referensi

42
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kanker Kolorektal Kanker kolorektal adalah kanker yang menyerang kolon sampai ke dubur. Sebagian besar kanker kolorektal berasal dari adenokarsinoma. Adenokarsinoma adalah neoplasma ganas epitelial dengan sel-sel penyusunnya identik struktur bahkan kadang-kadang fungsional, dengan sel-sel epitel kelenjar normal pasangannya apokrin, ekrin, endokrin, dan kelenjar parenkim. Anatomi Kolon Dan Rektum a. Kolon Kolon merupakan suatu saluran tertutup, panjang 1,5 m yang terdiri dari 6 bagian yaitu caecum, kolon ascenden, kolon transversum, kolon descenden, kolon sigmoid, dan rektum, dengan katup ileosekal pada ujung kranialnya, untuk mencegah refluks dan linea dentata dari anus pada ujung kaudal. Kolon trasversum selalu mempunyai mesentrium, kolon ascenden yang mempunyai mesentrium hanya terdapat pada 12

Upload: fildafadilah

Post on 13-Dec-2015

5 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

referensi

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Kanker Kolorektal

Kanker kolorektal adalah kanker yang menyerang kolon

sampai ke dubur. Sebagian besar kanker kolorektal berasal dari

adenokarsinoma. Adenokarsinoma adalah neoplasma ganas epitelial

dengan sel-sel penyusunnya identik struktur bahkan kadang-kadang

fungsional, dengan sel-sel epitel kelenjar normal pasangannya apokrin,

ekrin, endokrin, dan kelenjar parenkim.

Anatomi Kolon Dan Rektum

a. Kolon

Kolon merupakan suatu saluran tertutup, panjang 1,5 m yang

terdiri dari 6 bagian yaitu caecum, kolon ascenden, kolon

transversum, kolon descenden, kolon sigmoid, dan rektum, dengan

katup ileosekal pada ujung kranialnya, untuk mencegah refluks dan

linea dentata dari anus pada ujung kaudal. Kolon trasversum

selalu mempunyai mesentrium, kolon ascenden yang mempunyai

mesentrium hanya terdapat pada 12 % orang dan kolon desenden

pada 22 % orang. Kolon sigmoid juga mempunyai mesentrium dan

kadang-kadang panjangnya lebih dari biasa.

Lapisan otot longitudinal kolon membentuk 3 buah pita

yang disebut tenia yang lebih pendek dari kolon itu sendiri sehingga

kolon berlipat-lipat dan berbentuk seperti sakulus (kantung kecil) yang

disebut haustra (bejana). Batas antara kolon dan rektum tampak jelas

karena pada rektum ketiga tenia tidak tampak lagi. Batas ini

terletak di bawah promontorium, kira-kira 15 cm dari anus.

Caecum, kolon ascendens dan bagian kanan kolon

transversum didarahi oleh cabang arteri mesentrika superior yaitu

arteri ileokolika, arteri kolika dekstra dan arteri kolika media. Kolon

transversum bagian kiri, kolon desenden, kolon sigmoid dan

sebagian besar rektum didarahi oleh arteri mesenterika inferior

melalui arteri kolika sinistra, arteri sigmoid dan arteri hemoroidalis

superior.

Pembuluh vena kolon berjalan pararel dengan arterinya.

Aliran darah vena disalurkan melalui vena mesentrika superior

untuk kolon ascendens dan kolon transversum dan melalui vena

mesenterika inferior untuk kolon desendens, sigmoid dan rektum.

Keduanya bermuara ke dalam vena vorta tetapi vena mesenterika

inferior melalui vena lienalis. Aliran vena dari kanalis analis menuju

ke vena kafa inferior. Pada batas rektum dan anus terdapat

banyak kolateral arteri dan vena melalui peredaran hemoroidal

antara sistim pembuluh sal uran cerna dan sistim arteri dan vena iliaka.

Aliran limfe kolon sejalan dengan aliran darahnya. Hal ini

penting diketahui sehubungan dengan penyebaran keganasan

dan kepentingannya dalam reseksi keganasan kolon. Sumber aliran

limfe terdapat pada muskularis mukosa Jadi selama suatu keganasan

kolon belum mencapai lapisan muskularis mukosa kemungkinan

besar belum ada metastasis. Metastasis dari kolon sigmoid

ditemukan di kelenjar regional mesenterium dan retroperitoneal

pada arteri kolika sinistra, sedangkan dari anus ditemukan di kelenjar

regional di regio inguinalis. Kolon dipersarafi oleh serabut simpatis

yang berasal dari nervus splanknikus dan pleksus presakralis serta

serabut parasimpatis yang berasal dari nervus vagus. Karena

distribusi persarafan usus tengah dan usus belakang, nyeri alih pada

kedua bagian kolon kiri dan kanan berbeda. Lesi pada kolon bagian

kanan yang berasal dari usus tengah terasa mula-mula pada

epigastrium atau di atas pusat. Nyeri dari lesi pada kolon desendens

atau sigmoid yang berasal dari usus belakang terasa mula-mula di

hipogastrium atau di bawah pusat.

b. Rektum

Rektum, seluruhnya terbungkus dalam serat otot

longitudinal, kemudian dilanjutkan oleh kanalis analis, dimana

sfingter eksterna dari otot volunter memberikan selubung

tambahan. Otot levator ani membentuk sudut 60°-105° pada orang

normal dari sambungan rektoanal depan, sarafnya mensuplai sisi

atasnya dan oleh karena itu dapat rusak akibat peregangan otot

yang luas misalnya pada waktu persalinan.

Kolorektum dilapisi oleh epitel kolumnar sejauh linea

dentate pada pertengahan kanalis analis, kemudian dilanjutkan oleh

epitel skuamosa sensitive yang berlanjut dari perineum. Kelenjar

submukosa analis dapat meluas secara dalam ke sfingter dan jika

terinfeksi maka dapat mengakibatkan abses perianal dan fistula.

Fungsi Kolon Dan Rektum

Fungsi dari kolon ialah menyerap air, vitamin dan elektrolit,

eksresi mukus (lendir) serta menyimpan feses dan kemudian

mendorongnya ke luar. Absorpsi terhadap air dan elektrolit terutama

dilakukan di kolon sebelah kanan yaitu di caecum dan kolon ascenden

dan sebagian kecil dibagikan kolon lainnya.

Air, elektrolit dan beberapa metabolit dipindahkan oleh

membran mukosa melalui isi lumen dengan kontraksi dinding usus lokal

maupun total. Makin banyak gerakan makin besar absorpsi cairan,

pada banyak kasus tidak adanya feses berhubungan dengan

inaktivitas relatif dinding otot dan konstipasi oleh kontraksi yang

berlebihan.

Pleksus saraf intrinsik pada dasarnya bertanggung jawab

terhadap kontraksi kolorektal. Pleksus intrinsik di bawah pengaruh

hormon usus dan hormon lain misalnya, kolesitokinin, motilin,

peptida intestinal vasoaktif dan katekolamin yang konsentrasi

sirkulasinya bervariasi secara bermakna mempengaruhi aktivitas

kontraksi. Maka sesudah makan motilitas meningkat dengan jelas,

mungkin karena aktivitas kolesistokinin sementara itu pleksus saraf

ekstrinsik juga memberi era yang nyata. Tidur menurunkan aktivitas

kolon cukup besar yang segera meningkat pada waktu bangun. Stres

mental meningkatkan kontraktilitas. Makanan yang mengandung banyak

serat membantu mempertahankan air dan meningkatkan massa feses

sehingga membantu defekasi.

Rektum normalnya kosong dan ketika seseorang bangun

tidur dan makan pagi menimbulkan motilitas kolon kid, feses

memasuki rektum dan orang tersebut merasa ingin defekasi. Duduk di

WC membantu mengecilkan sudut anorektal dan feses memasuki

kanalis analis. Kanalis analis sedikit lebih pendek pada wanita

dibandingkan pada pria ( rata-rata 3-7 cm versus 4-6 cm ). Feses

dikeluarkan bila jalan keluar tidak menghentikannya secara volunter .

Feses yang terletak lebih jauh sejauh fleksura splenikus mungkin juga

keluar, volume rata-rata setiap had adalah 150 ml. Pengeluaran feses

dapat ditunda karena rektum dapat memberikan tekanan Secara pasif

sampai 400 ml, mempertahankan tekanan rektal yang rendah dan feses

bahkan dapat didorong kembali ke dalam kolon sigmoid.

Untuk menentukan kelainan dari kolon secara rutin harus

diperiksa feses. Feses yang normal biasanya berbentuk memanjang,

warna coklat muda, tak berlendir dan berdarah. Bila terlihat

mengandung darah, lendir atau bemanah sudah pasti ada kelainan di

rektum atau di kolon sendiri . Selain perlu memperhatikan warna, bentuk

(padat atau cair) perlu juga diperhatikan bau feses yang abnormal

(anyir, busuk , lemak busuk dll).

Insidensi

Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan keganansan ketiga

terbanyak di dunia dan penyebab kematian kedua terbanyak (terlepas dari

jenis kelamin) di Amerika serikat. Diperkirakan dalam tahun 2002 akan

ditemukan kasus baru sebanyak 148.300 dengan kematian 56.600. Antara

tahun 1973 – 1995 di Amerika serikat, kematian akibat KKR menurun 20,8%

dan insiden juga menurun 7,4%. Angka survival 5 tahun adalah 62,1%. Sekitar

6% penduduk Amerika diperkirakan bias berkembang KKR dalam hidupnya.

Resiko untuk mendapatkan KKR mulai meningkat setelah umur 40 tahun dan

meningkat tajam pada umur 50 sampai 55 tahun, resiko meningkat dua kali

lipat setiap decade berikutnya.

Di Indonesia dari berbagai laporan terdapat kenaikan jumlah kasus

tetapi belum ada angka yang pasti berapa insiden KKR. Sjamsuhidajad (1986)

dari evaluasi data-data di departemen kesehatan mendapatkan 1,8/100.000

penduduk. Tirtosugondo (1986) untuk kodya Semarang, melaporkan

peningkatan KKR dimana Age Standardized Rate (ASR) per 100.000 penduduk

untuk laki-laki tahun 1970-1974 : 2,5 dan tahun 1982 : 3,4 menduduki urutan

kelima diantara keganasan yang lain. Angka ini agaknya insiden minimal,

karena tidak jarang ada kasus yang tidak dilaporkan atau pasien tidak berobat

ke rumah sakit.

Perkembangan pengobatan adjuvan akhir-akhir ini berkembang

secara cepat dan sangat maju, akan tetapi hanya sedikit saja meningkatkan

survival pasien KKR dalam stadium lanjut. Atas dasar itu pencegahan primer,

dalam arti mencegah terjadinya KKR dan pencegahan sekunder, dalam arti

menemukan kasus dalam stadium dini harus dikembangkan dalam rangka

menekan morbiditas dan mortalitas pasien KKR.

Etiologi

Secara umum dinyatakan bahwa untuk perkembangan KKR

merupakan interaksi antara faktor lingkungan dan factor genetik. Factor

lingkungan multiple beraksi terhadap predisposisi genetik atau defek yang

didapat dan berkembang menjadi KKR.

Terdapat 3 kelompok KKR berdasarkan perkembangannya yaitu :

1. kelompok yang diturunkan (inherited) yang mencakup kurang dari

10% dari kasus KKR.

2. Kelompok sporadic, yang mencakup sekitar 70%.

3. Kelompok familial, yang mencakup 20%.

Kelompok diturunkan adalah mereka yang dilahirkan sudah dengan

mutasi sel-sel germinativum pada salah satu alel dan terjadi mutasi

somatic pada alel yang lain. Kelompok sporadik membutuhkan 2 mutasi

somatic, satu pada masing-masing alel. Kelompok familial tidak sesuai ke

dalam salah satu dari dominantly inherited syndrome dan lebih dari 35%

terjadi pada umur muda. Meskipun kelompok familial dari KKR dapat

terjadi karena kebetulan saja, ada kemungkinan peran dari factor

lingkungan, penetrasi mutasi yang lemah atau mutasi-mutasi

germinativum yang sedang berlangsung.

a. Lemak, protein, kalori, daging.

Masih terdapat kontroversi hasil penelitian epidemiologi,

eksperimental pada binatang dan penelitian klinik hubungan

antara diet tinggi lemak, protein, kalori dan daging dengan

peningkatan insiden KKR. Disatu kelompok menunjukkan bahwa

factor tersebut berperan secara bermakna, sementara kelompok

lain tidak menunjukkan peran yang bermakna. Akan tetapi yang

jelas factor-faktor tersebut diatas tidak ada yang berefek protektif.

b. Alkohol

Hubungan KKR dengan konsumsi alcohol tidak jelas.

Meskipun kebanyakan hasil penelitian menunjukkan hubungan

yang positif antara konsumsi alcohol dengan kejadian KKR, namun

proporsi cukup besar penelitian tidak menunjukkan hubungan.

c. Kalsium

Cukup banyak penelitian epidemiologi menunjukkan

hubungan yang negative antara jumlah asupan kalsium dengan

resiko kejadian KKR. Uji acak terkontrol menunjukkan bahwa

pemberian kalsium menekan kekambuhan adenoma secara

bermakna.

d. Vitamin

Penelitian kohort prospektif pada lebih dari 35 wanita,

menunjukkan bahwa terdapat hubungan terbalik antara resiko

karsinoma kolon dengan suplementasi vitamin E. Penelitian kasus

control menunjukkan juga hubungan terbalik antara suplementasi

vitamin D dengan kejadian karsinoma kolon. Demikian juga

suplementasi asam folat 400mg/hari juga berperan dalam

menurunkan kejadian KKR.

e. Konsumsi buah dan sayur

Dua puluh dua penelitian kasus, mencakup 6000 kasus

secara konsisten mendukung bahwa terdapat hubungan terbalik

antara jumlah konsumsi sayur dengan jumlah kejadian KKR. Enam

kohort mencakup lebih dari 2600 kasus, terutama publikasi

terakhir kurang mendukung hubungan konsumsi sayuran dengan

kejadian KKR.

f. Kelebihan berat badan

Lebih dari 20 penelitian, mencakup lebih dari 3000 kasus

secara konsisten mendukung bahwa terdapat hubungan yang

positif antara obesitas dan kejadian KKR. Satu meta-analisis dari

penelitian kohort dan kasus kelola menunjukkan kenaikan resiko

15% karsinoma kolon pada orang yang over weight dibandingkan

berat badan normal dan resiko meningkat menjadi 33% pada

obesitas disbanding berat badan normal.

g. Aktifitas Fisik

Sekitar 50 studi kasus kelola atau kohort, mencakup

13.000 kasus menunjukkan hasil yang konsisten bahwa aktifitas

fisik menekan resiko kejadian kersinoma kolon. Hubungan ini kuat

pada laki-laki dan karsinoma kolon, tetapi pengaruhnya hanya

sedikit pada karsinoma rektum.

h. N-Said

NSAIDs akan menghambat produksi prostaglandin,

melalui hambatan pada COX. COX akan merangsang angiogenesis

pada KKR. Beberapa penelitian kohort dan kasus-kasus control

dengan desain baik menunjukkan bahwa golongan NSAID yaitu

piroxikam dan aspirin dapat mencegah terbentuknya adenoma

atau menyebabkan regresi polip adenoma pada FAP.

i. Merokok

Meskipun penelitian awal tidak menunjukkan hubungan

merokok dengan kejadian KKR, tetapi penelitian terbaru perokok

jangka lama mempunyai resiko relative berkisar 1,5-3 kali.

Diestimasikan bahwa satu dari lima KKR di Amerika bias

diatributkan pada merokok. Penelitian kohort dan kasus control

dengan desain yang baik menunjukkan bahwa merokok

berhubungan dengan kenaikan resiko terbentuknya adenoma dan

juga kenaikan resiko perubahan adenoma menjadi KKR.

Faktor-Faktor Resiko

a. Poliposis Familial

Poliposis Familial ini dilaporkan pertama kali oleh Lockhart

Mummeny pada tahun 1925. Penyakit ini penting mengingat gejala-

gejala yang diberikan adalah berat dan biasanya mengalami

degenerasi maligna. Menurut catatan dari Morgan (1955) kurang

lebih 70 % dari poliposis akan mengalami degenerasi maligna. Bila

telah berubah menjadi maligna maka tumor tumbuh menjadi besar

dan berwarna lebih gelap dan mungkin mengalami ulserasi.

Bentuk polip ini biasanya mirip dengan polip adenomatosum

bertangkai atau berupa polip sesil, akan tetapi multipel tersebar pada

mukosa kolon. Dalam jangka waktu 10-20 tahun dapat mengalami

degenerasi menjadi kanker kolon. Adanya kanker kolon pada umur

muda kemungkinan berasal dari pertumbuhan poliposis. Sebagian

dari poliposis ini asimtomatik dan sebagian disertai keluhan sakit

di abdomen, diare, sekresi lendir yang meningkat dan perdarahan kecil

yang menganggu penderita.

b. Polip Adenomatosum

Biasanya berukuran kecil, kurang dari 1 cm terdiri dari 3

bagian yaitu puncak, badan dan tangkai. Masing-masing bagian

dibentuk dari sedikit kelenjar sel goblet dilapisi epitel selinder dan

jaringan ikat stroma. Pada kondisi polip demikian jarang ditemukan

kanker. Akan tetapi semakin bertambah ukuran polip, risiko

perubahan sel epitel mulai dari derajat atipik sampai anaplasia

semakin tinggi. Pada polip dengan ukuran 1,2 cm atau lebih dapat

dicurigai adanya kanker. Semakin besar diameter polip semakin besar

kecurigaan keganasan. Perubahan dimulai di bagian puncak polip,

baik pada epitel pelapis mukosa maupun pada epitel kelenjar, meluas

ke bagian badan dan basis tangkai polip.

c. Adenoma Vilosum

Terbanyak dijumpai di daerah rektosigmoid dan biasanya

berupa massa papiler, soliter, tidak bertangkai dan diameter

puncak tidak jauh berbeda dengan ukuran basis polip. Pada

kelainan ini risiko terhadap terjadinya kanker lebih sering dibanding

dengan polip adenomatosum. Pada lebih kurang 30 % adenoma

vilosum ditemukan area kanker. Adenoma dengan diameter lebih

dad 2 cm, risiko menjadi kanker adalah 45 %. Semakin besar

diameter semakin tinggi pula insiden kanker. Seperti juga pada

polip adenomatosum perubahan dimulai di daerah permukaan,

meluas pada daerah basis dan invasi pada submukosa kolon

ataupun rektum. Biasanya adenoma vilosum memproduksi lendir

yang mengandung banyak elektrolit terutama kalium,

mengakibatkan kemungkinan terjadi hipokalemi. Neoplasma ini

ditemukan biasanya karena banyak mengeluarkan lendir dengan atau

tanpa darah.

d. Kolitis Ulserosa

Kolitis ulserativa sering juga menyebabkan terjadinya

kanker kolon dan paling banyak terdapat di segmen proksimal dari

kolon. Dimulai dengan mikroabses pada kripta mukosa kolon dan

beberapa abses bersatu membentuk ulkus. Pada stadium lanjut

timbul pseudopolip yaitu penonjolan mukosa kolon yang ada diantara

ulkus. Perjalanan penyakit yang sudah lama, berulang-ulang dan

lesi luas disertai adanya pseudopolip merupakan risiko tinggi terhadap

kanker.

e. Kebiasaan Makan Tinggi Lemak dan Rendah Serat

Ada variasi yang bermakna di dunia dalam insiden

kanker kolorektal. Tampak terutama timbul di negara yang sudah

berkembang, sejauh ini terdapat angka yang tinggi di Inggris, Amerika

Serikat, Australia dan Eropa Barat, tetapi di Afrika dan Asia

insidensnya rendah.

Variasi geografi telah banyak digambarkan berdasarkan

perbedaan makanan. Awalnya diet berserat rendah diduga

sebagai faktor penyebab dan kemudian kelebihan lemak hewani

atau protein. Tetapi bukti epidemiologi masih kontradiksi.

Masalahnya adalah karena banyaknya perbedaan makanan antara

kelompok etnik yang berbeda sehingga sulit diketahui komponen-

komponen mana yang dianggap bertanggung jawab. Paradoks ini

digambarkan orang Eskimo yang makanannya berserat rendah,

berlemak tinggi dan mempunyai insiden kanker kolorektal yang

sangat rendah. Tetapi bagaimanapun juga faktor makanan

tampaknya memegang peranan, karena jika orang Afrika makan

makanan Barat yang berlemak tinggi dan rendah serat maka insiden

kanker kolorektal terlihat meningkat secara progresif 16.

Makanan rendah serat menyebabkan kurangnya massa

feses sehingga menyebabkan transit time (Iamanya makanan di usus

sampai dikeluarkan) lama dan terjadi perubahan bakteri usus. Bakteri

tertentu diketahui dapat memecahkan garam empedu untuk

membentuk karsinogen. Makanan dengan tinggi lemak menyebabkan

sistesis kolesterol dan asam bilirubin oleh hati dan kemudian menjadi

karsinogen oleh bakteri usus.

Dalam salah satu laporan study group pada tahun 1990

WHO menjelaskan hubungan antara komponen diet dengan angka

kejadian kanker kolorektal sbb : Sementara dari Jakarta data yang ada

menunjukkan terbanyak antara umur 30 sampai 70 tahun dan di

Yogyakarta frekuensi tertinggi pada umur 41-60 tahun dengan umur

terendah 18 tahun dan umur tertinggi 91 tahun.

Gambaran Klinis

Tidak ada gambaran yang khas dari kanker kolorektal.

Gejala-gejalanya bermacam-macam berlainan pada penderita yang

satu dengan yang lainnya bergantung kepada lokalisasinya.

a. Kanker di caecum.

Biasanya tanpa keluhan untuk waktu yang lama. Mungkin

ada keluhan rasa tak enak di perut kanan bawah untuk waktu yang

lama. Tiba-tiba penderita jatuh dalam keadaan anemia, berat badan

menurun dan ada massa di perut kanan bawah.

b. Kanker di kolon ascendens.

Biasanya mempunyai keluhan, misalnya mengeluh karena

rasa nyeri. Mula-mula timbul sindroma dispepsi (gangguan

pencemaan), rasa tak enak pada perut kanan atas timbul, yang

kemudian disertai rasa penuh di perut, anoreksia, nausea.

Kadang-kadang badan menjadi lemas. Tumor makin nyata. Berat badan

mulai menurun dan makin anemis yang mungkin karena adanya

perdarahan. Darah biasanya bercampur dengan isi kolon.

c. Kanker di kolon transversum.

Jarang memberi keluhan, demikian pula fungsi kolon tak

terganggu, walaupun adanya melena yang periodik. Kalau ada

keluhan biasanya telah mengalami metastase, misalnya metastase ke

paru-paru dan hepar.

d. Kanker kolon desendens.

Keluhan nyeri di perut sering mendahului dan sering

diajukan. Selain dari itu ada perubahan kebiasaan defekasi,

dengan konstipasi atau diare atau keduanya. Biasanya feses

disertai darah. Obstruksi komplet agak sering terjadi atau adanya

penyempitan.

e. Kanker di kolon sigmoid.

Gejala-gejala yang sering yaitu timbulnya perubahan

kebiasaan defekasi, dengan konstipasi atau diare atau keduanya,

dimana bentuk feses berlendir dan berdarah. Rasa nyeri timbul,

sering dengan kolik (mulas mendadak) terutama di abdomen kiri

bawah. Sering terjadi obstruksi (penyumbatan).

f. Kanker rektum

Sering terjadi ganguan defekasi, misalnya konstipasi atau

diare. Sering terjadi perdarahan yang segar dan sering bercampur

dengan lendir. Berat badan menurun. Perlu diketahui bahwa rasa

nyeri tidak biasa pada kanker rektum. Kadang-kadang timbul

tenesmi (keinginan defekasi disertai rasa sakit) dan bahkan sering

merupakan gejala utama.

Diagnosis

a. Anamnesis

Sebagian besar penderita datang dengan keluhan habit

bowel (perubahan kebiasaan defekasi) yaitu diare atau obstipasi,

sakit perut tak menentu, sering mau defekasi namun feses sedikit.

Perdarahan campur lender. Kadang-kadang simptom mirip dengan

sindroma disentri. Penyakit yang diduga disentri, setelah

mendapat pengobatan tidak ada perubahan perlu

dipertimbangkan kemungkinan kanker kolorektal terutama

penderita umur dewasa dan umur lanjut. Anoreksia, berat badan

semakin menurun merupakan salah satu simptom kanker kolorektal

tingkat lanjut.

b. Pemeriksaan Fisik

Perlu diperhatikan hal-hal seperti gizi, anemia, tonjolan di

abdomen, nyeri tekan, kelenjar limfe yang membesar, pembesaran

hati. Palpasi (pemeriksaan dengan cara meraba) rektum atau vagina

dilakukan pada pasien dengan pendarahan atau pun simptom

lainnya. Pada tingkat pertumbuhan lanjut, palpasi dinding

abdomen kadang-kadang teraba massa di daerah kolon kanan

dan kiri. Palpasi rektum merupakan sarana diagnostik

sederhana namun mempunyai nilai tinggi dalam diagnosis kanker

di rektum dimana kira-kira 50 % kanker kolorektal ditemukan

dengan ujung jari.

c. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hb, darah, elektrolit dan feses merupakan

pemeriksan rutin.

Anemia dan hipokalemi kemungkinan ditemukan karena

perdarahan kecil. Perdarahan tersembunyi dapat dilihat ciari

pemeriksaan feses. CEA (Carcinoma Embrionic Antigen) merupakan

pertanda (marker) serum terhadap adanya kanker kolorektal.

Pemeriksaan CEA sangat bermanfaat, selain untuk diagnosis juga untuk

memantau hasil pengobatan dan mendeteksi kemungkinan recurrent

(panyakit kambuh).

d. Pemeriksaan Radiologi

Pada pemeriksaan fluoroskopi kontras barium enema usus besar

dapat dilihat peristaltik yang kaku dan dinding tak teratur. Kelainan

tampak seperti massa polipoid, akan tetapi sulit menentukan lesi

jinak atau maligna.

Metastasis

Pada umumnya invasi kanker dapat dikenal di bawah

mikroskop pada kanker berdiameter 2,5 atau lebih. Kanker menyebar

melalui pembuluh getah bening dan pembuluh darah . Pembengkakan

kelenjar getah bening di daerah mesentrium sering terjadi pada waktu

pertama kali kanker ditemukan, kemudian meluas ke aorta dan teraba

pada supraklavikuler. Penyebaran ke hati biasanya terjadi melalui sistim

vena porta pada waktu kanker ditemukan pertama kali kira-kira 40 %

ditemukan invasi ke dalam vena dan kira-kira 10-20 % deposit ke hati.

Metastasis ke organ jauh seperti ke paru, ginjal dan tulang dapat terjadi

pada stadium lanjut.

a. Lokalisasi

Kanker dapat tumbuh pada tiap bagian dari kolon,

mungkin akan tumbuh lebih dari satu tempat. Sekitar 70-75 %

kanker kolorektal terletak pada rektum dan sigmoid . Keadaan ini

sesuai dengan lokasi polip kolitis ulserosa 17

Letak Persentase

Caecum dan kolon ascendens 10

Kolon transversum termasuk fleksura hepar dan lien 10

Kolon desendens 5

Rektosigmoid 75

Menurut laporan Muir (1947) yang mengumpulkan 714 kasus

kanker kolorektal ternyata bahwa 15 % terdapat di kolon ascendens,

10 % di kolon desendens, 16 % di sigmoid dan 58 % terdapat di

rektum. Dan Bockus memberikan catatan

bahwa 4 ,7 % di rektum, 20,4 % di sigmoid, 11,45 % di

kolon desendens, 5,5 % di lfeksura ienalis, 5,6 % di kolon

transversum, 2,4 % di fleksura hepatis, 5,7 % di kolon ascendens

dan 8,3 di caecum. Jadi frekuensi terbanyak di rektum kemudian

menyusul di daerah kolon sigmoid kemudian pada daerah kolon lain

dengan urutan caecum dan kolon ascendens, kolon transversum,

kolon desendens, fleksura hepatika, feksura lienalis.

Jenis Histologik karsinoma kolorektal

a. Adenokarsinoma

- Adenokarsinoma musinosum, jika komponen mesonisum >

50%

- Signet ring cell carcinoma, merupakan varian dari

adenokarsinoma musinosum, bila ditemukan musin

intrasitoplasmik > 50%.

- Karsinoma adenoskwamosa, mengandung komponen

karsinoma, baik terpisah atau campuran

- Karsinoma meduler, sel-sel tumor tersusun berupa lembaran,

inti vesikuler, anak inti nyata, sitoplasma eosinofilik dan

ditemukan banyak infiltrasi limfosit disekitar massa tumor.

- Karsinoma tidak berdifferensiasi, meengandung sedikit sel

yang berdifferensiasi epithelial.

b. Carcinoid

Tumor neuroendocrin berdifferensiasi baik.

Terdapat pula tumor carcinoid berdifferensiasi sedang dan tumor

neuroendokrin berdifferensiasi buruk adalah small cell carcinoma

pada usus.

c. Mixed dan composite carcinoid-adenocarcinoma

Mixed carcinoma-carcinoid, komponen adenokarsinoma dari

karsinoid bergabung, pada komposit carcinoma-carcinoid kedua

komponen terpisah dan berbatas tegas.

Derajat keganasan

Pembagian derajat keganasan tumor berdasarkan criteria yang

dianjurkan WHO.

Grade I : Tumor berdifferensiasi baik, mengandung

struktur glandular >95%.

Grade II : Tumor berdifferensiasi sedang, mengandung

komponen glandular 50-95%.

Grade III : Tumor berdifferensiasi buruk, mengandung

komponen glandular 5-50%,adenokarsinoma

musinosum dan signet ring cell karsinoma

termasuk dalam grade III

Grade IV : Tumor tidak berdifferensiasi, kandungan

komponen glandular <5%, adenokarsinoma

medular termasuk dalam grade IV.

