dengan

demikian sumber koping juga terrmasuk identitas ego yang kuat, system nilai

dan keyakinan yang stabil dan orientasi pencegahan untuk kesehatan (Stuart,

2009).

2.2.6 Mekanisme Koping

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 46: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

Mekanisme koping adalah beberapa usaha yang secara langsung dilakukan

individu untuk memanajemen stress yang dihadapi. Ada 3 tipe mekanisme

koping menurut Stuart (2009) yaitu :

1) Koping mekanisme yang berfokus pada masalah, dimana melibatkan

usaha langsung untuk melakukan koping dengan diri sendiri.

2) Koping mekanisme yang berfokus pada Kognitif, individu mencoba

untuk mengontrol maksud atau makna dari masalah dan berusaha untuk

menetralisirnya sendiri, seperti pencari perbandingan yang positif,

menggantinya dengan rewards dan memilih cara menghindar dengan

selektif.

3) Koping mekanisme yang berfokus pada Emosi, klien diorientasikan untuk

mengurangi tekanan emosional seperti menggunakan pertahanan ego

seperti denial, supresi atau proyeksi.

Dengan demikian diharapkan klien mampu menghadapi masalah dengan

melakukan tindakan yang positif sehingga mengurangi perilaku yang

destruktif seperti pada klien dengan perilaku kekerasan.

2.2.7 Tindakan Keperawatan Perilaku Kekerasan

Intervensi yang dilakukan pada pasien dengan perilaku agresif / perilaku

kekerasan bervariasi. Intervensi dilakukan untuk mencegah dan mengatasi

perilaku agresif. Intervensi tersebut berada dalam rentang preventive

strategies, Anticipatory Strategies, dan Containment Strategies (Stuart and

Laraia, 2005) seperti tercantum pada gambar 2.3

Gambar 2.3 Continuum of nursing intervention in managing aggressive behavior

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 47: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

Preventive Strategies Anticipatory Strategies Containment Strategies

Berdasarkan rentang intervensi menurut Stuart and Laraia (2005) berarti

penentuan strategi intervensi untuk menangani pasien dengan perilaku

kekerasan ditentukan oleh tingkat agresivitas pasien.

2.2.7.1 Preventive Strategies (strategi pencegahan)

Intervensi ini diberikan pada klien dengan riwayat perilaku kekerasan

yang sudah tenang, Pada saat strategi ini dilakukan intervensinya

meliputi self awareness (kesadaran diri), patient education

(pendidikan kesehatan pada klien) dan assertiveness training. Pada

strategi ini kesadaran diri ditujukan kepada perawat agar dapat

menggunakan dirinya sendiri secara efektif dalam menghadapi klien

dengan perilaku kekerasan terkait dengan kemampuannya untuk

melakukan komunikasi terapeutik. Strategi pemberian pendidikan

kesehatan pada klien perilaku kekerasan sangat penting pada tahap ini

karena mengajarkan klien tentang komunikasi dan cara yang tepat

untuk mengungkapkan rasa marah klien. Banyak klien mengalami

kesulitan dalam mengidentifikasi perasaannya, kebutuhannya dan

keinginannya untuk mengungkapkannya pada orang lain. Pada

strategi ini psikoterapi dapat diberikan, psikoterapi yang akan

membantu klien untuk menghilangkan perilaku maladaptif dan

menggantinya dengan perilaku adaptif. Psikoterapi dapat diberikan

pada individu pada fase rehabilitasi dimana perilaku kekerasan sudah

mereda.

Self awareness Patient Education Assertiveness Training

Communication Environmental Change Behavioral Actions Psychopharmacology

Crisis Management Seclusion Restraints �

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 48: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

Psikoterapi yang dapat diberikan adalah Assertiveness training,

merupakan terapi dengan cara melatih pasien agar mampu

menyampaikan sesuatu secara terbuka/jujur baik yang positif maupun

negatif dengan cara tepat (Rawlins, Williams, Beck, 1993). Cognitive

behavioral therapy (CBT), adalah strategi terapi yang dilakukan

berdasarkan teori pembelajaran terhadap permasalahan kehidupan

yang bertujuan membantu seseorang menyelesaikan kesulitan

hidupnya. Tindakan dilakukan dengan cara merubah pikiran-pikiran

dan perilaku negatif sehingga membuat seseorang bertingkah laku

positif (Stuart and Laraia, 2005). Rational Emotive Behaviour

Therapy (REBT) (Ellis, 1977 dalam vacarolis 2006; Jensen, 2008).

REBT merupakan bagian dari teori kognitif dan perilaku, dimana

hampir seluruh emosi dan perilaku dari manusia adalah hasil dari apa

yang mereka pikirkan, asumsikan dan yakini tentang diri sendiri,

orang lain dan dunianya. Rational Emotive Behavioural Therapy

bertujuan untuk membantu individu mengubah keyakinan

irrasionalnya menjadi lebih rasional.

Psikoterapi untuk keluarga dapat juga dilakukan pada saat ini.

adapaun psikoterapinya adalah Triangle therapy adalah terapi yang

bertujuan memecahkan masalah/konflik hubungan antara anggota

keluarga, misalnya konflik perkawinan, sibbling konflik, konflik antar

generasi, konflik orang tua dan anak (Varcarolis, Carson, &

Shoemaker, 2006). Family psychoeducation adalah terapi dengan cara

memberikan informasi/pendidikan gejala, diagnosis, etiologi,

interaksi terhadap stress dan melatih komunikasi serta penyelesaian

masalah (Stuart & Laraia, 2005).

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 49: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

Psikoterapi juga dapat diberikan dalam kelompok untuk

meningkatkan kemampuan individu yang telah dilatih. Adapun

psikoterapi untuk kelompok adalah Therapeutic group, merupakan

terapi yang bertujuan membantu anggota kelompok dalam

mengidentifikasi hubungan yang destruktif dan merubah perilaku

maladaptif (Stuart and Laraia, 2005). Psychoeducational group,

merupakan terapi yang dilakukan dengan cara memberikan

informasi/pendidikan pada kelompok seperti tentang pengobatan

(medication education group), masalah yang umum terjadi misal

kemarahan/agresif (symptom management groups), stress

management group dsb (Varcarolis, carson, and Shoemaker, 2006)

2.2.7.1 Anticipatory Strategies (strategi antisipasi)

Intervensi ini diberikan pada klien dengan riwayat perilaku

kekerasan namun kemarahannya tidak mengancam keselamatan

pasien, orang lain dan lingkungan. Pada saat strategi ini dilakukan

intervensinya meliputi communication (komunikasi), environmental

change (modifikasi lingkungan), behavioral actions dan

psychopharmacology. Perawat jiwa pada umumnya dapat mencegah

situasi krisis dengan menggunakan intervensi dini verbal dan non

verbal. Setiap usaha yang dilakukan pada strategi ini harus dilakukan

pemonitoran klien yang memiliki risiko perilaku kekerasan dengan

hati-hati dan intervensi ditujukan untuk tanda peningkatan awal

agitasi. Tujuan Intervensi adalah untuk meningkatkan aliansi

terapeutik dengan klien sehingga dapat menurunkan kebutuhan akan

perilaku agresif.

Pada srategi ini berdasarkan hasil riset pemindahan klien dari

banyaknya stimulus merupakan strategi efektif yang dapat

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 50: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

menurunkan dengan baik kebutuhan akan isolasi dan pengekangan

gerak. Disamping itu intervensi lain dengan memberikan batasan pada

klien untuk tidak memanipulasi dengan cara memberitahukan pada

klien perilaku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima serta

konsekuensinya, Time out,dan token ekonomi. Strategi ini juga

menekankan pemberian psikofarmakologi untuk klien agar lebih

efektif. Individu dengan perilaku kekerasan membutuhkan terapi

psikofarmaka yang tepat. Disamping itu pada strategi ini psikoterapi

yang dapat digunakan adalah Relaxation training, yaitu latihan

pernafasan dan relaksasi otot-otot yang berefek menurunkan

ketegangan dan kecemasan (Stuart and Laraia, 2005).

2.2.7.2 Containment Strategies (strategi penahanan)

Intervensi diberikan pada klien dengan perilaku kekerasan bila

kemarahan mengancam keselamatan pasien, orang lain dan lingkungan

(kegawatdaruratan psikiatri) yang tidak dapat dikontrol dengan terapi

psikofarmaka maka perlu dilakukan yang meliputi crisis management,

seclusion, dan restraints. Manajemen yang dilakukan adalah untuk

mengatasi kondisi klien yang sedang berperilaku kekerasan untuk

mencegah terjadinya cidera pada klien, orang lain dan lingkungannya.

Tindakan seklusi yaitu pemisahan klien dari klien lainnya di

lingkungan yang aman diperlukan setelah gagal pada pembatasan yang

minimal. Namun apabila gagal juga maka selanjutnya dapat dilakukan

restrain untuk membatasi pergerakan fisik klien.

Berdasarkan strategi intervensi diatas maka dapat diketahui bahwa

psikoterapi lebih efektif dilakukan pada strategi pencegahan hal ini

disebabkan karena kondisi perilaku kekerasan klien sudah mereda atau

tenang sehingga untuk memberikan pengetahuan lebih efektif dan

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 51: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

efisien. Dengan demikian psikoterapi yang diberikan kepada klien akan

mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan demikian Rational Emotive

Behavioural Therapy merupakan salah satu psikoterapi yang diberikan

pada klien dengan perilaku kekerasan pada saat klien mendapatkan

intervensi pada strategi pencegahan.

2.3 Teori Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT)

Rational Emotive Behaviour Therapy ( REBT) adalah suatu metode untuk

memahami dan mengatasi masalah emosi dan perilaku. REBT merupakan suatu

pendekatan kognitif dan perilaku yang mengemukakan fakta-fakta bahwa perilaku

yang dihasilkan bukan berasal dari kejadian yang dialami namun dari keyakinan –

keyakinan yang tidak rasional (Jensen, 2008). Menurut Froggatt (2005) REBT

adalah salah satu dari beberapa terapi yang berasal dari pikiran dan perilaku.

REBT bukan hanya sekedar tehnik tapi merupakan teori yang komprehensif dari

perilaku manusia. Teori REBT menegaskan bahwa keyakinan yang tidak rasional

akan membawa individu pada emosi dan perilaku negatif yang tidak sehat seperti

perilaku amuk (agresif) dan rasa bersalah (Jensen, 2008). Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa REBT adalah suatu metoda terapi yang menggunakan

pendekatan kognitif dan perilaku untuk memahami dan mengatasi masalah emosi

dan perilaku negatif yang berasal dari keyakinan-keyakinan yang tidak rasional

(irrasional).

Rational Emotif Behaviour Therapy (REBT) dipelopori oleh Dr. Albert Ellis,

seorang psikologi klinik yang ahli dalam psikoanalisis. Pada awalnya REBT

disebut dengan Rational Therapy (Terapi Rasional) kemudian berubah menjadi

Rational Emotive Therapy (Terapi rasional dan emosi) dan akhirnya pada awal

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 52: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

tahun 1990an menjadi Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT). REBT

adalah merupakan salah satu terapi kognitif dan perilaku, walaupun dibangun

secara terpisah namun memiliki banyak kesamaan seperti terapi kognitif (Cognitif

therapy). Lebih dari setengah abad yang lalu, REBT telah dikembangkan secara

signifikan dan terus berubah (Froggatt, 2005).

Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) berdasar pada konsep bahwa emosi

dan perilaku merupakan hasil dari proses pikir yang memungkinkan bagi manusia

untuk memodifikasinya seperti proses untuk mencapai cara yang berbeda dalam

merasakan dan bertindak (Froggatt, 2005). Reaksi emosional seseorang sebagian

besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun

tidak disadari. Hambatan psikologis atau emosional tersebut merupakan akibat

dari cara berpikir yang tidak logis dan irrasional, dimana emosi yang menyertai

individu dalam berpikir penuh dengan prasangka, sangat personal, dan irrasional.

Menurut Albert Ellis, manusia pada dasarnya adalah unik yang memiliki

kecenderungan untuk berpikir rasional dan irrasional. Ketika berpikir dan

bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan memiliki kemampuan.

Ketika berpikir dan bertingkahlaku irrasional individu itu menjadi tidak efektif.

Menurut Froggatt (2005) REBT mengemukakan suatu penjelasan tentang sebab

akibat biopsikososial yang merupakan kombinasi dari faktor biologis, psikologis

dan sosial yang mempengaruhi perasaan dan perilaku seseorang. REBT juga

berpendapat bahwa keadaan biologis seseorang juga mempengaruhi perasaan dan

perilakunya, ini merupakan hal yang penting dan perlu diingat oleh therapis untuk

memahami seberapa besar kemampuan manusia dapat berubah. Dari beberapa

pernyataan diatas dapat diketahui bahwa REBT berdasarkan pada konsep emosi

dan perilaku merupakan hasil dari proses pikir tentang apa yang mereka pikirkan,

asumsikan dan yakini tentang diri sendiri, orang lain dan lingkungannya yang

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 53: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologis dan sosial sehingga terlihat dari cara

individu merasakan dan bertindak terhadap masalah yang dihadapinya.

Konsep kunci teori Albert Ellis yaitu Antecedent event (A), Belief (B), dan

emotional Consequence (C). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan

konsep atau teori ABC (Froggatt, 2005).

a. Antecedent event (A) yaitu seluruh peristiwa luar yang dialami atau terpapar

pada individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku,

atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan

seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi

seseorang.

b. Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu

terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu

keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak

rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara

berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan

menjadikan seseorang produktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan

keyakinan atau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal,

emosional, dan membuat orang tidak produktif.

c. Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai

akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan

emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi

emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa

variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.

Albert Ellis juga menambahkan D dan E untuk rumus ABC ini. Seorang terapis

harus melawan (Dispute; D) keyakinan-keyakinan irasional itu agar kliennya bisa

menikmati dampak-dampak (Effects; E) psikologis positif dari keyakinan-

keyakinan yang rasional.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 54: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

Albert Ellis (Corsini & Wedding, 1989 dalam Dominic, 2003 ) berpendapat

bahwa yang perlu dirubah oleh individu untuk mengatasi masalah emosi maupun

perilakunya adalah adanya keyakinan irrasional yang dikembangkan sendiri oleh

individu. Pada umumnya keyakinan berada diluar kesadaran. Keyakinan

merupakan kebiasaan atau secara otomatis, yang terdiri atas aturan-aturan dasar

tentang bagaimana menjalani kehidupan di dunia. Dengan latihan manusia dapat

menggali keyakinan yang ada dibawah alam sadarnya (Froggatt, 2005).

Keyakinan yang tidak rasional dapat menghambat dalam mencapai tujuan,

membentuk emosi ekstrim yang bertahan, menjadi stress dan mengarah kepada

perilaku-perilaku yang membahayakan diri, orang lain dan kehidupan secara

umum, mendistorsi kenyataan (memberikan suatu interpretasi yang salah terhadap

kejadian dan tidak didukung oleh fakta), mengandung cara-cara yang tidak logis

dalam mengevaluasi diri sendiri, orang lain dan lingkungan seperti menuntut,

berperilaku kasar, tidak toleransi dan selalu menilai orang (Froggatt, 2005).

Berlandaskan pendapat tersebut, Albert Ellis (Corsini & Wedding, 1989 dalam

Dominic, 2003) mengembangkan sebuah terapi bernama REBT (Rational

Emotive Behavioural Therapy) untuk membantu orang mengubah keyakinan

irrasionalnya menjadi lebih rasional.

Menurut Froggatt (2005) Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk

membantu klien berubah adalah :

a. Membantu klien untuk memahami bahwa emosi dan perilaku disebabkan

karena keyakinan dan pikiran.

b. Tunjukkan kepada klien bahwa keyakinan yang relevan dapat terbuka. Format

ABC merupakan hal yang tidak ternilai disini. Menggunakan suatu peristiwa

dari pangalaman klien yang baru, terapi mencatatnya di “C” kemudian di “A”

. Klien ditanya untuk mempertimbangkan di “B”: apa yang telah saya katakan

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 55: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

pada diri sendiri tentang “A” untuk merasakan dan bertindak seperti yang

telah saya lakukan di “C”. Sebagai seorang klien yang membangun

pemahaman tentang pikiran irrasional yang alami, proses penyimpanan ini

akan menjadi lebih mudah. Pendidikan dapat dicapai melalui membaca,

penjelasan langsung dan analisis diri dengan bantuan terapi serta tugas (PR)

diantara sesi yang dilakukan.

c. Mengajarkan pada klien bagaimana cara menunjukkan tidak sependapat dan

merubah keyakinan yang tidak rasional serta menggantikannya dengan

alternative yang rasional. Dalam hal ini pendidikan akan membantu. Format

ABC digunakan dan diperluas dengan menambahkan “D” (Disputing

irrasional beliefs) dan “E” (the new Effect the client wishes to achieve seperti

cara baru dalam merasakan dan bertindak) dan “F” (Further Action untuk

dipilih oleh klien).

d. Membantu klien untuk dapat melaksanakan dengan berperan melawan

keyakinan yang irrasional. Memperdebatkan keyakinan yang ditolak tidak

dapat ditoleransi dengan bebas untuk melakukan sesuatu seperti menyerang

kemudian menemukan orang yang dapat bertahan, maka inilah yang

merupakan komponen utama dari REBT. Penekanan pada pemikiran ulang

dan tindakan membuatnya menjadi suatu alat yang kuat untuk berubah.

2.3.1 Indikasi Penerapan REBT

REBT telah berhasil membantu individu yang memiliki masalah secara klinis

maupun non klinis dengan menggunakan variasi dari modalitas yaitu :

a. Tipikal aplikasi klinis adalah penerapan REBT pada klien dengan

kondisi klinis atau masalah kesehatan seperti depresi, gangguan

kecemasan ( obsesif kompulsif, agoraphobia, agora spesifik, general

ansietas dan post traumatic), gangguan makan, adiksi, gangguan kontrol

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 56: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

impuls, manajemen marah, perilaku antisocial, gangguan personal,

kekerasan seksual, gangguan fisik atau gangguan mental, manajemen

stress, manajemen nyeri dan gangguan perilaku pada anak dan dewasa

serta masalah hubungan dalam keluarga.

b. Tipikal aplikasi non klinis adalah 1) pertumbuhan personal dimana

REBT berisikan prinsip yang terperinci yang menjelaskan tentang

ketertarikan diri, penerimaan diri dan cara pengambilan risiko yang dapat

digunakan untuk membantu individu mengembangkan diri dan bertindak

lebih fungsional dalam menjalani filosofi hidupnya (Froggatt. W, 1997).

2) Efektivitas ditempat kerja, DiMattia telah mengembangkan variasi dari

REBT yang dikenal dengan Rational Efektiveness Training yang

membantu efektivitas pekerja dan pimpinan di tempat kerja (DiMattia &

Ijzermans, 1996 dalam Froggatt W, 2005).

2.3.2 Prinsip latihan dalam REBT

a. Tujuan dasar dari REBT adalah meninggalkan klien dengan penyelesaian

masalahnya, kebebasan untuk memilih emosi, perilaku dan gaya hidup

sendiri ( dalam batasan fisik, sosial dan ekonomi) dengan metode

observasi diri dan perubahan personal yang akan membantu mereka

dalam mempertahankan keuntungannya.

b. Tidak semua emosi yang tidak menyenangkan dilihat sebagai disfungsi

dan juga sebaliknya. REBT tidak hanya melihat pikiran positif tetapi

lebih pada pikiran, emosi dan perilaku yang realistik dalam porsi yang

tepat terhadap kejadian atau keadaan yang dialami oleh klien.

c. Tidak ada satu cara untuk latihan REBT tapi dengan wawasan yang luas.

Meskipun REBT mempunyai tehnik tersendiri namun kadang juga

menggunakan pendekatan lain dan mengijinkan praktisi untuk

menggunakan imajinasinya sendiri.

d. REBT adalah edukatif dan kolaboratif. Klien belajar terapi dan belajar

untuk menggunakannya secara sendiri. Terapis menyediakan training dan

klien yang mempelajarinya sendiri. Tidak ada penjelasan yang tidak

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 57: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

disampaikan pada klien dan terapis bersama klien merancang PR yang

akan dilakukan klien di rumah.

e. Hubungan terapis dan klien sangat penting tetapi lebih kepada sebagai

fasilitator. Terapi menunjukan sikap empati, penerimaan yang tidak

terkondisi, dan memberikan dorongan. Terapis harus berhati-hati agar

aktivitas tidak menciptakan ketergantungan klien.

f. Ketika REBT dilakukan secara aktif dan langsung, terapis harus tetap

berada di dalam nilai-nilai yang dianut oleh klien. Cara baru dalam

berfikir akan mengembangakan kolaborasi.

g. Masa lalu dari individu terlihat relevan pada saat itu dengan banyaknya

pikiran irrasional yang masih asli tapi karena membuka masa lalu tidak

selalu membantu dalam mengubah reaksi individu di masa sekarang.

Terapis REBT jangan melibatkan terlalu banyak penggalian arkeologi.

h. REBT adalah ringkas dan mempunyai batasan waktu. Biasanya

melibatkan 5 sampai 30 sesi dengan waktu satu bulan sampai delapan

bulan. Waktu yang minimum tergantung pada latar belakang dan

informasi tentang riwayat klien. REBT berorientasi pada tugas dan

berfokus pada pemecahan masalah saat ini.

i. REBT penekanannya adalah perubahan dalam system keyakinan yang

mendasar dari klien dari pada upaya menghilangkan gejala-gejala saat ini.

Klien ditinggalkan dengan kemampuan untuk menolong diri sendiri dan

memungkinkan untuk melakukan koping pada waktu yang panjang di

masa depannya.

2.3.3 Proses Terapi REBT

Menurut Froggat, W. (2005) Komponen-komponen utama dari intervensi

REBT adalah :

a. Melibatkan Klien

Melibatkan klien merupakan langkah awal untuk membangun hubungan

dengan klien. Hal ini dapat dicapai dengan kondisi empati, hangat dan

saling menghormati. Menunggu“ Secondary Disturbances” tentang

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 58: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

alasan mencari pertolongan: rendah diri setelah mengalami masalah atau

cemas akan menghadapi interview. Pada akhirnya cara yang terbaik

untuk melibatkan klien dalam REBT adalah dengan mendemontrasikan

tahap awal dimana perubahan memungkinkan dan REBT dapat

membantu mereka mencapai tujuan.

b. Menilai Masalah, Individu dan Situasi

Pengkajian akan bervariasi dari individu ke individu tapi mengikuti

aturan-aturan pada area yang telah ditetapkan dan akan dinilai sebagai

bagian dari intervensi REBT. Di mulai dari pandangan klien tentang

masalah apa yg ditemukan. Mencek tentang “secondary disturbance”:

bagaimana perasaan klien tentang masalah yang dihadapi. Lakukan

pengkajian secara umum dan tentukan adanya hubungan dengan

gangguan klinikal serta temukan riwayat personal dan sosial klien. Kaji

adanya masalah kekerasan, catat adanya faktor personal yang relevan dan

cek adanya penyebab yang bukan dari kondisi psikologis, riwayat

pengobatan, ketergantungan obat (Napza) dan faktor gaya hidup atau

lingkungan.

c. Mempersiapkan klien untuk terapi

1) Klarifikasi tujuan terapi dan pastikan hai ini konkrit, spesifik disetujui

oleh klien dan terapi untuk pelaksanaan REBT serta kaji motivasi

klien untuk berubah.

2) Diskusikan tentang dasar-dasar REBT dan model penyebab

Biopsikososial

3) Diskusikan tentang pendekatan yang digunakan dan implikasi terapi

serta membuat kesepakatan kontrak.

d. Implementasi program terapi

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 59: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

Sebahagian besar dari sesi-sesi terjadi pada fase implementasi,

menggunakan aktivitas seperti :

1) Menganalisis peristiwa khusus pada awal masalah terjadi. Pastikan

keyakinan dilibatkan, merubahnya dan mengembangkan tugas rumah

( Ini disebut Analisis Rasional)

2) Mengembangkan pengkajian perilaku untuk mengurangi ketakutan

dan modifikasi cara untuk bertindak.

3) Strategi dan tehnik tambahan yang tepat seperti relaksasi,

interpersonal skill training dan lainnya.

e. Evaluasi Perkembangan terapi

Pada akhir intervensi selalu akan diketahui terjadinya peningkatan

perubahan pada cara berpikir klien secara signifikan atau peningkatan

pada kondisi eksternal klien.

f. Mempersiapkan klien untuk terminasi

Apabila kita dapat mempersiapkan klien untuk menghadapi terjadinya

kemunduran merupakan hal yang bijaksana. Banyak orang setelah merasa

sehat berpikir telah diobati untuk selamanya sehingga ketika mereka

bertemu lagi dengan masalah yang sama seperti dahulu, mereka menjadi

putus asa dan menyerah. Penting untuk mengingatkan kemungkinan

terjadinya masalah emosi dan perilaku berulang, memastikan klien

mengetahui cara yang dapat dilakukan ketika gejala-gejala itu datang

kembali dan mendiskusikan pandangan klien untuk meminta pertolongan

bila masju7alahnya timbul kembali dengan memperhatikan keyakinan

yang tidak rasional dari klien bahwa meminta bantuan kembali berarti

mereka gagal dalam terapi.k

2.3.4 Tehnik-tehnik yang digunakan dalam REBT

Ellis merekomendasikan suatu pendekatan yang berwawasan luas untuk

terapi dengan menggunakan strategi REBT dan pendekatan lainnya namun

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 60: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

dipastikan bahwa strategi tersebut sesuai dengan teory REBT. Dibawah ini

ada beberapa prosedur yang dapat digunakan yaitu :

a. Tehnik Kognitif

Rational Analysis (Analisis Rasional) ; analisis dari peristiwa yang

spesifik untuk mengajarkan klien bagaimana cara membuka dan

memperdebatkan keyakinan yang tidak rasional yang biasa digunakan

pada sesi pertama dan setelah klien mendapatkan idenya maka klien

akan membawanya sebagai pekerjaan rumah (PR).

Double Standard Dispute (Perdebatan Standar Ganda); Bila klien

merasa rendah diri terhadap perilakunya, tanyakan apakah mereka akan

segera menilai orang lain (seperti teman baik atau terapis) dalam

melakukan hal yang sama atau merekomendasikan orang lain untuk

berpegang pada keyakinan utamanya.

