referat radiologi tht karawang

32
BAB I PENDAHULUAN Pemeriksaan radiologis berkembang dengan pesatnya sejalan dengan kemajuan ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lain pada umumnya.Kemajuan ini dipengaruhi oleh perkembangan teknologi fisika, kimia, biologi, elektronik, komputer dan sebagainya. Cara-cara pemeriksaan yang menghasilkan gambar tubuh manusia untuk tujuan diagnostik dinamakan pencitraan diagnostik. 1 Sebuah hasil pencitraan diagnostik merupakan sebuah referensi yang paling berharga bagi ahli bedah kepala dan leher atau otolaryngologist, yang sangat dibutuhkan dari pasien. Karena banyaknya bagian pendukung dan struktur dalam dari sebuah kepala dan leher yang pemeriksaannya bukan hanya sekedar pemeriksaan yang bersifat topografi (anatomi atau penentuan letak struktur) saja, tetapi juga memerlukan pemeriksaan yang bersifat fisiologi. 1 Tujuan dari pemeriksaan adalah untuk menilai bagaimana gambaran anatomi kepala dan leher dan menerjemahkannya ke dalam kepentingan klinis, mengidentifikasi anatomi sinus pada CT dan radiografi, menilai kompleksitas tulang temporal, mengidentifikasi struktur anatomi utama leher pada CT, MRI menggunakan pencitraan untuk mengerti dengan lebih baik anatomi vaskular pada leher. Dengan pemeriksaan radiologis tersebut juga, para ahli radiologi dapat memberikan gambaran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan patologis pada sinus paranasal dan 1

Upload: shittyhappened

Post on 19-Jan-2016

92 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Radiologi Tht Karawang

BAB I

PENDAHULUAN

Pemeriksaan radiologis berkembang dengan pesatnya sejalan dengan kemajuan ilmu

kedokteran dan ilmu-ilmu lain pada umumnya.Kemajuan ini dipengaruhi oleh perkembangan

teknologi fisika, kimia, biologi, elektronik, komputer dan sebagainya. Cara-cara pemeriksaan

yang menghasilkan gambar tubuh manusia untuk tujuan diagnostik dinamakan pencitraan di-

agnostik.1

Sebuah hasil pencitraan diagnostik merupakan sebuah referensi yang paling berharga

bagi ahli bedah kepala dan leher atau otolaryngologist, yang sangat dibutuhkan dari pasien.

Karena banyaknya bagian pendukung dan struktur dalam dari sebuah kepala dan leher yang

pemeriksaannya bukan hanya sekedar pemeriksaan yang bersifat topografi (anatomi atau pe-

nentuan letak struktur) saja, tetapi juga memerlukan pemeriksaan yang bersifat fisiologi.1

Tujuan dari pemeriksaan adalah untuk menilai bagaimana gambaran anatomi kepala

dan leher dan menerjemahkannya ke dalam kepentingan klinis, mengidentifikasi anatomi si-

nus pada CT dan radiografi, menilai kompleksitas tulang temporal, mengidentifikasi struktur

anatomi utama leher pada CT, MRI menggunakan pencitraan untuk mengerti dengan lebih

baik anatomi vaskular pada leher.

Dengan pemeriksaan radiologis tersebut juga, para ahli radiologi dapat memberikan

gambaran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan patologis pada sinus paranasal dan

struktur tulang sekitarnya, sehingga dapat memberikan diagnosis yang lebih dini.

Dalam beberapa dekade pertama, radiografi konvensional adalah modalitas diagnostik

untuk evaluasi penyakit kepala dan leher. Proyeksi radiografi khusus dirancang untuk

menunjukkan proses abnormal pada sinus paranasal, tulang temporal, dasar tengkorak, dan

leher.

1

Page 2: Referat Radiologi Tht Karawang

BAB II

ISI

2.1 Landmark dalam pemeriksaan radiologi kepala

Sebelum membahas anatomi radiologi kepala, perlu diketahui lebih dulu garis-garis

dan titik-titik berikut:

