referat gagal nafas.docx

25
REFERAT Gagal Nafas dan Terapi Gagal Nafas Oleh: FRIDA NEILA RAHMATIKA 201420401011082

Upload: frida-neila-rahmatika

Post on 17-Dec-2015

56 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

REFERATGagal Nafas dan Terapi Gagal Nafas

Oleh:FRIDA NEILA RAHMATIKA201420401011082

SMF ANESTESIRUMAH SAKIT UMUM HAJI SURABAYAFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG2014BAB 1 PENDAHULUAN

Fungsi utama sistem respirasi adalah menjamin pertukaran O2 dan CO2. Bila terjadi kegagalan pernapasan maka oksigen yang sampai ke jaringan akan mengalami defisiensi akibatnya sel akan terganggu proses metabolismenya. Gagal nafas adalah suatu sindrom dimana sistem respirasi gagal untuk melakukan pertukaran gas yaitu oksigenasi dan pengeluaran karbondioksida. primernya dalam pertukaran gas, yaitu oksigenasi darah arteri dan pembuangan karbondioksida. Ada beberapa tingkatan dari gagal pernafasan, dan dapat terjadi secara akut atau secara kronik. Kegagalan pernafasan kronik menyatakan gangguan fungsional jangka panjang yang menetap selama beberapa hari atau bulan dan mencerminkan adanya proses patologis yang mengarah kepada kegagalan dan proses komplikasi untuk menstabilkan keadaan. Gas-gas dalam darah dapat sedikit abnormal atau dalam batas normal pada saat istirahat, tetapi dalam keadaan di mana kebutuhan meningkat seperti pada sewaktu latihan maka gas-gas darah dapat jauh dari batas normal. Peningkatan kerja pernafasan mengurangi cadangan pernafasan dan pengurangan aktivitas fisik adalah dua mekanisme utama untuk mengatasi insufisiensi pernafasan kronik.Kegagalan pernafasan akut secara numerik didefinisikan bila PaO2 50 sampai 60 mmHg atau dengan kadar CO2 50 mmHg dalam keadaan istirahat pada ketinggian permukaan laut. Alasan pemakaian definisi numerik berdasarkan gas-gas darah ini karena batas antara insufisiensi pernafasan kronik dan kegagalan pernafasan tidak jelas dan tidak bisa berdasarkan observasi klinis saja. Sebaliknya, harus diingat bahwa definisi berdasarkan gas-gas darah ini tidak bersifat absolut. Makna dari angka-angka ini tergantung dari riwayat penyakit terdahulu. Orang yang sebelumnya dalam keadaan sehat yang kemudian mengalami kelainan gas-gas darah setelah mengalami kecelakaan hampir tenggelam dapat diperkirakan akan jatuh ke dalam keadaan koma, sedangkan penderita PPOM dapat melakukan kegiatan fisik dalam batas tertentu seperti dalam keadaaan gas darah yang sama.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Gagal Nafas Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan suatu keadaan pertukaran antara atmosfer dan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan tubuh normal Pada gagal nafas, terjadi kegegalan sistem pulmoner untuk memenuhi kebutuhan eliminasi CO2 dan oksigenasi darah. Gagal napas terjadi bila: 1). PO2 arterial (PaO2) < 60 mmHg, atau 2). PCO2 arterial (PaCO2) > 45 mmHg , kecuali apabila peningkatan PCO2 disebabkan oleh kompensasi dari alkalosis metabolik. Secara umum gagal nafas dibedakan menjadi gagal nafas tipe hiperkapnia dan gagal nafas tipe hipoksemia. Pasien dengan gagal nafas hiperkapnia mempunyai kadar PCO2 arterial (PaCO2) yang abnormal tinggi. (PaCO2 > 45 mmHg). Sedangkan pada gagal nafas hipoksemia didapatkan PO2 arterial (PaO2) yang rendah (PaO2 < 60 mmHg) dengan PaCO2 yang normal atau rendah. 2.2 Etiologi Gagal NafasPenyebab gagal napas dapat digolongkan sesuai kelainan primernya dan komponen sistem pernapasan. Gagal nafas dapat diakibatkan kelainan pada paru, jantung, dinding dada, otot pernapasan, atau mekanisme pengendalian sentral ventilasi di medula oblongata. Pasien dengan gagal nafas tipe hipoksemia sering disebabkan oleh kelainan yang mempengaruhi parenkim paru meliputi jalan nafas, ruang alveolar, intersisiel, dan sirkulasi pulmoner. Perubahan hubungan anatomis dan fisiologis antara udara di alveolus dan darah di kapiler paru dapat menyebabkan gagal nafas tipe hipoksemia. Contoh penyakitnya antara lain : Penumonia bakterial, pneumonia viral, aspirasi isi lambung, ARDS, emboli paru, asma, dan penyakit paru intersisial. Sedangkan pada gagal nafas tipe hiperkapnia sering disebabkan oleh kelainan yang mempengaruhi komponen non-paru dari sistem pernafasan yaitu dinding dada, otot pernafasan, atau batang otak. Penyebabnya antara lain kelemahan otot pernafasan, penyakit SSP yang menganggu sistem ventilasi, atau kondisi yang mempengaruhi bentuk atau ukuran dinding dada seperti kifoskloiosis. 2.3 Patofisologi Gagal NafasGagal nafas dapat disebabkan oleh kelainan intrapulmoner maupun ekstrapulmoner. Kelainan intrapulmoner meliputi kelainan pada saluran nafas bawah, sirkulasi pulmoner, jaringan interstitial dan daerah kapiler alveolar. Sedangkan ekstrapulmoner berupa kelainan pada pusat nafas, neuromuskular, pleura maupun saluran nafas atas.Pemahaman mengenai patofisiologi gagal nafas merupakan hal yang sangat penting di dalam hal penatalaksanaannya nanti. Secara umum terdapat 4 dasar mekanisme gangguan pertukaran gas pada sistem respirasi, yaitu :1. Hipoventilasi1. Right to left shunting of blood1. Gangguan difusi1. Ventilation/perfusion mismatch, V/Q mismatch.Dari keempat mekanisme di atas, kelainan extrapulmoner menyebabkan hipoventilasi sedangkan kelainan intrapulmoner dapat meliputi seluruh mekanisme tersebut.2.3.1Gagal Nafas tipe hipoksemia Istilah hipoksemia menunjukkan PO2 yang rendah di dalam darah arteri (PaO2) dan dapat digunakan untuk menunjukkan PO2 pada kapiler, vena dan kapiler paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya kadar O2 darah atau berkurangnya saturasi oksigen di dalam hemoglobin. Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia berarti penurunan penyampaian (delivery) O2 ke jaringan atau efek dari penurunan penyampaian O2 ke jaringan. Hipoksia dapat pula terjadi akibat penurunan penyampaian O2 karena faktor rendahnya curah jantung, anemia, syok septik atau keracunan karbon monoksida, dimana PaO2 dapat meningkat atau normal.

