retensi urin

29
RETENSI URIN PASCA PERSALINAN I. PENDAHULUAN Berbagai perubahan anatomi dan fisiologi terjadi selama proses kehamilan, yang dapat mempengaruhi semua sistem organ. Masalah emergensi urologis pada wanita hamil meliputi infeksi saluran kemih, pielonefritis akut, retensi urine, hematuria, nefrolithiasis, obstruktif uropati, dan keganasan saluran kemih. Kejadian retensi urin post partum tercatat berkisar antara 1,7 - 17,9%. Peningkatan sectio cesarea untuk persalinan yang sulit dan lama dalam obstetrik mungkin telah menurunkan insidensinya. Perubahan fisiologis pada buli-buli yang terjadi saat kehamilan berlangsung merupakan predisposisi terjadinya retensi urin satu jam pertama sampai beberapa hari post partum. Penelitian oleh Pribakti dkk secara restropektif di bagian Obstetri dan Ginekologi FK Unlam/RSUD Ulin Banjarmasin selama tahun 2002-2003 didapatkan angka kejadian retensi urin post partum sebesar 0,38% dari sebanyak 1.891 persalinan spontan dan 222 persalinan dengan ekstraksi vakum. 1,2,3 II. DEFINISI 1

Upload: rizna-said

Post on 15-Dec-2015

150 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

retensi urin

TRANSCRIPT

RETENSI URIN PASCA PERSALINAN

I. PENDAHULUAN

Berbagai perubahan anatomi dan fisiologi terjadi selama proses

kehamilan, yang dapat mempengaruhi semua sistem organ. Masalah emergensi

urologis pada wanita hamil meliputi infeksi saluran kemih, pielonefritis akut,

retensi urine, hematuria, nefrolithiasis, obstruktif uropati, dan keganasan saluran

kemih. Kejadian retensi urin post partum tercatat berkisar antara 1,7 - 17,9%.

Peningkatan sectio cesarea untuk persalinan yang sulit dan lama dalam obstetrik

mungkin telah menurunkan insidensinya. Perubahan fisiologis pada buli-buli yang

terjadi saat kehamilan berlangsung merupakan predisposisi terjadinya retensi urin

satu jam pertama sampai beberapa hari post partum. Penelitian oleh Pribakti dkk

secara restropektif di bagian Obstetri dan Ginekologi FK Unlam/RSUD Ulin

Banjarmasin selama tahun 2002-2003 didapatkan angka kejadian retensi urin post

partum sebesar 0,38% dari sebanyak 1.891 persalinan spontan dan 222 persalinan

dengan ekstraksi vakum. 1,2,3

II. DEFINISI

Definisi Retensi urin menurut Stanton (2000) adalah ketidakmampuan

berkemih selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter, karena tidak

dapat mengeluarkan urin lebih dari 50% kapasitas kandung kemih. Pendapat dari

Psyhyrembel (2006) menyatakan, bahwa retensio urin postpartum adalah

ketidakmampuan berkemih secara normal 24 jam setelah melahirkan (ischuria

puerperalis). Adapun kepustakaan lain mendefinisikan retensi urin post partum

sebagai tidak adanya proses berkemih spontan setelah kateter menetap dilepaskan,

atau dapat berkemih spontan namun urin sisa lebih dari 200 ml. Retensi urin dapat

terjadi akut dan kronik. Pada keadaan akut lebih banyak terjadi kerusakan yang

permanen, khususnya gangguan pada otot destrusor, atau ganglion parasimpatis

pada dinding buli-buli. Pada kasus retensi urin, perhatian perlu dikhususkan pada

1

peningkatan tekanan intravesika yang menyebabkan refluks ureter sehingga dapat

menimbulkan gangguan pada traktus urinarius bagian atas dan penurunan fungsi

ginjal. Retensi urin dapat terjadi ketika otot-otot dasar panggul menjadi lemah.2,3,4

III. PREVALENSI

Insidensi terjadinya retensi urin pada periode post partum, menurut hasil

penelitian Saultz et al berkisar 1,7% sampai 17,9%. Penelitian yang dilakukan

oleh Yip et al menemukan insidensi retensi urin post partum sebesar 4,9 %

dengan volume residu urin 150 cc sebagai volume normal paska berkemih

spontan. Penelitian lain oleh Andolf et al menunjukkan insidensi retensi urin post

partum sebanyak 1,5%, dan hasil penelitian dari Kavin G et al sebesar 0,7%.

