praperadilan bg
DESCRIPTION
Membahas pendapat mengenai praperadilan BGTRANSCRIPT
ANALISA HUKUM TERHADAP KEWENANGAN KPK DAN OBJEK
PRAPERADILAN DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN
NOMOR.04/PID.PRAP/2015/PN.JAK SEL
Oleh :Solihin Niar Ramadhan1
110110110195
I. KASUS POSISI
1. Pada tanggal 12 Januari 2015, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) telah menetapkan status Komjen Pol Budi Gunawan
menjadi tersangka.2
2. Komjen Pol Budi Gunawan diduga melakukan tindak pidana
korupsi, yakni diduga menerima hadiah atau janji pada saat
menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi SDM
Mabes Polri periode tahun 2003-2006 dan jabatan lainnya di
Kepolisian RI.
3. Komjen Pol Budi Gunawan diduga telah melanggar Pasal 5
ayat 2, Pasal 11, dan Pasal 12 huruf a atau huruf b Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
1 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, angkatan 2011, aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan salah satunya Himpunan Mahasiswa Pidana (HIMAPI) FH UNPAD.
2 “Kronologi Kasus Budi Gunawan dan Ketegangan KPK-POLRI”, dalam <http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150216_kronologi_bg_kpk>, [17/02/2015].
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1
kesatu KUHPidana.
4. Pada tanggal 19 Januari 2015, Komjen Pol Budi Gunawan
melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan
praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena
penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK.
5. Pada tanggal 02 Februari 2015, Sidang perdana perkara
praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas nama
pemohon Komjen Pol Budi Gunawan dimulai dan dipimpin oleh
hakim tunggal Sarpin Rizaldi. Perkara tersebut terdaftar dengan
Nomor.04/Pid.Prap/2015/PN.Jak Sel., namun sidang tersebut
ditunda selama sepekan setelah kuasa hukum KPK tidak hadir
pada persidangan.
6. Dalam sidang kedua, tanggal 09 Februari 2015, kedua pihak
hadir. Pihak Budi Gunawan diminta terlebih dulu
menyampaikan dalil permohonan. Pada intinya, kuasa hukum
Budi menilai penetapan tersangka kliennya tidak sah.
Sedangkan, KPK menilai praperadilan yang diajukan Budi
Gunawan bersifat prematur karena dalam Pasal 77 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur
mengenai praperadilan, tak ada aturan mengenai penetapan
tersangka.
7. Pada persidangan tanggal 10 Februari 2015, tim kuasa hukum
Budi Gunawan menghadirkan empat saksi fakta terdiri dari tiga
pejabat Polri, yakni dua mantan penyidik KPK AKBP Irsan dan
AKBP Hendi Kurniawan, Direktur Tindak Pidana Ekonomi
Bareskrim Budi Wibowo, dan Plt Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Selain itu, pihak Budi juga menyerahkan 73 alat bukti berupa
surat, print out berita dari media online, hingga video.
8. Pada persidangan tanggal 11 Februari 2015, sidang
praperadilan kembali dilanjutkan dengan menghadirkan saksi
ahli dari pihak Budi Gunawan. Saksi yang hadir yakni Guru
Besar Hukum Unpad Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum
Unpad I Gede Pantja Astawa, Guru Besar Hukum Universitas
Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda dan Guru Besar Hukum
Universitas Khairun Margarito Kamis.
9. Pada persidangan tanggal 12 Februari 2015, KPK hanya
menghadirkan satu saksi fakta di persidangan, yakni penyelidik
KPK, Iguh Sipurba. Menurutnya, KPK cukup mempunyai dua
alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Undang-Undang
KPK. KPK sudah mempunyai dua alat bukti yang cukup seperti
dokumen, keterangan saksi, hingga Laporan Hasil Analisa dari
Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
10. Pada persidangan tanggal 13 Februari 2015, KPK langsung
menghadirkan tujuh saksi, terdiri dari empat saksi ahli dan tiga
saksi fakta. Empat saksi ahli yakni pakar hukum tata negara
Zainal Arifin Mochtar, pakar filsafat hukum Arief Sidharta,
Dosen Hukum Acara Pidana Universitas Indonesia Junaedi,
dan pensiunan Jaksa Adnan Pasliadja. Adapun saksi fakta
yang dihadirkan yakni mantan Kepala Satgas Koordinasi dan
Supervisi KPK Anhar Darwis, pegawai administrasi divisi
penyidikan KPK Dimas Adiputra, dan pegawai administrasi
divisi penyelidikan KPK Wahyu Dwi Raharjo.
