representasi peran, maria advenita gita elmada, fikom umn ...kc.umn.ac.id/223/8/lampiran.pdfv :...

9
Team project ©2017 Dony Pratidana S. Hum | Bima Agus Setyawan S. IIP Hak cipta dan penggunaan kembali: Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli. Copyright and reuse: This license lets you remix, tweak, and build upon work non-commercially, as long as you credit the origin creator and license it on your new creations under the identical terms.

Upload: phunganh

Post on 07-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Representasi Peran, Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN ...kc.umn.ac.id/223/8/LAMPIRAN.pdfV : Bagaimana kalo mbak melihat majalah Kartini, sampe sekarang ia masih menggunakan ‘Majalah

Team project ©2017 Dony Pratidana S. Hum | Bima Agus Setyawan S. IIP 

 

 

 

 

 

Hak cipta dan penggunaan kembali:

Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli.

Copyright and reuse:

This license lets you remix, tweak, and build upon work non-commercially, as long as you credit the origin creator and license it on your new creations under the identical terms.

Page 2: Representasi Peran, Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN ...kc.umn.ac.id/223/8/LAMPIRAN.pdfV : Bagaimana kalo mbak melihat majalah Kartini, sampe sekarang ia masih menggunakan ‘Majalah

Representasi Peran..., Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN, 2015

Page 3: Representasi Peran, Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN ...kc.umn.ac.id/223/8/LAMPIRAN.pdfV : Bagaimana kalo mbak melihat majalah Kartini, sampe sekarang ia masih menggunakan ‘Majalah

LAMPIRAN

Transkrip Wawancara dengan Maria Hartiningsih, Wartawan Senior Harian Kompas dan

Pemerhati Masalah Perempuan, Penerima Penghargaan Yap Thiam Hien 2003

MH : Kalo bahasa Jawanya itu wanito itu kan wani ditoto, jadi dia harus diitu, di- apa

namanya, ditata, semuanya diatur. Perempuan itu punya kesan liar, padahal sebenarnya

artinya itu kan empu ya kalo kita liat per-empu-an kan empu sebenarnya. Kata dasarnya

itu adalah empu, maka sebenarnya perempuan itu adalah istilah yang mulia untuk

kategori… kan kalo ada dua kategori kalo kita melihat, hanya ada dua kategori, walaupun

sebenarnya aku gak mau pake, kategori tuh macem-macem, bias panjang itu gak Cuma

perempuan. Sebenarnya empu itu memiliki pengertian yang lebih mulia buat makhluk

yang secara biologis dia bias melahirkan dan menstruasi.

V : Apakah sebenernya, kan wanita, aku aja yang wanita, eh perempuan, baru tau

kalo wanita itu seperti itu

MH : Karena kamu ideologinya dikonstruksi sama orde baru, kamu kan lahir pada

masa orde baru kan? Jadi gak tau apa yang salah kalau kita pakai wanita gitu. Gak ada

salahnya juga sih, tapi secara ideologi saya pake perempuan. Itu sih sikap aja, sikap dan

prinsip. Saya hanya mau pake kata perempuan, saya gak mau pake kata wanita.

V : Bagaimana kalo mbak melihat majalah Kartini, sampe sekarang ia masih

menggunakan ‘Majalah Wanita Kartini’

MH : Ya gak apa-apa, biar aja itu kan memang dia produk pada zaman itu, ya biar aja.

V : Tapi kan dia masih bertahan sampai sekarang?

