referat paru - pneu nosokomial

20
Bab I Pendahuluan Pneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP) adalah pneumonia yang didapat di rumah sakit menduduki peringkat ke-2 sebagai infeksi nosokomial di Amerika Serikat, hal ini berhubungan dengan peningkatan angka kesakitan, kematian dan biaya perawatan di rumah sakit. Pneumonia nosokomial terjadi 5-10 kasus per 1000 pasien yang masuk ke rumah sakit dan menjadi lebih tinggi 6-20x pada pasien yang memakai alat bantu napas mekanis. Angka kematian pada pneumonia nosokomial 20-50%. Angka kematian ini meningkat pada pneumonia yang disebabkan P.aeruginosa atau yang mengalami bakteremia sekunder. Angka kematian pasien pada pneumonia yang dirawat di istalansi perawatan intensif (IPI) meningkat 3-10x dibandingkan dengan pasien tanpa pneumonia. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa lama perawatan meningkat 2-3x dibandingkan pasien tanpa pneumonia, hal ini tentu akan meningkatkan biaya perawatan di rumah sakit. Di Amerika Serikat dilaporkan bahwa lama perawatan bertambah rata-rata 7- 9 hari. Angka kejadian pneumonia nosokomial di Jepang adalah 5 – 10 per 1000 kasus yang dirawat. Lebih kurang 10% pasien yang dirawat di IPI akan berkembang menjadi pneumonia dan angka kejadian pneumonia nosokomial pada pasien yang menggunakan alat bantu napas meningkat sebesar 20 – 30%. Angka kejadian dan angka kematian pada umumnya lebih tinggi di rumah sakit yang besar dibandingkan dengan rumah sakit yang kecil.

Upload: vienstefani

Post on 28-Sep-2015

10 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Tatalaksana HAP

TRANSCRIPT

Bab IPendahuluanPneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP) adalah pneumonia yang didapat di rumah sakit menduduki peringkat ke-2 sebagai infeksi nosokomial di Amerika Serikat, hal ini berhubungan dengan peningkatan angka kesakitan, kematian dan biaya perawatan di rumah sakit. Pneumonia nosokomial terjadi 5-10 kasus per 1000 pasien yang masuk ke rumah sakit dan menjadi lebih tinggi 6-20x pada pasien yang memakai alat bantu napas mekanis. Angka kematian pada pneumonia nosokomial 20-50%. Angka kematian ini meningkat pada pneumonia yang disebabkan P.aeruginosa atau yang mengalami bakteremia sekunder. Angka kematian pasien pada pneumonia yang dirawat di istalansi perawatan intensif (IPI) meningkat 3-10x dibandingkan dengan pasien tanpa pneumonia. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa lama perawatan meningkat 2-3x dibandingkan pasien tanpa pneumonia, hal ini tentu akan meningkatkan biaya perawatan di rumah sakit. Di Amerika Serikat dilaporkan bahwa lama perawatan bertambah rata-rata 7-9 hari. Angka kejadian pneumonia nosokomial di Jepang adalah 5 10 per 1000 kasus yang dirawat. Lebih kurang 10% pasien yang dirawat di IPI akan berkembang menjadi pneumonia dan angka kejadian pneumonia nosokomial pada pasien yang menggunakan alat bantu napas meningkat sebesar 20 30%. Angka kejadian dan angka kematian pada umumnya lebih tinggi di rumah sakit yang besar dibandingkan dengan rumah sakit yang kecil.

Bab IITinjauan PustakaPneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit. Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi endotrakeal.

Terapi antibiotikBeberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial ialah : 1. Semua terapi awal antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik yang harus mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang mungkin sebagai penyebab, perhitungkan pola resistensi setempat 2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan dosis dan cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektiviti yang maksimal. Pemberian terapi emperis harus intravena dengan sulih terapi pada pasien yang terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna yang baik. 3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada hasil kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan respons klinis. 4. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi kuman MDR 5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis memburuk 6. Data mikroba dan sensitiviti dapat digunakan untuk mengubah pilihan empirik apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian antibiotik berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak akan mengubah mortaliti apabila terapi empirik telah memberikan hasil yang memuaskan.