Penelitian oleh Pribadi dkk secara restropektif di bagian Obstetri dan Ginekologi

FK Unlam/RSUD Ulin Banjarmasin selama tahun 2002-2003 didapatkan angka

kejadian retensi urin post partum sebesar 0,38% dari sebanyak 1.891 persalinan

spontan dan 222 persalinan dengan ekstraksi vakum. 1,2

Dimana, usia penderita terbanyak adalah kelompok usia 26-30 tahun (36,3%)

dan paritas terbanyak adalah paritas 1 (54,5%). Retensi urin post partum paling

sering terjadi setelah terjadi persalinan pervaginam. Penelitian oleh Yustini dkk di

FKUI – RS. Cipto Mangunkusumo tahun 2009 menunjukkan angka kejadian

disfungsi kandung kemih post partum sebanyak 9-14 % dan setelah persalinan

menggunakan assisted labor (ekstraksi forsep), meningkat menjadi 38 %.2,3

IV. ANATOMI

Uterus berada di rongga panggul dalam anteversiofleksiio sedemikian rupa,

sehingga bagian depannya setinggi simfisis pubis, dan bagian belakang setinggi

artikulosio sakrokoksigea. jaringan ikat di peritoneum dan ligamentum-

ligamentum membentuk suatu sistem penunjang uterus, sehingga uterus

2

terfiksasi relatif cukup baik. jaringan jaringan tersebut adalah :5,6

Ligamentum kardinale sinistrum dan dekstrum (mackenrodt) merupakan

ligamentum yang terpenting untuk mencegah agar uterus tidak turun.

ligamentum ini terdiri atas jaringan ikat tebal, dan berjalan dari serviks dan

puncak vagina ke arah lateral ke dinding pelvis. Di dalamnya ditemukan banyak

pembuluh darah, antara lain vena dan arteria uterina. Ligamentum sakrouterinum

sinistrum dan dekstrum, yakni ligamentum yang juga menahan uterus supaya

tidak banyak bergerak, berjalan melengkung dari bagian belakang serviks kiri

dan kanan melalui dindinh rektum ke arah os sakrum kiri dan kanan. 5,6

Ligamentum pubovesikale sinistrum dan dekstrum, berjalan dari os pubis

melalui kandung kencing, dan seterusnya sebagai ligamentum vesikouterinum

sinistrum dan dekstrum ke serviks. Ligamentum latum sinistrum dan dekstrum,

yakni ligamentum yang berjalan dari uterus ke arah lateral, dan tidak banyak

mengandung jaringan ikat. sebetulnya ligamentum ini adalah bagian peritoneum

viserale yang meliputi uterus dan kedua tuba, dan berbentuk sebagai lipatan. Di

bagian lateral dan belakang ligamentum ini ditemukan indung telur (ovarium

sinistrum dan dekstrum). untuk memfiksasi ligamentum ini tidak banyak artinya. 5,6

Ligamentum infundibulopelvikum, yakni ligamentum yang menahan tuba

fallopii, berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis. Di dalamnya

ditemukan urat saraf, saluran-saluran limfe, arteria dan vena ovarika. Sebagai

alat penunjang ligamentum ini tidak banayk artinya. 5,6

Ligamentum ovarii proprium sinistrum dan dekstrum, yakni ligamentum yang

berjalan dari sudut kiri dan kanan belakang fundus uteri ke ovarium.

Ligamentum ovarii proprium ini berasal dari gubernakulum; jadi, asalnya sama

dengan ligamentum rotundum, yang juga berasal dari gubernakulum.

