retensi urin
DESCRIPTION
retensi urinTRANSCRIPT
RETENSI URIN PASCA PERSALINAN
I. PENDAHULUAN
Berbagai perubahan anatomi dan fisiologi terjadi selama proses
kehamilan, yang dapat mempengaruhi semua sistem organ. Masalah emergensi
urologis pada wanita hamil meliputi infeksi saluran kemih, pielonefritis akut,
retensi urine, hematuria, nefrolithiasis, obstruktif uropati, dan keganasan saluran
kemih. Kejadian retensi urin post partum tercatat berkisar antara 1,7 - 17,9%.
Peningkatan sectio cesarea untuk persalinan yang sulit dan lama dalam obstetrik
mungkin telah menurunkan insidensinya. Perubahan fisiologis pada buli-buli yang
terjadi saat kehamilan berlangsung merupakan predisposisi terjadinya retensi urin
satu jam pertama sampai beberapa hari post partum. Penelitian oleh Pribakti dkk
secara restropektif di bagian Obstetri dan Ginekologi FK Unlam/RSUD Ulin
Banjarmasin selama tahun 2002-2003 didapatkan angka kejadian retensi urin post
partum sebesar 0,38% dari sebanyak 1.891 persalinan spontan dan 222 persalinan
dengan ekstraksi vakum. 1,2,3
II. DEFINISI
Definisi Retensi urin menurut Stanton (2000) adalah ketidakmampuan
berkemih selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter, karena tidak
dapat mengeluarkan urin lebih dari 50% kapasitas kandung kemih. Pendapat dari
Psyhyrembel (2006) menyatakan, bahwa retensio urin postpartum adalah
ketidakmampuan berkemih secara normal 24 jam setelah melahirkan (ischuria
puerperalis). Adapun kepustakaan lain mendefinisikan retensi urin post partum
sebagai tidak adanya proses berkemih spontan setelah kateter menetap dilepaskan,
atau dapat berkemih spontan namun urin sisa lebih dari 200 ml. Retensi urin dapat
terjadi akut dan kronik. Pada keadaan akut lebih banyak terjadi kerusakan yang
permanen, khususnya gangguan pada otot destrusor, atau ganglion parasimpatis
pada dinding buli-buli. Pada kasus retensi urin, perhatian perlu dikhususkan pada
1
peningkatan tekanan intravesika yang menyebabkan refluks ureter sehingga dapat
menimbulkan gangguan pada traktus urinarius bagian atas dan penurunan fungsi
ginjal. Retensi urin dapat terjadi ketika otot-otot dasar panggul menjadi lemah.2,3,4
III. PREVALENSI
Insidensi terjadinya retensi urin pada periode post partum, menurut hasil
penelitian Saultz et al berkisar 1,7% sampai 17,9%. Penelitian yang dilakukan
oleh Yip et al menemukan insidensi retensi urin post partum sebesar 4,9 %
dengan volume residu urin 150 cc sebagai volume normal paska berkemih
spontan. Penelitian lain oleh Andolf et al menunjukkan insidensi retensi urin post
partum sebanyak 1,5%, dan hasil penelitian dari Kavin G et al sebesar 0,7%.
Penelitian oleh Pribadi dkk secara restropektif di bagian Obstetri dan Ginekologi
FK Unlam/RSUD Ulin Banjarmasin selama tahun 2002-2003 didapatkan angka
kejadian retensi urin post partum sebesar 0,38% dari sebanyak 1.891 persalinan
spontan dan 222 persalinan dengan ekstraksi vakum. 1,2
Dimana, usia penderita terbanyak adalah kelompok usia 26-30 tahun (36,3%)
dan paritas terbanyak adalah paritas 1 (54,5%). Retensi urin post partum paling
sering terjadi setelah terjadi persalinan pervaginam. Penelitian oleh Yustini dkk di
FKUI – RS. Cipto Mangunkusumo tahun 2009 menunjukkan angka kejadian
disfungsi kandung kemih post partum sebanyak 9-14 % dan setelah persalinan
menggunakan assisted labor (ekstraksi forsep), meningkat menjadi 38 %.2,3
IV. ANATOMI
Uterus berada di rongga panggul dalam anteversiofleksiio sedemikian rupa,
sehingga bagian depannya setinggi simfisis pubis, dan bagian belakang setinggi
artikulosio sakrokoksigea. jaringan ikat di peritoneum dan ligamentum-
ligamentum membentuk suatu sistem penunjang uterus, sehingga uterus
2
terfiksasi relatif cukup baik. jaringan jaringan tersebut adalah :5,6
Ligamentum kardinale sinistrum dan dekstrum (mackenrodt) merupakan
ligamentum yang terpenting untuk mencegah agar uterus tidak turun.
