refleksi pendidikan islam atas kekerasan budaya di indonesia · di indonesia dr. ahmad ali riyadi,...

29
127 REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan berikut menjelaskan tentang perlunya rekonstruksi filosofis pendidikan Islam dalam kancah masyarakat multikulturalisme. Ada keengganan tersendiri untuk mengatakan pendidikan Islam telah gagal membentuk masyarakat majemuk. Ada paradoks pada satu sisi pendidikan berperan sebagai pengelola pengembangan sumber daya manusia bermisi dakwah Islam akan tetapi di sisi yang lain pendidikan Islam telah menghasilkan lulusannya berhadapan dengan dunia modernitas pragmatis dalam persaingan global. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam mengembangkan lembaga pendidikan Islam, pertama, kesadaran magis (magical consciousness), kedua, kesadaran naif (naival consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness) Kata-kata kunci: Pendidikan Islam, Humanis, budaya dan multikulturalisme

Upload: nguyentruc

Post on 07-Mar-2019

236 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

127

REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAMATAS KEKERASAN BUDAYA

DI INDONESIA

Dr. Ahmad Ali Riyadi,Kaprodi Magister Pendidikan IslamUniversitas Darul Ulum Jombang)

AbstrakTulisan berikut menjelaskan tentang perlunya

rekonstruksi filosofis pendidikan Islam dalam kancahmasyarakat multikulturalisme. Ada keengganan tersendiriuntuk mengatakan pendidikan Islam telah gagal membentukmasyarakat majemuk. Ada paradoks pada satu sisipendidikan berperan sebagai pengelola pengembangansumber daya manusia bermisi dakwah Islam akan tetapi disisi yang lain pendidikan Islam telah menghasilkanlulusannya berhadapan dengan dunia modernitas pragmatisdalam persaingan global. Ada beberapa prinsip yang harusdiperhatikan dalam mengembangkan lembaga pendidikanIslam, pertama, kesadaran magis (magical consciousness),kedua, kesadaran naif (naival consciousness) dan kesadarankritis (critical consciousness)

Kata-kata kunci: Pendidikan Islam, Humanis, budaya danmultikulturalisme

Page 2: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

128

International Seminar on Islamic Civilization

Pendahuluan

Sudah kadung menjadi komitmen bersama bahwapendidikan mempunyai peran yang luhur dan agung.

Sifat yang agung ini dutunjukkan dari peran pendidikanyang dipahami sebagai pemberian bekal peserta didik unukmenghadapi masa depannya, juga peran pendidikandipahami sebagai sarana untuk pencerdasan seseorang.Sehingga pendidikan dapat menjadi peran untuk meramal-kan nasib seseorang.di masa depannya karena dalampendidikan orang diajarkan ilmu tertentu yang menjadikeahlian seseorang. Jika orang belajar kedokteran makadipastikan ia akan menjadi dokter, jika orang belajar dikeguruan maka dapat diramalkan ia akan menjadi guru, dansebagainya. Sebegitu mulianya peran pendidikan sehinggaorang tidak pernah merasa curiga terhadap makhluk yangbernama pendidikan.

Akan tetapi jika peran teoritis pendidikan tersebut dicekdalam kancah realitas, maka tentu akan menjadi pertanyaan.Banyak kasus menunjukkan terjadinya keganjalan-kejanggalan pendidikan. Secara intelektual, pendidikanmenjadi ajang kritik dari para pengguna jasa pendidikan, diantaranya adalah Paulo Freire dan Ivan Illich. Orangtercengang dengan kritik yang dilakukan kedua pakartersebut. Bagi Paulo Freire, pendidikan tidak ubahnyamembuat seseorang terasing (culture of silence) dengan dunialuarnya, sedang Ivan Illih menyerukan dengan bebaskanmasyarakat dari belenggu sekolah (deschooling society).1

1 Baca Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan,terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) dan Ivan Illich,

Page 3: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

129

Mereka tidak sepakat dan tidak puas dengan adanya lemba-ga pendidikan formal yang selama ini berlangsung.

Secara realitas, munculnya kekerasan atas nama agamaakibat keyakinan seseorang menjadi bukti kegagalanpendidikan. Kekerasan FPI (Fron Pembela Islam) terhadapAliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Berkeyakinan danBeragama (AKKBB), kerusuhan Poso, kerusun Ambon danlainnya menjadi bukti bahwa pendidikan, dalam hal inipendidikan agama, telah menjadi mesin perang yang ampuhdan sangat mengerikan. Ada paradoks, pada satu sisipendidikan yang mengajarkan pada kedamaian akan tetapikenyataannya telah mencetak teror dan kerusuhan. Ada apadengan pendidikan? Apakah pendidikan tidak mampu lagimenyuguhkan penghargaan di tengah masyarakatpluralisme? Tulisan singkat ini akan memaparkan secarasingkat beberapa persoalan paradoks yang terjadi dalampendidikan.

Pendidikan Sebagai Rekayasa BudayaSalah satu faktor penting yang perlu diperhatikan adalah

bahwa pendidikan adalah sebagai sebuah gagasan ataurekayasa yang menimbulkan budaya.2 Rekayasa budaya ataudisebut dengan invasi kultural merupakan penyerbuandengan bantuan sarana budaya terhadap kebudayaan lain,sehingga terjadi penaklukan budaya yang pada akhirnya

Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah, penerj. A. Sonny Keraf (Jakarta:Yayasan Obor, 2000)

2 Paulo Freire, dkk., Menggugat Pendidikan; Fundamentalis, Konservatif, Liberaldan Anarkis, penerj. Omi Intan Naomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002),hal. xii.

Refleksi Pendidikan Islam Atas Kekerasan Budaya Di Indonesia

Page 4: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

130

International Seminar on Islamic Civilization

mengalami proses pemalsuan kultural atau keterasinganterhadap budayanya sendiri.

