implikasi putusan praperadilan terhadap perintah...

85
i IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH PENETAPAN TERSANGKA (Analisis Putusan Praperadilan Nomor: 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel.) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : SURYA PANDU BASKARA NIM : 11150480000072 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440H / 2019M

Upload: others

Post on 22-Jul-2020

52 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

i

IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN

TERHADAP PERINTAH PENETAPAN TERSANGKA

(Analisis Putusan Praperadilan Nomor: 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel.)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

SURYA PANDU BASKARA

NIM : 11150480000072

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440H / 2019M

Page 2: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

ii

IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN

TERHADAP PERINTAH PENETAPAN TERSANGKA

(Analisis Putusan Praperadilan Nomor: 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel.)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Surya Pandu Baskara

NIM 11150480000072

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/ 2019 M

Page 3: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN

TERHADAP PERINTAH PENETAPAN TERSANGKA (Analisis Putusan

Praperadilan Nomor. 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel)” telah diajukan dalam

sidang munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 23 Juli 2019. Skripsi

ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, Agustus 2019

Mengesahkan

Dekan,

PANITIA UJIAN MUNAQOSAH

1. Ketua : Dr.M. Ali Hanafiah Selian, S.H.,M.H.

NIP. 19670203 201411 1 001

2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum.

NIP. 19650908 199503 1 001

3. Pembimbing : Dr. Alfitra, S.H.,M.Hum.

NIP. 19720203 200701 1 034

4. Penguji I : Dr. Soefyanto, S.H., M.M., M.H.

NIP. 19531027 197703 1 001

5. Penguji II : Mara Sutan Rambe, M.H.

NIDN. 3175102405850011

Page 4: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Page 5: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

v

ABSTRAK

Surya Pandu Baskara. NIM 11150480000072. Implikasi Putusan Praperadilan

Terhadap Perintah Penetapan Tersangka (Analisis Putusan Praperadilan Nomor

24/Pid/Prap/2018/PN.Jkt.Sel.). Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/ 2019M. Ix

+ 80 halaman

Studi ini bertujuan untuk menganalisis implikasi hukum putusan

praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-

XII/2014, dan Peraturan Mahakamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang

Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan dan menjelaskan alasan pihak

ketiga berkepentingan melakukan permohonan praperadilan mengenai

keberlanjutan penegakan hukum tindak pidana korupsi.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dan menggunakan

pendekatan penelitian yuridis-normatif. Penelitian yang dilakukan dengan

melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan

jurnal yang berhubungan dengan judul skripsi ini.

Hasil penelitian menunjukan bahwa hakim memerintahkan KPK selaku

termohon praperadilan untuk menetapkan tersangka terhadap Boediono,

Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk sebagai tersangka tindak pidana korupsi

Bank Century. Hakim memaknai kewenangan praperadilan secara luas, tidak

terbatas pada ketentuan KUHAP, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-

XII/2014, dan Peraturan Mahakamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2016

Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Namun, dengan

hadirnya PERMA Nomor 4 Tahun 2016 telah meniadakan upaya hukum biasa

maupun upaya hukum luar biasa terhadap putusan praperadilan yang berimplikasi

bahwa putusan ini harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang mengatur.

Kata Kunci : Praperadilan, Perintah Penetapan Tersangka, Penemuan Hukum

Pembimbing Skripsi : Dr. Alfitra, S.H., M.Hum.

Daftar Pustaka : Tahun 1983 sampai 2017

Page 6: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

vi

KATA PENGANTAR

بسم اهلل الرحمان الرحيم

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas

berkat dan rahmat Nya yang telah memberikan kemudahan kepada peneliti,

sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Implikasi Putusan

Praperadilan Terhadap Perintah Penetapan Tersangka (Analisis Putusan

Praperadilan Nomor: 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel.)”. Sholawat serta salam

peneliti panjatkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam, yang

telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang

benderang ini .

Selanjutnya dalam penulisan skripsi ini, peneliti banyak mendapatkan

bimbingan, arahan, serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan

ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A. Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu

Hukum Dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

berkontribusi dalam pembuatan skripsi ini.

3. Dr. Alfitra, S.H., M.Hum. pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan

waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing peneliti dalam menyelesaikan

skripsi, sehingga dapat terselesaikan dengan baik.

4. Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti

mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

5. Pihak-pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam

penyelesaian karya ilmiahnya.

Jakarta, 23 Juli 2019

Peneliti

Surya Pandu Baskara

Page 7: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN ................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .......................... iii

LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iv

ABSTRAK ..................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ................................................................................... vi

DAFTAR ISI .................................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 7

D. Metode Penelitian ...................................................................... 7

E. Rancangan Sistematika Penelitian ............................................. 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PRAPERADILAN ............... 12

A. Kerangka Konseptual ................................................................. 12

1. Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana ........................ 12

2. Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Praperadilan .......... 17

3. Tujuan Hukum dalam Putusan Praperadilan ......................... 23

B. Kerangka Teori .......................................................................... 26

1. Teori Penemuan Hukum ........................................................ 26

2. Teori Tujuan Hukum ............................................................. 29

3. Teori Hukum Progresif .......................................................... 31

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ......................................... 32

BAB III PERINTAH PENETAPAN TERSANGKA MELALUI PUTUSAN

PRAPERADILAN ......................................................................... 36

A. Kewenangan Praperadilan dalam Perintah Penetapan

Tersangka ................................................................................... 36

Page 8: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

viii

B. Deskripsi Putusan Praperadilan Nomor 24/Pid.Pra/2018/

PN.Jkt.Sel. ................................................................................. 40

BAB IV PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP

PERINTAH PENETAPAN TERSANGKA ............................... 51

A. Alasan Pemohon Mengajukan Permohonan Praperadilan .......... 51

B. Dasar Pertimbangan Hakim Praperadilan dalam

Putusan Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel . ............................ 54

C. Implikasi Putusan Praperadilan Nomor 24/Pid.Pra/2018/

PN.Jkt.Sel.Terhadap Perintah Penetapan Tersangka .................. 61

BAB V PENUTUP ..................................................................................... 68

A. Kesimpulan ................................................................................. 68

B. Rekomendasi ............................................................................. 70

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 72

Page 9: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penegakan hukum merupakan suatu proses yang timbul atas

terjadinya suatu pelanggaran hukum. Terlebih dalam hukum pidana, bahwa

hukum pidana dalam arti luas terbagi menjadi hukum pidana materiil dan

hukum pidana formil. Hukum Acara Pidana merupakan kumpulan suatu

ketentuan-ketentuan tentang cara menyelidik, menyidik, menuntut dan

mengadili seseorang yang dianggap bersalah dan melakukan pelanggaran

hukum pidana. Sistem peradilan pidana merupakan suatu proses yang

dilakukan oleh negara terhadap orang-orang yang melanggar ketentuan dalam

hukum pidana.

Proses penegakkan hukum ini dimulai dari kepolisian, kejaksaan dan

pengadilan. Dalam sistem peradilan pidana setiap institusi penegak hukum

memiliki keberkaitan satu sama lain, sehingga pekerjaan aparatur hukum yang

satu akan berdampak pada pekerjaan aparatur hukum yang lain, mereka

terpadu dan tidak dapat dipisahkan dalam proses penegakkan hukum pidana.1

Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah menimbulkan

perubahan fundamental, baik secara konsepsional maupun secara implemental

terhadap tata cara berperkara di Indonesia. Segala peraturan Perundang-

undangan sepanjang mengatur tentang pelaksanaan daripada Hukum Acara

Pidana dicabut. Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah

diletakkan dasar-dasar humanisme dan merupakan suatu era baru dalam

lingkungan peradilan di Indonesia dan berlaku secara nasional.2 Hukum

pidana di dalam praktiknya, terdapat serangkaian proses peradilan yang diawali

1 Eddy OS. Hiariej, Beberapa Catatan RUU KUHAP dan Hakim Pemeriksa Pendahuluan

Dalam Konteks Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Dalam Problematika Pembaruan Hukum

Pidana Nasional, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, 2013), h. 78-79

2 Syafrudin Makmur, Hukum Acara Pidana, (Tangerang: UIN FSH Press, 2016), h. 13

Page 10: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

2

dengan proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan yang dilakukan oleh

penuntut umum dan proses pengadilan yang dipimpin oleh hakim.3 Pada

tataran penerapan hukum yang dilakukan oleh hakim, maka hakim dapat dilihat

sebagai manusia yang akan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat. Tugas hakim secara konkret adalah mengadili perkara, yang pada

dasarnya melakukan penafsiran terhadap realitas, disebut juga sebagai

penemuan hukum.4 Selain melakukan penafsiran terhadap realitas, tugas hakim

adalah memberi keputusan dalam setiap perkara atau konflik yang dihadapkan

kepadanya, menetapkan hal-hal seperti hubungan hukum, nilai hukum dari

perilaku, serta kedudukan hukum pihak-pihak yang terlibat dalam suatu

perkara, sehingga untuk dapat menyelesaikan perselisihan atau konflik secara

imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, maka hakim harus selalu mandiri

dan bebas dari segala pengaruh pihak manapun, terutama dalam mengambil

sebuah keputusan.5

Proses acara pidana di Indonesia baik prosedur dan tata caranya

diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang

diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang ditetapkan tanggal

31 Desember 1981. Setelah KUHAP tersebut diundangkan, maka telah

melahirkan suatu lembaga baru yakni lembaga praperadilan yang belum pernah

diatur sebelumnya di dalam hukum acara (IR atau HIR)”. Praperadilan

merupakan lembaga baru yang diperkenalkan melalui Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Praperadilan dalam hal ini

merupakan suatu mekanisme dalam melindungi hak asasi terdakwa dalam

suatu perkara pidana. Untuk melindungi hak asasi manusia dalam peradilan

pidana diperlukan adanya suatu pengawasan yang dilaksanakan oleh hakim.

3 Sirande Palayukan, Hukum yang Hidup the living law dalam RUU KUHP, Dalam

Problematika Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Jakarta; KHN RI, 2013), h. 6

4 Otje Salman dan Anthon F.Susanto, Tinjauan Filsafat Hukum Tentang Penegakkan

Hukum di Indonesia, Dalam Kapita Selekta Hukum Tim Peneliti Pakar Hukum Universitas

Padjadjaran, (Bandung;Widya Padjadjaran, 2009), h. 15-16

5 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif.

(Jakarta; Sinar Grafika, 2010), h. 3

Page 11: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

3

Adapun objek praperadilan yang telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yakni

sebagai berikut:

Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus,

sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang:

a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau

penghentian penuntutan;

b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya

dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan.

Dalam hal objek kewenangan mengadili dalam praperadilan

Mahkamah Konstitusi telah menguji ketentuan-ketentuan yang menyangkut

kewenangan praperadilan. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi

menambahkan norma dengan memasukkan penetapan status tersangka sebagai

objek praperadilan, penyitaan, dan penggeledahan. Berdasarkan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, Putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut dipertegas oleh Mahkamah Agung dengan mengeluarkan

Peraturan Mahkamah Agung yang termaktub di dalam Peraturan Mahkamah

Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan

Kembali (PK) Putusan Praperadilan yang menyatakan bawah Pasal 77 KUHAP

tidak hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,

penghentian penyidikan atau penuntutan, tetapi termasuk juga penetapan

tersangka, penyitaan, dan penggeledahan.

Seiring dengan adanya kewenangan ini, munculnya sebuah

permasalahan penetapan tersangka yang dijadikan objek praperadilan, tentunya

memicu adanya pro dan kontra dari berbagai pihak. Dengan adanya putusan

Mahkamah Konstitusi yang terdapat didalam Putusan Nomor 21/PUU-

XII/2014 dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2016

Tentang Larangan Peninjauan Kembali (PK) Putusan Praperadilan yang sudah

memperluas objek praperadilan, maka Pengadilan Negeri juga berwenang

untuk mengadili permohonanan praperadilan atas sah tidaknya penetapan

tersangka. Namun, aturan-aturan tersebut yang terdapat dalam KUHAP,

Page 12: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

4

Putusan Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4

Tahun 2016 terjadi sebuah penemuan hukum hakim dalam proses praperadilan

yaitu memerintah penetapan tersangka melalui putusan hakim, yang

tergambarkan dalam Putusan Nomor 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel.

Pada bulan April 2018, perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi

Indonesia (MAKI) mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan yang diwakilkan oleh Boyamin bin Saiman, Kamaryono dan

Rizki Dwi Cahyo Putra yang dalam mengajukan permohonan praperadilan

tersebut melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam hal

kedudukan MAKI sebagai pemohon praperadilan, Mahkamah Konstitusi telah

mengeluarkan putusan 98/PUU/-X/2012 yang menyatakan bahwa MAKI

memiliki kualifikasi secara hukum untuk bertindak sebagai pihak ketiga yang

berkepentingan untuk untuk mengajukan permohonan praperadilan a quo

sebagaimana telah diatur dalam pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Berdasarkan atas permohonan praperadilan yang diajukan

perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), hakim dalam salah

satu penetapannya pada poin 3 dan 4 yang menyatakan KPK telah melanggar

aturan dalam Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang

Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 25 dan Pasal 50, 102 dan 106

KUHAP serta ketentuan Perundang-undangan yang berlaku dalam menangani

korupsi Bank Century berupa tidak ditetapkannya Boediono, Muliaman D

Hadad, Raden Pardede sebagai Tersangka dalam perkara korupsi Bank

Century dan dalam poin 4 memerintahkan KPK untuk melakukan proses

hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan Perundang-undangan

yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk

melakukan Penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap Boediono,

Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk dan melanjutkannya dengan

Pendakwaan dan Penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor

Jakarta Pusat.

Page 13: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

5

Dari penjelasan di atas, hakim melakukan suatu penemuan hukum

yang merupakan suatu terobosan hukum. Namun, jika melihat dari objek

praperadilan yang telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta penambahan objek

kewenangan yang merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

21/PUU-XII/2014 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016

memang hakim memutus suatu putusan yang dianggap melebihi objek

kewenangan praperadilan karena di dalam praperadilan memang tidak diatur

objek mengenai kewenangan untuk memerintahkan penetapan tersangka. Hal

inilah yang menjadi ketertarikan peneliti untuk membahas permasalahan ini

dengan judul skripsi IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN

TERHADAP PERINTAH PENETAPAN TERSANGKA (Analisis Putusan

Praperadilan Nomor. 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel.)

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dalam tulisan ini peneliti mengidentifikasi berbagai isu yang

mungkin mencakup tema hukum pidana khususnya dalam hal

praperadilan, seperti :

a. Objek praperadilan yang telah diatur di dalam Perundang-undangan

maupun putusan Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 4 Tahun 2016

b. Implikasi putusan praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka

c. Prinsip penemuan hukum recht vinding hakim dalam putusan

praperadilan

d. Putusan Praperadilan Nomor 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel. melebihi

objek kewenangan praperadilan yang telah di atur dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-

XII/2014 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016

Page 14: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

6

2. Pembatasan Masalah

Dari identifikasi masalah tersebut, perlu kiranya peneliti untuk

membatasi masalah yang akan menjadi fokus pembahasan dalam

penelitian ini. Dimana penelitian akan memfokuskan kepada implikasi

putusan Praperadilan Nomor 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel terhadap

perintah penetapan tersangka.

3. Perumusan Masalah

Masalah utama dalam penelitian ini terkait adanya pertentangan

antara objek praperadilan yang telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dan Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Larangan Peninjauan

Kembali Putusan Praperadilan yang tercermin di dalam putusan

Praperadilan Nomor 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel. Dimana hakim

praperadilan melakukan penemuan hukum dengan dilandaskan oleh

putusan Kasasi Budi Mulya yang terdapat dalam putusan Nomor 861

K/Pid.Sus/2015, yang mana KPK dianggap menghentikan kasus Bank

Century secara materiil yang dibuktikan dengan berlarut-larut nya proses

penyelesaian hingga bertahun-tahun serta dengan tidak menetapkan

tersangka terhadap Boediono, Muliaman D. Hadad, Raden Pardede

sebagai tersangka kasus Bank Century. Atas dasar itulah hakim tunggal

praperadilan memerintahkan KPK untuk menetapkan status tersangka

terhadap Boediono, Muliaman D. Hadad, Raden Pardede dkk.

Berdasarkan pembahasan dari masalah utama yang telah diuraikan di

atas, maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Apa alasan pihak ketiga berkepentingan melakukan permohonan

praperadilan ?

2. Bagaimana implikasi putusan praperadilan terhadap perintah

penetapan tersangka ?

Page 15: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini, paling tidak peneliti mendalilkan tujuan

penelitian sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui alasan pihak ketiga berkepentingan melakukan

permohonan praperadilan

b. Untuk mengetahui implikasi putusan praperadilan terhadap perintah

penetapan tersangka

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini secara dikotomi dapat diuraikan

sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritis

1) Memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran yang dapat

digunakan bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan

Hukum Acara Pidana pada khususnya.

2) Dapat sebagai bahan acuan bagi penelitian yang akan datang

sesuai dengan bidang penelitian.

b. Manfaat Praktis

1) Dapat memberikan informasi tentang pelaksanaan penegakkan

Hukum Acara Pidana khususnya praperadilan

2) Dapat menjadi sumbangsih dalam rangka pembinaan dan

penegakkan hukum nasional

D. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian agar terlaksana dengan maksimal maka

peneliti menggunakan metode sebagai berikut :

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini

adalah yuridis normatif, yaitu penelitian terhadap atau prinsip-prinsip

hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal,

Page 16: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

8

perbandingan hukum, dan sejarah hukum, meneliti norma-norma hukum

positif, asas-asas/prinsip-prinsip, dan doktrin-doktrin hukum.6 Asas-asas

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Deskriptif analitis adalah

memaparkan (medeskripsikan) subjek dan objek penelitian secara analitis.7

Selain menggambarkan dan menguraikan fakta-fakta juga sekaligus

menganalisisnya berdasarkan pendekatan peraturan Perundang-undangan

(statue approach) serta berdasarkan pendekatan kasus (case approach).