MH : Ya gak apa-apa, memang sekarang banyak orang yang masih, yang di kepalanya

masih sangat orbais, orde baru, dan tidak mau, dan tetep menganggap bahwa yang baik

itu adalah wanita, yang semuanya bias ditata, yang seoang ibu yang membesarkan…

sangat ini buat anak-anak, istri yang sangat tunduk pada suami, yang sangat patuh pada

suami, ibu yang sangat itu. Saya tidak mengatakan bahwa kerja ibu itu… kerja domestik

itu lebih rendah dibanding kerja publik. Saya tidak mau mengatakan itu, tetapi juga harus

disadari bahwa kerja domestik itu bukan hanya kerja perempuan loh, seperti halnya kerja

publik bukan hanya kerja laki-laki. Jadi harusnya disandang bersama-sama, disambung

bersama-sama laki dan perempuan, jangan kerja domestik. Jadi anak itu adalah tanggung

jawa suami-istri, seluruh kebutuhan rumah tangga itu adalah… seluruh yang terjadi dalam

rumah tangga itu adalah tanggung jawa suami-istri; bukan hanya istri saja. Artinya sama

aja, kerja publik juga bukan hanya tanggung jawab laki-laki, tapi perempuan ketika dia

masuk peran kerja maka dia juga bertanggung jawab pada pekerjaan di luar rumah juga.

V : Berarti kalo gitu peran ganda sebenernya akan selalu ada?

MH : Jangan pake kata peran ganda lah ya, itu adalah sangat orde baru. Jadi peran

ganda itu dituntutkan kepada istri, kepada perempuan, supaya dia bisa kerja domestik dan

bisa kerja publik, itu peran ganda. Lalu laki-laki apa? Cuma peran publik aja? Dia sama

sekali gak mau kerja domestik. Padahal itu kan semuanya ditanggung bersama, artinya

adanya rumah tangga itu kan satu kesepakatan, kan gak mungkin cuma perempuan aja

yang mau kawin, pasti dua-duanya mau. Terpaksa atau idak, pokoknya dua-duanya mau.

Representasi Peran..., Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN, 2015

Page 4: Representasi Peran, Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN ...kc.umn.ac.id/223/8/LAMPIRAN.pdfV : Bagaimana kalo mbak melihat majalah Kartini, sampe sekarang ia masih menggunakan ‘Majalah

V : Terus ini mbak, jadi kan aku ngeliat konteksnya itu dari tahun 80, 90, berarti

dari zaman orde baru dan ada zaman reformasi. Nah sebenernya bagaimana sih

perempuan itu di… kan ada soal GBHN saat itu yang membakukan peran gender dan

segala macem. Sebenernya gimana sih mbak gambaran perempuan dari pemerintah saat

itu? Atau dari budaya

MH : Kan sudah ada, itu perempuan dari GBHN kan kita tau bahwa perempuan ini

tugasnya adalah istri yang mendukung suami, sebagai ibu yang ituin anak-anak, sebagai

rumah tangga; kayak begitu kan, jadi perempuan itu adalah tiang rumah tangga, kalau

tanpa perempuan… in a sense saya bisa setuju, tapi di satu sisi yang lain, saya juga

bingung, kok tiangnya cuma satu rumah tangga, bukannya itu diitukan berdua? Suami-

istri kan. Masa seluruhnya kalo terjadi sesuatu, kalo anak-anak begina-begini-begitu itu

adalah tanggung jawab istri karena istri yang ada di rumah? Gak gitu juga dong kali

pikirannya. Jadi ini, maka dengan demikian maka dibilang, karena perempuan ditaro di

sektor domestik, di rumah, maka ketika dia kerja di sektor publik dibilangnya itu peran

ganda. Kenapa? Karena selama ini peran laki-laki tidak pernah diasumsikan bahwa dia

juga harus kerja di sektor domestik: dia ikut masuk ke dapur, ikut bersih-bersih, dia ikut

itu; gak pernah diasumsikan begitu, selalu diasumsikan perempuan yang mengerjakan itu.

Jadi kalo dia kerja di luar, dia harus menyelesaikan seluruh kerja di rumah juga, gak fair

banget dong.

