referat asma dalam kehamilan

51
BAB I PENDAHULUAN Asma merupakan salah satu dari beberapa penyakit yang sering menjadi penyulit dalam kehamilan. Beberapa penelitian terakhir menyebutkan bahwa asma bronkiale menjadi penyulit pada sekitar 4% kehamilan. Prevalensi yang sebenarnya bisa lebih tinggi karena sekitar 10% populasi memiliki hiperreaktivitas saluran nafas nonspesifik yang merupakan stigma asma. Lebih lanjut, dalam dekade 80-an, prevalensi, morbiditas, dan mortalitas asma meningkat sampai 60%. Asma yang tidak terkontrol dapat menyebabkan komplikasi ibu dan janin yang serius. Asma yang tidak terkontrol meningkatkan risiko kematian perinatal, prematuritas, dan atau bayi berat badan lahir rendah serta preeklamsi. Asma dapat terjadi pertama kali atau tereksaserbasi selama kehamilan, dan kehamilan dapat memberikan efek samping untuk perjalanan penyakit asma sendiri pada sekitar sepertiga wanita hamil dengan penyulit asma. Di lain pihak, sebagian besar wanita hamil dengan asma dapat mengontrol asmanya dengan baik dan memiliki bayi yang sehat. Kontrol asma yang baik memberi kesempatan bagi seorang wanita dengan asma untuk mempertahankan kehamilan normal dengan sedikit atau 1

Upload: gulan-fitrianti

Post on 28-Oct-2015

197 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan salah satu dari beberapa penyakit yang sering menjadi

penyulit dalam kehamilan. Beberapa penelitian terakhir menyebutkan bahwa asma

bronkiale menjadi penyulit pada sekitar 4% kehamilan. Prevalensi yang

sebenarnya bisa lebih tinggi karena sekitar 10% populasi memiliki

hiperreaktivitas saluran nafas nonspesifik yang merupakan stigma asma. Lebih

lanjut, dalam dekade 80-an, prevalensi, morbiditas, dan mortalitas asma

meningkat sampai 60%.

Asma yang tidak terkontrol dapat menyebabkan komplikasi ibu dan janin

yang serius. Asma yang tidak terkontrol meningkatkan risiko kematian perinatal,

prematuritas, dan atau bayi berat badan lahir rendah serta preeklamsi. Asma dapat

terjadi pertama kali atau tereksaserbasi selama kehamilan, dan kehamilan dapat

memberikan efek samping untuk perjalanan penyakit asma sendiri pada sekitar

sepertiga wanita hamil dengan penyulit asma.

Di lain pihak, sebagian besar wanita hamil dengan asma dapat mengontrol

asmanya dengan baik dan memiliki bayi yang sehat. Kontrol asma yang baik

memberi kesempatan bagi seorang wanita dengan asma untuk mempertahankan

kehamilan normal dengan sedikit atau tanpa adanya risiko untuk wanita tersebut

atau janinnya.

Pasien-pasien dengan asma yang hamil memerlukan penanganan terhadap

asmanya. Oleh sebab itu, wanita hamil dan wanita yang ingin hamil seharusnya

mendapatkan penanganan farmakologik dan non-farmakologik untuk menangani

asmanya dan menyejahterakan wanita-wanita tersebut dan bayinya.

Penderita selama kehamilan perlu mendapat pengawasaan yang baik.

Penatalaksanaan dari asma pada kehamilan yaitu menghindari faktor pencetus

seperti zat-zat alergan, infeksi saluran napas, udara dingin dan factor psikis.

Untuk pengobatan yang diberikan secara maintenance tetap diberikan sampai

kelahiran(2).

1

BAB II

ASMA BRONKIALE

2.1. Definisi

Meskipun sindrom klinis khas asma yaitu batuk-batuk episodik, wheezing,

dan dispneu dengan obstruksi jalan nafas reversibel tidak sulit dikenali, asma

dapat timbul dengan gejala-gejala tidak khas seperti batuk kadang-kadang, rasa

tertekan pada dada, atau dispneu yang dipicu oleh aktivitas. Banyak definisi asma

yang diterima secara luas, salah satunya menurut American Thoracic Society

(1987)6. Definisi asma mungkin tumpang tindih dengan penyakit lain seperti

bronkitis asmatis dan bronkitis infeksi. Definisi asma yang sudah disetujui sebagai

definisi kerja adalah sebagai berikut:

“Asma adalah penyakit paru dengan karakteristik berikut: (1) obstruksi

jalan nafas reversibel partial atau komplit baik secara spontan atau

setelah pengobatan; (2) inflamasi jalan nafas; (3) respon jalan nafas yang

meningkat terhadap berbagai stimulan.”

