referat gangguan keterampilan motorik
DESCRIPTION
referatTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan keterampilan motorik menggambarkan kesulitan sesorang
dalam mengembangkan keterampilan gerakannya. Anak yang sulit
mengendari sepeda, mengancingkan baju atau menggunakan gunting,
merupakan salah satu ciri dari gangguan perkembangan koordinasi
motorik. Gangguan koordinasi motorik diketahui diderita 1 dari 20 anak
usia sekolah. Ciri utamanya adalah gangguan perkembangan motorik,
terutama motorik halus. Sebenarnya gangguan ini mengenai motorik kasar
dan motorik halus, tetapi yang sangat berpengaruh pada fungsi belajar
adalah fungsi motorik halusnya.
Keterampilan gerakan merupakan dasar dari keterampilan belajar
sehingga dengan adanya keterbatasan atau gangguan keterampilan gerak,
seperti pada kasus gangguan keterampilan motorik maka masalah akan
meningkat dan meluas seiring dengan bertambahnya usia anak. Walaupun
kondisi ini pertama kali dikenal awal tahun 1990-an, namun kewaspadaan
mengenai keadaan ini baru meningkat akhir-akhir ini berdasarkan bukti
bahwa prevalensnya sekitar 5% dari anak sekolah usia primer. American
Phychiatric Association (APA) pada tahun 1994 dan WHO
mengklasifikasikan sindrom keterampilan pergerakan yang berbeda ini
sebagai gangguan koordinasi perkembangan (developmental coordination
disorder, DCD).
Seorang anak menilai performa motoriknya dengan membandingkan
dengan anak seusianya. Ia dapat melihat anak lain mencoba keterampilan
baru yang belum pernah dicobanya dan akan menggunakan hasil
obsevasinya untuk mencoba sendiri keterampilan tersebut. Di pihak lain,
anak dengan DCD akan melihat bahwa teman-temannya bisa lebih mdah
melakukan sesuatu dibanding dirinya. Hal ini akan mengakibatkan
turunnya harga diri dan kepercayaan diri lebih jauh lagi.
2
B. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan Umum
Tujuan secara umum dari penulisan referat ini adalah untuk
mengetahui lebih jauh mengenai gangguan keterampilan motorik.
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan tentang definisi gangguan keterampilan motorik.
b. Menjelaskan tentang epidemiologi gangguan keterampilan
motorik.
c. Menjelaskan tentang etiologi gangguan keterampilan motorik.
d. Menjelaskan tentang patofisiologi gangguan keterampilan
motorik.
e. Menjelaskan tentang gejala klinis gangguan keterampilan motorik.
f. Menjelaskan tentang penegakkan diagnosa gangguan keterampilan
motorik.
g. Menjelaskan tentang penatalaksanaan gangguan keterampilan
motorik.
h. Menjelaskan tentang prognosis gangguan keterampilan motorik..
3. Manfaat
Hasil referat ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
untuk mengetahui kriteria diagnosis ini bagi penulis sehingga
akan memudahkan penulis untuk mendiagnosa gangguan
keterampilan motorik.
Untuk meningkatkan pemahaman pembaca tentang masalah
gangguan keterampilan motorik.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Gangguan keterampilan motorik adalah semua gangguan yang
ditandai dengan perkembangan koordinasi motorik yang tidak adekuat
yang cukup berat sehingga membatasi gerakan atau menahan kemampuan
melakukan tugas, pekerjaan sekolah, atau aktivitas lain yang termasuk
dalam gangguan ini adalah gangguan koordinasi perkembangan atau
Development Coordination Disorder (DCD) (Dorland, 2002).
Gangguan koordinasi perkembangan adalah perkembangan
kemampuan koordinasi motorik halus dan menyeluruh yang lambat atau
menjadi masalah, bukan akibat gangguan neurologis atau retardasi mental
umum; anak-anak yang terserang gangguan ini tampak lebih canggung
daripada gangguan menyeluruh, gangguan ini dapat menetap sampai masa
remaja (Dorland, 2002).