2.3.1.1 Patofisologi Gagal Nafas Hipoksemia.Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan utama, yaitu berkurangnya PO2 alveolar dan meningkatnya pengaruh campuran darah vena (venous admixture). Jika darah vena yang bersaturasi rendah kembali ke paru, dan tidak mendapatkan oksigen selama perjalanan di pembuluh darah paru, maka darah yang keluar di arteri akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan parsial oksigen yang sama dengan darah vena sistemik. PO2 darah vena sistemik (PVO2) menentukan batas bawah PaO2. Bila semua darah vena yang bersaturasi rendah melalui sirkulasi paru dan mencapai keseimbangan dengan gas di rongga alveolar, maka PO2 = PAO2. Maka PO2 alveolar (PAO2) menentukan batas atas PO2 arteri. Semua nilai PO2 berada diantara PVO2 dan PAO2. a. Penurunan PO2AlveolarTekanan total di ruang alveolar ialah jumlah dari PO2, PCO2, PH2O, dan PN2. Bila PH2O dan PN2 tidak berubah bermakna, setiap peningkatan pada PACO2 akan menyebabkan penurunan PaO2. Hipoventilasi alveolar menyebabkan penurunan PAO2, yang menimbulkan penurunan PaO2 bila darah arteri dalam keseimbangan dengan gas di ruang alveolus. Persamaan gas alveolar, bila disederhanakan menunjukkan hubungan antara PO2 dan PCO2 alveolar:PAO2 = FiO2 x PB - PACO2R