2.2. Prevalensi

Secara umum asma merupakan penyakit yang seing ditemukan, yaitu

sekitar 4-5% dari seluruh populasi di Amerika. Gambaran yang hampir sama juga

didapatkan di beberapa negara lainnya (5) .

Pada penelitian yang terbaru dari 366 kehamilan yang diikuti terhadap 330

wanita penderita asma dimana 35% asamnya bertambah buruk, 28% sembuh dan

33% tidak berubah, sedangkan 4% nya tidak jelas perubahannya. Analisis dari

penelitian-penelitian ini memberikan kesimpulan(6) :

1. Secara umum asma berkurang frekuensi dan keparahannya menjelang 4

minggu terakhir kehamilan dibandingkan periode lain dari kehamilan.

2. Ketika asma meningkat selama kehamilan, dimana peningkatan terjadi

secara gradual sesuai dengan bertambahnya usia kehamilan.

2

3. Ketika asma bertambah buruk, gejala bertambah pada umur kehamilan 29-

36 minggu.

4. Kejadian asma selama kehamilan yang berturut-turut cenderung sama

5. Persalinan tidak berhubungan dengan perburukan asma.

Pada penelitian lain dari 47 pasien yang sedang hamil, dimana 43% tidak

berubah dan 14% mengalami perbaikan. Secara umum pasien tersebut dengan

asma berat lebih seing menjadi buruk, dimana asma ringan cenderung tidak

berubah. Data awal dari penelitian ini menunjukan pasien dengan peningkatan

jumlah Ig E yang tidak berubah selama kehamilan cenderung mengalami

eksaserbasi, sedangkan jumlah Ig E yang menurun akan membaik(6) .

2.3. Patogenesis

Asma dikarakterisasi oleh respon berlebihan jalan nafas dengan

bronkokonstriksi berlebihan sebagai respon terhadap bahan-bahan farmakologik,

kimia, dan fisikal. Obstruksi jalan nafas dengan wheezing dapat timbul setelah

terpapar alergen, iritan lingkungan, infeksi virus pada saluran pernafasan, udara

dingin, ataupun latihan fisik. Semua orang dengan asma memiliki

hiperresponsivitas saluran nafas yang seringnya berhubungan dengan beratnya

gejala klinis. Banyak individual tanpa gejala asma yang nyata menunjukkan

hiperresponsivitas jalan nafas namun umumnya kurang berespon terhadap bahan-

bahan yang provokatif 6,7.

Beberapa mekanisme diajukan untuk menjelaskan hiperresponsivitas jalan

nafas pada asma, termasuk inflamasi saluran nafas, kelainan integritas epitel

bronkus, perubahan kontrol saraf otonom saluran nafas, perubahan pada fungsi

otot polos intrinsik bronkus, perubahan volume dan komposisi lapisan lendir

saluran nafas, defek kontrol aliran darah bronkus, dan geometri saluran nafas yang

abnormal 6,7.

3

2.4. Patofisiologi

Tanda dari fisiologi asma adalah penurunanan diameter saluran napas yang

diakibatkan oleh kontraksi otot polos, oedem dari dinding bronchial, juga karena

adanya hipersekresi, sehingga terjadi peningkatan resistensi saluran napas,

penurunan FEV (Force Expiratory Volume) dan kecepatan aliran, hiperinflasi dari

paru dan thorax, peningkatan usaha untuk bernapas, peningkatan kerja dari otot-

otot pernapasan, berkurangnya elastisistas, distribusi yang abnormal dari aliran

darah fentilasi dan aliran darah paru dengan perubahan rationya, dan perubahan

konsentrasi gas darah. Jadi walaupun asma merupakan penyakit saluran napas

tetapi semua aspek paru mengalami kerusakan selama serangan akut. (7)

2.5. Gejala dan Pemicu Asma

Pemicu terjadinya serangan asma diantaranya (5,8,9) :

- Infeksi saluran napas baik bacterial maupun infeksi virus.