Ligamentum-ligamentum dan jaringan-jaringan di parametrium tidak semuanya

3

berfungsi sebagai penunjang uterus. Terdapat ligamentum-ligamentum yang

mudah sekali dikendorkan, sehingga alat-alat genital mudah berganti posisi.

Ligamentum latum sebenarnya hanya suatu lipatan peritoneum yang menutupi

uterus dan kedua tuba, dan terdiri atas mesosalpinks, mesovarium dan

mesometrium. Di antara lipatan tersebut ditemukan jaringan ikat yang letaknya

disebut intraligamenter (di dalam ruangan ligamentum latum). Ruangan tersebut

berhubungan pula dengan ruangan retroperitoneal yang terdapat di atas otot-otot

dasar panggul dan di daerah ginjal. Bila ada abses di daerah ginjal, maka abses

ini mudah sekali menjalar kearah retroperitoneal di panggul. 5,6

Disamping uterus dan vagina, otot-otot, jaringan-jaringan ikat, dan lighamen-

ligamen yang berfungsi menyokong alat-alat urogenotalis perlu diketahui oleh

karen semuanya memperngaruhi jalan lahir dan lahirnmya kepala atau bokong

pada partus. Otot-otot yang menahan dasar panggul di bagian luar adalah

muskulus sfingter ani eksternus, muskulus bulbo kavernosus yang melingkari

vagina, dan muskulus prinei transversus super fisialis. Di bagian tengah

ditemukan otot-otot yang melingkari uretra (muskulus sfingter uretrae), otot-otot

yang melingkari vaghina bagian tengah dan anus, antara lain muskulus ilio

koksigeus, muskulus iskio koksigeus, muskulus pernei transversus profundus,

dan muskulus koksigeus. Lebih ke dalam lagi ditemukan otot-otot dalam yang

paling kuat, disebut diafragma pelvis, terutama muskulus levator ani yang

berfungsi menahan dasar panggul. Ia menutup hampir seluruh bagian pintu

bawah panggul. Letak muskulus levator ini sedemikian rupa sehingga bagian

depan muskulus berbentuk segitiga, disebut trigonum urogenitalis (hiatus

genitalis). Di dalam trigonum ini berada uretra, vagina dan rektum. 6

Muskulus levator ani mempunyai peranan yang penting dalam mekanisme

putar paksi dalam janin. Kemiringan dan kelentingan (elastisitas dan otot ini

membantu memudahkan putaran paksi pada janin). Pada otot yang kurang

miring (lebih mendatar dan kurang melenting (misalnya pada multipara yang

4

elastisitas otot berkurang), putaran paksi dalam lebih sulit. Selain faktor otot

putaran paksi dalam juga ditentukan oelh ukuran panggul dan mobilitas leher

janin. Tumor atau lilitan tali pusat di leher janin juga mempersulit putaran paksi

dalam.6

Sistem Uropoetik

Ureter yang di abdomen letaknya retroperitoneal masuk ke pelvis minor

melewati arteria iliaka interna dan melintasi arteria uterina dekat pada serviks

hampir tegak lurus, dan akhirnya bermuara dikandung kencing sisi belakang di

5

Gambar 1. Topograpi alat genitalia dan sekitarnya

trigonum lieutaudi. Pada operasi ginekologik jalan ureter harus diperhitungkan

benar-benar, agar supaya ureter jangan sampai terpotong. Ureter mempunyai

dinding otot polos sendiri yang masuk ke dalam dinding vesika urinaria. Di

dalam lapisan otot ini ditemukan selaput mukosa (tunika mukosa) dan diluarnya

jaringan ikat (tunika adventisia). Lumen ureter pada pemotongan berbentuk

seperti bintang. Pembuluh-pembuluh darah di sekitar ureter berasal dari arteria

iliaka, dan khususnya bagian dekat pada kandung kemih mendapat darahnya dari

arteria vesikalis, cabang dari arteria uterina. Vesika urinaria (kandung kencing)

