reformasi praperadilan indonesia

115
Reformasi Praperadilan di Indonesia (Tinjauan Teori, Praktek, dan Perkembangan Pemikiran)

Upload: others

Post on 25-Nov-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Reformasi Praperadilan Indonesia

Reformasi Praperadilan di Indonesia(Tinjauan Teori, Praktek, dan Perkembangan Pemikiran)

Page 2: Reformasi Praperadilan Indonesia
Page 3: Reformasi Praperadilan Indonesia

Reformasi Praperadilan di Indonesia(Tinjauan Teori, Praktek, dan Perkembangan Pemikiran)

DR. Anang Shophan Tornado, S.H., M.H., M.Kn.

Page 4: Reformasi Praperadilan Indonesia

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Reformasi Praperadilan Di Indonesia (Tinjauan Teori, Praktek, Dan Perkembangan Pemikiran)

©DR. Anang Shophan Tornado, S.H., M.H., M.Kn.Editor: Masrudi Muchtar, S.H.,M.H.

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. All Rights Reserved

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi

buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

—Bandung: 2019xii+490 hal.; 155 x 230mm

ISBN: 978-602-6913-67-8

Cetakan I: Februari 2019

Diterbitkan oleh

Penerbit Nusa Media

PO Box 137 Ujungberung, Bandung

Disain cover: MF Mahardika

Tata Letak: Nusamed Studio

Page 5: Reformasi Praperadilan Indonesia

KATA PENGANTAR EDITOR

Praperadilan merupakan lembaga yang lahir untuk mengadakan

tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar dalam

melaksanakan kewenangannya tidak menyalahgunakan wewenang,

oleh sebab itu dalam pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kegiatan Penyidik yang

implementasinya dapat berupa, misalnya penangkapan bahkan

penahanan, maka hukum acara pidana melalui ketentuan-ketentuan

yang sifatnya memaksa menyingkirkan asas yang diakui secara

universal yaitu hak kebebasan seseorang. Hukum acara pidana

memberikan hak kepada pejabat tertentu untuk menahan tersangka

atau terdakwa dalam rangka melaksanakan hukum pidana materiil

guna mencapai ketertiban dalam masyarakat.

Lahirnya Praperadilan ini disebabkan karena dalam menjalankan

kewenangannya, aparat penegak hukum tidak terlepas dari

kemungkinan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan

ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Adakalanya

aparat penegak hukum melakukan hal-hal yang menurut mereka

benar dan salah dimata hukum, semata-mata untuk mendapatkan

pengakuan dari tersangka. Sedangkan dalam pasal 34 UndangUndang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa,

“setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan,

diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang.”

Terbentuknya lembaga praperadilan menurut Pedoman

Pelaksanaan KUHAP disebutkan: mengingat demi kepentingan

Page 6: Reformasi Praperadilan Indonesia

pemeriksaan perkara diperlukan adanya pengurangan-pengurangan

dari hak-hak asasi tersangka, namun bagaimanapun hendaknya

selalu berdasar ketentuan yang diatur dalam undang-undang, maka

untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hak-hak

asasi, tersangka/terdakwa diadakan suatu lembaga praperadilan.

Praperadilan secara tidak langsung melakukan pengawasan atas

kegiatan yang dilakukan penyidik dalam rangka penyidikan maupun

penuntutan, mengingat tindakan penyidik pada dasarnya melekat pada

instansi yang bersangkutan. Sudah saatnya dibangun budaya saling

kontrol di dalam era supremasi hukum, antara semua komponen

penegak hukum agar kepastian hukum benar-benar dapat diberikan

bagi mereka para pencari keadilan.

Buku “Reformasi Praperadilan Di Indonesia (Tinjauan Teori,

Praktek, Dan Perkembangan Pemikiran)” yang ditulis oleh DR.

ANANG SHOPHAN TORNADO, S.H.,M.H.,M.Kn ditulis dalam 4

(empat) Bab. Bab Pertama berbicara mengenai Praperadilan dalam

Sistem Peradilan Pidana. Pada bab ini diuraikan tentang Pendekatan

Sistem Dalam Mekanisme Peradilan Pidana, Istilah Dan Pengertian

Sistem Peradilan Pidana, Model Sistem Peradilan Pidana, Komponen

Sistem Peradilan Pidana, Pengertian Sistem Peradilan Pidana

Indonesia, Komponen Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Mekanisme

Pemeriksaan Perkara Pidana Di Indonesia, dan Praperadilan Dalam

Dimensi Peradilan Pidana Indonesia.

Bab Kedua berbicara mengenai Praperadilan di Indonesia. Pada bab

ini penulis menerangkan soal Wewenang Praperadilan Menurut KUHAP,

Pihak-Pihak dalam Perkara Praperadilan, Obyek Pemeriksaan Sidang

Praperadilan, Hukum Acara Praperadilan, dann Gugurnya Praperadilan

dan Penghentian Praperadilan. Pada bab ketiga penulis menguraikan

tentang Upaya Hukum Dan Pelaksanaan Putusan Praperadilan.

Bab Keempat merupakan bab terakhir dimana penulis berbicara

tentang Reformasi Praperadilan. Bab ini terdiri dari 3 (tiga) sub

Page 7: Reformasi Praperadilan Indonesia

bab yakni Kelemahan Praperadilan KUHAP, Praperadilan Setelah

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUUXII/2014, dan Reformasi

Lembaga Praperadilan Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia di Masa

Mendatang. Pada bab ini penulis menuangkan ide dan konstruksi

gagasan yang progressif dalam rangka reformasi Lembaga praperadilan

dimasa mendatang. Penulis menerangkan bahwa pembaharuan

hukum merupakan salah satu jalan untuk melengkapi kekurangan-

kekurangan undang-undang yang telah ada. Namun walaupun

demikian pembaharuan hukum dari segi substansi maupun struktur

dengan jalan mengganti yang telah ada bukan merupakan jalan terbaik,

yang lebih penting adalah pembaharuan dari segi budaya hukum,

etika moral hukum dan ilmu pendidikan hukum. Pembaharuan ini

berlaku juga terhadap lembaga praperadilan yang diharapkan untuk

masa mendatang.

Buku ini sangat bermanfaat untuk dibaca tidak saja bagi kalangan

mahasiswa, akademisi, penegak hukum namun juga para praktisi

hukum yang ingin memahami Praperadilan dalam sistem peradilan

pidana di Indonesia. Sebuah buku yang penting untuk dibaca dan

dijadikan referensi untuk membangun sistem dan mekanisme hukum

acara praperadilan di Indonesia yang lebih baik. Selamat membaca

semoga bermanfaat.

Banjarbaru, 10 Februari 2019

Masrudi Muchtar, S.H.,M.H.

(Pengamat Hukum Pidana Fakultas

Hukum Universitas Achmad Yani)

Page 8: Reformasi Praperadilan Indonesia
Page 9: Reformasi Praperadilan Indonesia

KATA PENGANTAR

Sistem hukum acara pidana di Indonesia, pada dasarnya telah

mengakui mekanisme komplain terhadap upaya paksa dari aparat

penegak hukum, khususnya terkait dengan penangkapan dan

penahanan, yang terwujud melalui lembaga praperadilan. Upaya

ini dihadirkan dengan maksud sebagai ruang komplain terhadap

perampasan kebebasan sipil seseorang, yang mungkin dilakukan

secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum.

Praperadilan merupakan suatau terobosan baru dalam sistem

peradilan pidana Indonesia. MK menjelaskan, Herziene Inlandsche

Reglement (H.I.R) yang menganut sistem inquisitoir, tidak mengenal

adanya lembaga ini.

Dalam sistem inquisitoir, tersangka atau terdakwa ditempatkan

dalam pemeriksaan sebagai objek yang mungkin mengalami perlakuan

sewenang-wenang penyidik terhadap tersangka. Sehingga, sejak

pemeriksaan pertama di hadapan penyidik, tersangka sudah dianggap

bersalah. Sedangkan KUHAP telah menempatkan tersangka/terdakwa

tidak lagi sebagai objek pemeriksaan, namun sebagai subjek manusia

yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di

hadapan hukum.

Praperadilan dimaksudkan sebagai mekanisme kontrol terhadap

kemungkinan tindakan sewenangwenang penyidik atau penuntut

umum dalam melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan,

penyidikan, penuntutan, penghentian penyidikan dan penghentian

penuntutan, baik yang disertai dengan permintaan ganti kerugian dan/

Page 10: Reformasi Praperadilan Indonesia

atau rehabilitasi atau pun tidak. Lebih jauh, praperadilan bertujuan

menegakkan dan memberikan perlindungan hak asasi manusia

(HAM) tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan

penuntutan. Mekanisme ini dipandang sebagai bentuk pengawasan

secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam

pemeriksaan pendahuluan.

Penulis meyakini, bahwa tak ada hal yang sempurna di dunia

ini, oleh karena itu buku “ Reformasi Peradilan ; Tinjauan Teori,

Praktek, dan Perkembangan Pemikiran” ini juga tidak sempurna. Oleh

karena itu, penulis berharap anda semua dapat memberikan kritik,

saran, masukan atau apapun untuk dapat dijadikan bahan evaluasi

bagi penulis agar dapat terus mengembangkan diri dan melakukan

penyempurnaan – penyempurnaan terhadap substansi buku ini.

Banjarmasin, 7 Februari 2019

DR. Anang Shophan Tornado, S.H., M.H., M.Kn

Page 11: Reformasi Praperadilan Indonesia

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR EDITOR ...................................................................................vKATA PENGANTAR .................................................................................................. ixDAFTAR ISI xi

BAB I Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia ................. 1A. Pendekatan Sistem Dalam Mekanisme

Peradilan Pidana ............................................. 1B. Istilah Dan Pengertian Sistem Peradilan

Pidana ........................................................... 10C. Model Sistem Peradilan Pidana ..................... 15D. Komponen Sistem Peradilan Pidana ............... 23E. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Indonesia 28F. Komponen Sistem Peradilan Pidana Indonesia 32G. Mekanisme Pemeriksaan Perkara Pidana Di

Indonesia ...................................................... 37H. Praperadilan Dalam Dimensi Peradilan Pidana

Indonesia ...................................................... 50

BAB II Praperadilan di Indonesia ...................................................................57A. Wewenang Praperadilan Menurut KUHAP ...... 57B. Pihak-Pihak dalam Perkara Praperadilan ........ 62C. Obyek Pemeriksaan Sidang Praperadilan ....... 64D. Hukum Acara Praperadilan ............................ 72E. Gugurnya Praperadilan dan Penghentian

Praperadilan .................................................. 75

BAB III Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Praperadilan .................77A. Upaya Hukum Terhadap Putusan Praperadilan 77B. Pelaksanaan Putusan Praperadilan ................. 80

Page 12: Reformasi Praperadilan Indonesia

BAB IV Reformasi Praperadilan .......................................................................83A. Kelemahan Praperadilan KUHAP .................... 83B. Praperadilan Setelah Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 21/PUUXII/2014................. 93C. Reformasi Lembaga Praperadilan Dalam

Persfektif Hak Asasi Manusia di Masa Mendatang .................................................... 94

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................101DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...................................................................................103

Page 13: Reformasi Praperadilan Indonesia

BAB I

PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

A. PENDEKATAN SISTEM DALAM MEKANISME PERADILAN PIDANA

Mekanisme penyelenggaraan peradilan pidana merupakan

rangkaian proses bekerjanya aparat penegak hukum mulai

proses penyelidikan dan penyidikan, penangkapan, penahanan,

penuntutan, sampai pemeriksaan di sidang pengadilan. Dengan

kata lain Mekanisme penyelenggaraan peradilan pidana

merupakan mekanisme bekerjanya hukum acara pidana untuk

mewujudkan tujuan dari peradilan pidana.

Mardjono mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana

(criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat

untuk menaggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan

sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas

toleransi masyarakat. 1

Remington dan Ohlin dengan tegas mengemukakan bahwa

sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dapat diartikan

sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme

administrasi peradilan pidana, dan peradilan sebagai suatu system

merupakan hasil interaksi antara aturan perundang-undangan,

praktek administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian

1 Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan Pidana (Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia), (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro: 2011), Hlm. 14.

Page 14: Reformasi Praperadilan Indonesia

system itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi

yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efi sien untuk

memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.2

Dengan hal ini, Mekanisme penyelenggaraan peradilan pidana

di pandang sebagai suatu sistem. Penyelenggaraan peradilan

pidana sebagai suatu sistem, tentu tidak lepas dari teori sistem

hukum (three elements of legal system) yang dikemukakan oleh

Lawrence M. Friedman. Dalam teorinya Lawrence M. Friedman

menyebutkan bahwa dalam sistem hukum terdapat tiga hal yang

saling melengkapi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya

(komulatif), yaitu komponen struktur, substansi, dan kultur. Dari

dua bukunya dapat dijelaskan berikut ini.

The structure of a system is its skeletal framework; it is the permanent shape, the institutional body of the sistem, the though, rigid bones that keep the process fl owing within bounds. We describe the structure of a judicial sistem when we talk about the number of judges, the jurisdiction the court, how heigher courts are stacked on top of lower courts, what persons are att ached to various courts and what their roles consist of3. (struktur sebagai sebuah sistem adalah bentuk yang permanen, sistem kelembagaan, meskipun kaku dalam proses yang terbatas. Kita menguraikan suatu sistem struktur tentang pengadilan ketika kita memperbicangkan tentang banyaknya hakim, yurisdiksi pengadilan, pengadilan tinggi adalah lembaga di atas pengadilan rendah, orang-orang yang terikat dengan berbagai pengadilan dan apa peran mereka).

Dengan kata lain, Friedman menggambarkan komponen

struktural hukum sebagai perangkat keras yang memungkinkan

sistem hukum dapat bekerja secara nyata dalam masyarakat.

Pengembangan berbagai institusi hukum seperti Kepolisian, 2 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perpesktif Eksistensialisme Dan

Abolisionisme, (Penerbit Putra A. Bardin, 1996). Hlm. 14.3 Lawrence M. Friedman, Legal System: A Social Science Perspective, (New

York: Russel Sage Foundation, 1975), Hlm. 14.

Page 15: Reformasi Praperadilan Indonesia

Kejaksaan, Pengadilan dan intitusi hukum lainnya harus dapat

menjamin tegaknya hukum demi keadilan. Diantara institusi

seperti yang disebutkan diatas, pengadilan mempunyai peran

yang sangat krusial. Faktor lain yang sangat menentukan adalah

sumber daya manusia yang mengisi berbagai institusi hukum

di atas tanpa sumber daya manusia berkualitas, niscaya hukum

hanya berada diatas kertas. Hendaknya perlu dikembangkan

sumber daya manusia yang unggul, profesional, dan mempunyai

integritas tinggi guna menjadi pengawal hukum4.

The substance is composed of substantive rules and how institutions should behave. HLA. Hart, indeed, feels that the distinctive feature of a legal system its double set of rules. A legal system is the union of primary rules and secondary rules. Primery rules are norms of behavior; secondary rules are norms about those norms—how to decide wheter they are valid, how to enforce them, etc. Both primary and secondary rules, of course are output of a legal system. They are ways of describing the behavior of the legal system seen in cross section. Litigants behave on the basis of substance; its creates expectations to which they reach5. (Subtansi adalah terdiri atas aturan dan bagaimana institusi bertindak. HLA. Hart, tentu saja, membedakan suatu sistem hukum adalah dua aturan. Suatu sistem hukum adalah kesatuan antara aturan utama dan aturan sekunder. Aturan utama adalah norma-norma perilaku; aturan sekunder adalah norma-norma tentang bagaimana norma-norma itu untuk memutuskan sesuatu yang valid, bagaimana untuk menegakkan mereka, dan lain lain. keduanya aturan sekunder dan utama, tentu saja adalah keluaran suatu sistem hukum. Mereka adalah jalan yang menggambarkan perilaku sistem melihat di bagian persimpangan. Para pencari keadilan bertindak atas subtansi; menciptakan harapan kepada siapapun yang dapat mereka jangkau).

4 Abdurrahman sebagaimana dikutip oleh Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif, (Yogyakarta: AnthonyLib, 2009). Hlm. 95-6.

5 Lawrence M. Friedman, Loc.Cit.

Page 16: Reformasi Praperadilan Indonesia

Yang dimaksudkan Friedman diatas adalah segala produk

hukum yang dikeluarkan oleh masyarakat, baik yang sifatnya

tertulis maupun tidak tertulis, yang fungsinya sebagai norma

hukum dalam masyarakat6.

Structure and substance are real components of a legal sistem, but they are at best blueprint of a design, not a working machine. The trouble with traditional structure and substance was that they were static; they were like a still photograph of the legal sistem---a lifeless image and distorted at that. The picture lacked both motion and truth. The legal sistem, described solely interms of formal structure and substance, is like an enhanced courtroom, petrifi ed, immobile, under some odd, eternal spell7. (Struktur dan substansi adalah komponen yang riil dalam suatu sistem hukum, tetapi mereka adalah cetakbiru yang terbaik dari suatu desain, bukan bekerjanya sebuah mesin. Gangguan dengan unsur dan struktur tradisional yang statis; mereka masih seperti suatu deskripsi system hukum yang berlaku, gambaran tak bernyawa dan menyimpang. Kekurangan deskripsi keduanya semangat dan kebenaran. Sistem hukum, diuraikan semata-mata di dalam struktur dan substansi, seperti suatu peningkatan ruang pengadilan, membantu, yang tak bergerak, di bawah beberapa mantera yang abadi).What gives life and reality to the legal sistem is the outside, social world. The legal sistem is not insulated or isolated; it depends absolutely on inputs from outside. Without litigants, there would be no courts. Without issues and the will to pursue them, there would be no litigants. These social elements infreeze the fi lem and star the sistem in motion8. (Apa yang memberi hidup dan kenyataan di sistem hukum adalah yang di luar, dunia sosial. Sistem hukum tidaklah dibatasi atau terisolasi; tergantung pada masukan dari luar. Tanpa para pencari keadilan, maka tidak ada pengadilan. Tanpa isu dan kehendak

6 Ibid, Hlm. 97. 7 Lawrence M. Friedman, Ibid., Hlm. 15. 8 Ibid.

Page 17: Reformasi Praperadilan Indonesia

untuk mengejarnya, tidak ada para pencari keadilan. Unsur-unsur sosial ini membekukan deskripsi penggambaran dan menggerakkan sistem). Social forces are constantly at work on the law—destroying here, renewing there; invigorating here, deadening there; choosing what parts of law will operate, which parts will not; what substitutes, detours, and bypasses will spring up; what changes will take place openly or secretly. For want of a bett er term, we can call some of these forces the legal culture. It is the elment of social att itude an value9. (Kekuatan sosial secara konstan pada kerja hukum pengrusakan di sini, pembaharuan di sana; menyegarkan di sini, mematikan di sana; memilih apa bagian-bagian dari hukum yang akan beroperasi, bagian yang mana tidak akan diganti akan diganti; perubahan apa yang akan berlangsung secara terbuka atau dengan diam-diam. Karena kekurangan suatu istilah lebih baik, kita dapat sebut sebagai kultur hukum. Itu adalah element dari sikap sosial suatu nilai).The phrases social forces is it self an abstraction; in any event, such forces do not work directly on the legal sistem. People in society have needs and make demands; these sometimes do and sometimes do not invoke legal process---depending on the culture. Legal culture refers, then, to those parts of general culture---customs, opinions, ways of doing and thinking---that bend social forces toward or away from the law an in particular ways10. (Ungkapan kekuatan sosial apakah sesuatu yang abstrak; biar bagaimanapun juga kekuatan tidak bekerja secara langsung pada sistem hukum. Orang-orang di masyarakat mempunyai kebutuhan dan permintaan buatan; ini kadang-kadang dilakukan dan kadang-kadang tidak---tergantung kultur. Kultur hukum menunjuk, kemudian, kepada bagian-bagian dari budaya umum---kebiasan-kebiasaan, pendapat, arah untuk melakukan dan berfi kir---yang penegakan kekuatan sosial atau menjauh dari hukum dalam arah-arah yang tertentu).

9 Ibid. 10 Ibid.

Page 18: Reformasi Praperadilan Indonesia

Friedman menyebutkan budaya hukum sebagai bensinnya

motor keadilan. Lebih lanjut bahwa budaya hukum adalah

keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum

memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik

masyarakat umum11.

Teori sistem hukum (Three Elements Of Legal System) Lawrence

M. Friedman pada awalnya merupakan konsep teori dan dalam

perkembangannya menjadi sebuah tolak ukur atas efektifi tas

pemberlakuan hukum di masyarakat.

Pada akhirnya Teori sistem hukum (Three Elements Of Legal

System) Lawrence M. Friedman tersebut oleh para ahli hukum

di Indonesia mengalami perkembangan pesat, berikut adalah

beberapa teori hukum sebagai sebuah sistem versi ahli hukum

di Indonesia;

a. Satjipto Rahardjo

Satjipto Rahardjo selain mengutik ketiga teori sistem

hukumnya Lawrence M. Friedman diatas juga menjelaskan

bahwa hukum sebagai institusi sosial ternyata melibatkan

pula peranan dari orang-orang yang tersangkut di dalamnya,

khususnya rakyat biasa yang terdiri atas individu yang

dipengaruhi oleh faktor pembawanya juga, yaitu kepentingan,

ide, sikap, keyakinan, harapan dan pendapat mengenai hukum12

b. Soerjono Soekanto

Soerjono Soekanto menjelaskan tentang bagaimana

efektifi tas penegakan hukum yang terbagi dalam 5 faktor yang

berkaitan erat satu sama lainnya, yaitu: faktor hukumnya

dalam hal ini adalah:

undang-undang11 Abdurrahman sebagaimana dikutip oleh Mahmud Kusuma, ibid., Hlm. 98. 12 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2000)

Hlm. 153-5.

