Team project ©2017 Dony Pratidana S. Hum | Bima Agus Setyawan S. IIP
Hak cipta dan penggunaan kembali:
Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli.
Copyright and reuse:
This license lets you remix, tweak, and build upon work non-commercially, as long as you credit the origin creator and license it on your new creations under the identical terms.
Representasi Peran..., Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN, 2015
LAMPIRAN
Transkrip Wawancara dengan Maria Hartiningsih, Wartawan Senior Harian Kompas dan
Pemerhati Masalah Perempuan, Penerima Penghargaan Yap Thiam Hien 2003
MH : Kalo bahasa Jawanya itu wanito itu kan wani ditoto, jadi dia harus diitu, di- apa
namanya, ditata, semuanya diatur. Perempuan itu punya kesan liar, padahal sebenarnya
artinya itu kan empu ya kalo kita liat per-empu-an kan empu sebenarnya. Kata dasarnya
itu adalah empu, maka sebenarnya perempuan itu adalah istilah yang mulia untuk
kategori… kan kalo ada dua kategori kalo kita melihat, hanya ada dua kategori, walaupun
sebenarnya aku gak mau pake, kategori tuh macem-macem, bias panjang itu gak Cuma
perempuan. Sebenarnya empu itu memiliki pengertian yang lebih mulia buat makhluk
yang secara biologis dia bias melahirkan dan menstruasi.
V : Apakah sebenernya, kan wanita, aku aja yang wanita, eh perempuan, baru tau
kalo wanita itu seperti itu
MH : Karena kamu ideologinya dikonstruksi sama orde baru, kamu kan lahir pada
masa orde baru kan? Jadi gak tau apa yang salah kalau kita pakai wanita gitu. Gak ada
salahnya juga sih, tapi secara ideologi saya pake perempuan. Itu sih sikap aja, sikap dan
prinsip. Saya hanya mau pake kata perempuan, saya gak mau pake kata wanita.
V : Bagaimana kalo mbak melihat majalah Kartini, sampe sekarang ia masih
menggunakan ‘Majalah Wanita Kartini’
MH : Ya gak apa-apa, biar aja itu kan memang dia produk pada zaman itu, ya biar aja.
V : Tapi kan dia masih bertahan sampai sekarang?
MH : Ya gak apa-apa, memang sekarang banyak orang yang masih, yang di kepalanya
masih sangat orbais, orde baru, dan tidak mau, dan tetep menganggap bahwa yang baik
itu adalah wanita, yang semuanya bias ditata, yang seoang ibu yang membesarkan…
sangat ini buat anak-anak, istri yang sangat tunduk pada suami, yang sangat patuh pada
suami, ibu yang sangat itu. Saya tidak mengatakan bahwa kerja ibu itu… kerja domestik
itu lebih rendah dibanding kerja publik. Saya tidak mau mengatakan itu, tetapi juga harus
disadari bahwa kerja domestik itu bukan hanya kerja perempuan loh, seperti halnya kerja
publik bukan hanya kerja laki-laki. Jadi harusnya disandang bersama-sama, disambung
bersama-sama laki dan perempuan, jangan kerja domestik. Jadi anak itu adalah tanggung
jawa suami-istri, seluruh kebutuhan rumah tangga itu adalah… seluruh yang terjadi dalam
rumah tangga itu adalah tanggung jawa suami-istri; bukan hanya istri saja. Artinya sama
aja, kerja publik juga bukan hanya tanggung jawab laki-laki, tapi perempuan ketika dia
masuk peran kerja maka dia juga bertanggung jawab pada pekerjaan di luar rumah juga.
V : Berarti kalo gitu peran ganda sebenernya akan selalu ada?
MH : Jangan pake kata peran ganda lah ya, itu adalah sangat orde baru. Jadi peran
ganda itu dituntutkan kepada istri, kepada perempuan, supaya dia bisa kerja domestik dan
bisa kerja publik, itu peran ganda. Lalu laki-laki apa? Cuma peran publik aja? Dia sama
sekali gak mau kerja domestik. Padahal itu kan semuanya ditanggung bersama, artinya
adanya rumah tangga itu kan satu kesepakatan, kan gak mungkin cuma perempuan aja
yang mau kawin, pasti dua-duanya mau. Terpaksa atau idak, pokoknya dua-duanya mau.