11. 2 Pegawai bidang administrasi Komisi Pemberantasan Korupsi,
Wahyu Budi Raharjo sebagai pegawai administrasi di Divisi
Penyelidikan, dan Dimas Adiputra sebagai pegawai
administrasi di Divisi Penyidikan menjadi saksi fakta
membenarkan adanya surat perintah penyelidikan (sprinlidik)
yang terbit pada tanggal 2 Juni 2014 dan surat perintah
penyidikan (sprindik) yang keluar pada tanggal 12 Januari 2015
atas kasus yang menjerat Komjen Pol Budi Gunawan.3
12. Kemudian pada hari Senin, persidangan tanggal 16 Februari
2015, tepat pukul 10.25 WIB Hakim Sarpin Rizaldi
mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan oleh
kuasa hukum Komjen Pol Budi Gunawan atas status tersangka
yang ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
13. Berikut ini isi putusan praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan:
3 Nafiysul Qodar, “Saksi Membenarkan Ada Sprinlidik dan Sprindik Kasus Budi Gunawan”, dalam <http://news.liputan6.com/read/2175743/saksi-benarkan-ada-sprinlidik-dan-sprindik-kasus-budi-gunawan>, [17/02/2015].
a. Mengabulkan permohonan pemohon praperadilan
sebagian;
b. Memerintahkan sprindik yang menetapkan pemohon
sebagai tersangka oleh termohon adalah tidak sah dan
tidak berdasarkan hukum;
c. Menyatakan penyidikan yang dilakukan oleh termohon
terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam
penetapan tersangka terhadap diri pemohon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2,
Pasal 11 atau 12 b Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP adalah
tidak sah dan tidak berdasar atas hukum dan oleh
karenanya penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat;
d. Menyatakan penetapan tersangka atas diri pemohon yang
dilakukan oleh termohon adalah tidak sah;
e. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan
yang dikeluarkan lebih lanjut oleh termohon yang
berkaitan dengan penetapan tersangka terhadap diri
pemohon oleh termohon;
f. Membebankan biaya perkara kepada negara sebesar
nihil;
g. Menolak permohonan pemohon praperadilan selain dan
selebihnya.
II. MASALAH HUKUM DAN TINJAUAN TEORITIK
A. Masalah Hukum
1. Apakah KPK memiliki kewenangan dalam Melakukan
Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan Tindak Pidana
Korupsi Terhadap Komjen Pol Budi Gunawan?
2. Apakah penetapan tersangka dapat dijadikan sebagai objek
pemeriksaan dalam permohonan praperadilan dihubungkan
dengan Pasal 77 KUHAP ?
B. Tinjauan Teoritik
Lembaga praperadilan memiliki fungsi untuk menjaga
ketertiban pemeriksaan pendahuluan dan untuk melindungi
tersangka dan terdakwa terhadap tindakan-tindakan penyidik
(kepolisian) dan/atau penuntut umum (kejaksaan) yang melanggar
hukum dan merugikan tersangka.4 Diadakannya suatu lembaga yang
dinamakan praperadilan, diatur dalam Pasal 1 angka 10 Undang-
Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya
4 Selain itu, fungsi lembaga praperadilan adalah sebagai alat kontrol atau pengawasan secara horizontal dari penyidik. S. Tanusubroto, Peranan Pra-Peradilan dalam Hukum Acara Pidana, Bandung, Alumni, 1983, hlm.73.
disebut KUHAP), kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 77
sampai dengan Pasal 83 KUHAP.
Praperadilan itu tidak merupakan badan tersendiri, tetapi
merupakan suatu wewenang saja dari Pengadilan. Berdasarkan
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana, Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri
untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau
penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya
hukum dan pengadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka
atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang
perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 dan Pasal 77 KUHAP, dapat
disimpulkan bahwa terdapat 6 objek praperadilan, yaitu :
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan;5
b. Sah atau tidaknya suatu penahanan;6
5 Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Pasal 1 angka 20 KUHAP.