Page 19: Reformasi Praperadilan Indonesia

a. faktor penegak hukumnya dalam hal ini pihak-pihak yang

membentuk maupun menerapkan hukum

b. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan

hukum

c. faktor masyarakat dimana lingkungan hukum tersebut

berlaku atau diterapkan

d. faktor kebudayaan sebagai hasil karya, cipta, dan rasa

yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan

hidup13.

c. Abdul Manan

Abdul Manan mengutip tentang sistem hukumnya

Lawrence M. Friedman menjelaskan bahwa dalam kaitannya

dengan perubahan hukum, maka perubahan itu dapat terjadi

pada tiga unsur yang sangat dominan dalam hukum, yaitu14

a. Struktur hukum adalah pola yang menunjukkan tentang

bagaimana hukum itu dijalankan ketentuan-ketentuan

formalnya. Struktur ini menunjukkan bagaimana

pengadilan, pembuat hukum dan lain-lain badan proses

hukum berjalan dan dijalankan;

b. Substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang

dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melaksanakan

perbuatan-perbuatan serta hubungan-hubungan hukum;

c. Kultur hukum yang datangnya dari rakyat atau para

pemakai jasa hukum seperti pengadilan dan jika

masyarakat dalam menyelesaikan kasus yang terjadi

memilih pengadilan untuk menyelesaikannya, maka

masyarakat itu mempunyai persepsi positif tentang

13 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafi ndo Persada, 2004) Hlm. 8-9.

14 Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), Hlm. 10.

Page 20: Reformasi Praperadilan Indonesia

pengadilan. Kultur masyarakat merupakan hal yang

sangat penting dalam rangka pembaharuan hukum dan

pembaharuan masyarkat.

Lebih lanjut Abdul Manan memberikan gambaran

tentang aspek-aspek apa saja yang akan mempengaruhi atas

perubahan hukum itu sendiri, yaitu:15

1. Globalisasi sebagai aspek pengubah hukum;

2. Aspek pengubah hukum dalam perspektif sosial budaya;

3. Aspek pengubah hukum ditunjau dari segi politik;

4. Perubahan hukum ditinjau dari aspek ekonomi;

5. Perubahan hukum ditinjau dari aspek pendidikan;

6. Ilmu pengetahuan dan tekonologi sebagai aspek pengubah

hukum;

7. Supremasi hukum sebagai salah satu aspek pengubah

hukum;

d. Bagir Manan

Menurut Bagir Manan, kebijakan pembangunan hukum

nasional (yang menggunakan pendekatan friedman) kedalam

subsistem substansi, subsistem struktur, dan substansi

kultur semestinnya ditinggalkan. Berbagai bahan bacaaan

yang lebih baru, memuat susunan system hukum yang lebih

konkrit yaitu;16

1. Subsistem aturan hukum;

2. Subsistem penegakan hukum;

3. Subsistem pelayanan hukum

4. Subsistem profesi hukum;

15 Lihat lebih jelas dan lengkapnya dalam bukunya Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana Predana Media, 2005).

16 Bagir Manan, Peranan Pendidikan Tinggi Hukum Dalam Reformasi Hukum, (Varia Peradilan No. 256 Maret 2007), Hlm .6.

Page 21: Reformasi Praperadilan Indonesia

5. Subsistem pendidikan hukum;

6. Subsistem budaya hukum

Karena hukum tidak lepas dari masyarakat, maka satu

subsistem hukum dari Friedman mengenai budaya hukum

dapat di ambil secara utuh. Sesuai dengan pengertian Friedman

mengenai budaya hukum (sikap masyarakat terhadap hukum),

maka isi budaya hukum mencakup segala bentuk tingkah

laku sosial (politik, ekonomi, sosial, dan budaya itu sendiri),

yang disatu pihak menjadi sumber tatanan hukum, dipihak

lain merupakan refl eksi hukum yang ada.17

e. Achmat Ali

Achmat Ali selain mengutip pendapatnya Lawrence M.

Friedman tentang 3 unsur dalam sistem hukum diatas juga

memberikan penambahan sehingga berjumlah 5 dalam unsur

sistem hukum18, yaitu:

a. Struktur, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum

yang ada beserta aparatnya, mencakupi antara lain

kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan

para jaksanya, pengadilan dengan para hakimnya dan

lain sebagainya;

b. Subtansi, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum

dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak

tertulis, termasuk putusan pengadilan;

c. Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan

(keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara

berpikir, dan cara bertindak, baik dari penegak hukum

17 Ibid.18 Achmat Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), Hlm.. 203-6.

Page 22: Reformasi Praperadilan Indonesia

maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan

berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum;

d. Profesionalisme, yang merupakan unsur kemampuan dan

keterampilan secara person dari sosok penegak hukum;

e. Kepemimpinan, juga merupakan unsur kemampuan dan

keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak

hukum, utamanya kalangan petinggi hukum.

Kepemimpinan sangat erat hubungannya dengan kemampuan

pemimpin untuk melakukan komunikasi yang optimal, sehingga

dia mampu membangun trust dan kepercayaan. Komunikasi

hukum dan sosialisasi hukum adalah sub-elemen dari elemen

kepemimpinan dalam suatu sistem hukum. Dengan kata lain,

komunikasi hukum dan sosialisasi hukum merupakan faktor yang

sangat esensial bagi efektifi tas hukum. Secara umum dikatakan

bahwa melalui komunikasi, seorang pemimpin ataupun penegak

hukum, membangun trust dari masyarakatnya19.

B. ISTILAH DAN PENGERTIAN SISTEM PERADILAN PIDANA

Secara teoritik, dalam kepustakaan baik menurut ruang

lingkup sistem Anglo-Saxon maupun Eropa Kontinental

terminologi peradilan pidana sebagai sebuah sistem relatif

masih diperdebatkan20. Terlepas dari aspek tersebut diatas pada

asasnya sistem peradilan pidana di Indonesia khususnya pada

ruang lingkup lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan

negeri mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

dan Undang-Undang diluar Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP).19 Ibid.20 Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perpektif Teoritik Dan

Praktik Peradilan, (Bandung, Mandar Maju: 2007). Hlm. 35.

Page 23: Reformasi Praperadilan Indonesia

Secara terminologi Sistem peradilan pidana atau criminal

justice system merupakan suatu istilah yang menunjukkan

mekanisme kerja dalam penagggulangan kejahatan dengan

mempergunakan dasar pendekatan sistem21.

Sistem peradilan pidana pertama kali diperkenalkan oleh

pakar hukum pidana dan para ahli hukum dalam “criminal

justice system”di Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan

terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan

lembaga penegak hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari

peningkatan kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-

an. Pada masa itu pendekatan yang digunakan dalam konteks

penegakan hukum dikenal dengan istilah “law enforcement”.

Istilah tersebut menunjukkan bahwa aspek hukum dalam

penanggulangan kejahatan dikedepankan dengan kepolisian

sebagai pendukung utama. Keberhasilan penanggulangan

kejahatan pada masa itu sangat bergantung pada efektivitas

dan efesiensi kerja organisasi kepolisian.

Frank remington adalah orang pertama di Amerika Serikt

yang memperkenalkan rekayasa administrasi peradilan pidana

melalui pendekatan sistem (System Approach) dan gagasan

mengenai sistem ini teradapat pada laporan pilot proyek

tahun 1958. Gagasan ini kemudian diletakkan pada mekanisme

administrasi peradilan pidana dan diberi nama “Criminal Justice

System”. Istilah ini kemudian diperkenalkan dan disebarluaskan

oleh “The President’s Crime Commision” . Dalam kurun waktu

akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970, Criminal Justice sebagai

disiplin studi tersendiri telah muncul menggantikan istilah “Law

Enforcement” atau “Police Studies”. Perkembangan sistem ini di

amerika serikat dan dibeberapa negara eropa menjadi model yang

dominan dengan menitikberatkan pada “The Administration Of 21 Ibid, Hlm. 38.

Page 24: Reformasi Praperadilan Indonesia

Justice” serta memberikan perhatian yang sama terhadap semua

komponen dalam penegakan hukum.22

Menurut Romli Atmasasmita, istilah Criminal Justice System

atau sistem peradilan pidana (SPP) kini telah menjadi suatu istilah

yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan

kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.23

Dalam peradilan pidana seperti yang dikemukan oleh Romli

tersebut, sistem tersebut mempunyai ciri-ciri:

1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen

peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan

Lembaga Pemasyarakatan).

2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh

komponen peradilan pidana

3. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama

dari efesiensi penyelesaian perkara

4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan

The Administration Of Justice

Berbeda dengan pendapatnya Romli Atmasasmita, Mardjono

Reksodipoetra memberikan batasan terhadap SPP adalah: sistem

pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga,

kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarkatan terpidana.

Berkaitan dengan defi nisi tersebut, Mardjono mengemukaan

tujuan dari sistem peradilan pidana, adalah:24

22 Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep Komponen, Dan Pelaksanaannnya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), Hlm. 33.

23 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perpesktif Eksistensialisme Dan Abolisionisme, Op.cit., Hlm.14.

24 Mardjono Reksodipoetra, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi), Pidato pengukuhan penerimaan jabatan guru besar tetap dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Indonesia, dalam Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perpesktif Eksistensialisme Dan Abolisionisme, Ibid.

Page 25: Reformasi Praperadilan Indonesia

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan

2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga

masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang

bersalah dipidana

3. Dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan

kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengemukakan

bahwa empat komponen dalam sistem peradilan pidana

(kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga kemasyarakatan)

diharapkan dapat bekerja sama dan membentuk suatu sistem

peradilan pidana yang terpadu yang dikenal dengan istilah

Integrated Crimnal Justice System.

Hagan membedakan pengetian antara “Criminal Justice Proces”

dan “Criminal Justice System”. Criminal Justice Proces adalah setiap

tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka

kedalam proses yang membawanya kepada ketentuan pidana

baginya. Sedangkan Criminal Justice System adalah interkoneksi

antara setiap keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam

proses peradilan pidana.25

Samuel Walker menegaskan, bahwa paradigma yang dominan

dalam sistem peradilan pidana di Amerika Serikat adalah perspektif

sistem dimana administrasi peradilan terdiri atas serangkaian

keputusan mengenai suatu kasus kriminal dari petugas yang

berwenang dalam suatu kerangka interelasi antar aparatur penegak

hukum. Lebih jauh samuel mengemukakan bahwa, pendekatan

ini telah menguasai pengajaran dan riset serta telah membentuk

upaya pembaharuan hukum pidana selama lebih dari 25 tahun

Amerika Serikat. Upaya ini antara lain:26

25 Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep Komponen, Dan Pelaksanaannnya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), Op.cit., Hlm. 36.

26 Ibid

Page 26: Reformasi Praperadilan Indonesia

1. Meningkatkan efektivitas sistem penanggulangan kejahatan

2. Mengembangkan kordinasi antara berbagai komponen

peradilan pidana

3. Mengawasi atau mengendalikan penggunaan kekuasaan oleh

aparatur penegak hukum.

Muladi menegaskan bahwa makna “Integrated Criminal Justice

System” adalah singkronisasi atau kesempatan dan keselarasan

yang dapat dibedakan dalam:27

1. Sinkronisasi struktural (structural synchronization) adalah

keserampakan dan keselerasan dalam kerangka hubungan

antara lembaga penegakan hukum.

2. Sinkronisasi substansi (substantial syncronization) adalah

keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertical dan

horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif.

3. Sinkronisasi kultural (cultural sycronization) adalah

keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-

pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang menyeluruh

mendasari jalannya sistem peradilan pidana.

Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa sistem peradilan

pada hakikatnya identik dengan sistem penegakan hukum,

karena proses peradilan pada hakikatnya suatu proses penegakan

hukum. Jadi pada hakikatnya identik dengan “sistem kekuasaan

kehakiman”, karena “kekuasaan kehakiman “ pada dasarnya

merupakan “kekuasaan/ kewenangan menegakkan hukum” 28.

Selanjutnya beliau mengatakan bahwa sistem peradilan (atau

27 Muladi, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Citrabaru, 1994), Hlm. 30.

28 Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan Pidana (Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia), (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro: 2011). Hlm. 2-3.

Page 27: Reformasi Praperadilan Indonesia

sistem penegakan hukum, untuk selanjutnya disingkat SPH) dilihat

secara integral, merupakan satu kesatuan berbagai sub-sistem

(komponen) yang terdiri dari komponen “substansi hukum” (legal

substance), “struktur hukum” (legal structure), dan “budaya hukum”

(legal culture).29 Sebagai suatu sistem penegakan hukum, proses

peradilan hukum/ terkait erat dengan tiga komponen itu, yaitu

peraturan perundang-undangan, struktur atau lembaga penegak

hukum, dan budaya hukum.

Sistem peradilan pidana di Indonesia terdiri dari komponen

Kepolisian, Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan Negeri, Lembaga

Pemasyarakatan dan Advokat. Pada prinsipnya aparat penegak

hukum tersebut memilki hubungan erat satu sama lain

sebagai suatu proses (crimal justice process) yang dimulai dari

proses penangkapan, pengeledahan, penahanan, penuntutan,

pembelaan, dan pemeriksaan dimuka sidang pengadilan serta

diakhiri .dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan.

Kelima lembaga penegak hukum dalam peradilan pidana

diakui eksitensinya guna menegakkan hukum dan keadilan.

Konkretnya, kelima lembaga inilah yang menjalankan fungsi

hukum pidana baik hukum acara pidana (hukum formal) dengan

bekerjanya kelima aspek sebagaimana konteks diatas maka

diharapkan adanya dimensi keadilan, kepastian hukum, hak asasi

manusia dalam rangka perlindungan terhadap masyarakat, pelaku

tindak pidana, korban, Negara, dan bangsa Indonesia.

C. MODEL SISTEM PERADILAN PIDANA

Pada prinsipnya sistem peradilan pidana merupakan sub

sistem dari sistem hukum nasional suatu negara. Sistem peradilan

pidana dapat dikatakan sebagai cara negara melalui aparat

penegak hukumnya untuk menegakkan norma-norma sentral 29 Ibid, Hlm.2.

Page 28: Reformasi Praperadilan Indonesia

hukum pidana. Sistem peradilan pidana sebagai suatu proses

penegakan hukum pidana memiliki hubungan yang erat dengan

perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum pidana

materiil (KUHP) maupun hukum pidana formil (KUHAP), karena

perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan

penegakan hukum pidana dalam konteks ”in abstracto” yang akan

diwujudkan dalam penegakan hukum ”in concreto”.

Bekerjanya sistem peradilan pidana dalam rangka penegakan

hukum pidana baik hukum pidana materiil dan hukum pidana

formil harus mampu memenuhi tiga nilai dasar dari hukum

yaitu nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatab. Baik

dalam konteks teroritis maupun konteks praktis, ketiga nilai dasar

tersebut tidak mudah untuk diwujudkan secara serasi. Pemenuhan

nilai kepastian hukum, terkadang harus mengorbankan nilai

keadilan dan kemanfaatan, demikian pula pemenuhan nilai

keadilan dan kemanfaatan di satu sisi, pada sisi yang lain akan

berakibat pada dikorbankannya nilai kepastian hukum.

Secara teoritik dan komparatif maka ada beberapa model

sistem peradilan pidana. Menurut Michael King, ada 7 (tujuh)

model sistem peradilan pidana (SPP) yang secara implisit

mengemukakan adanya “model keadilan” yang dapat dipilih

dan dipilah hakim sebagai kebijakan aplikatif yang diinginkan

dalam hal menjatuhkan putusan. Pada hakekatnya, model

sistem peradilan pidana ini merupakan model ideal sesuai tolak

ukur dari dimensi, paradigma dan nuansa masyarakat Amerika

Serikat yang menjunjung tinggi heteroginitas, liberalisasi dan

demokrasi. Adapun tabel “model keadilan” yang dikemukakan

oleh Michael King itu pada hakekatnya berorientasi pada aspek-

aspek sebagai berikut:30

30 Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritik Dan Praktik Peradilan, (Bandung: Mandar Maju, 2007). Hlm. 39

Page 29: Reformasi Praperadilan Indonesia

Tabel 1: 7 (tujuh) Model Sistem Peradilan Pidana oleh Michael King

No Model Sistem Peradilan Pidana

Tujuan Yang Ingin Dicapai Dari Sistem Peradilan Pidana Tersebut

1 Due Process Model (DPM)

Menggambarkan suatu versi yang diidealkan tentang bagaimana sistem harus bekerja sesuai dengan gagasan-gagasan atau sifat yang ada dalam aturan hukum. Hal ini meliputi prinsip-prinsip tentang hak-hak terdakwa, asas praduga tidak bersalah, hak terdakwa untuk diadili secara adil, persamaan didepan hukum dan peradilan.

2 Crime Control Model (CCM)

Sistem yang bekerja dalam menurunkan atau mencegah dan mengekang kejahatan dengan menuntut dan menghukum mereka yang bersalah. Lebih menjaga dan melayani masyarakat. Polisi harus berjuang melawan kejahatan.

3 Medical Model (diagnosis, predection, and treatment selection)

Bahwa satu dari pertimbangan masing-masing tingkat adalah bagaimana yang terbaik menghadapi para individu yang melanggar hukum guna mengurangi kejahatan yang dilakukan melalui pendekatan rehabilitasi. Para polisi memiliki kekuasaan untuk memperingatkan pelanggar dan mengarahkan mereka kepada lembaga kerja sosial.

4 Bureaucratic Model Menekankan kejahatan harus dibongkar dan terdakwa diadili, ia harus dijatuhi hukuman dengan cepat, dan sedapat mungkin efi sien. Keefektifan pelaksanaan hukum di pengadilan menjadi suatu perhatian utama. Jika terdakwa mengaku tidak bersalah dalam suatu proses peradilan, maka penuntut dan pembela berupaya untuk mengumpulkan bukti-bukti, memanggil saksi dan menyiapkan berbagai dokumen yang diperlukan untuk keperluan pembuktian.

Page 30: Reformasi Praperadilan Indonesia

No Model Sistem Peradilan Pidana

Tujuan Yang Ingin Dicapai Dari Sistem Peradilan Pidana Tersebut

5 Status Passage Model Model ini menekankan bahwa para pelanggar harus diadili didepan umum dan dijatuhi hukuman. Hukuman perlu dijatuhkan untuk menggambarkan pencelaan moral masyarakat. Pengadilan publik dan hukuman perlu untuk menunjukkan bahwa masih terdapat nilai-nilai hukum yang kebal dari masyarakat. Hukum publik dan ungkapan pencelaaan dalam rehabilitasi dapat menyebabkan perasaan malu para pelanggar.

6 Power Model Bahwa sistem peradilan pidana pada dasarnya memperkokoh peranan penguasa sebagai pembuat hukum dan sekaligus menerapkannya di masyarakat. Hukum pidana dan pelaksanaannya dipengaruhi oleh kepentingan dari golongan yang dominan, seperti ras, jenis kelamin, dan lain-lain.

7 Just Desert Model (Just Desert & Just Punishment)

Setiap orang yang bersalah harus dihukum sesuai dengan tingkat kesalahannya. Tersangka harus diperlakukan sesuai dengan hak asasinya, sehingga hanya mereka yang bersalah yang dihukum. Juga memberi ganti kerugian kepada yang bersalah.

Pada hakekatnya, ketujuh model sistem peradilan pidana

tersebut menggambarkan “model keadilan” yang ingin dicapai

dalam takaran kebijakan aplikatif bagi hakim dipengadilan

khususnya saat proses penjatuhan putusan. “model keadilan”

sesuai dimensi Crime Control Model dan Due Process Model yang

juga dikemukakan oleh Herbert L. Packer dalam bukunya yang

berjudul: The Limits of Criminal Sanction.

Page 31: Reformasi Praperadilan Indonesia

1. Crime Control Model (CCM)

Pada hakekatnya Crime Control Model (CCM) didasarkan

pada pemikiran bahwa penyelenggaraan peradilan pidana

adalah semata-mata untuk menindas pelaku kriminal, dan

ini adalah tujuan utama dari proses peradilan pidana. Sebab

dalam hal ini yang diprioritaskan adalah ketertiban umum

dan efesiensi. 31 Pada model ini berlaku “sarana cepat” dalam

rangka pemberantasan kejahatan. Dan berlaku apa yang

disebut sebagai “Presumtion Of Guilty”, kelemahan dalam

model ini adalah seringkali terjadi pelanggaran hak-hak asasi

manusia demi efesiensi.32

Menurut Romli Atmasasmita, nilai (value) yang melandasi

Crime Control Model (CCM) adalah:33

1.) Tindakan represif terhadap suatu tindakan kriminal

merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan

2.) Perhatian utama harus ditujukan kepada efesiensi dari

suatu penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka,

menetapkan kesalahannya dan menjamin atau melindungi

hak tersangka dalam proses peradilannya

3.) Proses kriminal penegakan hukum harus dilaksanakan

berlandaskan prinsip cepat, tuntas, dan model yang

mendukung adalah model administratif dan menyerupai

model manajerial

4.) Asas praduga tak bersalah “presumtion of guilt” akan

menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efesien

5.) Proses penegakan hukum harus menitikberatkan

kepada kualitas temuan-temuan fakta administratif,

31 Ansorie (et al), Hukum Acara Pidana, (Bandung:Angkasa, 1990), Hlm. 6.32 Ibid33 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perpesktif Eksistensialisme Dan

Abolisionisme, Op.cit., Hlm. 19.

Page 32: Reformasi Praperadilan Indonesia

oleh karena temuan tersebut akan membawa arah: (a)

pembebasan seorang tersangka dari penuntutan, atau

(b) kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah

atau “Plead Of Guilty”.

2. Due Process Model (DPM)

Pada Due Process Model (DPM), lahir nilai baru berupa

konsep perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan

pembatasan kekuasaan pada peradilan pidana. Jadi dalam

model ini proses kriminal harus dapat dikendalikan untuk

mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan sifat otoriter dalam

rangka maksimum efesiensi. Dalam model ini diberlakukan

apa yang dinamakan dengan “Presumtion Of Inocence”.34

Menurut Romli Atmasasmita, nilai (value) yang melandasi

Due Process Model (DPM) adalah:35

1.) Adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusiawi,

maka dalam hal ini, tersangka harus diajukan ke

muka pengadilan yang tidak memihak atau diperiksa

setelah tersangka memperoleh hak yang penuh untuk

mengajukan pembelaannya.