ligamentum ini terdiri atas jaringan ikat tebal, dan berjalan dari serviks dan
puncak vagina ke arah lateral ke dinding pelvis. Di dalamnya ditemukan banyak
pembuluh darah, antara lain vena dan arteria uterina. Ligamentum sakrouterinum
sinistrum dan dekstrum, yakni ligamentum yang juga menahan uterus supaya
tidak banyak bergerak, berjalan melengkung dari bagian belakang serviks kiri
dan kanan melalui dindinh rektum ke arah os sakrum kiri dan kanan. 5,6
Ligamentum pubovesikale sinistrum dan dekstrum, berjalan dari os pubis
melalui kandung kencing, dan seterusnya sebagai ligamentum vesikouterinum
sinistrum dan dekstrum ke serviks. Ligamentum latum sinistrum dan dekstrum,
yakni ligamentum yang berjalan dari uterus ke arah lateral, dan tidak banyak
mengandung jaringan ikat. sebetulnya ligamentum ini adalah bagian peritoneum
viserale yang meliputi uterus dan kedua tuba, dan berbentuk sebagai lipatan. Di
bagian lateral dan belakang ligamentum ini ditemukan indung telur (ovarium
sinistrum dan dekstrum). untuk memfiksasi ligamentum ini tidak banyak artinya. 5,6
Ligamentum infundibulopelvikum, yakni ligamentum yang menahan tuba
fallopii, berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis. Di dalamnya
ditemukan urat saraf, saluran-saluran limfe, arteria dan vena ovarika. Sebagai
alat penunjang ligamentum ini tidak banayk artinya. 5,6
Ligamentum ovarii proprium sinistrum dan dekstrum, yakni ligamentum yang
berjalan dari sudut kiri dan kanan belakang fundus uteri ke ovarium.
Ligamentum ovarii proprium ini berasal dari gubernakulum; jadi, asalnya sama
dengan ligamentum rotundum, yang juga berasal dari gubernakulum.
Ligamentum-ligamentum dan jaringan-jaringan di parametrium tidak semuanya
3
berfungsi sebagai penunjang uterus. Terdapat ligamentum-ligamentum yang
mudah sekali dikendorkan, sehingga alat-alat genital mudah berganti posisi.
Ligamentum latum sebenarnya hanya suatu lipatan peritoneum yang menutupi
uterus dan kedua tuba, dan terdiri atas mesosalpinks, mesovarium dan
mesometrium. Di antara lipatan tersebut ditemukan jaringan ikat yang letaknya
disebut intraligamenter (di dalam ruangan ligamentum latum). Ruangan tersebut
berhubungan pula dengan ruangan retroperitoneal yang terdapat di atas otot-otot
dasar panggul dan di daerah ginjal. Bila ada abses di daerah ginjal, maka abses
ini mudah sekali menjalar kearah retroperitoneal di panggul. 5,6
Disamping uterus dan vagina, otot-otot, jaringan-jaringan ikat, dan lighamen-
ligamen yang berfungsi menyokong alat-alat urogenotalis perlu diketahui oleh
karen semuanya memperngaruhi jalan lahir dan lahirnmya kepala atau bokong
pada partus. Otot-otot yang menahan dasar panggul di bagian luar adalah
muskulus sfingter ani eksternus, muskulus bulbo kavernosus yang melingkari
vagina, dan muskulus prinei transversus super fisialis. Di bagian tengah
ditemukan otot-otot yang melingkari uretra (muskulus sfingter uretrae), otot-otot
yang melingkari vaghina bagian tengah dan anus, antara lain muskulus ilio
koksigeus, muskulus iskio koksigeus, muskulus pernei transversus profundus,
dan muskulus koksigeus. Lebih ke dalam lagi ditemukan otot-otot dalam yang
paling kuat, disebut diafragma pelvis, terutama muskulus levator ani yang
berfungsi menahan dasar panggul. Ia menutup hampir seluruh bagian pintu
bawah panggul. Letak muskulus levator ini sedemikian rupa sehingga bagian
