bahasa rizal 29-x4 jawa

21
Bahasa dan Seni Sastra Jawa untuk Budaya Jawa Oleh : Rizal Imam Rosyid (29/X4)

Upload: rizal-imam-rosyid

Post on 04-Jul-2015

224 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bahasa Rizal 29-X4 Jawa

Bahasa dan Seni Sastra Jawa

untuk Budaya Jawa

Oleh :

Rizal Imam Rosyid (29/X4)

SMA NEGERI 1 SURAKARTA

Page 2: Bahasa Rizal 29-X4 Jawa

TAHUN AJARAN 2010/2011

BAB I

PENDAHULUAN

Budaya atau Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang atau pola hidup menyeluruh, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya bersifat abstrak, kompleks, dan luas, yang terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk perkakas, mata pencaharian dan sistem ekonomi, sistem agama dan politik, bahasa, sistem pengetahuan, dan karya seni. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia serta turut menentukan perilaku komunikatif. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuiakan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.

Seseorang yang memadukan bahasa dan ilmu pengetahuan dapat menciptakan suatu karya yang ternilai berdasarkan imajinasi atau kenyataan yang ada. Sastra Jawa Kuno merupakan hasil kebudayaan Jawa dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno dalam bentuk tulisan yang berisi sejarah Jawa. Karya sastra ini sebelumnya menggunakan bahasa Jawa kemudian ditranslitkan ke bahasa Indonesia untuk mencegah kepunahan, karena bahasa ini sulit dipahami bahkan oleh orang Jawa sekalipun. Pada dewasa ini, walaupun bahasa karya sastra ini sudah diubah ke dalam bahasa Indonesia yang sebagian besar dapat memahaminya, minat untuk membaca karya sastra ini masih sangat rendah sekali. Mereka lebih memilih membaca novel, komik, dan semacamnya.

Kebudayaan suatu daerah merupakan ciri dari daerah tersebut, begitu juga kebudayaan Jawa merupakan ciri dari orang-orang Jawa. Maka dari itu kita sebagai orang Jawa harus mempertahankan budaya kita sendiri. Tetapi melihat keadaan sekarang kebudayaan jawa sendiri sudah mulai terlupakan, bahkan oleh orang-orang Jawa sendiri. Budaya Jawa tersisihkan atau kalah dari budaya-budaya dari luar, yang budaya tersebut dianggap lebih modern atau tidak ketinggalan zaman. Bahkan anggapan orang, jika seseorang masih menggunakan budaya Jawa ini disebut orang yang ketinggalan zaman. Jadi seseorang lebih bangga menggunakan budaya luar dibanding budayanya sendiri.

Maka dari itu harus ada usaha-usaha yang dilakukan untuk mempertahankan kebudayaan Jawa sendiri. Salah satunya dengan mempertahankan dan mengembangkan bahasa dan karya sastra Jawa. Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan, yang bertujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Hubungan bahasa dengan kebudayaan sangat erat, kebudayaan suatu masyarakat dapat dilihat dari ciri bahasa yang mereka ucapkan. Bahasa menjunjung khasanah pengetahuan suatu masyarakat atau suku-suku bangsa, dengan bahasalah sebenarnya orang memandang lingkungannya, adapun hasil pelestarian kebudayaan dalam bentuknya yang paling konkret adalah pelestarian bahasa-bahasa lokal atau daerah.

Page 3: Bahasa Rizal 29-X4 Jawa

BAB II

PEMBAHASAN

A. Bahasa Jawa

1. Kedudukan Bahasa Jawa

Salah satu cara pelestarian dan pengembangan budaya Jawa bisa dilakukan dengan mempertahankan dan mengembangkan bahasa daerah,yaitu bahasa Jawa. Imam Sutardjo dalam kawruh basa saha kasusastran jawi, menyebutkan tentang kedudukan dari bahasa daerah tersebut, yaitu diantaranya:1. Bahasa daerah sebagai lambang kebanggaan daerah.2. Bahasa daerah sebagai lambang identitas atau jatidiri daerah.3. Bahasa daerah sebagai sarana komunikasi di keluarga maupun masyarakat luas.

Dengan berdasarkan tiga alasan tersebut, seharusnya masyarakat Jawa merasa bangga dan senang mempunyai bahasa Jawa, karena itu bisa sebagai ciri dan jatidiri atau kepribadian masyarakat Jawa di masyarakat luas. Bahasa Jawa tersebut juga bisa sebagai alat komunikasi di dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh rasa saling menghormati.

2. Manfaat Mempelajari Bahasa Jawa

Seseorang mempelajari dan meneliti bahasa itu mempunyai 2 tujuan, yaitu:1. Bertujuan untuk mencari ketrampilan dan kepandaian, supaya lebih mudah mendapatkan

pekerjaan sehingga hidupnya bisa lebih baik.2. Bertujuan untuk meneliti kebudayaan tertentu, dan ajaran-ajaran yang ada didalamnya

untuk dikerjakan dalam kehidupan sehari-hari.

