referensi 2

23
Hermeneutika dalam Pemikiran Islam POSTED BY ABDURRAHMANBINSAID 1 FEBRUARI, 2010 TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR FILED UNDER HERMENEUTIKA, HERMENEUTIKA DALAM PEMIKIRAN ISLAM, PEMIKIRAN ISLAM Nashr Hamid Abu Zayd menyatakan bahwa konsepnya dalam pemikiran Islam yang dinilai kontroversial sesungguhnya sama sekali tidak demikian. Menurutnya, Ia hanya menyatakan bahwa bahasa al-Qur’an dijembatani oleh bahasa manusia, yang berupa bahasa Arab, untuk kemudian dapat di pahami oleh manusia.[1] Sehingga kajian ini menurutnya bukan sesuatu yang baru, namun klasik sejak perdebatan antara kaum Sunni dan Mu’tazilah seputar status Al-Qur’an sebagai Kalam ilahi.[2] Hanya saja, pemakaian istilah Hermeneutika dalam kajian interpretasi pada dunia Islam adalah sesuatu yang baru.[3] Bahkan Abu Zayd mengklaim dirinya sebagai orang pertama kali yang menggunakan istilah itu dalam bukunya “al-Hirminiyutiga wa Mu’dilat Tafsir al-Nas” (Hermeneutika dan Problema Penafsiran Teks) pada tahun 1981.[4] Walaupun sebenarnya, jika ditarik kebelakang, Hasan Hanafi-lah yang pertama kali memperkenalkan Hermeneutika pada dunia pemikiran Islam dalam bukunya yang berjudul: “Les Methodes d’Exeges, Essai sur La Science des Fordements de la Comprehesion, Ilm Usul al-Fiqh” pada tahun 1965. Dan dalam bukunya yang lain berjudul: “Islam in the Modern World, Religion, Ideologi, and Development”, vol: I, terutama pada subbab berjudul: “Method of the mistic Interpretation” , dan pada vol: II pada subbab: “Hermeneutics Libration and Revolution”.[5] Selain di Mesir, seperti Hasan Hanafi, Muhammad Abduh dan Nashr Hamid Abu Zayd sendiri, tokoh Islam yang menggeluti kajian Hermeneutika antara lain; di India, Ahmad Khan, Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves, yang berusaha melakukan demitologisasi konsep-konsep dalam Al-Qur’an yang dianggap bersifat mitologis. di Aljazair muncul Mohammed Arkoun yang menelorkan ide “cara baca” semiotik terhadap Al-Qur’an. Lalu Fazlurrahman yang merumuskan Hermeneutika semantik terhadap Al-Qur’an, dan kemudian dikenal sebagai “double movement”.[6] Dan Adzim Nanji yang membahas reori ta’wil dalam tradisi keilmuan isma’ili, yang banyak membantu dalam kritik sastra.[7]

Upload: kutilin

Post on 29-Oct-2015

24 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

referensi

TRANSCRIPT

Page 1: referensi 2

Hermeneutika dalam Pemikiran IslamPOSTED BY ABDURRAHMANBINSAID ⋅ 1 FEBRUARI, 2010 ⋅ TINGGALKAN SEBUAH KOMENTARFILED UNDER  HERMENEUTIKA, HERMENEUTIKA DALAM PEMIKIRAN ISLAM, PEMIKIRAN ISLAM

Nashr Hamid Abu Zayd menyatakan bahwa konsepnya dalam pemikiran Islam yang dinilai

kontroversial sesungguhnya sama sekali tidak demikian. Menurutnya, Ia hanya menyatakan

bahwa bahasa al-Qur’an dijembatani oleh bahasa manusia, yang berupa bahasa Arab, untuk

kemudian dapat di pahami oleh manusia.[1]

Sehingga kajian ini menurutnya bukan sesuatu yang baru, namun klasik sejak perdebatan antara

kaum Sunni dan Mu’tazilah seputar status Al-Qur’an sebagai Kalam ilahi.[2] Hanya saja,

pemakaian istilah Hermeneutika dalam kajian interpretasi pada dunia Islam adalah sesuatu yang

baru.[3] Bahkan Abu Zayd mengklaim dirinya sebagai orang pertama kali yang menggunakan

istilah itu dalam bukunya “al-Hirminiyutiga wa Mu’dilat Tafsir al-Nas” (Hermeneutika dan

Problema Penafsiran Teks) pada tahun 1981.[4] Walaupun sebenarnya, jika ditarik kebelakang,

Hasan Hanafi-lah yang pertama kali memperkenalkan Hermeneutika pada dunia pemikiran Islam

dalam bukunya yang berjudul: “Les Methodes d’Exeges, Essai sur La Science des Fordements de

la Comprehesion, Ilm Usul al-Fiqh” pada tahun 1965. Dan dalam bukunya yang lain

berjudul: “Islam in the Modern World, Religion, Ideologi, and Development”, vol: I, terutama

pada subbab berjudul: “Method of the mistic Interpretation”, dan pada vol: II pada

subbab: “Hermeneutics Libration and Revolution”.[5]

Selain di Mesir, seperti Hasan Hanafi, Muhammad  Abduh dan Nashr Hamid Abu Zayd sendiri,

tokoh Islam yang menggeluti kajian Hermeneutika antara lain; di India, Ahmad Khan, Amir Ali

dan Ghulam Ahmad Parves, yang berusaha melakukan demitologisasi konsep-konsep dalam

Al-Qur’an yang dianggap bersifat mitologis. di Aljazair muncul Mohammed Arkoun yang

menelorkan ide “cara baca” semiotik terhadap Al-Qur’an. Lalu Fazlurrahman yang

merumuskan Hermeneutika semantik terhadap Al-Qur’an, dan kemudian dikenal

sebagai “double movement”.[6] Dan Adzim Nanji yang membahas reori ta’wil dalam tradisi

keilmuan isma’ili, yang banyak membantu dalam kritik sastra.[7]

Di Indonesia, antara lain M. Amin Abdullah, seorang profesor di Universitas Islam Negeri (UIN)

Yogyakarta yang dikenal cukup gigih dan rajin memperjuangkan penggunaan Hermeneutika

dalam penafsiran Al-Qur’an. Ia banyak menulis kata pengantar dalam buku-buku

Hermeneutika Al-Qur’an, antara lain “Hermeneutika Pembebasan”, “Hermeneutika Al-Qur’an,

Tema-tema Kontroversial”, dan “ Hermeneutika Al-Qur’an, mazhab Yogya”. Ia menyatakan

bahwa Hermeneutika adalah sebuah kebenaran yang harus disampaikan kepada dunia Islam,

meskipun banyak yang mengkritiknya. Ia-pun banyak mengkritisi metode tafsir klasik.[8]

Nasaruddin Baidan dalam tulisannya berjudul “Tinjauan Kritis terhadap Konsep

Hermeneutika”, mengatakan bahwa kritik tiga unsur pokok yang menjadi pilar utama

Page 2: referensi 2

Hermeneutika: text, author, dan audience, tidak berbeda dengan konsep tafsir Al-Qur’an.

