referat penyakit paru interstitial

46
BAB I PENDAHULUAN Penyakit paru interstisial (Interstitial lung disease/ ILD) merupakan kelompok penyakit paru yang ditandai dengan alveolitis parenkim dan fibrosis. Di Amerika Serikat, 15% penderita yang memerlukan perawatan rumah sakit adalah penderita ILD dan 30 – 40% ILD adalah fibrosis paru idiopatik (Idiopathic Pulmonary Fibrosis/IPF/Cryptogenic Fibrosing Alveolitis/CFA). Suatu studi epidemiologi di New Mexico menemukan insidens ILD adalah 31,5 per 100.000 untuk laki-laki dan 26,1 per 100.000 untuk wanita, sementara IPF mencapai 45% penderita ILD. Dengan banyaknya jenis penyakit yang tergolong PPI, dimana masing-masing memiliki gambaran yang mirip, serta adanya teknik diagnostik yang selalu berkembang, batasan diagnosis penyakit-penyakit PPI juga berkembang terus. Oleh karena itu sungguh tidak mudah menegakkan diagnosis dalam kelompok PPI secara pasti dan akurat. Bahkan terkadang dengan dengan teknik diagnosis yang paling invasif pun diagnosis pasti PPI bisa tidak dapat ditegakkan. Apabila diagnosis bisa ditegakkan, terapi yang efektif seringkali juga tidak tersedia. 1

Upload: rifky-jamal

Post on 25-Jul-2015

532 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Penyakit Paru Interstitial

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit paru interstisial (Interstitial lung disease/ ILD) merupakan kelompok

penyakit paru yang ditandai dengan alveolitis parenkim dan fibrosis. Di Amerika

Serikat, 15% penderita yang memerlukan perawatan rumah sakit adalah penderita

ILD dan 30 – 40% ILD adalah fibrosis paru idiopatik (Idiopathic Pulmonary

Fibrosis/IPF/Cryptogenic Fibrosing Alveolitis/CFA). Suatu studi epidemiologi di

New Mexico menemukan insidens ILD adalah 31,5 per 100.000 untuk laki-laki dan

26,1 per 100.000 untuk wanita, sementara IPF mencapai 45% penderita ILD.

Dengan banyaknya jenis penyakit yang tergolong PPI, dimana masing-masing

memiliki gambaran yang mirip, serta adanya teknik diagnostik yang selalu

berkembang, batasan diagnosis penyakit-penyakit PPI juga berkembang terus. Oleh

karena itu sungguh tidak mudah menegakkan diagnosis dalam kelompok PPI secara

pasti dan akurat. Bahkan terkadang dengan dengan teknik diagnosis yang paling

invasif pun diagnosis pasti PPI bisa tidak dapat ditegakkan. Apabila diagnosis bisa

ditegakkan, terapi yang efektif seringkali juga tidak tersedia.

1

Page 2: Referat Penyakit Paru Interstitial

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Definisi

Penyakit paru interstitial (PPI) atau interstitial lung disease adalah kelompok

berbagai penyakit yang melibatkan dinding alveolus, jaringan sekitar alveolus dan

jaringan penunjang lain di paru-paru. PPI merupakan gangguan akut dan kronik

yang ditandai dengan inflamasi atau fibrosis pada unit alveolar-arteri and jalan napas

distal. Karena penyakit-penyakit tersebut tidak hanya terbatas pada interstitium tetapi

dapat mengenai berbagai komponen matriks di seluruh paru, maka deskripsi yang

lebih akurat adalah “penyakit paru parenkimal difus”.

Sifat- sifat interstitium yaitu (1)Terutama berasal dari jaringan ikat, (2)

Berhubungan mulai dari alveolus sampai hilus, dan (3) Merupakan lapisan tipis yang

terletak di antara sel epitel alveolus dengan sel endotel kapiler. Lapisan ini terdiri dari

berupa kolagen, elastin, retikulin, membran basalis dan sel-sel mast, sel mesenkimal,

histiosit, neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma.

Penyakit interstitial sebenarnya dapat berupa penyakit infeksi dan penyakit

non infeksi, tetapi sebagian besar yang dimaksud adalah penyakit berupa penyakit

non-infeksi. Karena di antara interstitial dan alveolar hanya dibatasi oleh satu lapis

sel, penyakit alveolar ataupun interstitial dapat saling mempengaruhi area masing-

masing, misalnya pneumonia oleh karena pneumokokus yang sebetulnya adalah

penyakit alveolar yang akan menimbulkan peradangan interstitial pula. Penyakit yang

menyangkut kedua area ini disebut “fibrosing alveolitis”.

2

Page 3: Referat Penyakit Paru Interstitial

Gambar 1. Organ Respirasi Manusia

2.2 Klasifikasi

Secara umum ILD dapat dibagi dalam 5 klasifikasi klinis yaitu (1)

berhubungan  dengan  penyakit  vaskular  kolagen  (Collagen  vascular  associated),

(2) akibat pengaruh obat atau radiasi, (3) Primary or unclassified diasease related,

(4) akibat pengaruh pekerjaan atau lingkungan, dan (5) penyakit fibrosis idiopatik

(Idiopathic fibrotic disorders).

PPI terdiri lebih dari 150 penyakit antara lain adalah fibrosis paru idiopatik,

sarkoidosis, pneumonitis hipersensitivitas, pneumonitis radiasi, berbagai pneumonia

eosinofilik, histiositosis X paru, limfangioleiomiomatosis, tuberus sclerosus serta

berbagai kelainan paru akibat penyakit vaskular kolagen. Lupus erimatosus sistemik,

artritis reumatoid, skleroderma, spondilitis ankilosa, sindrom Sjogren,

polimiositisdermatomiositis serta mixed connective tissue disease (penyakit dengan

gejala campuran dari berbagain penyakit vaskular kolagen) adalah beberapa penyakit

vaskular kolagen yang dapat menyebabkan PPI.

Walaupun penyakit interstitium banyak jenisnya, gejala, gambaran radiografi,

fisiologi dan gambaran histologinya hampir sama. Untuk memudahkan penggolongan

penyakit ini, dicari cara membedakannya, yaitu melihat ada tidaknya proses

granulomatosa dan menilik penyebabnya. Setiap grup tersebut selanjutnya dapat

dibagi atas subgroup berdasarkan ada tidaknya granuloma di interstitial atau sekitar

3

Page 4: Referat Penyakit Paru Interstitial

vaskularnya. Klasifikasi penyakit-penyakit PPI tidak mudah untuk dilakukan.

Apalagi ada ratusan penyakit yang bisa melibatkan interstitial paru, baik sebagai

primer maupun sebagai gambaran multi organ suatu penyakit, misalnya pada berbagai

penyakit-penyakit vaskular kolagen.

Golongan terbesar PPI yang diketahui penyebabnya merupakan penyakit paru

kerja dan lingkungan, termasuk di dalamnya akibat inhalasi debu inorganik, organik,

serta berbagai gas beracun dan iritatif. Jumlah PPI yang tidak diketahui penyebabnya

juga besar. Diantaranya adalah fibrosis paru idiopatik (FPI), sarkoidosis, pneumonitis

hipersensitivitas dan berbagai hal yang diduga berhubungan dengan penyakit vaskular

kolagen.

