resepsi sastra film
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
RESEPSI SASTRA FILM “LASKAR PELANGI”
SEBUAH KAJIAN RESEPSI SASTRA SINKRONIK PADA MASA
BANGKITNYA PERFILMAN INDONESIA (TAHUN 2001 – 2009)
Oleh: Marlina
A. Pendahuluan
Pemunculan film-film yang diangkat dari karya sastra
belakangan ini semakin marak. Para pembaca karya sastra kini tak
harus bersusah payah untuk menghabiskan waktu berjam-jam,
berhari-hari bahkan berminggu-minggu untuk dapat melahap
sebuah karya sastra sepeeti novel. Para sineas Indonesia dengan
kemampuan dan kreativitasnya telah dapat mengembangkan dan
memperkaya khasanah sastra Indonesia dengan cara menyajikan
sebuah karya sastra dalam bentuk bacaan-dalam hal ini novel-
menjadi sebuah film yang dikemas apik dan menarik bagi semua
kalangan.
Dalam sejarah perfilman di Indonesia tahun 2001 hingga saat
ini, masyarakat Indonesia telah merasakan kebangkitan perfilman
Indonesia dengan hadirnya film-film layar lebar yang tak henti
diproduksi dan diputar di sinema-sinema. Namun demikian, tak
banyak film yang secara langsung diangkat dari sebuah novel,
khususnya untuk novel-novel Indonesia di masa sekarang ini. Sebut
saja novel Ayat-Ayat Cinta karangan Habiburahman El-Shirazy
yang sempat booming dan dikenal seantero masyarakat Indonesia,
setelah sebelumnya beberapa novel remaja seperti Eifel I’m In Love
dan novel-novel dengan tema percintaan remaja diangkat menjadi
sebuah film.
Di antara novel-novel tersebut yang tak dapat dipungkiri
sebagai novel fenomenal sehingga diangkat menjadi film layer
lebar adalah novel “Laskar Pelangi” karangan Andrea Hirata,
seorang pengarang pendatang baru yang menggebrak dunia sastra
Indonesia. Andrea Hirata sebagai penulis baru menyajikan sebuah
cerita dengan latar belakang kisah nyata menjadi sebuah bacaan
yang apik dan menggugah para pembacanya. Pendapat demi
pendapat positif dari berbagai profesi dapat dilihat dalam bagian
depan novel Laskar Pelangi.
Demikian pula halnya ketika novel tersebut diangkat menjadi
sebuah film, respons masyarakat saat itu bernada amat positif.
Para penikmat film Indonesia lebih banyak menyuarakan kepuasan
dengan film yang diangkat dari novel tersebut dan menjadikan
Andrea Hirata sebagai novelis populer Indonesia yang tidak bisa
dipandang sebelah mata lagi keberadaannya.
Larisnya film Laskar Pelangi di pasaran menjadi daya tarik
tersendiri bagi penulis untuk memberikan reaksi sebagai salah satu
penikmat karya sastra terhadap film tersebut. Mengingat
selanjutnya setelah atau sebelum Laskar Pelangi dipertontonkan
kepada masyarakat, film-film dengan tema yang sama sepanjang
kebangkitan perfilman Indonesia, baik yang diangkat dari novel
maupun yang memang murni berasal dari naskah film belum
ditemukan lagi hingga saat ini.
B. Pembahasan
1) Resepsi Sastra
Secara harfiah, resepsi sastra berasal dari kata recipere
(Latin) dan reception (Inggris) yang berarti penerimaan. (Kutha
Ratna, 2008: 165)
Resepsi atau penerimaan terhadap sebuah teks sastra
merupakan reaksi dari pihak pembaca terhadap sebuah karya
sastra, baik dalam bentuk reaksi langsung maupun reaksi tidak
langsung dengan menyelaraskan dengan pengertian, pengalaman,
serta penghayatannya (Luxemburg, 1992: 62)
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa
yang dimaksud dengan resepsi sastra adalah reaksi yang diberikan
oleh pembaca terhadap sebuah karya berdasarkan adanya
pengertian-pengetahuan atau wawasan pembaca- dan
menghubungkannya dengan pengalaman dan apa yang dihayati
oleh pembaca tersebut.
