refleksi kebudayaan nasional indonesia

31
TUGAS ILMU BUDAYA DASAR Refleksi Kebudayaan Nasional Indonesia : Hendak ke mana ?Tugas ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Ilmu Budaya Dasar Yang diampu oleh Meftahudin, SE. MM. Oleh: Fajar Nur Azizi (0610300722201130029) TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER ( FASTIKOM )

Upload: fajar-nur-azizi

Post on 18-Nov-2015

17 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Hendak ke mana Kebudayaan Nasional Indonesia ?

TRANSCRIPT

TUGAS ILMU BUDAYA DASARRefleksi Kebudayaan Nasional Indonesia : Hendak ke mana ?Tugas ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Ilmu Budaya DasarYang diampu oleh Meftahudin, SE. MM.

Oleh:Fajar Nur Azizi(0610300722201130029)

TEKNIK SIPILFAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER ( FASTIKOM )UNIVERSITAS SAINS AL QURAN ( UNSIQ )JAWA TENGAH DI WONOSOBO2014

15

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbilalamin, puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-NYA, saya dapat menyusun Makalah ini.Terimakasih saya ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu menyusun makalah ini. Saya berharap dengan tersusunnya makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan para pembaca.Saya ucapkan terima kasih kepada :1. Bp. Meftahudin selaku dosen mata kuliah Ilmu Budaya Dasar, dan2. Orang orang yang telah memberi bantuan dan dukungan atas dibuatnya makalah iniSaya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu saya mohon maaf dan kiranya pembaca berkenan memberi kritik dan saran agar dalam penyusunan makalah selanjutnya bisa lebih baik lagi.

Wonosobo, Oktober 2014

Penyusun

Daftar Isi

KATA PENGANTARiDaftar IsiiiPENDAHULUAN1Latar Belakang1Rumusan Masalah1PEMBAHASAN2PENGERTIAN BUDAYA NASIONAL2PROSES PEMBENTUKAN KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA3TRAGEDI BUDAYA NASIONAL YANG BERPENGARUH PADA KEBUDAYAAN NASIONAL5SELAMAT DATANG KEBUDAYAAN NASIONAL5TONGGAK-TONGGAK POLEMIK KEBUDAYAAN NASIONAL7JAWA DAN MINANG DI BERANDA KEBUDAYAAN NASIONAL9KEKAYAAN MULTIKULTURALISME DALAM KEBUDAYAAN NASIONAL11KEKUATAN DALAM TANTANGAN KEBUDAYAAN NASIONAL11PENUTUP13SARAN13KESIMPULAN14DAFTAR PUSTAKA15

i

PENDAHULUANLatar Belakang Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia harus dipandang sebagai sebuah kekayaan bukan kemiskinan. Bahwa Indonesia tidak memiliki identitas budaya yang tunggal bukan berarti tidak memiliki jati diri, namun dengan keanekaragaman budaya yang ada membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki kualitas produksi budaya yang luar biasa, jika mengacu pada pengertian bahwa kebudayaan adalah hasil cipta manusia.Ada beberapa budaya besar (bukan dalam konteks baik dan buruk) yang terkait dan selalu dikaitkan dengan kebudayaan Indonesia dalam pencariannya, yakni istilah budaya timur, dominasi sebuah budaya lokal dan pengaruh Islam sebagai agama mayoritas. Pengaitan itu pada dasarnya bukan mengarah kepada pencarian jawaban atas apa yang dimaksud dengan kebudayaan nasional, tetapi lebih cenderung menjadi sesuatu yang dipaksakan sebagai turunan dari kepentingan ideologis, yang kemudian mengatasnamakan integrasi nasional.

Rumusan Masalah1. Apakah yang dimaksud dengan Budaya Nasional?2. Bagaimana Budaya Nasional Indonesia terbentuk ?3. Bagaimana Budaya Nasional di masa lalu, kini dan hendak ke mana Kebudayaan Nasional Indonesia ?

