refererat syok rev 1
DESCRIPTION
goodTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Syok adalah sindroma klinik yang mempunyai ciri-ciri: hipotensi, takikardi, kulit
yang dingin pucat basah, cyanosis perifer, hiperventilasi, perubahan status mental dan
penurunan pembentukan urin. Syok adalah suatu perfusi jaringan yang kurang sempurna.
Berdasarkan hemodinamik dan mekanisme terjadinya, syok dibagi menjadi syok
kardiogenik, syok hipovolemik, syok obstruktif dan syok distributif.
Secara patologis, apapun penyebabnya, syok menyebabkan penurunan curah jantung.
Penurunan curah jantung akan menyebabkan penurunan aliran darah sistemik, penurunan
nutrisi jaringan (otak, jantung, ginjal dan jaringan tubuh lainnya), penurunan nutrisi vaskuler,
peningkatan permeabilitas kapiler, penurunan volume darah yang kembali ke jantung dan
akhirnya akan lebih memperberat curah jantung.
Penanggulangan syok pada dasarnya bertujuan untuk mengembalikan perfusi jaringan
kembali ke keadaan normal. Untuk itu selain menemukan penyebab syok, sangat penting
menstabilkan aliran darah sehingga perfusi jaringan dapat diperbaiki. Terapi cairan seringkali
merupakan terapi inisial pada pasien syok yang bertujuan untuk meningkatkan volume darah,
sehingga diharapkan dapat mengoreksi sistem sirkulasi tubuh.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Syok merupakan kegagalan sistem sirkulasi dalam mempertahankan perfusi yang
adekuat ke jaringan. Syok adalah suatu keadaan patofisiologik dinamik yang terjadi bila
Oxygen Delivery (DO2) ke mitokondria sel di seluruh tubuh manusia tidak mampu memenuhi
kebutuhan Oxygen Consumption (VO2). 1,2
2.2 Etiologi
Penyebab terjadinya syok antara lain :2
a. Kehilangan cairan dalam waktu singkat dari ruang intravaskuler (syok hipovolemik).
b. kegagalan pompa jantung (syok kardiogenik).
c. Infeksi sistemik berat (syok septik).
d. Reaksi immune yang berlebihan (syok anafilaktik).
e. Reaksi vasovagal (syok neurogenik).
Penyebab syok juga dapat diklasifikasikan sebagai berikut:1,3
a. Syok kardiogenik (kegagalan kerja jantungnya sendiri): (a) Penyakit jantung iskemik,
seperti infark; (b) Obat-obat yang mendepresi jantung; dan (c) Gangguan irama
jantung.
b. Syok hipovolemik (berkurangnya volume sirkulasi darah): (a) Kehilangan darah,
misalnya perdarahan; (b) Kehilangan plasma, misalnya luka bakar; dan (c) Dehidrasi:
cairan yang masuk kurang (misalnya puasa lama), cairan keluar yang banyak
(misalnya diare, muntah-muntah, fistula, obstruksi usus dengan penumpukan cairan di
lumen usus).
c. Syok obstruktif (gangguan kontraksi jantung akibat di luar jantung): (a) Tamponade
jantung; (b) Pneumotorak; dan (c) Emboli paru.
d. Syok distributif (berkurangnya tahanan pembuluh darah perifer): (a) Syok
neurogenik; (b) Cedera medula spinalis atau batang otak; (c) Syok anafilaksis; (d)
Obat-obatan; (e) Syok septik; serta (f) Kombinasi, misalnya pada sepsis bisa gagal
jantung, hipovolemia, dan rendahnya tahanan pembuluh darah perifer.
Tabel 1. Jenis-jenis Syok
Jenis Syok Penyebab
Hipovolemik 1. Perdarahan
2.Kehilangan plasma (misal pada luka bakar)
3. Dehidrasi, misal karena puasa lama, diare, muntah, obstruksi usus dan lain-
lain
Kardiogenik 1. Aritmia
Bradikardi / takikardi
2.Gangguan fungsi miokard
Infark miokard akut, terutama infark ventrikelkanan
Penyakit jantung arteriosklerotik
Miokardiopati
3. Gangguan mekanis
Regurgitasi mitral/aorta
Rupture septum interventrikular
Aneurisma ventrikel massif
Obstruksi:
Out flow : stenosis atrium
Inflow : stenosis mitral, miksoma atriumkiri/thrombus
Obstruktif Tension Pneumothorax
Tamponade jantung
Emboli Paru
Septik 1.Infeksi bakteri gram negative,
Contoh: Eschericia coli, Klebsiella pneumonia, Enterobacter,
serratia,Proteus,
2.Kokus gram positif,
Contoh :Stafilokokus, Enterokokus, dan Streptokokus
Neurogenik Disfungsi saraf simpatis, disebabkan oleh trauma tulang belakang dan
spinal syok (trauma medulla spinalis dengan quadriflegia atau
paraplegia)
Rangsangan hebat yang tidak menyenangkan,misal nyeri hebat
Rangsangan pada medulla spinalis, misalnya penggunaan obat anestesi
Rangsangan parasimpatis pada jantung yang menyebabkan bradikardi
jantung mendadak. Hal ini terjadi pada orang yang pingan mendadak
akibat gangguan emosional
Anafilaksis Antibiotic
Contoh : Penisilin, sofalosporin, kloramfenikol, polimixin,
ampoterisin B
Biologis
Contoh : Serum, antitoksin, peptide, toksoid tetanus, dan gamma
globulin
Makanan
Contoh : Telur, susu, dan udang/kepiting
Lain-lain
Contoh : Gigitan binatang, anestesi local
2.3 Patofisiologi
Tiga faktor yang dapat mempertahankan tekanan darah normal:
a. Pompa jantung. Jantung harus berkontraksi secara efisien.
b. Volume sirkulasi darah. Darah akan dipompa oleh jantung ke dalam arteri dan
kapiler-kapiler jaringan. Setelah oksigen dan zat nutrisi diambil oleh jaringan, sistem
vena akan mengumpulkan darah dari jaringan dan mengalirkan kembali ke jantung.
Apabila volume sirkulasi berkurang maka dapat terjadi syok.
c. Tahanan pembuluh darah perifer. Yang dimaksud adalah pembuluh darah kecil, yaitu
arteriole-arteriole dan kapiler-kapiler. Bila tahanan pembuluh darah perifer
meningkat, artinya terjadi vasokonstriksi pembuluh darah kecil. Bila tahanan
pembuluh darah perifer rendah, berarti terjadi vasodilatasi. Rendahnya tahanan
pembuluh darah perifer dapat mengakibatkan penurunan tekanan darah. Darah akan
berkumpul pada pembuluh darah yang mengalami dilatasi sehingga aliran darah balik
ke jantung menjadi berkurang dan tekanan darah akan turun.
Gambar1. Patofisiologi Syok
Gambar 2.berbagai jenis umpan balik positif yang dapat berllanjut menjadi syok4
2.4 Tahapan Syok
Karenan sifat-sifat khas syok dapat berubah dalam berbagai derajat maka keadaan syok
akan melalui tiga tahapan :3,4
1. Tahap kompensasi / nonprogresif adalah tahap awal syok saat tubuh masih mampu
menjaga fungsi normalnya. Pada tahap ini, mekanisme kompensasi sirkulasi yang
normal pada akhirnya akan menimbulkan pemulihan sempurna tanpa di bantu terapi
dari luar.
2. Tahap dekompensasi / prgresif dimana tubuh tidak mampu lagi mempertahankan
fungsi-fungsinya. Yang terjadi adalah tubuh akan berupaya menjaga organ-organ vital
yaitu dengan mengurangi aliran darah ke lengan, tungkai, dan perut dan
mengutamakan aliran ke otak, jantung, dan paru. Pada tahap ini tanpa terapi, syok
semakin menjadi buruk sampai timbul kematian.
3. Tahap ireversibel /refrakter dimana kerusakan organ yang terjadi telah menetap dan
tidak dapat diperbaiki. Tahap ini terjadi jika tidak dilakukan pertolongan sesegera
mungkin, maka aliran darah akan mengalir sangat lambat sehingga menyebabkan
penurunan tekanan darah dan denyut jantung. Mekanisme pertahanan tubuh akan
mengutamakan aliran darah ke otak dan jantung sehingga aliran ke organ-organ
seperti hati dan ginjal menurun. Hal ini yang menjadi penyebab rusaknya hati maupun
ginjal. Walaupun dengan pengobatan yang baik sekalipun, kerusakan organ yang
terjadi telah menetap dan tidak dapat diperbaiki.
2.5 Terapi Syok Secara Umum
Pemeriksaan fisik diarahkan kepada diagnosis cedera yang mengancam jiwa dan
meliputi penilaian dari ABCDE. Mencatat tanda vital awal (baseline recordings) penting
untuk memantau respon penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda
vital, produksi urin dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih rinci akan
menyusul bila keadaan penderita mengijinkan.5
1. Airway dan Breathing
Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya pertukaran
ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk mempertahankan saturasi
oksigen lebih dari 95%.
2. Sirkulasi – kontrol perdarahan
Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang jelas terlihat,
memperoleh akses intravena yang cukup, dan menilai perfusi jaringan. Perdarahan
dari luka luar biasanya dapat dikendalikan dengan tekanan langsung pada tempat
perdarahan. Cukupnya perfusi jaringan menentukan jumlah cairan resusitasi yang
diperlukan. Mungkin diperlukan operasi untuk dapat mengendalikan perdarahan
internal.
3. Disability – pemeriksaan neurologi
Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan tingkat kesadaran,
pergerakan mata dan respon pupil, fungsi motorik dan sensorik. Informasi ini
bermanfaat dalam menilai perfusi otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi
dan meramalkan pemulihan. Perubahan fungsi sistem saraf sentral tidak selalu
disebabkan cedera intrakranial tetapi mungkin mencerminkan perfusi otak yang
kurang. Pemulihan perfusi dan oksigenasi otak harus dicapai sebelum penemuan
tersebut dapat dianggap berasal dari cedera intrakranial.
4. Exposure – pemeriksaan lengkap
Setelah mengurus prioritas-prioritas untuk menyelamatkan jiwanya, penderita harus
ditelanjangi dan diperiksa dari “ubun-ubun sampai ke jari kaki” sebagai bagian dari
mencari cedera. Bila menelanjangi penderita, sangat penting mencegah hipotermia.