Gangguan koordinasi motorik sekarang merupakan gangguan satu-
satunya di dalam kategori gangguan keterampilan motorik, menurut
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat
(DSM-IV). Gangguan ini dahulu dimasukkan sebagai suatu gangguan
psikiatrik dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
edisi ketiga yang direvisi (DSM-III-R) (Kaplan dkk, 2002).
B. Epidemiologi
Prevalensi gangguan koordinasi motorik tidak diketahui tetapi
diperkirakan sekitar 6% dari anak usia sekolah. Rasio laki-laki terhadap
perempuan juga tidak diketahui, tetapi lebih banyak anak laki-laki yang
memiliki gangguan koordinasi motorik dibandingkan anak perempuan.
Laporan dalam literatur menyebutkan rasio laki-laki berbanding
perempuan terentang dari 2 berbanding 1 sampai sebesar 4 berbanding 1
(Kaplan dkk, 2002).
4
C. Etiologi
Penyebab gangguan koordinasi motorik tidak diketahui, tetapi
hipotesis adalah termasuk penyebab organik dan perkembangan. Faktor
resikonya adalah prematuritas, hipoksia, malnutrisi perinatal, dan berat
badan lahir rendah. Kelainan neurokimiawi dan lesi lobus parietalis juga
telah diajukan berperan dalam defisit koordinasi (Kaplan dkk, 2002).
Gangguan koordinasi motorik dan gangguan komunikasi memiliki
hubungan yang kuat, walaupun agen penyebab spesifik tidak diketahui
untuk keduanya. Masalah koordinasi juga lebih sering dibandingkan
biasanya pada anak-anak dengan perilaku impulsif dan berbagai gangguan
belajar. Gangguan koordinasi motorik kemungkinan memiliki penyebab
yang multifaktoral (Kaplan dkk, 2002).
D. Patofisiologi
Koordinasi motorik adalah hasil dari serangkaian proses kognitif dan
fisik yang terjadi pada anak dengan perkembangan yang normal.
Pergerakkan halus, bertarget dan akurat, motorik halus maupun kasar,
membutuhkan fungsi yang harmonis dari input sensori, pusat pengolahan
informasi di otak dan koordinasi dengan fungsi serebral (kemauan,
motivasi, perencanaan aktivitas) juga diperlukan kinerja dari pola motorik
tertentu. Elemen ini harus bekerja dengan terkoordinasi dan cepat untuk
mengaktifkan gerakan yang kompleks (Patacy, 2010).
Perkembangan motorik dibagi menjadi dua fase. Fase pertama dari
variabilitas primer ditandai dengan aktivitas motorik kasar dan tak
menentu yang tidak memerlukan informasi sensorik untuk inisiasi atau
bimbingan. Pada fase kedua, faktor sensorik dan motorik berinteraksi
menimbulkan pola kontraksi otot yang spesifik dan kompleks yang
menjadi ciri terkoordinasi (Patacy, 2010).
Realisasi yang adekuat dari gerakan atau rangkaian pergerakkan yang
memerlukan konvergensi berbagai jalur dan sistem utama yang
bertanggung jawab untuk menggabungkan informasi. Korteks motorik,
serebelum, dan sistem vestibular merupakan bagian dari mekanisme
5
utama. Jika salah satu sistem tidak berfungsi secara adekuat, gerakan yang
direncanakan tidak dapat memuaskan (Patacy, 2010).
Ada beberapa fungsi motorik yang penting dalam memahami
kesulitan dalam keterampilan motorik, maturasi, dan evaluasi anak-anak
yang berjuang dengan tantangan ini. Elemen utama dalam rantai peristiwa
yang dibahas (Patacy, 2010).