PEMBAHASANPENGERTIAN BUDAYA NASIONALBudaya Nasional adalah budaya yang dihasilkan oleh masyarakat suatu bangsa sejak dahulu hingga kini sebagai suatu karya yang dibanggakan, memiliki kekhasan, memberi identitas warga, serta menciptakan suatu jati diri bangsa yang kuat.Sifat khas tersebut dapat dimanifestasikan pada unsur budaya bahasa, kesenian, pakaian, dan upacara ritual. Sedangkan unsur kebudayaan yang lain lebih bersifat universal sehingga tidak dapat memunculkan sifat khas, seperti teknologi, ekonomi, sistem kemasyarakatan, dan agama.Dengan demikian budaya nasional memiliki karakteristik berupa:a. Hasil budi daya masyarakat bangsa.b. Hasil budi daya masyarakat sejak zaman dahulu hingga kini.c. Hasil budi daya yang dibanggakan.d. Hasil budi daya yang memiliki kekhasan bangsa.e. Hasil budaya yang menciptakan jati diri bangsa.f. Hasil budaya yang memberikan identitas bangsa.Dengan demikian, budaya nasional Indonesia adalah budaya yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia sejak zaman dahulu hingga kini sebagai suatu karya yang dibanggakan yang memiliki kekhasan bangsa Indonesia dan menciptakan jati diri dan identitas bangsa Indonesia yang kuat.Kebudayaan nasional sesungguhnya dapat berupa sumbangan dari kebudayaan lokal. Jadi, sumbangan beberapa kebudayaan lokal tergabung menjadi satu ciri khas yang kemudian menjadi kebudayaan nasional.Salah satu contoh budaya nasional adalah pakaian batik. Batik adalah hasil dari budaya lokal. Beberapa daerah di Indonesia dapat menciptakan batik dengan corak khas yang berbeda-beda. Batik kemudian diangkat menjadi salah satu pakaian nasional. Dengan demikian budaya lokal menjadi budaya nasional.

PROSES PEMBENTUKAN KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIADi masa lalu, kebudayaan nasional digambarkan sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Namun selanjutnya, kebudayaan nasional Indonesia perlu diisi oleh nilai-nilai dan norma-norma nasional sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di antara seluruh rakyat Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai yang menjaga kedaulatan negara dan integritas teritorial yang menyiratkan kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah air, serta kelestariannya, nilai-nilai tentang kebersamaan, saling menghormati, saling mencintai dan saling menolong antar sesama warganegara, untuk bersama-sama menjaga kedaulatan dan martabat bangsa. Gagasan tentang kebudayaan nasional Indonesia yang menyangkut kesadaran dan identitas sebagai satu bangsa sudah dirancang saat bangsa kita belum merdeka. Hampir dua dekade sesudah Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia telah menanamkan kesadaran tentang identitas Indonesia dalam Manifesto Politiknya (1925), yang dikemukakan dalam tiga hakekat, yaitu: 1. kedaulatan rakyat2. kemandirian, dan 3. persatuan Indonesia Gagasan ini kemudian segera direspons dengan semangat tinggi oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Di masa awal Indonesia merdeka, identitas nasional ditandai oleh bentuk fisik dan kebijakan umum bagi seluruh rakyat Indonesia (di antaranya adalah penghormatan terhadap Sang Saka Merah-Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, Bahasa Nasional, pembentukan TKR yang kemudian menjadi TNI, PNS, sistem pendidikan nasional, sistem hukum nasional, sistem perekonomian nasional, sistem pemerintahan dan sistem birokrasi nasional). Di pihak lain, kesadaran nasional dipupuk dengan menanamkan gagasan nasionalisme dan patriotisme. Kesadaran nasional selanjutnya menjadi dasar dari keyakinan akan perlunya memelihara dan mengembangkan harga diri bangsa, harkat dan martabat bangsa sebagai perjuangan mencapai peradaban, sebagai upaya melepaskan bangsa dari subordinasi (ketergantungan, ketertundukan, keterhinaan) terhadap bangsa asing atau kekuatan asing.Secara internal manusia dan masyarakat memiliki intuisi dan aspirasi untuk mencapai kemajuan. Secara internal, pengaruh dari luar selalu mendorong masyarakat, yang dinilai statis sekali pun, untuk bereaksi terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungannya. Rangsangan besar dari lingkungan pada saat ini datang dari media masa, melalui pemberitaan maupun pembentukan opini. Pengaruh internal dan khususnya eksternal ini merupakan faktor strategis bagi terbentuknya suatu kebudayaan nasional. Sistem dan media komunikasi menjadi sarana strategis yang dapat diberi peran strategis pula untuk memupuk identitas nasional dan kesadaran nasional.Konsep tentang kebudayaan Indonesia yang kemudian diperjelas menjadi kebudayaan nasional (Indonesia) atau kebudayaan bangsa bukan merupakan pembahasan baru dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia. Pada tahun 1930 para intelektual dan pemerhati sosial di Indonesia telah mulai berembuk dan berusaha menemukan konsep yang paling tetap untuk kebudayaan nasional ini; keajegan konsep kebudayaan nasional ini dianggap penting karena selain didalamnya termuat berbagai pedoman nilai juga mencerminkan simbol identitas bangsa, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 32 sebagai berikut :