5. Pemasangan kateter urin
Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan adanya hematuria dan
evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urin.
Akses Pembuluh Darah. Harus segera didapatkan akses ke sistem pembuluh darah. Ini
paling baik dilakukan dengan memasukkan dua kateter intravena ukuran besar (minimal 16
Gauge) sebelum dipertimbangkan jalur vena sentral. Lebih baik kateter pendek dan kaliber
besar agar dapat memasukkan cairan dalam jumlah besar dengan cepat.
Tempat yang terbaik untuk jalur intravena bagi orang dewasa adalah pembuluh darah
lengan bawah. Kalau keadaan tidak memungkinkan penggunaan pembuluh darah perifer,
maka digunakan akses pembuluh sentral (vena-vena femoralis, jugularis atau vena subclavia
dengan kateter besar) dengan menggunakan teknik Seldinger atau melakukan vena seksi pada
vena safena di kaki, tergantung tingkat ketrampilan dan pengalaman dokternya. Seringkali
akses vena sentral di dalam situasi gawat darurat tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna
ataupun tidak sepenuhnya steril, karena itu bila keadaan penderita sudah memungkinkan,
maka jalur vena sentral ini harus diubah atau diperbaiki. Juga harus dipertimbangkan potensi
untuk komplikasi yang serius sehubungan dengan usaha penempatan kateter vena sentral,
yaitu pneumotoraks atau hemotoraks.
Kalau kateter intravena telah terpasang, diambil contoh darah untuk jenis dan
crossmatch, pemeriksaan laboratorium yang sesuai, pemeriksaan toksikologi, dan tes
kehamilan pada wanita usia subur. Analisis gas darah arteri juga harus dilakukan pada saat
ini. Foto toraks harus diambil setelah pemasangan CVP pada vena subklavia atau vena
jugularis interna untuk mengetahui posisinya dan penilaian kemungkinan terjadinya
pneumotoraks atau hemotoraks.5
Terapi Awal Cairan.Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan
ini mengisi intravaskuler dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskuler
dengan cara menggantikan kehilangan cairan berikutnya ke dalam ruang interstitial dan
intraseluler. Larutan Ringer Laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah
pilihan kedua. Walaupun NaCl fisiologis merupakan cairan pengganti yang baik namun
cairan ini memiliki potensi untuk terjadinya asidosis hiperkhloremik. Kemungkinan ini
bertambah besar bila fungsi ginjalnya kurang baik.5
Jumlah cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi sukar diramalkan pada
evaluasi awal penderita. Perhitungan kasar untuk jumlah total volume kristaloid yang secara
akut diperlukan adalah mengganti setiap mililiter darah yang hilang dengan 3 ml cairan
kristaloid, sehingga memungkinkan resusitasi volume plasma yang hilang ke dalam ruang
interstitial dan intraseluler. Ini dikenal dengan sebagai hukum “3 untuk 1”. Namun, lebih
penting untuk menilai respon penderita kepada resusitasi cairan dan bukti perfusi dan
oksigenasi end-organ yang memadai, misalnya keluaran urin, tingkat kesadaran dan perfusi
perifer. Apabila pada waktu resusitasi jumlah cairan yang diperlukan untuk memulihkan atau
mempertahankan perfusi organ jauh melebihi perkiraan tersebut, maka diperlukan penilaian
ulang yang teliti dan perlu mencari cedera yang belum diketahui atau penyebab lain untuk
syoknya. 5
2.6 Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik disebut juga sebagai syok preload yang ditandai dengan
menurunnya volume intravaskular, baik karena perdarahan maupun karena hilangnya cairan
tubuh.
Penurunan volume intravaskular ini menyebabkan penurunan volume intraventrikuler
kiri pada akhir diastol yang akhirnya menyebabkan berkurangnya kontraktilitas jantung dan
menurunnya curah jantung.
Syok hipovolemik disebabkan oleh:
Kehilangan darah, misalnya perdarahan;
Kehilangan plasma, misalnya luka bakar
Dehidrasi: cairan yang masuk kurang (misalnya puasa lama), cairan keluar yang
banyak (misalnya diare, muntah-muntah, fistula, obstruksi usus dengan penumpukan
cairan di lumen usus).
2.6.1 Syok Hipovolemik akibat Perdarahan
1. Syok ringan. Terjadi apabila pendarahan kurang dari 20% volume darah. Timbul
penurunan perfusi jaringan dan organ nonvital. Tidak terjadi perubahan kesadaran,
volume urin yang keluar normal atau sedikit berkurang, dan mungkin (tidak selalu)
terjadi asidosis metabolik.
2. Syok sedang. Sudah terjadi penurunan perfusi pada organ yang tahan terhadap
iskemia waktu singkat (hati, usus dan ginjal). Sudah timbul oliguria (urin kurang dari
0,5 ml/kg berat badan/jam) dan asidosis metabolik, tetapi kesadaran masih baik.
3. Syok berat. Perfusi di dalam jaringan otak dan jantung sudah tidak adekuat.
Mekanisme kompensasi vasokonstriksi pada organ dan jantung. Sudah terjadi anuria
dan penurunan kesadaran (delirium, stupor, koma) dan sudah ada gejala hipoksia
jantung (EKG abnormal , curah jantung turun). Perdarahan masif 50% atau lebih dari
volume darah dapat menyebabkan henti jantung. Pada stadium akhir tekanan darah
cepat menurun dan pasien jadi koma, lalu disusul nadi menjadi tidak teraba, megap-
megap dan akhirnya terjadi mati klinis (nadi tidak teraba, apneu). Henti jantung
karena syok hemoragik ialah disosiasi elektromekanik (kompleks gelombang EKG
masih ada, tetapi tidak teraba denyut nadi), fibrilasi ventrikel dapat terjadi pada
pasien dengan penyakit jantung.
2.6.2 Patofisiologi
Respon dini terhadap kehilangan darah adalah dengan vasokonstriksi progresif pada
kulit, otot dan sirkulasi viseral (dalam rongga perut) untuk menjamin arus darah ke ginjal,
jantung, dan otak. Karena ada cedera, respon terhadap berkurangnya volume darah yang akut
adalah peningkatan denyut jantung sebagai usaha untuk menjaga curah jantung. Pelepasan
katekolamin endogen meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer. Hal ini akan
meningkatkan tekanan darah diastolik dan mengurangi tekanan nadi, tetapi hanya sedikit
membantu peningkatan perfusi organ. Hormon-hormon lain yang bersifat vasoaktif juga
dilepaskan ke dalam sirkulasi sewaktu terjadinya syok, termasuk histamin, bardikinin, beta
endorfin, dan sejumlah besar prostanoid dan sitokin-sitokin lain. Substansi ini berdampak
besar pada mikrosirkulasi dan permeabilitas pembuluh darah.
Pada syok perdarahan yang masih dini, mekanisme kompensasi sedikit mengatur
pengembalian darah (venous return) dengan cara kontraksi volume darah di dalam sistem
vena, yang tidak banyak membantu memperbaiki tekanan sistemik. Cara yang paling efektif
dalam memulihkan curah jantung dan perfusi organ adalah dengan memperbaiki volumenya.
Pada tingkat seluler, sel dengan perfusi dan oksigenasi yang tidak adekuat tidak
mendapat substrat esensial yang diperlukan untuk metabolisme aerobik normal dan produksi
energi. Pada keadaan awal terjadi kompensasi dengan berpindah ke metabolisme anaerobik,
dimana metabolisme ini mengakibatkan pembentukan asam laktat dan kemudian berkembang
menjadi asidosis metabolik. Apabila syok terjadi berkepanjangan dan penyampaian substrat
untuk pembentukan ATP (adenosine triphosphate) tidak memadai, maka membran sel tidak
dapat lagi mempertahankan intergritasnya dan gradien elektrik normal hilang. Berdasarkan
klasifikasi syok hemoragik, dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pada syok ringan terjadi penurunan perfusi tepi pada organ yang dapat bertahan lama
terhadap iskemia ( kulit, lemak., otot, dan tulang). pH arteri masih normal.
2. Pada syok sedang terjadi penurunan perfusi sentral pada organ yang hanya tahan
terhadap iskemia waktu singkat (hati, usus dan ginjal), dan terjadi asidosis metabolik.
3. Pada syok berat sudah terjadi penurunan perfusi pada jantung dan otak, asidosis
metabolik berat dan mungkin pula terjadi asidosis respiratorik.
2.6.3 Gejala klinik
1. Syok ringan. Takikardia minimal. Hipotensi sedikit. Vasokonstriksi tepi ringan: kulit
dingin, pucat, basah. Urin normal/sedikit berkurang. Pasien mengeluh merasa dingin.
2. Syok sedang. Takikardia 100-120x/menit. Hipotensi: sistolik 90-100 mmHg.
Oliguria/anuria. Penderita merasa haus.
3. Syok berat. Takikardia < 120 x/menit. Hipotensi: sistolik<60 mmHg. Pucat sekali.
Anuria. Agitasi , kesadaran menurun.
Tabel 2. Gejala klinis syok hipovolemi6
Ringan (< 20% volume
darah)
Sedang (20-40% volume
darah)
Berat (>40% volume darah
Ekstremitas dingin
Waktu pengisian kapiler
meningkat
Diaporesis
Vena kolaps
cemas
Sama, ditambah :
Takikardia
Takipnea
Oliguria
Hipotensi ortostatik
Sama ditambah:
Hemodinamij tak stabil
Takikardia bergejala
Hipotensi
Perubahan kesadaran
Tabel 3. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah
Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan darah
Kehilangan darah
(% vol darah)
Denyut jantung
Tekanan sistolik
Tekanan nadi
Capillary refill
Respirasi
Urin
Status mental
Terapi cairan
< 750 cc
> 15%
< 100
Normal
Normal / ↑
Normal
14-20
> 30
Slightly
anxious
Kristaloid
750-1000 cc
15 – 30 %
> 100
Normal
Menurun
(+)
20 -30
20 -30
Mildly
anxious
kristaloid
1500-2000cc
20 – 40%
> 120
Menurun
Menurun
(+)
30 – 40
5 – 25
Anxious dan
confused
Kristaloid
dan darah
> 2000 cc
> 40%
> 140
Menurun
Menurun
(+)
< 35
Anuria
Confused
dan letargi
Kristaloid
dan darah
2.6.4 Terapi Syok Hipovolemik
Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-pasien trauma, baik
oleh karena perdarahan yang terlihat maupun perdarahan yang tidak terlihat. Perdarahan yang
terlihat diantaranya perdarahan dari luka, atau hematemesis dari tukak lambung. Perdarahan
yang tidak terlihat, misalnya perdarahan dari saluran cerna, seperti tukak duodenum, cedera
limpa, kehamilan di luar uterus, patah tulang pelvis, dan patah tulang besar atau majemuk.
Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika miokard sudah
mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang. Respons tubuh terhadap
perdarahan bergantung pada volume, kecepatan, dan lama perdarahan. Bila volume
intravaskular berkurang, tubuh akan selalu berusaha untuk mempertahankan perfusi organ-
organ vital (jantung dan otak) dengan mengorbankan perfusi organ lain seperti ginjal, hati,
dan kulit. Akan terjadi perubahan-perubahan hormonal melalui sistem renin-angiotensin-
aldosteron, sistem ADH, dan sistem saraf simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam
pembuluh darah untuk mengembalikan volume intravaskular, dengan akibat terjadi
hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi interstitial.
Dengan demikian, tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan adalah
menormalkan kembali volume intravaskular dan interstitial. Bila defisit volume intravaskular
hanya dikoreksi dengan memberikan darah maka masih tetap terjadi defisit interstitial,
dengan akibat tanda-tanda vital yang masih belum stabil dan produksi urin yang kurang.
Pengembalian volume plasma dan interstitial ini hanya mungkin bila diberikan kombinasi
cairan koloid (darah, plasma, dextran, dsb) dan cairan garam seimbang. Infus cairan tetap
menjadi pilihan pertama dalam menangani pasien hamil. Bila telah jelas ada peningkatan isi
nadi dan tekanan darah, infus harus dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah udem paru,
terutama pasien tua. Perhatian harus ditujukan agar jangan sampai terjadi kelebihan cairan.
Evaluasi Resusitasi Cairan dan Perfusi Organ
a.Umum
Tanda-tanda dan gejala-gejala perfusi yang tidak memadai, yang digunakan untuk
diagnosis syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respon penderita. Pulihnya tekanan
darah ke normal, tekanan nadi dan denyut nadi merupakan tanda positif yang menandakan
bahwa perfusi sedang kembali ke normal. Walaupun begitu, pengamatan tersebut tidak
memberi informasi tentang perfusi organ. Perbaikan pada status sistem saraf sentral dan
peredaran darah kulit adalah bukti penting mengenai peningkatan perfusi, tetapi kuantitasnya
sukar ditentukan.
b.Produksi Urin
Dalam batas tertentu, produksi urin dapat digunakan sebagai pemantau aliran darah
ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran urin sekitar 0,5
ml/kg/jam pada orang dewasa, 1 ml/kg/ jam pada anak-anak dan 2 ml/kg/jam untuk bayi
(dibawah umur 1 tahun). Bila kurang, atau makin turunnya produksi urin dengan berat jenis
yang naik, maka ini menandakan resusitasi yang tidak cukup. Keadaan ini menuntut
ditambahnya penggantian volume dan usaha diagnostik.
c.Keseimbangan Asam Basa
Penderita syok hipovolemik dini akan mengalami alkalosis pernafasan karena
takhipnea. Alkalosis respiratorik seringkali disusul dengan asidosis metabolik ringan dalam
tahap syok dini dan tidak perlu diterapi. Asidosis metabolik yang berat dapat terjadi pada
syok yang sudah lama, atau akibat syok berat. Asidosis metabolik terjadi karena metabolisme
anaerobik akibat perfusi jaringan yang kurang dan produksi asam laktat. Asidosis yang
persisten biasanya akibat resusitasi yang tidak adekuat atau kehilangan darah terus menerus
dan pada penderita syok normotermik harus diobati dengan cairan, darah, dan
dipertimbangkan intervensi operasi untuk mengendalikan perdarahan. Defisit basa yang
diperoleh dari analisa gas darah arteri dapat berguna dalam memperkirakan beratnya defisit
perfusi yang akut. Jangan gunakan natrium bikarbonat secara rutin untuk mengobati asidosis
metabolik sekunder pada syok hipovolemik.
Keputusan Terapeutis Berdasarkan Respon Kepada Resusitasi Cairan Awal
Respon penderita kepada resusitasi cairan awal merupakan kunci untuk menentukan
terapi berikutnya. Setelah membuat diagnosis dan rencana sementara berdasarkan evaluasi
awal dari penderita, dokter sekarang dapat mengubah pengelolaannya berdasarkan respon
penderita pada resusitasi cairan awal.
Adalah penting untuk membedakan hemodinamis stabil dengan hemodinamis normal.
Penderita dengan hemodinamis stabil mungkin tetap ada takhikardi, takhipnea dan oligouri
dan jelas masih tetap kurang diresusitasi dan masih syok. Sebaliknya penderita dengan
hemodinamis normal adalah yang tidak menunjukkan tanda perfusi jaringan yang kurang
memadai,
Pola respon yang potensial dapat dibahas dalam tiga kelompok : respon cepat, respon
sementara dan respon minimum atau tidak ada pada pemberian cairan.
A. Respon cepat
Penderita kelompok ini cepat memberi respon kepada bolus cairan awal dan tetap
hemodinamis normal kalau bolus cairan awal selesai dan cairan kemudian diperlambat
sampai kecepatan maintanance. Penderita seperti ini biasanya kehilangan volume darah
minimum (kurang dari 20%). Untuk kelompok ini tidak ada indikasi bolus cairan tambahan
atau pemberian darah lebih lanjut. Jenis darahnya dan crossmatch harus tetap dikerjakan.
Konsultasi dan evaluasi pembedahan diperlukan selama penilaian dan terapi awal, karena
intervensi operatif mungkin masih diperlukan.
B. Respon sementara (transient)
Sebagian besar penderita akan berespon terhadap pemberian cairan, namun bila
tetesan diperlambat, hemodinamik penderita menurun kembali karena kehilangan darah yang
masih berlangsung, atau resusitasi yang tidak cukup. Jumlah kehilangan darah pada
kelompok ini harus diteruskan, demikian pula pemberian darah. Respon terhadap pemberian
darah menentukan penderita mana yang memerlukan operasi segera.
C. Respon minimal atau tanpa respon
Walaupun sudah diberikan cairan dan darah cukup, tetap tanpa respon, ini
menandakan perlunya operasi sangat segera. Walaupun sangat jarang, namun harus tetap
diwaspadai kemungkinan syok non-hemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio
miokard.
Kemungkinan adanya syok non-hemoragik harus selalu diingat pada kelompok ini.
Pemasangan CVP atau ekokardiografi emergensi dapat membantu membedakan kedua
kelompok ini.
Tabel 4 Respon Terhadap Pemberian Cairan Awal
Respon cepat Respon sementara Tanpa respon
Tanda Vital Kembali ke normal Perbaikan
sementara, tensi
dan nadi kembali
turun
Tetap abnormal
Dugaan
kehilangan darah
Minimal (10-20%) Sedang, masih ada
(20 – 40%)
Berat ( > 40%)
Kebutuhan
kristaloid
Sedikit Banyak Banyak
Kebutuhan darah Sedikit Sedang-banyak Segera
Persiapan darah Type specific dan
crossmatch
Type specific Emergensi
Operasi Mungkin Sangat mungkin Hampir pasti
Kehadiran dini
ahli bedah
Perlu Perlu Perlu
2.7 Syok kardiogenik.
Syok kardiokgenik adalah suatu keadaan yang terjadi karena tidak cukupnya curah
jantung untuk mempertahankan fungsi alat-alat vital akibat difungsi otot jantung dengan
gambaran klinisnya7
- Tekanan sistol arteri < 80 mmHg,
- Produksi urin < 20ml/hr atau gangguan status mental.
- Tekanan pengisian ventrikel kiri >12 mmHg.
- Tekanan vena sentral lebih dari 10 mm H2O
2.7.1 Etiologi syok kardiogenik
Penyebab dan pencetus dari syok kardiogenik:7
a. Penyebab
1. Infark miokard akut
2. Gangguan mekanis akut : ruptur katup mitral atau katup aorta, defek
septum ventrikel akut
3. Bedah pintas kardiopulmonal
4. Payah jantung kongenstif : iskemia, hipertensi, kardiomiopati atau
penyakit katup jantung
b. Pencetus
1. Iskemia miokard atau infark
1. Anemia : takikardia atau bradiakardia
2. Infeksi : endokarditis, miokarditis atau infeksi di luar jantung
3. Emboli paru
4. Kelebihan cairan atau garam
5. Obat penekan miokard seperti penghambat beta
6. Lain-lain L kehamilanm tirotoksikosis, anemia , stres, hipertensi akut
2.7.2 Patofisiologi syok kardiogenik
Syok kardiogenik karena infark miokard akut biasanya terjadi bila kerusakan
otot jantung > 40 %, sedangkan angka kematian mencapai lebih dari 80%. Atau dapat
juga disebakan infark baru pada infark miokard lama. Karena kerusakan iskemik dan
nekrosis berjalan progresif, maka terjadi perburukan hemodinamik, yang berkembang
dalam waktu berberapa jam dan bisa sampai beberapa hari sejak mulainya tanda-tanda
infark miokard akut. Biasanya kadar enzim-enzim jantung akan meningkat.