umumnya mudah menampung 350 ml, akan tetapi dapat pula terisi cairan 600 ml

atau lebih. 5,6

Bagian kandung kencing yang mudah berkembang adalah bagian yang

diliputi oleh peritoneum viserale. Pada dasar kandung kencing terdapat trigonum

lieutaudi, yang bersamaan dengan urethra, dihunbungkan oleh septum vesiko-

urethro-vaginale dengan dinding vagina. Di trigonum Lieutaudi bermuara kedua

atau lebih ureter. Dasar kandung kencing ini terfiksasi, tidak bergerak atau tidak

mengembang seperti bagian atas yang diliputi oleh serosa. Di septum vesiko-

urethro-vaginale terdapat fasia yang dikenal sebagai fasia Halban. Dinding

kandung kemih mempunyai lapisan otot polos yang kuat, beranyaman seperti

anyaman tikar. Selaput kandung kencing di daerah trigonum Lieutaudi licin dan

melekat pada dasarnya. Pada daerah kandung kencing dan bagian atas urethra

terdapat muskulus lissosfingter, terdiri atas otot polos, dan berfungsi menutup

jalan urine setempat. Urethra panjangnya 3,5 - 5 cm, berjalan dari kandung

kemih ke depan dan belakang simfisis dan bermuara di vulva. Pada wanita yang

berbaring arahnya kurang lebih horizontal. 5,6

Hal ini perlu dipahami bila mengadakan kateterisasi. lapisan-lapisan urerhra

kurang sesuai dengan yang ditemukan pada kandung kemih. Di sepanjang

urethra terdapat muskulus sfingter. Yang terkuat adalah muskulus lissosfingter

dan muskulus rhabdsofingter. Ynag terakhir ini adalah bagaian dari diafragma

6

urogenitale. 5,6

V. ETIOLOGI

Adapun etiologinya dapat disebabkan oleh trauma intra partum, refleks

kejang sfingter uretra, hipotonia buli-buli selama hamil dan nifas, peradangan,

dan umur yang tua. Meskipun retensi urin post partum lebih sering terjadi, retensi

urin selama kehamilan terjadi pada 1 dari 3000 sampai 1 dari 8000 wanita.

Retensi urin akut terjadi pada 12-14 minggu kehamilan dan hilang pada 16

minggu kehamilan.1,2

Pasien post operasi atau post partum merupakan hal yang terbanyak

menyebabkan retensi urin akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung

kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural

anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma

pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal khususnya pada pasien yang

mengosongkan buli-buli dengan manuver Valsava. Retensi urin post operasi

biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih yang

adekuat.5

Beberapa penyebab yang paling sering mendasari terjadinya retensi urin

adalah:

1. Pada kehamilan 6

Retensi urin akut merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada

kehamilan, tetapi kadang-kadang timbul pada kira-kira minggu ke-12

kehamilan apabila uterus dalam posisi retroversi. Uterus tidak dapat muncul

ke atas melampaui lengkung sacrum pada saat buli-buli penuh, dengan

demikian uterus terdesak. Terdapat circulus visious yaitu uterus hanya dapat

muncul ke atas bila buli-buli kosong, tetapi buli-buli terjepit antara symphysis

pubis dan uterus yang membesar.

2. Partus per vaginam 5,6

7

Gambar 2. Lapisan otot-otot paling luar dari pintu bawah panggul

Pasien post partum dan post operasi merupakan bagian yang terbanyak

menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma

kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau

obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf

pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya

pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver

Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu

dan drainase kandung kemih yang adekuat.

Namun pada wanita Salah satu komplikasi umum yang terjadi setelah

proses persalinan, baik persalinan pervaginam atau sectio caesarea adalah

retensi urin postpartum. Pada tahun 1998, dr. Kartono dkk dari FKUI-RSCM

Jakarta melansir data bahwa terdapat 17,1% kejadian retensi urin pada ibu

melahirkan yang telah dipasang kateter selama enam jam dan 7,1% untuk

yang dipasang selama 24 jam pasca operasi sectio caesarea. Yip SK

(Hongkong, 1997) melaporkan terdapat angka 14,6% untuk kasus retensi urin

postpartum pervaginam.

