relasi sistem pemerintahan presidensil di indonesia ...digilib.uinsby.ac.id/34901/1/muhammad syaifur...
TRANSCRIPT
RELASI SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIL DI INDONESIA
BERDASARKAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TERHADAP
EKSISTENSI KEDAULATAN NEGARA PERSPEKTIF IBNU KHALDUN
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Hukum Tata Negara
Oleh
Muhammad Syaifur Rizal
NIM. F52217047
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2019
ii
iii
iv
v
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
vi
ABSTRAK
Konsep kedaulatan negara bermakna sebagai hak absolut tertinggi untuk
mengurus dan mengatur dirinya sendiri dalam suatu negara. Indonesia sebagai negara
berdaulat juga mempunyai hak dan kewenangan untuk membentuk dan mengatur
negaranya sendiri. Aturan dasar yang dijadikan pedoman dalam melaksanakan sistem
pemerintahan negara yaitu UUD NRI 1945. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa
kedaulatan negara adalah solidaritas sosial yang tinggi dan didasarkan kepada agama,
baik dari kenabian maupun seruan akan kebenaran dalam suatu wilayah yang dihuni
oleh sekelompok orang. Kedaulatan hanya dapat dimiliki oleh. Kemenangan yang
terdapat pada golongan yang menunjukkan lebih kuat solidaritas sosialnya dan bersatu
dalam tujuannya dengan cara memeluk agama yang sama, yaitu Islam, karena hati umat
manusia disatukan berkat pertolongan Allah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui dan mengembangkan teori tentang bagaimana relasi sistem pemerintahan
presidensil di Indonesia berdasarkan UUD NRI terhadap eksistensi kedaulatan negara,
serta bagaimana pendapat Ibnu Khaldun terkait sistem pemerintahan presidensil di
Indonesia berdasarkan UUD NRI terhadap eksistensi kedaulatan negara.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan, dan termasuk dalam
jenis penelitian kualitatif, dengan pendekatan normatif dan hermeneutika
(ketatabahasaan) dengan cara membaca literatur baik buku dan lain sebagainya untuk
menemukan makna sesuatu dari kalimat yang tersusun, makna dipengaruhi oleh
konteks budaya, kondisi sosial dan dari penafsiran lainnya. Bahan hukum primer yaitu
UUD NRI 1945 dan kitab Muqaddimah. Bahan hukum sekunder berupa buku dan
jurnal yang berkaitan dengan tema.
Hasil penelitian ini adalah bahwa sistem presidensil di Indonesia secara nyata
memberikan arah bernegara yang ideal agar eksistensi kedaulatan negara dapat
dipertahankan. Rakyat menjadi tumpuan dalam mengatur negara, penerapan sistem
pemerintahan presidensil yang dijalankan negara Indonesia dianalisis menggunakan
perspektif Ibnu Khaldun maka secara implisit tidaklah terjadi dikotomi. Kondisi
bagaimanapun kekuasaan presiden di Indonesia tidaklah bisa sewenang-wenang, hal
itu karena dibatasi oleh UUD sebagai konstitusi negara. Aturan yang terkandung dalam
UUD tidak boleh menyimpang dari nilai-nilai dalam pancasila, karena pancasila adalah
ideologi negara, dan di dalam pancasila tersebutlah sebenarnya termuat nilai-nilai yang
memiliki kesamaan yang ada dalam al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat muslim.
Kata Kunci: Kedaulatan Negara, Sistem Presidensil, Ibnu Khaldun.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
vii
ABSTRACT
The concept of state sovereignty means the highest absolute right to manage
and regulate itself as a country. Indonesia as a sovereign country also has the right and
authority to form and manage itself. Basic rules that used as guidelines in implementing
the country's governance system is The 1945 Constitution of The Republic of
Indonesia. Ibn Khaldun said that state sovereignty is high social solidarity based on
religion, both from prophecy and calls for truth, in an area that inhabited by a group of
people. Sovereignty can only be possessed by a victory factor which is in the group
that shows stronger social solidarity and unites its purpose by embracing the same
religion, namely Islam because the human heart is united thanks to Allah's help. The
intention of this research is to find out and develop theories about the relation of
presidential government systems in Indonesia based on The 1945 Constitution of The
Republic of Indonesia towards the existence of state sovereignty, and also how Ibn
Khaldun's opinion regarding the presidential government system in Indonesia based on
The 1945 Constitution of The Republic of Indonesia towards the existence of state
sovereignty.
This research used types of library research, including type of qualitative
research, with normative and hermeneutics (grammatical) approach by reading
literature material for an example books, and others, which aims to find the meaning
of something from the arranged sentences, definitions that are influenced by the
cultural context, social conditions and other interpretations. Secondary legal materials
such as books and journals related to the theme also discussed in this research.
The results of this study are the presidential system in Indonesia actually
provides an ideal statehood so that the existence of state sovereignty can be maintained.
The people become a primary source in controlling the country, application of the
presidential system that ran by Indonesian government was analysed by the perspective
of Ibn Khaldun, which gave implicit results that there is no division between them.
However, the president's power in Indonesia cannot become authoritarian because the
president’s power was limited by the 1945 Constitution of The Republic of Indonesia
as its state constitution. The rules that contained in the 1945 Constitution of The
Republic of Indonesia must not be distorted from the values of Pancasila, because
Pancasila is Indonesia’s ideology, and Pancasila actually contained values that have
similarities that exist in Qur'an as Muslim’s guide life.
Keywords: state sovereignty, presidential system, Ibnu Khaldun.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
viii
DAFTAR ISI
SAMPUL .................................................................................................................. i
PERNYATAAN KEASLIAN ................................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ........................................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................................................ v
ABSTRAK ............................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii
BAB 1 : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................................ 13
C. Rumusan Masalah ................................................................................... 14
D. Tujuan Penelitian .................................................................................... 15
E. Kegunaan Hasil Penelitian ...................................................................... 15
F. Kerangka Teoritik ................................................................................... 16
G. Penelitian Terdahulu ............................................................................... 23
H. Metode Penelitian .................................................................................... 25
I. Sistematika Pembahasan ......................................................................... 29
BAB II : SISTEM KETATANEGARAAN DALAM PANDANGAN IBNU
KHALDUN
A. Biografi Ibnu Khaldun ............................................................................ 31
1. Biografi Ibnu Khaldun ...................................................................... 31
2. Pendidikan Ibnu Khaldun .................................................................. 31
3. Karya-Karya Ibnu Khaldun ............................................................... 33
4. Pengembaraan Ibnu Khaldun ............................................................ 34
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
ix
B. Sistem Pemerintahan Menurut Ibnu Khaldun ......................................... 37
C. Sistem Ketatanegaraan dan Hubungannya dengan Kedaulatan Negara
menurut Ibnu Khaldun ............................................................................ 42
1. Awal Berdirinya Negara ................................................................... 43
2. Konsep Kepemimpinan ..................................................................... 45
3. Relasi Agama dan Solidaritas Sosial terhadap Kedaulatan Negara .. 51
BAB III : RELASI SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIL DI INDONESIA
TERHADAP KEDAULATAN NEGARA
A. Sistem Pemerintahan Presidensil dalam Ketatanegaraan Indonesia ....... 54
1. Sistem Ketatanegaraan Berdasarkan UUD 1945 Sebelum Perubahan
Periode 17 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 ................................ 56
2. Sistem Ketatanegaraan Indonesia menurut Konstitusi RIS Periode 27
Desember 1949 – 17 Agustus 1950 .................................................. 58
3. Sistem Ketatanegaraan Berdasarkan UUDS 1950 Periode 17 Agustus
1950 – 05 Juli 1959 ........................................................................... 60
4. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Kembali Ke UUD 1949
Periode 05 Juli sampai Sekarang ....................................................... 62
B. Kedaulatan Negara menurut UUD Negara Republik Indonesia 1945 .... 69
1. Kedaulatan Negara Indonesia menurut UUD 1945 Sebelum Perubahan
............................................................................................................ 76
2. Kedaulatan Negara Indonesia menurut Konstitusi Republik Indonesia
............................................................................................................ 78
3. Kedaulatan Negara Indonesia menurut UUD Sementara Tahun 1950
............................................................................................................ 79
4. Kedaulatan Negara Indonesia menurut UUD 1945 Pasca Amandemen
............................................................................................................ 80
C. Relasi Sistem Pemerintahan Presidensil terhadap Eksistensi Kedaulatan
negara di Indonesia ................................................................................. 81
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
x
1. Sistem Pemerintahan Presidensil ...................................................... 82
2. Sistem Pemerintahan Parlementer ..................................................... 84
3. Sistem Quasy Presidensil .................................................................. 85
D. Sistem Ketatanegaraan Islam dan Kedaulatan Negara serta
Implementasinya di Indonesia ................................................................. 89
BAB IV : RELASI SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIL DI INDONESIA
TERHADAP EKSISTENSI KEDAULATAN NEGARA PERSPEKTIF
IBNU KHALDUN
A. Analisis Relasi Sistem Pemerintahan Presidensil di Indonesia terhadap
Eksistensi Kedaulatan Negara ................................................................. 94
B. Analisis Sistem Pemerintahan Presidensil di Indonesia terhadap Kedaulatan
Negara Perspektif Ibnu Khaldun ............................................................ 102
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 118
B. Saran ....................................................................................................... 121
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara dapat saja dikatakan lahir dan hidup, namun hal tersebut tidak
berarti negara tersebut memiliki kedaulatan. Kedaulatan memberikan makna
sebagai hak absolut tertinggi dalam politik untuk mengurus dan mengatur
dirinya sendiri dalam suatu negara. Kedaulatan dapat juga diartikan sebagai
kebebasan negara untuk melakukan kegiatan sesuai dengan kepentingannya
dengan syarat tidak melanggar rambu-rambu hukum internasional.1
Konsep hukum internasional dalam kedaulatan memiliki tiga aspek
utama:
1. Aspek ekstern kedaulatan yaitu hak bagi setiap negara untuk berhubungan
dengan negara lain atau dengan kelompok-kelompok lain dengan bebas
tanpa ada intervensi dari siapapun.
2. Aspek intern kedaulatan yaitu wewenang atau hak negara dalam
membentuk lembaga-lembaga yang dikehendaki serta regulasi yang ingin
digunakan di negara tersebut.
1 Boer Mauna, Hukum Internasional; “Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global”,
(Bandung: PT. Alumni, 2005), 24.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
2
3. Aspek teritorial yaitu kewenangan penuh yang dimiliki oleh suatu negara
terhadap apapaun yang dimiliki oleh suatu negara yang berada dalam
wilayahnya.2
Di atas telah dipaparkan bagaimana konsep kedaulatan negara, yang
berarti suatu negara bebas untuk menjalankan kekuasaan negara, baik yang
bersifat internal dan eksternal. Indonesia sebagai negara berdaulat juga
mempunyai hak dan kewenangan untuk membentuk negaranya sendiri. Hal ini
telah diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia dalam pasal 1 ayat 1 yang
menyebutkan bahwa, Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik.
Pemaknaan negara kesatuan mempunyai ciri dengan adanya Undang-
Undang Dasar yang berlaku di seluruh wilayah negara tersebut. Menurut F.
Isjwara, negara kesatuan adalah bentuk negara dimana wewenang legislatif
tertinggi dipusatkan pada satu badan legislatif nasional (pusat).3 Pendapat lain
mengatakan negara kesatuan hanya ada satu pemerintahan pusat yang
mempunyai kekuasaan dan wewenang tertinggi dalam segala bidang lapangan
pemerintahan. Pemerintahan pusat inilah yang memegang kekuasaan tertinggi
dan akhir dalam memutuskan segala sesuatu dalam negara.4
2 Ibid. 3 F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Cet. 9, (Bandung: Bina Cipta, 1992), 211. 4 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberti, 1980), 224.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
3
Pasal 1 ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia menyatakan,
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang”. Rumusan ini memiliki makna, bahwa negara Indonesia menetapkan
sebagai suatu negara yang berdaulat dan kedaulatan tersebut berada di tangan
rakyat. Artinya rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi atas negara ini,
rakyatlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan, dan rakyatlah yang
menentukan tujuan apa yang ingin dikehendaki.5
Kedaulatan menurut Jimly adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu
rezim politik atau dinasti dengan durasi keadaan yang telah berjalan selama
dinasti itu berkuasa.6 Harold J. Laski berpendapat kedaulatan adalah kekuasaan
yang sah menurut hukum yang tertinggi, kekuasaan tersebut meliputi segenap
orang maupun kelompok dalam wilayah yang dikuasainya.7 Sedangkan
menurut Titik Triwulan Tutik, kedaulatan adalah kekuasaan untuk
melaksanakan hukum terhadap semua orang atau golongan yang berada dalam
kekuasannya dan kekuasaan yang tidak diturunkan dari pihak lain (intervensi
negara).8
5 Titik Triwulan Tutik, Restorasi Hukum Tata Negara Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Depok: Prenada Media, 2017), 49. 6 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusional Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 95-97. 7 Juniato, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1990), 2. 8 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 380-381.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
4
Sehubungan dengan konsep kedaulatan, menurut Harjono, bahwa pasal
1 ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 setelah perubahan tersebut memuat dua prinsip,
pertama, prinsip kedaulatan rakyat atau demokrasi, yang terdapat dalam
kalimat “kedaulatan ada di tangan rakyat”. Kedua, prinsip negara hukum atau
konstitusionalisme, yan tersirat dalam kalimat “dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”. Paduan dari kedua prinsip tersebut menjelaskan
bahwa kedaulatan rakyat di dalasm pelaksanaan subuah sistem kenegaraan
harus ada koridor dan batas-batasnya. Tanpa itu, kedaulatan rakyat bisa
digunakan secara sewenang-wenang.9
Dimensi lain dari kedaulatan rakyat dalam pasal 1 ayat 2 UUD NRI
setelah perubahan adalah kedaulatan langsung, yang mana rakyat secara
langsung melakukan kedaulatannya dengan cara mekanisme pemilihan umum
secara langsung. Dalam konteks kedaulatan rakyat, Titik Triwulan Tutik
berpendapat bahwa, pasal 1 ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 setelah perubahan
ini, ada dua hal yang harus dibedakan, yaitu kedaulatan rakyat yang masih
berada di tangan rakyat dan kedaulatan yang telah dilimpahkan kepada atau
dilaksanakan dalam kerangka Undang-Undang.10
Terkait dengan sistem pemerintahan yang digunakan negara Indonesia
setelah perubahan UUD NRI Tahun 1945, bahwa UUD 1945 telah menentukan
9 Harjono, Wakil Mahkamah konstitusi, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa dan Pemikiran Hukum
HArdjono, (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008), 59. 10 Tutik, restorasi Hukum, 51.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
5
kekuasaan eksekutif berada di tangan presiden. Sebagaimana telah dinyatakan
dalam pasal 4 ayat 1 UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan “Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-
Undang Dasar”. Pasal 4 ayat 2 menyatakan “dalam melaksanakan
kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden”. Selain itu,
“dalam menjalankan kewajiban permerintahan, presiden dibantu oleh menteri-
menteri negara yang bertanggung jawab langsung kepada presiden”, hal ini
terdapat dalam pasal 17 UUD NRI Tahun 1945.
Menurut Bagir Manan, yang dimaksud dengan kekuasaan pemerintahan
adalah kekuasaan eksekutif, sebagai kekuasaan eksekutif, presiden adalah
penyelenggara pemerintahan. Kekuasaan dibedakan menjadi dua, yaitu
kekuasaan yang bersifat umum dan kekuasaan yang bersifat khusus. Kekuasaan
yang bersifat umum adalah kekuasaan penyelenggaraan administrasi negara,
seperti di bidang keamanan, penyelenggaraan di bidang kesejahteraan umun
dan lain-lain. Kekuasaan yang bersifat khusus, seperti penyelenggaraaan
kekuasaan presiden terhadap tugas dan wewenang secara kontitusional yang
berada di tangan presiden yang bersifat prerogatif, yaitu presiden sebagai
pimpinan tertinggi angkatan bersenjata, hubungan dengan luar negeri, dan hak
memberi gelar dan tanda jasa.11
11 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, (Yogyakarta: FH-UII, 2003), 122-123.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
6
Presiden selaku pemegang kekuasaaan pemerintahan negara, selain
memiliki kewenangan di bidang eksekutif juga memiliki kewenangan dalam
bilang legislatif, bahkan kewenangan yudisial. Ketentuan mengenai hal
presiden dalam mengajukan rancangan udang-undang didasarkan pada pasal 5
ayat 1 UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan “bahwa presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Berkaitan dengan kekuasaan presiden dalam bidang legislatif telah
diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan “segala macam
rancangan undang-undang harus dibahas bersama dengan presiden untuk
mendapatkan persetujuan bersama”.12 Jika rancangan undang-undnag tersebut
tidak mendapatkan persetujuan bersama, maka racangan undang-undang itu
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat di masa
itu.13
Setiap rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan
bersama antar DPR dan Presiden harus mendapat pengesahan presiden.14
Namun setelah undang-undang yang telah mendapatkan persetujuan bersama
tersebut dalam 30 hari sejak mendapat persetujuan bersama tersebut tidak
12 UUD NRI Tahun 1945 setelah perubahan Pasal 20 ayat (2) 13 UUD NRI Tahun 1945 setelah perubahan Pasal 20 ayat (3). 14 UUD NRI Tahun 1945 setelah perubahan Pasal 20 ayat (4).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
7
mendapat pengesahan dari presiden, maka rancangan undang-undang ini sah
menjadi undang-undang.15
Sistem presidensil yang diterapkan di Indonesia adalah bagian dari
implementasi kedaulatan negara. Hubungan antara kedaulatan negara dan
sistem pemerintahan presidensil yang diterapkan di Indonesia yaitu dengan
disebutkannya negara kesatuan dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 1 ayat (1)
dan ayat (2). Maksud negara kesatuan yaitu pemerintah pusat berhak penuh atas
semua kendali dalam negara, sedangkan pemerintah pusat dalam sistem
presidensil adalah presiden sebagai pemegang kekuasaan dalam negara.
Sedangkan hubungan antara kedaulatan negara dan sistem pemerintahan
presidensil dari pasal ayat (2) yang menyebutkan “Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang” adalah bahwa kedaulatan itu
dipegang dan dilaksanakan oleh rakyat dalam hal memilih presiden dan wakil
presiden.
Selain itu, Implementasi sistem presidensil ini dengan disebutkannya
ciri-ciri kekuasaan seorang presiden dalam UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan dalam pasal 4
ayat (1) ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan di Indonesia menganut
sistem presidensil, artinya bahwa tidak ada pembedaan kekuasaan antara
presiden sebagai kepala pemerintahan juga sebagai kepala negara. Pendapat
15 UUD NRI Tahun 1945 setelah perubahan Pasal 20 ayat (5).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
8
lain mengatakan bahwa dengan jelas Indonesia menerapkan sistem presidensil
dalam sistem pemerintahannya dengan ciri-ciri antara lain, presiden dan wakil
presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, presiden
tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, karena Lembaga ini tidak lagi
sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.16 Ciri lainnya adalah presiden dan wakil
presiden memegang jabatannya selama lima tahun, kemudian dapat dipilih
kembali, presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri, presiden
selaku kapala negara sekaligus merangkap sebagai kepala pemerintahan, dan
presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung, juga presiden memberi amnesti dan abolisi dengan
memperhatikan pertimbangan DPR.17
Dalam bernegara, model sistem pemerintahan presidensil mungkin
langkah yang cukup strategis, karena dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang
sangat menentukan bagaimana menjalankan negara Indonesia ini dengan
memberikan wewenang kepada seorang presiden sebagai nahkoda
pemerintahan. Namun hal itu juga mempunyai kelemahaan, karena dalam
demokrasi suara terbanyak adalah penentu langkah selanjutnya, terkadang tidak
mempertimbangkan faktor keadilan dan kesetaraan, karena bisa jadi penguasa
16 Tutik, Konstruksi Hukum, 167. 17 C. S. T Kansil, Hukum Antar Tata Pemerintahan (Comparative Government), (Jakarta: Erlangga,
1987), 96-97.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
9
yang dipilih rakyat tidak memiliki pondasi agama, dan hal itu dapat
mengakibatkan penyalahgunaan wewenang.
Seorang ulama besar Islam, ilmuwan, negarawan, dan sejarawan telah
menulis sebuah karya monumental yang diakui oleh ilmuwan barat karena
kehebatannya dalam mencermati dan menganalisis suatu kondisi sosial
masyarakat dalam negara, beliau adalah Abdurrahman Abu Yazid Waliuddin
bin Khaldun, atau dalam karyanya dikenal dengan nama Ibnu Khaldun dengan
karyanya Muqaddimah.
Di antara perkara yang menjadi pijakan perbincangan Ibn Khaldun
dalam Muqaddimah selain dari model kehidupan masyarakat yang jauh dari
peradaban, ciri kehidupan masyarakat yang berperadaban tinggi, corak
pemerintahan atau kerajaan termasuk sistem khalifah adalah perbincangan
mengenai faktor-faktor kemajuan dan kejatuhan peradaban manusia.18 Karya
Ibnu Khaldun yang berjudul Muqaddimah memberikan gambaran tentang
seluk-beluk pemerintahan dari proses kelahiran suatu negara sampai runtuhnya
negara tersebut.
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa kedaulatan negara adalah adanya
solidaritas sosial yang tinggi dan didasarkan kepada agama, baik dari kenabian
maupun seruan akan kebenaran dalam suatu wilayah yang dihuni oleh
18 Aiza & Roshimah, “Kejatuhan Pemerintahan menurut Pemikiran Ibnu Khaldun,”
https://ejournal.um.edu.my/index.php/afkar/article/view/5463; diakses tanggal 23 Februari 2019.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
10
sekelompok orang. Kedaulatan hanya bisa diperoleh dengan kemenangan,
sedangkan kemenangan terdapat pada golongan yang menunjukkan lebih kuat
solidaritas sosialnya dan lebih bersatu dalam tujuannya, karena hati umat
manusia disatukan berkat pertolongan Allah dengan memeluk agama yang
sama.19 Maka dari itu ibnu Khaldun memberikan syarat khusus untul mencapai
kedaulatan haruslah berdasarkan pada solidaritas sosial dan keagamaan.
Ibnu Khaldun mencontohkan tentang pentingnya solidaritas sosial yang
berdasarkan agama adalah saat terjadi pada bangsa Arab dalam peperangan
tentara muslim dengan tentara Persia. Tentara Muslim dalam peperangan
Yarmuk berjumlah kurang lebih 30.000 orang, dan tantara Persia berjumlah
120.000 orang, namun tentara Persia tidak sanggup menghadapi tantara
Muslim. Hal ini disebabkan karena adanya solidaritas yang kuat dan tujuan
yang jelas dengan berdasarkan agama oleh tantara Muslim, sehingga mereka
dapat memenangkan peperangan tersebut atas izin Allah SWT.20
Allah SWT. adalah penegak hukum tertinggi dan berhak dengan apa
yang diinginkannya. Setiap ketetapan yang diberikan Allah kepada manusia
baik ataupun buruk tidak dapat diganggu gugat, meskipun sesuatu itu tidak
sesuai dengan yang diinginkan manusia. Allah SWT adalah maha pemilik, tidak
19 Ahmadie Thoha, Muqaddimah Ibnu Khaldun, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1986), 192. 20 Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
11
ada yang mendahuluinya, dzat yang tertinggi serta tidak mengikuti ajaran
agama lain.21
Sejalan dengan itu, Al-Maududi berpendapat kedaulatan haruslah
berdasarkan konsep Islam, dimana kitab suci al-Quran tidak bisa diganggu
gugat. Al-Qur’an memberikan jawaban bahwa hal apapun berada di tangan
Tuhan, Dialah penguasa alam semesta. Oleh karena itu, hak kedaulatan dan
semua yang berhubungan dengan itu berada ditangannya, begitu pula
kedaulatan atas semua makhluk-Nya.22
Dalam menjalankan pemerintahan negara, khalifah/sultan merupakan
pemegang tahta tertinggi di dalam suatu negara. Bentuk pemerintahan dalam
Islam dapat disebut dengan sistem pemerintahan nomokrasi, artinya adalah
pemerintah yang berkuasa merupakan hukum tertinggi yang menggantikan
hukum kekuasaan lain. Ciri sistem pemerintahan ini adalah walaupun seorang
khalifah/sultan adalah sebagai penguasan negara, namun kekuasaan yang
sebenarnya terletak pada Allah SWT., pemerintah mengemban tanggung jawab
dalam kedudukannya sebagai “para khalifah Allah”, sementara hukum Allah
atau syariah sebagai sumber kekuasaan yang langsung.23
21 Harun Nasution, teologi Islam: aliran-aliran, sejarah, Analisa, dan perbandingan, Cet-V, (Jakarta:
UI Press, 1986), 118-119. 22 Abu A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sisetm Politik Islam, di terjrmahkan dari The Islamic
Law and Constitution, (terj: Asep Hikmat), Cet ke-VI, (Bandung: Mizan, 1998), 236. 23 Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam menurut ibnu Taimiyah”, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1994), 72-73.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
12
Tipologi pemerintahan menurut Ibnu Khaldun yang paling baik adalah
al-Imamah, yaitu pemerintahan yang membawa kemaslahatan bagi rakyat dan
negara baik dalam hal dunia maupun akhirat. Pemerintahan ini bersumber dari
ajaran agama. Ajaran agama yang dipakai sebagai asas kebijakan pemerintah
adalah Islam. Maka dari itu penyebutan kepala negara adalah Khalifah atau
Imam.24
Khalifah sebagai pejabat tertinggi dalam negara mempunyai tugas
sebagai pengganti Nabi. Tugas khalifah adalah pembuat undang-undang,
karena undang-undang inilah yang berkuasa dalam mengatur negara. Namun,
menurut Ibnu Khaldun tindakan khalifah sebagai pembuat undang-undang
haruslah berdasarkan petunjuk agama untuk kemajuan kepentingan duniawi
dan menjauhkan kejahatan.25
Seorang khalifah/sultan apabila dilihat dari otoritas dan kewenangan
yang dimilikinya, serta tugas dan perannya sebagai pengganti Nabi, maka bisa
dipastikan bahwa khalifah/sultan adalah pihak yang menguasai suatu
pemerintahan negara.26
Melihat uraian di atas, kedaulatan negara Indonesia dengan sistem
demokrasi sekilas menyerupai kedaulatan negara menurut Ibnu Khaldun, yaitu
24 Djainuddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2001), 86-89. 25 Thoha, Muqaddimah, 234. 26 Muhammad Redy Alvan, “Kekuasaan dalam Pemikiran Ibnu Khaldun”, Journal Online Mahasiswa
FISIP, Vol. 2, No. 2, (Oktober, 2015), 9.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
13
suara terbanyak dari rakyat (solidaritas sosial) yang melanggengkan kekuasaan,
namun perbedaan yang mendasar adalah kedaulatan Ibnu Khaldun berdasarkan
agama, sedangkan Indonesia kedaulatan berdasarkan suara rakyat yang
berdasarkan UUD. Kemudian, dari segi sistem pemerintahan terdapat
perbedaan yang mendasar dari sistem pemilihan penguasa dari sistem
presidensil, presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara dalam
menjalankan kekuasaan harus berdasarkan UUD dan sistem ke-khalifahan,
khalifah menjalankan kekuasaan bersifat mutlak namu berdasarkan agama.