6 Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta
c. Sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan; 7
d. Sah atau tidaknya suatu penghentian penuntutan;8
e. Permintaan ganti kerugian;9 dan
f. Permintaan rehabilitasi.10
Dalam sidang praperadilan ini, terdapat dua belah pihak. Pihak
pertama disebut sebagai “Pemohon” dan pihak kedua disebut
sebagai “Termohon”. Pemohon diberi beban pembuktian lebih
dahulu untuk membuktikan adanya peristiwa11 tersebut, dan
selanjutnya pihak Termohon diberi kesempatan pula untuk
menyerahkan bukti-bukti guna memperkuat sangkalannya atau
bantahannya.
Setelah dipersidangkan, baik Pemohon maupun Termohon
mengajukan surat-surat bukti bahwa kalau perlu dengan saksi-saksi,
menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Pasal 1 angka 21 KUHAP.7 Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Pasal 1 angka 2 KUHAP.
8 Penuntutan adalah tindakan penuntut untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Yang dimaksud dengan “penghentian penuntutan” tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. Pasal 1 angka 7 KUHAP.
9 Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Pasal 1 angka 22 KUHAP.
10 Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut maupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Pasal 1 angka 23 KUHAP.
11 Yang dimaksud dengan “peristiwa” disini adalah peristiwa hukum yang menjadi objek praperadilan, antara lain : penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi.
dan atas surat-surat bukti dan saksi-saksi tersebut, baik Pemohon
maupun Termohon tidak berkeberatan, maka Hakim memberikan
kesempatan bagi Pemohon maupun Termohon untuk menanggapi
surat-surat bukti yang telah diajukannya.12
Pemeriksaan praperadilan dilakukan secara cepat dan
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari, hakim harus sudah menjatuhkan
putusannya.13 Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan
harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya untuk
mengabulkan atau menolak permintaan pemeriksaan itu. Amar atau
isi putusannya harus memuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
82 ayat (3) huruf e KUHAP yang memuat hal sebagai berikut:
a. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu
penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik
atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan
masing-masing harus segera membebaskan tersangka;
b. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu
penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah,
penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib
dilanjutkan;
c. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu
penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam hal
putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan
12 S. Tanusubroto, Op.Cit., hlm.84.13 Lihat Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP.
rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu
penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah, dan
tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan
dicantumkan rehabilitasinya;
d. Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita
ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam
putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera
dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu
disita.
III. ANALISA HUKUM
A. Kewenangan KPK dalam Melakukan Penyelidikan,
Penyidikan, dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi
Terhadap Komjen Pol Budi Gunawan.
Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemberantasan
Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak
hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum atau penyelenggara negara;
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, bahwa yang dimaksud dengan
penyelenggara negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan
fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi
dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Kemudian, dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa
Penyelenggara Negara meliputi :
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam
kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.14
Komjen Pol Budi Gunawan, pada saat menjabat sebagai
Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi SDM Mabes Polri periode tahun
2003-2006 memiliki kedudukan sebagai pejabat Eselon II. Apabila
ditafsirkan menggunakan penafsiran gramatikal pada Pasal 2 angka
14 Dalam penjelasan Pasal 7 UU No.28 Tahun 1999, bahwa yang dimaksud dengan "pejabat lain yang memiliki fungsi stategis" adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang salah satunya Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 di atas, maka Komjen Budi
Gunawan tidak termasuk dalam kategori “Penyelenggara Negara”.
Apabila menggunakan kategori penyelenggara negara berdasarkan
pasal ini, jelas bahwa KPK tidak memiliki kewenangan melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Komjen Pol Budi
Gunawan. Sehingga, pertimbangan hakim Sarpin Rizaldi mengenai
Komjen Pol Budi Gunawan bukanlah merupakan “Penyelenggara
Negara” dapat dibenarkan.
