relasi agama dan negara - copy

66
16 BAB II RELASI AGAMA DAN NEGARA A. Konsepsi Islam Tentang Negara Perbincangan mengenai hubungan agama dan negara merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan (discourse) yang terus berkepanjangan di kalangan para ahli. 1 Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam menerjemahkan agama sebagai bagian dari negara atau negara merupakan bagian dari dogma agama. Bahkan, menurut Syafi’i Maarif (1935 M.), Prof. Dr. Harun Nasution (1919-1998 M.), seorang ahli teologi Islam pernah mengatakan, bahwa persoalan yang telah memicu konflik intelektual untuk pertama kalinya dalam kehidupan umat Islam adalah berkait dengan masalah hubungan agama dengan negara. 2 Menurut Deliar Noer (1926 M.), Islam setidaknya meliputi dua aspek pokok yaitu agama dan masyarakat (politik). 3 Akan tetapi untuk mengartikulasikan dua aspek tersebut dalam kehidupan nyata merupakan suatu problem tersendiri. Umat Islam pada umumnya mempercayai watak holistik Islam. Dalam persepsi mereka, Islam sebagai instrumen Ilahiyah untuk memahami dunia, seringkali lebih dari sekedar agama. Banyak dari 1 Dede Rosyada, et al., Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Cet. Ke-1, 2000, hlm. 58. 2 Ahmad Syafi’i Maarif, “Pengantar” dalam M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, Cet. Ke-1, 1999, hlm. ix. 3 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesi 1900-1942, Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-8, 1996, hlm.1.

Upload: candu-naraya-lana

Post on 01-Jan-2016

48 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Relasi Agama Dan Negara - Copy

16

BAB II

RELASI AGAMA DAN NEGARA

A. Konsepsi Islam Tentang Negara

Perbincangan mengenai hubungan agama dan negara merupakan

persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan (discourse) yang terus

berkepanjangan di kalangan para ahli.1 Hal ini disebabkan oleh perbedaan

pandangan dalam menerjemahkan agama sebagai bagian dari negara atau

negara merupakan bagian dari dogma agama. Bahkan, menurut Syafi’i Maarif

(1935 M.), Prof. Dr. Harun Nasution (1919-1998 M.), seorang ahli teologi

Islam pernah mengatakan, bahwa persoalan yang telah memicu konflik

intelektual untuk pertama kalinya dalam kehidupan umat Islam adalah berkait

dengan masalah hubungan agama dengan negara.2

Menurut Deliar Noer (1926 M.), Islam setidaknya meliputi dua aspek

pokok yaitu agama dan masyarakat (politik).3 Akan tetapi untuk

mengartikulasikan dua aspek tersebut dalam kehidupan nyata merupakan

suatu problem tersendiri. Umat Islam pada umumnya mempercayai watak

holistik Islam. Dalam persepsi mereka, Islam sebagai instrumen Ilahiyah

untuk memahami dunia, seringkali lebih dari sekedar agama. Banyak dari

1 Dede Rosyada, et al., Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi

Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Cet. Ke-1, 2000, hlm. 58.

2 Ahmad Syafi’i Maarif, “Pengantar” dalam M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, Cet. Ke-1, 1999, hlm. ix.

3 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesi 1900-1942, Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-8, 1996, hlm.1.

Page 2: Relasi Agama Dan Negara - Copy

17

mereka malah menyatakan bahwa Islam juga dapat dipandang sebagai agama

dan negara.4

Perdebatan dan diskusi mengenai ini sesungguhnya lebih terletak pada

tataran konseptualisasi dan pola-pola hubungan antara keduanya.5 Dimana

perdebatan ini muncul dilatar belakangi oleh teks-teks agama sendiri yang

pola hubungannya dikotomis. Agama dan negara seringkali dikesankan

sebagai dua wilayah yang berhadapan. Misalnya, hubungan dunia akhirat atau

al dunya wa al-din. Baik al-Qur’an maupun hadits banyak menyebut dua hal

tersebut. Bahkan sering dijumpai ungkapan al Islam huwa al-din wa al-

daulah.6

Kesan berhadap-hadapan seperti itulah yang kemudian memunculkan

kontroversi yang tajam dan keras di sekitar konsep hubungan agama dan

negara. Sehingga menurut, Azyumardi Azra (1955 M.), ketegangan perbedaan

hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung

antara Islam sebagai agama (din) dan negara (daulah).7 Dari sini lalu akan

timbul pertanyaan: Apakah Islam mempunyai konsep tentang negara?. Untuk

menjawab tentang pertanyaan ini kiranya sangat perlu kita menengok ke

belakang, perjalanan sejarah pemikiran para ulama dalam konteks ini.

Memang dalam Islam, negara bisa diterjemahkan dengan berbagai cara.

Perbedaan ini bukan saja disebabkan oleh faktor sosio-budaya-historis, tetapi

4 Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan dalam

Konstituante, Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-1, 1996, hlm. 15. 5 Ahmad Suaedy (ed.), Pergulatan Pesantren Demokrasi, Yogyakarta: LKiS, Cet. Ke-1,

hlm. 2000, hlm. 88. 6 Ibid. 7 Dede Rosyada, et al., Op. Cit., hlm. 61.

Page 3: Relasi Agama Dan Negara - Copy

18

bersumber juga dari aspek teologis-doktrinal. Menurut Karim, Walaupun

Islam mempunyai konsep ‘khalifah, daulah, hukumah’ tetapi al-Qur’an belum

menjelaskan secara rinci tentang bentuk dan konsepsi tentang negara Islam.8

Ada sederet teoritisi Islam yang mewakili Zaman klasik yang bisa

disebutkan, antara lain: Ibn Abi Rabi’ (833-842 M.), hidup pada abad ke-9

dengan karyanya yang bertitel Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik

menekankan pada ketuhanan dan memadukannya dengan teori tentang asal

usul negara; Al-Farabi (257-339 M.) dalam karyanya Ara-Ahl al-Madinah al-

Fadhilah dan Al- Siyasah al-Madaniyyah mengatakan bahwa yang dapat dan

boleh menjadi kepala negara adalah anggota masyarakat atau menusia yang

paling sempurna (al-Insan al-Kamil); Al-Mawardi (975-1058 M.) dengan

karyanya Al-Ahkam al-Sulthaniyah, Qawwain al-Wuzarah, dan Siyasah al-

Malik, menekankan hubungan yang demikian erat antara Syari’ah dan

Imamah; Imam al-Ghozali (1058-1111 M.) dengan karyanya Ihya ’Ulum al-

Din, melihat agama sebagai orde sosio-politik dan penguasa sebagai

pemeliharanya; Ibnu Taimiyyah (1263-1328 M.) dengan karyanya Al-Siyasah

al-Syar’iyyah fi-Ishlah al-Ra’i wa al-Ra’iyyah , ia dipenjarakan karena

mempertahankan pendapatnya tentang Siyasah Syar’iyah (politik atas dasar

syariat) dan Ibnu Khaldun (1332-1406 M.) dengan karyanya Muqaddimah

yang menyatakan bahwa siyasah berdasarkan al-din adalah berguna untuk

dunia dan akhirat.9

8 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Op. Cit., hlm. 1. 9 Ahmad Syafi’i Maarif, “Pengantar” dalam M. Rusli Karim, Ibid., hlm. ix-x.

Page 4: Relasi Agama Dan Negara - Copy

19

Melihat tulisan para teoretisi di atas dapat dipahami bahwa secara

eksplisit maupun implisit menyatakan tujuan dibentuknya suatu negara tidak

semata-mata karena untuk memenuhi kebutuhan lahiriyah manusiawi belaka,

melainkan untuk kebutuhan ruhaniyyah dan ukhrawiyah. Untuk kepentingan

ini agama dijadikan landasan dan dijadikan sebagai fondasi dan kehidupan

kenegaraan. Dari sinilah kemudian muncul jargon politik Islam: al-Islam Din

wa Daulah ( Islam adalah agama dan negara ).10 Dari konsep ini berarti tidak

ada pemisahan antara agama dan negara. Sementara di sisi lain ada yang

bersikap sekuler, yang secara tegas menyatakan pemisahan antara agama dan

negara, dan tidak ada kewajiban untuk membangun sebuah negara Islam di

dunia ini. Bagi yang memegang konsep ini memandang bahwa agama adalah

urusan akhirat, sedangkan negara urusan dunia.11

Sebetulnya, konsep negara Islam itu sendiri menurut Nurcholis Madjid

(1939 M.) adalah merupakan gejala modern.12 Sebagaimana ungkapan Amin

Rais (1944 M.), bahwa dunia Islam mulai ramai membicarakan konsep negara

Islam ini setelah berakhirnya sistem kekhalifahan di Turki.13 Selama

penjajahan Barat atas dunia Islam, kaum muslimin tidak sempat berpikir

tentang ajaran agama mereka secara jelas, komprehensif dan tuntas mengenai

10 Ibid. 11 Ibid. 12 Nurcholis Madjid, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial

Politik Kontemporer, Editor: Edy A. Effendi, Jakarta: Paramadina, Cet. Ke-1, 1998, hlm. 158. 13 M. Amin Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, Editor: Hamid Basyaib,

Bandung: Mizan, Cet. Ke-5, 1994, hlm. 36.

Page 5: Relasi Agama Dan Negara - Copy

20

pelbagai masalah.14 Namun kejelasan tentang ada dan tidaknya konsep yang

definitif mengenai masalah ini belum bisa dipastikan begitu saja.

Untuk dapat menjawab persoalan tentang ada dan tidaknya konsepsi

Islam yang rinci sekaligus kewajibannya bagi umat Muslim mendirikan

sebuah negara Islam – dengan benar, kita harus lebih dahulu memahami ciri

khusus Islam dari asal kitab sucinya. Kemudian untuk mempermudah

pembahasan selanjutnya, tidaklah lupa kami jelaskan dahulu apakah yang

dimaksud dengan negara itu sediri.

Dr. Bonar sebagaimana dikutip oleh M. Yusuf Musa mendefinisikan

bahwa negara adalah suatu kesatuan hukum yang bersifat langgeng, yang di

dalamnya mencakup hak institusi sosial yang melaksanakan kekuasaan hukum

secara khusus dalam menangani masyarakat yang tinggal dalam wilayah

tertentu, dan negara memiliki hak-hak kedaulatan, baik dengan kehendaknya

sendiri maupun dengan jalan penggunaan kekuatan fisik yang dimilikinya.15

Dalam buku yang sama, seorang penulis Mesir, yaitu Dr. Wahid Ra’fat,

mendefinisikan bahwa negara adalah sekumpulan besar masyarakat yang

tinggal pada suatu wilayah tertentu di belahan bumi ini yang tunduk pada

suatu pemerintahan yang teratur yang bertanggungjawab memelihara

eksistensi masyarakatnya, mengurus segala kepentingannya dan kemaslahatan

umum.16 Sementara Dr. Abu Hamid Mutawalli17, mendefinisikan bahwa

negara adalah suatu institusi abstrak yang terwujudkan dalam sebuah

14 Ibid. 15 M. Yusuf Musa, Nidhamul Hukmi fil Islam, Terj. M. Thalib, “Politik dan Negara dalam

Islam”, Kairo, Cet. Ke-2, 1963, hlm. 24. 16 Ibid., hlm.25. 17 Ibid.

Page 6: Relasi Agama Dan Negara - Copy

21

konstitusi untuk suatu masyarakat yang menghuni wilayah tertentu dan

memiliki kekuasaan umum.

Dalam Islam, menurut Javid Iqbal, negara didirikan atas dasar prinsip-

prisip tertentu yang ditetapkan al-Qur’an dan Sunah Nabi Muhammad. Prinsip

pertama adalah bahwa seluruh kekuasaan di alam semesta ada pada Allah

karena Ia yang telah menciptakannya. Prinsip kedua adalah bahwa hukum

Islam ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur’an dan Sunah Nabi, sedangkan

sunah Nabi merupakan penjelasan otoritatif tentang al-Qur’an. Ketentuan-

ketentuan ini untuk membimbing umat manusia, diturunkan kepada para Nabi

dari waktu dan yang terakhir adalah Nabi Muhammad Saw. 18

Dalam teori, negara Islam adalah merupakan negara Allah, dan kaum

muslim merupakan partai-Nya (hizbullah).19 Hal ini, menurut Javid Iqbal,

berdasarkan konsep tentang kebahagiaan (falah), yaitu: (1) harus berusaha

untuk keberhasilan masyarakat muslim di dunia ini serta mempersiapkannya

untuk keberhasilannya di akhirat; (2) untuk menyadari tujuan-tujuan tersebut,

masyarakat muslim (ummah) harus berdasarkan prinsip-prinsip persamaan

hak, solidaritas dan kemerdekaan.20

Namun yang menjadi permasalahan bagi umat Islam dari zaman klasik

hingga abad modern ini adalah bahwasannya al-Qur’an tidak menetapkan cara

hidup tertentu untuk masyarakat muslim. Begitu pula tentang masalah poitik,

khususnya hubungan agama dan negara. Semasa empat Al-Khulafa al-

18 Hakim Javid Iqbal, “ Konsep Negara Menurut Islam” dalam Mumtaz Ahmad (ed.),

Masalah-Masalah Teori Politik Islam, Bandung: Mizan, Cet. Ke-3, 1996, hlm. 57. 19 Ibid., hlm. 58. 20 Ibid.

Page 7: Relasi Agama Dan Negara - Copy

22

Rosyidin tidak terdapat suatu pola yang baku mengenai cara pengangkatan

khalifah atau kepala negara.21 Dalam sejarah empat khalifah tersebut, tidak

juga terdapat petunjuk atau contoh tentang cara bagaimana mengakhiri masa

jabatan seorang kepala negara. Mereka semua mengakhiri masa tugasnya

karena wafat.22

Keragaman dalam praktek tersebut mencuatkan pula konsep dan

pemikiran yang diintrodusir oleh para tokoh pemikir tentang politik Islam.

Perbedaan konsep dan pemikiran ini bertolak dari penafsiran dan pemahaman

yang tidak sama terhadap hubungan agama dan negara yang dikaitkan dengan

kedudukan Nabi dan penafsiran terhadap ajaran Islam dalam kaitannya dengan

polotik dan pemerintahan.

Tentang hubungan agama dan negara ada terdapat tiga kelompok

pemikiran. Kelompok pertama berpendapat bahwa negara adalah lembaga

kegamaan dan sekaligus lembaga politik. Karena itu kepala negara adalah

pemegang kekusaan dan agama. Kelompok kedua mengatakan bahwa negara

adalah lembaga keagamaan tetapi mempunyai fungsi politik. Karena itu

kepala negara mempunyai kekuasaan negara yang berdimensi politik.

Kelompok ketiga menyatakan bahwa negara adalah lembaga politik yang

sama sekali terpisah dari agama. Kepala negara, kerenanya, hanya mempunyai

kekuasaan politik atau penguasa duniawi saja.23

21 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI

Press, Cet. Ke-2, 1990, hlm. 30. 22 Ibid., hlm. 31. 23 J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, Cet. Ke-2, 1995, hlm. xii.