Representasi Peran..., Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN, 2015
V : Terus ini mbak, jadi kan aku ngeliat konteksnya itu dari tahun 80, 90, berarti
dari zaman orde baru dan ada zaman reformasi. Nah sebenernya bagaimana sih
perempuan itu di… kan ada soal GBHN saat itu yang membakukan peran gender dan
segala macem. Sebenernya gimana sih mbak gambaran perempuan dari pemerintah saat
itu? Atau dari budaya
MH : Kan sudah ada, itu perempuan dari GBHN kan kita tau bahwa perempuan ini
tugasnya adalah istri yang mendukung suami, sebagai ibu yang ituin anak-anak, sebagai
rumah tangga; kayak begitu kan, jadi perempuan itu adalah tiang rumah tangga, kalau
tanpa perempuan… in a sense saya bisa setuju, tapi di satu sisi yang lain, saya juga
bingung, kok tiangnya cuma satu rumah tangga, bukannya itu diitukan berdua? Suami-
istri kan. Masa seluruhnya kalo terjadi sesuatu, kalo anak-anak begina-begini-begitu itu
adalah tanggung jawab istri karena istri yang ada di rumah? Gak gitu juga dong kali
pikirannya. Jadi ini, maka dengan demikian maka dibilang, karena perempuan ditaro di
sektor domestik, di rumah, maka ketika dia kerja di sektor publik dibilangnya itu peran
ganda. Kenapa? Karena selama ini peran laki-laki tidak pernah diasumsikan bahwa dia
juga harus kerja di sektor domestik: dia ikut masuk ke dapur, ikut bersih-bersih, dia ikut
itu; gak pernah diasumsikan begitu, selalu diasumsikan perempuan yang mengerjakan itu.
Jadi kalo dia kerja di luar, dia harus menyelesaikan seluruh kerja di rumah juga, gak fair
banget dong.
V : Itu bagian dari budaya patriark…
MH : Patriarkal, itu garis patriarki, iya. Tapi sebenrnya arti patriarki itu adalah
dominasi. Jadi, bisa jadi patriarki itu gak bisa dikaitkan hanya dengan laki-laki. Tapi
artinya pihak yang paling kuat mendominasi yang lebih lemah, itu adalah patriarki, sifat-
sifat patriarki itu kayak gitu, mendominasi. Jadi gak selalu laki-laki. Tapi selalu dikaitkan
sama laki-laki karena selama ini yang melakukan itu adalah laki-laki.
V : Kalo konteks budaya Indonesia apakah memang selalu laki-laki itu menjadi
yang dominan kah?
MH : Iya, kan kalu dilihat seperti itu. Sebagian besar, tentu ada kasus-kasus yang laki-
laki takut sama istrinya, tapi di sebagian kasus besar itu tidak, itu hanya kasus. Jadi secara
umum laki-laki itu sebagai pihak yang kalo dalam keluarga itu dia pengambil keputusan,
dia adalah orang yang imam keluarga, nah itu salah satu, itu juga sangat ini ya… sangat
patriarki.
V : Jadi faktor agama yang kuat juga pengaruh?
MH : Iya, faktor agama. Agama tuh kan memang kita lihat agama katholik juga
dibilangnya kalo pemimpin-pemimpin agama tuh pater ya? Jadi ya seperti itu,
mendominasi, menguasai, menundukkan, gitu sifat-sifat patriarki.
V : Jadi kalo misalnya ada anggapan kalo patriarki itu selalu…
MH : Laki-laki? Nggak juga. Kalo perempuan, kalo saya menganggap, saya
memperlakukan asisten rumah tangga saya seperti binatang misalnya, ato saya tidak
menghormati hak-hak dia sebagai pekerja, saya patriark. Jadi ada patriark pake rok juga
ada. Kalo saya kepala desk tapi bersikap sewenang-wenang terhadap anggota desk saya,
Representasi Peran..., Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN, 2015
saya suka marah yang tanpa alasan, dan saya selalu menganggap bahwa saya yang paling
tahu, saya memperlakukan rekan-rekan sekerja di bawah saya sebagi buruh misalnya,
sebagai orang yang lebih rendah dari saya, bukan sebagai rekan, saya adalah patriark.