Pernyataan di atas menarik peneliti untuk mengkaji lebih dalam tentang
relasi sistem pemerintahan presidensil di Indonesia berdasarkan UUD Negara
Republik Indonesia terhadap eksistensi kedaulatan negara perspektif Ibnu
Khaldun.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, dapat
diidentifikasikan masalah-masalah sebagai berikut:
a. Relasi sistem pemerintahan presidensil di Indonesia menurut UUD
Negara Repulik Indonesia terhadap eksistensi kedaulatan negara.
b. Pendapat Ibnu Khaldun terkait sistem pemerintahan presidensil di
Indonesia berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia terhadap
eksistensi kedaulatan negara.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
14
c. Kekuasaan presiden di Indonesia perspektif Fiqih Siyasah.
d. Pelaksanaan sistem pemerintahan presidensil di Indonesia pada
masa orde baru sampai reformasi.
2. Batasan Masalah
Mengingat banyaknya masalah yang menjadi obyek penelitian ini,
maka untuk memberikan arah yang jelas peneliti membatasi pada masalah-
masalah sebagai berikut:
a. Relasi sistem pemerintahan presidensil di Indonesia menurut UUD
Negara Repulik Indonesia terhadap eksistensi kedaulatan negara.
b. Pendapat Ibnu Khaldun terkait sistem pemerintahan presidensil di
Indonesia berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia terhadap
eksistensi kedaulatan negara.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis
menentukan suatu permasalahan yang akan diteliti dalam tesis ini, yaitu:
1. Bagaimana relasi sistem pemerintahan presidensil di Indonesia
berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia terhadap eksistensi
kedaulatan negara?
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
15
2. Bagaimana pendapat Ibnu Khaldun terkait sistem pemerintahan
presidensil di Indonesia berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia
terhadap eksistensi kedaulatan negara?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka
tujuan penelitian ini secara teoritis adalah untuk mengetahui dan
mengembangkan teori tentang bagaimana relasi sistem pemerintahan
presidensil di Indonesia berdasarkan UUD Negara Repulik Indonesia terhadap
eksistensi kedaulatan negara, dan bagaimana pendapat Ibnu Khaldun terkait
sistem pemerintahan presidensil di Indonesia berdasarkan UUD Negara
Republik Indonesia terhadap eksistensi kedaulatan negara.
E. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka dapat dirumuskan kegunaan
untuk pelaku dari hasil penelitian ini secara teoritis adalah agar mendapatkan
pengetahuan bahwa konsep dalam bernegara menurut Ibnu Khadun dapat
memberikan uraian idealnya bagaimana sistem sebuah negara itu dapat berjalan
dengan baik agar eksistensi kedaulatan negara tetap terjaga.
Secara praktis, manfaat penelitian ini bagi pihak akademisi dan
masyarakat umum maupun pihak terkait bisa mendapatkan informasi dan
pengetahuan terkait tentang bagaimana relasi sistem pemerintahan presidensil
di Indonesia berdasarkan UUD Negara Repulik Indonesia terhadap eksistensi
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
16
kedaulatan negara perspektif Ibnu Khaldun, sehingga kedaulatan negara dapat
dijaga dan sistem pemerintahan di Indonesia dapat berkembang dengan baik.
F. Kerangka Teoritik
1. Pengertian Sistem Pemerintahan Presidensil
Arti Sistem menurut kamus hukum adalah tatanan atau kesatuan
yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling
berkaitan erat satu sama lain yaitu kaidah tentang apa yang seharusnya.27
Sistem menurut Prof. Pamuji adalah suatu kebulatan atau
keseluruhan yang kompleks atau teroganisir, suatu himpunan atau
perpaduan bagian-bagian yang membentuk suatu kesuluruhan yang
kompleks atau utuh.28
Menurut Musanef, arti sistem adalah suatu tatanan dari hal-hal yang
saling berkaitan dan berhubungan sehingga membentuk satu kesatuan, dan
satu kesuluruhan.29 Jadi sistem adalah suatu rangkaian yang terdiri dari satu
kesatuan, dan saling berkaitan satu sama lain. Rusaknya satu bagian dapat
mengganggu kestabilan sistem itu sendiri.
Arti sistem pemerintahan adalah semua ihwal yang merupakan
pergerakan pemerintah yang dijalankan oleh Lembaga legislatif, eksekutif
dan yudikatif sebagai organ-organ negara dengan tujuan untuk
27 Marwan, Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), 569. 28 Pamudji, Teori Sistem dan Pengeterapannya dalam management, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve,
1981), 7. 29 Musanef, Sistem Pemerintahan Di Indonesia, (Jakarta: Haji Masagung, 1989), 7.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
17
menyelenggarakan kepentingan negara dan rakyat dengan saling bekerja
sama dan bekerja sesuai dengan perannya.30 Sedangkan Sistem
pemerintahan presidensial adalah Sistem pemerintahan yang mempunyai
ciri-ciri yang khas yaitu Pertama, sistem itu didasarkan atas asas pemisahan
kekuasaan. Yang kedua, tidak ada pertanggungjawaban bersama antara
presiden sebagai pemimpin eksekutif dengan anggota-anggotanya.
Anggota-anggota yang bernama menteri itu sepenuhnya bertanggungjawab
kepada presiden. Yang ketiga, DPR tidak dapat dibubarkan oleh presiden,
keempat, Presiden itu dipilih oleh rakyat melalu pemilu. Jadi ini sistem
pemerintahan presidensial.31
Berdasarkan rumusan di atas, sistem pemerintahan dapat dilihat dari
pembagian kekuasaan di antara Lembaga-lembaga negara dan sifat
hubungan antara Lembaga negara. Pembagian kekuasaan dapat dibedakan
berdasarkan rumusan di atas, Berdasarkan rumusan di atas, sistem
pemerintahan dapat dilihat dari model pembagian kekuasaan di antara
lembaga-lembaga negara dan sifat hubungan antara Lembaga negara.
Pembagian kekuasaan dapat dibedakan atas (1) pembagian kekuasaan
secara horizontal, adalah kekuasaan yang dibagi berdasarkan peran maupun
berkenaan dengan Lembaga negara yang melaksanakan fungsi tersebut, (2)
30 Sri Soemantri, Sistem Pemerintahan Negara ASEAN, (Bandung: Transito, 1976), 58. 31 Ahmad Yani, “Sistem Pemerintahan Indonesia: Pendekatan Teori Dan Praktek Konstitusi Undang-
Undang Dasar 1945”, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 12 No. 02 (Juli, 2018), 124.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
18
pembagian kekuasaan secara vertikal yaitu pembagian kekuasaan di
tingkatan pemerintah yang memunculkan batas ikatan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah.32
Eksistensi tiga kekuasaan negara; legislatif, eksekutif dan yudikatif
dikarenakan adanya normal spesialisasi fungsi, sebuah fenomena yang
dapat diamati pada semua bidang, pemikiran dan tindakan karena
peradaban semakin bergerak maju, bertambahnya bidang aktivitas dan
karena organ-organ pemerintahan menjadi semakin kompleks. Pada
awalnya, raja adalah pembuat dan pelaksana undang-undang, juga sebagai
hakim. Namun, tidak dapat dihindari telah tumbuh suatu tendensi untuk
mendelegasikan kekuasaan-kekuasaan kerajaan tersebut dan sebagai
akibatnya menghasilkan adanya pembagian kekuasaan kedaulatan.33
Dalam teori pemisahan kekuasaan, kekuasaan legislatif bertugas
membuat undang-undang yang dilakukan oleh lembaga tersendiri jika
penyusunan undang-undang tidak diletakkan pada suatu lembaga tertentu.
Maka tiap golongan atau tiap orang membuat undang-undang untuk
kepentingannya sendiri. Sebagai lembaga pembentuk undang-undang maka
legislatif hanyalah berhak untuk membuat undang-undang saja dan tidak
boleh melaksanakannya. Untuk menjalankan undang-undang harus
diserahkan kepada suatu lembaga lain. Sedangkan kekuasaan untuk
32 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), 138. 33 C.F. Strong, Modern Political Institution., (London: Sidgwick & Jackson, 1960), 329-330.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
19
menjalankan undang-undang dilakukan oleh lembaga eksekutif yang
dipimpin presiden atau perdana Menteri. Lembaga inilah yang
berkewajiban menjalankan kekuasaan eksekutif.
Kekuasaan yudikatif atau kekuasaan yustisi (kehakiman) ialah
kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan undang-undang dan berhak
untuk memberikan peradilan kepada rakyat. Lembaga yudikatiflah yang
berkuasa memutuskan perkara dan mejatuhkan hukuman terhadap setiap
pelanggaran undang-undang.34
2. Kekuasaan Presiden dalam Sistem Pemerintahan Negara Republik
Indonesai menurut UUD Negara Republik Indonesia
Pelaksanaan sistem pemerintahan presidensil di Indonesia, dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang ditetapkan oleh panitia
persiapan kemerdekaan Indonesia pada hari Sabtu, tanggal 18 Agustus 1945
antara lain memuat BAB III yang terdiri dari 12 pasal yang di antaranya
berbicara tentang kekuasaan presiden.35
Pasal 4 berbunyi: Presiden Indonesia memegang kekuasaan
pemerintah menurut Undang-Undang dasar; dalam melakukan
kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden. Dalam
sistem presidensil, presiden adalah sebagai kepala negara dan juga
34 Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif Fikih
Siyasah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 130-131. 35 C.S.T Kansil dan Christine, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), 28.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
20
merangkap sebagai kepala pemerintahan. Kekuasaan dan kewenangan
presiden sebagai kepala pemerintahan adalah karena fungsinya sebagai
penyelenggara tugas eksekutif, seperti: memimpin kabinet, mengangkat
dan melantik Menteri, memberhentikan Menteri, dan mengawasi
operasional pembangunan.
Pasal 5 berbunyi: bahwa presiden memegang kekuasaan
membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat; Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan
undang-undang sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan karena di
Indonesia berlaku pembagian kekuasaan (distribution of power), sehingga
masing-masing kekuasaan terdapat hubungan satu sama lain. Maka
presiden Indonesia juga mempunyai kekuasaan di antaranya.36 Presiden
memegang kekuasan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
Angakatan Udara, presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membaut perdamaian, dan melaukakn perjanjian
dengan negara lain, hak presiden mengangkat duta dan konsul serta
menerima duta negara lain, dan presiden memiliki hak untuk memberi grasi,
amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.
Jadi dapat dilihat begitu besarnya kekuasaan presiden republik
Indonesia, hal tersebut dapat dipahami karena di awal kemerdekaan para
36 Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: PT. Rieneka Cipta, 1954), 54.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
21
pendiri bangsa membutuhkan kepastian bahwa dalam negara yang baru
berkembang ini diperlukan pimpinan penyelenggara negara, dalam hal ini
presiden. Diharapkan mempunyai pengaruh dan kharismatik yang besar
untuk tetap menjaga dan terwujudnya eksistensi dan persatuan bangsa.
3. Sistem ketatanegaraan menurut Ibnu Khaldun
Berbicara ketatanegaraan, Ibnu Khaldun memberikan rambu-rambu
yang jelas. Bahwa dalam bernegara solidaritas sosial adalah kunci utama
untuk terbentuknya suatu negara yang berdaulat, karena tidak ada
kemenangan di dalam perpecahan. Negara yang mempunyai lebih banyak
suku maka negara itu akan kuat dan kekuasaannya akan semakin luas.37
Dalam hal kekuasaan, seorang khalifah sebagai pimpinan politik
dalam mengambil keputusan harus berlandaskan petunjuk agama. Tugas
khalifah adalah sebagai pemegang kendali pemerintahan baik pemegang
kekuasaan negara maupun pemerintahan.
Dalam hal tugas pemerintahan, seorang khalifah dibantu oleh
beberapa petinggi negara, diantaranya:
1. Jabatan mufti. Tugasnya adalah untuk mengurus ihwal keagamaan,
baik berupa turunnya fatwa atau kebijakan yang terkait dengan
keagamaan.38
37 Thoha, Muqaddimah, 199. 38 Ibid., 266.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
22
2. Jabatan hakim. Tugasnya untuk menyelesaikan gugatan serta
menyelesaikan perselisihan dan pertikaian.
3. Jabatan polisi. Tugasnya adalah mengawasi tindakan kriminal serta
memberikan hukuman yang telah ditetapkan oleh syariat agama.
4. Jabatan keadilan. Tugasnya adalah mencatat seluruh perkara dalam
pengadilan baik perkara hak asasi manusia, harta benda, utang
piutang, serta transaksi hukum lainnya.
5. Jabatan pengawasan pasar. Jabatan ini di bawah jabatan hakim,
tugasnya adalah mengawasi masyarakat bila berlaku curang dalam
berniaga, atau memberi peringatan bagi masyarakat yang belaku tidak
tertib.
6. Jabatan pencetakan uang logam. Tugasnya adalah mengurusi uang
yang dicetak oleh negara untuk transaksi komersial masyarakat, selain
itu jabatan ini bertugas mengawasi percetakan tanda raja dalam mata
uang negara, sehingga tidak terjadi penipuan dalam masyarakat.39
Dalam proses pemilihan khalifah, digunakan konsep ahl al-halli wa
al-aqdi. Seorang anggota ahl al-halli wa al-aqdi harus independent, adil,
objektif. Ahl al-halli wa al-aqdi merupakan pengemban amanah dari
masyarakat luas yang mempunyai keunggulan dalam bidang keilmuan,
harta, dan mempunyai kedudukan dalam masyarakat, serta kelompok ini di
39 Ibid., 272-275.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
23
dalam masyarakat memliki kemampuan dalam proses musyawarah untuk
menentukan seorang khalifah.40
Dalam sistem ketatanegaraan, Ibnu Khaldun memberikan syarat
untuk terbentuknya suatu negara yang ideal, yaitu:
1. Udara, air dan lingkungan yang sehat, serta tatanan bangunan yang
tertib.
2. Letak geografis negara yang strategis, artinya negara tersebut terletak
di jalur lintas perdagangan dan perkembangan budaya.
3. Solidaritas sosial yang kuat, baik kesukuan, agama, wilayah dan rasa
kebersamaan dalam mencapai tujuan.
4. Geografis yang subur dan melimpah akan hasil sumber daya
alamnya.41
G. Penelitian Terdahulu
Beberapa buku, tesis, jurnal, dan paper yang telah peneliti baca,
penelitian yang akan dibahas dalam tesis ini masih belum ditemukan. Namun,
ada beberapa penelitian telah ditemukan yang secara garis besar
pembahasannya berbicara tentang sistem ketatanegaraan dan kekuasaan. Di
antaranya adalah sebagai berikut:
40 Ibid., 238. 41 Ibid., 401-405.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
24
1. Buku yang berjudul “Kekuasaaan dan Negara, Pemikiran Politik Ibnu
Khaldun” yang ditulis oleh Rahman Zainuddin. Buku ini berfokus pada
pemikiran Ibnu Khaldun tentang pentingnya kehadiran negara dalam
mengatur kehidupan masyarakat, dalam buku ini penulis menganalisis
bagaimana wujud ilmu politik yang digunakan untuk mengkonsep
tentang kekuasaan dan kenegaraan dari pemikiran Ibnu Khaldun.42
2. Jurnal yang berjudul “Kejatuhan Pemerintahan Menurut Pemikiran
Ibnu Khaldun Dalam Karyanya Al-Muqaddimah” yang ditulis oleh
Aizzah Maslan dan Rosimah Samsuddin. Jurnal ini berfokus pada
pemikiran Ibnu Khaldun tentang kejatuhan suatu pemerintahan. Jurnal
ini fokus membahas tentang faktor yang melatarbelakangi kehancuran
suatu negara dan bagaimana suatu negara itu bisa berdiri, berjaya
sampai kemudian jatuh dan sirna.43
3. Tesis yang berjudul “Implementasi Kekuasaan Pemerintahan oleh
Presiden Sesudah Perubahan UUD 1945” yang ditulis oleh Jazim Ilyas.
Tesis ini berfokus pada proses yang berjalan dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia yang kecenderungannya dan
pengaturannya menunjukkan pada Lembaga eksekutif. Tesis ini
menjawab permasalahan tentang bagaimana presiden melaksanakan
42 Zainuddin Rahman, Kekuasaan dan Negara, Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1992), 5. 43 Aiza & Roshimah, “Kejatuhan Pemerintahan menurut Pemikiran Ibnu Khaldun,”
https://ejournal.um.edu.my/index.php/afkar/article/view/5463; diakses tanggal 23 Februari 2019.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
25
kekuasaan pemerintahan pasca perubahan UUD 1945 dan kendala-
kendala dalam implementasi pelaksanaan kekuasaan pemerintahan oleh
presiden pasca perubahan UUD 1945.44
4. Tesis yang berjudul “Pengukuhan Sistem Pemerintahan Presidensil
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia” yang ditulis oleh
Muhaimin La Ode. Tesis ini membahas tentang perubahan UUD Negara
Republik Indonesia yang dalam permasalahannya apakah hal tersebut
dapat melakukan penguatan terhadap sistem presidensil dan apakah
menghasilkan sebuah sistem pemerintahan yang berkarakter sehingga
pembagian kekuasaan dapat dijalankan dengan baik.45
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah masuk dalam
kategori penelitian kepustakaan (library research), dan penelitian ini
termasuk dalam jenis penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif
adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berlaku
bagi pengetahuan humanistik atau interpretatif yang secara teknis
penekanannya lebih pada teks.46 Penelitian hukum doktrinal yang
44 Jazim Ilyas, “Implementasi Kekuasaan Pemerintahan Oleh Presiden Sesudah Perubahan UUD 1945”,
(Tesis—Universitas Diponegoro, Semarang, 2008), 12. 45 Muhaimin La Ode, “Pengukuhan Sistem Pemerintahan Presidensil dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia”, (Tesis—Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2010), 10. 46 Robert Bogdan & Steven J. Taylor, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif: Suatu Pendekatan
Fenomenologis terhadap Ilmu Sosial, (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), 12.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
26
merupakan penelitian keputakaan yakni penelitian terhadapa data sekunder,
disebut demikian karena penelitian hukum seperti ini dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau buku-buku.47 Sedangkan menurut Peter
Mahmud, penelitian hukum adalah suatu langkah untuk mendapatkan
ketentuan hukum atau asas-asas hukum untuk menjawab masalah-masalah
yang dihadapi.48
Penelitian kepustakaan dilakukan karena sumber-sumber datanya,
baik yang utama (primary resources), maupun pendukung (secondary
resources), seluruhnya adalah teks-teks. Sehingga untuk memperoleh data-
datanya menggunakan metode dokumentasi. Metode ini digunakan dalam
mengumpulkan data-data yang relevan dan berasal dari sumber primer dan
sumber sekunder.49 Maka dari itu, tujuan dari analisis dalam penelitian ini
adalah untuk mengetahui maksut-maksut tertentu yang terkandung dalam
teks. Maka dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui makna yang
disampaikan oleh Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah. Dalam proses
penelitian akan diperlukan apa yang disebut dengan metode, metode adalah
suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu yang mempunyai
langkah-langkah sistematis.50
47 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjaun Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), 13-14. 48 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. 11, (Jakarta: Kencana, 2011), 35. 49 Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997), 30. 50 Masruhan, Metodologi Penelitian Hukum, (Surabaya: Hilal Pustaka, 2013), 68.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
27
2. Pendekatan
Kegiatan ilmiah dalam penelitian hukum dapat dilakukan dengan
model penelitian yuridis normatif, yaitu dengan cara mempelajari norma
atau seluruh kaidah dalam hukum positif dengan bahan-bahan pustaka
berupa buku-buku dan literatur lainnya yang berkaitan dengan tema
penelitian agar dapat dicapai suatu nuansa pemahaman yang baru yang
lebih produktif, tidak reproduktif mengulang-ulang pemahaman penafsiran
sebelumnya.
Kemudian dikaji dengan pendekatan konsepsi legis positvis, yaitu
konsep yang memberikan pengertian bahwa hukum merupakan regulasi
tertulis yang telah diundangkan oleh aparat negara.51 Pendekatan
perundang-undangan yang dimaksut adalah peraturan yang terdapat dalam
UUD Negara Republik Indonesia.
3. Teknik Analisis Data
Seluruh data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk
dikategorisasikan atau dipilih dan dipilah berdasarkan sub-sub pokok
bahasan. Dari sumber-sumber pustaka di atas penulis membangun struktur
tulisan dengan metode analisis data untuk mencapai kesimpulan-
kesimpulan dari tulisan ini. Untuk menganalisis data primer dan sekunder,
penyusun mempergunakan metode analisis kualitatif yaitu metode
51 Ronny HanitijoSoemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1988), 13-14.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
28
deskriptif-analitik, metode ini menganalisis dari paparan yang telah
dinarasikan yaitu teori kedaulatan negara kaitannya dengan sistem
pemerintahan di Indonesia, kemudian dianalisis perspektif Ibnu Khladun.
Paparan yang telah dideskripsikan pada batasan relasi sistem
pemerintahan presidensil di Indonesia menurut UUD Negara Repulik
Indonesia terhadap eksistensi kedaulatan negara dan pendapat Ibnu
Khaldun terhadap sistem ketatanegaraan dan eksistensi kedaulatan negara.
Langkah pertama metode ini adalah mendeskripsikan gagasan
primer yang menjadi obyek penelitian. Selanjutnya membahas gagasan
primer tersebut yang pada hakikatnya memberikan “interpretasi” kepada
gagasan primer yang telah dideskripsikan. Memberikan interpretasi di sini
termasuk menarik relevansi dari masalah yang diteliti.
Interpretasi atas data-data penelitian dalam analisisnya peneliti
menggunakan pola berpikir deduktif dan induktif. Metode deduktif
merupakan cara berfikir analitik yang berangkat dari dasar-dasar
pengetahuan yang bersifat umum menuju pada kejadian yang bersifat
khusus. Dalam metode ini, penulis berupaya merinci pemikiran Ibnu
Khaldun tentang sistem ketatanegaraan dalam Muqaddimah karya Ibnu
Khaldun yang bersifat umum.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
29
Selanjutnya metode induktif diartikan sebagai generalisasi.52 Dalam
metode ini, kasus-kasus dan unsur-unsur pemikiran tentang sistem
ketatanegaraan dalam Muqaddimah karya Ibnu Khaldun dianalisis
kemudian dirumuskan dalam statemen umum (generalisasi) untuk
direalisasikan dengan sistem pemerintahan di Indonesia.
I. Sistematika Pembahasan
Rancangan penulisan tesis disusun secara sistematis yang terdiri
dari lima bab. Setiap bab menjelaskan konsep bahasan tema dan saling
berhubungan antar babnya. Adapun konsep rancangan sistematika tesis itu
adalah sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan, yang mencakup latarbelakang masalah,
identifikasi dan Batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, kerangka teroritik, penelitian terdahulu, metode penelitian dan
sistematika pembahasan.
Bab II berisi tentang biografi Ibnu Khaldun, sistem pemerintahan
menurut Ibnu Khaldun, dan sistem ketatanegaraan menurut Ibnu Khaldun dan
relevansinya dengan kedaulatan negara.
Bab III berisi tentang sistem pemeritahan di Indonesia, dan dalam
bab ini akan dijelaskan tentang sistem presidensil dan kekuasaan presiden di
Indonesia.