Sebab Ibn Taimiyah menetapkan tiga pilar yang sama dalam konsep tafsir Al-Qur’an; 1) siapa

yang mengatakan, 2) kepada siapa diturunkan, dan 3) ditujukan kepada siapa.[9] Dan

menurut Farid Esack dalam bukunya “Qur’an: Pluralism and Liberalism, sebagaimana yang

dikutip oleh Fahruddin Faiz, bahwa praktek Hermeneutika sebenarnya telah dilakukan dalam

dunia penafsiran Islam sejak lama, bahkan sejak awal kajian tafsir, khususnya ketika

menghadapi Al-Qur’an. Bukti dari hal itu adalah: 1) kajian-kajian mengenai asbab al-

nuzul dan nasikh-mansukh, 2) penggunaan berbagai teori dan metode dalam proses

penafsiran, dan 3) adanya kategorisasi tafsir tradisional,

seperti;tafsir syi’ah, tafsir mu’tazilah, tafsir hukum, tafsir filsafat dan yang lain. Ini

menunjukkan kesadaran tentang kelompok, ideologi, priode, maupun horizon social tertentu.

[10]

Lebih lanjut, Farid Esack ingin memperlihatkan Hermeneutika yang identik dengan

konsep tafsir klasik, dalam tiga hal: 1) penafsir yang manusiawi, yang membawa “muatan-

muatan” kemanusiaan masing-masing, dan pada akhirnya memproduksi komentar-komentar

subjektif terhadap penafsirannya, 2) penafsiran yang tidak dapat lepas dari bahasa, budaya

dan tradisi, dan 3) teks yang bernuansa sosio-historis, sehingga tidak lagi “unik”. Fahruddin

Faiz  yang mengutip perspektif ini menyimpulkan bahwa penafsiran dengan teori ini dapat

dinilai merupakan representasi dari model Hermeneutika filosofis murni Gadamerian.[11]

Walau demikian, sebagai tawaran baru dalam dunia pemikiran Islam, terutama konsep

interpretasi Al-Qur’an, hermeneurika tidak dengan mudah dapat diterima. Setidak ada

beberapa alasan penolakan Hermeneutika untuk diterapkan dalam penafsiran Al-Qur’an: 1)

dari aspek perkembangan historisnya, Hermeneutika berasal dari tradisi kristiani, barat dan

filsafat. Dan jika ditarik lebih kebelakang, Hermeneutika berasosiasi dengan cerita dewa

hermes, si penerjemah bahasa dewa, yang sama sekali tidak dapat disamakan dengan wahyu

yang diterima Nabi Muhammad Saw., 2) kemapanan tradisi penafsiran Al-Qur’an dalam dunia

Islam, yang dinilai tidak memerluakan lagi tawaran baru Hermeneutika, 3) kerancuan

Hermeneutika ketika berhadapan dengan otentisitas Al-Qur’an. Hermeneutika hanya berpusat

pada triadic structure: teks, inrpreter dan audience saja. Sehingga ia tidak mengenal otoritas

interpretasi sebagaimana dalam Ilmu Tafsir, yaitu mengenai siapa dan apa yang paling

memiliki otoritas interpretasi, dan tidak dengan mudah siapa saja dapat melakukan

penafsiran pada seluruh teks, terutama seluruh teks Al-Qur’an. Apalagi teori Hermeneutika

yang menganggap bahwa  penafsir dapat mengerti labih baik dibandingkan penulis sendiri.

Karena dalam Al-Qur’an diketahui terdapat ayat yang tidak dapat ditafsirkan oleh siapapun,

sejenius apapun dia.[12]

Page 3: referensi 2

Ibn Abbas sendiri yang menyandang gelar “juru bicara Al-Qur’an” menegaskan bahwa teks Al-

Qur’an memiliki tiga kategori; 1) dapat diketahui secara umum melalui bahasa Arab, 2) tidak

ada alasan untuk tidak mengetahuinya, seperti halal-haram, 3) hanya dapat diketahui oleh

Ulama, dan 4) hanya Allah yang tahu.[13] Tesis ini, terutama pada kategori ke-tiga dan ke-

empat, sangat bertentangan dengan tesis Hermeneutika bahwa siapapun dapat menafsirkan

teks apapun, bahkan bias lebih baik dari sang pengarang. Sementara pada kategori ke-dua,

juga tidak mendukung konsep Hermeneutika yang menganut paham relativisme tafsir, yang

menyatakan bahwa siapapun seorang penafsir, kalau masih pada level manusia, pastilah

“terbatas”, “parsial-kontekstual” pemahamannya, serta “bisa saja keliru”.[14] Karena dalam

hal halal-haram dalam Al-Qur’an sudah jelas dan tidak mungkin keliru (al-halal bayyin, wa al-

haram bayyin).

Selain relativitas tafsir, menurut Adian Husaini, penerapan Hermeneutika juga berakibat

buruk pada “kemapanan” bangunan konsep Islam selama ini. Para hermeneut tidak segan-

segan mencurigai dan mencerca Ulama Islam,[15] dan bahkan sampai menerjang “daerah-

daerah” terlarang seperti dekonstruksi konsep wahyu Al-Qur’an.[16]

Salah satu tokoh penentang Hermeneutika adalah Sayed Muhammad Naquib al-Attas,

seorang ilmuan muslim asal Malaysia yang telah memperingatkan bahya Hermeneutika jauh

sebelum menerpa keilmuan Islam di indosnesia. Wan Mohd menulis tentang pandangan-

pandangan al-Attas dalam bukunya: “The educational philosophy and practice of sayed

Muhammad Naquib al-Attas, an exposition of the original concept of islamization” terutama

dalam sub bab berjudul: “Tafsir is not hermeneutics”. Menurut al-Attas, Hermeneutika sama

sekali tidak identik dengan Tafsir dalam tradisi Islam.[17]

[1] Lihat misalnya pernyataanya tentang hal ini: “I’m critical of old and modern Islamic

thought. I treat the Qur’an as a nass (text) given by God to the Prophet Mohamed. That text is

put in a human language, which is the Arabic language. When I said so, I was accused of

saying that the Prophet Mohamed wrote the Qur’an. This is not a crisis of thought, but a crisis

of conscience”. (Aku seorang peneliti. aku kritis terhadap pemikiran Islam klasik dan modern.