Dinyatakan juga oleh Luxemburg bahwa kegiatan resepsi
sastra merupakan kegiatan pembaca dalam mengkonkretkan
sebuah teks sastra-dalam hal ini bacaan- menjadi sebuah teks yang
dpat dimengerti dan dihayatinya. Hal ini seperti membuat sebuah
laporan setelah pembaca menikmati karya sastra.(Luxemburg,
1992: 79)
Resepsi sastra mengkaji hubungan antara sastra dengan
pembaca, khususnya dalam kehidupan praktis. Diibaratkan sebagai
retorika dalam khotbah atau pidato yang memberikan perhatian
pada sarana-sarana bahasa, resepsi sastra memberikan perhatian
pada tanggapan-tanggapan pembaca. (Kutha Ratna, 2008:164)
Namun demikian, resepsi sastra sendiri dalam artian yang
luas tidaklah sekadar pemberian respons pembaca terhadap karya
sastra melainkan pembaca dalam konteks ini dilihat sebagai
sebuah proses sejarah, yakni pembaca dalam periode tertentu.
(Kutha Ratna, 2008:165)
Berdasarkan pernyataan ersebut dapat dikatakan bahwa
dalam proses resepsi sastra, pembaca yang memberi respons atau
reaksi terhadap suatu karya sastra akan selalu menghubungkan
responsnya dengan kondisi ketika resepsi iu dilakukan. Sudah
barang tentu itu akan berhubungan dengan bidang kehidupan, baik
dari sosiologis, budaya, maupun psikologis masyarakat dalam suatu
masa.
Dalam penelitian sastra, resepsi sastra mengenal dua
bentuk, yakni resepsi sinkronik dan resepsi diakronik. Bila dalam
resepsi sinkronik karya sastra diteliti dalam hubungannya dengan
pembaca pada suatu masa tertentu (satu zaman-, maka dalam
resepsi sastra diakronik yang melibatkan pembaca sepanjang
sejarah waktu. (Kutha Ratna, 2008: 167)
Dalam hal ini dijelaskan juga bahwa dalam resepsi sinkronik,
sekelompok pembaca memberikan tanggapan-misalnya secara
sosiologis maupun psikologis- terhadap sebuah karya sastra.
Tanggapan terhadap karya sastra melalui pendekatan
sosiologis adalah mengkaji hubungan yang hakiki antara karya
sastra dengan kehidupan sosial masyarakat. (Kutha Ratna,
2008:60). Hal ini merupakan sebuah pernyataan yang
menggambarkan bahwa sebuah karya sastra dalam penciptaannya
memiliki hubungan social dengan masyarakat pembaca.
Sementara itu, istilah psikologi sastra menurut Wellek dan
Waren memiliki empat kemungkinan pengertian antara lain: (1)
studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi, (2)
studi proses kreatif, (3) studi hukum dan tipe-tipe psikologi yang
diterapkan pada karya sastra, dan (4) mempelajari dampak sastra
pada pembaca (psikologi pembaca). Keempat hal tersebut
merupakan kemungkinan yang dimungkinkan menjadi pembahasan
dalam psikologi sastra. (Wellek dan Waren, 1995:90)
2) Sinopsis Film ”Laskar Pelangi”
Tokoh aku dalam film ini adalah Ikal. Ikal memulai ceritanya
dengan menampilkan latar tahun 1974 di daerah Bangka Belitong
(Salah satu daerah di Indonesia). Bangka Belitong pada latar tahun
tersebut adalah sebuah daerah yang kaya di Indonesia. Daerah
tersebut terkenal dengan pertambangan timahnya. Namun
demikian, di tengah pandangan masyarakat yang menganggap
daerah tersebut sebagai daerah yang kaya, kehidupan
masyarakatnya tidaklah baik seperti seharusnya penduduk yang
hidup di daerah yang kaya.
Cerita berawal dari sebuah sekolah SDN Muhammadiyah
Gintong yang merupakan sekolah muhamaddiyah satu-satunya di
daerah Belitong. Sekolah itu terancam ditutup pemerintah bila
pada tahun ajaran tersebut tidak mendapatkan sepuluh orang
siswa. Para orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah
tersebut adalah orang tua yang kondisi perekonomiannya miskin.
Rata-rata orang tua bekerja sebagai buruh PT PN Timah atau
nelayan.
Diceritakanlah seorang guru wanita bernama Ibu Muslimah
dan Bapak Harpan yang bersikukuh untuk mempertahankan
sekolah tersebut. Meski di awalnya kedua guru tersebut sudah
hampir putus asa menunggu kedatangan murid ke sepuluh,
akhirnya sekolah tersebut dapat memenuhi angka sepuluh untuk
jumlah murid dan itu berarti sekolah tersebut akan terus dibuka.
