rekonstruksi budaya lokal-i wayan

37
ISSN 0215 - 8250 MEREKONSTRUKSI SAINS ASLI (INDIGENOUS SCIENCE) DALAM UPAYA MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN SAINS BERBASIS BUDAYA LOKAL DI SEKOLAH oleh I Wayan Suastra Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas Pendidikan MIPA, IKIP Negeri Singaraja ABSTRAK Penelitian etnosains ini bertujuan menggali sains asli yang ada di masyarakat tradisional, dan kemudian mengkonstruksinya untuk pengembangan kurikulum sains berbasis budaya lokal di sekolah. Penelitian ini dilakukan pada masyarakat tradisional Penglipuran Bali. Data sains asli dikumpulkan dengan teknik observasi, partisipasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi, selanjutnya dilakukan triangulasi. Hasil penelitian ini menunjukkan (1) sains asli yang hidup dan berkembang di masyarakat masih dalam bentuk pengetahuan pengalaman konkret sebagai hasil interaksi antara lingkungan alam dan sosial budayanya, dan (2) bila dikaitkan dengan sains Barat, sains asli dapat dikelompokkan menjadi dua ______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005 377

Upload: ayu-lestari

Post on 27-Oct-2015

84 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

etnosains

TRANSCRIPT

Page 1: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

MEREKONSTRUKSI SAINS ASLI (INDIGENOUS SCIENCE) DALAM UPAYA MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN SAINS

BERBASIS BUDAYA LOKAL DI SEKOLAH

oleh I Wayan Suastra

Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas Pendidikan MIPA, IKIP Negeri Singaraja

ABSTRAK

Penelitian etnosains ini bertujuan menggali sains asli yang ada di masyarakat tradisional, dan kemudian mengkonstruksinya untuk pengembangan kurikulum sains berbasis budaya lokal di sekolah. Penelitian ini dilakukan pada masyarakat tradisional Penglipuran Bali. Data sains asli dikumpulkan dengan teknik observasi, partisipasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi, selanjutnya dilakukan triangulasi. Hasil penelitian ini menunjukkan (1) sains asli yang hidup dan berkembang di masyarakat masih dalam bentuk pengetahuan pengalaman konkret sebagai hasil interaksi antara lingkungan alam dan sosial budayanya, dan (2) bila dikaitkan dengan sains Barat, sains asli dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu sains asli yang dapat dijelaskan sains Barat (12 topik) dan sains asli yang belum dapat dijelaskan sains Barat (1 topik). Implikasi hasil penelitian ini bagi pendidikan sains di sekolah, yaitu: (1) sains asli (budaya lokal) dapat diakomodasi sebagai ilustrasi dalam pembelajaran sains di sekolah, mengingat sains asli ini merupakan bagian dari kehidupan mereka, dan (2) pembelajaran sains di sekolah dapat dipandang sebagai transmisi budaya lokal. Direkomendasikan kepada Dinas Pendidikan Nasional yang ada di daerah untuk membentuk tim rekayasa kurikulum sains dengan melibatkan ahli kurikulum, ahli mata pelajaran sains dari perguruan tinggi, guru sains, dan tokoh-tokoh masyarakat yang berkompeten dalam bidang budaya lokal.

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

377

Page 2: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

Kata kunci: merekonstruksi, sains asli, budaya lokal, kurikulum ABSTRACT

The ethno science study attempts to find out indigenous science that is inherited in traditional community and to develop local culture-based science education programe in school.This study was done in Bali Panglipuran traditional community. Indigenous science data was collected by observation, participation, comprehensive interview and documentation. The data as well as the method were triangulated. The result from this study (1) indigenous science that exists in community is still in based of concrete experience through interaction between nature and social culture and (2) As viewed from Western science, indigenous science can be classified into two categories which are indigenous science that can be explained by Western science (11 topics) and indigenous science that has not been explained by Western science (1 topic). Implications of this study for science education in school are: (1) indigenous science (local culture) should be accommodated as illustration in science learning in school, particularly those that are related to daily life. (2) Science teaching in school can be considered as local culture transmission. It is recommended to local National Education Department to establish a science curricula committee that involves curricula experts subject matter from college and university, science teachers and people who know local culture.