Tabel 1. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP pada pasien tanpa faktor risiko patogen MDR, onset dini dan semua derajat penyakit (mengacu ATS / IDSA 2004)Patogen potensialAntibiotik yang direkomendasikan

Streptocoocus pneumoniae Haemophilus influenzae Metisilin-sensitif Staphylocoocus aureus Antibiotik sensitif basil Gram negatif enterik - Escherichia coli - Klebsiella pneumoniae - Enterobacter spp - Proteus spp - Serratia marcescens

Betalaktam + antibetalaktamase (Amoksisilin klavulanat) atau Sefalosporin G3 nonpseudomonal (Seftriakson, sefotaksim) atau Kuinolon respirasi (Levofloksasin, Moksifloksasin)

Tabel 2. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP untuk semua derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu ATS / IDSA 2004)Patogen potensialTerapi Antibiotik kombinasi

Patogen MDR tanpa atau dengan patogen pada Tabel 1

Pseudomonas aeruginosa Klebsiella pneumoniae (ESBL) Acinetobacter sp Methicillin resisten Staphylococcus aureus (MRSA) Sefalosporin antipseudomonal (Sefepim, seftasidim, sefpirom) atau Karbapenem antipseudomonal (Meropenem, imipenem) atau -laktam / penghambat laktamase (Piperasilin tasobaktam) ditambah Fluorokuinolon antipseudomonal (Siprofloksasin atau levofloksasin) atau Aminoglikosida (Amikasin, gentamisin atau tobramisin) ditambah Linesolid atau vankomisin atau teikoplanin

Gambar 1. Skema terapi empirik untuk HAP dan VAP

JENIS ANTIBIOTIKGolongan BetalaktamAntibiotika ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok penisilin dan sefalosporin. Obat-obat antibiotic beta-laktam umumnya bersifat bakterisid, dan sebagian besar efektif terhadap organism Gram-positif dan negatif. Antibiotik beta-laktam mengganggu sintesis dinding sel bakteri, dengan menghambat langkah terakhir dalam sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang memberikan stabilitas mekanik pada dindingsel bakteri.

A. Kelompok Penisilin Penisilin diperoleh dari jamur Penicillium chrysogenum dari berbagai jenis yang dihasilkannya, perbedaannya hanya pada gugus samping-R saja. Penisillin bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis dnding sel. Efek samping yang terpenting adalah reaksi yang dapat menimbulkan urtikaria, dan kadang-kadang reaksi analfilaksis dapat menjadi fatal. 1. Benzilpenisilin: penisilin G bersifat bakterisid terhadap kuman Gram-positif (khususnya cocci) dan hanya beberapa kuman negatif. Penisilin G tidak tahan-asam, maka hanya digunakan sebagai injeksi i.m atau infus intravena. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 60%; plasma t nya sangat singkat, hanya 30 menit dan kadar darahnya cepat menurun. Eksresinya berlangsung sebagian besar melalui transport aktif tubuler dari ginjal dan dalam keadaan utuh. Aktivitas penisilin G masih dinyatakan dalam Unit Internasional (UI)2. Fenoksimetilpenisilin: Penisilin-V; derivate semisintesis ini tahan asam dan memiliki spektrum kerja yang dapat disamakan dengan pen-G, tetapi terhadap kuman negatif (antara lain suku Nesseira dan bacilli H. influenzae) 5-10 kali lebih lemah. Resorpsi penisilin-V tidak diuraikan oleh asam lambung. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 80%, plasma t 30-60 menit. Sebagian besar zat dirombak di dalam hati, dan rata-rata 30% dieksresikan lewat kemih dalam keadaan utuh. Dosis oral 3-6 dd 25-500 mg 1 jam sebelum makan, atau 2 jam sesudah makan. 3. Ampisilin: penisilin broad spectrum ini tahan asam dan lebih luas spektrum kerjanya yang meliputi banyak kuman gram-negatif yang hanya peka bagi penisilin-G dalam dosis intravena tinggi. Kuman-kuman yang memproduksi penisilinase tetap resisten terhadap ampisilin (dan amoksisilin). Ampisilin efektif terhadap E. coli, H. influenzae, Salmonella, dan beberapa suku Proteus. Resorpsinya dari usus 30-40% (dihambat oleh makanan), plasma t nya 1-2 jam. Ikatan dengan protein plasmanya jauh lebih ringan daripada penisilin G dan penisilin V. Eksresinya berlangsung melalui ginjal yaitu 30-45% dalam keadaan utuh aktif dan sisanya sebagai metabolit. Efek samping berkaitan dengan gangguan lambung-usus dan alergi. Dosis untuk oral 4 dd sehari 0,5-1 g (garam-K atau trihidrat) sebelum makan. 4. Amoksisilin: derivat hidroksi dengan aktivitas sama seperti ampisilin. Resorpsinya lebih lengkap (80%) dan pesat dengan kadar darah dua kali lipat. Ikatan dengan protein plasma dan t nya lebih kurang sama, namun difusinya ke jaringan dan cairan tubuh lebih baik. Kombinasi dengan asam klavulanat efektif terhadap kuman yang memproduksi penisilinase. Efek samping yang umum adalah gangguan lambung-usus dan radang kulit lebih jarang terjadi. Dosis untuk oral 3 dd 375-1.000 mg, anak-anak < 10 tahun 3 dd 10 mg/kg, juga diberikan secara i.m/i.v (Istiantoro, 2007; Tjay, 2007; Elin, 2008).5. Coamoksiklav terdiri dari amoksilin dan asam klavulanat (penghambat beta laktamase). Asam klavulanat sendiri hampir tidak memiliki antibakterial. Tetapi dengan menginaktifkan penisilinase, kombinasi ini aktif terhadap bakteri penghasil penisilinase yang resisten terhadap amoksisilin. 6. Penisilin antipseudomonas: obat ini diindikasikan untuk infeksi berat yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa. Selain itu juga aktif terhadap beberapa kuman gram negatif, termasuk Proteus spp dan Bacteroides fragilis .