Depresi kontraktilitas miokard yang mengakibatkan penurunran curah jantung,
tekanan darah rendah, insufisensi koroner dan selajutnya terjadi penurunan
kontraktilitas dan curah jantung. Paradigma klasik memprediksi bahwa vasokontriksi
sistemik berkomooensasi dengan peningkatan resistensi vaskular sistemik yang terjadi
sebagai respon penurunan curah jantung6,7
Pada studi autopsi menunjukan syok kardiogenik dihubungkan dengan
kehilangan lebih dari 40% otot miokard ventrikel kiri yang akan
menyebabkan:
- Inhibisi langsung kontraktilitas miokard
- Supresi respirasi mitokondria pada miokard non iskemik
- Efek pada metabolisme glukosa
- Efek proinflamasi
- Penurunan responsivitas katekolamin
- Merangsang vasoditasi sitemikFaktor mekanis jantung Miopati (IMA)
Nekrosis miokard
Kerusakan otot jantung
Gangguan kontaktilitas miokardium
Disfungsi ventrikel kiri
Cardiac Output
Hipotensi
Aliran darah koroner
Perfusi jaringan
Syok kardiogenik
Gambar 3. Skema Patofisiologi syok kardiogenik
2.7.3 Gambaran klinis
Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi timbulnya syok kardiogenik
tersebut. Pasien dengan infark miokard akut datang dengan keluhan tipikal nyeri
dada akut, dan mungkin sudah memiliki riwayat penyakit jantung sebelumnya.
Pada keadaan syok akibat komplikasi mekanik dari infark miokard akut, biasanya
terjadi dalam beberapa hari sampai minggu setelah onset infark tersebut. Umumnya
pasien mengeluh nyeri dada dan biasanya terjadi gejala tiba-tiba yang menunjukan
edema paru akut bahkan henti jantung.6
Pasien dengan aritmia akan mengeluhkan adanya palpitasi, presinkop, sinkop atau
merasakan irama jantung yang berhenti sejenak. Kemudian pasien merasakan letargi
akibat kekurangan perfusi ke sistim saraf pusat.
Pada pemeriksaan awal hemodinamik akan ditemukan sistolik akan menurun
sampai kurang 90 mmHg, bahkan bisa turun hingga kurang 80 mmHg pada pasien
yang tidak mendapat pengobatan adekuat. Denyut jantung biasanya meningkat
akibat stimulasi simpatis, demikian pula frekuensi pernafasan yang biasanya
meningkat akibat kongesti di paru.
Pemeriksaan dada akan menunjukan ronki. Pasien dengan infark ventrikel kanan
atau pasien dengan keadaan hipovolemik yang menurun studi sangat kecil
kemungkinnya menyebabkan kongesti paru.
Sistem kardiovaskular yang dapat di evaluasi seperti vena-vena dileher sering kali
meningkat distensinya. Letak impuls apikal dapat bergeser pada pasien
kardiomiopati dilatas, dan intensitas bunyi jantung akan jauh menurun pada efusi
perikardial atau tamponade. Irama gallop dapat timbul yang menunjukan adanya
disfungsi ventrikel kiri yang bermakna. Sedangkan regurgitasi mitral atau septal
defek ventrikel, bunyi bising atau murmur yang timbu sangat membantu untuk
menentukan kelainan atau komplikai yang ada.6
Pasien dengan gagal jantung kanan yang bermakna akan menunjukan beberapa tanda
antara lain: pembesaran hati, pulsasi di liver akibat regurgitasi trikuspid atau
terjadinya asites akibat gagal jantung kanan yang sulit diatasi. Pulsasi di perifer akan
menurun intensitasnya dan edema perifer dapat timbul pada gagal jantung kanan.
Sianosis dan ekstremitas yang teraba dingin, menunjukan adanya penurunan perfusi
ke jaringan.6
Menurut scheitdt dan kawan-kawan kriteria syok kardiogenik tekanan sistolik arteri
< 80 mmHg, produksi urin <20 ml/hari atau gangguan meental. Tekanan pengisian
ventrikel kiri >12 mmHg. Tekananan vena sentral lebih dari 10 mm H2O . keadaan
lain disertai dengan manifestasi peningkatan katekolamin seperti renjatan lain, yaitu
gelisah, keringat dingin, akral dingin, takikardia dan lain-lain.7
2.7.4 Terapi syok kardiogenik
Volume pengisian ventrikel kiri harus diptimalkan, dan pada keadaan tanpa adanya
bendungan paru, pemberian cairan sekurang-kurangnya 250 mL dapat dilakukan dalam
10 menit. Oksigen adekuat penting, intubasi atau ventilasi harus dilakukan segera jika
ditemukan abnormalitas difusi oksigen. Hipotensi yang berlangsung memicu
kegagalan otot pernafasan dan dapat dicegah dengan pemberian ventilasi mekanis.
Laporan adanya penurunan secara dramatis mortalitas syok kardiogenik dengan
melakukan revaskularisasi awla muncul pada akhir tahun 1980. Uji klinis secara acak
yang menguji superiotas dan generalisabilitas strategi revaskularisasi awal telah
dilakukan di USA yaitu SHOCK trial. Pada penelitian SHOCK dilaporkan peningkatan
survival 30 hari dari 46,7% menjadi 56% dengan strategi revaskularisasi awal, namun
perbedaan 9% absolut tidak bermakna (p=0,11). Pada pemantauan, perbedaan survival
pada strategi revaskularisasi awal menjadi lebih besar dan bermakna setelah 6 bulan
dan satu tahun untuk reduksi absolut. Manfaat revaskularisasi awal didapatkan pada
semua subkelompok kecuali pada usia lanjut(kuran 75 tahun).
Langkah penatalaksanaan syok kardiogenik
Langkah I. Tindakan resusitasi segera
Tujuannya adalah mencegah kerusakan organ sewaktu pasien dibawa untuk definitif.
Mempertahankan tekanan arteri rata-rata yang adekuat untuk mencegah sekuele
neurologi dan ginjal adalah vital. Dopamin dan noradrenalin (norepinefrin). Tergantung
pada derajat hipotensi, harus diberikan secepatnya untuk meningkatkan tekanan arteri
rata-rata dan dipertahankan pada dosis minimal yang dibutuhkan. Dobutamin dapat
dikombinasikan dengan dopamin dalam dosis sedang atau digunakan tanpa kombinasi
pada keadaan low output tanpa hipotensi yang nyata.
Intra-aortic ballon counterpulsation (IABP) harus dikerjakan sebelum transportasi
jika fasilitas tersedia. Analisa gas darah dan saturasi oksigen harus dimonitor dengan
memberikan continuous positive airway pressure atau ventilasi mekanis jika ada
indikasi. EKG harus dimonitor secara terus-menerus, dan peralatan defibrilator, obat
antiartimia amiodaraon dan lidokain harus tersedia ( 33% pasien revaskularisasi awal
SHOCK trial menjalani resusitasi kardiopulmoner, takikardi ventrikular menetap atau
fibrilasi ventrikel sebelum randomisasi).11
Terapi fibrinolitik harus dimulai pada pasien dengan ST elevasi jika antisipasi
ketelambatan angiografi lebih dari 2 jam. Mortalitas 35 hari pada pasien dengan
tekanan darah sistolik kurang 100 mmHg yang mendapat rombolitik pada metaanalisis
FTT adalah 28,9% dibandingkan 35,1% dengan plasebo (95% CI 26 sampai 98, p <
0,001) meningkatkan tekanan darah dengan IABP pada keadaan ini dapat menfasilitasi
trombolisis dengan meningkatkan tekanan perfusi koroner. Pada syok kardiogenik
karena infark miokard non elevasi ST yang menunggu katetrisasi, inhibitor glikoprotein
Iib/IIIa dapat diberikan.
Langkah 2. Menentukan secara dini anatomi koroner
Hal ini merupakan langkah penting dalam tatalaksana syok kardiogenik yang berasal
dari kegagalan pompa iskemik yang dominan. Hipotensi diatasi segera dengan IABP.
Syok mempunyai ciri penyakit 2 pembuluh darah yang tinggi, penyakit left main, dan
penurunan fungsi ventrikel kiri. Tingkat disfungsi ventrikel dan instabilitas
hemodinamik mempunyai korelasi dengan anatomi koroner. Suatu lesi circumflex atau
lesi koroner kanan jarang mempunyai manifestasi syok pada keadaan tanpa infark
ventrikel kanan, underfilling ventrikel kiri, bradiaritmia, infark miokard sebelumnya
atau kardiomiopati.
Langkah 3. Melakukan revaskularisasi dini
Setelah menentukan anatomi koroner, harus diikuti dengan pemulihan modalitas
terapi secepatnya. Tidak ada trial acak yang membandingkan PCI dengan CABG pada
syok kardiogenik. Trial SHOCK merekomendasikan CABG emergensi pada pasien left
main atau penyakit 3 pembuluh besar. Laju mortalitas dirumah sakit dengan CABG
pada penelitian SHOCK dan registr adalah sama dengan outcome dengan PCI, wlaupun
lebih banyak penyakit arteri berat dan diabetes yaitu 2 kali pada pasien yang menjalani
CABG.
Rekomendasi PCI pada penyakit jantung koroner5
- Tanda objektif iskemik luas
- Oklusi total kronis
- Risiko operatif tinggi, termasuk ejeksi fraksi < 35%
- Unprotected left main tanpa opsi tindakan revaskularisasi lain.