1. Glabellomeatal Line

Garis yang menghubungkan MAE dengan Glabella

2. Orbito Meatal Line

Garis yang menghubungkan MAE dengan Orbita

3. Infra Orbito Meatal Line

Garis yang menghubungkan MAE dengan Infra Orbita Point

4. Acanthiomeatal Line

Garis yang menghubungkan MAE dengan Acanthio

5. Mentomeatal Line

Garis yang menghubungkan MAE dengan Mental

6. Glabelloalveolar Line

Garis yang menghubungkan Glabella dengan Alveola

Gambar 1. Baseline kepala

2.2 Gambaran Radiologi Tulang Mastoid

CT dan MRI saat ini sudah menjadi salah satu metode pencitraan radiologi untuk

sebagian besar penyakit pada telinga dan bila ada kerusakan pada tulang temporal. Pada

penyakit pengikisan tulang, seperti otitis media kronik dengan kolesteatom, CT dengan

pengaturan jendela tertentu akan memberikan sumber informasi yang akurat. Dengan

pemeriksaan ini dapat dinilai besar dan perluasan suatu lesi besar yang berasal dari tulang

2

Page 3: Referat Radiologi Tht Karawang

temporal atau yang merupakan perluasan dari lesi-lesi struktur sekitar tulang temporal ke arah

tulang temporal.

Proyeksi radiologi yang biasa digunakan adalah :

1 Proyeksi Schuller

Posisi ini menggambarkan penampakan lateral dari mastoid. Pada posisi ini

perluasan pneumatisasi mastoid serta struktur trabekulasi dapat tampak dengan lebih

jelas. Posisi ini juga memberikan informasi dasar tentang besarnya kanalis auditorius

eksterna.

Proyeksi ini menampakkan beberapa kelainan pada processus mastoideus.

kedua sisi diperiksa sebagai perbandingan.

- Persiapan Alat

• Pesawat Sinar-X

• Kaset dan Film 18 x 24

• Marker

• Lysolm

• Gonad shield

- Persiapan Pasien: Instruksikan pasien untuk melepaskan benda-benda logam pada

daerah kepala

- Posisi Pasien: Semiprone

- Posisi Obyek 

• Atur MSP (Mid sagital plane) sejajar dengan meja/permukaan bucky

• Atur interpupilary line tegak lurus terhadap meja/permukaan bucky

• Lipat daun telinga yang terdekat dengan film

• Pastikan tidak ada rotasi ataupun tilting

Gambar 2. Posisi pasien proyeksi schuller

3

Page 4: Referat Radiologi Tht Karawang

- Central Ray: 25 derajat  ke Caudal

- Central Point: 1½ (4 cm) inci superior dan 1½ (4 cm) posterior MAE

- FFD (focus film distance) : 40 inci (100 cm) 

- Tahan nafas saat eksposi

- Struktur yang ditampakkan : Tampak Os mastoid yang dekat dengan kaset

Kriteria Gambaran

Tampak bagian os mastoid dan sebagian os petrosum dipertengahan film

Mastoid air cells tampak di bagian posterior petrous ridge

TMJ tampak di bagian anterior petrous ridge

Bagian mastoid dan petrossum yang tidak diperiksa terproyeksi di bagian

inferior

Tampak marker R/L di tepi film

Gambar 3. Proyeksi Schuller

2 Mayers method dan Owen modification

Patologi yang ditampakkan : Kelainan daerah mastoid (OMSK). 

Posisi Pasien : erect atau supine 

Posisi Obyek : 

o Atur dagu, sehingga IOML tegak lurus terhadap IR 

o Rotasikan kepala 45 derajat dengan daerah yang duperiksa dekat dengan IR. 

o Atur mastoid yang dekat dengan film berada pada pertengahan permukaan

meja/bucky.

o CR : 45 derajat ke caudad

4

Page 5: Referat Radiologi Tht Karawang

o CP : 3 inchi (7,5 cm) diatas superciliary arch, menuju setinggi 1 inci (2,5cm)

anterior tepi bawah MAE.

o FFD : 40 inchi (100cm) 

o Alternatif Owen modification : 

pada proyeksi ini rotasi kepala berkisar antara 30-40 derajat dari sisi

lateral dan CR berkisar 30-40 derajat ke caudad.

Struktur yang ditampakkan :

o Tampak bagian tepi bawah petrous ridge, yang mencakup tepi bawah mastoid

air cell dan struktur tulang labyrinth.

Gambar 4. Proyeksi Owen

3 Proyeksi Chause III

Posisi ini merupakan penampakan frontal mastoid dan ruang telinga tengah.

Posisi ini merupakan posisi tambahan setelah pemeriksaan posisi lateral mastoid.