Aku memperlakukan Al-Qur’an sebagai nash (teks) yang diberikan oleh Allah kepada Nabi

Muhammad. Teks itu dimasukkan dalam bahasa manusia, yaitu bahasa Arab. Ketika aku

bilang begitu, aku dituduh mengatakan bahwa Nabi Muhammad menulis Al-Qur’an. Ini bukan

krisis pemikiran, tapi krisis hati nurani). Lihat: Wikipedia, the free encyclopedia, Nasr Hamid

Abu Zayd. Dan dalam kesempatan lain ia menulis: “Al-Qur’an adalah pesan Tuhan yang

memiliki kode dan “saluran”, yaitu Bahasa Arab, untuk memahami teks saya memerlukan

perangkat yang lebih dari sekedar filologi. Analisis ini menempatkan Al-Qur’an sebagai teks

Page 4: referensi 2

peotik yang terstruktur. Oleh karena itu, Al-Qur’an bukan teks puisi, ia tetap menjadi teks

keagamaan yang memiliki banyak fungsi”. Liha di: Dr. Phil HM. Nur Kholis, Nashr Abu Zayd,

beberapa pembacaan terhadap Turats Arab, sebuah pendahuluan pada terjemahan

buku Isykaliyah al-Qira’ah wa Alliyat al-Ta’wil, PT. LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2004, hal:

xiv

[2] Lihat misalnya pembahasan panjangnya mengenai hal ini di buku: Isykaliyah al-Qira’ah wa

Alliyat al-Ta’wil, dalam satu bab berjudul “Historitas Teks: Konsep yang Rancu”. Dalam bab

ini, Abu Zayd tampak lebih cenderung memilih rasinalitas Mu’tazilah ketika dibawa pada

pembahasan linguistic. Lihat: Nashr Hamid Abu Zayd, Isykaliyah al-Qira’ah wa Alliyat al-

Ta’wil, edisi terjemahan Indonesia oleh Sunarwoto Dema, PT. LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta,

2004, hal: 84-109

[3] Farid Esach dalam bukunya “Qur’an: Pluralism and Liberalism”, menyatakan: bahwa kata

Hermeneutika merupakan istilah yang masih baru di dunia Islam, sehingga menuai banyak

kritik, walaupun sebenarnya telah lama dipraktekkan, terutama dalam konsep penafsiran.

Lihat: Muzairi, Hermeneutika dalam Pemikiran Islam, sebuah makalah dalam

buku “Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya”. Islamika, 2003, hal: 61.

[4] Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Gema Insani, 2005, subbab: Nashr

Hamid dan Hermeneutika Al-Qur’an.

[5] Muzairi, Hermeneutika dalam Pemikiran Islam, sebuah makalah dalam

buku “Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya”. Islamika, 2003, hal: 60.

[6] Fahruddi Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an, tema-tema kontroversial, elSAQ, 2005, hal: 14-15.

[7] Muzairi, Hermeneutika dalam Pemikiran Islam, sebuah makalah dalam

buku “Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya”. Islamika, 2003, hal: 62.

[8] Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Gema Insani, 2007, hal: 3. Dalam salah

satu kata pengantar-nya dalam buku “Hermeneuika Al-Qur’an, Tema-tema Kontroversial”,

Amin Abdullah menulis; “berbagai kontroversi yang muncul akhir-akhir ini sehubungan

dengan Hermeneutika membuktikan bahwa tidak banyak orang diantara kita yang benar-

benar siap mendengarkan ‘kebenaran’”. Ia menyatakan hal itu dalam judul; “Mendengarkan

‘Kebenaran’ Hermeneutika”. Lihat: Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an, tema-tema

kontroversial, elSAQ, 2005, hal: xv.

[9] Muzairi, Hermeneutika dalam Pemikiran Islam, sebuah makalah dalam

buku “Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya”. Islamika, 2003, hal: 62.

[10] Fahruddi Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an, tema-tema kontroversial, elSAQ, 2005, hal: 13.

[11] Demikian juga teks Al-Qur’an, menurut Farid Esack, ia tidaklah “unik”, teks Al-Qur’an

selalu merupakan komentar terhadap kondisi masyarakat saat wahyu turun. Lihat: Ibid, hal:

16-20.

Page 5: referensi 2

[12] Ibid, hal: 30-33. Lihat juga: Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Gema

Insani, 2007, hal: 1-7.

[13] Muzairi, Hermeneutika dalam Pemikiran Islam, sebuah makalah dalam

buku “Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya”. Islamika, 2003, hal: 62.

[14] Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Gema Insani, 2007, hal: 17-18. Dikutip

dari pernyataan M. Amin Abdullah. Lihat di: Fahruddi Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an, tema-

tema kontroversial, elSAQ, 2005, hal: xviii.

[15] Sebagaimana yang dituduhkan kepada Abu Zayd yang mengkritisi Imam Syafi’I dalam

bukunya; “Al-imam al-Syaf’I, wa ta’sis al-idulujiyyah al-wasithiyyah” (Imam Syafii,

Kemodernan, Eklektisisme-Arabisme). Lihat: http://www.mesias.8k.com /abuzayd.htm. Bahkan

Mun’im A. Sirri misalnya, ia menulis dalam “Fikih lintas Agama: membangun masyarakat

Inklusif-Pluralis” yang diterbitkan Yayasa Wakaf Paramadina tahun 2004. Ia menyatakan

bahwa Syafi’I adalah penyebab dari pemikiran fikih tidak berkembang selama lebih kurang

dua belas abad. Lihat: Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Gema Insani, 2007,

hal: 28.

[16] Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Gema Insani, 2007, hal: 27-31. Ketika

Abu Zayd menulis Pendahuluan pada bukunya “al-nash, wa al-Sulthah, wa al-

Haqiqah”, mengaku bahwa kajiannya akan menerjang wilayah “terlarang” dan “diharamkan”

di dalam kesadaran keagamaan yang dominan dan hegemonik. Lihat: Nashr Hamid Abu

Zayd, al-nash, wa al-Sulthah, wa al-Haqiqah, edisi terjemah Indonesia oleh Sunarwoto Dema,

LkiS, Yogyakarta, 2003, hal: 79.

[17] Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Gema Insani, 2007, hal: 42-44.

Link aslinya http://abdurrahmanbinsaid.wordpress.com/2010/02/01/hermeneutika-dalam-pemikiran-islam/

Antara Hermeneutika Teoritis dan Hermeneutika Kritis

Page 6: referensi 2

Hermeneutika kini telah menjadi begitu populer di Indonesia dan

diajukan oleh berbagai pihak sebagai alternatif pengganti metode tafsir ‘klasik’

dalam memahami Al-Quran.