- Stent rutin pada lesi pembuluh darah koroner asli
Tatalaksana dimulai dengan manajemen ABC. Pada pasien yang sangat sesak dapat
dipertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanik. Pemberian vasopresor intravena baik untuk
meningkatkan inortropik dan memaksimalkan perfusi ke miokardium yang iskemik. Yang
perlu diperhatikan, pemberian vasopresor itu sendiri dapat berakibat peningkatan denyut
jantung yang pada akhirnya akan memperluas infark yang telah terjadi. Sehingga penggunaan
vasopresor di sini harus digunakan secara hati-hati. Beberapa vasopresor yang dapat
diberikan seperti: 9
- Dopamin, dengan dosis tinggi mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen
miokard, dosis yang digunakan 5-10 mcg/kg/min
- Dobutamin selain memiliki sifat inortropik tetapi juga memiliki efek
vasodilatasi sehingga dapat mengurangi preload dan afterload
- Norepinefrin per infus dapat diberikan pada syok kardiogenik yang refrakter,
obat ini dapat mengakibatkan peningkatan afterload, dosis yang dapat
digunakan 0.5 mcg/kg/min
Preparat nitrat atau morfin digunakan untuk analgetik, tetapi perlu diingat bahwa
keduanya dapat mengakibatkan hipotensi sehingga jangan sampai memperparah keadaan
syok pasien dengan pemberian preparat ini. Alat yang dapat membantu pasien dalam syok
kardiogenik secara mekanis yakni intraaortic balloon pump (IABP) bermanfaat terutama
pada syok kardiogenik yang sudah tidak dapat ditangani dengan obat-obatan. 9
Antiagregasi trombosit seperti aspirin tersedia dalam 81 mg, 325 mg, 500 mg, dapat
menurunkan mortalitas akibat infark miokard. Vasodilator yang juga dapat digunakan adalah
nitrogliserin IV yang bekerja dengan merelaksasikan otot polos pembuluh darah sehingga
menurunkan resistensi perifer. 9
Tanda klinis: hipoperfusi, CHF, edema paru akut penyakit dasar yang paling mungkin
Edema paru akut hipovolemi Low Output: syok kardiogenik
Aritmia
Takikardi Bradikardi
Periksa tekanan darah
TDS> 100mmHg
TDS 70-100mmHg dan tanda syok (-)
TDS 70-100mmHg dan tanda syok (+)
TDS < 70mmHg dan tanda syok (+)
Nitrogliserin 10-20 mcg/menit IV Dobutamin 2-
20 mcg/menit IV
Dopamin 5- 15 mcg/kg IV
Norepinefrine 0,5- 30 mcg/menit IV
Pemberian:CairanTransfusi darahvasopressor
PemberianFurosemid IV 0,5-1 mg/kg
Morfin IV 2-4 mg
Oksigen bila perlu
Periksa tekanan darah
Tekanan darah sistole > 100mmHg atau tidak kurang dari 30 mmHg dari TDS sebelumnya
ACE-inhibitor golongan pendek misalnya: captopril 6,25 mg
Gambar 4. Skema penatalaksanaan syok kardiogenik6
2.8 Syok Obstruktif
Syok tipe ini sering terlihat pada:
Tamponade jantung
Pneumotoraks
Emboli paru.
2.9. Syok Distributif
Syok distributif adalah syok yang terjadi akibat berkurangnya tahanan pembuluh
darah perifer. Syok ini terjadi pada:
Syok neurogenik
Cedera medula spinalis atau batang otak
Syok anafilaksis
Obat-obatan
Syok septik
2.9.1 Syok Septik
Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks dimulai dengan
rangsangan endotoksin atau eksotoksin terhadap sistem imunologi, sehingga terjadi aktivasi
makrofag, sekresi berbagai sitokin dan mediator, aktivasi komplemen dan netrofil, sehingga
terjadi disfungsi dan kerusakan endotel, aktivasi sistem koagulasi dan trombosit yang
menyebabkan gangguan perfusi ke berbagai jaringan dan disfungsi/kegagalan organ multipel.
Nomenklatur mengenai sepsis telah banyak dilakukan, salah satu yang paling sering
digunakan ialah sepsis merupakan kelanjutan dari sebuah sindrom respons inflamasi
sistemik / Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) atau yang sering disebut
sindrom sepsis ditandai dengan 2 dari gejala berikut :
a. Hyperthermia/hypothermia (>38,3°C; <35,6°C)
b. Tachypneu (resp >20/menit)
c. Tachycardia (pulse >100/menit)
d. Leukocytosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
e. 10% >cell imature
Sepsis merupakan SIRS yang disertai dengan dugaan ataupun bukti adanya sumber
infeksi yang jelas.Sepsis dapat berlanjut menjadi sepsis berat yaitu sepsis yang disertai
dengan kegagalan organ multipel /Multiple Organ Dysfunction / Multiple Organ Failure
(MODS/MOF). Sepsis berat dengan hipotensi ialah sepsis dengan tekanan sistolik <90
mmHg atau penurunan tekanan sistolik >40 mmHg. Perkembangan berikut dari sepsis ialah
berujung pada suatu syok septik. Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang
didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi oleh sepsis dan menetap kendati telah
mendapat resusitasi cairan, serta disertai dengan hipoperfusi jaringan.10
Syok septik didefinisikan sebagai keadaan kegagalan sirkulasi akut ditandai dengan
hipotensi arteri persisten meskipun dengan resusitasi cairan yang cukup ataupun adanya
hipoperfusi jaringan (dimanifestasikan oleh konsentrasi laktat yang melebihi 4 mg / dL) yang
tidak dapat dijelaskan oleh sebab-sebab lain.11
Tabel 5. Perbedaan Sindrom Sepsis dan Syok Septik
Perbedaan Sindroma Sepsis dan Syok Sepsis
Sindroma sepsis Syok Septik
Takipneu, respirasi >20x/m
Takikardi >90x/m
Hipertermi >38C
Hipotermi <35,6C
Hipoksemia
Peningkatan laktat plasma
Oliguria, Urine 0,5 cc/kgBB dalam 1
jam
Sindroma sepsis ditambah dengan
gejala:
Hipotensi 90 mmHg
Tensi menurun sampai 40 mmHg
daribaseline dalam waktu 1 jam
Tidak membaik dengan pemberian
cairan, sertapenyakit syok
hipovolemik, infarkmiokard dan
emboli pulmonal sudah disingkirkan
Gambar 5. Diagram hubungan SIRS, Sepsis dengan Infeksi12
Gambar 6. Kriteria Bones untuk Pengenalan Sepsis Berat12
Etiologi
Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon sistemik
dapat disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam darah atau hanya
disebabkan produk toksik dari mikroorganisme atau produk reaksi radang yang berasal dari
infeksi lokal.
Umumnya disebabkan kuman gram negatif. Insidensnya meningkat, antara lain
karena pemberian antibiotik yang berlebihan, meningkatnya penggunaan obat sitotoksik dan
imunosupresif, meningkatnya frekuensi penggunaan alat-alat invasive seperti kateter
intravaskuler, meningkatnya jumlah penyakit rentan infeksi yang dapat hidup lama, serta
meningkatnya infeksi yang disebabkan organisme yang resisten terhadap antibiotik.
Infeksi traktus repiratorius merupakan penyebab sepsis yang tersering diikuti infeksi
abdomen dan jaringan lunak. Setiap sistem organ memiliki patogen yang berbeda, seperti di
antaranya :13
Infeksi traktur repiratorius bawah yang menyebabkan syok septik pada sekitar 25%
pasien, patogen yang umum
o Streptococcus pneumoniae
o Klebsiella pneumoniae
o Staphylococcus aureus
o Escherichia coli
o Legionella species
o Haemophilus species
o Anaerobes
o Gram-negative bacteria
o Fungi
Infeksi traktus urinarius yang menyebabkan syok septik pada sekitar 25% pasien,
patogen yang umum :
o E coli
o Proteus species
o Klebsiella species
o Pseudomonas species
o Enterobacter species
o Serratia species
Infeksi jaringan lunak yang menyebabkan syok septik pada sekitar 15% pasien,
patogen yang umu :
o S aureus
o Staphylococcus epidermidis
o Streptococci
o Clostridia
o Gram-negative bacteria
o Anaerobes
Infeksi traktus gastro-intestinal yang menyebabkan syok septik pada 15% pasien,
patogen yang umum :
o E coli
o Streptococcus faecalis
o Bacteroides fragilis
o Acinetobacter species
o Pseudomonas species
o Enterobacter species
o Salmonella species
Infeksi saluran reproduktif laki-laki dan perempuan yang menyebabkan syok septik
pada sekitar 10% pasien, patogen yang umum :
o Neisseria gonorrhoeae
o Gram-negative bacteria
o Streptococci
o Anaerobes
Benda asing yang mengakibatkan infeksi berkontribusi 5% pada syok septik. S
aureus, S epidermidis, adan fungi/yeasts (eg, Candida species) merupakan patogen
yang umum.
Infeksi lain-lain menyebabkan 5% syok septik. Neiserriameningitidis merupakan
enyebab tersering pada golongan ini.
Patofisiologi syok septik
1. Pada stadium awal curah jantung meningkat, denyut jantung lebih cepat dan tekanan
arteri rata-rata turun. Kemudian perjalanannya bertambah progresif dengan penurunan
curah jantung, karena darah balik berkurang (terjadi bendungan darah dalam
mikrosirkulasi dan keluarnya cairan dari ruangan intravaskular karena permeabilitas
kapiler bertambah), yang ditandai dengan turunnya tekanan vena sentral.
2. Hipertensi paru-paru oleh karena tahanan pembuluh darah meningkat disebabkan oleh
sumbatan leukosit pada kapiler paru-paru. Pada pasien yang sudah syok paru-paru
ditandai dengan gejala gagal paru-paru progresif, PO2 arterial turun, hiperventilasi,
dispneu, batuk dan asidosis.
3. Koagulasi intravaskular diseminata (DIC) terjadi karena pemacuan proses pembekuan
akibat kerusakan endotel kapiler oleh infeksi bakteri.
Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis. Pada
bakteri gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu protein di dalam
plasma, dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide binding protein) yang disintesis oleh
hepatosit, diketahui berperan penting dalam metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam
sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor inhibitor dalam serum seperti lipoprotein,
kilomikron sehingga LPS akan dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP
sehingga mempercepat ikatan dengan CD14. Kompleks CD14-LPS menyebabkan transduksi
sinyal intraseluler melalui nuklear factor kappaB (NFkB), tyrosin kinase(TK), protein kinase
C (PKC), suatu faktor transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel.
Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like
receptor-2 (TLR2).14
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic acid
(LTA) dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin. Bakteri gram positif
menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin sebagai superantigen dan komponen
dinding sel yang menstimulasi imun. Superantigen berikatan dengan molekul MHC kelas II
dari antigen presenting cells dan Vβ-chains dari reseptor sel T, kemudian akan mengaktivasi
sel T dalam jumlah besar untuk memproduksi sitokin proinflamasi yang berlebih.14,15
Gambar 7. Skema Infeksi - Sepsis
Peran S itokin pada S epsis
Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan pejamu terhadap infeksi dan
invasi mikroorganisme. Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi mediator inflamasi yang
berlebih, yang mencakup sitokin yang bekerja lokal maupun sistemik, aktivasi netrofil,
monosit, makrofag, sel endotel, trombosit dan sel lainnya, aktivasi kaskade protein plasma
seperti komplemen, pelepasan proteinase dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen radikal.