Posisi ini merupakan posisi radiologik konvensional yang paling baik untuk

pemeriksaan telinga tengah terutama untuk pemeriksaan otitis kronik dan kolesteatom

Gambar 5. Proyeksi Chause III

5

Page 6: Referat Radiologi Tht Karawang

2.2.1 Kelainan pada tulang temporal dan mastoid

MASTOIDITIS AKUT2

Pembuatan foto radiologic untuk mestoiditis akut biasanya digunakan posisi

Schuller atau Owen, sedangkan Chausse III digunakan untuk memeriksa telinga tengah.

Gambaran radiologic mastoiditis akut bergantung pada lamanya proses inflamasi dan

proses pneumatisasi tulang temporal. Mastoiditis dini mastoiditis akut adalah berupa

perselubungan ruang telinga tengah dan sel udara mastoid, dan bila proses inflamasi

terus berlanjut akan terjadi perselubungan difus pada kedua daerah tersebut.

Gambar 6. Mastoiditis akut

MASTOIDITIS KRONIS 2

Gambaran perselubungan tak homogen di daerah antrum mastoid dan sel udara

mastoid. Proses inflamasi pada mastoid menyebabkan penebalan struktur trabekulasi

diikuti demineralisasi trabekulae. Pada inflamasi yang berlangsung terus dapat terjadi

obliterasi sel udara mastoid dan mastoid sklerotik. Gambaran perselubungan lain (sel

udara mastoid yang terisi jaringan granulasi).

Gambar 7. Mastoiditis Kronis

KOLESTEATOMA

6

Page 7: Referat Radiologi Tht Karawang

Kolesteatoma adalah kista epitelia yang berisi deskuamasi epitel

(keratin).Deskuamasi terbentuk terus menerus, menumpuk sehingga kolesteatoma

bertambah besar. Kolesteatoma juga disebut sebagai epitel kulit di tempat yang salah

atau epitel kulit yang terperangkap.

Kolesteatoma merupakan media yang baik untuk tumbuhnya kuman, yang

paling sering adalah Pseudomonas Aeruginosa.Bila terjadi infeksi, pembesaran

kolesteatoma menjadi lebih cepat sehingga menekan dan mendesak organ disekitarnya,

menyebabkan nekrosis tulang. Proses nekrosis tulang ini mempermudah timbulnya

komplikasi seperti labirinitis, meningitis dan abses otak.

Pada kolesteatoma yang menyebar kearah mastoid akan menyebabkan destruksi

struktur trabekulae mastoid dan pembentukan kavitas besar yang berselubung dengan

dinding yang licin. Kolesteatoma yang meluas ke sel udara mastoid tanpa merusak

trabekulasi tulang membentuk gambaran perselubungan pada sel udara mastoid dan

sulit dibedakan dari mastoiditis biasa.

FRAKTUR OS TEMPORAL2

Fraktur os temporal merupakan diskontinuitas tulang temporal, biasanya akibat

trauma tumpul kepala.Foto polos kepala dapat menunjukkan opasitas pada ruang

mastoid udara intrakranial dan gambaran lusen pada garis fraktur, namun garis fraktur

ini biasanya jarang terlihat. CT Scan dengan potongan tipis ( 1mm ) menunjukkan

gambaran lusen melalui apeks os petrosa.

Fraktur longitudinal berjalan parallel dengan aksis panjang tulang petrosus.Perlu

diperhatikan keterlibatan telinga tengah, kanalis karotikus, labirintus osesus, dan

kanalis auditoris eksternus.Fraktur transversal membentuk sudut dengan aksis panjang

os petrosus, perlu diperhatikan keterlibatan struktur telinga dalam dan nervus fasialis.

7

Gambar 8. kolesteatoma normal kolesteatoma

Page 8: Referat Radiologi Tht Karawang

Gambar 9. Fraktur Os. temporal

2.3 Gambaran Radiologi Sinus Paranasal

Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk mengevaluasi sinus

paranasal adalah:

1. Pemeriksaan foto kepala dengan berbagai posisi yang khas

2. Pemeriksaan tomogram

3. Pemeriksaan CT-Scan

Pada pasien-pasien dengan keluhan klinis khas yang mengarah pada dugaan adanya

sinusitis, antara lain pilek kronik, nyeri kepala, nyeri kepala satu sisi, nafas berbau, atau

kelainan-kelainan lain pada sinus paranasal misalnya mukokel, pembentukan cairan dalam

sinus-sinus, atau tumor, trauma sekitar sinus paranasal, diperlukan informasi mengenai

keadaan sinus tersebut. Dengan pemeriksaan radiologis tersebut para ahli radiologi dapat

memberikan gambaran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan patologis pada sinus

paranasal dan struktur tulang sekitarnya, sehingga dapat memberikan diagnosis yang lebih

dini.