Catastrophe Scale (Scala Bencana); Ini merupakan tehnik yang berguna

untuk mendapatkan perspektif yang hebat. Pada papan tulis putih atau

selembar kertas menggambarkan sebuah garis yang menurun dengan

menuliskan 100% pada bagian atas dan 0% pada bagian bawah dan 10%

interval diantaranya. Tanyakan pada klien pada tingkat berapa bencana

yang dirasakan dari masalah yang dihadapi kemudian masukkan item

tersebut ke dalam gambar pada tempat yang tepat kemudian isi tingkatan

(level) yang lainnya dengan item yang sesuai dengan pikiran klien. Pada

akhirnya apakah klien secara progresif mengubah posisi item yang

ditakutkannya dalam scala, sampai ketakutan yang ada dalam

perspektifnya dalam hubungannnya dengan item lainnya benar.

Devil’s Advocad (Severse Role Playing) ; ini adalah tehnik yang efektif

dan berguna, didisain agar klien dapat berdebat melawan keyakinan

irrasionalnya. Terapis bermain peran dengan mengadopsi keyakinan

klien yang tidak berguna dan dengan penuh semangat membantahnya,

ketika klien mencoba untuk meyakinkan terapis bahwa keyakinan itu

tidak berguna. Tehnik ini terutama digunakan pada klien yang

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 61: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

mengetahui keyakinannya yang irrasional namun membutuhkan

pertolongan untuk menggabungkan apa yang dipahami.

Reframing; suatu strategi lain untuk mendapatkan kejadian yang buruk

menjadi perspektif yang mengevaluasi ulang kejadian tersebut sebagai

hal yang mengecewakan, menjadi perhatian dan ketidaknyamanan dari

pada memandangnya sebagai hal yang sangat buruk atau yang tidak

tertahankan. Variasi dari reframing adalah membantu klien untuk

melihat bahwa kejadian buruk sekalipun selalu mempunyai sisi positif,

dan membuat daftar hal-hal positif yang dapat di pikirkan oleh klien.

b. Imagery Techniques (Tehnik Perumpamaan)

Time Projection; Tehnik ini di desain untuk menunjukkan bahwa

kehidupan seseorang dan dunia secara umum akan terus berlanjut setelah

rasa takut dan kejadian yang tidak diinginkan datang dan pergi. Meminta

klien untuk melihat kejadian yang tidak diinginkan itu terjadi dan

bayangkan kejadian tersebut berjalan terus dalam seminggu, sebulan,

enam bulan, setahun, dua tahun dan seterusnya, pertimbangkan

bagaimana perasaan klien untuk setiap waktu yang dilewati. Klien akan

mampu melihat bahwa hidup akan terus berjalan meskipun mereka

membutuhkan penyesuaian dri untuk itu.

The ” Blow Up” Technique; Ini adalah variasi dari pembayangan kasus

yang terburuk (Worst – Case Imagery) yang digabungkan dg

menggunakan humor untuk menghasilkan pengalaman hidup yang

mengesankan bagi klien. Ini semua melibatkan klien dengan meminta

klien untuk membayangkan kejadian yang menakutkan terjadi kemudian

dilepaskan keluar seluruhnya sehingga klien merasakan terhibur karena

itu. Menertawakan ketakutan akan membantu dalam mengontrolnya.

Tehnik ini memerlukan sensitifitas dan waktu yang tepat dalam

menggunakannya.

c. Behaviour Techniques (Tehnik Perilaku)

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 62: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

Exposure; Strategi perilaku biasanya yang sering digunakan dalam

REBT adalah dengan melibatkan klien untuk memasuki situasi yang

membuatnya takut dan biasanya klien akan menghindar. Seperti

“Exposure” yang disengaja, direncanakan dan dibawa dengan

menggunakan kognitif dan keterampilan koping lainnya. Tujuannnya

adalah : (1) menguji validitas ketakutan seseorang (penolakan tidak

akan bertahan), (2) De-awfulise them (dengan melihat bahwa

catastrophe tidak terjadi), (3) Mengembangkan kepercayaan diri agar

dapat melakukan koping (dengan sukses mengatur tindakan seseorang),

dan (4) Meningkatkan toleransi terhadap rasa ketidaknyamanan (

menemukan peningkatan dalam bertahan).

Shame Attacking; ini adalah tipe dari exposure yang melibatkan

konfrontasi terhadap rasa takut akan malu dengan bebas melakukan

tindakan dengan cara mengantisipasi klien menolak penyerangan (Pada

saat waktu yang sama, menggunakan tehnik cognitive dan emosi untuk

hanya merasakan perhatian atau kekecewaan).

Risk Taking; Tujuannya adalah untuk menantang keyakinan yang

menimbulkan perilaku yang berisiko membahayakan, ketika alasan yang

dikatakan dari hasil tidak ada garansinya maka mereka memiliki

kesempatan yang berharga. Sebagai contoh seseorang yang takut akan

ditolak malah mencoba untuk mengajak seseorang untuk berkencan.

Paradoxical Behaviour ; Ketika klien berharap untuk merubah

kecendrungan disfungsi, hal ini mendorong klien secara bebas untuk

bertindak dengan suatu cara kontradiksi terhadap kecendrungan tersebut.

Latihan untuk perilaku yang baru walaupun tidak secara spontan maka

berangsur-angsur terinternalisasi menjadi kebiasaan baru.

Steping Out of Character ; merupakan salah satu tipe dari paradoxical

behavior. Sebagai contoh seorang perfeksionis dapat melakukan segala

sesuatu dengan bebas untuk yang kurang dari standar mereka biasanya.

Postponing Gratification; Biasanya digunakan untuk melawan

rendahnya toleransi terhadap frustrasi dengan bebas mengurangi rokok,

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 63: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

memakan makanan yang manis, menggunakan alcohol, aktivitas seksual

dan sebagainya.

d. Home Work ( Pekerjaan Rumah/ PR)

Pekerjaan rumah (PR) adalah merupakan strategi yang paling penting

dalam REBT. Kegiatan yang termasuk didalamnya adalah aktivitas

membaca, latihan menolong diri sendiri dan pengalaman aktivitas. Sesi-

sesi dalam terapi adalah sesi-sesi latihan, dimana klien mencoba dan

menggunakan apa yang sudah dipelajari.

2.3.5 Fase dan Sesi dalam REBT

Ellis (1973ª, hlm. 192) menyatakan bahwa pada penanganan terapi

individual pada pelaksanaannya diharapkan memiliki satu sesi dalam setiap

minggunya dengan jumlah antara lima sampai lima puluh sesi. Dimana pada

pelaksanaan terapi ini klien diharapkan mulai dengan mendiskusikan

masalah-masalah yang paling menekan dan menjabarkan perasaan-perasaan

yang paling membingungkan dirinya. Kemudian terapis juga mengajak klien

untuk melihat keyakinan-keyakinan irasional yang diasosiasikan dengan

kejadian-kejadian pencetus dan mengajak klien untuk mengatasi keyakinan-

keyakinan irasionalnya dengan menugaskan kegiatan pekerjaan rumah yang

akan membantu klien untuk cecara langsung melumpuhkan gagasan-

gagasan irasionalnya itu serta membantu klien dalam mempraktekkan cara-

cara hidup yang lebih rasional.

Berdasarkan Banks dan Zionts (2009) untuk membimbing guru-guru

menggunakan pendekatan REBT secara garis besar disediakan 14 sesi dan

direncanakan 4 pelajaran. Sesi-sesi di kelompokkan menjadi 4 fase yang

disarankan untuk dikembangkan selama periode. Seluruh sesi-sesi sudah

dinyatakan tujuan, objektif dan aktivitas pembelajarannya. Jumlah sesi

tergantung pada kemampuan belajar individu dan disiplin waktu untuk

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 64: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

mengajarkan keterampilan berpikir rasional. Penyelesaian dari 14 sesi ini ,

pelajar harus mampu untuk mengidentifikasi kejadian yang telah terjadi,

mengidentifikasi dan menilai konsekuensi dari emosi yang ditimbulkan dan

menanyakan keyakinannya.

a. Fase I – Persiapan kognitif : Keterampilan berupa kesiapan terhadap

REBT

Sesi 1-2 : Bina Hubungan dan Harapan-harapan.

Tujuan :

Membangun suatu hubungan dengan pelajar dan untuk

menginformasikan serta memotivasi pelajar agar ikut serta dalam

aktivitas dan diskusi. Tujuan lainnya adalah menyepakati kontrak (kapan

akan bertemu, jam berapa dan tempatnya).

Fokusnya adalah dilemma moral yang diambil dari The Defining Issues

Test (Rest, 1980 dalam Banks & Zions, 2009). Sesi ini digunakan untuk

menjelaskan apa yang harus dilakukan dan mengapa hal itu dapat

menolong mereka. Adapun aktivitas yang dilakukan pada sesi ini adalah

membuat thermometer perasaan (Feellings Thermometers), Menilai

kejadian berdasarkan thermometer perasaan yang telah dibuat dan saran

yang diberikan terkait dengan hal yang didiskusikan sebelumnya. Sebagai

pekerjaan rumahnya kelompok pelajar diminta untuk memikirkan

peraturan peraturan yang dapat membantu pelajar dalam proses dan di

dokumentasikan.

Sesi 3 – 5 : Memahami perasaan

Objektif dari pembelajaran dan aktivitas dalam fase ini untuk membantu

pelajar memahami, mengidentifikasi, mengukur dan menghubungkan

perasaan dengan pikiran (Zionts, 1996 dalam Banks & Zionts, 2009).

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 65: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

Aktivitas pada sesi ini termasuk di dalamnya adalah thermometer

perasaan, dimana membantu pelajar mempelajari bagaimana cara melabel

perasaan dan mengelompokkan beberapa perasaannya dalam suatu usaha

untuk intensitas hubungan yang lebih baik dari perasaan-perasaan

tersebut. Pelajar diminta untuk: membuat thermometer perasaan sendiri,

mengekspresikan intensitas dari perasaan dengan menggunakan

thermometer perasaan. Ini sudah termasuk 3 sesi dalam 30 menit.

Mengidentifikasi perasaan terdiri atas :

1) Tujuan :

Prasyarat bagi pelajar agar berhasil mengatur emosi-emosi yang

membahayakan untuk mengidentifikasi perasaan yang pernah

dialaminya. Tujuan dari aktivitas ini adalah tidak hanya untuk

membantu pelajar mengidentifikasi emosinya tetapi juga memaparkan

pada mereka emosi-emosi mereka sendiri.

Membantu pelajar untuk memahami bahwa adanya suatu rentang dari

perasaan dimana seseorang dapat belajar untuk menggunakannya

ketika dihadapkan dengan kejadian yang negatif.

2) Objektif : Ketika diberikan suatu situasi pelajar akan melakukan

penyesuaian dengan thermometer perasaan sesuai dengan reaksi

emosinya. Pelajar akan membagi paling tidak satu dari emosinya

untuk didiskusikan.

Sesi 6 – 10 : Fakta Lawan Opini

Objektif pelajaran dan aktivitas pada sesi ini adalah untuk membantu

pelajar mendefinisikan dan menemukan perbedaan antara fakta dan opini.

Berfikir berdasarkan fakta atau kejadian akan meningkatkan hasil dalam

mengurangi irrasional dan menurunkan gangguan emosional (Zionts,

1996 dalam Banks & Zionts, 2009). Berpikir berdasarkan opini atau

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 66: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

persepsi dari suatu kejadian dapat meningkatkan gangguan emosional dan

dapat menghasilkan goal – defeating behaviours (Zionts, 1996 dalam

Banks & Zionts, 2009).

Fakta atau Opini :

1) Tujuan :

Teori dari REBT mendorong keyakinan bahwa orang yang merasa

stress karena ketidakmampuannya untuk melihat situasi berdasarkan

kenyataannya. Beberapa orang tidak dapat membedakan antara fakta

dan opini.

Membantu individu untuk memahami perbedaan antara kenyataan

dan opini

2) Objektif : Ketika diberikan kalimat-kalimat, baik secara lisan maupun

tertulis, pelajar akan dapat mengidentifikasi bahwa itu adalah fakta

atau opini.

b. Fase II : Keterampilan yang diperoleh adalah Belajar Model Kognitif

Sesi 11 – 15 : Belajar ACBs.

Objektif yang dipelajari pada sesi ini adalah didisain untuk mengajarkan

pelajar tentang :

1) A (ctivating event) : Mengidentifikasi kejadian atau situasi yang

sedang terjadi . “A” adalah masalah utama yang dirasakan oleh

pelajar. Pelajar diminta untuk menggambarkan apa yang telah

membuat emosinya timbul. “A” sering dijelaskan dalam bentuk hasil

obsevasi.

2) C(onsequence): Pelajar menilai level dari perasaannya dan

membangun suatu tujuan untuk mencapai upaya menurunkan

intensitas, durasi dan frekuensi dari emosi yang mengganggu.

3) B(elief system) : Pelajar berpikir untuk menganalisa dan

mengidentifikasi keyakinan-keyakinan atau pola pikirnya yang

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 67: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

membentuk konsekuensi emosi (C) (Vernon, 1996;Zionts, 1996

dalam Banks & Zionts, 2009). Pertanyaan yang berhubungan dengan

“B” ini adalah “ apa yang kamu pikirkan tentang situasi ini?”. Diskusi

dilakukan untuk penguatan dalam belajar, latihan keterampilan dan

mengetahui tentang pemahaman pelajar.

Belajar Model Kognitif

1) Tujuan :

Mendorong keyakinan bahwa orang yang merasa stress karena

ketidakmampuannya untuk melihat situasi berdasarkan kenyataannya.

Beberapa orang tidak dapat membedakan antara fakta dan opini.

Membantu individu mempelajari komponen dari strategi kognitif dan

perilaku.

2) Objektif : Ketika pelajar diberikan sebuah huruf (A, B atau C), baik

secara lisan maupun tulisan. Pelajar akan mampu mengidentifikasi

“A”, “C”, dan “B” dari model kognitif.

c. Fase III : Aplikasi dari Latihan yaitu latihan Model kognitif

Sesi 16 – 20 : mendiskusikan “A” dan “C” serta pertanyaan “Bs”.

Objektif dari kegiatan dalam fase ini di disain agar pelajar dapat

mengaplikasikan keterampilan yang dipelajari selama berpartisipasi

dalam diskusi yang difokuskan pada situasi atau kejadian dari masalah.

Individubertanggung jawab untuk berpartisipasi dalam mengidentifikasi

kejadian yang sedang terjadi (A), Konsekuensinya (C), dan keyakinan

(B). Tujuan utama dari setiap sesi adalah untuk memahami keterampilan

yang diajarkan karena prasyarat untuk sesi berikutnya dan akan lebih baik

pelajar diberi kesempatan untuk mendemontrasikan setiap sesi yang

sudah dipelajari sebelum masuk ke sesi berikutnya. Dalam beberapa

kasus terapis dapat memodifikasi REBT agar lebih dapat dipahami oleh

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 68: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

partisipan. Latihan strategi kognitif dapat dikenalkan sebagai tugas di

rumah (PR). Riset sebelumnya telah mengindikasikan bahwa strategi

kognitif termsuk komponen pekerjaan rumah yang akan menguatkan

pencapaian keterampilan secara keseluruhan, me3nyarankan bahawa

individu dapat lebih fleksibel dalam menggunakan keterampilan pada

seting yangberbeda (DiGiuseppe & Benard, 1990 dalam Banks & Zionts,

2009)

Dengan demikian dari hasil pelaksanaan REBT yang dilakukan Banks dan Zionts

terhadap pelajar terlihat bahwa ada 20 sesi yang dilaksanakan dengan dibagi

kedalam 3 fase secara garis besar. REBT yang dilakukan ini dalam bentuk

kelompok pelajar. Namun peneliti nantinya akan merencanakan pelaksanaan

REBT pada individu. Seperti yang disampaikan oleh Corsini (1987) bahwa

REBT menggunakan bentuk psikoterapi baik bersifat individu maupun bersifat

kelompok.

2.3.6 Aplikasi Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT)

Berdasarkan teori dan konsep tentang Rational Emotive Behaviour Therapy

(REBT) yang disampaikan oleh para ahli dan hasil peneliatiannya maka

peneliti memodifikasi beberapa hal yang disesuaikan dengan kebutuhan

penelitian ini dengan tetap berpedoman pada konsep dasar dari REBT itu

sendiri.

Pengertian :

REBT adalah suatu metoda terapi yang menggunakan pendekatan kognitif

dan perilaku untuk memahami dan mengatasi masalah emosi dan perilaku

negatif yang berasal dari keyakinan-keyakinan yang tidak rasional

(irrasional). REBT merupakan suatu pendekatan kognitif dan perilaku yang

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 69: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

mengemukakan fakta-fakta bahwa perilaku yang dihasilkan bukan berasal

dari kejadian yang dialami namun dari keyakinan – keyakinan yang tidak

rasional.

Tujuan REBT :

Membantu individu untuk dapat menolong diri sendiri dengan mengajarkan

cara mengubah keyakinan irrasionalnya menjadi lebih rasional melalui

pembelajaran dan latihan terhadap kognitif, emosi dan perilaku sehingga

memungkinkan bagi klien untuk melakukan koping dalam jangka waktu yang

panjang di masa yang akan datang.

Indikasi REBT :

a. Aplikasi klinis adalah depresi, gangguan kecemasan (obsesif kompulsif,

agoraphobia, agora spesifik, general ansietas dan post traumatic),

gangguan makan, adiksi, gangguan kontrol impuls, manajemen marah,

perilaku antisocial, gangguan personal, kekerasan seksual, gangguan fisik

atau gangguan mental, manajemen stress, manajemen nyeri dan gangguan

perilaku pada anak dan dewasa serta masalah hubungan dalam keluarga.

b. Aplikasi non klinis adalah pertumbuhan personal yang dapat digunakan

untuk membantu individu mengembangkan diri dan bertindak lebih

fungsional dalam menjalani filosofi hidup dan efektivitas ditempat kerja.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 70: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

Peran Terapis

a. Terapis sebagai trainer, REBT adalah edukatif dan kolaboratif. Klien

belajar terapi dan belajar untuk menggunakannya secara sendiri. Terapis

menyediakan training dan klien yang mempelajarinya sendiri. Tidak ada

penjelasan yang tidak disampaikan pada klien dan terapis bersama klien

merancang PR yang akan dilakukan klien di rumah.

b. Terapis sebagai fasilitator, hubungan terapis dan klien sangat penting

tetapi lebih kepada memberikan dorongan. Terapi menunjukan sikap

empati, penerimaan yang tidak terkondisi,dan terapis harus berhati-hati

agar aktivitas tidak menciptakan ketergantungan pada klien.

Fase dan Sesi dalam aplikasi REBT

Berdasarkan teori dan konsep yang dijelaskan tentang Rational Emotive

Behaviour Therapy (REBT) maka peneliti melakukan modifikasi terhadap

terapi yang akan dilaksanakan yaitu peneliti menggunakan 3 Fase yang

didalamnya terdiri atas 5 sesi.

1. Fase I

a. Sesi 1: Persiapan Kognitif : Bina hubungan dan harapan-

harapan

Tujuan : Klien mampu membina hubungan saling percaya dengan

terapis

Tindakan :

1) Bina hubungan saling percaya

2) Mendiskusikan dan membuat thermometer perasaan

3) Menilai kejadian yang menimbulkan perasaan

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 71: Makalah Ttg Retensi Urin

���

Universitas Indonesia

b. Sesi 2 : Persiapan Kognitif : Memahami perasaan

Tujuan : Klien mampu memahami rentang dari perasaan

Tindakan :

1) Memahami, mengidentifikasi dan menghubungkan perasaan

dengan pikiran.

2) Melabel dan mengelompokkan perasaan yang membahayakan dan

perasaan yang pernah dialami.

3) Mendiskusikan situasi yang dialami dan menyesuaikan dengan

thermometer perasaan sesuai dengan reaksi emosinya.

c. Sesi 3 : Persiapan Kognitif : Fakta Lawan Opini

Tujuan : Klien mampu membedakan antara kenyataan dengan

opini/persepsi

Tindakan :

Belajar membedakan antara kenyataan dengan opini/persepsi melalui

pemberian stimulus berupa kalimat-kalimat pernyataan

2. Fase II

Sesi 4: Belajar model Kognitif : ACBs

Tujuan : Klien mampu mempelajari komponen dari strategi kognitif dan

perilaku

Tindakan :

a. Mendiskusikan dan mengajarkan individu tentang Rational Self

Analysis yang terdiri atas :

A (Activating Event) : Mengidentifikasi kejadian yang sedang terjadi

C (Consequence) : Bagaimana individu bereaksi terhadap kejadian

B (Belief system) : Evaluasi pemikiran terhadap kejadian

E (new Effect) : Bagaimana saya seharusnya merasakan dan

berperilaku

D (Disputing) : Keyakinan rasional yang baru untuk menolong

menghadapi reaksi terhadap peristiwa

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 72: Makalah Ttg Retensi Urin

��

Universitas Indonesia

F (Further action) : Apa yang akan dilakukan untuk menghindari

berulangnya pikiran irrasional yang sama

3. Fase III

Sesi 5: Latihan Model Kognitif : ACBs

Tujuan : Klien mampu menerapkan keterampilan yang diperoleh

Tindakan :

a. Mendemontrasikan keterampilan yang dilatih dalam

mengidentifikasikan kejadian (A), Konsekuensi(C) dan (B)

keyakinan.

b. Mengaplikasikan kemampuan dan berpartisipasi dalam

mengidentifikasi kejadian (A), Konsekuensi(C) dan (B) keyakinan.

Tujuan utama dari setiap sesi adalah untuk memahami keterampilan yang

diajarkan karena prasyarat untuk sesi berikutnya dan akan lebih baik individu

diberi kesempatan untuk mendemontrasikan setiap sesi yang sudah dipelajari

sebelum masuk ke sesi berikutnya. Dalam beberapa kasus terapis dapat

memodifikasi REBT agar lebih dapat dipahami oleh partisipan. Latihan strategi

kognitif dapat dikenalkan sebagai tugas di rumah (PR).

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 73: Makalah Ttg Retensi Urin

69

Universitas Indonesia

BAB 3

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS

DAN DEFINISI OPERASIONAL

Dalam bab ini akan diuraikan tentang kerangka teori, kerangka konsep, hipotesis dan

definisi operasional yang memberikan arah pada pelaksanaan penelitian.

3.1 Kerangka Teori Penelitian

Kerangka teori ini merupakan uraian dari kerangka teoritis yang digunakan

sebagai landasan teori dalam penelitian ini. Kerangka teori ini disusun dengan

modifikasi konsep-konsep teori yang diuraikan dalam BAB 2, yaitu tentang

skizoprenia, perilaku kekerasan, dan psikoterapi rasional emotif behaviour terapi

(REBT).

Skizoprenia menurut Videbeck (2008) adalah suatu penyakit yang

mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi,

gerakan, dan perilaku yang aneh. Menurut Stuart dan Laraia (2005) Skizoprenia

banyak penyebabnya, dapat disebabkan oleh faktor biologis seperti genetik,

neurotransmiter, neurobiologi, perkembangan saraf otak dan teori-teori virus;

faktor psikologis seperti pola asuh orang tua terhadap anak didalam keluarga;

faktor sosial seperti sosiokultural: pengangguran, ketidakmampuan dalam

memenuhi kebutuhan dasar, kesulitan dalam mempertahankan hubungan

interpersonal dan kontrol sosial. Skizoprenia dikelompokkan atas beberapa tipe

berdasarkan DSM-IV-TR (APA, 2000) yaitu skizoprenia paranoid, disorganisasi,

katatonik, terdiferensiasi, dan residual. Menurut Keliat (2003) pada skizoprenia

paranoid lebih sering terjadi perilaku kekerasan.

Perilaku kekerasan/agresifitas adalah perilaku yang bertujuan untuk melukai

seseorang secara fisik atau psikologis (Berowitz dalam Soetjiningsih, 2004).

Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon maladaptif dari marah. Marah

adalah reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 74: Makalah Ttg Retensi Urin

70

Universitas Indonesia

merangsang, termasuk ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan

lisan, kekecewaan atau frustrasi (Chaplin, 2002 dalam Triantoro, 2009).

Penyebab terjadinya respon marah yang maladaptif seperti perilaku kekerasan

menurut Stuart dan Laraia (2005) dapat diketahui dari faktor biologi,

psikologis, sosial budaya dan spiritual. Penyebab dari Faktor biologis seperti

system limbik, lobus frontal, hypothalamus, dan neurotransmitter. Adapun

penyebab dari faktor psikososial adalah penolakan, mengalami atau menjadi

korban kekerasan, sering melihat kekerasan dalam keluarga menurut Kneisl;

Wilson dan Trigoboff, (2004), terputusnya hubungan ibu dan bayi, dorongan

yang bersifat bawaan menurut teori psikoanalitik Freud, dan menurut teori

psikologikal karena kebutuhan dan kekurangan individu. Sedangkan menurut

Boyd dan Nihart (1998) terjadinya perilaku agresif atau perilaku kekerasan

secara psikologis adalah dorongan naluri, adanya gangguan atau hambatan dalam

mencapai tujuan, stimulus internal dan eksternal yang dirasa sebagai suatu yang

berbahaya, emosi negatif yang membawa pada perilaku irrasional dan gaya

interaksi yang memaksa. Sementara penyebab dari faktor sosial budaya dan

spiritual adalah kemiskinan dan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup,

masalah perkawinan, keluarga single parent, pengangguran, kesulitan

mempertahankan tali persaudaraan, struktur keluarga, dan kontrol sosial ( Stuart

& Laraia, 2005). Aspek spiritual adalah komponen kehidupan individu yang

terkait dengan falsafah hidup, nilai, keyakinan dan religi (Rawlins, et. al, 1993

dalam Keliat, 2003). Keyakinan akan membantu individu dalam memilih

ekspresi kemarahan yang diperbolehkan.

Menurut Stuart dan Laraia (2005), Perilaku kekerasan dapat dilihat dari

motorik, verbalisasi, afektif dan tingkat kesadaran. Sedangkan menurut Boyd dan

Nihart (1998) tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat diketahui secara

kognitif, afektif, perilaku dan fisiologi.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 75: Makalah Ttg Retensi Urin

71

Universitas Indonesia

Individu dengan perilaku kekerasan/ agresif membutuhkan terapi psikofarmaka

yang tepat dan Psikoterapi yang akan membantu klien untuk menghilangkan

perilaku yang maladaptif dan menggantinya dengan perilaku adaptif. Terapi

psikofarmaka yang efektif untuk mengatasi perilaku agresif (Allen et al, 2003

dalam Stuart & Laraia, 2005) adalah: Antiansietas dan sedative hypnotics,

Antidepresan, mood stabilizer, antipsikotik. Adapun tindakan keperawatan untuk

perilaku kekerasan yang telah dikembangkan melalui riset adalah edukasi pada

individu melalui standar asuhan keperawatan (SAK) (Keliat, 2003). Disamping

itu berdasarkan beberapa literatur psikoterapi yang dapat diberikan untuk klien

dengan perilaku kekerasan adalah Assertiveness training (Rawlins, Williams,

Beck, 1993), Cognitive behavioral therapy (CBT), Relaxation training, Family

psychoeducation, Therapeutic group (Stuart & Laraia, 2005), Triangle therapy

dan Psychoeducational group (Varcarolis, Carson, & Shoemaker, 2006) dan

Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) (Ellis, 1977; Vacarolis, 2006;

Jensen, 2008).

