resensi novel perang

5
Identitas Novel Judul : Perang Pengarang : Putu Wijaya Penerbit : PT Pustaka Utama Grafiti Tahun terbit : 2002 Cetakan : ke-3 Harga : Rp 30.000,- Ukuran : 19 cm X 13 cm Tebal : 392 halaman SKENARIO MANIFESTASI POLITIK Oleh Conni Setyorini Sebagai seorang sastrawan yang terkenal I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang lahir di Puri Anom Tabanan, Tabanan, Bali pada 11 April 1944 memberikan aksi nyata dalam penulisan cerpen, naskah drama, novel dan skenario film. Anak bungsu dari lima bersaudara seayah maupun tiga bersaudara seibu ini, telah gemar menulis semenjak menginjak bangku pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kepiawaiannya dalam dunia sastra membuat pria berumur 69 tahun tersebut mendapat apresiasi yang tinggi baik di tanah air tempat ia dilahirkan maupun luar negeri.

Upload: conni-setyorini

Post on 25-Jun-2015

1.348 views

Category:

Education


43 download

DESCRIPTION

Resensi Novel Perang.

TRANSCRIPT

Page 1: Resensi novel perang

Identitas Novel

Judul : Perang

Pengarang : Putu Wijaya

Penerbit : PT Pustaka Utama Grafiti

Tahun terbit : 2002

Cetakan : ke-3

Harga : Rp 30.000,-

Ukuran : 19 cm X 13 cm

Tebal : 392 halaman

SKENARIO MANIFESTASI POLITIK

Oleh Conni Setyorini

Sebagai seorang sastrawan yang terkenal I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang lahir

di Puri Anom Tabanan, Tabanan, Bali pada 11 April 1944 memberikan aksi nyata

dalam penulisan cerpen, naskah drama, novel dan skenario film. Anak bungsu dari

lima bersaudara seayah maupun tiga bersaudara seibu ini, telah gemar menulis

semenjak menginjak bangku pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Kepiawaiannya dalam dunia sastra membuat pria berumur 69 tahun tersebut

mendapat apresiasi yang tinggi baik di tanah air tempat ia dilahirkan maupun luar

negeri.

Berkisah mengenai seputar perilaku manusia manakala berhadapan dengan

kekuasaan yang disertai berbagai paham dan ideologi yang melahirkan intrik yang

tak berkesudahan, Putu Wijaya mencurahkan temanya di dalam sebuah novel

berjudulkan Perang. Novel karya Putu Wijaya tersebut secara tak langsung

mengajak untuk mengubah sudut pandang kita selama ini terhadap moralitas dalam

kehidupan sehari-hari di dunia politik. Melalui dialog tokoh Semar ia

menggambarkan kritikan sosial yang dapat memberi amanat kepada kita seperti

“Saya kira musuh kita ini adalah diri sendiri. Buat saya pribadi musuh saya adalah

Page 2: Resensi novel perang

diri saya sendiri. Ya segala kejelekan-kejelekan saya, segala kebodohan saya, segala

kemalasan, korupsi yang saya lakukan, termasuk keinginan dan pendapat-pendapat

serta keyakinan maupun kesimpulan-kesimpulan saya yang akhirnya menjebak dan

menghancurkan saya sendiri karena saya tak pernah dapat mengendalikannya, yang

membuat saya jadi angkara, ingin mengalahkan orang lain yang tentunya juga

punya keyakinan, itulah semua musuh saya.” (Wijaya, 2002 : 33)

Dibalut dengan tata bahasa yang tidak terlalu kaku, membuat kumpulan kata

dalam percakapan berbagai tokoh dari novel Perang hidup seakan sesuai realita

yang ada. “Itu namanya semau gue, seenak kamu sendiri. Kalau kamu Cuma patah

hati di sini, mengapa kamu mesti membenci seluruh Amarta, termasuk saudara-

saudara dan Bapak kamu ini? Lihat baik-baik nanti sepuluh tahun lagi, aku benari

bertaruh potret perempuan raksasa itu akan membuat kamu muntah.” (Wijaya,

2002 : 55)

Cerita wayang kontemporer yang satir dan pahit dengan humor yang

menggigit menggairahkan diri pembaca untuk diajak terpingkal-pingkal ketika

membaca berbagai adegan lucu yang telah tertulis dalam novel yang hadir dengan

392 halaman ini. “Sejak peristiwa kesenian itulah Bima sering sekali lupa membawa

gada. Diikuti oleh Arjuna yang kelupaan gendewa dan Sri Kresna yang kelupaan akal

bulusnya. Pertunjukan-pertunjukan wayang jadi bertambah singkat. Hanya

menunggu sampai penonton berdiri dan menyerang. Para penonton pun sudah

semakin tahu apa yang harus dilakukannya. Kadang-kadang belum apa-apa mereka

sudah berdiri lalu buru-buru menyerang, sebelum Ki Dalang sempat mengucapkan

sepatah kata pun.” (Wijaya, 2002 : 384)