Pemeriksaan foto kepala

Teknik radiografi sinus paranasal adalah teknik penggambaran sinus dengan

menggunakan sinar–x untuk memperoleh radiograf guna membantu menegakkan diagnosa.3

a. Patologi pemeriksaan radiografi sinus paranasal

Patologi yang sering terjadi sehingga dilakukkannya pemeriksaan radiograf sinus

paranasal adalah Ssinusitis, osteomalitis dan sinus polip

8

Page 9: Referat Radiologi Tht Karawang

b. Persiapan alat dan bahan, meliputi :

Alat dan bahan yang harus dipersiapkan adalah pesawat sinar-X, kaset dan film

ukuran 18 x 24 cm, marker R dan L dan plester, apron, ID camera, grid dan alat prossesing

film. Penggunaan identitas pada radiograf dengan marker meliputi informasi tanggal

pemeriksaan, nama atau nomor pasien, kanan atau kiri dan instiusi.

c. Persiapan Pasien

Persiapan pasien sebelum dilakukan pemeriksaan radiografi sinus paranasal antara lain

melepaskan benda-benda logam,plastik atau benda lain yang terdapat dikepala. Pengambilan

radiograf dengan pasien berdiri atau tiduran.

d. Teknik Radiografi sinus paranasal (Standar)

1) Proyeksi lateral

Tujuan dilakukannya proyeksi lateral adalah untuk menampakkan patologi sinusitis,

osteomilitis dan polip. Teknik pemeriksaan proyeksi lateral:

a) Posisi pasien

Atur pasien posisi berdiri

b) Posisi objek:

(1) Letakkan lateral kepala yang sakit dekat dengan kaset

(2) Atur kepala hingga benar-benar pada posisi lateral (MSP sejajar kaset)

(3) IPL tegak lurus kaset

(4) Atur dagu hingga IOML tegak lurus terhadap samping depan kaset

c) Sinar pusat:

(1) Arah sinar tegak lurus horizontal terhadap kaset

(2) Titik bidik tegak lurus terhadap kaset diantara outer canthus dan EAM

(3) Minumin SID 100 cm

d) Kolimasi

Pada semua rongga sinus

e) Pernafasan :

Pasien tahan nafas selama ekposi berlangsung

f) Kriteria radiograf : Tampak sinus maksillaris,sinus spenoid, sinus frontal dan sinus

ethimoid tampak secara lateral

9

Page 10: Referat Radiologi Tht Karawang

Gambar 10a. Proyeksi Lateral

Gambar 10b. Radiograf Proyeksi Lateral

2) Proyeksi PA (Cadwell method)

Tujuan dilakukannya proyeksi PA (Cadwell method) adalah untuk menampakkan

patologi adalah sinusitis, osteomilitis dan polip. Teknik pemeriksaan proyeksi lateral:

a) Posisi pasien

Atur pasien dalam keadaan erect

b) Posisi objek:

(1) Letakkan hidung dan dahi pasien menempel pada kaset, atau ekstensikan kepala hingga

OML membentuk sudut 150 dari kaset

(2) MSP tegak lurus kaset

c) Sinar pusat:

(1) Atur arah sinar horizontal, sejajar dengan kaset

10

Page 11: Referat Radiologi Tht Karawang

(2) Titik bidik keluar nasion

(3) Minimum SID 100 cm

d) Kolimasi

Pada semua rongga sinus

e) Pernafasan

Pasien tahan nafas selama pemeriksaan berlangsung

f) Kriteria radiograf : Tampak sinus frontal diatas sutura frontonasal, cairan anterior etmoid

tergambarkan secara lateral terhadap tulang nasal langsung dibawah sinus frontal.

Gambar 11a. Proyeksi PA (Caldwell Method) sinar pusat horizontal, OML 150 terhadap kaset, jika tidak dapat tegak lurus buky dapat dimiringkan 150.

Gambar 11b. Radiograf Proyeksi PA / Caldwell Method

3) Proyeksi parietoacanthial (waters methode close mouth)

11

Page 12: Referat Radiologi Tht Karawang

Tujuan dilakukannya proyeksi parietoacanthial (waters methode close mouth) adalah

untuk menampakkan patologi sinusitis, osteomilitis dan polip. Teknik pemeriksaan proyeksi

parietoacanthial (waters method close mouth):

a) Posisi pasien

Atur pasien dalam posisi erect

b) Posisi objek:

(1) Ekstensikan leher, letakkan dagu dan hidung pada permukaan kaset.

