resensi novel-selalu ada kapal untuk pulang
TRANSCRIPT
RESENSI NOVEL “SELALU ADA KAPAL UNTUK PULANG”
1. Identitas Buku
Judul : Selalu Ada Kapal Untuk Pulang
Penulis : Randu Alamsyah
Penerbit : DIVA Press
Halaman : x + 271 Halaman
Cetakan : Pertama, April 2013
ISBN: 978-602-7641-22-8
II. Penilaian
Selalu ada kapal untuk pulang, novel dengan tebal 271 halaman ini
merupakan karya seorang pria kelahiran Manado 25 Juli tiga puluh tahun silam, yakni
Randu Alamsyah. Ia adalah seorang mantan redaktur Buletin Deka yang mulai
menulis sejak kelas tiga sekolah dasar. Ia menamatkan sekolah menengah atas di
Banjarmasin, dan pernah mengenyam bangku kuliah hingga semester II di Fakultas
Tarbiyah STAIN Sultah Amai, Gorontalo. Kemudian, merasa bosan dan memilih
belajar langsung dari pengembaraan panjang ke kota-kota di seluruh Indonesia,
sehingga tak jarang jika ia sering mendapatkan inspirasi dari setiap perjalanannya
tersebut.
Sebelumnya, ia telah menulis sebuah novel dengan judul Jazirah Cinta yang
diterbitkan tahun 2008 lalu. Novel tersebut mendapat perhatian yang sangat baik di
kalangan pembaca, meskipun Randu sendiri adalah seorang pendatang baru di dunia
novelis.
Novel kedua ini “Selalu Ada Kapal untuk Pulang”, merupakan sebuah kisah
yang mengankat tema perjuangan hidup dan dedikasi tulus terhadap pekerjaan. Tema
ini menarik, karena cerita yang disuguhkan sangat dekat dengan masyarakat dan
kental akan unsur budaya daerah, apalagi kisah ini ditambah dengan bumbu
persahabatan khas anak pedesaan.
Ketika membuka halaman pertama cerita tersebut, kita akan dibawa pada
suatu desa tempat dua sekawan Poy dan Apin tinggal. Desa Mananggun, sebuah desa
yang jauh dari kata modern dan tak pernah tersentuh oleh kata globalisasi.
Masyarakatnya hanya berkutat pada sapi, dan kelapa, tanpa tahu bagaimana rupa
perkotaan.
Poy dan Apin memiliki kesempatan untuk keluar dari desa tersebut setelah
mereka lulus Madrasah Aliyah, sekolah setingkat SMA yang berbasis keagamaan.
Mereka dengan tekad kuat pergi merantau ke kota untuk mengejar cita-cita menjadi
seorang guru.
Di kota, Poy dan Apin menjalani hidup sebagai seorang mahasiswa. Apin,
yang berjiwa revolusioner dan mengidolakan sosok Ranjiwa, tokoh aktivis kampus
yang mengklaim dirinya adalah pejuang suara rakyat, mencoba menjalani masa
kuliahnya dengan mengikuti organisasi yang senang mengadakan demo. Sedangkan
Poy, laki-laki religious dan seorang anak masjid, merasa tak mendapatkan apa-apa
dari kuliahnya, ospek berlebihan, demo tak jelas, dan dosen yang hanya menceritakan
pengalaman pribadi, membuatnya lelah dan muak.
Perbedaan pandangan akhirnya mendorong Poy rela meninggalkan Apin
untuk menempuh jalnnya sendiri.
Ketika nasib mempertemukan kembali mereka delapan tahun kemudian,
keadaan telah jauh berubah. Apin telah sukses menjadi anggota Dewan di Gorontalo,
sedangkan Poy terdampar di sebuah masjid kecil di Sulawesi tengah sebagai guru
ngaji.
Rangkaian cerita dalam novel sebenarnya jauh lebih baik dan menarik, karena cerita
dari awal sampai akhir diberikan kemasan yang sangat apik dan rapi, alurnya pun sangat
beraturan dan konflik yang ditonjolkan sangat mengena kepada pembacanya. Randu
menggunakan alur maju yang sesuai dengan tema cerita dan tidak mudah ditebak.
Awalnya pembaca akan menerka-nerka bagaimana jalan kisah dalam novel ini. Saya
sendiri begitu terkejut dengan akhir cerita yang begitu menyentuh, tidak seperti yang
saya bayangkan sebelumnya. Penulis benar-benar menyajikan setiap kejadian begitu
nyata, tidak dibuat-buat, dan seakan-akan mengantar pembaca ikut terlibat langsung
di dalamnya.
Cara pengarang menggambarkan setiap tokoh juga tidak kalah menarik. Ia
menceritakan dua sahabat Poy dan Apin yang sama-sama dari desa, memiliki mimpi
yang sama namun karakter yang berbeda. Poy dalam novel ini ia gambarkan sebagai
sosok yang sangat religious, sedangkan Apin dengan jiwa revolusioner layaknya
seorang Bung Karno. Penulis juga tidak lupa menyelipkan sifat-sifat khas anak
Indonesia yang masih menggunakan aksen bahasa daerahnya dalam setiap dialog.
Secara keseluruhan, gaya bahasa yang digunakan sudah komunikatif,
meskipun pada awal cerita banyak meggunakan istilah-istilah asing. Bagi pembaca
pemula mungkin akan sedikit kesulitan dalam memaknai maksud cerita, karena
banyaknya bahasa dan istilah daerah yang dimasukkan, sehingga pembaca perlu
menaruh konsentrasi lebih ketika baru memasuki alur cerita.
Selain itu, amanat dan pesan luhur yang terkandung dalam novel ini sangat
bermanfaat. Kita diajak untuk menyucikan jiwa, tidak mudah putus asa dalam
menggapai cita, dan berani dalam mengambil keputusan.
Kelebihan lain yang menonjol dalam novel ini terlihat juga pada cara penulis
mendeskripsikan detail dari tempat-tempat yang menjadi latar dalam setiap adegan,
ditunjang dengan fakta-fakta menarik yang menyelimutinya. Hal tersebut tak lain
karena kekuatan imajinasi Randu Alamsyah sebagai penulis yang mampu memainkan
kata-kata, dan bahasa-bahasa yang disusun secara rapi sehingga menjadi sebuah novel
dengan kualitas cerita yang mengesankan.
Tetapi dari segi fisik, novel ini perlu dibenahi lagi. Jenis font yang digunakan
tidak terlalu menarik, cenderung terlihat seperti tulisan artikel koran. Jenis kertas
tipis, dan berwarna agak buram, memberikan kesan kurang berbobot. Cover yang
disuguhkan juga biasa-biasa saja, tidak membuat calon pembaca tertarik untuk
langsung mengambil novel tersebut dari tempatnya.
III. Kesimpulan
Secara keseluruhan, novel yang bercerita tentang persahabatan dan mimpi ini
bagus sekali untuk dibaca, karena dalam setiap adegan yang digambarkan, banyak
terdapat unsure pendidikan yang dapat diambil oleh pembacanya.