Penggambaran tokoh yang unik menggunakan karakter nama-nama wayang

bagi beberapa kalangan muda tertentu memberi kesan yang susah untuk dipahami

karena bagi mereka masih terdapat bayangan wayang adalah merupakan figur

pertunjukan yang berupa permainan berbahan dasar kulit, sehingga susah untuk

menerobos cara berfikir mereka untuk membawa kisah tersebut dalam kehidupan

nyata. Dengan dihadirkannya tokoh seperti raksasa akan membutuhkan tingkat

imajinasi yang cukup tinggi dalam menggambarkannya dalam pikiran mereka.

“Petruk panggil-panggil supaya raksasa itu hidup kembali. Petruk membisikkan ke

telinganya yang penuh kutu busuk itu, supaya makhluk itu bangkit dan kembali ke

dalam rimba.” (Wijaya, 2002 : 361)

Page 3: Resensi novel perang

Buah karya pemikiran Putu Wijaya yang tertuang dalam novel yang diterbitkan

oleh Pustaka Utama Grafiti tersebut mengulas cerita kehidupan bangsa Amarta dan

Astina yang masih merupakan saudara dari keturunan Barata akan ditakdirkan oleh

para dewa untuk beradu dalam Perang Baratayuda yang akan dimenangkan oleh

bangsa yang dipimpin oleh Prabu Yudhistira atau bangsa Amarta. Kurangnya

komunikasi diantara kedua belah pihak mendatangkan dendam bagi satu sama lain.

Kejahatan yang ada di wilayah kekuasaan Kerajaan Amarta semakin meningkat,

membuat Bima turun tangan untuk pergi ke hutan bersama Semar membunuh para

raksasa. Saat Bima hampir membunuh semua raksasa, Semar mencegah dan

mengatakan musuh sebaiknya dipelihara sedikit supaya tidak terjadi perpecahan di

dalam Amarta dan ia pun menuntun Bima kembali ke Amarta. Semar memiliki anak

bernama Petruk, Gareng dan Bagong yang ia didik dalam perjalanan menuju kota

Amarta setiap akan menghadiri sidang. Di suatu sidang yang membahas mengenai

siapa sebenarnya musuh Amarta, ketiga anak Semar tidak mengikuti Bapaknya yang

turut serta dalam sidang tersebut. Petruk yang ingin mengetahui lebih lanjut

mengenai siapa musuhnya berusaha menyusup ke Astina dengan menyamar

sebagai pelayan dalam sidang Astina. Saat Petruk mendapat jawaban dan pendapat

yang berbeda dari bangsa Amarta mengenai pandangannya terhadap Astina, ia

bergegas kembali dan ingin memberitahukannya kepada saudara-saudaranya

mengenai pengalamannya. Sesaat setelah Petruk kembali dari Astina, Amarta

mengalami peristiwa gempa bumi. Seluruh bangunan di pedesaan yang ambruk

mengundang simpati ketiga anak Semar untuk meminta bantuan dari pihak

kerajaan dalam sidang yang tak dihadiri oleh Semar. Karena Petruk, Gareng dan

Bagong mengutarakan pendapatnya dengan menggunakan bahasa yang kasar,

pendapat mereka ditentang oleh banyak pihak. Pihak kerajaan lebih setuju untuk

melakukan perbaikan pada Istana Abimanyu. Mendengar Amarta terkena bencana

gempa, Astina berusaha menolong dengan mengerahkan tentaranya untuk

membantu perbaikan di daerah perbatasan Amarta-Astina Namun rakyat Amarta

yang belum mengerti tujuan datangnya para tentara Astina di daerah perbatasan

mengira bahwa mereka tentara Astina akan melakukan serangan. Di bawah

pimpinan Gatotkaca, Amarta menggempur daerah Astina dan menumpahkan

banyak korban. Mendengar kecerobohan Gatotkaca, Bima yang saat itu berada di

istana lantas menyusul anaknya dan memberikan hukuman atas tingkah laku

Gatotkaca. Penyesalan Prabu Yudistira membuat ia mengajukan permohonan maaf

Page 4: Resensi novel perang

ke Astina. Prabu Suyudana menanggapinya dengan mengadakan pesta bersama

tujuh hari tujuh malam di daerah perbatasan Astina-Amarta. Dalam pesta itu,

Amarta dan Astina mengadakan perjanjian perdamaian dan menentang takdir

dewa.