Secara umum manfaat mempelajari bahasa Jawa ada tiga:1. Sarana komunikasi, yaitu bahasa Jawa digunakan untuk komunikasi masyarakat Jawa

dengan penuh tata krama dan sopan santun.2. Sarana edukasi, yaitu bahasa Jawa di gunakan untuk mengajarkan budi pekerti dan akhlaq

yang baik. Mengajarkan dan mengembangkan bahasa Jawa itu sangat penting bagi masyarakat Jawa, apalagi untuk generasi yang akan datang atau anak-anak. Supaya bahasa Jawa dan kebudayaan Jawa tidak punah. Selain itu juga supaya anak-anak menjadi generasi penerus yang mumpuni, cinta kepada budaya sendiri sehingga dapat membanggakan daerah atau bangsa secara umum. Maka dari itu pada tahun 2005 ada keputusan bersama antara Gubernur Jateng, Jatim, dan DIY. Memutuskan bahwa pelajaran bahasa daerah atau bahasa Jawa menjadi mata pelajaran wajib di dalam pembelajaran, mulai dari SD sampai dengan SMA.

3. Sarana kultural ( budaya), bahasa Jawa adalah budaya yang luhur dan indah, karena memuat nilai-nilai yang sangat baik dari nenek moyang terdahulu.

3. Tingkat-tingkatan Bahasa Jawa

Page 4: Bahasa Rizal 29-X4 Jawa

Berbeda dengan bahasa lain, dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkatan bahasa atau yang disebut “ unggah-ungguhing basa”. Unggah-ungguhing basa dalam bahasa Jawa ini mewujudkan bentuk adat sopan santun dalam berbahasa. Karena adat sopan-santun dan tata krama merupakan kepribadian orang Jawa.

Bahasa Jawa secara umum menurut wujud kata (leksikon) ada tiga, yaitu: ngoko (kasar), madya (tengahan), krama (halus). Sedangkan menurut Padmasusastra menyebutkan tingkatan bahasa Jawa sebagai berikut:1. Ngoko: a. Ngoko lugu

b. Ngoko andhap2. Krama: a. Wredha krama

b. Madya kramac. Madyantara

3. Krama inggil4. Krama desa

5. Basa kedhaton

6. Basa kasar

Sudaryanto menyebutkan fungsi dari tingkat-tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa ini adalah:1. Norma dan etika, yaitu digunakan untuk berkomunikasi di masyarakat atau dengan orang

lain dengan melihat orang yang diajak bicara ( lebih tua atau lebih muda).2. Penghormatan dan keakraban, yaitu digunakan untuk menghormati orang yang diajak

bicara supaya tidak dibilang tidak mempunyai tata krama dalam berbicara.3. Pangkat dan status sosial, yaitu digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain dengan

melihat pangkat dan status sosialnya di dalam masyarakat tersebut.

4. Cara melestarikan bahasa Jawa

Bahasa jawa sudah tidak banyak lagi digunakan, apalagi oleh anak-anak muda, mereka beranggapan bahwa bahasa Jawa itu bahasa yang sulit, bahasa yang kuna, maka mereka sudah tidak biasa lagi menggunakan bahasa Jawa, maka dari itu sebagian orang mengatakan bahwa bahasa Jawa akan mati atau punah, karena orang Jawa sendiri saja sudah tidak mengerti akan bahasa Jawa.

Ini keadaan yang sangat disayangkan, jika sampai bahasa Jawa benar-benar punah. Maka sesungguhnya orang Jawa telah kehilangan kebudayaannya, yaitu kehilangan jatidiri dan kepribadian yang telah diwariskan nenek moyang terdahulu. Orang Jawa mengatakan “ wong Jawa sami ilang Jawane, ilang lan luntur kepribaden saha jatidirine”.

Sudah disebutkan bahwa bahasa Jawa merupakan bagian dari kebudayaan Jawa, jadi menyelamatkan bahasa Jawa berarti juga menyelamatan kebudayaan Jawa.

Adapun cara atau langkah untuk tetap melestarikan bahasa Jawa supaya tidak hilang adalah:1. Menanamkan sejak dini bahasa dan kebudayaan Jawa kepada anak-anak. Supaya mereka

tidak menganggap bahasa Jawa adalah bahasa yang kuno, dan supaya mereka terbiasa menggunakan bahasa Jawa.

2. Membiasakan diri menggunakan bahasa Jawa, di dalam kehidupan sehari-hari dalam berbicara dibiasakan menggunakan bahasa Jawa yang benar, baik dari segi bahasanya

Page 5: Bahasa Rizal 29-X4 Jawa

maupun unggah-ungguhnya. Supaya dapat ditiru oleh anak-anak, jadi bahasa Jawa akan tetep lestari dengan baik.