V : Itu bagian dari budaya patriark…

MH : Patriarkal, itu garis patriarki, iya. Tapi sebenrnya arti patriarki itu adalah

dominasi. Jadi, bisa jadi patriarki itu gak bisa dikaitkan hanya dengan laki-laki. Tapi

artinya pihak yang paling kuat mendominasi yang lebih lemah, itu adalah patriarki, sifat-

sifat patriarki itu kayak gitu, mendominasi. Jadi gak selalu laki-laki. Tapi selalu dikaitkan

sama laki-laki karena selama ini yang melakukan itu adalah laki-laki.

V : Kalo konteks budaya Indonesia apakah memang selalu laki-laki itu menjadi

yang dominan kah?

MH : Iya, kan kalu dilihat seperti itu. Sebagian besar, tentu ada kasus-kasus yang laki-

laki takut sama istrinya, tapi di sebagian kasus besar itu tidak, itu hanya kasus. Jadi secara

umum laki-laki itu sebagai pihak yang kalo dalam keluarga itu dia pengambil keputusan,

dia adalah orang yang imam keluarga, nah itu salah satu, itu juga sangat ini ya… sangat

patriarki.

V : Jadi faktor agama yang kuat juga pengaruh?

MH : Iya, faktor agama. Agama tuh kan memang kita lihat agama katholik juga

dibilangnya kalo pemimpin-pemimpin agama tuh pater ya? Jadi ya seperti itu,

mendominasi, menguasai, menundukkan, gitu sifat-sifat patriarki.

V : Jadi kalo misalnya ada anggapan kalo patriarki itu selalu…

MH : Laki-laki? Nggak juga. Kalo perempuan, kalo saya menganggap, saya

memperlakukan asisten rumah tangga saya seperti binatang misalnya, ato saya tidak

menghormati hak-hak dia sebagai pekerja, saya patriark. Jadi ada patriark pake rok juga

ada. Kalo saya kepala desk tapi bersikap sewenang-wenang terhadap anggota desk saya,

Representasi Peran..., Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN, 2015

Page 5: Representasi Peran, Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN ...kc.umn.ac.id/223/8/LAMPIRAN.pdfV : Bagaimana kalo mbak melihat majalah Kartini, sampe sekarang ia masih menggunakan ‘Majalah

saya suka marah yang tanpa alasan, dan saya selalu menganggap bahwa saya yang paling

tahu, saya memperlakukan rekan-rekan sekerja di bawah saya sebagi buruh misalnya,

sebagai orang yang lebih rendah dari saya, bukan sebagai rekan, saya adalah patriark.

V : Mbak kalo misalnya, sebenernya kalo misalnya saya ngomongin media di

Indonesia secara keseluruhan, apakah media di Indonesia tuh udah sadar gender, udah

sadar untuk memposisikan, atau mungkin kah ada kesetaraan antara laki-laki dan

perempuan?

MH : Maksudnya apa? Maksdunya medianya, isinya, atau struktur di dalam

keredaksian?

V : Dua-duanya, jadi apakah isinya sudah bisa me…

MH : Kalo menulis tidak sadar itu lah bagaimana dia bisa menulis? Pasti kalo mereka

menulis perempuan ya satu sisi bisa menjadi pemujaan yang berlebihan, yang sebenarnya

malah melemahkan perempuan, memberikan rasa belas kasihan yang luar biasa, maka ya

itu menganggap perempuan hebat, juga bukan itu sebenarnya. Jadi kalo gender itu ya

menempatkan manusia sebagai perempuan aja. Jadi memang itu dari diksi, dari cara

bertutur, dari sistematika penulisan itu semua menunjukkan itu.

V : Jadi sebenernya sesimpel menempatkan manusia, tidak membedakan:

perempuan itu gak beda dengan laki-laki?