Adapun klasifikasi PPI secara rinci adalah sebagai berikut:

A. Collagen vascular diseases associated

1. Scleroderma

2. Polymyositis-dermatomyositis

3. Systemic lupus erythematosus

4. Rheumatoid arthritis

5. Ankylosing spondylitis

6. Mixed connective tissue disease

7. Primary Sjogren syndrome

B. Drug and treatment induced

1. Antibiotik

2. Nitrofurantoin

a. Sulfasalazine

b. Cephalosporin

c. Minocycline

4

Page 5: Referat Penyakit Paru Interstitial

3. Ethambutol

4. Antiarrhytmic

a. Amiodarone

b. ACE-Inhibitors

c. Tocainide

d. Beta-blocking agents

5. Anti-inflammatory

a. Gold

b. Penicillamine

c. Nonsteroidal antiinflammatory

agents

6. Neutropic and psychotropic

a. Dilantin

b. Fluoxetine

c. Carbamazepine

d. Antidepressants

7. Chemoterapeutic agents

a. Antibiotic

b. Mitomycin C

c. Bleomycin

d. Alkalating agents

e. Busulfan

f. Cyclophosphamide

g. Chlorambucil

h. Melphalan

i. Antimetabolities

j. Methotrexate

k. Azathioprine

l. Cytosine arabinoside

m. Nitrosoureas

n. Carmustine (BCNU)

o. Lomustine (CCNU)

p. Others

q. Procarbazine

r. Nilutemide

s. Alpha Interferon

t. Paclitaxel

u. Interleukin-2

8. Ethambutol

5

Page 6: Referat Penyakit Paru Interstitial

9. Antiarrhytmic

a. Amiodarone

b. ACE-Inhibitors

c. Tocainide

d. Beta-blocking agents

10. Anti-inflammatory

a. Gold

b. Penicillamine

c. Nonsteroidal antiinflammatory

agents

11. Neutropic and psychotropic

a. Dilantin

b. Fluoxetine

c. Carbamazepine

d. Antidepressants

12. Chemoterapeutic agents

a. Antibiotic

b. Mitomycin C

c. Bleomycin

d. Alkalating agents

e. Busulfan

f. Cyclophosphamide

g. Chlorambucil

h. Melphalan

i. Antimetabolities

j. Methotrexate

k. Azathioprine

l. Cytosine arabinoside

m. Nitrosoureas

n. Carmustine (BCNU)

o. Lomustine (CCNU)

p. Others

q. Procarbazine

r. Nilutemide

s. Alpha Interferon

t. Paclitaxel

u. Interleukin-2

C. Primary or unclassified disease related6

Page 7: Referat Penyakit Paru Interstitial

1. Sarcoidosis

2. Eosinophilic granuloma

3. Amyloidosis

4. Lymphangioleiomyomatosis

5. Tuberous sclerosis

6. Neurofibromatosis

7. Lymphangitic carcinomatosis

8. Gaucher’s disease

9. Hermansky-Pudlak syndrome

10. Adult respiratory distress

syndrome

11. Bone marrow transplantation

12. Acquired immune deficiency

syndrome (AIDS)

13. Postinfectiont

14. Pulmonary vasculitis

15. Respiratory bronchiolitis

16. Interstitial cardiogenic

pulmonary edema

17. Pulmonary veno-occlusive

disease

18. Agnogenic myloid metaplasia

19. Familiarhemophagocytic

lymphohistocytosis

20. Diaberes mellitus

21. Lysinuric protein deficiency

22. Alveolar filling disease

a. Alveolar proteinosis

b. Diffuse alveolar hemorrhage

syndromes

c. Lipoid pneumonia

d. Bronchioalveolar carcinoma

e. Chronic aspiration

f. Eosinophilic pneumonia

g. Alveolar microlithiasis

h. Alveolar sarcoidosis

i. Bronchiolitis obliterans

organizing pneumonia

D. Occupational and environmental exposure related

7

Page 8: Referat Penyakit Paru Interstitial

1. Inorganic

2. Silicosis

3. Asbestosis

4. Talc pneumoconiosis

5. Diatomaceous earth

pneumoconiosis

6. Aluminum oxide fibrosis

7. Berylliosis

8. Hard metal fibrosis

9. Coal worker’s  pneumoconiosis

10. Shale pneumoconiosis

11. Siderosis (arc welder’s lung)

12. Stannosis (tin)

13. Silicone pneumonitis

14. Wood burning interstitial fibrosis

15. Textile worker’s pneumonitis

16. Organic (hypersensitivity

pneumonitis)

17. Bagassosis (sugar cane)

18. Bird breeder’s lung

(pigeons,parakeets,etc)

19. Chicken handlers lung

20. Duck fever

21. Dove handler’s disease

22. Farmer’s lung

23. Coffee worker’s lung

24. Tobacco grower’s lung

25. Coptic disease (mummy wrappings

26. Cheese worker’s lung

27. Furrier’s lung

28. Mushroom worker’s lung

29. Paprika spilitter’s lung

30. Miller’s lung (wheat flour)

31. Wood worker’s disease

32. Sequoiosis

33. Maple bark stripper’s lung

34. Malt worker’s lung

35. Tea grower’s lung

36. Suberosis (cork)

37. Lycoperdonosis (Lycoperdon

puffballs)

8

Page 9: Referat Penyakit Paru Interstitial

38. Compost lung

39. Humidifier lung

40. Sauna taker’s lung

41. Woodman’s disease (oak and

maple)

42. Pauli’s hypersensitivity

pneumonitis (reagent)

43. Pituitary snuff disease

44. Detergent worker’s lung

(isocyanates)

45. Japanes summer-type

hypersensitivity

46. Thatched roof lung

47. Familial hypersensitivity

pneumonitis (wood dust)

48. Vineyard sprayer’s lung

49. Laboratory worker’s lung (rat

urine)

50. Mollusk shell hypersensitivity

pneumonitis

51. Goose down hypersensitivity

pneumonitis

52. Ceramic tile worker’s

pneumoconiosis

53. Toluene diisocyanate

hypersensitivity pneumonitis

54. Machine operator’s lung

E. Idiopathic fibrotic disorders

1. Acute interstitial pneumonia

2. (Hamman-Rich syndrome)

3. Idiopathic pulmonary fibrosis

4. Familial idiopathic pulmonary

fibrosis

5. Lymphocitic interstitial

pneumonitis

6. Bronchiolitis obliterans organizing

pneumonia

7. Nonspesific interstitial pneumonia

8. Desquamative interstitial

pneumonitis

9. Autoimmune hemolytic anemia

9

Page 10: Referat Penyakit Paru Interstitial

10. Idiopathic thrombocytopenic

purpura

11. Cryglobulinemia

12. Inflammatory bowel diseases

13. Celiac disease

14. Whipple’s disease

15. Primary biliary cirrhosis

16. Cryptogenic cirrhosis

2.3 Etiologi

Penyebab PPI meliputi penyakit respirasi (misalnya pneumonia, sarkoidosis),

penyakit autoimun, obat-obat dan terapi (misalnya bleomisin, oksigen, radiasi) dan

faktor-faktor lingkungan pekerjaan.