3. Mengajarkan bahasa Jawa, yaitu mengajarkan bahasa Jawa baik secara formal (sekolah) maupun informal(masyarakat). Secara formal bahasa Jawa dan kebudayaan Jawa diajarkan di sekolah-sekolah di dalam pembelajaran, sehingga anak didik mengenal dan mengetahui bahasa dan kebudayaan Jawa dengan baik. Secara informal bahasa Jawa bisa diajarkan kepada anak-anak di lingkungan keluarga atau masyarakat, mereka akan belajar secara langsung mengenai kebudayaan Jawa yang ada di masyarakat, sebagai bentuk praktik dari teori yang ada di sekolah tadi.

B. Sastra Jawa Kuno

Sastra Jawa Kuno meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai dengan Prasasti Sukabumi.Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.

1. Kedudukan Sastra Jawa Kuno

Pada umumnya Sastra Jawa Kuno sama seperti karya sastra yang lain, yang membuatnya beda adalah Sastra Jawa Kuno menggunakan bahasa Jawa dan ceritanya masih menyangkut dengan sejarah pada zaman kerajaan yang ada di tanah Jawa. Oleh karena bahasanya sulit dipahami oleh orang yang bukan orang Jawa bahkan yang orang Jawa sekali pun, bahasa Sastra Jawa Kuno ditranslitkan ke bahasa Indonesia yang mudah dipahami oleh sebagian besar bangsa Indonesia. Walaupun demikian minat terhadap Sastra Jawa Kuno masih sangat sedikit bahkan orang Jawa yang memiliki peninggalan kebudayaan ini lebih memilih novel, komik ,dan semacamnya daripada kebudayaannya sendiri.

Dari Sastra Jawa Kuno ini kita dapat mempelajari sejarah Jawa dan mengambil pesan-pesan yang berbudi luhur di dalamnya. Dengan membaca atau mempelajarinya berarti kita telah menghargai dan melestarikan kebudayaan Jawa.

2. Jenis Sastra Jawa Kuno

Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya.

Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.

A. Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk prosa:

1. Candakarana

Page 6: Bahasa Rizal 29-X4 Jawa

Candakarana adalah semacam kamus atau bisa juga disebut ensiklopedia Jawa Kuna dan versinya yang paling awal kira-kira ditulis pada abad ke-8 Masehi. Para pakar menduga periode yang sangat awal ini karena kitab ini memuat nama Syailendra. Sedangkan raja Syailendra yang membangun candi Borobudur ini diperkirakan memerintah pada akhir abad ke-8 Masehi.

2. Sang Hyang Kamahayanikan

Sang Hyang Kamahayanikan adalah sebuah karya sastra dalam bentuk prosa. Di bagian belakang disebut nama seorang raja Jawa, yaitu Mpu Sendok, yang bertakhta di Jawa Timur mulai dari tahun 929 sampai tahun 947 Masehi.

Kitab ini isinya mengenai pelajaran agama Buddha Mahayana. Kebanyakan mengenai susunan perincinan dewa-dewa dalam mazhab Mahayana dan kerapkali cocok dengan penempatan raja-raja Buddha dalam candi Borobudur. Selain itu ada pula tentang tatacara orang bersamadi.

3. Brahmandapurana

Brahmandapurana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna berbentuk prosa. Karya sastra ini tidak memuat penanggalan kapan ditulis dan oleh perintah siapa. Tetapi dilihat dari gaya bahasa kemungkinan berasal dari masa yang sama dengan Sang Hyang Kamahayanikan.

Namun ada perbedaan utama, yaitu Sang Hyang Kamahayanikan adalah kitab kaum penganut agama Buddha Mahayana sedangkan Brahmandapurana ditulis untuk dan oleh penganut agama (Hindu) Siwa.

Isinya bermacam-macam, seperti cerita asal-muasalnya dunia dan jagatraya diciptakan, keadaan alam, muncul empat kasta (brahmana, ksatria, waisya dan sudra), tentang perbedaan tahap para brahmana (caturasrama) dan lain-lain.

4. Agastyaparwa

Agastyaparwa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna berbentuk prosa. Isinya mirip Brahmandapurana. Meski Agastyaparwa tertulis dalam bahasa Jawa Kuna, namun banyak disisipi seloka-seloka dalam bahasa Sansekerta.

Isinya mengenai hal-ikhwal seorang suci yang disebut sang Dredhasyu yang berdiskusi dan meminta pengajaran kepada ayahnya sang bagawan Agastya. Salah satu hal yang dibicarakan adalah soal mengapa seseorang naik ke surga atau jatuh ke neraka.

5. Uttarakanda

Uttarakanda adalah kitab ke-7 Ramayana. Diperkirakan kitab ini merupakan tambahan. Kitab Uttarakanda dalam bentuk prosa ditemukan pula dalam bahasa Jawa Kuna. Isinya tidak diketemukan dalam Kakawin Ramayana. Di permulaan versi Jawa Kuna ini ada referensi merujuk ke prabu Dharmawangsa Teguh.