Berlanjut pada waktu lima tahun kemudian (tahun 1979),
sekolah tersebut tetap berjalan dengan sepuluh orang siswa yang
tak bertambah dari tahun ke tahun. Kondisi sekolah sangat buruk,
baik dari bangunan, fasilitas sekolah, maupun dari keuangannya.
Para guru yang mengajar, tidak mendapatkan penghasilan yang
layak, selayaknya guru-guru di sekolah lain.
Sekolah lain yang menjadi pembanding adalah sekolah milik
PN Timah yang kondisinya sangat bertolak belakang dengan SDN
Muhammadiyah Gintong. Sekolah PN Timah memiliki fasilitas yang
bagus dan ditonjolkan sebagai sekolah bagi kaum-kaum menengah
ke atas di Belitong.
Namun demikian, siswa-siswa yang belajar di SDN
Muhammadiyah tak pernah kehilangan semangat untuk belajar,
meskipun mereka dalam keterbatasan. Sepuluh siswa dalam
asuhan Ibu Muslimah tumbuh dengan kemampuan yang bervariasi.
Tokoh Lintang yang berasal dari keluarga miskin di pesisir pantai
adalah anak yang memiliki kecerdasan matematika sangat bagus.
Sementara itu, Mahar adalah anak yang mmeiliki kecerdasan
musikal yang sangat bagus. Demikian juga dengan siswa-siswa
lainnya selain mereka seperti Ikal, Kucai, Samson, Zahara, Akiong,
dan Harun salah satu siswa yang memiliki keterbelakangan mental.
Siswa-siswa di SDN Muhammadiyah yang dididik dalam
kemiskinan dan kesulitan belajar menunjukkan kemampuan
mereka di hadapan masyarakat Belitong yang beranggapan bahwa
anak miskin tak perlu mengecap bangku sekolah. Mereka cukup
menjadi buruh membantu orang tua mereka bekerja. Dengan
kreativitas mereka, para siswa akhirnya dapat memenangkan
karnaval yang diadakan untuk sekolah-sekolah di Belitong. Mereka
berhasil mengalahkan juara bertahan SD PN Timah.
Pada bagian selanjutnya konflik pun terjadi dalam diri Ibu
Muslimah. Ibu Muslimah yang sempat kecewa setelah ditinggal
oleh rekan kerjanya Pak Bakrie yang memilih mengajar di sekolah
lain karena penghasilan yang didapatkannya tidak menentu.
Sementara itu, goncangan lain pun datang, rekan Ibu Muslimah
yang lain bapak Harpan, yang selama ini menjadi teman
seperjuangan Ibu Muslimah untuk mempertahankan keberadaan
SDN Muhammadiyah Gintong dipanggil sang Khalik. Hal tersebut
menyebabkan Ibu Muslimah goncang dan sedih karena merasa ak
berdaya jika harus berjuang sendirian.
Namun demikian, Ibu Muslimah tidak menyerah. Tawaran
yang selalu diajukan oleh Pak Mahmud (salah satu guru di SD PN
Timah) untuk mengajar di SD PN Timah tetap konsisiten ditolaknya
karena rasa cintanya yang mendalam terhadap SDN
Muhammadiyah dan siswa-siswanya. Eksistensi SDN
Muhammadiyah Gintong ditunjukkan dengan kemenangan mereka
dalam lomba cerdas cermat.
Kesuksesan siswa-siswa SDN Muhammadiyah dengan
menunjukkan eksistensi mereka di mata masyarakat Belitong
menjadikan sekolah tersebut diingat oleh masyarakat. Namun
begitu, di akhir cerita, tokoh Lintang sebagai anak yang cerdas tak
dapat melanjutkan sekolah hingga tamat karena harus
menggantikan ayahnya sebagai kepala keluarga setelah kematian
ayahnya. Lintang tak dapat menyelesaikan studinya di SDN
Muhammadiyah Gintong bersama rekan-rekannya yang lain.
Sementara tokoh aku (Ikal) diceritakan kembali ke kampung
halamannya untuk bertemu sahabat-sahabatnya. Ikal berencana
untuk merantau di Paris, kota yang menjadi mimpi di masa kanak-
kanaknya. Kota yang menjadi impian Ikal untuk dapat mengenang
Ah Ling, gadis pujaannya sejak kecil. Pertemuan Lintang dan Ikal
saat telah menjadi dewasa menjadi akhir dari cerita film tersebut.