(2) Atur kepala hingga MML (mento meatal line) tegak lurus kaset, sehingga OML akan

membentuk sudut 370 dari kaset.

(3) MSP tegak lurus terhadap grid

c) Sinar pusat:

(1) Atur arah sinar horizontal tegak lurus pertengahan kaset keluar dari acanthion

(2) Minimum SID 100 cm

d) Kolimasi

Pada semua rongga sinus

e) Pernafasan

Pasien tahan nafas selama eskpos berlangsung

Kriteria radiograf : Sinus maksillaris tampak tidak super posisi dengan prosesus alveolar

dan petrous ridges.Inferior orbital rim tampak Sinus frontal tampak oblique

Gambar 12a. Proyeksi parietoacanthial / waters method close mouth 

12

Page 13: Referat Radiologi Tht Karawang

Gambar 12b. Radiograf Proyeksi parietoacanthial / waters method close mouth 

e. Teknik Radiografi sinus paranasal (Khusus)

1) Proyeksi parietoacanthial (waters method open mouth)

Tujuan dilakukannya proyeksi parietoacanthial (waters method open mouth) untuk

menampakkan patologi sinusitis, osteomilitis dan polip. Teknik pemeriksaan proyeksi

parietoacanthial (waters method open mouth):

a) Posisi Pasien

Atur pasien dalam posisi erect dan membuka mulut

b) Posisi Objek :

(1) Ekstensikan leher, istirahatkan dagu di meja pemeriksaan

(2) Atur kepala sehingga OML membentuk sudut 370 terhadap kaset (MML akan tegak lurus

dengan mulut yang terbuka)

(3) MSP tegak lurus terhadap grid

c) Sinar pusat :

(1) Arah sinar tegak lurus horizontal terhadap kaset

(2) Titik bidik pada pertengahan kaset keluar menuju acanthion

(3) Minimum SID 100 cm

d) Kolimasi

Pada semua rongga sinus

e) Pernafasan

Pasien tahan nafas selama pemeriksaan berlangsung

13

Page 14: Referat Radiologi Tht Karawang

f) Kriteria radiograf : Sinus maksillaris tampak tidak super posisi dengan prosesus alveolar

dan petrous ridges, Inferior orbital rim tampak, Sinus frontal tampak oblique dan tampak

sinus spenoid dengan membuka mulut

Gambar 13a. Proyeksi parietoacanthial / waters method open mouth 

Gambar 13b. Radiograf Proyeksi parietoacanthial / waters method open mouth 

2) Proyeksi Submentovertex (SMV)

Tujuan dilakukannya proyeksi Submentovertex (SMV) adalah untuk menampakkan

patologi sinusitis, osteomilitis dan polip. teknik pemeriksaan proyeksi Submentovertex

(SMV).

a) Posisi Pasien

Atur pasien dalam keadaan erect (berdiri), jika memungkinkan untuk menampakkan batas

ketinggian cairan.

b) Posisi Objek:

(1) MSP tegak lurus kaset

(2) Tengadahkan Dagu, hyperextensikan leher jika memungkinkan hingga IOML paralel

kaset. Puncak kepala menempel pada kaset.

c) Sinar pusat :

14

Page 15: Referat Radiologi Tht Karawang

(1) Arah sinar tegak lurus IOML

(2) Titik bidik jatuh di pertengahan sudut mandibular

(3) Minimum SID 100 cm

d) Kolimasi

Pada semua rongga sinus

e) Pernafasan

Pasien tahan nafas selama eksposi berlngsung

f) Kriteria radiograf : Tampak sinus sphenoid, ethmoid, maksillaris dan fossa nasal

Gambar 14a. Proyeksi Submentovertex (SMV) 

Gambar 14b. Radiograf Proyeksi Submentovertex (SMV)

15

Page 16: Referat Radiologi Tht Karawang

3) Foto Rhese

Posisi rhese atau oblik dapat mengevaluasi bagian posterior sinus etmoid, kanalis

optikus dan lantai dasar orbita sisi lain.