Key word: reconstruct, indigenous science, local culture, curriculum

1. Pendahuluan

Mutu pendidikan, khususnya pendidikan sains di Indonesia,

masih menjadi isu dalam berbagai pertemuan ilmiah. The Third

International Mathematics and Science Study Repeat melaporkan bahwa ______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

378

Page 3: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

kemampuan sains siswa SLTP di Indonesia hanya berada pada urutan

ke-32 dari 38 negara (TIMSS-R, 1999). Masalah lainnya yang dialami

bangsa Indonesia adalah rusaknya lingkungan alam yang mengakibatkan

berbagai bencana alam seperti kekeringan berkepanjangan, banjir,

kebakaran hutan, polusi udara, polusi tanah/air yang kesemuanya hanya

menghasilkan kesengsaraan rakyat banyak. Semua kegiatan masyarakat

yang kurang bertangungjawab terhadap alam lingkungan ini diduga

akibat kurangnya pemahaman terhadap nilai-nilai kearifan terhadap

lingkungan alamnya, yang semestinya diperoleh melalui pendidikan

sains di sekolah. Adimassana (2000) mengatakan bahwa, salah satu

penyebabnya adalah akibat dari kegagalan sektor pendidikan dalam

melaksanakan pendidikan nilai di sekolah. Hal ini didukung oleh hasil

studi yang dilakukan Sadia,dkk (1999) dan Suastra dkk. (2003) yang

menyatakan bahwa, sebagian besar (90%) tujuan pembelajaran sains di

sekolah diarahkan pada pencapaian pengetahuan sains (produk sains)

dan sisanya diarahkan pada pengembangan keterampilan proses dan

sikap serta nilai.

Rendahnya kualitas pendidikan sains selama ini di Indonesia

dapat diduga karena kurang diperhatikannya lingkungan sosial budaya

siswa. Hal ini terbukti dari hasil evaluasi kurikulum 1994 SLTP pada

mata pelajaran sains yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan

Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Dikbud yang menunjukkan

bahwa (1) sebagian besar siswa tidak mampu mengaplikasikan konsep-

konsep sains dalam kehidupan nyata, dan (2) pengajaran tidak

menitikberatkan pada prinsip bahwa sains mencakup pemahaman

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

379

Page 4: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

konsep, dan menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari

(Depdikbud, 1999). Dewasa ini, pendidikan cenderung menjadi sarana

"stratifikasi sosial" dan sistem persekolahan yang hanya mentransfer

kepada peserta didik apa yang disebut sebagai dead knowledge, yaitu

pengetahuan yang terlalu berpusat pada buku/sikap harfiah ( textbookish),

sehingga memecahkan soal sederhana dapat dilakukan tetapi agak lepas

dari situasi nyata/ realistik, bagaikan sudah diceraikan dari akar

sumbernya dan aplikasinya (Zamroni, 2000:1). Dengan perkataan lain,

pelajaran sains yang dipelajari di sekolah menjadi "kering" dan tidak

bermakna bagi siswa.

Pembelajaran sains yang akan datang perlu diupayakan agar ada

keseimbangan/ keharmonisan antara pengetahuan sains itu sendiri

dengan penanaman sikap-sikap ilmiah, serta nilai-nilai kearifan yang ada

dalam sains itu sendiri. Oleh karena itu, lingkungan sosial-budaya siswa

perlu mendapat perhatian serius dalam mengembangkan pendidikan

sains di sekolah karena di dalamnya terpendam sains asli yang dapat

berguna bagi kehidupannya. Dengan demikian, pendidikan sains akan

betul-betul bermanfaat bagi siswa itu sendiri dan bagi masyarakat luas.

Hal ini sesuai dengan pandangan reformasi pendidikan sains dewasa ini

yang menekankan pentingnya pendidikan sains bagi upaya

meningkatkan tanggung jawab sosial (Cross & Price, 1992). Berdasarkan

usaha reformasi ini, tujuan pendidikan sains tidaklah hanya untuk

meningkatkan pemahaman terhadap sains itu sendiri, tetapi yang lebih

penting juga adalah bagaimana memahami kehidupan manusia itu

sendiri (AAAS, 1989).

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

380

Page 5: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

Kebijakan politik pendidikan di tanah air kita juga mengalami

pergeseran pola pikir, yaitu dari pemerintahan terpusat (sentralisasi) kepada

pemerintah berdasar pada otonomi daerah. Perubahan politik ini

menyebabkan perubahan kebijakan pendidikan, sehingga daerah memiliki

porsi lebih besar dalam menentukan kebijakan dalam pendidikan. Dalam

pola pikir otonomi daerah ini, daerah dan sekolah diberi kewenangan untuk

menentukan sistem yang akan digunakan dalam melaksanakan proses

pembelajaran ini, menyangkut kurikulum, silabus, pendekatan, metode

pembelajaran, dan strategi pembelajaran (Depdiknas, 2001). Kebijakan

dalam bidang pendidikan ini merupakan peluang bagi daerah untuk

mengembangkan potensinya termasuk potensi budaya dalam kaitannya

dengan pembelajaran sains.