Page 8: Relasi Agama Dan Negara - Copy

23

Demikian dalam pemahaman dan penafsiran ajaran Islam kaitannya

dengan politik dan pemerintahan juga terdapat tiga golongan. Golongan

pertama menyatakan, di dalam Islam terdapat sistem politik dan pemerintahan,

karena Islam adalah agama yang paripurna. Golongan kedua mengatakan di

dalam Islam tidak ada sistem politik dan pemerintahan, tetapi terdapat

seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara,24 mengandung ajaran-

ajaran dasar tentang kehidupan masyarakat dan bernegara. Sedangkan

golongan ketiga berpendapat bahwa Islam sama sekali tidak terkait dengan

politik dan pemerintahan. Ajaran agama hanya berkisar tentang tauhid dan

pembinaan akhlaq dan moral manusia dalam berbagai aspek kehidupan.25

Opini tentang teori politik Islam seperti di atas kiranya telah dikenal oleh

masyarakat luas, kalangan muslim khususnya. Berkenaan tentang hubungan

agama dan negara tersebut, setidaknya lebih dikenal dengan istilah “tiga

paradigmatik pola hubungan agama dan negara”, yang diutarakan dan

dipertahankan oleh tokoh inspiratornya masing-masing. Dengan wacana

inilah, akan dijelaskan secara lebih terang mengenai konsepsi Islam tentang

negara. Adapun ketiga paradigma tersebut yaitu; integralistik, simbiostik, dan

sekularistik.

a. Paradigma Integralistik

Paradigma pertama ini mengajukan konsep bersatunya agama

dan neagra. Agama (Islam) dan negara, dalam hal ini tidak bisa

24 Munawir Sjadzali, Op. Cit., hlm. 2. 25 J. Suyuti Pulungan, Loc. Cit.

Page 9: Relasi Agama Dan Negara - Copy

24

dipisahkan (integrated), wilayah agama juga meliputi politik atau

negara. Karenanya, menurut paradigma ini, negara merupakan

lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara

diselenggarakan atas dasar kedaulatan Ilahi ( devine cofereignty),

karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di tangan Tuhan.26

Jadi, pandangan ini bersifat teokratis.27

Konsekuensi lebih lanjut dari pandangan ini adalah bahwa aturan

kenegaraan harus dijalankan menurut hukum-hukum Tuhan (syari’ah).

Ayat-ayat al-Qur’an yang sering dikumandangkan sebagai legitimasi

bagi penerapan hukum Tuhan ini misalnya:

����������������� ������������������������������������

“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang

diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.28

Bagi kelompok ini, syari’ah selalu dipahami sebagi totalitas yang

par exellent “kaffah kamilah” bagi tatanan kehidupan kemasyarakatan

dan kemanusiaan. Sementara negara berfungsi untuk menjalankan

syari’ah. Karena legitimasi politik negara harus berdasarkan syari’ah,

maka sistem kenegaraan menurut sistem ini bersifat teokratis.29

Pandangan ini kebanyakan dianut oleh kelompok Syi’ah.30

Paradigma pemikiran politik Syi’ah memandang bahwa negara (istilah

26 M. Din Syamsudin, “ Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik

Islam” dalam Andito (Abu Zahra) (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. Ke-1, 1999, hlm. 45-46.

27 Ahmad Suaedy (ed.), Op. Cit., hlm. 89. 28 QS. Al-Maidah: 44, Al Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, Semarang:

Karya Toha Putra, hlm. 215. 29 Ahmad Suaedy (ed.), Op. Cit., hlm. 90. 30 Ibid.

Page 10: Relasi Agama Dan Negara - Copy

25

yang relevan dangan hal ini adalah Imamah)31 atau kepemimpinan

adalah lembaga kenegaraan dan mempunyai fungsi keagamaan.

Menurut Syi’ah juga, hubungan legitimasi keagamaan berasal dari

Tuhan dan diturunkan lewat garis keturunan Nabi Muhammad,

legitimasi garis berdasarkan pada hukum Allah, dan hal ini hanya

dimiliki oleh para keturunan Nabi.32

Penyatuan agama dan negara, juga menjadi anutan kelompok

“fundamentalis Islam”33 yang cenderung berorientasi pada nilai-nilai

Islam yang dianggapnya mendasar dan prinsipil. Paradigma

fundamentalisme menekankan totalitas Islam, yakni bahwa Islam

meliputi seluruh aspek kehidupan. 34 Tokoh kelompok ini yang

menonjol adalah, Al-Maududi (1903-1979 M.). Bagi Al-Maududi

syari’at tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Syari’ah

adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh tatanan

kemasyarakatan. Sehingga menurutnya, Islam harus dibangun di atas

perundang-undangan syari’ah yang dibawa Nabi dari Tuhan dan harus

diterapkan dalam kondisi apapun.35

Syari’ah inilah yang mengatur manusia, perilakunya dan

hubungan-hubungan satu sama lain di dalam segala aspek, baik

31 Imamah adalah gerakan dan prinsip politik kaum Syi’ah yang mewajibkan penguasa negaraitu seorang imam dan berkeyakinan bahwa imam itu ma’shum serta masih keturunan Ali Ibnu Abi Tholib. Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Palembang: Universitas Sriwijaya, Cet. Ke-1, 2001, hlm. 435.

32 Andito (Abu Zahra) (ed.), Loc. Cit. 33 Istilah Fundalisme ini oleh golongan tertentu diberikan kepada orang-orang Islam yang

menginginkan memperlakukan semua ajaran syari’at Islam didalam perikehidupan. Mochtar Effendy, Op. Cit., hlm.197.

34 Andito (Abu Zahra) (ed), Op. Cit., hlm. 47. 35 Ahmad Suaedy (ed.), Op. Cit., hlm. 91.

Page 11: Relasi Agama Dan Negara - Copy

26

bersifat individu, keluarga, masyarakat, serta hubungannya dengan

negara.36

Karena memandang wajib ditegakkannya hukum Allah, maka

demi tercapainya misi tersebut haruslah ditegakkan negara Islam. Dan

dalam hal ini, menurut Al-Maududi, harus didasarkan pada empat

prinsip dasar, yaitu mengakui kedaulatan Tuhan, menerima otoritas

Nabi Muhammad, memiliki status ‘wakil Tuhan’, dan menerapkan

musyawarah.37

Menurut Al-Maududi, prinsip dasar Islam adalah bahwa umat

manusia, baik secara pribadi maupun secara bersama-sama harus

melepaskan semua hak pertuanan, pembuatan undang-undang dan

pelaksanaan kedaulatan atas orang lain. Kedaulatan dalam Islam

menurut al-Maududi, bukan di tangan manusia, tetapi di tangan

Tuhan. Dan kedaulatan Tuhan tersebut mencakup semua bidang

kehidupan.38

Dengan demikian prinsip-prinsip pokok negara Islam menurut

Al-Maududi ialah; kedaulatan penuh ada di tangan Allah, dimana yang

lain adalah hamba-Nya; hukum yang berlaku hanyalah hukum Allah,

dan hanya Dia yang berwenang membuat atau merubahnya; negara

Islam tersebut haruslah dipimpin oleh pemerintah yang benar-benar

36 M. Yusuf Musa, Op. Cit., hlm. 23. 37 Andito (Abu Zahra) (ed.), Op. Cit., hlm. 47. 38 Sudirman Tebba, Islam Menuju Era Reformasi, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,

Cet. Ke-1, 2001, hlm. 6.

Page 12: Relasi Agama Dan Negara - Copy

27

bersikap patuh dalam kedudukannya sebagi lembaga politik yang

dibentuk untuk memberlakukan hukum-hukum Allah.39

Kemudian, nama yang lebih tepat untuk negara Islam, menurut

Al-Maududi adalah “kerajaan Allah”, yang dalam bahasa inggris

disebut theocracy. Akan tetapi, Al-Maududi menambahkan, theocracy

Islam berbeda dengan budaya Barat yang menekan dan memaksa

hukum buatannya atas nama Tuhan. Menurut Maududi, pemerintahan

semacam itu bersifat setani, bukan bersifat Ilahi (satanic rather than

divine).40 Theocracy dalam Islam diperintah oleh seluruh rakyat

muslim. Dimana seluruh rakyat Islam menjalankan roda kenegaraan

sesuai dengan petunjuk kitab Allah dan contoh praktik Rasul-Nya. Al-

Maududi menamakan sistem pemerintahan ini dengan ‘theo-

democracy’41 -- yakni suatu pemerintahan demokrasi yang berdasarkan

ketuhanan, karena dalam pemerintahan ini rakyat Islam diberi

kedaulatan di bawah wewenang Allah.

Secara teoritis, penguasa sebuah negara Islam ini tidak memiliki

kekuasaan mutlak, demikian juga parlemen ataupun rakyat, karena

kekuasaan mutlak itu hanya milik Allah semata, dan hukum-Nya harus

tetap berkuasa. Memakai istilah kini, konstitusi Islam hanya

mempunyai dua organ penting: eksekutif dan yudikatif. Organ ketiga

39 Abu A’la Maududi “Teori Politik Islam” dalam Khurshid Ahmad (ed.), Pesan Islam,

Bandung: Pustaka, Cet. Ke-1, 1983, hlm. 193. 40 M. Amin Rais, “Pengantar” dalam Abu A’la al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, Terj.

Muhammad Al-Baqir “Khilafah dan Kerajaan: Efaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam”, Bandung: Mizan, Cet. Ke-6, 1996, hlm. 22.

41 Khurshid Ahmad (ed.), Loc. Cit.

Page 13: Relasi Agama Dan Negara - Copy

28

yang memungkinkan -- yaitu, legislatif -- secara konstitusional tidak

diberi batasan, karena undang-undang telah ditetapkan di dalam al-

Qur’an oleh Allah.42 Tugas pemerintah adalah untuk

melaksanakannya, bukan merubahnya untuk kepentingan-

kepentingannya sendiri.

Sistem pemerintahan Islam itu sendiri adalah sebuah sistem yang

yang lain sama sekali dengan sistem-pemerintahan yang ada di dunia.

Baik dari aspek yang menjadi landasan berdirinya, standar hukum

yang dipergunakan, ataupun dari aspek bentuk yang menggambarkan

wujud negara. Taqiyuddin An Nabhani (1909-1977 M.)

mengemukakan bahwa pemerintahan Islam bukanlah monarki, bukan

republik, bukan kekaisaran dan bukan federasi. Akan tetapi,

menurutTaqiyuddin, sistem pemerintahan Islam ini adalah sistem

khilafah.43

Menurut Taqiyuddin lebih lanjut, mendirikan khilafah adalah

wajib bagi seluruh muslimin di seluruh dunia. Sedangkan

melaksanakannya – seperti hukumnya melaksanakan fardlu yang lain,

yang telah difardlukan oleh Allah SWT.44 Demi tegaknya hukum Allah

dan syari’at Islam, kaum muslimin tidak boleh mengabaikannya,

karena ini telah menjadi ketentuan sunah Nabi. Demikian pula

42 Mumtaz Ahmad (ed.), Op. Cit., hlm. 47. 43 Taqiyuddin An-Nabhani, Nidhomul Hukmi fil Islam, Terj. Moh. Maghfur Wahid “Sistem

Pemerintahan Islam: Doktrin Sejarah dan Realitas Empirik”, Bangil: Al Izzah, Cet. Ke-1, 1996, hlm. 31-35.

44 Ibid.

Page 14: Relasi Agama Dan Negara - Copy

29

pelaksanaannya dalam pemerintahan nanti haruslah berdasarkankan

kepada al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman.45

Demikian kentalnya ragam pemikiran tersebut dengan otoritas

kedaulatan Tuhan, serta menganggap ajaran Rosulullah sebagai agama

yang komprehensif, maka kemudian muncullah istilah al Islam huwa

al-din wa al-daulah dalam pelataran politik Islam. Dan sebagai

komitmen logis dari paradigma integralistik ini, negara Islam harus

ditegakkan demi terlaksananya hukum-hukum Allah dengan dipimpin

seorang imam atau khalifah.

b. Paradigma Simbiostik

Dalam pandangan ini, konsep hubungan agama dan negara

terdapat interaksi timbal balik dan saling membutuhkan. Dalam hal ini,

agama memerlukan negara karena dengan negara agama dapat

berkembang.46 Agama akan berjalan baik dengan melalui institusi

negara, sementara pada posisi lain negara juga tidak bisa dibiarkan

berjalan sendiri tanpa agama, karena keterpisahan agama dari negara

dapat menimbulkan kekacauan dan a-moral.47

Ibnu Taimiyah (1263-1328 M.), seorang tokoh Sunni salafi,

mengatakan: “agama dan negara benar-benar berkelindan; tanpa

kekuasan negara yang bersifat memaksa agama dalam keadaan bahaya.

45 Ibid. 46 M. Arskal Salim G.P., “Islam dan Relasi Agama-Negara di Indonesia” dalam Abdul

Mun’im D.Z. (ed.), Islam di Tengah Arus Transisi, Jakarta: Kompas, Cet. Ke-1, 2000, hlm. 8. 47 Ahamad Suaedy (ed.), Op. Cit., hlm. 92.

Page 15: Relasi Agama Dan Negara - Copy

30

Dan negara tanpa disiplin hukum wahyu pasti menjadi sebuah

organisasi yang tiranik”.48 Ia juga mengatakan bahwa wilayah

organisasi politik bagi persoalan kahidupan sosial manusia merupakan

keperluan agama yang terpenting. Karena tanpanya, agama tidak akan

tegak kokoh.49 Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa

antara agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi

saling membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan.

Pandangan simbiostik tentang agama dan negara ini juga dapat

dipahami dalam pemikiran al-Mawardi (975-1059 M.). Dalam

kitabnya Al-Ahkaamus-sulthaaniyyah wal-wilaayatud-diiniyyah, ia

menegaskan bahwa kepemimpinan negara (imamah) merupakan

instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama

dan pengaturan dunia.50 Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia

merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun berhubungan

secara simbiostik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi

kenabian. Ia memposisikan negara sebagai lembaga politik dengan

sanksi-sanksi kegamaan.51

Menurut al-Mawardi dalam negara tersebut harus ada satu

pemimpin tunggal sebagai penganti Nabi untuk menjaga

48 Ibid. 49 Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi

Terpimpin, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. Ke-1, 1996, hlm. 180. 50 Imam al-Mawardi, Al-Ahkaamus-sulthaaniyyah wal-wilaayatud-diiniyyah, Terj. Abdul

Hayyie dan Kamaluddin Nurdin “Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam”, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. Ke-1, 2000, hlm. 15.

51 Miftah AF. “Hubungan Negara dan Agama dalam Perspektif Fiqh Siyasi” dalam Al-Ahkam, Volume XIII Edisi II, 2001, hlm. 26.