Penyakit paru interstitial bukanlah keganasan, juga bukan penyakit infeksi

oleh organisme yang selama ini sudah dikenal. Walaupun seringkali ada varian

akutnya namun umumnya penyakit ini berkembang perlahan-lahan secara kronik.

2.4 Patofisiologi

Proses patogenesis ILD dimulai dengan jejas pada lapisan epitel alveolar yang

mengakibatkan proses inflamasi dengan melibatkan berbagai sel-sel inflamasi dan sel

efektor imun di dalam parenkim paru. Inisiasi jejas dapat melalui inhalasi (seperti

inhalasi serat mineral atau debu mineral dari pajanan pekerjaan atau lingkungan),

sensitisasi antigen (seperti pada hypersensitivity pneumonitis akibat pajanan

lingkungan atau pekerjaan), melalui sirkulasi darah (seperti pada penyakit vaskular

kolagen, drug-induced ILD, IPF dan lain-lain). Pada interstitium dalam keadaan

normal ditemukan banyak sel efektor. Lebih dari 90 % sel ini adalah makrofag

alveolus yang biasanya adalah monosit. Kegunaan makrofag alveolar adalah

menfagositosis organisme maupun partikel kecil yang masuk ke dalam alveolus.

         Alveolitis menyebabkan perubahan struktur alveolar berupa penebalan dan

fibrosis jaringan interstitial paru sehingga pada akhirnya terjadi penurunan fungsi 10

Page 11: Referat Penyakit Paru Interstitial

paru karena alveoli tidak dapat melakukan pertukaran gas. Apabila jejas yang terjadi

dapat dihindari atau dibatasi, maka proses inflamasi tidak akan berlanjut kemudian

terjadi proses repair dan proses deposisi kolagen serta fibrosis tidak akan terjadi, .

Namun apabila jejas terus berlanjut maka proses inflamasi akan berjalan terus

sehingga terjadi proliferasi fibroblas, deposisi kolagen dan penyumbatan kapiler

interstitial. Akibat dari parut dan distorsi jaringan paru yang ditimbulkannya, dapat

terjadi gangguan pertukaran gas dan fungsi ventilasi yang serius. Patogenesis ini

berlaku untuk hampir seluruh penyakit dalam klasifikasi ILD dengan pengecualian

untuk beberapa penyakit tertentu misalnya limfangioleiomiomatosis, amiloidosis,

lymphangitic carcinoma,, jaringan interstitial paru diinfiltrasi oleh otot polos, amyloid

fibrils, dan sel ganas. Pada beberapa alveolar filling disorders, sebelum terjadi

fibrosis interstitial dan intra-alveolar, terjadi pengisian ruang alveolar dengan sel

darah merah (diffuse alveolar haemorrhage syndrome), eosinofil (eosinophilic

pneumonia), eksudat lipoprotein (alveolar proteinosis) atau sel ganas

(bronchioloalveolar carcinoma).

2.5 Diagnosis

Pasien yang ditemukan dengan kecurigaan PPI harus dievaluasi lengkap untuk

kemungkinan penyakit lain, karena infeksi (terutama pada imunodefisiensi dan

transplantasi) bisa mempunyai gambaran yang mirip PPI. Demikian pula metastasis

keganasan yang difus serta gagal jantung kongestif harus dipikirkan bila latar

belakang kliniknya mendukung.

PPI terdiri atas berbagai penyakit yang memiliki kemiripan dalam gejala,

perubahan fisiologi, gambaran radiologi dan gambaran histopatologinya. Gejala

umumnya berupa sesak napas saat beraktivitas. Fungsi respirasi menunjukkan

gambaran restriktif. Terdapat pula gradien alveolar-arteri yang abnormal dan

penurunan kapasitas difusi paru. Gambaran gejala histopatologi umum yang dimiliki

oleh semua penyakit dalam kelompok ini adalah campuran antara infiltrat peradangan

11

Page 12: Referat Penyakit Paru Interstitial

alveolus (aktif/akut) dengan daerah berparut / fibrotik (kronik). Pada stadium lanjut

akan tampak kistik, gambaran sarang lebah. Gambaran ini disebut sebagai usual

interstitial pneumonia.

2.5.1 Anamnesis

Proses diagnostik pada PPI dimulai dari riwayat faktor lingkungan, paparan

pekerjaan, penggunaan obat dan riwayat keluarga. Riwayat penyakit sekarang harus

dieksplorasi progresivitasnya, serta hubungannya dengan batuk darah, demam dan

gejala-gejala di luar paru lainnya. Gejala yang kurang dari 4 minggu dengan demam

mengarah pada BOOP, pneumonitis hipersensitif atau akibat obat. Sebaliknya

gambaran akut seperti ini tidak ditemukan pada FPI, histiositosis paru dan PPI akibat

penyakit jaringan ikat. Pasien dengan sarkoidosis dan sindrom Lofgren juga bisa

terdapat demam sebentar, eritema nodosum dan artritis.

Evaluasi umur, status merokok dan jenis kelamin juga bisa membantu. PPI

umumnya terjadi pada orang dewasa, terutama diatas 50 tahun. Sarkoidosis paru

umumnya terjadi pada dewasa muda atau paruh baya. Granulomatosis sel Lagerhans

(disebut juga histiositosis X paru atau granuloma eosinofilik) secara khas muncul

pada perokok muda. RBILD muncul hanya pada perokok. Limfangiomiomatosis

yaitu suatu kelainan yang jarang ditemukan dan terjadi hanya pada perempuan usia

subur.

Riwayat pekerjaan bisa mengarahkan pada kecurigaan inhalasi. Kecurigaan

pneumonitis hipersensitivitas umumnya timbul setelah ada riwayat pekerjaan yang

beresiko terhadap paparan zat inhalasi. Riwayat obat-obatan yang diminum,

penggunaan obat-obat alternatif dan obat-obat yang dijual bebas perlu dicari karena

banyak PPI merupakan akibat penggunaan obat. Riwayat disfagia atau aspirasi

mengarahkan pada pneumonia aspirasi, scleroderma atau mixed connectice tissue

disease. Sinusitis berulang mengarah pada granulomatosis Wagener.

12

Page 13: Referat Penyakit Paru Interstitial

Batuk darah menunjukkan ke arah sindrom perdarahan alveolar seperti pada

sindrom Goodpasture, lupus erimatosus sistemik, granulomatisis Wagener, kapilaritis

paru. Artritis mencurigakan ke arah berbagai penyakit vaskular kolagen atau

sarkoidosis. Gejala pada kulit dan otot mengarahkan pada dermatomiositis atau

polimiositis. Sicca syndrome (mata dan mulut kering) mencurigakan akan

sarkoidosis, sindrom Sjogren atau penyakit vaskular kolagen lainnya.

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada sistem pernapasan seringkali tidak menolong

penegakkan diagnosis. Sebaliknya temuan fisik di luar toraks sering membantu

memperjelas penyakit yang terjadi. Misalnya kelainan kulit disertai dengan

limfadenopati dan hepatosplenomegali mengarahkan pada sarkoidosis. Nyeri otot dan

kelemahan otot paroksimal mencurigakan adanya pilomiositis. Adanya artritis

mengarahkan pada sarkoidosis dan penyakit vaskular kolagen. Atralgia juga bisa

terjadi pada FPI tetapi jarang sampai menyebabkan sinovitis atau artritis akut.