Selain mediator proinflamasi, dilepaskan juga mediator antiinflamasi seperti sitokin
antiinflamasi, reseptor sitokin terlarut, protein fase akut, inhibitor proteinase dan berbagai
hormon.12,14
Pada sepsis berbagai sitokin ikut berperan dalam proses inflamasi, yang terpenting
adalah TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12 sebagai sitokin proinflamasi dan IL-10 sebagai
antiinflamasi. Pengaruh TNF-α dan IL-1 pada endotel menyebabkan permeabilitas endotel
meningkat, ekspresi TF, penurunan regulasi trombomodulin sehingga meningkatkan efek
prokoagulan, ekspresi molekul adhesi (ICAM-1, ELAM, V-CAM1, PDGF, hematopoetic
growth factor, uPA, PAI-1, PGE2 dan PGI2, pembentukan NO, endothelin-1.1 TNF-α, IL-1,
IL-6, IL-8 yang merupakan mediator primer akan merangsang pelepasan mediator sekunder
seperti prostaglandin E2 (PGE2), tromboxan A2 (TXA2), Platelet Activating Factor (PAF),
peptida vasoaktif seperti bradikinin dan angiotensin, intestinal vasoaktif peptida seperti
histamin dan serotonin di samping zat-zat lain yang dilepaskan yang berasal dari sistem
komplemen.16
Awal sepsis dikarakteristikkan dengan peningkatan mediator inflamasi, tetapi pada sepsis
berat pergeseran ke keadaan immunosupresi antiinflamasi.17
Peran K omplemen pada S epsis
Fungsi sistem komplemen: melisiskan sel, bakteri dan virus, opsonisasi, aktivasi respons
imun dan inflamasi dan pembersihan kompleks imun dan produk inflamasi dari sirkulasi.
Pada sepsis, aktivasi komplemen terjadi terutama melalui jalur alternatif, selain jalur klasik.
Potongan fragmen pendek dari komplemen yaitu C3a, C4a dan C5a (anafilatoksin) akan
berikatan pada reseptor di sel menimbulkan respons inflamasi berupa: kemotaksis dan adhesi
netrofil, stimulasi pembentukan radikal oksigen, ekosanoid, PAF, sitokin, peningkatan
permeabilitas kapiler dan ekspresi faktor jaringan.12
Peran NO pada S epsis
NO diproduksi terutama oleh sel endotel berperan dalam mengatur tonus vaskular.
Pada sepsis, produksi NO oleh sel endotel meningkat, menyebabkan gangguan hemodinamik
berupa hipotensi. NO diketahui juga berkaitan dengan reaksi inflamasi karena dapat
meningkatkan produksi sitokin proinflamasi, ekspresi molekul adhesi dan menghambat
agregasi trombosit. Peningkatan sintesis NO pada sepsis berkaitan dengan renjatan septik
yang tidak responsif dengan vasopresor.1,5
Peran N etrofil pada S epsis
Pada keadaan infeksi terjadi aktivasi, migrasi dan ekstravasasi netrofil dengan
pengaruh mediator kemotaktik. Pada keadaan sepsis, jumlah netrofil dalam sirkulasi
umumnya meningkat, walaupun pada sepsis berat jumlahnya dapat menurun. Walaupun
netrofil penting dalam mengeradikasi kuman, namun pelepasan berlebihan oksidan dan
protease oleh netrofil dipercaya bertanggungjawab terhadap kerusakan organ. Terdapat 2
studi klinis yang menyatakan bahwa menghambat fungsi netrofil untuk mencegah komplikasi
sepsis tidak efektif, dan terapi untuk meningkatkan jumlah dan fungsi netrofil pada pasien
dengan sepsis juga tidak efektif .13
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang menyebabkan
kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini menyebabkan vasodilatasi kapiler
dan terbukanya hubungan pintas arteriovena perifer.Selain itu, terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi perifer meyebabkan
terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan
kehilangan cairan intravaskular ke interstisial yang terlihatsebagai edema.Pada syok sepsis
hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan melainkan karena
ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin kuman Berlanjutnya proses
inflamasi yang maladaptive akan menhyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang
dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multiple (MODS/MOF). Proses MOF merupakan
kerusakan (injury) pada tingkat seluler (termasuk disfungsi endotel), gangguan perfusi ke
organ/jaringan sebagai akibat hipoperfusi, iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai
faktor lain yang ikut berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial
depressant substance), malnutrisi kalori-protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada
eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan.12
Gambar 8. Skema Syok Septik akibat Infeksi Kuman Gram Negatif
Gejala Klinis
Tabel 6. Korelasi Gejala Klinis Syok dengan Mekanisme dalam Tubuh
Tabel 7. Kriteria Diagnosis / Tanda dan Temuan dalam Sepsis
Syok septik yang berat dapat berkemabang menjadi suatu sindrom gangguan / penurunan
fungsi organ multipel akibatnya hipoperfusi generalisata. Berikut adalah tanda-tanda kelainan
sistemik pada Multiple Organ Failure
Tabel 8. Tanda Multiple Organ Failure
Multiple Organ Failure
DIC
Respirotary Distress.Syndrome
Acute Renal Failure
Hepatobilier disfunction
Central Nervous System Disf.
FDP≥ 1:40 atau D-dimers ≥2,0 dengan
rendahnya platelet
Memanjangnya waktu:
- protrombin
- partial thromboplastin
- Perdarahan
Hipoksemia
Kreatinin > 2,0 ug/dl
Na. Urin 40 mmol/L
Kelainan prerenal sudah disingkirkan
Bil.>34 umol/L (2,0 mg/dL)
Nilai alk. Fosfatase, SGOT, SGPt dua kali
Nilai normal
GCS < 15
Penatalaksanaan
Pasien sepsis wajib dinilai dan dievaluasi dengan menggunakan metode ABCDE
( Airway, Breathing,Circulation,Disability, Exposure ). Metode ABCDE :12
A = Airway assessment, maintenance and oxygen
B = Breathing and ventilation assessment
C = Circulation assessment, intravenous (IV) access and fluids
D = Disability: assess the neurological status and check the blood glucose
E = Exposure and environmental control
Penatalaksaan awal pasien-pasien yang dicurigai dengan sepsis ialah resusitasi cairan
yang mencakup 3 proses, yaitu:
Memaksimalkan penyebaran oksigen dan perfusi jaringan
Monitoring seksama dari tanda-tanda vital dan fungsi organ sebagai pedoman
resusitasi lanjutan
Menyiapkan strategi untuk menyingkirkan sumber infeksi
Proses ini ditujukan untuk menghentikan ( atau setidaknya memperlambat ) onset dari
sindrom disfungsi organ multipel / multi organ dysfunction syndrome. Saat sepsis sudah
dikonfirmasi, beberapa langkah berikut sebaiknya sudah dilakukan seperti oksigen aliran
tinggi, cannule, terapi cairan, monitoring jumlah urin.
Penatalaksanaan awal ini dapat disingkat menjadi “Sepsis Six” yakni :12
Oksigen aliran tinggi
Sepsis secara dramatis akan meningkatkan kecepatan metabolik tubuhsehingga
kebutuhan akan oksigen akan meningkat. Untuk itu digunakan non-rebreathe face
mask dengan aliran oksigen tinggi. Saturasi oksigen ditargetkan di sekitar >= 94%
kecuali jika pasien memiliki riwayat hipoksemia kronis. Non-rebreathe face mask
biasanya tidak cocok untuk pemakaian jangka panjang, namun sangat penting dalam
fase resusitasi akut untuk memaksimalkan jumlah oksigen yang masuk.
Kultur darah ( dan yang lainnya ).
Kultur darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik intravena. Kultur
darah diambil secara percutaneous dan sebelum meletakkan akses IV yang baru.
Kultur darah tidak mempengaruhi pilihan terapi antibiotik speksturm luas pada fase
awal tetapi berpengaruh pada pemilihan antibiotik ketika patogen telah diidentifikasi.
Antibiotik spektrum luas secara intravena
Pemilihan antibiotik spektrum luas yang tepat akan mengikuti langkah-langkah
berikut :
o Riwayat alergi yang dimiliki oleh pasien.
o Kondisi klinis pasien dan kemungkinan sumber infeksi
o Peraturan mengenai administrasi antibiotik.
Uji terapi cairan intravena.
Bila pasien sepsis mengalami hipotensi atau bila pasien menunjukkan tanda-tanda
insufisiensi sirkulasi, uji terapi cairan dengan 10ml/kg koloid ataupun 20ml/kg
kristaloid sebaiknya dilakukan dalam bolus yang telah dibagi. Dapat diulang dua kali,
hingga bolus total tiga kali. Bila pasien masih mengalami hipotensi, sebaiknya
dipasang Central Venous Catheter yang sekaligus dapat memonitor administrasi
vasopressor dan inotropik bila dibutuhkan.
Pengukuran hemoglobin dan laktat
Laktat dapat diukur dari sampel vena menggunakan jarum Arterial Blood Gas.
Akumulasi laktat menandakan respirasi anaerob yang sedang berlangsung. Penelitian
terbaru menyebukan Procalcitonin sebagai alternatif penanda kaskade hipoperfusi
lanjut.
Monitor jumlah urin
Pada kondisi normal, sistem autoregulasi tubuh akan menjamin aliran cukup ke ginjal
dalam jumlah normal meski adanya perubahan tekanan darah. Pada sepsis, fungsi ini
terganggu sehingga ketika tekanan darah menurun, aliran darah ke ginjal juga
menurun sehingga jumlah urin juga akan menurun. Urinary kateter dapat mengukur
jumlah produksi urin dari ginjal, sehingga membantu mengestimasi aliran darah
ginjal. Hal ini membantu dalam menilai perfusi ginjal dan sebagai prediktor dari gagal
ginjal. Pasien harus ditargetkan mencapai produksi urin normal. Dikatakan oliguria
bila produksi urin <0.5ml/kg/jam selama 2 jam berturut-turut. Oliguria persisten
menjadi tanda awal dari gagal ginjal. Anuria mengindikasikan bahwa ginjal telah
sepenuhnya mengalamai kegagalan, namun seringkali akibat terbloknya aliran urin di
kateter
Target yang ingin dicapai pada resusitasi awal :
MAP > 65mmHg
Capillary Refill Time membaik
Akral menjadi lebih hangat
Produksi urin >0.5ml/kg/jam
Status mental yang membaik.