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka

pada makalah ini akan dikaji sains asli pada masyarakat tradisional,

mereformasi kurkulum sains di daerah, dan model pembelajaran sains

bermuatan budaya lokal di sekolah.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif

melalui etnosains, yaitu suatu kajian tentang sistem pengetahuan yang

diorganisasi dari budaya dan kejadian-kejadian yang berhubungan

dengan alam semesta yang terdapat di masyarakat. Penelitian ini

dilakukan dalam latar (setting) masyarakat Penglipuran Bali. Peneliti

terlibat langsung dalam kancah penelitian (kehidupan masyarakat yang

diteliti) untuk melalukan observasi, wawancara mendalam, diskusi,

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

381

Page 6: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

pengukuran langsung, serta mempelajari dokumen-dokumen yang ada.

Peneliti dalam penelitian ini menjadi instrumen utama agar dapat

mengumpulkan data seobjektif mungkin.

Untuk menjamin kriteria kepercayaan terhadap data yang

diperoleh, peneliti melakukan beberapa upaya, antara lain (1)

melakukan penelitian di lapangan dalam waktu yang relatif lama (mulai

bulan Mei 2003 s.d. Obtober 2004) dengan pengamatan intensif, (2)

melakukan triangulasi data dan metode, (3) menyediakan kecukupan

referensi, dan (4) melakukan kajian kasus negatif. Untuk meningkatkan

kadar ketergantungan dan kepastian hasil penelitian dilakukan dengan

upaya review terhadap seluruh jejak aktivitas penelitian dan informant

review.

Proses analisis data penelitian ini dilakukan secara terus

menerus sejak awal sampai akhir penelitian. Data digali secara intensif,

dikategorisasi, disusun dan dilakukan pengetesan hipotesa, selanjutnya

diinterpretasi, dan diskusi dengan pakar yang berkompeten dalam sains

asli (budaya lokal). Analisis data secara deskriptif juga dilakukan untuk

data pengukuran frekuensi nada gamelan dan sistem pengukuran

panjang tradisional (sikut). Setelah dilakukan analisis data, dilanjutkan

kajian untuk merekonstruksi hasil temuan berupa sains asli dalam

rangka mengembangkan pendidikan sains berbasis budaya lokal di

sekolah.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan

3.1 Hasil Penelitian

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

382

Page 7: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

Berdasarkan hasil pengumpulan data di lapangan dan analisis data

penelitian ditemukan ada 12 sains asli (12 topik), 11 di antaranya dapat

dijelaskan sains Barat dan 1 tidak dapat dijelaskan sains Barat. Sains asli

yang dapat dijelaskan sains Barat seperti pada tabel 1. Sains asli yang

belum dapat dijelaskan sains Barat adalah mengenai penentuan orientasi

Utara (kaja) yang didasarkan pada orientasi gunung dan Selatan (kelod)

mengacu pada orientasi laut.

Tabel 1 Topik-topik Sains Asli yang Dapat Dijelaskan sains BaratNo Topik Sains Asli Penjelasan Asli Penjelasan Ilmiah(1) (2) (3) (4)1. Konstruksi bangunan

bertiang kayu dengan canggah wang dan sineb, serta bale-bale pada bangunan tradisional

Lebih tahan terhadap guncangan gempa bumi yang sering terjadi di desa ini

Mudah mencari bahan bangunan

Warisan leluhur

Bahan kayu memiliki elastisitas yang cukup baik sehingga bila dikenai gaya akan dapat bergetar/ berosilasi bukan segera patah

2. Prinsip bah bangun pada konstruksi atap bangunan tradisional

Aliran air cukup lancar Mengharmoniskan

dengan gunung (alam) Warisan dari leluhur

Kepraktisan dalam membuat sudut

3. Penggunaan pasak yang terbuat dari batang bambu dalam membuat sambungan

Saat ada guncangan gempa pasak ini dapat bergerak-gerak

Bahan mudah dicari di lingkungannya dan cukup kuat terhadap udara lembab

Prinsip kerja engsel Tidak terjadi korosi

akibat udara lembab

4. Pemasangan uang kepeng (pis bolong) atau ijuk di antara tiang dan alasnya (sendi)

Antara tiang dan sendi tidak mudah lepas ketika ada guncangan

Sarana upacara untuk keselamatan

Memperkecil koefisien gesekan () antara tiang dan sendi atau meringankan beban

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

383

Page 8: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

deformasi gaya dengan ikut berpindah. Kalau tegar kekuatan bahan dapat terlewati lalu patah.