Gambar 15. Posisi rhese

4) Foto proyeksi Towne

Pemeriksaan foto polos kepala adalah pemeriksaan yang paling baik dan paling utama

untuk mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur-unsur tulang dan jaringan

lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus paranasal, kelainan jaringan lunak, erosi tulang

kadang sulit di evaluasi.Pemeriksaan ini dari sudut biaya cukup ekonomis dan pasien hanya

mendapat radiasi yang minimal.

Gambar 16. Posisi Towne

16

Page 17: Referat Radiologi Tht Karawang

Untuk mengevaluasi sinus paranasal cukup melakukan pemeriksaan foto kepala posisi

AP/ PA, lateral dan waters. Bila dari foto di atas belum dapat ditentukan atau belum didapat

informasi yang lengkap, baru dilakukan dengan posisi yang lain.

Pemeriksaan Tomogram.

Pemeriksaan tomogram pada sinus paranasal biasanya digunakan multidirection

tomogram. Sejak digunakannya CT-Scan, pemeriksaan tomogram penggunaannya agak

tergeser.Tetapi pada fraktur daerah sinus paranasal, pemeriksaan tomogram merupakan suatu

tehnik yang terbaik untuk menyajikan fraktur-fraktur tersebut dibandingkan dengan

pemeriksaan aksial dan coronal CT-Scan.Pemeriksaan tomogram biasanya dilakukan pada

kepala dengan posisi AP atau Waters.

Pemeriksaan Komputer Tomografi CT-Scan

Pemeriksaan CT-Scan sekarang merupakan pemeriksaan yang sangat unggul untuk

mempelajari sinus paranasal, karena dapat menganalisis dengan baik tulang-tulang secara

rinci dan bentuk-bentuk jaringan lunak. Irisan aksial merupakan standar pemeriksaan paling

baik yang dilakukan dalam bidang inferior orbitomeatal (IOM), dengan irisan setebal 5 mm,

dimulai dari sinus maksilaris sampai sinus frontalis. Pemeriksaan ini dapat menganalisis

perluasan penyakit dari gigigeligi, sinus-sinus dan palatum, terrmasuk ekstensi intrakranial

dari sinus frontalis.

Gambar 17a. CT-scan potongan koronal

17

Page 18: Referat Radiologi Tht Karawang

Gambar 17b. CT-scan potongan aksial

Irisan melalui bidang IOM dapat menyajikan anatomi paranasalis dengan baik dan

gampang dibandingkan dengan atlas standar cross section.Dapat juga mempelajari nervus

optikus dan mengevaluasi orbita.Bidang IOM berjalan sejajar dengan paltum durum,

sebagian dasar orbita, sebagian besar dasr fossa kranialis anterior (dasar sinus nasalis, sinus-

sinus etmoidalis, dan orbita).Dalam hal ini gampang sekali membandingkan sisi kanan dan

sisi kiri.Pada irisan ini dapat memperlihatkan volum, penyakit/kelainan jaringan lunak

diantara tulang-tulang atau erosi yang kecil.

2.3.1 Kelainan-Kelainan Pada Tulang Muka dan Sinus Paranasal

Sinusitis2

Dapat dilihat dengan proyeksi AP, lateral dan waters, berupa:

- Perselubungan semi opak homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus

paranasal akibat penebalan mukosa dan submukosa.

- Penebalan mukosa (tebal > 5 mm)

- Air fluid level (kadang-kadang)

- Penebalan dinding sinus dengan gambran sklerotik (kronik)

- Unilateral dengan fluid air level terbatas di satu sinus pada sinusitis bakterial.

- Bilateral simetris dan mengenai banyak sinus (sinusitis alergika)

18

Page 19: Referat Radiologi Tht Karawang

Pada sinusitis, mula-mula tampak penebalan dinding sinus, dan yang paling sering

adalah sinus maksilaris, sedangkan pada sinusitis kronik juga terdapat penebalan dinding

sinus yang disebabkan karena timbulnya fibrosis dan jaringan parut yang menebal. Pada foto

polos tidak dapat membedakan keduanya, dimana yang tampak hanya penebalan dinding

sinus. Tetapi CT-scan dengan penyuntikan kontras daat membedakan keduanya, dimana

apabila terjadi enhance menunjukkan adanya inflamasi aktif, tetapi bila tidak terjadi enhance

biasanya jaringan fibrotik dan jaringan parut.