Kebanyakan kasus retensi urin disebabkan oleh persalinan yang lama,

trauma intrapartum penekanan yang lama pada bagian terendah janin sehingga

menyebabkan udem dan hematom jaringan periuretra ekstravasasi ke otot

kandung kemih sehingga mengganggu kontraksi, nyeri karena laserasi atau

episiotomi juga dapat menyebabkan retensi urin akibat terjadi spasme levator

ani sehingga terjadi hambatan terhadap kontraksi detrusor dan relaksasi

levator ani, overdistensi selama persalinan juga bisa menyebabkan retensi

urin. Lamanya penekanan dari kepala bayi pada jaringan lunak pelvis

mempengaruhi plexus saraf pelvis dan mengakibatkan disfungsi berkemih.

Suatu studi observasional prospektif menunjukkan bahwa 2866 wanita yang

melahirkan per vaginam, ditemukan retensi urin pada 114 orang dari seluruh

wanita tadi. Hal ini terjadi pada wanita yang hamil cukup bulan, partus per

vaginam, dengan fetus letak puncak kepala. Retensi urin dikatakan persisten

8

jika wanita tidak dapat berkemih secara spontan dalam 4 hari post partum.

Insiden retensi urin post partum pada populasi yang diteliti sebanyak 4%.

3. Anastesi 6

Blok epidural atau kaudal akan menyebabkan paralisis sementara

saraf-saraf yang menginervasi buli-buli. Wanita yang mengalami analgesia

jenis ini tidak akan sadar bahwa buli-bulinya telah penuh.

4. Puerperium 6

a. Sikap, apabila ibu selalu berada di tempat tidur, maka posisi ini

menyebabkan kesulitan berkemih. Pada kebanyakan kasus, masalah ini

dapat diatasi dengan memindahkan ibu ke pispot.

b. Rasa malu, apabila kurang mendapatkan privasi terutama apabila ibu

mengetahui bahwa ia dapat didengar oleh orang lain saat urinenya

keluar, maka akan terjadi hambatan impuls motoric.

c. Takut rasa sakit, terutama pada adanya lecet perineum atau vagina,

memar perineum dan jahitan perineum

d. Atoni otot buli-buli, peregangan yang berlebihan pada buli-buli selama

persalinan atau tekanan kepala fetus yang berkepanjangan dapat

menyebabkan pengurangan rangsangan buli-buli karena baik saraf

maupun impuls motoric dapat terganggu.

e. Urethra, bersamaan dengan memar atau ueFdema akan menyumbat

lumen urethra.

VI. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi dari retensi urin post partum sangat sedikit dimengerti. Pada

bulan ketiga kehamilan, otot destrusor kehilangan tonusnya dan kapasitas buli-

buli meningkat perlahan-lahan. Akibatnya wanita hamil biasanya merasa ingin

berkemih ketika buli-buli berisi 250-400 ml urin. Ketika wanita hamil berdiri,

uterus yang membesar menekan buli-buli. Tekanan menjadi dua kali lipat ketika

9

usia kehamilan memasuki usia 38 minggu. Penekanan ini semakin membesar

ketika bayi akan dilahirkan, memungkinkan terjadinya trauma intra partum pada

uretra dan buli-buli sehingga menimbulkan obstruksi. Tekanan ini menghilang

setelah bayi dilahirkan, menyebabkan buli-buli tidak lagi dibatasi kapasitasnya

oleh uterus. Akibatnya buli-buli menjadi hipotonik. Perubahan ini dapat

berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu.2

Retensi urin saat persalinan terjadi bila tekanan pada pleksus sacrum

menyebabkan terjadinya inhibisi implus. Kandung kemih penuh, tetapi tidak

timbul keinginan untuk berkemih. Hal ini disertai dengan distensi yang

menghambat saraf reseptor pada dinding buli-buli. Tekanan pada bagian terendah

janin terjadi pada buli-buli dan uretra, terutama pada daerah pertemuan keduanya.