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

384

Page 9: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

5. Konstruksi tangga (undag) pada setiap pintu gerbang pekarangan rumah (angkul-angkul)

Cukup kuat terhadap guncangan akibat gempa

Air dari jalan tidak dapat masuk pekarangan rumah karena bila masuk dapat menyebabkan cemar (leteh) dan dapat mengakibatkan sakit pada penghuninya

Titik pusat massa bangunan bergeser agak ke bawah sehingga momen gaya menjadi lebih kecil sehingga lebih stabil bila ada guncangan oleh gaya luar karena momen gaya hambat/gaya normal pada bangunan dapat mengimbangi momen gaya oleh gaya gerak dari bumi (gempa).

6. Pemanfaatan umah paon sebagai tempat memasak (tungku api) dan tempat tidur bagi orang yang tertua di pekarangan rumah "tetua" dan bayi baru lahir

Sebagai rasa hormat kepada tetua di pekarangan rumah

Tempatnya cukup hangat untuk orang yang sudah tua

Radiasi panas/kalor dari api dalam tungku lebih intensif pada jarak celah kecil.

7. Pembuatan gamelan tradisional gangsa dan jublag

Makin panjang kolom udara bambu (tabung/ bumbung) maka nada/bunyi gamelan semakin rendah, sebaliknya semakin tnggi

Udara dalam tabung resonator ikut bergetar karena adanya getaran resonansi bilah gamelan yang dipukul.

Makin banyak udara dalam tabung maka frekuensinya makin rendah karena massa udara makin besar, sebaliknya makin tinggi.

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

385

Page 10: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

8. Perilaku orang yang melempar benda-benda tajam dari logam pada saat terjadi petir, seperti sabit, keris, pisau, dan sebagainya

Petuah dari leluhur agar terhindar dari bahaya disambar petir

Akibat polarisasi

oleh medan luar E⃗pada benda logam runcing maka muncul kelebihan muatan +/- pada ujungnya, lalu

timbul E⃗ dengan adanya medan ini elektron dapat tertarik/terlepas. Ketika terjadi petir elektron yang bergerak di angkasa akan terlepas/bergerak mencari ujung runcing.

9. Penancapan bambu yang dibuat runcing seperti keris di atas atap bangunan dan pemasangan murda pada ujung atas atap bangunan

Sebagai pemegang atap agar tidak lepas diterpa angin

Sebagai penangkal petir

Benda/bambu yang runcing pada saat basah akan dapat berfungsi sebagai penghantar listrik (konduktor), meskipun konduktivitasnya relatif kecil. Mekanismenya seperti pada no.8.

10. Pelaksanaan upacara penanaman pedagingan panca dhatu (terdiri logam emas (Au), perak (Ag), tembaga (Cu), besi (Fe), dan timah (Pb) pada bangunan bangunan suci seperti bangunan padmasana, meru, dsb

Sarana upacara agar memiliki kekuatan magis religius

Logam (emas, perak, besi, tembaga, dan timah) adalah bahan konduktor. Ketika bangunan dalam keadaan basah maka logam-logam yang

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

386

Page 11: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

ditanam ini akan berperan sebagai konduktor menuju tanah (ground).

Mekanismenya seperti

pada no.811. Penempatan umah paon

(rumah dapur) di bagian utara menghadap ke selatan/membelakangi Gunung(di Bali Selatan daratan umumnya ditaruh di bagian Selatan menghadap ke Utara sesuai dengan petunjuk lontar Asta Kosala Kosali)

Sebagai tempat yang disucikan selalu berorientasi Gunung

Bila ditaruh menghadap Gunung dapat menimbulkan bencana/sakit pada penghuninya

Pada siang hari udara/gas di permukaan daratan bawah lebih cepat panas daripada di pegunungan karena lebih rapat. Akibatnya udara lebih cepat naik suhunya karena memuai, sehingga tekanan udara di daratan menjadi lebih rendah daripada di pegunungan. Gerak udara sejuk (pegunungan) lebih besar karena massa jenisnya () lebih besar.

