resensi novel negeri 5 menara

10
RESENSI NILAI KEAGAMAN “NOVEL NEGERI 5 MENARA” Karya : Ahmad Fuadi A. Sinopsis Novel Negeri 5 Menara merupakan sebuah novel karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan oleh PT. Gramedia pada tahun 2009. Novel ini bercerita tentang kehidupan 6 santri dari 6 daerah yang berbeda menuntut ilmu di Pondok Madani (PM) Ponorogo Jawa Timur yang jauh dari rumah dan berhasil mewujudkan mimpi menggapai jendela dunia. Cerita ini berawal dari kehidupan seorang “Aku” yang bernama Alif Fikri Chaniago dari Maninjau. Seorang anak Minangkabau yang memiliki keinginan besar untuk melanjutkan sekolahnya di SMA Bukittinggi. Namun keinginan itu tak dapat Alif wujudkan karena amaknya tak menyetujui dengan alasan kehidupan di SMA tidak bisa menunjang pengetahuan Alif akan dunia Islam. Pada awalnya Alif tidak menerima keputusan amak yang tak sejalan dengannya. Namun pada suatu hari Alif menerima surat dari pamannya yang bekerja di Mesir bernama Etek Gindo. Beliau menyarankan Alif untuk melanjutkan sekolahnya di sebuah pondok pesantren di Jawa yang bernama Pondok Madani. Melalui pemikiran yang cukup lama, Alif-pun menyetujui saran dari Paman Etek Gindo, dan itu berarti Ia juga menyanggupi kemauan dari Amaknya untuk melanjutkan sekolah di sebuah Pondok Pesantren. Alif mengambil keputusan ini dikarenakan Ia tertarik akan kisah dari rekan pamannya di Mesir yang Nama : Retno Puji Lestari NIM : 14302241029

Upload: rethno-dbullan-marrett-fromnegsas

Post on 16-Sep-2015

21 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Resensi Novel Negeri 5 Menara

TRANSCRIPT

RESENSI NILAI KEAGAMAN

NOVEL NEGERI 5 MENARAKarya : Ahmad Fuadi

A. SinopsisNovel Negeri 5 Menara merupakan sebuah novel karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan oleh PT. Gramedia pada tahun 2009. Novel ini bercerita tentang kehidupan 6 santri dari 6 daerah yang berbeda menuntut ilmu di Pondok Madani (PM)PonorogoJawa Timuryang jauh dari rumah dan berhasil mewujudkan mimpi menggapai jendela dunia.