Page 16: Relasi Agama Dan Negara - Copy

31

terselenggaranya ajaran agama dan memegang kendali politik, serta

membuat kebijakan yang berdasarkan syari’at agama.52 Sebagaimana

dikutip dalam Ahmad Suaedy (ed.), secara tegas ia mengatakan:

Sungguh, Tuhan telah mendelegasikan untuk satu komunitas, seorang pemimpin yang diangkat-Nya sebagai penerus kepemimpinan Nabi. Melaluinya (kepala negara) dia melindungi agama. Tuhan mempercayakan kepadanya pengaturan pemerintahan (kenegaraan) agar semua aturan yang diberlakukan sesuai dengan agama dan supaya pendapat dan pikiran masyarakat mengikuti pandangan yang dipertanggungjawabkan secara otoritatif.53

Pemikir lain yang senada ialah al-Ghozali (1058-1111 M.). Ia

mengisyaratkan hubungan pararel antara agama dan negara, seperti

dicontohkan pararelisme Nabi dan raja. Menurut al-Ghozali, Jika

Tuhan telah mengirim nabi-nabi dan memberi wahyu pada mereka,

maka Dia juga telah mengirim raja-raja dan memberi mereka

‘kakuatan Ilahi’. Keduanya memiliki tujuan yang sama: kemaslahatan

kehidupan manusia.54

Pararelisme antara Nabi dengan raja menunjukkan adanya

hubungan simbiostik antara keduanya. Seorang raja atau pemimpin

negara mempunyai status yang tinggi dalam hubungannya dengan

Nabi. Ini berarti bahwa pemimpin negara mempunyai kedudukan yang

strategis dalam menciptakan nuansa kegamaan dalam lembaga negara

Pandangan yang dianut oleh sebagian besar kaum Sunni ini

memperlihatkan secara jelas bahwa kekuasaan kepala negara adalah

52 Almawardi, Op. Cit., hlm. 14. 53 Ahmad Suaedy (ed), Op. Cit., hlm. 93. 54 Andito (Abu Zahra) (ed.), Op. Cit., hlm. 48.

Page 17: Relasi Agama Dan Negara - Copy

32

pemberian dan berasal dari Tuhan. Kekuasaan otoritatif kepala negara

ini tidak hanya berkaitan dengan persoalan-persoalan agama,

melainkan juga urusan keduniawian yang berdimensi politik.55

Secara sepintas pernyataan ini tidak berbeda dengan konsep

negara integralistik seperti talah dikemukakan di atas. Akan tetapi

bacaan secara kritis atas wacana ini akan menemukan perbedaan yang

cukup signifikan. Teori simbiostik membiarkan tuntutan-tuntutan

realitas sosial politik yang berkembang, tetapi agama kemudian

memberikan justifikasinya. Agama tidak harus menjadi dasar negara.

Negara, Dalam pandangan ini tetap merupakan lembaga politik yang

mandiri. Dengan demikian, paradigma simbiostik di satu pihak bersifat

teologis, tetapi pada sisi lain bersifat pragmatik.

Kenyataan ini, misalnya, juga muncul di dalam pandangan Ibnu

Taimiyah. Menurutnya bahwa agama tidak dapat ditegakkan dengan

tidak ada pemerintah. Dalam upayanya memerintah manusia adalah

sebesar-besarnya kewajiban agama, dan hendaknya dipimpin oleh

seseorang yang bertanggung jawab dan menjalankan hukum-hukum

Allah.56 Dalam menentukan dan mengangkat kepala negara haruslah

berdasarkan pilihan rakyat. Dalam arti lain, rakyat memiliki kedaulatan

yang signifikan untuk menentukan sistem politik negara.

Jadi, pandangan simbiostik tetap memberi peluang bagi hak-hak

masyarakat, meskipun dibatasi dengan norma-norma agama. Perlu

55 J. Suyuti Pulungan, Loc. Cit. 56 Ahmad Shalaby, Studi Komprehensif Tentang Agama Islam, Surbaya: PT. Bina Ilmu, Cet.

Ke-1, 1988, hlm. 249.

Page 18: Relasi Agama Dan Negara - Copy

33

dikemukakan bahwa hak-hak rakyat untuk menentukan kepala negara

dalam pandangan paradigma ini ditempuh melalui lembaga

representasi yang disebut ahl halli wal aqdi, dengan syarat-syarat

tertentu yaitu adil, ahli ra’yi (ilmuwan) dan memiliki kualifikasi moral

seorang pemimpin. Menurut al-Mawardi juga harus memenuhi syarat

khusus, misalnya; baik panca indra, tiada cacat anggota tubuhnya, dan

mempunyai buah pikiran yang bagus yang mengembangkan rakyat.57

Jelaslah kiranya, bahwa paradigma ini telah menawarkan

formalisasi Islam. Namun di dalamnya terdapat nilai-nilai demokratis.

Meskipun syari’at agama harus ditegakkan dalam sebuah negara, tetapi

tidak membatasi secara mutlak kepada masyarakat muslim untuk ikut

andil dalam menentukan kondisi sosial politik negara.

c. Paradigma Sekularistik

Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun

hubungan simbiostik antara agama dan negara.58 Sebagai gantinya,

paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama dan

negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak

pendasaran negara pada Islam atau paling tidak menolak determinasi

Islam akan bentuk tertentu dari negara.59 Menurut paradigma ini Islam

hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Sedangkan hal-hal

yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara

57 Ibid., hlm. 252. 58 Abdul Mun’im D.Z. (ed.), Op. Cit., hlm. 9. 59 Ibid.

Page 19: Relasi Agama Dan Negara - Copy

34

pengaturannya diserahkan sepenuhnya kepada umat manusia. Masing

–masing entitas dari keduanya mempunyai garapan dalam bidangnya

sendiri. Sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu

sama lain melakukan intervensi.

Berdasarkan pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum

positif yang berlaku adalah hukum yang benar benar berasal dari

kesepakatan manusia malalui social contrac dan tidak ada kaitannya

dengan hukum agama (syari’ah).60

Salah satu pemrakarsa paradigma ini adalah Ali Abdul Raziq

(1888-1966 M.), seorang cendekiawan muslim dari Mesir. Pada tahun

1925, Ali Abdul Raziq menerbitkan sebuah risalah yang berjudul Al-

Islam wa Usul al-Ahkam61,yang banyak menimbulkan kontroversi. Isu

sentral dari risalahnya, seperti dikutip oleh Muhammad Diya ad Din

Rais adalah bahwa Islam tidak mempunyai kaitan apa pun dengan

sistem pemerintahan kekhalifahan, termasuk kekhalifahan Khulafaur

Rasyidin, bukanlah sebuah sistem politik keagamaan atau keislaman,

tetapi sebuah sistem yang duniawi.62

Dalam kaitan di atas, Ali Abdur Raziq bermaksud membedakan

antara agama dan politik. Dia memberikan alasan yang cukup panjang

dari perspektif teologis dan historis untuk membuktikan bahwa

tindakan-tindakan politik Nabi Muhammad seperti melakukan perang,

60 Dede Rosyada, et al., Op. Cit., hlm. 63-64. 61 Ali Abd Ar-Raziq, Al-Islam wa Usul al-Ahkam, Mesir, 1925, dan telah diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Jendela “Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan”, Yogyakarta: Jendela, 2000.

62 Andito (Abu Zahra) (ed.), Op. Cit., hlm. 50

Page 20: Relasi Agama Dan Negara - Copy

35

tidak berhubungan dan tidak merefleksikan fungsinya sebagai utusan

Tuhan.63

Maka dari itu, menurut Ali Abdur Raziq, asumsi yang

menyatakan perlunya mendirikan negara dengan sitem, peraturan

perundang-undangan serta pemerintahan yang ‘Islami’ adalah sesuatu

yang keliru dan melenceng jauh dari sejarah.64 Apa yang misalnya

dikatakan sebagai ‘sistem khilafah’, sistem ’imamah’ itu semua

bukanlah keharusan bagi kaum muslimin untuk mendirikannya, karena

bukan bagian dari Islam.

Ia juga menyatakan bahwa Nabi tidak membangun negara ketika

di Madinah. Otoritas murni bersifat spiritual. Nabi Muhammad,

menurutnya semata-mata utusan Tuhan, bukan sebagai kepala negara.

Walaupun dalam realitasnya Nabi menjadi kepala negara di Madinah,

semata-mata karena tuntutan situasi yang wajar dan manusiawi saja.65

Dalam hal ini Ali Abdur Raziq mengatakan:

….Muhammad saw. Tidak lain hanya seorang rasul yang murni mendakwahkan agama, tidak ada tendensi kekuasaan, tidak mendakwahkan dawlah. Nabi tidak memiliki kerajaan dan pemerintahan, Nabi saw. Tidak meletakkan dasar-dasar kerajaan mamlakah – dalam pengertian yang dipahami dalam politik dari kata ini dan sinonimnya. Beliau tidak lebih dari seorang rasul sebagaimana rasul-rasul lain. Ia bukan raja, atau peletak dasar daulah, dan bukan pula orang yang menyeru kepada monarki.66

Kemudian dalam halaman lain ia menambahkan bahwa al-Qur’an

diturunkan oleh Allah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad tidak

63 Ibid. 64 Ali Abd Ar-Raziq, Op. Cit., hlm. xiv 65 Ahmad Suaedy (ed.), Op. Cit., hlm. 96-97. 66 Ali Abd Ar-Raziq, Op. Cit., hlm. 78.

Page 21: Relasi Agama Dan Negara - Copy

36

mempunyai hak apa-apa atas umatnya selain hak risalah. Tugas nabi

atas umat manusia hanyalah sebagai nabi yang menyampaikan syari’at

Allah.67 Bahkan menurut Abdur Raziq dalam al-Qur’an dan Hadits

pun tidak ada yang meyakinkan kita bahwa Rasul saw. dengan risalah

keagamaannya, menyeru kepada daulah politik.68

Bagi Abdur Raziq, pembentukan negara tidak disarankan oleh

agama (syari’at) melainkan berdasarkan pertimbangan akal umat.69

Pada Zaman Nabi di Madinah, dilihat dari sudut apapun, menurutnya,

bukanlah persatuan politik. Di sana tidak terkandung makna daulah

ataupun pemerintahan, tetapi murni persatuan agama yang tidak

dicampuri noda-noda politik. Persatuan iman dan pandangan agama

bukan persatuan daulah dan pandangan kekuasaan.70 Semua ajaran

yang dibawa Islam menurutnya adalah murni aturan agama dan demi

kemaslahatan religius manusia semata. Karena memang nabi tidak

pernah menyinggung atau menyebutkan tentang ketatanegaraan.

Sepanjang hayatnya ia tidak pernah menyebut istilah daulah

islamiyyah atau daulah ‘Arabiyyah.71

Demikianlah paradigma sekularistik yang diwakili oleh Ali

Abdur Raziq. Adapun indikasi pola pikiran dalam paradigma ini, bila

dipahami dari tesis Abdur Raziq ialah; Islam tidak mewajibkan kepada

umat untuk mengangkat imam atau pemimpin tertinggi yang mengatur

67 Ibid., hlm. 86. 68 Ibid., hlm. 94. 69 J. Suyuti Pulungan, Op. Cit., hlm. 308. 70 Ali Abd Ar-Raziq, Op. Cit., hlm. 101. 71 Ibid.

Page 22: Relasi Agama Dan Negara - Copy

37

kepentingan mereka. Hal ini dikarenakan memang dalam al-Qur’an,

hadits maupun ijma’ tidak ada yang mengatakan hal tersebut, sebagai

dalil dan landasan yang jelas; Melaksanakan syi’ar keagamaan,

hukum-hukum syari’at dan kemaslahatan masyarakat, seluruhnya itu

tidaklah tergantung pada ada atau tidaknya imamah atau khalifah,

tetapi bergantung pada wujudnya suatu pemerintahan model apapun

konstitusinya maupun sistemnya. Karena Islam tidak dengan khusus

menentukan bentuk tertentu dalam urusan pemerintahan.72

Pandangan ini jelas kontroversi dengan kebanyakan ulama-ulama

yang ada. Sehingga tidak sedikit kritikan yang tertuju kepadanya dan

menunjukkan kelemahan-kelemahannya. Karena dalam kenyataan

banyak urusan agama keputusannya memerlukan campur tangan

pemerintah (negara) dan demikian pula sebaliknya.

Model teori politik Islam (integralistik) sebagaimana telah

dijelaskan sebelumnya, cenderung menekankan aspek legal dan formal

ajaran Islam sebagai konstitusi dalam negara. Sebaliknya model kedua

dan ketiga lebih menekankan substansi dari pada bentuk formal.

Bahkan dalam paradigma sekularistik, menolak secara tegas penerapan

ajaran islam secara simbolis. Karena sifatnya yang simbolis, maka

kecenderungan ini mempunyai potensi untuk berperan sebagi

pendekatan yang dapat mengembangkan Islam dengan sistem politik

72 M.Yusuf Musa, Op. Cit., hlm. 101.

Page 23: Relasi Agama Dan Negara - Copy

38

modern, dimana negara-bangsa merupakan salah satu unsur

utamanya.73

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya

tradisi pemikiran politik Islam itu kaya dan beraneka ragam. Sehingga

berbicara mengenai konsepsi tentang negara Islam tidak akan mudah

diklaim atas suatu konstruk tertentu. Sebagaimana telah dinyatakan

sebelumnya, pandangan kelompok terakhir beranggapan bahwa Nabi

tidak mencalonkan atau pun menunjuk penggantinya, juga tidak

menetapkan prosedur atau kerangka untuk mengangkat atau

menurunkan pengganti beliau. Demikian pula selama periode empat

khalifah khulafaur rasyidin, metode yang berlainan telah dipergunakan

dalam pengangkatan khalifah.74

Sistem khalifah itu pun tidak bisa dipertahankan eksistensinya

oleh umat Islam. Pada tanggal 3 Maret 1924 sistem khalifah ini

berakhir setelah pembentukan negara nasionalis sekuler Republik

Turki pada bulan Oktober 1923 oleh Mustafa Kemal Attaruq (1881-

1938 M.).75 Sejak itu institusi khalifah yang dipandang sebagai

supremasi politik dan simbol kesatuan umat Islam lenyap. Akhirnya,

sampai masa sekarang umat Islam hidup di bawah berbagai bentuk

pemerintahan yang merdeka dan berdaulat.

73 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di

Indonesia, Jakarta: Paramadina, Cet. Ke-1, 1998, hlm. 15. 74 Mumtaz Ahmad (ed.), Op. Cit., hlm. 62-63. 75 J. Suyuti Pulungan, Op. Cit., hlm. 48.

Page 24: Relasi Agama Dan Negara - Copy

39

Dengan melihat realitas di atas menunjukkan bahwa di dalam

ajaran Islam tidaklah terdapat konsepsi tentang ketatanegaraan secara

kongkrit. Tidak adanya penjelasan tentang sistem pemerintahan baik di

dalam al-Qur’an maupun hadits nabi, serta berbedanya praktik dan

metode pemerintahan baik dalam pengangkatan, pergantian, maupun

bentuk suatu negara dari masing-masing khalifah terdahulu semakin

memperjelas bahwa di dalam Islam tidak terdapat konsepsi yang

spesifik dan definitif tentang negara.