3.2 Pembahasan

Hasil analisis terhadap sains asli yang telah ditemukan pada

masyarakat tradisional Penglipuran, terungkap bahwa sains asli ini

terkait dengan kehidupan keseharian masyarakat, seperti berkenaan

dengan pembuatan bangunan-bangunan tempat tinggal, bangunan-

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

387

Page 12: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

bangunan suci (pura), upacara-upacara agama Hindu, kesenian, dan

perilaku hidup untuk mempertahankan diri dari bencana alam (gempa

bumi, hujan, petir dan sebagainya), serta gangguan dari manusia

lainnya. Sains asli ini merupakan bagian dari kehidupan atau budaya

masyarakatnya yang masih tetap dipertahankan dan diyakini

kebenarannya. Tetap dipertahankannya sains asli ini karena mereka

melihat dan mengalami sendiri kebenarannya berdasarkan pengalaman

hidup (eksperimen alamiah) selama bertahun-tahun dari satu generasi ke

generasi berikutnya melalui proses adaptasi dengan lingkungan alam

maupun budaya di mana mereka berada. Berbeda halnya dengan sains

Barat, sains asli masih dalam bentuk pengetahuan pengalaman konkret

(concrete experience knowledge), sedangkan sains Barat sudah berupa

konsep, prinsip, teori, ataupun hukum-hukum yang reprodusibel (teruji

secara eksperimen di laboratorium) dan telah diakui oleh komunitas

ilmiah. Pengetahuan sains asli ini ditransformasikan melalui tradisi oral

dari “penglingsir” (orang tua) mereka kepada generasi berikutnya dan

pengalaman konkret dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam

proses perjalanannya waktu, tidak tertutup kemungkinan masuknya

budaya-budaya baru sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi,

namun pemikiran (keyakinan) yang diwariskan dari generasi sebelumnya

masih tetap dipertahankan.

Temuan ini dapat dijadikan sebagai landasan dalam mereformasi

kurikulum sains di daerah. Kegiatan yang perlu dilakukan dalam

mereformasi kurikulum sains di daerah adalah pembentukan tim

pengembang kurikulum. Anggota tim pengembang sebaiknya melibatkan :

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

388

Page 13: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

(1) ahli kurikulum dari Kantor Dinas Pendidikan Nasional setempat, (2)

ahli materi pelajaran dari guru-guru inti atau instruktur dan dari perguruan

tinggi, (3) guru-guru sains yang mewakili daerahnya, dan (4) tokoh-tokoh

masyarakat yang berkompeten dalam bidang pendidikan dan sains asli.

Keterlibatan guru-guru sains dalam tim sangat dibutuhkan karena gurulah

yang akan melaksanakan kurikulum pada tingkat operasional di kelas. Guru

yang lebih tahu kondisi di lapangan, mana yang dapat diterapkan dan mana

yang tidak dapat diterapkan. Begitu juga guru lebih tahu tentang kondisi

siswa, fasilitas, dan lingkungan sekolahnya. Keberadaan guru-guru sains

dalam tim pengembang akan menjadikan silabus dan bahan ajar yang

disusun menjadi mudah dipahami dan diimplementasikan oleh guru. Hal

tersebut sejalan dengan pendapatnya Sukmadinata (1997:160-161) tentang

model pengembangan kurikulum “grass root model” di mana guru adalah

“agen kunci” dalam keberhasilan pengembangan kurikulum. Demikian

juga, keberadaan tokoh-tokoh masyarakat seperti, undagi (perancang)

bangunan tradisional, pande gamelan tradisional, ahli wariga, dan tokoh-

tokoh masyarakat lainnya yang berkompeten di bidangnya juga sangat vital

keberadaannya di dalam tim rekayasa kurikulum. Melalui mereka, akan

dapat diperoleh pengetahuan-pengetahuan tradisional (sains asli) dan

keyakinan-keyakinan yang berkembang di masyarakat. Diharapkan sinergi

para anggota tim akan mampu menghasilkan silabus dan bahan ajar yang

bermutu dan peduli budaya setempat, yang pada akhirnya dapat membantu

siswa dalam mempelajari sains tanpa harus meninggalkan akar budayanya.