52 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993),
131.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
30
Bab IV berisi analisis tentang relasi sistem pemerintahan presidensil
di Indonesia terhadap eksistensi kedaulatan negara perpektif pemikiran Ibnu
Khaldun dalam Muqadimah.
Terakhir, Bab V berisi penutup yaitu kesimpulan, merupakan bagian
akhir tesis yang menyajikan kesimpulan-kesimpulan penting dari pembahasan
tesis ini.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB II
SISTEM KETATANEGARAAN DALAM PANDANGAN IBNU KHALDUN
A. Biografi Ibnu Khaldun, Pendidikan dan karyanya
1. Biografi Ibnu Khaldun
Ibnu Khladun bernama lengkap Abdur Rahmah bin Muhammad bin
Muhammad Ibnu Khaldun al-Hadlrami dari Tunisia. Dilahirkan pada tahun 732
Hijriyah tanggal 1 Ramadhan, atau bertepatan pada tanggal 27 Mei 1332 Masehi.
Nama kecilnya adalah Abdur Rahman, dan Abu Zaid adalah nama khusus
panggilan dari keluarganya, Wali al-Din adalah nama gelar saat beliau menjabat
sebagai qadhi di Mesir, selanjutnya beliau dikenal dengan nama Ibnu Khaldun.1
Nenek moyangnya yang bernama Khalid bin Ustman berasal dari suatu
suku di Arabia Selatan. Ibnu Khaldun pada abad ke-VII Masehi telah merantau
ke Spanyol karena tertarik dengan kemenangan-kemenangan dan penaklukan-
penaklukan oleh tentara Islam, dan ia menetap di Carmona, yaitu suatu daerah
kecil yang terletak di Antara tiga kota, yaitu Granda, Seville, dan Cordova.2
2. Pendidikan Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun sewaktu kecil banyak berguru tentang ilmu agama. Seperti
halnya anak usia 7-15 tahun yang biasa menerima apa saja yang diajarkan
1 Zainal al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, Terj. Ahmad Rafi’ Ustmani, (Bandung: Pustaka
pelajar, 1987), 9. 2 Irfan Firdaus, Biografi Tokoh Muslim Dunia Paling Berpengaruh, (Yogyakarta: Laras Media Prima,
2004), 179.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
32
kepadanya, demikian juga Ibnu Khaldun secara passif tanpa ada kritik menerima
dan mengenyam pelajaran itu dengan bernafsu sekali. Akan tetapi dalam masa
mudanya antara tahun 16-25 tahun, dimana masa seorang pemuda mulai meniti
karir dan mulai menentukan tujuan hidupnya telah terjadi suatu perjolakan dan
kekalutan-kekalutan di Afrika Utara, yaitu tahun 1347 sampai 1357. Tahun itu
adalah dimana Afrika Utara terjadi pergolakan politik yang hebat. Kerajaan al-
Muwahhidun yang telah lama hancur telah berdiri kembali dengan kerajaan-
kerajaaan kecil. Penyerangan dan pendudukan Banu Marin terhadap Tunis di
tahun 1347 telah mengakibatkan perpindahan beberapa ulama besar sebagai
pengikut raja Abu al-Hasan.3
Ibnu Khaldun yang saat itu telah memasuki usia 15 tahun telah mendapati
di antara mereka guru-guru yang memberi semangat ilmu pengetahuan
kepadanya. Di antara guru-gurunya adalah Muhammad Ibnu Sa'ad ibn Burrah,
Syaikh Muhammad ibn al-arabi al-Husyairi, Syaikh Muhammad asy-Asywwasy
az-Zarzali, Syaikh Muhammad ibn Ahmad ibn al-Qashar, dan Syaikh
Muhammad ibn Bahr, Syaikh Muhammad ibn Abdur Razaq Dan lain
sebagainya.4
3 Zainab, Perkembangan Sejarah Pemikiran Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1985), 15-16. 4 Osman Kalibi, Ibnu Khaldun tentang Masyarakat dan Negara, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), 20-21.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
33
3. Karya-Karya Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun sudah masyhur sebagai seorang ilmuwan, ia telah
menuangkan pengetahuaannya dengan menulis banyak kitab. Berikut ini di antara
nama kitab-kitab yang menjadi karyanya:
1. Kitab Muqaddimah, yang merupakan karya monumental yang membuat
namanya disanjung dalam dunia intelektual;
2. Kitab al-‘Ibar, wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arabi wa al-
‘Ajami wa al-Barbar, wa man ‘As-aruhum min dhawi as-Sulthani al‘Akbar
(kitab pelajaran dan arsip sejarah zaman permulaan dan zaman akhir yang
mencakup peristiwa politik orang-orang Arab, non-Arab dan Barbar serta raja-
raja besar yang semasa dengan mereka) yang terdiri dari tujuh jilid;
3. Kitab at-Ta’rif bi Ibnu Khaldun wa al-Rihlatuhu Sharqan wa al-Gharban (kitab
autobiografi Ibnu Khladun); uraian tentang kitab Burdah karya al-Bushiri,
ringkasan karya Ibnu Rusyd dan ringkasan kitab al-Muh) asal karya Fachruddin
al-Razi;
4. Kitab al-Shifa’ al-Sa’il li Tahdhib al-Masa’il;
5. Kitab Lubab al-Muhassal fi Ushul al-Din (sebuah kitab yang berisi tentang
pemikiran-pemikiran teologi).5
5 Abdur Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam: Hadharah Keilmuwan Tokoh Klasik
Sampai Modern, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 128-129.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
34
Dalam menjalani kehidupan, Ibnu Khaldun sering kali berpindah tempat
dengan tujuan untuk menuntut ilmu atau karena tugas. Berikut ini akan dijelaskan
tempat yang pernah disinggahinya.
1. Ibnu Khaldun di Fez
Fez (Maroko) adalah tempat dimana Ibnu Khaldun menyelesaikan
penddidkan tingginya, di sinilah ia banyak bergaul dengan ulama-ulama yang
mendapampingi Sultan Abu 'Inan. Selain menyelesaikan pendidikannya, di Fez ini
Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretaris negara dan kemudian menjadi pegawai
tinggi dalam soal-soal hukum dan pelanggaran-pelanggarannya. Jabatan ini
disebut juga dengan istilah muzalim. Namun, semua itu tidak bertahan lama,
karena dalam musim kharif telah terjadi pemberontakan istana, sehingga ia berniat
untuk meninggalkan Fez agar mendapatkan ketenangan.6
2. Ibnu Khaldun di Granada
Ibnu Khaldun di Granada diterima dengan senang hati oleh pemerintahan
yang berkuasa saat itu. Raja Muhammad V yang memerintah di sana merupakan
sahabat lamanya. Karena raja telah mengetahui kemampuan Ibnu Khaldun, maka
ia memberi kepercayaan kepada Ibnu Khaldun untuk menjadi kepala dalam tugas
satu misi kepada raja Pedro dari Cassilia, yang bertujuan untuk mengangkat satu
6 Choirul Huda, “Pemikiran Ekonomi Bapak Ekonomi Islam; Ibnu Khaldun”, JURNAL
ECONOMICA, Vol. 4, No. 1, (Mei, 2013), 10.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
35
perjanjian perdamaian antara Granada yang Islam dengan Cassilia yang
beragama Kristen.7
Tetapi dengan berjalannya waktu, Ibnu Khladun merasa tidak nyaman di
Granada ini, karena Ibnu al-Khatib yang saat itu menjabat sebagai perdana
menteri merasa kurang senang kepadanya, terutama karena pengaruhnya yang
semakin meluas di wilayah tersebut. Maka dari itu untuk menghindari konflik di
antara keduanya Ibnu Khaldun memutuskan untuk pindah dari Granada.
3. Ibnu Khaldun di Afrika Utara
Tanggal 11 Februari 1365 adalah bertepatan dengan pindahanya Ibnu
Khaldun dari Granada ke Afrika Utara, karena pada abad VIII ini awal mula
kerajaan al-Muwahhidin di Spanyol hancur. Kemajuan pasukan-pasukan Kristen
makin lama makin bertambah dekat dengan tiga segi Cordoba-Sevilla-Granada.
Ketika keadaan sudah tidak memungkinkan lagi untuk ditempati, maka Banu
Khaldun pun menyelamatkan diri ke Afrika Utara, tujuan pergi ke Afrika Utara
karena pada dasarnya mereka sudah mempunyai hubungan dengan pihak
penguasa baik dari pertalian darah maupun karena hubungan-hubungan politik
lainnya.
Ibnu Khladun tinggal di Bougie yang saat itu diperintah oleh seorang raja
yang bernama Abu Abdullah, salah seorang sahabat lamanya di kalangan Bani
7 Ahmad Syafi’I Ma’arif, Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996), 12.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
36
Hafs. Di Bougie ini Ibnu Khaldun tidak sempat tinggal lama, karena saat itu
pemerintahan juga kacau dengan terjadinya pertikaian antara raja Abu Abdullah
dengan kemenakannya raja Abu al-Abbas yang saat itu berkuasa di Konstatine.
Karena kondisi tersebut Ibnu Khaldun kemudian mengungsi ke daerah terpencil
yang bernama Tlimsan di wilayah tersebut.8
4. Ibnu Khaldun di Mesir
Ibnu Khaldun sebelum tinggal di Mesir sebenarnya namanya sudah
masyhur di Kairo, hal itu dikarenakan buah pikirannya yang dituangkan dalam
Muqaddimah telah menjadi bahan diskusi oleh kalangan sarjana di sana. Jadi,
ketika Ibnu khaldun sampai di Mesir banyak mahasiswa yang mengunjunginya
hanya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
Mesir juga merupakan tempat dimana Ibnu Khaldun menjabat menjadi
hakim tinggi dalam madzhab Maliki, dan di Mesir ini pula sang pujangga
sekaligus ulama berpulang ke rahmat Allah SWT., yang bertepatan pada taggal
17 Maret 1406 Masehi. Dengan penuh penghormatan dari Negara dan bangsanya
Ibnu Khaldun dikebumikan di pemakaman kaum sufi di luar kota Kairo.9
8 Osman Kalibi, Ibnu Khaldun tentang Masyarakat, 24-27. 9 Ibid., 40.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
37
B. Sistem Pemerintahan Negara menurut Ibnu Khaldun
Kehidupan dalam masyarakat Islam, seperti halnya dalam kehidupan
masyarakat dunia lain, negara dalam mengatur dirinya dibutuhkan cara yang
dianggap paling cocok untuk mengurusnya pemerintahannya. Khilafah yang
muncul setelah Nabi wafat mempunyai kedudukan lembaga politik yang paling
tinggi dalam Islam yang memberikan simbol dalam kesatuan umat Islam.
Sistem pemerintahan negara merupakan lukisan dasar-dasar negara, tata
tertib dan susunan suatu negara dengan organ tertinggi dalam negara itu. Dalam
hal bentuk negara Ibnu Khaldun tidak berbicara secara eksplisit dalam bukunya
Muqaddimah, dalam bukunya Ibnu Khaldun hanya menampilkan urgensi
kekuasaan dalam menerapkan Syariah dan kewajiban umat untuk mematuhinya.
Pendirian sebuah negara politik bukan menjadi satu-satunya tujuan.
Syariah tidak memberikan skema khusus tentang organisasi negara Islam.
Namun, Syariah Sudah menyiapkan ketentuan-ketentuan besar aturan Islam yang
berbentuk pokok-pokok dasar berfikir secara umum guna memenuhi seluruh
tantangan keadaan dan waktu.10
Perjalanan kehidupan Ibnu Khaldun yang selalu bersinggungan dengan
pemerintahan, membuat dirinya mempunyai banyak pengalaman dan cakrawala
yang luas. Sehingga Ibnu Khaldun dapat memberikan pemikiran-pemikiran baru
10 Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam menurut Ibnu Taimiyah, (Jakarta: PT. Rieneka
Cipta, 1994), 71.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
38
dalam dunia pemerintahan, dan pemikiran-pemikiran tersebut ia tuangkan dalam
karyanya yang sangat monumental yaitu Muqaddimah.
Berbicara tentang pemerintahan, Ibnu Khaldun membagi menjadi tiga
bentuk pemerintahan;
1. Pemerintahan yang alami, yaitu orientasi pemerintahan hanya pada tujuan
dunia dan sesuai dengan keinginan nafsu manusia. Model pemerintahan
seperti ini dijalankan oleh seorang pemimpin yang diktator dan hanya
mementingkan keinginan pribadi atau kelompoknya. Hal tersebut dapat
berakibat pada timbulnya pemberontakan dan sikap menentang dari rakyatnya.
2. Pemerintahan yang berdasarkan pada pertimbangan otak semata, yaitu
pemerintahan yang dibuat oleh para sarjana dalam membuat undang-undang
dan segala peraturan dalam negara. Model pemerintahan ini berasaskan logika
untuk mencapai tujuan yang diinginkan negaranya. Dalam model ini para
cendekiawan akan diberi ruang untuk memberikan pemikirannya agar negara
tersebut dapat maju.
3. Pemerintahan berdasarkan ajaran agama (al-Imamah), yaitu pemerintahan
yang selalu melibatkan hukum-hukum agama untuk menjalankan roda
pemerintahan. Semua hukum yang bertujuan dunia dan akhirat harus
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
39
berlandaskan agama, maka agama adalah hukum tertinggi dalam model
pemerintahan ini.11
Tipologi pemerintahan menurut Ibnu Khaldun yang paling baik adalah al-
Imamah, yaitu pemerintahan yang membawa kemaslahatan bagi rakyat dan negara
baik dalam hal dunia maupun akhirat. Pemerintahan ini bersumber dari ajaran
agama. Ajaran agama yang dipakai sebagai asas kebijakan pemerintah adalah
Islam. Maka dari itu penyebutan kepala negara adalah Khalifah atau Imam.12
Jabatan khalifah (imam) adalah suatu keharusan dalam proses bernegara, karena
sahabat dan tabi’in telah sepakat melalui ijma’ bahwa lembaga imamah wajib
menurut syariat agama karena ketika menerima sebuah keberadaan negara, Ibnu
Khaldun mendasarkan argumennya pada alasan-alasan sosiologis dan teologis.
Hal itu karena pada prakteknya negara dijalankan oleh sekelompok manusia yang
telah merdeka dan menguasai wilayah tersebut, sebagaimana Ibnu Khaldun
berpendapat kerajaan atau dinasti dapat ditegakkan apabila ada kekompakan yang
kuat dalam masyarakat, yang seluruh masyarakatnya lebih sanggup berjuang dan
bersedia mati guna kepentingan bersama.
Faktor teologi ini digunakan sebagai pertimbangan untuk arah tujuan yang
sebenarnya harus dilakukan oleh kelompok manusia itu dalam menjalankan
pemerintahan di negara. Tujuan utama dalam membentuk negara adalah untuk
11 Saminas, Ibnu Khaldun “Kajian Tokoh Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial, (Palu: Stain Doktorama, 2009),
338. 12 Djainuddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2001), 86-89.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
40
menjalankan syariat agama agar selamat baik di dunia dan akhirat.13 karena agama
adalah modal utama untuk menekan sifat rakus dan tamak bagi manusia, dengan
agama pula pemimpin dan yang dipimpin dapat menjadi satu kesatuan untuk
tujuan yang dinginkan.
Ibnu Khaldun juga berpendapat, pemerintahan yang baik itu bukanlah
pemerintahan yang dalam membuat hukum hanya dilakukan oleh khalifah dan
orang-orang yang pandai dalam negara, karena hal itu berarti pemerintahan
tersebut berdasarkan akal. Pemerintahan yang berdasarkan akal akan
menimbulkan sifat ketidakadilan, karena kepentingan yang setiap manusia
memiliki perbedaan.14 Berbeda apabila hukum tersebut ditentukan oleh Allah
dengan perantara Rasul-Nya, maka pemerintahan itu berdasarkan agama. Hukum
yang berdasarkan agama sangatlah mempunyai niai yang sangat penting dalam
menjalankan pemerintahan, karena manusia sendiri diciptakan bukan hanya untuk
hidup di dunia ini saja, namun kelak akan mengalami kehidupan yang abadi.
Kehidupan abadi inilah yang tidak bisa dicapai dengan akal manusia tanpa ada
campur tangan agama, maka di sinilah letak perbedaan yang mendasar dari
pentingnya hukum yang berdasarkan agama.
Hukum Allah bertujuan untuk mengatur perbuatan manusia dalam segala
sendi kehidupannya, baik ibadah mereka, tata cara hidup mereka, dan
13 Ahmadie Thoha, Muqaddimah Ibnu Khaldun, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), 187-189. 14 Thoha, Muqaddimah, 234.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
41
berhubungan dengan negara. Maka dari itu khalifah dalam memutuskan suatu
hukum sudah semestinya sesuai dengan keinginan masyarakat dan sesuai dengan
tuntunan agama.
Menurut Khalid Ibrahim, bentuk pemerintahan dalam Islam dapat disebut
dengan sistem pemerintahan nomokrasi, artinya adalah pemerintah yang berkuasa
merupakan hukum tertinggi yang menggantikan hukum kekuasaan lain. Ciri
sistem pemerintahan ini adalah walaupun seorang khalifah/sultan adalah sebagai
penguasan negara, namun kekuasaan yang sebenarnya terletak pada Allah SWT.,
pemerintah mengemban tanggung jawab dalam kedudukannya sebagai “para
khalifah Allah”, sementara hukum Allah atau syariah sebagai sumber kekuasaan
yang langsung.15
Alasan lain Ibnu Khaldun berpendapat tentang khalifah haruslah
berdasarkan agama dalam mengambil hukum, juga karena pada dasarnya hukum
politik hanyalah mengatur tentang barang-barang dunia yang lahir dan
berkepentingan duniawi, sedangkan tujuan Tuhan untuk ditaati dalam membuat
hukum adalah untuk keselamatan manusia di akhirat kelak.16
Maka kedudukan khalifah yang sewajarnya adalah mewujudkan usaha
memerintah rakyat dengan tujuan dan keinginan bersama dari umat dan bersumber
pada agama. Tindakan politik dalam Islam adalah memerintah rakyat sesuai
15 Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan, 72-73. 16 Thoha, Muqaddimah, 234.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
42
dengan petunjuk akal untuk kemajuan negara dalam bidang duniawi dan ukhrowi
sesuai dengan petunjuk syariat.
C. Sistem Ketatanegaraan dan Hubungannya dengan Kedaulatan negara
menurut Ibnu Khaldun
Gagasan tentang politik ketatanegaraan Islam sebenarnya sudah
berkembang sejak Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Sebab hal tersebut
kejadian penting telah terjadi di zamannya, sehingga banyak memunculkan teori
baru yang dikembangkan oleh cendikiawan muslim dalam memaparkan sebuah
sistem ketatanegaraan. Hijrahnya Nabi memberikan sebuah pelajaran bagaimana
konsep kontak sosial antara kaum muslimin dengan kelompok lain yang berbeda
agama. Dalam peristiwa tersebut juga muncul Piagam Madinah yang merupakan
konstitusi pertama yang berupa perjanjian antara kaum muslim dan non muslim
untuk memposisikan bagaimana cara hidup berdampingan di tengah perbedaan.17
Istilah negara sendiri secara eksplisit tidak diterangkan dalam al-Qur-an
maupun Sunnah, namun secara subtansi unsur-unsur untuk menjadikan dasar
negara ada di dalamnya. Al-Qur’an menjelaskan seperangkat prinsip atau fungsi
yang dapat ditafsirkan dengan adanya tata tertib sosio-politik atau segenap
17 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta:
Erlangga, 2008), 2.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
43
perlengkapan bagi tegaknya sebuah negara, termasuknya di dalamnya adalah
keadilan, persaudaraan, ketahanan, kepatuhan, dan kehakiman.18
Negara dalam konsepsi Islam adalah instrumen untuk menerapkan hukum
syariat, maka dari itu pemimpin dalam negara Islam bukan untuk memusatkan
perhatian pada penciptaan hukum, namun implementasi hukum-hukum syariat
yang telah dirumuskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebab ini timbul karena hukum
telah disampaikan oleh Nabi Muhammad kepadanya umatnya, maka tidak perlu
lagi untuk menyandarkan diri kepada pemimpin negara (khalifah/imam), karena
khalifah/imam hanyalah pelaksana ketetapan yang telah dirumuskan oleh Nabi.
Ibnu Khladun telah memberikan batasan tentang bagaimana masyarakat
dalam negara tersebut bekerja agar negara itu tetap berdaulat, karena
bagaimanapun di dunia ini tidak ada yang abadi, sebagaimana manusia pasti
mengalami kematian.
Sistematika kajian pemikiran Ibnu Khaldun ketika berbicara sistem
ketatanegaraan setidaknya ada empat hal pokok, yaitu awal berdirinya negara,
konsep kepemimpinan, agama dan solidaritas sosial terhadap kedaulatan negara.
1. Awal berdirinya negara
Konsep Ibnu Khaldun tentang negara terletak pada kebutuhan manusia
sebagai makhluk sosial, Dimana sifat manusia ingin berkumpul di suatu wilayah
18 Jindan, Teori Pemerintahan, 48-49.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
44
tertentu dengan tujuan yang sama untuk bekerja sama. Manusia apabila hidup
secara individual akan mengalami kesukaran dalam kehidupannya, maka dari itu
sebuah organisasi diperlukan untuk tujuan tersebut. Dari perkumpulan manusia
itu maka negara dapat terbentuk.
Kerajaan atau dinasti hanya bisa ditegakkan atas bantuan dan solidaritas
rakyat. Hal ini sebagaimana kita ketahui bahwa kemenangan terdapat di pihak
yang mempunyai solidaritas yang kuat.19
Premis pertama yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun dalam teorinya
tentang timbulnya negara berkenaan dengan masalah kesukuan dan solidaritas
sosial. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa orang tidak mungkin menciptakan
sebuah negara tanpa didukung oleh suatu rasa persatuan dan solidaritas yang kuat.
Mempertahankan diri hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang
mempunyai solidaritas. Yaitu orang-orang yang sanggup berjuang dan bersedia
mati guna kepentingan bersama.20
Premis kedua adalah proses mendirikan negara itu harus melalui suatu
perjuangan yang hebat, suatu pertarungan hidup mati, sebabnya ialah karena
kekuasaan negara itu adalah suatu bangunan yang kokoh yang tidak bisa
dirubuhkan sedemikian saja, untuk itu diperlukan kekuatan yang besar. Namun,
hal ini perlu diwaspadai terutama bagi generasi-generasi setelahnya yang tidak
19 Thoha, Muqaddimah, 187. 20 Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
45
turut memperjuangkan bagaimana hebatnya mendirikan negara dahulu, dengan
demikian terkadang generasi setelahnya lupa akan apa yang disebut solidaritas
sosial, sehingga negara dapat runtuh.
2. Konsep Kepemimpinan
Pemimpin dalam pandangan Ibnu Khaldun adalah seseorang yang
melakukan suatu tugas sosial penting dan tujuannya berkaitan dengan kelanjutan
eksistensi organisasi negara itu sendiri.
Dalam menjalankan pemerintahan negara, khalifah/sultan merupakan
jabatan politik berupa pemegang tahta tertinggi di dalam suatu negara. Khalifah
sebagai pejabat tertinggi dalam negara mempunyai tugas sebagai pengganti Nabi.
Tugas khalifah adalah pembuat undang-undang, karena undang-undang inilah
yang berkuasa dalam mengatur negara. Namun, menurut Ibnu Khaldun tindakan
khalifah sebagai pembuat undang-undang haruslah berdasarkan petunjuk agama
untuk kemajuan kepentingan duniawi dan menjauhkan kejahatan.21
Al-Mawardi juga berpendapat bahwa jabatan khalifah atau imam adalah
jabatan pengganti Nabi yang mempunyai kewajiban untuk menegakkan syariat
Islam dan mengurus politik umat Islam, dengan demikian bahwa khalifah atau
imam selain sebagai pemimpin negara juga pemimpin agama, yang bertanggung
jawab baik di dunia maupun di akhirat.22
21 Ibid. 22 Imam al-Mawardi, Sulthan al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Beirut: Dar al-Fikri, 1960), 5.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
46
Kriteria seorang pemimpin menurut Ibnu Khaldun bukanlah seorang yang
mempunyai tampan yang elok, pengetahuan yang luas, kecakapan mengarang
yang luar biasa, melainkan semata-mata pada hubungannya dengan rakyat. Sebab
kedudukan antara pemimpin dan rakyat adalah dua perkataan yang konkrit,
mengandung arti antara dua hal, yaitu orang yang memerintah sebagai pemilik
orang yang diperintah. Oleh karena itu memerintah adalah orang yang memiliki
rakyat dan rakyat adalah mereka yang memiliki orang yang memerintah,
sehingga hubungan antara pemimpin dengan rakyat adalah hubungan
kepemilikan.23
Implementasi dari pendapat Ibnu Khaldun tersebut ia berpendapat bahwa
baik buruknya seorang pemimpin adalah bagaimana penguasa tersebut
melaksanakan tugasnya untuk kepentingan rakyat. Bila kekuasaan dilaksanakan
dengan lemah lembut, maka penguasa dan rakyat akan dalam keadaan baik dan
semua tujuan tercapai. Namun apabila kekuasaan dilaksanakan dengan keras,
penuh hukuman dan penindasan, maka rakyat akan diselimuti oleh ketakutan dan
tertindas, dengan kondisi seperti ini sifat yang berkembang di kalangan rakyat
adalah suka berdusta, kebohongan dan penipuan akan berkembang di masyarakat.