Sejumlah nama pemikir modernis, neo-modernis, atau post-modernis –seperti

Fazlur Rahman, Mohammed Arkoen, al-Jabiri, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu

Zeid, Farid Essac, dan lainnya– kini menjadi idola baru dalam memahami al-

Quran dan Sunnah Rasul. Mereka begitu populer dan dikagumi di berbagai

institusi pendidikan dan ormas Islam, menggantikan tokoh-tokoh pemikir besar

Islam, seperti Syafii, Maliki, Hanafi, Ahmad bin Hanbal, al-Ghazali, Ibn Taimiyah,

Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan yang lainnya. Kaum Muslimin Indonesia

kini digerojok dengan ratusan –mungkin ribuan– buku, makalah, dan artikel

tentang hermeneutika, dengan satu pesan yang sama: “Tinggalkan (paling tidak,

kritisi!) tafsir lama.

Jangan percaya begitu saja pada penafsirnya, bahwa mereka adalah tulus dan

tidak punya maksud apa-apa. Mereka juga manusia, mereka punya kepentingan,

punya wawasan yang terpengaruh oleh faktor sosial budaya ketika itu”.

Prof Amin Abdullah, misalnya, menulis dalam satu buku hermeneutika: “Metode

penafsiran Al-Quran selama ini senantiasa hanya memperhatikan hubungan

penafsir dan teks Al-Quran tanpa pernah mengeksplisitkan kepentingan audiens

terhadap teks. Hal ini mungkin dapat dimaklumi, sebab para mufasir klasik lebih

menganggap tafsir Al-Quran sebagai hasil kerja-kerja kesalehan, yang dengan

demikian harus bersih dari kepentingan mufasirnya.

Atau barangkali juga karena trauma mereka pada penafsiran-penafsiran teologis

yang pernah melahirkan pertarungan politik yang maha dahsyat pada masa-

masa awal Islam. Terlepas dari alasan-alasan tersebut, tafsir-tafsir klasik Al-

Quran tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat

Islam.”

Page 7: referensi 2

Dalam buku yang sama juga disebutkan bahwa, Hassan Hanafi menawarkan cara

baru dalam membaca al-Quran. Metode Hassan Hanafi, seperti juga Arkoen,

dikatakan telah menghindarkan diri dari penafsiran yang subjektif dan

menjadikan teks sebagai sekedar justifikasi dan dalih bagi kepentingan penafsir.

Kini sudah saatnya ada panduan metodologis yang dapat menjadi “pencerahan”

bagi mufasir-mufasir muda Muslim dalam menjembatani antara al-Quran dan

kemanusiaan.

Ditulis juga dalam buku ini: “Apalagi sebagian besar tafsir dan ilmu penafsiran

yang diwarisi umat Islam selama ini, sadar atau tidak, telah turut

melanggengkan status quo dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik,

dan budaya. ” (Lihat, Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, 2002, hal.

xxv-xxvi, 10).

Umat Islam tentu tidak boleh apriori dengan satu informasi. (QS Al-Hujurat:6).

Jika dikatakan kaum Muslim perlu menggunakan hermeneutika sebagai

pengganti tafsir klasik, karena sebagian besar tafsir klasik dianggap

melanggengkan status quo, menyebabkan kemunduran, dan sebagainya, maka

perlu dipertanyakan, tafsir yang mana? dan “sebagian besar” itu berapa banyak?

Sekarang ada ribuan tafsir Al-Qur`an. Yang mana yang sudah dibaca para

pengritik tafsir lama itu?

Tafsir al-Azhar ditulis Hamka dalam penjara. Begitu juga Tafsir Fii Zhilal al-Quran.

Bahkan penulisnya, Sayyid Quthub, akhirnya meninggal digantung penguasa.

Selama ratusan tahun, dunia Islam mengenyam kemajuan dan perkembangan di

berbagai bidang ilmu pengetahuan, padahal tidak menggunakan metode herme-

neutika yang gencar dipromosikan belakangan ini. Imam Ahmad, Ibn Taymiyah,

dan lainnya adalah para penentang penguasa, dan telah menunjukkan diri

sebagai ilmuwan besar dalam sejarah Islam.

Page 8: referensi 2

Fenomena Taqlid baru

Sebenarnya praktek “belah bambu” semacam ini merupakan gejala yang

memprihatinkan dalam dunia ilmiah dan akademis. Klaim bahwa Hassan Hanafi,

Fazlur Rahman, Arkoen, Nasr Hamid, dan sebagainya “bebas dari kepentingan”

dibandingkan dengan mufassir klasik, sangatlah tidak ilmiah. Tanpa bersikap

apriori, pemikiran Hassan Hanafi dan lain-lain itu perlu dikaji dengan kritis.

Namun, seyogyanya, tidak disertai dengan memberikan prasangka kepada

pemikir-pemikir Muslim besar lain sebelumnya, sebelum membaca karya mereka

sendiri.

Malah, yang lebih memprihatinkan, analisis-analisis Jabiri, Nasr Hamid terhadap

pemikiran al-Syafii, al-Ghazali, dan sebagainya, terkadang diimani begitu saja,

bahkan dijadikan rujukan tanpa mengecek dan membaca kitab-kitab para imam

itu secara langsung. Padahal, kitab-kitab para imam besar itu berjumlah ratusan.

Tapi kemudian dirumuskan dan disimpulkan dalam satu atau dua kalimat oleh

analis. Sikap seperti ini adalah sebuah bentuk taklid buta.

justify;"> 

Jadi, ketika mereka menolak taklid kepada para imam besar, di saat yang sama

mereka justru melakukan taklid kepada pemikir modernis atau post-modernis,

Muslim atau non-Muslim.

Dalam hal hermeneutika juga demikian. Berbagai buku tentang hermeneutika

dan aplikasinya dalam pemikiran Islam, menunjukkan adanya fenomena rujukan

(taklid) pada pemikiran Scleiermacher dan Dilthey, untuk hermeneutika teoritis;

taklid kepada orang seperti Gadamer untuk hermeneutika filosofis; atau taklid

kepada Jurgen Habermas untuk metode hermeneutika kritis. Metode-metode

tafsir mereka itulah yang dianggap lebih tepat untuk menafsirkan al-Quran,

ketimbang metode para ulama tafsir.

Page 9: referensi 2

Sebenarnya para ulama Islam sejak dulu telah mengembangkan sikap kritis,

tidak apriori terhadap pemikiran-pemikiran asing. Namun, mereka tidak

menempatkan dan memahami Islam dalam kerangka dan sistem epistemologis

yang berbeda dengan Islam. Sebab, Islam bukan hanya al-Quran dan Sunnah,

tetapi juga cara memahami (epistemologis) kedua sumber utama Islam itu.

“Cara memahami” adalah hal yang sangat vital. Di sinilah perlunya masalah

hermeneutika didudukkan dengan serius. Sebab, istilah dan metodologi ini

bukan berasal dari tradisi Islam. Sebagai contoh, hermeneutika teoritis

menekankan faktor “kecurigaan” terhadap penafsir awal, sedangkan

hermeneutika kritis justru menekankan kecurigaan terhadap teks itu sendiri.