FiO2 adalah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB ialah tekanan barometric, dan R ialah rasio pertukaran udara pernapasan, menunjukkan rasio steady-state CO2 memasuki dan O2 meninggalkan ruang alveolar. Dalam praktek, PCO2 arteri digunakan sebagai nilai perkiraan PCO2 alveolar (PaCO2). PAO2 berkurang bila PACO2 meningkat. Jadi, hipoventilasi alveolar menyebabkan hipoksemia (berkurangnya PaO2). Persamaan gas alveolar juga mengindikasikan bahwa hipoksemia akan terjadi jika tekanan barometric total berkurang, seperti pada ketinggian, atau bila FiO2 rendah (seperti saat seseorang menghisap campuran gas dimana sebagian oksigen digantikan gas lain). Hal ini juga akibat penurunan PO2. Pada hipoksemia, yang terjadi hanya karena penurunan PaO2. Perbedaan PO2 alveolar - arteri adalah normal pada hipoksemia karena hipoventilasi.

b. Pencampuran Vena (Venous Admixture) Meningkatnya jumlah darah vena yang mengalami deoksigenasi, yang mencapai arteri tanpa teroksigenasi lengkap oleh paparan gas alveolar. Perbedaan PO2 alveolar arterial meningkat dalam keadaan hipoksemia karena peningkatan pencampuran darah vena. Dalam pernapasan udara ruangan, perbedaan PO2 alveolar arterial normalnya sekitar 10 dan 20 mmHg, meningkat dengan usia dan saat subyek berada pada posisi tegak. Hipoksemia terjadi karena salah satu penyebab meningkatnya pencampuran vena, yang dikenal sebagai pirau kanan ke kiri (right-to-left-shunt). Sebagian darah vena sistemik tidak melalui alveolus, bercampur dengan darah yang berasal dari paru, akibatnya adalah percampuran arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru dengan PO2 diantara PAO2 dan PVO2. Pirau kanan ke kiri dapat terjadi karena: 1). Kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus sedangkan aliran darah dipertahankan. 2). Penyakit jantung congenital dengan defek septum. 3). ARDS, dimana dapat terjadi edema paru yang berat, atelektasis lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi pirau kanan ke kiri yang berat.Petanda terjadinya pirau kanan ke kiri ialah: 1). Hipoksemia berat dalam pernapasan udara ruangan. 2). Hanya sedikit peningkatan PaO2 jika diberikan tambahan oksigen. 3). Dibutuhkan FiO2 > 0,6 untuk mencapai PaO2 yang diinginkan. 4). PaO2 < 550 mmHg saat mendapat O2 100%. Jika PaO2 < 550 mmHg saat bernapas dengan O2 100% maka dikatakan terjadi pirau kanan ke kiri.