depan muskulus berbentuk segitiga, disebut trigonum urogenitalis (hiatus
genitalis). Di dalam trigonum ini berada uretra, vagina dan rektum. 6
Muskulus levator ani mempunyai peranan yang penting dalam mekanisme
putar paksi dalam janin. Kemiringan dan kelentingan (elastisitas dan otot ini
membantu memudahkan putaran paksi pada janin). Pada otot yang kurang
miring (lebih mendatar dan kurang melenting (misalnya pada multipara yang
4
elastisitas otot berkurang), putaran paksi dalam lebih sulit. Selain faktor otot
putaran paksi dalam juga ditentukan oelh ukuran panggul dan mobilitas leher
janin. Tumor atau lilitan tali pusat di leher janin juga mempersulit putaran paksi
dalam.6
Sistem Uropoetik
Ureter yang di abdomen letaknya retroperitoneal masuk ke pelvis minor
melewati arteria iliaka interna dan melintasi arteria uterina dekat pada serviks
hampir tegak lurus, dan akhirnya bermuara dikandung kencing sisi belakang di
5
Gambar 1. Topograpi alat genitalia dan sekitarnya
trigonum lieutaudi. Pada operasi ginekologik jalan ureter harus diperhitungkan
benar-benar, agar supaya ureter jangan sampai terpotong. Ureter mempunyai
dinding otot polos sendiri yang masuk ke dalam dinding vesika urinaria. Di
dalam lapisan otot ini ditemukan selaput mukosa (tunika mukosa) dan diluarnya
jaringan ikat (tunika adventisia). Lumen ureter pada pemotongan berbentuk
seperti bintang. Pembuluh-pembuluh darah di sekitar ureter berasal dari arteria
iliaka, dan khususnya bagian dekat pada kandung kemih mendapat darahnya dari
arteria vesikalis, cabang dari arteria uterina. Vesika urinaria (kandung kencing)
umumnya mudah menampung 350 ml, akan tetapi dapat pula terisi cairan 600 ml
atau lebih. 5,6
Bagian kandung kencing yang mudah berkembang adalah bagian yang
diliputi oleh peritoneum viserale. Pada dasar kandung kencing terdapat trigonum
lieutaudi, yang bersamaan dengan urethra, dihunbungkan oleh septum vesiko-
urethro-vaginale dengan dinding vagina. Di trigonum Lieutaudi bermuara kedua
atau lebih ureter. Dasar kandung kencing ini terfiksasi, tidak bergerak atau tidak
mengembang seperti bagian atas yang diliputi oleh serosa. Di septum vesiko-
urethro-vaginale terdapat fasia yang dikenal sebagai fasia Halban. Dinding
kandung kemih mempunyai lapisan otot polos yang kuat, beranyaman seperti
anyaman tikar. Selaput kandung kencing di daerah trigonum Lieutaudi licin dan
melekat pada dasarnya. Pada daerah kandung kencing dan bagian atas urethra
terdapat muskulus lissosfingter, terdiri atas otot polos, dan berfungsi menutup
jalan urine setempat. Urethra panjangnya 3,5 - 5 cm, berjalan dari kandung
kemih ke depan dan belakang simfisis dan bermuara di vulva. Pada wanita yang
berbaring arahnya kurang lebih horizontal. 5,6
Hal ini perlu dipahami bila mengadakan kateterisasi. lapisan-lapisan urerhra
kurang sesuai dengan yang ditemukan pada kandung kemih. Di sepanjang
urethra terdapat muskulus sfingter. Yang terkuat adalah muskulus lissosfingter
dan muskulus rhabdsofingter. Ynag terakhir ini adalah bagaian dari diafragma
6
urogenitale. 5,6
V. ETIOLOGI
Adapun etiologinya dapat disebabkan oleh trauma intra partum, refleks
kejang sfingter uretra, hipotonia buli-buli selama hamil dan nifas, peradangan,
dan umur yang tua. Meskipun retensi urin post partum lebih sering terjadi, retensi
urin selama kehamilan terjadi pada 1 dari 3000 sampai 1 dari 8000 wanita.