Uttarakanda berisi:

Page 7: Bahasa Rizal 29-X4 Jawa

a. Cerita Rahwana Terjadinya para raksasa, nenek moyang Rahwana atau Rawana

b. Cerita Serat Arjunasasrabahu

c. Cerita Dewi Sita

Pembuangan Sita di hutan, karena sudah lama tidak di sisi Rama

Kelahiran Kusa dan Lawa di pertapaan di hutan

"Kematian" Sita

6. Adiparwa

Adiparwa (Sansekerta) adalah buku pertama atau bagian (parwa) pertama dari kisah Mahabharata. Pada dasarnya bagian ini berisi ringkasan keseluruhan cerita Mahabharata, kisah-kisah mengenai latar belakang ceritera, nenek moyang keluarga Bharata, hingga masa muda Korawa dan Pandawa). Kisahnya dituturkan dalam sebuah cerita bingkai dan alur ceritanya meloncat-loncat sehingga tidak mengalir dengan baik. Penuturan kisah keluarga besar Bharata tersebut dimulai dengan percakapan antara Bagawan Ugrasrawa yang mendatangi Bagawan Sonaka di hutan Nemisa.

Adiparwa dituturkan seperti sebuah narasi. Penuturan isi kitab tersebut bermula ketika Sang Ugrasrawa mendatangi Bagawan Sonaka yang sedang melakukan upacara di hutan Nemisa. Sang Ugrasrawa menceritakan kepada Bagawan Sonaka tentang keberadaan sebuah kumpulan kitab yang disebut Astadasaparwa, pokok ceritanya adalah kisah perselisihan Pandawa dan Korawa, keturunan Sang Bharata. Dari penuturan Sang Ugrasrawa, mengalirlah kisah besar keluarga Bharata tersebut (Mahabharata).

7. Sabhaparwa

Sabhaparwa adalah buku kedua Mahabharata. Buku ini menceritakan alasan mengapa sang Pandawa Lima ketika diasingkan dan harus masuk ke hutan serta tinggal di sana selama 12 tahun dan menyamar selama 1 tahun. Di dalam buku ini diceritakan bagaimana mereka berjudi dan kalah dari Duryodana.

8. Wirataparwa

Wirataparwa adalah bagian keempat dari epos Mahabarata. Menceritakan kisah ketika para Pandawa harus bersembunyi selama setahun lagi dengan menyamar tanpa ketahuan, setelah mereka dibuang selama duabelas tahun di hutan gara-gara kalah berjudi dengan Korawa. Kisah pembuangan di hutan ini diceritakan dalam bagian Wanaparwa.

Maka para Pandawa bersembunyi di kerajaan Wirata. Jika mereka ketahuan, maka harus dibuang selama 12 tahun lagi. Di Wirata Yudistira menyamar sebagai seorang brahmana bernama Kangka. Bima menyamar sebagai seorang juru masak dan pegulat bernama Balawa. Lalu Arjuna menyamar sebagai seorang wandu yang mengajar tari dan nyanyi bernama Wrahanala. Nakula menjadi seorang penggembala kuda bernama Grantika dan Sadewa menjadi penggembala sapi bernama Tantipala. Dropadi menjadi seorang perias bernama Sarindri, melayani ratu Sudesna.

Page 8: Bahasa Rizal 29-X4 Jawa

Alkisah patih Wirata, Kicaka jatuh cinta kepada Sarindri dan ingin menikahinya. Tetapi ia ditolak dan memaksa. Lalu Balawa membunuhnya. Hal ini hampir saja membuat samaran mereka ketahuan.

Kematian Kicaka didengar oleh raja Susarma dari Trigarta yang kemudian datang membujuk para Korawa menyerbu Wirata yang dalam keadaan sangat lemah. Lalu negeri Wirata diserang para Korawa dari Astina. Para Pandawa ikut berperang membela Wirata. Serangan Korawa gagal, mereka kalah oleh orang-orang yang tidak dikenal dan membuat mereka curiga. Setelah perang usai, kedok Pandawa terbuka. Tetapi mereka sudah bersembunyi genap selama setahun, jadi tidak apa-apa. Wirataparwa diakhiri dengan kisah perkawinan Abimanyu, anak Arjuna, dengan Utari, puteri raja Wirata.

9. Udyogaparwa

Udyogaparwa adalah buku kelima dalam epos Mahabharata. Teks lengkap karya sastra parwa ini belum pernah diterbitkan. Isinya mengenai persiapan peperangan antara Korawa dan Pandawa. Pihak Pandawa menuntut separoh dari Kerajaan tetapi Korawa bersikeras menolak dengan alasan bahwa Pandawa telah kehilangan haknya. Namun di pihak Korawa Widura, Drona, dan Bhisma menasihati sebelumnya agar diupayakan penyelesaian damai. Kresna berperan sebagai duta untuk menengahi konflik antara para Korawa dan para Pandawa. Tetapi ia malah akan dibunuh Korawa, sehingga marah besar. Ini mengilhami cerita wayang berjudul Kresna Duta.