B. Kelompok Sefalosporin Sefalosporin diperoleh dari jamur Cephalorium acremonium yang berasal dari Sicilia. Sefalosporin merupakan antibiotika betalaktam dengan struktur, khasiat, dan sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungan-keuntungan antara lain spektrum antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup enterococci dan kuman-kuman anaerob serta resisten terhadap penisilinase, tetapi tidak efektif terhadap Staphylococcus yang resisten terhadap metisilin.Berdasarkan sifat farmakokinetika, sefalosporin dibedakan menjadi dua golongan. Sefaleksim, sefaklor, dan sefadroksil dapat diberikan per oral karena diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan parenteral. Sefalotin dan sefapirin umumnya diberikan secara i.v. karena menimbulkan iritas pada pemberian i.m. Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya mosalaktam, sefotaksim, seftizoksim, dan seftriakson mencapai kadar tinggi dalam cairan serebrospinal, sehingga bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati sawar plasenta, mencapai kadar tinggi dalam cairan synovial dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik kadar sefalosporin generasi ketiga dalam cairan mata relatif tinggi, tapi tidak mencapai vitreus. Kadar dalam empedu umumnya tinggi terutama sefoperazon. Kebanyakan sefalosporin dieskresi dalam bentuk utuh ke urin, kecuali sefoperazon yang sebagian besar dieskresi melalui empedu. Oleh karena itu dosisnya harus disesuaikan pada pasien gangguan fungsi ginjal .Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi. Reaksi anafiilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang biasanya terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi penisilin yang ringan dan sedang kemungkinannya kecil. Sefalosporin merupakan zat yang nefrotoksik, walaupun jauh kurang toksis dibandingkan dengan aminoglikosida. Kombinasi sefalosporin dengan aminoglikosida mempermudah terjadinya nefrotoksisitas .Yang termasuk dalam kelompok sefalosporin adalah: 1. Sefalosporin generasi pertama: sefalotin, sefazolin, sefradin, sefaleksin, dan sefadroksil. Terutama aktif terhadap kuman gram positif. Golongan ini efektif terhaap sebagina besar S. aureus dan streptokokus termasuk Str. pyogenes, Str. viridans, dan Str. pneumoniae. Bakteri gram positif yang juga sensitif adalah Clostridium perfringens, dan Corinebacterium diphtheria. Sefaleksim, sefradin, sefadroksil aktif pada pemberian per oral. Obat ini diindikasikan untuk infeksi salura kemih yang tidak berespons terhadap obat lain atau yang terjadi selama kehamilan, infeksi saluran napas, sinusitis, infeksi kulit dan jaringan lunak.2. Sefalosporin generasi kedua: Sefaklor, sefamandol, sefmetazol, sefuroksim. Dibandingkan dengan generasi pertama, sefalosporin generasi kedua kurang aktif terhadap bakteri gram positif, tetapi lebih aktif terhadap gram negatif, misalnya H. Influenza, E. Coli, dan Klebsiella. Golongan ini tidak efektif terhadap kuman anaerob. Sefuroksim dan sefamandol lebih tahan terhadap penisilinase dibandingkan dengan generasi pertama dan memiliki aktivitas yang lebih besar terhadap H. Influenzae dan N.. 3. Sefalosporin generasi ketiga: sefoperazon, sefotaksim, seftriakson, sefiksim, sefodoksim, sefprozil. Golongan ini umumnya kurang efektif terhadap kokus gram positif dibandingkan dengan generasi pertama, tapi jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae termasuk strain penghasil penisilinase (Elin, 2008). Aktivitasnya terhadap gram negatif lebih kuat dan lebih luas lagi dan meliputi Pseudomonas dan Bacteroides, khususnya seftazidim. 4. Sefalosporin generasi keempat: sefepim dana sefpirom. Obat-obat baru ini sangat resisten terhadap laktamase, sefepim juga aktif sekali terhadap pseudomonas .