Kondisi seperti ini membuat rakyat akan menjadi penghianat, dan memungkinkan
mereka akan berbuat makar.
23 Thoha, Muqaddimah, 230.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
47
Dalam proses pemilihan khalifah, digunakan konsep ahl al-halli wa al-
aqdi. Seorang anggota ahl al-halli wa al-aqdi harus independen, adil, objektif.
Ahl al-halli wa al-aqdi merupakan pengemban amanah dari masyarakat luas yang
mempunyai keunggulan dalam bidang keilmuan, harta, dan mempunyai
kedudukan dalam masyarakat, serta kelompok ini di dalam masyarakat memiliki
kemampuan dalam proses musyawarah untuk menentukan seorang khalifah.24
Proses pewarisan jabatan dalam sistem kekhalifahan dalam Islam tidak
dibenarkan, kecuali dalam pewarisan tersebut terdapat nilai-nilai yang dapat
diterima baik dari sisi agama atau dari golongan ahl al-halli wa al-aqdi. Maka
ketika tindakan ayah yang akan mewariskan tahta kepada sang putra sebagai
khalifah, itu merupakan suatu kemudharatan bagi dirinya dan stabilitas negara,
karena sesungguhnya dalam diri khalifah haruslah terkandung niat yang benar-
benar bersih untuk berjuang menegakkan agama Allah.
Menjabat sebagai kepala negara (khalifah) merupakan suatu keharusan
dalam suatu negara. Khalifah yang bertindak sebagai kepala negara berfungsi
sebagai pemegang kendali pemerintahan haruslah mempunyai keunggulan dan
superioritas serta kekuatan fisik dan mental, agar segala tindakan yang diambil
sesuai dengan apa yang dicita-citakan rakyatnya.
Khalifah sebagai pejabat tertinggi dalam negara mempunyai tugas sebagai
pengganti Nabi. Tugas khalifah adalah pembuat undang-undang, karena undang-
24 Ibid., 238.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
48
undang inilah yang berkuasa dalam mengatur negara. Namun, menurut Ibnu
Khaldun tindakan khalifah sebagai pembuat undang-undang haruslah
berdasarkan petunjuk agama untuk kemajuan kepentingan duniawi dan
menjauhkan kejahatan.25 Pemimpin ideal adalah orang yang menganggap
kekuasaaan itu sebagai amanah Allah, sehingga pelaksanaan kekuasaan tersebut
dianggap tidak lain adalah cara yang terbaik untuk beribadah kepada tuhan-Nya
dan sebagai sarana untuk menegakkan agama Allah. Dengan tujuan tersebut
berimplikasi pada kedaulatan negara dan negara sendiri tidak akan mengalami
kemunduran, hal itu dikarenakan sikap tulus dan bersih hati dari seorang
pemimpin untuk melayani rakyatnya.
Konsekuensi dari besarnya tugas dan tanggung jawab khalifah sebagai
seorang kepala negara, maka Ibnu Khaldun memberikan syarat-syarat khusus
untuk bisa menjadi seorang khalifah, yaitu:26
1) Memiliki pengetahuan (alim), yang dimaksud dengan alim adalah
seorang khalifah tentunya harus mengetahui hukum-hukum agama,
karena taqlid buta merupakan suatu kekurangan. Maka dari itu dengan
pengetahuan tersebut seorang khalifah dapat mengambil hukum baru
(ijtihad) apabila diperlukannya.
2) Keadilan. Hal ini sudah menjadi syarat utama untuk menjalankan roda
pemerintahan yang memiliki banyak umat di negara tersebut. Syarat
25 Ibid., 234. 26 Ibid., 238.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
49
adil diperlukan selain kekhalifahan merupakan lembaga keagamaan
yang juga mengawasi lembaga-lembaga lain. Kiranya apabila sifat adil
hilang dalam diri seorang khalifah maka akan datang kehancuran di
negara tersebut, sebab itu dikarenakan hawa nafsu yang menguasai
dirinya.
3) Kesanggupan. Syarat ini berarti seorang pemimpin bersedia
melaksanakan hukum yang ditetapkan oleh undang-undang.
Kesanggupan juga berarti siap untuk maju dalam medan perang dan
bertanggung jawab untuk mengerahkan umatnya menuju peperangan,
siap untuk menjaga agama, berjihad melawan musuh, menegakkan
hukum dan mengatur kepentingan umum.
4) Tidak ada cacat anggota badan. Cacat badan yang dimaksut adalah
seorang pemimpin tidak mungkin gila, buta, bisu, atau tuli. Karena
kehilangan fungsi anggota badan tersebut dapat menggangu tugasnya
untuk bertindak sebagai pemimpin negara. Seorang pemimpin harus
merdeka dalam bertindak baik yang bersifat rohani atau jasmani,
dengan cacat badan maka seorang pemimpin itu dapat dikatakan tidak
merdeka dalam bertindak, dan ini berakibat tidak baik dalam negara
yang dipimpinnya.
5) Prasyarat keturunan Quraisy. Dalam syarat ini terjadi perbedaan di
kalangan ulama. Keharusan suku Quraisy yang dapat menjadi
pemimpin dikarenakan pada waktu itu suku Quraisy merupakan suku
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
50
yang kuat dan mempunyai solidaritas yang tinggi, namun dengan
berjalannya waktu saat ini, suku Quraisy melemah, solidaritas mereka
lenyap akibat pola hidup yang mewah dan berlebihan. Maka dari
prasyarat ini dapat diambil hikmah bahwa seorang pemimpin haruslah
dari golongan yang mempunyai wawasan dan nilai solidaritas yang
tinggi, yang didukung oleh umatnya, seperti kaum Quraisy pada waktu
itu.27
Dalam hal tugas pemerintahan, seorang khalifah yang berkewajiban
mengurus umat dalam hal keagamaan dan kepemimpnan duniawi, dibantu oleh
beberapa petinggi negara. Tugas yang diemban oleh seorang pembantu khalifah
ini bertanggung jawab penuh kepada khalifah. Sistem pengangkatan dan
pemberhentian jabatan ini juga sepenuhnya di tangan khalifah.28 Di antara
jabatan- jabatan tersebut adalah:
7. Jabatan mufti. Tugasnya adalah untuk mengurus ihwal keagamaan
kaum muslimin, baik berupa turunnya fatwa atau kebijakan yang
terkait dengan keagamaan.29
8. Jabatan hakim. Tugasnya untuk menyelesaikan gugatan serta
menyelesaikan perselisihan dan pertikaian. Namun dalam proses
27 Ibid., 239-243. 28 Ibid., 264. 29 Ibid., 266.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
51
penyelesaian suatu sengketa, seorang hakim wajib berlandaskan
syariat Islam.
9. Jabatan polisi. Tugasnya adalah mengawasi tindakan kriminal serta
memberikan hukuman yang telah ditetapkan oleh syariat agama.
10. Jabatan keadilan. Jabatan ini adalah di bawah hakim, tugasnya
adalah mencatat seluruh perkara dalam pengadilan baik perkara hak
asasi manusia, harta benda, utang piutang, serta transaksi hukum
lainnya. Jabatan keadilan juga mengurusi administrasi di dalam
pengadilan.
11. Jabatan pengawasan pasar. Jabatan ini di bawah jabatan hakim,
tugasnya adalah mengawasi masyarakat bila berlaku curang dalam
berniaga, atau memberi peringatan bagi masyarakat yang belaku tidak
tertib.
12. Jabatan pencetakan uang logam. Tugasnya adalah mengurusi
uang yang dicetak oleh negara untuk transaksi komersial masyarakat,
selain itu jabatan ini bertugas mengawasi percetakan tanda raja dalam
mata uang negara, sehingga dapat menunjukkan nilai kualitas dan
kemurniannya agar tidak terjadi penipuan dalam masyarakat.30
3. Relasi agama dan solidaritas sosial terhadap kedaulatan negara
30 Ibid., 272-275.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
52
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa agama dan solidaritas sosial merupakan
kunci utama dalam menjaga kedaulatan negara. Ia memberikan alasan bahwa
kekuasaan hanya bisa diperoleh oleh golongan yang menunjukkan sikap
solidaritas sosial yang kuat, dan secara umum solidaritas sosial itu berawal dari
hati manusia yang mempunyai tujuan yang sama, maka yang bisa menyatukan
hati manusia adalah Allah dengan meyakini agama yang sama yaitu Islam.31
Pendapat Ibnu Khaldun tentang pentingnya agama untuk menjaga
solidaritas sosial yang kuat adalah karena panggilan hati. Menurutnya setiap
negara yang luas daerah kekuasaannya pasti didasari oleh agama, baik yang
disampaikan oleh Nabi (Nubuwwah), atau seruan kebenaran (da’watul haq).
Ibnu Khaldun melihat bahwa peranan agama dalam mengadakan suatu persatuan
yang hebat di kalangan masyarakat adalah sedemikian rupa, sehingga tidak dapat
ditandingi oleh faktor apapun juga di dunia ini. Ia juga mengatakan bahwa
persatuan itu bukan merupakan hasil usaha manusia, akan tetapi taufik atau
pertolongan dari Allah semata.32
Sistem kenegaraan dalam perjalanannya adalah persatuan dari seluruh
organ rakyat yang saling bersinergi, dan kekuasaan itu hanya dapat diperoleh
dengan perantaraan dominasi. Dominasi sendiri hanya dapat dilakukan ketika
ada sikap gotong royong, persatuan tekad dan solidaritas yang kuat untuk
31 Ibid., 192. 32 Abdur Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), 166-
167.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
53
berjuang, dan persatuan seperti itu hanya dapat dicapai dengan perantaraan
agama saja.
Sayyid Qutub juga berpendapat tentang kedaulatan adalah kekuasaan
mutlak tuhan, dengan legitimasi tersebut sudah seharusnya seluruh sendi
kehidupan disandarkan kepada hukumnya, termasuk dalam kenegaraan. Syariah
adalah hukum yang sudah sempurna, jadi tidak perlu adanya legislasi untuk
menanggulanginya.33
Jadi pondasi agama berperan penting untuk memupuk persatuan. Sikap iri
dengki yang ada dalam persatuan akan hilang dengan agama, dengan agama pula
seluruh perhatian tertuju kepada kebenaran semata. Dengan adanya faktor
agama ini tidak suatu apapun yang dapat menghalangi kemajuan mereka, agama
menjadikan tujuan manusia menjadi satu, termasuk dalam menjalankan sistem
kenegaraan.
33 Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi; Telaah Konseptual dan Histori, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2002), 47.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB III
RELASI SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIL DI INDONESIA
TERHADAP KEDAULATAN NEGARA
A. Sistem Pemerintahan Presidensil dalam Ketatanegaraan Indonesia
Menjadi hal yang wajar, bahwa rancangan dan aplikasi dalam sistem
pemerintahan selalu berubah sesuai dengan perkembangan dan tujuan yang
diinginkan, itu disebabkan karena semakin beragamnya problem yang dilalui oleh
pemerintah. Tak dapat dipungkiri, hal tersebut adalah sintesis dari semua akibat
yang telah dilakukan. Hal ini dihadapi pula oleh Negara Republik Indonesia,
setelah mengalami empat kali perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun
1945 (1999-2002),1 Dalam periode tersebut telah terjadi perubahan yang sangat
pokok, dan yang sangat vital adalah dalam sistem pemerintahan dan kekuasaan
presiden Republik Indonesia.
Terminologi sistem pemerintahan menurut Rukmana adalah sebagai suatu
hubungan timbal balik yang saling melengkapi antara kekuasaan eksekutif dan
kekuasaan legislatif dalam pemerintahan negara, pihak eksekutif dapat diartikan
sebagai pemimpin dalam pelaksana kekuasaan.2 Di Indonesia pemimpin dalam
kekuasaan eksekutif adalah jabatan presiden.
1 Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 185. 2 Rukmana Amanwinata, “Sistem Pemerintahan Indonesia”, Jurnal Sosial Politik Dialektika, Vol. 02
No. 02, (Maret, 2001), 20.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
55
Ahmad Sukardja berpendapat tentang pengertian sistem pemerintahan
negara adalah sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga-lembaga negara atau
tiga poros kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sistem pemerintahan
berkaitan dengan mekanisme yang dilakukan pemerintah dalam menjalankan
tugasnya, secara garis besar sistem pemerintahan dibedakan dalam dua macam,
yaitu sistem pemerintahan presidensil dan sistem pemerintahan parlementer.3
Sementara, Sri Soemantri menyebutkan sistem ketiga, yakni sitem pemerintahan
quasy, yang artinya sistem pemerintahan yang mengandung unsur-unsur baik yang
terdapat dalam sistem presidensil atau terdapat dalam sistem parlementer.4
Sejak Indonesia merdeka, para pendiri negara telah resmi memilih bentuk
republik dan meninggalkan ide kerajaan di Indonesia. Mengingat bahwa Indonesia
pernah berlaku beberapa konstitusi, maka setidaknya sistem ketatanegaraan yang
berlaku di Indonesia akan juga selalu berubah sesuai dengan konstitusi yang
berlaku saat itu juga. Perubahan sistem pemerintahan dilakukan oleh pemerintahan
Indonesia haruslah berdasarkan UUD yang berlaku, UUD dalam istilah lain adalah
konstitusi.
Perubahan Konstitusi dilakukan untuk menjaga keutuhan negara ini, karena
dengan kondisi zaman dan dinamika politik yang terjadi di negara dapat merubah
3 Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan hukum Administrasi Negara dalam Perspektif Fikih
Siyasah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 120. 4 Sri Soemantri, Kedudukan, Kewenangan, dan Fungsi Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan
RI, Bunga Rampai; Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial RI, (Jakarta: Komisi Yudisial, 2006), 24-25.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
56
sistem yang telah berjalan sebelumnya. Sebagaimana dalam teorinya, konstitusi
adalah resultante dari keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya ketika
konstitusi itu dibuat.5 Oleh karena itu konstitusi menggambarkan kebutuhan dan
jawaban atas persoalan yang dihadapi saat itu. Mengingat masyarakat selalu
berubah dan mengikuti tantangan yang selalu berubah juga, maka sebagai
resultante poleksosbud tertentu konstitusi juga harus membuka kemungkinan
untuk berubah.
Setidaknya ada empat konstitusi yang belaku mulai Indonesia merdeka
sampai saat ini, sistem ketatanegaraan Indonesia berubah berdasarkan konstitusi
yang telah berjalan di negara ini.
1. Sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 sebelum perubahan
periode 17 Agustus 1945 – 27 Desember 1949
Menurut UUD 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan oleh
MPR sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Kedaulatan
adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat”. Dalam periode ini MPR memiliki power yang kuat dalam pemerintahan,
karena MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Salah satu wewenang MPR
dalam UUD 1945 ini adalah memilih dan mengangkat presiden yaitu sebagai
5 Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers,
2007), 20.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
57
pelaksana tugas karena mendapatkan mandataris MPR.6 Sebagai penyelenggara
pemerintahan, presiden dibantu oleh satu orang wakil.7 Presiden dalam
menjalankan kekuasaannya dibantu oleh sebuah komite nasional.8
Konstitusi yang berlaku pertama kali di Indonesia ini memberikan
gambaran bahwa saat itu Indonesia menerapkan sistem quasi presidensil. Hal ini
terbukti dari hasil kesepakatan PPKI menetapkan empat pasal Aturan Peralihan dan
dua ayat tambahan. Menurut pasal 3 Aturan Peralihan, “untuk pertama kali presiden
dan wakil presiden dipilih oleh anggota PPKI”. Realisasi dari pasal tersebut secara
aklamasi Soekarno dipilih menjadi presiden dan Moh. Hatta sebagai wakil
presiden.9 Sebagai wujud penerapan sistem presidensil kabinet bertanggung jawab
kepada presiden.
Sebagai wujud sistem presidensil, kabinet bertanggung jawab kepada
presiden. Tetapi tidak lebih dari setengah bulan terjadi perubahan ketatanegaraan
dengan keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945. Isi
dari Maklumat tersebut menyebutkan, Komite NAsional Indonesia Pusat (KNIP)
sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahi tugas legislatif menetapkan GBHN,
serta menyetujui pekerjaan Komite Nasional Indonesia Pusat sehari-hari berhubung
6 Titik Triwulan Tutik, Restorasi Hukum Tata Negara Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Depok: Prenada Media, 2017), 21. 7 UUD Republik Indonesia 1945 Sebelum Amandemen, Pasal 4 Ayat (2) 8 UUD Republik Indonesia 1945 Sebelum Amandemen, Pasal 4 Aturan Peralihan 9 Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Rieneka Cipta, 1992), 92.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
58
dengan gentingnya keadaan, dijalankan oleh badan pekerja yang dipilih di antara
mereka dan bertanggung jawab kepada Komite Nasional.10
Maklumat tersebut berimplikasi yang semula pembantu presiden adalah
KNIP berubah menjadi MPR dan DPR, dan perubahan sistem ketatanegaraan
Indonesia yang semula presidensil menjadi parlementer, yaitu dapat dilihat dari
segi pertanggung jawaban menteri-menteri kepada parlemen (KNIP), yang semula
bertanggung jawab kepada presiden. Dari kenyataan tersebut dapat disimpulkan,
UUD 1945 saat periode ini walaupun pada awalnya mengingkan konsep sistem
pemerintahan presidensil namun juga menerapkan sistem parlementer dalam
penerapannya, sehingga para pakar menyebutkan dengan sistem quasy
presidensil.11
2. Sistem ketatanegaraan Indonesia menurut konstitusi RIS periode 27
Desember 1949 – 17 Agustus 1950
Dalam pasal 1 ayat (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat menyebutkan
bahwa “Kekuasaan Kedaulatan Republik dilakukan oleh pemerintah bersama-sama
dengan DPR dan Senat”. Pemaknaan bunyi pasal ini adalah bahwa pemegang
kedaulatan untuk membentuk undang-undang dilakukan oleh ketiga lembaga
negara tersebut yaitu, Pemerintah, DPR dan Senat.
10 Tutik, Restorasi Hukum, 22. 11 Hasbi Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Sinar Grafika: Jakarta, 2005),
100.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
59
Maka dapat disimpulkan bahwa : Pertama, yang dimaksud pemerintah
adalah presiden dengan seorang atau beberapa menteri.12 Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara tidak dapat diganggu gugat.13 Menteri-
menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-
sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri.14 Kedua,
dari segi pertangung jawaban menteri-menteri, konstitusi RIS dalam sistem
pemerintahannya menggunakan sistem pemerintahan parlementer, aplikasinya
pembagian kekuasaan antara legislatif dan eksekutif dalam sistem ini saling
mempengaruhi. Lembaga legislatif mempunyai posisi yang sangat menentukan
dalam hal tertentu dalam kekuasaan eksekutif. Parlemen dalam lembaga legislatif
yaitu perdana menteri pun dapat ditervensi oleh eksekutif yaitu presiden. yaitu
menteri-menteri, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertanggung
jawab kepada parlemen. Dalam mekanisme pemilihan presiden pemerintah bagian
memberikan kuasa kepada orang-orang yang dipilihnya.15
Namun keberlakuan konstitusi Republik Indonesia Serikat ini hanya satu
tahun, kemudian pada tanggal 17 Agustus 1950 berubah menjadi UUD Sementara,
yaitu dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1950.
12 UUD Republik Indonesia Serikat, Pasal 68 Ayat (1). 13 UUD Republik Indonesia Serikat, Pasal 118 Ayat (1). 14 UUD Republik Indonesia Serikat, Pasal 118 Ayat (2). 15 Tutik, Restorasi Hukum, 25.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
60
3. Sistem ketatanegaraan berdasarkan UUDS 1950 periode 17 Agustus 1950
– 05 Juli 1959
Dalam praktek sistem pemerintahan negara, UUD 1950 bersifat sementara
sebagiamana disebutkan dalam pasal 134 tentang perubahan yang mengharuskan
konstituante bersama-sama dengan pemerintah untuk menyusun UUD RI yang
akan mengantikan UUD 1950. Untuk memilih anggota konstituante tersebut, pada
bulan Desember 1955 diadakan pemilu. Pemilu ini berdasarkan UU No 7 Tahun
1953 dan UU No 9 Tahun 1954, dan pada tanggal 10 November 1956 di Bandung
konstituante diresmikan oleh presiden.16
Konstituante yang dibentuk dari hasil pemilu, yang telah bersidang kurang
lebih selama 2,5 Tahun belum dapat menyelesaikan tugasnya membuat UUD,
kegagalan konstituante dalam menyusun UUD baru, disebabkan karena setelah
beberapa kali sidang dan diadakan pemungutan suara selama tiga kali tidak pernah
tercapai quorum 2/3 seperti diharuskan oleh Pasal 137 Ayat (2) UUD 1950. Untuk
mengatasi problematika tersebut maka pada tanggal 22 April 1959 atas nama
pemerintah, presiden memberikan amanat di depan sidang pleno konstituante yang
berisi anjuran agar konstituante menetapkan saja UUD 1945 sebagai UUD yang
tetap bagi Negara Republik Indonesia.17
16 Ibid., 28. 17 Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
61
Menindak lanjuti hal tersebut pada tanggal 5 Juli 1959 presiden
mengeluarkan dekrit, yang berisi:
1. Pembubaran konstituante.
2. Menetapkan UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan dekrit ini
dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.
3. Pembentukan MPRS yang terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-
utusan daerah dan golongan serta pembentukan DPA sementara.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Serikat Tahun 1950, sistem
pemerintahan Indonesia adalah sistem parlementer. Hal ini dibuktikan dengan
tugas-tugas eksekutif dipertanggung jawabkan kepada menteri-menteri baik secara
bersama-sama maupun sendiri-sendiri. Kepala negara sebagai pucuk pemerintahan
tidak dapat diganggu gugat, karena kepala dianggap tidak pernah bersalah.18
Pemerintahan adalah di tangan dewan menteri yang diketuai oleh seorang perdana
menteri. Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijakan pemerintahan,
baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya
sendiri-sendiri kepada DPR.19 Pertanggung jawaban seluruh kebijakan pemerintah
yang dilakukan oleh dewan menteri adalah kepada DPR.
18 Radjab, Hukum Tata, 103. 19 UUDS Tahun 1950 Pasal 83 Ayat (2).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
62
Pengertian pemerintahan parlementer yaitu parlemen dalam sistem
pemerintahan memiliki peranan yang sangat urgen dalam menjalankan roda
pemerintahan. Perdana menteri diangkat oleh kepala negara, sedangkan para
menteri diangkat oleh perdana Menteri setelah ia diangkat.20
4. Sistem ketatanegaraan Indonesia setelah kembali ke UUD 1945 periode 05
Juli 1959 sampai sekarang
Setelah Undang-Undang Dasar 1945 mengalami perubahan (pertama,
kedua, ketiga dan keempat), sistem ketatanegaraan Indonesia pun mengalami
perubahan yang fundamental. Peristilahan Undang-Undang Dasar 1945 dan yang
sekarang disebut dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia dirombak
sedemikian rupa, lembaga-lembaga negara ditata ulang, sistem presidensil lebih
dipertegas.
Hasil amandemen Undang-Undang Negara Republik Indonesia, lembaga
kepresidenan mengalami perubahan yang sangat fundamental, baik mengenai
mekanisme pemilihan, kedudukan, kewenangan dan pemberhentiannya.
Jabatan presiden dan / atau wakil presiden pada dasarnya hanya dijumpai
dalam negara yang menganut bentuk pemerintahan republik. Dengan demikian,
dalam negara yang pemerintahannya berbentuk kerajaan atau kekaisaran yang
20 Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensil, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995), 38.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
63
dijumpai adalah seorang kepala negara yang bernama kaisar, raja/ratu, yang
dipertuan agung atau sultan. Dalam konteks Indonesia kedudukan utama dari
presiden dinyatakan secara jelas dalam UUD NRI 1945 yaitu kekuasaan
pemerintahan negara.
Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa “Negara Indonesia
adalah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”. Berdasarkan doktrin pada
suatu negara kesatuan yang berbentuk republik kekuasaan pemeritahan adalah
wewenang pemerintahan pusat, dan dalam teorinya penyelenggara pemerintahan
dilakukan oleh badan eksekutif dalam hal ini adalah presiden. Prinsip yang
tersimpul dalam negara kesatuan yang berbentuk republik bahwa presiden dalam
sistem pemerintahan yang berada di pusat mempunyai wewenang campur tangan
terhadap persoalan-persoalan di negara, dan kewenangan ini terdapat dalam suatu
perumusan umum Undang-Undang Dasar.21
Setelah adanya amandemen UUD 1945, secara nyata sistem pemerintahan
Indonesia mengarah ke sistem presidensil murni, yaitu dengan adanya pemilihan
secara langsung oleh rakyat bagi presiden dan wakil presiden, MPR tidak
mempunyai kewenangan untuk memilih mengangkat, dan memberhentikan
presiden, tugas MPR hanya melantik presiden setelah dinyatakan menang dengan
memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan langsung oleh rakyat. Kemudian,
karena MPR bukan lagi menjadi lembaga tertinggi negara, maka presiden tidak lagi
21 Amran Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, (Bandung: Alumni, 1982), 17.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
64
bertanggung jawab kepada MPR, saat ini kedudukan MPR dan presiden adalah
sama, yaitu lembaga tinggi negara. Terkait dengan pelanggaran yang dilakukan
presiden terhadap UUD, maka yang dapat memutuskan adalah Mahkamah
Konstitusi, dan MPR hanya mentepkan saja.22
Presiden Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-
Undang dasar.23 Dalam melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang
wakil presiden. Dalam sistem presidensil, presiden adalah sebagai kepala negara
dan juga merangkap sebagai kepala pemerintahan.24 Kekuasaan dan kewenangan
presiden sebagai kepala pemerintahan adalah karena fungsinya sebagai
penyelenggara tugas eksekutif, seperti: memimpin kabinet, mengangkat dan
melantik Menteri, memberhentikan Menteri, dan mengawasi operasional
pembangunan.