Tekanan ini mencegah keluarnya urin, meskipun ada keinginan untuk berkemih.7

Inervasi traktus urinarius bagian bawah berada dibawah kendali serabut

saraf simpatis dan parasimpatis. Serabut parasimpatis berasal dari S2 sampai S4.

Stimulasi saraf parasimpatis dan pemberian obat golongan antikolinergik

menyebabkan kontraksi muskulus Detrussor. Obat antikolinergik menurunkan

tekanan intravesikal dan meningkatkan kapasitas kandung kemih. Serabut

simpatis berasal dari T10 sampai L2. Serabut simpatis memiliki komponen dan

β adrenergik. Serabut komponen β berujung di muskulus Detrussor dan ujung

serabut komponen terutama berada di uretra. Stimulasi adrenergik

menyebabkan kontraksi “bladder neck” dan uretra serta relaksasi muskulus

detrussor. Nervus Pudendus ( S2 sampai S4) memberikan inervasi motoris pada

sfingter uretra.8,9

Sinyal aferen yang berasal dari kandung kemih, trigonum vesikalis dan

uretra bagian proksimal berjalan menuju S2 sampai S4 melalui nervus

hipogastrikus. Sensitivitas ujung saraf ini meningkat akibat infeksi akut, sistitis

interstitsialis, sistitis akibat radiasi dan menyebabkan peningkatan tekanan

intravesikal. Peningkatan tekanan intravesikal juga terjadi saat berdiri atau pada

posisi terlalu kebelakang seperti terlihat pada obesitas, kehamilan atau tumor

10

panggul. Sinyal inhibisi diduga menjalar melalui nervus pudendus menuju S2

sampai S4 setelah adanya stimulasi mekanis pada daerah perineum dan kanalis

ani. Keterangan ini menjelaskan mekanisme mengapa rasa nyeri pada perineum

dan kanalis ani dapat menyebabkan retensi urine.8,9

VII. GAMBARAN KLINIS

Retensi urin memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk

diantaranya kesulitan buang air kecil, pancaran kencing lemah, lambat, dan

terputus-putus, ada rasa tidak puas, dan keinginan untuk mengedan atau

memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih. Gejala yang paling

11

Gambar 3. Lokasi titik tangkap obat obatan tergambar pada lingkaran.9

bermakna dalam memprediksikan adanya gangguan berkemih adalah pancaran

kencing yang lemah, pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna,

mengedan saat berkemih, dan nokturia.3,11,12

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang, yaitu melakukan pemeriksaan-pemeriksaan

laboratorium, radiologi atau imaging (pencitraan), uroflometri, atau urodinamika,

elektromiografi, endourologi, dan laparoskopi. Pada pemeriksaan laboratorium

paling sering digunakan kateter dan uroflowmetri, yaitu untuk mengukur volume

dan residu urin pada kandung kemih. Selain itu juga dapat digunakan

cystourethrografi untuk melihat gambaran radiografi kandung kemih dan uretra.

Menurut dr. Basuki Purnomo, volume maksimal kandung kemih dewasa normal

berkisar antara 300-450 ml dengan volume residu sekira 200 ml (apabila dari hasil

kateterisasi didapatkan volume/residu urin).2,9,11

IX. DIAGNOSIS

Diagnosis retensi urin dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis di

mana didapatkan adanya massa sekitar daerah pelvik dengan perkusi yang pekak.