Tonus otot
Tonus otot mengacu pada kontraksi dasar yang sedang berlangsung
dan konstan pada aktivitas otot. Tonus mungkin normal, rendah atau
tinggi. Anak dengan hipotonik seperti terkulai. Misalnya, bayi hipotonik
tidak dapat mempertahankan postur tubuh melawan gravitasi dan lebih
memilih duduk, bersandar pada sesuatu, atau berbaring di lantai. Usia
prasekolah duduk seperti orang malas dengan cara membungkuk,
bersandar pada kursi atau meja, dan berbaring selama kegiatan. Hal ini
sering disalahartikan sebagai tanda kurang hormat atau tidak minat. Tonus
otot yang tinggi (hipertonik), anak tampak kaku dan tidak bergerak dengan
cara halus dan alami. Seorang anak bergerak seperti robot (Patacy, 2010).
Tonus otot yang terlalu rendah atau terlalu tinggi merupakan salah
satu komponen keterampilan motorik. Anak hipotonik ini harus berjuang
untuk melakukan gerakan, mempertahankan postur dan kegiatan. Anak
hipertonik dapat membuat banyak kesalahan karena kelebihan aktivitas
otot (Patacy, 2010).
Keterampilan motorik kasar
Keterampilan mpotorik kasar mengacu pada kemampuan anak untuk
melaksanakan kegiatan yang memerlukan otot-otot besar yang bertindak
secara terkoordinasi untuk mencapai suatu gerakan atau serangkaian
gerakan. Contoh gerakan motorik kasar adalah berjalan, berlari, melempar
sesuatu, melompat, dan lainnya. Postur merupakan elemen penting untuk
dipertimbangkan dalam penilaian keterampilan motorik kasar. Postur yang
memadai dapat membuat semua perbedaan antara bisa atau tidak mampu
melaksanakan gerakan (Patacy, 2010).
6
Keterampilan motorik halus
Keterampilan motorik halus terdiri dari gerakan otot kecil yang
bertindak dalam cara terorganisir dan halus. Keterampilan motorik halus
merupakan dasar koordinasi, yang dimulai dengan mentransfer dari tangan
ke tangan. Contoh kegiatan motorik halus adalah menulis, menjahit,
menggambar, mengucapkan kata-kata, meniup gelembung, dan bersiul.
Banyak anak yang mengalami kesulitan dalam keterampilan motorik halus
mereka juga mengalami kesulitan dalam mengartikulasi suara atau kata-
kata (Patacy, 2010).
Kekuatan otot
Kekuatan otot mengacu pada intensitas kontraksi otot yang diperlukan
untuk melaksanakan suatu kegiatan (Patacy, 2010).
Perencanaan motorik
Perencanaan motorik terdiri dari kemampuan anak untuk
membayangkan sebuah strategi mental untuk melaksanakan gerakan atau
tindakan misalnya bagaimana untuk mendapatkan sesuatu yang terletak di
atas meja, bergerak dari titik A ke titik B. perencanaan motorik melibatkan
sejumlah kemampuan, termasuk deteksi visual gerak dan kesalahan dalam
geraka, pemilihan respon, gerakan perbaikan diri (Patacy, 2010).
Rangkaian dan kecepatan gerakan
Rangkaian dan kecepatan gerakan melibatkan urutan gerakan harus
berkelanjutan satu sama lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Ketika seorang anak mencoba untuk mengelola kegiatan motorik yang
kompleks atau meniru sesuatu, kemampuan mereka untuk melakukan
serangkaian gerakan dapat dikompromikan (Patacy, 2010).
Seorang anak yang kesulitan dalam keterampilan motorik sering
melakukan gerakan-gerakan lambat sebagai akibat dari kesulitan mereka
dalam pengorganisasian dan koordinasi gerak. Mereka juga dapat
mengandalkan isyarat visual untuk melakukan gerakan (Patacy, 2010).
Integrasi sensorik
Integrasi sensorik mengacu pada fungsi otak, yaitu bagaimana mengelola
input dan menghasilkan output. Output meliputi respon motorik. Menurut
7
teori Jean Ayres, anak-anak mungkin berjuang untuk mengintegrasikan
input sensorik (visual, audio, taktil, dan isyarat proprioseptif) dan
mengembangkan penolakan (misal untuk disentuh). Anak-anak dengan
kesulitan motorik sering mengalami masalah dalam integrasi sensorik
input yang membuat mereka rentan terhadap masalah yang dihasilkan dari
stimulasi sensorik (Patacy, 2010).