Retensi urin akut terjadi pada 12-14 minggu kehamilan dan hilang pada 16
minggu kehamilan.1,2
Pasien post operasi atau post partum merupakan hal yang terbanyak
menyebabkan retensi urin akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung
kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural
anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma
pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal khususnya pada pasien yang
mengosongkan buli-buli dengan manuver Valsava. Retensi urin post operasi
biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih yang
adekuat.5
Beberapa penyebab yang paling sering mendasari terjadinya retensi urin
adalah:
1. Pada kehamilan 6
Retensi urin akut merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada
kehamilan, tetapi kadang-kadang timbul pada kira-kira minggu ke-12
kehamilan apabila uterus dalam posisi retroversi. Uterus tidak dapat muncul
ke atas melampaui lengkung sacrum pada saat buli-buli penuh, dengan
demikian uterus terdesak. Terdapat circulus visious yaitu uterus hanya dapat
muncul ke atas bila buli-buli kosong, tetapi buli-buli terjepit antara symphysis
pubis dan uterus yang membesar.
2. Partus per vaginam 5,6
7
Gambar 2. Lapisan otot-otot paling luar dari pintu bawah panggul
Pasien post partum dan post operasi merupakan bagian yang terbanyak
menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma
kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau
obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf
pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya
pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver
Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu
dan drainase kandung kemih yang adekuat.
Namun pada wanita Salah satu komplikasi umum yang terjadi setelah
proses persalinan, baik persalinan pervaginam atau sectio caesarea adalah
retensi urin postpartum. Pada tahun 1998, dr. Kartono dkk dari FKUI-RSCM
Jakarta melansir data bahwa terdapat 17,1% kejadian retensi urin pada ibu
melahirkan yang telah dipasang kateter selama enam jam dan 7,1% untuk
yang dipasang selama 24 jam pasca operasi sectio caesarea. Yip SK
(Hongkong, 1997) melaporkan terdapat angka 14,6% untuk kasus retensi urin
postpartum pervaginam.
Kebanyakan kasus retensi urin disebabkan oleh persalinan yang lama,
trauma intrapartum penekanan yang lama pada bagian terendah janin sehingga
menyebabkan udem dan hematom jaringan periuretra ekstravasasi ke otot
kandung kemih sehingga mengganggu kontraksi, nyeri karena laserasi atau
episiotomi juga dapat menyebabkan retensi urin akibat terjadi spasme levator
ani sehingga terjadi hambatan terhadap kontraksi detrusor dan relaksasi
levator ani, overdistensi selama persalinan juga bisa menyebabkan retensi
urin. Lamanya penekanan dari kepala bayi pada jaringan lunak pelvis
mempengaruhi plexus saraf pelvis dan mengakibatkan disfungsi berkemih.
Suatu studi observasional prospektif menunjukkan bahwa 2866 wanita yang
melahirkan per vaginam, ditemukan retensi urin pada 114 orang dari seluruh
wanita tadi. Hal ini terjadi pada wanita yang hamil cukup bulan, partus per
vaginam, dengan fetus letak puncak kepala. Retensi urin dikatakan persisten
8
jika wanita tidak dapat berkemih secara spontan dalam 4 hari post partum.
Insiden retensi urin post partum pada populasi yang diteliti sebanyak 4%.
3. Anastesi 6
Blok epidural atau kaudal akan menyebabkan paralisis sementara
saraf-saraf yang menginervasi buli-buli. Wanita yang mengalami analgesia
jenis ini tidak akan sadar bahwa buli-bulinya telah penuh.
4. Puerperium 6
a. Sikap, apabila ibu selalu berada di tempat tidur, maka posisi ini
menyebabkan kesulitan berkemih. Pada kebanyakan kasus, masalah ini
dapat diatasi dengan memindahkan ibu ke pispot.
b. Rasa malu, apabila kurang mendapatkan privasi terutama apabila ibu
mengetahui bahwa ia dapat didengar oleh orang lain saat urinenya
keluar, maka akan terjadi hambatan impuls motoric.
c. Takut rasa sakit, terutama pada adanya lecet perineum atau vagina,
memar perineum dan jahitan perineum
d. Atoni otot buli-buli, peregangan yang berlebihan pada buli-buli selama
persalinan atau tekanan kepala fetus yang berkepanjangan dapat
menyebabkan pengurangan rangsangan buli-buli karena baik saraf
maupun impuls motoric dapat terganggu.
e. Urethra, bersamaan dengan memar atau ueFdema akan menyumbat
lumen urethra.