Tafsir nyeleneh ala Hermeneutika

Sebagian perumus teori hermeneutika, mengajukan gagasan “pemisahan teks

dari pengarangnya” sebagai upaya untuk memahami teks dengan lebih baik.

Bahkan, orang seperti Scleiermacher mengajukan gagasan tentang

kemungkinan penafsir dapat memahami lebih baik dari pengarangnya. Jika

gagasan ini diterapkan untuk al-Quran, siapakah yang mampu memahami Al-

Quran lebih baik dari Allah SWT atau Rasul-Nya?

Inilah yang disesalkan banyak cendekiawan Muslim terhadap gagasan Nasr

Hamid Abu Zaid yang menyatakan bahwa al-Quran adalah “produk budaya”

(muntaj tsaqafy).

Dengan menganggap Al-Quran semata-mata adalah produk budaya, karya sastra

biasa, atau sekedar teks linguistik seperti teks-teks lainnya, maka itu berarti

telah memisahkan al-Quran dari “Pengarangnya”, yaitu Allah SWT.

Page 10: referensi 2

Padahal, sebagai kalam Allah, Al-Quran adalah tanzil. Redaksinya pun berasal

dari Allah SWT. Dia memang bahasa Arab, tetapi bukan bahasa Arab biasa. Dia

adalah wahyu. Karena wahyu, maka manusia yang paling memahami maknanya

adalah Rasul-Nya dan orang-orang yang sezaman dengannya (para sahabat).

Jika teks Al-Qur`an dicerabut dari penjelasan Rasulullah SAW dan diletakkan

dalam konteks paradigma “Marxis”, maka maknanya tentu bisa berubah secara

mendasar. Jika Allah mengharamkan babi, lalu dianalisis secara sosial-budaya

ketika itu, maka akan bisa disimpulkan secara hermeneutis, bahwa babi haram

karena dagingnya enak dan tidak ada di Arab.

Sekedar interupsi, Hamka pernah bercerita, pada tahun 1963 seorang pelajar

SMP di Semarang mengirim surat kepadanya. Si pelajar bercerita bahwa

gurunya, seorang pemeluk setia agama Katolik, menerangkan dalam kelas

tentang sebab diharamkannya daging babi. Kata guru itu, Nabi Muhammad

sangat suka makan daging babi, sebab terlalu enak. Pada suatu hari pelayan

beliau mencuri persediaan daging babi yang akan beliau makan.

Ketika datang waktu makan, beliau minta persediaan daging yang sangat enak

itu. Si pelayan mengaku salah, telah mencuri dan memakan daging babi itu.

Mendengar itu, Nabi Muhammad sangatlah marah karena dagingnya dicuri.

Saking marahnya, mulai hari itu dijatuhkanlah hukuman: “Haram atas umatku

makan daging babi”. Lihat, Hamka, Studi Islam, 1985:245-246);

Selain itu, hukum potong tangan akan dikatakan sebagai hukum yang hanya

cocok untuk masyarakat baduy gurun di Arab; alasan muslimah haram kawin

dengan laki-laki non-muslim karena masyarakatnya didominasi laki-laki; jilbab

hanya wajib untuk daerah Arab karena iklimnya panas dan berdebu; khamr

haram hanya di daerah panas; homoseksual haram karena ketika itu belum ada

HAM; dan sebagainya.

Page 11: referensi 2

Berbagai pemahaman nyeleneh seperti di atas, akan terus bermunculan apabila

hermeneutika digunakan dalam menginterpretasikan Al-Qur’an.

Link aslinya http://rt013rw035.blogspot.com/2012/10/hermeneutika-teoritis-hermeneutika.html

HERMENEUTIKA DAN TEORI KRITIS

A.    Pengertian Hermeneutika

 Istilah hermeneutika berasal dari kata Yunani; hermencuein,yang artinya

diterjemahkan "menafsirkan", kata bendanya: hermeneia artinya "tafsiran". Dalam tradisi

Yunani kuno kata hermeneuein dipakai dalam tiga makna, yaitu mengatakan(to

say), menjelaskan (to explain), dan menerjemahkan (to translate). Dari tiga makna ini,

kemudian dalam kata Inggris diekspresikan dengan kata: to interpret,Dengan demikian

perbuatan interpretasi menunjuk pada tiga hal pokok: pengucapan lisan (an oral

recitation), penjelasan yang masuk akal (areasonable explanation),dan terjemahan dari

bahasa lain (a translation from another language), atau mengekspresikan.

Menurut istilah, hermeneutika biasa dipahami sebagai: "the art and science of

interpreting especially authoritative writings; mainly in application to sacred scripture, and

equivalent to exegesis" (seni dan ilmu menafsirkan khususnya tulisan-tulisan berkewenangan,

terutama berkenaan dengan kitab suci dan sama sebanding dengan tafsir). Ada juga yang

memahami bahwa hermeneutika merupakan sebuah filsafat yang memusatkan bidang kajiannya

pada persoalan "understanding of understanding (pemahaman pada pemahaman)'' terhadap teks,

terutama teks Kitab Suci, yang datang dari kurun, waktu, tempat, serta situasi sosial yang asing bagi

paia pembacanya.

Page 12: referensi 2

Istilah hermeneutika sering dihubungkan dengan nam a Hermes, tokoh dalam mitos Yunani yang bertugas menjadi perantara antara Dewa Zeus dan manusia.Namun dalam perkembangan selanjutnya definisi hermeutika ini mengalami perkembangan,

yang semula hermeneutika dipandang sebagai ilmu tentang penafsiran (science of interpretation). Dalam perkembangan selanjutnya definisi hermeneutika menurut Richard E. Palmer dibagi menjadi enam, yakni:[2]

1. Teori penafsiran Kitab Suci (theory of biblical exegesis)

2.         Sebagai metodologi filologi umum (general philological methodology).

3.        Sebagai ilmu tentang semua pemahaman bahasa (science of all linguistic understanding).

4.         Sebagai landasan metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (methodological foundation of Geisteswissenschaften)

5.         Sebagai pemahaman eksistensial dan fenomenologi eksistensi (phenomenology of existence dan of existential understanding)

6.        sebagai sistem penafsiran (system of interpretation).

Keenam definisi tersebut bukan hanya merupakan urutan fase sejarah, melainkan pendekatan yang sangat penting di dalam problem penafsiran suatu teks. Keenam definisi tersebut, masing-masing, mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda, namun dapat dipertanggungjawabkan, dari tindakan manusia menafsirkan, terutama penafsiran teks.Tulisan ini mau memberikan kerangka menyeluruh tentang keenam definisi tersebut, yang lebih banyak berfungsi sebagai pengantar pada arti sesungguhnya dari hermeneutika.