c. Ketidakseimbangan Ventilasi-Perfusi (ventilation-perfusion mismatching = V/Q mismatching) Merupakan penyebab hipoksemia tersering, terjadi ketidaksesuaian ventilasi-perfusi. Ketidaksesuaian ini bukan disebabkan karena darah vena tidak melintasi daerah paru yang mendapat ventilasi seperti yang terjadi pada pirau kanan ke kiri. Sebaliknya beberapa area di paru mendapat ventilasi yang kurang dibandingkan banyaknya aliran darah yang menuju ke area-area tersebut. Disisi lain, beberapa area paru yang lain mendapat ventilasi berlebih dibandingkan aliran darah regional yang relative sedikit.Darah yang melalui kapiler paru di area yang hipoventilasi relatif, akan kurang mendapat oksigen dibandingkan keadaan normal. Hal tersebut menimbulkan hipoksemia darah arteri. Efek ketidaksesuaian V/Q terhadap pertukaran gas antara kapiler-alveolus seringkali kompleks. Contoh dari penyakit paru yang merubah distribusi ventilasi atau aliran darah sehingga terjadi ketidaksesuaian V/Q adalah: Asma dan penyakit paru obstruktif kronik lain, dimana variasi pada resistensi jalan napas cenderung mendistribusikan ventilasi secara tidak rata. Penyakit vascular paru seperti tromboemboli paru, dimana distribusi perfusi berubah. Petunjuk akan adanya ketidaksesuaian V/Q adalah PaO2 dapat dinaikkan ke nilai yang dapat ditoleransi secara mudah dengan pemberian oksigen tambahan.

d. Keterbatasan Difusi (diffusion limitation)Keterbatasan difusi O2 merupakan penyebab hipoksemia yang jarang. Dasar mekanisme ini sering tidak dimengerti. Dalam keadaan normal, terdapat waktu yang lebih dari cukup bagi darah vena yang melintasi kedua paru untuk mendapatkan keseimbangan gas dengan alveolus. Walaupun jarang, dapat terjadi darah kapiler paru mengalir terlalu cepat sehingga tidak cukup waktu bagi PO2 kapiler paru untuk mengalami kesetimbangan dengan PO2 alveolus. Keterbatasan difusi akan menyebabkan hipoksemia bila PAO2 sangat rendah sehingga difusi oksigen melalui membrane alveolar-kapiler melambat atau jika waktu transit darah kapiler paru sangat pendek. Beberapa keadaan dimana keterbatasan difusi untuk transfer oksigen dianggap sebagai penyebab utama hipoksemia ialah: penyakit vaskuler paru; pulmonary alveolar proteinosis, keadaan dimana ruang alveolar diisi cairan mengandung protein dan lipid.2.3.1.2Manifestasi Klinis Gagal Nafas HipoksemiaManifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari gambaran hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan. Hipoksemia arterial meningkatkan ventilasi melalui stimulus kemoreseptor glomus karotikus, diikuti dispnea, takipnea, hiperpnea, dan biasanya hiperventilasi. Derajat respon ventilasi tergantung kemampuan mendeteksi hipoksemia dan kemampuan sistem pernapasan untuk merespon. Pada pasien yang fungsi glomus karotikusnya terganggu maka tidak ada respon ventilasi terhadap hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama di ekstremitas distal, tetapi juga didapatkan pada daerah sentral di sekitar membrane mukosa dan bibir. Derajat sianosis tergantung pada konsentrasi hemoglobin dan keadaan perfusi pasien. Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke jaringan yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan pergeseran metabolisme ke arah anaerobik disertai pembentukan asam laktat. Peningkatan kadar asam laktat di darah selanjutnya akan merangsang ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat menyebabkan gangguan mental, terutama untuk pekerjaan kompleks dan berpikir abstrak. Hipoksia yang lebih berat dapat menyebabkan perubahan status mental yang lebih lanjut, seperti somnolen, koma, kejang dan kerusakan otak hipoksik permanen. Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat. Sehingga menyebabkan terjadinya takikardi, diaphoresis dan vasokonstriksi sistemik, diikuti hipertensi. Hipoksia yang lebih berat lagi, dapat menyebabkan bradikardia, vasodilatasi, dan hipotensi, serta menimbulkan iskemia miokard, infark, aritmia dan gagal jantung. Manifestasi gagal napas hipoksemik akan lebih buruk jika ada gangguan hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien dengan curah jantung yang berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi akan mengalami hipoksia jaringan global dan regional pada hipoksemia yang lebih dini. Misalnya pada pasien syok hipovolemik yang menunjukkan tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia arterial ringan.