VI. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dari retensi urin post partum sangat sedikit dimengerti. Pada
bulan ketiga kehamilan, otot destrusor kehilangan tonusnya dan kapasitas buli-
buli meningkat perlahan-lahan. Akibatnya wanita hamil biasanya merasa ingin
berkemih ketika buli-buli berisi 250-400 ml urin. Ketika wanita hamil berdiri,
uterus yang membesar menekan buli-buli. Tekanan menjadi dua kali lipat ketika
9
usia kehamilan memasuki usia 38 minggu. Penekanan ini semakin membesar
ketika bayi akan dilahirkan, memungkinkan terjadinya trauma intra partum pada
uretra dan buli-buli sehingga menimbulkan obstruksi. Tekanan ini menghilang
setelah bayi dilahirkan, menyebabkan buli-buli tidak lagi dibatasi kapasitasnya
oleh uterus. Akibatnya buli-buli menjadi hipotonik. Perubahan ini dapat
berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu.2
Retensi urin saat persalinan terjadi bila tekanan pada pleksus sacrum
menyebabkan terjadinya inhibisi implus. Kandung kemih penuh, tetapi tidak
timbul keinginan untuk berkemih. Hal ini disertai dengan distensi yang
menghambat saraf reseptor pada dinding buli-buli. Tekanan pada bagian terendah
janin terjadi pada buli-buli dan uretra, terutama pada daerah pertemuan keduanya.
Tekanan ini mencegah keluarnya urin, meskipun ada keinginan untuk berkemih.7
Inervasi traktus urinarius bagian bawah berada dibawah kendali serabut
saraf simpatis dan parasimpatis. Serabut parasimpatis berasal dari S2 sampai S4.
Stimulasi saraf parasimpatis dan pemberian obat golongan antikolinergik
menyebabkan kontraksi muskulus Detrussor. Obat antikolinergik menurunkan
tekanan intravesikal dan meningkatkan kapasitas kandung kemih. Serabut
simpatis berasal dari T10 sampai L2. Serabut simpatis memiliki komponen dan
β adrenergik. Serabut komponen β berujung di muskulus Detrussor dan ujung
serabut komponen terutama berada di uretra. Stimulasi adrenergik
menyebabkan kontraksi “bladder neck” dan uretra serta relaksasi muskulus
detrussor. Nervus Pudendus ( S2 sampai S4) memberikan inervasi motoris pada
sfingter uretra.8,9
Sinyal aferen yang berasal dari kandung kemih, trigonum vesikalis dan
uretra bagian proksimal berjalan menuju S2 sampai S4 melalui nervus
hipogastrikus. Sensitivitas ujung saraf ini meningkat akibat infeksi akut, sistitis
interstitsialis, sistitis akibat radiasi dan menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Peningkatan tekanan intravesikal juga terjadi saat berdiri atau pada
posisi terlalu kebelakang seperti terlihat pada obesitas, kehamilan atau tumor
10
panggul. Sinyal inhibisi diduga menjalar melalui nervus pudendus menuju S2
sampai S4 setelah adanya stimulasi mekanis pada daerah perineum dan kanalis
ani. Keterangan ini menjelaskan mekanisme mengapa rasa nyeri pada perineum
dan kanalis ani dapat menyebabkan retensi urine.8,9
VII. GAMBARAN KLINIS
Retensi urin memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk
diantaranya kesulitan buang air kecil, pancaran kencing lemah, lambat, dan
terputus-putus, ada rasa tidak puas, dan keinginan untuk mengedan atau
memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih. Gejala yang paling
11
Gambar 3. Lokasi titik tangkap obat obatan tergambar pada lingkaran.9
bermakna dalam memprediksikan adanya gangguan berkemih adalah pancaran
kencing yang lemah, pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna,
mengedan saat berkemih, dan nokturia.3,11,12
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang, yaitu melakukan pemeriksaan-pemeriksaan
laboratorium, radiologi atau imaging (pencitraan), uroflometri, atau urodinamika,
elektromiografi, endourologi, dan laparoskopi. Pada pemeriksaan laboratorium
paling sering digunakan kateter dan uroflowmetri, yaitu untuk mengukur volume
dan residu urin pada kandung kemih. Selain itu juga dapat digunakan
cystourethrografi untuk melihat gambaran radiografi kandung kemih dan uretra.