Dalam perjalanan pulang ia bertemu dengan Karna, dan Kresna membujuk Karna agar berpihak kepada Pandawa, mengingat Kunti adalah ibunya dan Pandawa adalah saudaranya. Tetapi Karna terikat budi baik ayah angkatnya dan Duryudana, yang mengangkatnya menjadi raja, dan utang budi itu jauh lebih mengikat daripada hubungan darah yang kurang terpelihara.

10. Prasthanikaparwa

Prasthanikaparwa atau Mahaprasthanikaparwa adalah buku Mahabharata yang ketujuh belas. Dalam buku ini diceritakan bagaimana Sang Pandawa Lima dan Dewi Dropadi mengundurkan diri dari Hastinapura dan pergi bertapa ke hutan. Mereka melakukan ini karena ajal sudah dekat. Akhirnya satu persatu para Pandawa dan Dropadi meninggal kecuali prabu Yudistira.

11. Swargarohanaparwa

Buku Swargarohanaparwa adalah buku terakhir Mahabharata. Di dalam buku ini dikisahkan bagaimana sang Yudistira yang diangkat naik ke surga lebih baik memilih pergi ke neraka daripada tinggal di sorga dengan para Korawa. Di sorga ia tidak menemui saudara-saudaranya, para Pandawa dan dewi Dropadi.

Maka Yudistira pun berangkat ke neraka dan sesampainya, ia melihat saudara-saudaranya sengsara dan iapun merasa sedih. Tetapi tiba-tiba sorga berubah menjadi neraka dan neraka tempat mereka berada berubah menjadi sorga. Ternyata para Pandawa dan Dropadi pernah berdosa sedikit sehingga harus dihukum. Sedangkan para Korawa pernah berbuat baik sedikit, tetapi perbuatan jahatnya jauh lebih banyak, sehingga beginilah hukumannya.

Kitab Swargarohanaparwa didapati pula dalam khazanah Sastra Jawa.

Page 9: Bahasa Rizal 29-X4 Jawa

12. Kunjarakarna

Pada suatu hari Kuñjarakarna bertapa di gunung Mahameru supaya pada kelahiran berikutnya ia bisa berreinkarnasi sebagai manusia berparas baik. Maka datanglah ia menghadap Wairocana. Maka ia diperbolehkan menjenguk neraka, tempat batara Yama. Di sana ia mendapat kabar bahwa temannya Purnawijaya akan meninggal dalam waktu beberapa hari lagi dan disiksa di neraka.

Kunjarakarna menghadap Wairocana untuk meminta dispensasi. Akhirnya ia diperbolehkan memberi tahu Purnawijaya. Purnawijaya terkejut ketika diajak melihat neraka. Lalu ia kembali ke bumi dan berpamitan dengan istrinya. Akhirnya ia mati tetapi hanya disiksa selama 10 hari dan bukannya ratusan tahun. Lalu ia diperbolehkan kembali. Cerita berakhir dengan bertapanya Kunjarakarna dan Purnawijaya di lereng gunung Mahameru.

Amanat cerita: barangsiapa mendengarkan dan tahu akan hukum dharma, maka ia akan diselamatkan.

B. Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk puisi (kakawin):

1. Kakawin Ramayana

Kakawin Rāmâyana adalah kakawin (syair) berisi cerita Ramayana. Ditulis dalam bentuk tembang berbahasa Jawa Kuna, diduga dibuat di Mataram Hindu pada masa pemerinthan Dyah Balitung sekitar tahun 820-832 Saka atau sekitar tahun 870 M. kakawin ini disebut-sebut sebagai adikakawin karena dianggap yang pertama, terpanjang, dan terindah gaya bahasanya dari periode Hindu-Jawa. Menurut tradisi Bali, Kakawin Ramayana ini dipercaya ditulis oleh seorang bernama Yogiswara. Hal ini ditolak oleh Prof. Dr. R.M.Ng. Purbatjaraka. Menurutnya, Yogiswara memang tercantum pada baris terakhir Ramayana versi Jawa ini, tetapi hal itu bukan merupakan identitas penulis, tetapi kalimat penutup yang berbunnyi :

Sang Yogiswara çista, sang sujana suddha menahira huwus matje sira

Kalimat tersebut jika diterjemahkan demikian :

Sang Yogi (pendeta/begawan) semakin bertambah pandai, Para sujana (cendekia/bijak) semakin bersih hatinya setelah membaca cerita ini.

Jadi jelas bahwa Yogiswara bukan merupakan nama penulis Ramayana Jawa ini.

Syair dalam bentuk kakawin ini adalah salah satu dari banyak versi mengenai kisah sang Rama dan Sita, wiracarita agung yang versi awalnya digubah di India oleh Walmiki dalam bahasa Sansekerta. Beberapa peneliti mengungkapkan, bahwa Kakawin Ramayana versi Jawa ini ternyata tidak sepenuhnya mengacu langsung kepada Ramayana versi Walmiki, akan tetapi mengacu ini merupakan transformasi dari kitab Rawanawadha yang ditulis oleh pujangga India kuno bernama Bhattikawya. Hal ini disimpulkan oleh Manomohan Ghosh, seorang peneliti sastra dari India yang menemukan beberapa bait Ramayana Jawa yang sama dengan bait bait dalam Rawanawadha.