Rational Emotive Behaviour Therapy ( REBT) adalah suatu metode untuk

memahami dan mengatasi masalah emosi dan perilaku. REBT merupakan salah

satu terapi kognitif dan perilaku yang mengemukakan fakta-fakta bahwa perilaku

yang dihasilkan bukan berasal dari kejadian yang dialami namun dari keyakinan

– keyakinan yang tidak rasional (Jensen, 2008). Teori REBT menegaskan bahwa

keyakinan yang tidak rasional akan membawa individu pada emosi dan perilaku

negatif yang tidak sehat seperti perilaku amuk (agresif) dan rasa bersalah

(Jensen, 2008). Konsep kunci teori REBT menurut Albert Ellis yaitu Antecedent

event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang

kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC dan beliau juga menambahkan

Dispute (D) dan Effects (E) (Froggatt, 2005).

Menurut Banks dan Zionts fase dari pelaksanaan REBT terdiri atas Fase I

Persiapan kognitif : Keterampilan berupa kesiapan terhadap REBT, Fase II

Keterampilan yang diperoleh yaitu belajar model kognitif dan Fase III Aplikasi

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 76: Makalah Ttg Retensi Urin

72

Universitas Indonesia

dari latihan yaitu latihan model kognitif. Dari ketiga fase tersebut dibagi menjadi

sesi-sesi yang terdiri atas :

1. Fase I terdiri atas sesi 1–2 yang disebut sesi membina hubungan dan

mengidentifikasi harapan.

2. Fase II terdiri atas sesi 3- 5 yang disebut Memahami perasaan dan sesi 6 – 10

yang disebut sesi Fakta lawan opini.

3. Fase III terdiri atas sesi 11 – 15 yang disebut sesi Belajar ACBs dan sesi 16 –

20 yang disebut sesi Mendiskusikan A dan C serta pertanyaan Bs.

Gambaran kerangka teori penelitian yang telah dilakukan berdasarkan teori-teori yang

sudah dijelaskan sebelumnya dapat dilihat pada skema 3.1

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 77: Makalah Ttg Retensi Urin

73

Universitas Indonesia

Skema 3.1 Kerangka Teori

Faktor-Faktor penyebab

Perilaku Kekerasan

B. Kerangka Konsep

Faktor Biologis � system limbic

� Lobus frontal

� Hypothalamus

� Neurotransmitter.

Faktor psikososial � Penolakan

� mengalami dan melihat kekerasan

� hubungan ibu dan anak,

� kebutuhan dan kekurangan individu

� hambatan dalam mencapai tujuan

� emosi negatif yang membawa pada perilaku irrasional

Faktor sosial budaya dan spiritual � kemiskinan

� ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup

� Masalah perkawinan

� Keluarga single parent

� Pengangguran

� kesulitan mempertahankan tali persaudaraan, struktur keluarga,

Intervensi Keperawatan

a. Standar Asuhan Keperawatan (SAK) pada klien Perilaku Kekerasan�� ��������� �

b. Psikoterapi pada klien Perilaku Kekerasan :

Assertiveness training �� �� ����� � ������ �� � ���� ���� � Cognitive behavioral

therapy (CBT)� �� ������ ��� � ������� ��� , Relaxation training �� ������ ��� �

������� ��� , Family psychoeducation�� ������ ��� � ������� ��� , Therapeutic

group�� ������ ��� � ������� ��� , Triangle therapy � �����!���� " ���!�� ��� �

� #!�� ����� ��$ � � dan Psychoeducational group � �����!���� " ���!�� ��� �

� #!�� ����� ��$ � � serta Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT)� �% �����

��&&'�(��������) �.

Fase-fase dan sesi pada REBT

1. Fase I terdiri atas sesi 1–2 yang disebut sesi membina hubungan dan mengidentifikasi

harapan, atas sesi 3- 5 yang disebut Memahami perasaan dan sesi 6 – 10 yang disebut

sesi Fakta lawan opini.

Perilaku Kekerasan � Kognitif

� Afektif

� Perilaku

� Fisiologi.

� Sosial

Psikofarmaka

Antiansietas, sedative hypnotics,

Antidepresan, mood stabilizer,

antipsikotik.

Skizoprenia terbagi atas : Paranoid Disorganisasi

Katatonik Terdiferensiasi

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 78: Makalah Ttg Retensi Urin

74

Universitas Indonesia

3.2 Kerangka Kansep Penelitian

Kerangka konsep merupakan kerangka kerja dalam melakukan penelitian

perilaku kekerasan berdasarkan respon yaitu kognitif, afektif (emosi), perilaku

fisiologi dan sosial. Perilaku kekerasan dalam penelitian ini di intervensi dengan

memberikan klien psikoterapi yaitu Rational Emotive Behaviour Therapy

(REBT). Proses terapi REBT yang diterapkan pada klien dengan perilaku

kekerasan menghasilkan perubahan perilaku berdasarkan tanda dan gejala

perilaku kekerasan yaitu kognitif, afektif (emosi), perilaku, fisiologis dan sosial.

Kerangka konsep penelitian ini terdiri atas 3 variabel yaitu variabel dependen,

variabel independen dan variabel perancu (Confounding).

3.2.1. Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat

karena variabel bebas (Hidayat, 2007). Pada penelitian ini yang menjadi

variabel terikat adalah perubahan perilaku pada klien dengan perilaku

kekerasan. Perubahan perilaku meliputi kognitif, afektif (emosi),

perilaku, fisiologis dan sosial (Boyd & Nihart, 1998; Stuart & Laraia,

2005).

3.2.2. Variabel independen merupakan variabel yang menjadi sebab perubahan

atau timbulnya variabel dependen (terikat) (Hidayat, 2007). Variabel

independen dalam penelitian ini adalah terapi REBT yang digunakan

sebagai intervensi kepada klien dengan perilaku kekerasan (Ellis, 1977;

vacarolis, 2006; Jensen, 2008). ����

����

����

3.2.3. Variabel Perancu merupakan faktor-faktor dalam karakteristik responden

yang diduga dapat mempengaruhi variabel dependen dan variabel

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 79: Makalah Ttg Retensi Urin

75

Universitas Indonesia

independen dalam penelitian ini. Variabel perancu memiliki tujuh

karakteristik adalah usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status

perkawinan, riwayat gangguan jiwa dan frekuensi dirawat (Sounders,

2006; Stuart & Laraia, 2005; Keliat, 2003; Keliat dkk. 2008). Pada

penelitian ini yang dijadikan variabel counfaundingnya adalah usia, jenis

kelamin, pendidikan,pekerjaan, riwayat gangguan jiwa dan frekuensi

dirawat .

Pada Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) ini berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh Banks dan Zions (2009) terhadap pelajar terdiri atas 3 fase

yang terdiri atas 20 sesi. Namun pada penelitian ini peneliti mencoba untuk

sedikit memodifikasi sesinya menjadi 5 sesi secara umum, seperti yang

diungkapkan dalam teori sebelumnya bahwa jumlah sesi tergantung pada

kemampuan responden dalam mempelajari REBT. Peneliti melaksanakan REBT

pada klien dengan perilaku kekerasan dalam 3 fase yang terdiri atas 5 sesi yaitu :

1. Fase I terdiri atas sesi 1 yang disebut sesi membina hubungan dan

mengidentifikasi harapan , sesi 2 yang disebut memahami perasaan dan sesi 3

yang disebut sesi Fakta lawan opini.

� Fase II terdiri atas sesi 4 yang disebut sesi belajar model kognitif ACBs�

�� Fase III terdiri atas sesi 5 yang disebut sesi latihan model kognitif ACBs.�

Keterkaitan ketiga variable yaitu bebas, terikat dan perancu tersebut dapat dilihat

pada skema 3.2

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 80: Makalah Ttg Retensi Urin

76

Universitas Indonesia

Skema 3.2 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen

Variabel Dependen Variabel Dependen

REBT

1. Fase I : Persiapan Kognitif

Terdiri atas sesi 1 yang disebut sesi membina hubungan dan

mengidentifikasi harapan, sesi 2 yang disebut Memahami

perasaan dan sesi 3 yang disebut sesi Fakta lawan opini..

� Fase II:Keterampilan : Belajar model kognitif ACBs�

Terdiri atas sesi 4 yang disebut sesi Belajar ACBs�

�� Fase III: Aplikasi /latihan Model Kognitif ACBs�

Perilaku Kekerasan yang meliputi :����Kognitif����Afektif����Perilaku ����Fisiologi��dan sosial.

Perilaku Kekerasan yang meliputi : Kognitif, Afektif, Perilaku , Fisiologis dan sosial.

Variabel Perancu

1. Usia

2. Jenis kelamin

3. Pendidikan

4. Pekerjaan

5. Riwayat gangguan jiwa

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 81: Makalah Ttg Retensi Urin

77

Universitas Indonesia

3.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep penelitian, maka dapat dirumuskan hipotesis

penelitian sebagai berikut :

1. Ada perubahan perilaku kekerasan pada klien yang mendapatkan terapi

Rational Emotive Behaviour Therapy terhadap perubahan perilaku pada klien

dengan perilaku kekerasan

2. Ada perubahan perilaku pada klien dengan perilaku kekerasan sebelum dan

sesudah diberikan Rational Emotif Behaviour Therapy.

3. Ada perbedaan perubahan perilaku pada klien dengan perilaku kekerasan

antara yang mendapatkan terapi generalis dan Rational Emotif Behaviour

Therapy dengan yang hanya mendapatkan terapi generalis

4. Ada kontribusi karakteristik klien terhadap hubungan terapi Rational Emotif

Behaviour Therapy dengan perubahan perilaku kekerasan.

3.4 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional dan

berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 82: Makalah Ttg Retensi Urin

78

Universitas Indonesia

melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau

fenomena (Hidayat, 2007). Definisi operasional dalam penelitian ini ditentukan

dengan menggunakan parameter yang dijadikan ukuran dalam penelitian yang dapat

diuraikan seperti pada tabel 3.3.

Tabel 3.3

Definisi Operasional Variabel Penelitian (Variabel Confounding, Dependen, dan Independen)

No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala

A Variabel Confounding (Karakteristik Klien dengan Perilaku Kekerasan) 1. Usia Umur responden sejak

lahir sampai dengan ulang tahun terakhir.

Satu item pertanyaan dalam kuesioner A tentang usia responden

Dinyatakan dalam tahun

Interval

2. Jenis Kelamin Merupakan pembedaan dari gender responden

Satu item pertanyaan dalam kuesioner A tentang jenis kelamin responden.

1. Laki-laki 2. Perempuan

Nominal

3. Pendidikan Tingkat pendidikan formal yang ditempuh berdasarkan ijazah terakhir

Satu item pertanyaan dalam kuesioner A tentang pendidikan terakhir responden

1. SD – SMP 2. SMU -

Perguruan Tinggi

Ordinal

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 83: Makalah Ttg Retensi Urin

79

Universitas Indonesia

4. Pekerjaan

Usaha yang dilakukan baik di dalam maupun di luar rumah untuk mendapatkan penghasilan/imbalan yang sesuai dengan usahanya

Satu item pertanyaan dalam kuesioner A tentang pekerjaan responden

1. Bekerja 2. Tidak Bekerja

Ordinal

5. Frekuensi di rawat

Jumlah berapa kali klien dirawat dengan masalah gangguan jiwa

Satu item pertanyaan dalam kuesioner A tentang berapa kali klien dirawat di rumah sakit

1. Pertama

2. 2x/lebih

Nominal

6.

Riwayat gangguan jiwa

Pengalaman gangguan jiwa yang dialami sebelum sakit gangguan jiwa saat ini.

Satu item pertanyaan dalam kuesioner A tentang pengalaman gangguan jiwa yang dialami sebelumnya oleh responden

1. Ada

� Tidak ada�

Nominal

No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala

B. Variabel Dependen

6. Perilaku Kekerasan yang meliputi a. Respon

kognitif

b. Respon emosi

c. Respon

Perilaku yang bertujuan untuk melukai diri sendiri, orang lain secara fisik atau psikologis dan juga lingkungan. Reaksi pikiran terhadap stressor yang menimbulkan marah Reaksi perasaan terhadap stressor yang menimbulkan marah Reaksi fisik terhadap stressor yang menimbulkan marah

Menggunakan lembar observasi I dan lembar kuesioner B Menggunakan lembar kuesioner B Menggunakan lembar kuesioner B Menggunakan lembar observasi I

Score Keseluruhan dari item Observasi dan kuesioner tentang Respon klien dari perilaku kekerasan . Skore dari 8 pernyataan tentang pikiran yang ada pada lembar kuesioner B Skore dari 7 pernyataan tentang perasaan yang ada pada lembar kuesioner B Skore dari 6 pernyataan tentang respon fisik yang ada

Interval Interval Interval Interval

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 84: Makalah Ttg Retensi Urin

80

Universitas Indonesia

fisiologis

d. Respon

perilaku

e. Respon sosial

Reaksi berupa tindakan yang dilakukan individu akibat marah Reaksi individu terhadap hubungannya dengan orang lain dan lingkungan sekitar akibat marah

Menggunakan lembar kuesioner B Menggunakan lembar kuesioner B

pada lembar Observasi 1 Skore dari 6 pernyataan tentang perilaku yang ada pada lembar kuesioner B Skore dari 5 pernyataan tentang hubungan klien dengan orang lan yang ada pada lembar kuesioner B

Interval Interval

No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala

C. Variabel Independen 7.. Rational

Emotive

Behaviour

Therapy

(REBT)

Kegiatan terapi yang

dilakukan untuk

memahami dan

mengatasi masalah

emosi dan perilaku

dengan menggunakan

pendekatan kognitif

dan perilaku yang

mengemukakan fakta-

fakta bahwa perilaku

yang dihasilkan bukan

berasal dari kejadian

yang dialami namun

dari keyakinan –

keyakinan yang tidak

rasional.

Terdiri atas 5 sesi

Menggunakan lembar observasi dan kuesioner

1. Dilakukan REBT

2. Tidak dilakukan REBT

Nominal

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 85: Makalah Ttg Retensi Urin

����

BAB 4

METODE PENELITIAN

Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang desain penelitian, populasi dan sampel,

tempat penelitian, waktu penelitian, etika penelitian, alat pengumpulan data, prosedur

pengumpulan data dan analisa data.

4.1 Desain Penelitian

Disain penelitian merupakan wadah untuk menjawab pertanyaan penelitian atau

kesahihan hipotesis. Penelitian ini menggunakan desain penelitian “Quasi

Experimental Pre-Post Test with “Control Group” dengan intervensi Rational

Emotive Behaviour Therapy ( REBT). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

perubahan perilaku pada klien dengan perilaku kekerasan baik secara kognitif,

afektif (emosi), perilaku, sosial dan fisiologis sebelum dan sesudah diberikan

perlakuan atau intervensi berupa pemberian terapi REBT. Penelitian ini

membandingkan dua kelompok klien dengan perilaku kekerasan yang sedang di

rawat di ruang rawat inap rumah sakit Marzoeki Mahdi Bogor, yaitu kelompok

intervensi (kelompok yang diberikan Rational Emotive Behaviour Therapy ( REBT)

dan kelompok kontrol (kelompok yang tidak diberikan Rational Emotive Behaviour

Therapy ( REBT). Sesuai dengan pendapat Sastroasmoro dan Ismael (2008)

menyatakan bahwa pada studi eksperimental, peneliti melakukan intervensi atau

manipulasi terhadap satu atau lebih variabel penelitian dan kemudian mempelajari

atau mengukur hasil (efek) intervensinya. Adapun skema pelaksanaan tergambar

dalam bagan berikut di bawah ini.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 86: Makalah Ttg Retensi Urin

����

Universitas Indonesia �

Skema 4.1

Pelaksanaan Penelitian

Kelompok Pre Test Post Test

Intervensi O1 O2

Kontrol O3 O4

Keterangan:

X : Perlakuan (intervensi) Rational Emotive Behaviour Therapy ( REBT).

O1 : Respon klien perilaku kekerasan pada kelompok intervensi sebelum

mendapatkan perlakuan (intervensi) Rational Emotive Behaviour

Therapy ( REBT).

O2 : Perubahan respon klien dengan perilaku kekerasan pada kelompok

intervensi setelah mendapatkan perlakuan (intervensi) Rational Emotive

Behaviour Therapy ( REBT).

O3 : Respon klien perilaku kekerasan pada kelompok kontrol sebelum

kelompok intervensi mendapatkan perlakuan Rational Emotive

Behaviour Therapy ( REBT).

O4 : Perubahan respon klien perilaku kekerasan pada kelompok kontrol

setelah kelompok intervensi mendapatkan perlakuan Rational Emotive

Behaviour Therapy ( REBT).

O2 - O1 : Perubahan respon klien perilaku kekerasan pada kelompok intervensi

setelah mendapatkan perlakuan (intervensi) Rational Emotive

Behaviour Therapy ( REBT).

��������

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 87: Makalah Ttg Retensi Urin

����

Universitas Indonesia �

O4-O3 : Perubahan respon klien perilaku kekerasan pada kelompok kontrol

sebelum dan setelah kelompok intervensi mendapatkan perlakuan

Rational Emotive Behaviour Therapy ( REBT).

O2-O4 : Perbandingan perubahan respon klien perilaku kekerasan antara

kelompok yang mendapatkan terapi REBT dan kelompok yang tidak

mendapatkan terapi REBT setelah kelompok intervensi mendapatkan

Rational Emotive Behaviour Therapy ( REBT).

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian

4.2.1 Populasi

Populasi dalam penelitian adalah sejumlah besar subyek yang mempunyai

karakteristik tertentu. Subyek dapat berupa manusia, hewan coba, data

laboratorium dan lain-lain, sedangkan karakteristik subyek ditentukan sesuai

dengan ranah dan tujuan penelitian (Sastroasmoro dan Ismael, 2008). Populasi

dalam penelitian ini adalah seluruh klien skizoprenia paranoid yang mengalami

perilaku kekerasan dan berada di ruang rawat inap RSMM Bogor. Populasi

dalam penelitian adalah pasien skizofrenia paranoid yang mengalami perilaku

kekerasan yang dirawat inap di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi tahun 2010

berjumlah 45 orang.

4.2.1 Sampel

Sampel adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu

sehingga dapat dianggap mewakili populasinya (Sastroasmoro dan Ismael,

2008). Sampel penelitian ini adalah klien dengan skizoprenia yang mengalami

perilaku kekerasan dengan kriteria inklusinya adalah :

a. Usia 18 – 60 tahun

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 88: Makalah Ttg Retensi Urin

����

Universitas Indonesia �

b. Alasan masuk rumah sakit karena perilaku kekerasan ( menciderai diri

sendiri, orang lain dan lingkungan)

c. Klien tidak dalam keadaan sedang berperilaku kekerasan (amuk)

d. Klien kooperatif dalam interaksi

e. Klien dapat membaca dan menulis

f. Klien mempunyai diagnosa medis skizoprenia paranoid.

g. Klien bersedia menjadi responden

4.2.1.1 Besar Sampel

Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan estimasi

(perkiraan) untuk menguji hipotesis beda rata-rata kelompok berpasangan

dengan rumus sebagai berikut (Iwan Ariawan, 1998):

Keterangan:

n : Besar sampel

Z� : Harga kurva normal tingkat kesalahan yang ditentukan dalam

penelitian pada CI 95 % (� = 0,05), maka Z� = 1,96

Z ß : Bila � = 0,05 dan power = 90% maka Z ß = 1,282

: Rata-rata pada keadaan sebelum intervensi

: Rata-rata pada keadaan setelah intervensi

= 10

�� �� � ��

������������� �� ��

�����

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 89: Makalah Ttg Retensi Urin

����

Universitas Indonesia �

� : Standar deviasi dari beda 2 rata-rata berpasangan dari penelitian

terdahulu atau penelitian awal

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus diatas, maka:

2. 112 (1,96 + 1,282)2

(10) 2

Maka besar sampel untuk penelitian ini adalah 25 responden untuk setiap

kelompok.

Dalam studi quasi eksperimental ini, untuk mengantisipasi adanya drop out

dalam proses penelitian, maka kemungkinan berkurangnya sampel perlu

diantisipasi dengan cara memperbesar taksiran ukuran sampel agar presisi

penelitian tetap terjaga. Adapun rumus untuk mengantisipasi berkurangnya

subyek penelitian (Sastroasmoro & Ismael, 2008) ini adalah :

Keterangan :

n’ : Ukuran sampel setelah revisi

n : Besar sampel yg dihitung

1 - f : Perkiraan proporsi drop out, yang diperkirakan 10 % (f = 0,1)

maka :

27,78 dibulatkan menjadi 28

������������

������ �

�����

�����25,40 dibulatkan menjadi 25

���

��

�����

25

1 – 0,1

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 90: Makalah Ttg Retensi Urin

����

Universitas Indonesia �

Berdasarkan rumus tersebut diatas, maka jumlah sampel akhir yang

dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 28 responden untuk setiap kelompok

(28 responden untuk kelompok intervensi dan 28 responden untuk kelompok

kontrol), sehingga jumlah total sampel adalah 56 responden. Kenyataannya

pada penelitian ini responden berjumlah 53 orang yang terdiri atas 25 orang

pada kelompok intervensi dan 28 orang pada kelompok kontrol. Hal ini

disebabkan karena 3 orang dari kelompok intervensi drop out.

4.2.1.2 Tehnik Pengambilan Sampel

Teknik sampling merupakan suatu proses seleksi sampel yang digunakan

dalam penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel akan

mewakili keseluruhan populasi yang ada (Hidayat, 2007). Teknik

pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Consecutive

Sampling. Pada Consecutive Sampling, semua subyek yang datang dan

memenuhi kriteria dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek yang

diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro & Ismael, 2008).

Adapun sampel dalam penelitian ini adalah klien dengan skizoprenia

khususnya paranoid yang mengalami perilaku kekerasan dan rawat inap di

rumah sakit Marzoeki Mahdi Bogor serta memenuhi syarat sesuai dengan

kriteria inklusi dari penelitian ini. Dari sampel ini semua dibagi atas

kelompok intervensi dan kelompok kontrol dimana klien dibagi berdasarkan

ruangan. Pada kelompok intervensi berjumlah 25 orang yang berada di

ruangan Yudistira, Sadewa dan Utari sedangkan kelompok kontrol berjumlah

28 orang yang berada di ruangan Bratasena dan Arimbi.

4.2.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai pada minggu IV Mei 2010 sampai dengan

minggu III Juni 2010 dengan alokasi waktu pelaksanaan kegiatan penelitian ini

dapat dilihat dalam Jadual Pelaksanaan Kegiatan Penelitian. Penelitian ini

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 91: Makalah Ttg Retensi Urin

����

Universitas Indonesia �

dilaksanakan di ruang rawat inap rumah sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Adapun

ruangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ruang Sadewa, Yudistira,

Bratasena, Utari dan Arimbi.

Pemilihan ruang diatas disesuaikan juga dengan kriteria inklusi sampel penelitian

dimana ruangan yang dipilih adalah ruangan yang mempunyai klien dengan

perilaku kekerasan dan mendapatkan intervensi Preventive Strategies (strategi

pencegahan) dan Anticipatory Strategies ( strategi antisipasi) karena kliennya

sudah tidak amuk lagi serta ruang-ruangan tersebut merupakan ruangan yang

sudah terpapar MPKP dengan rata-rata tingkat pendidikan perawatnya D3 dan S1

sehingga perawat ruangan sudah mampu memberikan tindakan keperawatan

generalis pada klien dengan perilaku kekerasan diruangannya.

4.3 Etika Penelitian

Dalam upaya melindungi hak azasi dan kesejahteraan subyek penelitian, maka

sebelum penelitian ini dilakukan peneliti telah melalui serangkaian proses uji

kelayakan penelitian, seperti proposal penelitian yang sudah memenuhi ketentuan

etika penelitian dengan dilakukannya uji kaji etik oleh Komite Etik Penelitian

Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (lampiran 10) ;

modul yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan Rational Emotiove Behaviour

Therapy yang telah melalui uji expert validity; dan kemampuan peneliti dalam

melakukan Rational Emotiove Behaviour Therapy yang telah melalui uji

kompetensi dimana kedua uji tersebut dilakukan oleh pakar keperawatan jiwa di

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia ( lampiran 8 &lampiran 9).

Salah satu bentuk tanggung jawab mendasar, peneliti sebelum melakukan penelitian

adalah diperlukan surat ijin penelitian (Brockopp & Tolsma, 2000). Berdasarkan hal

tersebut, maka sebelum melakukan penelitian, peneliti telah menyampaikan surat

permohonan penelitian pada Direktur RSMM Bogor. Selanjutnya peneliti

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 92: Makalah Ttg Retensi Urin

����

Universitas Indonesia �

mengkoordinasikan rencana pelaksanaan penelitian kepada masing-masing kepala

ruangan yang menjadi tempat penelitian.

Responden adalah klien dengan perilaku kekerasan yang dirawat di RSMM Bogor

dan telah memenuhi kriteria inklusi karakteristik responden. Sebelum klien

ditetapkan sebagai responden penelitian, maka peneliti menjelaskan atau

memberikan informasi (informed consent) tentang rencana, tujuan, dan manfaat

penelitian bagi responden, perkembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan

pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan jiwa di rumah sakit jiwa.

Informasi ini diberikan melalui pertemuan resmi dan tertulis. Setiap responden

diberi hak penuh untuk menyetujui atau menolak menjadi responden dengan cara

menandatangani surat pernyataan kesediaan yang telah disiapkan oleh peneliti.

Klien bisa memberikan tanda-tangan, maka lembar informed concent

ditandatangani sendiri oleh klien, dengan demikian informed concent yang

ditandatangani oleh seluruh responden, yaitu sebanyak 53 orang.

