resensi novel perang
DESCRIPTION
Resensi Novel Perang.TRANSCRIPT
![Page 1: Resensi novel perang](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022071623/558b6550d8b42a63028b46ec/html5/thumbnails/1.jpg)
Identitas Novel
Judul : Perang
Pengarang : Putu Wijaya
Penerbit : PT Pustaka Utama Grafiti
Tahun terbit : 2002
Cetakan : ke-3
Harga : Rp 30.000,-
Ukuran : 19 cm X 13 cm
Tebal : 392 halaman
SKENARIO MANIFESTASI POLITIK
Oleh Conni Setyorini
Sebagai seorang sastrawan yang terkenal I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang lahir
di Puri Anom Tabanan, Tabanan, Bali pada 11 April 1944 memberikan aksi nyata
dalam penulisan cerpen, naskah drama, novel dan skenario film. Anak bungsu dari
lima bersaudara seayah maupun tiga bersaudara seibu ini, telah gemar menulis
semenjak menginjak bangku pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Kepiawaiannya dalam dunia sastra membuat pria berumur 69 tahun tersebut
mendapat apresiasi yang tinggi baik di tanah air tempat ia dilahirkan maupun luar
negeri.
Berkisah mengenai seputar perilaku manusia manakala berhadapan dengan
kekuasaan yang disertai berbagai paham dan ideologi yang melahirkan intrik yang
tak berkesudahan, Putu Wijaya mencurahkan temanya di dalam sebuah novel
berjudulkan Perang. Novel karya Putu Wijaya tersebut secara tak langsung
mengajak untuk mengubah sudut pandang kita selama ini terhadap moralitas dalam
kehidupan sehari-hari di dunia politik. Melalui dialog tokoh Semar ia
menggambarkan kritikan sosial yang dapat memberi amanat kepada kita seperti
“Saya kira musuh kita ini adalah diri sendiri. Buat saya pribadi musuh saya adalah
![Page 2: Resensi novel perang](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022071623/558b6550d8b42a63028b46ec/html5/thumbnails/2.jpg)
diri saya sendiri. Ya segala kejelekan-kejelekan saya, segala kebodohan saya, segala
kemalasan, korupsi yang saya lakukan, termasuk keinginan dan pendapat-pendapat
serta keyakinan maupun kesimpulan-kesimpulan saya yang akhirnya menjebak dan
menghancurkan saya sendiri karena saya tak pernah dapat mengendalikannya, yang
membuat saya jadi angkara, ingin mengalahkan orang lain yang tentunya juga
punya keyakinan, itulah semua musuh saya.” (Wijaya, 2002 : 33)
Dibalut dengan tata bahasa yang tidak terlalu kaku, membuat kumpulan kata
dalam percakapan berbagai tokoh dari novel Perang hidup seakan sesuai realita
yang ada. “Itu namanya semau gue, seenak kamu sendiri. Kalau kamu Cuma patah
hati di sini, mengapa kamu mesti membenci seluruh Amarta, termasuk saudara-
saudara dan Bapak kamu ini? Lihat baik-baik nanti sepuluh tahun lagi, aku benari
bertaruh potret perempuan raksasa itu akan membuat kamu muntah.” (Wijaya,
2002 : 55)
Cerita wayang kontemporer yang satir dan pahit dengan humor yang
menggigit menggairahkan diri pembaca untuk diajak terpingkal-pingkal ketika
membaca berbagai adegan lucu yang telah tertulis dalam novel yang hadir dengan
392 halaman ini. “Sejak peristiwa kesenian itulah Bima sering sekali lupa membawa
gada. Diikuti oleh Arjuna yang kelupaan gendewa dan Sri Kresna yang kelupaan akal
bulusnya. Pertunjukan-pertunjukan wayang jadi bertambah singkat. Hanya
menunggu sampai penonton berdiri dan menyerang. Para penonton pun sudah
semakin tahu apa yang harus dilakukannya. Kadang-kadang belum apa-apa mereka
sudah berdiri lalu buru-buru menyerang, sebelum Ki Dalang sempat mengucapkan
sepatah kata pun.” (Wijaya, 2002 : 384)
Penggambaran tokoh yang unik menggunakan karakter nama-nama wayang
bagi beberapa kalangan muda tertentu memberi kesan yang susah untuk dipahami
karena bagi mereka masih terdapat bayangan wayang adalah merupakan figur
pertunjukan yang berupa permainan berbahan dasar kulit, sehingga susah untuk
menerobos cara berfikir mereka untuk membawa kisah tersebut dalam kehidupan
nyata. Dengan dihadirkannya tokoh seperti raksasa akan membutuhkan tingkat
imajinasi yang cukup tinggi dalam menggambarkannya dalam pikiran mereka.