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 32 menyatakan bahwa : Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Selanjutnya, penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.

TRAGEDI BUDAYA NASIONAL YANG BERPENGARUH PADA KEBUDAYAAN NASIONALDalam masa pemerintahan Republik Indonesia dibawah kekuasaan rezim militer Suharto, yang tentu militeristik dengan gaya komandonya, tidak sedikit para seniman dan sastrawan yang diasingkan ke Gulag Indonesia, yaitu Pulau Buru. Di antara para sastrawan itu, sebut saja misalnya, Pramudya Ananta Toer, Banda Harahap (Hr. Bandaharo), Rivai Apin, Bujung Saleh Puradisastra, S. Anantaguna, dan banyak lagi yang lain. Dari mereka semua hanya Pramudya saja yang menerima privilese (hak istimewa) untuk meneruskan profesinya sebagai penulis. Artinya setiap hari seluruh waktunya dilewatkan untuk menulis dan hanya menulis, berbeda dengan kawan-kawan penulis lainnya yang harus mengganti pena dan kertas dengan pacul dan arit, serta alat kerja yang lain. Tentu saja mereka itu dengan sembunyi-sembunyi tetap menulis, karena menulis adalah nafas hidup dan detak jantung mereka sehari-hari (Krisnadi, 2011). Sebuah persoalan yang menarik untuk dikaji lebih jauh dari dimensi historis adalah apakah peristiwa pengamanan sebagian seniman-budayawan Indonesia tersebut secara berangsur-angsur telah menahan, menghentikan, bahkan mungkinkah juga dikatakan sebagai mematikan pertumbuhan kebudayaan nasional itu sendiri ? Hal ini mengingat berbagai seni, baik film, sastra novel misalnya yang dikemudian hari hingga saat sekarang ini menjadi sepi.