C. Antibiotika Laktam Lainnya 1. Imipenem: khasiat bakterisidnya berdasarkan perintangan sintesis dinding-sel kuman. Spektrum kerjanya luas meliputi, banyak kuman gram-positif dan negatif termasuk Pseudomonas, Enterococcus, dan Bacteroides, juga kuman patogen anaerob. Tahan terhadap kebanyakan betalaktamase kuman, tetapi berdaya menginduksi produksi enzim ini. Oleh ginjal dehidropeptidase-1 dirombak menjadi metabolit nefrotoksis, maka hanya digunakan terkombinasi dengan suatu penghambat enzim yaitu silastatin. Dosis terkombinasi dengan cilastatin i.v. sebagai infus 250-1.000mg setiap 5 jam. Efek samping sama dengan antibiotika betalaktam lainnya. Neurotoksisitas pernah dilaporkan pada dosis sangat tinggi dan pada pasien gagal ginjal. 2. Meropenem sama dengan imipenem, tetapi lebih tahan terhadap enzim di ginjal sehingga dapat diberikan tanpa silastin. Penetrasinya ke dalam semua jaringan baik termasuk ke dalam cairan serebrospinal sehingga efektif terhadap meningitis bakterial. Dosisnya untuk intravena atau infus 10-120 mg/kg dalam 3-4 dosis atau setiap 8-12 jam.

Golongan Makrolida Kelompok antibiotika ini terdiri dari eritromisin dengan derivatnya klaritromisin, roksitromisin, azitromisin, dan diritromisin. Semua makrolida diuraikan dalam hati, sebagian oleh sistem enzim oksidatif sitokrom-P450 menjadi metabolit inaktif. Pengecualian adalah metabolit OH dari klaritromisin dengan aktivitas cukup baik. Eksresinya berlangsung melalui empedu, tinja serta kemih, terutama dalam bentuk inaktif Efek samping yang terpenting adalah pengaruhnya bagi lambung-usus berupa diare, nyeri perut, nausea, dan kadang-kadang muntah, yang terutama terlihat pada eritromisin akibat penguraiannya oleh asam lambung. Eritromisin pada dosis tinggi dapat menimbulkan ketulian yang reversibel. Semua makrolida dapat mengganggu fungsi hati, yang tampak sebagai peningkatan nilai-nilai enzim tertentu dalam serum.a. Eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang hampir digunakan sama dengan penisilin, sehingga obat ini digunakan sebagai alternatif pengganti penisilin. Eritromisin bersifat bakteriostatis terhadap bakteri gram-positif. Mekanisme kerjanya melalui pengikatan reversibel pada ribosom kuman, sehingga sintesis proteinnya dirintangi. Absorpsinya tidak teratur, agak sering menimbulkan efek samping saluran cerna, sedangkan masa paruhnya singkat, maka perlu ditakar sampai 4 x sehari. Eritromisin merupakan pilihan pertama khususnya pada infeksi paru-paru dengan Legionella pneumophila dan Mycoplasna pneumonia. Eritromisin menyebabkan mual, muntah, dan diare. Dosis: oral 2-4 dd 250-500 mg pada saat perut kosong selama maksimal 7 hari.b.Azitromosin dan klaritromisin merupakan derivat dari eritromisin. Memiliki sifat farmakokinetik yang jauh lebih baik dibandingkan eritomisin, antara lain resorpsinya dari usus lebih tinggi karena lebih tahan asam, begitu pula daya tembus ke jaringan dan intra-seluler. Azitromisin mempunyai t1/213 jam yang memungkinkan pemberian dosis hanya 1 atau 2 kali sehari. Makanan memperburuk resorpsinya, maka sebaiknya diminum pada saat perut kosong.