E. Gejala dan tanda Klinis
Gambaran klinis dari masalah koordinasi motorik dinilai dari sudut
pandang perkembangan, yaitu dengan mempertimbangkan kemampuan
fisik normal pada usia yang berbeda. Evaluasi perkembangan meliputi
pertimbangan variasi individu. Mengevaluasi pengembangan keseluruhan
anak, mempertimbangkan karakteristik dan gaya kekuatan dan kelemahan
masing-masing anak (Patacy, 2010).
Manifestasi pada bayi
Bayi dengan kesulitan pada fungsi motorik mungkin muncul hipertonik
atau hipotonik. Jika bayi bereaksi keras pada setiap pendengaran
ringan atau rangsangan visual dengan menjadi kaku atau dengan
melengkungkan punggungnya, ini adalah tanda hipertonus dan
hiperreaktivitas. Bayi muda mempertahankan tonus fleksor dalam
beberapa bulan pertama kehidupan dan hanya secara bertahap
mengembangkan pola ekstensi. Ketika orang tua melaporkan bahwa
bayi mereka kuat (yaitu, otot-otot keras dan tegang muncul), jika
refleks primitif (misalnya, Moro, plantar, atau refleks rooting) bertahan
setelah 6 atau 7 bulan, keprihatinan tentang perkembangan motorik
dibenarkan. Salah satu tanda tunggal mungkin tidak signifikan, namun
ketekunan refleks primitif harus mendatangkan beberapa pemeriksaan
penuh fungsi motorik secara keseluruhan.
Data anekdotal menunjukkan bahwa bayi dalam beberapa kelompok
ras, misalnya Afrika Amerika, umumnya mencapai keterampilan
motorik kasar lebih cepat daripada anak-anak dari kelompok ras
lainnya. Ketika bayi kecil muncul hampir siap untuk berjalan pada usia
beberapa bulan, ini adalah tanda untuk perhatian. Bayi yang bergerak
8
sebagai seluruh unit tanpa mengoreksi sudut kepala menuju garis
vertikal saat dipegang samping mungkin memiliki masalah
perkembangan motorik.
Bayi dengan tantangan bermotor sering tertunda dalam mencapai
tonggak seperti kemampuan untuk berguling, duduk dengan bantuan,
dan duduk tanpa bantuan. Bayi dengan masalah motor mungkin tidak
mampu mempertahankan berat badan mereka setelah 6 bulan bila
didukung di bawah lengan mereka.
Pada sekitar usia 4 bulan, bayi dapat mulai mengantisipasi pergerakan
benda-benda, menunjukkan perkembangan visuomotor awal. Pada
sekitar usia 6 bulan, mereka biasanya dapat menentang ibu jari dalam
gerakan menggenggam.
Pada usia 9 bulan, sambil duduk dengan sendirinya, bayi harus bisa
mengoreksi diri postur saat miring ke 1 sisi atau sisi lainnya, bukan
hanya menjadi terbalik.
Jika bayi tidak dapat duduk dengan dia atau dirinya sendiri pada usia 9
bulan, kekurangan ini harus diperhatian oleh pemeriksaan dokter
dengan rinci dan cepat.
Bayi yang berdiri dan yang selalu menunjuk ke bawah dengan jari-jari
kaki mereka juga mungkin menandakan hipertonus pada tungkai
bawah (atau hipertonus umum) dan sensitivitas tinggi untuk
menyentuh di permukaan plantar kaki. Bayi ini kemudian dapat
berjalan berjinjit.
Manifestasi pada tahun kedua dan ketiga dari kehidupan
Kesulitan dalam fungsi motorik halus pada anak-anak di tahun-tahun
awal mungkin sulit untuk diidentifikasi. Misalnya, balita yang
memiliki deficit keterampilan motorik halus tidak dapat menerima
makanan yang membutuhkan kemampuan mengunyah yang lebih
besar. Makan makanan padat membutuhkan fungsi terkoordinasi
sekitar 31 pasang otot dan koordinasi bernapas dengan menelan dari
bolus tersebut. Balita yang tidak makan makanan padat mungkin
menampilkan penanda tantangan motor yang mungkin melampaui
9
mengunyah. Hal ini juga berlaku untuk balita yang berulang kali
tersedak makanan saat mengunyah.
Anak-anak mungkin memiliki kesulitan dalam kemampuan untuk
membuat pemahaman untuk mengambil benda kecil dengan jari
telunjuk dan jempol. Hal ini dapat diuji dengan membiarkan anak-anak
untuk mengambil sebuah benda kecil dari permukaan yang datar,
seperti sepotong sereal sarapan. Bayi dapat terus berusaha untuk
mengambil benda-benda dengan pemahaman palmar (yaitu, dengan
permukaan anterior seluruh tangan). Jika demikian, mereka harus
diamati untuk keterlambatan motorik halus.
Pada akhir tahun pertama kehidupan, sebagian besar bayi mulai
membuat upaya untuk berjalan sambil berpegangan pada furnitur dan
mengambil langkah-langkah pertama mereka tak lama kemudian. Bayi
yang tidak dapat berjalan setelah umur 18 bulan mungkin memiliki
hypotonicity atau hypertonicity, kekuatan otot yang buruk atau
koordinasi, dan kesulitan dengan mengelola, keseimbangan, dan
postur. Dalam sebuah studi tahun 1990 oleh Bax et al, kebanyakan
anak yang tidak berjalan pada usia 18 bulan ternyata menjadi sehat,
namun sebagian kecil mengalami kesulitan motorik, termasuk cerebral
palsy dan keterlambatan perkembangan lainnya.
Kemampuan untuk berjalan sangat tergantung pada kemampuan untuk
menjaga keseimbangan dan tidak jatuh. Berjalan membutuhkan lebih
daripada kekuatan otot belaka untuk mendukung berat tubuh . Faktor-
faktor lain yang terlibat dalam berjalan onset termasuk gaya
temperamen, kesempatan, dan faktor motivasi.
Manifestasi di prasekolah dan anak usia sekolah
Pada usia 3-5 tahun, banyak keterampilan yang diperoleh dan
disempurnakan dengan paparan kegiatan dan permainan yang
membutuhkan motorik berlatih. Anak-anak jelas bervariasi dalam
kecepatan perkembangan mereka.
Pada usia 4-5 tahun, kebanyakan anak telah mengembangkan
preferensi tangan yang jelas atau dominasi. Dalam beberapa kasus,
10
keterampilan tangan yang benar kemampuan untuk benar-benar
melakukan tugas dengan baik dengan kedua tangan.
Tanda lain yang menjadi perhatian adalah kesulitan dalam memegang
pensil. Kekhawatiran muncul pada anak yang memiliki kesempatan
praktek dan yang masih tidak bisa memegang pensil dengan pola
matang.
Banyak pakar berpikir bahwa kesulitan dalam keterampilan motorik
halus (yaitu, dalam mengelola jari dan pergelangan tangan) lebih
merupakan refleksi dari rusak di daerah proksimal tungkai atas
daripada di daerah lain. Anak-anak mungkin tidak dapat menangani
pena, krayon, atau pensil. Ini dianggap sebagai cara yang matang dan
efisien untuk menangani tugas-tugas menulis. Selama kegiatan itu,
hanya pergelangan tangan bergerak bersama, sementara sendi lain di
ekstremitas atas tetap. Namun demikian, ketika bahu lemah, anak-
anak kompensasi ketika mereka harus menggunakan bagian distal
ekstremitas atas (jari, tangan). Alih-alih menggunakan pergelangan
tangan untuk menulis, anak-anak harus memindahkan seluruh
ekstremitas atas untuk menulis.
Tanda klinis yang mengarahkan adanya gangguan koordinasi motorik
terlihat paling awal pada masa bayi, saat anak yang terkena mulai berusaha
melakukan tindakan yang memerlukan koordinasi motorik. Gambaran
klinis yang penting adalah gangguan kinerja anak yang jelas terganggua
pada koordinasi motorik. Kesulitan dalam motorik mungkin bervariasi
menurut umur dan stadium perkembangan anak (Kaplan dkk, 2002).
Pada masa bayi dan masa anak-anak awal gangguan mungkin
bermanifestasi sebagai keterlambatan kejadian perkembangan normal,
seperti berputar, merangkak, duduk, berdiri, berjalan, mengancingkan
baju, dan mengunci retsleting celana. Antara umur 2 dan 4 tahun,
kecanggungan tampak pada hampir semua aktivitas yang memerlukan
koordinasi motorik. Anak yang terkena tidak dapat memegang benda, dan
mereka mudah menjatuhkannya; gaya berjalan mereka tidak mantap;
mereka sering kali tersandung pada kakinya sendiri; dan mereka mungkin
11
menabrak anak-anak lain saat berusaha mendekati mereka (Kaplan dkk,
2002).
Pada anak yang lebih besar ganguan koordinasi mototrik mugkin
terlihat dalam permainan di meja, seperti mencocokkan kepingan gambar
atau membangun balok, dan pada tiap jenis permainan bola. Walaupun
tidak ada ciri spesifik yang patognomonik untuk gangguan koordinasi
motorik, kejadian perkembangan sering kali terlambat. Banyak anak
dengan ganguan juga memiliki gangguan bicara. Anak yang lebih tua
mungkin juga memiliki masalah kesulitan sekolah sekunder, termasuk
masalah perilaku dan emosional, yang memerlukan intervensi terapeutik
yang tepat (Kaplan dkk, 2002).
F. Penegakkan diagnosa
Diagnosa gangguan koordinasi motorik memerlukan riwayat tentang
perilaku motorik awal anak, termasuk pengamatan langsung aktivitas
motorik. Skrining informal untuk gangguan koordinasi motorik dapat
dilakukan dengan meminta anak melakukan pekerjaan yang melibatkan
koordinasi motorik kasar (melompat, meloncat, dan berdiri pada satu
tungkai), koordinasi motorik halus (menjentikkan jari dan mengikat tali
sepatu), dan koordinasi mata dan tangan (menangkap bola dan meniru
tulisan) (Kaplan dkk, 2002).
Diagnosa didukung oleh skor subtes kinerja yang lebih rendah dari
normal dari tes kecerdasan baku da oleh skor subtes verbal yang normal
atau di atas normal. Tes khusus koordinasi motorik dapat berguna, seperti
Bender Gestalt Visual Motor Test, Frostig Movement Skills Test Battery,
dan Bruininks-Oseretsky Test of Motor Proficiency (Kaplan dkk, 2002).
The Bender Gestalt Visual Motor test digunakan untuk menilai
penggabungan visual-motorik dan keterampilan pemahaman visual
( apakah kedua mata dan salah satu bagian otak berhubungan dengan
penyampaian daya lihat dengan tepat). Test ini terdiri dari sembilan tes
yang harus diikuti (Barkoukis, 2008).
Bruininks-Oseretsky Test of Motor Proficiency (BOTMP) untuk
menilai keterampilan motorik halus maupun kasar pada anak yang beusia
12
4 sampai 14 tahun. BOTMP terbagi dalam 8 sub bagian, termasuk
kemampuan untuk berlari dan ketangkasan umum, bagaimana seorang
anak dapat mempertahankan keseimbangan dan koordinasi dari pergerakan
bilateral. Tes ini sering disukai oleh anak-anak karena serupa dengan
aktivitas pada masa anak-anak (melempar atau menangkap bola, berlari,
melakukan push up). Tes ini paling banyak digunakan untuk menilai
kemampuan motorik, dan dapat digunakan dalam cakupan yang luas pada
anak-anak, dari kemampuan tubuh hingga rintangan fisik yang berat
(Barkoukis, 2008; Patacy, 2010).