- Merokok

- Asap dari masakan atau pembakaran kayu

- Emosi

- Alergi makanan

- Rhinitis alergi

- Perubahan cuaca, terutama dingin, udara kering

- Olahraga

- Reaksi akergi pada zat kimia terttentu

- Reaksi alergi terhadap kosmetik, sabun, sampo

- Reaksi alergi terhadap zat iritan seperti debu, kutu, bulu, dan lain-lain.

Serangan asma biasanya bersifat episodic dan dapat berakhir dalam beberapa

menit sampai hari. Diantara serangan pasien biasanya sehat. Serangan akut dapat

dimulai beberapa menit setelah paparan. Pasien akan merasakan sesak napas,

diikuti dengan batuk dan wheezing. Ketika obstruksi pada saluran napas menjadi

4

parah, rhonchi dan wheezing akan hilang. Kebingungan, letih, sianosis merupakan

tanda dari serangan asma berat dan merupakan indikasi untuk diberikan terapi

segera(9) .

2.6. Diagnosis

Asma dapat timbul pertama kali selama kehamilan sehingga penegakan

diagnosisnya mungkin dikacaukan dengan dispneu fisiologis kehamilan.

Diagnosis asma berdasarkan pada riwayat kesehatan yang cocok, pemeriksaan

fisik, dan tes laboratorium. Diagnosis asma terpusat pada adanya obstruksi jalan

nafas episodik dan reversibilitas obstruksi tersebut. Reversibilitas dinyatakan dari

peningkatan 15% FEV1 atau lebih setelah 2 kali menghirup preparat agonis B-

adrenergik. Jika pemerikasaan spirometri memperlihatkan hasil yang normal,

diagnosis dapat dibuat berdasarkan peningkatan respon saluran napas terhadap

tantangan dengan histamine, methacholine atau isocapnic hiperventilasi udara

dingin(10) .

Penderita asma biasanya memiliki riwayat episode batuk, dada terasa

tertekan, wheezing, dan dispneu. Asma mungkin timbul dengan gejala-gejala yang

tidak khas seperti batuk terisolasi, nyeri dada, bronkitis berulang, atau dispneu

yang timbul karena aktivitas(10).

Selama eksaserbasi akut, pada pemeriksaan fisik didapatkan hiperinflasi,

ekspirasi memanjang, wheezing, dan penggunaan otot-otot pernafasan tambahan.

Pemeriksaan fisik dapat kembali normal pada interval eksaserbasi(10).

Tes fungsi paru dapat ditemukan adanya obstruksi aliran udara yang reversibel

pada spirometri. Kegagalan respon langsung terhadap bronkodilator inhalasi tidak

menyingkirkan diagnosis. Spirometri ulang setelah beberapa minggu perawatan

dapat menunjukkan kemajuan. Pengukuran udara ekspiratoar puncak mungkin

menunjukkan peningkatan variabilitas atau penurunan aliran puncak seiring

timbulnya gejala-gejala. Metacholine challenge test dapat menunjukkan adanya

hiperreaktivitas jalan nafas namun tes ini jarang diperlukan untuk menegakkan

5

diagnosis asma. Tes ini tidak menimbulkan efek samping berlebihan pada wanita

hamil jika dilakukan dengan pemantauan yang baik(10) .

Setelah diagnosis dipastikan, perjalanan penyakit dan efektifitas dari terapi

dapat diikuti dengan pengukuran Peak Expiratori Flow Rate (PEFR) atau FEV1.

Untuk mengetahui jenis elergi yang dimiliki dapat dilakukan test dengan

bermacm-macam allergen.(10)

Secara labolatoris dapat ditemukan sel-sel eosinofil dari darah dan sputum

dan juga dapat diukur serum IgE, walupun penemuan tersebut tidak hanya terjadi

pada asma. (10)

6

BAB III

FISIOLOGI KEHAMILAN DAN INTERAKSINYA DENGAN ASMA

3.1. Fisiologi Maternal dan Pengaruhnya Terhadap Oksigenisasi Janin

Perubahan-perubahan pada sistem pernafasan, kardiovaskular, dan

sirkulasi ibu selama kehamilan mempengaruhi oksigenisasi janin dan status asam

basa. Bagian ini akan membahas perubahan-perubahan fisiologis dan implikasi

klinisnya 5.

3.1.1. Perubahan Sistem Pernafasan

Hiperventilasi relatif selama kehamilan mulai terlihat pada trimester

pertama. Perubahan ini dikarenakan adanya peningkatan volume tidal sedangkan

frekuensi pernafasan relatif tidak mengalami perubahan selama kehamilan. Maka

dari itu, takipneu pada kehamilan (frekuensi > 20x/menit) merupakan

abnormalitas yang harus dicari penyebabnya. Peningkatan volume tidal prinsipnya

disebabkan oleh peningkatan produksi progesteron plasenta yang juga

menyebabkan sensasi nafas pendek (“dispneu kehamilan”) yang biasa terjadi pada

kehamilan. Hiperventilasi kehamilan berhubungan dengan perubahan penting

pada gas darah arteri dengan tekanan karbon dioksida arteri istirahat (PCO2) di

bawah 35 mmHg. Alkalosis respiratoar kronis ini sebagian dikompensasi oleh

peningkatan ekskresi bikarbonat ginjal. Konsumsi oksigen total dan rasio

metabolik basal juga meningkat sampai 20% dan 15% sesuai dengan peningkatan

tekanan oksigen ibu yang juga biasa terjadi pada kehamilan normal. Nilai normal

PO2 bervariasi dari 106 sampai 108 mmHg selama trimester pertama dan sedikit

menurun pada trimester ketiga. Oksigenisasi banyak dipengaruhi oleh posisi

tubuh. 25% wanita hamil memiliki tekanan oksigen arteri kurang dari 90 mmHg

pada posisi berbaring dan ada kecenderungan mengalami peningkatan gradien

oksigen arterial-alveolar pada posisi berbaring daripada posisi berdiri 5.

Parameter-parameter yang dilihat pada tes fungsi paru adalah sebagai

berikut: penurunan volume residu, kapasitas residu fungsional, volume cadangan

7

ekspiratoar, dan kapasitas total paru, adanya peningkatan kapasitas inspiratoar,

dan tidak ada perubahan pada kapasitas vital atau forced expiratory volume in 1

second (FEV1). Semua perubahan yang telah dibicarakan berpotensi

mempengaruhi interpretasi klinis tes fungsi paru dan pengukuran gas darah pada

wanita hamil dengan asma dan harus diingat saat interpretasi klinis data-data

tersebut. Namun secara umum, parameter fungsi paru pada penggunaan klinis

umum seperti frekuensi pernafasan atau FEV1 tidak berubah dengan adanya

kehamilan sehingga setiap perubahan pada parameter ini harus dianggap dan

diperlakukan sebagai abnormalitas 5.

Informasi terakhir meyebutkan bahwa selama persalinan yang

menyakitkan didapatkan hipoventilasi relatif di antara kontraksi dan berakibat

pada penurunan PO2 ibu. Dengan fungsi paru normal, janin terhindar dari efek

fenomena ini. Namun informasi ini berguna sebagai dasar pemakaian oksigen

secara bebas pada pasien-pasien yang sedang bersalin dengan berbagai tingkatan

gangguan pernafasan. Saturasi oksigen ibu harus tetap lebih tinggi dari 95% untuk

menjamin oksigenisasi janin yang cukup 5.

3.1.2. Perubahan Sistem Kardiovaskular

Selama kehamilan normal, curah jantung istirahat meningkat tajam sejak

usia kehamilan 6 minggu dan mencapai puncaknya pada awal trimester ketiga

sampai 30-50% di atas nilai curah jantung wanita yang tidak hamil 2. Peningkatan

ini sebagai akibat dari meningkatnya denyut jantung dan volume sekuncup yang

dipertahankan selama kehamilan. Pada trimester ketiga, curah jantung menurun

tajam baik pada posisi berbaring atau berdiri. Lebih dari 10% wanita mungkin

mengalami “sindroma hipotensif berbaring”/supine hypotensive syndrome yaitu

penurunan tajam tekanan darah akibat dari sumbatan vena cava pada posisi

berbaring3,4. Hipotensi berbaring dapat mempengaruhi hemodinamik ibu dan

menyebabkan hipoksia janin dan bradikardi karena penurunan perfusi uterus.