V : Mbak kalo misalnya, sebenernya kalo misalnya saya ngomongin media di
Indonesia secara keseluruhan, apakah media di Indonesia tuh udah sadar gender, udah
sadar untuk memposisikan, atau mungkin kah ada kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan?
MH : Maksudnya apa? Maksdunya medianya, isinya, atau struktur di dalam
keredaksian?
V : Dua-duanya, jadi apakah isinya sudah bisa me…
MH : Kalo menulis tidak sadar itu lah bagaimana dia bisa menulis? Pasti kalo mereka
menulis perempuan ya satu sisi bisa menjadi pemujaan yang berlebihan, yang sebenarnya
malah melemahkan perempuan, memberikan rasa belas kasihan yang luar biasa, maka ya
itu menganggap perempuan hebat, juga bukan itu sebenarnya. Jadi kalo gender itu ya
menempatkan manusia sebagai perempuan aja. Jadi memang itu dari diksi, dari cara
bertutur, dari sistematika penulisan itu semua menunjukkan itu.
V : Jadi sebenernya sesimpel menempatkan manusia, tidak membedakan:
perempuan itu gak beda dengan laki-laki?
MH : Iya, tapi tidak membedakan, secara biologis beda ya, tapi dalam apa ya, status
social… tapi bukan status social, apa namanya, relasi kuasa itu setara. Dan itu tidak
simple, karena tidak banyak orang paham. Artinya bahkan kalo misalnya saya punya
kedudukan sedikit aja, saya kan punya kesempatan untuk melakukan, apa ya… bisa
abusive dengan kekuasaan saya. Nah sikap abusive itu power-relation yang menempatkan
saya di atas mereka itu yang membuat saya adalah patriark, sifat-sifat patriarkis itu ada
pada saya dengan mendominasi orang lain.
V : Jadi saya di majalah yang saya teliti itu ada judulya ‘Mereka ABRI tetapi
Mereka Wanita’, nah kalo itu tidak menempatkan…
MH : Nggak, itu sama sekali tidak gender sensitif dan kemudian kita juga tahu bahwa
struktur angkatan bersenjata itu sangat gender-bias, karena diasumsikan itu adalah
semuanya punya laki-laki, itu adalah wilayah laki-laki. Tadi judulnya apa?
V : Jadi aku sengaja pilih itu karena menarik dan karena sekilas orang bacanya, wah
ini mengangkat perempuan…
MH : Sebenarnya nggak, kalo itu kan sebenarnya…
V : Judulnya ‘Mereka ABRI, tetapi Mereka tetap Wanita’, gimana pandangan…
apakah dia menempatkan…
MH : Itu judulnya aja ‘tetapi’ seakan-akan kalo ABRI itu gak boleh ada perempuan
kan? ‘Mereka ABRI dan Mereka Perempuan’ harusnya begitu. Artinya angkatan
bersenjata itu juga terbuka buat perempuan.
Representasi Peran..., Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN, 2015
V : Karena kan, selama ini kan orang melihat majalah, karena dia judulnya Majalah
Wanita Kartini, berarti pasti dia mengangkat, menyetarakan perempuan
MH : Dia tapi gak sadar bahwa itu gak betul, karena mereka tidak punya pemahaman
tentang gender-bias, tentang gender, mereka tidak punya. Coba tanya deh sama
redaksinya. Harusnya Vita tuh nanya sama mereka, bukan nanya sama aku. Tapi mungkin
aku bisa ngasih tau ya bahwa mereka akan tahu bahwa mereka tidak paham itu.
V : Aku memang harusnya level setelah teks memang aku harusnya kesana, tapi
karena mereka masih sulit dikejar, jadi aku ke Mbak Maria dulu untuk nanyain konteks
besarnya. Jadi kayak misalkan, sekarang nih kan, let’s say zamannya udah bukan zaman
orde baru, udah zaman reformasi. Tapi apakah, kalo Mbak Maria melihat, apakah media
itu masih menggunakan paham yang dulu?