Sklerodaktili, fenomena Raynaud dan lesi telangiektasia adalah gambaran khas

skleroderma dan sinrom CREST. Iridosiklitis, uveitis tau konjungtivitis mungkin

berhubungan dengan skleroderma dan sindrom vaskular kolagen. Kelainan saraf

pusat disertai diabetes insipidus atau disfungsi kelenjar pituitary anterior

mengarahkan pada sarkoidosis. Diabetes insipidus tanpa gangguan saraf pusat

mencurigakan ke arah granulomatosis sel Lagerhans, sementara epilepsi dan retardasi

mental menunjukkan adanya kemungkinan tuberous sclerosis.

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium pada dugaan PPI harus meliputi pemeriksaan darah

perifer lengkap, hiting jenis leukosit, laju endap darah, fungsi ginjal dan fungsi hati,

elektrolit (Na, K, Cl, Ca), urinalisis dan tes penapisan untuk penyakit vaskular

13

Page 14: Referat Penyakit Paru Interstitial

kolagen. Apabila diperlukan dapat juga diperiksa kadar Angiotensin Converting

Enzyme (ACE) dan Creatinin Kinase (CK).

Seluruh foto yang pernah dibuat harus dibandingkan. Dengan

membandingkan kita bisa mendapatkan keterangan tentang awitan kronisitas,

progresivitas, maupun stabilitas penyakit. Walaupun jarang, bisa saja ditemukan foto

toraks yang normal pada PPI. Bila terdapat kelainan, distribusi dan gambaran

kelainan dapat membantu mempersempit diferensial diagnosa.

Gambaran kelainan yang didominasi daerah apeks/atas, mengarahkan pada

sarkoidosis, beriliosis, granulomatosis sel Lagerhans, fibrosis kistik, silikosis dan

ankylosing spondilitis. Gambaran kelainan yang didominasi daerah tengah dan bawah

menunjukkan FPI, karsinomatosis limfangitik, pneumonia eosinifilik subakut,

asbestosis, skleroderma dan artritis dermatoid. Adanya adenopati hilus bilateral

sekaligus paratrakeal mencurigakan ke arah sarkoidosis. Adanya kalsifikasi “kulit

telur” memungkinkan adanya sarkoidosis atau silikosis. Karsinomatosis limfangitik

ditandai antara lain dengan garis Kerley B tanpa kardiomegali sementara gambaran

paru adalah gambaran PPI.

Gambaran infiltrat di lobus atas dan lobus tengah yang cenderung ke tepi

sehingga bagian tengah atau hilis cenderung lebuh bersih, atau sering disebut

bayangan film negatif dari edema paru mengarah ke pneumonia eosinofilik kronik.

Infiltrat bilateral pada saat dan lobus yang sama mencurigakan ke arah BOOP,

pneumonia eosinofilik kronik, PPI imbas obat, pneumonitis radiasi kambuhan/recall.

Adanya plak atau penebalan lokal pleura pada gambaran umum PPI mengarah

ke dugaan asbestosis. Penebalan pleura yang difus bisa juga pada pleurisy asbestos

dan bisa juga akibat artritis reumatoid, skleroderma atau keganasan. Adanya efusi

pleuri mencurigakan ke arah artrits reumatoid, lupus eritematosus sistemik, reaksi

obat, penyakit paru akibat asbestos, amiloidosis, limfangioleiomiomatosis atau

karsinomatosis limfangitik. Dalam konteks PPI, gambaran volume paru yang relatif

normal atau bahkan membesar, mencurigakan ke arah adanya obstruksi saluran napas

14

Page 15: Referat Penyakit Paru Interstitial

dan ini dapat terjadi pada limfangioleiomiomatosis, granuloma eosinofilik,

pneumonia hipersensitivitas, tuberous sclerosis dan sarkoidosis. Dalam menafsirkan

temuan ini, harus disadari bahwa foto toraks hanya memberikan penilaian

semikuantitatif dari volume paru dan seringkali tidak mencerminkan keadaan

fungsional dan histologis yang terjadi. Walau bagaimanapun juga kombinasi foto

toraks dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium, diagnosis bisa sangat

mengarah.

Apapun sebabnya, gangguan restriktif paru dan penurunan kapasitas difusi

paru adalah gambaran yang dominan pada PPI. Akibatnya umumnya tes fungsi paru

menunjukkan adanya PPI dan menunjukkan beratnya penyakit, tetapi tidak bisa

membedakan berbagai penyebab PPI. FEV 1 % umumnya normal karena baik FEV

maupun FVC sama-sama turun. Dlco adalah pemeriksaan selisih tekanan oksigen di

alveolus dengan di arteri (PAO2-PaO2) bisa normal atau meninggi tergantung

beratnya penyakit. Walaupun sangat tidak spesifik, pemeriksaan ini diyakini sebagai

parameter yang sensitif untuk menilai adanya disfungsi paru terutama pada stadium

dini. Dlco juga berguna untuk pengawasan perkembangan penyakit dan hasil

pengobatan. Perubahan PAO2-PaO2 saat istirahat, FVC, dan Dlco dalam 1 tahun,

akan menggambarkan prognosis PPI.

Penyakit seperti polimiositis, scleroderma dan lupus eritematosus sistemik

harus dipikirkan bila uji pada pasien yang kooperatif menunjukkan penurunan

maximal voluntary ventilation (MVV) yang lebih besar dari penurunan maximal

voluntary pressure = MIP) sehubungan dengan kelemahan otot. Bila terdapat kelainan

obstruktif saluran napas, harus dipikirkan adanya PPOK, asma atau bronkiektasis

yang menyertai PPI.

Evaluasi fungsi paru saat latihan, baik tunggal maupun serial dapat membantu

penatalaksanaan PPI. Beratnya hipoksemia imbas latih dan perbedaan tekanan O2

alveolus-arteri (gradient A-alfa O2) berhubungan dengan beratnya fibrosis paru.

15

Page 16: Referat Penyakit Paru Interstitial

Diagnosis pasti ILD adalah dengan biopsi paru. Untuk mendapatkan hasil

jaringan yang terbaik, biopsi dilakukan dengan open lung biopsy yang mortaliti dan

morbiditinya tinggi. Selain itu bisa juga dengan prosedur video-assisted thoracoscopy

(VATS) yang relatif lebih mahal dari biopsi transbronkial maupun dengan

pemeriksaan bronchoalveolar lavage (BAL) yang merupakan pendekatan diagnostik

lain dari ILD. Prosedur transbronkial dan BAL dilakukan dengan menggunakan

bronkoskop serat lentur (fiberoptic bronchoscopy) yang morbiditi dan mortalitinya

lebih rendah. Pemeriksaan BAL bertujuan untuk mendapatkan sampel sel-sel dan

komponen nonselular dari unit bronkoalveolar yang dapat digunakan untuk

menentukan diagnosis, menentukan stadium penyakit, dan menilai kemajuan terapi

(follow up) pada beberapa penyakit ILD.