MH : Iya, tapi tidak membedakan, secara biologis beda ya, tapi dalam apa ya, status

social… tapi bukan status social, apa namanya, relasi kuasa itu setara. Dan itu tidak

simple, karena tidak banyak orang paham. Artinya bahkan kalo misalnya saya punya

kedudukan sedikit aja, saya kan punya kesempatan untuk melakukan, apa ya… bisa

abusive dengan kekuasaan saya. Nah sikap abusive itu power-relation yang menempatkan

saya di atas mereka itu yang membuat saya adalah patriark, sifat-sifat patriarkis itu ada

pada saya dengan mendominasi orang lain.

V : Jadi saya di majalah yang saya teliti itu ada judulya ‘Mereka ABRI tetapi

Mereka Wanita’, nah kalo itu tidak menempatkan…

MH : Nggak, itu sama sekali tidak gender sensitif dan kemudian kita juga tahu bahwa

struktur angkatan bersenjata itu sangat gender-bias, karena diasumsikan itu adalah

semuanya punya laki-laki, itu adalah wilayah laki-laki. Tadi judulnya apa?

V : Jadi aku sengaja pilih itu karena menarik dan karena sekilas orang bacanya, wah

ini mengangkat perempuan…

MH : Sebenarnya nggak, kalo itu kan sebenarnya…

V : Judulnya ‘Mereka ABRI, tetapi Mereka tetap Wanita’, gimana pandangan…

apakah dia menempatkan…

MH : Itu judulnya aja ‘tetapi’ seakan-akan kalo ABRI itu gak boleh ada perempuan

kan? ‘Mereka ABRI dan Mereka Perempuan’ harusnya begitu. Artinya angkatan

bersenjata itu juga terbuka buat perempuan.

Representasi Peran..., Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN, 2015

Page 6: Representasi Peran, Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN ...kc.umn.ac.id/223/8/LAMPIRAN.pdfV : Bagaimana kalo mbak melihat majalah Kartini, sampe sekarang ia masih menggunakan ‘Majalah

V : Karena kan, selama ini kan orang melihat majalah, karena dia judulnya Majalah

Wanita Kartini, berarti pasti dia mengangkat, menyetarakan perempuan

MH : Dia tapi gak sadar bahwa itu gak betul, karena mereka tidak punya pemahaman

tentang gender-bias, tentang gender, mereka tidak punya. Coba tanya deh sama

redaksinya. Harusnya Vita tuh nanya sama mereka, bukan nanya sama aku. Tapi mungkin

aku bisa ngasih tau ya bahwa mereka akan tahu bahwa mereka tidak paham itu.

V : Aku memang harusnya level setelah teks memang aku harusnya kesana, tapi

karena mereka masih sulit dikejar, jadi aku ke Mbak Maria dulu untuk nanyain konteks

besarnya. Jadi kayak misalkan, sekarang nih kan, let’s say zamannya udah bukan zaman

orde baru, udah zaman reformasi. Tapi apakah, kalo Mbak Maria melihat, apakah media

itu masih menggunakan paham yang dulu?

MH : Nggak, ada perubahan terutama sesudah peristiwa Mei, perkosaan, kemudian

orang mulai lahirnya KOMNAS Perempuan, orang mulai dihidupkan segala macem,

mulai ada pelatihan, mulai ada kesadaran secara internasional ini menjadi isu besar. Itu

ada kesadaran sedikit tapi tidak terlalu berarti, jadi tetep aja mereka masih menggunakan

itu-itu yang lama, paham yang lama tentang perempuan, jadi tetep aja kemaren ketika ada

perda-perda diskriminatif yang ngituin perempuan, bagaimana perempuan gak boleh

keluar malem, bagaimana perempuan berpakaian, sekarang kan ada itu atas nama agama

ya, itu sebenarnya menunjukkan bahwa tidak ada kesadaran tentang gender. Bahwa

artinya gini, tidak ada kesadaran bahwa perempuan itu punya hak katas tubuhnya,

sekarang yang dipakai untuk menundukkan perempuan ya tubuhnya, tubuh mereka yang

dikontrol, dengan berpakaiannya, mereka gak boleh keluar malem, kalo keluar malem