2.3.1Gagal Nafas Tipe Hiperkapnia 2.3.1.1Patofisiologi Gagal Nafas Hiperkapnia Gagal nafas tipe hiperkapnia adalah kegagalan tubuh untuk mengeluarkan CO2, pada umumnya disebabkan oleh kegagalan ventilasi yang ditandai dengan retensi CO2 (peningkatan PaCO2 atau hiperkapnea) disertai dengan penurunan pH yang abnormal. Kegagalan ventilasi biasanya disebabkan oleh hipoventilasi karena kelainan ekstrapulmoner. Hiperkapnik yang terjadi karena kelainan extrapulmoner dapat disebabkan karena penekanan dorongan pernapasan sentral atau gangguan pada respon ventilasi.Gagal nafas hiperkapnia terutama disebabkan oleh hipoventilasi elveolar. Kegagalan ventilasi dapat terjadi bila PaCO2 meninggi dan pH kurang dari 7,35. Kegagalan ventilasi terjadi bila minut ventilation berkurang secara tidak wajar atau bila tidak dapat meningkat dalam usaha memberikan kompensasi bagi peningkatan produksi CO2 atau pembentukan rongga tidak berfungsi pada pertukaran gas (dead space)2.3.1.2 Manifestasi Klinis Gagal Nafas HiperkapniaHiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat. Peningkatan PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat, mekanismenya terutama melalui turunnya PH cairan cerebrospinal yang terjadi karena peningkatan akut PaCO2. Karena CO2 berdifusi secara bebas dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, PH turun secara cepat dan hebat karena hiperkapnia akut. Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama sehingga bikarbonat serum dan cairan serebrospinal meningkat sebagai kompensasi terhadap asidosis respiratorik kronik. Kadar PH yang rendah lebih berkorelasi dengan perubahan status mental . Gejala hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala hipoksemia. Hiperkapnia menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan hiperkapnia mungkin memiliki ventilasi semenit yang meningkat atau menurun, tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas. Jadi, dispnea, takipnea, hiperpnea, bradipnea, dan hipopnea dapat berhubungan dengan gagal napas hiperkapnea.

2.4 Diagnosis Klinis Gagal NafasDiagnosis gagal napas dimulai jika ada gejala klinik yang muncul. Gejala klinis pada gagal napas terdiri dari tanda kompensasi pernapasan yaitu takipneu, penggunaan otot pernapasan tambahan, restriksi intrakostal, suprasternal dan supraklavikular. Gejala peningkatan tonus simpatis seperti takikardi, hipertensi dan berkeringat. Gejala hipoksia yaitu perubahan status mental misalnya bingung atau koma, bradikardi dan hipotensi. Gejala desaturasi hemoglobin yaitu sianosis. Kriteria gejala klinis dan tanda-tanda gawat nafas ditandai dengan perubahan pola pernafasan dari normal antara lain sebagai berikut a. Penurunan frekuensi pernafasan (Bradipneu) atau meningkat (Takipneu). b. Adanya retraksi dinding dadac. Sesak nafas / dyspneud. Sianosis (kebiruan), diakibatkan rendahnya kadar oksigen dalam darah. e. Penggunaan otot bantu pernafasanf. Gerakan dinding asimetrisg. Pernafsan paradoksalh. Retraksi dinding dadai. Suara nafas menurun atau hilang atau didapatkan suara tambahan seperti stridor, rhonki, atau wheezing. Untuk membedakan penyebab dari gagal nafas dapat diketahui dari gejala gagal nafas antara lain : HipoksemiaHiperkapnia

AnsietasTakikardiaTakipneuDiaforesisAritmiaPerubahan Status MentalBingungSianosisKejangAsidosis Laktat