2.) Pencegahan (Preventive Measures) dan menghapuskan

sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi

peradilan

3.) Menempatkan individu secara utuh dan utama di dalam

proses peradilan dan konsep pembatasan wewenang

formal sangat memperhatikan kombinasi stigma dan

kehilangan kemerdekaan yang dianggap merupakan

pencabutan hak asasi seseorang yang hanya dapat

dilakukan oleh negara. Proses peradilannya dipandang 34 Ansorie (et al), Hukum Acara Pidana, Loc.cit.35 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perpesktif Eksistensialisme Dan

Abolisionisme, Loc.cit.

Page 33: Reformasi Praperadilan Indonesia

sebagai Coercive (menekan), Restricting (membatasi), dan

Demeaning (merendahkan martabat). Proses peradilan

seperti ini harus dapat dikendalikan

4.) Model ini memegang teguh doktrin: (a) seorang dianggap

bersalah apabila penetapannya dilakukan secara prosedural

dan dilakukan oleh mereka yang memiliki tugas tersebut,

(b) terkandung asas “presumtion of innocence”

5.) Persamaan dimuka hukum, “equality before the law”

6.) Lebih mementingkan kesusilaan dan kegunaan sanksi

pidana

Kedua model tersebut di atas, baik Crime Control Model,

ataupun Due Process Model dilandasi oleh pemikiran apa

yang dimaksud dengan “Adversary Model”, yang berintikan

sebagai berikut:36

1.) Prosedur peradilan pidana merupakan suatu sengketa

(dispute) antara kedua belah pihak antara terdakwa dan

penuntut umum dalam kedudukan yang sama di muka

pengadilan

2.) Tujuan utama dari prosedur peradilan pidana, adalah

menyelesaikan sengketa yang timbul disebabkan kejahatan

3.) Penggunaan cara pengajuan sanggahan atau pernyataan

(pleadings) dan adanya lembaga jaminan bukan

merupakan keharusan, melainkan merupakan hal yang

sangat penting.

4.) Peranan penuntut umum adalah melakukan penuntutan,

sedangkan peranan tertuduh menolak atau menyanggah

tuduhan. Penuntut umum bertujuan menetapkan

fakta mana saja yang akan diajukan dipersidangan

yang akan menguntungkan kedudukannya dengan 36 Ansorie (et al), Hukum Acara Pidana, Op.cit.,Hlm. 5.

Page 34: Reformasi Praperadilan Indonesia

mengenyampingkan bukti-bukti lain sebagai penunjang

fakta yang dimaksud.

Dari karakteristik masing-masing model tersebut di atas,

maka Crime Control Model (CCM) merupakan tipe Affi rmative

Model, adalah tipe yang selalu menekankan pada eksistensi

dan penggunaan kekuasaan formal pada setiap sudut dari

prosedur peradilan pidana, dan dalam model ini kekuasaan

legislatif sangat dominan. Sedangkan Due Process Model

(DPM), merupakan tipe Negative Model, adalah tipe yang

selalu menekankan pada batasan kekuasaan formal dan

modifi kasi dari penggunaan model kekuasan tersebut yang

dominan dalam model ini adalah kekuasaan yudikatif dan

selalu mengacu pada konstitusi.37

Dilain pihak, Muladi mengamukakan kelemahan model-

model sistem peradilan pidana seperti tersebut dibawah ini:38

Crime Control Model: tidak cocok karena model ini

berpandangan tindakan yang bersifat represif sebagai

terpenting dalam melaksanakan proses peradilan pidana;

Due Process Model: tidak sepenuhnya mengntungkan

karena bersifat “anti-authoritarian values”;

Family Model: kurang memadai karena terlalu “off ender

oriented” karena masih terdapat korban (victims) yang

juga memerlukan perhatian serius.

Muladi mengemukakan, bahwa dari berbagai bentuk

model sistem peradilan pidana, untuk konteks diindonesia

yang cocok adalah model yang mengacu kepada daad-dader

37 Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep Komponen, Dan Pelaksanaannnya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), Op.cit., Hlm.44.

38 Muladi Dalam Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perpesktif Eksistensialisme Dan Abolisionisme, Op.cit.,Hlm. 22.

Page 35: Reformasi Praperadilan Indonesia

strafrechf, atau model keseimbangan kepentingan. Model

ini merupakan model yang realistik, yang memperhatikan

pelbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum

pidana yaitu kepentingan negara, kepentingan umum,

kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban

kejahatan.

D. KOMPONEN SISTEM PERADILAN PIDANA

Menurut Barda Nawawi Arief, Sistem peradilan pidana identik

dengan sistem penegakan hukum, karena proses peradilan

pada hakikatnya suatu proses menegakkan hukum. Jadi pada

hakikatnya identik dengan “sistem kekuasaan kehakiman”,

karena “kekuasaan kehakiman” pada dasarnya juga merupakan

“kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum”.39

Apabila difokuskan dalam konteks hukum pidana, dapatlah

disebut bahwa sistem peradilan pidana merupakan sistem

penegakan hukum pidana, yang pada hakikatnya juga identik

dengan sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana.

Sistem peradilan sering diartikan secara sempit sebagai “

sistem pengadilan yang menyelenggarakan keadilan atas nama

negara atau sebagai suatu mekanisme untuk menyelesaikan

suatu perkara. Berkaitan dengan pengertian diatas, Barda

Nawawi Arief berpendapat bahwa pengertian demikian

merupakan pengertian dalam arti sempit, karena hanya melihat

dari aspek struktural (yaitu “system of court” sebagai suatu

institusi) dan hanya melihat dari aspek kekuasaan mengadili/

menyelenggarakan perkara (administer justice mechanism for

the resolution of disputes).40

39 Barda Nawawi Arief, Pendekatan Keilmuan Dan Religius Dalam Rangka Optimalisasi Dan Reformasi Penegakan Hukum (Pidana) Di Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit Univesitas Diponegoro, 2011), Hlm. 41.

40 Ibid, Hlm. 42.

Page 36: Reformasi Praperadilan Indonesia

Sistem peradilan pidana dilihat secara integral merupakan satu

kesatuan sistem yang terdiri dari berbagai sub sistem (komponen)

yang terdiri dari komponen substansi hukum (legal substance),

struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal

culture). Sebagai suatu sistem penegakan hukum, mekanisme

proses peradilan pidana terkait dengan ketiga komponen itu,

yaitu norma hukum/peraturan perundang-undangan, lembaga/

struktur/aparat penegak hukum, dan nilai-nilai budaya hukum.

Adapun yang dimaksud dengan nilai-nilai budaya hukum (legal

culture) dalam konteks penegakan hukum, tentunya lebih terfokus

pada nilai-nilai fi losofi hukum, nilai-nilai hukum yang hidup

dalam masyarakat dan kesadaran/sikap perilaku hukum/periaku

sosialnya, dan pendidikan/ilmu hukum.

Komponen - komponen yang bekerja sama dalam sistem

ini dikenal dalam lingkup praktik penegakan hukum, terdiri dari

kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatat.

Empat komponen ini diharapkan bekerjasama membentuk suatu

“Integrated criminal justice system”.

Muladi menegaskan makna intergrated criminal justice system

adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang

dapat dibedakan dalam :

1. Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan keselarasan

dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.

2. Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan keselarasan

yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan

hukum positif.

3. Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan keselarasan

dalam maghayati pandangan-pandangan, sikar-sikap dan

falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistim

peradilan pidana.

Page 37: Reformasi Praperadilan Indonesia

Keselarasan dan keterkaitan antara sub sistim yang satu

dengan yang lainnya merupakan mata rantai dalam satu kesatuan.

Setiap masalah dalam salah satu sub sistim, akan menimbulkan

dampak pada subsistem-subsistem yang lainnya. Demikian pula

reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu sub

sistim akan menimbulkan dampak kembali pada sub sisitim

lainnya. Keterpaduan antara subsistim itu dapat diperoleh bila

masing-masing subsistim menjadikan kebijakan kriminal sebagai

pedoman kerjanya. Oleh karena itu komponen-komponen sistim

peradilan pidana, tidak boleh bekerja tanpa diarahkan oleh

kebijakan kriminal

Komponen sistem peradilan pidana sebagai salah satu

pendukung atau instrumen dari suatu kebijakan kriminal, termasuk

pembuat undang-undang. Olehkarena peran pembuat undang-

undang sangat menentukan dalam politik kriminal (criminal

policy) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan

hukum pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus

menjadi tujuan dari penegakan hukum.Dalam cakupannya yang

demikian, maka sistem peradilan pidana (criminal policy system)

harus dilihat sebagai “The Network of court and tribunals whichedeal

with criminal law and it’s enforcement”.

Pemahaman pengertian sistem dalam hal ini harus dilihat

dalam konteks baik sebagai Physical System dalam arti seperangkat

elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan,

maupun sebagai Abstract System dalam arti gagasan-gagasan yang

merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada

dalam ketergantungan.

Mardjono Reksodiputro dengan gambaran bekerjanya

system peradilan pidana demikian maka kerjasama erat dalam

satu system oleh instansi yang terlibat adalah satu keharusan.

Jelas dalam hal ini tidak mudah, tetapi kerugian yang timbul

Page 38: Reformasi Praperadilan Indonesia

apabila hal tersebut tidak dilakukan sangat besar. Kerugian

tersebut meliputi:41

1. kesukaran dalam menilai sendiri keberhasiolan atau kegagalan

masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka;

2. kesulitan memecahkan sendiri masalah-masalah pokok

masing-masing instansi (sebagai sub system); dan

3. karena tanggung jawab masing instansi kurang jelas terbagi,

maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas

menyeluruh dari system peradilan pidana .

Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya

merupakan suatu open system, dalam pengertian Sistem Peradilan

Pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interface (interaksi,

interkoneksi dan interdependensi) dengan lingkungannya dalam

peringkat-peringkat masyarakat : ekonomi, politik, pendidikan

dan teknologi serta sub sistem sub sistem dari Sistem Peradilan

Pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system ).

Dalam sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan

penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-

masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut

yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokad dan lembaga

pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan

badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya.

Kelima lembaga penegak hukum dalam peradilan pidana

diakui eksitensinya guna menegakkan hukum dan keadilan.

Konkretnya, kelima lembaga inilah yang menjalankan fungsi

hukum pidana baik hukum acara pidana (hukum formal) dengan

bekerjanya kelima aspek sebagaimana konteks diatas maka

diharapkan adanya dimensi keadilan, kepastian hukum, hak asasi

41 Mardjono Reksodiputro dalam Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritik Dan Praktik Peradilan, Op.cit. Hlm. 45.

Page 39: Reformasi Praperadilan Indonesia

manusia dalam rangka perlindungan terhadap masyarakat, pelaku

tindak pidana, korban, Negara, dan bangsa Indonesia.

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan

(network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai

sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana

formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian

kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau

konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya

untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana

berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan

sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil,

yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat

umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.

Di dalam pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah

hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana,

yaitu “due process of law” yang dalam bahasa Indonesia dapat

diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak.

Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini

seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum

acara pidana suatu Negara pada seorang tersangka atau terdakwa.

Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar

penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak

mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-

hak yang dipunyai warga masyarakat meskipun ia menjadi

pelaku kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia

memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa

diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar pandangannya

tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum

dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan

hak untuk disidang dimuka pengadilan yang bebas dan dengan

Page 40: Reformasi Praperadilan Indonesia

hakim yang tidak memihak . Konsekuensi logis dari dianutnya

proses hukum yang adil dan layak tersebut ialah sistem peradilan

pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana

sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin

penegak hukum yang menghormati hak-hak warga masyarakat.

E. PENGERTIAN SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

Sistem Peradilan Pidana atau “Criminal Justice System” kini

telah menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja

dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar

pendekatan sistem (system approach).

Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan

oleh pakar hukum pidana dan ahli dalam criminal justice system

di Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap

mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi

penegak hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari meningkatnya

kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Pada masa

itu pendekatan yang dipergunakan dalam penegakan hukum

adalah ”hukum dan ketertiban” (law and order approach) dan

penegakan hukum dalam konteks pendekatan tersebut dikenal

dengan istilah ”law enforcement”.

Menurut Indriyanto Seno Adji, sistem peradilan pidana di

Indonesia merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari

Criminal Justice System, yang merupakan suatu sistem yang

dikembangkan di Amerika Serikat yang dipelopori oleh praktisi

hukum (law enforcement officers). Dengan kata lain sistem

peradilan pidana merupakan istilah yang digunakan sebagai

padanan dari Criminal Justice System.

Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu

proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu memiliki

relevansi dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik

Page 41: Reformasi Praperadilan Indonesia

hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil, karena

perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan

penegakan hukum pidana dalam konteks”in abstracto” yang akan

diwujudkan dalam penegakan hukum dalam konteks”in concreto”.

Pentingnya peranan perundang-undangan pidana dalam

sistem peradilan pidana, karena perundang-undangan

tersebut memberikan kekuasaan pada pengambil kebijakan

dan memberikan dasar hukum atas kebijakan yang diterapkan.

Lembaga legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan kebijakan

dan memberikan langkah hukum untuk memformulasikan

kebijakan dan menerapkan program kebijakan yang telah

ditetapkan. Jadi, semua merupakan bagian dari politik hukum

yang pada hakekatnya berfungsi dalam tiga bentuk, yakni

pembentukan hukum, penegakan hukum, dan pelaksanaan

kewenangan dan kompetensi.

Dalam hukum acara pidana ( hukum pidana formil )

sebagaimana tercantum dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana telah dicoba diletakkan kerangka landasan

untuk melaksanakan peradilan pidana terpadu (integrated criminal

justice system), yang memiliki sepuluh asas sebagai berikut :42

1. Perlakuan yang sama di muka hukum;

2. Praduga tidak bersalah;

3. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan

rehabilitasi;

4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum;

5. Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan;

6. Peradilan yang bebas, dan dilakukan dengan cepat dan

sederhana;

42 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1996), Hlm. 41.

Page 42: Reformasi Praperadilan Indonesia

7. Peradilan yang terbuka untuk umum;

8. Pelanggaran atas hak-hak warganegara (penangkapan,

penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus dilakukan

berdasarkan undang-undang dan dilakukan dengan surat

perintah (tertulis);

9. Hak tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan

pendakwaan terhadapnya;

10. Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan

putusannya

Berdasarkan kesepuluh asas tersebut, maka dapat dikatakan

bahwa KUHAP menganut “due process of law” ( proses hukum

yang adil atau layak ). Suatu proses hukum yang adil pada intinya

adalah hak seorang tersangka dan terdakwa untuk didengar

pandangannya tentang bagaimana peristiwa kejahatan itu terjadi;

dalam pemeriksaan terhadapnya dia berhak didampingi oleh

penasihat hukum; diapun berhak mengajukan pembelaan, dan

penuntut umum harus membuktikan kesalahannya di muka suatu

pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak berpihak.43

Menurut Mardjono Reksodiputro, “desain prosedur” (

procedural design) sistem peradilan pidana yang ditata melalui

KUHAP terbagi dalam tiga tahap, yaitu tahap sebelum sidang

pengadilan atau tahap pra-adjudikasi ( pre- adjudication ), tahap

sidang pengadilan atau tahap adjudikasi ( adjudication ), dan

tahap setelah pengadilan atau purna adjudikasi ( post-adjudication

). Beliau mendukung pandangan bahwa tahap adjudikasi atau

tahap sidang pengadilan harus dianggap dominan dalam seluruh

proses. Pandangan ini berdasarkan pada KUHAP yang menyatakan

bahwa setiap putusan apapn bentuknya harus didasarkan pada

“fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dari

43 Ibid, Hlm. 42.

Page 43: Reformasi Praperadilan Indonesia

pemeriksan di sidang”, sehingga sustu sistem peradilan pidana yag

jujur dan melindungi hak seorang warga negara yang merupakan

terdakwa, akan paling jelas terungkapkan dalam tahap adjudikasi.

Hanya dalam tahap adjudikasi inilah terdakwa dan pembelanya

dapat berdiri tegak sebagai pihak yang benar-benar bersamaan

derajatnya berhadapan dengan penuntut umum. 44

Pandangan di atas tidak sepenuhnya disetujui oleh Romli

Atmasasmita, dengan alasan bahwa sekalipun memang benar

bahwa pada tahap ini dari sudut hukum masing-masing pemeran

utama ( penasihat hukum/terdakwa dan penuntut umum)

memiliki kedudukan yang sederajat, akan tetapi pada tahap ini

dilihat dari sudut kriminologi dan viktimologi proses stigmatisasi

dan viktimisasi struktural sudah berjalan, bahkan sejak tahap

penangkapan dan penahanan.45

Sistem peradilan pidana terpadu adalah sistem yang

mampu menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan,

baik kepentingan negara, kepentingan masyarakat, maupun

kepentingan individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana

dan korban kejahatan. Menurut Muladi, makna integrated criminal

justice system ini adalah sinkronisasi atau keserampakan dan

keselarasan yang dapat dibedakan dalam :46

1. Sinkronisasi struktural ( structural syncronization );

2. Sinkronisasi substansial ( substantial syncronization );

3. Sinkronisasi kultural ( cultural syncronization ).

Sinkronisasi struktural adalah keserampakan dan keselarasan

dalam kerangka hubungan antara lembaga penegak hukum,

44 Ibid45 Ibid, Hlm. 43.46 Muladi, Kapita Selekta Sistem peradilan Pidana, (Semarang: Badan

Penerbit UNDIP), Hlm. 119.

Page 44: Reformasi Praperadilan Indonesia

sinkronisasi substansial adalah keserampakan dan keselarasan

yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan

hukum positif, sedangkan sinkronisasi kultural adalah

keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-

pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh

mendasari jalannya sistem peradilan pidana.

F. KOMPONEN SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

Mardjono mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana

(criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat

untuk menaggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan

sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas

toleransi masyarakat47.

Sistem peradilan pidana sebagai sistem dalam suatu

masyarakat untuk menaggulangi masalah kejahatan memiliki

tujuan yang dapat dirumuskan: (a) mencegah masyarakat

menjadi korban kejahatan; (b) menyelesaikan kasus kejahatan

yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah

ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan (c) mengusahakan

agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi

lagi kejahatannya48.

Di Indonesia yang mendasari bekerjanya komponen sistem

peradilan pidana di atas mengacu kepada Undang-Undang No.

8 Tahun 1981 atau KUHAP. Tugas dan wewenang masing-masing

komponen (lembaga kepolisian, lembaga kejaksaan, lembaga

Pengadilan Dan lembaga Pemasyarakatan, termasuk Advokat)

dalam sistem peradilan pidana tersebut dimulai dari proses

penyidikan hingga pelaksanaan pidana (pemidanaan) yang diatur

melalui KUHAP.

47 Ibid,.Hlm.1448 Ibid

Page 45: Reformasi Praperadilan Indonesia

Pada hakekatnya kelima lembaga penegak hukum tersebut

memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain sebagai

suatu proses (criminal justice process) yang dimulai dari proses

penangkapan, penggeledahan, penahanan, penuntutan, pembelaan,

dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan serta diakhiri dengan

pelaksanaan pidana (pemidanaan) di lembaga pemasyarakatan

(LAPAS). Berikut ini dijelaskan secara singkat komponen sistem

peradilan pidana di Indonesia, yakni sebagai berikut:

1. Lembaga Kepolisian ( UU No. 2 Tahun 2002)

Kepolisian sebagai subsistem peradilan pidana diatur

dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara RI. Sesuai Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002

tersebut kepolisian mempunyai tugas pokok memelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,

dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan

kepada masyarakat. Sedangkan dalam peradilan pidana,

kepolisian memiliki kewenangan khusus sebagai penyidik

yang secara umum diatur dalam Pasal 15 dan 16 Undang-

Undang No. 2 Tahun 2002 dan dalam hukum acara pidana

diatur dalam Pasal 5-7 KUHAP. Sebelum berlakunya

KUHAP, yaitu pada masa HIR, tugas untuk melakukan

penyidikan diberikan kepada lembaga kejaksaan, polisi

hanya sebatas sebagai pembantu jaksa menyidik, tetapi

setelah berlaku KUHAP maka tugas dan wewenang Kejaksaan

di Indonesia dalam hal penyidikan telah beralih ke pihak

Kepolisian. Oleh karena itu, mengenai tugas dan kekuasaan

dalam menangani penyidikan adalah menjadi tanggung

jawab kepolisian, terutama dalam usaha mengungkap setiap

tindak kejahatan mulai sejak awal hingga selesai terungkap

berdasarkan penyelidikannya.

Page 46: Reformasi Praperadilan Indonesia

Pada hakekatnya, kepolisian menjadi penyelidik terhadap

semua tindak pidana (Undang-Undang No. 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara RI dan KUHAP). Sementara ada

lembaga penyelidik lain misalnya Komnas HAM, menjadi

penyelidik terhadap kasus pelanggaran HAM berat (UU

26/2000), Komisi Pengawas Persaingan Usaha/KPPU (UU

5/1999), dan lain sebagainya.

2. Lembaga Kejaksaan ( UU No. 16 Tahun 2004)

Dalam perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia,

lembaga kejaksaan merupakan bagian dari lembaga eksekutif

yang tunduk kepada Presiden. Akan tetapi, apabila dilihat

dari segi fungsinya, kejaksaan merupakan bagian dari

lembaga yudikatif. Hal ini dapat diketahui dari redaksi Pasal

24 Amandemen Ketiga UUD Negara RI 1945 yang menegaskan

bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan badan peradilan lain yang fungsinya

berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Penegasan mengenai

badan-badan peradilan lain diperjelas dalam Pasal 41 Undang-

Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

yang berbunyi : “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan

dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara

Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan

badan-badan lain diatur dalam undang-undang.”