Dalam hal ini, objek yuridis normatif terletak di dalam Pasal 77 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Hukum Acara Pidana,

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII, Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Larangan Peninjauan Kembali

Putusan Praperadilan yang terdapat di dalam Putusan Praperadilan Nomor

24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel.

2. Jenis Penelitian

Dalam skripsi ini, peneliti menggunakan penelitian kualitatif yaitu

didasarkan pada relevansi data terhadap permasalahan. Analisis kualitatif

menggunakan norma-norma, asas-asas, prinsip-prinsip, doktrin-doktrin

para ahli yang pandangan-pandangannya berhubungan dengan

praperadilan, juga menganalisis permasalahan ini berdasarkan ketentuan

yuridis yang terdapat di dalam bahan hukum primer sebagaimana telah

disebutkan di atas.

3. Data Penelitian dan Bahan Hukum

Berdasarkan sumbernya maka penelitian ini disusun berdasarkan :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif berupa peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

6 Johny Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia

Publishing, 2008), h. 45-62, dan h. 390

7 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 183

Page 17: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

9

Pidana (KUHAP), Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-

XII/2014, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang

Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, Putusan

Praperadilan Nomor. 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel..

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberi

penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder

biasanya berupa pendapat hukum/doktrin/teori-teori yang diperoleh

dari literatur hukum, hasil penelitian, artikel ilmiah, buku-buku yang

berhubungan dengan tema penelitian, jurnal, makalah, maupun

website yang terkait dengan penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier

Merupakan bahan atau rujukan yang memberikan penjelasan dan

petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Biasanya bahan hukum tersier diperoleh dari kamus hukum, kamus

bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris dan sebagainya

4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui penelaahan berbagai literatur

(kepustakaan), dimana studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang

dipergunakan dalam penelitian hukum normatif.8 Dari bahan hukum yang

sudah terkumpul, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum

sekunder diklasifikasikan sesuai dengan isu hukum yang akan dibahas.

Telaah data sekunder dijadikan sebagai telaah awal dari seluruh kegiatan

penelitian yang dilakukan. Telaah sekunder ini dapat melalui buku, teks,

jurnal, makalah-makalah ilmiah dan kepustakaan lain yang relevan dengan

tema.

5. Teknik Pengolahan

Data-data yang diperoleh dikumpulkan sesuai dengan landasan

pustaka yang relevan dengan tema yang diteliti, lalu dikategorikan menjadi

8 Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2012), h.

123

Page 18: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

10

bab dan sub-sub dalam penelitian secara rinci agar terstruktur dan

sistematis.

6. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif. Jenis

penelitian ini menekankan pada aspek pemahaman suatu norma-norma

yang hidup dan berkembang di masyarakat. Disamping itu, analisis

kualitatif menjadikan berbagai data yang dikumpulkan dan dipilih menurut

kategori penelitian dan selanjutnya dihubungkan satu sama lain atau

ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban atas masalah penelitian. Dalam

hal ini masalah penelitian terkait dengan putusan perintah penetapan

tersangka melalui putusan praperadilan.

7. Teknik Penarikan Kesimpulan

Penarikan Kesimpulan pada penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan pola pikir deduktif , yakni dengan menarik kesimpulan

khusus dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum terhadap

permasalahan konkret yang dihadapi.

8. Pedoman Penelitian

Acuan metode penelitian yang peneliti rujuk mengacu kepada

“Pedoman Penelitian Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017”

berdasarkan kaidah-kaidah penelitian yang sudah ditentukan oleh fakultas.

E. Sistematika Penelitian

Secara ringkas, sistematik penelitian sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang, identifikasi pembatasan dan perumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) pustaka terdahulu,

dan metode penelitian.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PRAPERADILAN DI

DALAM HUKUM ACARA PIDANA

Dalam bab ini peneliti membahas mengenai kajian pustaka,

kerangka konseptual, kerangka teoritis dan tinjauan (review) kajian

Page 19: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

11

terdahulu yang terkait dengan praperadilan di dalam Hukum Acara

Pidana.

BAB III DATA PENELITIAN PUTUSAN PRAPERADILAN

TERHADAP PERINTAH PENETAPAN TERSANGKA

Mengenai data penelitian, maka peneliti mencantumkan berbagai

putusan-putusan mengenai penetapan tersangka yang menjadi

objek praperadilan serta proses penyelidikan maupun penyidikan

terhadap kasus Bank Century yang menjadi dasar terhadap putusan

Praperadilan Nomor 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel.

BAB IV PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH

PENETAPAN TERSANGKA

Analisis yang dihadirkan dalam bab ini berupa gabungan antara

bab II dan bab III mengenai “IMPLIKASI PUTUSAN

PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH PENETAPAN

TERSANGKA”.

BAB V PENUTUP

Dalam bab ini peneliti membuat kesimpulan hasil penelitian dan

rekomendasi. Kesimpulan yang berisi jawaban terhadap inti

masalah penelitian berdasarkan data yang diperoleh.

Page 20: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

12

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PRAPERADILAN

A. Kerangka Konseptual

1. Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan pidana pada dasarnya merupakan suatu proses

penegakan hukum pidana, oleh karena itu keberadaan hukum pidana

materiil maupun formiil sangat dibutuhkan dalam sistem peradilan pidana,

karena perundang-undangan pidana pada dasarnya merupakan penegakan

hukum pidana “in abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan

hukum ”in concreto”.

Peradilan pidana merupakan tempat penegakan hukum serta

penegakan hak asasi manusia dan keadilan yang memiliki ciri khusus,

yakni terdiri dari sub sistem yang bekerja secara terpadu agar dapat

menegakan hukum sesuai dengan harapan masyarakat pencari keadilan.

Proses peradilan pidana yang terdiri dari serangkaian proses tahapan mulai

dari penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan dan

pemeriksaan di persidangan, hingga pemidanaan, merupakan suatu proses

yang kompleks.

Melihat begitu kompleksnya sistem peradilan pidana, maka timbul

kebutuhan akan keterpaduan sistem peradilan pidana (Integrated Criminal

Justice System), yaitu suatu sistem yang menjaga keseimbangan antara

kepentingan negara, masyarakat, individu yang termasuk kepentingan

pelaku tindak pidana maupun korban kejahatan. Keterpaduan sistem ini

tidak hanya diarahkan pada tujuan untuk menanggulangi kejahatan, namun

juga bertujuan untuk mengendalikan kejahatan.1 Pada dasarnya sistem

peradilan pidana memiliki dua tujuan utama yakni sebagai upaya

melindungi masyarakat dan sebagai upaya penegakan hukum. Selain dari

1 Rocky Marbun, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Suatu Pengantar, (Malang;

Setara Press, 2015), h. 2-3

Page 21: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

13

dua tujuan utama tersebut, sistem peradilan pidana memiliki beberapa

fungsi penting, antara lain :

a) Mencegah tindak kejahatan;

b) Peninjauan ulang terhadap legalitas ukuran pencegahan dan

penindakan;

c) Putusan pengadilan untuk menentukan bersalah atau tidak bersalah

terhadap orang yang ditahan;

d) Lembaga koreksi oleh alat-alat negara yang disetujui oleh

masyarakat terhadap perilaku mereka yang telah melanggar hukum

pidana.2

Berdasarkan tujuan dan fungsi dari sistem peradilan pidana di

Indonesia, perlu diketahui bahwa Indonesia sebagai negara hukum yang

menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia serta menjamin kesetaraan

setiap warga nya didepan hukum (equality before the law), memahami

bahwa perlunya hukum acara pidana yang mengatur tentang segala hak

dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum

pidana, baik tersangka maupun pejabat yang memeriksa. Lahirnya

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana pada dasarnya dilandasi oleh dua faktor penting,

yakni menciptakan suatu ketentuan yang dapat mendukung

terselenggaranya suatu peradilan yang adil serta faktor adanya kepentingan

mendesak untuk menggantikan produk hukum acara pidana HIR yang

dinilai sangat kolonialistik.3 Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terdapat

hal-hal baru yang sebelumnya tidak diatur di dalam HIR yakni mengenai

hak-hak tersangka dan terdakwa, bantuan hukum dalam setiap tingkatan

pemeriksaan (pasal 54 KUHAP), hak untuk segera diperiksa dan diadili

2 Tobib Effendi, Sistem Peradilan Pidana: Perbandingan Komponen dan Proses Sistem

Peradilan Pidana di Beberapa Negara, (Yogyakarta; Pustaka Yustisia, 2013), h. 13-14

3 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif Teoritis dan Praktik,

(Bandung; Alumni, 2008), h. 36

Page 22: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

14

(Pasal 50 KUHAP), hak untuk diberitahu oleh aparat hukum mengenai

sangkaan yang ditujukan kepadanya (pasal 51 KUHAP), hak untuk

memberikan keterangan secara bebas ( Pasal 52 KUHAP), adanya hak

mengajukan praperadilan (Pasal 77 KUHAP) serta asas praduga tak

bersalah yang terdapat dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP dan

berbagai hak-hak lainnya yang diatur oleh KUHAP.4

Selain itu, di dalam KUHAP dijelaskan mengenai aturan di dalam

sistem peradilan pidana dengan memberikan kewenangan kepada 4 unsur

penegak hukum yakni unsur dari kekuasaan untuk melakukan penyidikan,

penuntutan, mengadili dan unsur kekuasaan untuk menjatuhkan putusan.

Unsur-unsur kekuasaan tersebut telah diberikan kewenangan oleh KUHAP

untuk melakukan tindakan upaya paksa penangkapan, penahana, penyitaan

dan penggeledahan. Disisi lain, tindakan tersebut merupakan tindakan

yang membatasi hak-hak tersangka, oleh karenanya pemberian

kewenangan tersebut perlu diatur pengawasan dan mekanisme nya secara

rinci untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dari penyidik dan

penuntut umum.

Praperadilan merupakan suatu lembaga yang hadir seiring dengan

disahkan nya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Lembaga praperadilan sebagai

upaya pemenuhan hak asasi manusia serta praperadilan dibentuk sebagai

upaya pengawasan terhadap proses penegakan hukum pidana. Praperadilan

merupakan bagian dari sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan

upaya penanggulangan kejahatan yang bersifat penal dengan

menggunakan hukum pidana sebagai sarana utama hukum pidana materiil

dan hukum pidana formiil. Dalam hal pelaksanaan praperadilan ini

merupakan bagian dari suatu prinsip negara hukum yang mana bahwa

suatu negara hukum mempunyai beberapa kriteria, seperti yang di

sampaikan oleh Sri Soemantri, bahwa suatu negara hukum harus

4 Setiyono, Kajian Yuridis Mengenai Interpretasi Pihak Ketiga Yang Berkepentingan

Dalam Praktek Praperadilan, Lex Jurnalica Vol.4 No. 1. Desember 2006, h. 15

Page 23: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

15

memenuhi unsur kepastian hukum, adanya jaminan perlindungan hak asasi

manusia, adanya pembagian kekuasaan dalam negara dan adanya

pengawasan dari badan-badan peradilan.5

Sistem peradilan pidana di Indonesia telah mengatur secara rinci

mengenai lembaga praperadilan, yakni yang diatur dalam ketentuan umum

Pasal 1 angka 10 KUHAP yang menyebutkan bahwa Praperadilan adalah

wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut

cara yang diatur dalam Undang-Undang ini, tentang:

a) Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas

permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa

tersangka

b) Sah atau tidaknya penghentian penyelidikan dan penghentian

penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan

c) Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak

diajukan di pengadilan

Secara yuridis, pelaksanaan ketentuan praperadilan diatur di dalam

Pasal 77 sampai dengan Pasal 88 KUHAP. Selain itu, Mahkamah

Konstitusi menambahkan objek kewenangan praperadilan di dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 21/PUU-XII/2014 yang

menyatakan bawah Pasal 77 KUHAP tidak hanya sebatas pada sah atau

tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau

penuntutan, tetapi termasuk juga penetapan tersangka, penyitaan, dan

penggeledahan.

Sebagai suatu lembaga baru, praperadilan bukan merupakan suatu

lembaga yang berdiri sendiri, menurut Yahya Harahap menjelaskan bahwa

lembaga praperadilan sebagai suatu lembaga baru memiliki karakteristik

yakni eksistensi keberadaan lembaga praperadilan merupakan satu

kesatuan yang melekat pada pengadilan negeri, praperadilan juga

merupakan suatu divisi dari pengadilan negeri, maka dari itu

5 Mien Rukmini. Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas

Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana. (Bandung; Alumni, 2003).

h. 1

Page 24: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

16

konsekuensinya sebagai divisi di Pengadilan Negeri perihal administratif

yustisial, personil, peralatan dan finansial menjadi satu dengan Pengadilan

Negeri serta berada dibawah pimpinan dan pengawasan termasuk

pembinaan oleh ketua Pengadilan Negeri. Dalam hal ini, praperadilan

memiliki peran yang sangat penting untuk meminimalisir segala

penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam proses penegakan

hukum. Merujuk pada kewenangan yang terdapat di dalam KUHAP,

maka pada dasarnya lembaga praperadilan berfungsi sebagai lembaga

yang melakukan pengawasan secara horizontal terhadap tindakan yang

dilakukan oleh instansi kepolisian selaku penyidik dan instansi kejaksaan

selaku penuntut umum.

Dalam acara praperadilan terdapat dua pihak yakni pemohon dan

termohon, di dalam KUHAP juga telah dijelaskan yang dapat mengajukan

praperadilan yakni tersangka, keluarga atau kuasa hukumnya; penyidik

atau penuntut umum; pihak ketiga yang berkepentingan.

Mengenai pemaknaan praperadilan, pada dasarnya praperadilan

tidak selalu dimaknai secara dogmatik sebagi suatu perintah Undang-

Undang, tetapi lebih daripada itu harus memperhatikan fakta-fakta sosial

yang terjadi di masyarakat, karena tidak semua aspek kepastian hukum

selalu mencerminkan suatu keadilan, keadilan yang dimaksud bukanlah

keadilan yang bersifat konseptual saja, melainkan harus menghadirkan

keadilan substantif di dalam proses nya.6

Berdasarkan mengenai uraian yang telah dikemukakan di atas yang

menyangkut kedudukan praperadilan di dalam sistem peradilan pidana di

Indonesia, dalam hal ini praperadilan merupakan bagian inti dari

karakteristik prinsip Due Process of law yang memang menjadi tujuan

utama di dalam KUHAP itu sendiri. Prinsip tersebut menekankan pada

lahirnya proses peradilan pidana yang adil serta mengedepankan nilai-nilai

hak asasi manusia yang juga di dalam nya terdapat asas praduga tidak

6 Muntaha, Pengaturan Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di indonesia,

Mimbar Hukum. Vol. 29, Nomor 3, Oktober 2017, h. 468

Page 25: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

17

bersalah, maka praperadilan merupakan lembaga yang berperan penting

dalam mewujudkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam sistem peradilan

pidana di Indonesia.

2. Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Praperadilan

Pada dasarnya HAM adalah hak yang bersifat asasi, artinya hak-

hak yang dimiliki oleh manusia berdasarkan kodratnya yang tidak dapat

dipisahkan dari hakikatnya sehingga bersifat suci atau dengan kata lain,

HAM merupakan hak dasar yang dimiliki pribadi manusia sebagai

anugerah dari Tuhan yang dibawa sejak lahir sehingga hak asasi itu tidak

dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri.7 Hak asasi

manusia tidak hanya mencakup hak-hak politik dan sipil saja, akan tetapi

ada beberapa hak yang berlaku secara individual seperti hak untuk

mendapatkan pengadilan yang adil. Aspek kemanusiaan yang sangat

mendasar dilihat dari sudut pandang hukum pidana ialah bahwa seseorang

harus dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap mengenai kesalahannya dan seseorang tidak

dapat dipidana tanpa kesalahan. Oleh karena itu untuk seseorang

dinyatakan bersalah oleh badan pengadilan, maka setiap orang berhak

untuk memperoleh peradilan yang bebas, jujur dan tidak berpihak

(independent judiciary and fair trial) dan memperoleh bantuan dari profesi

hukum yang bebas (independent legal professor)8

Dalam pelaksanaan pengawasan terhadap proses peradilan sangat

terkait dengan prinsip atau asas dalam proses peradilan. Yakni asas

equality before the law yang pada prinsipnya bertujuan agar setiap orang

mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum. Selain itu terdapat

prinsip Due Process Of Law yang pada prinsipnya negara sebagai

7 Indah Kusnowati, Praperadilan dalam Perspektif HAM,

http://radarsemarang.com/2017/12/10/praperadilan-dalam-perspektif-ham/, diakses pada Senin 28

Januari 2018

8 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta; Kencana Edisi Pertama, 2008), h. 70

Page 26: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

18

pemegang kekuasaan tertinggi mempunyai kewenangan penuh untuk

melakukan proses peradilan yang adil dan tidak memihak, maka perlu

adanya pembatasan serta pengawasan terhadap kewenangan tersebut agar

tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.9

Terdapat tanggung jawab besar yang di amanatkan kepada negara

terhadap pemberian perlindungan kepada warga negaranya yang termaktub

dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia yang di dalam nya menyebutkan bahwa perlindungan, penegakan

dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab

negara. Bentuk perlindungan ini pun dapat dilihat dalam aspek seperti

pemberian perlindungan Hak Asasi Manusia seperti terhadap tersangka,

saksi bahkan korban sekalipun. Dalam penegakan hukum yang adil pada

dasarnya merupakan tanggung jawab yang melekat dari sistem peradilan

pidana itu sendiri yang ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-

hak tersangka ataupun terdakwa.10

Pada level internasional, penegakan hukum dengan berlandaskan hak

asasi manusia juga terdapat dalam Universal Declaration of Human Rights

1948, khususnya pasal 9 yang menyatakan “tidak seorang pun boleh

ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang”. Hal ini diatur

lebih lanjut dalam Pasal 9 ICCPR (International Covenant on Civil and

Political Right yang telah diadopsi ke dalam hukum Indonesia yakni di

dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan

ICCPR:

a) Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak

seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-

wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali

berdasarkan alasan-alasan yang sah sesuai engan prosedur yang

ditetapkan oleh hukum

9 Maesa Plangiten, Fungsi dan Wewenang Lembaga Praperadilan Dalam Sistem

Peradilan di Indonesia, Lex Crimen. Vol. II. Nomor 6. Oktober 2013, h. 32

10 Heri Tahir, Proses Hukum yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,

(Yogyakarta; Laksbang Pressindo, 2010), h. 7

Page 27: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

19

b) Setiap orang yang ditangkap wajib diberitahu pada saat

penangkapannya dan harus sesegera mungkin dibertahu mengenai

tuduhan yang dikenakan terhadapnya

c) Setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan

pidana, wajib segera dihadapkan di depan pengadilan atau pejabat

lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan

kekuasan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu

yang wajar atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan

umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi

pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada

waktu sidang, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan

putusan apabila diputuskan demikian.

d) Siapapun yang dirampas kebebasanya dengan cara penangkapan

atau penahanan berhak untuk disidangkan di depan pengadilan,

yang bertujuan agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat

menentukan keabsahan penangkapannya dan memerintahkan

pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum

e) Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau

penahanan yang tidak sah, berhak untuk mendapat ganti kerugian

yang harus dilaksanakan.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai realisasi

Undang-Undang pokok kekuasaan kehakiman merumuskan aturannya

dengan bersandar pada hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana

seperti hak dari tindakan penuntutan, pembelaan, pemeriksaan pengadilan

maupun perlakuan terhadap tersangka/terdakwa. Setelah berlakunya

KUHAP, penegakan hukum harus berlandaskan keseimbangan yang sesuai

antara orientasi penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia.11

Hukum acara pidana sebagai dasar penyelenggaraan peradilan pidana yang

adil dan manusiawi di dalam suatu negara hukum perlu adanya perangkat

perundang-undangan yang menjamin pelaksanaan penegakan hukum

pidana sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing di dalam

tegaknya hukum, keadilan serta perlindungan harkat dan martabat

manusia, ketertiban dan kepastian hukum.12

11 M. Yahya Harahap, Proses Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, ... h. 38

12 Al Wisnubroto dan G. Widiantara, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, (Bandung;

Citra Aditya Bakti, 2005), h.1

Page 28: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

20

Disi lain, penegakan hukum (Law Enforcement) merupakan

rangkaian proses dalam upaya pelaksanaan ketentuan hukum yang berlaku,

baik ketentuan yang bersifat penindakan maupun pencegahan dengan

mencakup teknis ataupun administratif yang dilakukan oleh aparat

penegak hukum, sehingga dengan adanya penegakan hukum tersebut dapat

memberikan rasa aman, damai dan tertib dalam kehidupan bernegara.

Demi untuk kepentingan terlaksananya peradilan tindak pidana, KUHP

dan KUHAP telah memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut

umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan,

penggeledahan, penyitaan, penahanan, penuntutan dan sebagainya. Setiap

upaya paksa merupakan perlakuan yang dibenarkan oleh Undang-Undang

demi pemeriksaan tindak pidana serta segala jenis upaya paksa merupakan

suatu perampasan kemerdekaan dan pembatasan terhadap hak asasi

manusia, maka perlunya kehadiran lembaga yang mengawasi segala upaya

paksa ini.

Praperadilan dimaksudkan sebagai mekanisme kontrol terhadap

kemungkinan tindakan sewenang-wenang penyidik atau penuntut umum

dalam melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penyidikan,

penuntutan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, baik

yang disertai dengan permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi.

Upaya kontrol ini diharapkan pemeriksaan dalam perkara pidana dapat

berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku

Pada dasarnya kehadiran lembaga praperadilan dalam KUHAP

merupakan upaya perlindungan hak asasi manusia di dalam proses

penegakan hukum pidana. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tidak

terbatas dalam arti politik, tetapi juga dalam arti hukum pada umumnya

dan kehidupan hukum pidana pada khususnya, di samping itu hak-hak

tersangka/terdakwa dapat juga dikatakan memiliki tujuan untuk membatasi

kekuasaan atau sebagai rintangan bagi penegak hukum yang berbentuk

represif dalam proses penegakan hukum secara sewenang-wenang atau

Page 29: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

21

melawan hukum.13 Sebagai wujud perlindungan terhadap harkat dan

martabat manusia maka KUHAP menegaskan asas-asas dalam hukum

pidana yang mencerminkan adanya perlindungan hak asasi manusia

tersebut yakni:

a) Asas equality before the law

b) Asas legalitas dalam upaya paksa

c) Asas presumpstion of innocence

d) Asas remedy and rehabilitation

e) Asas fair, imparsial, impersonal and objective

f) Asas pemberitahuan yang jelas mengenai dakwaan kepada

terdakwa dan hak-hak yang dimiliki tersangka /terdakwa

g) Asas pengawasan

h) Asas keterbukaan14

Dari asas-asas tersebut terlihat bahwa KUHAP dibentuk atas dasar

penerapan hukum yang mengarah pada perlindungan hak asasi manusia

dalam penegakan hukumnya, yang mengutamakan perlindungan terhadap

hak-hak tersangka/terdakwa dan pengawasan terhadap pejabat berwenang

di dalam penegakan hukum dengan mekanisme yang ketat serta terdapat

instrumen-intstrumen yang mengatur mengenai hadirnya hak asasi

manusia dalam penegakan hukum. Salah satu asas yang terpenting dari

proses penegakan hukum pidana ialah asas praduga tak bersalah

(presumption of inonncence), berdasarkan asas ini, maka sudah sewajarnya

tersangka/terdakwa yang disangka, ditangkap, dituntut dan/atau

dihadapkan di depan Pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai ada

kekuatan hukum yang tetap atas kesalahannya.

Di dalam menjalankan mekanisme penegakan hukum, maka aparat

penegak hukum haruslah mengacu pada ketentuan-ketentuan yang telah di

13 Kadri Husin dan Rizki Husin, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, (Lampung;

Lembaga Penelitian Univesitas Lampung, 2012), h. 174-175

14 Al Wisnubroto dan G. Widiantara, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, ... h.11-12

Page 30: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

22

atur sebagai pendelegasian kewenangan oleh negara terhadap jalan nya

proses penegakan hukum pidana. Dalam penegakan hukum pidana

haruslah memperlakukan seorang tersangka/terdakwa dengan cara-cara

yang berperikemanusiaan dan sesuai dengan ketentuan hukum yang

berlaku. Bahkan jika yang diperiksa dan diadili adalah seorang

tersangka/terdakwa yang melakukan suatu tindak pidana, mereka tidak

boleh memperlakukan dengan semena-mena dan sewenang-wenang.

Penegakan hukum pidana merupakan kegiatan menyelaraskan

hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah menilai yang

baik dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai, guna

menciptakan, memelihara dan mempertahankan hukum sebagai upaya

mempertahankan kedamaian yang ada di masyarakat.15 Hadirnya lembaga

praperadilan di dalam KUHAP pada dasarnya bertujuan sebagai

pengawasan terhadap perlindungan hak tersangka dalam pemeriksaan

pendahuluan dan diharapkan dapat menjaga harkat dan martabat manusia

dengan memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia Adapun

maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi dalam proses

praperadilan yakni tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka

dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan.

Sesuai dengan maksud dan tujuan lembaga praperadilan, dapat

dipahami bahwa sifat dan fungsi dari praperadilan yang khas dan spesifik

serta dengan karakteristik tersebut menjadikan praperadilan sebagai

jembatan penghubung dalam segala usaha pencegahan tindakan upaya

paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan memastikan bahwa

tindakan upaya paksa tersebut sesuai dengan ketentuan hukum yang

berlaku. Fungsi ini akan lebih efektif apabila setiap tindakan/peristiwa

yang menyimpang dari segala ketentuan hukum yang berlaku dapat

dicegah atau dilakukan tindakan hukum terhadap tindakan kesewenangan

tersebut guna meluruskan kembali sesuai dengan ketentuan hukum yang

15 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Bandung;

PT. Rajawali, 1983), h. 18

Page 31: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

23

berlaku demi penegakan hukum yang berkeadilan dan berkepastian

hukum.

3. Tujuan Hukum dalam Putusan Praperadilan

Tujuan hukum secara umum adalah sarana untuk menghadirkan

keadilan di dalam masyarakat, yang dapat berupa suatu peraturan maupun

berupa putusan pengadilan. Pada dasarnya putusan pengadilan merupakan

hasil akhir dari suatu jalannya persidangan terhadap suatu kasus perkara,

baik pidana maupun perdata. Putusan pengadilan diambil oleh hakim yang

menangani perkara di pengadilan negeri dimana tempat sidang perkara

tindak pidana berlangsung. Dalam putusan tersebut hakim menyatakan

pendapatnya mengenai hal-hal yang menjadi pertimbangannya dan

putusan itu sendiri.16

Jika melihat tujuan hukum dalam terdapat di dalam Pedoman

Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang memberi penjelasan bahwa :

“Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah mencari dan mendapatkan

atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran

yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan

menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat,

dengan tujuan untuk mencari siapa pelaku yang dapat didakwakan

melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta

pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah

terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang

yang didakwa itu dapat di persalahkan”.17

Praperadilan merupakan konsep yang diperkenalkan dalam KUHAP,

maka praperadilan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari KUHAP

dan praperadilan merupakan pendelegasian kewenangan dari Pengadilan

Negeri yang pada intinya memiliki tujuan yakni melindungi hak asasi

16 Jerio Hallean, Hukum Acara Pidana Tentang Mekanisme Praperadilan,

https://www.academia.edu/27297693/Hukum_Acara_Pidana_tentang_Mekanisme_Praperadilan_d

i_Indonesia, diakses pada Kamis, 31 Januari 2019

17 Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Jakarta;

Departemen Kehakiman Republik indonesia Cetakan Ketiga, 1982), h. 1

Page 32: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

24

tersangka terhadap segala pelanggaran syarat formiil maupun materiil

yang dilakukan dalam tingkat penyidikan dan/atau penuntutan yang diatur

di dalam KUHP dan KUHAP. Menurut penjelasan Pasal 80 KUHAP yang

menegaskan “tujuan hukum daripada prapradilan adalah untuk menegakan

hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal”.

Sebagai pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dilakukan

terhadap tersangka selama berada dalam pemeriksaan penyidikan dan/atau

penuntutan agar benar bahwa tindakan upaya paksa tersebut sudah

memenuhi ketentuan hukum yang mengatur.

Berdasarkan hal tersebut, tujuan hukum dalam putusan praperadilan

harus memenuhi unsur keadilan dan kebenaran dalam setiap putusannya,

terlebih bahwa praperadilan merupakan bentuk pengawasan terhadap

setiap upaya paksa yang dilakukan aparat penegakan hukum. Jika

mengaitkan dengan gagasan seorang filsuf yakni Gustav Radburch

mengenai konsep tujuan hukum bahwa hukum dalam pengaturan maupun

penerapannya harus berdasarkan pada keadilan, kepastian, kemanfaatan.

Berdasarkan unsur-unsur di atas bahwa tujuan hukum bukanlah hanya

mementingkan unsur kepastian saja, namun juga harus memperhatikan

unsur keadilan bahkan kemanfaatan Untuk mengatasi pertentangan atau

ketegangan yang akan timbul dari pengimplementasian ketiga tujuan

hukum tersebut, maka Gustav Radburch menggunakan asas prioritas yakni

mengedepankan unsur tujuan keadilan hukum, selanjutnya nilai kepastian

hukum dan nilai kemanfaatan hukum. Hal ini menunjukan bahwa Gustav

Radburch menempatkan nilai-nilai keadilan sebagai tujuan hukum yang

paling utama untuk dihadirkan ditengah-tengah masyarakat baik melalui

peraturan, penetapan bahkan putusan pengadilan.18

Mengenai putusan praperadilan, putusan praperadilan memiliki arti

yang begitu spesifik yang telah dijelaskan melalui KUHAP, putusan

18 Sakhiyatu Sova, Tiga Nilai Dasar Hukum Menurut Gustav Radburch,

https://www.scribd.com/doc/170579596/Tiga-Nilai-Dasar-Hukum-Menurut-Gustav-Radbruch,

diakses pada Senin 4 Februari 2019

Page 33: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

25

praperadilan adalah putusan hakim praperadilan di pengadilan negeri yang

amar putusannya berisi mengenai putusan tentang sah atau tidaknya

penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan

atau penuntutan, diterima atau tidaknya permintaan ganti kerugian atau

rehabilitasi tersangka. Selain itu juga telah diperluas objek mengenai

praperadilan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

21/PUU-XII/2014 yakni tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka,

sah atau tidaknya penyitaan dan sah atau tidaknya penggeledahan19

Pasal 82 Ayat (2), dijelaskan bahwa putusan praperadilan harus

memuat alasan permintaan pemeriksaan yang menjadi dasar pertimbangan

hukum yang kemudian menjadi dasar isi penetapan. Sedangkan dalam

Pasal 82 Ayat (3) KUHAP memberikan penjelasan berupa isi putusan

praperadilan sebagai berikut :

a. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau

penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum

pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera

membebaskan tersangka;

b. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian

penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan

terhadap tersangka wajib dilanjutkan

c. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau

penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah

besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan

dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah

sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan

dicantumkan rehabilitasinya;

d. Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang

tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan

bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka

atau dan siapa benda itu disita.20

19 Amar Ilyas dan Apriyanti Nusa, Praperadilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi,

(Yogyakarta; Genta Publishing, 2017), h. 21

20 Ilham, Skripsi, Praperadilan Tentang Penangkapan dan Penahanan dalam Kaitannya

dengan Hak-Hak Tersangka atau Terdakwa Menurut KUHAP (Studi Putusan Nomor

01/Pid/Pra/2009/PN. PLP), (Makassar; Universitas Hasanudin, 2012), h. 32

Page 34: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

26

Menurut Pasal 82 Ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa, terhadap

putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding, kecuali terhadap

putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian

penyidikan atau penuntutan. Namun dengan hadirnya Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dan Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan

Praperadilan yang pada intinya tidak ada upaya hukum apapun dalam

proses praperadilan, maka sudah semestinya hakim dalam memutus

perkara praperadilan dapat menghadirkan tujuan hukum yang utama yakni

dengan menghadrikan keadilan dalam setiap putusan.

B. Kerangka Teori

1. Teori Penemuan Hukum

Dalam menegakan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan,

yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit),

dan keadilan (gerechtigkeit). Ketiga unsur tersebut oleh Gustav Radbruch'

dikatakan sebagai penopang cita hukum (idee des Rechts). Cita hukum ini

akan membimbing manusia dalam kehidupannya berhukum. Ketiga nilai

dasar tersebut harus ada secara seimbang, namun seringkali ketiga nilai

dasar tersebut tidak selalu berada dalam hubungan yang harmonis satu

sama lain, melainkan berhadapan, bertentangan, ketegangan

(spannungsverhaltnis) satu sama lain. Dalam hal terjadi pertentangan

demikian, yang mestinya diutamakan adalah keadilan. Berkenaan dengan

hal tersebut, Satjipto Rahardjo menawarkan suatu konsep Hukum

Progresif yang bertolak dari dua komponen yang menjadi basis dalam

hukum, yaitu peraturan dan perilaku (rules and behavior). Di sini, hukum

ditempatkan sebagai aspek perilaku, namun juga sekaligus peraturan.

hukum.21

21 Satjpto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif. (Jakarta; Buku Kompas, 2008), h. 265

Page 35: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

27

Dalam penyelenggaraan peradilan, hakim melakukan penerapan

hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwa yang konkrit. Karena

beraneka ragamnya kegiatan kehidupan masyarakat dan cepatnya

perkembangan dan perubahannya, maka tidak mungkin tercakup dalam

satu peraturan Perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Karena

hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, maka harus dicari dan

diketemukan. Terlebih lagi mengingat ada kemungkinan suatu perkara

yang dihadapkan pada hakim belum ada peraturan hukumnya, atau

peraturan hukumnya ada tetapi tidak jelas, maka hakim dapat melakukan

penemuan hukum. Penemuan hukum oleh hakim sesungguhnya

merupakan instrumen yang digunakan oleh hakim untuk mengisi

kekosongan hukum dengan tidak hanya menerapkan maksud dan bunyi

peraturan perundang-undangan dengan kualifikasi peristiwa atau kasus

konkretnya.22

Hakim tidak dapat dan tidak boleh menolak suatu perkara untuk

diputus dengan alasan karena tidak ada hukum yang mengatur atau karena

hukumnya tidak jelas atau tidak lengkap. Hakim dilarang menolak untuk

menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurna nya Undang-Undang.

Oleh karena itu, ketidak lengkapan Undang-Undang dalam mengatur

terkait suatu peristiwa konkrit yang tidak lengkap ataupun tidak jelas,

maka dalam hal ini hakim sebagai penegak hukum haruslah mencari dan

menggali hukumnya, hakim harus menemukan hukumnya dengan cara

melakukan suatu penemuan hukum (rechtvinding). Penemuan hukum

lazimnya diartikan sebagai suatu proses pembentukan hukum yang

dilakukan oleh hakim sebagai penegak hukum yang diberi tugas untuk

melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang konkrit.