B. Agama Sebagai Wacana Politik

Dalam agama (Islam) telah ada kesepakatan bahwa sumber utama

ajarannya adalah al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang diturunkan

kepada Nabi Muhammad SAW. telah memberikan petunjuk kepada semua

umat manusia. Namun di sini terdapat perbedaan pemahaman mengenai

pokok-pokok ajaran Islam. Sebagian mengatakan bahwa dalam Islam

hanyalah diajarkan tentang ubudiyah, yaitu hal-hal yang secara pribadi

berkaitan dengan Allah (hubungan vertikal). Sebagaimana ditulis dalam ayat

al-Qur’an:

���������� ��! � ����"��# $%&�����# '(�)���*���+��

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka

menyembah-Ku.”.76

76 QS. 5: 56, Al Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI, Semarang: Karya Toha

Putra, hlm. 1058.

Page 25: Relasi Agama Dan Negara - Copy

40

Melihat dari teks tersebut di atas jelaslah bahwa inti dari manusia (umat

Islam) hidup di dunia ini hanyalah untuk beribadah kepada Allah. Oleh karena

itulah Islam hanya memberikan pengajaran tentang prinsip-prinsip serta nilai-

nilai ibadah semata. Sementara di sisi lain ada yang beranggapan bahwa Islam

adalah agama yang sempurna, mencakup pula hubungan dengan negara dalam

wilayah politik.

Bagi orang Islam yang taat menjalankan ajaran agamanya dan yang

sadar akan tugas dan kewajiban keagamaannya, maka bisa dipastikan

menjadikan syari’at atau ajaran Islam sebagai sumber utama dan satu-satunya

kebenaran serta tata nilai hidupnya, baik secara pribadi, keluarga,

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dilandasi keyakinan bahwa tata nilai

yang berasal dari Tuhan mutlak kebenarannya untuk mahluk-Nya, maka

mereka akan berusaha sekuat tenaga agar tata nilai kehidupan dari Allah ini

menjadi tata nilai kehidupan manusia, termasuk dalam tataran hidup

berbangsa dan bernegara.77

Oleh karena itu, bukan merupakan sesuatu yang ganjil bila kekuatan

Islam akan senantiasa berjuang untuk mewujudkan tugas suci keagamaan ini

dengan segala cara dan melalui semua jalur formal konstitusional maupun

kultural.78 Upaya menjadikan Islam sebagai satu-satunya sumber nilai secara

formal, baik berupa Negara Islam maupun syari’at Islam sebagai hukum

positif, mengakibatkan Islam secara praksis memasuki jalur politik. Dan

77 Okki F. Muttaqie, “Penyunting” dalam Taufiq Nugroho, Pasang Surut Hubungan Islam

dan Negara Pancasila, Yogyakarta: Padma, Cet. Ke-1, 2003, hlm. 11. 78 Ibid.

Page 26: Relasi Agama Dan Negara - Copy

41

ternyata keterlibatan agama dalam politik ini secara khusus memberikan

warna dan corak tersendiri.

Diskursus tentang agama dan politik sesungguhnya telah berlangsung

cukup lama dalam wacana agama (Islam). Namun, dalam beberapa tahun

terakhir ini, menjadi hangat dibicarakan, terutama berkaitan dengan fenomena

agama dan politik yang muncul di masyarkat. Misalnya, dengan munculnya

partai politik yang membawa bendera agama, munculnya kerusuhan-

kerusuhan sosial yang membongkar hubungan agama, politik dan negara.

Panji-panji Islam yang selalu diusung oleh kebanyakan muslim garis

keras banyak membawa perhatian bagi kalangan cendekiawan muslim

modern. Kekerasan yang sering ditampilkan demi tercapainya formalisasi

Islam: seperti halnya negara Islam, masyarakat Islam, partai Islam dan segala

sesuatu yang berdimensi Islam, mengakibatkan warna “Islam politik” di dunia

ini menjadi sentral background yang suram dan mengerikan. Para pelaku yang

membela Islam politik adalah kelompok Islamis, yang dengan gigihnya, di

semua wilayah, tetap berusaha menumbuhkan ‘negara Islam’.79

Untuk lebih jelasnya, uraian Uwe Halbah tentang ‘ Islamisme politik

militan’, sebagaimana di tulis oleh Rusli Karim berikut ini akan membantu

kita memahami hakikat dari istilah tersebut:

1. Istilah politik: perampasan kekuasaan melalui slogan keagamaan;

perjuangan demi ‘negara Islam’ berarti merealisasikan kedaulatan

79 M.Rusli Karim, Op. Cit., hlm. 2.

Page 27: Relasi Agama Dan Negara - Copy

42

Tuhan dan memusuhi sistem-sistem politik yang didasarkan pada

kedaulatan sekular (kadaulatan rakyat), seperti demokrasi.

2. Istilah undang-undang: perlaksanaan syari’ah, undang undang Tuhan,

yang tidak membenarkan adanya kekuatan sekuler apapun.

3. Istilah agama: pembatasan terhadap sumber utama agama, terhadap

tidak bolehnya menerjemahkan wahyu, terhadap pemahaman kaku al-

Qur’an dan Hadits; dan terhadap pemahaman menyeluruh agama,

mengikuti Islam yang benar mengatur semua urusan kemanusiaan dan

kemasyarakatan.

4. Istilah sejarah: ‘utopia’ yang merujuk merujuk pada suatu bentuk

Islam yang telah berubah dari era Nabi dan komunitas Islam pertama,

yang merupakan dominasi dari negara.

5. Istilah kategorisasi tamaddun: penolakan terhadap pengaruh-pengaruh

non Islam, terutama budaya modern Barat; pembatasan untuk

menyerapnya dalam peradaban Islam disertai mendirikan peradaban

Islam.

6. Istilah metode: pengutukan, jika diperlukan, realisasi kekerasan

melalui konsep jihad Islam.80

Menguatnya diskursus agama, politik dan negara yang telah berlangsung

cukup lama tersebut, setidaknya karena alasan bahwa masing-masing dari

ketiga hal tersebut sama-sama memiliki pengikut dan kepentingan. Agama

dianggap sebagai sesuatu yang memiliki nilai sakral, karena itu memang acap

80 Ibid.

Page 28: Relasi Agama Dan Negara - Copy

43

kali digunakan, diunggulkan untuk menjadi semacam pembawa ‘ritual’ saksi

bagi para pengikutnya. Sakralisasi agama ini amat berperan dalam

membangun sebuah masyarakat yang percaya pada dimendsi transendental,

ke-Ilahi-an.81

Ketiga-tiganya dari agama, politik dan negara yang sama-sama

berkepentingan terhadap umat itu sering menjadi rebutan, sehingga tidak

jarang terjadi bentrokan yang menyesatkan masyarakat. Masyarakat yang

mestinya mendapatkan manfaat atas agama, malah sering jadi korban atas

nama agama demi interes politisi. Pendek kata, agama oleh para politisi

biasanya dibuat tak berdaya dan diperalat. Inilah yang menjadi lahan paling

subur terjadinya politisasi agama, bahkan agama kemudian diredusir hanya

sebagai justifikasi politik, sehingga agama tak lebih sebagai ideologi politik.82

Untuk mencapai tujuan politis, bahkan terkadang menganggap tindakan

kekerasan merupakan suatu kebaikan dan salah satu metode pencapaian tujuan

luhur83, maka tidak aneh kalau naluri agresif manusia terkadang tumbuh subur

di bawah naungan agama.

Tidak sulit untuk membuktikan hal ini apabila kita menelusuri fenomena

kekerasan dalam perjalanan sejarah kahidupan keagamaan; lumuran darah

para syuhada korban tangan ekstremis dari berbagai kelompok keagamaan

81 Abdul Munir Mulkhan, et al., Agama dan Negara, Perspektif: Islam, Katolik, Budha,

Hindu, Konghucu, Protestan, Yogyakarta: Institut Dian / Interfidei, Pustaka pelajar, Cet. Ke-1, 2002, hlm. vi.

82 Ibid. 83 Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Editor: Nurul A.

Rustamaji, Bandung: Mizan, Cet. Ke-5, 1999, hlm. 146.

Page 29: Relasi Agama Dan Negara - Copy

44

telah mewarnai lembaran sejarah. Pada masa normatif Islam, tiga dari keempat

khulafaur rasyidin, terbunuh oleh tangan-tangan kelompok ekstremis.84

Para ekstremis pelaku kekerasan ini, menurut Alwi Shihab, pada

umumnya di dorong oleh keyakinan keagamaan, bahwa apapun yang mereka

lakukan adalah sejalan dengan perintah Tuhan yang tercantum dalam teks

suci.85 Ayat-ayat al-Qur’an dipahami hanya sebatas pemahaman yang sempit.

Sehinga keagamaan dan kekuasaan yang demikian itu tidak lagi peduli pada

penderitaan dan melayani kepetingan rakyat kecil, tetapi hanya bagi

kepentingan elit penguasa politik dan keagamaan. Tuhan lebih dipahami

sebagai ekstrim negatif kemanusiaan. Aksi-aksi negatif atas nama agama dan

atau Tuhan, terperangkap ke dalam aksi sepihak hanya bagi yang sefaham,

seagama dan seideologi politik.86

Tampaknya fenomena kekerasan ini pada umumnya tidak terbatas pada

kurun waktu tertentu. Di Indonesia, misalnya masyumi87 dan partai-partai

Islam lainnya terutama pada masa-masa awal pasca kemerdekaan menawarkan

Islam sebagi dasar negara dalam konstituante yang sangat dikenal.88 Para

Islamis berhasrat sedemikian kuat untuk mendirikan negara Islam di Indonesia

dengan tujuan untuk menerapkan syari’at secara efektif di segenap penjuru

wilayah negara. Sebagian dari mereka mengklaim bahwa kemerdekaan

84 Ibid. 85 Ibid. 86 Abdul Munir Mulkhan, et al., Op. Cit., hlm. 4. 87 Partai masyumi didirikan pada tanggal 7-8 November 1945 di Yogyakarta, sebagai

penyalur aspirasi politik umat Islam. Lihat Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif antara Islam dan Pancasila, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, Cet. Ke-1, 1999, hlm. 59.

88 Taufiq Nugroho, Op. Cit., hlm. 8.

Page 30: Relasi Agama Dan Negara - Copy

45

Indonesia merupakan bagian dari cita-cita perjuangan Islam. Klaim ini

mengarah pada argumen selanjutnya bahwa pencapaian kemerdekaan

Indonesia merupakan bagian integral dari perjuangan Islam untuk menerapkan

ajaran Islam dan syari’at.89 Namun, upaya tersebut tidak berhasil karena tidak

mendapat dukungan secara mayoritas dan secara tegas di gagalkan oleh

kelompok nasionalis sekuler yang berparadigma berpikir lebih inklusif dan

mengedepankan faham kebangsaan.

Kegagalan formalisasi syari’at Islam tersebut ternyata mendapat reaksi

keras dari para pemimpin umat Islam, dan menimbulkan kekecewaan bagi

mereka atas negara ini. Pada akhir 1949 Negara Indonesia yang berdasarkan

Pancasila mendapat kecaman dari Kartosuwiryo (w. 1962 M.) dan gerakan

militer Darul Islam-nya. Menyebut tentaranya dengan “Tentara Islam

Indonesia”, Kartosuwiryo mengangkat senjata dan memimpin pemberontakan

di Jawa Barat melawan pemerintah pusat.90 DI/TII, sebuah gerakan radikal

yang memperjuangkan cita-cita negara Islam91 di bawah komando

Kartosuwiryo, pada tangal 7 Agustus 1949 memproklamirkan berdirinya apa

yang disebut Negara Islam Indonesia ( NII )92, dan Kartosuwiryo sendiri

sebagai presiden.

89 Faisal Ismail, Op. Cit., hlm. 40-41. 90 Ibid., hlm. 4. 91 Sudirman Tebba, Op. Cit., hlm. 28. 92 Eko Prasetyo, Membela Agama Tuhan: Potret Gerakan Islam dalam Pusaran Konflik

Global, Yogyakarta: Insist Press, Cet. Ke-1, 2002, hlm. 43.

Page 31: Relasi Agama Dan Negara - Copy

46

Pemberontakan Kartosuwiryo ini kemudian diikuti oleh Kahar Muzakar

(1921-1965) pada tahun 1952 di Sulawesi Utara yang juga memproklamirkan

berdirinya NII di bawah kepemimpinan Kartosuwiryo.93

Meski Kartosuwiryo memperjuangkan Islam, menurut Faisal Ismail

sejauh menyangkut Darul Islam, harus tetap diingat bahwa cita-citanya

mendirikan negara berdasarkan Islam ‘dengan kekuatan senjata’ semata-mata

merefleksikan kehendak politik kelompok minoritas di lingkungan Darul

Islam sendiri, dan tidak mewakili semua spektrum aspirasi politik umat Islam

Indonesia.94 Label seperti ini tentunya justru merugikan citra Islam dan umat

Islam secara keseluruhan.

Namun dalam realitas, ternyata sikap eksklusif dan etnosentris dalam

memperjuangkan Islam dengan memakai simbol-simbol kegamaan tidak pula

kunjung reda. Pada masa-masa kini -- yang ditandai dengan meluasnya ajaran

sikap moderasi, toleransi dan saling pengertian antar dan inter umat beragama

-- kekerasan atas nama agama tetap sulit untuk dibendung.95

Untuk melegitimasi kepentingan Partai Politik misalnya, para ekstremis

tidak merasa enggan mencantumkan simbol-simbol agama. Bahkan menurut

Munir Mulkhan (1946 M.), dalam perkembangannya kata qital dan jihad yang

dipahami sebagai perang fisik lebih popular dan familiar di dalam kesadaran

umat muslim dari pada dakwah. Kosa kata ini pun, tak jarang dipahami sebagi

perlawanan pada orang yang beragama dan atau berfaham lain walaupun

seagama. Suatu tindakan heroik bahkan mungkin jihad ketika merusak

93 Ibid., hlm. 44. 94 Faisal Ismail, Op. Cit., hlm. 58. 95 Alwi Shihab, Op. Cit., hlm. 147.

Page 32: Relasi Agama Dan Negara - Copy

47

bangunan milik organisasi atau agama lain. Harta dan milik orang lain

dipandang halal, boleh dirusak, dan dirampas. Sehingga keagamaanpun

berubah menakutkan sebagai ancaman bagi pihak-pihak lain.96

Hal tersebut tampak selama beberapa tahun belakangan ini, seperti

halnya kasus di Timor Timur, Timika, peristiwa kantor DPP PDI, dan Pasar

Tanah Abang, Situbondo, Sambas dan Pontianak, Tasikmalaya, dan

sebagainya. Hampir seluruh kerusuhan itu berkaitan dengan persoalan sosial,

dan politik dengan nuansa suku, agama dan antar golongan yang cukup

kental.97 Meskipun tidak semua kerusuhan tersebut berkaitan dengan

persoalan-persoalan seperti itu, lanjut Azra.98

Menurut Sudjatmoko, sebagaimana dikutuip oleh Syafi’i Maarif,

sebenarnya yang menjadi pemicu konflik agama adalah faktor dominan –

yaitu sebagai pranata, sumber nilai, dan kekuatan mobilisasi – yang berkali-

kali membawa manusia pada konflik yang penuh kekerasan.99

Gejala tersebut menyebabkan agama yang seharusnya sebagai rahmatan

lil ‘alamiin berubah menjadi teologi ideologis tertutup, bukan sebagai

pencerah kemanusiaan. Teks-tekas suci berubah menjadi teks mati, ajaran

agama menjadi tradisi mati dan gagal berbicara pada manusia dalam usianya

yang otentik.100 Dengan timbulnya gejala tersebut selain merugikan suatu

96 Abdul Munir Mulkhan, et al., Op. Cit., hlm. 5 97 Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta, dan Tantangan,

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. Ke-1, 1999, hlm. 5. 98 Ibid. 99 A. Syafi’i Maarif, Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, Cet. Ke-1, 1997, hlm. 71. 100 Abdul Munir Mulkhan, et. Al., Op. Cit., hlm. 6.