Sebagai subsistem peradilan pidana, Kejaksaan mempunyai

tugas dan wewenang dibidang pidana sebagaimana diatur

Pasal 14 KUHAP, yaitu :

a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari

penyidik atau penyidik pembantu ;

b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada

penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110

Page 47: Reformasi Praperadilan Indonesia

ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam

rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik ;

c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan

penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah

status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh

penyidik ;

d. membuat surat dakwaan ;

e. melimpahkan perkara ke pengadilan ;

f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang

ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang

disertai surat panggilan baik kepada terdakwa maupun

kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah

ditentukan ;

g. melakukan penuntutan ;

h. menutup perkara demi kepentingan hukum ;

i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan

tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut

ketentuan undang-undang ini ;

j. melaksanakan penetapan hakim.

3. Pengadilan (UU No. 48 Tahun 2009)

Keberadaan lembaga pengadilan sebagai subsistem

peradilan pidana diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun

2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 Undang-undang

tersebut memberi defi nisi tentang kekuasaan kehakiman

sebagai berikut: “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan

negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan

guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila,

demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.”

Sesuai dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tersebut

dan KUHAP, tugas Pengadilan adalah menerima, memeriksa

dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Dalam

Page 48: Reformasi Praperadilan Indonesia

memeriksa seseorang terdakwa, hakim bertitik tolak pada

surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum, dan

mendasarkan pada alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal

184 KUHAP. Kemudian dengan sekurang-kurangnya 2 (dua)

alat bukti dan keyakinannya, hakim menjatuhkan putusannya.

4. Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)

Lembaga pemasyarakatan (LAPAS) diatur dalam

Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

yang mengubah sistem kepenjaraan menjadi sistem

pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan merupakan

suatu rangkaian kesatuan penegakan hukum. Sehingga

pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan

konsep umum mengenai sistem pemidanaan di Indonesia.

Berdasarkan ketentuan norma hukum Pasal 1 angka 3

Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,

dinyakatan bahwa lembaga pemasyarakatan (LAPAS) adalah

tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan

anak didik pemasyarakatan.

5. Advokat

Lahirnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang

Advokat menjadi landasan hukum penting bagi profesi Advokat

sebagai salah satu pilar penegak hukum. Hal ini ditegaskan dalam

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tersebut, yang

menyatakan bahwa Advokat berstatus penegak hukum, bebas

dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-

undangan. Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang

No. 18 Tahun 2003 lebih ditegaskan lagi, bahwa yang dimaksud

dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah

Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan

yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum

lainya dalam menegakan hukum dan keadilan.

Page 49: Reformasi Praperadilan Indonesia

Kelima lembaga penegak hukum dalam peradilan pidana

diakui eksitensinya guna menegakkan hukum dan keadilan.

Konkretnya, kelima lembaga inilah yang menjalankan fungsi

hukum pidana baik hukum acara pidana (hukum formal) dengan

bekerjanya kelima aspek sebagaimana konteks diatas maka

diharapkan adanya dimensi keadilan, kepastian hukum, hak asasi

manusia dalam rangka perlindungan terhadap masyarakat, pelaku

tindak pidana, korban, Negara, dan bangsa Indonesia.

G. MEKANISME PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI INDONESIA

Mekanisme pemeriksaan perkara pidana di Indonesia terdiri

atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian perkara

pidana dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya

seorang pria yang dompetnya diambil secara paksa oleh orang

lain. Deskripsi diatas merupakan suatu peristiwa hukum. Namun

untuk menentukan apakah peristiwa hukum itu merupakan suatu

tindak pidana atau bukan haruslah diadakan suatu proses sistem

peradilan pidana (criminal justice process) untuk menegakkan

norma-norma hukum pidana. Tahapan untuk mengetahui dan

menentukan adanya suatu tindak pidana adalah melalui:

1. Penyelidikan

Seorang penyidik dalam melaksanakan tugasnya memiliki

koridor hukum yang harus di patuhi, dan diatur secara formal

apa dan bagaimana tata cara pelaksanaan, tugas-tugas dalam

penyelidikan. Artinya para penyidik terikat kepada peraturan-

peraturan, perundang-undangan, dan ketentuan-ketentuan

yang berlaku dalam menjalankan tugasnya.

Dalam pelaksanaan proses penyidikan, peluang-peluang

untuk melakukan penyimpangan atau penyalagunaan wewenang

untuk tujuan tertentu bukan mustahil sangat dimungkinkan

Page 50: Reformasi Praperadilan Indonesia

terjadi. Karena itulah semua ahli kriminalistik menempatkan

etika penyidikan sebagai bagian dari profesionalisme yang

harus d miliki oleh seorang penyidik sebagai bagian dari

profesionalisme yang harus dimiliki oleh seorang penyidik.

Bahkan, apabila etika penyidikan tidak dimiliki oleh seseorang

penyidik dalam menjalankan tugas -tugas penyidikan,

cenderung akan terjadi tindakan sewenang-wenang petugas

yang tentu saja akan menimbulkan persoalan baru.

Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan

penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa

yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat

atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang

mengatur dalam undang-undang No 26 tahun 2000 pasal

I angka 5. Penyelidik karena kewajibannya mempunyai

wewenang menerima laporan, mencari keterangan dan

barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan

menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan

mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) KUHAP, untuk

kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik

dapat melakukan penangkapan. Namun untuk menjamin hak

hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus

didasarkan pada bukti permulaan Barang Bukti.

Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap

harus menghormati asas praduga tak bersalah (presumption

of innocence) sebagaimana di sebutkan dalam penjelasan

umum butir 3c KUHAP. Penerapan asas ini tidak lain adalah

untuk melindungi kepentingan hukum dan hak-hak tersangka

dari kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak

hukum. Selanjutnya kesimpulan hasil penyelidikan ini

disampaikan kepada penyidik.

Page 51: Reformasi Praperadilan Indonesia

Apabila didapati tertangkap tangan, tanpa harus

menunggu perintah penyidik, penyelidik dapat segara

melakukan tindakan yang diperlukan seperti penangkapan,

larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan

penyitaan. Selain itu penyelidik juga dapat meakukan

pemerikasaan surat dan penyitaan surat serta mengambil

sidik jari dan memotret atau mengambil gambar orang

atau kelopmpok yang tertangkap tangan tersebut. Selain itu

penyidik juga dapat membawa dang mengahadapkan oarang

atau kelompok tersebut kepada penyidik. Dalam hal ini Pasal

105 KUHAP menyatakan bahwa melaksanakan penyelidikan,

penyidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi

petunjuk oleh penyidik.

2. Penyidikan

Konstruksi Pengertian penyidikan diatur dalam Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana yang terdapat Pada

Pasal 1 butir I yang berbunyi sebagai berikut:

“Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia

Atau Pejabat Pegawai Negari Sipil tertentunyang diberi

wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan

penyidikan.“

Dari pengertian penyidik diatas, dalam penjelasan undang-

undang disimpulkan mengenai pajabat yang berwenang untuk

melakukan penyidikan yaitu: Pejabat Polisi Negara Republik

Indonesia (POLRI); dan Pejabat Pegawai Negari Sipil yang diberi

wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan

penyidikan.

Selain penyidik, dalam KUHAP dikenal pula penyidik

pembantu, ketentuan mengenai hal ini terdapat pada Pasal I

butir 3 KUHAP, yangmenyebutkan bahwa:

Page 52: Reformasi Praperadilan Indonesia

“Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara

Republik Indonesia yang karena diberikan diberi wewenang

tertentu dapat melakukan penyidikan yang diatur dalam

undang-undang ini”.

Selanjutnya mengenai pengertian penyidik pembantu

diatur dalam Pasal 1 Butir 12 Undang-undang No.2 tahun 2002,

yang menyatakan Bahwa:

“Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia yang diangkat oleh Kepada Kepolisian Negara

Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi

wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang

diatur dalam Undang-undang”.

Mengenai Penyidik Negari Sipil Dijelaskan lebih lanjut

dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) KUHAP, Bahwa

“Yang dimaksud dengan penyidik dalam ayat ini adalah

misalnya pejabat bea cukai, pejabat imigrasi, pejabat kehutanan

yang melakukan tugas penyelidikan sesuai dengan wewenang

khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi

dasar hukumnya masing-masing.”

Berdasarkan ketentuan perundang-undangan mengenai

penyidik dan penyidik pembantu di atas, dapat diketahui

bahwa untuk dapat melaksanakan tugas penyidikan harus ada

pemberian wewenang.

Tugas penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik POLRI

adalah merupakan penyidik tunggal bagi tindak pidana Umum,

tugasnya sebagai penyidik sangat sulit dan membutuhkan

tanggung jawab yang besar, karena penyidikan merupakan

tahap awal dari rangkaian proses penyelesaian perkara pidana

Page 53: Reformasi Praperadilan Indonesia

yang nantinya akan berpengaruh bagi tahap proses peradilan

selanjutnya.

Sedangkan pada Pasal I butir 2 KUHAP menjelaskan

mengenai pengertian penyidikan, sebagai berikut:

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam

hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini

untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti

itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan

guna menemukan tersangkanya”

Penyidikan merupakan aktivitas yurisdis yang dilakukan

penyelidik untuk mencari dan menemukan kebenaran sejati

(Membuat terang jelas tentang tindak pidana yang terjadi).

aktivitas yuridis yang dimaksud dilakukan berdasarkan

aturan-aturan hukum positif sebagai hasil dari tindakan

tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan secara yuridis

pula, karena kata yuridis menunjuk kepada adanya suatu

peraturan hukum yang dimaksud tiada lain peraturan-

peraturan mengenai hukum acara pidana.

Tujuan utama penyidikan adalah untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti dapat membuat

terang suatu tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal I butir

2 KUHAP. Dalam melaksanakan tugas penyidikan untuk

mengungkapkan suatu tindak pidana, maka penyidik

karena kewajibannya mempunyai wewenang sebagimana

yang tercantum di dalam isi ketentuan Pasal 7 ayat (1) Kitab

Undang-udang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jo. Pasal 16 ayat

(1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan

Negara Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa

wewenang penyidik adalah sebagi berikut:

Page 54: Reformasi Praperadilan Indonesia

1. Menerima Laporan atau pengaduan dari seorang tentang

adanya tindak pidana;

2. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa

tanda pengenal diri tersangka;

4. melakukan penangkapan, penahanan,penggeledahan

dan penyitaan;

5. mengenai sidik jari dan memotret seseorang;

6. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai

tersangka atau saksi;

7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai

tersangka atau saksi;

8. mendatang orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara;

9. mengadakan penghentian penyidikan;

10. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab.

Penyidikan yang dilakukan tersebut didahului dengan

pemberitahuan kepada penutut umum bahwa penyidikan

terhadap suatu peristiwa pidana telah mulai dilakukan.

Secara formal pemberitahuan tersebut disampaikan melalui

mekanisme Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan

(SPDP). Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 109 KUHAP.

Namun kekurangan yang dirasa sangat menghambat adalah

tiada ada ketegasan dari kentuan tersebut kapan waktunya

penyidikan harus diberitahukan kepada Penuntut Umum.

Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan,

penyidik wajib segara menyerahkan berkas perkara tersebut

kepada penutut umum. Dan dalam hal penutut umum

berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang lengkap.

Page 55: Reformasi Praperadilan Indonesia

Penutut umum segera mengembalikan berkas perkara tersebut

kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila

pada saat penyidik menyerahkan hasil penyidikan, dalam

waktu 14 Hari penutut umum tidak mengembalikan berkas

tersebut, maka penyidikan dianggap selesai.

3. Penuntutan

Dalam Undang-undang ditentukan bahwa hak penututan

hanya ada pada penututan umum yaitu Jaksa yang diberi

wewenang oleh kitab-kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana No.8 tahun tahun 1981. Pada Pasal 1 butir 7 KUHAP

Tercantum defenisi penututan sebagai berikut;

“Penuntutan adalah tindakan penututan umum untuk

melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang

berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini dengan permintaan suapay diperiksa

dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”

Yang bertugas menurut atau penuntut umum ditentukan di

Pasal 13 jo Pasal butir 6 huruf b yang pada dasarnyan berbunyi :

“Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang

oleh undang-undang ini untuk melakukan penututan dan

melaksanakan penetapan hakim “

Kemudian Muncul undang-undang No. 5 tahun 1991

tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya

tidak diberlakukan lagi dan diganti oleh Undang-undang

No. 16 tahun 2004, yang menyatakan bahwa kekuatan untuk

melaksanakan penuntutan itu dilakukan oleh kejaksaan.

Dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tetap Kejaksaan

Republik Indonesia yang memberikan wewenang kepada

Kejaksaan (Pasal 30), yaitu:

Page 56: Reformasi Praperadilan Indonesia

1. Melakukan Penuntutan;

2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan

dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan

pidana bersayarat, putusan pidana pengawasan, dan

keputusan lepas bersyarat

4. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu

berdasarkan undang-undang;

5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu

dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum

dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya

dikoordinasikan dan penyidik.

Berkaitan dengan kebijakan penuntutan, penuntut

umumlah yang berwenang untuk menentukan suatu perkara

hasil penyidikan, apakah sudah lengkap ataukah tidak untuk

kemudian dilimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk diadili. Hal

ini diatur dalam Pasal 139 KUHAP. Jika menurut pertimbangan

penututan umum suatu perkara tidak cukup bukti-bukti untuk

diteruskan ke Pengadilan ataukah perkara tersebut bukan

merupakan suatu delik, maka penuntut umum membuat

membuat suatu ketetapan mengenai hal itu (Pasal 140 ayat

(2) butir b (KUHAP). Mengenai wewenang penutut umum

untuk menutup perkara demi hukum seperti tersebut dalam

Pasal 140 (2) butir a (KUHAP), Pedoman pelaksanaan KUHAP

memberi penjelasan bahwa “Perkara ditutup demi hukum”

diartikan sesuai dengan buku I Kitab Undang-undang Hukum

Pidana Bab VIII tentang hapusnya hak menuntut yang diatur

dalam Pasal 76;77;78 dan 82 KUHP.

Penuntutan Perkara dilakukan oleh Jaksa Penuntut

umum, dalam rangka pelaksanaan tugas penuntutan yang

Page 57: Reformasi Praperadilan Indonesia

diembannya. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi

wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan

penuntutan dan melaksanakan penempatan hakim.

Dalam melaksanakan penuntutan yang menjadi

wewenangnya, penuntut Umum segera membuat surat

dakwaan berdasarkan hasil penyidikan. Dalam hal didapati

oleh penuntut umum bahwa tidak terdapat cukup bukti

atau peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa pidana

atau perkara ditutup demi hukum, maka penuntut umum

menghentikan penuntutan yang dituangkan dalam suatu surat

ketetapan. Apabila tersangka berada dalam tahanan tahanan,

sedangkan surat ketetapan telah diterbitkan maka tersangka

harus segera di keluarkan dari tahanan. Selanjutnya, surat

ketetapan yang dimaksud tersebut dikeluarkan dari tahanan.

Selanjutnnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut

dibertahukan kepada tersangka. Turunan surat ketetapan

tersebut disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau

penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik

dan hakim. Atas surat ketetapan ini maka dapat dimohon

praperadilan, sebagaimana diatur dalam BAB X, bagian kesatu

KUHAP dan apabila kemudian didapati alasan baru, penuntut

umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.

Pada tahap penuntutan ada dikenal istilah Nebis in Idem

yang berarti tidak melakukan pemeriksaan untuk kedua kalinya

mengenai tindakan ( feit) yang sama. Ketentuan ini disahkan

pada pertimbangan, bahwa suatu saat (nantinya) harus ada

akhir dari pemeriksaan/penuntutan dan akhir dari baliknya

ketentuan pidana terhadap suatu delik tertentu. Asas ini

merupakan pegangan agar tidak lagi mengadakan pemeriksaan/

penuntutan terhadap pelaku yang sama dari satu tindakan

pidana yang sudah mendapat putusan hukum yang tetap.

Page 58: Reformasi Praperadilan Indonesia

Dengan maksud untuk menghindari dua putusan terhadap

pelaku dan tindakan yang sama juga akan menghindari

usaha penyidikan/ penuntutan terhadap perlakuan delik

yang sama, yang sebelumnya telah pernah ada putusan yang

mempunyai kekuatan yang tetap. Tujuan dari atas ini ialah

agar kewibawaan negara tetap junjung tinggi yang berarti juga

menjamin kewibawaan hakim serta agar terpelihara perasaan

kepastian hukum dalam masyarakat

Agar supaya suatu perkara tidak dapat diperiksa untuk

kedua kalinya apabila; Pertama Perbuatan yang didakwakan

(untuk kedua kalinya) adalah sama dengan yang didakwakan

terdahulu. Kedua Pelaku yang didakwa (kedua kalinya) adalah

sama. Ketiga untuk putusan yang pertamateri terhadap

tindakan yang sama itu telah mempunyai kekuatan hukum

yang tetap.

Belakangan dasar nebis in idem itu digantungkan kepada

beberapa hal bahwa terhadap seseorang itu juga mengenai

peristiwa yang tertentu telah diambil keputusan oleh hakim

dengan vonis yang tidak diubah lagi. Putusan :

Pertama Penjatuhan Hukuman (veroordeling) Dalam hal

ini oleh hakim diputuskan, bahwa terdakwa terang salah telah

melakukan peritiwa pidana yang dijatuhkan kepadanya;atau

kedua: Pembebasan dari penuntutan hukum (ontslag

van rechtvervoging) Dalam hal ini hakim memutuskan,

bahwa peristiwa yang dituduhkan kepada terdakwa itu

dibuktikan dengan cukup terang, akan tetapi peritiwa

itu ternyata bukan peristiwa pidana, atau terdakwanya

keadapatan tidak dapat di hukum karena tidak dapat

dipertanggung jawabkan atas perbuatannya itu, bahwa

keslahan terdakwa atas peristiwa yang dituduhkan

kepadanya tidak cukup buktinya.

Page 59: Reformasi Praperadilan Indonesia

Dalam Pasal 77 KUHP yang berbunyi: Hak Menuntut

hukum gugur (tidak berlaku lagi) lantaran si terdakwa

meninggal dunia. Apabila seorang terdakwa meninggal

dunia sebelum putus ada putusan terakhir dari pengadilan

maka hak menuntut gugur. Jika hal ini terjadi dalam taraf

pengutusan, maka pengusutan itu dihentikan. Jika penuntut

telah dimajukan, maka penuntut umum harus oleh pengadilan

dinyatakan tidak dapat diterima dengan tentunya (Niet-

ontvankelijk) umumnya demikian apabila pengadilan banding

atau pengadilan kasasi masih harus memutuskan perkaranya.

Pasal 82 82 KUHP yang berbunyi : Ayat (1) :” Hak menuntut

hukum karena pelanggaran yang terancam hukuman utama

tak lain dari pada denda, tidak berlaku lagi bagi maksimun

denda dibayar dengan kemauan sendiri dan demikian juga di

bayar ongkos mereka, jika penilaian telah dilakukan, dengan

izin amtenaar yang ditunjuk dalam undang-undang umum,

dalam tempo yang ditetapkannya”.

Ayat (2): ”Jika perbuatan itu terencana selamanya denda

juga benda yang patut dirampas itu atau dibayar harganya,

yang ditaksir oleh amtenaar yang tersebut dalam ayat pertama”.

Ayat (3):” Dalam hal Hukuman itu tambah diubahkan

berulang-ulang membuat kesalahan, boleh juga tambahan itu

dikehendaki jika hak menuntut hukuman sebab pelanggaran

yang dilakukan dulu telah gugur memenuhi ayat pertama dan

kedua dari pasal itu’.

Ayat (4);”Peraturan dari Pasal ini tidak berlaku bagi orang

yang belum dewasa ,yang umumnya sebelum melakukan

perbuatan itu belum cukup enam belas tahun”.

Penghapusan hak penuntutan bagi penuntut umum yang

diatur dalam Pasal 82 KUHP mirip dengan ketentuan hukum

perdata mengenai transaksi atau perjanjian.

Page 60: Reformasi Praperadilan Indonesia

4. Pemeriksaan di Pengadilan

Apabila terhadap suatu perkara pidana telah dilakukan

penuntutan, maka perkara tersebut diajukan kepengadilan.

Tindak Pidana tersebut untuk selanjutnya diperiksa, diadili

dan diputus oleh majelis hakim dan Pengadilan Negeri yang

berjumlah 3 (Tiga) Orang.

Pada saat majelis hakim telah ditetapkan, selanjutnya

ditetapkan hari sidang. Pemberitahuan hari sidang disampaikan

oleh penuntut umum kepada terdakwa di alat tempat

tinggalnya atau disampaikan di tempat kediaman terakhir

apabila tempat tinggalnya diketahui. Dalam hal ini surat

panggilan memuat tanggal, hari serta jam dan untuk perkara

apa ia dipanggil. Surat panggilan termaksud disampaikan

selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.

Sistem pembuktian yang dianut oleh Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana adalah sistem pembuktian

berdasarkan undang-undang yang negatif (Negatif wett elijk).

Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 183 Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana. Pasal 183 KUHAP menyatakan:

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang

kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak

pidana benar-benar terjadinya dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukannya.

Berdasarkan pernyataan tersebut, nyatalah bahwa

pembuktian harus didasarkan apad alat bukti yang disebutkan

dalam undang-undang disertai keyakinan hakim atas alat-

alat bukti yang diajukan dalam persidangan, yang terdiri dari:

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan Ahli;

Page 61: Reformasi Praperadilan Indonesia

3. Surat;

4. Petunjuk; dan

5. Keterangan terdakwa.

Disamping itu kitab Undang-undang hukum Acara Pidana

juga menganut minimun pembuktian (minimum bewijs),

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 tersebut. Minimun

pembuktian berarti dalam memutuskan suatu perkara pidana

hakim harus memutuskan berdasarkan sejumlah alat bukti.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memberikan

batasan minimal penggunaan alat bukti, yaitu minimal

dua alat bukti, yaitu minimal dua alat bukti disertai oleh

keyakinan hakim.