Menurut Bernard L. Tanya keadilan semestinya merupakan unsur

konstitutif dalam hukum, namun ada kalanya, faktual, suatu aturan tidak

memiliki muatan keadilan atau tidak selali memiliki muatau keadilan.

22 Erwi Danil dkk, Menegakan Hukum Tanpa Melanggar Hukum, (Jakarta; Raja Grafindo

Persada, 2015), h. 11

Page 36: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

28

Mesikpun hukum dan keadilan merupakan dwitunggal yang tidak dapat

dipisahkan, namun dapat saja terjadi suatu peraturan hukum yang tidak

mengandung keadilan. Dalam menyikapi hal tersebut, seorang hakim

haruslah berusaha sedemikian rupa sehingga jarak antara hukum dan

keadilan dapat diminimalisir, yakni dengan cara menggali, mengkuti dan

memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam

menjalankan tugas untuk mengadili suatu perkara, terdapat kemungkinan

bahwa tidak terdapatnya suatu aturan hukum yang mengatur terhadap

suatu peristiwa konkrit atau dengan kata lain terjadi suatu kekosongan

hukum. Hakim harus berusaha mencari dan menemukan hukum untuk

menyelesaikan suatu peristiwa konkrit tersebut.

Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum merupakan

proses pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim atau petugas-

petugas hukum lainnya yang diberi tugas untuk melaksanakan hukum

trhadap peristiwa konkrit. Lebih konkrit lagi dapat dikatakan bahwa

penemuan hukum merupakan konkretisasi, kristalisasi atau individualisasi

peraturan hukum. Dalam penemuan hukum ini sumber-sumber penemuan

hukum dapat digunakan sesuai dengan tingkatannya, antara lain adalah

Undang-Undang, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian

Internasional, doktrin, perilaku dan kepentingan manusia. Dengan

demikian hakim harus mempunyai kemampuan dan kreativitas untuk dapat

menyelesaikan dan memutus perkara dengan mencari dan menentukan

hukum dalam suatu perkara yang tidak ada peraturannya atau peraturan

hukum nya tidak jelas. Hakim harus melakukan penemuan hukum guna

dapat memutus perkara sesuai dengan keadilan dan nilai-nilai yang hidup

di dalam masyarakat.23

Tepatlah kiranya penemuan hukum yang mandiri oleh hakim ini

muncul karena merupakan sifat pembentukan hukum dalam tata hukum

23 Siti Malikhatun Badriyah, Penemuan Hukum (Rechtvinding) dan Penciptaan Hukum

(Rechtsschepping) oleh Hakim untuk mewujudkan keadilan, MMH, Jilid 40 No. 3. 3 Juli 2011, h.

387-388

Page 37: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

29

modern yang memaksa ke arah pandangan yang dinamis dalam

menemukan hukum oleh hakim atau pejabat-pejabat lainnya yang diberi

wewenang oleh Undang-Undang. Oleh karena itu dalam kekosongan

hukum atau ketidakjelasan substansi dalam Undang-Undang hakim

mempunyai tugas memberi pemecahan dengan menafsirkan substansi di

dalam Undang-Undang itu. Pangkal tolak penemuan hukum tetap pada

sistem hukum, Undang-Undang adalah hukum dan hanya jika ada

kekosongan atau ketidakjelasan dalam Undang-Undang saja hakim boleh

menafsirkan. Penemuan hukum mempelajari tentang interpretasi atau

penafsiran hukum konstruksi hukum, dan hermeneutika hukum. Ketiga

aspek ini menurutnya merupakan metode-metode dalam teori penemuan

hukum.24

2. Teori Tujuan Hukum

Teori tujuan hukum menurut Gustav Radburch, terdiri dari

Keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Menurutnya keadilan haruslah

ditempatkan pada posisi pertama dan utama daripada kemanfaatan dan

kepastian. Secara historis, pada awalanya Gustav Radburch tidak

menempatkan keadilan pada posisi pertama, namun menempatkan pada

posisi 2 setelah kepastian. Namun, ia melihat kenyataan bahwa dengan

teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi menyalahgunakan

hukum tersebut dengan melegalisasi praktek-praktek yang tidak

berperikemanusiaan pada perang dunia kedua.

Melihat keadaan tersebut, Radburch pun akhirnya meralat teorinya

tersebut dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang

lain. Bahwa sejatinya hukum dibuat untuk menciptakan suatu ketertiban

melalui peraturan yang adil, yakni pengaturan mengenai kepentingan-

kepentingan yang saling bertentangan dengan seimbang, sehingga setiap

orang memperoleh keadilan. Bahkan dapat dikatakan bahwa seluruh

24 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 61

Page 38: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

30

sejarah filsafat hukum memberikan tempat yang istimewa kepada keadilan

sebagai tujuan hukum. Keadilan dan Kepastian merupakan dua nilai yang

diterapkan di dalam hukum. Pemikiran filsafat hukum seringkali

mempersoalkan kedua nilai tersebut, hal inilah yang menimbulkan asumsi

jika keadilan dan kepastian merupakan suatu antinomi, sehingga filsafat

hukum dimaknai sebagai pencarian atas keadilan yang berkepastian atau

kepastian yang berkeadilan.25

Menurut Gustav Radburch, hukum harus mengandung tiga nilai

identitas yang melekat di dalam hukum itu sendiri, yakni adanya keadilan

hukum (gerechtigheit) yang ditinjau melalui sudut filosofis hukum itu

sendiri. Adanya kemanfaatan hukum (zwechmatigheid) yang dintinjau

melalui sudut sosiologis. Dan yang terakhir yakni adanya kepastian hukum

(rechtmatigheid) yang ditinjau melalui sudut yuridis. Radburch

mengatakan bahwa ketiga nilai dasar dalam tujuan hukum tersebut tidak

selalu berada dalam kesatuan yang harmonis satu sama lain. Pada faktanya

keadilan bisa bertabrakan dengan kemanfaatan dan kepastian hukum.

Selain itu, tuntutan kemanfaatan bisa juga bertabrakan dengan keadilan

dan kepastian hukum dan seterusnya.

Gustav Radbruch mengatakan bahwa hukum yang baik adalah ketika

hukum tersebut memuat unsur keadilan, kepastian hukum dan kegunaan.

Artinya, meskipun ketiga unsur tersebut merupakan nilai dasar hukum,

namun pada dasarnya masing-masing nilai mempunyai tuntutan yang

berbeda satu sama lain, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk

saling bertentangan dan menyebabkan adanya ketegangan dan

menyebabkan adanya ketegangan antara ketiga nilai tersebut. Karenanya,

nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai suatu kesatuan

hukum itu sendiri. Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normatif

sekaligus konstitutif bagi hukum. Dalam hal ini, keadilan menjadi

landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif.

25 Sidharta, Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Bunga Rampai Komisi

Yudisial, Putusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan (Jakarta: Komisi

Yudisial Republik Indonesia, 2010), h. 3

Page 39: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

31

Karenanya, kepada keadilanlah, hukum positif berpangkal. Sedangkan

konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum.

Artinya, ketika di dalam hukum tidak terdapat suatu keadilan, itu

merupakan suatu aturan yang tidak pantas menjadi hukum.

3. Teori Hukum Progresif

Hukum progresif berarti hukum yang bersifat maju. Pengertian

progresif secara harfiah ialah favouring new, modern ideas, happening or

developing steadly, yang berarti menyokong ke arah yang baru, gagasan

modern, peristiwa atau perkembangan yang mantap atau berhasrat maju,

selalu lebih maju, meningkat.26 Istilah hukum progresif di sini adalah

istilah hukum yang diperkenalkan oleh Satjipto Raharjo yang dilandasi

asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Adapun pengertian

hukum progresif itu sendiri adalah mengubah secara cepat, melakukan

suatu terobosan hukum. Pemahaman mengenai hukum progresif

didasarkan dengan keinginan dan harapan bahwa lahirnya hukum progresif

dalam khazanah pemikiran hukum berkaitan dengan upaya mengkritisi

realitas pemahaman hukum yang sangat positivistik. Pemahaman ini

menyatakan bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan manusia

untuk hukum dan hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan

sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan,

kesejahteraan dan kemuliaan manusia.

Melihat dari pengertian di atas, secara lebih sederhana Satjipto

Rahardjo mengatakan bahwa hukum progresif ialah hukum yang

melakukan pembebasan, bebas secara berpikir maupun bertindak dalam

hukum, sehingga di dalam penegakan hukum tidak adanya rekayasa atau

keberpihakn dalam menegakan hukum. Karena menurutnya, hukum

bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua

26 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,

2001), h. 628

Page 40: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

32

rakyat.27 Hukum progresif bermakna hukum yang peduli terhadap

kemanusiaan sehingga hukum bukan hanya sebatas dogmatis saja. Atau

dengan kata lain hukum progresif bersifat pro terhadap kepentingan rakyat

dan merupakan suatu hukum yang berkeadilan. Progresifitas hukum

mengajarkan bahwa hukum bukanlah raja, tetapi alat menjabarkan dasar

kemanusiaan yang berfungsi memberikan rasa keadilan di dalam

masyarakat. Prof. Satjipto Rahardjo menilai bahwa pemikiran hukum perlu

kembali pada filosofis dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan

filosofis tersebut, maka manusialah yang menjadi penentu dan titik

orientasi daripada hukum itu sendiri.

Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada

peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan

hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif

dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang

mendalam terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan

peraturan. Pemikiran yang mendasari progresifitas hukum adalah yang

pertama hukum ada untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua

ialah hukum selalu berada pada status law in the making dan tidak bersifat

final dan yang ketiga ialah hukum merupakan institusi yang bermoral

kemanusiaan.

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

1. Pembatalan Status Tersangka Pelaku Tindak Pidana Korupsi E-KTP

(Analisis Putusan Praperadilan Nomor 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel)

Skripsi ini merupakan tugas akhir Khusnus Sa’bani pada tahun 2018,

mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Secara umum skripsi ini menjelaskan terkait

pembatalan status tersangka yang dilakukan melalui mekanisme

praperadilan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum

27 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum dalam Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan

(Surakarta: Muhammadiyah Press University, 2004), h. 17

Page 41: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

33

normatif dengan menjadikan pertimbangan hakim praperadilan sebagai

bahan analisis.

Terkait dengan persamaan karya ilmiah, yakni terdapat dalam hal

metode penelitian, yakni metode normatif dengan analisis data kualitatif.

Dalam hal ini, objek yang menjadi masalah yakni terkait dengan putusan

praperadilan yang diputus oleh hakim, membahas mengenai akibat hukum

yang timbul dari putusan praperadilan tersebut.

Adapun perbedaannya yang mendasar antara skripsi ini dan

penelitian yang sedang peneliti lakukan adalah terkait dengan objek

putusan praperadilan, yang mana pada studi terdahulu menggunakan

Putusan Praperadilan Nomor 97/Pid.Pra/2017/PN.Jkt.Sel dan objek

putusan yang peneliti gunakan ialah Putusan Praperadilan Nomor

24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel, selain itu penelitian sebelumnya membahas

mengenai akibat hukum putusan tersebut bagi penyelesaian kasus e-ktp

sedangkan penelitian yang peneliti bahas yakni mengenai akibat hukum

dari putusan praperadilan tersebut bagi proses penyidikan tindak pidana

dalam kasus korupsi Bank Century.

2. Praperadilan Terhadap Penetapan Tersangka dan Implikasinya

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 (Studi

Putusan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel)

Skripsi ini merupakan tugas akhir Ahmad Mukri Aji pada tahun

2016, mahasiswa Fakultasa Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta. Secara umum skripsi ini menjelaskan terkait

kewenangan pengadilan dalam mengadili permohonan sah atau tidaknya

penetapan tersangka melalui mekanisme praperadilan. Penelitian ini

menjelaskan tentang penetapan status tersangka yang tidak masuk ke

dalam ranah praperadilan.

Terkait dengan persamaan karya ilmiah, yakni terdapat dalam hal

metode penelitian, yakni metode normatif dengan analisis data kualitatif.

Penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan Undnag-Undang

Page 42: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

34

dan pendekatan kasus Dalam hal ini, objek yang terdapat di dalam putusan

praperadilan.

Adapun perbedaannya yang mendasar antara skripsi ini dan

penelitian yang sedang peneliti lakukan adalah terkait dengan putusan

praperadilan yang berbeda serta objek kewenangan praperadilan pasca

putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menjadi dasar pertimbangan

hakim dalam melakukan pemeriksaaan penetapan. Pada penelitian

terdahulu, peneliti tersebut membahas mengenai sah atau tidaknya

penetapan tersangka melalui mekanisme praperadilan, sedangkan pada

penelitian kali ini, peneliti membahas mengenai perintah penetapan

tersangka yang memang belum diatur di dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana saat ini beserta dengan Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Penjinjauan Kembali Putusan

Praperadilan.

3. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dalam Perspektif Pembaruan,

Teori dan Praktik Peradilan

Buku ini ditulis oleh Syaiful Bakhri, buku ini menjelaskan mengenai

sistem peradilan khususnya sistem peradilan pidana. Sistem peradilan

piana merupakan sistem penanganan perkara sejak adanya pihak yang

merasa dirugikan atau sejak adanya sangkaan seseorang telah melakukan

perbuatan pidana hingga pelaksanaan putusan hakim. Buku ini juga

merupakan kajian terkini yang menulis susun guna menjelaskan hal yang

mutakhir berkenaan mengenai perkembangan sistem peradilan pidana di

Indonesia saat ini. Dan di dalam ini selain terdapat materi mengenai sistem

peradilan pidana, juga terdapat materi dari praperadilan.

Dari fikiran dasar tersebut, peneliti gunakan dalam membedah

permasalahan hukum putusan praperadilan yang menjadi bagian dari

pengawasan di dalam sistem peradilan pidana.

Page 43: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

35

4. Tinjauan Terhadap Putusan Praperadilan yang Berkaitan dengan

Penetapan Seseorang Menjadi Tersangka

Jurnal ini ditulis oleh Sudarmi mahasiswi Fakultas Hukum

Universitas Atmajaya Yogyakarta pada tahun 2015. Dalam jurnal

ilmiahnya peneliti ini membahas mengenai tinjauan hukum terhadap

putusan praperadilan yang berkaitan dengan penetapan seseorang menjadi

tersangka. Peneliti menjelaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 21/PUU-XII/2014 telah menambah objek praperadilan terkait

dengan penetapan tersangka, maka dengan penjelasan yang terdapat di

dalam jurnal ini terdapat kesesuaian pembahasan dengan tema yang

peneliti bahas.

Page 44: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

36

BAB III

PERINTAH PENETAPAN TERSANGKA MELALUI PUTUSAN

PRAPERADILAN

A. Penambahan Objek Praperadilan Perintah Penetapan Tersangka

Praperadilan merupakan suatu kontrol terhadap tindakan penyidik

maupun penuntut umum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam

proses penegakan hukum pidana. Pengaturan mengenai objek praperadilan,

pada dasarnya telah di atur di dalam Pasal 1 angka 10 dan Pasal 77 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana. Pasal 1 angka 10 KUHAP menegaskan bahwa praperadilan adalah

wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang

diatur dalam Undang-Undang tentang:

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahan atas permintaan

tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan

atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak

diajukan ke pengadilan.

Pengujian praperadilan di atas, untuk menilai keabsahan tindakan

penegak hukum dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Pada dasarnya

KUHAP sangat mengedepankan asas legalitas dalam setiap proses penegakan

hukum pidana, sehingga semua bentuk kewenangan harus dilaksanakan sesuai

dengan prinsip yang diatur dalam KUHAP itu sendiri. Asas legalitas formil

tersebut memberikan makna, bahwa segala tindakan hukum sebagai langkah

penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, apabila telah

keluar dari prinsip yang diatur di dalam KUHAP, maka dapat dianggap tidak

sah.1

1 Amir Ilyas dan Apriyanto Nusa, Praperadilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, ...

h. 32

Page 45: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

37

Mengenai objek praperadilan yang diatur di dalam Pasal 77 KUHAP

terdapat perluasan objek praperadilan terdapat di dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang memperluas objek praperadilan yakni

sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

1) Sah atau tidaknya Penetapan Tersangka

Penetapan tersangka bukanlah rangkaian proses yang berdiri sendiri,

melainkan merupakan akhir dari proses pemeriksaan sebelumnya. Di

dalam hukum pidana terdapat alur seseorang dapat ditetapkan sebagai

tersangka, yakni berawal dari tindakan penyelidikan yang dilakukan oleh

penyelidik untuk mencari dan menemukan ada atau tidaknya suatu tindak

pidana yang kemudian ditentukan dapat atau tidaknya untuk dilanjutkan

ke tingkat penyidikan. Setelah ditemukan adanya unsur tindak pidana pada

tahap penyelidikan, maka dilaksanakan tindakan penyidikan yang

dilakukan oleh penyidik untuk mencari dan mengumpukan bukti serta

menemukan tersangka. Dalam tahap penyidikan inilah penetapan

tersangka dilakukan, atau dengan kata lain penetapan tersangka

merupakan keluaran (output) dari proses penyelidikan dan penyidikan.

Berdasarkan penjelasan tersebut Mahkamah Konstitusi beranggapan

bahwa perlunya pemeriksaan sah atau tidaknya penetapan tersangka agar

menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam proses penegakan

hukum pidana.