Dari sini dapat dipahami bahwa lembaga pendidikanmerupakan sarana yang paling ampuh untuk pembentukankarakter pribadi seseorang serta propaganda nilai-nilai budayayang dianggap penting bagi penggagas. Setahap demi setahaporang akan mengalami penyerbuan kultural dengan mengoperbudaya asing yang menyergap dirinya. Dengan demikian,seseorang tersebut tidak akan dapat menghayati budayanyasendiri. Tentu hal ini akan membawa akibat buruk darirekayasa pendidikan, yakni; pertama, menjauhkan seseorangdari tradisi dan nilai-nilai budayanya sendiri, kedua,memunculkan rasa keterasingan terhadap hakekat diri sendiri,serta kondisi sisio budaya sendri dan proses tidak mengenalijati dirinya sendiri, yang kemudian timbul rasa malu terhadapkekayaan budaya sendiri sebab dianggap inferior (ndesani).3

Pendidikan menjadi sarana rekayasa yang dapatmengarahkan seseorang untuk mengikuti dan menyakinikebenaran yang didapatkan lewat kerangka berpikir keilmu-an yang dihasilkan. Kerangka ini menjadikan seseorang tidakmampu keluar dari jeratan pemahaman ilmu yang didapat-kan dari lembaga pendidikan. Indoktrinasi lebih mendominasidan memaksakan kemauan ide-ide edukatif tanpa memper-hatikan kebutuhan, harapan dan aspirasi pengguna jasapendidikan. Penggagas ingin membentuk pribadi penggunajasa pendidikan sesuai dengan citra penggagas. Karena itupengguna jasa pendidikan dirampsa dari kata-kata, pikiran,3 Kartini Kartono, Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional:

Beberapa Kritik dan Sugesti (Jakarta: Pradya Paramita, 1997), hal. 132

Page 5: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

131

bahasa, pengalaman hidup dan kebudayaannya, agar mudahdiserbu dan diisi dengan nilai-nilai dan benda-benda asingyang cocok dengan kepentinggan penggagas.

Oleh karena itu, lambat laun orang-orang yang ditakluk-kan akan mengoper lalu mengasyiki semua peristiwa disekililingnya tidak lagi dengan mata dan hati nurani sendiriakan tetapi menghayati semua kejadian di sekitarnya dengankeinginginan penggagas. Semakin patuh dan makin otomatisorang-orang yangdiserbu itu menirukan pola tingkah lakupara penyerbunya, maka akan dianggap semakin prima dansemakin sukseslah proses pendidikan. Oleh karena itu, prosespembudayaan disebut berhasil apabila orang tunduk secaramutlak dan pasif menerima semua perintah yang diberikanoleh para penggagas.

Dalam realitas sejarah, peranan pendidikan sebagaisarana budaya ini dapat dicermati dari munculnya berbagailembaga-lembaga pendidikan yang dibentuk oleh kekuatanormas-ormas maupun kekuatan politik kekuasaan. Misalkanmunculnya berbagai lembaga-lembaga pendidikan yangdisokong oleh penggagas yang beraliansi pada kepentingankebijakan politik tertentu. Sebagai bentuk eksperimen untukmendukung argumen ini, misalkan dalam sebuah negarayang menjunjung tinggi di bidang demokrasi denganmenjunjung tinggi hak-hak individu, maka tentunyatersusunlah sistem pendidikan yang memperhatikan danmengembangkan penghargaan terhadap hak-hak individu.Akan tetapi sebaliknya, di negara totaliter dengan peme-rintahan yang menguasai segala-galanya lewat kekuasaanabsolut, pemerintah membatasi kebebasan individu dengan

Refleksi Pendidikan Islam Atas Kekerasan Budaya Di Indonesia

Page 6: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

132

International Seminar on Islamic Civilization

memberikan pendidikan yang uniform bagi semua obyekdidik. Sistem pendidikannya cuman satu yakni mencermin-kan ide-ide politik para politisi yang berkuasa. Obyek didikharus bersikap otokratis dan mutlak sebab dengan sepenuh-nya obyek didik harus melaksanakan semua perintah parapenguasa politik yang bersifat otoriter. Bagi negara otoriter,pendidikan adalah kekuatan politik untuk mendominirrakyat. Oleh sebab itu, pemerintah secara mutlak mengaturpendidikan.4 Begitu juga dalam bentuk negara yang menga-nut ideologi otokratis dengan pemimpin seorang raja,kekuatan politik mempunyai kekuatan yang sangat besarbahkan sangat absolut tidak terbatas dalam mempengaruhipraktek pendidikan. Negara mempunyai wewenang untukmemilih dan menentukan sistem pendidikan untuk subyek-obyek didik. Keduanya harus patuh dan tunduk mengikutisegala keputusan pemerintah. Pada negara yang menganutsistem oligarkis yang diperintah oleh beberapa penguasayang terpilih dan mahakuasa juga mengembangkan sistempendidikan yang monolinier seperti negara otokratis. Sistempendidikannya mengutamakan pendidikan bagi kelompok-kelompok tertentu yang dipersiapkan akan menjadi peneruspenguasa. Sedangkan rakyat banyak dibiarkan tidak terdidikdan dalam keadaan terbelakang sebagai abdi penguasa.

Hal yang sama juga terjadi di negara-negara yang menga-nut sistem ideologi kapitalisme dan komunisme. Di negarakapitalis, politik dan negara dikuasai oleh sekelompokpemodal. Lembaga pendidikan umumnya dikuasai oleh

4 Kartini Kartono, Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional:Beberapa Kritik Dan Sugesti (Jakarta; Pradya Paramita, 1997), hal. 78.

Page 7: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

133

pemodal sehingga pada umumnya lembaga pendidikandikembangkan atas dasar investasi. Konsekuensinya lembagapendidikan dibangun atas dasar bisnis dan keuntungan adapada pemilik modal. Di negara komunis yang menerapkandiktator proletariat menerapkan pendidikan sebagai fungsinegara. Pendidikan merupakan senjata strategis untukmenguasai rakyat yakni memacu rakyat menjadi manusiayang uniform. Politik adalah sinonim dengan pengendaliansecara ketat terhadap negara dan rakyat. Karena itu sistempendidikannya erat sekali berkaitan dengan sistem politik danambisi-ambisi politik negara tercerminkan pada kerangkafilosofis dan praksis pendidikan.5

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dalam sejarahIslam hubungan antara pendidikan dan kebijakan politik dapatdilacak sejak masa-masa awal pertumbuhan lembaga-lembagapendidikan Islam itu sendiri. Kenyataan ini misalnya dapatdilihat dari pendirian banyak madrasah di Timur Tengah yangdisponsori oleh penguasa politik. Contoh yang paling terkenaladalah Madrasah Nizamiyah di Bagdad yang didirikan sekitartahun 1064 M oleh Wazir Dinasti Saljuk Nizam al-Mulk sebagaipendukung mazhab Sunni (Syafi’i). Lembaga ini merupakanlembaga tandingan Madrasah al-Azhar di Mesir yang padaawalnya didirikan Dinasti Fatimiyah untuk mendukung danmenyebarkan mazhab Syi’ah.6

5 Ibid., hal. 80.6 Keterangan tentang madrasah Nizamiyah dapat dilihat lebih lanjut lewat

karyanya W. Montgomery Watt, The Majesty That Was Islam (London;Sidgwick & Jackson, 1976). Untuk lembaga al-Azhar dapat dicermati lewatkaryanya Bayard Dodge, al-Azhar: a Millenium of Muslim Learning (Wash-ington D.C: The Mindle East Institute, 1961).