Page 33: Relasi Agama Dan Negara - Copy

48

agama tertentu, tentunya juga mengakibatkan keresahan masyarakat yang

akhirnya akan dapat menggoyahkan integritas suatu bangsa.

Karena begitu lekatnya peranan agama dalam menentukan kondisi

stabilitas bangsa, khususnya di Indonesia, dimana masalah politik selalu

berjalin mengait dengan masalah agama,101 maka dari pemuka agama sendiri

haruslah mencegah timbulnya penafsiran-penafsiran keagamaan yang dapat

mengacau ke arah radikalisme dan kekerasan. Islam, di atas pundak pemuka

agama terletak kewajiban untuk mensosialisasikan konsep moderasi yang

menghindari sikap ekstrim guna menciptakan masyarakat penengah yang adil,

atau dalam bahasa al-Qur’an Ummatan Wasathan.102

Sebagaimana dikutip oleh Taufiq Nugroho, Nurcholis Madjid (1939 M.)

menyatakan bahwa perjalanan Islam (di Indonesia khususnya) akan lebih

sukses lewat jalur budaya, dengan menghindari doktrin-doktrin yang simbolis

dan formalis. Bahkan menurutnya, santrinisasi secara antropologis jauh lebih

sukses dari pada melalui jalur politis.103 Sehingga dalam hal ini perlu

dikembangkan kesadaran inklusivitas intern umat beragama agar terjadi

ukhuwah Islamiyah. Dalam kerangka politik kenegaraan, ajaran Islam

hendaknya dijadikan landasan etik dan moral dalam kehidupan berbangsa.

Dengan kata lain, umat Islam sebagai mayoritas hendaknya ikatan keislaman

menjadi perekat kehidupan nasional.104

101 Taufiq Nugroho, Op. Cit., hlm. 33. 102 Al-Qur’an, QS. 2 :143. 103 Taufuq Nugroho, Op. Cit., hlm. 61. 104 Ibid.

Page 34: Relasi Agama Dan Negara - Copy

49

Segala bentuk moderasi keagaman, baik dalam nilai, berinteraksi dengan

kelompok lain, maupun dalam menjalankan tuntunan agama perlu

mendapatkan tekanan. Rekonsiliasi intern dari setiap kelompok harus menjadi

prioritas utama dalam agenda tiap agama. Dalam bahasa Islam popular upaya

tersebut dikenal dengan istilah taqrib baina al madzahib ( pendekatan antar

sekte / madzhab ).105 Kiranya dengan pendekatan ini, bentuk kekerasan dan

eksklusiv -- termasuk dalam tindakan politik -- dapat di minimalisir, sehingga

agama akan benar-benar berfungsi sebagai rahmatan lil ‘alamiin.

C. Relasi Agama dan Negara Dalam Lintasan Historis di Indonesia

Mengkaji hubungan agama (Islam) dan negara di Indonesia, terutama

pasca kemerdekaan, pada waktu-waktu tertentu dapat dikatakan kurang

harmonis. Secara umum, peristiwa-peristiwa parlementer maupun non

parlementer yang terkait dengan Islam dan negara ikut menciptakan suasana

ketidakharmonisan tersebut. Dalam artian, Islam menjadi faktor dominan

dalam rangka membentuk negara kesatuan Republik Indonesia.106

Sejarah telah membuktikan bahwa Islam merupakan faktor berpengaruh

terhadap politik.107 Ada dua alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama, karena

secara kuantitas umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas. Sehingga

sepak terjangnya lebih sering menjadi perhatian masyarakat luas. Kedua,

105 Alwi Shihab, Op. Cit., hlm. 149. 106 Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad, Islam Historis: Dinamika Studi Islam di Indonesia,

Yogyakarta: Galang Press, Cet. Ke-1, 2002, hlm. 162. 107 Andi Wahyudi, Muhammadiyah dan Gonjang-Ganjing Politik: Telaah Kepemimpinan

Muhammadiyah Era 1990, Editor: Darmawan, Yogyakarta: Media Pressindo, Cet. Ke-1, 1999, hlm. 48.

Page 35: Relasi Agama Dan Negara - Copy

50

karena adanya pemikiran dalam umat Islam sendiri bahwa Islam dan politik

tidak dapat dipisahkan. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa Islam

mempunyai konsep tentang negara Islam.108

Pada satu sisi Islam menghendaki agar negara dan masyarakat Indonesia

diatur berdasarkan agama Islam. Kalaupun tidak demikian, Islam selalu

mendesak agar negara dan masyarakat berdasarkan pada etika dan moral

agama yang diyakini bersifat abadi dan universal karena datang dari Tuhan.109

Pada sisi lain, negara menghendaki agar masyarakat Indonesia diatur

berlandaskan pada kesepakatan bersama. Negara menganggap bahwa Islam

hanyalah satu bagian dari bagian-bagian lain yang ikut membentuk Negara

Indonesia. Karena itu, negara menghendaki agar masyarakat Indonesia

dikelola berdasarkan ideologi bersama ‘Pancasila’.110

Secara faktual, pada proses awal pembentukan negara Indonesia, dalam

sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia) permasalahan pokok yang dibicarakan adalah

persoalan bentuk negara, batas negara, dasar filsafat negara dan hal-hal lain

yang bertalian dengan pembuatan suatu konstitusi. Untuk bentuk negara

misalnya, hampir seluruh anggota memilih bentuk republik. Tetapi sekali

tentang dasar negara disentuh, iklim politik dalam sidang menjadi sangat

hangat.111

108 Taufiq Nugroho, Op. Cit., hlm. 23. 109 Ibid., hlm. 24. 110 Ibid. 111 Ahmad Syafi’i Maarif “Pengantar” dalam Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam

Sukarno Versus Natsir, Jakarta: Teraju, Cet. Ke-1, 2002, hlm. vii-viii.

Page 36: Relasi Agama Dan Negara - Copy

51

Menurut Taufiq Abdullah, sebagaimana di tulis Abdul Ghofur, dasa

warsa 1920-an-1930-an merupakan ‘dasawarsa’ dalam sejarah modern

Indonesia. Di masa-masa inilah berbagai jenis ideologi yang kemudian akan

berpengaruh dalam pertumbuhan keagamaan dan dasar ideologi perjuangan

mulai diperdebatkan di kalangan kaum pergerakan nasional.112 Ideologisasi ini

mengakibatkan, pertama makin diperjelasnya struktur intern panji-panji Islam,

sehingga perbedaan yang kemudian bersifat aliran ini bertambah rumit karena

adanya pengaruh ide yang bersumber dari Barat.113

Kemudian benih-benih perdebatan ideologi ini mulai muncul secara

terbuka pada tahun 1940 ketika terjadi polemik antara Soekarno (kelompok

kaum nasionalis) dan Muhammad Natsir (kelompok kaum Islam) di sekitar,

hubungan antara agama dan negara’.114 Dan materi polemik itu sendiri sudah

menampilkan masalah-masalah yang sama dengan materi yang muncul dalam

perdebatan di BPUPKI dan konstituante mengenai dasar negara,115 antara

“nasionalisme sekuler” dan “nasionalisme Islam”.

a. Relasi Agama dan Negara Pra-Kemerdekaan: Polemik Soekarno–

Natsir

Kajian tentang Soekarno (1901-1970 M.) dan Natsir (1908-1993 M.),

khususnya mengenai polemik hubungan agama dan negara di tahun 1940,

112 Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 2002, hlm. 136. 113 Ibid. 114 Moh. Mahfud MD., Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media,

1999, hlm. 55. 115 Ibid.

Page 37: Relasi Agama Dan Negara - Copy

52

memiliki makna historis sangat signifikan116, hal ini menurut Suhelmi

dikarenakan: Pertama, secara substansial, polemik Soekarno-Natsir ini

mewakili perbedaan pandangan dua golongan terkemuka di Indonesia,

yaitu golongan nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Polemik mereka

juga merefleksikan pertarungan ideologis kedua golongan yang mencakup

masalah prinsip kenegaraan. Sehingga polemik ini mewarnai corak

perkembangan politik, yang berkisar dalam masalah peranan Islam,

hubungan antara agama dan negara serta ideologi yang diperlukan dalam

menata sebuah negara.

Kedua, berkaitan dengan dua tokoh polemik, Sokarno dan Natsir.

Keduanya tokoh politik paling legendaris dalam sejarah Indonesia

kontemporer. Soekarno, ideolog dan politikus Indonesia telah banyak

memberikan kontribusi intelektual permanen bagi perkembangan

pemikiran politik Indonesia. Sedangkan Natsir, sebagai ideolog reformis

muslim dianggap identik dan mendominasi gagasan-gagasan politik Islam

Indonesia kontemporer, terutama di kalangan kaun reformis muslim.

Ketiga, polemik yang dilakukan secara demokratis itu, telah

memberikan kesadaran di kalangan umat Islam saat itu, bahwa Islam

tidaklah hanya sekedar sebagai sistem teologi, masalah yang hanya

menyangkut ketuhanan dan akhirat, tetapi juga mencakup kehidupan

pribadi, sosial budaya dan kenegaraan.117

116 Ahmad Suhelmi, Op. Cit., hlm. 1. 117 Ibid., hlm.2-4.

Page 38: Relasi Agama Dan Negara - Copy

53

Polemik ini merupakan salah satu letupan pertarungan-pertarungan

ideologis yang terjadi sebagai refleksi antara golongan nasionalis sekuler

dengan nasionalis Islam.118 Nasionalis sekuler adalah mereka yang

berprinsip bahwa dalam kehidupan politik kenegaraan harus ada

pemisahan tegas antara agama dan politik. Golongan ini meyakini bahwa

agama merupakan ajaran-ajaran yang menyangkut masalah akhirat

sedangkan politik kenegaraan merupakan masalah duniawi. Sementara

golongan nasionalis Islam berprinsip bahwa agama tidak dapat terpisah

dari urusan kenegaraan. Golongan ini yakin dan mempunyai komitmen

pada pandangan bahwa negara dan masyarakat harus diatur oleh Islam

sebagai agama.119

Soekarno berpendirian bahwa demi kemajuan negara dan agama itu

sendiri, negara dan agama harus dipisahkan; sedangkan Natsir

berpendirian sebaliknya, bahwa hubungan agama dan negara harus

menjadi satu, artinya agama harus diurus oleh negara, sedangkan negara

diurus berdasarkan ketentuan-ketentuan agama.120

Pada dasarnya, Soekarno tidak menyatakan secara tegas bahwa sama

sekali tidak boleh ada hubungan apapun antara keduanya. Dia memang

menentang pandangan mengenai hubungan formal-legal antara Islam dan

negara, khususnya dalam sebuah negara yang tidak semua penduduknya

118 Ibid. 119 Ibid. 120 Moh. Mahfud MD., Op. Cit., hlm.55.

Page 39: Relasi Agama Dan Negara - Copy

54

beragama Islam. Ia sangat yakin bahwa orang-orang yang bukan penganut

ajara Islam akan menolak gagasan itu.121

Sebagai seorang muslim, Soekarno menganut paham hubungan yang

bersifat substansialistik antara Islam dan Negara. Oleh sebab itu, bagi

Soekarno, otentisitas sebuah negara Islam tidak pertama-tama ditinjukkan

oleh penerimaan formal atau legal Islam sebagai dasar ideologi dan

semangat Islam dalam kebijakan-kebijakan negara. Dalam satu

kesempatan dia pernah menulis:

Lagi pua di suatu negeri yang ada demokrasi yang ada perwakilan rakyat yang benar-benar mewakili rakyat di negeri yang demikian itu, rakyatnya tokh bisa memasukkan segala macam kegamaannya ke dalam tiap-tiap tindakan negara, ke dalam tiap-tiap undang-undang yang dipakai dalam negara, walaupun di situ agama dipisahkan dari negara.122

Kendati demikian Soekarno mengakui, bahwa apa yang dipraktekkan

Nabi dan Khulafaur Rasyidin adalah suatu negara dimana agama dan

negara bersatu, bahkan ia pun berpendapat bahwa persatuan agama dan

negara merupakan gagasan ideal. Dan masa pemerintahan Islam itu

menurut Soekarno adalah masyarakat yang dinamis dan mengandung

potensi untuk maju dengan pesat.123

Pendapatnya tentang pemisahan negara dan agama, tampaknya ia

banyak dipengaruhi oleh gerakan politik Islam di Turki yang dipelopori

oleh Mustafa Kemal Attaruk (1881-1938 M.),124 bahkan ia juga dianggap

121 Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Jakarta : Logos Wacana, Cet. Ke-1,

1999, hlm. 139. 122 Abdul Ghofur, Op. Cit ., hlm. 145. 123 Badri Yatim, Op. Cit., hlm. 140. 124 Abdul Mun’im, Op. Cit., hlm. 108.

Page 40: Relasi Agama Dan Negara - Copy

55

sebagai orang yang mempropagandakan ide-idenya di Indonesia.125 Kemal

Attaruk yang berorientasi berat memisahkan agama dari negara, menurut

Soekarno dengan alasan:

1. Bahwa pada masa khalifah-khalifah Usmaniyah di Turki, sudah

terdapat dualisme hukum, yang pertama hukum Islam atau syari’at

dan yang kedua hukum yang difirmankan oleh sultan atau khalifah

dan parlemen.

2. Dualisme hukum ini membawa kemunduran, karena pengaruh

syaikhul Islam tetap dominan, sementara mereka berpandangan kolot

dan tidak menjamin kemajuan umat Islam, bahkan justru

menghambat.

3. Hal ini disebabkan, karena Islam yang dianut oleh masyarakat Turki

bukan lagi Islam yang sejati, tetapi menurutnya adalah Islam yang

berwajah tiga: Yunani, Iran dan Arab.

4. Oleh karena itu, bila hal ini berlanjut, dan manakala agama dibuat

untuk memerintah, ia selalu dipakai alat penghukum di tangam raja-

raja, orang-orang zalim dan orang-orang bertangan besi.

5. Oleh karena itu, persatuan agama dan negara tidak menjamin

kemajuan, terutama kemajuan ekonomi.