2) Sah atau tidaknya Penggeledahan

KUHAP pada dasarnya membagi penggeledahan ke dalam 2 jenis,

yakni penggeledahan rumah dan penggeledahan badan. Penggeledahan

rumah adalah suatu tindakan dari penyidik untuk memasuki rumah tempat

tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan pemeriksaan

dan/atau penyitaan dan/atau penangkapan sesuai dengan Undang-Undang

(Pasal 1 angka 17 KUHAP) dan Penggeledahan badan adalah tindakan

penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan/atau pakaian

tersangka untuk mencari benda yang diduga keras pada badannya atau

dibawanya serta untuk disita (Pasal 1 angka 18 KUHAP). Alasan yang bisa

Page 46: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

38

dijadikan permohonan praperadilan yakni mengenai keabsahan

penggeledahan yang bergantung pada keadaan penggeledahan dan syarat-

syarat penggeledahan itu sendiri. Syarat-syarat penggeledahan sebagai

berikut :

3) Sah atau Tidaknya Penyitaan

KUHAP telah mendefinisikan mengenai penyitaan yang diatur dalam

Pasal 1 angka 6 KUHAP yang menegaskan bahwa :

“Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih

dan/atau menyimpan di bawah penguasannya benda bergerak atau tidak

bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian

dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan”

Penyitaan terbagi dalam bentuk penyitaan dalam keadaan normal dan

penyitaan dalam keadaan mendesak. Selain itu, terdapat penyitaan dalam

keadaan tertangkap tangan dan penyitaan di luar daerah hukum penyidik.

Dalam konteks sah atau tidaknya penyitaan yang menjadi perhatian lebih

terkait dengan penyitaan yakni penyitaan dalam keadaan normal dan

penyitaan dalam keadaan mendesak.

Tujuan penyitaan ialah untuk kepentingan pembuktian, terutama

ditujukan sebagai barang bukti di persidangan sebagai salah satu

persyaratan untuk dapat melanjutkan perkara ke tahap persidangan. Oleh

karena itu, untuk melengkapi berkas perkara, maka penyidik melakukan

tindakan penyitaan untuk dipergunakan sebagai bukti dalam penyidikan,

penuntutan dan tingkat pemeriksaan persidangan pengadilan.2

Dalam praktiknya terkadang penyidik melakukan penyitaan terhadap

benda yang tidak ada hubungannya dengan sangkaan dari tindak pidana

tersebut. Berdasarkan syarat-syarat dalam penyitaan yang menjadi

prosedur mengikat bagi penyidik terdapat salah satu pelanggaran atau

tidak terpenuhinya syarat tersebut, maka pada konteks inilah tersangka

2 Mohammad Taufik Makarao & Suharsil, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek,

(Bogor; Ghalia Indonesia, 2010), h. 54

Page 47: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

39

atau keluarga yang barangnya disita dapat mengajukan permohonan

praperadilan atas sah atau tidaknya penyitaan tersebut.

Dalam hal penambahan objek praperadilan yang terdapat di dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi, seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa

penambahan objek praperadilan yakni sah atau tidaknya penetapan

tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Perihal penambahan objek

mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka yang menjadi perhatian

lebih di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, adapun penetapan

tersangka merupakan suatu rangkaian proses penyelidikan dan penyidikan,

maka dari itu rangkaian atau proses hukum acara pidana tersebut tidak

dapat dipisahkan satu sama lain. Pada dasarnya sah atau tidaknya

penetapan tersangka sebagai objek praperadilan adalah agar Hukum Acara

Pidana dilakukan untuk menghindari kesalahan atau kesewenangan

penyidik dalam menetapkan tersangka serta menghindari adanya unfair

prejudice atau penyitaan terhadap barang dengan cara melanggar hukum

dalam proses penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan yang tidak

berdasarkan atas hukum serta proses peradilan yang memihak (unlawful

legal evidence).3 Disisi lain terdapat putusan praperadilan yang di dalam

putusannya terdapat frasa memerintahkan penetapan tersangka yang

didasarkan atas penghentian penyidikan secara materiil yang terdapat di

dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor

24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel.

Putusan ini tentu menyita perhatian publik, terbitnya putusan

praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) yang

memerintahkan sejumlah nama untuk ditetapkan sebagai tersangka terkait

kasus dugaan korupi dana talangan Bank Century menimbulkan

kontroversi. Pasalnya, permohonan yang diajukan Masyarakat Anti

Korupsi Indonesia (MAKI) yang diputus Hakim tunggal Effendi Mukhtar

3 Novita Akria Putri, Skripsi, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Dengan

Penambahan Norma Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan, (Jakarta; Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2015), h. 38

Page 48: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

40

ini dinilai melampaui batas kewenangan seorang hakim praperadilan4

dikarenakan frasa memerintahkan penetapan tersangka belum diatur di

dalam objek praperadilan baik melalui KUHAP maupun Putusan

Mahkamah Konstitusi. Jika dikembalikan pada maksud dan tujuan

lembaga praperadilan untuk mengontrol upaya paksa yang dilakukan

penyidik atau penuntut umum, tampaknya perintah untuk menetapkan

seseorang sebagai tersangka tidak termasuk dalam kompetensi

praperadilan.

Namun, mengingat rasa keadilan masyarakat itu terus berkembang,

bisa saja perintah untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka juga

menjadi kompetensi praperadilan. Mengingat adanya kepentingan korban,

sehubungan terdapat orang-orang 'tertentu' yang tidak/belum ditetapkan

sebagai tersangka. Untuk kepentingan ini perlu dilakukan uji materi,

apakah perintah untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka

merupakan bagian kompetensi praperadilan.5

B. Deskripsi Putusan Praperadilan Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel.

Deskripsi perkara dalam sub bab ini sifatnya hanya mendeskripsikan

gambaran kasus di dalam Putusan Praperadilan Nomor

24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel. Pada Maret 2018, pemohon mengajukan

permohonan praperadilan yang memohonkan untuk melanjutkan proses hukum

terkait tindak pidana korupsi Bank Century yang juga di dalam nya mengingikan

adanya penetapan tersangka terhadap kasus tindak pidana korupsi Bank Century.

4 Rofiq Hidayat, Perintah Penetapan Tersangka Lampaui Kewenangan Hakim

Praperadilan, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5acf311185127/perintah-penetapan-

tersangka-lampaui-kewenangan-hakim-praperadilan, diakses pada Senin, 11 Februari 2018

5 Marcus Priyo Gunarto, Polemik Perintah Penetapan Tersangka,

http://mediaindonesia.com/read/detail/155747-polemik-perintah-penetapan-tersangka, diakses pada

Senin, 11 Februari 2019

Page 49: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

41

1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

Merujuk pada Anggaran Dasar Masyarakat Anti Korupsi Indonesia

(MAKI) Pasal 4 dan Pasal ayat (1), MAKI memilik tujuan untuk

menegakkan hukum dan pembelaan negara dalam menyelamatkan harta

masyarakat dan negara. Bahwa yang tertuang di dalam Anggaran Dasar

MAKI Pasal 5 ayat (2 dan 3), MAKI membela masyarakat untuk

menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme) dan memberdayakan masyarakat untuk membantu pemerintah

dalam pencegahan pemberantasan KKN di Indonesia. Selain itu, di dalam

Pasal 6 Anggaran Dasar menyatakan bahwa MAKI berhak mengajukan

praperadilan kepada pihak-pihak terkait “seperti” Kepolisian. Frasa

“seperti” untuk menyebut perwakilan, namun dapat mencakup semua aparat

penegak hukum penyidik ataupun KPK yang menjadi termohon di dalam

praperadilan yang diajukan MAKI.

Pada dasarnya MAKI merupakan “pihak ketiga yang

berkepentingan”, hal ini telah diatur di dalam Pasal 80 KUHAP yang

menyatakan bahwa praperadilan terhadap tidak sahnya penghentian

penyidikan dan penghentian penuntutan dapat diajukan oleh

penyidik/penuntut dan pihak ketiga berkepentingan. Terkait yang dimaksud

dalam frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 KUHAP,

Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya pada perkara nomor No. 98/PUU-

X/2012 yang diucapkan tanggal 21 Mei 2013, dalam Putusannya disebutkan

bahwa MAKI adalah Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia,

yang dijelaskan di dalam amar putusannya menyatakan :

Mengabulkan permohonan pemohon :

1. Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) adalah

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi

korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi

kemasyarakatan”

Page 50: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

42

2. Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai

“termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat

atau organisasi kemasyarakatan”

Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka MAKI memiliki

kualifikasi secara hukum untuk bertindak sebagai pihak ketiga yang

berkepentingan untuk mengajukan permohonan praperadilan a quo.

2. Pokok Permohonan

Berdasarkan telah inkracht nya putusan atas terdakwa Budi Mulya

dengan vonis bersalah, maka perkara tindak pidana korupsi telah memasuki

babak baru. Bahwa dakwaan dalam putusan tersebut mendalilkan bahwa

Budi Mulya bersama-sama Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede

dkk dinyatakan bersalah bersama-sama melakukan korupsi. Dalam

pertimbangan putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 861

K/Pid.Sus/2015 dengan jelas menerima dan membenarkan alasan kasasi

yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan menambahkan

pertimbangan bahwa terdakwa Budi Mulya selaku Deputi Gubernur Bank

Indonesia Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa melakukan perbuatan

melawan hukum secara bersama-sama dengan pejabat yang nama-namanya

disebutkan dalam Surat Dakwaan Jaksa/Penuntut Umum. Namun, termohon

belum menetapkan Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk

sebagai tersangka korupsi Bank Century sejak inkracht nya kasus Budi

Mulya, sehingga perbuatan tersebut dapat dimaknai sebagai penghentian

penyidikan secara materiil.

Bahwa termohon dalam perkara praperadilan ini yakni KPK yang

terbukti telah mengabaikan dan menutup mata atas fakta hukum yang

terdapat dalam putusan inkracht Budi Mulya dengan dalih bahwa tidak ada

ketentuan yang mengatur kapan suatu perkara harus dimulai penyelidikan

Page 51: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

43

dan tidak ada ketentuan hukum yang mengatur batasan waktu suatu proses

penyelidikan.penyidikan. Selain itu, dapat dipahami bahwa termohon dalam

hal menangani perkara korupsi Bank Century yang melibatkan banyak

pihak dan sulit pembuktiannya harus melakukan penyelidikan dan

penyidikan dengan cermat dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Untuk mengatasi ketidakpastian dan berlarut-larutnya penyelesaian

perkara Bank Century, maka pemohon memerlukan penemuan hukum

(recht finding) yang dilakukan hakim dalam rangka mengisi kekosongan

hukum atas kebuntuan penanganan perkara korupsi Bank Century oleh

termohon. Bentuk penemuan hukum untuk mengisi kekosongan hukum

tersebut dengan mengabulkan permohonan a quo dan perintah hakim

kepada termohon untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan

ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas

dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan

penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D

Hadad, Raden Pardede dan melanjutkan pendakwaan dan penuntutan proses

persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat.

Berdasarkan hal di atas, pemohon mengajukan permohonan

praperadilan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, untuk berkenan

memeriksa selanjutnya memutus sebagai berikut:

PRIMAIR :

- Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan pemohon untuk

seluruhnya;

- Menyatakan pemohon sah kedudukannya sebagai pihak ketiga

berkepentingan dan berhak mengajukan permohonan praperadilan

dalam perkara a quo;

- Menyatakan secara hukum termohon telah melanggar ketentuan dalam

Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi, Pasal 25 Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 50,

102, dan 106 KUHAP serta ketentuan ketentuan perundang-undangan

Page 52: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

44

yang berlaku dalam menangani korupsi Bank Century, sehingga

pelanggaran a quo merupakan bentuk penghentian penyidikan secara

tidak sah dan batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya atas

perkara korupsi Bank Century berupa tidak ditetapkannya Boediono,

Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk sebagai tersangka dalam

perkara korupsi Bank Century;

- Memerintahkan termohon untuk melakukan proses hukum selanjutnya

sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan

yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam

bentuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap

Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk dan

melanjutkannya dengan pendakwaan dan penuntutan dalam proses

persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat.

3. Eksepsi Termohon

a) Eksepsi Tentang Permohonan Praperadilan Nebis In Idem

Permohonan praperadilan diatur dalam hukum acara pidana

(KUHAP) akan tetapi dalam pelaksanaan persidangan menggunakan

hukum acara perdata (quasi perdata), sehingga asas-asas hukum

perdata berlaku, termasuk asas nebis in idem sebagaimana diatur

dalam Pasal 1917 KUH Perdata sebagai berikut:

“kekuatan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh keuatan

hukum yang pasti hanya mengenai pokok perkara yang

bersangkutan. Untuk dapat menggunakan kekuatan itu, soal yang

dituntut harus sama, tuntutan harus didasarkan pada alasan yang

sama, dan harus diajukan oleh pihak yang sama dan terhadap

pihak-pihak yang sama dalam hubungan yang sama pula.”

Pokok perkara dalam praperadilan yang diajukan pemohon yakni

perakara No. 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel. adalah sama dengan perkara

praperadilan. yang telah berkekuatan hukum tetap, baik subyek maupun

obyek perkara, yaitu kesamaan pemohon (Masyarakat Anti Korupsi

Indonesia, kesamaan termohon (Komisi Pemberantasan Korupsi), dan

Page 53: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

45

kesamaan obyek permohonan terkait penghentian penyidikan secara

materiil tidak sah dalam penanganan perkara Bank Century.

Dalam perkara praperadilan No. 12/Pid/Prap/2016/PN.Jkt.Sel.

tersebut, Hakim praperadilan telah memeriksa substansi permohonan

praperadilan yang diajukan oleh pemohon dengan memberikan

pertimbangan sebagai yakni “Menimbang, bahwa namun pada faktanya

dalam persidangan praperadilan ini tidak ada bukti termohon telah

melakukan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dihentikan oleh

termohon”

Berdasarkan hal tersebut, dengan demikian telah dilakukan

pemeriksaan terhadap obyek sengketa yang memiliki substansi yang

sama, dan juga telah diadili dan diputus oleh Hakim, sehingga asas

nebis in idem secara mutlak telah terpenuhi. Demi menghindari adanya

pertentangan Putusan Hakim atas obyek sengketa yang sama yang telah

diperiksa dan diputus terdahulu oleh Hakim lainnya, maka sudah

selayaknya apabila Hakim Praperadilan aquo untuk tidak lagi

memeriksa dan memberikan putusan atas perkara praperadilan aquo,

dengan menyatakan bahwa asas nebis in idem telah terpenuhi. Dengan

demikian, sudah selayaknya permohonan praperadilan aquo ditolak

atau setidak-tidaknya harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet

ontvankelijke verklaard).

b) Eksepsi Tentang Permohonan Praperadilan Prematur

Pada dasarnya termohon tidak pernah menerbitkan Surat Perintah

Penghentian Penyidikan (SP3) atas perkara tindak pidana korupsi

sehubungan dengan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek

(FPJP) kepada PT. Bank Century dan proses penetapan Bank Century

sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik. Bahkan termohon tidak

memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian

Penyidikan dan Penuntutan (SP3) dalam perkara tindak pidana korupsi,

sehingga tidak dimungkinkan pemohon menghentikan penyidikan.

Page 54: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

46

c) Eksepsi Tentang Permohonan Praperadilan Bukan Lingkup

Praperadilan (Error In Objecto)

Pada dasarnya ketentuan Pasal 78 KUHP adalah ketentuan hukum

yang mengatur mengenai jangka waktu daluwarsa penuntutan atas

suatu tindak pidana. ketentuan Pasal 78 KUHP hanyalah mengatur

batas waktu bagi penegak hukum untuk melakukan penuntutan atas

suatu tindak pidana, dan tidaklah mengatur mengenai jangka waktu

penyelidikan ataupun penyidikan terhadap suatu perkara aquo, yaitu

terkait dengan penghentian penyidikan secara materiil. Dalam perkara

tersebut, termohon telah melaksanakan tugas dan kewenangannya

sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 dan sebagai bentuk pertanggungjawaban termohon kepada

publik atas pelaksanaan tugasnya maka termohon menyampaikan

laporan secara terbuka dan berkala kepada Presiden RI, DPR RI, dan

BPK.

Pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK pada prinsipnya terbuka

untuk diinformasikan kepada publik termasuk kepada pemohon apabila

mengajukan permintaan informasi kepada KPK, namun demikian

sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang

Keterbukaan Informasi Publik, maka terdapat infromasi yang

dikecualikan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 17 huruf a Undang-

Undang Keterbukaan Informasi Publik yang pada intinya informasi

badan publik dapat diakses bagi setiap pemohon informasi publik

kecuali informasi yang diberikan kepada pemohon dapat menghambat

proses penegakan hukum. Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila

terdapat data dan informasi terkait dengan penanganan perkara tindak

pidana korupsi Bank Century termasuk pengumpulan bukti maka hal

tersebut termasuk dalam informasi yang dikecualikan, karena jika

dibuka maka dapat menghambat proses penegakan hukum.

Page 55: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

47

Selain itu, ruang lingkup kewenangan praperadilan secara limitatif

telah ditentukan dalam Pasal 1 Angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP dan

berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014,

lingkup kewenangan mencakup juga praperadilan mengenai sah atau

tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Lebih

lanjut, Mahkamah Agung mengatur lingkup praperadilan dalam Pasal

2 Peraturan Mahkamah Agung RI (Perma) Nomor 4 Tahun 2016

Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan

menyatakan bahwa objek praperadilan terbatas pada sah atau tidaknya

penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan, serta

ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara

pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Dengan demikian, sudah jelas bahwa permohonan praperadilan yang

diajukan oleh pemohon tanpa alasan berdasarkan Undang-Undang

karena dalil-dalil yang diajukan oleh pemohon praperadilan bukan

lingkup (obyek) praperadilan atau error in objecto, sehingga

permohonan sudah sepatutnya ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan

tidak dapat diterima.

d) Eksepsi Tentang Permohonan Praperadilan Merupakan Materi

Pokok Perkara

Dalil permohonan praperadilan tersebut yang telah menunjuk orang-

orang tertentu yang seharusnya menjadi tersangka atau turut serta dalam

perkara tindak pidana korupsi Bank Century telah memasuki materi

pokok perkara tindak pidana korupsi. Terkait Putusan Mahkamah

Agung yang telah berkekuatan hukum tetap dalam perkara dengan

Terdakwa Budi Mulya tentu tidak serta merta dapat dilanjutkan untuk

menetapkan seseorang sebagai tersangka dan tidak secara otomatis

berlaku atau diambil alih untuk perkara lainnya, namun harus dimulai

dengan proses yang baru untuk menetapkan seseorang sebagai

Page 56: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

48

tersangka. Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan perlu

dilakukan pendalaman dan analisa lebih lanjut, dan sampai saat ini

termohon masih dilakukan pengumpulan bahan dan keterangan dalam

rangka mendalami dan melakukan analisa terhadap perkara Bank

Century.