SELAMAT DATANG KEBUDAYAAN NASIONAL Apakah itu kebudayaan ? Kebudayaan ialah hasil keseluruhan daya-upaya manusia secara sadar untuk memenuhi setinggi-tingginya kebutuhan hidup lahir dan batin begitulah kira-kira Ki Hajar Dewantara dalam prasaran yang dikemukakannya di depan Musyawarah Kebudayaan Nasional I di Magelang tahun 1948. Sedikit tentang musyawarah tersebut. Istilah Musyawarah Kebudayaan Nasional ini disebut pula dengan Kongres Kebudayaan (KK). Dalam KK tersebut pada intinya memperhatikan dua hal, yaitu : 1. Bagaimanakah caranya mendorong kebudayaan kita supaya dapat maju cepat dan 2. Bagaimana caranya agar kebudayaan kita jangan sampai terus bersifat kebudayaan jajahan, akan tetapi supaya menjadi suatu kebudayaan yang menentang tiap-tiap anasir cultureel imperialisme. Gagasan untuk menyelenggarakan KK yang sangat strategis ini kemudian diambil alih oleh Kementerian Pengajaran, Perdidikan dan Kebudayaan (Supardi, 2007: 13). Terfokus kepada persoalan kebudayaan nasional. Lalu, apakah itu nasional? Arti kata nasional tentu saja kebangsaan, yang kedudukannya dalam rangkaian sepatah kata mejemuk itu untuk memberi keterangan atau sifat pada kata kebudayaan tersebut. Sifat yang bagaimana? Sifat sebagaimana dinyatakan oleh kata yang menyusul, misalnya Kebudayaan Nasional Indonesia. Mengapa tidak Kebudayaan Indonesia saja, seperti juga Kebudayaan Tiongkok atau Kebudayaan Aljazair dan tidak Kebudayaan Nasional Tiongkok, atau Kebudayaan Nasional Aljazair? Mengapa Indonesia merasa perlu harus menegaskan dengan predikat nasional, barangkali mencerminkan proses panjang penjadian (menjadikan) dan pengakuan suku-suku bangsa di Indonesia dalam dan sebagai satu bangsa dan satu tanah air. Menurut pendapat Hersri Setiawan (2011 (b):2) ada dua alasan mengapa predikat nasional harus dicantumkan di sini, yaitu alasan keluar sebagai pernyataan kemandirian identitas dan alasan kedalam sebagai pernyataan tentang identitas yang beragam, atau keberagaman dalam identitas. Keluar untuk menegaskan, bahwa Indonesia bukanlah Malaysia walaupun sebagai bangsa mereka satu rumpun; dan kedalam untuk menegaskan, bahwa Indonesia ialah suatu kesatuan yang beragam. Karena itu dimengerti dan diterima, kembali pada pendapat K.H. Dewantara, bahwa kebudayaan nasional ialah puncak-puncak kebudayaan daerah. Inti pembicaraan dalam hal ini ialah tentang hubungan antara kebudayaan nasional dan kebudayaan lokal, hubungan antara Indonesia dan daerah-daerah. Hal ini kiranya secara simbolik diungkapkan dengan BHINNEKA TUNGGAL IKA sebagaimana dalam lambang negara burung garuda.Perihal kemunculan istilah kebudayaan nasional, gambaran yang menarik dikemukakan oleh Kleden (1987:217) menunjukkan bahwa kelahiran kebudayaan nasional tidak bisa lepas dari aspek kesadaran gerakan kebangsaan dan kesadaran akan kebudayaan baru. Keduanya lahir beriringan di kalangan terpelajar Indonesia di Eropa. Cita-cita kemerdekaan Indonesia baik secara politik maupun cita-cita pembaharuan masyarakat masyarakat dan kebudayaan yang tumbuh bersama sangat sulit dipisahkan.Kemerdekaan secara politik sebagai pintu awal untuk lebih jauh meraih kemakmuran, kesejahteraan masyarakat dan perkembangan kebudayaan yang kemudian diberi istilah kebudayaan nasional. Dengan demikian jelas bahwa kebangkitan kebangsaan Indonesia atau nasionalisme Indonesia tumbuh seiring dengan, atau sekaligus tumbuh pula kebudayaan nasional, Indonesia yang akan membentuk kepribadian bangsa. Hal ini merupakan sebagian kecil insiden yang membentuk manusia Indonesia sebagai sebuah bangsa beserta kebudayaannya.