6. Agama Islam sendiri, dengan persatuan tersebut, justru terhambat dan

terkungkung.

125 Badri Yatim, Loc. Cit.

Page 41: Relasi Agama Dan Negara - Copy

56

7. Karenanya, tindakan pemisahan ini mempunyai manfaat ganda yang

keduanya mendatangkan keuntungan. Yang pertama memerdekakan

agama dari negara, dan yang kedua memerdekakan negara dari

agama.

8. Kemerdekaan agama dan negara itu, memungkinkan keduanya untuk

bergerak maju.126

Sekularisasi di Turki menurut Soekarno adalah sekularisasi atas

politik Islam, realisasi Islam yang telah memudarkan negara dan Islam

sendiri. Jadi sikap Turki waktu itu tidak memotong ajaran Islam, isi

perintah Islam. Oleh sebab itu, tidak dapat dikatakan bahwa tokoh-tokoh

Turki muda telah memusuhi atau bertindak anti Islam, tetapi malah

memerdekakannya dari keterikatannya pada negara agar dapat

berkembang dengan baik.127

Lebih lanjut Mahfud MD (1957 M.) menegaskan, bahwa dari gaya

dan aksentuasi pemaparannya, Soekarno memang mendukung Kemal

Pasya serta memandang layak untuk diterapkan di Indonesia. Oleh sebab

itu ia memperkuat argumennya untuk melawan sangkaan kaum muslimin,

ia mengemukakan:

Tuan berkata, negara jangan dipisahkan dengan agama, negara harus satu dengan agama. Accord, tetapi bagaimana Tuan mengerjakan Tuan punya ideal itu dimana penduduk sebagian tidak beragama Islam, seperti Turki, India, Indonesia, dimana milyunan orang beragama atau beragama lain, dan dimana kaum intelektual umumnya tidak berfikir Islamistis…

126 Ibid., hlm. 140-141. 127 Moh. Mahfud MD., Op. Cit., hlm. 64.

Page 42: Relasi Agama Dan Negara - Copy

57

Andainya, andainya Tuan menjadi pemerintah negeri yang banyak bukan orang Islam, apakah Tuan mau tetapkan saja bahwa negara harus negara Islam, undang-undang dasar harus Islam, semua hukum-hukum yang beragama Kristen atau agama lain tidak mau terima, bagaimanakah, Tuan apakah mau pakai sahaja kepada mereka, dengan menghantamkan Tuan punya tinju di atas meja, bahwa mereka musti ditundukkan kepada kemauan Tuan? Ai, Tuan mau diktator, mau paksa mereka dengan senjata bedil dan meriam?128

Pandangan Soekarno tampaknya lebih mengedepankan demokrasi

dan memperhatikan pluralitas. Sehingga formalisasi Islam dengan segala

bentuknya tidak dibenarkan olehnya.

Walaupun Soekarno menerima bahkan menganjurkan dipisahkannya

agama dan negara, namun yang dimaksudkan pemisahan itu adalah secara

formal agama tidaklah merupakan bagian dari negara, atau secara formal

dicantumkan dalam undang-undangnya bahwa negara adalah negara Islam.

Tetapi ia memiliki konsep penyatuan dan negara tersendiri. Konsep ini,

menurutnya merupakan arti yang sebenarnya dari cita-cita Islam. Seperti

di kutip oleh Yatim, ia mengatakan:

Baik kita terima negara dipisahkan dari agama, tetapi kita akan kobarkan seluruh rakyat dengan apinya Islam, sehingga semua utusan didalam badan perwakilan itu, adalah utusan Islam, dan semua putusan-putusan badan perwakilan itu bersemangat dan berjiwa Islam. Kalau betul-betul Tuan punya rakyat begitu, maka barulah tuan boleh berkata bahwa Islam adalah Islam hidup, Islam subur, Islam yang dinamis dan bukan Islam yang melempem yang hanya bisa berada, bila mana ada asuhan dan perlindungan dari negara sahaja. Saya lebih senang kepada sasuatu rakyat yang berani tantangannya modern democratic itu, dari pada rakyat yang selalu merintih-rintih ‘janganlah Islamnya dipisahkan dari negara’. Rakyat yang berani tantangan itulah yang nantinya bisa meralisasikan cita-cita Islam dengan perjuangan sendiri, keringatnya sendiri, banting tulangnya sendiri. Renungkanlah perkataan saya ini. Sebab, sungguh, inilah menurut saya punya keyakinan arti yang sebenarnya dari cita-cita Islam, bahwa

128 Ibid., hlm. 68.

Page 43: Relasi Agama Dan Negara - Copy

58

‘negara bersatu dengan agama’. Negara bisa bersatu dengan agama, meskipun azas konstitusinya memisahkan ia dari agama.129

Dengan demikian, dalam pendapatnya yang terakhir ini terlihat

bahwa adanya keserasian antara Islam dan demokrasi. Konsep demokrasi

dalam hal ini menurutnya ialah bahwa umat Islam dapat dapat menerima

dipisahkannya antara agama dan negara, namun umat Islam dapat

mengajukan usul agar hukum-hukum dan keputusan-keputusan yang

dihasilkan oleh badan perwakilan dapat disesuaikan dengan ajaran Islam.

Jadi, pemisahan agama dan negara menurut Soekarno hanyalah dalam

dataran konstitusi negara, sementara hukum Islam masih dapat ditolerir

dengan disesuaikan pada kondisi setempat, meskipun pelaksanaannya

tidak sebagai hukum formal.130

Pendapat ini ditentang oleh Natsir, yang menganggap bahwa prinsip

musyawarah dalam Islam tidak selalu identik dengan azas demokrasi.

Sebagaimana dikutip oleh Suhelmi, Natsir mengungkapkan bahwa: Islam

anti istibdad (despotisme), anti absolutisme dan kesewenag-wenangan.

Akan tetapi ini tidak berarti, dalam pemerintahan Islam itu semua urusan

diserahkam kepada keputusan musyawarah Majlis Syura. Dalam parlemen

negara Islam, yang hanya boleh dimusyawarahkan adalah tata cara

pelaksanaan hukum Islam (sayari’at Islam), tetapi bukan dasar

pemerintahannya.131

129 Badri Yatim, Op. Cit., hlm. 143-144. 130 Ibid. 131 Ahmad Suhelmi, Op. Cit., hlm. 91.

Page 44: Relasi Agama Dan Negara - Copy

59

Natsir menyayangkan persepsi bahwa jika ada pendapat bahwa

agama dan negara harus bersatu lalu yang dilihat adalah Islam yang keliru

dalam praktik. Sebagaimana keterangan Mahfud , Natsir mengatakan:

….maka terbayangkan sudah dimatanya seorang bahlul (bloadyfool) duduk di atas singgasana, dikelilingi oleh haremnya, menanti tari dayang-dayangnya. Terbayang olehnya yang duduk mengepalai kementerian kerajaan beberapa orang tua bangka memakai serban besar, memegang tasbih sambil meminum koga. Sebab memang begitulah gambaran ‘pemerintah Islam’ yang digambarkan dalam kitab-kitab Eropa yang mereka baca dan diterangkan oleh guru-guru bangsa Barat selama ini.132

Menurut Natsir, bila ingin memahami agama dan negara dalam Islam

secara jernih, maka hendaknya mampu menghapuskan gambaran keliru

tentang negara Islam seperti di atas. Jadi, harus dibedakan antara ajaran

Islam sebagai ide dengan praktik pelaksanaannya dalam masyarakat.

Sementara yang dilakukan Kemal di Turki sebagaimana dikagumi oleh

Soekarno adalah mencampakkan ajaran Islam dengan alasan ‘negara

Islam’ yang hidup dalam praktik tidaklah sesuai dengan ajaran Islam. Apa

yang hidup di kalangan Turki Usmani yang kemudian menjadi alasan

sekularisasi Kemal menurut Natsir bukanlah negara Islam.133

Natsir menyangkal pandangan Soekarno yang menyandarkan

kebenaran tindakan Kemal pada sejarah. Seperti dikutip Suhelmi, Natsir

berpendapat bahwa Kemal sebenarnya telah tersesat, sebab:

….tidak reel tidak berurat berakar dalam kultur rakyat Turki, malah dalam beberapa hal ia mencabut jiwa Turki dari tradisi dan kulturnya. Ini sudah dibuktikan dalam masa yang akhir-akhir ini, lantaran sesudahnya Kemal meninggal, maka berangsur-angsur kebudayaan

132 Moh. Mahfud MD., Op. Cit., hlm.82. 133 Ibid., hlm. 83.

Page 45: Relasi Agama Dan Negara - Copy

60

Turki lama merebut tempatnya kembali, baik tentang agama atau pun hal-hal di luar agama.134

Natsir kokoh dalam pandangannya bahwa negara dan agama tidak

dapat dipisahkan karena hal itu diperlukan untuk menjamin terlaksananya

baik peraturan-peraturan agama seperti sholat, puasa, larangan judi,

larangan mabuk, dan sebagainya.135

Natsir menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya

merupakan bagian integral risalah Islam. Dinyatakan pula bahwa kaum

muslimin mempunyai falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan

Kristen, fasis atau komunisme. Natsir lalu mengutip nash al-Qur’an yang

dianggapnya sebagai dasar ideologi Islam: “Tidaklah aku jadikan jin dan

manusia melainkan untuk mengabdi pada-Ku”.136 Bertitik tolak dari dasar

ideologi ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang muslim di

dunia ini hanyalah menjadi hamba Allah. Dan untuk menjadi predikat

‘hamba Allah’ tersebut, menurut Natsir, Allah telah memberi aturan:

Aturan atau cara kita berlaku berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita dan cara kita yang berlaku berhubungan dengan sesama manusia. Diantara aturan-aturan yang berhubungan dengan sesama manusia. Diantara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama mahluk kita, ada diberikan garis-garis besarnya seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang. Yang terakhir ini tak lebih tak kurang, ialah yang dinamakan orang sekarang dengan urusan kenegaraan.137

Dari polemik tersebut di atas memberikan kesan adanya

pertentangan gagasan tajam di antara kedua tokoh tersebut. Soekarno,

134 Ahmad Suhelmi, Op. Cit., hlm. 93. 135 Mahfud MD., Op. Cit., hlm. 86. 136 Al-Qur’an, QS 51: 56. 137 Ahmad Suhelmi, Op. Cit., hlm. 87.

Page 46: Relasi Agama Dan Negara - Copy

61

berdasarkan analisis perkembangan sejarah berkesimpulan bahwa agama

dan negara tidak dapat disatukan. Keduanya harus dipisahkan.

Sementara Natsir menilai bahwa agama dan negara dapat dan harus

disatukan demi terlaksananya syari’at Islam, sebab Islam tidak seperti

agama-agama lainnya, Islam adalah ‘filsafat hidup’ yang menjadi

pedoman amal umat Islam dalam setiap bidang.138 Ia merupakan agama

yang serba mencakup (komprehensif). Persoalan kenegaraan pada

dasarnya merupakan bagian dan diatur dalam Islam.

b. Dinamika Percaturan Politik Islam Pasca Kemerdekaan: Perdebatan di

Konstituante

Polemik Soekarno dan Natsir yang secara garis besar mewakili

pandangan-pandangan dua kelompok besar di Indonesia, yaitu para

nasionalis Sekuler dan naionalis Islam sebagian besar menentukan bentuk

dan perkembangan diskusi di dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).139

Masalah-masalah pokok yang dibicarakan dalam sidang BPUPKI

berkisar pada persoalan bentuk negara, batas negara, dasar filsafat negara

dan hal-hal lain yang bertalian dengan pembuatan suatu konstitusi.140

Namun perdebatan yang paling memanas dalam sidang tersebut adalah

138 Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century

Indonesia, Terj. Yudian W. Asmin dan H. Afandi Mochtar “Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Cet. Ke-1, 1996, hlm. 200.

139 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta: Gema Insani Press, Cet. Ke-1, 1997, hlm. 10.

140 Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Op. Cit., hlm. 102-103.

Page 47: Relasi Agama Dan Negara - Copy

62

mengenai dasar negara. Setidaknya ada dua aliran yang muncul ke

permukaan: Islam dan aliran pemisahan negara dan agama.141 Pada satu

pihak, kelompok pendukung dasar Islam ingin melaksanakan seluruh isi

syari’at yang sesuai dengan al-Qur’an serta formulasi hukum Islam di

Indonesia, sementara kelompok nasionalis sekuler menghendaki lain.

Mereka lebih memilih faham kebangsaan, dan bagi mereka hukum Islam

adalah urusan pribadi bagi umat Islam itu sendiri.142

Perdebatan tentang dasar negara tersebut telah memaksa para pendiri

Republik Indonesia untuk menjalani masa-masa yang sulit dalam sejarah

modern Indonesia. Tetapi akhirnya, sebuah kompromi politik dalam

bentuk Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 dapat dicapai. Artinya,

keinginan dan kesepakatan luhur antara golongan Islam dan Golongan

nasionalis tertampung dalam satu piagam tersebut. Piagam Jakarta adalah

hasil kerja sebuah panitia kecil dalam BPUPKI yang diketuai Soekarno,

dan ditandatangani oleh sembilan anggota terkemuka, yaitu: Soekarno,

Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosuyoso, Abdul Kahar

Muzakir, Agus Salim, Ahmad Subarjo, Wahid Hasyim, dan Muhammad

Yamin.143

Piagam Jakarta tersebut sebenarnya adalah sebuah preambule bagi

konstitusi yang diajukan dalam sidang BPUPKI. Di dalamnya, Pancasila

sebagai dasar negara telah disepakati, tetapi sila pertama, yaitu sila

141 Ibid., hlm. 104. 142 Ibid., hlm. 107. 143 Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara Indonesia Kompilasi Aktual Masalah

Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. Ke-1, hlm. 66.

Page 48: Relasi Agama Dan Negara - Copy

63

ketuhanan diikuti oleh anak kalimat: “…dengan kewajiban menjalankan

syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Anak kalimat yang dinilai

strategis ini bagi umat Islam menjadi sangat penting, sebab dengan itu

tugas pelaksanaan syari’at Islam secara konstitusional terbuka pada waktu

yang akan datang. Inilah salah satu alasan mengapa wakil umat Islam

dalam BPUPKI dapat berkompromi dengan kelompok nasionalis.144 Dan

pada akhirnya rumusan konstitusi ini dapat diterima dengan aklamasi pada

tangal 16 Juli 1945 oleh anggota sidang BPUPKI,145 yaitu sebuah

mukadimah yang memuat Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara dan

Batang Tubuh UUD 1945 yang memuat dua ketentuan penting perjuangan

golongan Islam, yakni: pertama, Negara berdasarkan ketuhanan dengan

kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan

kedua, Presiden adalah orang Indonesia asli yang beragama Islam.146

Tetapi ternyata persetujuan tersebut tidaklah benar-benar telah

terselesaikan. Hasil kompromi politik tersebut mengalami perubahan

setelah proklamasi kemerdekaan. Anak kalimat dalam pembukaan UUD

1945; “…dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-

pemeluknya”, ternyata masih mengganjal dan dipandang sebagai

keputusan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.147 Oleh karena itu,

dari golongan Protestan dan Katolik menghendaki penghapusan anak

kalimat tersebut serta kalimat Islami lainnya dan atau lebih memilih

144 Ahmad Syafi’i Maarif, Op. Cit., hlm.107-108. 145 Ibid. 146 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Rineka

Cipta, Cet. Ke-2, 2001, hlm. 45. 147 Endang Saifuddin Anshari, Op. Cit., hlm. 50.