Pembuktian keterlibatan orang-orang yang diduga melakukan tindak

pidana atau turut serta melakukan tindak pidana haruslah dilakukan

berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh dalam tahap penyelidikan dan

penyidikan serta selanjutnya pembuktian unsur-unsur tidak pidana

dilakukan dalam pemeriksaan persidangan pokok perkaranya dengan

jumlah Majelis Hakim yang lengkap sebagaimana ketentuan Pasal 26

Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi.

Pada dasarnya lembaga praperadilan tidak memiliki kewenangan

untuk menentukan orang-orang yang seharusnya dituntut dalam suatu

perkara, ditetapkan menjadi tersangka, ataupun dinilai turut serta dalam

suatu perkara tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, tidak ada

kewenangan Hakim Praperadilan untuk menilai materi pokok perkara,

mengingat lembaga praperadilan merupakan sarana pengawasan

horizontal yang terbatas melakukan pemeriksaan formil. Dengan

demikian, permohonan praperadilan yang diajukan pemohon adalah

tanpa alasan berdasarkan Undang-Undang karena dalil-dalil yang

diajukan oleh pemohon merupakan materi pokok perkara yang

seharusnya diperiksa, diadili, dan diputus dalam persidangan oleh

Majelis Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan bukan

kewenangan Hakim Tunggal pada persidangan praperadilan, sehingga

permohonan sudah sepatutnya ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan

tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).

Page 57: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

49

e) Eksepsi Tentang Permohonan Praperadilan Kabur ( Obscuur

Libel)

Secara formil, dalil-dalil dalam permohonan praperadilan atau

Fundamentum Petendi yaitu bagian yang berisi dalil yang

menggambarkan secara jelas adanya hubungan yang menjadi dasar atau

uraian dari suatu tuntutan. Dalam mengajukan suatu tuntutan,

pemohonan/penggugat juga harus menguraikan terlebih dahulu secara

jelas dan tidak kabur alasan-alasan atau dalil-dalil yang melandasi

pengajuan tuntutannya atau dengan kata lain, posita/fundamentum

petendi berisi uraian tentang kejadian perkara atau duduk persoalan

suatu kasus, sedangkan petitum berisi tuntutan atau permohonan yang

dimintakan oleh pemohon kepada hakim untuk dikabulkan. Pemohon

telah mengajukan dalil-dalil permohonan praperadilan yang tidak jelas

dan kabur, karena pemohon tidak menguraikan alasan yang jelas dalam

menyatakan bahwa Zaenal Abidin, Pahla Santoso dan Heru Kristiyana

merupakan pihak yang terlibat sebagai pelaku tindak pidana korupsi

Bank Century.

Dalam obyek permohonan aquo, pemohon telah menyatakan bahwa

Zaenal Abidin, Pahla Santoso dan Heru Kristiyana merupakan pelaku

yang turut serta terlibat dalam tindak pidana korupsi perkara aquo,

tanpa uraian yang jelas, berdasar hukum dan didukung bukti-bukti yang

valid. Padahal, dalam perkara tindak pidana korupsi sehubungan

dengan FPJP Bank Century, pada faktanya Zaenal Abidin, Pahla

Santoso dan Heru Kristiana sama sekali tidak pernah didakwakan

bersama-sama dengan Budi Mulya dalam perkara tindak pidana korupsi

tersebut.

Dengan demikian, posita dan petitum dalam permohonan praperadilan

yang diajukan oleh pemohon adalah kabur, tidak berdasar dan tidak

jelas (obscuur libel), tanpa alasan berdasarkan Undang-Undang,

sehingga permohonan sudah sepatutnya ditolak atau setidak-tidaknya

dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).

Page 58: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

50

4. Putusan Hakim

Pada April 2018, Hakim tunggal Effendi Mukhtar memutus perkara

praperadilan, yang bunyi putusannya sebagai berikut:

MENGADILI

DALAM EKSEPSI

- Menolak Eksepsi Termohon seluruhnya

DALAM POKOK PERKARA

1. Mengabulkan permohonan praperadilan pemohon untuk sebagian ;

2. Memerintahkan Termohon untuk melakukan proses hukum

selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank

Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan menetapkan

tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede

dkk, (sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan atas nama

Terdakwa BUDI MULYA) atau melimpahkannya kepada

Kepolisian dan/atau Kejaksaan untuk dilanjutkan dengan

Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan dalam proses persidangan

di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat;

3. Menolak permohonan Pemohon Praperadilan untuk selain dan

selebihnya;

4. Membebankan biaya perkara kepada Termohon, sebesar NIHIL;

Demikianlah diputuskan pada hari ini Senin, tanggal 9 April 2018,

oleh kami : EFFENDI MUKHTAR, S.H.,M.H, Hakim pada Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan sebagai Hakim Tunggal, untuk memeriksa dan

mengadili perkara Praperadilan ini, putusan mana telah diucapkan dalam

sidang yang terbuka untuk umum oleh Hakim Tunggal Praperadilan

tersebut, dengan dibantu MURATNO, S.H.,M.H, Panitera Pengganti

pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, serta dihadiri oleh Kuasa

Hukum Pemohon dan Kuasa Hukum Termohon.

Page 59: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

51

BAB IV

PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH PENETAPAN

TERSANGKA

A. Alasan Pemohon Mengajukan Permohonan Praperadilan

Pada dasarnya penegakan hukum pada kasus korupsi Bank Century

telah dilakukan penyelidikan dan penyidikan dari mulai tahun 2010-2013.

Namun, yang menjadi perhatian publik yakni mengenai perkara tindak pidana

korupsi Bank Century atas nama terdakwa Budi Mulya yang telah berkekuatan

hukum tetap pada tahun 2015. Berkaitan dengan kasus tersebut, dalam

dakwaan Budi Mulya terdapat nama-nama yang disebutkan dan bersama-sama

terlibat dalam tindak pidana korupsi Bank Century yang dalam pertimbangan

putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor. 861 K/Pid.Sus/2015 pada halaman

826 dengan jelas menolak alasan Kasasi yang diajukan Budi Mulya dengan

alasan perbuatan terdakwa yang menyetujui penetapan Bank Century sebagai

bank Gagal Berdampak Sistemik yang mengakibatkan kerugian keuangan

negara merupakan tindak pidana korupsi.

Dengan demikian siapapun pejabat lainnya dari Bank Indonesia

termasuk Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk yang menyetujui

penetapan Bank Century sebagai bank Gagal Berdampak Sistemik sehingga

Bank Century menjadi sakit dan kemudian merugikan negara dalam bentuk

pemberian FPJP sebesar Rp. 689 Milyar dan biaya penyelamatan sebesar Rp.

8,012 Trilyun, haruslah dinyatakan sebagai tersangka dan diprses ke

Pengadilan Tipikor sebagaimana yang sudah terjadi pada Budi Mulya.

Menurut peneliti, terkait dengan putusan kasasi Budi Mulya telah

menjelaskan adanya turut serta dalam tindak pidana korupsi, yang mana

seharusnya pihak-pihak yang turut serta bersama-sama melakukan tindak

pidana korupsi, harus dituntut di muka pengadilan dengan peran nya masing-

masing dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh nya. Penyertaan

sebagaimana dimaksud ialah mengacu pada Pasal 55 KUHP yang menegaskan

dihukum orang yang melakukan tindak pidana orang yang melakukan, yang

Page 60: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

52

menyuruh, atau turut melakukan perbuatan itu, orang yang dengan pemberian,

perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh kekerasan, ancaman atau

tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan

sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.

Berdasarkan bunyi ketentuan tersebut, peneliti berpendapat sudah

sepatutnya KPK dalam hal ini melakukan tugas penyelidikan, penyidikan

bahkan penuntutan terhadap nama-nama yang terlibat atau turut serta dalam

tindak pidana korupsi, adapun KPK yang belum melakukan upaya penegakan

hukum lanjutan pasca telah berkekuatan hukum tetap perkara Budi Mulya lebih

kepada masalah etika hukum daripada pelanggaran hukum. Mengenai tidak

dilakukannya proses penyelidikan dan penyidikan terhadap nama-nama yang

didakwakan pada dakwaan Budi Mulya yang telah inkracht pada tahun 2015

yang turut bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi. Hal tersebut dapat

dikatakan sebagai penghentian penyidikan secara materiil sebagaimana yang

telah dikuatkan dalam yurisprudensi hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri

Boyolali Nomor 01/PRA/2014/PN.Byl. yang dalam pertimbangan putusan

hakim apabila terjadi suatu perkara yang menggantung selama bertahun-tahun

mengakibatkan ketidakpastian hukum terhadap perkara tersebut, maka tindakan

tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindakan penghentian penyidikan secara

materiil. Selain itu, jika dikaitkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal

5 dan Pasal 6 huruf (c) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang

Komisi Pemberantasan Korupsi yang menegaskan tugas dan wewenang KPK

yakni berasaskan kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan

umum, dan proporsionalitas. Serta kewajiban melakukan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, peneliti berpendapat bahwa

dengan tidak ditetapkan nya nama-nama yang terlibat/turut serta dalam

melakukan tindak pidana korupsi Bank Century, maka KPK mencederai asas

kepastian hukum yang terdapat dalam Pasal 5 huruf a, yang mana asas

kepastian hukum sangat penting dalam setiap penegakan hukum. Bahkan

Gustav Radburch meletakan asas kepastian hukum sebagai bagian dari cita

Page 61: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

53

hukum atau tujuan hukum itu sendiri, penegakan hukum bukan hanya sekedar

menegakan hukum saja, melainkan juga menegakan keadilan dalam setiap

proses penegakan hukum tersebut. Dalam hal ini, perlunya kesadaran dari KPK

untuk bisa lebih cepat memulai penyelidikan dan/atau penyidikan terkait tindak

pidana korupsi Bank Century sehinga dapat melimpahkan perkara tersebut

kepada Penuntut Umum (PU), sehingga perkara tindak pidana korupsi Bank

Century dapat diselesaikan oleh KPK.

Dalam dalil eksepsi nya, KPK mendalilkan dalam melakukan

penyidikan tidak ada batas waktu penyidikan. Peneliti berpendapat bahwa apa

yang menjadi alasan tersebut harus disinkronkan dengan ketentuan yang

terdapat dalam Pasal 78 KUHP mengenai Daluarsa, hal ini dapat dikatakan

sebagai upaya mengulur-ulur waktu haruslah dimaknai juga sebagai upaya

untuk menunggu daluwarsa sehingga perkara secara otomatis berhenti

penyidikannya dan tidak dapat dilakukan penuntutan terhadap nama-nama

yang didakwakan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 78 Ayat (1) yang

berbunyi:

“Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:

1. Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan

percetakan sesudah satu tahun;

2. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana

kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam

tahun;

3. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga

tahun, sesudah dua belas tahun;

4. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana

penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.”

Mengenai ketentuan tersebut, peneliti berpendapat bahwa dalam

Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang terdapat delik pidana di dalamnya, memang tidak disebutkan

mengenai daluwarsa. Namun, bukan berarti daluwarsa penuntutan tidak ada

untuk tindak pidana korupsi pidana korupsi, melainkan ketentuan ini dapat

merujuk pada aturan yang lebih umum yakni dapat melihat kembali dalam

Page 62: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

54

KUHP. Dasar keberlakuannya sebagaimana diatur dalam Pasal 103 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), bahwa ketentuan-ketentuan dalam

Bab I sampai Bab VIII KUHP juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang

oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali

jika oleh undang-undang ditentukan lain.

Berdasarkan alasan tersebut, maka untuk mengatasi ketidakpastian

dan berlarut-larutnya penanganan perkara korupsi Bank Century diperlukan

recht finding (penemuan hukum) dalam rangka mengisi kekosongan hukum

atas kebuntuan penanganan perkara korupsi Bank Century oleh KPK serta

untuk menegakan hukum, keadilan dan kebenaran agar perkara tindak pidana

korupsi yang merugikan negara dengan jumlah yang sangat besar ini dapat

diselesaikan.

B. Dasar Pertimbangan Hakim Praperadilan dalam Putusan Nomor

24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel.

Dalam hal pertimbangan hakim praperadilan dalam pokok perkara

yang pada intinya permohonan praperadilan yang diajukan oleh pemohon

memiliki maksud dan tujuan yang menjadi persoalan utama adalah bahwa

pemohon mendalilkan bahwa termohon telah melakukan seolah-olah

penghentian penyidikan secara materiil karena telah membiarkan berlarut-

larutnya kasus penyelesaian tindak pidana korupsi Bank Century, dimana salah

seorang terdakwa Budi Mulya telah divonis oleh Pengadilan sampai pada

tingkat Kasasi dan telah berkekuatan hukum tetap sejak tahun 2015, namun

terhadap terdakwa lainnya yang didakwakan secara bersama-sama dengan

terdakwa Budi Mulya tidak pernah diproses dan tidak jelas status hukumnya

yang mengakibatkan adanya ketidakpastian dan ketidakadilan serta

pelanggaran terhadap asas hukum pidana dan hak asasi manusia.

Berdasarkan fakta-fakta persidangan dan keterangan ahli dalam

persidangan praperadilan nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel. maka hakim

dalam hal ini tidak sependapat dengan pemohon bahwa KPK telah melakukan

penghentian penyidikan secara materiil, akan tetapi sebaliknya demi kepastian

Page 63: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

55

hukum dan keadilan serta perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)

hakim memerintahkan kepada KPK melanjutkan pemeriksaan dan penuntutan

perkara terhadap nama-nama yang disebutkan dalam dakwaan perkara Budi

Mulya. Bahwa apapun resikonya, hal itu merupakan konsekuensi logis yang

harus dipertanggungjawabkan oleh KPK kepada masyarakat yakni dalam

melakukan penegakan hukum tidak boleh melanggar prinsip-prinsip dan asas-

asas hukum yang telah diakui dalam teori hukum pidana yang berlaku

universal. Selanjutnya dalam pertimbangannya, hakim juga merasa perlu untuk

mengemukakan pertimbangan tersebut karena apabila Pengadilan Negeri (PN)

mempertimbangkan dasar-dasar dan alasan yuridis putusan ini menjadi jelas,

baik ratio pertimbangan hukum maupun obitur diktum putusan, sehingga dapat

dipahami oleh semua pihak dan masyarakat bahwasanya penegakan hukum

telah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dalam rangka menegakan

keadilan dan kebenaran, maka semangat pemberantasan korupsi tetap

dilakukan dalam koridor aturan hukum tanpa melanggar hukum itu sendiri.

Pada dasarnya kewenangan hakim praperadilan menurut hukum

positif telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 1 angka 10, Pasal 77 s.d.

Pasal 83, Pasal 95 Ayat (2) dan Ayat (5), Pasal 97 Ayat (3), serta Pasal 124

KUHAP. Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dan

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan

Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Dalam Pasal 2 Ayat (1) Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tersebut merumuskan bahwa objek

praperadilan adalah sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian

penyidikan, atau penghentian penuntutan; penetapan tersangka; penyitaan dan

penggeledahan; ganti kerugian atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara

pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Secara teoritis

maupun yuridis lembaga praperadilan memang tidak dapat memerintahkan

penetapan seseorang menjadi tersangka, karena kewenangan tersebut

merupakan kewenangan cabang kekuasaan eksekutif. Terkait dengan hal ini,

Putusan Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel yang menetapkan tersangka

terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk tanpa melalui

Page 64: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

56

proses penyelidikan dan penyidikan serta tidak berdasarkan bukti permulaan

yang cukup, dalam hal ini ialah dua alat bukti yang sah.

Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti berpendapat bahwa tugas

yustisial hakim adalah memeriksa, mengadili dan kemudian menjatuhkan

putusan atas suatu perkara yang dihadapkan padanya, maka yang menjadi

pedoman hakim dalam melaksanakan tugas yustisinya yakni berpedoman pada

peraturan perundang-undangan. Hakim dituntut untuk selalu menemukan

hukum, apabila suatu perundang-undangan tidak jelas atau tidak lengkap

mengatur suatu peristiwa konkrit. Jika dihubungkan dengan Pasal 5 Ayat (1)

dan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman merumuskan bahwa Pasal 5 Ayat (1) yang menyatakan

bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”,

kemudian Pasal 10 Ayat (1) “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,

mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa

hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan

mengadilinya”.

Ketentuan dalam pasal ini, memberikan pemahaman bahwa hakim

bertindak sebagai perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup

dalam masyarakat, haruslah memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat dengan turun langsung ke dalam masyarakat itu

sendiri. Sehingga, ketika menghadapi suatu ketentuan undang-undang yang

tidak sesuai dengan nilai-nilai kebenaran, keadilan maupun moralitas, maka

hakim dapat menyampingkan ketentuan dalam Undang-Undang tersebut

(Judge Made Law) dan dapat menjatuhkan putusan yang sesuai dengan nilai-

nilai hukum dan rasa keadilan. Selain itu, ketentuan pasal tersebut

mengindikasikan jika terjadi suatu peraturan perundang-undangan yang belum

jelas mengatur tentang suatu peristiwa hukum, maka hakim harus bertindak

berdasarkan kewenangannya untuk menyelesaikan perkara tersebut, tindakan

tersebut merupakan penemuan hukum oleh hakim.