Menurunnya kadar laktat
Early Goal Directed Therapy
Merupakan langkah awal dalam 6 jam pertama yang dilakukan untuk meningkatkan survival
pada pasien sepsis
Gambar 9. Early Goal Directed Therapy
Perbaikan hemodinamik.
Banyak pasien syok septikyang mengalami penurunan volume intravaskuler, sebagai
respon pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan darah. Cairan koloid
dan kristaloid tak diberikan. Jika disertai anemia berat perlu transfusi darah dan CVP
dipelihara antara 10-12 mmHg.
Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam waktu 1-2 jam.
Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6 jam
pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi
oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan
resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai
hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin (dosis 5-10μg/kg/menit sampai maksimal
20 μg/kg/menit). 18
Dopamin diberikan bila sudah tercapai target terapi cairan, yaitu MAP 60mmHg atau
tekanan sistolik 90-110 mmHg. Dosis awal adalah 2-5 μmg/Kg BB/menit. Bila dosis ini
gagal meningkatkan MAP sesuai target, maka dosis dapat di tingkatkan sampai 20 μg/
KgBB/menit. Bila masih gagal, dosis dopamine dikembalikan pada 2-5 μmg/Kg BB/menit,
tetapi di kombinasi dengan levarterenol (norepinefrin). Bila kombinasi kedua vasokonstriktor
masih gagal, berarti prognosisnya buruk sekali. Dapat juga diganti dengan vasokonstriktor
lain (fenilefrin atau epinefrin).19
Pemakaian Antibiotik
Setelah diagnose sepsis ditegakkan, antibiotik harus segera diberikan, dimana
sebelumnya harus dilakukan kultur darah, cairan tubuh, dan eksudat. Pemberian antibiotik tak
perlu menunggu hasil kultur. Untuk pemilihan antibiotik diperhatikan dari mana kuman
masuk dan dimana lokasi infeksi, dan diberikan terapi kombinasi untuk gram positif dan
gram negatif.
Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui
sepsis berat, setelah kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki
aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga
sumber sepsis.14 Oleh karena pada sepsis umumnya disebabkan oleh gram negatif,
penggunaan antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem
memiliki keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang hebat
akibat pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal multi organ.1 Pemberian
antibiotik kombinasi juga dapat dilakukan dengan indikasi :
Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui
Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni
Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat pathogen
(pseudomonas aureginosa, enterokokus)
Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data
mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa terapi
kombinasi lebih baik daripada monoterapi.18
Terapi Suportif
Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan
penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera
dilakukan.
Terapi cairan
o Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9%
atau ringer laktat) maupun koloid.14,18
o Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik
melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
o Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila
kadar Hb rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard
dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih
kontroversi antara 8-10 g/dL.
Vasopresor dan inotropik
Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian
cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor diberikan
mulai dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg
atau tekanan darah sistolik 90mmHg. Dapat dipakai dopamin
>8μg/kg.menit,norepinefrin 0.03-1.5μg/kg.menit, phenylepherine
0.5-8μg/kg/menit atau epinefrin 0.1-0.5μg/kg/menit. Inotropik dapat
digunakan: dobutamine 2-28 μg/kg/menit, dopamine 3-8 μg/kg/menit,
epinefrin 0.1-0.5 μg/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan
milrinone).12,14,
Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat <9
mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.14
Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera
diperbaiki dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila
diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3 μg/kg/menit) seringkali diberikan untuk
mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, namun secara evidence based
belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan
hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.12,14
Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis,
glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi
dan penumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi
insulin. Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan proses katabolisme
protein. Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori (asam amino), asam lemak,
vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin.12,14
Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan
mortalitas sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan insulin
untuk mencapai kadar gula darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada
kelompok dimana insulin baru diberikan bila kadar gula darah >115 mg/dL.
Namun apakah pengontrolan gula darah tersebut dapat diaplikasikan dalam
praktek ICU, masih perlu dievaluasi, karena ada risiko hipoglikemia.12,14
Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi dan
DIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di
sirkulasi). Pada sepsis berat dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas
antikoagulan dan supresi proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus
menumpuk di sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ. Terapi antikoagulan,
berupa heparin, antitrombin dan substitusi faktor pembekuan bila diperlukan
dapat diberikan, tetapi tidak terbukti menurunkan mortalitas.
Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison dengan
dosis 50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan renjatan septik
menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa
syok, kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis.18
2.9.2 Syok Anafilaktik
Syok anafilaktik merupakan suatu resiko pemberian obat, baik merupakan suntikan atau
cara lain. Reaksi dapat berkembang menjadi suatu kegawatan berupa syok, gagal napas, henti
jantung, dan kematian mendadak.
Patofisiologi :
Syok anafilaktik merupakan bagian dari reaksi anafilaktik sistemik berat. Terjadinya
syok dapat berlangsung dengan cepat. Kematian terjadi pada penderita berusia di atas 20
tahun. Sedangkan kematian pada anak biasanya disebabkan oleh edema laring. Kematian
pada usia dewasa biasanya merupakan kombinasi syok, edema laring, dan aritmia jantung.
Syok anafilaktik dapat kambuh 2-24 jam setelah kejadian pertama.
Obat-obat yang sering memberikan reaksi anafilaktik adalah golongan antibiotik
penisilin, ampisilin, sefalosporin, neomisin, tetrasiklin, kloramfenikol, sulfanamid,
kanamisin, serum antitetanus, serum antidifteri, dan antirabies. Alergi terhadap gigitan
serangga, kuman-kuman, insulin, ACTH, zat radiodiagnostik, enzim-enzim, bahan darah,
obat bius (prokain, lidokain), vitamin, heparin, makan telur, susu, coklat, kacang, ikan laut,
mangga, kentang, dll, juga dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
Patofisiologi
Reaksi anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik terhadap
alergen tertentu. Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit, mukosa, sistem pernafasan
maupun makanan, terpapar pada sel plasma dan menyebabkan pembentukan IgE spesifik
terhadap alergen tertentu. IgE spesifik ini kemudian terikat pada reseptor permukaan mastosit
dan basofil. Pada paparan berikutnya, alergen akan terikat pada Ige spesifik dan memicu
terjadinya reaksi antigen antibodi yang menyebabkan terlepasnya mediator yakni antara lain
histamin dari granula yang terdapat dalam sel. Ikatan antigen antibodi ini juga memicu
sintesis SRS-A ( Slow reacting substance of Anaphylaxis ) dan degradasi dari asam
arachidonik pada membrane sel, yang menghasilkan leukotrine dan prostaglandin. Reaksi ini
segera mencapai puncaknya setelah 15 menit. Efek histamin, leukotrine (SRS-A) dan
prostaglandin pada pembuluh darah maupun otot polos bronkus menyebabkan timbulnya
gejala pernafasan dan syok.
Gambar 10. Skema Patofisologi Syok Anafilatik
Gejala Klinis
1. Reaksi lokal : biasanya hanya urtikaria dan edema setempat, tidak fatal.
2. Reaksi sistemik : biasanya mengenai saluran napas bagian atas, system kardiovaskuler,
gastrointestinal, dan kulit. Reaksi tersebut dapat timbul segera atau 30 menit setelah
terpapar antigen.
a. Ringan : mata bengkak, hidung tersumbat, gatal-gatal di kulit dan mukosa, bersin-
bersin, biasanya timbul 2 jam setelah terpapar alergen.
b. Sedang : gejalanya lebih berat, selain gejala di atas, dapat pula terjadi bronkospasme,
edema laring, mual, muntah, biasanya terjadi dalam 2 jam setelah terpapar antigen.
c. Berat : terjadi langsung setelah terpapar dengan alergen, gejala seperti reaksi tersebut
di atas hanya lebih berat yaitu bronkospasme, edema laring, stridor, napas sesak,
sianosis, henti jantung, disfagia, nyeri perut, diare, muntah-muntah, kejang, hipotensi,
aritmia jantung, syok, dan koma. Kematian disebabkan oleh edema laring dan aritmia
jantung.
Penatalaksanaan syok anafilaktik tergantung tingkat keparahan, namun yang
terpenting harus segera dilakukan evaluasi jalan napas, jantung dan respirasi. Bila ada henti
jantung paru, lakukan resusitasi jantung paru. Terapi awal diberikan setelah diagnosis
ditegakkan.
Untuk terapi awal, berikan adrenalin 1 : 1.000, 0,3 ml sampai maksimal 0,5 ml,
subkutan atau im, dapat diulang 2-3 kali dengan jarak 15 menit. Pasang torniket pada
proksimal dari suntikan infiltrasi dengan 0,1 – 0,2 adrenalin 1 : 1000. Lepaskan torniket
setiap 10-15 menit. Tempatkan pasien dalam posisi terlentang dengan elevasi ekstremitas
bawah (kecuali kalau pasien sesak). Awasi jalan napas pasien, periksa tanda-tanda vital tiap
15 menit. Bila efek terhadap adrenalin kurang, berikan difenhidramin hidroklorida, 1 mg/kg
BB sampai maksimal 50 mg im atau iv perlahan-lahan.
Bila terjadi hipotensi (tekanan sistolik < 90 mm Hg), segera berikan cairan iv yang
cukup. Bila tidak ada respon, berikan dopamin 400 µg (2 ampul) dalam cairan infus glukosa
5 % atau Ringer laktat atau NaCL 0,9% atau dekstran, untuk mempertahankan tekanan darah
sistolik 90-100 mmHg.
Bila terjadi bronkospasme persisten, berikan oksigen 4-6 liter/menit. Bila tidak terjadi
hipotensi, berikan aminofilin dosis 0,5-0,9 mg/kg BB/jam. Berikan aerosol ß-2 agonis tiap 2-
4 jam, misalnya 0,3 ml metaproterenol dalam larutan garam melalui nebulasi atau adrenalin
0,1-0,3 ml setiap 2 -4 jam.
Untuk mencegah relaps (reaksi fase lambat), berikan hidrokortison 7 – 10 mg/kg BB iv
lalu lanjutkan hdrokortison suntikan 5 mg/kg BB iv tiap 6 jam sampai 48-72 jam.
Awasi adanya edema laring, jika perlu dilakukan trakeostomi. Bila kondisi pasien
stabil, berikan terapi suportif dengan cairan selama beberapa hari, pasien harus diawasi
karena kemungkinan gejala berulang minimal selama 12-24 jam. Kematian dapat terjadi
dalam 24 jam pertama.