Lintang merasa bangga kepada Ikal dan berpesan agar anak-
anaknya mengikuti jejak Ikal sahabatnya.
3) Kajian Resepsi Sastra Sinkronik Film “Laskar Pelangi”
Tahun 2001 hingga saat ini, jika dilihat dari kondisi
masyarakat dan pendidikan di Indonesia, dapat dikatakan tak jauh
beda dengan yang digambarkan dalam film Laskar Pelangi.
Meskipun gambaran tersebut tidak terjadi di kota-kota besar,
kondisi tersebut masih dapat ditemukan di beberapa daerah
terpencil di Indonesia. Secara umum, kondisi tersebut memang
bukan pemandangan nyata yang dapat dilihat oleh setiap orang.
Namun, cobalah melihat kondisi di beberapa daerah terbelakang di
Indonesia, kondisi seperti itu masih dapat ditemukan.
Gambaran pendidikan Indonesia khususnya di daerah
Belitong yang disajikan dalam film Laskar Pelangi tentu akan
sangat memperihatinkan bagi para penontonnya. Kondisi anak-
anak miskin yang ingin mengecap pendidikan dalam keterbatasan
ekonomi menjadi sebuah pemandangan yang dapat disaksikan
hingga abad ini. Kemiskinan dan keterpurukan memaksa para
orang tua untuk mempekerjakan anak di bawah umur demi
membantu pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Pemandangan
itu pula yang ditonjolkan secara gamblang dalam film Laskar
Pelangi.
Kondisi kemiskinan masyarakat di Belitong yang kaya
menggambarkan ketidakmampuan pemerintah untuk mengolah
segala sumber daya yang dimiliki oleh bangsa ini. Gambaran
tersebut merupakan cerminan dari kondisi yang terjadi saat ini,
bahwa kemiskinan masih dirasakan oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia, padahal Indonesia adalah negara yang
mempunyai kekayaan sumber daya yang dapat dimanfaatkan.
Sayangnya, ketidakmampuan pemerintah dalam mengelolanya
menjadikan bangsa ini senantiasa menjadi bangsa yang
terbelakang dan terpuruk dalam kemiskinan turun temurun.
Pembandingan antara sekolah PN Timah dengan segala
fasilitas yang memadai di zamannya dengan sekolah SDN
Muhammadiyah Gintong yang terbatas merupakan gambaran nyata
bahwa siswa-siswa yang dididik dengan fasilitas yang lebih baik
menjamin akan memiliki kemampuan yang lebih pula. Bila dalam
film tersebut tokoh Lintang menjadi siswa yang dibandingkan,
maka dalam dunia nyata, mari lihat siswa-siswa yang berasal dari
sekolah-sekolah di desa dengan fasilitas yang terbatas, banyak
yang mampu menghasilkan karya-karya inovatifnya dalam bidang
sains dan teknologi.
Demikian pula dengan pendidikan agama yang diterapkan
begitu ketat di sekolah Muhammadiyah Gintong. Penerapan kaidah
agama seperti itu pada saat ini sangat dibutuhkan oleh para siswa
di masa perkembangan mereka. Siswa-siswa yang kurang
mendapat pendidikan agama baik di sekolah maupun di rumah
akan tumbuh sebagai manusia yang rapuh dan mudah terpengaruh.
Dalam berita-berita di televisi maupun di sura kabar, saat ini
banyak siswa atau pelajar-pelajar sudah berani melakukan tindak
kriminal. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya didikan agama
yang dibekalkan kepada mereka sehingga mereka tidak terkontrol.
Sementara fungsi agama adalah sebagai kontrol diri dan benteng
pengendalian diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
Tuhan.
Tokoh Pak Harpan yang mengabdi di SDN Muhammadiyah
hingga akhir hayatnya dan tokoh Ibu Muslimah yang tak menyerah
dengan segala halangan dan rintangan dalam mempertahankan
sekolah SDN Muhammadiyah merupakan suatu gambaran
idealisme manusia yang masih kokoh dengan pengabdiannya
sebagai guru. Sosok kedua tokoh dalam film tersebut menunjukkan
betapa tingginya cita-cita para pendidik demi anak-anak didiknya.