2.6 Penyakit Paru Interstitial

2.6.1 Fibrosis paru idiopatik

Fibrosis paru idiopatik atau cryptogenic fibrosing alveolitis (CFA/IPF) adalah

salah suatu penyakit ILD yang etiologinya tidak diketahui, walaupun ada bentuk IPF

yang diturunkan (bentuk familial), karena itu sebelum menegakkan diagnosis IPF

perlu disingkirkan penyebab fibrosis paru  seperti sarkoidosis, eosinophilic

granuloma, penyakit vaskular kolagen, fibrosis paru akibat infeksi, aspirasi kronik,

dan obat-obatan. Pada IPF terdapat kompleks imun dalam serum dan paru pada fase

aktif penyakit. Walaupun kompleks imun dapat mengaktifkan sistem komplemen

namun belum ada bukti bahwa proses ini terjadi dalam paru.  Kompleks imun

menstimulasi makrofag untuk melepaskan berbagai faktor antara lain leukotrien B4

(LTB4) yang menarik netrofil dan eosinofil. Makrofag alveolar juga melepaskan

oksidan yang menyebabkan jejas pada epitel paru sehingga terjadi proliferasi

fibroblas dan deposisi kolagen.

16

Page 17: Referat Penyakit Paru Interstitial

Fibrosis paru idiopatik (FPI) sering juga disebut Cryptogenic Fibrosing

Alveolitis (CFA). Gambaran umum FPI adalah batuk tak produktif, sesak yang

progresif, ronki kering di akhir inspirasi, terutama di basal paru (walaupun pada

stadium lanjut bisa sampai ke apeks). Bila terjadi konsolidasi alveolus, bisa terdengar

suara napas bronkial. Jari tabuh terdapat pada sepertiga dari seluruh pasien, gambaran

klinik lain pada stadium lanjut dapat ditemui sianosis, kor pulmonale, P2 (bunyi

jantung kedua dari katup pulmonalis jantung) mengeras. Gambaran foto toraks

menunjukkan bayangan retikular atau retikulonodular di bagian bawah kedua paru.

Ukuran paru biasanya mengecil.

Pada High Resolution CT scan (HRCT) akan tampak gambaran infiltrat

alveolar fokal (ground glass) dengan ukuran heterogen, cenderung melibatkan daerah

tepi (subpleural) dan basal. Terdapat ruang udara kistik menyerupai sarang lebah,

bronkogram udara lebih jelas, permukaan pleura tampak kasar, dinding bronkus dan

pembuluh darah tampak menebal.

Gambaran HRCT akan berhubungan dengan manifestasi histopatologi dari

penyakit ini. Gambaran ground glass pada umumnya (65%) adalah akibat alveolitis

aktif walaupun bisa juga (35%) disebabkan oleh fibrosis. Gambaran retikular berupa

persilangan garis-garis halus dan kasar merupakan akibat adanya fibrosis, kista-kista

kecil (<5 mm) atau peradangan septa (dinding) alveolus dan duktus.

Gambaran histopatologi bisa dijadikan pegangan untuk menentukan prognosis

FPI. Gambaran peradangan aktif masih bisa diharapkan berhasil bila diterapi dengan

steroid, sedangkan gambaran kronik seperti fibrosis dan kista umumnya merupakan

petanda kurang baik.

Strategi pengobatan pada FPI didasarkan pada penghentian atau penekanan

komponen peradangan dari penyakit. Kortikosteroid, imunosupresan/ zat sitotoksik,

dan zat antifibrotik (kolkhisin atau penisilamin), baik secara sendiri maupun

kombinasi dapat diberikan. Respon pengobatan hanya terjadi pada tak lebih dari 30%

pasien. Respon pengobatan yang terjadi pada umumnya juga hanya parsial (tidak

17

Page 18: Referat Penyakit Paru Interstitial

sembuh sempurna) dan sementara waktu (kambuhan). Harus pula diingat saat

memberikan terapi, bahwa obat-obat yang digunakan memiliki berbagai efek

samping.

Kortikosteroid dimulai dari 1-1,5 mg/kgBB/hari (40-80mg) prednison selama

2-4 bulan, selanjutnya diturunkan secara bertahap (tapering off). Lamanya waktu

tapering hingga kini tidak ada penelitian bakunya, namun umumnya hingga mencapai

6 bulan. Prednisolon dapat pula diberikan dengan dosis 0,8 dari prednison dengan

jangka waktu yang sama. Bila ada responnya, maka hasil baru tampak setelah 2-3

bulan. Terapi pemeliharaan selanjutnya, dengan dosis rendah, hanya diberikan bila

jelas terdapat respon pada pengobatan dosis tinggi. Terapi pemeliharaan ini diberikan

lebih dari 1-2 tahun. Pengawasan terhadap efek samping steroid jangka lama harus

terus dilakukan selama pemberian terapi.

Pada pasien yang gagal dengan steroid atau memiliki kontraindikasi

pemberian steroid, obat imunosupresan seperti azatioprin atau siklofosfamid harus

dipertimbangkan. Siklofosfamid diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Respon pengobatan

dengan siklofosfamid umumnya lebih lambat dari steroid. Karena itu kegagalan atau

keberhasilan terapi baru bisa dibuat setelah 4-6 bulan. Anemia, trombositopenia,

lekopenia, infeksi oportunistik (seperti herpes zoster dan pneumositis karinii),

keganasan hematologi, sistitis hemoragika dan infertilitas adalah berbagai keadaan

yang perlu diwaspadai sebagai efek samping pengobatan dengan siklofosfamid.

Azatioprin telah dicoba pada FPI dengan hasil yang tidak konsisten.

Penggunaan Azatioprin baik sendiri maupun kombinasi dengan prednison hendaknya

hanya menjadi alternatif bila gagal dengan steroid. Dosis yang diberikan mulai dari

100 mg/hari dan dapat dinaikkan hingga 200 mg selama tak ada efek samping.

Lekopenia, anemia, trombositopenia adalah efek samping Azatioprin yang harus

dipantau 2 minggu sekali dalam 6 minggu pertama dan selanjutnya sebulan sekali.

Evaluasi terapi dilakukan setelah 4-6 bulan.

18

Page 19: Referat Penyakit Paru Interstitial

Secara teoritis pemberian kolhisin bertujuan untuk menghambat pembentukan

kolagen atau fibrosis. Efektivitas pemberian kolhisin pada FPI, hingga kini belum

dapat dibuktikan, namun efek samping berat kolhisin juga relatif jarang. Oleh karena

itu, kolhisin tetap dicoba diberikan pada kasus-kasus kegagalan pemberian

kortikosteroid dengan dosis oral 1-2x0,6 mg. pemberian kolhisin bisa dikombinasi

atau tidak dengan imunosupresan.

2.6.2 Sarkoidosis paru

Sarkoidosis adalah penyakit inflamasi multiorgan yang etiologi/antigen

penyebabnya belum diketahui. Antigen yang telah diproses oleh makrofag

dipresentasikan kepada sel limfosit T sehingga teraktivasi dan mengeluarkan

interleukin-1 yang akan mengaktifkan limfosit CD4 untuk mengeluarkan interleukin-

2, sehingga terjadi : (1) kemotaksis, yang menarik sel limfosit dari sirkulasi ke tempat

pembentukan granuloma, (2) mitogenesis, stimulasi sel limfosit T sehingga

berproliferasi di tempat pembentukan granuloma. Kompartementalisasi sel-sel

inflamasi pada paru mengakibatkan gambaran limfositopenia pada darah tepi dan

CD4 lymphocyte-rich alveolitis (alveolitis limfositik).