B.     Tokoh-tokoh Pengembang Hermeneutika

1.        Friederich Sehleiermacher

2.        Wtlhelm Dilthey

3.        Gadamer

4.        Husser

5.        Heideger

6.        Ricoeur[3]

C.     Pendapat dari beberapa tokoh tentang hermeneutika

Dalam pandangan Friederich Sehleiermacher menyatakan bahwa pemahaman hermeneutika mempunyai dua dimensi,yakni:

Page 13: referensi 2

1.      Penafsiran gramatikal, yang berkaitan dengan aspek linguistik yang membentuk batasan-batasan di mana sebuah kegiatan berpikir diatur. Dalam penafsiran ini, pendekatan yang digunakan dengan menggunakan metode komparatif yang bermula dari yang umum ke yang khusus. Penafsiran disebut juga penafsiran obyektif serta dapat juga dikatakan penafsiran negatif. Hal ini disebabkan hanya menunjukkan batas-batas pemahamannya saja.

2.      Penafsiran psikologis, yang berusaha menciptakan kembali tindak kreatif yang menghasilkan

teks dan kegiatan sosial.[4] Penafsiran psikologi melibatkan  penempatan seseorang dalam

pikiran penulis atau actor social supaya dapat mengetahui apa yang diketahui oleh seorang

penulis atau yang dipersiapkan dalam kegiatan social. Hal ini merupakan proses yang

memerlukan banyak tenaga untuk menyusun konteks kehidupan tempat suatu kegiatan terjadi

dan mendapatkan makna. Dalam penafsiran ini, pendekatan yang digunakan dengan metode

komparasi dan semacam ramalan. Dalam metode ini pelaku hermeneutika

mentransformasikan dirinya dalam diri penulis untuk menggali proses mentalnya. Penafsiran

ini disebut juga penafsiran teknis. Melalui penafsiran inilah tugas seorang hermeneutic

terpenuhi. Selain disebut sebagai penafsiran teknis, penafsiran ini juga disebut penafsiran

positif karena berusaha memahami tindak berpikir yang melahirkan wacana. [5]

Dalam pandangan Dilthey , yang dikenal sebagai filosof terpenting paruh kedua abad 19,

hermeneutika memang bermula dari analisis psikologis akan tetapi akhirnya harus

dikembangkan ke konteks social yang lebih luas. Dia juga berpendapat bahwa sebuah

fenomena harus ditempatkan pada situasi keseluruhan yang lebih luas tempat fenomena

tersebut mendapatkan maknanya, bagian-bagian memperoleh pemaknaan dari  keseluruhan

dan keseluruhan mendapatkan pemaknaan dari bagian-bagian. Jadi yang menjadi

penekanannya bergeser dari pemahaman empatik atau rekonstruksi proses mental orang lain

kea rah penafsiran hermeneutik tentang produk budaya struktur konseptual.[6]

Sedangkan Husserl mengembangkan hermeneutikanya didasarkan pada prinsip

fenomenologi. Baginya ada 3 pendapat mengenai konsep hermeneutika.,yakni:

1.      Hasil sebuah penafsiran haruslah bebas dari relativitas historis dan perubahan  social.

2.      Kesadaran harus bebas dari dugaan supaya diperoleh kebenaran mandiri.

3.      Data yang bersifat apa adanya harus dibuang

Menurut pandangan Heidegger yang merupakan murid Husserl, pemahaman adalah cara

berada (mode of being) dan harus dapat dipahami oleh orang biasa, hal itu adalah dasar bagi

eksistensi manusia. Baginya pemahaman dikaitkan dengan pemroses hubungan social dan

penafsiran adalah pemahaman secara sederhana yang tampak jelas dalam bahasa.[7]

Page 14: referensi 2

Menurut Gadamer dalam hermeneutika tertarik pada proses pemahaman. Pemahaman

harus diletakkan dalam tradisi historis , suatu waktu dan tempat teks ditulis . Hermeneutik

berlengsung di luar analisis teks menuju ke konteks historisnya. Ada 3 pendapat menurutntya

tentang hermeneutika yakni:

1.      Kegiatan hermeneutic diterapkan pada sesuatu di luar apa yang dikatakan menuju pada

sesuatu  yang secara alami ketika dikatakan  makna sehari-hari dan situasi dimana

percakapan itu terjadi.

2.      Hermeneutik dilakukan dengan cara memadukan horizon pelaku hermeneutic dan horizon

teks sasaran.  Benturan dengan horizon lain akan memunculkan kesadaran yang berupa

asumsi dan dugaan tentang horizon suatu makna yang belum disadari.  Dalam hal ini

hermeneutika adalah penjembatan atau mediasi bukannya rekonstruksi.

3.      Pembacaan sebagai bagian dari hermeneutik melibatkan aplikasi sehingga pembaca

menjadi bagian dari yang ia mengerti. Karena itu ketermilikan, partisipasi, bahasa sebagai

medium berpengalaman tentang dunia adalah landasan yang nyata bagi pengalaman

hermeneutik.

Dalam perkembangan selanjutnya, Ricoeur mengembangkan hermeneutikanya  dengan

berbasis pada teks. Dia memanfaatkan dikotomi langue dan parole serta mencarikan posisi

eksplanasi dan pemahaman dalam sebuah penafsiran. Dan kaidah-kaidah teks menurutnya

ada 3 kategori,yakni:[8]

1.      Teks selalu mengalami pelepasan konteksnya dari kondisi sosio-historis pengungkapannya

semula, karena itu teks selalu membuka diri sendiri terhadap seri pembacaan yang tidak

terbatas.

2.      Teks merupakan suatu langue dan parole. Begitu juga dalam proses pemahamannya. Ketika

dianggap sebagai langue maka teks harus diperlakukan sesuai dengan aturan linguistic sekuat

mungkin. Dan ketika dianggap sebagai parole maka teks adalah perbincangan dan pada saat

inilah teks ditafsirkan.  Penafsiran menurut pandangannya merupakan dialektika antara dua

kegiatan tersebut.

3.      Penafsiran merupakan proses dinamis yang mekanisme pengujian kebenaran hasilnya harus

diserahkan pada proses negosiasi dan debat.

D.    Pengertian Teori Krisis

Secara etimologis kritis dapat berarti pertama keadaan kritis, gawat atau

genting; kedua, berarti tidak lekas percaya dan ketiga, bersifat selalu menemukan kesalahan

atau kekeliruan dapat pula diartikan tajam dalam penganalisisan (Tim KUBI, 1989:466). Ber-

kaitan dengan tulisan ini maka kritis lebih diarahkan pada pengertian yang kedua. Dalam

Page 15: referensi 2

bahasa Inggris kritis diambilkan dari critical sebagai contoh critical sociology, yang

dimaksudkan adalah teori kritis.