Tahap memeriksaan perkara pidana dipengadilan ini

dilakukan setelah tahap pemeriksaan pendahuluan selesai.

Pemeriksaan ini dilandaskan pada sistem atau model

Accusatoir, dan dimulai dengan menyampaikan berkas perkara

kepada Public prosecutor.

Pemeriksaan dimuka sidang pengadilan diawali dengan

pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan ynag

dilakukan secara sah menurut undang-undang. Dalam hal ini

KUHAP pasal 154 telah memberikan batasan syarat undang

undang dalam hali KUHAP pasal 154 telah memberikan

batasan syarat syahnya tentang pemanggilan kepada

terdakwa, dengan ketentuan;

Surat panggilan kepada terdakwa disampaikan di alat

tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak

diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir. Apabila

terdakwa tidak ada ditempat kediaman terakhir, surat panggilan

disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum

tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir dalam

Page 62: Reformasi Praperadilan Indonesia

hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan

kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara.

Penerimaan surat panggilan terdakwa sendiri ataupun

orang lain atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda

penerimaan apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman

terakhir tidak dikenal, surat panggilan ditempelkan pada

tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang

mengadili perkaranya.

H. PRAPERADILAN DALAM DIMENSI PERADILAN PIDANA INDONESIA

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka hukum acara

pidana yang berlaku di Indonesia diatur dalam H.I.R (Het Herziene

Inlandsch Reglement) Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44, yang

merupakan produk hukum dimasa penjajahan Belanda, tentu saja

aturan dalam H.I.R tersebut dibuat untuk kepentingan penjajah,

dan belum banyak diperhatikan pemenuhan Hak Asasi Manusia

(HAM).

Ditinjau dari perspektif historis, pada masa pra kemerdekaan

diberlakukan dua hukum acara pidana sekaligus di wilayah

Indonesia-Hindia Belanda. Bagi golongan Eropa berlaku

Strafvordering (Rv) dan golongan Pribumi berlaku Inland Reglement

(IR), yang kemudian diperbarui menjadi Herziene Indische

Reglement (HIR) melalui Staatsblad No. 44 Tahun 1941. Hukum

acara bagi golongan Eropa memiliki susunan hukum acara pidana

yang lebih baik dan lebih menghormati hak-hak asasi tersangka/

terdakwa. Sedangkan dalam Inland Reglement maupun Herziene

Indische Reglement (HIR), golongan Pribumi kedudukannya sebagai

warganegara di negara jajahan.

Ketentuan mengenai hakim komisaris (rechter commissaris)

dapat ditemukan dalam Rv, yang diatur dalam title kedua tentang

Page 63: Reformasi Praperadilan Indonesia

Van de regtercommissaris. Lembaga Van de regtercommissaris

berfungsi sebagai pengawas untuk mengawasi apakah tindakan

upaya paksa, yang meliputi penangkapan, penggeledahan,

penyitaan dan pemeriksaan surat-surat, dilakukan dengan sah

atau tidak.

Hakim komisaris berperan sebagai pengawas pada tahap

pemeriksaan pendahuluan dari serangkaian tahapan proses

peradilan pidana. Lembaga ini juga dapat melakukan tindakan

eksekutif seperti memanggil orang, baik para saksi (Pasal

46) maupun tersangka (Pasal 47), mendatangi rumah para

saksi maupun tersangka (Pasal 56), dan juga memeriksa serta

mengadakan penahanan sementara terhadap tersangka (Pasal

62). Tindakan hakim komisaris yang termasuk tindakan eksekutif

tersebut menunjukan bahwa kedudukannya bersikap aktif dan

memiliki tanggung jawab pengawasan yang besar pada tahap

pemeriksaan awal.

IR yang mengatur hukum acara pidana mulai dipublikasikan

pada 3 April 1848 dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848, berlaku

untuk golongan bumiputera daerah Jawa dan Madura, sedangkan

wilayah di luar daerah tersebut diberlakukan peraturan yang

berbeda dalam bentuk Ordonansiordonanasi.49 Ordonansi-

49 Ordonansi tersebut antara lain: Ordonanasi 26 Maret 1874 (Stb. 94 b), Gubernur Sumatera Barat; Ordonanasi 2 Februari 1880 (Stb.32), Residen Bengkulu; Ordonanasi 25 Januari 1879 (Stb.65), Residen Lampung; Ordonansi 8 Januari 1878 (Stb.14), Residen Palembang; Ordonansi 8 Juli 1906 (Stb.320), Residen Jambi; Ordonansi 21 Februari 1887 (Stb.45), Residen Sumatera; Ordonansi 14 Maret 1881 (Stb.82), Residen Aceh; Ordonansi 15 Maret 1882 ( Stb.84), Residen Riau; Ordonansi 30 Januari 1874 (Stb.33), Residen Bangka; Ordonansi 23 Agustus 1889 (Stb.183), Asisten Residen Belitung; Ordonansi 1 Februari 1883 (Stb.53), Residen Kalimantan Barat; Ordonansi 5 Maret 1880 (Stb.55), Residen Kalimantan selatan dan timur; Ordonansi 6 Februari 1882 (Stb.27), Residen Menado; Ordonansi 6 Februari 1882 (Stb.22), Residen Gubernur Sulawesi; Ordonansi 6 Februari 1882 (Stb.29), Residen Maluku; Ordonansi 6 Februari 1882 (Stb.32), Residen Ternate; Ordonansi 6 Februari 1882 (Stb.25), Residen Timor; Ordonansi 21 Mei 1882(Stb.142), Residen Bali dan Lombok.

Page 64: Reformasi Praperadilan Indonesia

ordonansi tersebut kemudian dihimpun dan dijadikan satu

dengan nama Recht-reglement buitengewesten (Reglement

Daerah Seberang, Stb. 1927-227). Dalam perkembangan selanjutnya,

Gubernur Jendral Rochussen masih memiliki kekhawatiran

terhadap diberlakukannya Reglement bagi Bumiputera, sehingga

statusnya masih dalam percobaan. Mr.Wichers telah mencoba

mengadakan beberapa perbaikan terhadap anjuran Gubernur

tersebut, dan terjadi beberapa kali perubahan, hingga muncul

Stbld 1941 No. 44 yang diumumkan dengan nama Herziene Inlands

Regelement atau HIR.

Titik penting dari perubahan IR ke HIR adalah adanya

lembaga Openbaar Ministerie (OM) atau penuntut umum, yang

ditempatkan di bawah kekuasaan Pamong Praja pada masa IR.

Dengan perubahan ini, Openbaar Ministerie dibuat secara bulat

dan tidak lagi terpisah-pisahkan (een en ondeelbaar) berada di

bawah naungan Offi cier Van Justitie dan Procureur General.

Bagian lainnya yang berubah nampak dalam: IR belum ada

badan penuntut umum tersendiri, dalam HIR sudah ada, meskipun

belum volwaardigh; Regen, patih, dan kepala Afdeeling (Residen

atau asisten Residen dalam IR adalah Penyidik dalam HIR tidak);

penahanan sementara dalam IR tidak mengharuskan syarat-

syarat tertentu, menurut HIR harus selalu ada perintah tertulis;

kurungan sementara atas perintah asisten-Residen (menurut

sistem lama) diganti dengan penangkapan (gevangenhouding)

selama 30 hari, yang jika perlu dapat diperpanjang 30 hari oleh

Ketua Landraad; penahanan sementara maupun penangkapan

hanya diperbolehkan pada tindak pidana yang berat (yang

diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau dipidana yang

lebih berat (Pasal 62 HIR); penggeledahan rumah pada umumnya

memerlukan izin Ketua Landraad, kecuali tertangkap tangan dan

dalam hal mendesak (Pasal 77 dan 78 HIR); wewenang untuk

Page 65: Reformasi Praperadilan Indonesia

menyita barang yang dapat dijadikan alat bukti diberikan kepada

pegawai penuntut umum.

Dalam HIR muncul lembaga penuntut umum yang tidak lagi di

bawah pamongpraja, tetapi secara bulat dan tidak terpisah-pisah

dibawah offi cer van justitie dan procuceur general. Sejalan dengan

praktik diberlakukannya HIR di Jawa dan Madura, eksistensi IR

masih sering digunakan dan diberlakukan, HIR berlaku di kota-

kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Malang

dan lain-lain sedangkan kota-kota lain berlaku IR.

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, aturan-aturan yang

berlaku di Indonesia pada zaman penjajahan didasarkan pada

asas konkordansi, termasuk peraturan yang mengatur Acara

Pidana. Ketentuan ini dinyatakan masih berlaku oleh Pasal II

Aturan Peralihan UUD 1945, selama belum ada undang-undang

atau peraturan lain yang mencabutnya.

Berdasarkan ketentuan tersebut, HIR masih berlaku dan bisa

dipergunakan sebagai hukum acara pidana di pengadilan seluruh

Indonesia. Hal ini diperkuat oleh Pasal 6 UU No. 1 Drt/195, yang

dimaksudkan untuk mengadakan unifi kasi dalam bidang hukum

acara pidana, yang sebelumnya terdiri dari dua hal, yakni hukum

acara pidana bagi Landraad serta hukum acara pidana bagi

Raad van Justice. Dualisme hukum acara pidana adalah akibat

perbedaan antara peradilan bagi golongan Bumi Putra dan bagi

golongan Eropa.

Akibat diberlakukannya HIR maka Regter Commissaris

tidak digunakan lagi, sebab mekanisme tersebut tidak ada

di dalamnya dan hilang dalam sistem peradilan pidana.

Pada masa HIR ada semacam pengawasan oleh hakim, yakni

dalam hal perpanjangan waktu penahanan sementara yang

harus dimintakan persetujuan hakim (Pasal 83 C ayat (4) HIR).

Namun dalam praktiknya control hakim ini kurang dirasakan

Page 66: Reformasi Praperadilan Indonesia

manfaatnya, mengingat urusan perpanjangan penahanan

oleh hakim itu bersifat tertutup dan semata-mata dianggap

urusan birokrasi.

Dalam proses tersebut, semua surat permohonan perpanjangan

penahanan langsung ditandatangani oleh hakim ataupun petugas

yang ditunjuk oleh hakim tanpa diperiksa. Akibatnya, banyak

penahanan yang berlangsung hingga bertahun-tahun dan korban

yang bersangkutan tidak memiliki hak dan upaya hukum apapun

yang tersedia baginya untuk melawan kesewenang-wenangan

yang menimpa dirinya. Korban hanya pasrah pada nasib, dan

menunggu belas kasihan dari hakim untuk membebaskannya

kelak di muka pemeriksaan persidangan pengadilan. Kemudian

berdasarkan konsep Rancangan KUHAP 1974, model pengawasan ini

(pengawasan tindakan petugas dalam pemeriksaan pendahuluan)

diletakkan di bawah pengawasan Hakim Komisaris. Dibentukanya

lembaga pengawas baru yakni hakim komisaris berakibat pada

perlu diaturnya kembali hubungan hukum antara polisi, jaksa,

dan hakim dengan hakim komisaris dalam pelaksanaan tugasnya

masing-masing.

Kelemahan-kelemahan ketentuan Hukum Acara Pidana yang

diatur dalam H.I.R antara lain belum adanya ketentuan yang tegas

membatasi kewenangan pejabat yang melakukan pemeriksaan

pendahuluan seperti dalam hal tindakan penangkapan, penahanan,

penggeledahan, penyitaan dan lain sebagainya.

Indonesia sebagai negara hukum yang menghormati HAM,

serta menjamin kesetaraan warganegaranya di depan hukum dan

pemerintahan, dituntut untuk memiliki hukum acara pidana yang

mencerminkan kebijakan nasional Indonesia, yang mengatur

tentang hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang terlibat dalam

proses penegakan hukum pidana, baik untuk Tersangka maupun

pejabat setiap tingkatan pemeriksaan.

Page 67: Reformasi Praperadilan Indonesia

Pada tanggal 31 Desember 1981 secara resmi diundangkan

UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana, sehingga sejak saat itu berlaku KUHAP di seluruh

Indonesia, dan diberikan masa peralihan selama 2 (dua) tahun

dan untuk acara pidana yang bersifat khusus diatur dalam

undangundang tersendiri, oleh karena itu sejak 31 Desember

1983, ketentuan dalam KUHAP efektif berlaku dalam penanganan

perkara pidana umum.

Beberapa hal baru yang diatur dalam KUHAP tersebut antara

lain hakhak tersangka dan terdakwa, bantuan hukum pada semua

tingkat pemeriksaan, penggabungan perkara perdata dan pidana

dalam hal ganti rugi, pengawasan pelaksanaan putusan hakim,

dan pra peradilan;

Demi melaksanakan kepentingan pemeriksaan tindak pidana,

undangundang telah memberikan kewenangan kepada penyidik

dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa

berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan,

tindakan hukum tersebut membatasi bahkan bertentangan dengan

hak-hak Tersangka, oleh karena itu pemberian kewenangan

tersebut harus diatur secara terperinci untuk mencegah

penyalahgunaan dan tindakan sewenang-wenang dari penyidik

dan atau penuntut umum.

Pengaturan upaya paksa dalam KUHAP secara limitatif

tersebut, diharapkan akan dapat memberikan jaminan dan

perlindungan terhadap hak asasi manusia, perlindungan terhadap

harkat dan martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh

suatu negara hukum. Namun demikian untuk lebih menjamin

perlindungan hak asasi manusia, atas kemungkinan terjadinya

penyalahgunaan wewenang upaya paksa tersebut, disamping

adanya pengaturan upaya paksa secara limitatif, maka di dalam

KUHAP dibentuk lembaga Praperadilan.

Page 68: Reformasi Praperadilan Indonesia

Gagasan lembaga praperadilan lahir dari inspirasi yang

bersumber dari Habeas Corpus dalam peradilan Anglo Saxon, yang

memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia

terhadap hak kemerdekaan.50 Lebih lanjut DR Yanto menyatakan

bahwa, melalui Habeas Corpus Act maka seseorang dengan surat

perintah pengadilan dapat menuntut pejabat yang melakukan

penahanan untuk membuktikan bahwa penahanan tersebut tidak

melanggar hukum (ilegal) atau benar-benar sah sesuai dengan

ketentuan hukum yang berlaku.

50 Yanto, Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan Pidana, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Kepel Press, 2013) hlm 21

Page 69: Reformasi Praperadilan Indonesia

BAB II

PRAPERADILAN DI INDONESIA

A. WEWENANG PRAPERADILAN MENURUT KUHAP

Praperadilan terdiri dari dua kata, yaitu pra dan peradilan,

sedangkan apabilan kita teliti menurut istilah KUHAP “praperadilan”

maka maksud dan artinya yang harfi ah berbeda. Pra artinya

sebelum, atau mendahului, berarti “praperadilan” sama dengan

sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan51 Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa praperadilan adalah suatu proses

pemeriksaan voluntair sebelum pemeriksaan terhadap pokok

perkara berlangsung di pengadilan. Perkara pokok dimakud adalah

suatu sangkaan/dakwaan tentang telah terjadinya suatu tindak

pidana, yang sedang dalam tahap penyidikan atau penuntutan.

Oleh karena itu praperadilan hanyalah bersifat ikutan atau asesoir

dari perkara pokok tersebut sehingga putusannya pun bersifat

voluntair.52

Praperadilan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh

pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus tentang ke

absahan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan,

penghentian penuntutan, dan memutus permintaan ganti

kerugian dan rehabilitasi yang perkara pidanannya tidak

dilanjutkan ke muka sidang pengadilan negeri atas permintaan

51 Darwan Prints, Praperadilan dan Perkembagannya Di Dalam Praktek, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti :1993), Hlm. 12

52 Ibid

Page 70: Reformasi Praperadilan Indonesia

tersangka atau terdakwa atau pelapor atau keluarganya dan atau

penasehat hukumnya.53

Istilah praperadilan diambil dari kata pretrial, akan tetapi ruang

lingkupnya lebih sempit karena pretrial dapat meneliti apakah

ada dasar hukum yang cukup mengajukan suatu penuntutan

terhadap perkara pidana didepan pengadilan. Sementara ruang

lingkup praperadilan terbatas sepanjang yang diatur dalam Pasal

77 KUHAP dan Pasal 95 KUHAP. Sedangkan dalam pengertian

secara umum dicantumkan dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP

mengatakan, Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri

untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini, tentang :

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan

atas permintaan tersangka atau keluarga atau pihak lain atas

kuasa tersangka.

b. Sah atau tidaknya penghentian penyelidikan atau penghentian

penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan

keadilan ;

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitas oleh tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya

tidak diajukan ke pengadilan.

Pasal 95 sesungguhnya merupakan penjelasan lebih lanjut

ketentuan dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP dan Pasal 77 KUHAP,

dengan tambahan adanya unsur dikenakan tindakan lain tanpa

alasan berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai

orangnya atau hukum yan diterapkan tindakan lain berupa :

a. Pemasukan rumah;

b. Penggeledahan, dan

c. Penyitaan.53 Mochamad Anwar, Praperadilan, (Jakarta,Ind-Hil-Co,: 1989), Hlm. 25.

Page 71: Reformasi Praperadilan Indonesia

Tindakan lain itu tidak terbatas pada ketiga hal tersebut. Akan

tetapi disesuaikan dengan ruang lingkup tugas dan kewenangan

Penyidik dan Penuntut Umum. Misalnya apabila terjadi perbuatan

diluar hukum atau tersangka atau terdakwa selama dalam

penangkapan atau penahanan, seperti teraniaya, tertembak atau

malah meninggal dunia. Dengan demikian apabila perbuatan

itu terjadi tanpa suatu alasan yang dibenarkan hukum, maka

karenannya korban atau keluarganya dapat mengajukan tuntutan.

Praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri.

Tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru

yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri,

sebagai wewenang dan fungsi tambahan Pengadilan Negeri yang

ada selama ini. Kalau selama ini, wewenang dan fungsi Pengadilan

Negeri mengadili dan memutus perkara pidana dan perkara

perdata sebagai tugas pokok maka terhadap tugas pokok tadi diberi

tugas tambahan untuk menilai sah atau tidaknya penangkapan,

penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan, atau penghentian

penuntutan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum

yang wewenang pemeriksaannya diberikan kepada Praperadilan.

Menurut R. Soeparmono bahwa diadakannya lembaga

praperadilan bertujuan demi tegaknya hukum, kepastian hukum

dan perlindungan hak asasi tersangka, sebab menurut system

KUHAP setiap tindakan seperti penangkapan, penggeledahan,

penyitaan, penahanan, penuntutan, dan sebagainya yang dilakukan

bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan adalah

suatu tindakan perkosaan atau perampasan hak asasi tersangka.54

Menurut M. Yahya Harahap, ditinjau dari struktur dan susunan

peradilan, praperadilan bukan lembaga yang berdiri sendiri.

Praperadilan hanya suatu lembaga yang ciri dan eksistensinya :55

54 R. Soeparmono, Op Cit, hlm 1655 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Page 72: Reformasi Praperadilan Indonesia

a. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada

Pengadilan Negeri dan sebagai lembaga pengadilan hanya

dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas

yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri.

b. Praperadilan bukan berada diluar atau disamping maupun

sejajar dengan Pengadilan Negeri tapi hanya merupakan divisi

dari Pengadilan Negeri.

c. Administrasi yustisial, personil, peralatan dan fi nansial bersatu

dengan Pengadilan Negeri dan berada dibawah pimpinan serta

pengawasan dan pembinaan Ketua Pengadilan Negeri.

d. Tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi

yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri.

Lembaga baru yang tersendiri memiliki eksistensi dan ciri

itu adalah Praperadilan yang merupakan kesatuan yang melekat

dengan Pengadilan Negeri. Dan karena keadaan dan eksistensi

adanya lembaga praperadilan tersebut diantara lembaga lain

di dalam KUHAP maka mempunyai arti adanya kemajuan

dibidang hukum acara pidana yang memberi wewenang bagi

Pengadilan Negeri.

Setiap tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan

dengan hukum dan perundang-undangan adalah suatu tindakan

perkosaan atau perampasan hak asasi tersangka. Oleh karena

itu terdapat prinsip yang terkandung pada praperadilan yang

bermaksud dan bertujuan guna melakukan tindakan pengawasan

horizontal untuk mencegah tindakan hukum upaya paksa yang

berlawanan dengan undangundang.

Sifat atau fungsi praperadilan yang khas, spesifik dan

karakteristik tersebut akan menjembatani pada usaha pencegahan

tindakan upaya paksa sebelum seorang diputus oleh Pengadilan, Pemeriksaan Sidang Pengadilan Banding Kasai dan Peninjauan Kembali,( Jakarta, Sinar Grafi ka: 2006), Hlm. 1.

Page 73: Reformasi Praperadilan Indonesia

pencegahan tindakan yang merampas hak kemerdekaan setiap

warga Negara, pencegahan atau tindakan yang melanggar hak-hak

asasi tersangka/terdakwa, agar segala sesuatunya berjalan atau

berlangsung sesuai dengan hukum dan perundang-undangan

yang berlaku dan sesuai dengan aturan main.6 Dan Praperadilan

juga untuk memberikan perlindungan bagi hak asasi manusi

terutama hak asasi tersangka atau terdakwa yang merasa

dirugikan. Kehadiran lembaga ini disambut dengan gembira bagi

segenap bangsa Indonesia pada umumnya dan warga masyarakat

pencari keadilan.

Lembaga Praperadilan yang diciptakan pasti didorong dengan

maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi, yakni

untuk memberi pengawasan terhadap perlindungan hukum dan

perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan

penyidikan dan penuntutan yang kemudian dijabarkan dalam

Undangundang No.8 Tahun 1981 (KUHAP) yang dikenal dengan

Lembaga Praperadilan.

Praperadilan bertujuan mengawasi tindakan upaya paksa

yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum atau lembaga

penegak hukum yang lain terhadap tersangka, agar tindakan itu

benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-

undang dan benar-benar proposional dengan ketentuan hukum

serta tidak merupakan tindakan yang bertentangan dengan

hukum. Pengawasan dan penilaian upaya paksa inilah yang

tidak dijumpai dalam tindakan penegakan hukum dimasa HIR.