Refleksi Pendidikan Islam Atas Kekerasan Budaya Di Indonesia

Page 8: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

134

International Seminar on Islamic Civilization

Fenomena tersebut, bahwa signifikansi dan implikasipolitik dan pengembangan madrasah —pendidikan Islam—pada umumnya bagi penguasa Muslim sudah jelas.Madrasah-madrasah tersebut didirikan untuk menunjangkepentingan-kepentingan politik tertentu dari penguasaMuslim, yakni untuk mendukung, menciptakan danmemperkokoh citra penguasa sebagai orang-orang yangmempunyai kesalehan dan kepedulian kepada kepentinganumat dan lebih penting lagi sebagai pembela ortodoksiIslam.Hal ini pada gilirannya akan memperkuat legitimasipenguasa vis a vis rakyat.7

Kepentingan terselenggaranya pendidikan telahmembawa dampak rekayasa kebudayaan demi eksistensikebudayaan penggagas itu sendiri. Kadangkala lembaga-lembaga pendidikan itu menjadi sarana yang ampuh sebagaimesin perang yang sangat mengerikan. Sebagai contohpertarungan antara kelompok sunni dan kelompok si’ah dinegara-negara muslim menjadi kesalahan sejarah yang fatalakibat rekayasa pendidikan. Pertarungan ideologi-ideologibesar dunia, komunis, fasis, sosialis dan Islam, menjadi buktilain yang mengantarkan pada pembasmian etnis.

Dominasi, Indoktrinasi Atas KepentinganBerdasarkan landasan berpikir tersebut perlu upaya

reorientasi pendidikan Islam di tengah masyarakat yangmultikultural. Hal ini perlu dilakukan untuk mendapatkanformula pendidikan yang bebas dari kepentingan penggagas.

7 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju MileniumBaru (Jakarta; Logos, 2002), hal. 62.

Page 9: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

135

Sebab pendidikan akan menjadi ajang pendoktrinan jika tidakdibarengi dengan prinsip yang netral terhadap penggagas.Bagaimana mungkin pendidikan akan menjadi humanis jikalembaga pendidikan itu digembok dengan berbagaikepentingan-kepentingan. Berikut beberapa hal prinsip yangperlu dipertimbangkan;

Pertama, fungsi menumbuhkan kesadaran magis (magi-cal consciousness). Kesadaran ini dikembangkan dengan suatukeadaan kesadaran yang tidak mampu mengetahuihubungan atau kaitan antara satu faktor dengan faktor yanglainnya. Seringkali terjadi dalam dunia pendidikan bahwaalumni sebuah lembaga pendidikan tidak mampu berkreasidan berkarya serta selalu tetap berada di pinggiran aruspembangunan yang berjalan begitu cepat. Akibatnya, jumlahpengangguran justru banyak diisi oleh kelas menengahterpelajar. Ketidakberdayaan kelas terpelajar ini sebenarnyadiakibatkan oleh sistem sebagai struktur pembelajaran yangtelah menjerembabkannya ke dalam kemiskinan danketidakberdayaan.

Disebut menjerembabkan karena lembaga pendidikantelah membawa dampak pada alienasi (keterasingan) pesertadidik terhadap dunia luar.8 Alienasi, dalam kerangkatradisional, dipahami bahwa peserta didik telah mempunyaipersepsi bahwa sekolah atau lembaga pendidikan telahdianggap dapat menjanjikan kerja langsung, pada halperkembangan dalam dunia kerja begitu cepat melebihi nalarkeilmuan yang diajarkan di lembaga sekolah. Peserta didik8 Ivan Illich, Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah, penerj. Sony Keraf

(Jakarta; Yayasan Obor, 2000), hal. 63.

Refleksi Pendidikan Islam Atas Kekerasan Budaya Di Indonesia

Page 10: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

136

International Seminar on Islamic Civilization

telah dialienasikan oleh sekolah yang mengisolasi merekaketika mereka bermaksud menjadi produsen dan konsumendari pengetahuan mereka sendiri. Kenapa demikian? Karenabegitu peserta didik belajar dan diajar di lembaga sekolahanmaka orang akan kehilangan inisiatif untuk tumbuh mandiridan menutup diri terhadap hal-hal yang berkembang di luarpelajaran yang diajarkan di sekolah. Kreatifitas dankemampuan diukur dari nilai-nilai yang diatur lembagapendidikan dan kesusksesan seseorang juga ditentukan olehseberapa tinggi nilai evaluasi yang didapatkannya danseberapa tinggi gelar kesarjanaan yang diperolehnya.Lembaga pendidikan telah menjadi nilai konsumtif pasarkerja yang berkembang dengan memberikan janji-janjipengembangan potensi kerja yang menggiurkan. Sehinggalembaga pendidikan telah menjadi lembaga rekayasa sosialyang paling ampuh untuk membuat orang teralienasi.

Salah satu problem pendidikan Islam yang mengarahkepada alienasi adalah pengembangan kurikulum nalarklasik. Nalar klasik dipahami sebagai pandangan yangberkembang dan terbentuk pada masa lampau akan tetapikeberadaannya selalu diulang-ulang pada masa sekarangtanpa adanya upaya tranformasi pemikiran untukdiderkonstruksi dan dekonstruksi sesuai dengan kondiszaman.

Meminjam istilah yang dikemukakan al-Jabiri, bahwanalar yang dikembangkan agama zaman sekarang adalahdunia nalar yang berkembang dalam dunia Arab Islam klasik.Oleh al-Jabiri menyebutnya dengan sebutan Nalar Arab.Nalar Arab dipahami sebagai sejumlah prinsip dan kaidah