Kriteria diagnostik DSM-IV diberikan dalam Tabel 1.
Tabel 1
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Koordinasi Perkembangan
A Kinerja dalam aktivitas sehari-hari yang memerlukan
koordinasi motorik adalah secara bermakna di bawah yang
diharapkan menurut usia kronologis pasien dan inteligensia
yang terukur. Hal ini dapat bermanifestasi dengan
keterlambatan yang nyata dalam pencapaian kejadian
motorik (berjalan, merangkak, duduk), menjatuhkan barang-
barang, “kecanggungan”, prestasi buruk dalam olahraga,
atau tulisan tangan yang buruk
B Gangguan dalam kriteria A secara bermakna mengganggu
pencapaian akademik atau aktivitas hidup sehari-hari
C Gangguan bukan karena kondisi medis umum (palsi serebral,
hemiplegia, atau distrofi otot) dan tidak memenuhi kriteria
untuk gangguan perkembangan pervasif
D Jika terdapat retardasi mental, kesulitan motorik adalah
melebihi dari apa yang biasa menyertainya
Catatan penulisan: jika terdapat kondisi medis umum (neurologis) atau defisit sensorik, tuliskan kondisi tersebut pada Aksis III.
(Hak cipta American Psychiatric Association, Washington, 1994)
13
G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding adalah gangguan media yang menghasilkan
kesulitan koordinasi (seperti palsi serebral dan distrofi muskular),
gangguan perkembangan pervasif, dan retardasi mental. Pada retardasi
mental dan gangguan perkembangan pervasif, koordinasi biasanya tidak
berdiri sebagai suatu defisit dibandingkan dengan keterampilan lain.
Anak-anak dengan gangguan neuromuskular mungkin menunjukkan
gangguan otot yang lebih global dibandingkan kecanggungan dan
keterlambatan kejadian motorik. Pada kasus tersebut, pemeriksaan
neurologis biasanya mengungkapkan defisit yang lebih luas dibandingkan
yang ada pada gangguan koordinasi motorik. Anak yang sangat hiperaktif
dan impulsif mungkin secara fisik tidak berhati-hati karena tingginya
tingkat aktivitas motorik anak tersebut. Perilaku motorik yang cangguang
dan gangguan defisit-atensi/hiperaktivitas tampaknya berhubungan
(Kaplan dkk, 2002).
H. Terapi
Secara khusus seorang dokter akan mencoba untuk memastikan
masalah yang dialami seorang anak dalam kebiasaannya secara
keseluruhan dan kemudian merencanakan intervensi untuk
mengembangkan fungsi adaptif secara optimal atau kemahiran dari
keterampilan yang terbelakang atau perbaikan dari kesulitan berkoordinasi
(Patacy, 2010).
Terapi gangguan koordinasi motorik termasuk latihan motorik
perseptual, teknik latihan neurofisiologis untuk disfungsi motorik, dan
pendidikan fisik yang termodifikasi. Teknik Montessori mungkin berguna
bagi banyak anak prasekolah, karena menekankan perkembangan
keterampilan motorik. Tidak ada latihan atau metoda latihan tunggal yang
tampaknya lebih menguntungkan atau efektif dibandingkan yang lainnya.
Masalah perilaku atau emosional sekunder dan gangguan komunikasi yang
terjadi bersamaan harus ditangani dengan metoda terapi yang sesuai
(Kaplan dkk, 2002).
14
Tidak ada penelitian skala besar yang telah melaporkan efek terapi,
walaupun penelitian kecil telah menyatakan bahwa latihan dalam
koordinasi ritmik, mempraktekkan gerakan motorik, dan belajar
menggunakan mesin tik semuanya adalah berguna (Kaplan dkk, 2002).
Konseling parental membantu menurunkan kecemasan dan ras
bersalah pada orangtua terhadap gangguan anak dan meningkatkan
kesadaran mereka, yang memberikan keyakinan bagi mereka untuk
membantu anak (Kaplan dkk, 2002).