Saat ini perhatian para ahli pendidikan sains tidak lagi

memperdebatkan hubungan antara budaya dan pendidikan sains,

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

389

Page 14: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

melainkan lebih memberi perhatian pada siswa yang hidup dalam

komunitas tradisional, yaitu mereka yang masih percaya dan

menggunakan sains asli dalam kehidupannya sehari-hari (George,

2001:1). Hal ini dilandasi pada pemikiran sains untuk semua (science for

all), dikarenakan sains itu bukan untuk sekelompok siswa tertentu,

melainkan untuk semuanya atau sains untuk kehidupan sehari-hari. Pada

umumnya, siswa dalam setting tradisional (seperti halnya di desa

Penglipuran), memiliki sistem pengetahuan budaya (sains asli) yang

masih diyakini dan tetap dipertahankan. Pengetahuan budaya tersebut

dapat berupa ide-ide atau gagasan-gagasan, keterampilan-keterampilan

(skill), dan keyakinan (belief) yang diperolehnya dari pengalaman

mereka berinteraksi dengan lingkungan sosial budaya di mana mereka

berada.

Adanya perbedaan penjelasan dan cara pemerolehan antara sains

asli sebagai budaya lokal masyarakat Timur dengan sains Barat sebagai

budaya masyarakat Eropa-Amerika akan menimbulkan kesulitan

khususnya pada siswa dalam setting masyarakat tradisional (budaya

Timur) di sekolah. Pendapat ini sesuai dengan pendapatnya George

(2001), Hawkin & Pea (1997), dan Hawkin (1997), pada umumnya

siswa dalam setting budaya Timur akan mengalami kesulitan yang lebih

besar dibandingkan dengan siswa dari budaya Barat dalam belajar sains di

sekolah. Oleh karena itu, perlu adanya jembatan (bridging the gap) untuk

menyinergikan kedua budaya tersebut. Jegede (George, 2001: 3)

menyarankan menggunakan kontinum (continuum) teori belajar kolateral

(collateral learning theory), yaitu belajar kolateral yang menguatkan

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

390

Page 15: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

(secured collateral learning) untuk yang sesuai atau cocok dengan sains

Barat dan teori belajar kolateral parallel (parallel collateral learning)

untuk yang belum dapat dijelaskan sains Barat. Dengan teori belajar

kolateral yang menguatkan, siswa akan lebih mudah mengubah struktur

kognitifnya, serta akan dapat menemukan alasan-alasan yang lebih

lengkap masing-masing skematanya. Pemahaman siswa terhadap suatu

konsep atau prinsip sains di sekolah akan menjadi lebih baik, serta

cara berpikir siswa tentang kesehariannya akan menjadi lebih baik

pula.

Untuk mengimplementasikan pembelajaran sains berbasis budaya di

sekolah, yang harus dilakukan guru seperti berikut.

(1) Guru perlu mengidentifikasi pengetahuan awal siswa tentang sains asli

Identifikasi pengetahuan awal siswa tentang sains asli bertujuan

untuk menggali pikiran-pikiran siswa dalam rangka mengakomodasi

konsep-konsep, prinsip-prinsip atau keyakinan yang dimiliki siswa yang

berakar pada budaya masyarakat di mana mereka berada. Hal ini penting

dilakukan mengingat bahwa setiap anak akan memiliki pandangan-

padangan atau konsepsi-konsepsi yang berbeda terhadap suatu objek,

kejadian atau fenomena. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Ausubel

(dalam Dahar,1989) yang mengatakan bahwa satu hal yang penting

dilakukan guru sebelum pembelajaran dilakukan adalah mengetahui apa

yang telah diketahui siswa.

(2) Pembelajaran dalam kelompok

Masyarakat tradisional cenderung melakukan kegiatan secara

berkelompok yang terbentuk secara sukarela dan informal, seperti halnya

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

391

Page 16: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

seka tari baris, tabuh gong, dan sebagainya. Pembelajaran dalam bentuk

kelompok merupakan pengembalian ke ciri pembelajaran mereka.

Supriyono (2000:269) berpendapat bahwa belajar dalam bentuk kelompok

merupakan satuan pendidikan yang bersifat indigenous (asli), yang timbul

sebagai kesepakatan bersama para warga belajar untuk saling

membelajarkan secara sendiri maupun dengan mengundang narasumber

dari luar kelompok mereka.

(3) Guru berperan sebagai penegosiasi yang cerdas dan arif

Pada proses pembelajaran sains, guru memegang peranan sentral

sebagai “penegosiasi” sains Barat (budaya Barat) dan sains asli sebagai

budaya lokal dengan siswa-siswanya. Guru membuat keputusan-keputusan

pedagogi berlandaskan pengetahuan praktis karena guru harus mampu

mengintegrasikan secara holistik prinsip-prinsip yang sarat dengan budaya,

nilai-nilai, dan pandangan tentang alam semesta (worldview). Guru sains

dalam proses negosiasi harus “cerdas” dan “arif”. Snively & Corsiglia

(2001) dan George (2001) mengidentifikasi peran guru sebagai negosiator

budaya, yaitu (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk

mengekspresikan pikiran-pikirannya, untuk mengakomodasi konsep-konsep

atau keyakinan yang dimiliki siswa yang berakar pada sains asli (budaya),

(2) menyajikan kepada siswa contoh-contoh keganjilan (discrepant events)

yang sebenarnya hal biasa menurut konsep-konsep sains Barat, (3)

berperan untuk mengidentifikasi batas budaya yang akan dilewatkan serta

menuntun siswa melintasi batas budaya, sehingga membuat masuk akal bila

terjadi konflik budaya yang muncul, (4) mendorong siswa untuk aktif

bertanya, dan (5) memotivasi siswa agar menyadari akan pengaruh positif

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

392

Page 17: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

dan negatif sains Barat dan teknologi bagi kehidupan dalam dunianya

(bukan pada kontribusi sains Barat dan teknologi untuk menjadikan mono-

kultural dari elit yang memiliki hak istimewa).

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

393

Page 18: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

4. Penutup

Berdasarkan uraan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan

berikut ini. Pertama, sains asli yang dimiliki masyarakat Tradisional

masih dalam bentuk pengetahuan pengalaman konkret (concrete

experience) yang diperoleh melalui (1) interaksi masyarakat dengan

lingkungan alam dan budaya setempat, dan (2) pendidikan tradisi yang

diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kedua,, sains asli

yang berkembang pada masyarakat tradisional dikategorikan menjadi dua

bagian, yaitu (1) sains asli yang dapat dijelaskan konsep sains Barat

(kategori I), dan (2) sains asli yang tidak terkait dengan konsep sains Barat

(kategori II).

Ada empat implikasi dari temuan penelitian ini seperti berikut ini.

Pertama, kurikulum sains hendaknya memperhatikan atau peduli terhadap

sistem sosial budaya masyarakat tradisional. Pengetahuan (keyakinan) dan

pengalaman hidup masyarakat tradisional merupakan aset potensial

sebagai sumber belajar dalam pengembangan kurikulum, termasuk

pengembangan kurikulum sains. Pada konteks masyarakat tradisional,

eksplorasi sains asli (budaya lokal) siswa perlu dilakukan sebelum

pembelajaran sains di sekolah dilakukan. Dengan demkian, pelajaran sains

di sekolah tidak lagi menjadi milik segelintir siswa (elit tertentu) dan hanya

dihafalkan hanya untuk ujian, melainkan menjadi science for all, science

for daily living, dan learning the past and anticipating the future. Kedua,

pembelajaran sains di sekolah dapat dipandang sebagai proses transmisi

budaya (cultural transmission). Ketiga, dalam implementasi proses

pembelajaran sains dengan mengintegrasikan sains asli perlu adanya

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

394

Page 19: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

bridging the gap dengan menerapkan teori belajar kolateral (collateral

learning theory). Secured collateral learning dapat digunakan untuk sains

asli yang terkait dengan konsep ilmiah, parallel collateral learning dapat

digunakan untuk sains asli yang tidak terkait dengan konsep ilmiah.

Sehubungan dengan hasil analisis data dan hasil kajian teoretik sains

asli dalam kaitannya dengan pendidikan sains di sekolah, direkomendasikan

hal sebagai berikut. Pertama, pemerintah daerah melalui Dinas

Pendidikan Nasional perlu segera membentuk satuan tugas Tim Rekayasa

Kurikulum Sains. Untuk mencapai hasil kerja yang maksimal, anggota tim

hendaknya, meliputi (1) ahli kurikulum dari Dinas Pendidikan setempat,

(2) ahli materi pelajaran sains dari perguruan tinggi, (3) guru-guru

inti/instruktur sains, (4) guru-guru sains yang mewakili masing-masing

daerah, dan (5) tokoh-tokoh masyarakat yang berkompeten dalam bidang

pendidikan dan sains asli (budaya lokal). Kedua, peran guru sains agar

cerdas dan arif dengan tugas-tugas, seperti (1) memberi kesempatan

kepada siswa untuk mengekspresikan pikiran-pikirannya, untuk

mengakomodasi konsep-konsep atau keyakinan yang dimiliki siswa yang

berakar pada sains asli (budaya), (2) menyajikan kepada siswa contoh-

contoh keganjilan dari suatu fenomena (discrepant events) yang

sebenarnya hal biasa menurut konsep-konsep sains Barat, (3) berperan

untuk mengidentifikasi batas kedua budaya, serta menuntun siswa melintasi

batas budaya tersebut sehingga membuat masuk akal bila terjadi konflik

budaya yang muncul, (4) mendorong siswa untuk aktif bertanya, dan (5)

memotivasi siswa agar menyadari akan pengaruh positif dan negatif sains

Barat dan teknologi bagi kehidupan dalam dunianya. Ketiga, Universitas

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

395

Page 20: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

atau IKIP yang bertugas sebagai “pencetak” tenaga guru khususnya untuk

guru sains disarankan agar dalam kurikulumnya mempunyai mata kuliah

yang khusus mengkaji pengintegrasian sains asli ke dalam pembelajaran

sains di sekolah dasar (SD) sampai ke sekolah menengah atas (SMA).

Keempat, perlu dilakukan sosialisasi kepada guru-guru sains berkenaan

dengan pentingnya mengakomodasi sains asli sebagai “muatan lokal”

kurikulum sains. Sosialisasi dapat dilakukan melalui berbagai

kegiatan, seperti seminar, pelatihan, penelitian tindakan kelas (PTK),

atau kegiatan pertemuan-pertemuan dengan musyawarah guru mata

pelajaran (MGMP).

DAFTAR PUSTAKA

AAAS. (1989). Science for All Americans. Washington D.C.: American Assosiation for the Advancement of Science.

Adimassana,Y.B.(2000). Revitalisasi Pendidikan Nilai di dalam Sektor Pendidikan Formal. Atmadi & Setiyaningsih (eds). Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Cross,R.T & R.F. Price (1992). Teaching Science for Social Responsibility. Sydney: St.Louis Press.

Dahar,R.W. (1989). Teori-teori Belajar. Bandung: Penerbit Erlangga.

Depdikbud.(1999). Hasil Evaluasi Kurikulum 1994 SLTP. Jakarta: Pusbang

Kurandik.

Depdiknas. (2001). Kuirkulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Sains.

Jakarta: Puskur Balitbang.

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

396

Page 21: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

Geertz.C. (1973). The Interpretation of Culture. New York: Basic Books.

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

397

Page 22: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

George.J. (2001). Culture and Science Education: Developing World.

http://www.id21.org/education/e3jg1g2.html.

Hawkins,D. (1997). Critical Bariers to Science Education. http://www.exploratorium.edu. 3601 Lyon St.San Fransisco,CA

Hawkins,J.& Pea,R.D. (1987). Tools for Bridging the Culture of Everyday and Scientific Thinking. Journal of Research in Science Teaching. 24(4). 291-307.

Ogawa,M. (1995). Science Education in MultiScience Perspective. Science

Education. 79, 583-593.

Sadia,W. et al. (1999). Pengembangan Buku Ajar IPA Pendidikan dasar

Berwawasan STM. Laporan Penelitian HB Dirjen Dikti.

Snively,G & J. Corsiglia. (2001). Discovering Indigenous Science: Implications for Science Education. Science Education. Vol 85 (1). Pp.7-34.

Snively,G. (2002). Pre-Service Teacher Explore Traditional Ecological

Knowledge in a Science Methods Class. http://www.ed.psu.edu/CI/journal/96pap47.htm.

Suastra,W. (2003). Implementasi Pembelajaran Sains Berbasis Inkuiri di SLTP. Laporan Penelitian Research Grand IKIP Negeri Singaraja. Tidak Dipublikasikan.

Sukmadinata,N.S. (1997). Pengembangan Kurikulum. Bandung: Penerit Pt Rosda Karya.

Supriyono (2000). Pemberdayaan Warga Belajar pada Kelompok Belajar (Studi Pengembangan Model Pengelolaan Program Pembelajaran Paket B Kesetaraan Melalui Kelompok Belajar. Disertasi Doktor pada PPSUPI Bandung. Tidak Dipublikasikan.

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

398

Page 23: Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan

ISSN 0215 - 8250

TIMSS-R. (1999). The Third International Mathematics and Science Study Repeat. USA: International Study Center Lynch School of Education, Boston Collage.

Zamroni (2001). School and University Colaboration for Improving Science and Mathematics Instruction in School. Paper Presented in National Seminar on Science and Mathematics Education. Bandung, August, 21,2001.

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005

399