Page 11: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

137

yang dikemukakan oleh kultur Arab bagi penganutnyasebagai landasan untuk memperoleh pengetahuan.Himpunan pengetahuan itu secara tidak sadar telah menjadiepisteme bagi kebudayaan Arab Islam yang lahir darikumpulan tradisi pemikiran yang diwariskan dari peradabanIslam pada abad pertengahan. Masa kemunculankebudayaan itu, oleh al-Jabiri, disebut dengan masa kodifikasi(‘ashr tadwin), yaitu masa di mana berlangsun proyekkonstruksii budaya secara massif dalam pengalaman sejarahperadaban Islam, antara pertengahan abad 2 H danpertengahan abad 4 H. Yang pada akhirnya peradaban inimembentuk sebuah kerangka rujukan bagi pemikiran ArabIslam dengan segenap disiplin keilmuannya yang beragam.Tentunya, masa kodifikasi ini bukanlah sekedar prosespembakuan dan pembukuan berbagai disiplin keilmuan akantetapi harus dipahami pula sebagai rekonstruksi kebudayaansecaara menyeluruh dengan segenap persoalan yangdikandung oleh peroses pembukuan, baik yang berupaeliminasi, suplemasi, dominasi, pembungkaman, manipulasidan penafsiran yang kesemuanya sangat dipengaruhi olehfaktor-faktor ideologis dan faktor-faktor sosio kultural yangberagam, yang secara tidak sadar telah diikuti secara “paksa”tanpa ada pengkritisan oleh pengikut-pengikut peradabanArab Islam.9

Nalar Arab ini kemudian menjadi sejumlah prinsip dankaidah yang dikemukakan oleh kebudayaan Arab Islam bagipenganutnya sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan

9 Muhammad Abid al-Jabiri, at-Turast wa al-Hadastah: Dirasah wa Munaqasat(Beirut: al-Markaz as-Siqafi al-‘Arabi, 1991), hal. 141.

Refleksi Pendidikan Islam Atas Kekerasan Budaya Di Indonesia

Page 12: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

138

International Seminar on Islamic Civilization

dan menharuskan mereka untuk menjadikannya sebagaisrana memperoleh pengetahuan dan mengharuskan merekauntuk menjadikannya sebagai sistem pengetahuan, yaitusebagai kumpulan dari konsep-konsep dan prosedur-proseduryang memberikan pengetahuan secara tidak sadar sebagaiepisteme kultur Arab, yang pada akhirnya mengkristalmengisi sebuah peradaban yang statis dan absolut.

Ilmu pengetahuan Arab Islam yang muncul di duniaArab yang semula diajarkan dengan nalar universal kemudiandibakukan melalui penafsiran tertentu yang diresmikan olehlembaga umat sebagai sesuatu yang sudah selesai dandiajarkan secara terus menerus. Akibatnya umat Islamsekarang lebih mengenal produk pemahaman aama dari padametode kemunculan produk, sehingga kreativitas berpikirmenjadi statis. Pola prikir statis ini muncul sebagai akibatketidakkmampuan umat Islam dalam mendialogkan ilmukeislaman dengan fakta historis kealaman, sehinggamenimbulkan alienasi dengan fakta.

Kedua, membangun kesadaran naif (naival consciousness).Lembaga pendidikan sebagai sebuah keadaan kesadaranyang melihat keterbelakangan oleh faktor individu dari or-ang lain. Dalam kesadaran ini masalah, etika, kreativitas, needfor achivement dianggap sebagai perubahan sosial.

Pendidikan membangun individu yang mempunyai wataknegative and diagnostic dan positive and remedial. Yang pertama,adalah membentuk manusia yang anti terhadap otoritarismedan absolutisme terhadap segala bentuk yang meliputi semuabidang kehidupan baik agama, moral, sosial, politik dan ilmupengetahuan. Yang kedua, adalah pendidikan berdasarkan

Page 13: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

139

pada suatu kepercayaan atas kemampuan manusia sebagaisubyek yang memiliki potensi-potensi alamiah, terutamakekuatan-kekuatan mempertahankan diri untuk menghadapidan mengatasi semua problem kehidupannya.

Pendidikan memberikan keyakinan baru akanpentingnya transformasi sosial sebagai bentuk kesadaransesorang atas teori normatif pendidikan. Segala bentuk teoriilmu yang diajarkan hendaknya dapat membebaskanperilaku sehingga dapat membentuk kesalehan sosial, dalambahasa agama disebut akhlaq karimah (saleh ritual dan salehsosial sekaligus). Pendidikan yang awalnya untuk mengaturdan membekali potensi manusia harus dipahami secaraproduktif, namun kenyataannya justru menjadi sesuatu yangmenakutkan dengan pemahaman yang dogmatik dan kaku.Hal ini dinyatakan dengan pemahaman out put pendidikanyang diukur dengan nilai serba hitam merah. Nilai hitam jikapeserta didik mendapatkan nilai yang tinggi dalam prosesbelajarnya begitu juga sebaliknya mendapat nilai merah jikapeserta didik tidak mampu mendapatkan nilai standar yangtelah ditentukan. Hal ini sangat berkonotasi pragmatisme.

Model penilaian salah benar dalam mengukur kelulusanpendidikan tersebut lebih mengarah nalar pragmatis. Nalarpragmatisme dalam dunia pendidikan lebih diakibatkan olehparadigma budaya konsumerisme kapitalis. Sifat dasar dariparadigma ini adalah demi pertumbuhan dan pembangunanekonomi. Sifat dasar pembangunan telah membentukkarakter yang mendasari terselenggaranya pembangunansecara pragmatis. Sikap pragmatisme ini merupakan sebuahsikap cara berpikir demi efisiensi dan efektivitas.

Refleksi Pendidikan Islam Atas Kekerasan Budaya Di Indonesia

Page 14: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

140

International Seminar on Islamic Civilization

Ada argumen sederhana bagi kemunculan dampaknegatif pembangunan yakni sikap pembangunan yangbersifat pragmatis lebih banyak tidak mengindahkan unsurkemanusiaan sebagai bagian dari proses pembangunan itusendiri. Sebab yang ada dalam benak para penggagaspembangunan hanyalah bagaimana cara membangunsarana secara efektif dan efisien denan secepat mungkinhingga hasilnya dapat dinikmati. Pada hal kehendak yangdemikian, sebenarnya serupa dengan motif yang ada padailmu ekonomi klasik, yakni kapitalisme, yaitu dogma yangmengajarkan pada individu agar mampu mendapatkan hasilsemaksimal mungkin dengan pengorbanan seminimalmungkin. Dari sinilah pembangunan kemudian membawadampak negatif dengan munculnya hegemoni kultural danpolitik dalam developmentalisme.10

Sebagai bentuk dari hegemoni kultural dapat dicermatidengan munculnya modernisasi sebagai salah satu jargonpembangunan. Dengan modernisasi, pembangunan telahmenciptakan ideologi baru dan dengan pengaruh kulturaldan politik melalui penciptaan diskursus sistemik danterstruktur serta propaganda dan yang sistematis untukmengganti ideologi, budaya dan politik rakyat yang subor-dinat. Agama, pendidikan dan lembaga-lembaga lainnyadigunakan aparat pembangunan untuk mengaburkanhubungan kekuasaan dan menyebabkan orang kehilangannilai-nilai humanitas. Sebagai hegemoni, jargon modernisasimenciptakan konsep realitas pada seluruh masyarakat dalam

1 0 Saiful Arif, Menolak Pembangunanisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),hal. 256.