Dari segi alur cerita, Kekawin Ramayana juga memiliki perbedaan dengan Ramayana Walmiki. Pada akhir cerita, sekembalinya Rama dan Sita ke Ayodya, mereka berpisah

Page 10: Bahasa Rizal 29-X4 Jawa

kembali, jadi Rama dan Sita tidak hidup bersama, demikian versi Walmiki. Sedang dalam versi Jawa, Rama dan Sita hidup bersama di Ayodya.

2. Kakawin Arjunawiwaha , mpu Kanwa

Kakawin Arjunawiwāha adalah kakawin pertama yang berasal dari Jawa Timur, berdasarkan Wanaparwa, kitab ketiga Mahabharata. Karya sastra ini ditulis oleh Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Prabu Airlangga, yang memerintah di Jawa Timur dari tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi. Sedangkan kakawin ini diperkirakan digubah sekitar tahun 1030.

Kakawin ini menceritakan sang Arjuna ketika ia bertapa di gunung Mahameru. Lalu ia diuji oleh para Dewa, dengan dikirim tujuh bidadari. Bidadari ini diperintahkan untuk menggodanya. Nama bidadari yang terkenal adalah Dewi Supraba dan Tilottama. Para bidadari tidak berhasil menggoda Arjuna, maka Batara Indra datang sendiri menyamar menjadi seorang brahmana tua.

Mereka berdiskusi soal agama dan Indra menyatakan jati dirinya dan pergi. Lalu setelah itu ada seekor babi yang datang mengamuk dan Arjuna memanahnya. Tetapi pada saat yang bersamaan ada seorang pemburu tua yang datang dan juga memanahnya. Ternyata pemburu ini adalah batara Siwa. Setelah itu Arjuna diberi tugas untuk membunuh Niwatakawaca, seorang raksasa yang mengganggu kahyangan. Arjuna berhasil dalam tugasnya dan diberi anugerah boleh mengawini tujuh bidadari ini.

3. Kakawin Kresnayana

Kakawin Kresnayana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna yang menceritakan pernikahan prabu Kresna dan penculikan calonnya yaitu Rukmini.

Dewi Rukmini, putri prabu Bismaka di negeri Kundina, sudah dijodohkan dengan Suniti, raja negerei Cedi. Tetapi ibu Rukmini, Dewi Pretukirti lebih suka jika putrinya menikah dengan Kresna. Maka karena hari besar sudah hampir tiba, lalu Suniti dan Jarasanda, pamannya, sama-sama datang di Kundina. Pretukirti dan Rukmini diam-diam memberi tahu Kresna supaya datang secepatnya. Kemudian Rukmini dan Kresna diam-diam melarikan diri.

Mereka dikejar oleh Suniti, Jarasanda dan Rukma, adik Rukmini, beserta para bala tentara mereka. Kresna berhasil membunuh semuanya dan hampir membunuh Rukma namun dicegah oleh Rukmini. Kemudian mereka pergi ke Dwarawati dan melangsungkan pesta pernikahan.

4. Kakawin Smaradahana

Kakawin Smaradahana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna dalam bentuk kakawin yang menyampaikan kisah terbakarnya Batara Kamajaya.

5. Kakawin Bhomakawya

Kakawin Bhomântaka atau juga disebut sebagai Kakawin Bhomakawya adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuna. Kakawin ini merupakan salah satu yang terpanjang dalam Sastra Jawa Kuna, panjangnya mencapai 1.492 bait. Isinya ialah kisah cerita peperangan antara Prabu Kresna dan sang raksasa Bhoma. Kakawin Bhāratayuddha di

Page 11: Bahasa Rizal 29-X4 Jawa

antara karya-karya sastra Jawa Kuna, adalah yang paling termasyhur. Kakawin ini menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa, yang disebut peperangan Bharatayuddha.

6. Kakawin Hariwangsa

Kakawin Hariwangsa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna. Cerita yang dikisahkan dalam bentuk kakawin ini adalah cerita ketika sang prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah dengan Dewi Rukmini, dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi Sri. Kakawin Wrettasancaya adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuna.

Isinya ialah pelajaran mengenai metrum kakawin. Pada kakawin ini diberikan contoh tidak kurang dari 94 macam metrum kakawin dan mengandung secara total 112 bait kakawin. Pelajaran ini diikat sedemikian rupa berbentuk cerita yang cukup menarik meski agak berkesan artifisial. Maka adalah seorang putri yang ditinggalkan suaminya. Sang putri ini pergi ke taman dan bertemu dengan sepasang burung belibis. Ia minta tolong supaya dicarikan suaminya. Maka petualangan si burung belibis ini menjadi latar belakang untuk menceritakan keindahan-keindahan dalam hutan dan sebagainya. Kakawin Kunjarakarna Dharmakathana adalah gubahan dalam bentuk syair (kakawin) dari karya sastra prosa; Ku n jarakarna .