SomnolenLetargiKoma Sakit kepalaEdema papil AsteriksAgitasiTremorBicara kacau

Tabel 1. Manifestasi Klinis Hiperkapnia dan HipoksemiaDalam mementukan kondisi gagal nafas, indikator penting yang perlu diketahui antara lain Indikator gagal nafas adalah frekuensi pernafasan , N 16-20x/mnt. Jika frekuensi pernafasan > 35 kali/ mnt maka akan menimbulkan kelelahan otot pernafasan yang pada akhirnya mengantarkan pada gagal nafas, sehingga membutuhkan bantuan ventilator. Indikator yang kedua adalah Kapasitas Vital menggunakan spirometer, Jika hasilnya kurang dari 10-20 ml/kg maka hal tersebut merupakan tanda gagal nafas. Untuk menunjang diagnosis pada kasus gagal nafas dapat dilakukan pemeriksaan penunjang antara lain dengan pengukuran gas darah pada arteri, pengukuran saturasi oksigen menggunakan pulse oxymeter, dan pengukuran PaO2 dan PaCO2. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mengetahui apakah ada anemia, yang dapat menyebabkan hipoksia jaringan. Pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis underlying disease (penyakit yang mendasarinya).

2.5 Penatalaksanaan Gagal Nafas Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu, penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care area) di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas tersedia. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut. Prioritas dalam penanganan gagal nafas berbeda-beda tergantung dari etiologinya, tetapi tujuan primer penanganan adalah sama pada semua pasien, yaitu menangani sebab gagal nafas dan bersamaan dengan itu memastikan ada ventilasi yang memadai dan jalan nafas yang bebasa. Perbaiki jalan napas (Air Way)Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan hipereksistensi kepala mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi jalan napas, apabila masih belum menolong maka mulut dibuka dan mandibula didorong ke depan (triple airway maneuver) atau dengan menggunakan manuver head tilt-chin lift), biasanya berhasil untuk mengatasi obstruksi jalan nafas bagian atas. Sambil menunggu dan mempersiapkan pengobatan spesifik, maka diidentifikasi apakah ada obstruksi oleh benda asing, edema laring atau spasme bronkus, dan lain-lain. Mungkin juga diperlukan alat pembantu seperti pipa orofaring, pipa nasofaring atau pipa trakea.

b. Terapi oksigen Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Pada terapi oksigen, besarnya oksigen yang diberikan tergantung dari mekanisme hipoksemia, tipe alat pemberi oksigen tergantung pada jumlah oksigen yang diperlukan, potensi efek samping oksigen, dan ventilasi semenit pasien. Cara pemberian oksigen dibagi menjadi dua yaitu sistem arus rendah dan sistem arus tinggi. Alat Oksigen Arus Rendah Kateter Nasal 1-6 L/menit Konsentrasi : 24-44%