Dalam hal kewenangan dan kekuasaan presiden, Inu Kencana Syafi’i
berpendapat, bahwa wewenang dan kekuasaan presiden dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu selaku kepala negara dan kepala pemerintahan. Tugas sebagai kepala
negara meliputi hal-hal yang seremonial dan protokoler kenegaraan, sedangkan
wewenang dan kekuasaan presiden sebagai kepala pemerintahan adalah karena
fungsinya sebagai penyelenggara tugas legislatif.25
22 Siti Awaliyah, “Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”,
Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Nomor 2, Vol. 2, (Agustus 2011), 120. 23 UUD Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 4 Ayat (1). 24 Ibid., Ayat (2). 25 Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: PT. Rieneka Cipta, 1954), 53.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
65
Guna memperjelas tentang bagaimana persyaratan presiden, mekanisme
pemilihan presiden, dan kekuasaan presiden di setiap keberlakuannya konstitusi di
saat itu, penulis akan membuat tabel untuk perbandingannya.
UUD 1945
Sebelum
Perubahan
UU Republik
Indonesia Serikat
tentang Perubahan
Konstitusi
sementara Republik
Indoensia Serikat
Menjadi UUD
Sementara RI
UUD 1945 Setelah
Perubahan
Persyaratan
dan
pemilihan
presiden
1.Presiden ialah
orang asli
Indonesia.26
2.Presiden dan
wakil presiden
dipilih oleh
MPR dengan
suara
terbanyak.27
1.Presiden dan Wakil-
Presiden harus warga
negara Indonesia
yang telah berusia 30
tahun dan tidak
boleh orang yang
tidak diperkenankan
serta dalam atau
menjalankan hak-
pilih ataupun orang
yang telah dicabut
haknya untuk
dipilih.28
2.Presiden dan wakil
presiden dipilih
menurut aturan yang
ditetapkan Undang-
Undang.29
1.Calon presiden dan
wakil presiden harus
seorang warga
negara Indonesia
sejak kelahirannya
dan tidak pernah
menerima
kewarganegaraan
lain karena
kehendak sendiri,
tidak pernah
menghianati
negara,serta mampu
secara jasmani dan
rohani
melaksanakan tugas
dan kewajiban
sebagai presiden
dan wakil
presiden.30
2.Presiden dan wakil
presiden dipilih
dalam satu pasangan
26 UUD Negara Republik Indonesia 1945 Sebelum Perubahan, Pasal 6 Ayat (1). 27 Ibid., Ayat (2). 28 UUD Negara Sementara 1950, Pasal 45 Ayat (5). 29 Ibid., Ayat (3) 30 UUD Negara Republik Indonesia 1945 Setelah Perubahan, Pasal 6 Ayat (1)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
66
secara langsung
oleh rakyat.31
Kekuasaan
presiden
1.Presiden
Republik
Indonesia
memegang
kekuasaan
pemerintahan
menurut
Undang-
undang
Dasar.32
2.Presiden
memegang
kekuasaan
membentuk
undang-undang
dengan
persetujuan
Dewan
Perwakilan
Rakyat.33
3.Presiden
menetapkan
peraturan
pemerintah
untuk
menjalankan
Undang-
undang
1. Presiden ialah
Kepala Negara.44
2. Presiden membentuk
kementerian-
kementerian.45
3. Presiden menunjuk
seorang atau
beberapa orang
pembentuk
kabinet.46
4. Presiden berhak
membubarkan
Dewan Perwakilan
Rakyat.47
5. Presiden
memberikan tanda-
tanda kehormatan
yang diadakan
Undang-Undang.48
6. Presiden memegang
kekuasaan tertinggi
atas Angkatan
Perang Republik
Indonesia.49
7. Opsir-opsir diangkat,
dinaikkan pangkat
dan diberhentikan
oleh atau ata nama
presiden, menurut
1. Presiden Republik
Indonesia
memegang
kekuasaan
pemerintahan
menurut Undang-
Undang Dasar.51
2. Presiden berhak
mengajukan
rancangan Undang-
undang kepada
DPR.52
3. Presiden
menetapkan
peraturan
pemerintah untuk
menjalankan
Undang-undang
sebagaimana
mestinya.53
4. Presiden
memegang
kekuasaan yang
tertinggi atas
angkatan Darat,
Angkatan Laut dan
Angkatan Udara.54
5. Presiden dengan
persetujuan Dewan
31 Ibid., Pasal 64 Ayat (2) 32 Ibid., Pasal 4 Ayat (1) 33 Ibid., Pasal 5 Ayat (1) 44 UUD Negara Sementara 1950, Pasal 45 Ayat (1) 45 Ibid., Pasal 50 46 Ibid., Pasal 51 Ayat (1) 47 Ibid., Pasal 48 48 Ibid., Pasal 87 49 Ibid., Pasal 127 Ayat (1) 51 UUD Negara Republik Indonesia 1945 Setelah Perubahan, Pasal 4 Ayat (1) 52 Ibid., Pasal 5 Ayat (1) 53 Ibid., Ayat (2) 54 UUD Negara Republik Indonesia 1945 Setelah Perubahan, Pasal 10
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
67
sebagaimana
mestinya.34
4.Presiden
memegang
kekuasaan
yang tertinggi
atas angkatan
Darat,
Angkatan Laut
dan Angkatan
Udara.35
5.Presiden
dengan
persetujuan
Dewan
Perwakilan
Rakyat
menyatakan
perang,
membuat
perdamaian dan
perjanjian
dengan negara
lain.36
6.Presiden
menyatakan
keadaan
bahaya. Syarat
dan akibatnya
keadaan bahaya
ditetapkan
dengan
undang-
undang.37
aturan –aturan yang
ditetapkan dengan
Undang-Undang.50
Perwakilan Rakyat
menyatakan
perang, membuat
perdamaian dan
perjanjian dengan
negara lain.55
6. Presiden dalam
membuat perjanjian
Internasional lainya
yang menimbulkan
akibat yang luas
dan mendasar bagi
kehidupan rakyat
yang terkait dengan
beban keuangan
negara dan
mengharuskan
perubahan dan
pembentukan
undang-undang
harus dengan
persetujuan Dewan
Perwakilan
Rakyat.56
7. Presiden
menyatakan
keadaan bahaya
Syarat dan
akibatnya keadaan
bahaya ditetapkan
dengan undang-
undang undang-
undang.57
34 UUD Negara Republik Indonesia 1945 Sebelum Perubahan, Pasal 5 Ayat (2) 35 Ibid., Pasal 10 36 Ibid., Pasal 11 37 UUD Negara Republik Indonesia 1945 Sebelum Perubahan, Pasal 12 50 UUD Negara Sementara 1950, Pasal 127 Ayat (3) 55 Ibid., Pasal 11 Ayat (1) 56 Ibid., Ayat (2) 57 Ibid., Pasal 12
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
68
7.Presiden
mengangkat
Duta dan
Konsul.38
8.Presiden
menerima duta
negara lain.39
9.Presiden
memberi grasi,
amnesti abolisi
dan
rehabilitasi.40
10. Presiden
memberi
gelaran, tanda
jasa dan lain-
lain tanda
kehormatan.41
11. Menteri-
menteri
diangkat dan
diberhentikan
oleh
presiden.42
12. Dalam hal
ihwal
kepentingan
memaksa,
presiden
berhak
menetapkan
Peraturan
8. Presiden
mengangkat Duta
dan Konsul.58
9. Dalam mengangkat
Duta Presiden
memperhatikan
pertimbangan
DPR.59
10. Presiden
menerima
penetapan duta
negara lain
dengan
memperhatikan
pertimbangan
Dewan
Perwakilan
Rakyat.60
11. Presiden memberi
grasi, dan
rehabilitasi
dengan
memperhatikan
pertimbangan
Mahkamah
Agung.61
12. Presiden memberi
Amnesti dan
abolisi dengan
memperhatikan
pertimbangan
DPR.62
38 Ibid., Pasal 13 Ayat (1) 39 Ibid., Ayat (2) 40 Ibid., Pasal 14 41 Ibid., Pasal 15 42 Ibid., Pasal 17 Ayat (2) 58 UUD Negara Republik Indonesia 1945 Setelah Perubahan, Pasal 13 Ayat (1) 59 Ibid., Ayat (2) 60 Ibid., Ayat (3) 61 Ibid., Pasal 14 Ayat (1) 62 UUD Negara Republik Indonesia 1945 Setelah Perubahan, Pasal 14 Ayat (2)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
69
Pemerintah
sebagai
pengganti
Undang-
Undang.43
13. Presiden memberi
gelaran, tanda
jasa dan lain-lain
tanda kehormatan
yang diatur
dengan undang-
undang.63
B. Kedaulatan Negara menurut UUD Negara Republik Indonesia 1945
Kedaulatan memberikan makna sebagai hak absolut tertinggi dalam politik
untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri dalam suatu negara. Kedaulatan
dapat juga diartikan sebagai kebebasan negara untuk melakukan kegiatan sesuai
dengan kepentingannya dengan syarat tidak melanggar rambu-rambu hukum
internasional.64
Kedaulatan menurut Jimly adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu rezim
politik atau dinasti dengan durasi keadaan yang telah berjalan selama dinasti itu
berkuasa.65 Harold J. Laski berpendapat kedaulatan adalah kekuasaan yang sah
menurut hukum yang tertinggi, kekuasaan tersebut meliputi segenap orang maupun
kelompok dalam wilayah yang dikuasainya.66 Sedangkan menurut Titik Triwulan
Tutik, kedaulatan adalah kekuasaan untuk melaksanakan hukum terhadap semua
43 UUD Negara Republik Indonesia 1945 Sebelum Perubahan, Pasal 22 Ayat (1) 63 Ibid., Pasal 15 64 Boer Mauna, Hukum Internasional; “Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global”,
(Bandung: PT. Alumni, 2005), 24. 65 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusional Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 95-97. 66 Juniato, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1990), 2.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
70
orang atau golongan yang berada dalam kekuasannya dan kekuasaan yang tidak
diturunkan dari pihak lain (intervensi negara).67
Konsep kedaulatan bila ditarik dalam kehidupan bernegara di Indonesia,
maka kedaualatan itu penting, karena tujuan negara Indonesia adalah untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
semua itu termaktub dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia.
Menurut Jean Bodin (1530 - 1596), kedaulatan mempunyai empat sifat
pokok yaitu: Permanen, artinya kedaulatan yang tetap ada selama negara berdiri.
Asli, artinya kedaulatan itu tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi.
Bulat/tidak dapat dibagi-bagi, artinya kedaulatan itu hanya satu-satunya kekuasaan
tertinggi. Tidak terbatas, artinya kedaulatan tidak ada yang membatasi, sebab
apabila terbatas, maka sifat tertinggi akan lenyap.68
Frans Magnis Suseno juga berpendapat bahwa ciri utama dari keberadaan
suatu negara adalah adanya kedaulatan, dengan kekuasaan suatu negara berhak
untuk melakukan apapun tanpa ada pihak baik dari dalam maupun luar yang bisa
67 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 380-381. 68 http://click-gtg.blogspot.co.id/2009/03/teori kedaulatan. Html diakses tanggal 02 Mei 2019.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
71
mengintervensi. Hak mutlak, tak terbatas dan tak terkecuali adalah sifat dari
kedaulatan.69
Dilihat dari segi hukum kedaulatan, hakikatnya merupakan kekuasaan
tertinggi yang harus dimiliki oleh negara. Sehubungan dengan konsep kedaulatan
atau konsep kekuasaan tertinggi, dalam filsafat hukum dan kenegaraaan, dikenal
lima teori yang biasa diperdebatkan dalam sejarah, yaitu kedaulatan Tuhan
(sovereignty of God), kedaulatan raja (sovereignty of the king), kedaulatan hukum
(sovereignty of law), kedaulatan negara (state’s sovereignty), dan kedaulatan rakyat
(peoples’s sovereignty).70
1. Kedaulatan Tuhan
Teori kedulatan Tuhan adalah teori yang paling tua umurnya. Menurut teori
ini Tuhan adalah pemilik kekuasaan tertinggi dalam semua elemen kehidupan.71
Dapat diartikan bahwa Tuhan-lah yang memberikan kekuasaan kepada
pemerintahan atau negara. Ajaran yang disampaikan dalam madzhab ini selalu
menyandarkan sesuatu apapun dari Tuhan, termasuk dalam hal kedaulatan yang
ada pada pemerintah atau penguasa. Sejatinya manusia adalah hanya pelaku dari
apa yang telah dikehendaki oleh Tuhan.
69 Frans Magnis Suseno, Etika Politik (Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern), (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2001), 175. 70 Triwulan Tutik, Restorasi Hukum Tata Negara..., 50. 71 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 2008), 152.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
72
2. Kedaulatan Raja
Konsep kedaulatan raja mempunayi arti bahwa raja adalah pemilik
kekuasaan paling puncak dalam hal apapun. Dalam prakteknya, kedaulatan raja
merupakan penjelmaan dari kedaulatan Tuhan, karena dalam sistem kerajaan,
pemimpin dalam generasi setelahnya adalah putra mahkota atau turun menurun,
sehingga kekuasaan tersebut mendapat legitimasi sebagai penguasa berdasarkan
perintah dan petunjuk Tuhan. Akibat yang ditimbulkan adalah kekuasaan raja
menjadi mutlak, sehingga lahirlah ajaran tentang kedaulatan raja.72
3. Kedaulatan Hukum
Kedaulatan hukum dalam konsep ini berati pemimpin tertinggi bukanlah
tokoh atau figus dalam suatu negara. Pemegang kekuasaan dalam negara yang
mengikuti ajaran ini hanyalah pelaksana apa yang telah ditetapkan oleh hukum.
Sedangkan ketetapan yang disebut dengan hukum tersebut adalah produk dari
kemufakatan dari seluruh elemen dalam negara. Menurut Jimly Assiddiqie, bahwa
istilah kedaulatan hukum berarti negara yang berdasarkan hukum, bukan
berdasarkan orang atau tokoh, dan kepemimpinan berdasarkan oleh sistem bukan
oleh tokoh atau orang.73
72 Triwulan Tutik, Restorasi Hukum Tata Negara..., 50. 73 Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum dan Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 9.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
73
4. Kedaulatan Negara
Ajaran teori kedaulatan negara berpendapat bahwa negara adalah pemilik
kekuasaan tertinggi. Implementasi dari ajaran ini adalah semua yang mendiami
negara tersebut wajib taat dan tunduk pada semua hukum yang telah ditetapkan
oleh negara, baik rakyat ataupun penguasa, karena kehendak negara adalah hukum.
Hukum diciptakan oleh negara, maka negara adalah satu-satunya pemilik
kedaulatan tunggal. Walaupun dalam prakteknya, pemegang kekuasaan saat itu
adalah pemilik kedaulatan, karena ia dipercaya memegang pemerintahan.74
5. Kedaulatan Rakyat
Salah satu pelopor tentang kedaulatan ini adalah Jean Jacques Rousseau,
yang berpndapat bahwa sesungguhnya pemilik kekuasaan tertinggi atau kedaulatan
itu adalah rakyat. Kehendak rakyat adalah suatu keputusan yang harus dilaksanakan
oleh kepala negara. Lebih lanjut bahwa setiap undang-undang yang menjadi dasar
dalam pelaksanaan kekuasan negara merupakan penjelmaan dari aspirasi seluruh
rakyat dan itu merupakan kemauan rakyat.75
Pelaksana pemerintahan dalam ajaran kedaulatan rakyat adalah bentuk
penyerahan dari hasil perjanjian masyarakat kepada pemimpin negara. Tetapi
dengan penyerahan tersebut bukan berarti bahwa hal tersebut meyerahkan
74 M. Hasbi Aminuddin, Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: UII Press, 2006),
104. 75 Assiddiqie, Pengantar Ilmu, 6.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
74
kedaulatan kepada pemimpin negara, tetapi masih berada di tangan rakyat.
Pemimpin negara harus tunduk kepada hukum yang telah ditetapkan oleh rakyat
atau wakil-wakilnya, bila melanggar maka konsekuensinya dapat diturunkan
sebagai pemimpin negara.76
Adapun untuk menganalisis permasalahan asas pemegang kekuasaan yang
ada di Indonesia, hal utama yang perlu dipersoalkan adalah mengenai hakikat
kekuasaan yang diorganisasikan dalam struktur kenegaraan. Apa dan siapakah
sesungguhnya yang memegang kekuasaan tertinggi dalam negara Indonesia.
Setidaknya ada tiga teori kedaulatan yang mendasari sekaligus memperdebatkan
mengenai persoalan kedaulatan dalam konsep kekuasaan menurut konstitusi
Indonesia saat ini, yaitu kedaulatan Tuhan, kedaulatan hukum, dan kedaulatan
rakyat.
Menurut Jimly Asshiddiqie, kedaulatan Tuhan, hukum, dan rakyat
ketiganya berlaku secara simultan dalam pemikiran bangsa Indonesia tentang
kekuasaan, yaitu bahwa kekuasaan kenegaraan dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia pada pokoknya adalah derivat dari kesadaran kolektif bangsa
Indonesia mengenai kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. 77
76 Rifyah Ka’bah, politik dan Hukum dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Khairul bayan, 2005), 50. 77 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945,
(Yogyakarta: UII Press, 2005), 9.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
75
Keyakinan kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa ini selanjutnya di
manifestasikan dalam paham kedaulatan hukum dan sekaligus kedaulatan rakyat
yang diterima sebagai dasar-dasar berpikiran sistematik dalam konstruksi UUD
suatu negara. Prinsip kedaulatan hukum diwujudkan dalam gagasan rechtssaat atau
the rule of law serta prinsip supremasi hukum yang selalu didengung-dengungkan
setiap waktu. Di Indonesia dalam perwujudnya, perumusan hukum yang dijadikan
pegangan tertinggi itu disusun sedemikian rupa melalui mekanisme demokrasi
yang lazim sesuai dengan sila keempat dalam pancasila yaitu yang berbunyi
“kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan”. Sebaliknya, konsep kedaulatan rakyat di wujudkan melalui
instrumen-instrumen hukum dan sistem kelembagaan negara dan pemerintahan
sebagai institusi hukum yang tertib.78
Oleh sebab itu, produk-produk hukum yang dihasilkan selain
mencerminkan Ketuhanan Yang Maha Esa, juga haruslah mencerminkan
perwujudan prinsip kedaulatan rakyat. Setiap produk hukum yang dihasilkan tidak
boleh bertentangan dengan cita ketuhanan bangsa Indonesia yang dijamin dalam
pancasila, tetapi produk hukum tersebut bukanlah penjelmaan langsung dari
keyakinan-keyakinan umat beragama terhadap hukum-hukum Ilahiyah. Proses
terbentuknya hukum nasional yang disepakati itu haruslah dilakukan melalui proses
permusyawaratan sesuai prinsip, demokrasi perwakilan sebagai pengejawantahan
78 Ibid., 10.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
76
prinsip kedaulatan rakyat.79 Maka prinsip kedaulatan rakyat itu selain diwujudkan
dalam peraturan perundang-undangan, juga tercermin dalam strukur dan
mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya
sistem hukum dari berfungsinya sistem demokrasi.
Sebagai dasar negara, konstitusi Indonesia yang terbentuk dalam UUD
dasar memberikan kosep yang berbeda ketika kontitusi tersebut berubah, termasuk
dalam hal ini berkaitan dengan kedaulatan yang pasti dalam rumusannya
mengalami perubahan juga. Berikut ini akan coba peneliti uraikan tentang bentuk
kedaulatan yang pernah berlaku di Indoenesia sesuai dengan konstitusi yang
berlaku saat itu.
1. Kedaulatan Negara Indonesia menurut UUD 1945 sebelum perubahan
Sebelum perubahan UUD 1945 secara tegas menganut asas kedaulatan
rakyat. Asas ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (2), yang menyatakan bahwa
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan rakyat”. Dari pernyataan pasal tersebut jelaslah bahwa
penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia adalah lembaga yang disebut dengan
MPR. Majelis ini berperan penting dalam dalam ketatanegaraan saat itu karena
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Presiden yang diangkat oleh majelis,
tunduk dan bertanggung jawab kepada majelis. Ia adalah “mandataris” dari majelis,
79 Tutik, Restorasi Hukum, 21.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
77
ia wajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak “neben” akan tetapi
“untergeordnet” kepada Mejelis.80
MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat adalah dilihat dari sudut pandang
hukum, namun kekuasaan tertinggi yang berada di tangan rakyat hanyalah asasnya
saja, sebab kekuasaan tersebut sepenuhnya yang melakukan adalah Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Tidak ada suatu badan lain (kecuali rakyat) yang
mempunyai kekuasaan melibihi badan ini, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
maka MPR berwenang menentukan segalanya, walaupun di dalam bekerjanya tentu
saja harus memperhatikan ketentuan-ketentuan UUD 1945, sebab UUD inilah yang
memberikan kekuasaan kepadanya.81
Kekuasaan MPR yang sepenuhnya ini bisa dilihat dalam teori Jean Boudin,
yaitu kedaulatan yang bersifat bulat dan tidak terpecah. Aplikasi yang berlaku di
Indonesia dalam pelaksanaan perlengkapan negara yang terdiri dari presiden, DPR,
BPK, DPA, dan DPA berada dalam lingkungan yang sama di atasnya, lembaga
yang melaksanakan kedaulatan seluruhnya dan tertinggi tetap berada di MPR.82
2. Kedaulatan Negara Indonesia menurut Konstitusi Republik Indoenesia
Serikat Tahun 1949
80 Penjelasan UUD 1945 Sebelum perubahan. 81 Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan, (Jakarta: Rieneka Cipta, 1990), 107. 82 Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, (Jakarta: Karya Nilan, 1963), 64.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
78
Kontitusi Republik Indonesia Serikat adalah penyebutan UUD negara pada
saat kedaulatan negara dalam bentuk serikat, namun hal tersebut tidak berlangsung
lama karena hanya, stelah itu kembali menjadi negara kesatuan. Penyebutan UUD
RIS juga mengalami perubahan setelah bentuk negara Indonesia yang asalnya
serikat menjadi kesatuan, yaitu dengan istilah UUD Sementara Tahun 1950.
Dalam hal kedaulatan, pemegang kekuasaan tertinggi terjadi perubahan,
dalam UUD RIS disebutkan “Kekuasaan berkedaulatan Republik Indonesia Serikat
dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan
Senat”.83
Salah satu perbedaan yang mencolok dalam konstitusi RIS ini adalah dapat
dilihat dalam ketentuan umum BAB III, yaitu dihapuskannya Majelis
Permusyawatan Rakyat dalam format alat-alat perlengkapan negara. Alat
perlengkapan negara hanya terdiri dari presiden, menteri-menteri, Senat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, dan Dewan Pengawas Keuangan.
Akibatnya seluruh alat perlengkapan negara tersebut bersifat sama, dan tidak
memiliki pertanggung jawaban terhadap lembaga yang lebih tinggi.
Dapat disimpulkan mengenai sistem Ketatanegaraan Indonesia berdasarkan
konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949:
83 UUD Negara Republik Indonesia Serikat 1949, Pasal 1 Ayat (2)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
79
1) Menurut Konstitusi RIS Badan Eksekutif dan Badan Legislatif dipisahkan
secara tajam, dalam artian bahwa baik perdana menteri maupun anggotanya
tidak dapat merangkap menjadi anggota parlemen.
2) Menganut sistem pertanggungjawaban menteri, tetapi tidak dikenal bahwa
presiden dapat membubarkan DPR.
3) Kekuasaan perundang-undangan federal dilakukan oleh pemerintah bersama
dengan parlemen.84
3. Kedaulatan Negara Indonesia menurut UUD Sementara Tahun 1950
Perubahan konstitusi Indonesia pada masa ini juga berimplikasi pada
konsep kedaulatan yang dianut negara. Hal itu terbukti dalam Pasal 1 ayat (2) yang
menyatakan “Kedaulatan Republik Indonesia adalah di tangan dan dilakukan oleh
Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Dalam UUD RIS ini perubahan yang nyata tampak pada pergantian
kekuasaan tertinggi dalam negara. MPR yang sebelumnya adalah pemegang
kedaulatan, namun dengan disahkan kontitusi ini kekuasaan tertinggi berpindah ke
pemerintah dan DPR. Menurut Titik Triwulan Tutik sebagaimana mengutip
pendapat Bachruddin, bahwa “bagian pertama yang menyatakan kedaulatan negara
berada di tangan rakyat adalah suatu ketentuan yang tidak dapat dielakkan, dimana
84 Titik Triwulan Tutik, Restorasi Hukum Tata Negara..., 57.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
80
Pasal 1 ayat (2) menetapkan bahwa Republik Indonesia adalah suatu negara hukum
yang demokratis.85
Ismail Sunny berpendapat, bahwa dalam UUD Sementara ini teori Jean
Bodin yang menyatakan bahwa kedaulatan bersifat utuh atau bulat tidaklah berlaku,
karena dalam prakteknya kedaulatan saat itu dibagi dalam dua kekuasaan, yaitu
kekuasaan eksekutif dan legislatif.86 Pemerintah yaitu presiden dan wakil presiden
dan DPR selaku pemegang pemerintahan saling bekerja sama untuk menjalankan
amanat rakyat.