Golongan Aminoglikosida Aminoglikosida dihasilkan oleh jenis-jenis fungi Streptomyces dan Micromonospora. Aminoglikosida bersifat bakterisid berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Proses translasi (RNA dan DNA) diganggu sehingga biosintesis proteinnya dikacaukan. Spektrum kerjanya luas yaitu aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah streptomisin, gentamisin, amikasin, kanamisin, neomisin, dan paramomisin. a. Amikasin: merupakan turunan kanamisin. Obat ini tahan terhadap 8 dari 9 enzim yang merusak aminoglikosida, sedangkan gentamisin dapat dirusak oleh 5 dari enzim tersebut. Terutama diindikasikan untuk infeksi berat gram negatif yang resisten terhadap gentamisin. Guna menghindari resisten, jangan digunakan lebih dari 10 hari. b. Gentamisin: spektrum antibakterinya luas, tapi tida efektif terhadap kuman anaerob, kurang efektif terhadap Str. Hemolyticus. Bila digunakan pada infeksi berat yang belum diketahui penyebabnya, sebaiknya dikombinasi dengan penisilin dan/atau metronidazol. Dosis harian 5 mg/kg dalam dosis terbagi tiap 8 jam (bila fungsi ginjal normal). Sebaiknya pemberian jangan melebihi 7 hari. Dosis lebih tinggi kadang-kadang diperlukan pada neonatus dan defisiensi imunologis.

Lama Terapi Pasien yang mendapat antibiotik empirik yang tepat, optimal dan adekuat, penyebabnya bukan P.aeruginosa dan respons klinis pasien baik serta terjadi resolusi gambaran klinis dari infeksinya maka lama pengobatan adalah 7 hari atau 3 hari bebas panas. Bila penyebabnya adalah P.aeruginosa dan Enterobacteriaceae maka lama terapi 14 21 hari. Respons TerapiRespons terhadap terapi dapat didefinisikan secara klinis maupun mikrobiologi. Respons klinis terlihat setelah 48 72 jam pertama pengobatan sehingga dianjurkan tidak merubah jenis antibiotik dalam kurun waktu tersebut kecuali terjadi perburukan yang nyata. Setelah ada hasil kultur darah atau bahan saluran napas bawah maka pemberian antibiotik empirik mungkin memerlukan modifikasi. Apabila hasil pengobatan telah memuaskan maka penggantian antibiotik tidak akan mengubah mortaliti tetapi bermanfaat bagi strategi de-eskalasi. Bila hasil pengobatan tidak memuaskan maka modifikasi mutlak diperlukan sesuai hasil kultur dan kepekaan kuman. Respons klinis berhubungan dengan faktor pasien (seperti usia dan komorbid), faktor kuman (seperti pola resisten, virulensi dan keadaan lain). Hasil kultur kuantitatif yang didapat dari bahan saluran napas bawah sebelum dan sesudah terapi dapat dipakai untuk menilai resolusi secara mikrobiologis. Hasil mikrobiologis dapat berupa: eradikasi bakterial, superinfeksi, infeksi berulang atau infeksi persisten. Parameter klinis adalah jumlah leukosit, oksigenasi dan suhu tubuh. Perbaikan klinis yang diukur dengan parameter ini biasanya terlihat dalam 1 minggu pengobatan antibiotik. Pada pasien yang memberikan perbaikan klinis, foto toraks tidak selalu menunjukkan perbaikan, akan tetapi apabila foto toraks memburuk maka kondisi klinis pasien perlu diwaspadai.

Penyebab PerburukanAda beberapa penyebab perburukan atau gagal terapi, termasuk diantaranya kasus-kasus yang diobati bukan pneumonia, atau tidak memperhitungkan faktor tertentu pejamu, bakteri atau antibiotik, Beberapa penyakit noninfeksi seperti gagal jantung, emboli paru dengan infark, kontusio paru , pneumonia aspirasi akibat bahan kimia diterapi sebagai HAP. Faktor pejamu yang menghambat perbaikan klinis adalah pemakaian alat bantu mekanis yang lama, gagal napas, keadaan gawat, usia di atas 60 tahun, infiltrat paru bilateral, pemakaian antibiotik sebelumnya dan pneumonia sebelumnya. Faktor bakteri yang mempengaruhi hasil terapi adalah jenis bakteri, resistensi kuman sebelum dan selama terapi terutama P.aeruginosa yang diobati dengan antibiotik tunggal. Hasil buruk dihubungkan biasanya dengan basil gram negatif, flora polimikroba atau bakteri yang telah resisten dengan antibiotik. Pneumonia dapat juga disebabkan oleh patogen lain seperti M.tuberculosis, jamur dan virus atau patogen yang sangat jarang sehingga tidak diperhitungkan pada pemberian antibiotik. Penyebab lain kegagalan terapi adalah komplikasi pneumonia seperti abses paru dan empiema. Pada beberapa pasien HAP mungkin terdapat sumber infeksi lain yang bersamaan seperti sinusitis, infeksi karena kateter pembuluh darah, enterokolitis dan infeksi saluran kemih. Demam dan infiltrat dapat menetap karena berbagai hal seperti demam akibat obat, sepsis dengan gagal organ multipel.