Dari semua organ, sarkodiosis paru dan kelenjar limfe intratoraks adalah

yang tersering. Berbeda dengan granuloma karena tuberkulosis, granuloma pada

sarkoidosis tidak ditemukan perkijuan. Penyebab sarkoidosis sampai saat ini belum

diketahui dengan jelas. Diduga sarkodiosis disebabkan oleh beberapa faktor

sekaligus. Faktor genetik nampaknya berperan kareba sarkoidosis sering ditemukan

pada kelompok (kluster) keluarga. Kembar monozigot sering terkena secara bersama-

sama, daripada kembar heterozigot. Faktor gangguan pengaturan sistem imun

nampaknya berperan karena antinuclear antibody (ANA), rheumatoid factor (RF),

hipergamaglobulinemia, dan berbagai kompleks imun bisa ditemukan pada

sarkodiosis. Faktor lingkungan termasuk infeksi diduga sebagai pencetus sarkoidosis

karena ditemukan kecenderungan pengelompokkan kejadian pada waktu atau musim

19

Page 20: Referat Penyakit Paru Interstitial

yang sama, juga pekerjaan yang sama. Walaupun hingga kini belum ada yang

terbukti, di antara infeksi yang dicurigai adalah mikobakteria dan berbagai virus.

Sebagaimana pada infeksi tuberkulosis ada uji kulit dengan tunerkulin, pada

sarkoidosis ada uji kulit Kveim-Stilzbach. Pada uji ini disuntikkan suspensi jaringan

sarkoid secara intradermal. Setelah 1-14 minggu, bila positif akan terbentuk papul

keras yang bila dibiopsi akan menunjukkan adanya granuloma. Sayangnya reagen

untuk uji ini tida luas diperjualbelikan.

Dua pertiga pasien sarkoidosis tidak bergejala dan ditemukan secara tidak

sengaja ketika foto rontgen toraks. Gejala tersering adalah batuk dan sesak napas.

Batuk umumnya tidak produktif dan bisa berat. Sesak napas biasanya progresif

perlahan-lahan. Bila batuk produktif biasanya suda terjadi fibrokistik yang

merupakan suatu keadaan yang berhubungan dengan bronkiektasis dan infeksi

berulang.

Pada sarkoidosis bisa terjadi keadaan akut dimana terjadi eritema nodosum,

dan adenopati hilus yang disebut dengan sindrom Sjorgen yang biasanya disertai

dengan demam, poliartritis, uveitis. Eritema nodosum yang terjadi biasanya dalam

bentuk nodul merah, nyeri, berdiameter beberapa sentimeter. Poliartritis seringkali

menyerang kaki, mata kaki, lutut dan terkadang mengenai pergelangan tangan dan

siku.

Pada sarkoidosis dapat ditemukan alergi kulit yang menyebabkan negatif

palsu pada uji yang didasarkan pada hipersensitivitas tipe lambat, termasuk uji

tuberkulin.

Terapi sarkoidosis masih mengandalkan kortikosteroid hingga sekarang. Pada

sarkoidosis paru, prednison dapat diberikan 40 mg/hari selama 2 minggu lalu

diturunkan 5 mg/hari setiap 2 minggu hingga mencapai 15 mg/hari. Dosis 15 mg/hari

dipertahankan hingga 6-8 bulan, lalu diturunkan lagi 2,5 mg/hari tiap 2-4 minggu

sampai obat dapat dihentikan. Selama dosis obat diturunkan bertahap, evaluasi

terhadap kemungkinan kekambuhan harus selalu dilakukan.

20

Page 21: Referat Penyakit Paru Interstitial

Sarkoidosis fibrokistik dapat berkomplikasi bronkiektasis, misetoma dan

hemoptisis. Aspergilus fumigatus adalah koloni yang tersering ada, akan tetapi

umumnya akan sembuh sendiri dan tak memerlukan terapi anti jamur. Ada yang

menganjurkan pemberian steroid dosis rendah dan antibiotik kronik dengan

menggilirkan jenisnya untuk mengurangi gejala bronkiektasis dan hemptisis.

Sarkoidosis paru dapat menyebabkan korpumonale. Terapi yang diberikan

pada keadaan ini mencakup suplementasi oksigen, diuretik dan bronkodilator.

Antibiotik harus segera diberikan bila terdapat infeksi bronkitis atau bronkiektasis

yang mencetuskan kekambuhan.

Pada kasus refrakter terhadap steoid, metotreksat menjadi alternatif dengan

cara pemberian dosis rendah sekali seminggu. Azatioprin, klorambusil, dan

siklofofamid telah dicoba untuk sarkoidosis dengan hasil yang tak menentu.

Penelitian dengan siklosporin telah terbukti mengecewakan dalam terapi sarkoidosis.

Transplantasi paru atau transplantasi jantung-paru menjadi alternatif terbaru

yang masih harus dikembangkan protokolnya bagi sarkoidosis paru lanjut. Pada

sedikit kasus, granuloma masih bisa timbul kembali pada paru yang telah

ditransplantasi.

2.6.3 Pneumonitis hipersensitivitas

HP atau extrinsic allergic alveolitis  (EAA) suatu sindrom akibat inhalasi

antigen berulang terutama partikel organik seperti bakteri termofilik, protein avian,

jamur dan bahan kimia. Apabila terjadi interaksi  dengan antigen maka akan terdapat

kompleks imun yang terdeposisi di paru (reaksi Arthus) dan terdapat produksi

antibodi IgG dan IgM di paru. Pembentukan granuloma terjadi akibat infiltrasi

makrofag dan limfosit ke dalam dinding bronkiolus dan dinding alveoli.

Pneumonitis hipersensitivitas ditandai dengan kelainan yang terjadi pada

suatu kelompok (kluster), orang yang memiliki lingkungan atau pekerjaan yang sama.

Oleh karena itu Pneumonitis hipersensitivitas bukanlah reaksi idiosinkrasi orang

21

Page 22: Referat Penyakit Paru Interstitial

tertentu akibat paparan zat tertentu. Peradangan paru akibat masuknya zat ke saluran

napas secara individual, seperti misalnya hipersensitivitas pada suatu orang tertentu

akibat cairan bilas bronkus saat bronkoskopi, tidak digolongkan pada Pneumonitis

hipersensitivitas. Beberapa contoh Pneumonitis hipersensitivitas antara lain adalah

bagasosis di Lousiana Amerika Serikat, penyakit paru operator mesin (mesin

operator’s lung), penyakit paru petani (farmers lung disease= FLD), penyakit

penggemar burung ( bird’s fancier’s disease= BFD) di Eropa dan Amerika, penyakit

peternak merpati (pigeon breader disease=PBD) di Meksiko dan Amerika Serikat,

paru ventilator, Pneumonitis hipersensitivitas musim panas Jepang (Japanese Summer

– type hypersensitivity Pneumonia)

Gambaran klinik PH bisa akut atu kronik. Pada kondisi akut, sesak napas,

batuk kering, mialgia, menggigil, diaforesis, sakit kepala dan malaise. Dapat timbul

2-9 jam pasca paparan. Puncak gejala akan tampak antara 6-24 jam dan akan

berkurang sendiri tanpa terapi umumnya dalam 1-3 hari. Pada pemeriksaan fisik

dapat dijumpai demam, takipneu, ronki di kedua basal dan bisa sianosis.