4.4 Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner/self evaluasi dan

lembar observasi untuk mengidentifikasi perilaku kekerasan pada klien yang terdiri

dari :

4.4.1.1 Data Demografi Responden

Data demografi responden merupakan instrumen untuk mendapatkan

gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kekerasan pada klien

yang terdiri dari usia, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat gangguan

jiwa dan frekuensi dirawat. Pengambilan data ini menggunakan lembar

kuesioner A yang terdiri dari 6 pertanyaan dengan cara memberikan tanda

X pada jawaban yang dipilih terkait dengan karakteristik responden.

4.4.1.2 Pengukuran Perilaku kekerasan

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 93: Makalah Ttg Retensi Urin

����

Universitas Indonesia �

Pengukuran perilaku kekerasan menggunakan instrument yang dapat

mengukur perubahan perilaku pada klien (responden) yang meliputi

kognitif, afektif(emosi), perilaku, fisiologis dan sosial. Adapun instrument

yang digunakan adalah :

1) Kuesioner B yaitu instrumen yang digunakan untuk mengukur

perubahan perilaku responden dari respon kognitif, emosi, sosial dan

perilakunya. Instrumen yang digunakan adalah Kuesioner Skala

Pengungkapan Emosi Marah (Safaria & Saputra, 2009) yang terdiri atas 8

pernyataan untuk respon kognitif, 7 pernyataan untuk respon emosi, 6

pernyataan untuk respon sosial dan 5 pernyataan untuk respon perilaku

klien terhadap situasi yang dihadapinya. Instrument ini menggunakan

skala Likert yaitu 4: Sangat Sering(SS); 3: Sering(S); 2: Kadang-kadang

(KK); 1: Tidak Pernah (TP). Instrumen ini diisi oleh responden langsung

dan bila ada yang tidak dimengerti maka peneliti akan menjelaskannya.

2) Lembar Observasi I yaitu instrument yang digunakan untuk mengukur

respon fisiologis responden dari hasil observasi berupa pengukuran yang

dilakukan oleh peneliti dan perawat di ruangan. Lembar observasi ini

akan melihat fisiologis klien. Instrumen yang digunakan adalah lembar

Observasi respon fisiologis (Dyah, 2009). Instrumen ini terdiri atas 6

pernyataan yang berisikan kondisi fisiologis tubuh responden yang

dialami dan dapat diukur oleh peneliti. Instrument ini menggunakan skala

1 : Ya jika menurut peneliti klien menunjukkan respon yang dimaksud

dan 2 : Tidak jika menurut peneliti klien tidak menunjukkan respon yang

dimaksud.

4.5 Uji Coba Instrumen

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 94: Makalah Ttg Retensi Urin

����

Universitas Indonesia �

Untuk menguji apakah instumen penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan atau

tidak, maka peneliti terlebih dahulu melakukan uji validitas dan reliabilitasnya.

Untuk melihat validitas dan reliabilitas pengumpul data maka instrumen penelitian

yang digunakan terlebih dahulu diujikan kepada 22 orang responden yang berada di

tempat berbeda untuk menghindari bias. Uji coba ini dilakukan pada responden

yang sama karakteristiknya dengan kriteria inklusi yang ada di dalam penelitian ini.

Uji validitas dalam penelitian ini menggunakan uji korelasi Pearson Product

Moment dengan hasil valid apabila nilai r hasil (kolom corrected item – total

correlation) antara masing-masing item pernyataan lebih besar dari r tabel

(Hastono, 2007). Uji validitas ini pada tingkat kemaknaan 5%, maka pernyataan

tersebut dinyatakan valid, namun apabila lebih rendah maka dinyatakan tidak valid.

Adapun rumus yang dapat digunakan adalah

Rumus Pearson Product Moment :

( ) ( )( )[ ] ( )[ ]2222 YYNXXN

YXXYNrxy

Σ−ΣΣ−Σ

ΣΣ−Σ=

Keterangan :

N : Jumlah subyek

X : Skor setiap item

Y : Skor total

(� X)2 : Kuadrat jumlah skor item

� X2 : Jumlah kuadrat skor item

� Y2 : Jumlah kuadrat skor total

(� Y)2 : Kuadrat jumlah skor total

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 95: Makalah Ttg Retensi Urin

����

Universitas Indonesia �

rxy : Koefisien korelasi

Keputusan uji :

Bila r hitung lebih besar dari r tabel � Ho ditolak, artinya valid.

Bila r hitung lebih kecil dari r tabel � Ho gagal ditolak, artinya variabel tidak valid.

Uji validitas dilakukan pada 22 orang responden. Hasil uji validitas pada kuisioner

skala pengungkapan emosi marah ditemukan hanya 11 dari 45 pernyataan yang

hasilnya valid dimana r hasil > r tabel sehingga 45 pernyataan tersebut dimodifikasi

dengan makna yang sama dan mudah dipahami oleh klien perilaku kekerasan.

Setelah diperbaiki, peneliti menguji kembali validitas kuisioner skala pengungkapan

emosi marah maka didapat hasil bahwa dari 45 pernyataan, 26 item pernyataan

valid yaitu r hasil > r table (0,413) sedangkan kuesioner yang tidak valid dibuang

setelah terlebih dahulu dianalisa bahwa 26 pernyataan tersebut mewakili kuesioner

untuk menjawab penelitian yang dilakukan.

Reliabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan sejauhmana hasil pengukuran

tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang

sama dan dengan alat ukur yang sama (Hastono, 2007). Instrumen yang reliabel

adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang

sama akan menghasilkan nilai yang sama. Hasil pengukuran konsisten dan bebas

dari kesalahan. Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan Internal Consistensy

yang dilihat pada nilai Alfa Cronbach, jika nilai koefisien reabilitas r mendekati 1,

maka setiap skor responden dapat dipercaya atau reliable. Adapun rumus Alfa

Cronbach sebagai berikut :

��

���

� Σ−+��

���

−=

VtV

nn i1

Keterangan :

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 96: Makalah Ttg Retensi Urin

����

Universitas Indonesia �

n : Jumlah item

VI : Varian skor total, tanda � berarti jumlah Vi

Vt : Varian nilai total

Uji reliabilitas juga dilakukan pada 22 orang responden terhadap 26 pernyataan

yang dinyatakan valid selanjutnya dilakukan pengujian dengan tehnik Alpha

Cronbach. Instrumen dinyatakan realibel jika koefisien Alpha Cronbach lebih besar

dari nilai standar 0,6 ( Alpha � 0,6). Hasil uji ditemukan nilai r Alpha (0,765) lebih

besar dibandingkan dengan nilai 0,6, maka 26 pernyataan dinyatakan reliable.

4.6 Prosedur Pengumpulan Data

Langkah awal dari proses penelitian ini dimulai dengan pelaksanaan uji etik, uji

validity expert, uji kompetensi, dan selanjutnya peneliti mengajukan permohonan

ijin kepada Direktur RSMM Bogor. Setelah mendapatkan ijin secara tertulis,

kemudian peneliti melakukan koordinasi dengan Kepala ruangan di ruangan-

ruangan yang digunakan dalam penelitian ini. Selanjutnya peneliti menjelaskan

proses yang dilakukan selama penelitian mulai dari pre test, pelaksanaan intervensi

REBT sampai post test.

4.6.1 Tahap Pre Test

Sebelum pre test peneliti mengidentifikasi responden yang memenuhi kriteria

inklusi sebagai sampel penelitian. Responden yang dilibatkan dalam

penelitian, sebelumnya dijelaskan mengenai tujuan, manfaat maupun akibat

yang ditimbulkan. Setelah diberikan informasi yang jelas kemudian

responden menandatangani lembar persetujuan sebagai bentuk informed

concent. Setelah responden menyetujui secara tertulis untuk terlibat dalam

penelitian, maka pelaksanaan pre test dilakukan.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 97: Makalah Ttg Retensi Urin

����

Universitas Indonesia �

Pre test merupakan suatu cara untuk mengetahui kondisi awal tentang

perilaku kekerasaan responden meliputi respon kognitif, afektif (emosi),

perilaku, fisiologi dan sosialnya sebelum diberikan Rational Emotive

Behaviour Therapy. Pengumpul data pada tahap ini adalah peneliti dan

dibantu oleh perawat yang sedang pendidikan S2 dengan kekhususan

keperawatan jiwa yang sama dengan peneliti. Peneliti dan pengumpul data

sebelumnya menyamakan persepsi tentang prosedur, cara pengambilan data

dan waktu pengumpulan data. Selanjutnya peneliti memberikan lembar

kuesioner kepada setiap responden baik untuk kelompok kontrol maupun

kelompok intervensi . Setiap responden diberikan waktu yang cukup untuk

menjawab seluruh pertanyaan yang ada dalam kuesioner. Bila responden

mengalami kesulitan dalam memahami pertanyaan-pertanyaan dalam

kuesioner, maka peneliti/perawat ruangan membantu (mendampingi)

responden. Sedangkan lembar observasi dipegang oleh peneliti dan perawat

pendamping. Sebelumnya peneliti telah menjelaskan cara pengisian kepada

perawat pendamping agar mempunyai persepsi yang sama dalam pengisian

nantinya.

4.6.2 Intervensi

Pada tahap ini, peneliti melakukan intervensi berupa pemberian Rational

Emotive Behaviour Therapy yang memiliki 5 sesi kepada responden

kelompok intervensi, yaitu:

1) Sesi 1 yang disebut sesi membina hubungan dan mengidentifikasi

harapan. Adapun aktivitas yang dilakukan pada sesi ini adalah membina

hubungan saling percaya dengan klien dan membuat thermometer

perasaan (Feellings Thermometers), Menilai kejadian berdasarkan

thermometer perasaan yang telah dibuat dan Saran yang diberikan terkait

dengan hal yang didiskusikan sebelumnya. Sebagai pekerjaan rumahnya

klien diminta untuk memikirkan peraturan peraturan yang dapat

membantu dalam proses ini dan di dokumentasikan.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 98: Makalah Ttg Retensi Urin

����

Universitas Indonesia �

2) Sesi 2 yang disebut Memahami perasaan. Aktivitas pada sesi ini termasuk

di dalamnya adalah thermometer perasaan, dimana membantu individu

mempelajari bagaimana cara melabel perasaan dan mengelompokkan

beberapa perasaannya dalam suatu usaha untuk intensitas hubungan yang

lebih baik dari perasaan-perasaan tersebut.

3) Sesi 3 yang disebut sesi Fakta lawan opini. Aktivitas pada sesi ini adalah

untuk membantu klien mendefinisikan dan menemukan perbedaan antara

fakta dan opini.

4) Sesi 4 yang disebut sesi Belajar ACBs . Objektif yang dipelajari pada

sesi ini adalah didisain untuk mengajarkan tentang :

a) A (ctivating event) : Mengidentifikasi kejadian atau situasi yang

sedang terjadi . “A” adalah masalah utama yang dirasakan oleh

pelajar. Pelajar diminta untuk menggambarkan apa yang telah

membuat emosinya timbul. “A” sering dijelaskan dalam bentuk hasil

obsevasi.

b) C(onsequence): individu menilai level dari perasaannya dan

membangun suatu tujuan untuk mencapai upaya menurunkan

intensitas, durasi dan frekuensi dari emosi yang mengganggu.

c) B(elief system) : individu berpikir untuk menganalisa dan

mengidentifikasi keyakinan-keyakinan atau pola pikirnya yang

membentuk konsekuensi emosi (C) (Vernon, 1996;Zionts, 1996

dalam Banks & Zionts, 2009). Pertanyaan yang berhubungan dengan

“B” ini adalah “ apa yang kamu pikirkan tentang situasi ini?”. Diskusi

dilakukan untuk penguatan dalam belajar, latihan keterampilan dan

mengetahui tentang pemahaman individu.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 99: Makalah Ttg Retensi Urin

����

Universitas Indonesia �

5) Sesi 5 yang disebut sesi Latihan Model Kognitif A dan C serta

pertanyaan Bs. Klien dapat mengaplikasikan keterampilan yang dipelajari

selama berpartisipasi dalam diskusi yang difokuskan pada situasi atau

kejadian dari masalah. Klien bertanggung jawab untuk berpartisipasi

dalam mengidentifikasi kejadian yang sedang terjadi (A),

Konsekuensinya (C), dan keyakinan (B).

Waktu pelaksanaan Rational Emotive Behaviour Therapy untuk kelompok

intervensi di setiap pertemuan dibuat berdasarkan kesepakatan antara peneliti

dengan responden dengan waktu 20-30 menit. Pelaksanaan setiap sesinya

juga tergantung pada kemampuan responden dalam menerima pembelajaran

yang diberikan oleh peneliti.

4.6.3 Post test

Post test dilaksanakan selama lebih kurang satu minggu, baik pada kelompok

intervensi maupun kelompok kontrol. Pada tahap ini terapis melakukan

evaluasi perubahan perilaku klien dengan perilaku kekerasan meliputi respon

kognitif, afektif(emosi), perilaku, fisiologis dan sosial dengan menggunakan

lembar observasi dan kuesioner. Peneliti kemudian membandingkan antara

kedua kelompok berdasarkan nilai pre test dan post test yang telah diperoleh.

Untuk memperjelas alur kerja penelitian maka peneliti memaparkan pada skema

4.1.

Skema 4.1 Alur Pelaksanaan Rational Emotive Behaviour Therapy

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 100: Makalah Ttg Retensi Urin

����

Universitas Indonesia �

������������� ����������������������� ��

���

����

�������������� ������������

�������� �������

������������� ������������� �����������

����� �����!�"��#���!�$��������%&�

���

����

���

����$�'(#�($�$()��('�

Perlakuan (Intervensi) ( 7 pertemuan )Pre testPert 1

Post testPert 7

�����*�: '�������#���!�$����������%&�

4.7 Analisis Data

4.7.1 Pengolahan Data

Hastono (2007) memaparkan bahwa pengolahan data merupakan salah satu

bagian rangkaian kegiatan setelah pengumpulan data. Agar analisis penelitian

menghasilkan informasi yang benar, paling tidak ada empat tahapan dalam

pengolahan data yang peneliti harus lalui yaitu :

4.7.2 Editing

Dilakukan untuk memeriksa ulang kelengkapan pengisian formulir atau

kuesioner apakah jawaban yang ada sudah lengkap, jelas, relevan dan

konsisten.

4.7.3 Coding

Peneliti memberi kode pada setiap respon responden untuk memudahkan

dalam pengolahan data dan analisis data. Kegiatan yang dilakukan, setelah di

edit data kemudian diberi kode terutama untuk membedakan kelompok

intervensi dan kontrol. Seluruh variabel yang ada diberi kode dan dilakukan

pengkategorian data (usia, pendidikan dan jenis kelamin dll.)

4.7.4 Processing

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 101: Makalah Ttg Retensi Urin

����

Universitas Indonesia �

Setelah semua kuesioner terisi penuh serta sudah melewati pengkodean maka

langkah peneliti selanjutnya adalah memproses data agar data yang sudah di-

entry dapat dianalisis

4.7.5 Cleaning

Suatu kegiatan pembersihan seluruh data agar terbebas dari kesalahan

sebelum dilakukan analisa data, baik kesalahan dalam pengkodean maupun

dalam membaca kode, kesalahan juga dimungkinkan terjadi pada saat kita

memasukkan data kekomputer. Setelah data didapat kemudian dilakukan

pengecekan kembali apakah data ada salah atau tidak. Pengelompokan data

yang salah diperbaiki hingga tidak ditemukan kembali data yang tidak sesuai,

sehingga data siap dianalisis.

4.8 Analisis Data

4.8.1 Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk menganalisis variabel – variabel yang ada

secara deskriptif dengan menghitung distribusi frekuensinya agar dapat

diketahui karakteristik dari subjek penelitian. Karakteristik responden yang

dilakukan analisis dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok data numerik

dan katagorik. Kelompok data numerik yakni umur, dan perilaku kekerasan

yang meliputi respon kognitif, afektif, perilaku, fisiologis dan sosial

sedangkan kelompok data kategorik yaitu jenis kelamin, pendidikan,

pekerjaan, riwayat gangguan jiwa dan pengalaman dirawat dianalisis untuk

menghitung frekuensinya. Penyajian data masing-masing variabel dalam

bentuk tabel dan diinterpretasikan berdasarkan hasil yang diperoleh.

4.8.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat adalah analisis untuk menguji hubungan antara dua variabel.

Pemilihan uji statistik yang akan digunakan untuk melakukan analisis

didasarkan pada skala data, jumlah populasi/sampel dan jumlah variabel yang

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 102: Makalah Ttg Retensi Urin

����

Universitas Indonesia �

diteliti (Supriyanto, 2007). Sebelum analisis bivariat dilaksanakan maka

dilakukan terlebih dahulu uji kesetaraan untuk mengidentifikasi varian

variabel antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol. Uji kesetaraan

dilakukan untuk mengidentifikasi kesetaraan karakteristik klien dengan

perilaku kekerasan antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

Kesetaraan karakteristik klien dengan perilaku kekerasan yaitu usia, jenis

kelamin, pendidikan, riwayat gangguan jiwa dan pengalaman dirawat .

Berikut ini akan ditampilkan analisis bivariat untuk penelitian ini dalam

bentuk tabel.

Tabel 4.1

Analisis Bivariat Variabel Penelitian Pengaruh Rational Emotive Behaviour

Therapy terhadap Klien dengan Perilaku Kekerasan

di Ruang Rawat Inap RS Marzoeki Mahdi Tahun 2010

A. Analisis Kesetaraan Karakteristik Responden (Klien dengan Perilaku Kekerasan)

No. Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Cara Analisis

1. Usia (data numerik) Usia (data numerik) t Independen

2. Jenis Kelamin (data katagorik)

Jenis Kelamin (data katagorik) Chi- Square

3. Pendidikan (data katagorik)

Pendidikan (data katagorik) Chi- Square

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 103: Makalah Ttg Retensi Urin

����

Universitas Indonesia �

4. Pengalaman dirawat (data

katagorik)

Pengalaman dirawat (data

katagorik)

Chi-Square

5. Riwayat gangguan jiwa (data

katagorik)

Riwayat gangguan jiwa (data

katagorik)

Chi- Square

B. Analisis Kesetaraan Variabel Dependen (Klien dengan Perilaku Kekerasan)

No. Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Cara Analisis

1. Perilaku Kekerasan yang

meliputi respon kognitif,

afektif, fisiologis, perilaku dan

sosial sebelum pemberian

REBT (data numerik)

Perilaku Kekerasan yang

meliputi respon kognitif,

afektif, fisiologis, perilaku

dan sosial sebelum pemberian

REBT (data numerik)

t Independent

2. Perilaku Kekerasan yang

meliputi respon kognitif,

afektif, fisiologis, perilaku dan

sosial setelah pemberian REBT

(data numerik)

Perilaku Kekerasan yang

meliputi respon kognitif,

afektif, fisiologis, perilaku

dan sosial setelah pemberian

REBT (data numerik)

t Independent

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 104: Makalah Ttg Retensi Urin

�����

Universitas Indonesia �

C. Analisis Variabel Dependen (Klien dengan Perilaku Kekerasan)

Kelompok Intervensi Kelompok Intervensi Cara Analisis

Perilaku Kekerasan yang

meliputi respon kognitif, afektif,

fisiologis, perilaku dan sosial

sebelum pemberian REBT (data

numerik)

Perilaku Kekerasan yang

meliputi respon kognitif,

afektif, fisiologis, perilaku

dan sosial setelah pemberian

REBT (data numerik)

t Dependent

D. Analisis Variabel Dependen (Klien dengan Perilaku Kekerasan)

Kelompok Kontrol Kelompok Kontrol Cara Analisis

Perilaku Kekerasan yang

meliputi respon kognitif,

afektif, fisiologis, perilaku dan

sosial sebelum pemberian

REBT (data numerik)

Perilaku Kekerasan yang

meliputi respon kognitif,

afektif, fisiologis, perilaku dan

sosial setelah pemberian

REBT (data numerik)

t Dependent

4.8.3 Analisis Multivariat

Sabri dan Hastono (2007) menjelaskan analisis regresi merupakan suatu

model matematis yang dapat digunakan untuk mengetahui bentuk hubungan

antar dua atau lebih variabel. Tujuan analisis regresi adalah untuk membuat

perkiraan nilai suatu variabel (variabel dependen) melalui variabel lain.

Dalam penelitian ini, analisis multivariat dilakukan untuk membuktikan

hipotesis yang dirumuskan yaitu apakah ada kontribusi karaktersitik klien

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 105: Makalah Ttg Retensi Urin

�����

Universitas Indonesia �

dengan perilaku kekerasan melalui uji analisis regresi linier ganda. Menurut

Sudjana (2005) dan Sudrajat (2007), persamaan umum regresi liner ganda

adalah :

22110 Χ+Χ+=Υ bba +…….

Perubahan PK = a + REBT + Umur + Jenis kelamin +

Riwayat gangguan jiwa+ Pengalaman di rawat.

Keterangan :

Y : Subyek dalam variabel dependen yang diprediksikan

a : Harga Y bila X = 0 (harga konstan)

b : Angka arah atau koefisien regresi, yang menunjukkan angka

peningkatan ataupun penurunan variabel dependen yang

didasarkan pada variabel independen. Bila b (+) maka naik,

bila (-) maka terjadi penurunan

X : Subyek pada variabel independen yang mempunyai nilai tertentu

Nilai a, b1, dan b2 dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

ΣΥ=ΣΧ+ΣΧ+ 2211 bban

ΥΣΧ=ΧΣΧ+Σ+ΣΧ 12122

111 bba

ΥΣΧ=ΣΧ+ΧΣΧ+ΣΧ 22

222112 bba

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 106: Makalah Ttg Retensi Urin

102

BAB 5

HASIL PENELITIAN

Bab ini menjelaskan secara lengkap tentang proses pelaksanaan dan hasil

penelitian tentang pengaruh Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT)

terhadap klien dengan perilaku kekerasan di RSMM Bogor yang dimulai pada

tanggal 26 Mei sampai 21 Juni 2010. Pada penelitian ini telah diteliti 53 orang

klien yang memiliki masalah keperawatan perilaku kekerasan (PK). Klien

dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 28 klien di kelompok kontrol dan 25 klien di

kelompok intervensi (3 orang drop out) sesuai dengan kriteria inklusi yang

telah ditetapkan. Pada kelompok intervensi, peneliti melakukan terapi

generalis dan REBT untuk dapat mengontrol perilaku kekerasan klien,

sedangkan pada kelompok kontrol hanya dilakukan terapi generalis.

5.1 Proses Pelaksanaan Terapi

5.1.1 Tahap Persiapan

Persiapan pelaksanaan penelitian tentang pengaruh REBT pada klien dengan

perilaku kekerasan (PK) di RSMM Bogor diawali dengan pengurusan

perizinan penelitian dengan menyertakan proposal penelitian yang sudah

disetujui pembimbing dan surat pernyataan lolos uji etik. Dalam pengurusan

perizinan penelitian di RSMM Bogor, peneliti tidak mendapatkan hambatan

karena pihak rumah sakit sangat mendukung dilakukannya penelitian baik pada

klien maupun pada perawat. Selanjutnya peneliti membawa surat persetujuan

untuk dilakukannya penelitian dari diklat RSMM Bogor ke setiap ruangan

yang akan digunakan untuk penelitian ini dan disana peneliti menemui kepala

ruangan beserta timnya untuk menjelaskan tujuan penelitian, lama penelitian

dan intervensi yang akan dilakukan kepada klien yang dijadikan responden.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 107: Makalah Ttg Retensi Urin

103

Universitas Indonesia

Peneliti memilih lima ruangan rawat di RSMM Bogor sebagai tempat yang

akan dilakukan penelitian . Pemilihan lima ruangan ini didasarkan pada

ruangan klien dewasa dan banyaknya jumlah klien yang dirawat di ruangan

tersebut. Ruangan tersebut adalah Yudistira, Bratasena, Sadewa, Arimbi dan

Utari. Dari kelima ruangan ini peneliti memilih klien yang berada di ruangan

Yudistira, Sadewa dan Utari sebagai klien yang akan mendapatkan intervensi

REBT sedangkan klien yang ada di ruangan Bratasena dan Arimbi sebagai

klien kontrol. Pembagian ruangan intervensi dan kontrol di dasarkan pada

ruangan untuk jenis kelamin pria dan wanita kecuali ruang sadewa karena pada

ruangan ini kliennya bergabung antara pria dan wanita. Dengan demikian

penetapan kelompok intervensi dan kelompok kontrol diharapkankan sama

jumlah dan jenis kelamin antar kelompok.

Berikutnya peneliti mempersiapkan untuk pengumpul data yaitu peneliti dan

dibantu oleh perawat yang sedang pendidikan S2 dengan kekhususan

keperawatan jiwa yang sama dengan peneliti. Kemudian dilanjutkan dengan

melakukan pengarahan untuk penyamaan persepsi tentang prosedur, cara

pengambilan data dan waktu pengumpulan data tetapi tidak dilakukan

interraiter realibility. Setelah mempersiapkan pengumpul data selanjutnya

adalah melakukan pengambilan sampel. Pengambilan sampel secara

Consecutive Sampling, dimana semua subyek yang datang dan memenuhi

kriteria inklusi penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek

yang diperlukan terpenuhi.

Selanjutnya peneliti mengidentifikasi dan menyeleksi klien yang akan

dijadikan responden dengan mengkaji secara langsung pada klien tentang

perilaku kekerasan yang biasa dilakukan dan memvalidasinya dengan melihat

rekam mediknya. Klien yang sesuai dengan kriteria inklusi dalam penelitian

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 108: Makalah Ttg Retensi Urin

104

Universitas Indonesia

dijelaskan tentang tujuan penelitian yang akan dilakukan , dampaknya terhadap

klien dan pelayanan keperawatan di rumah sakit, kemudian peneliti meminta

kesediaan klien untuk menjadi responden dalam penelitian dengan

menandatangani informed concern.

5.1.2 Tahap Pelaksanaan

Pada tahap ini diawali dengan dilakukannya pre test pada klien dengan cara

meminta klien untuk mengisi kuesioner tentang data demografi dan skala

pengungkapan emosi marah yang dibantu oleh peneliti, mengukur tanda- tanda

vital klien serta mengobservasi respon fisiologis lainnya terkait dengan

penelitian. Pre test dilakukan secara individu pada setiap klien yang akan

dijadikan responden. Setelah dilakukan pre test maka peneliti melakukan

kontrak pertemuan dengan klien.