Gambar 2. Berbagai kemungkinan penyebab tidak terjadi perbaikan klinis setelah pengobatan antibiotik

Evaluasi Kasus Tidak Respons Pada kasus-kasus yang cepat terjadi perburukan atau tidak respons terapi awal perlu dilakukan evaluasi yang agresif mulai dengan mencari diagnosis banding dan melakukan pengulangan pemeriksaan kultur dari bahan saluran napas dengan aspirasi endotatrakeal atau dengan tindakan bronkoskopi. Jika hasil kultur terlihat resisten atau terdapat kuman yang jarang ditemukan maka dilakukan modifikasi terapi. Jika dari kultur tidak terdapat resistensi maka perlu dipikirkan proses noninfeksi. Pemeriksaan lain adalah foto toraks (lateral dekubitus) USG dan CT scan dan pemeriksaan imaging lain bila curiga ada infeksi di luar paru seperti sinusitis. Juga perlu dipikirkan terdapat emboli paru dengan infark.

Bab IIIPenutupBeberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial yang penting untuk diperhatikan untuk keberhasilan terapi seperti untuk terapi awal antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik yang harus mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang mungkin sebagai penyebab, perhitungkan pola resistensi setempat, terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan dosis dan cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektiviti yang maksimal. Pemberian terapi emperis harus intravena dengan sulih terapi pada pasien yang terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna yang baik, pemberian antibiotik secara de-eskalasi, kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi kuman MDR, jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis memburuk, data mikroba dan sensitiviti dapat digunakan untuk mengubah pilihan empirik apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian antibiotik berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak akan mengubah mortaliti apabila terapi empirik telah memberikan hasil yang memuaskan. Pasien yang mendapat antibiotik empirik yang tepat, optimal dan adekuat, penyebabnya bukan P.aeruginosa dan respons klinis pasien baik serta terjadi resolusi gambaran klinis dari infeksinya maka lama pengobatan adalah 7 hari atau 3 hari bebas panas. Bila penyebabnya adalah P.aeruginosa dan Enterobacteriaceae maka lama terapi 14 21 hari.Respons terhadap terapi dapat didefinisikan secara klinis maupun mikrobiologi. Respons klinis terlihat setelah 48 72 jam pertama pengobatan sehingga dianjurkan tidak merubah jenis antibiotik dalam kurun waktu tersebut kecuali terjadi perburukan yang nyata. Parameter klinis adalah jumlah leukosit, oksigenasi dan suhu tubuh. Perbaikan klinis yang diukur dengan parameter ini biasanya terlihat dalam 1 minggu pengobatan antibiotik. Pada pasien yang memberikan perbaikan klinis, foto toraks tidak selalu menunjukkan perbaikan, akan tetapi apabila foto toraks memburuk maka kondisi klinis pasien perlu diwaspadai.Berbagai kemungkinan penyebab tidak terjadi perbaikan setelah pengobatan antibiotik yang mungkin dipertimbangkan dapat terjadi karena organisme yang salah, salah diagnosis dan terjadinya komplikasi.Daftar Pustaka1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia nosokomial pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. 2003: hal 7-11.2. Dahlan, Zul. Pneumonia. Dalam: Sudoyo, Aru W, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi Kelima. Jakarta: Interna Publishing. 2009: hal 2196-200, 2203-05.3. Kasper L, Dennis et all. Pneumonia. Dalam: Harrisons Principles of Internal Medicine 17th Edition. United States of America: McGraw Hill Companies, Inc.2008; Chapter 251.4. Fein A, Grossman R, Ost D, Farber B, Cassiere H. Diagnosis and Management of Pneumonia and Other Respiratory Infections. Edisi 2. Professional Communication Inc. 2004: 133-50. 5. Pohan HT. Current diagnosis and treatment in internal medicine. Pusat Informasi dan Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2004: 11-5.