MH : Nggak, ada perubahan terutama sesudah peristiwa Mei, perkosaan, kemudian
orang mulai lahirnya KOMNAS Perempuan, orang mulai dihidupkan segala macem,
mulai ada pelatihan, mulai ada kesadaran secara internasional ini menjadi isu besar. Itu
ada kesadaran sedikit tapi tidak terlalu berarti, jadi tetep aja mereka masih menggunakan
itu-itu yang lama, paham yang lama tentang perempuan, jadi tetep aja kemaren ketika ada
perda-perda diskriminatif yang ngituin perempuan, bagaimana perempuan gak boleh
keluar malem, bagaimana perempuan berpakaian, sekarang kan ada itu atas nama agama
ya, itu sebenarnya menunjukkan bahwa tidak ada kesadaran tentang gender. Bahwa
artinya gini, tidak ada kesadaran bahwa perempuan itu punya hak katas tubuhnya,
sekarang yang dipakai untuk menundukkan perempuan ya tubuhnya, tubuh mereka yang
dikontrol, dengan berpakaiannya, mereka gak boleh keluar malem, kalo keluar malem
(padahal mereka bekerja) lalu dituduh aja sebagai pekerja seks, misalnya begitu, padahal
mungkin mereka buruh. Kalaupun mereka pekerja seks, kenapa emangnya? Emangnya
kalian mau kasih makan? Wong kalian gak kasih makan, pemerintah gak pernah…
pemerintah tidak menjalankan kewajibannya untuk memberikan kecukupan pada
keluarga yang berpenghasilan rendah. Siapa yang mau jadi perempuan kayak gitu? Kan
gak ada. Jadi dilihatnya ke belakang gitu, ontology dari persoalan-persoalan itu.
V : Tapi kalo misalnya dari media itu sendiri itu turning point-nya, apa, kesadaran
akan kesetaraaan perempuan ini turning point-nya memang ada di Mei ’98 ya?
MH : Itu turning point, iya. Tapi sebenarnya sebelum itu juga sudah mulai, jadi
angka-angka aktivis, beberapa wartawan yang separuh aktivis itu mereka juga mulai tau
bahwa ada yang gak bener nih. Jadi misalnya kayak buruh migran, perempuan gitu ya,
kemudian kan sekarang kan discourse-nya mereka tidk boleh pergi keluar negeri, karena
mereka rentan dilanggar haknya, mereka rentan dibunuh, kayak gitu ya. Persoalannya
adalah bukan melarang mereka, kalau melarang mereka berarti kita melarang mereka
untuk mendapatkan hak hiduo dong? Orang di sini gak punya apa-apa, emangnya
pemerintah memenuhi kewajibannya untuk memberikan lapangan kerja supaya orang-
orang itu bisa hidup dengan layak? Kan gak bisa. Siapa yang mau pergi keluar kalo bukan
karena desakan ekonomi? Tapi cara berpikirnya, karena banyak yang begini, yaudah.
Gak usah aja,padahal meraka terima itu uang rimitancenya.jadi walau pun itu persoalan
kesetaraan itu bukan hanya karna kita gak bisa mengatakan perseoalan itu hanya karna
implikasinya luas sekali itu,isu ketika kita melihat realisasi yang timpang disitu
persoaalaan gender muncul dan itu akibatnya panjang sekali,ini bukan persoalan hanya
Representasi Peran..., Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN, 2015
ini persoalaan inti dari banyak sekali kebijakan kita yang sama sekali tidak sensitif
gender
V : gimanasih gambaran media yang sensitif gender itu seharusnya seperti apa intinya?