Page 65: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

57

Berkaitan dengan putusan praperadilan yang memerintahkan adanya

penetapan tersangka serta dengan mempertimbangkan adanya upaya

penghentian penyidikan secara materiil, sesungguhnya hakim telah melakukan

suatu penemuan hukum yang progresif. Pada dasarnya penemuan hukum yang

dilakukan oleh hakim adalah peraturan perundang-undangan, hukum

kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional, dan doktrin. Dalam ajaran

penemuan hukum, undang-undang diprioritaskan dari sumber hukum lain,

karena ketika ingin mencari suatu hukum, arti sebuah kata berdasarkan

penjelasan nya, maka dapat mengacu pada apa yang ada dalam undang-undang.

Hal ini merupakan sifat autentik daripada undang-undang itu sendiri yang

menjamin kepastian hukum. Jika ternyata dalam peraturan perundang-

undangan tidak ada ketentuan atau jawabannya, maka barulah dicari dalam

hukum kebiasaan yang merupakan hukum tidak tertulis, yang untuk

menemukannya harus bertanya kepada warga atau tokoh masyarakat yang

dianggap mengerti.

Sumber penemuan hukum yang lainnya adalah yurisprudensi, dapat

dipahami bahwa yurisprudensi diartikan sebagai tiap-tiap putusan hakim, yang

dapat pula berarti kumpulan putusan hakim yang disusun secara sistematis dari

tingkat pengadilan pertama sampai pada kasasi. Dalam kaitan dengan masalah

yurisprudensi tersebut, ada 2 (dua) asas yang dikenal dalam peradilan, yakni

asas precedent dan asas bebas. Asas precedent berarti hakim terikat atau tidak

boleh menyimpangi dari putusan-putusan yang lebih tinggi atau sederajat

tingkatannya. Sedangkan asas bebas adalah hakim tidak terikat pada putusan-

putusan yang lebih tinggi maupun yang sederajat tingkatannya. Menurut Bagir

Manan, sistem peradilan Indonesia tidak menganut asas precedent. Jadi,

hakim-hakim Indonesia bebas mengikuti atau tidak putusan-putusan hakim

terdahulu. Walaupun demikian, dalam praktiknya hakim-hakim menuruti

berbagai yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie), terutama yurisprudensi

Mahkamah Agung.1

1 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, (Bandung; LPPM-UNISBA,

1995), h. 30

Page 66: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

58

Penemuan hukum yang progresif pada dasarnya juga harus

memenuhi unsur keadilan, kepastian dan kebermanfaatan seperti yang

dipaparkan oleh Gustav Radburch, sehingga pada akhirnya dapat diperoleh

keadilan total. Hakim dalam memutuskan perkara pada setiap kasus yang

selalu dihadapkan pada ketiga tujuan hukum tersebut, yakni keadilan hukum,

asas kepastian hukum, dan asas kebermanfaatan hukum. Sebagaimana Sudikno

Mertokusumo beranggapan bahwa tujuan hukum tersebut harus dilaksanakan

secara kompromi, yaitu dengan cara menerapkan ketiga-tiganya secara

berimbang atau proporsional, sehingga tidak perlu mengikuti asas prioritas

sebagaimana dimaksud oleh Gustav Radburch, tetapi seharusnya mengikuti

asas prioritas yang bersifat kasuistis atau sesuai dengan kasus yang dihadapi.

Putusan hakim yang sesuai dengan penemuan hukum yang progresif yakni

putusan hakim tidak semata mata bersifat legalistik, meskipun seharusnya

hakim selalu harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, namun bukan

berarti hakim tidak dapat melakukan penemuan hukum. Selain itu, putusan

hakim harus berfungsi mendorong perbaikan dalam masyarakat dan

membangun harmonisasi sosial dalam pergaulan.

Berkaitan dengan putusan praperadilan tersebut, hakim telah

melakukan suatu penemuan hukum yang progresif yakni dengan melakukan

penemuan hukum yang visioner dan berani dalam melakukan suatu terobosan

hukum dengan melihat perkembangan masyarakat, berpedoman pada

kebenaran dan keadilan serta perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia

(HAM), sehingga hakim dapat melakukan tindakan contra legem yakni

mengambil putusan yang bertentangan dengan pasal undang-undang yang

mengatur dengan tujuan untuk mencapai kebenaran dan keadilan. Sebagaimana

telah dijelaskan sebelumnya, dapat dipahami bahwa tindakan KPK yang tidak

melakukan penyidikan lebih lanjut mengenai tindak pidana Bank Century

selama bertahun-tahun merupakan langkah yang dapat menimbulkan

ketidakadilan dan ketidakpastian bagi penegakan hukum itu sendiri. Hal inilah

yang dipandang perlu untuk hakim dalam menentukan sikap terhadap

lambatnya penanganan hukum tindak pidana korupsi Bank Century.

Page 67: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

59

Menurut peneliti penemuan hukum yang bersifat progresif yang

dilakukan oleh hakim pada dasarnya merupakan langkah untuk menemukan

keadilan bagi para pihak yang berperkara, sebagaimana tujuan akhir dari proses

penegakan hukum dalam proses peradilan adalah untuk menemukan keadilan,

kepastian, dan manfaat penegakan hukum tersebut sehingga oleh karena itu

penegakan hukum harus didasarkan dengan tetap memperhatikan ketentuan-

ketentuan yang terdapat dalam undang-undang dan peraturan yang mengatur

agar terciptanya keadilan.

Apabila merujuk pada pandangan Aristoteles seorang pemikir zaman

klasik, konsep keadilan harus dilihat pada adanya kesamaan hak diantara

orang-orang yang sama, artinya keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang

sama diperlakukan sama, dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan secara

tidak sama. Dalam hal ini, Aristoteles membedakan konsep keadilan menjadi

dua yaitu keadilan distributif dan keadilan komulatif. Keadilan distributif

dipandang sebagai keadilan yang bersifat proporsional, dimana setiap orang

berhak untuk mendapatkan apa yang menjadi haknya. Sedangkan keadilan

komulatif dipandang sebagai keadilan yang menyangkut masalah penentuan

hak yang adil diantara sesama manusia dengan tidak melibatkan adanya

hubungan antara lembaga dengan anggotanya. Dalam pengertian yang lain,

Rudolf Heimanson memandang bahwa keadilan akan selalu melekat dengan

tujuan hukum, sebagaimana hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh

Tourtoulon yang menyatakan “lex injusta non est lex” yang berarti hukum

yang tidak adil bukanlah hukum. Karena pada dasarnya ide keadilan itu

menuntut adanya pemberian pada setiap orang akan haknya berupa hak

perlindungan dan pembelaan diri.2

Ketika dihubungkan dengan perspektif keadilan dalam hukum

nasional Indonesia, maka konsep keadilan dimaksud akan selalu melekat

dengan sumber dasar negara Indonesia yaitu Pancasila. Oleh karena Pancasila

merupakan falsafah dalam bernegara berisikan nilai-nilai luhur yang hidup

2 Bahder Johan Nasution, Kajian Filosofis Tentang Konsep Keadilan dari Pemikiran

Klasik Sampai Pemikiran Modern, Yustisia. Volume. 3 Nomor. 2, Mei-Agustus 2014, h. 120-124

Page 68: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

60

dalam masyarakat, dimana ia akan selalu menjadi dasar dalam setiap

penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Keadilan dalam konteks

Pancasila, dapat dilihat dalam sila-silanya yaitu sila kedua “Kemanusiaan yang

adil dan beradab” dan sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia”. kedua dari pada sila tersebut mengandung makna keadilan berupa

nilai-nilai yang harus diwujudkan dalam kehidupan bersama, dengan didasari

dan dijiwai oleh hakikat keadilan sosial yaitu hubungan manusia dengan

dirinya sendiri, hubungan manusia dengan sesama, hubungan manusia dengan

bangsa dan negara serta hubungan manusia dengan tuhannya.3

Konsep keadilan yang jika dikaitkan dengan pertimbangan hakim

dan langkah penemuan hukum progresif dalam putusan

24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel. Menurut peneliti, penetapan oleh Majelis Hakim

Pra-peradilan atas dilanjutkannya kembali pemeriksaan terhadap tindak pidana

korupsi Bank Century dan perintah penetapan tersangka terhadap Boediono,

Muliaman D Hadad, Raden Pardede, dkk merupakan langkah progresif hakim

dalam menemukan keadilan dan sebagai upaya dalam mencari penyelesaian

tindak pidana korupsi Bank Century, sebagaimana hal ini sesuai dengan konsep

keadilan dalam hukum nasional Indonesia yang berlandaskan pada sila kedua

dan sila kelima Pancasila, yang diteruskan melalui batang tubuh UUD 1945

yaitu Pasal 24 ayat (1) dan diteruskan melalui ketentuan Pasal 5 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

dimana hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum

dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Berdasarkan ketentuan tersebut, bahwa hakim dalam

menyelenggarakan peradilan tidak hanya berlandaskan pada kepastian saja,

melainkan menghadirkan dan memberikan keadilan dalam setiap penegakan

hukum sesuai dengan proporsionalitasnya sebagaimana yang dikemukakan

Aristoteles, karena sejatinya hukum akan selalu melekat dengan tujuan

3 Ferry Irawan Febriansyah, Keadilan Berdasarkan Pancasila Sebagai Dasar Filosofis

dan Ideologis Bangsa, Dih Jurnal Ilmu Hukum. Volume. 13 Nomor. 25, Februari 2017, h. 7

Page 69: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

61

hukumnya yang berkeadilan sebagaimana yang dikemukakan Rudolf

Heimanson dan Tourtoulon.

C. Implikasi Putusan Praperadilan Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel

Terhadap Perintah Penetapan Tersangka

Dalam lembaga praperadilan, hakim diberi kewenangan untuk

memeriksa dan memutus suatu perkara yang berkaitan dengan aspek formil.

Hal tersebut menunjukan adanya kebebasan hakim sebagai pelaksana

kekuasaan kehakiman. Dengan kewenangan tersebut, hakim dalam perkara

praperadilan akan lebih banyak menitikberatkan proses pemeriksaan pada alat

bukti surat yang kemudian dijadikan bahan untuk menguji keabsahan suatu

tindakan aparat penegakan hukum dalam melakukan segala tindakan upaya

paksa. Hakim diberi kewenangan untuk mendengarkan keterangan tersangka

atau pemohon dan pejabat yang berwenang selaku termohon. Dengan

singkatnya proses pemeriksaan perkara praperadilan, maka untuk membuktikan

dalil bahwa perlu atau tidaknya seseorang ditetapkan sebagai tersangka, hakim

dalam hal ini hanya menguji dua alat bukti formil yang menjadi dasar

ditetapkannya seseorang menjadi tersangka.

Mengenai Putusan Praperadilan Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel.

hakim dalam putusannya pada poin b memerintahkan termohon dalam hal ini

KPK untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan

hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak

pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan

menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede

sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan Budi Mulya atau melimpahkannya

kepada Kepolisian dan atau Kejaksaan untuk dilanjutkan dengan penyelidikan,

penyidikan dan penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi. Bunyi putusan dalam poin tersebut merupakan suatu

penemuan hukum hakim atas perkara tindak pidana korupsi, namun terdapat

suatu masalah dalam penerapan hukum oleh hakim tersebut, yakni dengan

menambahkan perintah penetapan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D

Page 70: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

62

Hadad, Raden Pardede dkk. Perintah penetapan tersangka pada dasarnya

bukanlah merupakan kewenangan dari lembaga praperadilan.

Jika dikaitkan dalam konteks Putusan Nomor

24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel. bahwa penyidik KPK telah menghentikan

penyidikan kasus korupsi Bank Century secara materiil yang didasarkan tidak

adanya tersangka baru sejak telah berkekuatan hukum tetap nya kasus Budi

Mulya pada tahun 2015. Hal ini mengindikasikan bahwa KPK telah

menggantungkan perkara yang berlangsung selama bertahun-tahun dan

mengakibatkan ketidakpastian terhadap penegakan hukum tindak pidana

korupsi Bank Century, sehingga tindakan tersebut dapat dipersamakan dengan

melakukan penghentian penyidikan terhadap perkara. Bahwa esensi sejati dari

lembaga praperadilan merupakan fungsi kontrol terhadap jalannya penyidikan

dan untuk adanya kepastian hukum yang berkeadilan terhadap perkara.

Berdasarkan problematika tersebut, maka peneliti berpendapat

bahwa perlu dilakukan proses penyidikan terhadap Boediono, Muliaman D

Hadad, Raden Pardede dkk guna penegakan hukum yang berkeadilan dan

berkepastian serta demi perlindungan terhadap hak asasi manusia. Upaya

progresif dilakukan hakim yang mengadili untuk dapat memerintahkan KPK

menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede

yang nama nya disebutkan dalam dakwaan kasus Budi Mulya, sehingga

semangat pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan dalam koridor-

koridor aturan hukum tanpa melanggar aturan hukum itu sendiri. Mengenai

pertimbangan hakim yang terdapat dalam putusan a quo, ditanggapi secara

positif oleh beberapa kalangan dengan menganggap bahwa putusan

praperadilan kasus Bank Century ini merupakan bentuk terobosan hukum di

Indonesia. Putusan ini dianggap memberikan jalan keluar terkait tindakan KPK

yang diduga menghentikan penyidikan karena membiarkan berlarut-larut nya

kasus korupsi Bank Century.

Namun, terdapat kontradiksi paradigma mengenai putusan

praperadilan tersebut, seperti yang disampaikan oleh pakar hukum pidana

yakni Yenti Garnasih yang menyatakan bahwa perintah menetapkan tersangka

Page 71: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

63

tak masuk dalam kewenangan hakim praperadilan. Menurutnya, kewenangan

untuk menetapkan tersangka merupakan independensi dari penyidik yang tidak

bisa diintervensi oleh siapapun. Hakim praperadilan seharusnya hanya

memiliki kewenangan untuk mengontrol bagaimana proses hukum acara

pidana berjalan sesuai prosedur. Selain itu, perintah hakim praperadilan yang

harus dilaksanakan hanya untuk melanjutkan proses penyidikan perkara.

Sementara, perintah untuk menetapkan tersangka tidak perlu diikuti.4 Hal

demikian juga disampaikan oleh Kepala Biro Hukum dan Hubungan

Masyarakat Mahkamah Agung yakni Abdullah mengatakan bahwa putusan

berupa perintah penetapan tersangka tidak ada di objek praperadilan.5

Mengenai upaya hukum untuk menguji putusan praperadilan, pada

dasarnya telah diatur dalam ketentuan Pasal 83 KUHAP yang menyatakan

bahwa putusan praperadilan tidak dapat dilakukan upaya hukum, kecuali

mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan yang

dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi. Namun, setelah hadirnya

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, dalam putusan

tersebut Mahkamah Konstitusi meniadakan ketentuan mengenai upaya hukum

terhadap putusan praperadilan seluruhnya. Mengenai hal tersebut, terdapat

celah hukum yang dapat dilalui oleh pemohon atau termohon praperadilan,

yakni adanya upaya hukum luar biasa yakni Peninjauan Kembali (PK).

Berdasarkan perkembangan hukum tersebut, Mahkamah Agung

dalam hal ini menerbitkan peraturan menyangkut upaya hukum praperadilan

yakni dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016

Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, sehingga dengan

terbitnya peraturan tersebut menegaskan bahwa tidak adanya upaya hukum,

baik upaya hukum biasa (banding dan kasasi) maupun upaya hukum luar biasa

4 Jarot Bayu dan Yuliawati, Ahli Hukum Anggap KPK Tak Perlu Ikuti Putusan

Praperadilan Century, https://katadata.co.id/berita/2018/04/11/ahli-hukum-anggap-kpk-tak-perlu-

ikuti-putusan-praperadilan-century, diakses pada Senin, 4 Maret 2019

5 Rivki, PN JakseL Perintahkan Tersangkakan Boedono. MA: Tidak Ada Aturannya

https://news.detik.com/berita/3965330/pn-jaksel-perintahkan-tersangkakan-boediono-ma-tidak-

ada-aturannya

Page 72: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

64

(peninjauan kembali), maka secara hukum setiap putusan praperadilan

berkekuatan hukum tetap serta harus dijalankan oleh pihak yang diperintahkan

oleh praperadilan.

Mengenai implikasi hukum terhadap putusan praperadilan tersebut,

KPK sebagai lembaga independen yang memiliki kewenangan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan terhadap segala jenis tindak pidana korupsi wajib

tunduk terhadap putusan praperadilan, karena putusan tersebut merupakan

kewenangan hakim yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain itu, tidak adanya upaya hukum baik

biasa maupun luar biasa membuat KPK secara langsung harus menjalankan

putusan tersebut. Sebagaimana telah dikenal asas hukum yakni asas Res

Judicata Pro Veritate Habetur yang berarti segala hal yang diputus oleh hakim

harus dianggap benar. Sudikno Mertokusumo menjelaskan mengenai asas

tersebut memiliki arti bahwa putusan hakim harus dianggap benar, sampai

memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau diputus lain oleh pengadilan

yang lebih tinggi (banding atau kasasi).6

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa putusan

praperadilan tersebut memerintahkan KPK untuk melakukan proses hukum

selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dan

memerintahkan penetapan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad,

Raden Pardede dkk. Jika melihat pada point perintah melanjutkan proses

penyidikan tindak pidana korupsi dapat merujuk pada ketentuan Pasal 83 Ayat

(3) Huruf b KUHAP yang menyatakan “ Dalam hal putusan menetapkan

bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan

atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan.