TONGGAK-TONGGAK POLEMIK KEBUDAYAAN NASIONALJika pembagian proses atau pembagian zaman penjadian Kebudayaan Nasional itu ditunjukkan dalam angka tahun, dapat dibagi sebagai berikut: 1. akhir abad ke-19 sampai tahun 1905; 2. tahun 1905 sampai tahun 1928; 3. tahun 1928 sampai tahun 1945; 4. tahun 1945 sampai tahun 1965/66; dan 5. tahun 1965/66 sampai sekarang. Hal ini merupakan sebuah pembabagan sejarah budaya yang menarik dan saling tak terlepaskan dari aspek lainnya penjajahan-globalisasi politik- yang mewarnai pembentukan kebudayaan nasional Indonesia. Kongres Kebudayaan setelah Indonesia merdeka untuk pertama kali adalah tahun 1948 tersebut dan bersambung lagi pada tahun-tahun 1951, 1954, 1957, 1960, dan berlanjut 1991 dan 2003 setelah berhenti sekian lamanya (Supardi, 2007).Sumpah Pemuda pada tahun 1928 tidak hanya sekedar peristiwa budaya. Melainkan lompatan yang melewati sekat suku, agama, dan ras. Menurut filsuf Eko Armada Riyanto (2011: 123-141), para pendiri bangsa Indonesia telah lulus dalam pergumulan politik identitas, khusunya politik primordial. Kebudayaan nasional merupakan modal sekaligus investasi yang berprospek cerah, khusunya dalam hal integrasi Indonesia (Kuntowijoyo, 2006: 153-168). Meskipun pada perkembangannya, pada masa orde lama slogan 'jati diri bangsa' dan di era orde baru muncul istilah 'kepribadian nasional' (Wardaya, 1999 (a) & 2001 78 (b)), tentu tidak mengurangi substansi kepribadian nasional yang secara hegemonik hendak disetir penguasa.Tonggak-tonggak polemik kebudayaan selanjutnya, polemik tahun 1945-1950 dan 1950-1965, pada hemat penulis merupakan kelanjutan belaka dari polemik masa pencarian yang berlangsung di sepanjang tahun 1930-an sampai tahun-tahun perang kemerdekaan. Jika dalam tahun-tahun tersebut akhir ini yang terjadi, beberapa pihak, saling adu kiblat ruh atau akar jatidiri, maka pada masa antara 1945-50 mengerucut pada perbenturan nilai antara kaum humanis universal vis--vis humanis patriotik, antara kaum humanis yang tak bertanah-air dan tak berkebangsaan karena pengakuannya sebagai anak kebudayaan dunia vis--vis kaum humanis patriotik dan nasionalis. Akhirnya perbenturan ideologi itu semakin meruncing di dalam alam Demokrasi Terpimpin, yang menggejala dalam pertentangan tajam antara kaum Manikebu (Manifest Kebudayaan) vs. kaum Nasakom (Nasionalisme, Agama, & Komunisme), khususnya para pendukung LEKRA.Pada akhir abad ke-19 kaum borjuasi negeri-negeri Eropa Barat, dalam hubungan dengan Indonesia khususnya Belanda, telah berkembang sampai puncaknya. VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie, Serikat Dagang Belanda untuk Hindia Timur) menyerahkan wilayah kekuasaannya atas Hindia Belanda kepada pemerintah Belanda. Watak kapitalisme dagang atau kapitalisme tua yang berubah menjadi kapitalisme finansial atau kapitalisme modern tentu saja memerlukan tata-kelola pemerintahan kolonial yang baru. Tenaga buruh berkemeja-putih diperlukan untuk menopang jalannya pemerintahan. Apakah dunia pendidikan kita saat ini juga masih sekedar mencetak tenaga berkemeja putih tersebut bagi kalangan pemerintah dan perusahaan semata? Semoga saja tidak. Sekolah-sekolah untuk pribumi lalu didirikan, terutama di Jawa dan Sumatra karena di kedua pulau-pulau inilah eksploitasi dan eksplorasi kolonial lebih didahulukan. Menjadi tantangan kini pendidikan membebaskan sanak bangsa sendiri lebih mandiri, atau menjadikan mereka sebagaiambtenaar (pangreh praja) semata.Pada akhir abad ke-19 ini di Belanda tampil kaum etikus, kaum adabiyah, yang membela pendirian politik ereschuld (utangbudi) pada rakyat jajahan. Kebijakan ini tentu saja sekedar kritik terhadap cara penindasan dan penghisapan kolonialisme tua. Adapun tujuannya tetap, kalau tak hendak dikatakan justru, untuk lebih mengintensifkan strategi politik dan ekonomi kolonial itu. Kebijakan kolonial kaum adabiyah ini linea recta bisa disejajarkan dengan kebijakan pimpinan Inrehab (Instalasi Rehabilitasi) Pulau Buru pada tahun 1974 dalam memanfaatkan tenaga kerja tapol, antara lain misalnya, pengubahan dari sistem kerja harian menurut man-day menjadi sistem kerja borongan harian. Sistem kerja borongan harian lebih menekan pekerja dan lebih menguntungkan pemberi pekerjaan (Krisnadi, 2001 dan Setiawan, 2004 (a)).