Mengapa teori kritis, sebab teori kritis dipandang sesuai dengan visi dan persepsi

penulis untuk membedah dan jika mungkin meng-ubah secara teoretik

reflektif dan praksis atas realitas masyarakat sekarang ini.Teori Kritis disebut juga sosiologi kritis

atau teori kritik masyarakat (Connerton, 1976; Sindhunata, 1983; Hardiman, 1990; Suseno, 1992;).

E. Sejarah Singkat Teori Krisis

Teori kritis baru terkenal tahun 1960-an sejak terjadi diskusi yang seru antara Karl Popper dan Theodore W. Adorno di bawah moderator Ralf Dahrendorf (Sindhunata, 1983:XIV), ternyata per-debatan itu diteruskan oleh Hans Albert dipihak Popper dan Jurgen Habermas di pihak Adorno. Namun teori kritis benar-benar mencapai puncak di bawah Jurgen Habermas dan Max Horkheimer[9].

Teori kritis harus dipahami dalam konteks jamannya, tetapi manakala jaman itu memiliki karakter yang sama, maka tidak mus-tahil bahwa teori itu pun mempunyai relevansi dengan realitas jaman. Kontekstual dengan logika situasi, logika jaman atau zeit geschit (Popper,1985). Sebagai contoh teori kritis dengan inspirasi dari ajaran Marx, memandang masyarakat kapitalis sebagai masyarakat yang menindas. Demikian pula manakala kehidupan di Indonesia dewasa ini menunjukkan karakter yang sama, maka teori kritis memiliki relevansinya.[10]

Teori kritis dapat dianggap sebagai teori perjuangan, namun teori kritis juga tidak mengehendaki cara-cara yang destruktif, brutal dan anarkhis. Teori kritis lebih menonjolkan kekuatan moral. Teori kritis menghendaki suatu revolusi, namun revolusi secara damai. Sebagaimana dikatakan oleh Lenin bahwa tidak akan ada tindakan yang revolusioner tanpa ada teori yang revolusioner. Tetapi sebagai-mana diketahui bahwa banyak murid sekolah Franfurt kecewa, karena baik teori kritis maupun gurunya tidak mengehendaki revolusi tanpa damai.

Teori kritis berkembang secara pesat bersama dan berada dalam Frankfurt School. Pelopor sekolah Frankfurt Felix J. Weil seorang sarjana politik. Mendapat warisan dari ayahnya Herman Weil, ia menghimpun cendekiawan untuk menyegarkan kembali ajaran Marx sesuai kebutuhan saat itu. Cendekiawan yang tergabung antara lain Friederickh Pollock ahli ekonomi, Theodore W. Adorno, musikus, ahli sastra dan filsuf; Herbert Marcuse, murid Heidegger; Erich Fromm ahli psikoanalisa Freud; Walter Benyamin kritikus sastra, Max Horkheimer, Jurgen Habermas dan sebagainya.

Sejak awal secara eksplisit sekolah Frankfurt menempatkan ajaran Marxisme sebagai titik tolak pemikirannya (Connerton, 1976; Suseno, 1977; Sindhunata, 1983; Hardiman 1990.) Walaupun sebagai-mana diketahui melalui sekolah ini pula ajaran-ajaran Marx diperbarui dan bahkan ditinggalkan. Disamping itu sekolah Frankfurt juga men-dasarkan diri pada perspektif idealisme Jerman yang dirintis Immanuel Kant (kritisisme), memuncak pada ajaran Hegel melalui dialektikanya serta ketika Horkheimer sebagai pimpinan Frankfurt School teori kritis mendapatkan penyegaran melalui ajaran Freud dan Habermas sendiri seperti Althuser yang memperbaharui teori Marx dengan konsentrasi pada ideologi (Suseno, 1977).

Menurut Horkheimer dan kawan-kawannya, Kant dapat disebut sebagai filosuf kritis yang pertama. Kant sendiri menamakan filsafat-nya sebagai kritis, dalam arti bahwa akal budi harus

Page 16: referensi 2

menilai kemampuan dan keterbatasannya, dan hanya lewat kemampuan dan keterbatasannya itu akal budi mengetahui sesuatu. Sekolah Frankfurt menghargai Kant, karena mereka menganggap Kant telah menemukan otonomi subjek dalam membentuk pengetahuannya. Di sinilah terletak pengertian kritis yang pertama pengetahuan kita tidak ditentukan oleh objek, tapi subjek yang menghasilkan pengetahuan itu. Bahkan objek dapat dikonstruksi dan bahkan verifikasi hanya melalui subjek. Baginya tanpa kerja subjek tidak berarti apa-apa.[11]

Hegel beranggapan bahwa Kant telah berhasil menemukan otonomi akal budi manusia. Oleh karena itu akal budi tidak perlu lagi kritis terhadap dirinya, ia harus menjadi affirmatif. Sebab menurut Hegel akal budi telah mencapai kesempurnaan dalam roh. Bagai-manakah proses akal budi sampai pada roh? Proses tersebut tercakup dalam pengertian dialektikasebagai ajaran Hegel yang paling terkenal. Persis di sinilah terletak pengertian kritis yang kedua dari Sekolah Frankfurt: mereka beranggapan bahwa berpikir secara kritis adalah berpikir dialektis. Proses berpikir dialektis bukan sekedar dirumuskan thesis-antithesis dan sinthesis sebagaimana pada umum-nya dirumuskan. Melainkan dalam dialektika disamping ketiga tesis itu juga diperlukan adanya saling negasi, kontradiksi dan mediasi.

Berpikir kritis memerlukan: pertama, berpikir kritis adalah berpikir secara dialektis, berpikir dialektis adalah berpikir secara totalitas. Totalitas bukan berarti semata-mata keseluruhan di mana unsur-unsurnya yang bertentangan berdiri sejajar. Tetapi totalitas itu berarti keseluruhan yang mempunyai unsur-unsur yang saling be-rnegasi (mengingkari dan diingkari), saling berkontradiksi (melawan dan dilawan), dan saling bermediasi(memperantarai dan diperan-tarai). Pemikiran dialektis menekankan bahwa dalam kehidupan yang nyata pasti unsur-unsurnya saling berkontradiksi, bernegasi dan bermediasi. Pemikiran dialektis menolak kesadaran yang abstrak, misalnya individu dan masyarakat. Menurut pemikiran dialektis,individu selalu saling berkontradiksi, bermediasi dan bernegasi terhadapmasyarakat (Sindhunata, 1983).