Page 15: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

141

semua kelembagaan dan dimanifestasikan secara seseorangsehingga mempengaruhi citra rasa, moralitas, adat istiadat,keagamaan dan politik maupun hubungan sosial.11

Sebagai dampaknya tentu seluruh aspek humanitasmanusia telah terhegemoni pada budaya konsumerisme ataukebudayaan benda. Nilai-nilai kemanusiaan telah tercerabutdan digantikan dengan nilai-nilai kebendaan. Keakuanmanusia tidak lagi difokuskan pada kesucian jiwa akan tetapipada prestasi akumulasi dan konsumerisme materi. Kehidup-an telah berubah menjadi corak hedonistik, yakni kesuksesandirumuskan sebagai sesuatu yang mendatangkan kenikmat-an fisikal. Padahal kenikmatan fisikal seringkali menjerumus-kan pada penghancuran kehidupan.12

Dalam konteks pendidikan, sebagai salah satu sasaranpropaganda pembangunan, tidak bisa lepas dari bidikan prag-matisme sebagai ekses pembangunan bermazhab kapital-isme. Sebab realitas yang terjadi adalah kecenderunganmenempatkan manusia sebagai pelaku atau robot pem-bangunan dan bukan manusia sebagai jiwa yang memilikikompleksitas persoalan. Kritik ini diarahkan pada sistempendidikan agama yanghanya sekedar membentuk manusiayang bermental dan berorientasi pada pembangunan denganjargon profesinalisme. Karena bagaimanapun pembangunanmembutuhkan keterlibatan pendidikan dalam rangkamensosialisasikan arti pentingnya pembangunan. Paradigma1 1 Mansour Fakih, Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial: Pergolakan

Ideologi LSM Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hal. 86.1 2 Nurcholish Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan

Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani (Jakarta: MediaCita, 2000), hal. 292.

Refleksi Pendidikan Islam Atas Kekerasan Budaya Di Indonesia

Page 16: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

142

International Seminar on Islamic Civilization

yang digunakan adalah pradigma sumber daya mananusiadari teoriekonomi klasik. Teori ini menmpatkan manusiasebagai bagian penting dari faktor produksi. Denganmengasumsikan manusia sebagai faktor produksi, makaparadigma ini tentu saja mereduksi manusia pekerja menjadiobyek. Sementara subyeknya adalah kapitalisme. Maka dariitu, pendidikan merupakan jalur strategis untuk mewujudkansumber daya manusia yang produktif. Tampaknya hanyadengan pendidikan yang diformalkan manusia akan dapatbekerja secara produktif. Pendidikan diformat semata-matasebagai sertifikat yang harus dimiliki setiap orang ntuk dapatbekerja. Jelasnya, adalah manusia dalam menempuhpendidikan hanya dipahami sebagai kerangka pragmatismencarikerja. Ukuran sukses tidaknya seseorang dalammenempuh pendidikan ditentukan oleh kesuksesan seseorangdalam bekerja sesuai dengan bidang studi dalam pendidikan.Pendidikan tidak dipahami sebagai pengembangan keilmuanakan tetapi pendidikan dipahami sebagai pencarian pekerjaanyang bersifat praktis. Kenyataan bahwa pendidikan hanyasekedar diarahkan untuk memenuhi panggilan pembangun-an dapat dibuktikan semakin melemahnya kesadran manusiabahwa kehidupan itu diciptakan secara sosial.

Pendidikan, pasar dan politik pada akhirnya menjadisaling terkait dan merupakan lingkaran dalam sebuah sistemyang nyaris tidak dapat dipisahkan. Konsep link and macthyang dipakai seringkali mengehendaki manusia diarahkanhanya sekedar untuk menguasai ilmu pengetahuan dantekhnologi saja. Sistem pendidikan yang semacam inilah yangcenderung menciptakan manuisa pragmatis pembangunan

Page 17: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

143

yang hanya mampu menuruti aktor kekuasaan. Manusiakemudian menjadi tidak hanya imajinasi sosiologis untukmengekspresikan realitas yang berada di luar sistem.Keseluruhan mekanisme dan tindakan pembangunan harussesuai dengan kesepakatan yang berada dalam sistem yangdiajarkan oleh sistem pendidikan. Dari sinilah yang dimaksudpendidikan telah membatasi manusia yang terkungkungdalam nalar pragmatis.

Ketiga, membangun kesadaran kritis (critical conscious-ness). Kesadaran ini memandang sebab masalah dilihat darisistem alam atau struktur sebagai sumber masalah. Kesadaranini memberikan ruang bagi masyarakat agar mampumengidentifikasi ketidakadilan dalam struktur yang ada danmampu melakukan analisis bagaimana sistem dan strukturlembaga.

Strukur dipahami sebagai realitas yang dilihat sebagai-mana adanya yang diletakkan sebagai sebuah sistem. Dalamhal ini lembaga pendidikan merupakan bagian dari strukturrealitas. Oleh karenanya, pendidikan seharusnya dapatmengarahkan peserta didik untuk dapat melihat sistem yangmenjadi sasarannya untuk membuka sistem yang membe-lenggu dirinya. Sebagai contoh munculnya keterasingankarena diskriminasi peran kelompok minoritas dalam kelom-pok mayoritas masyarakat atau munculnya keterasinganseseorang karena kemiskinan dilihat karena adanya sistemrealitas yang mengitarinya tidak memungkinkan seseoranguntuk dapat keluar dari gubangan sistem yang membe-lenggu. Biasanya dalam diskriminasi menandakan adanyapenindasan, peminggiran dan ketidakadilan sosial. Karena

Refleksi Pendidikan Islam Atas Kekerasan Budaya Di Indonesia

Page 18: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

144

International Seminar on Islamic Civilization

adanya unsur superioritas kelompok atau sistem terhadapkelompok lainnya. Ada banyak faktor mengapa pendidikansering ditampilkan dalam corak diskriminatif. Salah satunyaadalah adanya klaim kebenaran yang tidak disertai denganadanya pemahaman kemajemukan.