JAWA DAN MINANG DI BERANDA KEBUDAYAAN NASIONAL Dapat diperhatikan: pada tahun 1862 rel kereta-api pertama demi alasan militer dan ekonomi - diletakkan untuk menghubungkan pelabuhan laut Semarang dengan lumbung hasil bumi daerah Vorstenlanden (Wilayah Kerajaan); tahun 1886 rel kereta-api pertama Aceh-Sumatra Utara dan diperpanjang lima tahun kemudian sampai ke Sumatra Barat. Pada sisi kebudayaan: VSTP (Vereniging van Spoor- en Tramweg Personeel), berdiri 1908, sebagai gerakan atau organisasi sosial modern menggantikan gerakan-gerakan sebelumnya yang berbasis tradisi. VSTP inilah yang merupakan lahan bagi Henk Sneevliet merekrut 79 sementara aktivis ormas ini (ia sendiri juga anggota) kedalam ISDV yang didirikannya (Indiesche Sociaal Democratische Vereeniging; Perhimpunan Sosial Demokrat Hindia Belanda).Pada tahun 1907 terbit (sampai 1912) surat-kabar berbahasa Melayu Medan Prijaji, dipimpin oleh R.M. Tirto Adhisoerjo; sementara itu juga terbit Soenda Berita (1903-1905), dan Poeteri Hindia (1908) kedua-duanya dipimpin oleh Sang Pemula itu juga. Perhatikan juga dalam nama-nama tiga surat-kabar tersebut: tertangkap kata pernyataan status sosial Prijaji, kemudian identitas primordial Soenda, dan akhirnya identitas baru Hindia. Dalam jaman yang sama di Padang Sumatra Barat, Siti Rohana Koedoes pada tahun 1912 tampil sebagai perempuan pertama, memimpin surat-kabar Soenting Melajoe; dan pada tahun 1911 mendirikan Amai Setia untuk menghimpun dan pemberdayaan para pengrajin perak dan sulam.Uraian sekilas di atas sekaligus sudah menunjukkan betapa Jawa seakan-akan berlomba dengan Minang: di sana ada Rohana Kudus, di sini ada Kartini; di sana ada Sutan Takdir Alisjahbana, tapi di samping itu juga ada Engku Muhammad Syafei , dan di sini ada KH Dewantara; di sana ada Moh. Hatta dan di sini ada Soekarno.Berkaitan dengan itu, bahwasanya di tengah ranah kebudayaan bangsa dan negara baru yang bernama Indonesia, ada dua pilar kebudayaan utama Jawa dan Minang. Walaupun demikian tampilnya dua fenomena kebudayaan itu tidak perlu dipertentangkan dan memang tidak ada pertentangan antara yang dua tersebut. Jika di sepanjang tahun 1930-an terjadi polemik besar kebudayaan, khususnya dalam persona dua tokoh besar Sutan Takdir Alisjahbana dengan Ki Hajar Dewantara, namun polemik itu berlangsung tetap dengan semangat Tiga Butir Sumpah Pemuda 1928, dan tetap dalam kerangka Bhineka Tunggal Ika. Dasar yang menimbulkan terjadinya polemik ialah pencarian kiblat identitas kebudayaan nasional sebagai bangsa baru.Sutan Takdir berkiblat ke Barat, yaitu pada kaum adabiyah, dan dalam hal sastra atau kepengarangan pada Angkatan 80-an atau De Tachtigers; sementara Ki Hajar pada keIndonesia-an yang sampai saat itu masih belum terwujud. Di antara dua ekstremitas STA vs KHD itu perhatikanlah tokoh-tokoh Sanusi Pane dan Mohamad Yamin, yang masing-masing menawarkan India Kuno dan Jawa Kuno sebagai kiblat kebudayaan Indonesia Baru. Tapi ada juga seorang tokoh Sumatra Barat berasal Kalimantan Barat, Engku Muhamad Syafei, pendiri INS (Institut Nasional) Kayutanam (1926). Mirip dengan Ki Hajar Dewantara, Engku Muhamad Syafei tidak bicara tentang Barat atau Timur, tetapi tanpa diucapkan ia menekankan visinya pada Kemanusiaan dan dalam kaitannya dengan misi pendidikan ia bertolak dari Bakat seseorang sebagaimana halnya Taman Siswa Ki Hajar Dewantara (1922) pada Kodrat Alam.