(padahal mereka bekerja) lalu dituduh aja sebagai pekerja seks, misalnya begitu, padahal

mungkin mereka buruh. Kalaupun mereka pekerja seks, kenapa emangnya? Emangnya

kalian mau kasih makan? Wong kalian gak kasih makan, pemerintah gak pernah…

pemerintah tidak menjalankan kewajibannya untuk memberikan kecukupan pada

keluarga yang berpenghasilan rendah. Siapa yang mau jadi perempuan kayak gitu? Kan

gak ada. Jadi dilihatnya ke belakang gitu, ontology dari persoalan-persoalan itu.

V : Tapi kalo misalnya dari media itu sendiri itu turning point-nya, apa, kesadaran

akan kesetaraaan perempuan ini turning point-nya memang ada di Mei ’98 ya?

MH : Itu turning point, iya. Tapi sebenarnya sebelum itu juga sudah mulai, jadi

angka-angka aktivis, beberapa wartawan yang separuh aktivis itu mereka juga mulai tau

bahwa ada yang gak bener nih. Jadi misalnya kayak buruh migran, perempuan gitu ya,

kemudian kan sekarang kan discourse-nya mereka tidk boleh pergi keluar negeri, karena

mereka rentan dilanggar haknya, mereka rentan dibunuh, kayak gitu ya. Persoalannya

adalah bukan melarang mereka, kalau melarang mereka berarti kita melarang mereka

untuk mendapatkan hak hiduo dong? Orang di sini gak punya apa-apa, emangnya

pemerintah memenuhi kewajibannya untuk memberikan lapangan kerja supaya orang-

orang itu bisa hidup dengan layak? Kan gak bisa. Siapa yang mau pergi keluar kalo bukan

karena desakan ekonomi? Tapi cara berpikirnya, karena banyak yang begini, yaudah.

Gak usah aja,padahal meraka terima itu uang rimitancenya.jadi walau pun itu persoalan

kesetaraan itu bukan hanya karna kita gak bisa mengatakan perseoalan itu hanya karna

implikasinya luas sekali itu,isu ketika kita melihat realisasi yang timpang disitu

persoaalaan gender muncul dan itu akibatnya panjang sekali,ini bukan persoalan hanya

Representasi Peran..., Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN, 2015

Page 7: Representasi Peran, Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN ...kc.umn.ac.id/223/8/LAMPIRAN.pdfV : Bagaimana kalo mbak melihat majalah Kartini, sampe sekarang ia masih menggunakan ‘Majalah

ini persoalaan inti dari banyak sekali kebijakan kita yang sama sekali tidak sensitif

gender

V : gimanasih gambaran media yang sensitif gender itu seharusnya seperti apa intinya?

Mm: ini media sensitif gender tau gimana memberitakan persoaalan perempuan semua

hal yang menyangkut hidup,jadi kalo misalnya kita ngomongi soal ekonomi kenaikan

bahan pangan gitu,kita akan langsung melihat bagaimana ibu-ibu dari yang keluarga

miskin atau bagaimana mereka bisa menyiasati semua ini meraka akan tau bahwa dalam

seluruh persoalan perempuan ada dan dia kadang-kadang orang-orang yang harus

menanggung semua itu tapi gak keliatan kalo ada kenaikan apa lalu tiba-tiba orang

ngomongnya jatuhnya ke DPR keamana,kehidupan sehari-hari orang itu gak ngeliat

padahal perempuan menanggung banyak sekali,kemiskinan itu wajahnya

perempuan,bagaimaan melihat berwajahnya perempuan dia kan dari desa-desa miskin

siapa yang tinggal yang tinggal itu perempuan disitu karna laki-laki semua pergi mencari

kerjaan tapi gak pernah balik lagi,yang tinggal perempuan anak-anak dan orang tua

perempuan lah yang memnuhi kebutuhan keluarga,maka kita melihat bahwa kemiskinan

itu berwajah perempuan,jadi kalo mau ada program-program kemiskinan seharusnya

perempuan itu adalah target utama dari upaya penghabisan kemiskinan.jadi caranya

harusnya dikasihnya sama mereka jadi targetnya mereka seharusnya klo ada kesadaran.

V: tapi apakah media punya kesadaran tapi media itukan netral?

Mh: tapi itu kan tergantung dari manusianya,manusia ini macam-macam saya mungkin

lumayan sadar gender tapi temen saya belum tentu kan saya gak bisa mecat bagaiman

mereka bekerja,dan saya tidak punya hak untuk membetul-betukan karnakan memang ada

batasan-batasan yang bagaiman redaksi bekerja kan semua ada batasan-batasan,saya

boleh marah tapi mereka ya tetap begitu jadi tergantung siapa yang menulis.

V: Kalau dari sisi redaksional, jajaran redaksinya, kalau media di Indonesia itu sudahkah

setara atau?

MH: Enggak. Ini tetap adalah male-dominated-route. Jadi rute yang didominasi sama

laki-laki. Jadi kalaupun ada perempuan, dia menjadi pemimpin, dia di tempat-tempat

yang strategis didalam pengambilan keputusan redaksional, dia tidak bisa, dia akan

digulung oleh seluruh sistem keredaksian yang sifatnya tuh maskulin. Jadi jangan

berharap kalau misalnya, apalagi kalau dia ga punya kesadaran gender. Dia punya

kesadaran gender aja bisa tergulung, karena dia ga bisa melawan arus itu gitu lho. Bukan

dia ga mau, dia ga bisa. Karena ini arusnya kuat sekali. Arus kesadaran gender itu ya

seharusnya, termasuk misalnya, implikasinya menjadi sangat luas, termasuk misalnya

bagaimana perusahaan dijalankan itu misalnya dengan memperhatikan, artinya gini,

jangan terlalu kapitalistik lah. Kapitalistik itu terus mengejar keuntungan dan

meninggalkan yang namanya kesejahteraan pegawai. Nah ini, kesejahteraan ini termasuk

sebenarnya bagian dari kesetaraan itu. Jadi ini bukan soal laki-perempuan, tapi soal

kesetaraan yang kuat dan yang lemah, memang sih basisnya adalah gender tadi. Tapi

sebenernya secara lebih luas relasi kuasa dalam pengertian lebih luas lebih luas termasuk

di dalam perusahaan,jadi mau gak sih perusahaan menahan langkahnya mengurangi

keuntungannya,bukan mengurangi tapi keuntunganya itu di bagi dengan lebih setara lah

kepada pegawainya,itu bagian dari prinsip kesetaraan tapi mana ada perusahaan kan gak

Representasi Peran..., Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN, 2015

Page 8: Representasi Peran, Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN ...kc.umn.ac.id/223/8/LAMPIRAN.pdfV : Bagaimana kalo mbak melihat majalah Kartini, sampe sekarang ia masih menggunakan ‘Majalah

begitu.kapitalistik itu sangat maskulin semua yang kapitalistik terus kekuasaan

seluruhnya itu sifatnya maskulin dominan lah kira-kira begitu.

V: trus kalo misalnya sekarang nih masih ada gak sih mba kebijakan yang sangat

misalnya terlihat kalo dulu misalnya dharma wanita PKK GBHN itu jelas banget

membatasi wanita hanya di peran domestiknya saja kalo yang sekarang gmn

MH: Sekarang kayaknya gak ada lagi yah,gak ada lagi tetapi masyarakatnya dah

terlanjur itu …. Itu ….dari 30 tahun itu untuk andalan itu susah sekali untuk keluar dari

itu kan susah sekali,untuk keluar 30 tahun kan itu ideoliginya udah masuk udara jadi

memang gak teralu mudah

V: jadi sebenernya ini sisa yang dari duku

Mh: sisa memang kemudian di perkuat juga sekarang secara agama

V: kalo dulu gak?