Faktor ini dapat dicermati dari pelaksanaan pendidikanagama dengan nalar eksklusif. Secara harfiyah eksklusifberarti sendirian, terpisah dari yang lain, berdiri sendiri,semata-mata dan tidak ada sangkut pautnya dengan yanglain. Secara sosial pengertian ini dipahami sebagai sikap yangmemandang bahwa keyakinan, pandangan, pikiran danprinsip diri sendirilah yang paling benar. Sementarakeyakinan pandanan, pemikiran dan prinsip yangdianut or-ang lain adalah sesat, salah dan harus dijauhi. Tentunya,pendapat seperti ini akan berdampak pada peminggiran sa-ran dan pemikiran yangberasal dari kelompok lainnya.

Eksklusifisme pendidikan agama ini terhadi karenabeberapa hal, pertama, pendidikan agama yang dikembang-kan telah terbakukan melalui penafsiran-penafsiran tertentuyang diresmikan oleh lembaga-lembaga keagamaan tertentu,kemudian diajarkan kepada masyarakat. Sebagai dampakpenafsiran ini agama yang semula memesankan pada pembe-basan pada akhirnya kehilangan pesan kemanusiaan sebagaiagama pembebas dan ideologisasi yang berakibat padadehumanisasi.

Ketika agama mengalami proses pelembagaan yangberlebihan maka yang terjadi adalah pembungkamankekayaan penafsiran, di luar tafsir resmi yang diakui olehlembaga berwenang mustahil ada tafsir lain yang diakui

Page 19: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

145

kebenarannya. Kitab suci agama yang semula terbukakepada tafsir dibungkam suaranya menjadi hanya berbunyisatu tafsir. Masyarakat agama yang di luar daerah tafsir resmitersebut akan dicap murtad atau bid’ah. Proses dialogis padatataran ini dimumkinkan tidak lagi terdapat tempat yangselayaknya.

Suasana seperti ini dapat dicermati pada kasus lembagapendidikan agama di Indonesia, umumnya juga terjadi dilembaga pendidikan agama seluruh dunia Islam. Di Indone-sia, lembaga-lembaga pendidikan agama banyak didirikanoleh lembaga-lembaga sosial keagamaan tertentu, misalkanMuhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis, Ahmadiyah danlembaga sosial keagamaan lainnya, adalah merupakancontoh sebuah pengkaderan paham atas tafsir agama tertentu.Walaupun model seperti ini dibenarkan menurut ilmusosiologi, namun pengkotak-kotakkan ini pada akhirnyamenimbulkan mazhab dari kelompok tertentu yang secaratidak sadar telah menimbulkan fanatisme mazhab darikelompok tertentu pula, jika proses pembelajaran agama tidakdibarengi dengan pemahaman multitafsir. Corak seperti initentunya tidak menguntungkan bagi pengembangan nalarkritis pluralis di tengah masyarakat yang multi etnis.

Kedua, adanya keterasingan manusia sebagai pesertadidik atas lingkungan sekitarnya. Konsep ini berangkat darihakekat manusia yang pada intinya adalah bebas danmerdeka. Pendidikan agama seharusnya bertolak daripengenalan dirinya sendiri dan realitas lingkungan manusia.Seringkali, pendidikan dianggap sebagai investasi materialuntuk meneruskan tradisi dan kekayaan intelektual dari

Refleksi Pendidikan Islam Atas Kekerasan Budaya Di Indonesia

Page 20: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

146

International Seminar on Islamic Civilization

generasi kepada generasi selanjutnya. Model ini disebutdengan sistem pendidikan bank (banking education system).Disebut demikian karena dalam prakteknya pendidikanhanyalah proses pengalihan pengetahuan (transfer of knowl-edge). Dari sini dipahami atau tidak proses seperti ini akanmenimbulkan nalar eksklusif karena pada dasarnya sistempendidikan yang dikembangkan menganut sistem searah dantidak menampilkan sistem dialogis.

Dalam konteks edukasi selama tidak ada kesadarandialogis yang mengarah kepada kualitas kesadaran danpengetahuan yang memadai, peserta didik akan terusbungkam meskipun berada di bawah tekanan struktural atausistem sosial. Akibatnya, peserta didik tidak mengkreasisejarah dan budayanya sendiri. Situasi terbungkam inilahyang menimbulkan kebudayaan bisu (culture of silence).Secara filosofis, dalam pandangan yang sama tapi dalambahasa yang berbeda, bahwa pendidikan agama yangdikembangkan masih berkutat pada dataran normativitasteks agama kurang memperhatikan aspek historisitaskekinian teks. Ajaran agama yang bersifat normaif telahdiklaim sebagai yang bersumber dari Tuhan yang suci,bersifat samawi, bersifat sakral, bersifat menjadi agama yangmempunyai keunikan ciri yang spesifik sekaligus membeda-kannya dari jenis pengalaman budaya dan sosial keagamaan.Jika klaim kebenaran berbenturan dengan historisitas teksagama yang bergulat dengan faktor kepentingan, baikkepentingan kelompok, golongan, etnis, birokrasi, maka akanmuncullah ketegangan antar penafsiran atas historisitas teksagama. Penafsiran agama yang diklaim sebagai agama itulah

Page 21: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

147

yang kemudian rentan akan memunculkan konflik. Karenakonflik diidentifikasikan sebagai penafsiran tunggal yangdiklaim sebagai sebuah kebenaran agama secara absolut yangmengesampingkan terhadap kebenaran agama lain.

Persoalan ini terjadi karena muatan pendidikan agamayang dikembangkan telah terbakukan melalui penafsiran-penafsiran tertentu yang diresmikan oleh lembaga-lembagakeagamaan yang dibentuk lembaga sosial tertentu untukkemudian diajarkan kepada peserta didik atau masyarakat.Agama yang semula memesankan pada pembebasan, padaakhirnya agama kehilangan pesan profetisnya sebagai agamapembebas dan ideologisasi yangg berakibat padadehumanisasi. Ketika agama mengalami proses pelembagaanyang berlebihan maka yang terjadi adalah pembungkamankekayaan tafsir, di luar tafsir resmi yang diakui oleh lembagalain mustahil ada tafsir yang diakui kebenarannya. Kitab suciyang semula terbuka kepada semua tafsir dibungkamsuaranya menjadi hanya berbunyi satu tafsir. Masyarakatagama yang berada di luar daerah tafsir resmi akan dicapmrtad atau bid’ah. Hal ini jelas akan mennghilangkan rasakemanuisaan antar sesama.13

Seringkali dijumpai dalam doktrin agama selalumenggunakan sistem pemahaman pengajaran agama denganmenggagas pendekatan konflik yang tanpa disadari telahmegarahkan pada eksklusivitas pluralisme agama. Wacanaiman versus kafir, muslim versus non muslim, sorga versus

1 3 Amin Abdullah,”Pengajaran Kalam dan Teologi di Era Kemajemukan:Sebuah Tinjauan Materi dan Metode Pendidikan Agama,’ dalam JurnalTashwirul Afkar, Edisi No. 11 tahun 2001, hal. 8.