KEKAYAAN MULTIKULTURALISME DALAM KEBUDAYAAN NASIONALKetika membaca rumusan KH Dewantara tentang Kebudayaan Nasional sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah-daerah, kita bertanya-tanya. Apakah Kebudayaan Nasional ialah berupa motif warna-warni yang terdapat di seluruh nusantara, dan kemudian dirajut menjadi semacam sehelai kain nasional? Sehelai kain bertambal-tambal indah seperti Antakusuma, kutang sakti Gatotkaca ? Tidak! Dengan kata rumusannya itu K. H. Dewantara hendak mengatakan sama seperti yang diucapkan oleh Bung Karno Indonesia ibarat sebuah Taman. Taman Nasional. Di dalam Taman itu tumbuh aneka warna bunga-bunga. Aneka tumbuhan bunga-bunga inilah warna-warni lokalitas sukubangsa-sukubangsa itu. Karena itu, Taman Nasional akan subur indah apabila aneka warna bunga-bunga suku bangsa itu terus menerus dipupuk agar terus selalu bertumbuh dan berkembag. Itulah Indonesia. Amat banyak warganya, tapi hanya satu jumlahnya! Maka camkanlah kata-kata Bung Karno di atas. Tamansari Indonesia hanya akan indah, bila di dalamnya bunga-bunga sukubangsa tumbuh subur; sebaliknya bunga-bunga sukubangsa akan indah subur, apabila tumbuh di dalam tamansarinya Indonesia. Analogi dengan adagium itu kiranya penulis bisa mengatakan, bahwa Bahasa Nasional Bahasa Indonesia akan menjadi bahasa yang tumbuh sehat, di atas bahasa-bahasa daerah yang tumbuh dengan sehat pula.

KEKUATAN DALAM TANTANGAN KEBUDAYAAN NASIONAL Ke depannya, kebudayaan nasional masih menghadapi banyak pekerjaan rumah. Pada era globalisasi ini, tantangan aroma kebudayaan nasional yang komunal dihadapkan pada kebudayaan komersil. Bahkan, konsep miskin itu menjual telah dipraktekkan dalam tayangan-tayangan televisi dewasa ini. Sebagai cerminan budaya, sudahkah pola tersebut membebaskan masyarakat Indonesia untuk lebih maju dalam melangkah ? Ataukah semakin terjebak dalam pola berpikir instant ? Belum lagi, dominasi konvensional politik dan ekonomi masih menjadi indikator menilai suatu tingkat kesejahteraan hidup rakyat. Padahal, kekayaan budaya Indonesia begitu beragam dan dapat menjadi modal sosial bagi segenap tumpah darah bangsa.Tak heran muncul ketimpangan perspektif berpikir, seperti pada era Orde Baru masyarakat Papua pedalaman yang memakai koteka (lelaki) dan bertelanjang dada (wanita) dipandang sebagai pihak yang perlu diberi sentuhan "peradaban".Caranya, dengan diberi baju dan celana agar tidak telanjang (primitif) meskipun mereka tidak mengenal sabun. Alhasil, proyek "sentuhan peradaban" ini gagal. Bagaimana tidak, mereka tidak tahu cara mencuci dan mengurus pakaian tersebut. Dari studi kasus di atas, dapat dilihat bahwa kebudayaan, baik secara maupun secara fisik maupun non fisik, tidak merubah apapun. Hal tersebut juga merupakan kegagalan indikator ekonomi. Tidak dapat serta merta masyarakat yang berbudaya sederhana dikategorikan miskin. Perlu ditinjau ulang apakah indikator ekonomi itu satu-satunya ukuran penananda level kehidupan sejahtera yang lebih baik.Terlepas dari kesemuanya, kebudayaan nasional adalah intan. Sebuah intan yang memiliki kekeayaan modal sosial. Hal ini adalah kekuatan dalam menghadapi tentangan di masa yang akan datang. Kebudayaan nasional adalah proses yang tak berkesudahan, tidak mengenal kata final. Adalah hal yang amat menarik untuk mengatakan bahwa kebudayaan kita, Kebudayaan Nasional Indonesia, senantiasa bergerak dinamis antara kebudayaan barat dengan kebidayaan timur; antara kebudayaan priyayi dengan kebudayaan rakyat; kebudayaan penjajah dengan kebudayaan terjajah dan mungkin masih dapat muncul yang lain lagi, dimana kesemuanya saling mempengaruhi dan membentuk kita sebagai sebuah bangsa yang menuju pada sebuah kebudayaan nasional, Indonesia. Hal ini semua membentuk kita saat ini disamping persoalan kebudayaan yang ada di Nusantara. Kiranya sangat perlu sebagai manusia Indonesia menemukan budaya ibu yang sebenarnya tanpa disadari menjadi induk dari berbagai budaya sukubangsa yang turut membentuk bangsa ini, INDONESIA.