4. Kedaulatan Negara Indonesia menurut UUD 1945 pasca amandemen
Hasil amandemen konstitusi mempertegas deklarasi negara hukum, dari
semula hanya dalam Penjelasan, menjadi bagian dari Batang Tubuh UUD Negara
Republik Indonesia 1945, yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.87 Konsep pemisahan kekuasaan
negara ditegaskan. Presiden tidak lagi memegang kekuasaan membentuk Undang-
Undang, tetapi hanya berhak mengajukan dan membahas RUU.88 Pasal 5 ayat (1)
dan Pasal 20 ayat (2) ini memberikan artian bahwa antara presiden dan DPR
diperlukan sikap saling bekerja sama dan tidak ada lagi bisa sewenang-wenang
sebagai seorang presiden.
85 Tutik, Restorasi Hukum, 57. 86 Sunny, Pergeseran Kekuasaan..., 64. 87 UUD Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 1 Ayat (2) 88 UUD Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
81
MPR tidak lagi mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas, ini adalah salah
satu manisfestasi dari konsep pemisahan kekuasaan setelah amandemen UUD
1945. Hasil amandemen menciptakan lembaga-lembaga negara dalam hubungan
fungsional yang horizontal, bukan dalam hubungan struktural yang vertikal.
Setelah adanya amandemen sebanyak empat kali, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia secara terang menjelaskan tentang pemisahan tiga
fungsi kekuasaan negara, pemisahan tersebut dilakukan agar tidak terjadinya
pemusatan kekuasaan, mempertegas dan menjelaskan secara konkrit prinsip-
prinsip dasar sistem presidensil yang dipraktekkan dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia.89
C. Relasi Sistem Pemerintahan Presidensil terhadap Eksistensi Kedaulatan
Negara di Indonesia
Dari uraian di atas, perubahan UUD 1945 selain untuk membentuk sistem
pemerintahan yang ideal juga untuk memperkuat sistem presidensial, dan
sepertinya sudah terpenuhi namun belum mencapai derajat sistem presidensial
murni. UUD 1945 hasil perubahan masih memuat norma hukum campuran antara
sistem pemerintahan presidensial dan parlementer, yakni dalam hal pembentukan
undang-undang (UU), di mana masih terdapat dua lembaga yang terkait dalam
pembentukan UU, yakni DPR dan Presiden.
89 Rahmat, “Implementasi Cheks and Balances antara Presiden dan DPR dalam Sistem Pemerintahan
Presidensil di NKRI Pasca Reformasi Perspektif Fikih Siyasah”, (Tesis—UIN Sunan Ampel, Surabaya,
2016), 97.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
82
Praktek pemerintahan yang masih belum dikatakan murni karena dilihat
dari perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia telah terjadi perubahan konstitusi,
yang tentu hal tersebut berimplikasi pada sistem yang telah berjalan. Setidaknya
pernah berlaku tiga sistem pemerintahan di Indonesia, dan setiap sistem tersebut
memiliki karakteristik masing-masing, yaitu Presidensil, parlementer, dan quasy
presidensil.
1. Sistem pemerintahan presidensial
Sistem pemerintahan presidensil adalah Sistem pemerintahan yang
mempunyai ciri-ciri yang khas yaitu Pertama, sistem itu didasarkan atas asas
pemisahan kekuasaan. Yang kedua, tidak ada pertanggungjawaban bersama antara
presiden sebagai pemimpin eksekutif dengan anggota-anggotanya. Anggota-
anggota yang bernama menteri itu sepenuhnya bertanggungjawab kepada presiden.
Yang ketiga, DPR tidak dapat dibubarkan oleh presiden, keempat, Presiden itu
dipilih oleh rakyat melalu pemilu. Jadi ini sistem pemerintahan presidensial.90
Dalam konteks lain, Sumbodo Tikok berpendapat tentang ciri-ciri sistem
pemerintahan Presidensial, yakni:
1) Presiden adalah kepala ekskekutif yang membawahi kabinetnya karena
menteri tersebut diangkat oleh presiden dan bertanggungjawab kepadanya.
90 Ahmad Yani, “Sistem Pemerintahan Indonesia: Pendekatan Teori Dan Praktek Konstitusi Undang-
Undang Dasar 1945”, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 12 No. 02 (Juli, 2018), 124.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
83
Ia sekaligus yang berkedudukan sebagai kepala negara (lambang negara)
dengan masa jabatan yang jelas sesuai dengan Undang-Undang Dasar.
2) Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif, tetapi oleh sejumlah pemilih
dalam hal ini oleh rakyat, oleh karena itu ia bukan bagian dari badan
legislatif.
3) Presiden tidak bertanggungjawab kepada badan legislatif, dan dalam hal
ini tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif.
4) Sebagai imbangannya Presiden tidak dapat membubarkan badan
legislatif.91
Sedangkan Ramlan Surbakti menyebutkan ciri-ciri sistem Presidensial,
yaitu:
1) Lembaga legislatif, dan eksekutif memiliki kedudukan yang indepnden,
sedangkan pemegang kewenangan dipilih oleh rakyat secara terpisah.
2) Lembaga legislatif maupun eksekutif mempunyai kewenangan membuat
UU, tetapi yang satu harus mendapatkan perstujuan dari yang lain sehingga
setiap UU merupakan hasil kesepakatan kedua pihak.
3) Kepemimpinan dalam melaksanakan kebijakan (administrasi) lebih jelas
yakni ditangan Presiden, dari pada dalam kabinet parlementer, tetapi siapa
91 Sumbodo Tikok, Hukum Tata Negara, (Bandung: PT Eresco, 1988), 275.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
84
yang bertanggungjawab dalam pembuatan kebijakan lebih jelas pada
kabinet parlementer dibandingkan dengan kabinet Presidensial.
4) Kebijakan konprehensif jarang bisa dibuat karena legislatif dan eksekutif
mempunyai kedudukan yang terpisah (seseorang tidak mempunyai fungsi
ganda), ikatan partai yang longgar, dan kemungkinan kedua badan ini di
dominasikan oleh partai yang berbeda.
5) Jabatan kepala pemerintahan dan kepala negara berada pada satu tangan.
6) Legislatif bukan tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif, yang
dapat di isi dari berbagai sumber termasuk legislatif.92
2. Sistem pemerintahan parlementer
Sistem pemerintahan parlementer adalah Sistem pemerintahan parlementer
yaitu parlemen dalam sistem pemerintahan memiliki peranan yang sangat urgen
dalam menjalankan roda pemerintahan. Perdana menteri diangkat oleh kepala
negara, sedangkan para Menteri diangkat oleh perdana Menteri setelah ia
diangkat.93 Cabang kekuasaan eksekutif dipimpin oleh perdana Menteri atau
konselir yang dibantu oleh kabinet yang dapat dipilih dan diberhentikan oleh
parlemen. Perbedaan yang mencolok antara sistem pemerintahan parlementer
dengan presidensial adalah dalam sistem pemerintahan parlementer walaupun juga
mempunyai seorang kepala negara tetapi itu hanya sebagai kepala negara bukan
kepala pemerintahan, artinya presiden hanya bersifat simbolis dan seremonial serta
92 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia, 1999), 170-171. 93 Lijphart, Sistem Pemerintahan, 38.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
85
mempunyai pengaruh politik yang sangat terbatas, dan tidak berhak menjalankan
pemerintahan.94
3. Sistem pemerintahan quasi presidensil
Sistem pemerintahan quasi presidensil adalah Sistem campuran atau quasi
adalah sistem pemerintahan yang memadukan kelebihan dari sistem pemerintahan
parlementer dan presidensial. Dalam sistem ini diusahakan hal-hal yang terbaik dari
kedua sistem pemerintahan tersebut. Dalam sistem pemerintahan ini, selain
memiliki Presiden sebagai Kepala Negara, juga memiliki Perdana Menteri sebagai
kepala Pemerintahan untuk memimpin kabinet yang bertanggungjawab kepada
parlemen. Bila presiden tidak diberi posisi dominan dalam sistem pemerintahan ini,
presiden tidak lebih dari sekedar lambang dalam pemerintahan. Akan tetapi
presiden tidak bisa dijatuhkan oleh parlemen, bahkan presiden dapat membubarkan
parlemen.95
Dari berbagai macam bentuk sistem pemerintahan yang pernah berlaku di
Indonesia di atas, bila dilihat terdapat beberapa perbedaan. Dan perbedaan tersebut
dapat dijadikan acuan bagi negara Indonesia sistem apa yang paling ideal untuk
diterapkan di negara ini. Pertama, dalam hal pemilihan presiden, sistem presidensil
dan quasy presidensil memiliki kesamaan dengan dipilih secara langsung oleh
rakyat, sedangkan dalam sistem parlementer presiden / raja dipilih oleh parlemen.
94 Sukardja, Hukum Tata Negara, 112. 95 Muliadi Anangkota, “Klasifikasi Sistem Pemerintahan Perspektif Pemerintahan Modern Kekinian”,
Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol.3 No.2, (April, 2016), 148.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
86
Kedua, dalam hal kekuasaan sistem presidensil dan quasy presidensil menunjuk
presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Presiden memiliki
kewenangan untuk mengangkat dan memberhentika menteri-menteri, karena
pertanggung jawaban menteri adalah kepada presiden, sedangkan dalam sistem
parlementer presiden hanya sebagai kepala negara, dan kepala pemerintahan
dipegang oleh perdana menteri. Menteri-menteri (kabinet) diangkat dan
diberhentikan oleh parlemen. Ketiga, dalam sistem presidensil pemberhentian
presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen, kecuali apabila presiden melanggar
hukum yang telah ditetapkan oleh UUD, sama halnya dengan sistem parlementer,
tidak mengenal impechment kepada presiden, hanya parlemen dapat mengajukan
mosi tidak percaya terhadap kebijakan kabinet.
Dari karakteristik tiga sistem yang pernah diberlakukan di atas, rupanya
sistem presidensil adalah yang paling cocok. Hal tersebut dapat dilihat dalam UUD
Negara Indonesia 1945 yang dalam setiap pasalnya masih mempertahankan nilai-
nilai yang terkandung dalam model penerapan sistem presidensil. Namun yang
sangat mencolok adalah dalam hal pemilihan langsung dari sistem presidensil ini,
karena dengan pemilihan presiden secara langsung berarti memberikan ruang yang
luas bagi rakyat untuk menghendaki bagaimana mengatur negaranya sebagaik
mungkin, artinya kedaulatan rakyat menjadi kunci dalam sistem presidensil di
Indonesia untuk menjaga eksistensi kedaulatan negara.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
87
Kedudukan presiden dalam sistem pemerintahan presidensial memiliki
kewenangan yang luas, presiden yang sedang berkuasa tidak dapat diganggu
gugat oleh parlemen dalam keadaan normal. Presiden dipilih oleh rakyat secara
langsung (populer vote ornnelectoral college ) untuk masa jabatan tertentu sesuai
dengan yang ditetapkan dalam UUD.96 Kewenangan yang luas ini sejatinya adalah
untuk menciptakan pemerintahan stabil, karena dengan kewenangan yang luas
tersebut diharapkan kebijakan yang diambil dapat terealisasi, karena tidak ada
pertanggung jawaban kepada lembaga lain, selama tidak melanggar UUD.
UUD 1945 menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih dalam
satu pasangan secara langsung oleh rakyat.97 Pasal tersebut terjadi setelah
perubahan ketiga UUD 1945, sebagai konsekuensinya presiden tidak lagi dipilih
oleh majelis, namun dipilih secara langsung oleh masyarakat. Tujuan reformasi
benar-benar dilakukan dengan sepenuhnya rakyat berpartisipasi dalam pemilihan
presiden dan wakil presiden, hal ini memberikan dampak yang sangat bagi sistem
ketatanegaraan Indonesia, karena luasnya ruang demokrasi kepada masyarakat,
sehingga harapannya pemimpin yang dipilihnya tersebut dapat berpihak kepada
rakyat dan mampu memberikan dan mengakomodir apa yang diinginkan rakyat
96 Mahmuzar, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen,
(Bandung: Nusa Media, 2010), 32. 97 UUD Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 6 Ayat (1)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
88
secara luas, dengan artian bahwa sistem presidensil memberikan nuansa bernegara
yang lebih hidup.98
Perihal pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat memberikan arti
bahwa tanggung jawab presiden bukan kepada lembaga negara lainnya (MPR).
Tetapi kembali ke rakyat lagi, bentuk pertanggung jawabannya tersebut adalah
dengan tidak dipilihnya kembali calon presiden tersebut ketika mencalonkan
kembali menjadi presiden bila pertanggung jawaban tersebut ditolak oleh rakyat,
namun bila pertanggung jawaban presiden tersebut diterima oleh rakyat, maka
periode kedua dipilih kembali oleh rakyat.
Konstitusi negara Indonesia memberikan regulasi yang jelas untuk
menfasilitasi rakyat dalam menjaga kestabilan pemerintahan. Cukup baik dalam
sebuah negara yang multi suku, agama dan kebudayaan yang berbeda rakyat
sebagai tumpuan utama untuk memerintah. Maka seharusnya rakyat adalah
pembuat aturan baik di tingkat pusat maupun daerah melalui badan-badan yang
mewakilinya. Hakikatnya badan perwakilan di daerah ataupun pusat adalah alat
untuk membuat suatu hukum yang dibutuhkan oleh rakyat. Kemudian presiden
sebagai pelaksana kekuasaan menjalankan hukum tersebut sesuai dengan aturan
yang berlaku, itulah essensi dari kedaulatan negara yang sebenarnya.
98 Moh. Hudi, “Kedudukan dan Tanggungjawab Presiden dalam Sistem Presidensial di Indonesia”,
Jurnal Mimbar Yustitia, Vol. 2, No. 2, (Desember, 2018), 182.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
89
D. Sistem Ketatanegaraan Islam dan Kedaulatan Negara serta Implementasinya
di Indonesia
Dalam masyarakat Islam, seperti halnya dalam lingkungan masyarakat yang
lain, sistem ketatanegaraan dibangun dengan cara yang paling cocok untuk
mempromosikan garis-garis besar nilai-nilai pokok mereka. Sistem khilafah yang
muncul setelah Nabi wafat mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi
politik dalam negara Islam yang menyimbolkan kesatuan umat Islam dimanapun.
Namun syarat pokok yang mendasari kekuasaan negara Islam dengan
mendasarkan segala perilakunya pada ajaran-ajaran syariah memerlukan suatu
standar tingkah laku tertentu atau serangkaian norma yang menjadi basis tegaknya
negara Islam.
Sistem ketatanegaraan dalam Islam sendiri telah banyak dibahas oleh
ilmuwan Muslim. Terkadang mereka berbeda dalam menuangkan pikirannya
tentang hal ini, sebabnya adalah perbedaan latar belakang dan kondisi politik ketika
mereka hidup. Al-Mawardi berpendapat tentang sistem ketataegaraan dengan
model konsep kepemimpinan dalam Islam yaitu, seorang khalifah atau raja
merupakan pimpinan politik dan pimpinan dalam hal keagamaan. Maka sebagai
seorang khalifah sudah wajib hukumnya memberikan bimbingan dalam agama dan
juga membuat keputusan dalam hal kenegaraan.99
99 Imam al-Mawardi, Sulthan al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Beirut: Dar al-Fikri, 1960), 6.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
90
Kemudian ia juga berpendapat bahwa setidaknya ada 6 konsep dalam sistem
ketatanegaraan, yaitu:
1. Agama merupakan kunci utama dalam keberlangsungan sebuah negara,
hal ini terjadi karena agama adalah pengendali sifat kejelekan hati setiap
petinggi dan warga negara.
2. Pemimpin dalam negara memiliki aura kharismatik dan berwibawa,
sehingga dapat memberikan tauladan bagi rakyatnya, dan dapat
memberikan rasa persatuan di antara mereka.
3. Keadilan. Sudah menjadi kunci utama bahwa dalam negara keadilan
merupakan perilaku yang tidak boleh hilang bagi seorang pemimpin,
karena negara yang makmur dan sejahtera hanya bisa dicapai dengan
keadilan.
4. Rasa aman dalam negara. Perasaan seperti ini sangat eratnya dengan
keadilan, karena kekacauan sendiri berawal dari ketidak adilan. Tujuan
didirikan negara salah satunya adalah untuk melindungi rakyatnya dari
penjajahan atau penindasan baik dari dalam atau luar negara, dan inilah
yang dimaksud dengan rasa aman dan damai dalam negara.
5. Kondisi geografi. Negara yang mempunyai sumber daya alam yang
melimpah adalah anugerah dari Tuhan dan ini merupakan ciri-ciri negara
yang kaya, tinggal bagaimana pengelolahan sumber daya tersebut, maka
dari itu diperlukan sumber daya manusia yang kompeten agar hasil yang
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
91
dikeluarkan dapat mencukupi seluruh kehidupan masyarakat dalam
negara.
6. Keinginan untuk kehidupan masa depan yang lebih baik. Dalam hal ini
sudah selayaknya perlu diperhatikan dalam fungsi negara, karena
golongan yang hidup saat ini merupakan pewaris dari golongan
sebelumnya, dan yang hidup saat ini akan mewarisi generasi setelahnya,
maka dibutuhkan upaya untuk melangsungkan kehidupan yang lebih
baik untuk generasi selanjutnya.100
Ibnu Taimiyah dalam memberikan argumentasi tentang bagaimana sistem
ketatanegaraan itu dapat berjalan dengan baik, maka harus berlandaskan sifat
amanah dan keadilan bagi penyelenggaranya. Pendapat ini beralasan bahwa sifat
tersebut adalah norma yang dapat mewujudkan kemaslahatan bangsa. Kemudian
Ibnu Taimiyah juga memberikan pendapat bagaimana relasi negara dan agama
yang sejatinya tidak bisa dipisahkan. Agama yang merupakan tuntunan dari Tuhan
sudah semestinya untuk diikuti dan dilaksanakan dalam kehidupan apapun, baik
dalam kepentingan individu atau sosial. Karena ajaran agama dan syariah yang
merupakan jalan hidup manusia sudah memiliki konsep lengkap untuk
keberlangsungan hidup manusia, termasuk dalam kenegaraan.101
100 Rahmawati, “Sistem Pemerintahan Islam menurut al-Mawardi dan Aplikasinya di Indonesia”, Jurnal
Syari’ah dan Hukum, No. 2, Vo. 16, (Desember 2018), 269- 270. 101 Anton Arizal Candra, “Pemikiran Siyasah Syar’iyah ibnu Taimiyah”, Jurnal UIR Law Review, No.
01, Vol. 02, (Oktober 2017), 69.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
92
Sependapat dengan Ibnu Taimiyah, al-Maududi berpendapat
penyelenggaraan negara tidak dapat dilakukan apabila bertolak belakang dengan
ketentuan agama, sekalipun kemufakatan telah terjadi. Namun, bukan berarti
manusia tidak dapat membuat regulasi sendiri untuk mengaturnya, ketika agama
tidak mengatur secara konkrit suatu masalah maka dapat dilakukan konsensus
bersama dalam pelaksanaannya.102 Dari pendapat al-Maududi tersebut tersirat
makna bahwa aparatur negara memiliki kewenangan untuk meregulasi sistem baru
apabila diperlukan, namun masih dalam koridor agama.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pancasila merupakan sumber
hukum, pandangan hidup dan norma dasar yang dijadikan landasan utama dalam
penyelenggaraan negara, maka dari itu setiap pergerakan yang dilakukan negara
haruslah bersumber dari pancasila. Sedangkan Undang-Undang Dasar adalah
norma-norma hukum tertulis yang paling tinggi dalam hirarki peraturan negara
Indonesia yang di dalamnya tergambar seluruh aspek kehidupan bernegara.
Secara essensial nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila merupakan
cerminan dalam al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam, walaupun dalam segi
bahasanya tidak tersurat secara eksplisit, namun hal itu bukan berarti Indonesia
tidak bersumber dari agama, atau adanya pemisahan antar agama dan negara.
Prinsip dasar dalam butir-butir pancasila telah memberikan legitimasi bahwa jiwa
102 Abu al-A’la al-MAududi, The Islamic Law and Goverment , terj. Asep Hikmat, (Bandung: Mizan,
1990), 160.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
93
dan roh bangsa Indonesia adalah berasaskan al-Qur’an, di antaranya konsep
ketuhanan, keadilan, musyawarah, perdamaian dan persaudaraan.
Istilah kedaulatan telah termaktub dalam UUD Negara Republik Indonesia,
yaitu pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Penafsiran pertama dari pasal 1
ayat (2) ini adalah kekuatan rakyat merupakan motor dari pergerakan yang dalam
negara Indonesia. Rakyat adalah penentu tujuan dan langkah negara. Penafsiran
yang kedua adalah Indonesia merupakan negara hukum atau konstitusional, setiap
kebijakan yang akan dilakukan haruslah berdasarkan hukum yang berlaku.
Implemetasi sistem ketatanegaraan Islam, secara tidak langsung dapat
dijumpai dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, namun tidak secara holistik.
Kemajemukan warga negara Indonesia memberikan sikap terbuka bagi para pendiri
bangsa dan ulama untuk menerimanya, sehingga eksistensi pancasila bisa
dipertahankan. mereka menyadari bahwa Indonesia adalah negara hukum, sikap
inkonstisional tidak bisa dilakukan dalam bernegara, karena subtansi hukum Islam
dapat dijalankan bila telah disahkan secara konstitusional di negara Indonesia.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB IV
RELASI SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIL DI INDONESIA
TERHADAP EKSISTENSI KEDAULATAN NEGARA PERSPEKTIF IBNU
KHALDUN
A. Analisis Relasi Sistem Pemerintahan Presidensil di Indonesia terhadap
Eksistensi Kedaulatan Negara
Organisasi negara meliputi berbagai macam perlengkapan negara.
Berbagai macam menunjukkan bahwa terdiri dari banyak dan saling berbeda antar
satu dan lainnya. Perbedaan ini dapat mengenai tugas kewenangannya serta dapat
pula mengenai susunannya. Meskipun terjadi banyak macam perbedaan, bila
ditinjau dari keseluruhannya bahwa semua itu merupakan satu kesatuan, sebab
perbedaan tersebut memang diadakan untuk mencapai suatu kedaulatan negara agar
tujuan berbangsa dan bernegara dapat tercapai. Bagi Indonesia diadakannya alat
perlengkapan tersebut ialah demi terwujudnya cita-cita bangsa Indonesia, yaitu
cita-cita Pancasila sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD Negara
Republik Indonesia 1945.
Berbicara konsep kedaulatan negara, berarti suatu negara tersebut bebas
untuk menjalankan kekuasaan negara, baik yang bersifat internal dan eksternal.
Pemaknaan tersebut juga berlaku bagi negara Indoensia, yaitu sebagai negara
berdaulat juga mempunyai hak dan kewenangan untuk membentuk dan mengatur
negaranya sendiri. Hal ini telah diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
95
dalam pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan bahwa, Negara Indonesia ialah Negara
Kesatuan yang berbentuk Republik.
Berbagai perubahan yang dilakukan dalam tubuh UUD sebagai konstitusi
negara adalah salah satu upaya negara Indonesia untuk mengatur dan menjalankan
negaranya, salah satu tujuannya adalah untuk menjaga kedaulatan negara dengan
cara mempertegas sistem presidensil. Kesepakatan dasar untuk mempertegas
sistem pemerintahan presidensil bertujuan untuk memperkukuh sistem
pemerintahan yang stabil dan demokratis yang dianut oleh negara Indonesia dan
telah dipilih oleh pendiri negara pada tahun 1945.
Amandemen konstitusi yang dilakukan oleh negara Indonesia adalah bagian
dari upaya untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan yang telah berjalan selama
ini. Dalam konteks bernegara hal tersebut perlu dilakukan untuk membangun
sistem ketatanegaraan yang lebih demokratis. Adanya reformasi itu juga
memperlihatkan telah dibukanya pintu amandemen atas UUD 1945, di antara
tujuan suara yang digaungkan adalah mempertegas sistem presidensil di Indonesia.
Kesepakatan dasar untuk mempertegas sistem pemerintahan presidensil bertujuan
untuk memperkukuh sistem pemerintahan yang stabil dan demokratis yang dianut
oleh negara Indonesia dan telah dipilih oleh pendiri negara pada tahun 1945.