Mm: ini media sensitif gender tau gimana memberitakan persoaalan perempuan semua
hal yang menyangkut hidup,jadi kalo misalnya kita ngomongi soal ekonomi kenaikan
bahan pangan gitu,kita akan langsung melihat bagaimana ibu-ibu dari yang keluarga
miskin atau bagaimana mereka bisa menyiasati semua ini meraka akan tau bahwa dalam
seluruh persoalan perempuan ada dan dia kadang-kadang orang-orang yang harus
menanggung semua itu tapi gak keliatan kalo ada kenaikan apa lalu tiba-tiba orang
ngomongnya jatuhnya ke DPR keamana,kehidupan sehari-hari orang itu gak ngeliat
padahal perempuan menanggung banyak sekali,kemiskinan itu wajahnya
perempuan,bagaimaan melihat berwajahnya perempuan dia kan dari desa-desa miskin
siapa yang tinggal yang tinggal itu perempuan disitu karna laki-laki semua pergi mencari
kerjaan tapi gak pernah balik lagi,yang tinggal perempuan anak-anak dan orang tua
perempuan lah yang memnuhi kebutuhan keluarga,maka kita melihat bahwa kemiskinan
itu berwajah perempuan,jadi kalo mau ada program-program kemiskinan seharusnya
perempuan itu adalah target utama dari upaya penghabisan kemiskinan.jadi caranya
harusnya dikasihnya sama mereka jadi targetnya mereka seharusnya klo ada kesadaran.
V: tapi apakah media punya kesadaran tapi media itukan netral?
Mh: tapi itu kan tergantung dari manusianya,manusia ini macam-macam saya mungkin
lumayan sadar gender tapi temen saya belum tentu kan saya gak bisa mecat bagaiman
mereka bekerja,dan saya tidak punya hak untuk membetul-betukan karnakan memang ada
batasan-batasan yang bagaiman redaksi bekerja kan semua ada batasan-batasan,saya
boleh marah tapi mereka ya tetap begitu jadi tergantung siapa yang menulis.
V: Kalau dari sisi redaksional, jajaran redaksinya, kalau media di Indonesia itu sudahkah
setara atau?
MH: Enggak. Ini tetap adalah male-dominated-route. Jadi rute yang didominasi sama
laki-laki. Jadi kalaupun ada perempuan, dia menjadi pemimpin, dia di tempat-tempat
yang strategis didalam pengambilan keputusan redaksional, dia tidak bisa, dia akan
digulung oleh seluruh sistem keredaksian yang sifatnya tuh maskulin. Jadi jangan
berharap kalau misalnya, apalagi kalau dia ga punya kesadaran gender. Dia punya
kesadaran gender aja bisa tergulung, karena dia ga bisa melawan arus itu gitu lho. Bukan
dia ga mau, dia ga bisa. Karena ini arusnya kuat sekali. Arus kesadaran gender itu ya
seharusnya, termasuk misalnya, implikasinya menjadi sangat luas, termasuk misalnya
bagaimana perusahaan dijalankan itu misalnya dengan memperhatikan, artinya gini,
jangan terlalu kapitalistik lah. Kapitalistik itu terus mengejar keuntungan dan
meninggalkan yang namanya kesejahteraan pegawai. Nah ini, kesejahteraan ini termasuk
sebenarnya bagian dari kesetaraan itu. Jadi ini bukan soal laki-perempuan, tapi soal
kesetaraan yang kuat dan yang lemah, memang sih basisnya adalah gender tadi. Tapi
sebenernya secara lebih luas relasi kuasa dalam pengertian lebih luas lebih luas termasuk
di dalam perusahaan,jadi mau gak sih perusahaan menahan langkahnya mengurangi
keuntungannya,bukan mengurangi tapi keuntunganya itu di bagi dengan lebih setara lah
kepada pegawainya,itu bagian dari prinsip kesetaraan tapi mana ada perusahaan kan gak
Representasi Peran..., Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN, 2015
begitu.kapitalistik itu sangat maskulin semua yang kapitalistik terus kekuasaan
seluruhnya itu sifatnya maskulin dominan lah kira-kira begitu.