Komjen Pol Budi Gunawan, sebagai anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia tunduk kepada Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam
Pasal 2 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa fungsi
kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum (cetak tebal oleh penulis), perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat. Perlu dicermati bahwa dalam Pasal
11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi, kewenangan KPK dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi tidak
hanya melibatkan penyelenggara negara saja, melainkan juga
aparat penegak hukum (cetak tebal oleh penulis). Sehingga,
apabila kita melakukan penafsiran sistematis terhadap Pasal 11
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi, dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang untuk melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi terhadap Komjen
Pol Budi Gunawan.
Penentuan kewenangan KPK dan penafsiran terhadap
“penyelenggara negara” dan “aparat penegak hukum” apabila
dikaitkan dengan proses praperadilan, bahwa hal tersebut bukan
merupakan kewenangan praperadilan.
B. Objek Praperadilan dalam Perkara Nomor
04/Pid.Prap/2015/PN.Jak.Sel Dihubungkan dengan Pasal
77 KUHAP
Penetapan status seseorang menjadi tersangka merupakan
salah satu bagian dalam tahap penyidikan. Tersangka adalah
seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan
bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.15
Dalam pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan bahwa:
“Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.”16
15 Pasal 1 angka 14 KUHAP.16 Yang dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah kewajiban memperoleh izin
bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan.
Berdasarkan pasal tersebut, saat seseorang telah ditetapkan
sebagai tersangka oleh KPK, maka prosedur khusus yang berlaku
adalah prosedur yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal ini tidak
menghapuskan segala prosedur yang terdapat dalam KUHAP,
karena berdasarkan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan bahwa:
“Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku17 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.”
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 KUHAP, Praperadilan adalah
wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau
penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya
hukum dan pengadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka
atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang
perkaranya tidak diajukan ke pengadilan
17 Yang dimaksud dengan “hukum acara pidana yang berlaku” adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Kemudian sudah dijelaskan bahwa terdapat 6 objek
praperadilan, yaitu :
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan;
b. Sah atau tidaknya suatu penahanan;
c. Sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan;
d. Sah atau tidaknya suatu penghentian penuntutan;
e. Permintaan ganti kerugian; dan
f. Permintaan rehabilitasi
Penetapan tersangka, walaupun merupakan bagian dari tahap
penyidikan, bukan merupakan objek dari praperadilan. Hal tersebut
didukung secara tegas dalam Pasal 77 KUHAP sebagai hukum
positif Indonesia. Penetapan tersangka jelas berbeda dengan proses
penangkapan. Sehingga dalam kasus ini, penetapan tersangka yang
terdapat dalam amar putusan nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jak.Sel
bukan merupakan objek praperadilan. Konsekuensinya, bahwa
hakim praperadilan telah memutus melampaui kewenangannya.
IV. SIMPULAN & REKOMENDASI
A. Simpulan
1. Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang untuk
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
tindak pidana korupsi terhadap Komjen Pol Budi
Gunawan. Namun, penentuan kewenangan KPK dan
penafsiran terhadap “penyelenggara negara” dan “aparat
penegak hukum” apabila dikaitkan dengan proses
praperadilan, bahwa hal tersebut bukan merupakan
kewenangan praperadilan.
2. Penetapan seseorang menjadi tersangka tidak dapat
dijadikan sebagai objek dari praperadilan. Pasal 77
KUHAP secara tegas membagi objek praperadilan
menjadi 6 jenis, antara lain: penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan, penghentian penuntutan,
permintaan ganti kerugian, dan permintaan rehabilitasi.
Hakim dalam putusannya nomor
04/Pid.Prap/2015/PN.Jak.Sel memperluas objek
praperadilan, sehingga hakim praperadilan telah memutus
melampaui kewenangannya.
B. Rekomendasi
Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari
semua Lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya
terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.18
Sebagai lembaga peradilan yang memiliki kewenangan pengawasan,
Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan 18 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
kehakiman.19 Oleh karena itu, dalam fungsi pengawasan, sebaiknya
Mahkamah Agung mempelajari dan meninjau kembali putusan
praperadilan nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jak.Sel.
DAFTAR PUSTAKA
S. Tanusubroto, Peranan Pra-Peradilan dalam Hukum Acara Pidana,
Bandung: Alumni, 1983.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
19 Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi.