referensi
DESCRIPTION
referensiTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Kanker Kolorektal
Kanker kolorektal adalah kanker yang menyerang kolon
sampai ke dubur. Sebagian besar kanker kolorektal berasal dari
adenokarsinoma. Adenokarsinoma adalah neoplasma ganas epitelial
dengan sel-sel penyusunnya identik struktur bahkan kadang-kadang
fungsional, dengan sel-sel epitel kelenjar normal pasangannya apokrin,
ekrin, endokrin, dan kelenjar parenkim.
Anatomi Kolon Dan Rektum
a. Kolon
Kolon merupakan suatu saluran tertutup, panjang 1,5 m yang
terdiri dari 6 bagian yaitu caecum, kolon ascenden, kolon
transversum, kolon descenden, kolon sigmoid, dan rektum, dengan
katup ileosekal pada ujung kranialnya, untuk mencegah refluks dan
linea dentata dari anus pada ujung kaudal. Kolon trasversum
selalu mempunyai mesentrium, kolon ascenden yang mempunyai
mesentrium hanya terdapat pada 12 % orang dan kolon desenden
pada 22 % orang. Kolon sigmoid juga mempunyai mesentrium dan
kadang-kadang panjangnya lebih dari biasa.
Lapisan otot longitudinal kolon membentuk 3 buah pita
yang disebut tenia yang lebih pendek dari kolon itu sendiri sehingga
kolon berlipat-lipat dan berbentuk seperti sakulus (kantung kecil) yang
disebut haustra (bejana). Batas antara kolon dan rektum tampak jelas
karena pada rektum ketiga tenia tidak tampak lagi. Batas ini
terletak di bawah promontorium, kira-kira 15 cm dari anus.
Caecum, kolon ascendens dan bagian kanan kolon
transversum didarahi oleh cabang arteri mesentrika superior yaitu
arteri ileokolika, arteri kolika dekstra dan arteri kolika media. Kolon
transversum bagian kiri, kolon desenden, kolon sigmoid dan
sebagian besar rektum didarahi oleh arteri mesenterika inferior
melalui arteri kolika sinistra, arteri sigmoid dan arteri hemoroidalis
superior.
Pembuluh vena kolon berjalan pararel dengan arterinya.
Aliran darah vena disalurkan melalui vena mesentrika superior
untuk kolon ascendens dan kolon transversum dan melalui vena
mesenterika inferior untuk kolon desendens, sigmoid dan rektum.
Keduanya bermuara ke dalam vena vorta tetapi vena mesenterika
inferior melalui vena lienalis. Aliran vena dari kanalis analis menuju
ke vena kafa inferior. Pada batas rektum dan anus terdapat
banyak kolateral arteri dan vena melalui peredaran hemoroidal
antara sistim pembuluh sal uran cerna dan sistim arteri dan vena iliaka.
Aliran limfe kolon sejalan dengan aliran darahnya. Hal ini
penting diketahui sehubungan dengan penyebaran keganasan
dan kepentingannya dalam reseksi keganasan kolon. Sumber aliran
limfe terdapat pada muskularis mukosa Jadi selama suatu keganasan
kolon belum mencapai lapisan muskularis mukosa kemungkinan
besar belum ada metastasis. Metastasis dari kolon sigmoid
ditemukan di kelenjar regional mesenterium dan retroperitoneal
pada arteri kolika sinistra, sedangkan dari anus ditemukan di kelenjar
regional di regio inguinalis. Kolon dipersarafi oleh serabut simpatis
yang berasal dari nervus splanknikus dan pleksus presakralis serta
serabut parasimpatis yang berasal dari nervus vagus. Karena
distribusi persarafan usus tengah dan usus belakang, nyeri alih pada
kedua bagian kolon kiri dan kanan berbeda. Lesi pada kolon bagian
kanan yang berasal dari usus tengah terasa mula-mula pada
epigastrium atau di atas pusat. Nyeri dari lesi pada kolon desendens
atau sigmoid yang berasal dari usus belakang terasa mula-mula di
hipogastrium atau di bawah pusat.
b. Rektum
Rektum, seluruhnya terbungkus dalam serat otot
longitudinal, kemudian dilanjutkan oleh kanalis analis, dimana
sfingter eksterna dari otot volunter memberikan selubung
tambahan. Otot levator ani membentuk sudut 60°-105° pada orang
normal dari sambungan rektoanal depan, sarafnya mensuplai sisi
atasnya dan oleh karena itu dapat rusak akibat peregangan otot
yang luas misalnya pada waktu persalinan.
Kolorektum dilapisi oleh epitel kolumnar sejauh linea
dentate pada pertengahan kanalis analis, kemudian dilanjutkan oleh
epitel skuamosa sensitive yang berlanjut dari perineum. Kelenjar
submukosa analis dapat meluas secara dalam ke sfingter dan jika
terinfeksi maka dapat mengakibatkan abses perianal dan fistula.
Fungsi Kolon Dan Rektum
Fungsi dari kolon ialah menyerap air, vitamin dan elektrolit,
eksresi mukus (lendir) serta menyimpan feses dan kemudian
mendorongnya ke luar. Absorpsi terhadap air dan elektrolit terutama
dilakukan di kolon sebelah kanan yaitu di caecum dan kolon ascenden
dan sebagian kecil dibagikan kolon lainnya.
Air, elektrolit dan beberapa metabolit dipindahkan oleh
membran mukosa melalui isi lumen dengan kontraksi dinding usus lokal
maupun total. Makin banyak gerakan makin besar absorpsi cairan,
pada banyak kasus tidak adanya feses berhubungan dengan
inaktivitas relatif dinding otot dan konstipasi oleh kontraksi yang
berlebihan.
Pleksus saraf intrinsik pada dasarnya bertanggung jawab
terhadap kontraksi kolorektal. Pleksus intrinsik di bawah pengaruh
hormon usus dan hormon lain misalnya, kolesitokinin, motilin,
peptida intestinal vasoaktif dan katekolamin yang konsentrasi
sirkulasinya bervariasi secara bermakna mempengaruhi aktivitas
kontraksi. Maka sesudah makan motilitas meningkat dengan jelas,
mungkin karena aktivitas kolesistokinin sementara itu pleksus saraf
ekstrinsik juga memberi era yang nyata. Tidur menurunkan aktivitas
kolon cukup besar yang segera meningkat pada waktu bangun. Stres
mental meningkatkan kontraktilitas. Makanan yang mengandung banyak
serat membantu mempertahankan air dan meningkatkan massa feses
sehingga membantu defekasi.
Rektum normalnya kosong dan ketika seseorang bangun
tidur dan makan pagi menimbulkan motilitas kolon kid, feses
memasuki rektum dan orang tersebut merasa ingin defekasi. Duduk di
WC membantu mengecilkan sudut anorektal dan feses memasuki
kanalis analis. Kanalis analis sedikit lebih pendek pada wanita
dibandingkan pada pria ( rata-rata 3-7 cm versus 4-6 cm ). Feses
dikeluarkan bila jalan keluar tidak menghentikannya secara volunter .
Feses yang terletak lebih jauh sejauh fleksura splenikus mungkin juga
keluar, volume rata-rata setiap had adalah 150 ml. Pengeluaran feses
dapat ditunda karena rektum dapat memberikan tekanan Secara pasif
sampai 400 ml, mempertahankan tekanan rektal yang rendah dan feses
bahkan dapat didorong kembali ke dalam kolon sigmoid.
Untuk menentukan kelainan dari kolon secara rutin harus
diperiksa feses. Feses yang normal biasanya berbentuk memanjang,
warna coklat muda, tak berlendir dan berdarah. Bila terlihat
mengandung darah, lendir atau bemanah sudah pasti ada kelainan di
rektum atau di kolon sendiri . Selain perlu memperhatikan warna, bentuk
(padat atau cair) perlu juga diperhatikan bau feses yang abnormal
(anyir, busuk , lemak busuk dll).
Insidensi
Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan keganansan ketiga
terbanyak di dunia dan penyebab kematian kedua terbanyak (terlepas dari
jenis kelamin) di Amerika serikat. Diperkirakan dalam tahun 2002 akan
ditemukan kasus baru sebanyak 148.300 dengan kematian 56.600. Antara
tahun 1973 – 1995 di Amerika serikat, kematian akibat KKR menurun 20,8%
dan insiden juga menurun 7,4%. Angka survival 5 tahun adalah 62,1%. Sekitar
6% penduduk Amerika diperkirakan bias berkembang KKR dalam hidupnya.
Resiko untuk mendapatkan KKR mulai meningkat setelah umur 40 tahun dan
meningkat tajam pada umur 50 sampai 55 tahun, resiko meningkat dua kali
lipat setiap decade berikutnya.
Di Indonesia dari berbagai laporan terdapat kenaikan jumlah kasus
tetapi belum ada angka yang pasti berapa insiden KKR. Sjamsuhidajad (1986)
dari evaluasi data-data di departemen kesehatan mendapatkan 1,8/100.000
penduduk. Tirtosugondo (1986) untuk kodya Semarang, melaporkan
peningkatan KKR dimana Age Standardized Rate (ASR) per 100.000 penduduk
untuk laki-laki tahun 1970-1974 : 2,5 dan tahun 1982 : 3,4 menduduki urutan
kelima diantara keganasan yang lain. Angka ini agaknya insiden minimal,
karena tidak jarang ada kasus yang tidak dilaporkan atau pasien tidak berobat
ke rumah sakit.
Perkembangan pengobatan adjuvan akhir-akhir ini berkembang
secara cepat dan sangat maju, akan tetapi hanya sedikit saja meningkatkan
survival pasien KKR dalam stadium lanjut. Atas dasar itu pencegahan primer,
dalam arti mencegah terjadinya KKR dan pencegahan sekunder, dalam arti
menemukan kasus dalam stadium dini harus dikembangkan dalam rangka
menekan morbiditas dan mortalitas pasien KKR.
Etiologi
Secara umum dinyatakan bahwa untuk perkembangan KKR
merupakan interaksi antara faktor lingkungan dan factor genetik. Factor
lingkungan multiple beraksi terhadap predisposisi genetik atau defek yang
didapat dan berkembang menjadi KKR.
Terdapat 3 kelompok KKR berdasarkan perkembangannya yaitu :
1. kelompok yang diturunkan (inherited) yang mencakup kurang dari
10% dari kasus KKR.
2. Kelompok sporadic, yang mencakup sekitar 70%.
3. Kelompok familial, yang mencakup 20%.
Kelompok diturunkan adalah mereka yang dilahirkan sudah dengan
mutasi sel-sel germinativum pada salah satu alel dan terjadi mutasi
somatic pada alel yang lain. Kelompok sporadik membutuhkan 2 mutasi
somatic, satu pada masing-masing alel. Kelompok familial tidak sesuai ke
dalam salah satu dari dominantly inherited syndrome dan lebih dari 35%
terjadi pada umur muda. Meskipun kelompok familial dari KKR dapat
terjadi karena kebetulan saja, ada kemungkinan peran dari factor
lingkungan, penetrasi mutasi yang lemah atau mutasi-mutasi
germinativum yang sedang berlangsung.
a. Lemak, protein, kalori, daging.
Masih terdapat kontroversi hasil penelitian epidemiologi,
eksperimental pada binatang dan penelitian klinik hubungan
antara diet tinggi lemak, protein, kalori dan daging dengan
peningkatan insiden KKR. Disatu kelompok menunjukkan bahwa
factor tersebut berperan secara bermakna, sementara kelompok
lain tidak menunjukkan peran yang bermakna. Akan tetapi yang
jelas factor-faktor tersebut diatas tidak ada yang berefek protektif.
b. Alkohol
Hubungan KKR dengan konsumsi alcohol tidak jelas.
Meskipun kebanyakan hasil penelitian menunjukkan hubungan
yang positif antara konsumsi alcohol dengan kejadian KKR, namun
proporsi cukup besar penelitian tidak menunjukkan hubungan.
c. Kalsium
Cukup banyak penelitian epidemiologi menunjukkan
hubungan yang negative antara jumlah asupan kalsium dengan
resiko kejadian KKR. Uji acak terkontrol menunjukkan bahwa
pemberian kalsium menekan kekambuhan adenoma secara
bermakna.
d. Vitamin
Penelitian kohort prospektif pada lebih dari 35 wanita,
menunjukkan bahwa terdapat hubungan terbalik antara resiko
karsinoma kolon dengan suplementasi vitamin E. Penelitian kasus
control menunjukkan juga hubungan terbalik antara suplementasi
vitamin D dengan kejadian karsinoma kolon. Demikian juga
suplementasi asam folat 400mg/hari juga berperan dalam
menurunkan kejadian KKR.
e. Konsumsi buah dan sayur
Dua puluh dua penelitian kasus, mencakup 6000 kasus
secara konsisten mendukung bahwa terdapat hubungan terbalik
antara jumlah konsumsi sayur dengan jumlah kejadian KKR. Enam
kohort mencakup lebih dari 2600 kasus, terutama publikasi
terakhir kurang mendukung hubungan konsumsi sayuran dengan
kejadian KKR.
f. Kelebihan berat badan
Lebih dari 20 penelitian, mencakup lebih dari 3000 kasus
secara konsisten mendukung bahwa terdapat hubungan yang
positif antara obesitas dan kejadian KKR. Satu meta-analisis dari
penelitian kohort dan kasus kelola menunjukkan kenaikan resiko
15% karsinoma kolon pada orang yang over weight dibandingkan
berat badan normal dan resiko meningkat menjadi 33% pada
obesitas disbanding berat badan normal.
g. Aktifitas Fisik
Sekitar 50 studi kasus kelola atau kohort, mencakup
13.000 kasus menunjukkan hasil yang konsisten bahwa aktifitas
fisik menekan resiko kejadian kersinoma kolon. Hubungan ini kuat
pada laki-laki dan karsinoma kolon, tetapi pengaruhnya hanya
sedikit pada karsinoma rektum.
h. N-Said
NSAIDs akan menghambat produksi prostaglandin,
melalui hambatan pada COX. COX akan merangsang angiogenesis
pada KKR. Beberapa penelitian kohort dan kasus-kasus control
dengan desain baik menunjukkan bahwa golongan NSAID yaitu
piroxikam dan aspirin dapat mencegah terbentuknya adenoma
atau menyebabkan regresi polip adenoma pada FAP.
i. Merokok
Meskipun penelitian awal tidak menunjukkan hubungan
merokok dengan kejadian KKR, tetapi penelitian terbaru perokok
jangka lama mempunyai resiko relative berkisar 1,5-3 kali.
Diestimasikan bahwa satu dari lima KKR di Amerika bias
diatributkan pada merokok. Penelitian kohort dan kasus control
dengan desain yang baik menunjukkan bahwa merokok
berhubungan dengan kenaikan resiko terbentuknya adenoma dan
juga kenaikan resiko perubahan adenoma menjadi KKR.
Faktor-Faktor Resiko
a. Poliposis Familial
Poliposis Familial ini dilaporkan pertama kali oleh Lockhart
Mummeny pada tahun 1925. Penyakit ini penting mengingat gejala-
gejala yang diberikan adalah berat dan biasanya mengalami
degenerasi maligna. Menurut catatan dari Morgan (1955) kurang
lebih 70 % dari poliposis akan mengalami degenerasi maligna. Bila
telah berubah menjadi maligna maka tumor tumbuh menjadi besar
dan berwarna lebih gelap dan mungkin mengalami ulserasi.
Bentuk polip ini biasanya mirip dengan polip adenomatosum
bertangkai atau berupa polip sesil, akan tetapi multipel tersebar pada
mukosa kolon. Dalam jangka waktu 10-20 tahun dapat mengalami
degenerasi menjadi kanker kolon. Adanya kanker kolon pada umur
muda kemungkinan berasal dari pertumbuhan poliposis. Sebagian
dari poliposis ini asimtomatik dan sebagian disertai keluhan sakit
di abdomen, diare, sekresi lendir yang meningkat dan perdarahan kecil
yang menganggu penderita.
b. Polip Adenomatosum
Biasanya berukuran kecil, kurang dari 1 cm terdiri dari 3
bagian yaitu puncak, badan dan tangkai. Masing-masing bagian
dibentuk dari sedikit kelenjar sel goblet dilapisi epitel selinder dan
jaringan ikat stroma. Pada kondisi polip demikian jarang ditemukan
kanker. Akan tetapi semakin bertambah ukuran polip, risiko
perubahan sel epitel mulai dari derajat atipik sampai anaplasia
semakin tinggi. Pada polip dengan ukuran 1,2 cm atau lebih dapat
dicurigai adanya kanker. Semakin besar diameter polip semakin besar
kecurigaan keganasan. Perubahan dimulai di bagian puncak polip,
baik pada epitel pelapis mukosa maupun pada epitel kelenjar, meluas
ke bagian badan dan basis tangkai polip.
c. Adenoma Vilosum
Terbanyak dijumpai di daerah rektosigmoid dan biasanya
berupa massa papiler, soliter, tidak bertangkai dan diameter
puncak tidak jauh berbeda dengan ukuran basis polip. Pada
kelainan ini risiko terhadap terjadinya kanker lebih sering dibanding
dengan polip adenomatosum. Pada lebih kurang 30 % adenoma
vilosum ditemukan area kanker. Adenoma dengan diameter lebih
dad 2 cm, risiko menjadi kanker adalah 45 %. Semakin besar
diameter semakin tinggi pula insiden kanker. Seperti juga pada
polip adenomatosum perubahan dimulai di daerah permukaan,
meluas pada daerah basis dan invasi pada submukosa kolon
ataupun rektum. Biasanya adenoma vilosum memproduksi lendir
yang mengandung banyak elektrolit terutama kalium,
mengakibatkan kemungkinan terjadi hipokalemi. Neoplasma ini
ditemukan biasanya karena banyak mengeluarkan lendir dengan atau
tanpa darah.
d. Kolitis Ulserosa
Kolitis ulserativa sering juga menyebabkan terjadinya
kanker kolon dan paling banyak terdapat di segmen proksimal dari
kolon. Dimulai dengan mikroabses pada kripta mukosa kolon dan
beberapa abses bersatu membentuk ulkus. Pada stadium lanjut
timbul pseudopolip yaitu penonjolan mukosa kolon yang ada diantara
ulkus. Perjalanan penyakit yang sudah lama, berulang-ulang dan
lesi luas disertai adanya pseudopolip merupakan risiko tinggi terhadap
kanker.
e. Kebiasaan Makan Tinggi Lemak dan Rendah Serat
Ada variasi yang bermakna di dunia dalam insiden
kanker kolorektal. Tampak terutama timbul di negara yang sudah
berkembang, sejauh ini terdapat angka yang tinggi di Inggris, Amerika
Serikat, Australia dan Eropa Barat, tetapi di Afrika dan Asia
insidensnya rendah.
Variasi geografi telah banyak digambarkan berdasarkan
perbedaan makanan. Awalnya diet berserat rendah diduga
sebagai faktor penyebab dan kemudian kelebihan lemak hewani
atau protein. Tetapi bukti epidemiologi masih kontradiksi.
Masalahnya adalah karena banyaknya perbedaan makanan antara
kelompok etnik yang berbeda sehingga sulit diketahui komponen-
komponen mana yang dianggap bertanggung jawab. Paradoks ini
digambarkan orang Eskimo yang makanannya berserat rendah,
berlemak tinggi dan mempunyai insiden kanker kolorektal yang
sangat rendah. Tetapi bagaimanapun juga faktor makanan
tampaknya memegang peranan, karena jika orang Afrika makan
makanan Barat yang berlemak tinggi dan rendah serat maka insiden
kanker kolorektal terlihat meningkat secara progresif 16.
Makanan rendah serat menyebabkan kurangnya massa
feses sehingga menyebabkan transit time (Iamanya makanan di usus
sampai dikeluarkan) lama dan terjadi perubahan bakteri usus. Bakteri
tertentu diketahui dapat memecahkan garam empedu untuk
membentuk karsinogen. Makanan dengan tinggi lemak menyebabkan
sistesis kolesterol dan asam bilirubin oleh hati dan kemudian menjadi
karsinogen oleh bakteri usus.
Dalam salah satu laporan study group pada tahun 1990
WHO menjelaskan hubungan antara komponen diet dengan angka
kejadian kanker kolorektal sbb : Sementara dari Jakarta data yang ada
menunjukkan terbanyak antara umur 30 sampai 70 tahun dan di
Yogyakarta frekuensi tertinggi pada umur 41-60 tahun dengan umur
terendah 18 tahun dan umur tertinggi 91 tahun.
Gambaran Klinis
Tidak ada gambaran yang khas dari kanker kolorektal.
Gejala-gejalanya bermacam-macam berlainan pada penderita yang
satu dengan yang lainnya bergantung kepada lokalisasinya.
a. Kanker di caecum.
Biasanya tanpa keluhan untuk waktu yang lama. Mungkin
ada keluhan rasa tak enak di perut kanan bawah untuk waktu yang
lama. Tiba-tiba penderita jatuh dalam keadaan anemia, berat badan
menurun dan ada massa di perut kanan bawah.
b. Kanker di kolon ascendens.
Biasanya mempunyai keluhan, misalnya mengeluh karena
rasa nyeri. Mula-mula timbul sindroma dispepsi (gangguan
pencemaan), rasa tak enak pada perut kanan atas timbul, yang
kemudian disertai rasa penuh di perut, anoreksia, nausea.
Kadang-kadang badan menjadi lemas. Tumor makin nyata. Berat badan
mulai menurun dan makin anemis yang mungkin karena adanya
perdarahan. Darah biasanya bercampur dengan isi kolon.
c. Kanker di kolon transversum.
Jarang memberi keluhan, demikian pula fungsi kolon tak
terganggu, walaupun adanya melena yang periodik. Kalau ada
keluhan biasanya telah mengalami metastase, misalnya metastase ke
paru-paru dan hepar.
d. Kanker kolon desendens.
Keluhan nyeri di perut sering mendahului dan sering
diajukan. Selain dari itu ada perubahan kebiasaan defekasi,
dengan konstipasi atau diare atau keduanya. Biasanya feses
disertai darah. Obstruksi komplet agak sering terjadi atau adanya
penyempitan.
e. Kanker di kolon sigmoid.
Gejala-gejala yang sering yaitu timbulnya perubahan
kebiasaan defekasi, dengan konstipasi atau diare atau keduanya,
dimana bentuk feses berlendir dan berdarah. Rasa nyeri timbul,
sering dengan kolik (mulas mendadak) terutama di abdomen kiri
bawah. Sering terjadi obstruksi (penyumbatan).
f. Kanker rektum
Sering terjadi ganguan defekasi, misalnya konstipasi atau
diare. Sering terjadi perdarahan yang segar dan sering bercampur
dengan lendir. Berat badan menurun. Perlu diketahui bahwa rasa
nyeri tidak biasa pada kanker rektum. Kadang-kadang timbul
tenesmi (keinginan defekasi disertai rasa sakit) dan bahkan sering
merupakan gejala utama.
Diagnosis
a. Anamnesis
Sebagian besar penderita datang dengan keluhan habit
bowel (perubahan kebiasaan defekasi) yaitu diare atau obstipasi,
sakit perut tak menentu, sering mau defekasi namun feses sedikit.
Perdarahan campur lender. Kadang-kadang simptom mirip dengan
sindroma disentri. Penyakit yang diduga disentri, setelah
mendapat pengobatan tidak ada perubahan perlu
dipertimbangkan kemungkinan kanker kolorektal terutama
penderita umur dewasa dan umur lanjut. Anoreksia, berat badan
semakin menurun merupakan salah satu simptom kanker kolorektal
tingkat lanjut.
b. Pemeriksaan Fisik
Perlu diperhatikan hal-hal seperti gizi, anemia, tonjolan di
abdomen, nyeri tekan, kelenjar limfe yang membesar, pembesaran
hati. Palpasi (pemeriksaan dengan cara meraba) rektum atau vagina
dilakukan pada pasien dengan pendarahan atau pun simptom
lainnya. Pada tingkat pertumbuhan lanjut, palpasi dinding
abdomen kadang-kadang teraba massa di daerah kolon kanan
dan kiri. Palpasi rektum merupakan sarana diagnostik
sederhana namun mempunyai nilai tinggi dalam diagnosis kanker
di rektum dimana kira-kira 50 % kanker kolorektal ditemukan
dengan ujung jari.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hb, darah, elektrolit dan feses merupakan
pemeriksan rutin.
Anemia dan hipokalemi kemungkinan ditemukan karena
perdarahan kecil. Perdarahan tersembunyi dapat dilihat ciari
pemeriksaan feses. CEA (Carcinoma Embrionic Antigen) merupakan
pertanda (marker) serum terhadap adanya kanker kolorektal.
Pemeriksaan CEA sangat bermanfaat, selain untuk diagnosis juga untuk
memantau hasil pengobatan dan mendeteksi kemungkinan recurrent
(panyakit kambuh).
d. Pemeriksaan Radiologi
Pada pemeriksaan fluoroskopi kontras barium enema usus besar
dapat dilihat peristaltik yang kaku dan dinding tak teratur. Kelainan
tampak seperti massa polipoid, akan tetapi sulit menentukan lesi
jinak atau maligna.
Metastasis
Pada umumnya invasi kanker dapat dikenal di bawah
mikroskop pada kanker berdiameter 2,5 atau lebih. Kanker menyebar
melalui pembuluh getah bening dan pembuluh darah . Pembengkakan
kelenjar getah bening di daerah mesentrium sering terjadi pada waktu
pertama kali kanker ditemukan, kemudian meluas ke aorta dan teraba
pada supraklavikuler. Penyebaran ke hati biasanya terjadi melalui sistim
vena porta pada waktu kanker ditemukan pertama kali kira-kira 40 %
ditemukan invasi ke dalam vena dan kira-kira 10-20 % deposit ke hati.
Metastasis ke organ jauh seperti ke paru, ginjal dan tulang dapat terjadi
pada stadium lanjut.
a. Lokalisasi
Kanker dapat tumbuh pada tiap bagian dari kolon,
mungkin akan tumbuh lebih dari satu tempat. Sekitar 70-75 %
kanker kolorektal terletak pada rektum dan sigmoid . Keadaan ini
sesuai dengan lokasi polip kolitis ulserosa 17
Letak Persentase
Caecum dan kolon ascendens 10
Kolon transversum termasuk fleksura hepar dan lien 10
Kolon desendens 5
Rektosigmoid 75
Menurut laporan Muir (1947) yang mengumpulkan 714 kasus
kanker kolorektal ternyata bahwa 15 % terdapat di kolon ascendens,
10 % di kolon desendens, 16 % di sigmoid dan 58 % terdapat di
rektum. Dan Bockus memberikan catatan
bahwa 4 ,7 % di rektum, 20,4 % di sigmoid, 11,45 % di
kolon desendens, 5,5 % di lfeksura ienalis, 5,6 % di kolon
transversum, 2,4 % di fleksura hepatis, 5,7 % di kolon ascendens
dan 8,3 di caecum. Jadi frekuensi terbanyak di rektum kemudian
menyusul di daerah kolon sigmoid kemudian pada daerah kolon lain
dengan urutan caecum dan kolon ascendens, kolon transversum,
kolon desendens, fleksura hepatika, feksura lienalis.
Jenis Histologik karsinoma kolorektal
a. Adenokarsinoma
- Adenokarsinoma musinosum, jika komponen mesonisum >
50%
- Signet ring cell carcinoma, merupakan varian dari
adenokarsinoma musinosum, bila ditemukan musin
intrasitoplasmik > 50%.
- Karsinoma adenoskwamosa, mengandung komponen
karsinoma, baik terpisah atau campuran
- Karsinoma meduler, sel-sel tumor tersusun berupa lembaran,
inti vesikuler, anak inti nyata, sitoplasma eosinofilik dan
ditemukan banyak infiltrasi limfosit disekitar massa tumor.
- Karsinoma tidak berdifferensiasi, meengandung sedikit sel
yang berdifferensiasi epithelial.
b. Carcinoid
Tumor neuroendocrin berdifferensiasi baik.
Terdapat pula tumor carcinoid berdifferensiasi sedang dan tumor
neuroendokrin berdifferensiasi buruk adalah small cell carcinoma
pada usus.
c. Mixed dan composite carcinoid-adenocarcinoma
Mixed carcinoma-carcinoid, komponen adenokarsinoma dari
karsinoid bergabung, pada komposit carcinoma-carcinoid kedua
komponen terpisah dan berbatas tegas.
Derajat keganasan
Pembagian derajat keganasan tumor berdasarkan criteria yang
dianjurkan WHO.
Grade I : Tumor berdifferensiasi baik, mengandung
struktur glandular >95%.
Grade II : Tumor berdifferensiasi sedang, mengandung
komponen glandular 50-95%.
Grade III : Tumor berdifferensiasi buruk, mengandung
komponen glandular 5-50%,adenokarsinoma
musinosum dan signet ring cell karsinoma
termasuk dalam grade III
Grade IV : Tumor tidak berdifferensiasi, kandungan
komponen glandular <5%, adenokarsinoma
medular termasuk dalam grade IV.
Stadium histopatologik
a. Sistem Dukes Modifikasi Astler Coller
Stadium A : Tumor terbatas pada lapisan mukosa
Stadium B1 : Tumor menginvasi sampai lapisan muskularis propria.
Stadium B2 : Tumor menginvasi menembus lapisan muskularis
propria
Stadium C1 : Tumor B1 dan diteemukan anak sebar pada kelenjar
getah bening.
Stadium C2 : Tumor B2 dan ditemukan anak sebar ke kelenjar
getah bening.
Stadium D : Tumor bermetastase jauh.
b. Stadium berdasarkan TNM
pT-Tumor primer
pTx : Tumor primer tidak dapat dinilai.
pT0 : Tumor primer tidak ditemukan
pTis : Karsinoma insitu, intraephitelial atau ditemukan sebatas
lapisan mukosa saja.
pT1 : Tumor menginvasi submukosa
pT2 : Tumor menginvasi lapisan muskularis propria.
pT3 : Tumor menembus muskularis propria hingga lapisan
serosa atau jaringan perikolika/ perirektal belum
mencapai peritoneum.
pT4 : Tumor menginvasi organ atau struktur disekitarnya atau
menginvasi sampai ke peritoneum visceral.
pN- Kelenjar getah bening regional
pNx : kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai.
pN0 : Tidak ditemukan metastasis pada kelenjar getah bening
regional.
pN1 : Ditemukan anak sebar pada 1-3 kelenjar getah bening
regional.
pN2 : Ditemukan anak sebar pada 4 atau lebih kelenjar getah
bening.
pM- Metastase jauh
pMx : Metastase jauh tidak ditemukan
pM0 : Tidak ditemukan metastase jauh.
pM1 : Ditemukan metastase jauh.
c. Pembagian stadium klinik
Stadium 0 : Tis N0 M0
Stadium IA : T1 N0 M0
IB : T2 N0 M0
Stadium IIA : T3 N0 M0
IIB : T4 N0 M0
Stadium IIIA : Semua T N1 M0
IIIB : Semua T N2 M0
Stadium IV : Semua T Semua N M1
Persyaratan minimal untuk menentukan akurasi stadium II harus
menemukan minimal 12 kelenjar getah bening (rekomendasi AJCC
dan college of American Pathologist).
Tindakan Pencegahan dan Pengobatan
1. Pencegahan
Penelitian di Amerika Serikat, Jerman, Inggris telah
menekankan bahwa penyaringan dari kelompok besar dapat
membantu pencegahan atau diagnosis dini kanker kolorektal.
Metode yang digunakan adalah mencari darah dalam feses dan
meneliti subjek hasil tes yang positip. Ada beberapa tes
sederhana, biasanya berdasarkan pada strip impregnasi guayak
dimana terjadi perubahan wawa bila ada darah (haemoccult
faecotest). Tetapi masalahnya adalah jika tes sangat sensitif maka
memberikan hasil positip palsu dalam jumlah besar, sedangkan jika
tes mempunyai
sensitivitas yang rendah maka akan didapatkan hasil negatif
palsu. Di samping itu pencegahan dan segi makanan juga perlu.
Makan makanan yang berserat tinggi seperti agar-agar berperan
dalam upaya pencegahan terjadinya kanker kolon. Kandungan
seratnya mencapai 81,29 % mempunyai daya serap yang tinggi
terhadap zat cair dan asam empedu hingga kadar asam empedu
menjadi rendah. Dengan demikian timbulnya kanker kolon dapat
dicegah. Menurut penyelidikan Hill asam empedu memang dapat
bekerja sebagai co-karsinogen dan asupan yang cukup mengandung
scrat dapat menurunkan konsentrasi asam empedu dalam leses
Sedang dalam penyelidikan yang berbeda, Stalder menemukan
suatu hubungan yang jelas antara konsentrasi asam empedu di
dalam feses dengan terjadinya kanker kolon. Pakar lain bernama
Doll dan Peto menuturkan kematian kanker di Amerika dapat
dikurangi sebanyak 35 % dengan mengubah dietnya .Burkitt dkk (1972
dan 1974) juga mengungkapkan peranan fiber (serat) sebagai
modulator terjadinya kanker selain komsumsi lemak dan menurut
Reddy ( 1981) asam empedu dan derivatnya merupakan promoter
terjadinya proses karsinogen.
Dari basil percobaan Burkit tersebut didapatkan bahwa
bulk fiber dapat menghambat proses karsinogenesis bahkan sangat
efektif dalam menetralisir asam empedu dan derivatnya dalam
kolon. Hal ini dapat dijelaskan dengan keadaan dimana penduduk
Finlandia dan New York mengkomsumsi lemak yang hampir sama
tetapi berbeda dalam komsumsi fibernya, insidens terjadinya
kanker kolon akan berbeda. Orang Finlandia menderita kanker
kolon lebih kecil daripada orang New York.
Mengkomsumsi susu juga ternyata mampu mencegah
kanker kolon. Hal ini ditegaskan Garland dari universitas California
yang meneliti 2000 laki-laki yang minum susu teratur dalam dietnya
selama 20 tahtm. Hasilnya kondisi kolon laki-laki yang minum susu
lebih baik dibanding dengan kelompok yang tidak mengkomsumsi
susu. Juga telah dilakukan penelitian pembanding dengan
kelompok yang tidak mengkomsumsi susu tetapi makan hasil
olahannya seperti keju, mentega maka hasinya kelompok yang
tidak minum susu tapi mengkomstunsi hasil olahannya memiliki
sepertiga kemungkinan terkena kanker kolon. Menurut laporan Carper
pada the f000d pharmacy tahun 1967 pernah dilakukan penelitian
pada orang Australia. Dart penelitian itu diperoleh kenyataan baik
laki-laki maupun perempuan yang mengkomsumsi susu sangat
sedikit cenderung terkena kanker kolorektal. Sementara itu pusat
penelitian kanker di New York menemukan faktor bahwa kalsium
bisa menghambat sel kanker pada kolon.
2. Terapi
2.1 Pembedahan
Pembedahan tetap merupakan pilihan utama pada
penatalaksanaan kanker kolorektal yang lokalized.
a. Persiapan Preoperatif
Dua yang harus diperhatikan sebelum melakukan
pembedahan pada penderita KKR yaitu terjadinya thrombosis
vena dan infeksi luka. Berdasarkan hal tersebut
direkomendasikan melakukan tindakan profilaksis berupa
pencegahan tromboemboli vena dan antibiotika profilaksis.
Persiapan kolon secara mekanis juga dilakukan,
walaupun kurang didukung oleh penelitian yang baik. Semua
pasien yang akan atau perlu dibuatkan stoma, baik permanen
maupun sementara, harus diperiksa secara pra-bedah oleh
stoma therapist.
b. Tekhnik pembedahan kanker kolorektal.
- Kanker kolon
Berbeda dengan pembedahan kanker rektum hanya sedikit
bukti yang berhubungan pada pembedahan kanker kolon
yang radikal. Dua penelitian yang ada ternyata tidak dapat
membuktikan efek menguntungkan dari tekhnik no touch
atau hemikolektomi kiri yang formal, dan tidak ada bukti
bahwa reseksi yang radikal memiliki efek pada outcome pada
penatalaksanaan kanker kolon.
- Kanker rektum
Saat ini banyak bukti dari penelitian studi kohort skala besar
bahwa penggunaan tehnik total mesorectal excision (TME)
dalam penatalaksanaan kanker rektum dapat mengurangi
rekurensi lokal memperbaiki angka survival. Hal ini
dikarenakan oleh circumferential clearance tumor yang
dilakukan dengan baik. TME pada rectum atas dilakukan
sesuai prosedur TME yaitui diseksi sampai 5 cm dibawah
tumor. Sedang pada rectum bagian tengah dan bawah
masalahnya adalah anastomisis rendah mengakibatkan
fungsi rectum yang kurang baikdibandingkan dengan
anastomisis yang lebih tinggi. Satu hal juga yang paling
penting yaitu untuk preservasi syaraf otonom daerah pelvis
agar meminimalisasi terjadinya disfungsi seksual dan
kandung kemih.
- Anastomisis
Kebocoran anastomisis adalah komplikasi yang sering
terjadi dan dapat berakibat fatal pada pembedahan kanker
kolorektal, sehingga harus dilakukan langkah-langkah untuk
meminimalisasi hal ini,. Tidak ada bukti bagus yang
mendukung sebuah tehnik secara spesifik, tetapi hasil
meta-analisis baru-baru ini mengindikasikan bahwa satu-
satunya perbedaan antara jahitan tangan denga stapling
adalah sedikit peningkatan risiko terjadinya striktur dengan
menggunakan stapling.
Faktor resiko untuk dehisensi anastomisis sudah diketahui
dengan baik, seperti jenis kelamin laki-laki, peningkatan
umur, dan obesitas. Namun pada reseksi anterior
kebocoran meningkat dengan anastomisis rendah (kurang
dari 5cm dari linea dentate). Untuk hal ini telah dibuktikan
penggunaan defunction stoma berfungsi mengurangi resiko
kebocoran pada anastomisis kolorektal rendah. Kerugian
anastomisis rendah lainnya adalah fungsi yang jelek, dan ini
dapat diatasi dengan pembuatan colopouch.
- Eksisi lokal di kanker Kolorektal
Beberapa kanker rectum lokal dapat disembuhkan dengan
eksisi lokal, terdapat bukti dari uji acak terkontrol yang
menyatakan bahwa prosedur ini mempunyai morbiditas
yang rendah dibandingkan dengan operasi yang radikal.
Ada juga bukti yang menyatakan bahwa eksisi lokal
berhubungan dengan rekurensi lokal yang lebih tinggi
daripada operasi radikal, hal ini mungkin disebabkan residu
tumor dikelenjar getah bening.
Adjuvan radioterapi dan kemoterapi dikatakan dapat angka
rekurensi lokal dari KKR, tetapi regimen yang dapat
diandalkan dan diterima secara luas masih belum
dikembangkan. TumorT1 (yang memiliki penyebaran lokal
yang kecil) sering dilihat cocok untuk eksisi local, tetapi
haruis ditekankan bahwa keterlibatan ekstensif submukosa
berhubungan dengan keterlibatan kelenjar getah bening
hingga 17%. Berbeda bila kita dapatkan minimal submukosa
(tumorT1 sm1) biasanya sering mempunyai resiko minimal
dari keterlibatan kelenjar getah bening. Kanker kolon dan
kadang-kadang rectum b isa dieksisi oleh polipektomi pada
saat kolonoskopi dan umumnya tidak memerlukan
pembedahan lebih lanjut bila kita dapatkan tepi sayatan
atau dasar sayatan tidak bebas tumor.
- Pembedahan Laparoskopi pada Kanker Kolorektal
Bukti Dario beberapa uji acak terkontrol dan uji kohort
mengatakan bahwa pembedahan laparoskopi untuk kanker
kolorektal memungkinkan untuk dilakukan dan
kelebuhannya dibandingkan dengan konvensional adalah
berkurangnya nyeri pasca-operasi, penggunaan analgetika,
perawatan di rumah sakit dan perdarahan.
- Penatalaksanaan Obstruksi usus karena KKR
Jika ada kecurigaan obstruksi mekanis usus besar, maka
harus dibuktikan dengan enema barium yang larut dalam
air untuk membedakan dengan pseudo-obstruction.
Obstruksi mekanis kolon harus bias dibedakan dari colonic
pseudo obstruction sebelum pembedahan.
Sudah ada bukti-bukti bahwa penderita yang
memungkinkan dan pengalaman pembedahan yang cukup,
reseksi tumor dan anastomisis langsung dapat dikerjakan
reseksi segmental memberikan hasil yang lebih baik dalam
hal fungdi disbanding dengan kolektomi subtotal. Bila ada
fasilitas Colonic stenting dapat dikerjakan sebagai tindakan
paliatif pada penderita dengan tumor yang tidak resektabel
dengan obstruksi.
- Pembedahan untuk Penyakit KKR lanjut
Pada penyakit KKR lanjut dengan metastasis hati daan atau
paru reseksi merupakan pilihan yang terbaik. In situ
ablation untuk metastases hati yang tidak bias direseksi
juga memungkinkan, tetapi keuntungannya belum jelas.
Bagi pasien yang memiliki tumor primer local lanjut atau
rekuren, harus diingat untuk sembuh, tetapi harus diingat
bahwa kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh hal tersebut.
Untuk penyakit yang sudah jelas tidak dapat dioperasi,
intervensi seperti stenting atau laser ablation dapat
dijadikan pilihan terapi yang paliatif yang berguna.
- Bedah emergensi
- Hasil pembedahan (outcomes)
Spesialisasi dan beban kerja pada Pembedahan Kanker
Kolorektal
Bukti dari studi kohort dan kohort historical
memperlihatkan bahwa morbiditas dan survival
dipengaruhi oleh spesialisasi dokter bedah dan rumah sakit,
tetapi bukti yang ada tidak cukup untuk merekomendasikan
volume tahunan secara spesifik. Bukti dari Amerika dimana
terdapat akreditas kolorektal spesifik, mengidikasikan hasil
yang lebih baik dari spesialis, dan bukti dari Eropa secara
meyakinkan membuktikan hasil yang jauh lebih baik setelah
pelatihan spesialis dalam pembedahan kanker rectum.
3. Terapi adjuvant
- Radiasi
Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan
x-ray berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua
cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan eksternal radiasi dan
internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung pada
tipe dan stadium dari kanker.
Eksternal radiasi (external beam therapy) merupakan penanganan
dimana radiasi tingkat tinggi secara tepat diarahkan pada sel
kanker.Sejak radiasi digunakan untuk membunuh sel kanker, maka
dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan yang sehat
disekitarnya.Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi
hanya berlangsung beberapa menit.
Internal radiasi (brachytherapy, implant radiation) menggunakan
radiasi yang diberikan ke dalam tubuh sedekat mungkin pada sel
kanker. Substansi yang menghasilkan radiasi disebut radioisotop,
bisa dimasukkan dengan cara oral, parenteral atau implant langsung
pada tumor. Internal radiasi memberikan tingkat radiasi yang lebih
tinggi dengan waktu yang relatif singkat bila dibandingkan dengan
eksternal radiasi, dan beberapa penanganan internal radiasi secara
sementara menetap didalam tubuh.31,32
- Kemoterapi
Kanker kolon telah banyak resisten pada hampir sebagian besar agen
kemoterapi.Bagaimanapun juga kemoterapi yang diikuti dengan
ekstirpasi dari tumor secara teoritis seharusnya dapat menambah
efektifitas dari agen kemoterapi.Kemoterapi sangat efektif digunakan
ketika kehadiran tumor sangat sedikit dan fraksi dari sel maligna
yang berada pada fase pertumbuhan banyak. Obat kemoterapi bisa
dipakai sebagai single agen atau dengan kombinasi, contoh : 5-
fluorouracil (5FU), 5FU + levamisole, 5FU + leucovorin. Pemakaian
secara kombinasi dari obat kemoterapi tersebut berhubungan
dengan peningkatan survival ketika diberikan post operatif kepada
pasien tanpa penyakit penyerta. Terapi 5FU + levamisole
menurunkan rekurensi dari kanker hingga 39%, menurunkan
kematian akibat kanker hingga 32%.19
a. Adjuvant Kemoterapi untuk Kanker Kolorektal Stadium II
Pemakaian adjuvant kemoterapi untuk penderita kanker kolorektal
stadium II masih kontroversial.Peneliti dari National Surgical
Adjuvant Breast Project (NSABP) menyarankan penggunaan adjuvant
terapi karena dapat menghasilkan keuntungan yang meskipun kecil
pada pasien stadium II kanker kolorektal pada beberapa
penelitiannya. Sebaliknya sebuah meta-analysis yang mengikutkan
sekitar 1000 pasien menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna
pada 5-years survival rate sebesar 2%, antara yang diberi perlakuan
dan yang tidak untuk semua pasien stage II.2
b. Adjuvant Kemoterapi untuk Kanker Kolorektal Stadium III
Penggunaan 5-FU + levamisole atau 5-FU + leucovorin telah
menurunkan insiden rekurensi sebesar 41% pada sejumlah
prospektif randomized trial. Terapi selama satu tahun dengan
menggunakan 5-FU + levamisole meningkatkan 5-year survival rate
dari 50% menjadi 62% dan menurunkan kematian sebesar 33%. Pada
kebanyakan penelitian telah menunjukkan bahwa 6 bulan terapi
dengan menggunakan 5-FU + leucovorin telah terbukti efektif dan
sebagai konsekuensinya, standar regimen terapi untuk stage III
kanker kolorektal adalah 5-FU + leucovorin.2
c. Adjuvant Kemoterapi Kanker Kolorektal Stadium Lanjut
Sekitar delapan puluh lima persen pasien yang terdiagnosa kanker
kolorektal dapat dilakukan pembedahan. Pasien dengan kanker yang
tidak dapat dilakukan penanganan kuratif, dapat dilakukan
penanganan pembedahan palliatif untuk mencegah obstruksi,
perforasi, dan perdarahan.Bagaimanapun juga pembedahan dapat
tidak dilakukan jika tidak menunjukkan gejala adanya metastase.
Penggunaan stent kolon dan ablasi laser dari tumor intraluminal
cukup memadai untuk kebutuhan pembedahan walaupun pada
kasus asymptomatik.2
Radiasi terapi dapat digunakan sebagai tindakan primer sebagai
modalitas penanganan untuk tumor yang kecil dan bersifat mobile
atau dengan kombinasi bersama sama kemoterapi setelah reseksi
dari tumor. Radiasi terapi pada dosis palliatif meredakan nyeri,
obstruksi, perdarahan dan tenesmus pada 80% kasus.Penggunaan
hepatic arterial infusion dengan 5-FU terlihat meningkatkan tingkat
respon, tetapi penggunaan ini dapat mengakibatkan berbagai
masalah termasuk berpindahnya kateter, sklerosis biliaris dan gastrik
ulserasi. Regimen standar yang sering digunakan adalah kombinasi 5-