“Petruk panggil-panggil supaya raksasa itu hidup kembali. Petruk membisikkan ke
telinganya yang penuh kutu busuk itu, supaya makhluk itu bangkit dan kembali ke
dalam rimba.” (Wijaya, 2002 : 361)
![Page 3: Resensi novel perang](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022071623/558b6550d8b42a63028b46ec/html5/thumbnails/3.jpg)
Buah karya pemikiran Putu Wijaya yang tertuang dalam novel yang diterbitkan
oleh Pustaka Utama Grafiti tersebut mengulas cerita kehidupan bangsa Amarta dan
Astina yang masih merupakan saudara dari keturunan Barata akan ditakdirkan oleh
para dewa untuk beradu dalam Perang Baratayuda yang akan dimenangkan oleh
bangsa yang dipimpin oleh Prabu Yudhistira atau bangsa Amarta. Kurangnya
komunikasi diantara kedua belah pihak mendatangkan dendam bagi satu sama lain.
Kejahatan yang ada di wilayah kekuasaan Kerajaan Amarta semakin meningkat,
membuat Bima turun tangan untuk pergi ke hutan bersama Semar membunuh para
raksasa. Saat Bima hampir membunuh semua raksasa, Semar mencegah dan
mengatakan musuh sebaiknya dipelihara sedikit supaya tidak terjadi perpecahan di
dalam Amarta dan ia pun menuntun Bima kembali ke Amarta. Semar memiliki anak
bernama Petruk, Gareng dan Bagong yang ia didik dalam perjalanan menuju kota
Amarta setiap akan menghadiri sidang. Di suatu sidang yang membahas mengenai
siapa sebenarnya musuh Amarta, ketiga anak Semar tidak mengikuti Bapaknya yang
turut serta dalam sidang tersebut. Petruk yang ingin mengetahui lebih lanjut
mengenai siapa musuhnya berusaha menyusup ke Astina dengan menyamar
sebagai pelayan dalam sidang Astina. Saat Petruk mendapat jawaban dan pendapat
yang berbeda dari bangsa Amarta mengenai pandangannya terhadap Astina, ia
bergegas kembali dan ingin memberitahukannya kepada saudara-saudaranya
mengenai pengalamannya. Sesaat setelah Petruk kembali dari Astina, Amarta
mengalami peristiwa gempa bumi. Seluruh bangunan di pedesaan yang ambruk
mengundang simpati ketiga anak Semar untuk meminta bantuan dari pihak
kerajaan dalam sidang yang tak dihadiri oleh Semar. Karena Petruk, Gareng dan
Bagong mengutarakan pendapatnya dengan menggunakan bahasa yang kasar,
pendapat mereka ditentang oleh banyak pihak. Pihak kerajaan lebih setuju untuk
melakukan perbaikan pada Istana Abimanyu. Mendengar Amarta terkena bencana
gempa, Astina berusaha menolong dengan mengerahkan tentaranya untuk
membantu perbaikan di daerah perbatasan Amarta-Astina Namun rakyat Amarta
yang belum mengerti tujuan datangnya para tentara Astina di daerah perbatasan
mengira bahwa mereka tentara Astina akan melakukan serangan. Di bawah
pimpinan Gatotkaca, Amarta menggempur daerah Astina dan menumpahkan
banyak korban. Mendengar kecerobohan Gatotkaca, Bima yang saat itu berada di
istana lantas menyusul anaknya dan memberikan hukuman atas tingkah laku
Gatotkaca. Penyesalan Prabu Yudistira membuat ia mengajukan permohonan maaf
![Page 4: Resensi novel perang](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022071623/558b6550d8b42a63028b46ec/html5/thumbnails/4.jpg)
ke Astina. Prabu Suyudana menanggapinya dengan mengadakan pesta bersama
tujuh hari tujuh malam di daerah perbatasan Astina-Amarta. Dalam pesta itu,
Amarta dan Astina mengadakan perjanjian perdamaian dan menentang takdir
dewa.