Page 49: Relasi Agama Dan Negara - Copy

64

berdiri di luar Republik Indonesia apabila anak kalimat dalam pembukaan

UUD tersebut masih tetap difungsikan.148

Menyikapi hal tersebut, setelah melewati saat-saat yang cukup kritis,

maka pada tanggal 18 Agustus 1945, wakil-wakil umat Islam dalam

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)149 akhirnya menyetujui

penghapusan anak kalimat tersebut dari Pancasila dan Batang Tubuh UUD

1945. Tetapi sila pertama, yaitu sila ketuhanan mendapat atribut yang

sangat kunci, dan menjadi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.150 Modifikasi

sila pertama ini dipandang sangat berarti, sebab dengan jalan demikian

wakil-wakil umat Islam tidak keberatan dengan formula baru Pancasila itu.

Meskipun dalam kenyataan, ada kekecewaan dari wakil golongan Islam

yang pernah menjadi anggota di BPUPKI.151

Perubahan diatas dipandang oleh sebagian orang sebagai kekalahan

politik wakil-wakil Islam. Tetapi, Alamsyah Ratu Perwiranegara

sebagaimana dikutip oleh Syafi’i Maarif menafsirkan bahwa peristiwa

tanggal 18 Agustus itu sebagai hadiah umat Islam kepada bangsa dan

kemerdekaan Indonesia, demi menjaga persatuan.152

Setelah dua kali perdebatan tentang dasar falsafah negara baik dalam

sidang BPUPKI maupun PPKI sebagaimana telah tersebut diatas, dan

148 Ibid., hlm. 50-51. 149 PPKI dibentuk pada tangal 7 Agustus 1945 atas persetujuan Komando Tertinggi Jepang

di Saigon dengan tugas mempersiapkan penyerahan kekuasaan dari Jepang kepada Indonesia. Lihat Mahfud MD, Loc Cit. Panitia ini juga yang memilih Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden, dan mensahkan Preambule dan Batang Tubuh UUD hasil BPUPKI dengan beberapa perubahan penting: dengan menghilangkan ‘kalimat Islami’. Lihat Endang Saifuddin Anshari, Op. Cit., hlm. 208.

150 Ahmad Syafi’i Maarif, Op. Cit., hlm. 109. 151 Muh. Mahfud MD, Op. Cit., hlm. 49. 152 Ahmad Syafi’i Maarif, Loc. Cit.

Page 50: Relasi Agama Dan Negara - Copy

65

untuk sementara menghasilkan suatu kesepakatan dan kompromi politik

dari kelompok Islam dan kelompok nasionalis. Ternyata setelah pemilihan

umum yang pertama pada tanggal 15 Desember 1955, perdebatan tentang

dasar negara kembali muncul dipermukaan.153 Namun untuk kali ini,

perdebatan terjadi dalam sidang majlis kontituante.154

Ketika majlis ini memulai kerjanya pada bulan November 1956,

pada mulanya ada tiga usul yang diusulkan sebagai dasar negara :

Pancasila, Islam dan Sosial ekonomi.155 Namun untuk yang ketiga ini

sangat sedikit pendukungnya, sehingga wajar bila Takdir Alisyahbana

sebagai mana dikutip oleh Endang Saifuddin Anshari menyatakan bahwa

yang tampak mencolok dalam perdebatan-perdebatan dalam penyusunan

kontitusi oleh majlis konstituante secara keseluruhan terbagi dalam dua

kelompok : yang pertama menghendaki Islam sedangkan yang lainnya

menuntut penerimaan Pancasila sebagai dasar negara.156

Bagi pendukung Pancasila, mereka berpandangan bahwa agama

adalah sangat luhur dan sangat suci. Penafsiran pernyataan ini diwakili

oleh Suwiryo, ketua umum PNI, sebagaimana dikutip Endang Saifuddin

Anshori, ia berkta: “Justru karena agama itu sangat luhur dan sangat suci,

153 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional Kisah dan Analisis Perkembangan Politik

Indonesia 1945 – 1965, Bandung: Mizan, Cet. Ke-2, 2000, hlm. 282. 154 Konstituante adalah sebuah majlis yang terdiri lebih 500 anggota yang terpilih secara

demokratis pada tahun 1955, mewakili seluruh bangsa Indonesia dan diberi tugas untuk memberi wujud nyata kepada pandangan bangsa mengenai demokrasi dan pemerintahan kontitusional, serta secara independen merancang Undang-Undang Dasar yang devinitif bagi Indonesia. Lihat Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia Studi Sosio-legal atas Konstituante 1956 – 1959, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, Cet. Ke-1, 1995, hlm. 408.

155 Endang Saifuddin Anshari, Op. Cit., hlm. 77. 156 Ibid., hlm. 78.

Page 51: Relasi Agama Dan Negara - Copy

66

maka kami berkeberatan jika agama dipakai sebagai dasar negara”.157

Kemudian ia mengutip pernyataan yang ditandatangani oleh Soekarno dan

Hatta pada tanggal 4 September 1957: “Bahwa Pancasila, yang

dicantumkan dalam mukadimah Undang-undang Dasar Sementara

Republik Indonesia tahun 1945, adalah jaminan hakiki bagi seluruh rakyat

Indonesia, untuk berkehidupan bebas dan merdeka, adil dan makmur.158

Sementara Natsir yang mewakili tokoh Islam sebagaimana dikutip

Endang Saifuddin Anshari berpendapat bahwa Pancasila sebagai falsafah

negara adalah kabur dan tidak berkata apa-apa kepada jiwa umat Islam

yang sudah memiliki pandangan hidup yang tegas, terang dan hidup dalam

tuntunan kekuatan lahir dan batin, yakni Islam. Kepada para pendukung

Pancasila Natsir menghimbau :

“Dengan menerima Islam sebagai falsafah negara, saudara-saudara pembela Pancasila sedikitpun tidak dirugikan apa-apa, baik sebagai pendukang Pancasila atau sebagai orang yang beragama, malah akan memperoleh satu state philoshophy yang hidup berjiwa, berisi tegas dan mengandung kekuatan. Tak ada satu pun dari lima sila yang terumus dalam Pancasila itu yang akan terluput akan gugur, apabila saudara-saudara menerima Islam sebagai dasar negara”.159

Senada dengan pendapat Natsir, KH. Masykur juga mengemukakan

gagasan agar ketujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam

bagi pemeluk-pemeluknya” yang telah dihapus oleh PPKI dimasukkan

kembali ke dalam mukadimah UUD 1945.160 Kenyataan inilah

menunjukkan bahwa wakil Islam di konstituante tidak ingin menerima

157 Ibid., hlm. 82. 158 Ibid. 159 Ibid., hlm. 84. 160 Deliar Noer, Op. Cit., hlm. 288.

Page 52: Relasi Agama Dan Negara - Copy

67

UUD 1945 tanpa modifikasi, sehingga mereka mengambil keputusan

untuk mengembalikan anak kalimat tersebut. Akan tetapi, pendapat

tersebut sangat keras ditentang oleh golongan Pancasila.161

Perdebatan-perdebatan yang mementingkan prinsip dan pandangan

masing-masing kelompok tersebut di atas terus berlangsung dalam sidang

konstituante, dan bahkan dirasa makin hari makin menajam.

Melihat kondisi tersebut, majlis konstituante sendiri kemudian

cenderung untuk mencari titik persetujuan. Wilopo, ketua umum majlis

konstituante memandang sangat perlu untuk menempuh kompromi dari

berjenis-jenis paham tersebut.162

Semangat dan pendapat yang sama dituturkan pula oleh Firmansyah,

tokoh Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia. Ia menyerukan kepada

segenap anggota konstituante untuk dapat menyatupadukan pendapat

dalam satu pendapat yang bulat, sehingga masing-masing pihak tidak

merasa kecewa dan dirugikan.163

Namun ternyata perdebatan tentang ideologi negara tersebut terus

berlangsung sampai sidangnya yang terakhir pada tanggal 2 Juni 1959,164

tanpa suatu keputusan bulat tentang dasar negara: Pancasila atau Islam.165

Dengan demikian pembuatan suatu Undang-undang Dasar permanen

menjadi terbengkelai. Situasi ini, oleh pemerintah dianggap sebagai suatu

kemacetan konstitusional yang serius. Maka pada tanggal 5 Juli 1959,

161 Ibid. 162 Endang Saifuddin Anshari, Op. Cit., hlm. 85. 163 Ibid. 164 Ahmad Syafi’i Maarif, Op. Cit., hlm. 175. 165 Ibid.

Page 53: Relasi Agama Dan Negara - Copy

68

Presiden Soekarno dengan dukungan penuh dari pihak militer

mengeluarkan dekrit untuk kembali kepada UUD 1945 menggantikan

UUDS 1950 dan sekaligus membubarkan konstituante.166

Dengan berlakunya kembali UUD 1945, maka dasar Islam yang

diusulkan dengan sendirinya tertolak melalui sebuah dekrit tersebut. Akan

tetapi, perlu di ingat bahwa dalam dekrit tersebut tertuliskan: “…kami

berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai

Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian

kesatuan dengan konstitusi tersebut”.167 Tercantumnya konsiderasi

tersebut menurut Syafi’i Maarif jelas merupakan suatu kompromi politik

lagi antara pendukung dasar Pancasila dan pendukung dasar Islam.168

Lebih lanjut Syafi’i Maarif menuturkan, sekalipun hanya secara

implisit, namun gagasan untuk melaksanakan syari’at bagi pemeluk agama

Islam tidaklah dimatikan.169 Inilah barangkali tafsiran yang akurat dan adil

terhadap kaitan dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan Piagam Jakarta yang

ternyata tidak secara mutlak merugikan dan memarginalkan aspirasi

tokoh-tokoh Islam.

c. Pola Hubungan Agama dan Negara di Era Orde Baru

Pergantian kekuasaan di Indonesia dari Orde Lama ke Orde Baru,

tahun 1965 / 1966, membawa implikasi yang cukup banyak dalam

166 Yusril Ihza Mahendra, Op. Cit., hlm. 82. 167 Endang Saifuddin Anshari, Op. Cit., hlm. 157. 168 Ahmad Syafi’i Maarif, Op. Cit., hlm. 181. 169 Ibid.

Page 54: Relasi Agama Dan Negara - Copy

69

kehidupan berbangsa dan bernegara. Diantaranya ialah lenyapnya secara

formal ideologi ‘kelas’ komunis yang menjadi musuh utama masyarakat

religius Indonesia, hilangnya kekuasaan demokrasi terpimpin yang

otoriter, dan lahirnya ideologi pembangunan yang pragmatis dan

kekuasaan non sektarian. Ciri utama yang sangat menonjol yaitu tampilnya

pemerintahan Orde Baru sebagi pelaku tunggal perubahan sosial. Orde

Baru dengan program pembangunan berencana pada lima tahunan (Pelita)

telah menjadikan dirinya sebagai pelaku utama transportasi sosial.170

Kebijakan Orde Baru dalam memegang kakuasaan berpegang pada

prinsip non sektarian (termasuk dalam agama), dan keseragaman

‘ideologi’ Pancasila bagi semua organisasi sosial politik dan organisasi

kemasyarakatan.171 Seluruh kebijakan Orde Baru, baik dalam bidang

politik, ekonomi, dan pendidikan ditujukan untuk semuanya, dalam arti

tidak memihak kepada salah satu golongan.

Mengkaji hubungan agama dan negara dalam masa Orde Baru ini

dapat digolongkan ke dalam dua bagian, yakni hubungan yang bersifat

antagonistik; merupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya

ketegangan antara negara dengan Islam sebagai sebuah agama, dan

hubungan yang bersifat akomodatif; sifat hubungan dimana negara dan

agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan mamiliki

kesamaan untuk mengurangi konflik.172

170 Taufuq Nugroho, Op. Cit., hlm. 45. 171 Ibid., hlm. 87. 172 Dede Rosyada, et al., Loc. Cit.

Page 55: Relasi Agama Dan Negara - Copy

70

a. Hubungan Antagonistik

Eksistensi Islam politik ( political Islam) pada masa kemerdekaan

dan sampai pasca revolusi pernah dianggap sebagi pesaing kekuasaan

yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Persepsi tersebut,

membawa implikasi terhadap gerak ideologi politik Islam. Sebagai hasil

dari kebijakan politik ini, bukan saja para dan aktifis Islam gagal untuk

menjadikan Islam sebagai ideologi dan atau negara (pada 1945 dan

decade 1990-an) tetapi mereka sering disebut sebagai kelompok yang

secara politik ‘minoritas’ atau outsider. Lebih dari itu, bahkan politik

Islam dicurigai sebagai anti ideologi negara Pancasila.173

Lebih lanjut Bahtiar mengatakan bahwa di Indonesia, akar

antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara tak dapat

dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang

berbeda. Awal hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari

masa pergerakan kebangsaan ketika elit politik nasional terlibat dalam

perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka.174

Kendatipun ada upaya-upaya untuk mencarikan jalan keluar dari

ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistik

formalistik dan simbolistik itu masih berkembang pada sebagian aktivis

Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru. Antara

lain karena negara memberlakukan kebijakan the politics of

173 Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam, Yogyakarta: Galang Press, 2001, hlm. 4. 174 Ibid., hlm. 9.

Page 56: Relasi Agama Dan Negara - Copy

71

containment agar wacana politik Islam yang fomalistik, legalistik dan

simbolistik itu tidak berkembang lebih lanjut.175

Kepada ‘Islam politik’ Orde Baru hubungannya diwarnai dengan

kecurigaan, dan kepada ‘Islam Ibadah’ menunjukkan kenaikan terus

menerus.176 Pemerintah menunjukkan kebijakan yang meminggirkan

peran politik umat Islam, sehingga muncul sikap antagonistik dari umat

Islam.177

Kebijakan Orde Baru di bawah kepeminpinan Soeharto, sekalipun

mengakui pentingnya nilai-nilai keagamaan dan moral, nilai-nilai

keagamaan dan moral ini diberi bingkai Pancasila. Ada pembatasan-

pembatasan tertentu yang mengarahkan pemikiran-pemikiran

keagamaan sehinga tidak memunculkan dan terbentuknya politik

keagamaan. Hal ini sangat kelihatan dengan usaha yang dilakukan

pemerintah Soeharto untuk menyederhanakan partai-partai Islam ke

dalam politik tunggal.178

Syafi’i Maarif (1935 M.) menambahkan, bahwa pemerintah pun

kemudian menekankan agar nama partai ini tidak secara eksplisit

menampilkan Islam. Nama Partai Persatuan Pembangunan, merupakan

usaha sterilisasi pihak pemerintah untuk menghilangkan warna ke-

Islaman. Bahkan pada tahap yang lebih lanjut lambang Ka’bah, sebagai

simbol ke-Islamannya pun kamudian dilorotnya. Dan terakhir dengan

175 Ibid. 176 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, Cet. Ke-2, 1997, hlm. 198. 177 Khamami Zada, Islam Radikal Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di

Indonesia, Jakarta: Teraju, Cet. Ke-1, 2002, hlm. 29. 178 Ahmad Syafi’i Maarif, “pengantar” dalam Rusli Karim, Op. Cit., hlm. xii.