Pada kelompok intervensi peneliti melakukan kontrak untuk pelaksanaan terapi

generalis dan REBT. Terapi generalis diberikan dengan cara memvalidasi

dahulu kepada klien tentang kemampuannya terkait dengan masalah perilaku

kekerasan yang dialami, apabila klien sudah mampu maka peneliti lanjutkan

dengan pemberian REBT namun bila klien belum mampu maka peneliti

menjelaskan terapi generalis dan REBT. Sedangkan pada kelompok kontrol

peneliti melakukan kontrak untuk pelaksanaan terapi generalis. Pelaksanaan

terapi generalisnya juga diawali dengan memvalidasi dahulu kemampuan klien

dalam mengontrol perilaku kekerasan, apabila klien sudah mampu peneliti

mengingatkan kembali namun bila klien belum mengetahui maka peneliti akan

menjelaskan dan melatih cara untuk mengontrol perilaku kekerasan sesuai

dengan Standar Asuhan Keperawatan (SAK).

Setelah itu dilanjutkan dengan sesi 1 REBT sampai berlanjut pada sesi 5

REBT. Pada saat sesi 1 sampai sesi 3 dilakukan hanya sekali sedangkan sesi 4

dan 5 dilakukan 2 kali sehingga jumlah pertemuan dengan klien adalah 7 kali

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 109: Makalah Ttg Retensi Urin

105

Universitas Indonesia

untuk setiap individu. Waktu pelaksanaan REBT untuk setiap sesinya

dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara peneliti dengan responden yaitu

20 sampai 30 menit untuk setiap individu.

Pada pelaksanaan sesi 1 dan sesi 2 klien tidak menemukan hambatan dalam

mengidentifikasi perilaku kekerasan yang pernah dialaminya dan

menempatkan perasaan pada saat kejadian berdasarkan skala pada

thermometer perasaan yang telah disediakan di dalam buku kerja klien. Pada

sesi 3 klien mendapat hambatan dalam menentukan opini dan fakta dari

kejadian yang dialaminya khususnya pada klien yang mempunyai pendidikan

SD dan SMP. Penjelaskan tentang perbedaan opini dan fakta dari suatu

kejadian beserta contoh-contohnya ternyata dapat membantu klien untuk

memahaminya. Pada sesi 4 dan 5 dilakukan 2 kali karena pada sesi ini adalah

belajar dan latihan menganalisa diri sendiri terhadap kejadian dengan

mengubah cara berpikir sehingga dapat merubah suasana hati (emosi) dan pada

akhirnya juga mempengaruhi perilaku. Pengulangan sesi ini dilakukan peneliti

dengan harapan latihan berulang-ulang dapat membantu klien untuk lebih

memahami dan terlatih menggunakan cara berpikir seperti yang diajarkan.

Selama intervensi REBT diberikan pada klien yang termasuk dalam kelompok

intervensi tampak adanya kerjasama yang baik, hal ini dapat terlihat dari upaya

klien untuk mengerjakan PR pada buku kerjanya dan menjaga buku kerjanya

dengan baik sehingga tidak ada satupun bukunya yang hilang. Klien juga

langsung tanggap bila terapis (peneliti) datang ke ruangannya, klien sudah siap

dengan buku kerja dan penanya serta menunggu gilirannya masing-masing.

Kelompok kontrol selama tahap intervensi hanya mendapatkan terapi

generalis. Selama proses penelitian ini berlangsung ditemukan 3 orang klien

dari kelompok intervensi droup out yang disebabkan karena 2 orang pulang

paksa dan 1 orang melarikan diri dari ruangan sehingga jumlah klien pada

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 110: Makalah Ttg Retensi Urin

106

Universitas Indonesia

kelompok intervensi menjadi 25 orang. Sedangkan pada kelompok kontrol

tetap 28 orang.

Setelah sesi 5 dilaksanakan, maka dilanjutkan dengan kegiatan post test pada

klien yang termasuk kelompok intervensi untuk mengetahui kondisi akhir

kemampuan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan melalui respon

kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologisnya. Sedangkan kegiatan post test

pada klien yang termasuk kelompok kontrol dilaksanakan setelah pemberian

intervensi keperawatan generalis atau pada pertemuan ketujuh. Kegiatan

penelitian diakhiri setelah peneliti melakukan terminasi akhir untuk semua

responden dikedua kelompok.

5.2 Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini terdiri dari karakteristik dan respon perilaku kekerasan klien

yang dirawat di RSMM Bogor.

5.2.1 Karakteristik Klien dengan Perilaku Kekerasan (PK)

Pada bagian ini akan dijelaskan analisis karakteristik klien dengan perilaku

kekerasan dan analisis kesetaraan karakteristik Klien PK. Karakteristik klien

yang mengalami PK meliputi: umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,

riwayat gangguan jiwa dan frekuensi dirawat dengan masalah gangguan jiwa.

Analisis karakteristik klien PK dibagi menurut jenis datanya, yaitu data

numerik dan data katagorik. Data numerik adalah usia klien perilaku kekerasan

dan dianalisis dengan menggunakan mean, median, standar deviasi dan nilai

minimal-maksimal. Sedangkan data katagorik terdiri dari jenis kelamin,

pekerjaan, pendidikan, riwayat gangguan jiwa, dan frekuensi dirawat karena

gangguan jiwa dan dianalisis dalam bentuk proporsi. Hasil analisis

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 111: Makalah Ttg Retensi Urin

107

Universitas Indonesia

menggambarkan distribusi klien PK pada kelompok yang mendapatkan REBT

dan kelompok yang tidak mendapatkan REBT.

Sedangkan kesetaraan karakteristik antara kelompok yang mendapatkan

REBT dan kelompok yang tidak mendapatkan REBT dianalisis dengan uji T

Independen untuk data numerik dan uji Chi Square untuk data kategorik.

Hasil penelitian dikatakan valid apabila tidak ada perbedaan secara bermakna

antara kedua kelompok, dengan kata lain kedua kelompok sama atau

homogen.

5.2.1.1 Karakteristik Usia

Karakteristik usia pada klien dengan PK merupakan variabel numerik

sehingga dianalisis dengan menggunakan sentral tendensi guna mendapatkan

nilai mean, standar deviasi, nilai minimal dan maksimal. Sementara untuk

menganalisis kesetaraan karakteristik berdasarkan usia pada kelompok yang

mendapatkan REBT dan kelompok yang tidak mendapatkan REBT dilakukan

dengan uji T Independen. Hasil analisisnya disajikan pada tabel 5.1.

Hasil analisis usia klien dengan perilaku kekerasan pada tabel 5.1 menjelaskan

bahwa dari 53 orang responden dalam penelitian ini, rata-rata berusia 35,02

tahun dengan usia termuda 19 tahun dan tertua 56 tahun. Uji statistik

kesetaraan karakteristik berdasarkan usia pada tabel 5.1 menunjukkan tidak

ada perbedaan yang bermakna rata-rata usia klien perilaku kekerasan pada

kelompok yang mendapatkan REBT dan kelompok yang tidak mendapatkan

REBT dengan p value 0, 99 � � 0,05. Ini berarti rata-rata usia klien PK pada

kedua kelompok homogen.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 112: Makalah Ttg Retensi Urin

108

Universitas Indonesia

Tabel 5.1.

Analisa Usia Klien PK Pada Kelompok yang Mendapatkan REBT Dan Kelompok yang Tidak Mendapatkan REBT Di RSMM Bogor Tahun 2010

(n = 53)

Variabel Jenis Kelompok n Mean Median SD Min-

Maks P Value

Intervensi 25 35,04 36,00 7,44 19– 51

Kontrol 28 35,00 34,00 10,19 20 – 56 0,99 Usia

Total 53 35,02 35,00 8,81 19 – 56

5.2.1.2 Karakteristik Klien Berdasarkan Jenis Kelamin, Pekerjaan, Pendidikan,

Riwayat Gangguan Jiwa, Dan Frekuensi Dirawat Klien Perilaku

Kekerasan.

Karakteristik berdasarkan jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, riwayat

gangguan jiwa, dan frekuensi dirawat merupakan variabel kategorik sehingga

dianalisis menggunakan distribusi frekuensi sedangkan uji kesetaraan klien

PK berdasarkan karakteristik jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, riwayat

gangguan jiwa dan frekuensi dirawat menggunakan uji Chi Square. Hasil

analisis disajikan pada tabel 5.2.

Berdasarkan uraian hasil analisis karakteristik pada tabel 5.2. dapat diketahui

bahwa karakteristik klien dengan perilaku kekerasan dalam penelitian ini

lebih banyak perempuan 27 orang (50,9%), sebagian besar tidak bekerja 30

orang (56,6%), memiliki jenjang pendidikan SD dan SMP 32 orang (60,4%),

dengan adanya riwayat gangguan jiwa 41 orang (77,4%) dan frekuensi

dirawat di rumah sakit 2 kali atau lebih 41 orang (77,4%).

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 113: Makalah Ttg Retensi Urin

109

Universitas Indonesia

Tabel 5.2.

Distribusi Karakteristik Klien PK Berdasarkan Jenis Kelamin, Pekerjaan, Pendidikan, Riwayat Gangguan Jiwa, Dan Frekuensi Dirawat Pada

Kelompok yang Mendapatkan REBT Dan Kelompok yang Tidak Mendapatkan REBT Di RSMM Bogor Tahun 2010

(n = 53)

Kelompok Intervensi (n = 25)

Kelompok Kontrol (n = 28)

Jumlah (n = 53)

p Value

Karakteristik

N % N % N % 1. Jenis Kelamin Klien PK a. Laki-laki b. Perempuan

12 13

48,0 52,0

14 14

50,0 50,0

26 27

49,1 50,9

1,000 2. Pekerjaan Klien PK a. Bekerja b. Tidak bekerja

12 13

48,0 52,0

11 17

39,3 60,7

23 30

43,4 56,6

0,718 3. Pendidikan Klien PK a. SD dan SMP b. SMA dan PT

13 12

52,0 48,0

19 9

67,9 32,1

32 21

60,4 39,6

0,531 4. Riwayat Gangguan Jiwa a. Ada b. Tidak Ada

19 6

76,0 24,0

22 6

78,6 21,4

41 12

77,4 22,6

1,000 5. Frekuensi di rawat

a. Pertama b. 2 kali/lebih

6

19

24,0 76,0

6

22

21,4 78,6

12 41

22,6 77,4

1,000

Pada tabel 5.2 menjelaskan hasil analisis uji statistik kesetaraan karakteristik

berdasarkan jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, riwayat gangguan jiwa dan

frekuensi dirawat pada klien PK didapatkan tidak ada perbedaan yang

bermakna antara kelompok yang mendapatkan REBT dan kelompok yang

tidak mendapatkan REBT, ini berarti kedua kelompok memiliki varian yang

sama atau homogen (p value � � 0,05).

5.2.2 Respon- Respon Perilaku Kekerasaan Klien

Pada bagian ini akan dipaparkan distribusi rata-rata respon-respon dari perilaku

kekerasan klien sebelum REBT diberikan, kesetaraan antar kelompok

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 114: Makalah Ttg Retensi Urin

110

Universitas Indonesia

intervensi dan kelompok kontrol, perbedaan antara sebelum dengan setelah

REBT diberikan pada kedua kelompok, perbedaan setelah REBT dilakukan

dan perbedaan rata-rata selisih respon dari perilaku kekerasan klien sebelum

dengan setelah REBT antara kelompok intervensi dan kontrol.

5.2.2.1 Respon-respon Perilaku Kekerasan

Pada bagian ini akan dijelaskan analisis respon-respon perilaku kekerasan

klien yang terdiri atas : kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologis pada

klien PK dan kesetaraan dari respon-respon PK Klien yang di rawat di RSMM

sebelum dilakukannya terapi REBT pada kelompok intervensi dan pada

kelompok kontrol. Kesetaraan respon–respon PK dianalisis dengan

menggunakan uji Independent Sample t – Test dengan hasil uji analisisnya

terangkum pada tabel 5.3.

Berdasarkan kuesioner pada penelitian ini rentang respon kognitif adalah

minimal 8 dan maksimal 32 (rendah 8 – 16 ; sedang 17 – 18; tinggi 19 - 32).

Ini berarti respon kognitif pada klien PK semakin meningkat menunjukkan

kognitif yang semakin baik. Hasil analisis respon kognitif pada tabel 5.3

dibawah memperlihatkan bahwa dari jumlah total 53 orang klien yang

menjadi responden menunjukkan rata-rata respon kognitif sebelum dilakukan

terapi REBT adalah 18,48 dengan nilai minimal 13 dan maksimal 26, maka

dapat disimpulkan bahwa rata-rata respon kognitif klien PK sebelum

dilakukan terapi REBT adalah sedang.

Berdasarkan kuesioner pada penelitian ini rentang respon emosi adalah

minimal 7 dan maksimal 28 (rendah 7 – 15 ; sedang 16 – 17; tinggi 18 - 28).

Respon emosi pada klien PK semakin menurun menunjukkan emosi yang

semakin baik. Pada hasil analisis respon emosi perilaku kekerasan pada klien

dengan perilaku kekerasan pada tabel 5.3 dibawah memperlihatkan dari

jumlah total 53 klien dengan perilaku kekerasan menunjukkan rata-rata respon

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 115: Makalah Ttg Retensi Urin

111

Universitas Indonesia

emosi sebelum dilakukan REBT adalah 17,19 dengan nilai minimal 12 dan

nilai maksimal 26. Maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata respon emosi

klien PK sebelum dilakukan terapi REBT adalah sedang.

Tabel 5.3 Analisis Respon Perilaku Kekerasan Klien Sebelum Dilakukan

REBT Di RSMM Bogor Tahun 2010 (n = 53)

Respon PK Kelompok n Mean SD SE Min –

Max

p Value

Kognitif

1.Intervensi

2. Kontrol

Total

25

28

53

18,88

18,07

18,48

2,86

3,49

3,18

0,57

0,66

0,62

15– 26

13 – 26

13 - 26 0,364

Emosi 1. Intervensi

2. Kontrol

Total

25

28

53

17,12

17,25

17,19

3,53

3,01

3,27

0,71

0,57

0,64

12 – 26

12 – 23

12 - 26 0,886

Perilaku 1. Intervensi

2. Kontrol

Total

25

28

53

13,00

13,50

13,25

2,02

1,88

2,38

0,40

0,35

0,38

8 - 16

10 - 17

8 - 17 0,355

Sosial 1. Intervensi

2. Kontrol

Total

25

28

53

14,24

13,29

13,77

1,88

2,42

2,15

0,38

0,46

0,42

11 – 19

10 – 18

10 - 19 0,118

Fisiologis

1. Intervensi

2. Kontrol

Total

25

28

53

9,04

9,29

9,16

1,31

1,15

1,23

0,26

0,22

0,24

6 – 11

8 – 13

6 - 13 0,470

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 116: Makalah Ttg Retensi Urin

112

Universitas Indonesia

Berdasarkan kuesioner pada penelitian ini rentang respon perilaku adalah

minimal 5 dan maksimal 20 (rendah 5 – 11 ; sedang 12 – 14; tinggi 15 - 20).

Respon perilaku pada klien PK semakin menurun menunjukkan perilaku yang

semakin baik. Hasil analisis respon perilaku dari perilaku kekerasan klien

pada tabel 5.3 diatas memperlihatkan dari jumlah total 53 klien PK rata-rata

respon perilaku sebelum dilakukan REBT adalah 13,25 dengan nilai minimal

8 dan nilai maksimal 17. Maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata respon

perilaku klien PK sebelum dilakukan terapi REBT adalah sedang.

Berdasarkan kuesioner pada penelitian ini rentang respon sosial adalah

minimal 6 dan maksimal 24 (rendah 6 – 12 ; sedang 13 – 14; tinggi 15 - 24).

Respon sosial pada klien PK semakin meningkat menunjukkan sosial yang

semakin baik. Hasil analisis respon sosial dari perilaku kekerasan klien PK

pada tabel 5.3 diatas memperlihatkan dari jumlah total 53 klien PK

menunjukkan rata-rata respon sosialnya sebelum dilakukan REBT adalah

13,77 dengan nilai minimal 10 dan nilai maksimal 19. Maka dapat

disimpulkan bahwa rata-rata respon sosial klien PK sebelum dilakukan terapi

REBT adalah sedang.

Berdasarkan kuesioner pada penelitian ini rentang respon fisiologis adalah

minimal 6 dan maksimal 12 (rendah 6 – 8 ; sedang 8 – 9; tinggi 10 - 24).

Respon fisiologis pada klien PK semakin menurun menunjukkan fisiologis

yang semakin baik. Hasil analisis respon fisiologis dari perilaku kekerasan

klien dengan perilaku kekerasan pada tabel 5.3 diatas memperlihatkan dari

jumlah total 53 klien PK menunjukkan rata-rata respon fisiologis sebelum

dilakukan REBT adalah 9,16 dengan nilai minimal 6 dan nilai maksimal 13.

Maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata respon fisiologis klien PK sebelum

dilakukan terapi REBT adalah sedang.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 117: Makalah Ttg Retensi Urin

113

Universitas Indonesia

Berdasarkan tabel 5.3 diatas hasil uji statistik terhadap kesetaraan respon-

respon perilaku kekerasan pada klien PK sebelum dilakukan REBT antara

kelompok yang mendapatkan REBT dan kelompok yang tidak mendapatkan

REBT menunjukkan respon kognitif, emosi, sosial, perilaku dan fisiologis

mempunyai kesetaraan yang sama atau homogen (p value � � 0,05)

5.2.2.2 Perbedaan respon-respon perilaku kekerasan pada Klien PK sebelum dan

sesudah dilakukan REBT

Perubahan respon-respon perilaku kekerasan klien dengan PK sebelum dan

sesudah dilakukan REBT pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol

dilakukan dengan uji dependen sample t-Test (Paired t Test) yang hasil

analisanya disajikan pada tabel 5.4 dan tabel 5.5

Dari tabel 5.4 menjelaskan bahwa berdasarkan uji statistik yang dilakukan

pada kelompok yang mendapatkan REBT terdapat perubahan yang bermakna

sesudah mendapatkan REBT terhadap respon-respon PK. Respon kognitif

klien meningkat secara bermakna sebesar 3,80 dengan p value 0,000 � � 0,05,

respon emosi klien menurun secara bermakna sebesar 2,92 dengan p value

0,001 � � 0,05, respon perilaku klien menurun secara bermakna sebesar 2,32

dengan p value 0,000 � � 0,05, respon sosial klien meningkat secara bermakna

sebesar 1,6 dengan p value 0,002� � 0,05 dan respon fisiologis klien menurun

secara bermakna sebesar 2,56 dengan p value 0,000 � � 0,05.

Berdasarkan hasil uji statistik dibawah maka dapat disimpulkan pada � 5%

ada perubahan yang bermakna (perubahan yang lebih baik) dari respon

kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologis klien PK setelah mendapat

REBT.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 118: Makalah Ttg Retensi Urin

114

Universitas Indonesia

Tabel 5.4 Analisis Perubahan Respon Perilaku Kekerasan Pada Klien PK

Sebelum Dan Sesudah Pelaksanaan REBT Pada Kelompok Intervensi Di RSMM Bogor Tahun 2010

(n = 25)

Dari tabel 5.5 dibawah menjelaskan bahwa berdasarkan uji statistik yang

dilakukan pada kelompok kontrol tidak terdapat perubahan yang bermakna

pada klien dengan PK yang tidak mendapat REBT. Respon kognitif

meningkat sebesar 0,47 dengan p value 0,613 � � 0,05, respon emosi

menurun sebesar 0,36 dengan p value 0,514 � � 0,05, respon perilaku sebesar

0,14 dengan p value 0,718� � 0,05, respon sosial meningkat sebesar 0,25

dengan p value 0,677 � � 0,05 dan respon fisiologis menurun sebesar 0,43

dengan p value 0,184 � � 0,05.

Respon PK Pelaksanaan

REBT

n Mean SD SE p Value

Sebelum

Sesudah

Selisih

25

25

18,88

22,68

3,80

2,86

3,69

0,83

0,57

0,58

0,000

Sebelum

Sesudah

Selisih

25

25

17,12

14,20

2,92

3,53

2,77

0,76

0,71

0,55

0,001

Sebelum

Sesudah

Selisih

25

25

13,00

10,68

2,32

2,02

1,82

0,2

0,40

0,36

0,000

Sebelum

Sesudah

Selisih

25

25

14,24

15,84

1,6

1,88

1,57

0,31

0,38

0,15

0,002

Respon

kognitif

Respon

Emosi

Respon

Perilaku

Respon

Sosial

Respon

Fisiologis

Sebelum

Sesudah

Selisih

25

25

9,04

6,48

2,56

1,31

0,59

0,72

0,26

0,12

0,000

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 119: Makalah Ttg Retensi Urin

115

Universitas Indonesia

Tabel 5.5

Analisis Perubahan Respon-Respon Perilaku Kekerasan Pada klien PK Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan REBT Pada Kelompok Kontrol

di RSMM Bogor Tahun 2010 (n = 28)

Respon PK Pelaksanaan

REBT

n Mean SD SE p Value

Sebelum

Sesudah

Selisih

28

28

18,07

18,54

0,47

3,49

3,21

0,28

0,66

0,61

0,613

Sebelum

Sesudah

Selisih

28

28

17,25

16,89

0,36

3,01

2,91

0,1

0,57

0,55

0,514

Sebelum

Sesudah

Selisih

28

28

13,50

13,36

0,14

1.88

1,68

0,2

0,35

0,32

0,718

Sebelum

Sesudah

Selisih

28

28

13,29

13,54

0,25

2,42

2,15

0,27

0,46

0,41

0,667

Respon

kognitif

Respon

Emosi

Respon

Perilaku

Respon

Sosial

Respon

Fisiologis

Sebelum

Sesudah

Selisih

28

28

9,29

8,86

0,43

1,15

1,08

0,07

0,22

0,20

0,184

Berdasarkan hasil uji statistik diatas, maka dapat disimpulkan pada � 5%

tidak ada perubahan yang bermakna terhadap respon perilaku kekerasan

pada klien yang tidak mendapat REBT (p value � � 0,05).

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 120: Makalah Ttg Retensi Urin

116

Universitas Indonesia

5.2.2.5 Perbedaan Respon-Respon Perilaku Kekerasan Setelah Dilakukan REBT

Pada Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontrol

Pada bagian ini akan dijelaskan distribusi karakteristik respon-respon perilaku

kekerasan pada klien dengan masalah perilaku kekerasan sesudah dilakukan

REBT pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol dianalisis dengan

menggunakan uji Independent sample t-Test dan hasil analisisnya disajikan

pada tabel 5.6.

Tabel 5.6 Analisis Respon Perilaku Kekerasan Pada Klien PK Setelah

Dilakukan REBT Di RSMM Bogor Tahun 2010 (n = 53)

Respon PK Kelompok n Mean SD Min –

Max

p Value

Kognitif

1.Intervensi

2. Kontrol

25

28

22,68

18,54

2,90

3,21

18 – 31

11– 25

0,000

Emosi 1. Intervensi

2. Kontrol

25

28

14,20

16,89

2,39

2,30

8 - 19

12 – 23

0,001

Perilaku 1. Intervensi

2. Kontrol

25

28

10,68

13,36

1,82

1,68

7 – 14

10 - 16

0.000

Sosial 1. Intervensi

2. Kontrol

25

28

15,84

13,54

1,57

2,15

13 - 19

8 – 19

0,000

Fisiologis 1. Intervensi

2. Kontrol

25

28

6,48

8,86

0,59

1,08

6 – 8

6 – 10

0,000

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 121: Makalah Ttg Retensi Urin

117

Universitas Indonesia

Hasil analisis diatas memperlihatkan bahwa respon kognitif, emosi,perilaku,

sosial dan fisiologis pada klien PK yang mendapat REBT lebih baik secara

bermakna dibandingkan dengan klien PK yang tidak mendapatkan REBT

5.2.2.6 Selisih Perubahan respon-respon perilaku kekerasan sebelum dan setelah

terapi pada kelompok intervensi dan kontrol

Perbedaan selisih perubahan rata-rata respon-respon perilaku kekerasan antara

klien yang mendapat REBT dan yang tidak mendapat REBT dianalisis dengan

menggunakan uji Independent Sample t-Test dengan hasil seperti tabel 5.7

Tabel 5.7 Analisis Selisih Perubahan Respon-Respon Perilaku Kekerasan Pada Klien

PK Sebelum Dan Sesudah Pelaksanaan REBT Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol Di RSMM Bogor Tahun 2010

(n = 53)

Respon PK Kelompok N Mean SD SE t p value Respon Kognitif

(Selisih Pre & Post) 1.Intervensi 2. Kontrol

25

28

3,80

0,46

4,18

4,80

0,84

0,91 2,68 0,010

Respon Emosi (Selisih Pre & Post)

1. Intervensi 2. Kontrol

25

28

2,92

0,36

3,98

2,86

0,79

0,54 2,72 0,009

Respon Perilaku

(Selisih Pre & Post)

1. Intervensi 2. Kontrol

25

28

2,32

0,14

1,84

2,07

0,37

0,39 4,03 0,000

Respon Sosial (Selisih Pre & Post)

1. Intervensi 2. Kontrol

25

28

1,60

0,25

2,29

3,04

0,46

0,57 1,81 0,076

Respon Fisiologis (Selisih Pre & Post)

1. Intervensi 2. Kontrol

25

28

2,56

0,43

1,29

1,67

0,26

0,32 5,16 0,000

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 122: Makalah Ttg Retensi Urin

118

Universitas Indonesia

Berdasar tabel 5.7 diketahui selisih perubahan respon kognitif PK antara

yang mendapat REBT dan yang tidak mendapat REBT ada perbedaan yang

bermakna (Pvalue= 0.023; �= 0.05).

Berdasar tabel 5.7 diketahui selisih perubahan respon emosi PK antara yang

mendapat REBT dan yang tidak mendapat REBT ada perbedaan yang

bermakna (Pvalue= 0.009; �= 0.05).

Berdasar tabel 5.7 diketahui selisih perubahan respon perilaku PK antara

yang mendapat REBT dan yang tidak mendapat REBT ada perbedaan yang

bermakna (Pvalue= 0.000; �= 0.05).

Berdasar tabel 5.7 diketahui selisih perubahan respon sosial PK antara yang

mendapat REBT dan yang tidak mendapat REBT tidak ada perbedaan yang

bermakna (Pvalue= 0.076; �= 0.05).

Berdasar tabel 5.7 diketahui selisih perubahan respon fisiologis PK antara

yang mendapat REBT dan yang tidak mendapat REBT ada perbedaan yang

bermakna (Pvalue= 0.000; �= 0.05).