Cerita ini berawal dari kehidupan seorang Aku yang bernama Alif Fikri Chaniago dari Maninjau. Seorang anak Minangkabau yang memiliki keinginan besar untuk melanjutkan sekolahnya di SMA Bukittinggi. Namun keinginan itu tak dapat Alif wujudkan karena amaknya tak menyetujui dengan alasan kehidupan di SMA tidak bisa menunjang pengetahuan Alif akan dunia Islam. Pada awalnya Alif tidak menerima keputusan amak yang tak sejalan dengannya. Namun pada suatu hari Alif menerima surat dari pamannya yang bekerja di Mesir bernama Etek Gindo. Beliau menyarankan Alif untuk melanjutkan sekolahnya di sebuah pondok pesantren di Jawa yang bernama Pondok Madani. Melalui pemikiran yang cukup lama, Alif-pun menyetujui saran dari Paman Etek Gindo, dan itu berarti Ia juga menyanggupi kemauan dari Amaknya untuk melanjutkan sekolah di sebuah Pondok Pesantren. Alif mengambil keputusan ini dikarenakan Ia tertarik akan kisah dari rekan pamannya di Mesir yang juga lulusan Pondok Madani, dimana mereka begitu fasih akan bahasa arab, bahasa inggris dan memiliki masa depan yang baik.Akhirnya Alif-pun berangkat untuk mendaftar di Pondok Pesantren Madani bersama Ayahnya. Saat itu Alif sadar jikalau Ia masih dalam pikiran dan keputusan yang setengah-setengah. Dalam perjalanan menuju Pondok Madani, Alif berpikir Apakah Dia akan kuat dengan kehidupan pesantren yang katanya cukup berat? Seberapa lamakah Ia bisa bertahan? Kegalauan masih setia mengunjungi otak dan hatinya ketika itu. Sesampainya Di Pondok Madani. Alif mendaftarkan diri dan mengikuti serangkaian tes, hingga akhirnya Dia lolos seleksi dan diterima sebagai murid baru Pondok Madani. Selama perjalanan dan proses pengenalan awal Pondok Madani, Alif bertemu dengan 5 orang murid baru lainnya, yakni Said Jufri dari Surabaya, Raja Lubis dari Medan, Atang dari Bandung, Dulmajid dari Sumenep, dan Baso Salauddin dari Gowa. Melalui pertemuan yang tak diduga dari proses perjalan menuju Pondok Madani, seleksi , hingga akhirnya menjadi murid resmi Pondok Madani membuat mereka menjadi sahabat yang erat, dimana mereka saling memberikan semangat dan saling mengisi akan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Mereka semakin akrab dan memiliki kegemaran yang sama yaitu duduk dibawah menara pondok madani. Dari kegemaran yang sama mereka menyebut diri mereka sebagai Sahibul Menara. Sahibul Menara berarti pemilik menara, karena merekalah yang sering menempati tempat di bawah menara masjid tersebut. Mereka menyebut sebagai menara 1 adalah Said, lalu menara 2 adalah Raja, Menara 3 Alif, menara 4 Atang, menara 5 Dulmajid, dan menara 6 Baso. Di tempat ini pula mereka menatap awan dan mendiskusikan tentang masa depannya. Suatu saat mereka duduk di bawah menara sambil memandang awan di langit. Mereka mengkhayalkan awan-awan tersebut seperti peta dunia dan menggambarkan wilayah Eropa, Asia, Afrika, Amerika dan Indonesia sesuai dengan mimpi mereka masing-masing. Suatu saat mereka ingin mengunjungi negeri seperti khayalan mereka. Diantara mimpi tersebut ada hal yang mengharukan. Mimpi ini dari Baso. Dia merupakan anak yatim piatu dan paling miskin diantara Sahibul Menara dan dia belajar ke pondok dibiayai atas kemurahan hati tetangganya. Baso diasuh oleh neneknya. Baso orang paling pintar diantara mereka dan mempunyai hobi belajar. Tak ada yang mengalahkan frekuensi belajarnya. Dia hanya ingin menjadi hafiz Al-Quran untuk amal baik pada orang tuanya yang belum sempat dia lihat. Dia percaya, orang tua anak yang hafiz Al-Quran tempatnya di surga. Tetapi menjelang akhir masa belajarnya Baso harus mengundurkan diri dan bekerja sebagai guru di kampung halamannya dan menjaga neneknya yang sedang sakit. Tetapi cita-cita Baso tak putus. Di akhir cerita dia bisa menjadi hafiz Al-Quran dan mendapat beasiswa belajar di Mekkah.

Mimpi Sahibul Menara yang lain juga tercapai. Raja akhirnya bekerja di London, Atang kuliah di Universitas Al-Azhar, Mesir, Said dan Dulmajid bekerja sama memajukan pesantren di Surabaya. Dan si Alif bekerja di Wahington DC sebagai reporter seperti pilihan kegiatan sewaktu di PM, setelah menamatkan program doktornya di Amerika. Memang tidak rinci diceritakan bagaimana cara meraih mimpi mereka setelah tamat dari PM Madani. Kisah hanya lebih ditekankan pada suka duka santri di pondok dan bagaimana mereka belajar dan bekerja menyelesaikan tugas-tugas mereka. Bagaimana mengatasi jadwal yang ketat. Bagaimana bila wesel dari orang tua terlambat.