Sebagaimana umumnya pada PPI, pada PH akut gambaran radiologi

didominasi oleh gambaran radiodensitas nodular tidak berbatas tegas, dengan daerah

ground glass atau bahkan konsolidasi. Sedangkan pada PH kronik, garis-garis

radiodensitas yang menggambarkan fibrosis lebih menonjol dan bercampur dengan

bayangan nodular. Gambaran ini terutama ada di lobus atas.

Pada CT scan terutama HRCT, pasien dengan PH kronik akan menunjukkan

nodul sentrilobular multiple dengan diameter 2-4 mm dengan daerah-daerah ground

glass. Daerah ground glass ini lebih mendominasi di lobus bawah. Berbeda dari

sarkoidosis, nodul pada PH tidak menempel pada pleura atau berkas bronkovaskular.

Bisa ditemukan lekositosis dengan netrofilia dan limfopenia di darah tepi.

Pada bilasan brunkus terdapat netrofilia. Walaupun disebut hipersensitivitas atau

reksi alergi tetapi pada PH terdapat eosinofilia atau peningkatan IgE. Tanda

peradangan non spesifik seperti LED atau CRP bisa meningkat. Terdapat peningkatan

22

Page 23: Referat Penyakit Paru Interstitial

IgG, IgM dan IgA terhadap zat yang menimbulkan perangsangan di dalam serum dan

cairan bronkus.

Untuk menegakkan diagnosis PH digunakan kriteria mayor dan minor (tabel

1). Diagnosis PH tegak bila semua kriteria mayor harus terpenuhi dan minimal

terdapat 4 kriteria minor serta penyakit lain yang serupa telah disingkirkan.

Jenis PH dan lokasi geografis PH membedakan prognosis dari PH. Misalnya penyakit

peternak merpati di Eropa memiliki prognosis yang baik, tetapi di Meksiko penyakit yang

sama memiliki kematian dalam 5 tahun mencapai 30 %.

Kriteria mayor Kriteria minor

1. Ada bukti paparan antigen yang

sesuai, baik dari anamnesis

maupun pemeriksaan antibodi

serum

2. Gejala yang sesuai dengan PH

3. Kelainan radiologi atau histologi

yang sesuai PH

1. Ronki kedua basal paru

2. Kapasitas difusi paru menurun

3. Hipoksemia arteri, baik karena

latihan atau saat istirahat

4. Kelaianan histologi paru yang

sesuai dengan PH

5. Adanya peningkatan suhu, lekosit,

perubahan radiologi atau

peningkatan gradient alveolar-

arteri (ditandai dengan penurunan

PaO2) setelah adanya paparan

alamiah dengan antigen yang

diduga

6. Limfositosis dari cairan lavase

bronkus

Penatalaksanaan penyakit ini dimulai dari menjauhkan pasien dari paparan.

Bila belum terjadi fibrosis yang luas, kelainan umumnya akan membaik dalam

beberapa hari hingga sebulan. Balum ada penelitia formal akan penggunaan steroid,

23

Page 24: Referat Penyakit Paru Interstitial

tetapi prednion atau prednisolon sering digunakan pada PH dengan dosis 40-60 mg/

hari sampai 2 minggu lalu diturunkan bertahap dalam waktu 1-2 bulan. Penggunaan

steroid tampaknya mempercepat pengurangan peradangan aktif sehingga perbaikan

klinis lebih cepat. Tetapi steroid tidak berguna pada proses kronis (fibrosis) yang

sudah terjadi, sehingga setelah 6 bulan, saat tanpa steroid pun peradangan aktif sudah

berkurang, keadaan paru tidak akan berbeda antara yang mendapat steroid dan yang

tidak mendapat steroid

2.6.4 Pneumonitis radiasi

Pneumonitis radiasi sering terjadi pada radioterapi keganasan. Pada

keganasan, kemoterapi seringkali juga menimbulkan efek toksik pada paru-paru

sehiongga kombinasi radio-kemoterapi akan meningkatkan resiko perlukaan paru.

Bahkan fenomena yang disebut sebagai “radiation recall” bisa terjadi. Fenomena ini

adalah kejadian peradangan paru yang terjadi pada pemberian adriamisin atau

aktinomisin bahkan beberapa bulan setelah radioterapi.

Manifestasi toksisitas paru akibat radiasi dapat dibedakan atas akut dan

kronik. Reaksi atai manifestasi akut umumnya baru terjadi pada dosis terapi yang

tinggi (50-60 Gy). Kelainan yang timbul umumnya hanya pada saluran napas berupa

mukosa yang meradang. Gejala yang timbul berupa batuk kering. Terapi antitusif

seperti codein dan banyak minum umumnya dapat mengatasi masalah ini.

PPI akibat radiasi adalah manifestasi kronik dari kelainan paru akibat radiasi.

Pneumonitis akibat radiasi biasanya baru tampak pada 2-6 bulan setelah radioterapi.

Pada umumnya Pneumonitis radiasi tak bergejala walaupun tampak kelainan pada

foto toraks. Bila bergejala maka akan terdapat demam (bisa mendadak tinggi), abtuk

dan sesak napas. Gejala umumnya berhubungan dengan besarnya dosis radiasi. Dosis

radiasi yang diberikan terbagi kecil-kecil akan memperkecil resiko dan gejala

pneumonitis radiasi.

Penyakit paru interstitial akibat penyakit vaskular kolagen

24

Page 25: Referat Penyakit Paru Interstitial

Berbagai kelainan paru bisa muncul pada berbagai penyakit vaskular kolagen.

Disfungsi otot pernapasan, pneumonia aspirasi, vaskulitis paru, hipertensi pulmonar,

bronkiolitis, bronkiolitis obliterans, efusi pleura, penyakit paru interstitial (PPI),

hingga nodul di parenkim paru bisa terjadi pada penyakit vaskular kolagen.

PPI terjadi pada dua perempat pasien skleroderma, sedangkan sekitar

seperempat pasien spondilitis ankilosa akan mengalami PPI. Pada artritis reumatoid,

sindrom Sjorgen, polimiositis-dermatomiositis, serta lupus eritematosus sistemik, PPI

bisa terjadi lebih dari 30% pasien.

Sebagai contoh kasus PPI pada penyakit vaskular kolagen di bawah ini akan

disinggung PPI pada lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid dan skleroderma.

2.6.5 Lupus eritamatosus sistemik

Ada dua bentuk PPI pada lupus, yaitu bentuk akut dan bentuk kronik. Bentuk

akut disebut dengan pneumonitis lupus akut (PLA), sedangkan bentuk kronik disebut

penyakit paru interstitial lipus (PPI lupus). Gambaran histologi dari PLA adalah

duffuse alveolar damage, BOOP, cellular interstitial pneumonitis atau kombinasi

antara ketiganya. Gambaran PPI lupus adalah UIP atau serupa dengan FPI.