Stadium histopatologik

a. Sistem Dukes Modifikasi Astler Coller

Stadium A : Tumor terbatas pada lapisan mukosa

Stadium B1 : Tumor menginvasi sampai lapisan muskularis propria.

Stadium B2 : Tumor menginvasi menembus lapisan muskularis

propria

Stadium C1 : Tumor B1 dan diteemukan anak sebar pada kelenjar

getah bening.

Stadium C2 : Tumor B2 dan ditemukan anak sebar ke kelenjar

getah bening.

Stadium D : Tumor bermetastase jauh.

b. Stadium berdasarkan TNM

pT-Tumor primer

pTx : Tumor primer tidak dapat dinilai.

pT0 : Tumor primer tidak ditemukan

pTis : Karsinoma insitu, intraephitelial atau ditemukan sebatas

lapisan mukosa saja.

pT1 : Tumor menginvasi submukosa

pT2 : Tumor menginvasi lapisan muskularis propria.

pT3 : Tumor menembus muskularis propria hingga lapisan

serosa atau jaringan perikolika/ perirektal belum

mencapai peritoneum.

pT4 : Tumor menginvasi organ atau struktur disekitarnya atau

menginvasi sampai ke peritoneum visceral.

pN- Kelenjar getah bening regional

pNx : kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai.

pN0 : Tidak ditemukan metastasis pada kelenjar getah bening

regional.

pN1 : Ditemukan anak sebar pada 1-3 kelenjar getah bening

regional.

pN2 : Ditemukan anak sebar pada 4 atau lebih kelenjar getah

bening.

pM- Metastase jauh

pMx : Metastase jauh tidak ditemukan

pM0 : Tidak ditemukan metastase jauh.

pM1 : Ditemukan metastase jauh.

c. Pembagian stadium klinik

Stadium 0 : Tis N0 M0

Stadium IA : T1 N0 M0

IB : T2 N0 M0

Stadium IIA : T3 N0 M0

IIB : T4 N0 M0

Stadium IIIA : Semua T N1 M0

IIIB : Semua T N2 M0

Stadium IV : Semua T Semua N M1

Persyaratan minimal untuk menentukan akurasi stadium II harus

menemukan minimal 12 kelenjar getah bening (rekomendasi AJCC

dan college of American Pathologist).

Tindakan Pencegahan dan Pengobatan

1. Pencegahan

Penelitian di Amerika Serikat, Jerman, Inggris telah

menekankan bahwa penyaringan dari kelompok besar dapat

membantu pencegahan atau diagnosis dini kanker kolorektal.

Metode yang digunakan adalah mencari darah dalam feses dan

meneliti subjek hasil tes yang positip. Ada beberapa tes

sederhana, biasanya berdasarkan pada strip impregnasi guayak

dimana terjadi perubahan wawa bila ada darah (haemoccult

faecotest). Tetapi masalahnya adalah jika tes sangat sensitif maka

memberikan hasil positip palsu dalam jumlah besar, sedangkan jika

tes mempunyai

sensitivitas yang rendah maka akan didapatkan hasil negatif

palsu. Di samping itu pencegahan dan segi makanan juga perlu.

Makan makanan yang berserat tinggi seperti agar-agar berperan

dalam upaya pencegahan terjadinya kanker kolon. Kandungan

seratnya mencapai 81,29 % mempunyai daya serap yang tinggi

terhadap zat cair dan asam empedu hingga kadar asam empedu

menjadi rendah. Dengan demikian timbulnya kanker kolon dapat

dicegah. Menurut penyelidikan Hill asam empedu memang dapat

bekerja sebagai co-karsinogen dan asupan yang cukup mengandung

scrat dapat menurunkan konsentrasi asam empedu dalam leses

Sedang dalam penyelidikan yang berbeda, Stalder menemukan

suatu hubungan yang jelas antara konsentrasi asam empedu di

dalam feses dengan terjadinya kanker kolon. Pakar lain bernama

Doll dan Peto menuturkan kematian kanker di Amerika dapat

dikurangi sebanyak 35 % dengan mengubah dietnya .Burkitt dkk (1972

dan 1974) juga mengungkapkan peranan fiber (serat) sebagai

modulator terjadinya kanker selain komsumsi lemak dan menurut

Reddy ( 1981) asam empedu dan derivatnya merupakan promoter

terjadinya proses karsinogen.

Dari basil percobaan Burkit tersebut didapatkan bahwa

bulk fiber dapat menghambat proses karsinogenesis bahkan sangat

efektif dalam menetralisir asam empedu dan derivatnya dalam

kolon. Hal ini dapat dijelaskan dengan keadaan dimana penduduk

Finlandia dan New York mengkomsumsi lemak yang hampir sama

tetapi berbeda dalam komsumsi fibernya, insidens terjadinya

kanker kolon akan berbeda. Orang Finlandia menderita kanker

kolon lebih kecil daripada orang New York.

Mengkomsumsi susu juga ternyata mampu mencegah

kanker kolon. Hal ini ditegaskan Garland dari universitas California

yang meneliti 2000 laki-laki yang minum susu teratur dalam dietnya

selama 20 tahtm. Hasilnya kondisi kolon laki-laki yang minum susu

lebih baik dibanding dengan kelompok yang tidak mengkomsumsi

susu. Juga telah dilakukan penelitian pembanding dengan

kelompok yang tidak mengkomsumsi susu tetapi makan hasil

olahannya seperti keju, mentega maka hasinya kelompok yang

tidak minum susu tapi mengkomstunsi hasil olahannya memiliki

sepertiga kemungkinan terkena kanker kolon. Menurut laporan Carper

pada the f000d pharmacy tahun 1967 pernah dilakukan penelitian

pada orang Australia. Dart penelitian itu diperoleh kenyataan baik

laki-laki maupun perempuan yang mengkomsumsi susu sangat

sedikit cenderung terkena kanker kolorektal. Sementara itu pusat

penelitian kanker di New York menemukan faktor bahwa kalsium

bisa menghambat sel kanker pada kolon.

2. Terapi

2.1 Pembedahan

Pembedahan tetap merupakan pilihan utama pada

penatalaksanaan kanker kolorektal yang lokalized.

a. Persiapan Preoperatif

Dua yang harus diperhatikan sebelum melakukan

pembedahan pada penderita KKR yaitu terjadinya thrombosis

vena dan infeksi luka. Berdasarkan hal tersebut

direkomendasikan melakukan tindakan profilaksis berupa

pencegahan tromboemboli vena dan antibiotika profilaksis.

Persiapan kolon secara mekanis juga dilakukan,

walaupun kurang didukung oleh penelitian yang baik. Semua

pasien yang akan atau perlu dibuatkan stoma, baik permanen

maupun sementara, harus diperiksa secara pra-bedah oleh

stoma therapist.

b. Tekhnik pembedahan kanker kolorektal.

- Kanker kolon

Berbeda dengan pembedahan kanker rektum hanya sedikit

bukti yang berhubungan pada pembedahan kanker kolon

yang radikal. Dua penelitian yang ada ternyata tidak dapat

membuktikan efek menguntungkan dari tekhnik no touch

atau hemikolektomi kiri yang formal, dan tidak ada bukti

bahwa reseksi yang radikal memiliki efek pada outcome pada

penatalaksanaan kanker kolon.

- Kanker rektum

Saat ini banyak bukti dari penelitian studi kohort skala besar

bahwa penggunaan tehnik total mesorectal excision (TME)

dalam penatalaksanaan kanker rektum dapat mengurangi

rekurensi lokal memperbaiki angka survival. Hal ini

dikarenakan oleh circumferential clearance tumor yang

dilakukan dengan baik. TME pada rectum atas dilakukan

sesuai prosedur TME yaitui diseksi sampai 5 cm dibawah

tumor. Sedang pada rectum bagian tengah dan bawah

masalahnya adalah anastomisis rendah mengakibatkan

fungsi rectum yang kurang baikdibandingkan dengan

anastomisis yang lebih tinggi. Satu hal juga yang paling

penting yaitu untuk preservasi syaraf otonom daerah pelvis

agar meminimalisasi terjadinya disfungsi seksual dan

kandung kemih.

- Anastomisis

Kebocoran anastomisis adalah komplikasi yang sering

terjadi dan dapat berakibat fatal pada pembedahan kanker

kolorektal, sehingga harus dilakukan langkah-langkah untuk

meminimalisasi hal ini,. Tidak ada bukti bagus yang

mendukung sebuah tehnik secara spesifik, tetapi hasil

meta-analisis baru-baru ini mengindikasikan bahwa satu-

satunya perbedaan antara jahitan tangan denga stapling

adalah sedikit peningkatan risiko terjadinya striktur dengan

menggunakan stapling.

Faktor resiko untuk dehisensi anastomisis sudah diketahui

dengan baik, seperti jenis kelamin laki-laki, peningkatan

umur, dan obesitas. Namun pada reseksi anterior

kebocoran meningkat dengan anastomisis rendah (kurang

dari 5cm dari linea dentate). Untuk hal ini telah dibuktikan

penggunaan defunction stoma berfungsi mengurangi resiko

kebocoran pada anastomisis kolorektal rendah. Kerugian

anastomisis rendah lainnya adalah fungsi yang jelek, dan ini

dapat diatasi dengan pembuatan colopouch.

- Eksisi lokal di kanker Kolorektal

Beberapa kanker rectum lokal dapat disembuhkan dengan

eksisi lokal, terdapat bukti dari uji acak terkontrol yang

menyatakan bahwa prosedur ini mempunyai morbiditas

yang rendah dibandingkan dengan operasi yang radikal.

Ada juga bukti yang menyatakan bahwa eksisi lokal

berhubungan dengan rekurensi lokal yang lebih tinggi

daripada operasi radikal, hal ini mungkin disebabkan residu

tumor dikelenjar getah bening.

Adjuvan radioterapi dan kemoterapi dikatakan dapat angka

rekurensi lokal dari KKR, tetapi regimen yang dapat

diandalkan dan diterima secara luas masih belum

dikembangkan. TumorT1 (yang memiliki penyebaran lokal

yang kecil) sering dilihat cocok untuk eksisi local, tetapi

haruis ditekankan bahwa keterlibatan ekstensif submukosa

berhubungan dengan keterlibatan kelenjar getah bening

hingga 17%. Berbeda bila kita dapatkan minimal submukosa

(tumorT1 sm1) biasanya sering mempunyai resiko minimal

dari keterlibatan kelenjar getah bening. Kanker kolon dan

kadang-kadang rectum b isa dieksisi oleh polipektomi pada

saat kolonoskopi dan umumnya tidak memerlukan

pembedahan lebih lanjut bila kita dapatkan tepi sayatan

atau dasar sayatan tidak bebas tumor.

- Pembedahan Laparoskopi pada Kanker Kolorektal

Bukti Dario beberapa uji acak terkontrol dan uji kohort

mengatakan bahwa pembedahan laparoskopi untuk kanker

kolorektal memungkinkan untuk dilakukan dan

kelebuhannya dibandingkan dengan konvensional adalah

berkurangnya nyeri pasca-operasi, penggunaan analgetika,

perawatan di rumah sakit dan perdarahan.

- Penatalaksanaan Obstruksi usus karena KKR

Jika ada kecurigaan obstruksi mekanis usus besar, maka

harus dibuktikan dengan enema barium yang larut dalam

air untuk membedakan dengan pseudo-obstruction.

Obstruksi mekanis kolon harus bias dibedakan dari colonic

pseudo obstruction sebelum pembedahan.

Sudah ada bukti-bukti bahwa penderita yang

memungkinkan dan pengalaman pembedahan yang cukup,

reseksi tumor dan anastomisis langsung dapat dikerjakan

reseksi segmental memberikan hasil yang lebih baik dalam

hal fungdi disbanding dengan kolektomi subtotal. Bila ada

fasilitas Colonic stenting dapat dikerjakan sebagai tindakan

paliatif pada penderita dengan tumor yang tidak resektabel

dengan obstruksi.

- Pembedahan untuk Penyakit KKR lanjut

Pada penyakit KKR lanjut dengan metastasis hati daan atau

paru reseksi merupakan pilihan yang terbaik. In situ

ablation untuk metastases hati yang tidak bias direseksi

juga memungkinkan, tetapi keuntungannya belum jelas.