Menurut dr. Basuki Purnomo, volume maksimal kandung kemih dewasa normal
berkisar antara 300-450 ml dengan volume residu sekira 200 ml (apabila dari hasil
kateterisasi didapatkan volume/residu urin).2,9,11
IX. DIAGNOSIS
Diagnosis retensi urin dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis di
mana didapatkan adanya massa sekitar daerah pelvik dengan perkusi yang pekak.
Biasanya buli-buli dapat teraba transabdominal jika isinya berkisar antara 150-
300 ml dan dengan pemeriksaan bimanual dapat meraba buli-buli bila terisi lebih
dari 200 ml. Pada pasien dengan keluhan saluran kemih bagian bawah, maka
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis,
pemeriksaan neurologik, jumlah urin yang dikeluarkan spontan dalam 24 jam,
pemeriksaan urinalisis dan kultur urine, pengukuran volume residu urine, sangat
dibutuhkan. Fungsi berkemih juga harus diperiksa, dalam hal ini dapat digunakan
uroflowmetry, pemeriksaan tekanan saat berkemih, atau dengan voiding
cystourethrography. Dikatakan normal jika volume residu urin adalah kurang atau
12
sama dengan 50 ml, sehingga jika volume residu urin lebih dari 200 ml dapat
dikatakan abnormal dan biasa disebut retensi urin. Namun volume residu urin
antara 50-200 ml menjadi pertanyaan, sehingga telah disepakati bahwa volume
residu urin normal adalah 25% dari total volume buli-buli.2
X. PENATALAKSANAAN
Yang utama yaitu pasang kateter kemudian lakukan bladder training.
Penelitian oleh Ermiati dkk 2008 bahwa Intervensi bladder training yang dimulai
pada dua jam postpartum efektif digunakan untuk mengembalikan fungsi
eliminasi BAK secara spontan pada ibu postpartum, sehingga sangat disarankan
kepada pelayanan keperawatan maternitas dapat menerapkan intervensi ini. Selain
itu, perawat harus lebih memperhatikan ibu primipara dengan perineum yang
tidak utuh dalam meningkatkan kemampuan eliminasi BAK secara spontan
dengan memotivasi dan memfasilitasi ibu post partum untuk segera BAK secara
spontan sehingga bahaya terjadinya retensi urin post partum dapat dicegah.12
Mengatasi masalah perkemihan salah satunya dapat dilakukan dengan
bladder training. Bladder training merupakan penatalaksanaan yang bertujuan
untuk melatih kembali kandung kemih ke pola berkemih normal dengan
menstimulasi pengeluaran urin. Selama ini apabila ibu postpartum mengalami
masalah BAK, maka salah satu tindakan penyelesaiannya adalah melalui
pemasangan kateter untuk mencegah peregangan kandung kemih yang berlebihan.
Dengan bladder training diharapkan ibu post partum dapat BAK secara spontan
dalam enam jam post partum.12
Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises
(latihan pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul), Delay urination
(menunda berkemih), dan scheduled bathroom trips (jadwal berkemih). Bladder
training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing (menunda untuk
berkemih). Pada pasien yang terpasang kateter, Bladder training dapat dilakukan
dengan mengklem aliran urin ke urin bag. Tindakan ini dapat dilakukan dengan
13
menjepit kateter urin dengan klem kemudian jepitannya dilepas setiap beberapa
jam sekali. Kateter di buka tutup atau di klem tiap 4 jam selama 24 jam. Tindakan
menjepit kateter ini memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot destrusor
berkontraksi sedangkan pelepasan klem memungkinkan kandung kemih untuk
mengosongkan isinya.13
Obat yang berkerja pada sistem parasimpatis dan simpatis biasa digunakan
pada pasien dengan retensi urine. Efek kolinergik yang bekerja pada gangglion
atau di organ akhir tetapi lebih banyak di sinapnya, yaitu yang disebut dengan
efek muskarinik contohnya betanekhol. Sedangkan pada obat yang bekerja pada
sistem simpatis obat yang digunakan adalah antogonis reseptor alpha yang
menyebabkan relaksasi spingter urethra. Obat-obatan yang bekerja pada otot