Yang menarik adalah bagaimana pondok memandang saat ujian. Ujian adalah pestanya pelajar maka harus dihormati. Diadakan acara khusus menyambut ujian dan aturan disesuaikan dengan jadwal belajar. Mereka belajar siang malam bergantian. Mereka membaca buku sambil berjalan, sambil bersepeda, sambil antre mandi, sambil antri makan, sambil makan atau sambil mengantuk. Benar-benar suasana yang magis dengan nuansa belajar yang kental. Belajar bagi mereka 24 jam. Ada juga tradisisairul lail, begadang sampai jauh malam untuk belajar dan membaca buku. Siapa yang ingin mendapat kemuliaan maka belajarlah sampai jauh malam.

Beberapa mutiara yang dapat dipetik. Para santri harus menghormati gurunya yang mempunyai jiwa iklas mengabdi di pondok tanpa dibayar. Santri juga harus mempunyai jiwa iklas bila ingin belajar di pondok. Bila santri dan guru sama-sama iklah berbuat, insya Allah ilmu akan lancar mengalir.

Ada banyak pesan yang menggelinding di berbagai percakapan. Diantaranya. Bacalah Al-Quran dan hadits dengan mata hati kalian. Resapi dan lihatlah mereka secara menyeluruh, saling berkait menjadi pelita bagi kehidupan kita. Allah itu dekat dan Maha Mendengar. Bahkan lebih dekat dari urat leher. Bila punya mimpi berdoalah dan berusaha. Pada akhir belajarnya, para santri mendapat wejangan. Jadilah rahmat bagi alam semesta. Carilah jalan ilmu dan jalan amal ke setiap sudut dunia. Ingat nasihat Imam Syafii: Orang yang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Hidup sekali, hiduplah yang berarti.

Novel ini bukan sekedar cerita. Tetapi ada banyak makna tentang kepatuhan anak pada orang tua, cita-cita, kerja keras, belajar, bergaul, bersahabat, bersikap dan keisengan anak muda usia SMA. Tetapi penulis bersikap proporsional dengan mengedepankan cita-citanya. Ada mantra yang sangat dipercayainya,Man Jadda wajada siapa yang sungguh-sungguh bekerja akan berhasil.

B. Penokohan Alif Fikri

Merupakan tokoh utama dalam novel. Ia berkarakter baik hati, pintar dan sedikit keras kepala. Sikap keras kepalanya terbukti ketika ia menolak keras permintaan ibunya untuk menuntut ilmu di Pondok Pesantren Madani. Impian menuntut ilmu di almamater berlambang Ganesha (ITB) pun terkadang membuat Alif iri pada Randai. Namun sedikit demi sedikit Alif mulai menyadari bahwa pilihan Amak adalah anugarh besar bagi dirinya.

Randai

Sahabat dekat sekaligus rival bagi Alif Fikri. Kendati bersahabat, keduanya sama-sama bersaing untuk menduduki ranking tertinggi dalam kelas. Dalam novel ini, tokoh Randai diceritakan sebagai pelajar pintar, baik hati namun sombong. Ia sering memamerkan keberhasilannya di bangku sekolah pada Alif, termasuk ketika SMA. Sahibul menara

Merupakan teman dekat Alif semas adi PM. Mereka adalah Raja, Said, Dulmajid, Baso, dan Atang. Kelima orang itu diceritakan berwatak protagonis, dari merekalah Alif belajar mehargai perbedaan dan sedikit demi sedikit angannya melanjutkan pendidikan di SMA terobati. Amak