Pada dasarnya KUHAP tidak mengatur adanya sanksi bagi pihak

yang tidak melaksanakan putusan praperadilan tersebut. Namun, terdapat

beberapa ketentuan yang dapat dijadikan suatu penjeratan pidana bagi setiap

6 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta; Liberty,

2004), h.9

Page 73: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

65

pembangkangan putusan yang terdapat dalam Pasal 216 Ayat (1) KUHP yang

berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan

yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya

mengawasi sesuatu atau yang tugasnya maupun diberi kuasa untuk

mengusut atau memeriksa perbuatan pidana; demikian pula barangsiapa

dengan sengaja mencegah, mengalangi-halangi atau menggagalkan

tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan

oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara

paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak

sembilan ribu rupiah.”

Merujuk pada ketentuan tersebut, maka KPK dalam selaku pihak

yang diperintahkan oleh praperadilan, wajib untuk melanjutkan proses

penyidikan tersebut. Meskipun pada dasarnya praperadilan tidak memiliki

kewenangan untuk dapat memerintahkan seseorang menjadi tersangka, namun

hal ini peneliti berpendapat bahwa dimaknai hakim melakukan penemuan

hukum yang progresif demi tegaknya keadilan dan kepastian hukum dalam

perkara tindak pidana korupsi. Hal ini menunjukan bahwa hakim dalam

menjatuhkan putusannya tidak terpaku pada sifat legalistik hukum saja,

melainkan mencoba menggali dan mencari keadilan dan kebenaran yang hidup

dalam masyarakat seperti yang tergambarkan dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang

menyatakan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,

dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat”.

Mengenai poin yang memerintahkan KPK yang pada akhir proses

hukum tersebut menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad,

Raden Pardede dkk. Menurut peneliti, kewenangan menetapkan tersangka

tersebut pada dasarnya bukanlah kewenangan dari lembaga praperadilan,

proses tersebut merupakan kewenangan mutlak penyidik KPK untuk dapat

menetapkan tersangka berdasarkan Undang-Undang. Secara yuridis, KPK

berpedoman dalam melaksanan fungsi penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan berdasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20

Page 74: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

66

Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,

sehingga KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan

dapat melakukan proses hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang mengatur tanpa perlu mengindahkan perintah penetapan tersangka

tersebut.

Berkaitan dengan putusan praperadilan, bahwa KPK telah menerima

putusan tersebut dan telah membuka perkara Bank Century kembali dengan

meminta keterangan terhadap Boediono pada tanggal 15 November 20157 dan

pemanggilan Muliaman D Hadad pada tanggal 27 Mei 20158. Dapat dipagami

bahwa korupsi merupakan suatu tindak kejahatan yang luar biasa

(extraordinary crime) yang terjadi secara sistematis dan meluas serta

menimbulkan kerugian negara dan dapat menyebabkan lambatnya

pembangunan nasional dalam berbagai bidang. Karena tindak pidana korupsi

merupakan sebuah kejahatan luar biasa, maka penanganannya juga harus luar

biasa, seperti yang terjadi pada tindak pidana korupsi Bank Century.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam lingkup penegakan

hukum tindak pidana korupsi memegang peranan penuh untuk dapat

menjalankan tugas dan wewenangnya dalam bentuk penyelidikan, penyidikan

dan penuntutan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan hadirnya KPK sebagai

lembaga yang berwenang dalam pemberantasan tindak pidana korupsi,

masyarakat memiliki harapan besar terhadap KPK untuk dapat melaksanakan

tugasnya dengan baik dan benar, sehingga dapat menyelamatkan kekayaan

negara. Ketika KPK tidak menjalankan putusan yang diperintahkan kepadanya

atau tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik dan benar, maka yang

7 Fana Suparman, Kasus Bank Century, KPK Panggil Boediono,

https://www.beritasatu.com/nasional/522487-kasus-bank-century-kpk-panggil-boediono.html ,

diakses pada tanggal 25 Juli 2019

8 Mohammad Bernie, Kasus Century Dibuka Lagi, KPK Panggil Muliaman D Hadad,

https://tirto.id/kasus-century-dibuka-lagi-kpk-panggil-muliaman-hadad-d5u9 , diakses pada

tanggal 25 Juli 2019

Page 75: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

67

timbul adalah ketidak percayaan masyarakat terhadap KPK itu sendiri.

Membuka kembali perkara tindak pidana korupsi Bank Century, membuat

perkara tindak pidana korupsi Bank Century menemui titik terang dan dapat

mengungkap fakta yang sebenarnya, sehingga keadilan dan kepastian hukum

dapat hadir ditengah-tengah masyarakat.

Page 76: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

68

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan perumusan masalah dan analisis berdasarkan kajian

pustaka yang telah peneliti uraikan sebelumnya, bahwa peneliti melihat adanya

permasalahan dalam Putusan Praperadilan Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel.

mengenai perintah untuk melanjutkan proses hukum terhadap perkara tindak

pidana korupsi Bank Century yang pada akhirnya memerintah KPK untuk

melakukan penetapan tersangka yang disimpulkan sebagai berikut:

1. Alasan pihak ketiga berkepentingan melakukan permohonan

praperadilan

Praperadilan merupakan lembaga baru yang diperkenalkan oleh

KUHAP dan merupakan bagian dari Pengadilan Negeri (PN).

Praperadilan menurut kewenangannya memiliki kewenangan untuk

melakukan pengujian melalui hakim tunggal yang mengadili, memeriksa,

dan memutus terhadap keabsahan segala upaya paksa maupun keabsahan

due process of law.

Praperadilan juga merupakan bagian dari prinsip negara hukum

yakni negara hukum harus memenuhi unsur kepastian hukum, adanya

jaminan perlindungan hak asasi manusia, adanya pembagian kekuasaan,

dan adanya pengawasan dari badan-badan peradilan. Dalam hal perkara

praperadilan ini, bahwa pada dasarnya yang menjadi alasan utama

pengajuan permohonan praperadilan ialah tidak berjalannya proses hukum

perkara tindak pidana korupsi Bank Century yang mana salah satu

pelakunya telah menjalani proses hukum yang telah berkekuatan hukum

tetap. Namun, yang menjadi persoalan ialah bahwa Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) yang dalam hal ini memiliki kewenangan penuh untuk

melakukan penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan atas perkara

tindak pidana korupsi, didalam dakwaan yang didakwaan terhadap Budi

Page 77: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

69

Mulya terdapat juga nama-nama yang ikut bersama-sama melakukan

tindak pidana korupsi yakni Boediono, Muliaman D Hadad, Raden

Pardede. Namun, nama-nama tersebut tidak dilakukan penyelidikan dan

penyidikan.

2. Implikasi Putusan Praperadilan Terhadap Perintah Penetapan

Tersangka

Pada dasarnya ketentuan yang mengatur mengenai praperadilan

yakni terdapat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 21/PUU-XII/2014, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4

Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.

Berdasarkan ketentuan dalam peraturan tersebut pada intinya menyatakan

bahwa terhadap putusan praperadilan tidak dapat dimintakan upaya

hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa,

sehingga segala permohonan yang diputus melalui mekanisme

praperadilan harus dijalankan oleh pihak yang diperintahkan dalam

putusan.

Mengenai tidak adanya upaya hukum tersebut, pada dasarnya

Mahkamah Agung dapat melakukan suatu pengawasan terhadap setiap

putusan praperadilan. Namun, pengawasan yang dilakukan Mahkamah

Agung tidak berakibat hukum putusan praperadilan menjadi batal, hal ini

disebabkan dalam a quo Mahkamah Agung hanya dapat memberikan

petunjuk, teguran, atau peringatan terhadap hakim yang memutus perkara

praperadilan, maka putusan ini berimplikasi untuk dijalankan oleh pihak

yang diperintahkan melalui putusan praperadilan.

Merujuk pada Pasal 83 Ayat (3) Huruf b KUHAP, maka KPK dalam

selaku pihak yang diperintahkan oleh praperadilan, wajib untuk

melanjutkan proses penyidikan tersebut. Namun, mengenai poin yang

memerintahkan KPK yang pada akhir proses hukum tersebut menetapkan

tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk.

Page 78: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

70

Menurut peneliti, kewenangan menetapkan tersangka tersebut pada

dasarnya bukanlah kewenangan dari lembaga praperadilan, proses tersebut

merupakan kewenangan mutlak penyidik KPK untuk dapat menetapkan

tersangka berdasarkan Undang-Undang. Secara yuridis, KPK berpedoman

dalam melaksanan fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan

berdasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, sehingga

KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan dapat

melakukan proses hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang mengatur tanpa perlu mengindahkan perintah penetapan tersangka

tersebut.

B. Rekomendasi

Peneliti memahami sebagaimana yang telah diuraikan diatas, bahwa

perkembangan mengenai putusan praperadilan begitu dinamis. Pada dasarnya

mekanisme praperadilan telah diatur melalui KUHAP, Putusan Mahkamah

Konstiusi Nomor 21/PUU-XII/2014, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor

4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.

Namun untuk mencegah hadirnya suatu putusan yang bertentangan dengan

kewenangan praperadilan, sehingga diperlukan peraturan yang secara khusus

yang dapat memberikan guidence terhadap perkembangan hukum pada

umumnya dan praperadilan pada khsususnya. Berdasarkan penjelasan tersebut,

maka peneliti memberikan rekomendasi sebagai berikut:

1. Menghadirkan suatu ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai

substansi hukum dan kewenangan lembaga praperadilan

2. Memasukan muatan yang mengatur praperadilan terhadap segala aturan

perubahannya berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi 21/PUU-

XII/2014 serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 ke

dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Page 79: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

71

3. Merevisi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang

Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan dengan menambahkan

fungsi pengawasan oleh Mahkamah Agung berupa pembatalan putusan

praperadilan yang dianggap menyimpang secara fundamental serta

melampaui kewenangan praperadilan dan mencantumkan batasan waktu

terhadap pelaksanaan putusan praperadilan.

4. KPK dalam membuat dakwaan yang di dalam nya menyertakan nama-

nama yang secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi, harus

konsisten untuk melakukan penegakan hukum yang sama, sehingga pada

akhirnya masyarakat dapat menilai keseriusan penegakan tindak pidana

korupsi yang dilakukan oleh KPK.

5. KPK sebagai lembaga independen yang berwenang penuh dalam

melakukan penegakan hukum tindak pidana korupsi harus melaksanakan

putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Page 80: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

72

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Amin, S.M, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita, 1971.

Nawawi, Barda Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru Edisi Pertama, Jakarta: Kencana, 2008.

Danil, Erwin, Menegakkan Hukum Tanpa Melanggar Hukum, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2015.

Effendi, Tobib, Sistem Peradilan Pidana: Perbandingan Komponen dan Proses

Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Yogyakarta: Pustaka

Yustisia, 2013.

Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif

dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012

Harahap, Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan

Kembali, Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

. , Proses Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan

Kembali Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Hiariej, Eddy OS, Beberapa Catatan RUU KUHAP dan Hakim Pemeriksa

Pendahuluan Dalam Konteks Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Dalam

Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional, Jakarta: Komisi

Hukum Nasional RI, 2013.

Husin, Kadri dan Rizki Husin, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,

Lampung: Lembaga Penelitian Universitas Lampung, 2012.

Page 81: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

73

Ibrahim, Johny, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:

Bayumedia Publishing, 2008.

Ilyas, Amar dan Apriyanto Nusa, Praperadilan Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2017.

Manan, Bagir, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung: LPPM-

UNISBA, 1995.

Makarao, Mohammad Taufik dan Suharsil, Hukum Acara Pidana Dalam Teori

dan Praktek, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Makmur, Syafrudin, Hukum Acara Pidana, Tangerang: UIN FSH Press

Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo. 1992, Bab-bab Tentang

Penemuan Hukum, Yogyakarta: Citra Adtya Bakti, 2016

Marbun, Rocky, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Suatu Pengantar,

Malang: Setara Press, 2015.

Mulyadi, Lilik, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan

Praktik, Bandung: Alumni, 2008.

Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta:

Liberty, 2004.

Palayukan, Sirande, Hukum yang Hidup (the living law) dalam RUU KUHP,

Dalam Problematika Pembaharuan Hukum Pidana Nasional,

Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, 2013.

Partanto, A. Pius dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:

Arkola, 2001.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan,

Surakarta: Muhammadiyah Press University, 2004.

Page 82: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

74

, Membedah Hukum Progresif , Jakarta: Buku Kompas, 2008.

Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum

Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Rukmini, Mien, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah

dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan

Pidana, Bandung: Alumni, 2003.

Salman, Otje dan Anthon F. Susanto, Tinjauan Filsafat Hukum Tentang

Penegakkan Hukum di Indonesia, Dalam Kapita Selekta Hukum Tim

Peneliti Pakar Hukum Universitas Padjadjaran. Bandung: Widya

Padjadjaran, 2009.

Sidharta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan,.

Bandung: CV Utomo, 2009.

Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

Bandung: Rajawali, 1983.

Soesilo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-

Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1988.

Sumaryo, Sidik, Kapita Selekta Peradilan Pidana, Malang: Universitas

Muhammadiyah Malang, 2004.

Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta,

2012.

Tahir, Heri, Proses Hukum yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana di

Indonesia, Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010.

Wisnubroto, Al dan G. Widiantara, Pembaharuan Hukum Acara Pidana.

Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.

Page 83: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

75

Jurnal

Badriyah, Siti Malikhatun. 2011, Penemuan Hukum (Rechtvinding) dan

Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) oleh Hakim untuk mewujudkan

keadilan, MMH, Jilid 40 No. 3

Barama, Michael, 2016, Model Sistem Peradilan Pidana Dalam Perkembangan,

Vol.III No.8.

Febriansyah, Ferry Irawan, Keadilan Berdasarkan Pancasila Sebagai Dasar

Filosofis dan Ideologis Bangsa, Dih Jurnal Ilmu Hukum, Volume. 13

Nomor. 25, Februari 2017.

Muntaha, 2017, Pengaturan Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di

Indonesia, Mimbar Hukum, Vol. 29. No. 3.

Nasution, Bahder Johan, Kajian Filosofis Tentang Konsep Keadilan dari

Pemikiran Klasik Sampai Pemikiran Modern, Yustisia, Volume. 3 Nomor.

2. Mei-Agustus 2014.

Plangiten, Maesa, 2013, Fungsi dan Wewenang Lembaga Praperadilan Dalam

Sistem Peradilan di Indonesia, Lex Crimen, Vol. II. No. 6.

Setiyono, 2006, Kajian Yuridis Mengenai Interpretasi Pihak Ketiga Yang

Berkepentingan Dalam Praktek Praperadilan, Lex Jurnalica. Vol.4 No. 1.

, 2016, Terciptanya Rasa Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan

dalam Kehidupan Masyarakat, Jurnal Ilmiah Fenomena, Vol. XIV. No. 2.

Ilham. 2012, Skripsi, Praperadilan Tentang Penangkapan dan Penahanan

dalam Kaitannya dengan Hak-Hak Tersangka atau Terdakwa Menurut

KUHAP (Studi Putusan Nomor 01/Pid/Pra/2009/PN. PLP), Makassar:

Universitas Hasanudin.

Putri, Novita Akria, 2015, Skripsi. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi

Terkait Dengan Penambahan Norma Penetapan Tersangka Sebagai Objek

Praperadilan, Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan

Kembali Putusan Praperadilan

Page 84: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

76

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana

Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab

Hukum Acara Pidana

Putusan Praperadilan Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel.

Internet

Indah Kusnowati, Praperadilan dalam Perspektif HAM,

http://radarsemarang.com/2017/12/10/praperadilan-dalam-perspektif-ham/,

diakses pada Senin 28 Januari 2018

Jerio Hallean, Hukum Acara Pidana Tentang Mekanisme Praperadilan,

https://www.academia.edu/27297693/Hukum_Acara_Pidana_tentang_Me

kanisme_Praperadilan_di_Indonesia, diakses pada Kamis, 31 Januari 2019

Sakhiyatu Sova, Tiga Nilai Dasar Hukum Menurut Gustav Radburch,

https://www.scribd.com/doc/170579596/Tiga-Nilai-Dasar-Hukum-

Menurut-Gustav-Radbruch, diakses pada Senin 4 Februari 2019

Rofiq Hidayat, Perintah Penetapan Tersangka Lampaui Kewenangan Hakim

Praperadilan,

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5acf311185127/perintah-

penetapan-tersangka-lampaui-kewenangan-hakim-praperadilan, diakses

pada Senin, 11 Februari 2018

Marcus Priyo Gunarto, Polemik Perintah Penetapan Tersangka,

http://mediaindonesia.com/read/detail/155747-polemik-perintah-

penetapan-tersangka, diakses pada Senin, 11 Februari 2019

Jarot Bayu dan Yuliawati, Ahli Hukum Anggap KPK Tak Perlu Ikuti Putusan

Praperadilan Century, https://katadata.co.id/berita/2018/04/11/ahli-

hukum-anggap-kpk-tak-perlu-ikuti-putusan-praperadilan-century, diakses

pada Senin, 4 Maret 2019

Page 85: IMPLIKASI PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP PERINTAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...praperadilan terhadap perintah penetapan tersangka berdasarkan ketentuan Undang-Undang

77

Rivki, PN JakseL Perintahkan Tersangkakan Boedono. MA: Tidak Ada

Aturannya https://news.detik.com/berita/3965330/pn-jaksel-perintahkan-

tersangkakan-boediono-ma-tidak-ada-aturannya

Fana Suparman, Kasus Bank Century, KPK Panggil Boediono,

https://www.beritasatu.com/nasional/522487-kasus-bank-century-kpk-

panggil-boediono.html ,

Mohammad Bernie, Kasus Century Dibuka Lagi, KPK Panggil Muliaman D

Hadad, https://tirto.id/kasus-century-dibuka-lagi-kpk-panggil-muliaman-

hadad-d5u9