Biasanya buli-buli dapat teraba transabdominal jika isinya berkisar antara 150-

300 ml dan dengan pemeriksaan bimanual dapat meraba buli-buli bila terisi lebih

dari 200 ml. Pada pasien dengan keluhan saluran kemih bagian bawah, maka

anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis,

pemeriksaan neurologik, jumlah urin yang dikeluarkan spontan dalam 24 jam,

pemeriksaan urinalisis dan kultur urine, pengukuran volume residu urine, sangat

dibutuhkan. Fungsi berkemih juga harus diperiksa, dalam hal ini dapat digunakan

uroflowmetry, pemeriksaan tekanan saat berkemih, atau dengan voiding

cystourethrography. Dikatakan normal jika volume residu urin adalah kurang atau

12

sama dengan 50 ml, sehingga jika volume residu urin lebih dari 200 ml dapat

dikatakan abnormal dan biasa disebut retensi urin. Namun volume residu urin

antara 50-200 ml menjadi pertanyaan, sehingga telah disepakati bahwa volume

residu urin normal adalah 25% dari total volume buli-buli.2

X. PENATALAKSANAAN

Yang utama yaitu pasang kateter kemudian lakukan bladder training.

Penelitian oleh Ermiati dkk 2008 bahwa Intervensi bladder training yang dimulai

pada dua jam postpartum efektif digunakan untuk mengembalikan fungsi

eliminasi BAK secara spontan pada ibu postpartum, sehingga sangat disarankan

kepada pelayanan keperawatan maternitas dapat menerapkan intervensi ini. Selain

itu, perawat harus lebih memperhatikan ibu primipara dengan perineum yang

tidak utuh dalam meningkatkan kemampuan eliminasi BAK secara spontan

dengan memotivasi dan memfasilitasi ibu post partum untuk segera BAK secara

spontan sehingga bahaya terjadinya retensi urin post partum dapat dicegah.12

Mengatasi masalah perkemihan salah satunya dapat dilakukan dengan

bladder training. Bladder training merupakan penatalaksanaan yang bertujuan

untuk melatih kembali kandung kemih ke pola berkemih normal dengan

menstimulasi pengeluaran urin. Selama ini apabila ibu postpartum mengalami

masalah BAK, maka salah satu tindakan penyelesaiannya adalah melalui

pemasangan kateter untuk mencegah peregangan kandung kemih yang berlebihan.

Dengan bladder training diharapkan ibu post partum dapat BAK secara spontan

dalam enam jam post partum.12

Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises

(latihan pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul), Delay urination

(menunda berkemih), dan scheduled bathroom trips (jadwal berkemih). Bladder

training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing (menunda untuk

berkemih). Pada pasien yang terpasang kateter, Bladder training dapat dilakukan

dengan mengklem aliran urin ke urin bag. Tindakan ini dapat dilakukan dengan

13

menjepit kateter urin dengan klem kemudian jepitannya dilepas setiap beberapa

jam sekali. Kateter di buka tutup atau di klem tiap 4 jam selama 24 jam. Tindakan

menjepit kateter ini memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot destrusor