7. Kakawin Kunjarakarna , mpu "Dusun"

Kakawin Kunjarakarna menceritakan seorang yaksa, semacam raksasa yang bernama Kunjarakarna. Cerita ini berdasarkan agama Buddha Mahayana.

Kakawin dimulai dengan manggala yang diikuti dengan sebuah deskripsi tentang gunung Mahameru di mana Kunjarakarna sedang bertapa supaya pada kelahiran berikutnya ia bisa berreinkarnasi sebagai manusia berparas baik. Maka datanglah ia menghadap Wairocana. Maka ia diperbolehkan menjenguk neraka, tempat batara Yama. Di sana ia mendapat kabar bahwa temannya Purnawijaya akan meninggal dalam waktu beberapa hari lagi dan disiksa di neraka.

Kunjarakarna menghadap Wairocana untuk meminta dispensasi. Akhirnya ia diperbolehkan memberi tahu Purnawijaya. Purnawijaya terkejut ketika diajak melihat neraka. Lalu ia kembali ke bumi dan berpamitan dengan istrinya, sang Kusumagandawati.Akhirnya ia mati tetapi hanya disiksa selama 10 hari dan bukannya seratus tahun. Lalu ia diperbolehkan kembali hidup. Cerita berakhir dengan bertapanya Kunjarakarna dan Purnawijaya di lereng gunung Mahameru.

8. Kakawin Nagarakretagama , mpu Prapanca

Kakawin Nagarakertagama atau juga disebut dengan nama kakawin Desawarnana bisa dikatakan merupakan kakawin Jawa Kuna yang paling termasyhur. Kakawin ini adalah yang paling banyak diteliti pula. Kakawin yang ditulis tahun 1365 ini, pertama kali ditemukan kembali pada tahun 1894 oleh J.L.A. Brandes, seorang ilmuwan Belanda yang mengiringi ekspedisi KNIL di Lombok. Ia menyelamatkan isi perpustakaan Raja Lombok di Cakranagara sebelum istana sang raja akan dibakar oleh tentara KNIL.

Page 12: Bahasa Rizal 29-X4 Jawa

Kakawin ini menguraikan keadaan di keraton Majapahit dalam masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, raja agung di tanah Jawa dan juga Nusantara. Ia bertakhta dari tahun 1350 sampai 1389 Masehi, pada masa puncak kerajaan Majapahit, salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di Nusantara. Bagian terpenting teks ini tentu saja menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang harus menghaturkan upeti.

9. Kakawin Sutasoma , mpu Tantular

Kakawin Sutasoma adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuna. Kakawin ini termasyhur, sebab setengah bait dari kakawin ini menjadi motto nasional Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika.

Motto atau semboyan Indonesia tidaklah tanpa sebab diambil dari kitab kakawin ini. Kakawin ini mengenai sebuah cerita epis dengan pangeran Sutasoma sebagai protagonisnya. Amanat kitab ini mengajarkan toleransi antar agama, terutama antar agama Hindu-Siwa dan Buddha. Kakawin ini digubah oleh mpu Tantular pada abad ke-14.

10. Kakawin Siwaratrikalpa , Kakawin Lubdhaka

Kakawin Siwaratrikalpa adalah sebuah karya sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna. Dalam kakawin ini diceritakan bagaimana seseorang yang berdosa besar sekalipun dapat mencapai surga.

Di dalam cerita ini dikisahkan bagaimana Lubdhaka seorang pemburu sedang berburu di tengah hutan. Tetapi sudah lama ia mencari-cari mangsa, tidak dapat. Padahal hari mulai malam. Maka supaya tidak diterkam dan menjadi mangsa binatang buas, ia lalu memanjat pohon dan berusaha supaya tidak jatuh tertidur. Untuk itu ia lalu memetiki daun-daun pohon dan dibuanginya ke bawah. Di bawah ada sebuah kolam. Kebetulan di tengah kolam ada sebuah lingga dan daun-daun berjatuhan di atas dan sekitar lingga tersebut. Lalu malam menjadi hari lagi dan iapun turun dari pohon lagi.

Selang beberapa lama iapun melupakan peristiwa ini dan kemudian meninggal dunia. Arwahnya lalu gentayangan di alam baka tidak tahu mau ke mana. Maka Dewa Maut; Batara Yama melihatnya dan ingin mengambilnya ke neraka. Tetapi pada saat yang sama Batara Siwa melihatnya dan ingat bahwa pada suatu malam yang disebut "Malam Siwa" (Siwaratri) ia pernah dipuja dengan meletakkan dedaunan di atas lingga, simbolnya di bumi.