Page 57: Relasi Agama Dan Negara - Copy

72

ditekankan dan dipaksakannya pemakaian Asas Tunggal pada setiap

parpol dan ormas.179 Dalam hal inilah timbul banyak tantangan.

Keberatan-keberatan masyarakat di seputar isu penunggalan asas

berkisar dari pelanggaran hak berserikat sampai penghilangan ciri , sifat

atau watak yang bisa juga bersifat keagamaan.180

Sikap pemerintah yang demikaian ini tidaklah lepas dari

kecemasannya terhadap massa Islam. Pengalaman sejarah yang

menunjukkan kegigihan umat dalam memperjuangkan ideologi Islam

baik dalam parlemen maupun non parlementer. Sehingga, kecemasan

tersebut dilandasi oleh kekhawatiran akan lahirnya radikalisme Islam.181

Bukti sejarah sudah cukup membuktikan hal tersebut. Islam sering

kali dijadikan simbol perlawanan terhadap pemerintah yang sedang

berkuasa. Islam memang sangat potensial untuk menjadi ‘oposisi’

abadi. Menurut Taufiq Nugroho, setidaknya ada dua alasan yang

mendukung pernyataan tersebut. Pertama, ajaran Islam selalu melihat

realitas sosial harus menyesuaikan terhadap tatanan moral ideal. Ajaran

ini selalu mengilhami penganutnya untuk melakukan amar ma’ruf nahi

munkar tanpa lelah. Kedua, dibalik peran opososi tesebut terdapat

sejumlah kekecewaan, baik yang bersifat ideologis, politis, maupun

ekonomis, terutama dari mereka yang tersingkir (masyarakat lapisan

bawah). Sekali lagi Islam tampil sebagi simbol perlawanan kepada

179 Ibid. 180 Bahtiar Effendy, (Re)Politisasi Islam Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, Editor: A.

Suryana Sudrajat, Bandumg: Mizan, Cet. Ke-1, 2000, hlm. 233. 181 Taufiq Nugroho, Op. Cit., hlm. 90.

Page 58: Relasi Agama Dan Negara - Copy

73

siapapun tanpa pandang bulu lagi atau radikalisme inilah yang

kemudian mengesankan Islam sebagai kelompok pembangkang

abadi.182

Kebijakan Orde Baru juga menutup rapat kapada Islam yang

bergerak pada jalur struktur. Yaitu pergerakan Islam dalam jalur politik.

Gerakan struktur ini membawa panji-panji Islam dengan tujuan

membawa aspirasi politik Islam melalui jalur parlemen. Bila ada

gerakan Islam yang mencoba memasuki jalur ini, maka Orde Baru tidak

segan-segan akan memotong sampai ke akar-akarnya dengan jalannya

sendiri.183

Pengendalian birokrasi secara efektif talah menipiskan watak

ideologi kehidupan sosial umat Islam, sehingga kekuatan ideologis

partai-partai dan organisasi sosial Islam (santri) semakin melemah dan

tidak berfungsi. Tipisnya watak ideologis Islam tersebut

memperlonggar solidaritas primordial antara partai dan pemimpin umat

dengan para pemeluknya.184

Menurut Mulkhan lebih lanjut, berdasarkan kondisi partai dan

organisasi Islam tersebut di atas , Orde Baru menerapkan politik

depolitisasi. Hubungan struktural massa rakyat dan umat Islam dengan

182 Ibid., hlm.91. 183 Ibid., hlm. 92. 184 Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kiri Landasan Gerakan Membela Kaum Mustadl’afin,

Yogyakarta: Kreasi Wacana, Cet. Ke-1, 2002, hlm. 185.

Page 59: Relasi Agama Dan Negara - Copy

74

partai menjadi terputus akibat politik ‘massa mengambang’ dan

penyederhanaan partai-partai politik.185

Dengan berpegang pada kebijakan di atas, maka negara kita tidak

segan-segan melakukan tindakan tegas terhadap para perusuh ideologi

yang akan mengganggu ‘ideologi negara’ dan jalannya pembangunan,

termasuk kalangan Islam yang mencoba mengibarkan ‘ideologi

sektarian Islam’.186

Langkah-langkah demikian yang dilakukan oleh Soeharto

menurut Syafi’i Maarif, baik langsung maupun tidak langsung,

merupakan usaha-usaha yang sistematis untuk meminggirkan dan

bahkan menghilangkan simbol-simbol Islam dalam kancah politik

nasional Indonesia.187 Setelah pemerintahan Orde Baru memantapkan

kekuasaannya, terjadi kontrol yang demikian berlebihan yang

diterapkan kepada kekuatan politik Islam, terutama pada kelompok

radikal yang dikhawatirkan semakin militan dan menandingi eksistensi

negara.188

Realitas empirik inilah yang kemudian menjelaskan bahwa

hubungan agama dan negara pada masa ini dikenal dengan antagonistik,

dimana negara benar-benar mencurigai Islam sebagai kekuatan yang

potensial dalam merongrong integritas negara.189 Sementara di sisi lain

185 Ibid. 186 Taufuq Nugroho, Op. Cit., hlm. 88. 187 Ahmad Syafi’i Maarif , “pengantar” dalam Rusli Karim, Loc. Cit. 188 Dede Rosyada,et al., Op. Cit., hlm. 65. 189 Ahmad Syafi’i Maarif, “Pengantar” dalm M. Rusli Karim, Op. Cit., hlm. xiii.

Page 60: Relasi Agama Dan Negara - Copy

75

umat Islam sendiri memiliki semangat untuk mendirikan Islam sebagai

sumber ideologi dalam menjalankan pemerintahan.

b. Hubungan Akomodatif

Pola hubungan yang bersifat akomodatif terlihat ketika mulai

munculnya agresifitas politik Islam yang mengakibatkan turunnya nilai

ketegangan dari hubungan antara agama (Islam) dengan negara pada

masa Orde Baru. Menurut Nugroho, gejala menurunnya ketegangan

hubungan ini mulai terlihat pada pertengahan tahun 1980-an. Hal ini

ditandai dengan semakin besarnya peluang umat Islam dalam

mengembangkan wacana politiknya serta munculnya kebijakan-

kebijakan yang dianggap positif bagi umat Islam. Kebijakan-kebijakan

tersebut berspektrum luas dalam memberikan kesempatan bergerak

kepada Islam kultural.190

Menurut Fachry Ali, politik akomodasi ini mulai dilaksanakan

ketika negara mulai ‘terasing’ dari lingkungannya. Gejala

‘keterasingan‘ ini telah mulai tampak ketika aliansi negara dengan

kaum menengah kota gagal berlanjut dengan peristiwa Malari 1974.191

Sementara menurut Affan Gaffar, sebagaimana dikutip dalam

Dede Rosyada, et al., kecenderungan akomodasi negara terhadap Islam

juga ditengarai dengan adanya kebijakan pemerintah dalam bidang

190 Yang dimaksud dengan Islam jalur kultur adalah pergerakan Islam melalui wilayah

budaya, tidak melalui gerakan jalur politik praktis. Taufiq Nugroho, Op. Cit., hlm. 91. 191 Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan Keharusan Demokratisasi dalam

Islam Indonesia, Surabaya: Risalah Gusti, Cet. Ke-1, 1996, hlm. 3.

Page 61: Relasi Agama Dan Negara - Copy

76

pendidikan dan keagamaan serta kondisi dan kecenderungan politik

umat Islam sendiri. Pemerintah menyadari bahwa umat Islam

merupakan kekuatan politik yang potensial, yang oleh karenanya,

negara lebih memilih akomodasi terhadap Islam, karena jika negara

menempatkan Islam sebagai outsider negara, maka konflik akan sulit

dihindari yang pada akhirnya akan membawa imbas terhadap proses

pemeliharaan negara kesatuan Republik Indonesia.192

Munculnya sikap akomodatif negara terhadap Islam menurut

Thaba – dikutip dari buku yang sama – lebih disebabkan oleh adanya

kecenderungan bahwa umat Islam Indonesia dinilai telah semakin

memahami kabijakan negara, terutama dalam konteks pemberlakuan

dan penerimaan asas tunggal Pancasila.193

Sehingga, pada tahun-tahun terakhir Orde Baru ditandai dengan

akomodatif negara terhadap aspirasi-aspirasi Islam seperti didirikannya

BMI dan ICMI,194 disusun undang-undang dan peraturan yang

menjamin tercapainya politik Islam.195 Sehingga, lahir kemudian UUP

(perkawinan) tahun 1971, pembentukan wadah musyawarah antar umat

beragama, penyesuaian dan penyetaraan sekolah agama (Islam) melalui

SKB Tiga Menteri tahun 1975, dan disahkannya UU Peradilan Agama

(UUPA) tahun 1989.196 Dan untuk mempermudah proses penyelesaian

192 Dede Rosyada, et al., Op. Cit., hlm. 66. 193 Ibid. 194 Andito (Abu Zahra) (ed), Op. Cit., hlm. 39. 195 Abdul Munir Mulkhan, Op. Cit., hlm. 180. 196 Ibid., hlm. 181.

Page 62: Relasi Agama Dan Negara - Copy

77

sengketa di Peradilan Agama, pemerintah menyusun Kompilasi Hukum

Islam di Indonesia, yaitu semacam fiqh ala Indonesia.197

Ini semua berlangsung tidak sepihak. Disamping adanya

kenyataan bahwa mayoritas rakyat dan pemimpin Indonesia adalah

muslim – dan karenanya wajar kalau nilai-nilai Islam turut membentuk

dan mempengaruhi kehidupan politik nasional, pada masa Orde Baru

terjadi transformasi pemikiran dan praktik politik Islam; dari yang

bersifat legalistik-formalistik ke substansifistik; dari politik formalisme

dan simbolisme ke politk yang lebih berorientasi pada isi.198 Apapun

latar belakang politik Islam Orde Baru tampaknya telah

mengembangkan kehidupan muslim dan berbagai lembaga sosial dan

dakwah ke arah sikap rasional dan fungsional yang kemudian memberi

peluang perkembangan kualitatif kahidupan muslim di Indonesia.

Sikap akomodatif Orde Baru dengan mengendalikan dan

mengarahkan potensi umat Islam, sebagai umat mayoritas di negeri ini,

diharapkan akan lahir Islam yang nasionalis. Dengan demikian menurut

Nugroho, Orde Baru sangat berharap bahwa Islam akan menjadi

pendukung kuat terhadap Nasionalisme Indonesia.199

Maka dalam kebijakan selanjutnya, dalam banyak hal, Islam

kultural memperoleh dukungan politik, bahkan fasilitas penguasa Orde

Baru. Bagi yang memakai jalur kultur ini, maka akan bisa

197 M. Abdurrahman, Dinamika Masyarakat Islam dalm Wawasan Fiqh, Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, Cet. Ke-1, 2002, hlm. 91. 198 Andito (Abu Zahra) (ed), Loc. Cit. 199 Taufiq Nugroho, Loc. Cit.

Page 63: Relasi Agama Dan Negara - Copy

78

berkomunikasi dan memperoleh fasilitas dari pemerintah secara mudah

dalam berbagai kegiatannya, misalnya organisasi haji yang selalu

memperoleh dukungan optimal. Disamping itu, sebagian cotoh dalam

mendukung jalur kultural ini, Presiden Soeharto mendirikan Yayasan

Amal Bakti Muslim Pancasila (YAMP) yang konsentrasinya adalah

mendirikan masjid-masjid.200

Bila diamati, sikap akomodatif Orde Baru terhadap Islam ini

menyimpan muatan politis yang mendalam. Pergerakan Islam kultural

dibina sedemikian rupa oleh negara karena dipandang dapat membantu

suksesnya kinerja pemerintah. Sementara di sisi lain, Islam struktural

tidak diberi kesempatan bernafas sedikitpun dalam format legal

formalnya, karena dikhawatirkan akan menciptakan Islam radikal yang

dapat merongrong integritas rezim yang ada.

Dengan demikian, dari penjelasan dalam Bab ini dapat

disimpulkan bahwa pergulatan agama (Islam) dan politk (negara), baik

mengenai konsep politik Islam --baik yang klasik maupun modern,

mengenai kriteria penguasa, hubungan penguasa dan rakyatnya, bentuk

negara dan pemerintahan, dan lain-lainnya masih menjadi perdebatan

yang belum tuntas sampai sekarang. Konsep pemikiran tentang agama

(Islam) dan politik (negara) tersebut terus bergulir sesuai dengan

perjalanan waktu dan situasi yang berkembang.

200 Ibid., hlm. 91-92.

Page 64: Relasi Agama Dan Negara - Copy

79

Kemudian, mengenai hubungan agama dan negara secara praksis,

khususnya di Indonesia, mengalami pasang surut. Dikatakan demikian

karena hubungan tersebut pada saat-saat tertentu bersifat konflik, tetapi

pada saat yang lain terjadi hubungan yang harmonis. Hubungan

konfliktual itu sendiri terjadi karena keduanya saling mencurigai. Di

satu sisi Islam curiga terhadap negara karena negara dinilai telah

menghalangi kepentingan Islam, yaitu umat Islam sebagai mayoritas

tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan eksistensinya. Sementara

di sisi lain negara juga senantiasa mencurigai Islam. Hal ini

dikarenakan cita-cita politik Islam adalah mendirikan Negara Islam,

sebagaimana yang telah diperjuangkan tokoh-tokoh Islam dalam

Konstituante dengan menawarkan Islam sebagai dasar negara

Indonesia. Sehingga pemerintah sangat khawatir, karena dapat

menggoyahkan ideologi dan stabilitas negara

Sementara hubungan yang harmonis dari keduanya juga nyata.

Kondisi seperti ini tampak terjadi pada masa-masa separuh akhir dari

rezim Orde Baru, di mana pemerintah telah memberi banyak

kesempatan dan membantu pada berdirinya organisasi-organisasi Islam,

tempat-tempat peribadatan, dan jam’iyah-jam’iyah Islam, sebagaimana

telah dicontohkan di atas . Akan tetapi, solidaritas pemerintah terhadap

Islam ini hanya terbatas pada pergerakan Islam kultural. Sementara

pergerakan Islam politik yang bersifat struktural terus diawasi dan

dicurigai oleh pemerintah dalam setiap langkah dan perkembangannya.

Page 65: Relasi Agama Dan Negara - Copy

80

Page 66: Relasi Agama Dan Negara - Copy

81