Kanula Nasal 1-6 L/menit Konsentrasi : 24-44%

Simple Mask6-8 L/menitKonsentrasi : 40-60%

Mask + Rebreathing6-8 L/menitKonsetrasi : 60-80%

Alat Oksigen Arus Tinggi AMBU BAG10 L/menitKonsentrasi : 100%

Bag Mask + Jackson Rees10 L/menitKonsentrasi : 100%

Pemberian terapi oksigen harus memenuhi kriteria 4 tepat 1 waspada yaitu tepat indikasi, tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat waktu pemberian, dan wasapada terhadap efek samping. c. Ventilasi BantuPada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas dapat dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth) atau mulut ke hidung (mouth to nose). Apabila kesadaran pasien masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan ventilasi menggunakan ventilator, seperti ventilator bird, dengan ventilasi IPPB (Intermittent Positive Pressure Breathing), yaitu pasien bernapas spontan melalui mouth piece atau sungkup muka yang dihubungkan dengan ventilator. Setiap kali pasien melakukan inspirasi maka tekanan negative yang ditimbulkan akan menggerakkan ventilator dan memberikan bantuan napas sebanyak sesuai yang diatur. d. Ventilasi KendaliPasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan dengan ventilator. Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Biasanya diperlukan obat-obatan seperti sedative, narkotika, atau pelumpuh otot agar pasien tidak berontak dan parnapasan pasien dapat mengikuti irama ventilator.e. Terapi farmakologi Bronkodilator.Mempengaruhi langsung pada kontraksi otot polos bronkus. Merupakan terapi utama untuk pnyakit paru obstruktif atau pada penyakit dengan peningkatan resistensi jalan napas seperti edema paru, ARDS, atau pneumonia. Agonis B adrenergik / simpatomimetikMemilik efek agonis terhadap reseptor beta drenergik pada otot polos bronkus sehingga menimbulkan efek bronkodilatasi. golongan ini memiliki efek samping antara lain tremor, takikardia, palpitasi, aritmia, dan hipokalemia. Lebih efektif digunakan dalam bentuk inhalasi sehinga dosis yang lebih besar dan efek kerjanya lebih lama. AntikolinergikRespon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung pada derajat tonus parasimpatis intrisik. Obat-obatan ini kurang berperan pada asma, dimana obstruksi jalan nafas berkaitan dengan inflamasi, dibandingkan dengan bronkitis kronik dimana tonus parasimpatis lebih berperan. Pada gagal nafas, antikolinergik harus diberikan bersamaan dengan agonis beta adrenergik. Contoh dari antikolinergik adalah Ipatropium Bromida, tersedia dalam bentuk MDI (metered dose-inhaler) atau solusio untuk nebulisasi. Efek samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi, dan retensi urine. TeofilinMekanisme kerja melalui inhibisi kerja fosfodieterase pada AMP siklik, translokasi kalsium, antagonis adenosin, dan stimulasi reseptor beta-adrenergik, dan aktifitas anti-inflamasi. Efek samping meliputi takikardia, mual, dan muntah. Komplikasi terparah antara lain aritmia jantung, hipokalemia, perubahan status mental, dan kejang. Kortikosteroidf. Pengobatan Spesifik Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Tindakan terapi untuk memulihkan kondisi pasien gagal napas: Penghisapan paru untuk mengeluarkan sekret agar tidak menghambat saluran napas. Postural drainage, juga untuk mengeluarkan sekret. Latihan napas, jika kondisi pasien sudah membaik

2.6 Komplikasi dan Prognosis Gagal Nafas Gagal nafas merupakan suatu kondisi kegawatan yang dapat mengancam jiwa. Komplikasi gagal nafas dapat mempengaruhi organ-organ vital terutama otak dan jaringan karena tidak adekuatnya oksigenasi. Oleh karena itu penanganan yang cepat dan tepat pada kegawatan nafas sangat diperlukan. Prognosis dari gagal nafas sangat ditentukan oleh faktor penyebab gagal nafas, penyakit primer, berat dan lamanya gagal nafas, kecepatan penanganan, serta komplikasi yang terjadi. Hasil akhir pada pasien gagal napas sangat tergantung dari etiologi/penyakit yang mendasarinya, serta penanganan yang cepat dan adekuat. Jika penyakit tersebut diterapi dengan benar maka hasilnya akan baik. Jika gagal napas berkembang dengan perlahan maka dapat timbul hipertensi pulmoner, hal ini akan lebih memperberat keadaan hipoksemi. Adanya penyakit ginjal dan infeksi paru akan memperburuk prognosis. Terkadang transplantasi paru diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Zulfikli, dan Johanes Purwato. 2009. Gagal Nafas Akut. Dalam : Aru W. Sudoyo (ed.) . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. pp. 219-226.Bagian Ilmu Kesehatan Anak. 2005. Gagal Nafas pada Anak. Dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi edisi 3. Bagian Ilmu Kedehatan Anak FK Unpad RSHS.Guyton,A.C. , dan John E. Hall. 2008. Insufiensi Pernapasan-Patofisiologi, Diagnosis, Terapi Oksigen. Dalam : Arthur C. Guyton dan John E. Hall (ed.) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC. Pp. 556-559Guyton,A.C. , dan John E. Hall. 2008. Ventilasi Paru.. Dalam : Arthur C. Guyton dan John E. Hall (ed.) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC. PpGwinnutt, C. 2011. Catatan Kuliah : Anestesi Klinis Edisi 3. Jakarta : EGC. Latief, A. Said. (2002), Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intesif, Jakarta: FK UI.Ulaynah, Ana. 2009. Terapi Oksigen. Dalam : Aru W. Sudoyo (ed.) . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. pp. 161-165

12