berkontraksi sedangkan pelepasan klem memungkinkan kandung kemih untuk

mengosongkan isinya.13

Obat yang berkerja pada sistem parasimpatis dan simpatis biasa digunakan

pada pasien dengan retensi urine. Efek kolinergik yang bekerja pada gangglion

atau di organ akhir tetapi lebih banyak di sinapnya, yaitu yang disebut dengan

efek muskarinik contohnya betanekhol. Sedangkan pada obat yang bekerja pada

sistem simpatis obat yang digunakan adalah antogonis reseptor alpha yang

menyebabkan relaksasi spingter urethra. Obat-obatan yang bekerja pada otot

polos juga biasa digunakan contohnya prostaglandin yang berfungsi

mempengaruhi kerja otot-otot detrusor dan prostaglandin F2 alfa berfungsi

sebagai spesifisitas reseptor asetilkolin muskarinik dan merangsang kontraksi

detrusor. ecemasan dipikirkan mempunyai peranan dalam kesulitan berkemih

setelah pembedahan. Benzodiazepine dapat menolong berkaitan dengan

(anxiolisis dan efek pelemas otot). Jika pasien masih mengalami gangguan dalam

berkemih dan dicurigai spasme uretra , dapat diberikan pelemas otot seperti

diazepam.9,11,12

14

Tabel 1. Penatalaksanaan retensi urine pasca tindakan obgyn.9

XI. PENCEGAHAN

Saat persalinan ibu harus dianjurkan untuk selalu berkemih setiap 2 jam

selama persalinan untuk meminimalkan risiko retensi urin. Dan saat proses

persalinan penolong diharuskan untuk mengosongkan kandung kemih pasien

terlebih dahulu karena dengan buli-buli yang penuh akan sangat mempengaruhi

proses kelahiran dengan berbagai cara diantaranya akan menghambat penurunan

bagian terendah janin, terutama bila berada di atas spina iskiadikus, menurunkan

efisiensi kontraksi uterus, menimbulkan nyeri yang tidak perlu, meneteskan urin

15

selama kontraksi yang kuat pada kala II, memperlambat kelahiran plasenta dan

mencetuskan perdarahan pasca partum dengan menghambat kontraksi uterus.7

XII. KOMPLIKASI

Bahaya retensi urin post partum menyebabkan terjadi uremia dan sepsis,

bahkan ada penulis melaporkan terjadinya ruptur spontan buli-buli. Karena

terjadinya retensi urin yang berkepanjangan, maka kemampuan elastisitas buli-

buli menurun, dan terjadi peningkatan tekanan intra vesika yang menyebabkan

terjadinya reflux, sehingga penting untuk dilakukan pemeriksaan USG pada ginjal

dan ureter atau dapat juga dilakukan foto BNO-IVP. Pengosongan yang tidak

lengkap dari kandung kemih setelah lahir dapat menyebabkan komplikasi berikut

infeksi saluran kemih, inkontinensia urin atau feses, disfungsi kandung kemih

pendek dan jangka panjang, ureter refluks, hidronefrosis bilateral, gagal ginjal

akut, gangguan ginjal jangka panjang.2,3,11

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Utami Putu Surya. 2008. Kegawatdaruratan Urologi dalam Kehamilan. SMF

Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat

Sanglah Denpasar.

2. B Pribakti. 2006. Tinjauan Kasus Retensio Urin Post Partum du RSUD Ulin

Banjarmasin (2002-2003). Dexa Medica, vol 19, no. 1, hal. 10-13.

3. Juzinaf. Buku Ajar: Uroginekologi. Jakarta: Subbagian Uroginekologi

Rekonstruksi Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI RSCM. 2002. Hal 60-9

4. Widya Agung Wistara, dkk. 2011. Diagnosis dan Penanganan Striktur

Urethra. SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah

Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.

5. Junizaf. Santoso, Budi Iman. 2011. Buku ajar: Uroginekologi Indonesia.

Jakarta: Himpunan Uroginekologi FKUI. Hal 133-44

6. Verralls Sylvia. 2003. Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam Kebidanan.

Jakarta: EGC. Hal 92-5

7. Johnson Ruth, Taylor Wendy. 2005. Buku Ajar Praktik Kebidanan. Jakarta:

EGC. Hal 123.

8. Japardi Iskandar. 2002. Manifestasi Neurologi Gangguan Miksi. Bagian

Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

17

9. Decherney Alan, Nathan Lauren, Goodwin Murphy, Laufer Neri. 2006.

Current Diagnosis and Treatments in Obstetrics and Gynecology. US:

McGraw-Hill Companies. Hal 255-9.

10. SA Maternal and Neonatal Clinical Network. 2010. South Australian

Perinatal Practice Guidelines Postpartum Bladder Dysfunction. Department

of Health, Govemment of South Australia.

11. Maternity Guidelines Group. 2012. Intrapartum and Postnatal Bladder Care.

Women and Children Health.

12. Ermiati, dkk. 2008. Efektivitas Bladder Training Terhadap Fungsi Eliminasi

Buang Air Kecil (BAK) pada Ibu Postpartum Spontan. Majalah Obstetri

Ginekologi Indonesia, vol. 32, no. 4, hal. 206-211.

13. Nababan TJ. 2011. Bladder Training. SMF Bedah Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara.

18