Gambar 11. Titik tangkap terapi pada syok anafilatik
2.9.3 Syok neurogenik
Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang
mengakibatkan vasodilatasi menyeuruh di regio splanikus sehingga perdarahan otak
berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan leh suhu lingkungan yang panas, terkejut
takut atau nyeri. Syok neurogenik pada trauma terjadi karena hilangnya sympatic tone,
misalnya pada cedera tulang belakang atau yang sangat jarang cedera pada batang otak.
Hipotensi pada pasien dengan cedera tulang belakang disertai dengan oxygen delivery yang
cukup karena curah janting tinggi meskipun tekanan darahnya rendah.
Etiologi
Penyebabnya antara lain : 3
1. Trauma medula spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia (syok spinal).
2. Rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti rasa nyeri hebat pada fraktur
tulang.
3. Rangsangan pada medula spinalis seperti penggunaan obat anestesi spinal/lumbal.
4. Trauma kepala (terdapat gangguan pada pusat otonom).
5. Suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut.
Penderita merasa pusing dan biasanya jatuh pingsan. Denyut nadi lambat, tetapi
umumnya cukup besar dan berisi. Setelah penderita dibaringkan, umunya keadaan membaik
spontan tanpa meninggalkan penyulit, kecuali jika terjadi cedera karena jatuh. 2
2.4.1 Patofisiologi
Syok neurogenik termasuk syok distributif dimana penurunan perfusi jaringan dalam
syok distributif merupakan hasil utama dari hipotensi arterial karena penurunan resistensi
pembuluh darah sistemik (systemic vascular resistance). Sebagai tambahan, penurunan dalam
efektifitas sirkulasi volume plasma sering terjadi dari penurunan venous tone, pengumpulan
darah di pembuluh darah vena, kehilangan volume intravaskuler dan intersisial karena
peningkatan permeabilitas kapiler. Akhirnya, terjadi disfungsi miokard primer yang
bermanifestasi sebagai dilatasi ventrikel, penurunan fraksi ejeksi, dan penurunan kurva fungsi
ventrikel3
Pada keadaan ini akan terdapat peningkatan aliran vaskuler dengan akibat sekunder
terjadi berkurangnya cairan dalam sirkulasi. Syok neurogenik mengacu pada hilangnya tonus
simpatik (cedera spinal). Gambaran klasik pada syok neurogenik adalah hipotensi tanpa
takikardi atau vasokonstriksi kulit6
Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang mengakibatkan
vasodilatasi menyeluruh di regio splangnikus, sehingga perfusi ke otak berkurang. Reaksi
vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut atau nyeri3
Syok neurogenik bisa juga akibat rangsangan parasimpatis ke jantung yang
memperlambat kecepatan denyut jantung dan menurunkan rangsangan simpatis ke pembuluh
darah. Misalnya pingsan mendadak akibat gangguan emosional3
Pada penggunaan anestesi spinal, obat anestesi melumpuhkan kendali neurogenik
sfingter prekapiler dan menekan tonus vasomotor. Pasien dengan nyeri hebat, stres emosi dan
ketakutan meningkatkan vasodilatasi karena mekanisme reflek yang tidak jelas yang
menimbulkan volume sirkulasi yang tidak efektif dan terjadi sinkop.8
2.4.2 Manifestasi Klinis
Hampir sama dengan syok pada umumnya tetapi pada syok neurogenik terdapat tanda
tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bahkan dapat lebih lambat (bradikardi)
kadang disertai dengan adanya defisit neurologis berupa quadriplegia atau paraplegia.
Sedangkan pada keadaan lanjut, sesudah pasien menjadi tidak sadar, barulah nadi
bertambah cepat. Karena terjadinya pengumpulan darah di dalam arteriol, kapiler dan vena,
maka kulit terasa agak hangat dan cepat berwarna kemerahan.8
2.4.3 Penatalaksanaan
Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasopressor seperti
fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter
prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat
tersebut
Kemudian konsep dasar berikutnya adalah dengan penggunaan prinsip A(airway) -
B(breathing) - C(circulation) dan untuk selanjutnya dapat diikuti dengan beberapa tindakan
berikut yang dapat membantu untuk menjaga keadaan tetap baik (life support), diantaranya:
a. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi Trendelenburg).
b. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan menggunakan
masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang berat, penggunaan
endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini untuk
menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi distres respirasi yang
berulang. Ventilator mekanik juga dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan
menurunkan penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi.
c. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan. Cairan
kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus secara
cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan darah, akral,
turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.
d. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat vasoaktif
(adrenergik,agonis alfa yang kontraindikasi bila ada perdarahan seperti ruptur lien)
1. Dopamin
Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit, berefek serupa
dengan norepinefrin. Dan jarang terjadi takikardi.
2. Norepinefrin
Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan darah. Monitor
terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah jika norepinefrin gagal dalam
menaikkan tekanan darah secara adekuat. Pada pemberian subkutan, diserap tidak
sempurna jadi sebaiknya diberikan per infus. Obat ini merupakan obat yang terbaik
karena pengaruh vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap
jantung (palpitasi).Pemberian obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah normal
kembali. Awasi pemberian obat ini pada wanita hamil, karena dapat menimbulkan
kontraksi otot-otot uterus.
3. Epinefrin
Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna dan dimetabolisme
cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan pengaruhnya
terhadap jantung, sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu bahwa pasien
tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan
vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok neurogenik.
4. Dobutamin
Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh menurunnya cardiac
output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah melalui vasodilatasi perifer.
Obat DosisCardiac
Output
Tekanan
Darah
Resistensi
Pembuluh
Darah
Sistemik
Dopamin2,5-20
mcg/kg/menit+ + +
Norepinefrin0,05-2
mcg/kg/menit+ ++ ++
Epinefrin0,05-2
mcg/kg/menit++ ++ +
Fenilefrin2-10
mcg/kg/menit- ++ ++
Dobutamin2,5-10
mcg/kg/menit+ +/- -
Pasien-pasien yang diketahui atau diduga mengalami syok neurogenik harus diterapi
sebagai hipovolemia. Pemasangan kateter untuk mengukur tekanan vena sentral akan sangat
membantu pada kasus-kasus syok yang meragukan
BAB III
PENUTUP
Syok adalah kondisi mengancam jiwa yang dapat terjadi saat tubuh tidak
mendapatkan aliran darah yang adekuat. Hal ini dapat merusak banyak organ. Syok
membutuhkan penanganan segera karena kondisi tubuh dapat memburuk dengan amat cepat.
Secara klinis syok ditandai dengan pucat, dingin, berkeringat, nadi lemah, hipotensi,
bertambahnya kecepatan pernafasan dan takikardi dengan penurunan tekanan darah sistemik
dengan tekanan sistole di bawah 70 mmHg, penurunan volume urine dan terjadinya iskemia
yang mengakibatkan turunnya perfusi jaringan
Syok dapat diklasifikasikan menjadi syok kardiogenik, syok hipovolemik yang dapat
disebabkan karena perdarahan dan dehidrasi, syok obstruktif, dan syok distributif yang
diantaranya terdiri dari syok anafilaktik dan syok septik.
Secara umum penatalaksanaan syok adalah dengan cara memperbaiki perfusi
jaringan, mencari penyebab, mengatasi penyebab, mengatasi komplikasi dan
mempertimbangkan terapi lanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Maier, Ronald V. 2001. Shock. Dalam: Harrison’s Principles of Internal Medicine
Volume I: 222-227. New York. Mc Graw Hill.
2. de Jong W, R Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran. EGC; 2004
3. Price Silvia A, Wilson Lorraine M. 1994. Patofisiologi Konsep Klinis Proses
Penyakit. Edisi 4. 283-295. Jakarta: EGC.
4. Guyton AC, Hall JE, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. EGC. Jakarta ; 2008
5. Advanced Trauma Life Support for Doctors. American College of Surgeons
Committee On Trauma. First Impression.
6. Noer HMS, Waspadi, Rachman AM. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi
ketiga. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
7. Rilanto LI, Baraas F, Karo SK, Roebino PS.Buku Ajar Kardiologi. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 2003
8. Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, jilid 1, edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius.
9. Brandler ES, editor. Cardiogenic shock in emergency medicine [monograph on the
Internet]. Washington:Medscape reference; 2010 [cited 2011 Nov 29]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/759992-treatment
10. British Journal of Anesthesia.Anesthesic Management in Patients With Severe Sepsis.
Available from : http://bja.oxfordjournals.org/content/105/6/ 734/T1. expansion.html
11. Nelwan RHH. Patofisiologi dan deteksi dini sepsis. Dalam: Pertemuan Ilmiah
Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2003. Jakarta: 2003; h. S15-18
12. Ron Daniels. Tim Nutbeam. ABC of Sepsis.2010. UK : Wiley Blackwell – BMJ
books.
13. Michael R. Pinsky. Septic Shock. . Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/168402
14. Widodo D, Pohan HT (editor). Bunga rampai penyakit infeksi. Jakarta: 2004; h.54-88.
15. Bochud PY, Calandra T. Pathogenesis of sepsis: new concepts and implication for
future treatment. BMJ 2003;325:262-266. Available at: http://www.bmj.com
16. Nelwan RHH. Patofisiologi dan deteksi dini sepsis. Dalam: Pertemuan Ilmiah
Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2003. Jakarta: 2003; h. S15-18.
17. Hotckins RS, Karl I. The pathophysiology and treatment of sepsis. N Engl J Med
2003;348 (2): 138-150. Available at: http://www.nejm.com
18. Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, Gerlach H, Calandra T, Cohen J, et.al. Surviving
sepsis campaign guidelines for mangement of severe sespis and septic shock. Crit
Care Med 2004;32(3):858-72.
19. Aitkenhead A, Rotbotham D, Smith G. Textbook of Anaesthesia. 4 th ed. Churchil
Livingston. 2001.
20. Katzung, Bertam G. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC. 2000.
BAGIAN ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT
UNIVERSITAS PATTIMURA MARET 2015
SYOK
Oleh:
Heron R.F. Titarsole
(NIM : 2009-83-033)
Pembimbing: dr. Ony, Sp. An
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ANESTESI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. M. HAULUSSY
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON