referat asma
DESCRIPTION
Asma BronkialTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai
pada anak. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju
maupun negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga berkaitan
dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi baik
indoor maupun outdoor. Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%.1
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil
penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner
ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995
melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat
menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia
(Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan
Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun)
berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar
5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.2
Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal 60-an,
bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an
berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain
inflamasi juga disertai adanya remodelling. Berkembangnya patogenesis tersebut
berdampak pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan
1
untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan pemberian bronkodilator, kemudian
berkembang dengan antiinflamasi. Pada saat ini upaya pengobatan asma selain
dengan antiinflamasi, juga harus dapat mencegah terjadinya remodelling. 1
Selain upaya mencari tatalaksana asma yang terbaik, beberapa ahli
membuat suatu pedoman tatalaksana asma yang bertujuan sebagai standar
penanganan asma, misalnya Global Initiative for Asthma (GINA) dan Konsensus
Internasional. Pedoman di atas belum tentu dapat dipakai secara utuh mengingat
beberapa fasilitas yang dianjurkan belum tentu tersedia, sehingga dianjurkan
untuk membuat suatu pedoman yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing
negara. Di Indonesia Unit Kerja Koordinasi (UKK) Pulmonologi dan Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah membuat suatu Pedoman Nasional Asma
Anak (PNAA).1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Defenisi Asma
2
Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat
di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan
dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi
berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest
tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari.
(PDPI, 2006; GINA, 2009). Pada orang yang rentan inflamasi tersebut
menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan
batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi,
yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun
dengan pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan
hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan. Konsensus
Internasional menggunakan definisi operasional sebagai mengi berulang
dan/atau batuk persisten dalam keadaan asma adalah yang paling mungkin,
sedangkan sebab lain yang lebih jarang telah disingkirkan. Perbedaan di atas
sebenarnya hanya pada segi praktisnya saja.1
2.2 Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana
terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat
3
terjadi pada anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar
terjadi pada anak-anak (GINA, 2003).
Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di
berbagai propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan
kelima dari sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan
bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik, dan
emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau
sebesar 5,6%. Lalu pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh
Indonesia sebesar 13 per 1.000 penduduk (PDPI, 2006). Dari hasil penelitian
Riskesdas, prevalensi penderita asma di Indonesia adalah sekitar 4%.
Menurut Sastrawan, dkk (2008), angka ini konsisten dan prevalensi asma
bronkial sebesar 5–15%.
2.3 Klasifikasi Asma
Klasifkasi asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan
tatalaksana lanjutan (jangka panjang). GINA membagi asma menjadi 4
klasifikasi yaitu asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten
sedang, dan asma persisten berat. Berbeda dengan GINA, PNAA membagi
asma menjadi 3 yaitu asma episodik ringan, asma episodik sedang, dan asma
persisten. Dasar pembagian ini karena pada asma anak kejadian episodik
lebih sering dibanding persisten (kronisitas). Dasar pembagian atau klasifikasi
asma pada anak adalah frekuensi serangan, lamanya serangan, aktivitas diluar
serangan dan beberapa pemeriksaan penunjang.1
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Penyakit Asma pada Anak
4
Parameter klinis, kebutuhan obat dan faal paru
Asma episodik jarang
Asma episodik sering
Asma persisten
Frekuensi
serangan
< 1x/bulan ≥ 1x/bulan Sering
Lama serangan < 1 minggu > 1 minggu Hampir sepanjang tahun, hampir tidak ada remisi
Intensitas
serangan
Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat
Diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala
Gejala siang dan malam
Tidur dan aktivitas
Tidak terganggu Sering terganggu
Sangat
terganggu
Pemeriksaan fisik diluar serangan
Normal (tidak ditemukan kelainan
Mungkin terganggu (ditemukan kelainan)
Tidak pernah normal
Obat pengendali(anti inflamasi)
Tidak perlu Perlu, steroid Perlu, steroid
Uji faal paru(diluar serangan)
PEF/PEV1 >
80%
PEF/PEV1 60-80%
PEF/PEV1 <60%Variabilitas 20-30%
Variabilitas faal paru
Variabilitas
>15%
Variabilitas
>30%
Variabilitas
>50%
2.4 Patofisiologi Asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara
lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.
5
Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom.
Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut
atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel
mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan
bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi,
antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan
antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator
yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan
bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding
bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan
spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran
napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera
yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi
merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang
bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi
setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan
kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil,
sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci
dalam patogenesis asma.2
6
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma
dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi
udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi
melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa
menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan
Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.2
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya
hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang
merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai
cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain
dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen,
maupun inhalasi zat nonspesifik.2
2.5 Faktor Risiko Asma2
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan
faktor lingkungan.
7
1) Faktor Genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya
bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial
jika terpajan dengan faktor pencetus.
b. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih
kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
c. Ras/etnik
d. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor
risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi
saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma.
Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita
obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru,
morbiditas dan status kesehatan.
2) Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
8
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
3) Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat,
kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin,
tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap
rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek
berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya
gejala serupa asma pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu
terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan
dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga
(serbuk sari beterbangan).
2.6 Langkah Diagnostik
9
1) Anamnesis4
Ada beberapa hal yang harus ditanyakan dari pasien asma antara lain:
a. Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam menjelang dini
hari?
b. Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau batuk
setelah terpajan alergen atau polutan?
c. Apakah pada waktu pasien mengalami selesma (commond cold)
merasakan sesak di dada dan selesmanya menjadi berkepanjangan (10
hari atau lebih)?
d. Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah melakukan
aktifitas atau olah raga?
e. Apakah gejala-gejala tersebut di atas berkurang/hilang setelah
pemberian obat pelega (bronkodilator)?
f. Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan
musim/cuaca atau suhu yang ekstrim (tiba-tiba)?
g. Apakah ada penyakit alergi lainnya (rinitis, dermatitis atopi,
konjunktivitis alergi)?
h. Apakah dalam keluarga (kakek/nenek, orang tua, anak, saudara
kandung, saudara sepupu) ada yang menderita asma atau alergi?
2) Pemeriksaan Fisik3
Gejala dan tanda serangan asma pada anak tergantung derajat
serangannya. Pada serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara
lancar, tidak dijumpai adanya retraksi baik di sela iga maupun epigastrium.
10
Frekuensi napas masih dalam batas normal. Pada serangan sedang dan
berat dapat dijumpai adanya wheezing terutama saat ekspirasi, retraksi dan
peningkatan frekuensi napas dan denyut nadi.
3) Pemeriksaan penunjang4
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan, antara lain:
a. Pemeriksaan fungsi faal paru dengan alat Spirometer,
b. Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter,
c. Uji reversibilitas (dengan bronkodilator),
d. Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya hipereaktivitas
bronkus,
e. Uji alergi (tes tusuk kulit/skin prick test) untuk menilai ada/tidaknya
alergi,
f. Foto toraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyakit
selain asma.
2.7 Penatalaksanaan Asma
Penatalaksanaan asma dibagi menjadi beberapa hal yaitu tatalaksana
komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) pada penderita dan keluarganya,
penghindaraan terhadap faktor pencetus, dan medikamentosa. Pada KIE perlu
ditekankan bahwa keberhasilan terapi atau tatalaksana sangat bergantung
pada kerjasama yang baik antara keluarga (penderita) dan dokter yang
menanganinya. Keluarga pendeita asma perlu dijelaskan mengenai asma
secara detail dengan bahasa awam agar keluarga mengetahui apa yang terjadi
11
pada asma, kapan harus pergi ke dokter, penanganan pertama apabila terjadi
serangan, dan sebagainya.1
Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peran
yang cukup. Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus
yang menyebabkan terjadinya rangsangan terhadap saluran respiratorik yang
berakibat terjadi bronkokonstriksi, edema mukosa dan hipersekresi.
Penghindaram terhadap pencetus diharapkan dapat mengurangi rangsangan
terhadap saluran respiratorik.1
Tatalaksana medikamentosa dibagi dalam dua kelompok besar yaitu
tatalaksana serangan akut dan jangka panjang.
1) Tatalaksana Serangan Akut3
Medikamentosa:
a. Pada serangan asma ringan, diberikan obat pereda (reliever) berupa β-
agonis secara inhalasi/oral, atau adrenalin 1/1000 subkutan
0,01ml/kgBB/kali dengan dosis maksimal 0,3ml/kali.
b. Pada serangan asma sedang, diberikan obat seperti pada serangan
ringan ditambah dengan pemberian oksigen, cairan intravena,
kortikosteroid oral dan dirawat di ODC (One Day Care = ruang rawat
sehari).
c. Pada serangan berat, selain obat diatas, dilakukan pemberian aminofilin
secara inisial dan rumatan. Kortikosteroid dapat diberikan secara
intravena. Steroid oral dengan dosis 1-2mg/kgBB/hari dibagi 3
12
diberikan selama 3-5 hari. Steroid yang dianjurkan adalah prednison
dan prednisolon.
2) Tatalaksana Jangka Panjang3
Medikamentosa:
Berdasarkan kegunaannya secara garis besar obat asma dikenal
terdiri dari dua jenis yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali
(controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan gejala atau serangan
asma, misalnya β-agonis dan ipratoropium bromida. Obat pengendali
digunakan untuk mengendalikan asma agar tidak mudah tercetus, misalnya
disodium cromoglicate, antileukotrien, dan steroid hirupan. Obat pereda
diberikan saat serangan atau ada gejala saja, sedangkan obat pengendali
diberikan terus-menerus tanpa melihat ada/tidaknya serangan. Pemberian
controller secara jangka panjang bertujuan untuk mengendalikan proses
inflamasi yang terjadi.
Pengobatan asma jangka panjang tergantung pada derajat atau
klasifikasi asma. Pada asma episodik jarang, tidak diberikan obat
pengendali, sedangkan pada episodik sering dan persisten harus diberikan
obat pengendali. Pada tahap awal biasanya diberikan steroid hirupan dosis
rendah setara dengan budosenid 100-200 ug dan dinaikkan bertahap
dengan dosis menengah 400-800 ug atau dosis tinggi (>800 ug) sesuai
dengan gejala yang terjadi/terpantau saat pemberian obat-obatan. Pada
tahap tertentu sebelum menentukan apakah steroid dosis tinggi perlu
digunakan, perlu dipertimbangkan pemberian obat kombinasi, baik dengan
13
β-agonis kerja panjang maupun antileukotrien. Obat pengendali dapat
diberikan jangka lama bahkan dapat seumur hidup, tetapi apabila diberikan
pada tahap awal dan tepat, penggunaannya mungkin dapat lebih singkat.
2.8 Pencegahan5
Pencegahan mencakup 3 tahap:
a. Pencegahan primer untuk mencegah sensitisasi,
b. Pencegahan sekunder untuk mencegah manifestasi klinis,
c. Pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan derajat serangan
asma yang lebih berat.
BAB III
KESIMPULAN
Asma merupakan penyakit respiratorik kronik yang ditandai dengan
adanya proses inflamasi yang disertai proses re-modelling. Prevalensi asma
meningkat dari waktu ke wakktu yang berhubungan dengan pola hidup dan polusi.
Klasifikasi asma terbagi menjadi asma episodik jarang, asma episodik sering dan
14
asma episodik persisten. Pada asma episodik jarang, hanya diberikan obat reliever
saja tanpa controller, sedangkan pada asma episodik sering dan persisten
diperlukan terapi jangka panjang (controller). Obat pengendali dapat diberikan
jangka lama bahkan dapat seumur hidup, tetapi apabila diberikan pada tahap awal
dan tepat, penggunaannya mungkin dapat lebih singkat. Pencegahan asma
mencakup tiga tahap yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier.
DAFTAR PUSTAKA
1. Supriyanto, H. Bambang. Diagnosa dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada
Anak. Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2005.
15
2. Rengganis, Iris. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2008.
3. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak.
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
4. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit
Asma. 2008.
Available at: http://www.depkes.go.id/downloads/Kepmenkes/KMK%201023-
XI-08%20pengendalian%20asma.doc.
5. Endaryanto, Anang. Manajemen Asma pada Anak. Divisi Alergi dan
Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga.. 2010.
16