referat dn

35
REFERAT NEFROPATI DIABETIK Pembimbing: dr. Swa Kurniati DTM&H Oleh : Priska Valinia K (2014-061-184) Efsan Adhiputra (2014-061-185) Irvandi Handana Suryana (2014-061-186)

Upload: priskavk

Post on 09-Dec-2015

231 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hhhhh

TRANSCRIPT

REFERAT

NEFROPATI DIABETIK

Pembimbing: dr. Swa Kurniati DTM&H

Oleh :

Priska Valinia K (2014-061-184)

Efsan Adhiputra (2014-061-185)

Irvandi Handana Suryana (2014-061-186)

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA

ATMA JAYA

Periode 17 Agustus 2015 – 24 Oktober 2015

1

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas rahmat dan kasih

karunia-Nya, penulisan referat dengan judul “Distonia” dapat diwujudkan dengan

baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. George Dewanto, Sp.S atas

bimbingan dan saran Beliau selama penulisan referat ini. Penulis juga berterima

kasih kepada semua pihak yang membantu, baik secara langsung maupun tidak

langsung dalam penulisan referat ini.

Dalam kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan permohonan maaf

yang sebesar-besarnya atas segala kesalahan baik yang disengaja maupun tidak.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini. Oleh karena

itu, segala saran atau kritik yang membangun akan dijadikan sebagai pemacu untuk

membuat karya yang lebih baik lagi. Akhir kata, penulis berharap semoga referat ini

bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 2015

2

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...............................................................................i

DAFTAR ISI .............................................................................................ii

BAB I

PENDAHULUAN ...................................................................................1

1.1. Latar Belakang..........................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah .....................................................................................2

1.3. Tujuan Penulisan .....................................................................................2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................3

2.1. Definisi Migren..........................................................................................3

2.2. Etiologi Migren .........................................................................................3

2.3. Patofisiologi Migren .................................................................................4

2.4. Manifestasi Klinis Migren.........................................................................5

2.5. Diagnosis Migren.......................................................................................7

2.6. Tatalaksana Migren...................................................................................12

BAB III

KESIMPULAN...................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................22

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Prevalensi diabetes melitus (DM) di seluruh dunia meningkat pesat

seiring dengan dengan peningkatan populasi geriatri, urbanisasi dan perubahan

gaya hidup. Penelitian dari India menunjukkan adanya peningkatan signifikan

penderita diabetes melitus pada area urban (dari 13.9% pada 2000 menjadi

18.2% pada 2006) dan pinggiran (dari 6.4% pada 2000 menjadi 9.2% pada

2006).1 International Diabetes Federation (IDF) memprediksi penderita DM yang

berusia di atas 20 tahun akan meningkat dari 285 juta pada 2010 menjadi 439 juta

pada 2030. Oleh karena itu, komplikasi organ target baik mikrovaskular dan

makrovaskular akan menjadi perhatian medis di masa yang akan datang.2

DM berkontribusi pada sebagian besar pasien yang menerima terapi

pengganti ginjal serta berkaitan dengan angka kejadian penyakit

kardiovaskular. Nefropati diabetik adalah komplikasi mikrovaskular terbanyak

dan menyebabkan gagal ginjal kronik tahap akhir. Orang dengan diabetes

memiliki risiko terjadinya penyakit ginjal tahap akhir 12 kali lipat.3 Ciri

nefropati diabetik adalah adanya inflamasi dan akumulasi matriks mesangial,

fibrosis tubulointerstitial bermakna dan hyalinosis vaskular pada tahap akhir.

Diagnosis klinis diabetik nefropati dapat ditegakkan berdasarkan pada

adanya proteinuria > 0.5g/ 24 jam dan atau adanya perubahan kadar kreatinin.

Secara umum, perkembangan nefropati diabetik ditandai dengan adanya

peningkatan laju ekskresi albumin dari normo- menuju mikro- dan

makroalbuminuria. EURODIAB menemukan insiden pasien mikroalbuminuria

pada pasien diabetes tipe 1 adalah 12.6%. Proteinuria terjadi pada 15– 40%

pasien diabetes melitus tipe 1 dengan puncak insiden pada pasien yang 15-20

tahun mengalami diabetes. Pada pasien diabetes tipe 2, prevalensi bervariasi

antara 5 hingga 20%.4

Oleh karena itu, hal ini menarik minat peneliti untuk membahas lebih

lanjut mengenai proses dan mekanisme, alur mendiagnosis, dan bagaimana

mencegah progresivitas nefropati diabetik.