Dalam sistem ini, terdapat lima prinsip penting, yaitu (1) Presiden dan wakil
presiden merupakan satu institusi penyelenggara kekuasaan eksekutif negara yang
tertinggi di bawah Undang-Undang Dasar. (2) Presiden dan wakil presiden dipilih
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
96
oleh rakyat secara langsung dan karena itu secara politik tidak bertanggung jawab
kepada Majelis Permusyawaratan Rayat atau lembaga parlemen, melainkan
pertanggung jawaban langsung kepada rakyat. (3) Presiden dan / atau wakil
presiden dapat dimintakan pertanggung jawaban secara hukum apabila presiden
dan / atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi. (4) Para
menteri adalah pembantu presiden, maka pertanggung jawaban langsung kepada
presiden bukan kepada parlemen. (5) Untuk membatasi kekuasaan presiden yang
kedudkannya dalam sistem presidensil sangat kuat sesuai dengan kebutuhan untuk
menjamin stabilitas pemerintah, ditentukan pula bahwa masa jabatan presiden lima
tahunan tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua jabatan.1
Indonesia dalam memilih sistem pemerintahan presidensil tentunya bukan
tanpa alasan, hal itu dipilih oleh para pendiri bangsa karena beberapa faktor, di
antaranya:
1. Untuk menjaga stabilitas nasional;
2. Memperkuat posisi dan dominan presiden yang ditugaskan dalam UUD
1945;
3. Negara yang baru merdeka tidak cukup pengetahuan pengalaman;
4. Adanya pengaruh ketokohan Soekarno dan Moh. Hatta.2
1 Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia Indonesia, Kajian terhadap Dinamika Perubahan
UUD 1945, (Yogyakarta: FH UII, 2003), 14-15. 2 Retno Saraswati, “Desain Sistem Pemerintahan Presidensial Yang Efektif”, Jurnal Masalah-Masalah
hukum, Vol. 41, No. 1, (Januari, 2012), 139.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
97
Jimly Asshiddiqie berpendapat, bahwa dalam praktek sistem presidensil di
dalamnya terdapat prinsip-prinsip yang dapat menciptakan pemerintahan yang kuat
dan stabil, terutama bagi negara-negara yang mempunyai keberagaman suku dan
budaya.3
Kelebihan sistem pemerintahan presidensil seperti yang dikemukakan oleh
Arend Lijphart adalah stabilitas eksekutif.4 Stabilitas eksekutif berdampak pada
kedaulatan negara, karena presiden dapat bekerja tanpa ada ganjanlan dari pihak
lain. UUD Negara Republik Indonesia 1945 telah memberikan ketentuan yang yang
jelas dalam hal seorang presiden sebagai memegang jabatan eksekutif. Ketentuan
ini akan berimplikasi pada kestabilan pemerintahan, hal itu dikarenakan
kepemimpian yang telah terbentuk dapat terjaga selama masa periodenya.
Pemilihan presiden secara langsung juga merupakan ciri sistem presidensil.
Dari proses pemilihan langsung ini mencerminkan nilai demokrasi, dan demokrasi
adalah salah satu nilai yang terkandung dalam Pancasila, sebagai pegangan hidup
bangsa Indonesia.
Hazairin berpendapat bahwa demokrasi dapat diterjemahkan sebagai
“kerakyatan”, yang artinya adalah kekuasaan rakyat.5 Ciri pokok dalam demokrasi
ini adalah adanya pemufakatan dalam lingkungan tugas masing-masing, dan setiap
3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 206. 4 Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensil, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995), 14. 5 Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Tinta Mas, 1983), 48.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
98
individu dalam proses ini turut serta menyampaikan aspirasinya untuk tujuan
bersama. Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk terpadat dan terdiri
dari keberagaman suku memerlukan instrumen untuk mengakomodir apa yang
dikehendaki sesuai dengan tujuan oleh seluruh rakyatnya. Namun dalam prosesnya
harus sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah disepakati bersama, yaitu berasaskan
pancasila dan UUD. Pancasila diibaratkan sebagai fondasi ketika membuat sebuah
gedung. Maka bila UUD diartikan sebagai kontrak sosial dalam menjalankan
sistem ketatanegaraan, berarti pancasila adalah sebagai falsafah atau dasar berpijak
ketika akan membuat aturan tersebut.
Eksistensi kedaulatan negara dapat dilakukan karena Indonesia adalah
negara hukum. Konsep negara hukum konstitusi adalah supreme atau tertinggi,
aturan ini terlegitimasi karena nilai filosofis dari konstitusi tersebut merupakan
kemufakatan masyarakat secara keseluruhan. UUD sebagai konstitusi di Indonesia
berarti masyarakat telah bersepakat untuk tunduk dan memberikan amanah seluruh
tujuan hidup mereka kepada negara. Manifestasi dari Indonesia sebagai negara
hukum dengan UUD sebagai konstitusinya adalah upaya untuk menyerap seluruh
aspirasi rakyat untuk dilaksanakan oleh organisasi negara dengan menyerahan
sebagian kedaulatannya kepada negara.6
6 Rudi, “Mempertimbangkan Amandemen Konstutusi (Kajian Calon Presiden Perseorangan dari Aspek
Kedaulatan Rakyat dan Konstitusional), Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, (Maret, 2014), 108.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
99
Prinsipnya eksistensi kedaulatan negara dapat ditegakkan karena adanya
masyarakat dalam negara yang mempercayai dan tunduk pada semua aturan yang
telah disepakati bersama. Bentuk itu dapat dijumpai di Indonesia dengan adanya
aturan dasar atau konstitusi yang tertulis dalam UUD Negara Republik Indonesia.
Selanjutnya kedaulatan negara dapat terjaga dengan sistem presidensil yang
diterapkan di Indonesia adalah dengan adanya pemisahan yang jelas dari pemegang
kekuasaan. Penyebabnya adalah pemegang supremasi tertinggi tidak ada dalam
sistem ini, kecuali konstitusi yaitu UUD.7 Fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif
telah diterangkan dengan jelas dalam UUD Negara Republik Indonesia, sehingga
satu dan lainnya jelas tugas dan fungsinya, namun tetap adanya perimbangan dalam
fungsinya. Fungsinya adalah sebagai pengontrol antar lembaga negara.
Pembatasan kekuasaan dianggap perlu dalam sistem pemerintahan
presidensil karena untuk menjamin kebebasan politik rakyat, sebabnya adalah
apabila kekuasaan negara termonopoli atau tersentralisasi untuk seorang penguasa
saja maka kebebasan politik sulit dijaga dan dipertahankan.8 Seperti yang
disampaikan oleh Delier Noer, apabila kekuasaan eksekutif tidak ada pembagian
yang jelas dengan kekuasaan legislatif maka tidak mungkin kemedekaan dapat
7 Sofian Effendi, “Sistem Pemerintahan adalah Jati Diri Bangsa”, Artikel Hukum, (Februari, 2005), 9. 8 Ahmad Yani, “Sistem Pemerintahan Indonesia: Pendekatan Teori Dan Praktek Konstitusi Undang-
Undang Dasar 1945”, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 12, No. 2, (Juli 2018), 127.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
100
dicapai. Apabila kekuasaan mengadili dicampur dengan kekuasaan eksekutif maka
tindakan hakim akan sewenang-sewenang terhadap rakyat.9
Maka praktek dari Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945 secara
mendasar adalah semuanya kembali ke rakyat sebagai pemegang dan pengendali
pemerintahan dalam negara. Yaitu dengan mendasarkan bunyi klausul kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang.10 Pasal ini
memberikan ketegasan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, dan Indonesia
adalah negara yang berdasarkan hukum.
Di Indonesia dan sejumlah negara mengkalim diri sebagai negara
demokrasi, dan pelaksanaan pemilihan secara langsung bagi pemimpin negara
adalah aplikasi dari praktek demokrasi tersebut, karena pemilihan secara langsung
tersebut merupakan cerminan dari kedaulatan rakyat, yang artinya pemilihan secara
langsung untuk memilih pemimpin atau wakil rakyat akan melahirkan suatu
representatif aspirasi rakyat yang tentu berhubungan dengan legitimasi bagi rakyat
dalam sistem demokrasi.
Hakikatnya kedaulatan rakyat dengan proses pemilihan langsung adalah
pengakuan dan perwujudan dari pada hak-hak politik rakyat dan sekaligus
pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada wakil-wakilnya untuk
9 Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, (Bandung: Mizan, 1998), 136. 10 UUD Negara Republik Indoensia, Pasal 1 ayat (2).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
101
menjalankan pemerintahan.11 Maka pemilihan langsung tersebut mentransformasi
kedaulatan rakyat menajdi kedaulatan negara yang dilakukan dengan fungsinya
sebagai perjanjian sosial, artinya sebagai warga negara secara individual bersepakat
menyerahkan haknya kepada orang lain atau organisasi yang dipandang berpotensi
untuk berkuasa atau membentuk kedaulatan negara.12
Oleh karena itu, Kedaulatan rakyat merupakan cerminan sikap demokrasi
yang berarti apapun yang dilakukan negara adalah dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat. Pelaksanaan kekuasaan kepada lembaga-lembaga negara yang
berasaskan permusyawaratan dengan sistem saling kontrol, yaitu mengawasi dan
mengimbangi (cheks and balances).13
Maka sistem presidensil di Indonesia secara nyata memberikan arah
bernegara yang ideal agar eksistensi kedaulatan negara dapat dipertahankan.
Rakyat menjadi tumpuan dalam mengatur negara, distribusi dan sikap saling
mengontrol antar lembaga negara dalam menjalankan kekuasaan, proses pemilihan
pemimpin secara langsung, dan adanya pemakzulan presiden ketika melanggar
hukum adalah bukti konkrit bagaimana Undang-Undang Negara Republik
Indonesia 1945 dapat menjaga kedaulatan negara.
11 M. Rusli Karim, Pemilu Demokratis Kompetitif, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991), 2. 12 Arbi Sanit, Reformasi Politik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1985), 186. 13 Sunarto, “Prinsip Checks and Balances Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Masalah-
Masalah Hukum, Jilid 45, No. 2, (April 2016), 159
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
102
B. Analisis Sistem Pemerintahan Presidensil di Indonesia terhadap Kedaulatan
Negara Perspektif Ibnu Khaldun
Dalam proses bernegara, al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam.
Negara tidaklah dapat terbentuk apabila setidaknya memenuhi unsur-unsur adanya
wilayah, rakyat dan pemerintahan yang berdaulat. Sudah menjadi rahasia umum
bahwa dalam suatu kelompok masyarakat untuk membentuk negara diperlukannya
pengangkatan seorang pemimpin. Indonesia sebagai negara dengan jumlah
penduduk besar dan memiliki geografis yang luas sudah seharusnya memiliki
sistem ketatanegaraan yang baik.
Dalam bernegara sesuatu yang perlu diperhatikan adalah perihal kekuasaan,
karena kekuasaan adalah bagian terpenting yang dapat memberikan dampak baik
atau buruk dalam kemajuan suatu negara. Konstitusi Indonesia yaitu UUD Negara
Republik Indonesia 1945 telah menjelaskan dengan detail apa saja yang menjadi
tugas, fungsi, wewenang dan apapun yang berkenaan dengan kekuasaan.
Pemerintah pada dasarnya memiliki dua pengertian. Pertama pemerintah
dalam arti luas yaitu keseluruhan fungsi yang ada dalam negara. Dilihat dari teori
trias politika yang dikembangkan oleh Montesqueiu, pemerintah dalam arti luas
meliputi: kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif), kekuasaan
melaksanakan undang-undang (eksekutif), dan kekuasaan mengadili (yudisial).
Kedua, kekuasaan dalam arti sempit, pemerintahan yang hanya dalam dalam
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
103
lingkup eksekutif saja. Artinya bahwa pemerintahan dalam arti sempit ialah badan
pelaksana kegiatan eksekutif dalam hal ini berbicara tentang kekuasaan presiden.14
Menurut Stephen Leacock, seperti yang dikutip oleh Titik Triwulan Tutik
dan Ismu Gunadi Widodo, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang mengenai
pelaksanaan undang-undang. Dengan kata lain, bahwa eksekutif
menyelenggarakan kemauan negara. Dalam negara demokrasi, kemauan negara itu
dinyatakan melalui badan pembentuk undang-undang. Tugas utama dari eksekutif,
tidak mempertimbangkan, tetapi melaksanakan undang-undang yang ditetapkan
oleh badan legislatif.15
Presiden adalah jabatan ganda dalam sistem pemerintahan yang diterapkan
di Indonesia, selain sebagai kepala negara juga merangkap sebagai kepala
pemerintahan. Pemegang kekuasaan eksekutif dengan kewenangan dan otoritas
yang dimilikinya tersebut adalah bagian dari akibat proses pemilihan yang
dilakukan oleh rakyat secara langsung.16
Pelaksanaan sistem pemerintahan presidensil di Indonesia, dalam Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia yang ditetapkan oleh panitia persiapan
kemerdekaan Indonesia pada hari Sabtu, tanggal 18 Agustus 1945 antara lain
14 Sri Soemantri M, “Kekuasan dan Sistem Pertanggungjawaban Presiden Pasca-Amandemen UUD
1945”, Makalah, Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945 yang
diselenggarakan oleh Depkimham bekerja sama dengan Fakultas Hukum Unair dan Kanwil Depkimham
Provinsi Jawa Timur, (Juni, 2004), 8. 15 Titik Triwulan Tutik dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011), 107. 16 Fajlurrahman Jurdi, “Format Kekuasaan Presiden dalam UUD NRI 1945 (Relasi Horizontal dan
Vertikal kekuasaan Presiden dalam Sistem presidensial”, Jurnal Hukum Amanna Gappa, Vol. 25, No.
2, (September, 2017), 48
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
104
termuat BAB III yang terdiri dari 12 pasal yang di antaranya berbicara tentang
kekuasaan presiden.17
Dalam hal kewenangan dan kekuasaan presiden, Inu Kencana Syafi’i
berpendapat, bahwa wewenang dan kekuasaan presiden dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu selaku kepala negara dan kepala pemerintahan. Tugas sebagai kepala
negara meliputi hal-hal yang seremonial dan protokoler kenegaraan, sedangkan
wewenang dan kekuasaan presiden sebagai kepala pemerintahan adalah karena
fungsinya sebagai penyelenggara tugas legislatif.18
Sehubungan dengan apa yang disampaikan oleh Inu Kencana Syafi’i di atas,
maka presiden memiliki tiga bidang kekuasaan yaitu kekuasaan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Hal itu dikomulatifkan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-
Undang Negara Republik Indonesia 1945, yaitu “Presiden Indonesia memegang
kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar”. Di antaranya:
1. Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR;19
2. Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-
undang sebagaimana mestinya;20
3. Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;21
17 C.S.T Kansil dan Christine, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), 28. 18 Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: PT. Rieneka Cipta, 1954), 53. 19 UUD Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 5 Ayat (1) 20 Ibid., Pasal 5 Ayat (2) 21 Ibid., Pasal 22 Ayat (1)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
105
4. Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara
diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;22
5. Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut dan Angkatan Udara;23
6. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain;24
7. Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan
bahaya ditetapkan dengan undang-undang;25
8. Presiden mengangkat duta dan konsul;26
9. Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat;27
10. Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat;28
11. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung;29
22 UUD Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 23 Ayat (2) 23 Ibid., Pasal 10 24 Ibid., Pasal 11 Ayat (1) 25 Ibid., Pasal 12 26 Ibid., Pasal 13 Ayat (1) 27 Ibid., Ayat (2) 28 Ibid., Ayat (3) 29 Ibid., Pasal 14 Ayat (1)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
106
12. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat;30
13. Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang
diatur dengan undang-undang;31
14. Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas
memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya
diatur dalam undang-undang;32
15. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden;33
Jabatan presiden dan / atau wakil presiden pada dasarnya hanya dijumpai
dalam negara yang menganut bentuk pemerintahan republik. Dengan demikian,
dalam negara yang pemerintahannya berbentuk kerajaan atau kekaisaran yang
dijumpai adalah seorang kepala negara yang bernama kaisar, raja/ratu, yang
dipertuan agung atau sultan.
Pendirian sebuah negara politik bukan menjadi satu-satunya tujuan.
Syariah tidak memberikan skema khusus tentang organisasi negara Islam. Namun,
Syariah sudah menyiapkan ketentuan-ketentuan besar aturan Islam yang berbentuk
30 Ibid., Pasal 14 Ayat (2) 31 Ibid., Pasal 15 32 Ibid., Pasal 16 33 Ibid., Pasal 17 Ayat (2)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
107
pokok-pokok dasar berfikir secara umum guna memenuhi seluruh tantangan
keadaan dan waktu.34
Secara umum, Islam telah mewajibkan ditegakkannya konsep
kepemimpinan dalam negara. Pemimpin dalam pandangan Ibnu Khaldun adalah
seseorang yang melakukan suatu tugas sosial penting dan tujuannya berkaitan
dengan kelanjutan eksistensi organisasi negara itu sendiri.35 Dalam menjalankan
pemerintahan negara, khalifah/sultan merupakan jabatan politik berupa pemegang
tahta tertinggi di dalam suatu negara.
Khalifah sebagai pejabat tertinggi dalam negara mempunyai tugas sebagai
pengganti Nabi. Tugas khalifah adalah pembuat undang-undang, karena undang-
undang inilah yang berkuasa dalam mengatur negara. Namun, menurut Ibnu
Khaldun tindakan khalifah sebagai pembuat undang-undang haruslah berdasarkan
petunjuk agama untuk kemajuan kepentingan duniawi dan menjauhkan kejahatan.
Dalam hal tugas pemerintahan, seorang khalifah yang berkewajiban mengurus
umat dalam hal keagamaan dan kepemimpinan duniawi36 Ibnu Khaldun
mendasarkan agama sebagai landasan utama dalam menjalankan kekuasaan bagi
seorang pemimpin bukan tanpa alasan, karena agama adalah kunci kebahagiaan
dunia dan akhirat.
34 Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam menurut Ibnu Taimiyah, (Jakarta: PT. Rieneka
Cipta, 1994), 71. 35 Ahmadie Thoha, Muqaddimah Ibnu Khaldun, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1986), 162. 36 Ibid., 187.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
108
Imam al- Ghazali berpendapat, sesungguhnya tatanan dunia dan keamanan
atas jiwa dan harta benda tidak akan teroganisir dengan rapi, kecuali dengan adanya
seorang sultan (pemerintah) yang ditaati. Agama dan pemerintahan adalah
bagaikan dua anak kembar. Agama sebagai pondasi dan pemerintahan sebagai
penjaga. Hal yang terpenting adalah bagaimana menciptakan suasana kekeluargaan
dalam pemerintahan negara bagi seorang pemimpin. Karena segala problem hanya
dapat diatasi dengan kekuasaan yang mumpuni dan dapat menghimpun pendapat-
pendapat masyarakat agar menjadi sebuah sinergi yang kuat.37
Al-Mawardi juga berpendapat bahwa jabatan khalifah atau imam adalah
jabatan pengganti Nabi yang mempunyai kewajiban untuk menegakkan syariat
Islam dan mengurus politik umat Islam, dengan demikian bahwa khalifah atau
imam selain sebagai pemimpin negara juga pemimpin agama, yang bertanggung
jawab baik di dunia maupun di akhirat.38
Dari uraian di atas, pentingnya didirikannya sebuah kepemimpinan adalah
untuk menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam agama. Kekuasaan eksekutif
di Indonesia secara eksplisit memang tidak menggunakan syariat sebagai acuan
dalam menjalankan pemerintahan, namun hal tersebut bukan berarti sistem yang
berjalan menyimpang dari ajaran agama. Karena Indonesia sendiri sejak awal
37 Imam al-Ghazali, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1988), 199. 38 Imam al-Mawardi, Sulthan al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Beirut: Dar al-Fikri, 1960), 5.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
109
berdirinya tidak mengonsep negara berasakan Islam, namun dasar berfikir bangsa
Indonesia tetap bernafaskan Islami.
Kedaulatan yang merupakan bagian penting dalam kehidupan bernegara,
di Indonesia tersebut dilakukan dengan memberikan regulasi yang jelas dalam
konstitusi. Regulasi tersebut menjadi pijakan dalam setiap langkah yang dijalankan
dalam sistem pemerintahan Indonesia. Rakyat menjadi pengendali dan pengontrol
di setiap aktivitas pemerintahan. Presiden sebagai pemegang kekuasaan merupakan
representasi dalam seluruh hasil pemikiran rakyat. Setiap kebijakan yang dilakukan
oleh aparatur negara telah diatur sedemikian rupa dalam Undang-Undang atau
peraturan yang bersifat mengikat.
Khalifah dan presiden dalam ilmu pemerintahan merupakan term yang
berbeda, namun memiliki kemiripan dalam fungsi dan tugasnya. Ibnu Khaldun
mengistilahkan khalifah sebagai pemimpin negara dalam kitabnya seyogyanya hal
tersebut karena latar belakang keluarga dan agamanya sebagai seorang muslim.
Namun, subtansi dari kedua term tersebut tidaklah jauh berbeda, yaitu sebagai
pemimpin tertinggi dalam suatu negara, yang memiliki otoritas untuk mengatur
negara dan rakyatnya. Agama Islam sebagai pondasi dalam menjaga eksistensi
kedaulatan negara dapat diaplikasikan pada masa Ibnu Khaldun karena kondisi
sosial, politik, budaya pada saat itu sangat mendukung, tetapi di Indonesia dengan
kondisi sosial politik dan budaya yang berbeda tentu tidak dapat dilakukan dengan
hal yang sama.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
110
Kedaulatan di Indonesia dilakukan atas dasar persatuan antar suku dan
cita-cita yang sama di setiap pikiran rakyat Indonesia. Cita-cita tersebut termaktub
dalam pancasila dan UUD 1945 sebagai pegangan dalam bernegara, dan untuk
mempersatukan bangsa Indonesia.
Pelaksanaan kekuasaan presiden di Indonesia, dapatlah diambil
kesimpulan bahwa negara Indonesia telah menerapkan sistem presidensil, dengan
cara membatasi kekuasaan presiden melalui UUD. Jabatan presiden adalah
pemberian dari Tuhan dan merupakan amanah dari rakyat yang telah memilihnya.
Oleh sebab itu, presiden mempunyai kewajiban untuk mensejahterahkan kehidupan
seluruh rakyat Indonesia secara jasmaniah, dan dapat menyempurnakan kepuasaan
rohaniah dengan beribadah sesuai kepercayaan masing-masing, yaitu hubungan
dengan Tuhan-Nya secara vertikal maupun hubungan sosial yang harmonis dengan
sesama umat manusia secara horizontal yang berkeadilan dan demokratis.
Hal tersebut telah tertuang dalam pembukaan UUD Negara Republik
Indonesia 1945 alinea ketiga dan keempat dengan tegas menyebutkan “Atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan yang luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya”. Kemudian pada alinea keempat dengan tegas
menyebutkan bahwa, “tujuan membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia
adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umm, mencerdaskan kehidupan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
111
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.39
Apabila penerapan sistem pemerintahan presidensil yang dijalankan
negara Indonesia dianalisis menggunakan perspektif Ibnu Khaldun maka secara
implisit tidaklah terjadi dikotomi. Karena bagaimanapun kekuasaan presiden di
Indonesia tidaklah bisa sewenang-wenang, hal itu karena dibatasi oleh UUD.
Aturan yang terkandung dalam UUD tidak boleh menyimpang dari nilai-nilai
dalam pancasila, karena pancasila adalah ideologi negara, dan di dalam pancasila
tersebutlah sebenarnya termuat nilai-nilai yang memiliki kesamaan yang ada dalam
al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat muslim.
Menurut Syarifuddin Jurdi, pokok ajaran Islam tentang seorang pemimpin
seharusnya bersikap amanah, jujur, bertanggung jawab dengan menjalankan
kekuasaan yang dimilikinya untuk kepentingan umat,40 dan semua itu merupakah
nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Pemimpin negara bukanlah gaya
hidup yang harus disanjung-sanjung, tetapi pemimpin adalah pemberi keputusan
bagi organisasi besar yang memegang pertanggung jawaban kepada rakyat dan
kepada Tuhan-Nya, maka kepentingan dan kemaslahatan rakyat adalah prioritas
utama ketika membuat kebijakan.
39 Rahmat, “Implementasi Cheks and Balances antara Presiden dan DPR dalam Sistem Pemerintahan
Presidensil di NKRI Pasca Reformasi Perspektif Fikih Siyasah”, (Tesis—UIN Sunan Ampel, Surabaya,
2016), 133. 40 Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat
Madani dan Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008), 59.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
112
Dalam ketatanegaraan Indonesia, sejarah mencatat bahwa walaupun secara
posisi umat Islam adalah mayoritas, namun sampai saat ini masih belum bisa
menerapkan hukum-hukum Islam secara menyeluruh, namun hal tersebut bukan
berati Indonesia adalah negara yang menyimpang dari ajaran Islam. Indonesia
memiliki UUD sebagai pijakan presiden dalam mengambil kebijakan baik dalam
kewenangan dan tugasnya, dan tentunya hal tersebut sesuai dengan keinginan
rakyat Indoensia dan prinsip-prinsip yang ada dalam pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa.