I. Prognosis
Jika tidak ditangani, anak-anak dengan gangguan koordinasi motorik
cenderung memiliki gejala yang bertahan pada masa remaja hingga masa
dewasa (Patacy, 2010).
Pada kasus berat yang tetap tidak terobati, pasien mungkin memiliki
sejumlah komplikasi sekunder, seperti kegagalan berulang pada pekerjaan
akademik dan nonakademik di sekolah, masalah berulang dalam berusaha
bergabung dengan kelompok teman sebaya, dan ketidakmampuan bermain
dan berolahraga. Masalah tersebut dapat menyebabkan harga diri yang
rendah, kesedihan, menarik diri, dan pada beberapa kasus meningkatnya
masalah perilaku yang parah sebagai reaksi terhadap frustasi yang
ditimbulkan oleh gangguan. Semua tingkat fungsi adaptif dapat diharapkan
pada anak-anak. Ciri penyerta yang sering adalah keterlambatan kejadian
nonmotorik, gangguan bahasa ekspresif, dan gangguan bahasa
reseptif/ekspresif campuran (Kaplan dkk, 2002).
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gangguan keterampilan motorik adalah semua gangguan yang
ditandai dengan perkembangan koordinasi motorik yang tidak adekuat
yang cukup berat sehingga membatasi gerakan atau menahan kemampuan
melakukan tugas, pekerjaan sekolah, atau aktivitas lain yang termasuk
dalam gangguan ini adalah gangguan koordinasi perkembangan atau
Development Coordination Disorder (DCD).
Penyebab gangguan koordinasi motorik tidak diketahui, tetapi
hipotesis adalah termasuk penyebab organik dan perkembangan. Faktor
resikonya adalah prematuritas, hipoksia, malnutrisi perinatal, dan berat
badan lahir rendah.
Tanda klinis yang mengarahkan adanya gangguan koordinasi motorik
terlihat paling awal pada masa bayi, saat anak yang terkena mulai berusaha
melakukan tindakan yang memerlukan koordinasi motorik. Gambaran
klinis yang penting adalah gangguan kinerja anak yang jelas terganggua
pada koordinasi motorik. Kesulitan dalam motorik mungkin bervariasi
menurut umur dan stadium perkembangan anak.
Terapi gangguan koordinasi motorik termasuk latihan motorik
perseptual, teknik latihan neurofisiologis untuk disfungsi motorik, dan
pendidikan fisik yang termodifikasi.
B. Saran
Gangguan keterampilan motorik tidak hanya berdampak pada anak
secara langsung, tetapi berdampak juga secara tidak langsung pada orang
tua dan orang sekitar sehingga disarankan mereka untuk dapat pertahankan
harga diri anak dengan mencoba berbagai hobi seperti berenang, yoga,
mengendarai kuda, dan fotografi. Bantu anak agar lebih terorganisir,
pastikan setiap benda dinamai dan tempat penyimpanannya mudah
digunakan. Cobalah untuk melatih keterampilan sosial sehingga anak
memiliki perilaku dan mengetahui apa yang harus dilakukan dan kapan.
16
Gunakan instruksi visual daripada auditori untuk menyampaikan pesan,
jangan ragu untuk mengulang dan periksa apa anak sudah mengerti dengan
bahasa yang sangat sederhana.
17
DAFTAR PUSTAKA
Barkoukis, A. 2008. Disorders of Childhood: Motor Skills Disorders, Mental help (on-line). http://mentalhelp.net/poc/view_doc.php?type=doc&id=14495&cn=37. Diakses tanggal 25 Desember 2011.
Dorland. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. EGC, Jakarta.Hawari, Dadang. 2003. Pendekatan holistik pada gangguan jiwa. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.Kaplan, Harold, Sadock, Benjamin, Gregg, Jack. 2002. Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Psikiatris Klinis Jilid 2. Binarupa Aksara. Jakarta.Patacy, C. 2010. Motor Skills Disorder, Emedicine (on-line).
http://emedicine.medscape.com/article/915251. Diakses tanggal 25 Desember 2011.