Gambar 18. Sinusitis akut sinus maksilaris kanan

Fraktur Tulang Muka

Fraktur tulang muka dapat dibagi 2 kelompok, yaitu : dapat terjadi pada satu tulang atau

dapat terjadi pada beberapa tulang. Fraktur-fraktur ini meliputi:

fraktur tulang nasal ; dimana terjadi gangguan aliran dari sinus-sinus kekavum nasi

fraktur tulang frontal

fraktur arkus zigomatikus : dimana terlibat sinus makasilaris

fraktur yang meliputi etmoid/ maksilaris atau keduanya

pada foto polos kepala gambaran yang tampak hanya garis fraktur dan perselubungan

satu atau dua sisi sinus. Sedangkan pemeriksaann CT-Scan dapat memperlihatkan gambaran

herniasi. 4

Fraktur kompleks yang sering terjadi adalah : 4

fraktur naso-orbital, dapat disebabkan oleh benturan kuat pada dasar hidung yang

menekan tulang nasal kebelakang sehingga menyebabkan sinus etmoidalis kolap. Pada

foto polos AP sukar dinilai, pada foto lateral dapat dilihat fraktur pada tulang nasal

dimana tulang nasal tertekan kedalam dan perselubungan pada sinus etmoidalis.

19

Page 20: Referat Radiologi Tht Karawang

Pemeriksaann CT-Scan khususnya irisan koronal, dapat memperlihatkan secara tepat

kolap sinus etmoid.

fraktur trimalar, sering terjadi pada olah raga tinju dimana terdapat pukulan keras pada

tulang zigomatikus. Fraktur dapat ditegakkan dengan pemotretan posisi Water dan

pemeriksaan CT-Scan.

fraktur Le Fort, fraktur komplek tulang-tulang muka yang sering terlihat pada

kecelakaan. Pemeriksaan foto polos muka dan CT-Scan dapat memperlihatkan luasnya

daerah yang terkena, dan tulang-tulang apa saja yang fraktur.

Tumor Pada Sinus

Delapan puluh persen tumor yang menyerang sinus paranasal dan kavum nasi adalah

karsinoma sel skuamosa dan hamper 80% menyerang sinus maksila. Tanda-tanda radiologi

pada foto polos kepala dan CT kepala adalah adanya masa pada sinus maksilaris disertai

dekstruksi tulang aktif, hanya pada CT kepala dapat ditambahkan evaluasi tambahan daerah

fosa infra temporalis dan daerah paraparingeal. Hal ini dapat menentuka apakah tumor

menyebar pada daerah tersebut atau ke atas ke daerah basis kranii. 4

Ada sekelompok tumor dengan tanda-tanda radiologik yang khas, yaitu adanya

ekspansi aktif meliputi seluruh rongga sinus, dekstruksi tulang dinding pada sinus yang

diserang, tetapi secara garis besar tulang-tulang tersebut mengalami rekalsifikasi lagi,

sehingga sering tumor dianggap jinak, tetapi secara patologis prognosisnya sangat jelek.

Kelompok tumor ini adalah papiloma, esthesioneuroblastoma, tumor kelenjer saliva minor

termasuk adenokarsinoma, ekstramedulariplasmasitoma, melanosarkoma, dan

rhabdomiosarkoma. 4

2.4 Gambaran Radiologi Faring Laring

Peralatan pencitraan radiologi penting untuk mengamati dan menentukan ukuran atau

dimensi dari sebuah kelainan pada laring. Kelainan yang terdapat pada faring dan laring

mungkin terlibat pada kondisi patologis tertentu. Evaluasi pada kepala dan leher telah

berkembang pesat dengan adanya CT scan dan MRI sebagaimana kedua pencitraan ini

menampilkan kedalaman infiltrasi tumor, pertumbuhan submukosa dan keterlibatan

kontralateral, invasi tulang rawan, invasi sumsum tulang, dan adenopati yang tidak dapat

dipalpasi. MRI dan CT keduanya dapat memberikan informasi akurat mengenai

tingkat/level dari tumor larink ini, terutama ukuran tumor atau kanker. 5

20

Page 21: Referat Radiologi Tht Karawang

Untuk proses pencitraannya sendiri, CT dapat dengan mudah memperoleh data hanya

dengan waktu kurang dari 10 detik, sehingga menghindari kesalahan yang diakibatkan

oleh gerak pasien. Sedangkan larink sangat sulit untuk dicitra dengan MRI karena adanya

“motion artifac” akibat denyut nadi pasien. 5

Gambar 19 Radiologi faring laring

2.5 Jaringan Lunak Pada Leher

Masa kepala dan leher secara umum digolongkan atas jaringan normal atau malignan,

primer atau metastasis, yang sudah ada sejak lahir atau baru timbul akibat peradangan.

Pengelompokan ini kemudian berlanjut menurut usia (anak dan dewasa), lokasi (depan,

tengah, dan belakang). Sehingga pemeriksaan yang penting untuk membedakan mana

jaringan normal dan malignan menjadi sangat penting dalam masalah klinis ini. 5

Metode radiografi konvensional biasanya tidak begitu berhasil dalam membedakan

masa jaringan pada leher, kecuali dalam mengenali tanda-tanda yang tidak biasa, seperti

pengapuran. Ultrasonografi adalah metode yang aman, relatif murah, sudah banyak tersedia,

yang dikategorikan sebagai pencitraan beresolusi tinggi yang memungkinkan zat penerima

suara memantulkan kembali suara ke reseptor. Teknik ultrasound yang dikombinasikan

dengan lima jarum penghisap dan pemeriksaan cytologic mempunyai kemampuan yang

signifikan dalam mengetahui susunan jaringan lunak pada leher. MRI penting untuk

mengetahui adanya node “titik” abnormal; CT dengan slicing yang tipis sangat cocok dipakai

pada pelebaran extravaskular. Digital substriction angiography dan conventinal

21

Page 22: Referat Radiologi Tht Karawang

superselective angiography merupakan peralatan diagnostik pada hemangioma, arterivenous

malformations, dan parangangliomas. CT adalah peralatan yang paling penting untuk

mendiagnosa masa leher karena alat tersebut secara efektif dapat membedakan/menentukan

tumor utama dan node-node tertentu. 5

BAB III

KESIMPULAN

22

Page 23: Referat Radiologi Tht Karawang

Pemeriksaan radiologi berperan penting membantu menentukan diagnosis awal dan

perkembangan penyakit selanjutnya. Jenis pemeriksaan radiologi meliputi pemeriksaan kon-

vensional sederhana sampai canggih. Modalitas radiologi harus digunakan dengan tepat

sesuai kasus, juga dalam menegakkan kasus pada bagian THT.

Dalam bidang THT, pemeriksaan radiologi yang dilakukan dapat berupa radiologi

konvensional dengan sinar X (rontgen), CT Scan dan MRI.Radiografi konvensional adalah

modalitas diagnostik untuk evaluasi penyakit kepala dan leher yang telah lama dilakukan.

Untuk menegakkan diagnosis kelainan dalam bidang THT, dapat dilakukan pencitraan

pada kepala dan leher dengan berbagai posisi/ proyeksi. Proyeksi standar yang digunakan un-

tuk rontgen kepala adalah posisi AP, PA, lateral, posisi Towne’s, dan posisi Caldwell, posisi

submento-vertical (basal), dan posisi waters, schuller, owen, chause III, dll.

Dapat menilai dan mengevaluasi sinus paranasal (sinus maksilaris, frontalis, et-

moidalis dan spenoidalis) beserta kelainan-kelainannya (sinusitis, tumor, dll). Pada pemerik-

saan radiologi kepala juga dapat menilai dan mengevaluasi mastoid, os temporal dan ke-

lainan-kelainannya (mastoiditis, kolesteatoma, fraktur os temporal, dll).

DAFTAR PUSTAKA

23

Page 24: Referat Radiologi Tht Karawang

1. Faradilla, Nova.2009. Diagnosis Radiologi di Bidang THT. Files of DrsMed –

FK UNRI (http://www.Files-of-DrsMed.tk

2. Malueka, Rusdy Ghazali (editor). 2008. Radiologi Diagnostik. Pustaka Cendikia

Press: Yogyakarta

3. Kenneth L, Bontrager. Bontrager’s Hndbook of Radiographic Positioning and

Techniques. 7th edition. Elsevier Health Science. India. 2009

4. Rachman DM. Sinus Paranasal dalam Radiologi Diagnostik. Edisi kedua. FKUI-

RSCM. Jakarta 2005 431-46

5. Noyek MA, Witterick JI, Fliss MD, Kassel EE. Diagnostic Imaging in Head and

Surgery-Otolaryngology. Second Edition. Edited by Byron J. Lippincott-Raven

Publishers. Philadelphia. 1998.81-92

6. Ekayuda I (editor). 2005. Radiologi Diagnostik. Edisi kedua. Jakarta: FKUI

24