Mh: kalo dulu negara,negara yang sangat kuat.Sekarang ada agama yang kayak kira-kira

begitu lah terutama agama mayoritasnya

V: cuman ganti wajahnya aja tapi

Mh: tapi tetep kayak begitu.Kan kita kalo Liat sinetron kan kayak gitu klo perempuan itu

harus begini,sama suami ini harus begini dia harus pake jilbab kayak begitukan semua itu

kan penutupan

V: trus kalo misalnya dari tampilan wanita,gimana komentarnya mba tentang misalnya

kalo dulu itu tahun 80an 90an paling wanita hanya di gambarkan di poto setengah badan

pakaian tertutup dengan hiasan wajah yang sangat natural,kalo sekarangkan udah bajunya

terbuka segala macem apakah itu tanda

Mh: apa ada yang salah.aku mau nanya aja ada yang salah gak,jamannya emang kayak

begitu

V: Dan itu gak jadi indikator apa-apa,apakah terbuka apa melebihi terbuka

Mh: engak lah.sekarang juga banyak kok yang tertutup inikan asumsi kita kan memakai

asumsi kita banyak kok yang pake bajunya tertutup Cuma karna yang diliat sebagian

terbuka lalu kita ngeliatnya semua terbuka dan yang tertutup banyak kok gak pake asumsi

juga.

Representasi Peran..., Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN, 2015

Page 9: Representasi Peran, Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN ...kc.umn.ac.id/223/8/LAMPIRAN.pdfV : Bagaimana kalo mbak melihat majalah Kartini, sampe sekarang ia masih menggunakan ‘Majalah

Daftar Riwayat Hidup

Data Pribadi Nama : Maria Advenita Gita Elmada

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 9 Desember 1992

Jenis Kelamin : Perempuan

Telepon : 089635659054

E-mail : [email protected]

Riwayat Pendidikan 2002-2005 SD Tarakanita 3 Jakarta

2005-2008 SMP Tarakanita 3 Jakarta

2008-2011 SMA Santa Ursula Jakarta

2011-2015 Universitas Multimedia Nusantara, Program Studi Ilmu

Komunikasi, Konsentrasi Multimedia Journalism

Pengalaman

2008 Program Pertukaran Pelajar SMA Santa Ursula Jakarta dan Mater

Dei Senior High School, Bangkok, Thailand.

2010 Pädagogischer Austauschdienst (Program Pertukaran Pelajar) di

beberapa kota di Jerman yakni Bonn, Mönchengladbach, Munich,

dan Berlin.

2010 Juara 3 Internationale Deutsch Olympiade (Olimpiade Bahasa

Jerman Internasional) di Hamburg, Jerman.

2011-2014 Anggota, Asisten Pelatih, dan Dirigen Paduan Suara Ultima Sonora

2012-2014 Reporter dan Editor di Majalah Ultimagz.

2012 Duta Muda Transmania (Komunitas Trans TV)

2013 Program Sukarelawan AIESEC di Sun Yat Sen University,

Guangzhou, China.

2013-2014 Ketua Specialized Unit AIESEC Universitas Multimedia Nusantara

2014 Reporter Magang Desk Metropolitan di Harian Kompas

Kemampuan

- Berbahasa ibu Bahasa Indonesia serta mampu berbicara, menulis, dan

membaca dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman dengan baik.

- Mampu mengoperasikan Ms. Office, Adobe Photoshop, Adobe

Illustration, Adobe Premiere, dan Final Cut Pro.

- Mengerti teknik menulis dalam bidang jurnalistik, serta fotografi dan

videografi.

- Mudah beradaptasi, berpikir kritis, bekerja dengan baik secara individu

maupun kelompok, bekerja dengan baik di bawah tekanan, dan mampu

bekerja tepat waktu.

Representasi Peran..., Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN, 2015