Pengertian proses dialektis tidak mengarah pada sintesis dalam arti perpaduan, melainkan mengarah pada tujuan baru sama sekali, yaknirekonsiliasi, yang didalamnya tercakup pengertian pembaharu-an, penguatan dan perdamaian. Dalam seluruh proses berpikir dialek-tis sebenarnya merupakan realitas yang sedang bekerja atau working reality. Berpikir kritis adalah berpikir yang dialektis, berpikir dialektis adalah berpikir dalam perspektif empiris historis. [12]Berpikir adalah berpikir dialektis, berpikir dialektis adalah berpikir dalam kerangka kesatuan teori dan praksis (Habermas dalam Connerton, 1976:330. pengertian teori dan praksis sering menjadi persoalan). Hal ini jelas berbeda dengan orang yang salah paham bahwa persoalan teori dan praksis mesti dipikirkan sebagai persoalan bagaimana agar suatu teori itu dapat diaplikasikan pada kehidupan praktis, sebab pengertian itu seakan-akan menganggap bahwa teori dan praksis sebagai dua bidang yang berbeda, pada hal pengetian teori dan praksis hanyalah dua dimensi dari manusia yang satu dan sama, sehingga satu sama lain memang saling bisa dipisahkan dan saling mengecualikan. Pemikiran dialektis tidak mengandaikan adanya kesenjangan antara teori dan praksis yang harus dijembatani melainkan bagaimana suatu teori dapat membuahkan praksis (Sindhunata,1983).

Konsepsi teori kritis di samping bersumber pada Kant, Hegel juga pada Marx yang utamanya berangkat dari kritik ekonomi politik Marx. Menurut penganut Frankfurt school kritik ekonomi politik Marx harus diubah menjadi kritik sosiologi politik. Sebagaimana pendirian Marx bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka melainkan sebaliknya keadaan sosiallah yang menentukan kesadaran mereka.

Page 17: referensi 2

Kritik Ideologi melalui Freud. Erich Fromm lah yang memasukkan psikoanalis Freud ke dalam ajaran teori kritis. Menurut Fromm kritik ideologi Marx membutuhkan psikoanalisa, sebab psikoanalisa dapat mempertajam kritik ideologi Marx. Menurut Marx ideologi itu adalah kesadaran palsu, maksudnya ideologi tidak menggambarkan situasi nyata manusia secara apa adanya. Ideologi menggambarkan keadaan secara terpuntir atau terbalik.

Teori kritis memang diilhami filsafat kritis, sedangkan filsafat kritis mendapatkan aspirasinya dari kritik ideologi (Hardiman, 1990:10) yang dikembangkan Marx sewaktu masih muda, dalam tahap pemikirannya yang sering disebut hegelian muda. Selanjutnya perlu juga diketahui bahwa kritis di samping sebagai teori juga sebagai pendekatan. kritis sebagai pendekatan dalam arti bahwa sebuah teori hanyalah benar sebagai kritik terhadap belenggu-belenggu ideologis teori-teori terdahulu, jadi sebagai usaha teoretis yang sekaligus praksis emansipatif.

Tujuan teori kritis adalah menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan. Teori ini menggunakan metode reflektif dengan cara mengkritik secara terus menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada, yang cenderung tidak kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan[13]

F. Tokoh Penggagas atau Pengembang Teori Krisis

1. T.W.Adorno

2. Max Hork-heimer

3. Hebert Marcuse

4. Friederich Pollock

G. Ilmu Pengetahuan dan Kepentingan

Teori kritis mempunyai pandangan yang khas sebagai upaya untuk menyerang pandangan yang telah ada. Pandangan lama menga-takan bahwa Ilmu pengetahuan harus dibangun dengan dasar objek-tivitas, bebas nilai (value free), netralsebagaimana doktrin positivis-me.

Di balik selubung objektivitas itu ilmu-ilmu tersembunyi kepentingan-kepentingan kekuasaan.

Pengetahuan kita tidak ditentu-kan oleh objek, tapi subjek yang menghasilkan pengetahuan itu

(Sindhunata, 1983:31). Di samping itu perlu disadari pula bahwa di samping pengetahuan

yang telah diformulasikan, masih ada juga Segi Ilmu Pengetahuan yang tak terungkap

(Polanyi,1996).

Mengenai bebas nilai , teori kritis memandang bahwa ilmu pengetahuan dapat berkembang

atau tumbuh subur bersama dengan kepentingan fundamental yang ada di dalamnya (Suseno,

1992:183). Seperti halnya pendapat Helnest dalam (Kleden, 1987:21) bahwa … sejauh

menyangkut dasar dan dampak sebuah teori ilmu sosial, maka tak ada satu disiplin ilmu-ilmu

sosial pun yang dapat bebas nilai (value free), bebas kepentingan (interest-free), dan bebas

kekuasaan (power-free). Habermas telah melakukan apa yang dapat disebut kritik

ideologi dan kritik ilmu pengetahuan melalui kritik pengetahuan. Bagi Habermas antara

Page 18: referensi 2

pengetahuan, ilmu pengetahuan dan ideologi merupakan tiga hal yang saling bertautan dan

ketiganya berkaitan pada praksis kehidupan sosial manusia.

Menurut Habermas, segala sesuatu tindakan manusia didasar-kan pada tiga kepentingan

dasar. Pertama, kepentingan teknis, yaitu untuk menguasai alam.Kedua, kepentingan praktis,

untuk berkomuni-kasi. Ketiga, kepentingan emansipatoris untuk menentang segala paksaan

(Suseno, 1977:123). Di dalam kehidupan masyarakat modern bidang kehidupan manusia

seolah-olah demi kepentingan teknis saja. Oleh karena itu untuk mendobraknya dapat

dilaksanakan dengan refleksi. Melalui refleksi ini sejarah pengalaman penderitaan manusia

dapat disadari, utamanya kesadaran emansipatoris.[14]

[1] Palmer, R.E. 1969. Hermeneutiks: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey,

Heidegger, and Gadamer. Evanston, III:Northwestern Univ. Press. h. 23.

[2] Ibid,h. 25.

[3] Betanzos, R.J. 1988,’Introduction’ in Wilhelm, Introduction to Human Sciences. Pp.9-

63.Detroit, Mich: Wayne State Univ.Press.h. 28.

[4] Palmer, R.E. op. cit., h. 30.

[5] Ibid. h.43.

[6] Outwaite, W. 1975. Understanding Social Life: The Method called Verstehen. London:

Allen & Unwin, h.26.

[7] Palmer, R.E., op. cit.,h. 13.

[8] Ricouer, 1981-b 1981 b. ‘appropriation’. In J.B.Thomson (ed.), Paul

Ricoeur, Hermeneutiks and the Human Sciences, pp. 182-193. Cambridge: Cambridge Univ.

Press. H. 192-193.

[9] [9] Palmer, R.E. op. cit., h. 31.

[10] Outwaite, W. op. cit., h.32.

[11] Palmer, R.E. op. cit., h. 33.

[12] [12] Outwaite, W. 1975.op. cit., h.67.

[13] ibid

[14] Aristoteles, On the Soul, Book II, Pasal 5 , artikel20-25

Page 19: referensi 2

Link aslinya http://amrinarose13.blogspot.com/2013/03/hermeneutika-dan-teori-kritis.html