Refleksi Pendidikan Islam Atas Kekerasan Budaya Di Indonesia

Page 22: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

148

International Seminar on Islamic Civilization

neraka menjadi bahan kurikulum yang dogmatik. Pelajaranteologi seperti itu memang tidak dapat dihindari namunpengajaran itu hanya diajarkan sekedar memperkuatkeimanan dan pencapaiannya menuju surga tanpa dibarengidengan kesadaran berdialog dan perlunya transformasi sosialajaran agama. Akibatnya, tentulah sangat fatal yakniparadigma eksklusif doktrinal yang menciptakan kesadaranumat agama untuk memandang umat agama lain secaraantagonistis. Oleh karenanya, pendidikan agama harusmelakukan reorientasi filosofis paradigmatik tentangbagaimana membenuk kesadaran peserta didik berwajahinklusif tanpa harus menghilangkan kesadaran akankeyakinannya.

Persoalan lain yang tidak kalah menariknya adalahpembentukan nalar jender dalam dunia pendidikan sebagaiakibat sistem struktur yang telah terbentuk secara tidakdisengaja. Istilah gender seringkali dirancukan dengan seks.Kedua istilah ini berbeda, jika lebih digunakan untukmengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segisosial dan budaya. Sementara sex lebih digunakan untukmegidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segianatomi biologis. Istilah seks lebih banya berkonotasi kepadaaspek biologis seseorang, meliputi perbedaan anatomi fisik,hormon dalam tubuh, reproduksi dan karakteristik biologis-nya lain. Sementara itu, gender lebih banyak berkonsentrasikepada aspek sosial, budaya, psikologis dan aspek-aspek nonbiologis lainnya.

Secara konseptual tidaklah menimbulkan perbedaan.Namun dalam realitas sosial perbedaan gender telah

Page 23: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

149

menimbulkan perdebatan. Perdebatan muncul karenadisinyalir telah menimbulkan ketidakadilan peran antara laki-laki dan wanita dalam realitas sosial. Ketidakadilan itu munculkarena adanya kerancuan dan pemutarbalikan maknatentang apa yang disebut seks dan gender. Pemutarbaikanini sebagai bentuk peneguhan pemahaman yangtidak padatempatnya di masyarakat, di mana apa yangsesungguhnyagender, karena adanya konstruksi sosial, maka justrudianggap sebagai kodrati yang berarti ketentuan biologis atauketentutan Tuhan. Misalkan peran perempuan dalam bidangdomistik sering dianggap sebagai kodrat wanita. Pada haldalam kenyataannya peran tersebut merupakan konstruksiperan kultural dalam masyarakat. Boleh jadi urusan tersebutakan dapat dilakukan oleh kaum laki-laki. Oleh karean jenispekerjaan itu dapat dipertukarkan apa yang sering disebutkodrat wanita atau taqdirTuhan atas wanita dalam kasus iniadalah peran gender.14

Perbedaan gender sebenarnya tidaklah menimbulkanpersalan selama tidak menimbulkan ketidakadilan.Munculnya ketidakadilan merupakan sistem dan struktur dimana baik laki-laki maupun wanita menajdi korban dariadanya sistem tersebut. Untuk melihat ketidakadilan jenderdapat dilihat dari manifestasi ketidakadilan yang ada. Adabeberapa faktor yang menyebabkan tetap langgenggnyabudaya gender. Di antaranya adalah pendidikan di sampingsebagai faktor lain, semisal, tafsri agama, budaya, etnis dankebijakan kekuasaan. Faktor-faktor ini berperan dalam

1 4 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: PustakaPelajar 1996), hal. 7.

Refleksi Pendidikan Islam Atas Kekerasan Budaya Di Indonesia

Page 24: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

150

International Seminar on Islamic Civilization

menghambat perjuangan kaum feminis sekaliguslanggengnya bias gender.

Pendidikan agama dapat pula menjadi faktorkelanggengan bias gender. Beberapa indikasi yang dapatdijadikan patokan adalah pada ajaran agama sebagai materipendidikan agama itu sendiri. Agama yang diyakini sebagaipegangan hidup memiliki pengaruh fungsional terhadapstruktur sosial masyarakat. Berkat adanya penafsiran agamaoleh pemeluknya agama telah berfungsi sebagai alatlegitimasi terhadap struktur sosial yang berlaku dalam suatumasyarakat termasuk salah satuna struktur sosial yangmelahirkan ketidakadilan terhadap perempuan. Di sinilahajaran agama yang ditafsirkan telah bedampak padapelanggengan bias gender.

Adanya bias gender dalam sejarah peradaban Ilam sudahmuncul sejak Islam ada di jazirah Arab. Dalam kehidupanmasyarakat Arab bias gender terjadi karena berkembangnyacorak ideologi patiarki yang memberikan otoritas dandominasi kepada kaum laki-laki dalam kehidupan keluargadan masyarakat. Kaum laki-laki pada umumnya memperolehkesempatan yang lebih besar dari pada perempuan untukmemperoleh prestasi dan prestise kehidupan sosialkemasyarakatan.15

Budaya patiarki ini dalam sejarah kemajuan intelektalIslam telah menjadi peradaban. Sehingga penafsiran agamaIsam dengan nuansa patiarki ini sudah menjadi sistem nilai.

1 5 Ahmad Muthali’in, Bias Gender dalam Pendidikan (Surakarta: MuhammadiyahUniversity Press, 2001), hal. 43.

Page 25: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

151

Sistem nilai merupakan unsur kebudayaan yang paling sulitberubah, sekaligus berpengaruh cukup kuat pada sistem sosialyang berlaku dalam masyarakat. Oleh karenanya, penafsiranagama dengan bias gender tersebut tetap bertahan meskipungerakan feminisme terus berjuang untuk mendobraknya.Tetap saja, penafsiran agama menjadi benteng yang cukupkuat dalam melanggengkan bias gender dalam masyarakat.

Corak nalar tafsir agama sudah terlanjur secara turuntemurun dianut tanpa kritik. Secara antropologi keilmuanIslam, nalar yang dikembangkan merupakan hasil produkpenafsiran dari dunia Arab Islam pada masa pembukuan(kodifikasi) atau pencatatan sampai sekarang ini, makaadalah merupakan fakta yang dinamika internalnya tidakmampu lagi mengekspresikan dirinya dalam menghasilkanpengetahuan baru kecuali hanya daam bentuk reproduksipengetahuan lama. Pengetahuan-pengetahuan ini kemudiandiimpor oleh ulam-ulama Indonesia melalui jaringan ulama,sehingga keberadaan tafsir agama tidak jauh berbeda denganapa yang dipelajari di dunia Arab Islam abad pertengahan.