Bagi pasien yang memiliki tumor primer local lanjut atau

rekuren, harus diingat untuk sembuh, tetapi harus diingat

bahwa kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh hal tersebut.

Untuk penyakit yang sudah jelas tidak dapat dioperasi,

intervensi seperti stenting atau laser ablation dapat

dijadikan pilihan terapi yang paliatif yang berguna.

- Bedah emergensi

- Hasil pembedahan (outcomes)

Spesialisasi dan beban kerja pada Pembedahan Kanker

Kolorektal

Bukti dari studi kohort dan kohort historical

memperlihatkan bahwa morbiditas dan survival

dipengaruhi oleh spesialisasi dokter bedah dan rumah sakit,

tetapi bukti yang ada tidak cukup untuk merekomendasikan

volume tahunan secara spesifik. Bukti dari Amerika dimana

terdapat akreditas kolorektal spesifik, mengidikasikan hasil

yang lebih baik dari spesialis, dan bukti dari Eropa secara

meyakinkan membuktikan hasil yang jauh lebih baik setelah

pelatihan spesialis dalam pembedahan kanker rectum.

3. Terapi adjuvant

- Radiasi

Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan

x-ray berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua

cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan eksternal radiasi dan

internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung pada

tipe dan stadium dari kanker.

Eksternal radiasi (external beam therapy) merupakan penanganan

dimana radiasi tingkat tinggi secara tepat diarahkan pada sel

kanker.Sejak radiasi digunakan untuk membunuh sel kanker, maka

dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan yang sehat

disekitarnya.Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi

hanya berlangsung beberapa menit.

Internal radiasi (brachytherapy, implant radiation) menggunakan

radiasi yang diberikan ke dalam tubuh sedekat mungkin pada sel

kanker. Substansi yang menghasilkan radiasi disebut radioisotop,

bisa dimasukkan dengan cara oral, parenteral atau implant langsung

pada tumor. Internal radiasi memberikan tingkat radiasi yang lebih

tinggi dengan waktu yang relatif singkat bila dibandingkan dengan

eksternal radiasi, dan beberapa penanganan internal radiasi secara

sementara menetap didalam tubuh.31,32

- Kemoterapi

Kanker kolon telah banyak resisten pada hampir sebagian besar agen

kemoterapi.Bagaimanapun juga kemoterapi yang diikuti dengan

ekstirpasi dari tumor secara teoritis seharusnya dapat menambah

efektifitas dari agen kemoterapi.Kemoterapi sangat efektif digunakan

ketika kehadiran tumor sangat sedikit dan fraksi dari sel maligna

yang berada pada fase pertumbuhan banyak. Obat kemoterapi bisa

dipakai sebagai single agen atau dengan kombinasi, contoh : 5-

fluorouracil (5FU), 5FU + levamisole, 5FU + leucovorin. Pemakaian

secara kombinasi dari obat kemoterapi tersebut berhubungan

dengan peningkatan survival ketika diberikan post operatif kepada

pasien tanpa penyakit penyerta. Terapi 5FU + levamisole

menurunkan rekurensi dari kanker hingga 39%, menurunkan

kematian akibat kanker hingga 32%.19

a. Adjuvant Kemoterapi untuk Kanker Kolorektal Stadium II

Pemakaian adjuvant kemoterapi untuk penderita kanker kolorektal

stadium II masih kontroversial.Peneliti dari National Surgical

Adjuvant Breast Project (NSABP) menyarankan penggunaan adjuvant

terapi karena dapat menghasilkan keuntungan yang meskipun kecil

pada pasien stadium II kanker kolorektal pada beberapa

penelitiannya. Sebaliknya sebuah meta-analysis yang mengikutkan

sekitar 1000 pasien menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna

pada 5-years survival rate sebesar 2%, antara yang diberi perlakuan

dan yang tidak untuk semua pasien stage II.2

b. Adjuvant Kemoterapi untuk Kanker Kolorektal Stadium III

Penggunaan 5-FU + levamisole atau 5-FU + leucovorin telah

menurunkan insiden rekurensi sebesar 41% pada sejumlah

prospektif randomized trial. Terapi selama satu tahun dengan

menggunakan 5-FU + levamisole meningkatkan 5-year survival rate

dari 50% menjadi 62% dan menurunkan kematian sebesar 33%. Pada

kebanyakan penelitian telah menunjukkan bahwa 6 bulan terapi

dengan menggunakan 5-FU + leucovorin telah terbukti efektif dan

sebagai konsekuensinya, standar regimen terapi untuk stage III

kanker kolorektal adalah 5-FU + leucovorin.2

c. Adjuvant Kemoterapi Kanker Kolorektal Stadium Lanjut

Sekitar delapan puluh lima persen pasien yang terdiagnosa kanker

kolorektal dapat dilakukan pembedahan. Pasien dengan kanker yang

tidak dapat dilakukan penanganan kuratif, dapat dilakukan

penanganan pembedahan palliatif untuk mencegah obstruksi,

perforasi, dan perdarahan.Bagaimanapun juga pembedahan dapat

tidak dilakukan jika tidak menunjukkan gejala adanya metastase.

Penggunaan stent kolon dan ablasi laser dari tumor intraluminal

cukup memadai untuk kebutuhan pembedahan walaupun pada

kasus asymptomatik.2

Radiasi terapi dapat digunakan sebagai tindakan primer sebagai

modalitas penanganan untuk tumor yang kecil dan bersifat mobile

atau dengan kombinasi bersama sama kemoterapi setelah reseksi

dari tumor. Radiasi terapi pada dosis palliatif meredakan nyeri,

obstruksi, perdarahan dan tenesmus pada 80% kasus.Penggunaan

hepatic arterial infusion dengan 5-FU terlihat meningkatkan tingkat

respon, tetapi penggunaan ini dapat mengakibatkan berbagai

masalah termasuk berpindahnya kateter, sklerosis biliaris dan gastrik

ulserasi. Regimen standar yang sering digunakan adalah kombinasi 5-

FU dengan leucovorin, capecitabine (oral 5-FU prodrug), floxuridine

(FUDR), irinotecan (cpt-11) dan oxaliplatin.2