Pengawasan juga dilakukan terhadap perilaku masyarakat serta

terhadap perilaku para penegak hukum yang kerjanya berperan

secara pidana. Dimaksudkan sebagai pengawasan horizontal

oleh Hakim Pengadilan Negeri terhadap pelaksanaan upaya

paksa. Hakim dalam Praperadilan bukan berarti fungsionaris

peradilan, bukan pula wasit yang mengadili sengketa hukum.

Page 74: Reformasi Praperadilan Indonesia

Hakim dalam Praperadilan dipinjam karena diperlukan suatu

fungsionaris netral untuk mengontrol penangkapan dan

penahanan itu. Jelaslah bahwa prosedur Praperadilan mengganti

atau mengalihkan tugas pengawasan terhadap penangkapan dan

penahanan serta penghentian penyidikan atau penuntutan dari

kepala-kepala Kejaksaan atau Kepala-kepala Kepolisian kepada

Hakim Pengadilan Negeri yang berkedudukan netral. Serta

lembaga ini bertujuan untuk menempatkan pelaksaan hukum

pada proposi yang sebenarnya demi terlindungnya hak asasi

manusia, khususnya hak-hak tersangka dan terdakwa dalam

pemeriksaan ditingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan

didepan pengadilan. Dan upaya paksa diluar yang ditentukan

undang-undang bukanlah menjadi wewenang praperadilan untuk

memeriksanya, tetapi itu dapat menjadi perbuatan pidana biasa

tetapi bisa jadi dapat dikaji ulang wewenang praperadilan dan

menambahkan objek praperadilan untuk wewenang praperadilan

yang belum ditentukan oleh undangundang.

B. PIHAK-PIHAK DALAM PERKARA PRAPERADILAN

Ada 2 (dua) pihak dalam perkara praperadilan yaitu pihak

pemohon praperadilan dan pihak termohon praperadilan. Para

pihak tersebut saling berhadapan, masing-masing berdiri pada

sisi yang saling berlawanan.

1. Pemohon Praperadilan

Pemohon praperadilan adalah pihak yang mengajukan

tuntutan ke pengadilan negeri dengan dalil telah terjadinya

pelanggaran hukum acara pidana dalam suatu tindakan

yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum. KUHAP

mengatur tentang siapa yang dapat bertindak sebagai

pemohon praperadilan, yaitu:

Page 75: Reformasi Praperadilan Indonesia

Jika dalil pokoknya dalam hal sah atau tidaknya

penangkapan atau penahanan yang dilakukan oleh

penyidik atau penuntut umum, maka yang berhak

mengajukan praperadilan adalah tersangka, keluarga

tersangka atau kuasanya (Pasal 79 KUHAP)

Jika dalil pokoknya dalam hal sah atau tidaknya suatu

penghentian penyidikan atau penuntutan, maka yang

berhak mengajukan praperadilan adalah penyidik,

penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan.

(80 KUHAP).

Jika dalil pokoknya dalam hal permintaan ganti kerugian

dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau

penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan

atau penuntutan, maka yang berhak mengajukan

praperadilan adalah tersangka atau pihak ketiga yang

berkepentingan. (Pasal 81 KUHAP).

Jika dalil pokoknya dalam hal sah tidaknya penetapan

Tersangka, maka yang berhak mengajukan praperadilan

adalah Tersangka (Pasal 1 angka 14 KUHAP). - Jika dalil

pokoknya dalam hal sah tidaknya penggeledahan rumah,

maka yang berhak mangajukan praperadilan adalah

Tersangka atau penghuni rumah (Pasal 32 ayat (1) KUHAP).

Jika dalil pokoknya dalam hal sah tidaknya penggeledahan

badan, maka yang berhak mangajukan praperadilan

adalah Tersangka atau orang yang dilakukan tindakan

penggeledahan (Pasal 32 ayat (1) KUHAP).

Jika dalil pokoknya dalam hal sah tidaknya penyitaan,

maka yang berhak mengajukan praperadilan adalah

Tersangka atau orang dari mana barang itu disita atau

pemilik barang yang disita (Pasal 32 ayat (1) KUHAP)

Page 76: Reformasi Praperadilan Indonesia

Pengertian “pihak ketiga yang berkepentingan” yang dapat

mengajukan praperadilan semula hanya diartikan terbatas

kepada saksi korban atau pelapor, tetapi pengertian tersebut

telah diperluas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

98/PUU-X/2012 tanggal 21-Mei-2013, meliputi juga lembaga

swadaya masyarakat dan organisasi kemasyarakatan.

2. Termohon Praperadilan

Termohon praperadilan KUHAP tidak mengatur secara tegas

siapa yang menjadi termohon dalam perkara praperadilan,

akan tetapi secara implisit dari bunyi ketentuan Pasal 77

KUHAP yang mengatur tentang wewenang praperadilan, maka

Termohon praperadilan adalah pejabat yang telah melakukan

tindakan yang dijadikan obyek dari permohonan praperadilan,

yaitu penyidik atau penuntut umum.

C. OBYEK PEMERIKSAAN SIDANG PRAPERADILAN

1. Syarat-Syarat Sah Tidaknya Penangkapan

Diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 19 KUHAP, syarat

sahnya penangkapan, yaitu:

a. Syarat Materiil:

Adanya kepentingan penyelidikan atau penyidikan

(Pasal 16 KUHAP)

Adanya dugaan keras sebagai pelaku tindak pidana

berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 17).

Tindak pidana yang diduga dilakukan adalah kejahatan,

dalam hal tindak pidana yang dilakukan adalah

pelanggaran maka dapat dilakukan penangkapan jika

ia telah dipanggil secara sah 2 (dua) kali berturut-turut

tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah

(Pasal 19 ayat (2) KUHAP).

Page 77: Reformasi Praperadilan Indonesia

b. Syarat Formil:

Dilakukan oleh penyidik atau oleh penyelidik atas

perintah dari penyidik (Pasal 16 ayat (1) KUHAP).

Dengan memperlihatkan surat tugas dan surat perintah

penangkapan, kecuali dalam hal tertangkap tangan

penangkapan dapat dilakukan tanpa surat perintah,

dengan ketentuan penangkap segera menyerahkan

orang yang ditangkap beserta barang bukti kepada

penyidik pembantu atau penyidik yang terdekat (Pasal

18 ayat (2) KUHAP).

Tembusan surat perintah penangkapan diberikan

kepada keluarga, segera setelah penangkapan

dilakukan (Pasal 18 ayat (3) KUHAP).

Dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari (Pasal 19

ayat (1) KUHAP).

2. Syarat-Syarat Sah Tidaknya Penahanan dalam Tingkat

Penyidikan dan Penuntutan

Diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 25 KUHAP,

syarat sahnya penahanan, yaitu:

a. Penahanan dalam tingkat penyidikan:

1. Syarat Materiil:

Adanya kepentingan untuk pemeriksaan (Pasal

20 ayat (1) KUHAP).

Adanya dugaan keras melakukan tindak pidana

berdasarkan bukti yang cukup (Pasal 21 ayat (1)

KUHAP).

Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran

tersangka akan melarikan diri, merusak atau

menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi

perbuatannya. (Pasal 21 ayat (1) KUHAP). -

Tersangka diduga melakukan tindak pidana:

Page 78: Reformasi Praperadilan Indonesia

Tindak pidana yang diancam pidana penjara 5

(lima) tahun atau lebih (Pasal 21 ayat (4) huruf

a KUHAP) atau;

Tindak pidana tertentu, yaitu: Pasal 282

ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal

351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372,

Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454,

Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal

506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,

Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie

(pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan

Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad

Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2

dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana

Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt.

Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955

Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal

42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-

undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang

Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976

Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3086) (Pasal 21 ayat (4) KUHAP).

2. Syarat Formil:

Dilakukan oleh penyidik (Pasal 20 ayat (1) dan

Pasal 21 ayat (2) KUHAP).

Dengan memberikan surat perintah penahanan

yang mencantumkan identitas tersangka dan

menyebutkan alasan penahanan serta uraian

singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan

dan menunjuk tempat Terdakwa ditahan (Pasal

21 ayat (2) KUHAP).

Page 79: Reformasi Praperadilan Indonesia

Tembusan surat perintah penahanan diberikan

kepada keluarga Tersangka (Pasal 21 ayat (3)

KUHAP).

b. Penahanan dalam tingkat penuntutan

1. Syarat Materiil:

Adanya kepentingan untuk penuntutan (Pasal 20

ayat (2) dan Pasal 21 ayat (2) KUHAP).

Adanya dugaan keras melakukan tindak pidana

berdasarkan bukti yang cukup (Pasal 21 ayat (1)

KUHAP).

Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran

tersangka akan melarikan diri, merusak atau

menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi

perbuatannya. (Pasal 21 ayat (1) KUHAP).

Tersangka diduga melakukan tindak pidana:

Tindak pidana yang diancam pidana penjara 5

(lima) tahun atau lebih (Pasal 21 ayat (4) huruf

a KUHAP) atau;

Tindak pidana tertentu, yaitu: Pasal 282 ayat

(3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat

(1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal

379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal

459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-

undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26

Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap

Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah

dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471),

Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang

Tindak Pidana Imigrasi (Undangundang

Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara

Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal

Page 80: Reformasi Praperadilan Indonesia

41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal

48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976

tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun

1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3086) (Pasal 21 ayat (4) KUHAP).

2. Syarat Formil:

Dilakukan oleh penuntut umum (Pasal 21 ayat

(2) KUHAP).

Dengan memberikan surat perintah penahanan

yang mencantumkan identitas tersangka dan

menyebutkan alasan penahanan serta uraian

singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan

dan menunjuk tempat Terdakwa ditahan (Pasal

21 ayat (2) KUHAP.

Tembusan surat perintah penahanan diberikan

kepada keluarga Tersangka (Pasal 21 ayat (3)

KUHAP).

3. Tentang Syarat-Syarat Sah Tidaknya Penghentian

Penyidikan atau Penuntutan:

a. Tingkat penyidikan

1. Syarat materiil

Tidak terdapat cukup bukti.

Peristiwa yang diduga dilakukan oleh

Tersangka bukan merupakan tindak

pidana.

Dihentikan dengan alasan demi hukum

(Pasal 109 ayat (2) KUHAP)

2. Syarat formil

Memberitahukan penghentian penyidikan

kepada penuntut umum, tersangka atau

keluarganya (Pasal 109 ayat (2) KUHAP),

Page 81: Reformasi Praperadilan Indonesia

dalam hal yang menghentikan adalah

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

maka harus memberitahukan kepada

penyidik dan penuntut umum.

Penyidik memberitahukan penghentian

penyidikan kepada saksi pelapor atau

korban (Lampiran Keputusan Menteri

Kehakiman Republik Indonesia Nomor:

M.14-PW.07.03 TAHUN 1983 angka 11).

b. Tingkat penuntutan

1. Syarat materiil

Tidak terdapat cukup bukti.

Peristiwa yang diduga dilakukan oleh

Tersangka bukan merupakan tindak

pidana.

Ditutup demi hukum. (Pasal 140 ayat (2)

huruf a KUHAP)

2. Syarat formil

Memberitahukan penghentian penuntutan

kepada tersangka atau keluarganya atau

penasihat hukum, pejabat rumah tahanan

negara, penyidik dan hakim (Pasal 140 ayat

(2) huruf c KUHAP).

Penuntut Umum memberitahukan

penghentian penuntutan kepada

saksi pelapor atau korban (Lampiran

Keputusan Menteri Kehakiman Republik

Indonesia Nomor: M.14-PW.07.03 TAHUN

1983 angka 11).

4. Tentang Syarat-Syarat Sah Tidaknya Penetapan

Tersangka

Page 82: Reformasi Praperadilan Indonesia

Pengertian tersangka diatur dalam Pasal 1

angka 14 KUHAP yang berbunyi: ”Tersangka adalah

seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai

pelaku tindak pidana”. Oleh karena itu untuk

menetapkan seseorang sebagai tersangka, maka harus

dipenuhi syarat-syarat, yaitu:

Adanya perbuatan pidana;

Adanya bukti permulaan yang mengarah kepada

seseorang sebagai pelaku tindak pidana.

5. Tentang Syarat-Syarat Sah Tidaknya Penggeledahan

a. Penggeledahan rumah

Dalam keadaan normal. Penggeledahan rumah

harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Syarat Materiil: Untuk kepentingan penyidikan

(Pasal 32 ayat (1) KUHAP).

2. Syarat Formil:

Harus dengan surat ijin ketua pengadilan

negeri setempat.

Dalam hal tersangka atau penghuni

menyetujui penggeledahan disaksikan

oleh 2 (dua) orang saksi, jika tersangka

atau penghuni menolak atau tidak hadir

maka penggeledahan harus disaksikan

oleh kepala desa atau ketua lingkungan.

Dalam waktu 2 (dua) hari setelah memasuki

dan atau menggeledah rumah harus

dibuatkan berita acara dan turunannya

harus disampaikan kepada pemilik atau

penghuni rumah

Page 83: Reformasi Praperadilan Indonesia

Penggeledahan rumah yang terletak di

luar wilayah hukum, harus diketahui oleh

ketua pengadilan negeri dan didampingi

oleh penyidik setempat.

Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak

bilamana penyidik harus segera bertindak dan

tidak mungkin untuk mendapatkan surat ijin

terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan

penggeledahan tanpa ijin terlebih dahulu dari

ketua pengadilan negeri:

pada halaman rumah tersangka bertempat

tinggal, berdiam atau ada dan yang ada

di atasnya.

pada setiap tempat lain tersangka

bertempat tinggal, berdiam atau ada.

di tempat tindak pidana dilakukan atau

terdapat bekasnya.

ditempat penginapan dan tempat umum

lainnya. (Pasal 34 ayat (1) KUHAP)

Dengan ketentuan segera melaporkan kepada

ketua pengadilan negeri setempat untuk

mendapat persetujuan (Pasal 34 ayat (2)

KUHAP)

b. Penggeledahan pakaian dan badan

Pada waktu penangkapan penyelidik hanya

berwenang melakukan penggeledahan

badan.

Pada waktu penangkapan atau menerima

penangkapan dari penyelidik, penyidik

berwenang melakukan penggeledahan badan

dan pakaian.

Page 84: Reformasi Praperadilan Indonesia

6. Syarat-Syarat Sah Tidaknya Penyitaan

a. Syarat Materiil

Untuk kepentingan penyidikan (Pasal 32 ayat

(1) KUHAP)

Benda yang disita adalah:

benda atau tagihan tersangka atau

terdakwa yang seluruh atau sebagian

diduga diperoleh dari tindakan pidana

atau sebagai hasil dari tindak pidana;

benda yang telah dipergunakan secara

langsung untuk melakukan tindak pidana

atau untuk mempersiapkannya;

benda yang dipergunakan untuk

menghalang-halangi penyidikan tindak

pidana;

benda yang khusus dibuat atau

diperuntukkan melakukan tindak pidana;

benda lain yang mempunyai hubungan

lansung dengan tindak pidana yang

dilakukan.

b. Syarat Formil

Harus dengan surat ijin ketua pengadilan negeri

(Pasal 38 ayat (1) KUHAP), kecuali dalam keadaan

yang sangat perlu dan mendesak penyidik dapat

melakukan penyitaan hanya atas barang bergerak,

dan segera wajib melaporkan kepada ketua

pengadilan untuk memperoleh persetujuan.

D. HUKUM ACARA PRAPERADILAN

Lembaga Praperadilan lahir untuk memberikan jaminan

fundamental terhadap HAM khususnya hak kemerdekaan.

Page 85: Reformasi Praperadilan Indonesia

Hak yang diberikan ini memberikan perlindungan yang sangat

menguntungkan bagi para tersangka atau terdakwa pelaku tindak

pidana. Dan sistem peradilan pidana menetapkan prosedur upaya

paksa yang seimbang. Prosedur ini bertujuan untuk melindungi

HAM orang yang tidak bersalah dan juga melindungi hak-hak asasi

tersangka atau terdakwa yang bersalah sama baiknya. Dengan

demikian kehadiran lembaga praperadilan menjadi titik balik

dan memberikan semangat baru, khususnya mengenai jaminan

hak-hak si tersangka, karena bersifat transparan dan akuntabilitas

public yang merupakan syarat-syarat tegaknya sistem peradilan

yang bebas dan tidak memihak serta menjunjung HAM.56

Lembaga praperadilan di Indonesia mengenai hukum acara

dan proses pemeriksaan praperadilan, telah diatur dalam KUHAP.

Pengaturan yang ada memang cukup singkat, sehingga tidak

memberikan kejelasan tentang hukum acara mana yang akan

digunakan khususnya berkaitan dengan beban pembuktian.

Praperadilan dalam KUHAP ditempatkan dalam Bab X, bagian

kesatu, sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang

mengadili bagi Pengadilan Negeri (PN). Sedangkan pengertian

dari Praperadilan sendiri diatur di bab tersebut dalam Pasal 1

angka 10 KUHAP. Apa yang dirumuskan dalam Pasal tersebut

dipertegas dalam Pasal 77 KUHAP yang menyebutkan PN

berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan

ketentuan yang diatur dalam undangundang ini tentang : sah

atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan

atau penghentian penuntutan, ganti rugi dan atau rehabilitas

bagi seseorang yang perkara pidanannya dihentikan pada tingkat

penyidikan atau penuntutan.

Wewenang pengadilan terhadap Praperadilan sebagaimana

56 O.C. Kaligis , Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, (Bandung, Alumni: 2006). Hlm. 366-368.

Page 86: Reformasi Praperadilan Indonesia

diatur dalam Pasal 95 KUHAP dijadikan alasan bagi tersangka,

terdakwa, atau terpidana untuk menuntut ganti kerugian selain

dari adanya penangkapan, penahanan, penuntutan, diadilinya

orang tersebut, juga apabila dikenakan “tindakan-tindakan lain”

yang secara tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena

kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya.

Mekanisme pengajuan praperadilan diatur dalam Pasal 77

– Pasal 83 dan PP No. 27 Tahun 1983 khususnya Pasal 7 sampai

dengan Pasal 15. Tata cara mengajukan Praperadilan oleh Pemohon

(korban salah tangkap/penahanan dll) memang tidak secara tegas

dan rinci diatur dalam KUHAP. Hanya saja pratik peradilan selama

KUHAP berlaku meniru dari prosedur tata cara dalam hal seseorang

mengajukan perkara perdata dalam bentuk gugatan/perlawanan.

Acara praperadilan sebagaimana dimaksudkan tersebut diatas,

dilaksanakan berdasarkan prosedur sebagaimana diatur dalam

Pasal 82 ayat (1) KUHAP berikut:

a. Hakim harus menetapkan hari sidang dalam waktu 3 ( tiga )

hari setelah diterimannya permintaan praperadilan;

b. Dalam melakukan pemeriksaan, hakim harus mendengar

keterangan dari para pihak baik dari pemohon, termohon

maupun dari pejabat yang berwenang;

c. Persidangan dilaksanakan secara cepat, dan paling lambat 7 (

tujuh ) hari hakim harus sudah menjatuhkan putusan;

d. Jika dalam jangka waktu tersebut pemeriksaan belum selesai,

maka permintaan praperadilan menjadi gugur, apabila perkara

tersebut sudah diperiksa di pengadilan;

e. Terhadap putusan praperadilan yang dilakukan pada tingkat

penyidik, tidak menutup kemungkinan pengajuan permintaan

pemeriksaan lagi pada tingkat pemeriksa oleh penuntut

umum.

Page 87: Reformasi Praperadilan Indonesia

f. Dalam menjatuhkan putusannya, maka hakim harus

mencantumkan secara tegas yang memuat dasar putusan

dan alasan / pertimbangan putusan, serta konsekuensi dari

disahkan atau tidak disahknannya alasan praperadilan (ayat 3).

E. GUGURNYA PRAPERADILAN DAN PENGHENTIAN PRAPERADILAN

Pemeriksaan praperadilan bisa gugur artinya pemeriksaan

praperadilan dihentikan sebelum putusan dijatuhkan atau

pemeriksaan dihentikan tanpa putusan. Hal ini diatur dalam

Pasal 82 ayat (1) huruf d yang berbunyi : dalam hal suatu

perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedang

pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan

belum selesai maka permintaan tersebut gugur. Memerhatikan

ketentuan itu gugurnya pemeriksaan praperadilan terjadi: (1)

apabila perkaranya telah diperiksa oleh pengadilan negeri dan (2)

pada saat perkaranya diperiksa pengadilan negeri, pemeriksaan

praperadilan belum selesai.

Pendapat yang menyatakan bahwa penguguran permintaan

yang ditentukan dalam Pasal 82 ayat (1) tidak mengurangi/ tidak

dianggap mengurangi hak tersangka, sebab semua permintaan

itu dapat ditampung kembali oleh Pengadilan Negeri dalam

pemeriksaan pokok.

Berkaitan dengan ketentuan mengenai penghentian

praperadilan didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung

(SEMA) No. 5 Tahun 1985 tentang penghentian praperadilan,

tertanggal 1 Februari 1985. SEMA tersebut menyatakan bahwa

untuk menghindari keragu-raguan apakah acara praperadilan yang

sedang berjalan dapat dihentikan sewaktu-waktu oleh hakim?

Berhubung mengenai hal ini tidak ada pengaturannya dalam

KUHAP, maka Mahkamah Agung memberikan petunjuk sebagai

berikut: Pertama, acara praperadilan yang sedang berjalan dapat

Page 88: Reformasi Praperadilan Indonesia

dihentikan oleh hakim atas dasar permintaan pihak yang semula

mengajukan keberatan;dan Kedua, penghentian itu hendaknya

dilakukan dengan sebuah penetapan.

Page 89: Reformasi Praperadilan Indonesia

BAB III

UPAYA HUKUM DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PRAPERADILAN

A. UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN

Pada hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia dikenal

adanya upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya

hukum biasa yakni banding dan kasasi dimuat dalam Bab XVII

KUHAP, sedangkan upaya hukum luar biasa yakni kasasi demi

kepentingan hukum dan pemeriksaan kembali keputusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dimuat

dalam Bab XVIII KUHAP.

1. Pemeriksaan Banding

Menurut ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP

pemeriksaan Praperadilan dilakukan dengan cara pemeriksaan

cepat. Berdasarkan Pasal 67 KUHAP terhadap putusan

Pengadilan dalam acara pemeriksaan cepat tidak dapat

dimintakan banding, kecuali bagi terdakwa yang dijatuhi

pidana berupa perampasan kemerdekaan (Pasal 205 ayat (3)

KUHAP).

Tidak semua putusan praperadilan dapat dimintakan

banding, sebaliknya pula tidak seluruhnya putusan

praperadilan yang tidak dapat dimintakan banding. Demikian

menurut ketentuan Pasal 83 KUHAP. Dalam Pasal 83 inilah

ditentukan putusan yang menyakut kasus mana yang dapat

Page 90: Reformasi Praperadilan Indonesia

dibanding, dan yang tidak dapat diajukan permintaan banding.

Sesuai dengan isi dari Pasal 83 ayat (1) KUHAP maka terhadap

putusan praperadilan yang berisi penetapan tentang sah atau

tidak sahnya suatu tindakan penangkapan dan penahanan

maka tidak dapat dimintakan pemeriksaan banding.

2. Pemeriksaan Kasasi Terhadap Putusan Praperadilan

KUHAP tidak mengatur mengenai pemeriksaan kasasi

terhadap putusan praperadilan. Dan kalau diperhatikan

perumusan Pasal 83 ayat (2) KUHAP, maka terhadap putusan

praperadilan hanya dapat dimintakan “putusan akhir” kepada

Pengadilan Tinggi. Karena disebut putusan akhir (bukan

putusan pada tingkat akhir) dapat disimpulkan bahwa putusan

praperadilan tidak dapat dimintakan pemeriksaan kasasi,

dengan alasan bahwa ada keharusan penyelesaian secara

cepat dari perkara-perkara praperadilan, sehingga jika masih

dimungkinkan kasasi maka hal itu tidak dapat dipenuhi.

Selain itu wewenang Pengadilan Negeri yang dilakukan dalam

praperadilan dimaksud sebagai wewenang pengawasan

horizontal dari Pengadilan Negeri.

Alasan di atas juga dikuatkan oleh Putusan Mahkamah

Agung yaitu tidak membenarkan atau tidak dapat menerima

permohonan kasasi untuk putusan praperadilan. Hal tersebut

dapat diketahui antara lain dari putusan MA No. 227 K/KR/1982

tanggal 29 Maret 1983 dan No. 680 K/Pid/1983 tanggal 10 Mei

1984 yang dalam pertimbangan pokoknya menyatakan; bahwa

menurut Yurisprudensi tetap terhadap putusan-putusan

praperadilan harus dinyatakan tidak dapat dimintakan kasasi,

sehingga permohonan kasasi terhadap putusan praperadilan

harus dinyatakan tidak dapat diterima. Dan yang terbaru

mengenai kasasi terhadap putusan praperadilan, terdapat di

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 8 Tahun 2011

Page 91: Reformasi Praperadilan Indonesia

tentang perkara yang tidak boleh diajukan kasasi yang mana

terdapat pada butir 2 yang menyebutkan putusan tentang

praperadilan tidak dapat diajukan kasasi.

3. Pemeriksaan Peninjauan Kembali Terhadap Putusan

Praperadilan

Seperti halnya pemeriksaan kasasi terhadap putusan

praperadilan, maka KUHAP juga tidak mengatur secara tegas

tentang pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) terhadap

putusan Praperadilan. Akan tetapi dalam pratek hukum

sudah pernah terjadi pemeriksaan peninjauan kembali

terhadap putusan praperadilan yang didasarkan pada

ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP dan Pasal 21 UU No. 14

Tahun 1970, antara lain:57

1. Putusan MA No. 32 PK/Pid/1989 Tanggal 7 Februari 1991.

Putusan tersebut adalah putusan peninjauan kembali

terhadap putusan praperadilan atas nama pemohon

Drs. Lukito yang dalam amar putusannya menyatakan

mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari

pemohon, membatalkan putusan praperadilan di

Pengadilan Negeri Tebing Tinggi.

2. Putusan MA No. 16 PK/Pid/1989 Tanggal 19 Juni 1990.

Putusan tersebut adalah peninjauan kembali terhadap

putusan praperadilan atas nama pemohon Ridwan

alias Aceng dengan amar putusan yang menyatakan

permohonan peninjauan kembali oleh Ridwan alias Aceng

tersebut tidak dapat diterima dan menetapkan putusan

yang dimohonkan tetap berlaku serta menghukum untuk

membayar biaya perkara.

57 M. A. Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Edisi Ke-5, (Malang, Universitas Muhammadiyah Malang, : 2004), Hlm. 291, 293.

Page 92: Reformasi Praperadilan Indonesia

Dengan demikian dari uraian Putusan MA di atas tentang

peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan, maka

upaya hukum peninjauan kembali dalam praktek hukumnya

dimungkinkan dilakukan.

B. PELAKSANAAN PUTUSAN PRAPERADILAN

Pada dasarnya putusan hakim sudah dijalankan apabila

telah mempunyai kekuatan hukum tetap, begitu pula dengan

putusan praperadilan. Namun demikian putusan yang dijalankan

adalah putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan si

pemohon baik seluruh maupun sebagian. Melihat dalam Pasal 82

ayat (3) KUHAP, bahwa ada 3 (tiga) macam pelaksanaan putusan

praperadilan :

a. Melakukan Perbuatan Tertentu

Isi putusan yang memerintahkan kepada penyidik

atau penuntut yang diajukan permintaan pemeriksaan

praperadilan sebagai termohon untuk melakukan perbuatan

tertentu tercantum dalam Pasal 82 ayat (3 huruf a,b,dan d)

KUHAP meliputi hal-hal sebagai berikut :

1. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan

atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa

penuntut umu pada tingkat pemeriksaan masing-masing

harus membebaskan tersangka.

2. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penghentian

penyidikan tau penuntutan tidak sah, penyidik atau

penuntut terhadap tersangka wajib dilanjutkan.

3. Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita

ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka penyidik

atau penuntut umum harus segera mengembalikan benda

tersebut kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.

Page 93: Reformasi Praperadilan Indonesia

Putusan praperadilan yang mengandung perintah untuk

melakukan perbuatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 82 ayat (3 huruf a,b, dan d) KUHAP dilaksanakan oleh

penyidik atau penuntut umum selaku termohon dalam

putusan praperadilan tersebut. Misalnya putusan praperadilan

menetapkan bahwa penahanan yang dilakukan oleh termohon

adalah tidak sah, apabila tersangka berada dalam tahanan,

penyidik atau penuntut umum sebagaimana tersebut dalam

putusan praperadilan selaku termohon harus membebaskan

tersangka dimaksud dari tahanan, yaitu dengan mengirim

surat perintah pembebasan tersangka dari tahanan kepada

Kepala RUTAN dimana tersangka ditahan. Atas perintah

tersebut, kepala RUTAN membebaskan tersangka dengan

membuat Berita Acara Pelepasan tersebut kepada penyidik atau

penuntut umum. Selanjutnya, setelah Berita Acara tersebut

diterima, penyidik atau penuntut umum yang bersangkutan

membuat laporan pelaksaan putusan praperadilan kepada

Ketua Pengadilan Negeri setempat.

b. Melakukan Pembayaran Sejumlah Uang

Apabila isi putusan paperadilan menetapkan bahwa

tersangka diberikan ganti rugi sebagaimana tersebut

dalam Pasal 82 ayat (3 huruf c) KUHAP, maka tersangka

selaku pemohon berhak untuk mendapat sejumlah uang

sebagaimana tersebut dalam putusan praperadilan. Oleh

karena tindakan yang dilakukan penyidik atau penuntut

umum merupakan tindakan dalam rangka menjalankan

tugasnya sebagai alat Negara penegak hukum, maka ganti

kerugian atas tindakan-tindakan mereka yang menurut

putusan praperadilan adalah tidak sah, dibebankan kepada

Negara. Negara yang memberikan sejumlah uang tertentu

kepada tersangka, dalam hal ini menurut Pasal 11 ayat (1)

Page 94: Reformasi Praperadilan Indonesia

PP No. 27 Tahun 1983 adalah Menteri Keuangan RI. Dalam

pratek setelah penerima petikan ganti kerugian dari panitera

Pengadilan Negeri yang mengadili permintaan pemeriksaan

praperadilannya, pemohon mengajukan permohonan

pelaksaan putusan praperadilan kepada Ketua Pengadilan

Negeri membuat surat ketetapan pembayaran ganti kerugian

dengan melampirkan surat permohonan pemohon, dan

putusan praperadilan tersebut kepada kantor perbendaharaan

Negara. Kemudian atas perintah Ketua Pengadilan Negeri,

kantor perbendaharaan Negara mengeluarkan surat perintah

membayar uang sejumlah yang telah ditetapkan dalam

putusan praperadilan dan mengirimkanya kepada Ketua

Pengadilan Negeri. Karena yang mengajukan permintaan

kepada kantor perbendaharaan Negara adalah Pengadilan

Negeri lalu uang tersebut diserahkan kepada pemohon.

c. Pemberian Rehabilitasi

Putusan praperadilan menetapkan bahwa suatu

pengkapan atau penahanan tidak sah maka dalam putusan

dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi

yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian

penyidikan atau penuntut adalah sah dan tersangkanya tidak

ditahan yang rehabilitasinya dicantumkan dalam Pasal 82 ayat

(3 huruf c) KUHAP. Dalam hal pemberian rehabilitasi, menurut

Pasal 15 PP No. 27 Tahun 1983 isi putusan atau penetapan

rehabilitasi diumumkan oleh panitera dengan menetapkannya

pada papan pengumuman pengadilan. Penetapan pemberian

rehabilitasi hendaknya tidak saja dimuat dalam papan

pengumuman pengadilan melainkan dimuat juga dalam

media masa, demi nama baik oang yang bersangkutan yang

sudah tercemar dimata masyarakat.

Page 95: Reformasi Praperadilan Indonesia

BAB IV

REFORMASI PRAPERADILAN

A. KELEMAHAN PRAPERADILAN KUHAP

Di tengah situasi penegakan hukum yang penuh dengan

aroma ”mafi a peradilan”, KUHAP justru memberikan peluang bagi

aparat penegak hukum dalam soal penahanan untuk menafsirkan

dibolehkannya menahan seseorang yang diduga sebagai pelaku

tindak pidana secara subjektif. Artinya, kewenangan menahan

atau tidak sepenuhnya tergantung dari penyidik dengan dasar

yuridis yang bersifat sangat subjektif pula. Dalam hal ini, situasi

penegakan hukum dan instrumen hukum saling mendukung

dalam menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi.

Penulis menilai bahwa potensi penyalahgunaan wewenang

juga terjadi terhadap ketentuan KUHAP tentang “bukti permulaan

yang cukup” karena KUHAP tidak pernah menjelaskan secara

memadai pengertian dan batasannya. Penafsiran atas “bukti

permulaan yang cukup” akhirnya diserahkan kepada aparat

penegak hukum, yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum

dan berakibat pada metode kerja penyidik yang masih mewarisi

cara-cara masa lalu yaitu dengan “tangkap dulu baru pembuktian”.

Ketidakjelasan pengertian maupun batasan ”bukti permulaan

yang cukup” menunjukkan bahwa KUHAP tidak konsisten dengan

semangat lahirnya, yaitu menjunjung tinggi harkat dan martabat

manusia yang memilki hak-hak asasi yang harus dihormati dan

dijunjung tinggi.

Page 96: Reformasi Praperadilan Indonesia

Bukti permulaan yang cukup merupakan dasar untuk

melakukan upaya paksa khususnya penangkapan dan penahanan,

dalam menggunakan upaya paksa ini telah terjadi pengurangan

terhadap hak asasi manusia yaitu kebebasan, sehingga harus

betul-betul didasarkan pada bukti yang akurat dan memadai,

apalagi penangkapan, penahanana maupun upaya paksa lainnya

terkait dengan nama baik seseorang, meski di dalam hukum

pidana digunakan asas praduga tidak bersalah tetapi di tengah

masyarakat orang yang pernah ditangkap dan ditahan terkadang

mendapat stigma yang negatif. Bukti permulaan yang cukup

seharusnya dikaitkan dengan ketentuan pasal 183 KUHAP yang

mengatur tentang batas minimal alat bukti yaitu minimal harus

ada 2 (dua) alat bukti yang sah dan keyakinan hakim.

Penyidikan polisi merupakan proses untuk membuktikan

bahwa seorang tersangka/terdakwa betulbetul melakukan

tindak pidana, sehingga proses ini adalah rangkaian kegiatan

mengumpulkan dan memperdalam alat bukti yang sah, sebagai alat

untuk membuktikan di pengadilan. Seorang terdakwa harus betul-

betul melakukan tindak pidana, dan karenanya pantas dijatuhi

sanksi pidana. Pengadilan yang akan menguji apakah dakwaan

penuntut umum beserta bukti-bukti yang diajukan dapat dijadikan

sebagai alat bukti yang sah untuk mempidanakan seseorang.

Namun, belum tentu alat bukti yang berhasil dikumpulkan

oleh penyidik diakui sebagai alat bukti yang sah oleh hakim di

pengadilan. Sehingga, lebih tepat jika masih berada dalam tahap

penyidikan, alat bukti yang dikumpulkan penyidik disebut sebagai

”calon alat bukti”. Hal ini dapat pula dikaitkan dengan asas praduga

tidak bersalah.

Ketidakjelasan pengertian ”bukti permulaan yang cukup” juga

berakibat tidak dapat dilakukannya pengujian oleh hakim dalam

praperadilan. Praperadilan hanya menguji syarat administratif

Page 97: Reformasi Praperadilan Indonesia

dalam pengkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau

penghentian penuntutan, tetapi tidak menyentuh aspek subtansial

pembuktian yaitu terpenuhinya bukti permulaan yang cukup.

Penulis juga menilai, selain luasnya kewenangan penyidikan

dalam menentukan bukti permulaan yang cukup, pengawasan

terhadap kewenangan tersebut juga lemah. Oleh karena itu,

sehingga penulis berpendapat, kewenangan hakim perlu ditinjau

kembali dalam hal menentukan perlu tidaknya penahanan dan

tidak sekedar menentukan sah tidaknya penahanan dalam

proses praperadilan, mengingat tingginya keluhan publik tentang

masalah penahanan.

Semestinya, memang ada upaya kontrol terhadap setiap

aparat penegak hukum pada lembaganya masing-masing secara

vertikal. Namun pengawasan ini tidak cukup kuat karena sangat

tergantung dari kesungguhan dan kemauan internal lembaga itu

sendiri. Maka, diperlukan pengawasan horizontal, yang dilakukan

secara sejajar atau pengawasan dalam tingkat yang sama.

Berdasarkan hal tersebut penulis menyimpulkan bahwa

KUHAP perlu direvisi khususnya mengenai mekanisme saling

mengawasi antara penegak hukum dan lembaga dalam subsistem

peradilan. Maksudnya antara penyidikan, penuntutan, pembelaan,

pemeriksaan hakim dan tingkat upaya hukum. Selain itu, penulis

juga menilai, ketentuan praperadilan dalam KUHAP hanya sebatas

menguji (examinator judge) sah atau tidaknya penangkapan,

penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan

tetapi tidak meliputi menguji tindakan menyimpang dari penyidik

jadi di harapkan dari posisi examinator judge harusnya menjadi

investigating judge.

Didalam sistem hukum acara pidana di Indonesia, Penulis

menilai ada 5 (lima) masalah terkait penahanan, praperadilan

dan pengawasan upaya paksa, yakni sebagai berikut:

Page 98: Reformasi Praperadilan Indonesia

1. Pengujian penahanan: terbatas hanya review administratif

dan dasar objektif penahanan

Dalam praktiknya, praperadilan hanya menguji syarat-

syarat penahanan yang bersifat formal administratif. Hakim

hanya memerhatikan ada atau tidak adanya surat perintah

penangkapan, atau ada tidaknya surat perintah penahanan,

dan sama sekali tidak menguji dan menilai syarat materiilnya.

Padahal syarat materiil inilah yang menentukan seseorang

dapat dikenakan upaya paksa berupa penangkapan atau

penahanan oleh penyidik atau penuntut umum.

Aturan penahanan KUHAP justru memberikan peluang

bagi aparat penegak hukum menafsirkan dibolehkannya

menahan seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak

pidana secara subjektif. Artinya kewenangan menahan atau

tidak sepenuhnya tergantung dari penyidik dengan dasar

yuridis yang bersifat sangat subjektif pula.58 Dalam hal ini,

baik situasi penegakan hukum dan instrumen hukum saling

mendukung potensi penyalahgunakan kewenangan untuk

kepentingan pribadi. Menurut hasil penelitian KHN dan ICJR,

penyidik maupun penuntut dalam menggunakan kewenangan

”penahanan” atau ”lanjutan penahanan” didasarkan pada

feeling seorang penyidik maupun penuntut terhadap keadaan

seorang tersangka.

58 Ketentuan pasal 21 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi ”Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulagi tindak pidana lagi”. Apa yang diatur dalam pasal 21 ayat (1) KUHAP adalah pertimbangan subjektif, adapun pertimbangan obyektif diatur dalam pasal 21 ayat (4) KUHAP yang berbunyi ” Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3) dan seterusnya”

Page 99: Reformasi Praperadilan Indonesia

Karena tidak ada forum yang berwenang memeriksanya,

sampai saat ini masih banyak penyalahgunaan kekuasaan

dan kesewenang-wenangan dalam hal penangkapan dan

penahanan terhadap seorang tersangka/terdakwa oleh pihak

penyidik/penuntut umum. Padahal dalam sistem habeas

corpus, hal ini justru menjadi tonggak ujian sah tidaknya

penahanan terhadap seseorang ataupun boleh tidaknya

seseorang ditahan. Oleh karena itu, tidak tepat jika hakim,

melalui praperadilan, hanya memeriksa bukti formil dan

mengenyampingkan fakta yang terjadi (materil). Peran

hakim yang seperti demikian, menyimpangi tujuan proses

peradilan pidana yang mencari kebenaran materil. Sangat

sulit mengharapkan kebenaran materil jika dalam tahapan

praajudikasi karena hakim hanya memeriksa bukti formil saja

sebagaimana dipraktikan dalam praperadilan.

2. Sikap hakim yang cenderung pasif dalam praperadilan

Dalam menggunakan kewenangannya, hakim pada

praperadilan bersikap pasif, yang hanya dapat dipergunakan

jika ada permohonan. Hakim praperadilan menunggu

adanya permohonan dari para pemohon yang merasa

haknya dilanggar atau dirugikan atas tindakan hukum

yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum dan

permohonan ganti kerugian.

Hakim praperadilan tidak boleh bertindak aktif atau

inisiatif sendiri untuk melakukan pengujian terhadap dugaan

terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh penyidik atau

penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa. Tetapi,

hakim yang mengetahui terjadinya pelanggaran hukum pada

tahap pendahuluan oleh penyidik atau penuntut umum,

dapat menggunakan wewenangnya pada saat pemeriksaan

pokok perkara untuk mempertimbangkan penyidikan atau

Page 100: Reformasi Praperadilan Indonesia

penuntutan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara

atau yang melawan hukum.

Misalnya, hakim mengetahui dalam sidang pengadilan

tentang penyimpangan dalam pengumpulan alat bukti

dijadikan dasar untuk menilai kekuatan alat bukti tersebut

dalam pembuktian, penahanan yang tidak sesuai dengan

prosedur, dipertimbangkan untuk menjatuhkan pidana yang

lebih ringan. Praperadilan tidak berwenang untuk menguji dan

menilai sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan

tanpa permintaan dari tersangka atau keluarganya atau pihak

lain atas kuasa tersangka, Sehingga, maka sidang praperadilan

tidak dapat ditiadakan apabila tidak ada permintaan,

walaupun tindakan penangkapan atau penahanan nyata-

nyata menyimpang dari ketentuan yang berlaku.

3. Gugurnya praperadilan yang menghilangkan hak tersangka

Gugurnya pemeriksaan praperadilan terjadi apabila

perkaranya diperiksa PN atau pada saat perkaranya diperiksa PN,

pemeriksaan praperadilan belum selesai. Hal ini dimaksudkan

untuk menghindari terjadinya penjatuhan putusan yang

berbeda. Oleh karena itu lebih tepat pemeriksaan praperadilan

dihentikan dengan jalan menggugurkan permintaan, dan

sekaligus semua hal yang berkenaan dengan perkara itu ditarik

ke dalam kewenangan PN untuk menilai dan memutusnya.

Menurut banyak teoritis, ketentuan tersebut tidak mencerminkan

keadilan, karena dengan demikian tindakan yang dilakukan oleh

pejabat yang bersangkutan tidak bisa diketahui sah menurut

hukum ataukah tidak. Meskipun Hakim berwenang melakukan

penahanan, namun ia tidak bisa diajukan praperadilan. Oleh

karena itu, jika ada permintaan pemeriksaan praperadilan

terhadap seorang Hakim, haruslah ditolak dengan surat biasa

di luar sidang (SEMA No. 14 Tahun 1983).

Page 101: Reformasi Praperadilan Indonesia

Surat Edaran tersebut menyebutkan, apabila telah

dilakukan penahanan oleh Hakim maka pemeriksaan

perkara pokok akan segera mulai diperiksa sehingga

permohonan praperadilan dimaksud adalah hal yang bersifat

sia-sia. Ketentuan ini membatasi wewenang praperadilan

karena proses pemeriksaan Praperadilan ”dihentikan”

dan perkaranya menjadi gugur pada saat perkara pidana

pokoknya mulai diperiksa oleh PN. Kalau proses praperadilan

yang belum selesai dihentikan dan perkaranya yang sedang

diperiksa menjadi dianggap gugur atas alasan perkara

pidana pokok sudah mulai disidangkan, maka tujuan

praperadilan menjadi tidak berfungsi, kabur dan hilang.