V: trus kalo misalnya sekarang nih masih ada gak sih mba kebijakan yang sangat
misalnya terlihat kalo dulu misalnya dharma wanita PKK GBHN itu jelas banget
membatasi wanita hanya di peran domestiknya saja kalo yang sekarang gmn
MH: Sekarang kayaknya gak ada lagi yah,gak ada lagi tetapi masyarakatnya dah
terlanjur itu …. Itu ….dari 30 tahun itu untuk andalan itu susah sekali untuk keluar dari
itu kan susah sekali,untuk keluar 30 tahun kan itu ideoliginya udah masuk udara jadi
memang gak teralu mudah
V: jadi sebenernya ini sisa yang dari duku
Mh: sisa memang kemudian di perkuat juga sekarang secara agama
V: kalo dulu gak?
Mh: kalo dulu negara,negara yang sangat kuat.Sekarang ada agama yang kayak kira-kira
begitu lah terutama agama mayoritasnya
V: cuman ganti wajahnya aja tapi
Mh: tapi tetep kayak begitu.Kan kita kalo Liat sinetron kan kayak gitu klo perempuan itu
harus begini,sama suami ini harus begini dia harus pake jilbab kayak begitukan semua itu
kan penutupan
V: trus kalo misalnya dari tampilan wanita,gimana komentarnya mba tentang misalnya
kalo dulu itu tahun 80an 90an paling wanita hanya di gambarkan di poto setengah badan
pakaian tertutup dengan hiasan wajah yang sangat natural,kalo sekarangkan udah bajunya
terbuka segala macem apakah itu tanda
Mh: apa ada yang salah.aku mau nanya aja ada yang salah gak,jamannya emang kayak
begitu
V: Dan itu gak jadi indikator apa-apa,apakah terbuka apa melebihi terbuka
Mh: engak lah.sekarang juga banyak kok yang tertutup inikan asumsi kita kan memakai
asumsi kita banyak kok yang pake bajunya tertutup Cuma karna yang diliat sebagian
terbuka lalu kita ngeliatnya semua terbuka dan yang tertutup banyak kok gak pake asumsi
juga.
Representasi Peran..., Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN, 2015
Daftar Riwayat Hidup
Data Pribadi Nama : Maria Advenita Gita Elmada
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 9 Desember 1992
Jenis Kelamin : Perempuan
Telepon : 089635659054
E-mail : [email protected]
Riwayat Pendidikan 2002-2005 SD Tarakanita 3 Jakarta
2005-2008 SMP Tarakanita 3 Jakarta
2008-2011 SMA Santa Ursula Jakarta
2011-2015 Universitas Multimedia Nusantara, Program Studi Ilmu
Komunikasi, Konsentrasi Multimedia Journalism
Pengalaman
2008 Program Pertukaran Pelajar SMA Santa Ursula Jakarta dan Mater
Dei Senior High School, Bangkok, Thailand.
2010 Pädagogischer Austauschdienst (Program Pertukaran Pelajar) di
beberapa kota di Jerman yakni Bonn, Mönchengladbach, Munich,
dan Berlin.
2010 Juara 3 Internationale Deutsch Olympiade (Olimpiade Bahasa
Jerman Internasional) di Hamburg, Jerman.
2011-2014 Anggota, Asisten Pelatih, dan Dirigen Paduan Suara Ultima Sonora
2012-2014 Reporter dan Editor di Majalah Ultimagz.
2012 Duta Muda Transmania (Komunitas Trans TV)
2013 Program Sukarelawan AIESEC di Sun Yat Sen University,
Guangzhou, China.
2013-2014 Ketua Specialized Unit AIESEC Universitas Multimedia Nusantara
2014 Reporter Magang Desk Metropolitan di Harian Kompas
Kemampuan
- Berbahasa ibu Bahasa Indonesia serta mampu berbicara, menulis, dan
membaca dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman dengan baik.
- Mampu mengoperasikan Ms. Office, Adobe Photoshop, Adobe
Illustration, Adobe Premiere, dan Final Cut Pro.
- Mengerti teknik menulis dalam bidang jurnalistik, serta fotografi dan
videografi.
- Mudah beradaptasi, berpikir kritis, bekerja dengan baik secara individu
maupun kelompok, bekerja dengan baik di bawah tekanan, dan mampu
bekerja tepat waktu.
Representasi Peran..., Maria Advenita Gita Elmada, FIKOM UMN, 2015