Penghasilan yang tidak memadai dan adanya tawaran-tawaran
yang menggiurkan yang diberikan tak menjadikan kedua tokoh
tersebut berpaling dari niat awal mereka. Kekokohan hati Ibu
Muslimah dan Pak Harpan pada saat ini merupakan sebuah
pemandangan yang akan sulit ditemukan. Namun demikian, bukan
berarti tidak ada. Meskipun saat ini, dunia pendidikan tak lagi
murni menjadi dunia pengabdian bagi para guru, meskipun
idealisme-idealisme tersebut telah banyak terkikis, sosok-sosok
seperti Ibu Muslimah dan Pak Harpan masih bisa dijumpai.
Sementara tokoh Pak Bakri sebagai rekan Ibu Muslimah dan
Pak Harpan yang memilih meninggalkan sekolah Muhammadiyah
dan mengajar di tempat lain yang lebih menjanjikan secara materi
merupakan gambaran sebagian besar masyarakat Indonesia saat
ini. Materi dan jaminan kehidupan menjadi landasan utama bagi
banyak orang untuk bekerja. Secara manusiawi, kondisi tersebut
tentu sangat wajar dengan tuntutan kehidupan di saat ini.
Siswa-siswa di SDN Muhammadiyah yang memiliki
perbedaan kecerdasan, merupakan gambaran yang sesuai dengan
teori kecerdasan jamak yang dikemukakan oleh Howard Gardner.
Ibu Muslimah sebagai guru, menunjukkan perhatiannya terhadap
kecerdasan masing-masing siswanya sehingga tokoh Ibu Muslimah
memberikan ruang bagi para siswa untuk mengembangkan
kecerdasan mereka. Untuk saat ini, metode pembelajaran berbasis
kecerdasan jamak pun sudah banyak dikembangkan di Indonesia,
sehingga siswa-siswa dapat memiliki kesempatan untuk
mengembangkan bakatnya masing-masing.
Gambaran seorang Lintang yang tidak dapat melanjutkan
sekolah karena harus menjadi pengganti orang tua yang mencari
nafkah bagi adik-adiknya merupakan gambaran perjuangan
seorang anak yang memang tegar dan kuat. Pada saat ini, kondisi
tersebut banyak juga terjadi pada anak-anak miskin di Indonesia
yang harus menggantikan orang tuanya yang telah tiada atau orang
tuanya yang tidak memiliki penghasilan yang mencukupi untuk
membiayai kehidupan keluarganya. Namun demikian, Lintang tak
kehilangan mimpinya. Meskipun dia tidak sempat menyelesaikan
pendidikannya, dia tetap bermimpi untuk memberikan kesempatan
pada anak-anaknya mencapai impiannya. Demikian pula dengan
para orang tua yang ada di masyarakat kita saat ini. Impian para
orang tua yang tak tercapai, kadang banyak dibebankan kepada
anak-anak mereka untuk mewujudkannya.
Terakhir adalah tokoh Ikal sebagai tokoh aku yang kembali
ke kampung halaman untuk menmui sahabatnya dan mengatakan
bahwa dirinya akan pergi ke Paris untuk mengejar mimpi di masa
kanak-kanaknya. Melalui tokoh Ikal, dapat dilihat bahwa mimpi
masa kanak-kanak ada kalanya bahkan banyak menjadi impian
indah yang terwujud di masa dewasa.
C. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan pengkajian di atas dapat disimpulkan bahwa penulis
sebagai penonton film Laskar Pelangi memberikan respons atau
reaksi penerimaan setelah menonton film Laskar Pelangi. Bagi
penulis, film Laskar Pelangi merupakan gambaran yang masih
sama dengan kondisi kehidupan saat ini. Baik dari situasi sosial
masyarakat maupun dari segi budaya. Kisah yang disajikan dalam
film Laskar Pelangi adalah penggambaran yang masih dapat
ditemukan hingga saat ini. Dengan demikian, film Laskar Pelangi
dapat dijadikan sebagai cermin yang dapat menjadi alat untuk
semua orang bercermin tentang kehidupan dan pencarian solusi
untuk mengatasi segala keadaan yang dirasa perlu diperbaiki.
Selain itu, film ini dapat juga dijadikan kritik bagi idealisme-
idealisme manusia yang mulai terkikis untuk mengabdi sebagai
para pendidik.
Daftar Pustaka
Hirata, Andrea. 2008. Laskar Pelangi. Jakarta: Bentang.
Luxemburg, Jan Van. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta:PT
Gramedia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Wellek, Rene dan Austin Waren. 1995. Teori Kesusasteraan.
Diterjemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.