Tujuan praperadilan adalah memberikan penilaian hukum

tentang pemeriksaan pendahuluan terhadap tersangka

seperti yang dimaksud dalam Pasal 77 KUHAP, yang

keputusannya menjadi dasar untuk membebaskan tersangka

dari penangkapan dan/atau penahanan yang tidak sah serta

tuntutan ganti rugi.

Oleh karena itu, sistem praperadilan seharusnya menjamin

keputusan hukum yang tuntas, tidak dengan sistem gugur itu.

Sistem hukum yang sesuai dengan azas ”due proccess of law”

harus menjamin proses praperadilan selesai hingga terdapat

keputusan yang tidak dapat diganggu gugat lagi. Pemeriksaan

perkara pidana pokok oleh pengadilan seharusnya menunggu

sampai selesainyabpemeriksaan oleh praperadilan, dan bukan

sebaliknya. Dengan demikian permasalahan hukum dalam

pemeriksaan pendahuluan seperti yang dimaksud dalam Pasal

77 KUHAP menjadi tidak terjawab, yang merugikan tersangka

dan merugikan citra hukum dan keadilan.59

59 Harjono Tjitrosoebono, Komentar DPP Peradin Terhadap Hukum Acara Pidana (HAP), (Jakarta: 1981), Hlm. 28.

Page 102: Reformasi Praperadilan Indonesia

Adanya putusan gugur dalam praperadilan menutup

kemungkinan bagi pemohon untuk melakukan upaya

hukum atas putusan tersebut, karena upaya hukum tersebut

sangatlah penting bagi pemohon untuk mengetahui

keabsahan dari tindakan hukum (penangkapan dan atau

penahanan) yang dilakukan oleh Pejabat tertentu berdasarkan

kewenangannya terhadap diri tersangka. Seharusnya ada

upaya hukum yang memberikan perlindungan hukum

bagi mereka yang ditangkap, ditahan ataupun dihentikan

penyidikan dan penuntutannya, dimana perkara pokoknya

telah diperiksa di sidang Pengadilan. Jika hal ini tidak

dilakukan oleh pembuat undang-undang maka akan terjadi

tindakan kesewenang-wenangan oleh pejabat. Apabila

terjadi permohonan praperadilan baik terhadap penyidik

maupun Penuntut Umum, maka kedua pejabat tersebut

dapat dengan leluasa melakukan upaya pelimpahan perkara

ke PN dengan harapan akan dilakukan pemeriksaan terhadap

perkara tersebut yang berakibat gugurnya permohonan

praperadilan tersebut.

4. Masalah hukum acara praperadilan: antara perdata, pidana

dan minus aturan

Sebagian hukum acara dan proses pemeriksaan

Praperadilan, memang telah diatur dalam KUHAP. Namun

Pengaturan yang ada terlalu singkat, sehingga tidak

memberikan kejelasan tentang hukum acara mana yang

akan digunakan. Di dalam praktik, hukum acara pemeriksaan

praperadilan adalah hukum acara perdata. Khusus mengenai

penahanan, penggunaan hukum acara perdata akan membawa

komplikasi tersendiri karena Pemohon/Tersangkalah yang

harus membuktikan bahwa penahanan terhadap dirinya

bertentangan dengan Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Selain itu

Page 103: Reformasi Praperadilan Indonesia

penggunaan hukum acara perdata juga akan “memaksa”

pengadilan untuk hanya memeriksa aspek–aspek administratif

dari penahanan seperti ada tidaknya surat perintah penahanan.

Karena hukum acara praperadilan dalam KUHAP tidak

diatur secara tegas, dan karena sifatnya permohonan, maka

hakim mengacu pada hukum acara perdata. Dalam hukum

acara perdata, praperadilan diajukan di tempat termohon.

Beberapa hal yang tidak di atur di dalam KUHAP: (i) masalah

pemanggilan kepada ‘termohon’; (ii) tata cara mengajukan

praperadilan oleh Pemohon (iii) minimnya pengaturan beban

pembuktian (burden of proof), sehingga tidak konsisten

digunakan. Jika para pihak tidak hadir, tidak ada ketentuan

hukum acaranya dalam KUHAP walaupun secara hukum acara

perdata diperbolehkan, sehingga hakim tidak akan melakukan

verstek dalam praperadilan.

5. Masalah manajemen perkara praperadilan dan ketepatan

waktu praperadilan

Ada tiga pendapat yang berbeda sebagai pedoman

dalam menentukan tenggang waktu praperadilan. Pertama,

pendapat yang menyatakan bahwa putusan dijatuhkan

tujuh hari sejak penetapan sidang, maka hakim harus

menjatuhkan putusan tujuh hari sejak penetapan hari sidang.

Berarti penetapan pemanggilan dan pemeriksaan sidang

maupun penjatuhan putusan berada dalam jangka waktu

tersebut dan tidak memperhitungkan tanggal penerimaan

dan tanggal regsitrasi. Jangka waktu antara penerimaan

dengan penetapan hari sidang dikeluarkan dari perhitungan

tenggang waktu yang ditentukan pasal 82 ayat (1) huruf c.

Dalam pendapat ini seakan-akan ada suatu pertimbangan

atas makna proses pemeriksaan cepat, padahal ketentuan

pasal dimaksud sudah menegaskan bahwa pemeriksaan

Page 104: Reformasi Praperadilan Indonesia

dilakukan dengan acara cepat. Karene itu, perhitungan

tenggang waktu tujuh hari dimulai dari tanggal penetapan

hari sidang. Pendapat ini kurang tepat dan tidak memnuhi

perintah undang-undang.

Pendapat kedua, tenggang waktu dihitung tujuh hari

sejak sidang pertama dibuka, yaitu setelah didaftarkan

melalui kepaniteraan pidana, dimasukkan ke register, dan

disampaikan ke meja ketua untuk penunjukkan hakim. Hal ini

terjadi karena biasanya ada waktu tiga hari dalam menentukan

hari sidang. Proses pemanggilan dihadapkan pada syarat

sahnya pemanggilan setidaknya tiga hari sebelum sidang.

Hari Sabtu dan Minggu tidak dihitung dalam tenggang waktu

ini. Setelah hari siding ditetapkan, tenggang waktu tujuh hari

dimulai. Meski demikian, pengadilan tidak mengetahui pasti

apakah tenggang waktu yang dimaksud adalah tujuh hari kerja

atau tujuh hari kalender. Penunjukkan hakim oleh Ketua PN

biasanya seesai dalam satu hari, dan hakim yang ditunjuk

sudah menetapkan hari sidang dalam satu hari. Pemanggilan

sendiri membutuhkan waktu tiga hari, sehingga banyak hakim

menetukan bahwa penentuan tujuh hari dihitung sejak sidang

pertama digelar. Pendapat ini juga kurang tepat dan tidak

memenuhi perintah undang-undang.

Pendapat ketiga yang menyatakan tenggang waktu tujuh

hari dihitung sejak tanggal pencatatan adalah pendapat yang

lebih dekat dengan Pasal 82 ayat (1) huruf c. Menurut pendapat

ini, hakim harus menjatuhkan putusan dalam tujuh hari sejak

permohonan diregister di kepaniteraan pengadilan.

Pendapat ini lebih sesuai dengan prinsip peradilan yang

cepat. Secara teoritis tidak ada pilihan bagi hakim untuk

untuk mengingkari jika berpegang kepada ketentuan undang-

undang. Hakim harus memberikan pelayanan yang cepat

Page 105: Reformasi Praperadilan Indonesia

sehingga putusan mesti dijatuhkan dalam waktu tujuh hari.

Namun dalam praktik, para hakim tidak dapat memenuhi

tenggat waktu tersebut secara tepat.

B. PRAPERADILAN SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUUXII/2014

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-

XII/2014. Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian

permohonan terpidana korupsi kasus proyek biomediasi PT

Chevron Bachtiar Abdul Fatah yang salah satunya menguji

ketentuan objek praperadilan yang menjadi polemik terutama

pasca putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

yang membatalkan status tersangka Budi Gunawan. Mahkamah

Konstitusi di dalam isi putusannya menyatakan inkonstitusional

bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan

yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14,

Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal

dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP

dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai

termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan

pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan

hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai

tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal

ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik

terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu. Saat

KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan tersangka belum

menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat

Indonesia. Upaya paksa pada masa itu secara konvensional

dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan,

dan penuntutan, namun pada masa sekarang bentuk upaya paksa

Page 106: Reformasi Praperadilan Indonesia

telah mengalami berbagai perkembangan atau modifi kasi yang

salah satu bentuknya adalah penetapan tersangka oleh penyidik

yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau

status tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya untuk

melakukan upaya hukum untuk menguji legalitas dan kemurnian

tujuan dari penetapan tersangka tersebut. Padahal hukum harus

mengadopsi tujuan keadilan dan kemanfaatan secara bersamaan

sehingga jika kehidupan sosial kompleks maka hukum perlu lebih

dikonkretkan secara ilmiah dengan menggunakan bahasa yang

lebih baik dan sempurna. Dengan kata lain, prinsip kehati-hatian

haruslah dipegang teguh oleh penegak hukum dalam menetapkan

seseorang menjadi tersangka.60

C. REFORMASI LEMBAGA PRAPERADILAN DALAM PERSFEKTIF HAK ASASI MANUSIA DI MASA MENDATANG

Secara sosiologis, praktek persoalan mengenai praperadilan

sering terjadi dan kadang-kadang masih menjadi permasalahan

karena tidak adanya persepsi dan penafsiran yang seragam dan hal

itu terjadi karena KUHAP tidak mengaturnya. Diperlukan adanya

kebijakan di bidang sistem peradilan pidana, apabila diajukan

permohonan praperadilan oleh pihak yang merasa dirugikan akibat

dari tindakan pejabat baik penyidikan maupun penuntutan, dimana

kebijakan tersebut dapat berupa amandemen Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dengan jalan menambah

ketentuan ”apabila dilakukan permohonan praperadilan,

seharusnya perkara pokok tidak dilimpahkan ke Pengadilan Negeri

sebelum diputuskan permohonan praperadilan ini.

Hal ini bertujuan memberikan perlindungan hukum dan

kepastian hukum terhadap tersangka yang dikenai tindakan

60 Putusan Mahkamah Konstitusi 21/PUU-XII/2015, Hlm.104.

Page 107: Reformasi Praperadilan Indonesia

penangkapan dan / atau penahanan oleh pejabat yang

berwenang dimana tindakan pejabat tersebut akan dinilai atau

dikontrol oleh lembaga Praperadilan melalui putusannya yang

mempertimbangkan keabsahan dari tindakan pejabat dimaksud.

Sehingga nantinya tidak ada putusan Praperadilan yang serta merta

dinyatakan gugur akibat mulai diperiksanya perkara pidana pokok

terhadap tersangka. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu,

terlepas dari konteks diatas ternyata ada sebuah pemikiran baru

tentang perlunya perubahan dan pembaharuan KUHAP.

Pertanyaan kritis dari aspek ini adalah apakah memang

diperlukan perubahan dan pembaharuan KUHAP, sehingga

diperlukan pembahasan tentang RUU-KUHAP untuk masa

mendatang (ius constituendum). Kemudian pertanyaan yang

timbul berikut apakah dengan adanya RUU-KUHAP, yang nantinya

apabila disetujui menjadi undang-undang selaku hukum positif,

apakah dapat memberikan sebuah garansi bahwa undang-

undang yang dihasilkan tersebut akan menjadi relatif lebih baik

dari aspek substansi, redaksional, dan akhirnya akan memberi

pengaruh yang besar terhadap penerapan pasal-pasal tersebut

pada praktek pengadilan.

Harus diakui memang, bahwa undang-undang (hukum)

relatif jauh tertinggal dengan perkembangan masyarakat (law in

action). Akan tetapi, hal ini bukanlah berarti an sich kita harus

mengganti KUHAP dengan pembaharuan melalui RUU-KUHAP

secara menyeluruh. Penerapan KUHAP memang banyak aspek

positif dapat dipetik. Akan tetapi disisi lainnya memang harus

diakui bahwa KUHAP dalam penerapannya banyak kekurangan

di sana sini.

Oleh karena itu dengan dimensi yang demikian bahwa

penggantian KUHAP yang telah berjalan dalam praktik selama

kurang lebih 28 tahun, dengan RUU-KUHAP tidak bersifat gradual

Page 108: Reformasi Praperadilan Indonesia

dan menyeluruh, tetapi hendaknya bersifat parsial di mana dari

sisi kebijakan formulatif dan aplikasi yang terjadi dalam praktik

dianggap penerapannya kurang maksimal dan akomodatif,

hendaknya diperbaharui dan dirumuskan kembali sehingga

menjadi lebih bersifat aspiratif. Rumusan substansi lembaga

hakim komisaris sebagai pengganti lembaga praperadilan

yang dirumuskan oleh tim nasional yang dibentuk oleh

Departemen Hukum dan Ham R.I tahun 2007 dalam Rancangan

Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (R KUHAP) yang

dicantumkan dalam Pasal 73 sampai dengan Pasal 81 adalah

sebagai berikut :

Pasal 73 Rancangan KUHAP menyebutkan :

1. Hakim Komisaris berwenang menetapkan atau memutuskan:

a. Sah atau t idaknya penangkapan, penahanan,

penggeledahan, penyitaan, penghentian penyidikan,

atau penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan

asas oprtunitas ;

b. Penahanan atas permintaan penuntut umum ;

c. Ganti kerugian dan / atau rehabilitasi bagi seorang yang

ditangkap atau ditahan secara tidak sah ;

d. Dapat atau tidaknya dilakukan pemeriksaan pada tahap

penyidikan dan penuntutan tanpa didampingi oleh

penasihat hukum ;

e. Menangguhkan penahanan ; dan

f. Suatu perkara layak atau tidak layak untuk dilakukan

penuntutan ke pengadilan

2. Hakim Komisaris memberi putusan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d berdasarkan

permohonan tersangka atau korban, serta huruf e dan huruf

f berdasarkan permintaan penuntut umum.

Page 109: Reformasi Praperadilan Indonesia

3. Hakim Komisaris memberikan penetapan penangkapan,

penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan, atau

penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan atas asas

oprtunitas, atas perkara sendiri, setelah menerima tembusan

surat penangkapan, penahanan, penyitaan, penghentian

penyidikan, atau penghentian penuntutan yang tidak

berdasarkan atas asas oportunitas.

4. Hakim Komisaris dapat memerintahkan pemeriksaan atas

orang saksi yang mungkin tidak dapat hadir pada saat

persidangan, berdasarkan permohonan tersangka, terdakwa

atau penuntut umum.

5. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan

dihadapan tersangka atau terdakwa dan penuntut umum agar

pemeriksaan sidang dapat dilakukan

Pasal 80 R KUHAP menyebutkan :

1. Hakim komisaris berkantor di atau dekat rumah tahanan

negara;

2. Hakim komisaris menerapkan hakim tunggal, memeriksa,

menetapkan atau memutus karena jabatannya seorang diri;

3. Dalam menjalankan tugasnya hakim komisaris dibantu oleh

seorang panitera beberapa orang staf sekretaris

Bahwa setelah mendapat tanggapan dari berbagai pihak

selanjutnya terdapat perubahan dalam ketentuan Pasal tersebut

diatas yaitu :

Pasal 73 berbunyi sebagai berikut :

Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai

dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang :

a. Tidak ditangkap dan ditahan tersangka / terdakwa yang

mengancam dan membahayakan keamanan korban, pelapor

dan saksi.

Page 110: Reformasi Praperadilan Indonesia

b. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian

penyidikan atau penghentian penuntutan.

c. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang

berperkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan

atau penuntutan.

Pasal 74 menyebutkan :

1. Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 73 adalah praperadilan.

2. Praperadilan dipimpin oleh Hakim tunggal yang ditunjuk oleh

Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang Panitera.

Dengan substansi Pasal 80 R KUHAP tersebut diatas, bila

lembaga hakim komisaris disahkan dan diberlakukan akan

menimbulkan kerugiankerugian sebagai berikut :

a. Menjadi beban yang sangat berat bagi pemerintah RI untuk

: 1) Penyediaan pembiayaan baik untuk gaji operasional cost

maupun pendidikan dan pelatihan ; 2) Penyediaan sarana

prasarana perkantoran, perumahan dinas dan transportasi.

b. Semakin permanen terbentuk kolusi dan korupsi yang

sulit untuk disentuh oleh hukum dengan mengedepankan

presumption of innoncent, indepedensi dan impartial judge,

dengan mengorbankan hak korban, pelapor dan saksi.

c. Tidak mengutamakan kepentingan hak korban, pelapor, atau

saksi yang lebih dominan kepentingan aparat penegak hukum.

d. Tidak efektif dalam memberikan jaminan kepastian hukum

dan keadilan kepada para pihak berperkara

Kritik selalu dilontarkan sehubungan dengan terlalu banyaknya

instrumen HAM yang memfokuskan pada perlindungan pelaku

tindak pidana, sedangkan perhatian terhadap korban yang

seharusnya dilakukan atas dasar belas kasian dan hormat atas

Page 111: Reformasi Praperadilan Indonesia

martabat korban (compassion and respect for their dignity) seolah-

oleh dilupakan, atau paling tidak kurang diperhatikan.

Dengan adanya perubahan Rancangan KUHAP setelah

mendapat tanggapan dari berbagai pihak, juga terdapat perubahan

mengenai keberadaan Hakim Komisaris yang diganti dengan

mengaktifk an kembali lembaga praperedilan dengan berbagai

perubahan ataupun perluasan wewenangnya. Disamping

perluasan wewenang tersebut hal yang lebih penting adanya

perlindungan hak asasi terhadap tersangka / terdakwa dan korban,

pelapor, maupun saksi secara seimbang. Dengan kerugian-

kerugian tersebut diharapkan negara Indonesia tidak perlu

meniru bentuk lembaga hakim komisaris. Yang paling utama

adalah moralitas manusia yang ditunjuk sebagai pejabat dalam

sistem peradilan pidana yang telah ditetapkan. Untuk itu lembaga

praperadilan tetap diterapkan dalam rancangan undang-undang

tentang hukum acara pidana dengan rumusan lebih kongkretkan

dan lebih mengutamakan kepentingan tersangka / terdakwa dan

korban, pelapor, serta secara seimbang, agar jangan sampai hak

korban, pelapor dan saksi dikorbankan.

Page 112: Reformasi Praperadilan Indonesia
Page 113: Reformasi Praperadilan Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005).

Achmat Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009).

Ansorie (et al), Hukum Acara Pidana, (Bandung:Angkasa, 1990).Bagir Manan, Peranan Pendidikan Tinggi Hukum Dalam Reformasi Hukum,

(Varia Peradilan No. 256 Maret 2007).Barda Nawawi Arief, Pendekatan Keilmuan Dan Religius Dalam Rangka

Optimalisasi Dan Reformasi Penegakan Hukum (Pidana) Di Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit Univesitas Diponegoro, 2011).

Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan Pidana (Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia), (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro: 2011).

Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan Pidana (Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia), (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro: 2011).

Darwan Prints, Praperadilan dan Perkembagannya Di Dalam Praktek, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti 1993.

Harjono Tjitrosoebono, Komentar DPP Peradin Terhadap Hukum Acara Pidana (HAP), (Jakarta,:1981)

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Rajagrafi ndo Persada: Jakarta, 2011.

Lawrence M. Friedman, Legal System: A Social Science Perspective, (New York: Russel Sage Foundation, 1975).

Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perpektif Teoritik Dan Praktik Peradilan, (Bandung, Mandar Maju: 2007).

Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritik Dan Praktik Peradilan, (Bandung: Mandar Maju, 2007).

Page 114: Reformasi Praperadilan Indonesia

M. A. Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Edisi Ke-5, (Universitas Muhammadiyah Malang, Malang : 2004)

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan Banding Kasai dan Peninjauan Kembali, (Jakarta, Sinar Grafi ka: 2006).

Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif, (Yogyakarta: AnthonyLib, 2009).

Mochamad Anwar, Praperadilan, Ind-Hil-Co, (Jakarta: 1989)Muladi, Kapita Selekta Sistem peradilan Pidana, (Semarang: Badan

Penerbit UNDIP).Muladi, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Citrabaru, 1994).O.C. Kaligis , Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa

dan Terpidana, (Bandung, Alumni: 2006)Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: CV. Mandar

Maju, 1996).Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perpesktif Eksistensialisme

Dan Abolisionisme, (Penerbit Putra A. Bardin, 1996). Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2000).Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

(Jakarta: PT. Raja Grafi ndo Persada, 2004).Yanto, Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan Pidana, Cetakan Pertama

(Yogyakarta: Kepel Press, 2013).Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep Komponen,

Dan Pelaksanaannnya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009).

Page 115: Reformasi Praperadilan Indonesia

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

NAMA : Dr. Anang Shophan Tornado, SH. MH. M .Kn.Lahir : Banjarmasin. Tanggal : 2 Oktober 1979.Pekerjaan : Dosen FH ULM.Agama : Islam.Alamat Kantor : FH ULM Jalan Brigjen Hasan Basri Kayu Tangi

Banjarmasin.

Riwayat Pendidikan 1). SDN Belitung Selatan 5 Banjarmasin lulus tahun 1992.2). SMPN 5 Banjarmasin Lulus Tahun 1995.3). SMUN 6 Banjarmasin Lulus Tahun 1998.4). Fakultas Hukum ULM Lulus Tahun 2004.5). Magister Ilmu Hukum ULM Lulus Tahun 2010.6). Magister Kenotariatan UGM Lulus Tahun 2012.7). Program Doktoral Ilmu Hukum UB Lulus Tahun 2018. Riwayat Pekerjaan 1). Dosen Fakultas Hukum ULM.2). D osen Magister Ilmu Hukum ULM.3). Dosen Magister Ilmu Hukum STIHSA3). Dosen Magister Kenotariatan ULM.4). Dosen luarbiasa Fakultas Ekonomi ULM.