Berdasarkan hasil-hasil analisis diatas maka dapat diketahui bahwa ada

perbedaan yang bermakna ( P -value � 0,05) pada selisih perubahan respon-

respon PK antara yang mendapat REBT dan yang tidak mendapat REBT

kecuali pada respon sosial P-value � 0,05.

5.2.4 Faktor Yang Berkontribusi Terhadap Respon Perilaku Kekerasan Pada

Klien Dengan Perilaku Kekerasan

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perubahan respon perilaku kekerasan

pada klien yang mengalami masalah PK dilakukan untuk mengidentifikasi

adanya perubahan yang bermakna terhadap respon-respon perilaku kekerasan

pada klien setelah REBT diberikan pada kelompok intervensi. Faktor–faktor

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 123: Makalah Ttg Retensi Urin

119

Universitas Indonesia

yang berkontribusi terhadap respon-respon PK klien dianalisis menggunakan

uji Korelasi Regresi Linier Ganda yang dapat dilihat pada tabel –tabel berikut :

Tabel 5.8 Faktor yang berkontribusi terhadap Respon Kognitif Perilaku

Kekerasan Pada Klien Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor

Tahun 2010

( n = 53 )

Respon Kognitif

Karakteristik Klien PK B SE � p R2 (Constant) -0.466 5.501 0.933

1. Terapi REBT 3.538 1.319 0.373 0.01

2. Usia -0.047 0.076 -0.088 0.534

3. Jenis Kelamin 0.89 1.509 0.094 0.558

4. Pendidikan -0.448 0.636 -0.099 0.485

5. Pekerjaan 0.054 0.591 0.015 0.928

6. Frekuensi di rawat 1.396 1.558 0.123 0.375

0.163

Hasil analisis dari tabel 5.8 diatas dapat diketahui bahwa REBT memiliki

hubungan yang sedang dengan nilai r sebesar 0,403. Adapun peluang untuk

memperbaiki respon kognitif dari perilaku kekerasan dengan memberikan

REBT adalah sebesar 16,3% (R2 = 0,163).

Dari regresi linier ganda variabel yang mempunyai P-value � 0,25 seperti

usia, jenis kelamin, pendidikan, frekuensi di rawat dan riwayat gangguan jiwa

akan dikeluarkan dari pemodelan sehingga pemodelan seperti table 5.9

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 124: Makalah Ttg Retensi Urin

120

Universitas Indonesia

Tabel 5.9 Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Kognitif Perilaku

Kekerasan Pada Klien Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor Tahun 2010

( n = 53 )

Respon Kognitif

Karakteristik Klien PK B SE � p R2 (Constant) 0.464 0.855 0.589 1. Terapi REBT 3,336 1,244 0,351 0,010 0.124

Berdasarkan table 5.9 dapat diketahui bahwa terapi REBT mempunyai

pengaruh yang bermakna terhadap respon kognitif dengan p Value� 0,05.

Hasil analisis dari tabel 5.10 dibawah dapat diketahui bahwa REBT memiliki

hubungan sedang dengan nilai r sebesar 0,455. Adapun peluang untuk

memperbaiki respon emosi dari perilaku kekerasannya dengan memberikan

REBT adalah sebesar 20,7% (R2 = 0,207).

Tabel 5.10 Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Emosi Perilaku

Kekerasan Pada Klien Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor Tahun 2010

(n = 53)

Respon Emosi

Karakteristik Klien PK B SE � p R2 (Constant) 2.026 4.068 0.621

1. Terapi REBT 2.73 0.975 0.379 0.007

2. Usia 0.072 0.056 0.177 0.203

3. Jenis Kelamin -0.37 1.116 -0.051 0.742

4. Pendidikan -0.197 0.471 -0.058 0.678

5. Pekerjaan -0.407 0.437 -0.147 0.356

6. Frekuensi di rawat -1.275 1.152 -0.148 0.274

0.207

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 125: Makalah Ttg Retensi Urin

121

Universitas Indonesia

Dari regresi linier ganda variabel yang mempunyai p Value � 0,25 seperti

usia, jenis kelamin, pendidikan, frekuensi di rawat dan riwayat gangguan jiwa

akan dikeluarkan dari pemodelan sehingga pemodelan seperti table 5.11

Tabel 5.11 Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Emosi Perilaku

Kekerasan Pada Klien Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor Tahun 2010

(n = 53)

Respon Emosi Karakteristik Klien PK B SE � p R2

(Constant) 0.357 0.648 0.584 1. Terapi REBT 2,563 0,944 0,355 0,007 0,126

Berdasarkan table 5.11 dapat diketahui bahwa terapi REBT mempunyai

pengaruh yang bermakna terhadap respon emosi dengan P-value �0,05.

Tabel 5.12 Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Sosial Perilaku

Kekerasan Pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor, Tahun 2010

(n = 53)

Respon Sosial Karakteristik Klien PK B SE � p R2

(Constant) -0.754 3.085 0.808 1. Terapi REBT 1.151 0.739 0.209 0.126

2. Usia 0.044 0.042 0.143 0.300

3. Jenis Kelamin 1.155 0.846 0.21 0.179

4. Pendidikan 0.175 0.357 0.067 0.626

5. Pekerjaan 0.191 0.331 0.09 0.566

6. Frekuensi di rawat -1.776 0.874 -0.271 0.048

0.215

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 126: Makalah Ttg Retensi Urin

122

Universitas Indonesia

Hasil analisis dari tabel 5.12 diatas dapat diketahui bahwa frekuensi dirawat

mempunyai hubungan yang sedang dengan nilai r 0, 464. Adapun peluang

memperbaiki respon sosial dari perilaku kekerasannya dengan frekuensi

dirawat sebesar 21,5% (R2 = 0,215). Sedangkan REBT tidak memiliki

hubungan yang bermakna dengan perubahan pada respon sosial P-value

0,126 � 0,05.

Dari regresi linier ganda variabel yang mempunyai p Value � 0,25 seperti

usia, jenis kelamin, pendidikan, dan riwayat gangguan jiwa akan dikeluarkan

dari pemodelan sehingga pemodelan seperti table 5.13

Tabel 5.13 Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Sosial Perilaku

Kekerasan Pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor, Tahun 2010

(n = 53)

Respon Sosial Karakteristik Klien PK B SE � pValue R2

(Constant) 3.889 1.599 0.019 1. Terapi REBT 1,298 0,714 0,236 0,075 2. Frekuensi di rawat -2,038 0,852 -0,311 0,021 0.215

Berdasarkan table 5.13 diatas dapat diketahui bahwa terapi REBT tidak

mempunyai hubungan dengan respon sosial. Namun frekuensi di rawat lebih

memiliki hubungan dengan respon sosial pada klien PK.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 127: Makalah Ttg Retensi Urin

123

Universitas Indonesia

Tabel 5.14 Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Perilaku dari

Perilaku Kekerasan Pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor, Tahun 2010

Respon Perilaku

Karakteristik Klien PK B SE � P R2 (Constant) 1.647 2.394 0.495 1. Terapi REBT 3.538 1.319 0.373 0.01

2. Usia -0.047 0.076 -0.088 0.534

3. Jenis Kelamin 0.89 1.509 0.094 0.558

4. Pendidikan -0.448 0.636 -0.099 0.485

5. Pekerjaan 0.054 0.591 0.015 0.928

6. Frekuensi di rawat 1.396 1.558 0.123 0.375

0.273

Hasil analisis dari tabel 5.14 diatas dapat diketahui bahwa REBT memiliki

hubungan yang kuat dengan nilai r sebesar 0,522. Adapun peluang untuk

memperbaiki respon perilaku dari PK dengan memberikan REBT adalah

sebesar 27,3% (R2 = 0,273).

Dari regresi linier ganda variabel yang mempunyai p Value � 0,25 seperti usia,

jenis kelamin, pendidikan, frekuensi di rawat dan riwayat gangguan jiwa akan

dikeluarkan dari pemodelan sehingga pemodelan seperti table 5.15

Tabel 5.15 Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Perilaku dari

Perilaku Kekerasan Pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor, Tahun 2010

(n = 53)

Respon Perilaku

Karakteristik Klien PK B SE � p R2 (Constant) 0.143 0.371 0.702 1. Terapi REBT 2,177 0,541 0,491 0,000 0,241

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 128: Makalah Ttg Retensi Urin

124

Universitas Indonesia

Berdasarkan table 5.15 dapat diketahui bahwa terapi REBT mempunyai

hubungan yang bermakna dengan respon perilaku (p Value �0,05).

Tabel 5.16 Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Fisiologis Perilaku Kekerasan Pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor,

Tahun 2010

Respon Fisiologis

Karakteristik Klien PK B SE � p R2 (Constant) 2.209 1.788 0.223

1. Terapi REBT 2.158 0.429 0.593 0

2. Usia -0.006 0.025 -0.028 0.813

3. Jenis Kelamin -0.199 0.49 -0.055 0.687

4. Pendidikan -0.211 0.207 -0.122 0.312

5. Pekerjaan 0.207 0.192 0.148 0.286

6. Frekuensi di rawat -0.58 0.506 -0.134 0.258

0.399

Hasil analisis dari tabel 5.16 diatas dapat diketahui bahwa REBT memiliki

hubungan yang kuat nilai r sebesar 0,631. Adapun peluang untuk

memperbaiki respon fisiologis dari perilaku kekerasan dengan memberikan

REBT adalah sebesar 39,9% (R2 = 0,399).

Dari regresi linier ganda variabel yang mempunyai p Value �0,25 seperti usia,

jenis kelamin, pendidikan, frekuensi di rawat dan riwayat gangguan jiwa akan

dikeluarkan dari pemodelan sehingga pemodelan seperti table 5.17

Tabel 5.17

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 129: Makalah Ttg Retensi Urin

125

Universitas Indonesia

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Fisiologis Perilaku Kekerasan Pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor

Tahun 2010

( n = 53 )

Respon Fisiologis

Karakteristik Klien PK B SE � p R2 (Constant) 0.429 0.284 1.37 1. Terapi REBT 2,131 0,413 0,586 0,000 0.343

Berdasarkan table 5.17 diatas dapat diketahui bahwa terapi REBT mempunyai

hubungan yang bermakna dengan respon fisiologis (p Value� 0,05).

Berdasarkan hasil analisis tabel-tabel diatas dapat disimpulkan bahwa terapi

REBT mempunyai hubungan yang sedang untuk respon kognitif dan emosi

dan mempunyai hubungan yang kuat untuk respon perilaku dan emosi.

namun tidak ada hubungan dengan respon sosial (p Value � 0,05).

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 130: Makalah Ttg Retensi Urin

126

BAB 6

PEMBAHASAN

Bab ini akan memaparkan tentang pembahasan hasil penelitian, keterbatasan penelitian baik dari

aspek metodologis maupun proses pelaksanaan, dan implikasi hasil penelitian terhadap

pelayanan keperawatan jiwa, keilmuan dan penelitian berikutnya.

6.1 Pengaruh Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) Terhadap Respon Perilaku

Kekerasan pada Klien Perilaku Kekerasan (PK)

Pengaruh REBT terhadap respon-respon perilaku kekerasan seperti emosi, perilaku, sosial

dan fisiologis akan diuraikan terhadap masing respon tersebut .

6.1.1 Pengaruh REBT Terhadap Respon Kognitif pada Klien PK

Pada klien yang mendapatkan terapi psikososial REBT ditemukan peningkatan secara

bermakna pada respon kognitif, ini berarti REBT berpengaruh terhadap peningkatan

respon kognitif klien PK sehingga pengetahuan klien meningkat tentang masalah perilaku

kekerasan yang dialaminya sebagai perilaku maladaptif yang dapat mencelakakan

dirinya, orang lain dan lingkungan. Hasil penelitian ini sesuai dengan Rieckert (2000)

menyatakan terapi REBT secara signifikan dapat mengurangi kemarahan, perasaan

bersalah dan harga diri yang rendah. Pemberian terapi REBT pada klien PK didukung

oleh penelitian yang dilakukan oleh Jensen (2008) yang menyatakan bahwa respon-

respon prilaku kekerasan mengalami perubahan yang bermakna disebabkan karena terapi

REBT yang diberikan menggunakan pendekatan kognitif dan perilaku dengan

mengemukakan fakta-fakta bahwa perilaku yang dihasilkan bukan berasal dari kejadian

yang dialami namun dari keyakinan–keyakinan yang tidak rasional. Hal ini sesuai dengan

teori REBT yang memodifikasi keyakinan irrasional dari individu secara spesifik

sehingga dapat menurunkan perilaku agresifnya.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 131: Makalah Ttg Retensi Urin

127

Universitas Indonesia

Berdasarkan literatur lainnya dinyatakan bahwa Perasaan dan pikiran negatif serta

penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat

diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional (faizmh,

2009). REBT diberikan bertujuan untuk mengurangi keyakinan irrasional dan

menguatkan keyakinan rasional yang dapat efektif untuk dewasa yang marah dan agresif

(Ellis, 1962 dalam Adomeh, 2006). Melalui terapi REBT klien dilatih untuk dapat

mengevaluasi diri sendiri dengan mengidentifikasi kejadian yang pernah dialami, pikiran-

pikiran irrasional yang timbul terkait dengan kejadian dan mempengaruhi perasaan

(emosi) klien sehingga menghasilkan perilaku maladaptif yang sebenarnya tidak

diinginkan. Oleh karena itu klien juga dilatih untuk mengubah pikiran yang tidak rasional

tersebut menjadi lebih rasional sehingga perasaan (emosi) menjadi lebih baik dan

menunjukkan perilaku yang adaptif. Dengan demikian klien mengetahui dan menyadari

bahwa pikiran dan persepsi yang negatif atau salah terhadap suatu kejadian atau peristiwa

yang menimbulkan terjadinya PK.

Sedangkan Pada klien yang tidak mendapatkan terapi REBT tidak ditemukan

peningkatan secara bermakna pada respon kognitif. Hal ini dapat disebabkan karena

klien belum mengetahui atau menyadari pikiran, persepsi atau keyakinannya yang salah

atau tidak rasional terhadap suatu kejadian atau peristiwa yang dialami. Cristopher (2010)

mengatakan bahwa hubungan pemikiran dan emosi berperan penting dalam

menerjemahkan marah menjadi perilaku agresif atau PK. Banyak klien PK mengalami

kesulitan dalam mengidentifikasi perasaannya, kebutuhannya dan keinginannya untuk

diungkapkannya pada orang lain sehingga klien merasa tertekan. Pengetahuan dan

intelegensi adalah sumber koping yang akan menuntun individu untuk melihat cara lain

dalam menghadapi tekanan (Stuart, 2009). Dengan demikian Klien PK pada kelompok

ini tidak mendapatkan pendidikan kesehatan lanjutan untuk masalah PK sehingga klien

hanya mengetahui cara untuk mengontrol marahnya namun belum mengetahui cara untuk

mencegah timbulnya rasa marah dengan mengubah cara berpikir dan keyakinan menjadi

lebih rasional terhadap kejadian atau peristiwa yang dialami.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 132: Makalah Ttg Retensi Urin

128

Universitas Indonesia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan respon kognitif

secara bermakna antara kelompok yang mendapatkan terapi REBT dengan yang tidak

mendapatkan terapi REBT. Pada klien yang mendapatkan terapi terjadi peningkatan

respon kognitif secara bermakna dibandingkan dengan yang tidak mendapat terapi

REBT. Hal ini berarti terapi REBT mempengaruhi terjadinya perubahan berupa

peningkatan pada respon kognitif klien PK. Secara substansi peningkatan kognitif

sebenarnya juga terjadi pada kelompok yang tidak mendapat REBT namun tidak sebesar

kelompok yang mendapatkan REBT, ini dapat disebabkan karena kelompok yang tidak

mendapat REBT tetap mendapatkan terapi generalis. Hal ini sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh Keliat (2003), menyatakan bahwa pemberian terapi generalis PK

menghasilkan kemampuan mencegah PK secara mandiri sebesar 86,6% dan secara

bermakna menurunkan PK.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian terapi generalis kepada klien PK

dapat menurunkan perilaku kekerasan namun akan lebih maksimal penurunan perilaku

kekerasan bila dilanjutkan dengan terapi lanjutan (spesialis) seperti REBT. Terapi REBT

akan meningkatkan repon kognitif klien PK untuk dapat membedakan antara pikiran

yang rasional dan pikiran yang tidak rasional, karena pikiran yang tidak rasional akan

menimbulkan perasaan dan perilaku yang tidak sehat atau maladaptif.

6.1.2 Pengaruh REBT Terhadap Respon Emosi pada Klien PK

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada klien PK menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan penurunan respon emosi secara bermakna antara kelompok yang mendapatkan

terapi REBT dan yang tidak mendapatkan REBT. Hal ini karena terapi REBT

memberikan kesempatan pada klien untuk mengenali perasaan-perasaan yang disebabkan

karena adanya pikiran yang tidak rasional terhadap setiap kejadian atau peristiwa yang

membuat klien berperilaku kekerasan sehingga klien mengenali perasaan-perasaan yang

dapat menimbulkan perilaku maladaptif. REBT adalah metode untuk memahami dan

mengatasi masalah emosi dan perilaku (Froggatt, 2005).

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 133: Makalah Ttg Retensi Urin

129

Universitas Indonesia

Respon emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan

filosofi yang disadari maupun tidak disadari. Hambatan psikologis atau emosional

tersebut merupakan akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irrasional, dimana

emosi yang menyertai individu dalam berpikir penuh dengan prasangka, sangat personal,

dan irrasional. Teori REBT menegaskan bahwa keyakinan yang tidak rasional akan

membawa individu pada emosi dan perilaku negatif yang tidak sehat seperti perilaku

amuk (agresif) dan rasa bersalah (Jensen, 2008). REBT baik diberikan pada klien PK

karena di dalam materi REBT menjelaskan pada klien cara berpikir rasional, mengubah

emosi yang mengganggu menjadi emosi yang menyenangkan sehingga klien dapat

menyelesaikan masalah. Berdasarkan pada konsep REBT bahwa emosi dan perilaku

merupakan hasil dari proses pikir yang memungkinkan bagi manusia untuk

memodifikasinya seperti proses untuk mencapai cara yang berbeda dalam merasakan dan

bertindak (Froggatt, 2005).

Sedangkan pada kelompok yang tidak mendapatkan terapi REBT pada penelitian ini

tidak mengalami penurunan emosi secara bermakna. Ini disebabkan karena klien belum

mampu mengidentifikasi perasaan-perasaannya terkait dengan adanya pemikiran dan

keyakinan yang tidak rasional ketika menghadapi suatu kejadian atau peristiwa dalam

kehidupannya. Ini dapat membuat klien tetap mempertahankan pemikiran yang tidak

rasional tersebut sehingga ketika bertemu dengan peristiwa yang sama maka emosi klien

akan tetap sama. Dengan demikian pemikiran irrasional yang tidak dirubah akan

mempengaruhi emosi dan menyebabkan perilaku yang maladaptif berulang.

Hasil analisis terhadap respon emosi setelah diberikan REBT pada kelompok yang

mendapatkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan REBT menunjukkan perbedaan

yang bermakna dimana pada kelompok yang mendapatkan REBT memperlihatkan

terjadinya penurunan respon emosi secara bermakna sedangkan pada yang tidak

mendapatkan terjadi penurunan yang tidak bermakna. Penurunan tetap terjadi pada

kelompok yang tidak mendapatkan REBT walaupun tidak sebesar penurunan pada

kelompok yang mendapatkan REBT disebabkan karena adanya terapi generalis yang

diberikan, ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Keliat (2003), pemberian terapi

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 134: Makalah Ttg Retensi Urin

130

Universitas Indonesia

generalis perilaku kekerasan pada klien secara afektif berupa kemauan untuk mengontrol

perilaku kekerasan yang dilatih.

6.1.3 Pengaruh REBT Terhadap Respon Perilaku pada Klien PK

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap klien PK memperlihatkan adanya penurunan

secara bermakna pada respon perilaku. Penurunan secara bermakna ini terlihat pada

kelompok yang mendapatkan REBT. Ini berarti bahwa REBT memberikan pengaruh

yang bermakna terhadap penurunan perilaku kekerasan pada klien. Berdasarkan literatur

Albert Ellis (Corsini & Wedding, 1989 dalam Dominic, 2003) berpendapat bahwa yang

perlu dirubah oleh individu untuk mengatasi masalah emosi maupun perilakunya adalah

adanya keyakinan irrasional yang dikembangkan sendiri oleh individu dan Albert Ellis

mengembangkan sebuah terapi bernama REBT (Rational Emotive Behavioural Therapy).

REBT adalah suatu proses pembelajaran dimana terapis mengajarkan klien bagaimana

cara untuk megidentifikasi keyakinan yang tidak rasional, menolaknya, dan

menggantikannya dengan keyakinan dan pikiran yang rasional.

REBT berpeluang 39,9% menurunkan respon perilaku dan ini dapat terlihat walaupun

dalam waktu yang singkat yaitu seminggu. Mengubah perilaku dapat dilakukan dengan 3

strategi (WHO, dalam Notoadmojo, 2003) yaitu menggunakan kekuasaan/

kekuatan/dorongan, pemberian informasi, diskusi partisipan. Dengan demikian masih

ada 60,1% lagi yang dapat dicapai oleh klien untuk menurunkan perilaku kekerasannya

dan ini dapat dicapai dengan memberikan kesempatan dan memotivasi klien untuk

melaksanakan latihan yang diberikan sehingga membudaya dalam diri klien. Sunaryo

(2004) menyatakan bahwa perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu

kebutuhan, motivasi, sikap dan kepercayaan.

Sedangkan pada kelompok yang tidak mendapatkan REBT tidak terjadi penurunan

perilaku kekerasan secara bermakna. Penurunan respon perilaku tidak sebesar pada

kelompok yang mendapatkan REBT. Penurunan tetap ditemukan karena klien

mendapatkan terapi generalis yang melatih klien kemampuan secara psikomotor berupa

cara mengontrol perilaku kekerasan secara konstruktif ( Keliat, 2003).

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 135: Makalah Ttg Retensi Urin

131

Universitas Indonesia

Hasil analisis pada klien PK setelah dilakukan REBT pada kelompok yang mendapat dan

pada kelompok yang tidak mendapat REBT menunjukkan bahwa perbedaan penurunan

respon perilaku secara bermakna pada kelompok yang mendapatkan REBT. Ini berarti

pemberian terapi REBT dan terapi generalis pada klien PK menurunkan respon perilaku

yang lebih besar dari pada hanya diberikan terapi generalis saja.

6.1.4 Pengaruh REBT Terhadap Respon Sosial pada Klien PK

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada klien PK ditemukan peningkatan secara

bermakna pada respon sosial klien yang mendapatkan REBT. Hal ini berarti REBT

berpengaruh secara bermakna dalam meningkatkan respon sosial klien PK. Menurut

Boyd dan Nihart (1998) tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial akan ditemukan

penurunan interaksi sosial. Menurut Beck, emosi marah sering merangsang kemarahan

orang lain. Pengalaman marah dapat mengganggu hubungan interpersonal. Dengan

diberikan REBT, klien akan belajar untuk berpikir secara rasional dan berperilaku yang

adaptif sehingga hubungan interpersonalnya dengan orang lain meningkat.

Sedangkan pada klien yang tidak mendapat REBT ditemukan tidak ada peningkatan

secara bermakna pada respon sosialnya. Peningkatan respon sosial pada klien PK yang

tidak mendapatkan terapi REBT disebabkan karena klien mendapatkan terapi generalis

tentang cara mengontrol perilaku kekerasan dan disamping itu sebagian dari klien ada

yang mendapatkan terapi generalis isolasi sosial. Sesuai dengan literature yang

menyatakan sebagian orang menyalurkan kemarahan dengan menilai dan mengkritik

tingkah laku orang lain sehingga orang lain merasa sakit hati. Proses tersebut dapat

menyebabkan seseorang menarik diri dari orang lain.

Hasil analisis setelah dilakukan REBT pada klien yang mendapat REBT menunjukkan

ada peningkatan respon sosial secara bermakna begitu juga pada saat membedakan

perubahan respon sosial setelah pemberian REBT pada kedua kelompok. Namun pada

hasil uji perbedaan selisih perubahan respon sosial pada klien PK terjadi peningkatan

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 136: Makalah Ttg Retensi Urin

132

Universitas Indonesia

respon sosial tidak bermakna. Sebenarnya terjadi peningkatan dikedua kelompok dan

secara substansi peningkatan pada kelompok yang mendapatkan REBT lebih besar dari

yang tidak mendapatkan REBT. Hal ini disebabkan karena adanya faktor lain yang ikut

berkontribusi dalam perubahan respon sosial ini selain REBT yaitu frekuensi di rawat di

rumah sakit, dimana frekuensi dirawat ini mempunyai hubungan yang kuat dengan

respon sosial pada klien PK. Dengan demikian REBT dapat meningkatkan respon sosial

klien PK namun dapat dipengaruhi oleh frekuensi klien dirawat di rumah sakit.

6.1.5 Pengaruh REBT Terhadap Respon Fisiologis pada Klien PK

Pada klien yang mendapatkan terapi psikososial REBT ditemukan penurunan secara

bermakna pada respon fisiologis, ini berarti REBT berpengaruh terhadap penurunan

respon fisiologis klien PK. Menurut Stuart dan Laraia (2009), Perilaku kekerasan dapat

dilihat dari wajah tegang, tidak bisa diam, mengepalkan atau memukulkan tangan, rahang

mengencang, peningkatan pernafasan, dan kadang tiba-tiba seperti kataton. Menurut

Beck respons fisiologis marah timbul karena kegiatan system syaraf otomom bereaksi

terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi denyut jantung

meningkat, wajah merah, pupil melebar, dan frekuensi pengeluaran urin meningkat.

Dengan diberikannya REBT pada klien maka klien akan belajar untuk berpikir rasional,

mengontrol perasaannya dan perilakunya sehingga system syaraf otonom tidak bereaksi

dan respon fisiologis menjadi turun mencapai batas normal.

Sedangkan pada kelompok yang tidak mendapatkan REBT menunjukkan tidak ada

penurunan yang bermakna pada respon fisiologisnya. Walaupun penurunan sebenarnya

juga terjadi namun tidak sebesar yang mendapatkan REBT. Ini disebabkan karena klien

hanya mendapatkan terapi generalis, dimana klien dilatih untuk dapat mengontrol

perilaku kekerasannya.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 137: Makalah Ttg Retensi Urin

133

Universitas Indonesia

Hasil analisis setelah diberikannya terapi REBT pada kelompok yang mendapat dan tidak

mendapat REBT menunjukkan penurunan yang signifikan atau bemakna terhadap respon

fisiologis. Hal ini berarti REBT menunjukkan perbedaan penurunan respon perilaku

secara bermakna pada kelompok yang mendapatkan REBT dibandingkan dengan yang

tidak mendapat REBT. Terapi REBT berpengaruh secara bermakna terhadap penurunan

respon fisiologis.