PENUTUPSARANSebagai warga Negara yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan masing-masing daerahnya, kita diharapkan mampu untuk melakukan suatu tindakan nyata dalam melestarikan kebudayaan kita sendiri, mengingat semakin terpuruknya nilai-nilai kebudayaan itu di masa sekarang ini. Budaya nasional merupakan budaya yang seharusnya sudah tertanam dalam setiap jiwa kita. Akan tetapi dengan datangnya budaya-budaya dari luar di masa sekarang ini, budaya nasional lambat laun semakin memudar. Hal tersebut dapat kita hindari dengan beberapa upaya, antara lain yaitu dengan Pendidikan kebudayaan, pendidikan kebudayaan menjadi salah satu faktor penting dalam upaya melestarikan kebudayaan nasional kita. Melalui pendidikan kebudayaan, kita dapat mengajarkan mulai dari usia sedini mungkin bagaimana sebenarnya kebudayaan kita. Selain itu dengan adanya pendidikan kebudayaan, kita dapat mengarahkan hendak ke mana kebudayaan nasonal kita.Saran saya sebagai penyusun makalah ini, marilah kita cintai kebudayaan-kebudayaan nasional dan daerah kita yang mempunyai banyak sekali keunikan dan keanekaragaman pada setiap kebudayaan. Dengan demikian kita akan tetap menjadi bangsa yang memiliki semboyan BHINEKA TUNGGAL IKA.

KESIMPULANKebudayaan ialah hasil keseluruhan daya-upaya manusia secara sadar untuk memenuhi setinggi-tingginya kebutuhan hidup lahir dan batin begitulah kira-kira Ki Hajar Dewantara dalam prasaran yang dikemukakannya di depan Musyawarah Kebudayaan Nasional I di Magelang tahun 1948. Sedangkan arti kata nasional adalah kebangsaan, yang kedudukannya dalam rangkaian sepatah kata mejemuk itu untuk memberi keterangan atau sifat pada kata kebudayaan tersebut. Sifat yang bagaimana? Sifat yang mencerminkan proses panjang penjadian (menjadikan) dan pengakuan suku-suku bangsa di Indonesia sebagai satu bangsa dan satu tanah air.Budaya Nasional Indonesia adalah budaya yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia sejak zaman dahulu hingga kini sebagai suatu karya yang dibanggakan yang memiliki kekhasan bangsa Indonesia dan menciptakan jati diri dan identitas bangsa Indonesia yang kuat.Kemerdekaan secara politik sebagai pintu awal untuk lebih jauh meraih kemakmuran, kesejahteraan masyarakat dan perkembangan kebudayaan yang kemudian diberi istilah kebudayaan nasional. Dengan demikian jelas bahwa kebangkitan kebangsaan Indonesia atau nasionalisme Indonesia tumbuh seiring dengan, atau sekaligus tumbuh pula kebudayaan nasional, Indonesia yang akan membentuk kepribadian bangsa. Hal ini merupakan sebagian kecil insiden yang membentuk manusia Indonesia sebagai sebuah bangsa beserta kebudayaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Geertz, Clifford (1982). Abangan, Santri dan Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta : Pustaka Jaya, Yayasan Ilmi-Ilmu Sosial.Hera, F. X. Domini B. B. Makalah Kritik dan Refleksi Kebudayaan Nasional.Krisnadi, I. G. 2001. Tahanan Politik Pulau Buru (1969-1979). Jakarta: LP3ES.Moeis, Syarif (2009). Pembentukan kebudayaan nasional Indonesia. Makalah. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.Swasono, Meutia F.H. (1974). Kebudayaan Nasional Indonesia : Penataan Pola Pikir. Jakarta: Fakultas Sastra UI.http://file.upi.edu/Direktori/FPIPShttp://www.cpuik.com/2013/08/pengertian-dan-penjelasan-kebudayaan.html

1