Lalu pasukan Yama berperang dengan pasukan Siwa yang ingin mengambilnya ke surga. Siwapun menang dan Lubdhaka dibawanya ke surga.

11. Kakawin Parthayajna

Kakawin Parthayajna adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuna. Kakawin ini menceritakan pertapaan Arjuna di gunung Indrakila, mirip seperti dalam Kakawin Arjunawiwaha. Namun ceritanya dalam kakawin ini lebih bersifat falsafi dan sangat sulit dipahami. Kakawin yang sulit ini belum diterbitkan. Kakawin Nitisastra yang tak dikenal penggubahnya ini, merupakan kakawin moralistis-didaktis. Kakawin ini zaman dahulu sangat termasyhur di pulau Jawa dan sekarangpun masih di Bali. Pada abad ke-18 M ada versi dalam Bahasa Jawa Baru, digubah dengan judul Serat Panitisastra.

Page 13: Bahasa Rizal 29-X4 Jawa

Di India kuna, kitab-kitab Niti-Sastra adalah kitab-kitab yang mengandung kebijaksanaan hidup dan pelajaran secara umum. Nama ini dengan kata lain adalah nama umum atau generik. Dalam bahasa Jawa kuna, pengertiannya juga mirip. Jika seseorang membicarakan Niti-Sastra, belum tentu merujuk pada kakawin ini.

Poerbatjaraka menunjukkan bahwa kakawin ini ternyata terjemahan daripada seloka-seloka dalam bahasa Sansekerta. Menurut beliau, kakawin ini digubah pada abad ke-15.

12. Kakawin Dharmasunya

Kakawin Dharmasunya merupakan sebuah kakawin didaktis dalam bahasa Jawa Kuna. Kakawin itu diperkirakan ditulis pada pertengahan abad ke 15 Masehi. Kakawin pendek Banawa Sekar (Bahtera Bunga) adalah karangan mpu Tanakung.

Kakawin ini melukiskan: "upacara pesta srāddha yang diadakan oleh Jiwanendradhipa 'maharaja Jiwana', khususnya persembahan-persembahan yang dihaturkan oleh berbagai raja: śrī nātheng Kŗtabhūmi, naranātha ring Mataram, sang nŗpati Pamotan, śrī parameśwareng Lasĕm, dan naranātha ring Kahuripan.

Persembahan-persembahan itu berbentuk indah aneka warna dan bergaya seni serta berupa ilustrasi mengenai gita dan kidung yang digubah oleh raja-raja sendiri.Rupanya sajak-sajak itu dipersembahkan pada waktu yang sama, tertulis di atas karas (papan tulis) atau daun-daun lontar.

Persembahan yang paling indah ialah persembahan yang dibawa oleh raja yang menghaturkan sraddha berbentuk sebuah perahu yang dibuat dari bunga-bunga.Upacara sraddha ialah upacara untuk mengenang arwah seseorang yang meninggal.

Page 14: Bahasa Rizal 29-X4 Jawa

BAB III

PENUTUPAN

Setelah cukup panjang dijelaskan mengenai kebudayaan dan bahasa Jawa serta hubungan keduanya, maka dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa:1. Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang sangat luhur, warisan dari nenek moyang kita

terdahulu, yang merupakan jatidiri dan kepribadian dari orang Jawa. Maka dari itu kebudayaan Jawa harus tetap dilestarikan.

2. Bahasa Jawa adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari budaya Jawa, karena bahasa Jawa merupakan salah satu dari budaya Jawa yang luhur. Kebudayaan suatu daerah dapat dilihat dari bahasanya.

3. Sastra Jawa Kuno merupakan hasil kebudayaan Jawa turunan dari bahasa Jawa yang memuat sejarah Jawa yang jumlahnya begitu banyak perlu dilestarikan.

4. Melihat dari keadaan bahasa Jawa saat ini, yang sedang mengalami kemunduran, itu merupakan cermin kemunduran juga bagi kebudayaan Jawa secara umum. Maka dari itu perlu ada tindakan-tindakan guna untuk menyelamatkan bahasa Jawa dari kepunahan, sehingga bahasa Jawa tetap lestari. Sehingga kebudayaan, jatidiri, dan kepribadian orang Jawa tidak hilang.

Suatu bangsa dan Negara akan terkenal luhur dan terhormat itu tergantung pada luhurnya kebudayaan bangsa itu sendiri, maka dari itu bahasa dan kebudayaan Jawa yang sudah terkenal di masyarakat ini yang merupakan peninggalan para leluhur harus kita jaga. Kita harus sadar akan pentingnya budaya Jawa ini, maka dari itu kita tidak boleh diam saja melihat keadaan bahasa Jawa dan kebudayaan Jawa saat ini, jangan sampai kebudayaan Jawa ini benar-benar hilang. Kita harus bersama-sama menghidupkan kembali kebudayaan-kebudayaan Jawa yang ada, supaya kebudayaan Jawa akan terus ada dan lestari.

Page 15: Bahasa Rizal 29-X4 Jawa