Amak adalah ibu dari tokoh Alif Fikri, seorang guru MI yang berhati lurus, idealis dan memiliki kemauan tinggi untuk memajukan putranya. Idealismenya tidak pandang bulu dan bisa mengenai siapa saja termasuk putra sendiri. Pernah suatu kali ia melukiskan angka merah di raport Alif lantaran putranya itu tidak mau memainkan alat musik ketika praktik kesenian. Amak juga sempat dijauhi para guru saat ia dengan tegas menolak memberikan bantuan jawaban pada siswa-siswi yang tengah menjalani Ujian Nasional. Ayah

Dikisahkan sebagai orang sabar, pendiam tetapi juga sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Ustadz Salman

Tokoh ini adalah wali kelas Alif semasa di PM, seorang lelaki mda bertubuh kurus dan bersuara lantang. Dari mulut beliaulah Alif mendengar petuah yang menginspirasi serta menguatkan tekad menuntaskan belajar di PM. Kyai Rais

Pemimpin PM yang dihormati banyak kalangan, tak terkecuali Alif. Beliau memberi kalimat yang terpatri kuat di hati para santrinya, yakni Man Jadda Wa Jadda dan Man Shabara Zafira. Sarah

Tokoh ini tidak terlalu ditonjolkan dalam novel. Ia adalah putri salah seorang pendidik di PM, satu-satunya perempuan yang pernah masuk ke lingkungan pesantren sehingga Sahibul Menara menjulukinya sebagai princess PM. Sahibul Menara juga sempat bertaruh barang siapa saja yang bisa mendekati Sarah, maka Raja akan mentraktirnya makan makrunah (makanan paling popular di PM) di kantin selama sebulan penuh. Alif yang kebetulan seorang pengurus majalah kampus bersedia menerima tawaran tersebut, dengan mengangkat profil keluarga Sarah, Alifpun sukses memenangkan taruhan karena sanggup menunjukkan bukti fotonya bersama Sarah.

C. AmanatBanyak pelajaran yang dapat diambil dari novel karya Ahmad Fuadi ini. Salah satunya adalah banyak jalan untuk meraih cita-cita, meski menggunakan jalur berbeda dari keinginan namun kita pasti bisa menggapainya dengan satu syarat: tidak pernah menyerah.

D. Nilai Nilai dalam Novel1.Nilai AgamaNovel ini menceritakan tentang kehidupan sekitar pesantren sehingga banyak mengajarkan nilai agama yang tidak terdapat pada novel-novel lain. Salah satu bukti itu adalah kalimat Man Jadda Wa Jadda, yang berarti siapapun dapat meraih cita-citanya asal ia bersungguh-sungguh.

2. Nilai Moral

Kebersamaan Sahibul Menara dalam menghadapi kerasnya pendididkan di pesantren mengajarkan bahwa sebagai penuntut ilmu, kita harus sabar dan tidka pantang menyerah menuntaskan apa yang telah dimulai.

E. Pesan

Banyak pesan yang terdapat di dalam novel Negeri 5 Menara. Diantaranya adalah :

1. Jangan pernah takut untuk memiliki cita-cita yang setinggi-tingginya.2. Yakinlah bahwa segala keinginan yang disertai doa dan ikhtiar yang keras pasti akan dikabulkan oleh Allah swt.3. Patuhlah kepada nasehat orangtua, niscaya kamu akan berhasil.4. Jangan menyesali keinginan yang belum kita dapatkan, karena Allah akan menggantinya dengan hal yang lebih baik. 5. Tempat belajar memang penting tapi yang lebih penting adalah kesungguhan hati kita.6. Hidup itu tentang niat, usaha, ikhlas dan tawakal. Jadi segala hal yang kita lakukan harus kita sandarkan kepada Allah.7. Lakukan sesuatu hal berdasarkan bakat dan minat.8. Orang besar bukan orang yang memiliki banyak harta, melainkan orang yang bisa membagi ilmu pengetahuan dan pengalamannya kepada orang lain untuk diikuti. Nama : Retno Puji Lestari

NIM : 14302241029

Kelas : Pendidikan