Dari paparan tersebut bahwa rujukan proses pengajaranmateri agama yang diajarkan di lembaga-lembaga agamatidaklah berbeda dengan wacana intelektual Islam masa lalu.Nalar gender yangberujung pada pelestarian bias gendertetap menjadi nuansa yang sangat mengkhawatirkan.

Ilmu-ilmu agama yang diajarkan di lembaga-lembagapendidikan agama yang bernuansa pemikiran klasik,misalkan fiqh, hadist dan tafsir tanda disadari seringkaliditafsirkan dengan nuansa patriarki. Sehingga nuansaketidakadilan gender sangat mencolok. Sebagai ilustrasi

Refleksi Pendidikan Islam Atas Kekerasan Budaya Di Indonesia

Page 26: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

152

International Seminar on Islamic Civilization

banyak kajian-kajian fiqh yang diajarkan di lembaga agamayang tanpa disadari menimbulkan bias gender jika tanpadibarengi dengan nalar kritis. Salah satu kasus ajaran fiqhmisalkan, yang mengatur keududkan perempuan dalamperkawinan, dalam pembagian warisan, sebagai saksi,sebagai pemimpin dan lain sebagainya, seringkalimenempatkan perempuan sebagai pihak kedua. Dalamperkawinan perempuan diempatkan sebagai obyeksedangkan laki-laki sebagai subyek. Dalam pengertian,bahwa perempuan ditempatkan sebagai pihak yang diatursedangkan laki-laki ditempatkan sebagai pihak yangmengatur.

Dalam bidang tafsir penafisran al-Qur’an juga seringkalidikemukakan oleh para mufassir yang mengarah kepadaketidakadilan gender. Walaupun sebenarnya al-Qur’an lebihmengarahkan kepada persamaan derajat laki-laki danperempuan. Akan tetapi, penafsiran yang bernuansa biasgender terjadi yang dalam kenyataannya penafsiran al-Qur’an lebih banyak mendukung peranan laki-laki dari padawanita. Bias gender dalam penafsiran ini sebenarnya lebihdidukung oleh peranan laki-laki sebagai penafsir atasperempuan yang mengarah pada sifat-sifat feminim danmaskulin penafsir. Pemilahan sifat dan peran tersebutmengakibatkan terjadinya dominasi dan subordinasipenafsiran teks. Karena sifat penafsir yang maskulinmuncullah dominasi gagasan laki-laki yanag maskulinterhadap teks atas perempuan yang kemudian terealisasikandengnan baik dalam kehidupan.

Page 27: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

153

P e n u t u pBeberapa antisipasi pengembangan pengembangan

lembaga pendidikan Islam seperti yang didikusikan tersebutmerupakan antisipasi di masa depan dalam upayamenghadapi perkembangan akan kebutuhan pendidikan ditengah masyarakat multkultural. Masyarakat multikulturalsangat membutuhkan tenaga profesional yang digemblengdi lembaga pendidikan. Oleh karenanya, terdapat tantanganlembaga pendidikan Islam antara idealisme dakwah Islamdan tuntutan praktis. Apakah lembaga pendidikan Islam tetappada idealismenya ataukah hanyut dalam duniapragmatisme. Jawaban dari pertanyaan ini dibutuhkananalisis yang komprehensif supaya idealisme pendidikan Is-lam tidak luntur, begitu juga pendidikan Islam tidakketinggalan dengan kemajuan masyarakat industri yangkompleks begitu cepat. Perkembangan ini tentumenimbulkan kepentingan masyarakat yangg berbeda-bedadan lebih rumit, maka diperlukan desain lembaga pendidikanyang humanis.

Refleksi Pendidikan Islam Atas Kekerasan Budaya Di Indonesia

Page 28: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

154

International Seminar on Islamic Civilization

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Muthali’in, Bias Gender dalam Pendidikan, Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2001.

Amin Abdullah,”Pengajaran Kalam dan Teologi di EraKemajemukan: Sebuah Tinjauan Materi dan MetodePendidikan Agama,’ dalam Jurnal Tashwirul Afkar,Edisi No. 11 tahun 2001.

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan ModernisasiMenuju Milenium Baru, Jakarta; Logos, 2002.

Ivan Illich, Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah, penerj.A. Sonny Keraf, Jakarta: Yayasan Obor, 2000.

Ivan Illich, Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah, penerj.Sony Keraf, Jakarta; Yayasan Obor, 2000.

Kartini Kartono, Tinjauan Politik Mengenai Sistem PendidikanNasional: Beberapa Kritik dan Sugesti, Jakarta: PradyaParamita, 1997.

Kartini Kartono, Tinjauan Politik Mengenai Sistem PendidikanNasional: Beberapa Kritik Dan Sugesti, Jakarta; PradyaParamita, 1997.

Keterangan tentang madrasah Nizamiyah dapat dilihat lebihlanjut lewat karyanya W. Montgomery Watt, TheMajesty That Was Islam, London; Sidgwick & Jack-son, 1976.

Bayard Dodge, al-Azhar: a Millenium of Muslim Learning,Washington D.C: The Mindle East Institute, 1961.

Page 29: REFLEKSI PENDIDIKAN ISLAM ATAS KEKERASAN BUDAYA DI INDONESIA · DI INDONESIA Dr. Ahmad Ali Riyadi, Kaprodi Magister Pendidikan Islam Universitas Darul Ulum Jombang) Abstrak Tulisan

155

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1996.

Mansour Fakih, Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial:Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000.

Muhammad Abid al-Jabiri, at-Turast wa al-Hadastah: Dirasahwa Munaqasat, Beirut: al-Markaz as-Siqafi al-‘Arabi,1991.

Nurcholish Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern:Respon dan Transformasi Nilai-Nilai Islam MenujuMasyarakat Madani, Jakarta: Media Cita, 2000.

Paulo Freire, dkk., Menggugat Pendidikan; Fundamentalis,Konservatif, Liberal dan Anarkis, penerj. Omi IntanNaomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan danPembebasan, terj. Agung Prihantoro, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002.

Saiful Arif, Menolak Pembangunanisme, Yogyakarta: PustakaPelajar, 2000.

Tentang penulis:Dr. Ahmad Ali Riyadi.

Dosen Universitas Darul Ulum [email protected]

085878343201

Refleksi Pendidikan Islam Atas Kekerasan Budaya Di Indonesia