6.2 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Respon PK

Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa faktor yang berhubungan atau tidak berhubungan

secara bermakna dengan respon-respon PK. Pembahasan selengkapnya terurai sebagai

berikut:

6.2.1 Hubungan Usia dengan respon PK

Berdasarkan hasil penelitian ini usia tidak ada hubungan yang bermakna dengan respon

perilaku kekerasan. Ini berarti perubahan usia tidak diikuti oleh perubahan pada respon

perilaku kekerasan. Baik itu dari respon kognitif, emosi(afektif), perilaku, sosial maupun

fisiologis.

Menurut literatur karakteristik yang termasuk pada sosial budaya seperti: usia, jenis

kelamin, pendidikan, pekerjaan, peran sosial, latar belakang budaya, agama dan

kayakinan individu (Stuart & Laraia, 2005), riwayat perilaku kekerasan di masa lalu

(American Psychiatric Assosiations, 2000; steinert, Wiebe, & Gebhardt, 1999 dalam

Fauziah, 2009).Ini semua adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya

perilaku kekerasan pada individu

Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara usia dengan respon PK ini

disebabkan karena peneliti melihat hubungan usia dari masing-masing respon perilaku

kekerasan yaitu respon kognitif, emosi(afektif), perilaku, sosial maupun fisiologis,

sedangkan pada penelitian sebelumya hubungan tersebut dikaitkan dengan perilaku

kekerasan secara keseluruhan.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 138: Makalah Ttg Retensi Urin

134

Universitas Indonesia

6.2.2 Hubungan Jenis kelamin dengan respon PK

Berdasarkan hasil penelitian ini jenis kelamin tidak ada hubungan yang bermakna dengan

respon perilaku kekerasan. Ini berarti jenis kelamin antara pria dan wanita tidak

mempengaruhi perubahan pada respon perilaku kekerasan. Baik itu dari respon kognitif,

emosi(afektif), perilaku, sosial maupun fisiologis.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dinyatakan bahwa karakteristik jenis kelamin

berhubungan dengan kejadian perilaku kekerasan verbal (p value 0,001) dan klien laki-

laki dua kali lipat lebih banyak dari klien perempuan, Namun pada penelitian ini tidak

ditemukan adanya hubungan antara jenis kelamin disebabkan karena peneliti melihat

hubungan dari masing-masing respon perilaku kekerasan yaitu respon kognitif,

emosi(afektif), perilaku, sosial maupun fisiologis sedangkan pada penelitian sebelumya

hubungan tersebut dikaitkan dengan perilaku kekerasan secara keseluruhan.

6.2.3 Hubungan Pendidikan dengan respon PK

Berdasarkan hasil penelitian ini pendidikan tidak ada hubungan yang bermakna dengan

respon perilaku kekerasan. Ini berarti tingkat pendidikan seseorang tidak mempengaruhi

terjadinya perubahan pada respon perilaku kekerasan. Baik itu dari respon kognitif,

emosi(afektif), perilaku, sosial maupun fisiologis.

Hasil penelitian terdahulu ditemukan penelitian yang dilakukan Keliat (2003)

menyebutkan karakeristik pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan mempengaruhi

dalam kejadian perilaku kekerasan, dimana sebahagian besar berpendidikan menengah

dan rendah, tidak bekerja, tidak kawin dan dirawat untuk pertama kali di rumah sakit.

Faktor sosial, budaya juga merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan

pada individu.

Namun pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara jenis kelamin

disebabkan karena peneliti melihat hubungan dari masing-masing respon perilaku

kekerasan yaitu respon kognitif, emosi(afektif), perilaku, sosial maupun fisiologis

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 139: Makalah Ttg Retensi Urin

135

Universitas Indonesia

sedangkan pada penelitian sebelumya hubungan tersebut dikaitkan dengan perilaku

kekerasan secara keseluruhan.

6.2.4 Hubungan Pekerjaan dengan respon PK

Berdasarkan hasil penelitian ini pekerjaan tidak ada hubungan yang bermakna dengan

respon perilaku kekerasan. Ini berarti pekerjaan yang dilakukan seseorang tidak

mempengaruhi terjadinya perubahan pada respon perilaku kekerasan. Baik itu dari

respon kognitif, emosi(afektif), perilaku, sosial maupun fisiologis.

Pada hasil penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang dilakukan Keliat (2003)

menyebutkan karakeristik pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan mempengaruhi

dalam kejadian perilaku kekerasan. Kondisi sosial lain yang dapat menimbulkan perilaku

kekerasan seperti : keluarga single parent, pengangguran, kesulitan mempertahankan tali

persaudaraan, struktur keluarga, dan kontrol sosial ( Stuart & Laraia, 2005).

Namun pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara jenis kelamin

disebabkan karena peneliti melihat hubungan dari masing-masing respon perilaku

kekerasan yaitu respon kognitif, emosi(afektif), perilaku, sosial maupun fisiologis

sedangkan pada penelitian sebelumya hubungan tersebut dikaitkan dengan perilaku

kekerasan secara keseluruhan.

6.2.5 Hubungan Frekuensi di Rawat Dengan Respon PK

Berdasarkan hasil penelitian ini frekuensi di rawat tidak ada hubungan yang bermakna

dengan respon perilaku kekerasan seperti respon kognitif, emosi(afektif), perilaku

maupun fisiologis. Ini berarti frekuesi klien dirawat di rumah sakit tidak mempengaruhi

terjadinya perubahan pada respon perilaku kekerasan. Frekuensi di rawat mempunyai

hubungan yang bermakna dengan respon sosial perilaku kekerasan , artinya Frekuensi

rawat klien di rumah sakit akan mempengaruhi klien dalam respon sosialnya.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 140: Makalah Ttg Retensi Urin

136

Universitas Indonesia

Berdasarkan Dyah (2009) menyatakan frekuensi dirawat menunjukkan seberapa sering

individu dengan PK mengalami kekambuhan. Namun pada penelitian ini tidak

ditemukan adanya hubungan antara frekuensi di rawat disebabkan karena peneliti melihat

hubungan dari masing-masing respon perilaku kekerasan yaitu respon kognitif,

emosi(afektif), perilaku,maupun fisiologis sedangkan pada penelitian sebelumya

hubungan tersebut dikaitkan dengan perilaku kekerasan secara keseluruhan.

6.2.6 Hubungan Riwayat Gangguan Jiwa Dengan Respon PK

Berdasarkan hasil penelitian ini Riwayat gangguan jiwa tidak ada hubungan yang

bermakna dengan respon perilaku kekerasan. Ini berarti riwayat seseorang mengalami

gangguan jiwa tidak mempengaruhi terjadinya perubahan pada respon perilaku

kekerasan. Baik itu dari respon kognitif, emosi(afektif), perilaku, sosial maupun

fisiologis.

Berdasarkan literatur dinyatakan riwayat perilaku kekerasan di masa lalu (American

Psychiatric Assosiations, 2000; steinert, Wiebe, & Gebhardt, 1999 dalam Fauziah, 2009),

Keliat (2003) menyebutkan karakeristik pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan

mempengaruhi dalam kejadian perilaku kekerasan, dimana sebahagian besar

berpendidikan menengah dan rendah, tidak bekerja, tidak kawin dan dirawat untuk

pertama kali di rumah sakit.

Namun pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara riwayat gangguan

jiwa, disebabkan karena peneliti melihat hubungan dari masing-masing respon perilaku

kekerasan yaitu respon kognitif, emosi(afektif), perilaku, sosial maupun fisiologis

sedangkan pada penelitian sebelumya hubungan tersebut dikaitkan dengan perilaku

kekerasan secara keseluruhan. Dengan demikian diperlukan adanya penelitian untuk klien

PK dengan terapi REBT yang dilihat dari kemampuan klien yang dihasilkan dari terapi

sehingga lebih dapat dihubungkan dengan riwayat gangguan jiwa.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 141: Makalah Ttg Retensi Urin

137

Universitas Indonesia

6.3 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini adalah dalam pengumpulan data peneliti menggunakan perawat

lain namun untuk penyamaan persepsi dan cara pengambilan data belum dilakukan uji

interriter. Keterbatasan lainnya adalah kuesioner untuk masing-masing respon PK jumlahnya

juga sedikit sehingga kurang mewakili secara maksimal informasi yang dibutuhkan untuk

mengetahui respon PK tersebut dan kata-kata dan isi kuesioner kurang sederhana sehingga

bila digunakan untuk klien dengan gangguan jiwa mengalami kesulitan untuk memahaminya

secara langsung sehingga pengumpul data harus menjelaskan dengan berulang kali.

Kuesioner lebih tepat bila diberikan pada klien dengan perilaku kekerasan yang

penyebabnya jelas dan nyata sehingga kurang tepat bila diberikan kepada klien Risiko PK

dengan halusinasi. Lamanya waktu yang digunakan untuk penelitian ini dirasa kurang

karena untuk melihat secara langsung perubahan perilaku dan membudayaannya pada klien

membutuhkan waktu yang cukup lama.

6.5 Implikasi Hasil Penelitian

Berikut ini diuraikan implikasi hasil penelitian terhadap pelayanan keperawatan jiwa,

keilmuan dan pendidikan keperawatan, dan terhadap penelitian berikutnya.

6.5.1 Pelayanan Keperawatan Jiwa

Terapi REBT dapat menjadi salah satu satu terapi modalitas keperawatan jiwa yang efektif

untuk membantu klien dengan perilaku kekerasan untuk mengontrol perilaku PKnya

dengan melatih cara berpikir, berperasaan (emosi), berperilaku sehingga meningkatkan

hubungan sosialnya dan menurunkan respon fisiologis sehingga mencapai nilai normal.

Terapi REBT dapat diberikan dalam bentuk individu dan kelompok. Terapi juga dapat

diberikan pada saat klien sudah di masyarakat yaitu saat kontrol ke rumah sakit, sehingga

klien tidak harus lama dirawat di rumah sakit.

6.5.2 Keilmuan dan pendidikan keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menambah keilmuan tentang aplikasi salah satu terapi modalitas

keperawatan jiwa pada kelompok gangguan dan risiko dalam upaya meningkatkan

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 142: Makalah Ttg Retensi Urin

138

Universitas Indonesia

kesehatan jiwa dan dapat diberikan sebagai bahan pembelajaran keperawatan jiwa lanjut

khususnya di rumah sakit dan komunitas.

6.5.3 Penelitian berikutnya

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan untuk pelaksanaan penelitian berikutnya

tentang pengaruh terapi REBT terhadap peningkatan perkembangan keperawatan jiwa

pada berbagai individu dan kelompok dengan masalah keperawatan yang sama atau

berbeda.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 143: Makalah Ttg Retensi Urin

139

BAB 7

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai

berikut:

7.1 Simpulan

7.1.1 Karakterisitik dari 53 orang responden yang dilakukan dalam penelitian ini rata-rata

berusia 35tahun dengan usia termuda 19 tahun dan tertua 56 tahun, lebih banyak

perempuan (50,9%), sebagian besar adalah tidak bekerja (56,6%), memiliki jenjang

pendidikan SD dan SMP (60,4%), dengan adanya riwayat gangguan jiwa (77,4%) dan

frekuensi dirawat di rumah sakit 2 kali atau lebih .

7.1.2 Kemampuan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan diketahui dari respon –respon

PK klien yang meliputi respon kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologis. Respon-

respon tersebut sebelum pelaksanaan REBT bervariasi, pada respon Kognitif dan Sosial

bervariasi dari rendah sampai tinggi. Begitu juga dengan respon emosi, perilaku dan

fisiologis bervariasi dari tinggi sampai rendah.

7.1.3 Respon kognitif dan sosial PK meningkat secara bermakna pada kelompok yang

mendapatkan REBT. Sedangkan pada kelompok yang tidak mendapatkan REBT respon

kognitif dan sosial meningkat secara tidak bermakna.

7.1.4 Pada Respon Emosi, perilaku dan fisiologis menurun secara bermakna pada kelompok

yang mendapatkan REBT sedangkan pada kelompok yang tidak mendapatkan REBT

menurun secara tidak bermakna.

7.1.5 Adanya perbedaan secara bermakna pada respon kognitif, emosi, perilaku, sosial dan

fisiologis pada kelompok yang mendapatkan REBT dengan kelompok yang tidak

mendapatkan REBT.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 144: Makalah Ttg Retensi Urin

140

Universitas Indonesia

7.1.6 Ada pengaruh REBT terhadap kemampuan klien dalam mengontrol PK melalui respon

kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologisnya. Ada pengaruh frekuensi klien dirawat

di rumah sakit dengan respon sosial klien PK. Tidak ada pengaruh, usia, jenis kelamin,

pekerjaan, riwayat gangguan jiwa dan ferekuensi dirawat di rumah sakit dengan respon

kognitif, emosi, perilaku dan fisiologis klien PK.

7.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, ada beberapa saran yang dapat peneliti sampaikan yaitu

sebagai berikut:

7.2.1 Aplikasi keperawatan

7.2.1.1 Perawat jiwa di rumah sakit diharapkan selalu

memotivasi klien dan mengevaluasi kemampuan-kemampuan yang telah dipelajari dan

dimiliki oleh klien sehingga latihan yang diberikan membudaya.

7.2.1.2 Perawat jiwa dirumah sakit sebaiknya memberikan terapi lanjutan pada klien selain terapi

generalis yang sudah standar untuk menjadikan kemampuan klien meningkat secara

lebih bermakna seperti memberikan generalis PK dan terapi REBT pada klien dengan

perilaku kekerasan.

7.2.2 Pengembangan keilmuan

7.2.2.1 Pihak pendidikan tinggi keperawatan hendaknya mengembangkan terapi REBT pada

individu dan kelompok serta menjadi salah satu kompetensi yang dikuasai mahasiswa

atau lulusan perawat yang melakukan praktek di keperawatan jiwa.

7.2.2.2 Hasil penelitian ini hendaknya digunakan sebagai evidence based dalam mengembangkan

terapi REBT pada berbagai individu dan kelompok, sehingga menjadi modalitas terapi

keperawatan jiwa yang efektif dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa dan

meningkatkan kesehatan jiwa.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 145: Makalah Ttg Retensi Urin

141

Universitas Indonesia

7.2.3 Penelitian berikutnya

7.2.3.1 Perlu penelitian lebih lanjut pada Klien PK dengan desain longitudinal untuk mengetahui

pencapaian kemampuan dalam mengontrol PK setelah dilakukan terapi REBT.

7.2.3.2 Perlunya dilakukan penelitian tentang efektifitas terapi REBT terhadap kemampuan

mengontrol PK dibandingkan dengan pendekatan terapi yang lain.

7.2.3.3 Perlu dilakukan penelitian tentang respon perilaku kekerasan dengan berbagai

karakteristik seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, budaya, ras, agama, sosial

ekonomi keluarga, geografis dan sebagainya.

7.2.3.4 Perlu dilakukan penelitian tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi respon-

respon PK, untuk mengetahui faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap

perubahan respon-respon PK.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 146: Makalah Ttg Retensi Urin

Universitas Indonesia �

DAFTAR PUSTAKA

Adomeh. (2006), Fostering Emotional Adjustment Among Nigerian Adolescents With Rational Emotive Behaviour Therapy, http://www.highbeam.com/doc/1P3-1161697701.html. diperoleh tanggal 5 Februari 2010

Ariawan, I . (1998). Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan, Jakarta : FKM-UI (tidak di publikasikan).

Banks & Zions (2009). Teaching a Cognitif Behaviour Strategy to Manage Emotions, Rational Emotive Behaviour Therapy in Educational Setting, Department Behaviour Management

Boyd, M.A. & Nihart, M.A. (2002). Psychiatric Nursing Contemporary Practice. USA. Lippincott Raven Publisher

Boyd, M.A. & Nihart, M.A. (1998). Psychiatric Nursing Contemporary Practice.

USA. Lippincott Raven Publisher Brockop,D.Y., & Tolsma,M.T.H. (1995). Dasar-Dasar Riset Keperawatan. Edisi

ke-2. Jakarta:EGC

Dyah W (2009). Pengaruh Assertive Trainning Terhadap Perilaku Kekerasan pada Klien Skizoprenia, Tesis. Jakarta. FIK UI. tidak dipublikasikan

Dominic. J (2003), Effects of Trait Anger and Negative Attitudes Towards Women

on Physical Assaults in Dating Ralationships, Journal of Family Violence, Vol 18, No.5, Oktober 2003 diperoleh tanggal 10 februari 2010

Cristopher, E. (2010), Anger, Agression, and Irrational Beliefs In Adolescents,

Cogn Ter Res. Springer Science LLC diperoleh tanggal 10 Februari 2010 Endang (2009). Pengaruh Terapy Musik pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan,

Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan

Faizmh. (2009), Resume Teori Pendekatan Konseling Rational Emotive Therapy, diperoleh tanggal 20 januari 2010

Fauziah (2009). Pengaruh Terapiu Perilaku Kognitif Pada Klien Skizoprenia

Dengan Perilaku Kekerasan, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan

Fontaine, K.L. (2003). Mental Health Nursing. New Jersey. Pearson Education. Inc

Frisch, N.C. & Frisch, L.E. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. Third

edition. Canada. Thomson Delmar Learning

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 147: Makalah Ttg Retensi Urin

Universitas Indonesia �

Froggatt, W (2005). A Brief Introduction To Rational Emotive Behaviour

Therapy, Journal of Rational Emotive Behaviour Therapy, version Feb 2005

Hastono, S.P. (2007). Analisis data kesehatan. Jakarta: Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Indonesia (tidak dipublikasikan).

Hidayat, A.A.A. (2007). Metode penelitian keperawatan dan tehnik analisis data. Jakarta : Salemba Medika.

Jalil, M. (2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan penderita skizoprenia di RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang. Skripsi. Tidak dipublikasikan.

Jensen. (2010), Evaluating the ABC Models of Rational Emotive Behaviour Therapy Theory : An Analysis of The Relationship Between Irrational Thinking and Guilt, Thesis of Science in Psychology. The Faculty of Department Psychology Villanova University. United State. ProQuest LLC

Kaplan , H.I. ; Sadock, B.J. & . Grebb,J.A. (1997). Sinopsis Psikiatri (7th ed.). Jakarta: Bina Rupa Aksara

Kaplan & Sadock. (2007). Sinopsis Psikiatri: ilmu pengetahuan psikiatri klinis. (Jilid 1). Jakarta: Bina Rupa Aksara.

Keliat, B.A. (1995). Peran serta Keluarga dalam Perawatan Klien Gangguan

Jiwa. Jakarta. EGC Keliat, B.A. (2003). Pemberdayaan Klien dan Keluarga dalam Perawatan Klien

Skizofrenia dengan Perilaku Kekerasan di RSJP Bogor. Disertasi. Jakarta. FKM UI. tidak dipublikasikan

Keliat & Sinaga.(1991), Asuhan Keperawatan Pada Klien Marah, Jakarta : EGC Kneisl, C.R., Wilson, S.K., and Trigoboff, E. (2004). Psychiatric Mental Health

Nursing. New Jersey: Pearson Prentice Hall

Maramis, W.F. (2006). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya. Airlangga University Press

Martin & Dahlen (2004). Irrational Beliefs and The Experience and Expression of

Anger, Journal of Rational Emotive & Cognitif - Behaviour Therapy, Vol 22, No. 1, Spring

McDermut, dkk (2009). Trait Anger and Axis I Disorder : Implications for REBT,

Journal of Rational Emotive Behaviour Therapy, 27 : 121- 135

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 148: Makalah Ttg Retensi Urin

Universitas Indonesia �

Mila. (2009), Pengaruh Family Psychoeducation Therapy Terhadap Beban Dan Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Klien Pasung Di Kabupaten Bireuen Nanggroe Aceh Darussalam, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan

Notoatmojo,S.(2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Pusat Penelitian dan Perkembangan Depkes RI. (2008). Riset Kesehatan Dasar

2007. www.litbang.go.id, diperoleh tanggal 20 Oktober 2009 Rieckert & Moller (2000). Rational – Emotive Behaviour Therapy In The

Treatment Of Adult Victims of Childhood Sexual Abuse, Journal of Rational Emotive & Cognitif - Behaviour Therapy, Vol 18, No. 2, Summer

Rawlins & Beck, C.K.(1993). Mental Health- Psychiatric Nursing 3 rd Ed. St.

Louis : Mosby Year

Sabri, L & Hastono, S.P. (2007). Statistik kesehatan. Edisi 1. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Saladino. (2007, www.proquest umi.com/pqdweb?index, diperoleh tanggal 10 januari 2010)

Sastroasmoro, S. & Ismael, S. (2008). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis (3th ed). Jakarta: CV. Sagung Seto.

Soetjiningsih (2004). Buku Ajar Tumbuh Kembang Remaja Dan

Permasalahannya. Jakarta : Sagung Seto

Stuart, G.W & Laraia, M.T (2005). Principles and Practice of psychiatric nursing. (7th edition). St Louis: Mosby

Stuart, G.W & Laraia, M.T (2009). Principles and Practice of psychiatric nursing. (7th edition). St Louis: Mosby

Stuart, G.W & Sundeen. (1995), Principles Practice Psychiatric Nursing (5th edition). St. Louis : Mosby

Sudjana. (2001). Metoda statistika. Edisi revisi. Bandung: Tarsito

Sunaryo.(2004). Psikologi untuk keperawatan. Jakarta : EGC

Supriyanto, S. (2007). Metodologi riset. Surabaya: Program Administrasi & Kebijakan Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 149: Makalah Ttg Retensi Urin

Universitas Indonesia �

Townsend, C.M. (2005). Essentials of Psychiatric Mental Health Nursing. (3th Ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company

Triantoro, S. & Saputra (2009), Manajemen Emosi, Jakarta. Bumi Aksara

Varcarolis, E.M. (2006), Psychiatric Nursing Clinical Guide; Assesment Tools and Diagnosis . Philadelphia. W.B Saunders Co

Varcarolis, E.M. (2003), Psychiatric Nursing Clinical Guide; Assesment Tools

and Diagnosis . Philadelphia. W.B Saunders Co Videbeck, S.L. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. (3rd edition).

Philadhelpia: Lippincott Williams & Wilkins.

Videbeck, Sheila. L.(2008), Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta. EGC. Wardhani. (2009), Pengalaman Keluarga Menghadapi Ketidakpatuhan Anggota

Keluarga Dengan Skizofrenia Dalam Mengikuti Regimen Terapeutik: Pengobatan, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan

WHO. (2001). The world Health Report: 2001: mental health: new

Understanding, new hope. www.who.int/whr/2001/en/ diperoleh tanggal 20 Januari 2010

WHO. (2003), Investing in Mental Health. www.who.int/mental_health. diperoleh tanggal 23 Februari 2009

WHO. (1992), The ICD – 10 Classification of Mental and Behavioural Disorders

: Clinical Description and Diagnosis Guidelines. Diperoleh tanggal 29 Maret 2010

World Federation For Mental health (2008), Leraning about Schizophrenia: An

international Mental Health Awareness Packet. Http:///www.wfmh.org. diperoleh tanggal 8 Januari 2019

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 150: Makalah Ttg Retensi Urin

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOUR THERAPY TERHADAP KLIEN PERILAKU KEKERASAN DI RUANG RAWAT INAP RSMM BOGOR TAHUN 2010.

MANUSKRIP PENELITIAN

Dewi Eka Putri

NPM : 0806469565

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA

DEPOK

JULI 2010

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 151: Makalah Ttg Retensi Urin

PENGARUH RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOUR THERAPY TERHADAP KLIEN PERILAKU KEKERASAN DI RUANG RAWAT INAP RSMM BOGOR TAHUN 2010

Dewi Eka Putri, Budi Anna Keliat2dan Yusron Nasution3

Program Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Jakarta 10430, Indonesia

Email : [email protected]

Abstrak

Perilaku kekerasan (PK) adalah respon kemarahan maladaptif dalam bentuk perilaku menciderai diri, orang lain dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran Pengaruh Rational Emotive Behaviour Therapy terhadap penurunan perilaku kekerasan di ruang rawat inap RSMM Bogor. Desain “Quasi Experimental Pre-Post Test with “Control Group” dengan intervensi Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT). Sampel penelitian adalah 53 klien skizoprenia paranoid dengan PK, terdiri atas 25 kelompok intervensi dan 28 orang kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan respon kognitif dan sosial serta penurunan respon emosi, perilaku dan fisiologis secara bermakna (P-value� 0,05) pada klien yang mendapatkan REBT. REBT direkomendasikan untuk diterapkan pada klien PK bersama dengan tindakan keperawatan generalis.

Kata Kunci: Perilaku Kekerasan, Rational Emotive Behaviour Therapy.

Abstract

Violent behavior is a maladaptive anger response, which is shown by the People whom treated themselves, others and the environment. The study aims to get the explanation of the effect rational emotive behavioral therapy in reducing violent behavioral in Bogor RSMM hospital. Design with “Quasi-Experimental design Pre-Post Test with Control Group” and the intervention of rational emotive behavior therapy (REBT). The samples of this research are 53 clients with paranoid schizophrenia who has violent behavior, consisted of 25 clients as intervention group and 28 clients as control group. The Results of this research show the increasing response of cognitive, social and reducing of emotional response, behavioral, and physiological significantly, at (P-value �0,05) on the clients who get REBT. In �2 times frequency treated associated with the client's social response increased. REBT are recommended to provide to the clients with REBT critical nursing generalist.

Keywords : Violent behavior, Rational Emotive Behavior Therapy

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 152: Makalah Ttg Retensi Urin

LATAR BELAKANG

Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional (Johnson, 1997, dalam Videbeck, 2008). Di Indonesia, jumlah penderita masalah kesehatan jiwa cukup tinggi dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun dan hampir di seluruh bagian dari wilayah Indonesia dalam beberapa dekade ini, populasi mengalami masa sulit karena konflik, kemiskinan maupun bencana alam.