Nilai-nilai agama Islam yang bersifat universal secara tidak langsung telah
diadopsi dalam kehidupan bernegara di Indonesia, hal itu karena sifat toleransi
dalam kemajemukan suku, agama dan budaya di Indonesia yang sangat dijunjung
tinggi, walaupun mayoritas masyarakat dalam negara adalah muslim, tetapi kondisi
tersebut tidak menggeser kebudayaan dan karakter masyarakat asli Indonesia.41
Secara kultural Indonesia dibangun oleh rakyat yang beragama, maka nilai-nilai
religius selalu mewarnai dalam sendi-sendi kehidupannya.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam menjelaskan
proses pemilihan presiden dan wakil presiden yang dilakukan secara langsung
merupakan bagian dari penguatan sistem presidensil di Indonesia. Sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 6A ayat (1), “presiden dan wakil presiden dipilih dalam
satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pemilihan umum presiden dan wakil
41 Hamka Haq, Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam, (Jakarta: RMBOOKS, 2011), 174.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
113
presiden secara langsung oleh rakyat merupakan suatu proses politik bagi bangsa
Indonesia menuju kehidupan politik yang lebih demokratis dan bertanggung jawab.
Pemilihan secara langsung ini juga memberikan suasana segar dalam perjalanan
ketatanegaraan Indonesia ke depan. Langkah ini dipandang lebih demokratis dari
pada periode sebelumnya, karena seringkali muncul distorsi demokasi dalam
pemilihan presiden dan wakilnya yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat.42
Bentuk partisipasi rakyat Indonesia dalam sistem demokrasi adalah dengan
adanya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, dan ini merupakan
manifestasi dari kedaulatan rakyat. Secara proses, implementasi kedaulatan rakyat
di Indonesia melalui dua cara, yaitu melalui sistem langsung (direct democracy),
dan sistem perwakilan (indirect democracy).43
UUD Negara Republik Indonesia Pasal 22 huruf E ayat (2) menjelaskan
tentang bagaimana sistem demokrasi berjalan dengan terwujudnya pemilihan
langsung, yaitu “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”, adapun DPR dan DPD adalah representative
democracy. Pengaturan cara perwakilan representative dilakukan dengan
representative democracy.44
42 Huda, Politik Ketatanegaraan, 84-85. 43 Rosa Ristawati, “Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Indonesia Dalam Kerangka Sistem
Pemerintahan Presidensiil”, Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, (Juni, 2009), 1. 44 Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
114
Dalam tinjauan teorinya, pemilihan presiden dan pemilihan umum adalah
konsep yang berbeda, karena perwujudan adanya kedaulatan rakyat itulah yang
mendasari pemilihan pemimpin negara (presiden) secara langsung (direct
democracy), sedangkan memilih anggota dewan sebagai wakil rakyat untuk
mengontrol dan mengendalikan jalannya pemerintahan adalah perwujudan
kedaulatan rakyat secara tidak langsung (indirect democracy).45 Namun pada
prinsipnya, kedaulatan rakyat dengan sistem demokrasi atau keterwakilan telah
dilaksanakan dalam pengelolahan sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu dapat
menciptakan kelembagaan negara yang kuat dan memberikan dampak untuk
mencapai pemerintahan yang stabil.
Senada dengan konsep demokrasi dalam pemilihan pemimpin di
Indonesia, Ibnu Khaldun menulis dalam kitabnya Muqaddimah tentang bagaimana
proses pemilihan khalifah (pemimpin negara). Khalifah adalah pemimpin negara,
konsep pemilihannya adalah dengan istilah ahl al-halli wa al-aqdi. Seorang anggota
ahl al-halli wa al-aqdi harus independen, adil, objektif. Ahl al-halli wa al-aqdi
merupakan pengemban amanah dari masyarakat luas yang mempunyai keunggulan
dalam bidang keilmuan, harta, dan mempunyai kedudukan dalam masyarakat, serta
45 Sutiyono, “Perubahan Pemilihan Eksekutif (Suatu Studi Tentang Pemilihan Umum Presiden Secara
Langsung Berdasarkan UUD 1945 Setelah Amandemen)”, Artikel Ilmiah, Universitas Jenderal
Soedirman, (Januari, 2008), 8.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
115
kelompok ini di dalam masyarakat memiliki kemampuan dalam proses
musyawarah untuk menentukan seorang khalifah.46
Proses pewarisan jabatan dalam sistem kekhalifahan dalam Islam tidak
dibenarkan, kecuali dalam pewarisan tersebut terdapat nilai-nilai yang dapat
diterima baik dari sisi agama atau dari golongan ahl al-halli wa al-aqdi. Maka ketika
tindakan ayah yang akan mewariskan tahta kepada sang putra sebagai khalifah, itu
merupakan suatu kemudharatan bagi dirinya dan stabilitas negara, karena
sesungguhnya dalam diri khalifah haruslah terkandung niat yang benar-benar
bersih untuk berjuang menegakkan agama Allah SWT.
Proses pemilihan pemimpin negara yang menggunakan konsep
musyawarah menurut Ibnu Khaldun tentunya bukan tanpa alasan, selain karena
ajaran Islam yang memberikan pelajaran tentang pentingnya syura juga tanggung
jawabnya yang besar baik di kepada rakyat dan Tuhan-Nya bagi seorang pemimpin.
Sejalan dengan pendapat Ibnu Khaldun, seorang Ilmuwan muslim Imam al-
Mawardi juga memberikan mekanisme pemilihan dan pengangkatan pemimpin. Ia
berpendapat pemilihan pemimpin negara dapat dilakukan dengan ahl al-halli wa
al-aqdi dan melalui wasiat pemimpin (Imam, khalifah atau raja) sebelumnya yang
telah ditunjuknya.47
46 Ibid., 238. 47 Rahmawati, “Sistem Pemerintahan Islam menurut al-Mawardi dan Aplikasinya di Indonesia”, Jurnal
Syari’ah dan Hukum, No. 2, Vo. 16, (Desember 2018), 271.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
116
Mekanisme pemilihannya adalah dengan kemufakatan oleh wakil-wakil
rakyat, dan wakil-wakil rakyat inilah yang disebut dengan ahl al-halli wa al-aqdi.
Anggota dari ahl al-halli wa al-aqdi inipun memiliki spesifikasi khusus, yaitu
bersifat adil, berpengetahuan dalam bidang pemerintahan, dan menjadi tokoh
dalam komunitas masyarakat. Hal itu menjadi penting karena anggota ahl al-halli
wa al-aqdi adalah sekelompok orang yang menjadi wakil masyarakat untuk
mengambil keputusan dan tindakan dalam bernegara.48
Dalam konteks Indonesia pendapat Ibnu Khaldun pada dasarnya memiliki
persamaan, walaupun dalam teknis pelaksanaannya terjadi pengembangan, yaitu
pemilihan secara langsung dengan pemberian hak secara individual untuk memilih.
Ahl al-halli wa al-aqdi dalam kajian siyasah syar’iyah adalah bentuk dari “Dewan
Perwakilan Rakyat”, yang mana anggota-anggotanya terdiri dari para tokoh
masyarakat, cendekiawan dan pemimpin suku.49 Kemudian dalam praktek
kenegaraanya, dewan ini memberikan amanah dan wewenang kepada kepala
negara untuk menjalankan kebijakan pemerintahan sesuai dengan cita-cita bangsa
dan negara.
Lembaga legislatif merupakan pengejawantahan dari Ahl al-halli wa al-
aqdi yang berfungsi sebagai lembaga yang mempunyai dan menjalankan kekuasaan
membuat peraturan perundang-undangan. Lembaga eksekutif merupakan
48 Ibid. 49 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta: Amzah, 2005), 79.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
117
pengejawantahan dari ahl Imamah yang berwenang menjalankan roda
pemerintahan.50 Lembaga yudikatif merupakan pengembangan konsep-konsep
ketatanegaraan yang berfungsi untuk membela hukum-hukum positif dari setiap
serangan dan pelanggaran.
Secara fungsi dan tugas, aparatur yang digunakan dalam sistem
pemerintahan Indonesia dan menurut pemikiran Ibnu Khaldun memiliki kesamaan
seperti yang telah dijelaskan di atas. Konsep bagaimana kedaulatan negara dapat
dipertahankan di Indonesia lebih cenderung ke arah cita-cita negara yang terbentuk
dalam Pancasila dan UUD 1945, sedangkan menurut Ibnu Khaldun kedaulatan
negara dapat dilakukan bila persatuan rakyat tersebut disatukan oleh agama, yaitu
Islam.
50 Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah; Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, (Jakarta: Rajawali
Pers, 1995), 303.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembahasan tentang relasi sistem pemerintahan presidensil di Indonesia
berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia terhadap eksistensi kedaulatan
negara perspektif Ibnu Khaldun yang penulis paparkan di bab-bab sebelumnya,
maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Sistem presidensil di Indonesia secara nyata memberikan arah bernegara
yang ideal agar eksistensi kedaulatan negara dapat dipertahankan. Rakyat
menjadi tumpuan dalam mengatur negara, distribusi dan sikap saling
mengontrol antar lembaga negara dalam menjalankan kekuasaan, proses
pemilihan pemimpin secara langsung, dan adanya pemakzulan presiden
ketika melanggar hukum adalah bukti konkrit bagaimana Undang-Undang
Negara Republik Indonesia 1945 dapat menjaga kedaulatan negara.
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara dalam
perjalanan sejarahnya telah beberapa kali mengalami perubahan, tentunya
pperubahan tersebut berimplikasi terhadap sistem pemerintahan yang
diterapkan di negara Indonesia. Perubahan yang setiap kali dilakukan
berorientasi pada pembenahan dalam hal kekuasaan lembaga negara
terutama kekuasaan eksekutif yang dijalankan oleh seorang presiden.
Kekuasaan presiden menjadi salah satu hal pokok yang dibahas dalam setiap
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
119
perubahan konstitusi karena sejak awal berdiri, pendiri negara telah sepakat
untuk membentuk negara republik dengan presiden sebagai pemegang
kekuasaan.
Sejarah mencatat, sejak Indonesia merdeka telah mengalami tiga
model sistem pemerintahan yang pernah dijalankan. Pertama, sistem
pemerintahan presidensil. Kedua, sistem pemerintahan parlementer. Ketiga,
sistem pemerintahan quasi presidensil. Tentunya setiap model sistem
pemerintahan tersebut memiliki karakteristik berbeda, namun dari ketiga
sistem pemerintahan tersebut, sistem presidensil dirasa cukup ideal untuk
diterapkan di Indonesia, hal tersebut karena selain nilai-nilai demokrasi yang
kuat, juga adanya rakyat menjadi pengendali dan pengontrol di setiap
aktivitas pemerintahan. Presiden sebagai pemegang kekuasaan merupakan
representasi dalam seluruh hasil pemikiran rakyat. Setiap kebijakan yang
dilakukan oleh aparatur negara telah diatur sedemikian rupa dalam Undang-
Undang atau peraturan yang bersifat mengikat.
Oleh karena itu, Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia
merupakan bentuk dari ketekatan negara Indonesia untuk menjunjung nilai-
nilai demokrasi untuk menjaga eksistensi kedaualatan negara. Kedaulatan
rakyat merupakan cerminan sikap demokrasi yang berarti apapun yang
dilakukan negara adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Pelaksanaan kekuasaan kepada lembaga-lembaga negara yang berasaskan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
120
permusyawaratan dengan sistem saling kontrol, yaitu mengawasi dan
mengimbangi (cheks and balances).
2. Penerapan sistem pemerintahan presidensil yang dijalankan negara
Indonesia dalam perspektif Ibnu Khaldun maka secara implisit tidaklah
terjadi dikotomi. Presiden dengan bagaimanapun dalam menjalankan
kekuasaannya tidaklah bisa sewenang-wenang, hal itu karena dibatasi oleh
UUD sebagai konstitusi negara. Aturan yang terkandung dalam UUD tidak
boleh menyimpang dari nilai-nilai dalam pancasila, karena pancasila adalah
ideologi negara, dan di dalam pancasila tersebutlah sebenarnya termuat nilai-
nilai yang memiliki kesamaan yang ada dalam al-Qur’an sebagai pedoman
hidup umat muslim.
Secara historis, latarbelakang sosial politik budaya di negara
Indonesia sangatlah berbeda dengan apa yang pernah dialami dalam
kehidupan Ibnu Khaldun, tentunya hal tersebut berdampak pada setiap
pemikirannya. Ibnu Khaldun berpendapat, bahwa Agama Islam menjadi alat
utama untuk menyatukan seluruh lapisan rakyat dalam negara, mungkin
untuk saat ini tidaklah bisa dipraktekkan dalam kehidupan bernegara di
Indonesia, karena kemajemukan rakyat Indonesia sendiri yang telah
dilindungi oleh konstitusi negara. Namun, Indonesia memiliki pancasila
sebagai pondasi utama dalam menjalankan dan menjaga negara ini, yang
subtansinya tidak lepas dari nilai-nilai Ketuhanan.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
121
Dalam tinjauan teorinya, pemilihan presiden dan pemilihan umum
adalah konsep yang berbeda, karena perwujudan adanya kedaulatan rakyat
itulah yang mendasari pemilihan pemimpin negara (presiden) secara
langsung (direct democracy), sedangkan memilih anggota dewan sebagai
wakil rakyat untuk mengontrol dan mengendalikan jalannya pemerintahan
adalah perwujudan kedaulatan rakyat secara tidak langsung (indirect
democracy). Ibnu Khaldun berpendapat konsep pemilihannya adalah dengan
istilah ahl al-halli wa al-aqdi. Seorang anggota ahl al-halli wa al-aqdi harus
independen, adil, objektif. Ahl al-halli wa al-aqdi merupakan pengemban
amanah dari masyarakat luas yang mempunyai keunggulan dalam bidang
keilmuan, harta, dan mempunyai kedudukan dalam masyarakat. Maka secara
subtansi pemilihan pemimpin di Indonesia dalam pandangan Ibnu Khaldun
masihlah dalam satu konsep yang sama, yaitu dengan menerapkan sistem
demokrasi dan keterwakilan.
B. Saran
Kedaulatan adalah manifestasi dari upaya negara untuk menjaga seluruh
apapun yang ada dalam negara, baik rakyat wilayah dan sistem pemerintahannya.
Sistem pemerintahan presidensil di Indonesia akan lebih baik bila setiap kekuasaan
yang dijalankan oleh penguasa disandarkan pada ajaran agama, karena bila bila
kekuasaan hanya berdasarkan kepentingan duniawi maka eksistensi kedaulatan
negara dapat melemah dan akhirnya mengalami kehancuran.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-Buku
Abdul Khaliq, Farid. Fikih Politik Islam. Jakarta: Amzah, 2005.
Al-Ghazali, Imam. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1988.
Al-Khudhairi, Zainal. Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Terj. Ahmad Rafi’
Ustmani. Bandung: Pustaka pelajar, 1987.
Al-Maududi, Abu A’la. Hukum dan Konstitusi Sisetm Politik Islam, di terjemahkan
dari The Islamic Law and Constitution, (terj: Asep Hikmat), Cet ke-VI.
Bandung: Mizan, 1998.
Al-Maududi, Abu al-A’la. The Islamic Law and Goverment. terj. Asep Hikmat.
Bandung: Mizan, 1990.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta,1993.
Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Sinar Grafika:
Jakarta, 2005.
Asshiddiqie, Jimly. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam
UUD 1945. Yogyakarta: UII Press, 2005.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika, 2010.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum dan Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Bogdan, Robert & Steven J. Taylor. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif: Suatu
Pendekatan Fenomenologis terhadap Ilmu Sosial. Surabaya: Usaha Nasional,
1992.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2001.
Firdaus, Irfan. Biografi Tokoh Muslim Dunia Paling Berpengaruh. Yogyakarta: Laras
Media Prima, 2004.
Hamka, Buya. Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam. Jakarta: RMBOOKS, 2011.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Hardjono. Wakil Mahkamah konstitusi, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa dan
Pemikiran Hukum. Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, 2008.
Hasbi Aminuddin, M. Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman. Yogyakarta:
UII Press, 2006.
Hazairin. Demokrasi Pancasila. Jakarta: Tinta Mas, 1983.
Huda, Ni’matul. Politik Ketatanegaraan Indonesia Indonesia, Kajian terhadap
Dinamika Perubahan UUD 1945. Yogyakarta: FH UII, 2003.
Ibnu Syarif, Mujar dan Khamami Zada. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam. Jakarta: Erlangga, 2008.
Ibrahim Jindan, Khalid. Teori Pemerintahan Islam menurut ibnu Taimiyah”. Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 1994.
Isjwara,F. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Bina Cipta, 1992.
J. Moloeng, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya,
1997.
Joeniarto. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan. Jakarta: Rieneka Cipta, 1990.
Juniato. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1990.
Jurdi,Syarifuddin. Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilafah,
Masyarakat Madani dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008.
Ka’bah, Rifyah. politik dan Hukum dalam Al-Qur’an. Jakarta: Khairul bayan, 2005.
Kalibi, Osman. Ibnu Khaldun tentang Masyarakat dan Negara. Jakarta: Bulan Bintang,
1978.
Kamil, Sukron. Islam dan Demokrasi; telaah Konseptual dan Histori. Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2002.
Kansil, C. S. T. Hukum Antar Tata Pemerintahan (Comparative Government). Jakarta:
Erlangga, 1987.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Kansil, C.S.T dan Christine. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara,
2003.
Kencana Syafiie, Inu. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: PT. Rieneka Cipta,
1954.
Lijphart, Arend. Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensil. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995.
Magnis Suseno, Frans. Etika Politik (Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Mahfud MD. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta: Rajawali Pers,
2010.
Mahfud MD. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta:
Rajawali Pers, 2007.
Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum. Cet. 11. Jakarta: Kencana, 2011.
Mahmuzar Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum dan Sesudah
Amandemen. Bandung: Nusa Media, 2010.
Manan,Bagir. Lembaga Kepresidenan. Yogyakarta: FH-UII, 2003.
Marwan. Kamus Hukum. Surabaya: Reality Publisher, 2009.
Masruhan. Metodologi Penelitian Hukum. Surabaya: Hilal Pustaka, 2013.
Mauna, Boer. Hukum Internasional; “Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global”. Bandung: PT. Alumni, 2005.
Muin Salim, Abdul. Fiqh Siyasah; Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an.
Jaakarta: Rajawali Pers, 1995.
Musanef. Sistem Pemerintahan Di Indonesia. Jakarta: Haji Masagung, 1989.
Muslimin, Amran. Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah. Bandung: Alumni, 1982.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan.
Jakarta: UI Pres, 1986.
Noer, Deliar. Pemikiran Politik Di Negeri Barat. Bandung: Mizan, 1998.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Pamudji. Teori Sistem dan Pengeterapannya dalam management. Jakarta: Ichtiar Baru
Van Houve, 1981
Rachman Assegaf, Abdur. Aliran Pemikiran Pendidikan Islam: Hadharah Keilmuwan
Tokoh Klasik Sampai Modern. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Radjab, Dasril. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rieneka Cipta, 1992.
Rahman Zainuddin, Abdur. Kekuasaan dan Negara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1992.
Rahman, Zainuddin. Kekuasaan dan Negara, Pemikiran Politik Ibnu Khaldun. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Rahmawati. “Sistem Pemerintahan Islam menurut al-Mawardi dan Aplikasinya di
Indonesia”. Jurnal Syari’ah dan Hukum. No. 2. Vo. 16. Desember 2018.
Rais, Djainuddin. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani, 2001.
Ristawati, Rosa. “Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Indonesia Dalam
Kerangka Sistem Pemerintahan Presidensiil”. Jurnal Konstitusi. Vol. II. No.
1. Juni, 2009.
Rusli Karim, M. Pemilu Demokratis Kompetitif. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
1991.
Saminas. Ibnu Khaldun “Kajian Tokoh Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial. Palu: Stain
Doktorama, 2009.
Sanit, Arbi. Reformasi Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1985.
Soehino. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberti, 1980.
Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjaun Singkat. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2003.
Soemantri, Sri. Kedudukan, Kewenangan, dan Fungsi Komisi Yudisial dalam Sistem
Ketatanegaraan RI, Bunga Rampai; Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial RI.
Jakarta: Komisi Yudisial, 2006.
Soemantri, Sri. Sistem Pemerintahan Negara ASEAN. Bandung: Transito, 1976.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Strong, C. F. Modern Political Institution. London: Sidgwick & Jackson, 1960.
Sukardja, Ahmad. Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam
Perspektif Fikih Siyasah. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Sunarto. “Prinsip Checks and Balances Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”.
Jurnal Masalah-Masalah Hukum. Jilid 45. No. 2. April 2016.
Sunny, Ismail. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif. Jakarta: Karya Nilan, 1963.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia, 1999
.
Thoha, Ahmadie. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta; Pustaka Firdaus, 1986.
Tikok, Sumbodo. Hukum Tata Negara. Bandung: PT Eresco, 1988.
Triwulan Tutik, Titik dan Ismu Gunadi Widodo. Hukum Tata Usaha Negara dan
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2011.
Triwulan Tutik, Titik. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Triwulan Tutik, Titik. Restorasi Hukum Tata Negara Indonesia Berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Depok: Prenada
Media, 2017.
Zainab. Perkembangan Sejarah Pemikiran Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1985.
2. Jurnal, Tesis, UUD, dan Internet
Aiza & Roshimah, “Kejatuhan Pemerintahan menurut Pemikiran Ibnu Khaldun,”
https://ejournal.um.edu.my/index.php/afkar/article/view/5463; diakses
tanggal 23 Februari 2019.
Al-Mawardi, Imam. Sulthan al-Ahkam al-Sulthaniyah. Beirut: Dar al-Fikri, 1960.
Amanwinata, Rukmana. “Sistem Pemerintahan Indonesia”. Jurnal Sosial
Politik Dialektika. Vol. 02 No. 02. Maret, 2001.
Anangkota, Muliadi. “Klasifikasi Sistem Pemerintahan Perspektif Pemerintahan
Modern Kekinian”. Jurnal Ilmu Pemerintahan. Vol.3 No.2. April, 2016.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Arizal Candra, Anton. “Pemikiran Siyasah Syar’iyah ibnu Taimiyah”. Jurnal UIR Law
Review. No. 01. Vol. 02. Oktober 2017.
Awaliyah, Siti. “Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945”. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Nomor 2.
Vol. 2. Agustus 2011.
Effendi, Sofian. “Sistem Pemerintahan adalah Jati Diri Bangsa”. Artikel Hukum.
Februari, 2005.
http://click-gtg.blogspot.co.id/2009/03/teori kedaulatan. Html diakses tanggal 02 Mei
2019.
Hudi, Moh. “Kedudukan dan Tanggungjawab Presiden dalam Sistem Presidensial di
Indonesia”. Jurnal Mimbar Yustitia. Vol. 2, No. 2. Desember, 2018.
Ilyas, Jazim. “Implementasi Kekuasaan Pemerintahan Oleh Presiden Sesudah
Perubahan UUD 1945”, (Tesis—Universitas Diponegoro, Semarang, 2008).
Jurdi, Fajlurrahman. “Format Kekuasaan Presiden dalam UUD NRI 1945 (Relasi
Horizontal dan Vertikal kekuasaan Presiden dalam Sistem presidensial”.
Jurnal Hukum Amanna Gappa. Vol. 25. No. 2. September, 2017.
La Ode, Muhaimin. “Pengukuhan Sistem Pemerintahan Presidensil dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia”, (Tesis—Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 2010).
Rahmat. “Implementasi Cheks and Balances antara Presiden dan DPR dalam Sistem
Pemerintahan Presidensil di NKRI Pasca Reformasi Perspektif Fikih
Siyasah”. (Tesis—UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2016).
Redy Alvan, Muhammad. “Kekuasaan dalam Pemikiran Ibnu Khaldun”. Jounal Online
Mahasiswa FISIP. Vol. 2 No. 2. Oktober, 2015.
Rudi. “Mempertimbangkan Amandemen Konstutusi (Kajian Calon Presiden
Perseorangan dari Aspek Kedaulatan Rakyat dan Konstitusional. Fiat Justisia
Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 8. Maret, 2014.
Saraswati, Retno. “Desain Sistem Pemerintahan Presidensial Yang Efektif”. Jurnal
Masalah-Masalah hokum. Vol. 41. No. 1. Januari, 2012.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Soemantri, Sri. “Kekuasan dan Sistem Pertanggungjawaban Presiden Pasca-
Amandemen UUD 1945”. Makalah. Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia
Pasca-Amandemen UUD 1945 yang diselenggarakan oleh Depkimham
bekerja sama dengan Fakultas Hukum Unair dan Kanwil Depkimham
Provinsi Jawa Timur. Juni, 2004.
Sutiyono, “Perubahan Pemilihan Eksekutif (Suatu Studi Tentang Pemilihan Umum
Presiden Secara Langsung Berdasarkan UUD 1945 Setelah Amandemen)”.
Artikel Ilmiah. Universitas Jenderal Soedirman. Januari, 2008.
UUD Negara Republik Indonesia Serikat 1949.
UUD NRI Tahun 1945 setelah perubahan.
UUD Republik Indonesia 1945 Sebelum Amandemen.
UUD Sementara Tahun 1950.
Yani, Ahmad. “Sistem Pemerintahan Indonesia: Pendekatan Teori Dan Praktek
Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945”. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum.
Vol. 12 No. 02. Juli, 2018.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BIODATA PENULIS
Nama : Muhammad Syaifur Rizal
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tempat dan Tanggal Lahir : Lumajang, 18 Januari 1993
Alamat : Bades Kec. Pasirian Kab. Lumajang
Fakultas/Prodi : Pascasarjana Hukum Tata Negara
NIM : F52217047
Karya Tulis :Relasi Sistem Pemerintahan Presidensil di Indonesia
Berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia
Terhadap Eksistensi Kedaulatan Negara Perspektif
Ibnu Khaldun