PLA seringkali sulit dibedakan dari pneumonia infeksi. Pada lupus memang

sering pula terjadi infeksi baik karena lupus sendiri menyebabkan gangguan sistem

imun, juga pada lupus sering diberikan terapi imunosupresan. Kadangkala hanya

kultur dari cairan lavase bronkoalveolar yang dapat membedakan PLA dari

pneumonia infeksi. Pada PLA terdapat sesak napas, ronki, leukositosis, peningkatan

laju endap darah dan infiltrat alveolar bilateral pada foto torax. PLA bisa kambuh

berulang serta bisa terjadi gagal napas hingga membutuhkan ventilator mekanik. Pada

kehamilan kejadian PLA cenderung meningkat. Selain suportif dengan menjaga

suplai oksigen ke arteri, terapi PLA adalah mengikuti terapi lupus sistemiknya.

PLI lupus timbul setelah pasien menderita lupus beberapa tahun. Pasien PPI

lupus akan mengalami sesak napas yang perlahan-lahan memberat, batuk dan

25

Page 26: Referat Penyakit Paru Interstitial

gambaran infiltrat pada foto kedua paru. Respon terhadap obat seperti kortikosteroid

atau siklofosfamid atau azatioprin tergantung apakah masih ada gambaran aktif

(cellular interstitial pneumonitis) pada pemeriksaan histologinya.

2.6.6 Artritis reumatoid

Komplikasi pleuropneumonia pada artritis reumatoid umumnya terjadi pada

kasus yang lanjut atau berat. PPI muncul pada 5-40% pasien artritis reumatoid. Gejala

klinisnya adalah sesak dan batuk. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ronki pada

kedua basal basal paru dan jari tabuh. Bila terdapat hipertensi pulmonal akibat

vasokontriksi hipoksik bisa terjadi korpulmonal. Foto thorax dan CT scan turaks

menunjukkan infiltrat interstitialis terutama di basal dan tepi paru-paru. Pada kasus

lanjut didapatkan gambaran sarang tawon.

BOOP dapat muncul dengan gejala klinis yang mirip dengan UIP dan dapat

muncul bahkan segala artritis muncul. Apabila artritis reumatoid berkomplikasi

dengan sindroma Sjogren dapat pula ditemukan gambaran LIP. Pasien dengan BOOP

atau LIP umumnya lebih responsif terhadap terapi daripada yang bergambaran UIP.

Demikian pula pasien dengan BOOP dengan penyebab yang idiopatik sering kali

memiliki respon terapi yang lebih baik lagi dibanding dengan yang diakibatkan oleh

penyakit vaskular kolagen. Terapi yang diberikan adalah steriod dan bila tidak

berespons dapat dikombinasikan dengan sitotoksik.

Garam emas sering diberikan sebagai terapi pada artritis reumatoid dan sering

pula menyebabkan pneumonitis. Gambaran histopatologi pada PPI akibat reumatoid

sering kali serupa dengan yang diakibatkan oleh emas , sehingga membedakannya

haris dilakukan secara klinis. Sesak dan batuk timbul 4 sampai 6 minggu setelah

pemberian terapi emas. Pada beberapa kasus bisa terdapat eosinofilia di hitung jenis

lekosit darah tepi. Walaupun bisa bermanifestasi di basal, namun pneumonitis karena

emas cenderung lebih ke atas daripada infiltrat paru akibat artritis reumatoid. Seperti

akibat langsung artritis reumatoid, pneumonitis karena emas kadang kala juga

26

Page 27: Referat Penyakit Paru Interstitial

membaik dengan steroid, namun yang khas adalah perbaikan langsung terjadi dengan

dihentikannya terapi emas.

Selain emas, terapi metotreksat (yang bisa diberikan karena artritis

reumatoidnya atau karena PPI reumatoidnya) juga bisa menyebabkan pneumonitis.

Kejadian pneumonitis karena metotreksat adalah jarang (1-11%) namun bila terdapat

pneumonitis/PPI saat metitreksat diberikan, maka obat ini harus dihentikan.

2.6.7 Skleroderma

Skleroderma adalah penyakit fibrotik kronik-inflamatif pada matriks

ekstraselular kulit dan berbagai organ dalam. Dilaporkan 70-100% pasien

skleroderma mengalami keterlibatan paru walau gejalanya belum tampak.

Gambaran histopatologi utama pada skleroderma paru adalah UIP dan sarang

tawon, seperti yang ditemukan pada FPI. Gambaran sarang tawon adalah gambaran

dari keadaan kronik atau lanjut. UIP paling sering muncul pada skleroderma kulit

yang menyeluruh, walaupun bisa juga ditemukan pada skleroderma kulit yang

terlokalisir, yang dulu disebut sebagai sindrom CREST. Pada kasus yang disertai

dengan sindrom Sjogren dapat ditemukan LIP.

Gejala klinis yang menonjol adalah batuk dan sesak napas yang memberat

dengan aktivitas. Ronki ditemukan di kedua basal. Jari tabuh jarang ditemukan. Tes

fungsi paru menunjukkan restriksi, hipoksemia, serta gradient O2 alveolar arteri

melebar. Gambaran radiologi menunjukkan infiltrat interstitial kedua basal yang

makin lama makin menyeluruh, volume paru mengecil, kista-kista sarang tawon dan

berbagai tanda hipertensi pulmonar. Parut skleroderma di paru-paru dilaporkan

berhubungan dengan kanker paru (adenokarsinoma atau karsinoma sel alveolar).

Terapi empirik kelainan ini adalah dengan kortikosteroid yang bila gagal dapat

dipertimbangkan siklofosfamid atau penisilamin.

27

Page 28: Referat Penyakit Paru Interstitial

BAB III

KESIMPULAN

Penyakit paru interstitial (PPI) atau interstitial lung disease adalah kelompok

berbagai penyakit yang melibatkan dinding alveolus, jaringan sekitar alveolus dan

jaringan penunjang lain di paru-paru.

Secara umum ILD dapat dibagi dalam 5 klasifikasi klinis yaitu (1)

berhubungan  dengan  penyakit  vaskular  kolagen  (Collagen  vascular  associated),

(2) akibat pengaruh obat atau radiasi, (3) Primary or unclassified diasease related,

(4) akibat pengaruh pekerjaan atau lingkungan, dan (5) penyakit fibrosis idiopatik

(Idiopathic fibrotic disorders).

PPI terdiri atas berbagai penyakit yang memiliki kemiripan dalam gejala,

perubahan fisiologi, gambaran radiologi dan gambaran histopatologinya. Pasien yang

28

Page 29: Referat Penyakit Paru Interstitial

ditemukan dengan kecurigaan PPI harus dievaluasi lengkap untuk kemungkinan

penyakit lain. Diagnosis pasti ILD adalah dengan biopsi paru.

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Rasmin, Menaldi. Bronchoalveolar Lavage Pada Interstitial Lung Disease.2010

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI – SMF Paru

RSUP Persahabatan. Jakarta.

Sudoyo, AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. 2006. Departemen Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Djojodibroto, RD. Respirologi (respiratory medicine). 2009. EGC. Jakarta.

Ward, JP. At a Glance Sistem Respirasi. 2007. Erlangga. Jakarta.

29

Page 30: Referat Penyakit Paru Interstitial

Darya IW. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Pneuminitis Hipersensitivitas. 2008.

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar.

Denpasar.

Anonymous. Interstitial lung disease (disorders). Available at http://www. beltina.

org /health-dictionary/interstitial-lung-disease-disorders-symptoms-treat

ment. html. Diakses tanggal 18 September 2011.

30