4

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Bagaimana epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, perjalanan

penyakit, diagnosis, dan tatalaksana nefropati diabetik?

1.3. TUJUAN PENULISAN

1. Mengetahui definisi nefropati diabetik

2. Mengetahui etiologi dan patofisiologi nefropati diabetik

3. Mengetahui manifestasi klinis nefropati diabetik

4. Mengetahui perjalanan penyakit nefropati diabetik

5. Mengetahui cara menegakkan diagnosis nefropati diabetik

6. Mengetahui tatalaksana nefropati diabetik

5

BAB II

ISI

2.1. Diabetes melitus

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang

mempunyai karakteristik peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia)

kronis dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang

disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya5.

Klasifikasi DM yang dipakai di Indonesia sesuai dengan klasifikasi

menurut American Diabetes Association (ADA) 2003, dimana DM terbagi

dalam 4 kategori yaitu5,6:

1. DM tipe 1

Pada DM tipe 1, jumlah insulin yang dihasilkan kurang atau

tidak terjadi sekresi insulin. Hal ini diduga disebabkan oleh karena

sistemimun (autoantibody terhadap sel pankreas, insulin, dan

tyrosine phosphatase) secara gradual menghancurkan sel beta (β) di

pankreas.

2. DM tipe 2

DM tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum terjadi (90-

95%)dibandingkan dengan DM tipe 1. Pada orang dengan

obesitas,kurangnya aktivitas fisik, peningkatan umur, riwayat keluarga

terkenaDM, diet tinggi lemak dan rendah serat, risiko terkena DM

akan meningkat. DM tipe 2 dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu

resistensi insulin perifer, kegagalan sekresi insulin, dan produksi

glukosa hepar yang berlebih. Pada stadium awal diabetes, walaupun

terdapat resistensi insulin, toleransi glukosa masih dalam angka normal.

Hal tersebut dikarenakan sel beta pankreas melakukan

kompensasidengan cara meningkatkan pengeluaran insulin

(hiperinsulinemia). Jika hal ini terus berlangsung, maka pankreas

sendiri tidak dapat mempertahankan keadaan hiperinsulinemia yang

6

mengakibatkan produksi dari insulin menurun sedangkan produksi

glukosa tetap meningkat sehingga terjadilah hiperglikemia.

Diagnosis DM ditegakkan berdasarkan gejala klinik khas dan pemeriksaan

laboratorium. Diagnosis klinis umumnya akan dipikirkan apabila ada

keluhan-keluhan khas seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat

badan yang cepat tanpa sebab yang jelas. Keluhan lain dapat berupa lemah

badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulva

pada wanita.

Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) 2006,

diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara, yaitu7 :

1. Ditemukan keluhan klasik disertai dengan pemeriksaan glukosa darah

sewaktu ≥ 200 mg/dl.

2. Ditemukan keluhan klasik disertai dengan pemeriksaan glukosa darah

puasa ≥ 126 mg/dl.

3. Bila ada keraguan perlu dilakukan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)

dengan mengukur kadar glukosa darah 2 jam setelah minum 75 gram

glukosa.

7

Gambar 2.1. Langkah-Langkah Diagnostik DM dan Toleransi Glukosa Terganggu

Sumber: Buku Ajar Penyakit Dalam III, edisi IV. 2006

DM dapat terjadi sebagai akibat dari gangguan genetik, penyakit iatrogenik

akibat steroid, kondisi endokrin seperti hiperpituitarisma atau hipertiroidisme serta

kerusakan sel-sel pulau Langerhans akibat inflamasi, kanker, atau pasca bedah.

Hormon insulin adalah rangkaian asam amino yang dihasilkan oleh sel beta pankreas

yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan glukosa darah antara 60-100 mg/dl

pada waktu puasa dan kadar gula darah dua jam setelah makan sekitar 100-140

mg/dl. Insulin berperan penting pada metabolisme karbohidrat, yang berfungsi dalam

proses utilisasi glukosa pada otot, lemak dan hepar. Pada DM tipe 2 terjadi resistensi

insulin yang ditandai dengan penurunan jumlah reseptor insulin pada permukaan sel

target dan penurunan aktivitas post-reseptor sehingga sel-sel tersebut menjadi kurang

sensitif terhadap insulin, dan akhirnya resisten. Akibatnya kemampuan sel untuk

menggunakan insulin berkurang sehingga glukosa yang masukke dalam sel akan

berkurang dan glukosa di dalam darah akan meningkat. Tingginya kadar glukosa

dalam darah akan menstimulasi produksi insulin dalam jumlah besar

(hiperinsulinemia) untuk dapat memproses glukosa tersebut. Produksi insulin yang

terus-menerus ini dapat melemahkan fungsi sel beta dan bahkan dapat berakhir

dengan kerusakan permanen. Saat pankreas tidak dapat lagi menghasilkan insulin

yang cukup, maka seseorang akan mengalami hiperglikemia dan didiagnosis sebagai

DM tipe II8.

Penyebab resistensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya belum dapat

dipastikan, tetapi beberapa faktor banyak berperan, seperti obesitas terutama yang

bersifat sentral, kurang gerak badan, diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat serta

faktor keturunan. Homeostasis glukosa diatur oleh tiga proses yang berhubungan

yaitu produksi glukosa di hati, penggunaan glukosa oleh jaringan periferal (otot), dan

sekresi insulin. Insulin akan berinteraksi dengan sel target dan berikatan dengan

reseptor insulin di permukaan sel target. Insulin dibutuhkan otot, lemak, dan hati agar

jaringan-jaringan tersebut mendapat asupan glukosa dari darah. Insulin tidak

8

dibutuhkan di sistem saraf pusat, maka penyandang DM tidak terkontrol yang

mengalami kekurangan insulin atau penurunan aktivitas insulin tetap dapat

menggunakan karbohidrat dalam kadar normal di otak dan sistem saraf. Namun,

jaringan lain tidak mendapat asupan glukosa yang cukup sehingga terjadi

peningkatan produksi glukosa dari glikogen dan protein. Jadi peningkatan kadar

glukosa darah pada penyandang DM merupakan kombinasi dari kurangnya

penggunaan glukosa dan produksi glukosa yang berlebihan dan metabolisme lemak

yang terganggu8.

Patofisiologi Diabetes.

Komplikasi akibat diabetes dapat berdampak pada beberapa sistem organ dan

ikut andil dalam mortalitas dan morbiditas pasien. Komplikasi dari diabetes biasanya

terjadi pada penderita diabetes setelah dekade ke dua. Diabetes tipe 2 memiliki

periode asimptomatik yang lama hingga terjadi komplikasi, menyebabkan tidak

banyak orang terdiagnosa memiliki diabetes ketika komplikasi telah terjadi.

Komplikasi dari diabetes dapat dibagi menjadi vaskular dan non vaskular.

Komplikasi vaskular dibagi lagi menjadi mikrovaskular (retinopati, nefropati, dan

neuropati) dan makrovaskular (coronary heart disease, peripheral arterial disease,

cerebrovascular disease)8.

Hiperglikemik kronis memang merupakan etiologi penting pada proses

terjadinya komplikasi dari diabetes, namun mekanisme yang menyebabkan

terjadinya gangguan pada sel tubuh hingga sistem organ belum diketahui. Beberapa

teori yang diperkirkan berperan dalam mekanisme terjadinya komplikasi pada

diabetes, antara lain; (1) Peningkatan kadar glukosa dalam darah menyebabkan

meningkatnya pembentukan dari advance glucose end products (AGEs), yang akan

menempel pada reseptor dari sel tubuh melalui jalur nonenzymatik glycoslaytation

dari intra dan ekstraseluler protein selanjutnya menyebabkan crosslink protein,

mempercepat proses arterosclerosis, disfungsi glomerular, disfungsi endotel,

komposisi ekstraselular matriks yang terganggu; (2) Hiperglikemi menyebabkan

peningkatan metabolisme glukosa melalui jalur sorbitol yang dipengaruhi enzim

aldose reduktase; (3) Hiperglikemi meningkatkan pembentukan diacylgliserol

menyebabkan aktivasi protein kinase C yang dapat menggangu transkripsi gen pada

fibronectin , kolagen tipe IV, dan protein matriks ekstraseluler dari sel endotel dan

9

neuron. (4) Hiperglikemi menyebabkan gangguan pada fungsi dari glycosylation

proteiin, mengubah ekspresi gen dari TGF-B dan palsminogen activator inhibitor-18.

10

2.1. Nefropati diabetik

2.1.1. Definisi

Kimmelstiel Wilson syndrome atau biasa disebut nefropati diabetikum,

adalah suatu gangguan ginjal yang berhubungan dengan penyakit diabetes

jangka panjang. Gejala utama dari nefropati diabetikum adalah adanya

proteinuria Proteinuria yang harus dicek minimal 2 kali dalam kurun waktu 3

sampai 6 bulan, penurunan GFR, dan hipertensi9.

2.1.2. Epidemiologi

Kurang lebih 20-305 penderita DM mengalami microalbumiuria 15

tahun setelah terkena penyakit diabetes. Gejala nefropati diabetikum lebih sering

terjadi pada diabetes melitus tipe 1. Proteinuria terjadi pada 15-40% penderita

diabetes tipe 1 sedangkan pada diabetes tipe 2 prevalensi terjadinya proteinuria

15-20%10.

Dari sebuah penelitian yang dilakukan di Inggris, didapati bahwa

jumlah penderita nefropati diabetik lebih banyak di asia daripada di negara barat.

Hal ini disebabkan pada orang asia, penderita diabetes melitus tipe 2 relatif lebih

muda karena itu kemungkinan terkena nefropati diabetik lebih tinggi. Di

Indonesia sendiri prevalensi nefropati diabetik pada penderita diabetes melitus

sekitar 2-39,3%. Negara Thailand sebesar 29,4%, negara Filipina sebesar 20,8%,

dan di Hongkong sebesar 13,1%11.

2.1.3. Patofisiologi nefropati diabetik

Komplikasi renal pada DM

Nefropati diabetik merupakan penyebab tersering dari chronic kidney

disease (CKD), dan end stage renal disease (ESRD). Diabetik nefropati

merupakan komplikasi mikrovaskular dari diabetes mellitus dimana

patogenesisnya belum diketahui namun diperkirakan berhubungan akibat dari

hiperglikemi kronis yang menyebabkan terjadinya disfungsi dari glomerulus

yaitu perusakan endotel pada ginjal akibat peningkatan dari advance glucose end

products (AGEs). Beberapa mekanisme lainnya yang berperan pada proses

11

terjadinya diabetik nefropati antara lain peningkatan beberapa substrat (growth

factor, angiotensin II, endothelin, AGEs), gangguan hemodinamik dari sirkulasi

renal (glomerular hyperfiltration dan peningkatan tekanan kapiler glomerular),

dan perubahan struktural dari glomerulus (peningkatan matriks ekstraseluler,

penebalan basement membrane, pembesaran lapisan mesangial, dan fibrosis).

Perjalanan penyakit dari diabetik nefropati berawal dari peningkatan

filtrasi glomerular dan hipertrofi renal yang diikuti dengan peningkatan GFR

terjadi pada tahun pertama setelah terdiagnosa diabetes mellitus. Pada 5 tahun

selanjutnya umumnya telah terjadi penebalan dari membran basement

glomerulus, hipertrofi glomerulus, dan pembesaran volume mesangial sehingga

berlanjut dengan GFR yang turun menuju normal. Setelah 5–10 tahun penderita

diabetes mellitus dengan komplikasi pada ginjal mulai ditemukan adanya

albumin pada urin (microalbuminuria) dan terjadi pada 50% berlanjut menjadi

macroalbuminuria setelah 10 tahun. Ketika macroalbuminuria terjadi akan

menyebabkan penurunan dari GFR dan 50% penderita akan mencapai end stage

renal disease 7-10 tahun kemudian8.

Perjalanan penyakit nefropati diabetik12

a. Stadium 1 Early renal hypertrophy and glomerular hyperfiltration

Pada stadium ini tanpa keluhan atau gejala klinis dengan ciri khusus.

Parameter penting untuk evaluasi fungsi ginjal pada DM adalah dengan UAE

yang meningkat pada DM tidak terkontrol. Perubahan UAE ini dapat dilihat

dengan jelas dengan tes provokasi latihan. Setelah beberapa tahun dapat dilihat

adanya perubahan pada membran basalis glomerulus yang merupakan kombinasi

dari perubahan LFG, ukuran ginjal, dan kombinasi perubahan struktural dan

fungsional pada diabetes dini.

b. Stadium II Glomerular lesions without clinically evident disease

Pada stadium ini juga tanpa gambaran klinis dengan ciri khusus, hipertensi

hanya ditemukan 5-10%. Diagnosis nefropati diabetik stadium II berdasarkan:

- nefromegali

- hiperfiltrasi glomerular (hipertensi intraglomerular) (LFG) lebih dari

150 ml per menit

12

- urine albumin excretion rate (UAER per menit) pada keadaan basal

normal dan meningkat setelah uji latihan fisik

- histopatologis ginjal hiperttrofi glomerulus dan membran basal

glomerulus menebal disertai ekspansi matriks mesangial

c. Stadium III ( incipient diabetic nephropathy)

Stadium ini tanpa keluhan yang berhubungan dengan nefropati, selalu

ditemukan hipertensi pada pemeriksaan fisik. Stadium lanjut mungkin dengan

keluhan penyakit luar ginjal seperti retinopati, neuropati dan penyakit vaskular

umum.

Kriteria diagnosis berdasarkan:

- nefromegali

- hiperfiltrasi (LFG 160 ml per menit pada stadium awal dan 130 ml

per menit pada stadium lanjut)

- mikroalbuminuria bervariasi antara 15 sampai 300 mikrogram per

menit

- histopatologi renal: ekspansi matriks mesangial dan penebalan mem-

bran basal.

- kelainan luar ginal: retinopati, neuropati, penyakit jantung iskemik

berhubungan dengan profil lemak

d. Stadium IV overt diabetic nephropathy

Ciri khusus pada stadium ini adalah mikroalbuminuria lebih dari 300 mikrogram

per menit. Gejala renal bergantung dari derajat penurunan faal ginjal (LFG) dan

eksresi protein

- nefromegali

- proteinuria asimtomatis dengan hematuria mikroskopis, sindrom

nefritik kronis, dan sindrom nefrotik

- LFG 70-130 ml per menit

- hipertensi ringan sampai berat dan mempunyai korelasi dengan

derajat penurunan faal ginjal (LFG)

- simtomatologi penyakit luar ginjal makin mencolok seperti

retinopati, neuropati, penyakit vaskuler umum

13

- kelainan histopatologi renal makin nyata terutama ekspansi matriks

mesangial dan penebalan membran basal glomerulus. Adanya

proteinuria masif menunjukkan histopatologi renal makin berat.

e. Stadium V nefropati diabetik terminal

Pasien dengan stadium ini merupakan indikasi terapi pengganti ginjal.

Gambaran klinis nefropati diabetik

1. Proteinuria

Proteinuria asimptomatik merupakan tanda permulaan dari nefropati

diabetik, timbulnya intermitten selama beberapa tahun dan akhirnya menetap

disertai proteinuria masif. Pada stadium permulaan, proteinuria ringan dari

nefropati diabetik ini sulit dibedakan dengan proteinuria karena

glomerulonefritis membranosa karena sebab lain.

Bila telah terjadi proteinuria masif dan berlangsung lama serta diikuti

oleh gambaran klinis lainnya seperti edema dan hipertensi. Proteinuria pada

nefropati diabetik biasanya non-selektif. Proteinuria ini merupakan indikator

untuk nefropati diabetik namun harus disingkirkan penyebab lainnya seperti

gagal jantung kongestif, ketoasidosis, pielonefritis, dan ortostatik. Nefropati

diabetes beru muncul setelah 20 tahun menderita intoleransi glukosa pada DM

tipe dewasa dan 14 tahun pada tipe juvenii.13

2. Edema

Penimbunan carian pada jaringan ekstraselular sesuai dengan derajat

proteinuria dan hipoalbuminemia. Pada pasien yang keadaanya berat, dapat

terjadi edema anasarka.13

3. Hipertensi

Hipertensi tidak selalu ditemukan pada nefropati diabetik namun

biasanya muncul setelah terdapat kelainan histopatologis berat pada DM tipe I.

Pada DM tipe II sering disertai hipertensi esensial.13

4. Gagal ginjal kronis

Clearance kreatinin tidak selalu tepat menggambarkan nilai LFG,

karena dipengaruhi keadaan hiperglikemia, glukosuria, albuminuria, dan

14

ketoasidosis. Kreatinin serum satu-satunya pemeriksaan laboratorium rutin yang

dapat memperkirakan nilai laju filtrasi glomerulus.13

2.1.4. Diagnosis nefropati diabetik

Anamnesis

Dari anamnesis yang perlu digali adalah identifikasi mengenai faktor

risiko seperti lama menderita DM, apakah ada di keluarga yang menderita

hipertensi, kebiasaan makan sehari-hari terutama yang berkaitan dengan protein

hewani, identifikasi penyakit penyerta lainnya misalnya artritis Gout.

Skrining dan diagnosis diabetik nefropati

Skrining dan diagnosis diabetik nefropati harus ditegakkan sejak pasien

didiagnosis menderita DM tipe 2 karena lebih kurang 7% pasien mengalami

mikroalbuminuria. Pada pasien dengan DM tipe 1 skrining dapat dilakukan

setelah 5 tahun diagnosis ditegakkan. Pada pasien dengan DM tipe 1 atau 2 dan

mikroalbuminuria harus dites lebih lanjut mengenai kadar albumin setiap tahun

untuk memantau progresivitas penyakit dan respon terhadap terapi4.

Stadium diabetik nefropati dapat dikelompokkan berdasarkan nilai

albumin excretion rate (AER) atau urinary albumin excretion (UAE):

mikroalbuminuria dan makroalbuminuria. Nilai UAE dapat menggambarkan

faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular pada penderita DM tipe 2.

Progresi menuju mikroalbuminuria dan makroalbuminuria lebih sering pada

penderita DM tipe 2 dengan UAE diatas median (2.5 mg/ 24 jam). Setelah

dilakukan follow-up selama 10 tahun ditemukan bahwa risiko diabetik nefropati

meingkat 29 kali lipat lebih banyak pada pasien dengan UAE diatas 10 μg/

menit4.

American Association of Diabetes (ADA) merekomendasikan bahwa

tahap pertama dalam men-skrining diabetik nefropati adalah mengukur kadar

albumin pada sampel urin pertama di pagi hari atau pada waktu kapan saja.

Pengukuran albumin pada sampel urin 24 jam dapat menggambarkan

konsentrasi albumin pada urin (mg/l) atau rasio albumin/ kreatinin (mg/g atau

mg/ mmol). Kriteria mikroalbuminuria bila terdapat albumin dalam urin 30-300

15

mg/ 24 jam. Pada pasien dengan DM tipe 2 sebanyak 36% pasien mengalami

kerusakan ginjal tanpa mikro- atau makroalbuminuria, sehingga skrining

tahunan diabetik nefropati harus mencakup pengukuran serum kreatinin dan

eGFR. Selain itu juga dapat dilakukan teknik identifikasi mikroalbumiuria

dengan beberapa teknik seperti radioimmuno assay (RIA), Enzyme-linked

immunosorbent Assay (ELISA), turbinometri.13

Skrining pada urin tidak boleh dilakukan pada kondisi yang dapat

meningkatkan UAE seperti infeksi saluran kemih, hematuria, penyakit dengan

demam akut, olahraga berlebihan, hiperglikemia akut, hipertensi tidak terkonrol,

dan gagal jantung. Sampel urin harus diletakkan dalam kulkas bila tidak

digunakan pada hari yang sama. Immunoassay secara rutin dilakukan untuk

mengukur albumin dan sensitif terhadap diabetik nefropati. Selain itu, high-

performance liquid chromatography termasuk immunoreaktif dan

immunounreaktif dapat mendeteksi secara dini diabetik nefropati.

Pada situasi dimana pengukuran UAE tidak dapat dilakukan,

pengukuran dipstik semikuantitatif untuk mengukur albumin pada urin seperti

Micral Test II dapat dilakukan. Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah tes

deteksi proteinuria (dipstik) atau pengukuran protein kuantitatif pada sampel

urin. Adanya dipstik positif atau konsentrasi protein urin >430 mg/l memiliki

sensitivitas 100% pada kedua tes dan spesifitas 82% dan 93% untuk diagnosis

proteinuria. Diagnosis proteinuria dapat ditegakkan bila kadar protein dalam urin

>500mg/ 24 jam4.

Pada beberapa pasien dapat ditemukan UAE yang normal namun

memiliki penurunan laju filtrasi glomerulus. Pada pasien DM tipe 1 fenomena

ini lebih sering ditemukan pada pasien wanita dengan diabetes yang kronis,

hipertensi dan atau retinopati. Oleh karena itu, pengukuran laju filtrasi

glomerulus (LFG) UAE perlu secara rutin dilakukan (setiap tahun). Pengukuran

LFG dapat dilakukan secara spesifik seperti klirens insulin, Cr-EDTA, I-

iothalamate, dan iobexol. Rekomendasi perhitungan LFG oleh National Kidney

Foundation (NKF) adalah dengan MDRD (Modified Diet in Renal Disease):

LFG in mL/menit per 1.73 m2 175 x SerumCr-1.154 x umur-0.203 x 1.212 (pada

pasien suku bangsa Afrika) x 0.742 (bila wanita).4 Rumus CKD-EPI (Chronic

16

Kidney Disease Epidemiology Collaboration) memberikan hasil LFG yang lebih

akurat dibandingkan MDRD.14

Stadium Cut off nilai albuminuria Karakteristik klinik

Mikroalbuminuria 20-199 μg/ menit Penurunan tekanan darah

nokturnal abnormal dan

peningkatan tekanan darah

30-299 mg/ 24 jam Peningkatakan trigliserida,

kolesterol LDL dan total,

asam lemak jenuh

30-299 mg/ g Peningkatan frekuensi

komponen sindrom

metabolik

Disfungsi endotelial

Berkaitan dengan

retinopati diabetik,

amputasi, dan penyakit

kardiovaskular

Peningkatan mortalitas

akibat penyakit

kardiovaskular

LFG stabil

Makroalbuminuria ≥200 μg/ menit Hipertensi

≥ 300 mg/ 24 jam Peningkatakan trigliserida,

kolesterol LDL dan total,

asam lemak jenuh

> 300 mg/ g Iskemik miokard

asimtomatik

Penurunan LFG progresif

Pemeriksaan penunjang diagnosis13

1. Pemeriksaan laboratorium

17

- urinalisis rutin pada setiap pasien DM

- biakan urin dan uji kepekaan terhadap bermacam-macam antibiotik

- skrining gula darah dan toleransi glukosa

- faal ginjal (LFG dan tubulus)

- HbA1c dan C. Peptide

- kolesterol total, lipoproteinuria, dan trigliserid

- faktor-faktor pembekuan, serum/ urin FDP

2. Pemeriksaan mata (oftalmoskop)

Pemeriksaan oftalmoskop sangat penting untuk melihat perubahan-perubahan

retina: retinopati diabetik dan mikroaneurisma mata dan retinopati hipertensif

3. Pemeriksaan radiologi

- foto thorax

- pemeriksaan pielogram intravena harus hati-hati, kemungkinan bahaya

gagal ginjal akut lebih besar pada DM

4. Pasien dengan overt diabetic nephropathy harus diidentifikasi penyakit-

penyakit di luar ginjal terutama sistem kardiovaskular. Pemeriksaan rutin

elektrokardiogram dan pemeriksaan risiko kardiovaskular (profil lipid,

kolesterol, LDH)

5. Pasien dengan nefropati diabetik terminal (NDT) dipersiapkan memilih

beberapa alternatif terapi pengganti ginjal.

- pemeriksaan hematologis

- pemeriksaan faal hati termasuk marker HbSAg

- pemeriksaan sistem kardiovaskular (EKG dan echocardiogram)

- pemeriksaan elektrolit dan kimia darah

- pemeriksaan tipe jaringan

- pasien yang akan menjalani program hemodialisis harus dibuat AV shunt pada

saat kreatinin serum 6.0 mg%

18

2.1.5. Tatalaksana nefropati diabetik

Terapi optimal pada neuropati diabetik adalah kontrol gula darah.

Albuminuria harus dideteksi sedini mungkin agar terapi memberikan hasil yang

efektif. Terapi nefropati diabetikum ada dasarnya memiliki 4 prinsip yaitu9,11:

1. Pengendalian gula darah

2. Pengendalian tekanan darah

3. Perbaikan fungsi ginjal

4. Pengendalian faktor komorbid

Terapi pada neuropati diabetikum dapat dibagi menjadi 2 yaitu terapi

farmakologis dan nonfarmakologis. Terapi dari non farmakologis dapat berupa

perubahan gaya hidup yang berfungsi untuk mengkontrol faktor-faktor resiko.

American Diabetes Association (ADA) menganjurkan olah raga rutin bagi pasien

diabetes dengan resiko nefropati, olahraga yang dianjurkan adalah berjalan 3-5km

per hari dengan kecepatan 10-12 menit per kilometer, 4-5 kali per minggu. Pada

pasien neuropati dibetik juga diharuskan adanya diet rendah protein dan rendah

garam. Pembatasan asupan garam sebanyak 4-5 gram/hari. Target tekanan darah

yang harus dicapai pada psien nefropati diabetik harus kurang dari 130/80 mmHg.

Sedangkan pembatasan protein sebesar 0,8 gram/kilogram berat badan ideal/hari.

Obat utama yang digunakan dalam terapi nefropati dibetik adalah ACE

inhibitor dan ARB. Kedua obat ini memiliki fungsi menurunkan tekanan darah

dan mencegah penurunan GFR lebih lanjut. Setelah 2 sampai 3 bulan terapi pada

pasien albuminuria, jika tidak ada perbaikan maka dosis bisa ditambahkan hingga

albuminuria pada pasien menghilang atau dosis maksimum sudah dicapai. Jika

penggunaan ACE inhibitor atau ARB tidak memungkinkan, obat-obat hipertensi

lain seperti kalsium channel blocker, beta bloker, atau furosemide dapat

digunakan. Tetapi, terapi dengan obat-obat tersebut belum terbukti dapat

mencegah penurunan GFR lebih lanjut8.

19

Jika pasien memiliki penyakit komorbid, penyakit tersebut juga perlu

diterapi. Obat-obatan seperti penurun kolesterol juga dapat diberikan jika pasien

memiliki gangguan dislipidemia. Kontrol gula darah dengan obat-obatan seperti

metformin juga harus tetap diberikan.

Pada pasien dengan neuropati stage 5, terapi farmakologi sudah tidak

memadai lagi. Dialisis atau transplan ginjal dapat dilakukan pada pasien dengan

perjalanan penyakit yang sudah jauh8.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Chen L, Magliano DJ, Zimmet PZ. The worldwide epidemiology of type 2

diabetes mellitus—present and future perspectives. Nat Rev Endocrinol.

2012;8(4):228–36.

2. Luis-Rodríguez D, Martínez-Castelao A, Górriz JL, De-Álvaro F, Navarro-

González JF. Pathophysiological role and therapeutic implications of

inflammation in diabetic nephropathy. World J Diabetes. 2012;3(1):7.

3. Adler AI, Stevens RJ, Manley SE, Bilous RW, Cull CA, Holman RR.

Development and progression of nephropathy in type 2 diabetes: the United

Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS 64). Kidney Int. 2003;63(1):225–

32.

4. Gross JL, De Azevedo MJ, Silveiro SP, Canani LH, Caramori ML, Zelmanovitz

T. Diabetic nephropathy: diagnosis, prevention, and treatment. Diabetes Care.

2005;28(1):164–76.

5. [WHO] World Health Organization. Definition, Diagnosis and Classification of

Diabetes Mellitus and its Complication. Geneva: WHO; 1999.

6. American Diabetes Association. Diagnosis and Classification of Diabetes

Mellitus.Diabetes Care Supl 2013; 36: 67-74.

7. Soegondo et al. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2

di Indonesia 2006. Jakarta: PB PERKENI; 2006.

8. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL. Harrison’s Principles of Internal Medicine.

Ed ke 18. New York: McGrawHill; 2012

9. Hendromartono. Nefropati Diabetik: dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid

III. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009. 1942-6.

10. Adam JMF. Komplikasi Kronik Diabetik Masalah Utama Penderita Diabetes dan

Upaya Pencegahan. Supl 26:3;2005.

http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/medhas/9-John

%20Adam.pdf [Diakses 9 September 2015]

11. Boner G, Cooper ME. Management of Diabetic Nephropathy. 2005. London:

Martin Dunitz, Ltd.

21

12. Mogensen CE, Christensen CK, Vittinghus E. The stages in diabetic renal

disease: with emphasis on the stage of incipient diabetic nephropathy. Diabetes.

1983;32(Supplement 2):64–78.

13. Sukandar E. Nefrologi Klinik. 2nd ed. Bandung: ITB Bandung; 1997.

14. Michels WM, Grootendorst DC, Verduijn M, Elliott EG, Dekker FW, Krediet

RT. Performance of the Cockcroft-Gault, MDRD, and New CKD-EPI Formulas in

Relation to GFR, Age, and Body Size. Clin J Am Soc Nephrol. 2010 Jun

1;5(6):1003–9.