WHO (2006) mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa, dimana panik dan cemas adalah gejala paling ringan (Maramis, 2006). Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Ris.Kes.Das, 2007) yang dilakukan oleh Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan menunjukkan prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 4.6 permil, dengan kata lain dari 1000 penduduk Indonesia empat sampai lima diantaranya menderita gangguan jiwa berat. Gangguan jiwa merupakan respon maladaptif individu berupa perubahan fungsi psikologis atau perilaku yang tidak sesuai dengan norma lokal dan budaya setempat yang menyebabkan timbulnya penderitaan dan hambatan dalam melaksanakan peran sosialnya. Skizoprenia merupakan salah satu diagnosa medis dari gangguan jiwa yang paling banyak ditemukan dan merupakan gangguan jiwa berat. Menurut data statistik direktorat kesehatan jiwa, pasien gangguan jiwa terbesar adalah skizofrenia yaitu 70% (Dep.Kes, 2003). American Association Psychiatric (2000) menyebutkan beberapa penelitian melaporkan bahwa kelompok individu yang didiagnosa mengalami skizoprenia mempunyai insiden lebih tinggi untuk mengalami perilaku kekerasan (APA, 2000 dalam Sadino, 2007). Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku untuk melukai atau mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan secara verbal atau fisik (Stuart & Laraia, 2005;2009).

Fokus tindakan untuk perilaku kekerasan (PK) adalah mengarahkan untuk pengurangan perilaku impulsif, tehnik manajemen marah, terapi drama, terapi musik dan terapi dansa (Cleven, 2006 dalam Choi, 2008). Menurut Endang (2009) terapi musik dapat menurunkan perilaku kekerasan yang diketahui dari respon fisik, respon kognitif , respon perilaku dan respon sosial klien. menurut Stuart dan Laraia (2005) adalah terapi asertif, time outs, dan token economy. Menurut Dyah (2009) perilaku kekerasan pada kelompok yang mendapat terapi generalis dan asertif training menurun secara bermakna pada respon fisik, respon kognitif, respon perilaku dan respon sosial klien. . Sedangkan menurut Fauziah (2009) terapi perilaku kognitif dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku klien skizoprenia dengan perilaku kekerasan. Respon kognitif merupakan hasil penilaian terhadap kejadian yang menekan, pilihan koping yang digunakan, reaksi emosional, fisiologis, perilaku dan sosial individu (Stuart & Laraia, 2005). Berdasarkan teori diatas maka perlu adanya intervensi pada klien dengan perilaku kekerasan yang mengarah kepada fisik, afektif (emosi), kognitif,fisiologis, perilaku, dan sosial. Terapi Asssertiveness Trainning, terapi Musik dan terapi Perilaku Kognitif belum mengarahkan intervensinya secara langsung kepada emosi klien dengan perilaku kekerasan. Adapun terapi yang dapat dilakukan untuk itu adalah Rational Emotive Behaviour Therapy ( REBT).

Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) ditemukan oleh Albert Ellis, REBT adalah suatu metode untuk memahami dan mengatasi masalah emosi dan perilaku. Tujuan umum REBT adalah untuk mengurangi keyakinan irrasional dan menguatkan keyakinan rasional yang dapat

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 153: Makalah Ttg Retensi Urin

efektif pada anak dan dewasa yang marah dan agresif melalui pembelajaran dan latihan kognitif, emosi dan perilaku. Berdasarkan penelitian Johan Rieckert (2000) terapi REBT secara signifikan dapat mengurangi depresi, kecemasan, kemarahan, perasaan bersalah dan harga diri yang rendah. Penelitian keparawatan di indonesia tentang Pengaruh Rasional Emotif Behaviour Therapy terhadap klien dengan perilaku kekerasan belum diketahui. Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk menerapkan Rational Emotive Behaviour Therapy pada klien dengan perilaku kekerasan di ruang rawat inap Rumah Sakit Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor. Perilaku kekerasan merupakan urutan 5 besar dari masalah keperawatan yang ditemukan di RSMM yaitu Halusinasi 26,24%, Defisit perawatan diri 19,15%, Isolasi sosial 16,31%, HDR 13% dan PK 10,64% dari masalah keperawatan klien yang dirawat di RSMM Bogor (Data Aplikasi 2 & Residensi 2 Keperawatan Jiwa). Oleh karena itu perlu dilakukannya penelitian tentang Pengaruh Rational Emotive Behaviour Therapy terhadap penurunan perilaku kekerasan di ruang rawat inap RSMM Bogor.

METODOLOGI

Penelitian ini adalah penelitian quasi expermental dengan metode kuantitatif� dengan menggunakan desain penelitian “Quasi Experimental Pre-Post Test with “Control Group” dengan intervensi Rational Emotive Behaviour Therapy ( REBT). Teknik pengambilan sampel secara Consecutive Sampling. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan perilaku pada klien dengan perilaku kekerasan baik secara kognitif, afektif (emosi), perilaku, sosial dan fisiologis sebelum dan sesudah diberikan intervensi berupa pemberian terapi REBT. Pada penelitian ini responden berjumlah 53 orang yang terdiri atas 28 orang pada kelompok kontrol dan 25 orang pada kelompok intervensi. Hal ini disebabkan karena 3 orang dari kelompok intervensi drop out. Analisis statistik yang dipergunakan adalah univariat, bivariat dan multivariat dengan analisis dependen dan independent sample t-Test, Chi-square serta regresi linier ganda dengan tampilan dalam bentuk tabel dan distribusi frekuensi.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian yang telah dilakukan tanggal 26 Mei sampai dengan 21 Juni 2010 disajikan sebagai berikut :

1. Karakteristik Klien Perilaku kekerasan Berdasarkan uraian hasil analisis karakteristik pada klien perilaku kekerasan dalam penelitian ini rata-rata berusia 35,02 tahun dengan usia termuda 19 tahun dan tertua 56 tahun, lebih banyak perempuan (50,9%), sebagian besar tidak bekerja (56,6%), memiliki jenjang pendidikan SD dan SMP (60,4%), dengan adanya riwayat gangguan jiwa (77,4%) dan frekuensi dirawat di rumah sakit 2 kali atau lebih (77,4%).

2. Respon Perilaku Kekerasan Klien PK

Analisis respon-respon perilaku kekerasan terdiri atas : kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologis pada klien PK. Berdasarkan hasil analisis sebelum diberikannya terapi REBT diketahui bahwa :

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 154: Makalah Ttg Retensi Urin

2.1 Berdasarkan kuesioner pada penelitian rentang respon kognitif adalah minimal 8 dan maksimal 32 (rendah 8 – 16 ; sedang 17 – 18; tinggi 19 - 32). Ini berarti respon kognitif pada klien PK semakin meningkat menunjukkan kognitif yang semakin baik. Hasil analisis respon kognitif adalah 18,48 dengan nilai minimal 13 dan maksimal 26, dapat disimpulkan bahwa rata-rata respon kognitif klien PK sebelum dilakukan terapi REBT adalah sedang.

2.2 Berdasarkan kuesioner pada penelitian rentang respon emosi adalah minimal 7 dan maksimal 28 (rendah 7 – 15 ; sedang 16 – 17; tinggi 18 - 28). Respon emosi pada klien PK semakin menurun menunjukkan emosi yang semakin baik. Hasil analisis rata-rata respon emosi sebelum dilakukan REBT adalah 17,19 dengan nilai minimal 12 dan nilai maksimal 26. Maka dapat disimpulkan rata-rata respon emosi klien PK sebelum dilakukan terapi REBT adalah sedang.

2.3 Berdasarkan kuesioner pada penelitian ini rentang respon perilaku adalah minimal 5 dan maksimal 20 (rendah 5 – 11 ; sedang 12 – 14; tinggi 15 - 20). Respon perilaku pada klien PK semakin menurun menunjukkan perilaku yang semakin baik. Hasil analisis respon perilaku. Rata-rata respon perilaku sebelum dilakukan REBT adalah 13,25 dengan nilai minimal 8 dan nilai maksimal 17. Maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata respon perilaku klien PK sebelum dilakukan terapi REBT adalah sedang.

2.4 Berdasarkan kuesioner pada penelitian ini rentang respon sosial adalah minimal 6 dan maksimal 24 (rendah 6 – 12 ; sedang 13 – 14; tinggi 15 - 24). Respon sosial pada klien PK semakin meningkat menunjukkan sosial yang semakin baik. Hasil analisis rata-rata respon sosialnya sebelum dilakukan REBT adalah 13,77 dengan nilai minimal 10 dan nilai maksimal 19. Maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata respon sosial klien PK sebelum dilakukan terapi REBT adalah sedang.

2.5 Berdasarkan kuesioner pada penelitian ini rentang respon fisiologis adalah minimal 6 dan maksimal 12 (rendah 6 – 8 ; sedang 8 – 9; tinggi 10 - 24). Respon fisiologis pada klien PK semakin menurun menunjukkan fisiologis yang semakin baik. Hasil analisis rata-rata respon fisiologis sebelum dilakukan REBT adalah 9,16 dengan nilai minimal 6 dan nilai maksimal 13. Maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata respon fisiologis klien PK sebelum dilakukan terapi REBT adalah sedang.

3. Perubahan Respon PK Sebelum Dan Sesudah Diberikannya REBT Berdasarkan uji statistik terdapat perubahan yang bermakna sesudah mendapatkan REBT terhadap respon-respon PK. Respon kognitif klien meningkat secara bermakna sebesar 3,80 dengan p value 0,000 � � 0,05, respon emosi klien menurun secara bermakna sebesar 2,92 dengan p value 0,001 � � 0,05, respon perilaku klien menurun secara bermakna sebesar 2,32 dengan p value 0,000 � � 0,05, respon sosial klien meningkat secara bermakna sebesar 1,6 dengan p value 0,002� � 0,05 dan respon fisiologis klien menurun secara bermakna sebesar 2,56 dengan p value 0,000 � � 0,05. Ini dapat dilihat pada tabel 3.1

Tabel 3.1 Analisis Perubahan Respon Perilaku Kekerasan Pada Klien PK

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 155: Makalah Ttg Retensi Urin

Sebelum Dan Sesudah Pelaksanaan REBT Pada Kelompok Intervensi Di RSMM Bogor Tahun 2010

(n = 25)

Tabel 3.2 Analisis Perubahan Respon-Respon Perilaku Kekerasan Pada klien PK

Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan REBT Pada Kelompok Kontrol di RSMM Bogor Tahun 2010

(n = 28)

Respon PK Pelaksanaan REBT

n Mean SD SE p Value

Sebelum Sesudah Selisih

28 28

18,07 18,54 0,47

3,49 3,21 0,28

0,66 0,61

0,613

Sebelum Sesudah Selisih

28 28

17,25 16,89 0,36

3,01 2,91 0,1

0,57 0,55

0,514

Sebelum Sesudah Selisih

28 28

13,50 13,36 0,14

1.88 1,68 0,2

0,35 0,32

0,718

Sebelum Sesudah Selisih

28 28

13,29 13,54 0,25

2,42 2,15 0,27

0,46 0,41

0,667

Respon kognitif

Respon Emosi

Respon Perilaku Respon Sosial

Respon Fisiologis

Sebelum Sesudah Selisih

28 28

9,29 8,86 0,43

1,15 1,08 0,07

0,22 0,20

0,184

Berdasarkan tabel 3.2 uji statistik yang dilakukan pada kelompok kontrol sebelu dan sesudah REBT diberikan tidak terdapat perubahan yang bermakna pada klien dengan PK yang tidak mendapat REBT. Respon kognitif meningkat sebesar 0,47 dengan p value 0,613 � � 0,05, respon emosi menurun sebesar 0,36 dengan p value 0,514 � � 0,05, respon perilaku sebesar 0,14 dengan p value 0,718� � 0,05, respon sosial meningkat sebesar 0,25 dengan p value 0,677 � � 0,05 dan respon fisiologis menurun sebesar 0,43 dengan p value 0,184 � � 0,05.

4. Perbedaan Respon PK Setelah Dilakukan REBT Pada Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontrol . Hasil analisis menunjukkan bahwa respon kognitif, emosi,perilaku, sosial dan fisiologis pada klien PK yang mendapat REBT lebih baik secara bermakna dibandingkan dengan klien PK yang tidak mendapatkan REBT. Hal ini dapat dilihat dari tabel 4.1

Respon PK Pelaksanaan REBT

n Mean SD SE p Value

Sebelum Sesudah Selisih

25 25

18,88 22,68

3,80

2,86 3,69 0,83

0,57 0,58

0,000

Sebelum Sesudah Selisih

25 25

17,12 14,20 2,92

3,53 2,77 0,76

0,71 0,55

0,001

Sebelum Sesudah Selisih

25 25

13,00 10,68 2,32

2,02 1,82 0,2

0,40 0,36

0,000

Sebelum Sesudah Selisih

25 25

14,24 15,84 1,6

1,88 1,57 0,31

0,38 0,15

0,002

Respon kognitif

Respon Emosi Respon Perilaku Respon Sosial Respon Fisiologis

Sebelum Sesudah Selisih

25 25

9,04 6,48 2,56

1,31 0,59 0,72

0,26 0,12

0,000

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 156: Makalah Ttg Retensi Urin

Tabel 4.1

Analisis Respon Perilaku Kekerasan Pada Klien PK Setelah Dilakukan REBT Di RSMM Bogor Tahun 2010

(n = 53)

5. Perbedaan Selisih Perubahan Respon-Respon Perilaku Kekerasan Sebelum Dan Setelah Terapi Pada Kelompok Intervensi Dan Kontrol Hasil analisis perbedaan selisih perubahan rata-rata respon-respon perilaku kekerasan antara klien yang mendapat REBT dan yang tidak mendapat REBT ada perbedaan yang bermakna ( P -value � 0,05) yaitu : 5.1 Selisih perubahan respon kognitif PK antara yang mendapat REBT dan yang tidak

mendapat REBT ada perbedaan yang bermakna (Pvalue= 0.023; �= 0.05). 5.2 Selisih perubahan respon emosi PK antara yang mendapat REBT dan yang tidak

mendapat REBT ada perbedaan yang bermakna (Pvalue= 0.009; �= 0.05). 5.3 Selisih perubahan respon perilaku PK antara yang mendapat REBT dan yang tidak

mendapat REBT ada perbedaan yang bermakna (Pvalue= 0.000; �= 0.05). 5.4 Selisih perubahan respon sosial PK antara yang mendapat REBT dan yang tidak

mendapat REBT tidak ada perbedaan yang bermakna (Pvalue= 0.076; �= 0.05). 5.5 Selisih perubahan respon fisiologis PK antara yang mendapat REBT dan yang tidak

mendapat REBT ada perbedaan yang bermakna (Pvalue= 0.000; �= 0.05). 6. Faktor Yang Berkontribusi Terhadap Respon Perilaku Kekerasan Pada Klien Dengan

Perilaku Kekerasan Hasil analisis menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara terapi REBT dengan respon PK (kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologis) Klien PK dengan alpha 5% ; p value � 0.05. Sedangkan analisis karakteristik Klien PK (usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, riwayat gangguan jiwa dan frekuensi di rawat) menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara karakteristik klien dengan respon PK (kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologis) p value �0.05; alpha 5%, kecuali untuk frekuensi dirawat ditemukan adanya hubungan denga nrespon sosial klien p value � 0.05; alpha 5%

Respon PK Kelompok n Mean SD Min –

Max

p Value

Kognitif

1.Intervensi

2. Kontrol

25

28

22,68

18,54

2,90

3,21

18 – 31

11– 25

0,000

Emosi 1. Intervensi

2. Kontrol

25

28

14,20

16,89

2,39

2,30

8 - 19

12 – 23

0,001

Perilaku 1. Intervensi

2. Kontrol

25

28

10,68

13,36

1,82

1,68

7 – 14

10 - 16

0.000

Sosial 1. Intervensi

2. Kontrol

25

28

15,84

13,54

1,57

2,15

13 - 19

8 – 19

0,000

Fisiologis

1. Intervensi

2. Kontrol

25

28

6,48

8,86

0,59

1,08

6 – 8

6 – 10

0,000

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 157: Makalah Ttg Retensi Urin

PEMBAHASAN

1. Pengaruh Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) Terhadap Respon Perilaku Kekerasan pada Klien Perilaku Kekerasan (PK)

1.1 Pada klien yang mendapatkan terapi psikososial REBT ditemukan peningkatan secara bermakna pada respon kognitif, ini berarti REBT berpengaruh terhadap peningkatan respon kognitif klien PK sehingga pengetahuan klien meningkat tentang masalah perilaku kekerasan yang dialaminya sebagai perilaku maladaptif yang dapat mencelakakan dirinya, orang lain dan lingkungan. Penelitian ini sesuai dengan Rieckert (2000) menyatakan terapi REBT secara signifikan dapat mengurangi kemarahan, perasaan bersalah dan harga diri yang rendah.�Melalui terapi REBT klien dilatih untuk dapat mengevaluasi diri sendiri dengan mengidentifikasi kejadian yang pernah dialami, pikiran-pikiran irrasional yang timbul terkait dengan kejadian dan mempengaruhi perasaan (emosi) klien sehingga menghasilkan perilaku maladaptif yang sebenarnya tidak diinginkan.���

1.2 Pada klien PK menunjukkan bahwa terdapat perbedaan penurunan respon emosi secara bermakna antara kelompok yang mendapatkan terapi REBT dan yang tidak mendapatkan REBT. Hal ini karena terapi REBT memberikan kesempatan pada klien untuk mengenali perasaan-perasaan yang disebabkan karena adanya pikiran yang tidak rasional terhadap setiap kejadian atau peristiwa yang membuat klien berperilaku kekerasan sehingga klien mengenali perasaan-perasaan yang dapat menimbulkan perilaku maladaptif. REBT adalah metode untuk memahami dan mengatasi masalah emosi dan perilaku (Froggatt, 2005). Teori REBT menegaskan bahwa keyakinan yang tidak rasional akan membawa individu pada emosi dan perilaku negatif yang tidak sehat seperti perilaku amuk (agresif) dan rasa bersalah (Jensen, 2008).. REBT baik diberikan pada klien PK karena di dalam materi REBT menjelaskan pada klien cara berpikir rasional, mengubah emosi yang mengganggu menjadi emosi yang menyenangkan sehingga klien dapat menyelesaikan masalah. Sesuai dengan konsep REBT bahwa emosi dan perilaku merupakan hasil dari proses pikir yang memungkinkan bagi manusia untuk memodifikasinya seperti proses untuk mencapai cara yang berbeda dalam merasakan dan bertindak (Froggatt, 2005).

1.3 Hasil penelitian yang dilakukan terhadap klien PK memperlihatkan adanya penurunan secara bermakna pada respon perilaku antara kelompok yang mendapatkan terapi REBT dan yang tidak mendapatkan REBT.� Ini berarti bahwa REBT memberikan pengaruh yang bermakna terhadap penurunan perilaku kekerasan pada klien. Berdasarkan literatur Albert Ellis (Corsini & Wedding, 1989 dalam Dominic, 2003) berpendapat bahwa yang perlu dirubah oleh individu untuk mengatasi masalah emosi maupun perilakunya adalah adanya keyakinan irrasional yang dikembangkan sendiri oleh individu dan Albert Ellis mengembangkan sebuah terapi bernama REBT (Rational Emotive Behavioural Therapy).� Sunaryo (2004) menyatakan bahwa perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu kebutuhan, motivasi, sikap dan kepercayaan. Dengan terbinanya saling percaya perawat dengan klien, dan adanya

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 158: Makalah Ttg Retensi Urin

kebutuhan serta motivasi klien untuk merubah diri maka perilaku dapat dirubah lebih cepat.

1.4 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada klien PK ditemukan peningkatan secara bermakna pada respon sosial klien yang mendapatkan REBT. Hal ini berarti REBT berpengaruh secara bermakna dalam meningkatkan respon sosial klien PK. Menurut Boyd dan Nihart (1998) tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial akan ditemukan penurunan interaksi sosial. Menurut Beck, emosi marah sering merangsang kemarahan orang lain. Pengalaman marah dapat mengganggu hubungan interpersonal.� Dengan diberikan REBT, klien akan belajar untuk berpikir secara rasional dan berperilaku yang adaptif sehingga hubungan interpersonalnya dengan orang lain meningkat.

1.5 Pada klien yang mendapatkan terapi psikososial REBT ditemukan penurunan secara bermakna pada respon fisiologis, ini berarti REBT berpengaruh terhadap penurunan respon fisiologis klien PK. Menurut Stuart dan Laraia (2009), Perilaku kekerasan dapat dilihat dari wajah tegang, tidak bisa diam, mengepalkan atau memukulkan tangan, rahang mengencang, peningkatan pernafasan, dan kadang tiba-tiba seperti kataton. Menurut Beck respons fisiologis marah timbul karena kegiatan system syaraf otomom bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi denyut jantung meningkat, wajah merah, pupil melebar, dan frekuensi pengeluaran urin meningkat. Dengan diberikannya REBT pada klien maka klien akan belajar untuk berpikir rasional, mengontrol perasaannya dan perilakunya sehingga system syaraf otonom tidak bereaksi dan respon fisiologis menjadi turun mencapai batas normal.

2. Faktor Yang Berhubungan Dengan Respon PK Berdasarkan hasil penelitian ini usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, riwayat gangguan jiwa dan frekuensi di rawat tidak ada hubungan yang bermakna dengan respon perilaku kekerasan. Ini berarti perubahan usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, riwayat gangguan jiwa dan frekuensi di rawat tidak diikuti oleh perubahan pada respon perilaku kekerasan (respon kognitif, emosi, perilaku, sosial maupun fisiologis). Namun khusus untuk frekuensi di rawat ada hubungan yang bermakna dengan respon sosial yang berarti bila terjadi perubahan pada frekuensi dirawat maka akan terjadi pula berubahan pada respon sosial klien.

SIMPULAN

1. Karakterisitik dari 53 orang responden yang dilakukan dalam penelitian ini rata-rata berusia 35 tahun dengan usia termuda 19 tahun dan tertua 56 tahun, lebih banyak perempuan (50,9%), sebagian besar adalah tidak bekerja (56,6%), memiliki jenjang pendidikan SD dan SMP (60,4%), dengan adanya riwayat gangguan jiwa (77,4%) dan frekuensi dirawat di rumah sakit 2 kali atau lebih.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 159: Makalah Ttg Retensi Urin

2. Kemampuan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan diketahui dari respon –respon PK klien yang meliputi respon kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perubahan yang bermakna pada respon klien PK antara sebelum mendapatkan REBT dengan setelah mendapatkan REBT. Perubahan yang terjadi adalah pada respon kognitif dan sosial terjadi peningkatan yang bermakna sedangkan pada respon emosi, perilaku dan fisiologis terjadi penurunan secara bermakna.

3. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa respon kognitif, emosi,perilaku, sosial dan fisiologis pada klien PK yang mendapat REBT lebih baik secara bermakna dibandingkan dengan klien PK yang tidak mendapatkan REBT.

4. Ada pengaruh REBT terhadap kemampuan klien dalam mengontrol PK melalui respon kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologisnya. Ada pengaruh frekuensi klien dirawat di rumah sakit dengan respon sosial klien PK. Tidak ada pengaruh, usia, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat gangguan jiwa dan ferekuensi dirawat di rumah sakit dengan respon kognitif, emosi, perilaku dan fisiologis klien PK.

SARAN

1. Perawat jiwa di rumah sakit diharapkan selalu memotivasi klien dan mengevaluasi kemampuan-kemampuan yang telah dipelajari dan dimiliki oleh klien sehingga latihan yang diberikan membudaya. Pemberian terapi lanjutan dari terapi yang sesuai dengan SAK akan memberikan hasil yang lebih maksimal seperti terapi generalis PK dan REBT pada Klien PK.

2. Hasil penelitian ini hendaknya digunakan sebagai evidence based dalam mengembangkan

terapi REBT pada berbagai individu dan kelompok dengan masalah keperawatan jiwa lainnya dan menjadi bagian dari kompetensi yang dimiliki oleh perawat spesialis.

DAFTAR PUSTAKA

Boyd, M.A. & Nihart, M.A. (1998). Psychiatric Nursing Contemporary Practice. USA. Lippincott Raven Publisher

Dyah W (2009). Pengaruh Assertive Trainning Terhadap Perilaku Kekerasan pada Klien Skizoprenia, Tesis. Jakarta. FIK UI. tidak dipublikasikan

Dominic. J (2003), Effects of Trait Anger and Negative Attitudes Towards Women on Physical

Assaults in Dating Ralationships, Journal of Family Violence, Vol 18, No.5, Oktober 2003 diperoleh tanggal 10 februari 2010

Cristopher, E. (2010), Anger, Agression, and Irrational Beliefs In Adolescents, Cogn Ter Res.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 160: Makalah Ttg Retensi Urin

Springer Science LLC diperoleh tanggal 10 Februari 2010 Endang (2009). Pengaruh Terapy Musik pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan, Tesis.

Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan Fauziah (2009). Pengaruh Terapiu Perilaku Kognitif Pada Klien Skizoprenia Dengan

Perilaku Kekerasan, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan

Froggatt, W (2005). A Brief Introduction To Rational Emotive Behaviour Therapy, Journal of Rational Emotive Behaviour Therapy, version Feb 2005

Jensen. (2010), Evaluating the ABC Models of Rational Emotive Behaviour Therapy Theory : An Analysis of The Relationship Between Irrational Thinking and Guilt, Thesis of Science in Psychology. The Faculty of Department Psychology Villanova University. United State. ProQuest LLC

Pusat Penelitian dan Perkembangan Depkes RI. (2008). Riset Kesehatan Dasar 2007. www.litbang.go.id, diperoleh tanggal 20 Oktober 2009

Rieckert & Moller (2000). Rational – Emotive Behaviour Therapy In The Treatment Of Adult Victims of Childhood Sexual Abuse, Journal of Rational Emotive & Cognitif - Behaviour Therapy, Vol 18, No. 2, Summer

Rawlins & Beck, C.K.(1993). Mental Health- Psychiatric Nursing 3 rd Ed. St. Louis : Mosby

Year

Stuart, G.W & Laraia, M.T (2005). Principles and Practice of psychiatric nursing. (7th edition). St Louis: Mosby

Stuart, G.W & Laraia, M.T (2009). Principles and Practice of psychiatric nursing. (7th edition). St Louis: Mosby

Sunaryo.(2004). Psikologi untuk keperawatan. Jakarta : EGC

1Dewi Eka Putri, S.Kp: Mahasiswa Program Pasca Sarjana Kekhususan Keperawatan Jiwa FIK UI.

2Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., M. App.Sc: Dosen Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa FIK UI Jakarta.

3Yusron Nasution, M.Kn: Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat.

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010

Page 161: Makalah Ttg Retensi Urin

Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010