polos juga biasa digunakan contohnya prostaglandin yang berfungsi
mempengaruhi kerja otot-otot detrusor dan prostaglandin F2 alfa berfungsi
sebagai spesifisitas reseptor asetilkolin muskarinik dan merangsang kontraksi
detrusor. ecemasan dipikirkan mempunyai peranan dalam kesulitan berkemih
setelah pembedahan. Benzodiazepine dapat menolong berkaitan dengan
(anxiolisis dan efek pelemas otot). Jika pasien masih mengalami gangguan dalam
berkemih dan dicurigai spasme uretra , dapat diberikan pelemas otot seperti
diazepam.9,11,12
14
Tabel 1. Penatalaksanaan retensi urine pasca tindakan obgyn.9
XI. PENCEGAHAN
Saat persalinan ibu harus dianjurkan untuk selalu berkemih setiap 2 jam
selama persalinan untuk meminimalkan risiko retensi urin. Dan saat proses
persalinan penolong diharuskan untuk mengosongkan kandung kemih pasien
terlebih dahulu karena dengan buli-buli yang penuh akan sangat mempengaruhi
proses kelahiran dengan berbagai cara diantaranya akan menghambat penurunan
bagian terendah janin, terutama bila berada di atas spina iskiadikus, menurunkan
efisiensi kontraksi uterus, menimbulkan nyeri yang tidak perlu, meneteskan urin
15
selama kontraksi yang kuat pada kala II, memperlambat kelahiran plasenta dan
mencetuskan perdarahan pasca partum dengan menghambat kontraksi uterus.7
XII. KOMPLIKASI
Bahaya retensi urin post partum menyebabkan terjadi uremia dan sepsis,
bahkan ada penulis melaporkan terjadinya ruptur spontan buli-buli. Karena
terjadinya retensi urin yang berkepanjangan, maka kemampuan elastisitas buli-
buli menurun, dan terjadi peningkatan tekanan intra vesika yang menyebabkan
terjadinya reflux, sehingga penting untuk dilakukan pemeriksaan USG pada ginjal
dan ureter atau dapat juga dilakukan foto BNO-IVP. Pengosongan yang tidak
lengkap dari kandung kemih setelah lahir dapat menyebabkan komplikasi berikut
infeksi saluran kemih, inkontinensia urin atau feses, disfungsi kandung kemih
pendek dan jangka panjang, ureter refluks, hidronefrosis bilateral, gagal ginjal
akut, gangguan ginjal jangka panjang.2,3,11
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Utami Putu Surya. 2008. Kegawatdaruratan Urologi dalam Kehamilan. SMF
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah Denpasar.
2. B Pribakti. 2006. Tinjauan Kasus Retensio Urin Post Partum du RSUD Ulin
Banjarmasin (2002-2003). Dexa Medica, vol 19, no. 1, hal. 10-13.
3. Juzinaf. Buku Ajar: Uroginekologi. Jakarta: Subbagian Uroginekologi
Rekonstruksi Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI RSCM. 2002. Hal 60-9
4. Widya Agung Wistara, dkk. 2011. Diagnosis dan Penanganan Striktur
Urethra. SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
5. Junizaf. Santoso, Budi Iman. 2011. Buku ajar: Uroginekologi Indonesia.
Jakarta: Himpunan Uroginekologi FKUI. Hal 133-44
6. Verralls Sylvia. 2003. Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam Kebidanan.
Jakarta: EGC. Hal 92-5
7. Johnson Ruth, Taylor Wendy. 2005. Buku Ajar Praktik Kebidanan. Jakarta:
EGC. Hal 123.
8. Japardi Iskandar. 2002. Manifestasi Neurologi Gangguan Miksi. Bagian
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
17
9. Decherney Alan, Nathan Lauren, Goodwin Murphy, Laufer Neri. 2006.
Current Diagnosis and Treatments in Obstetrics and Gynecology. US:
McGraw-Hill Companies. Hal 255-9.
10. SA Maternal and Neonatal Clinical Network. 2010. South Australian
Perinatal Practice Guidelines Postpartum Bladder Dysfunction. Department
of Health, Govemment of South Australia.
11. Maternity Guidelines Group. 2012. Intrapartum and Postnatal Bladder Care.
Women and Children Health.
12. Ermiati, dkk. 2008. Efektivitas Bladder Training Terhadap Fungsi Eliminasi
Buang Air Kecil (BAK) pada Ibu Postpartum Spontan. Majalah Obstetri
Ginekologi Indonesia, vol. 32, no. 4, hal. 206-211.
13. Nababan TJ. 2011. Bladder Training. SMF Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
18