Maka dari itu, wanita hamil seharusnya menghindari posisi berbaring dan lebih

memilih posisi berbaring miring 4.

8

Peningkatan tajam curah jantung lebih lanjut terlihat pada periode

peripartum. Persalinan mengakibatkan peningkatan 1 sampai 2 liter per menit

sejak kala II 3,4. Peningkatan ini dapat diminimalkan dengan posisi miring kiri dan

kanan disertai anestesi epidural. Pada periode postpartum dini, curah jantung juga

meningkat sampai 40-50% sebagai akibat fenomena “autotransfusi” yaitu

pelepasan obstruksi vena cava dan kembalinya darah dari uteroplasental ke dalam

sirkulasi sentral. Maka dari itu, waktu risiko maksimum untuk pasien dengan

gangguan fungsi kardiovaskular adalah selama periode peripartum. Tindakan

seksio sesaria tidak mengurangi risiko ini.

3.1.3. Perubahan Sistem Sirkulasi

Volume darah meningkat tajam selama kehamilan dengan peningkatan

volume plasma 40-50% diatas nilai wanita yang tidak hamil1,2. Peningkatan ini

diakibatkan oleh rangsangan estrogen terhadap aldosteron yang dimulai pada usia

kehamilan 4-6 minggu, stabil pada usia kehamilan sekitar 32-34 minggu dan tidak

mengalami perubahan sampai persalinan. Perubahan yang didapatkan adalah

peningkatan massa sel darah merah, eritropoiesis dirangsang oleh chorionic

somatomammotrophin, progesteron, dan kemungkinan prolaktin. “Anemia

fisiologis” kehamilan bisa terjadi karena peningkatan massa sel darah merah 20-

25% yang berlawanan dengan peningkatan volume plasma yang lebih besar.

Volume darah diperkirakan meningkat 1600 cc pada kehamilan tunggal dan 2000

cc pada kehamilan kembar 1,2.

Tekanan darah arteri sistolik dan diastolik menurun sampai tengah

kehamilan dan kembali normal secara bertahap dengan bertambahnya usia

kehamilan. Perubahan ini tampaknya dihasilkan dari efek sekunder penurunan

resistensi pembuluh darah sistemik yang diperantarai secara hormonal. Maka dari

itu, tekanan darah yang disebut hipotensif pada seorang laki-laki dewasa dapat

disebut normal pada seorang wanita hamil khususnya selama kehamilan trimester

kedua. Sangatlah penting membandingkan catatan tekanan darah prenatal dalam

mengevaluasi tekanan darah pasien hamil dengan asma yang menderita sakit yang

serius 1,2.

9

Resistensi pembuluh darah sistemik menurun pada trimester kedua dan

kembali normal pada akhir trimester ketiga. Namun, dari suatu penelitian

didapatkan bahwa resistensi pembuluh darah sistemik menurun sampai 20%

dibandingkan kontrol wanita yang tidak hamil, bahkan pada akhir trimester ketiga.

Resistensi pembuluh darah paru juga menurun sampai 35% pada akhir kehamilan

dibandingkan dengan nilai kontrol. Indeks kerja sekuncup ventrikel kiri, tekanan

kapiler paru, dan tekanan vena sentral tidak mengalami perubahan. Namun,

gradien tekanan kapiler paru dan tekanan onkotik koloid menurun pada kehamilan

trimester ketiga. Hal ini menjadi predisposisi wanita hamil mengalami edema paru

baik karena peningkatan tekanan intravaskular atau peningkatan permeabilitas

kapiler paru 1,2.

3.2. Respon Janin Terhadap Penyakit Kritis Ibu

Dengan adanya penyakit kritis ibu seperti asma eksaserbasi akut, PO2

arteri ibu dapat turun sampai 106 mmHg. Penurunan PaO2 ibu dan janin terutama

dibawah 60 mmHg dapat mengakibatkan penurunan saturasi oksigen janin dan

hipoksia janin. Pemberian oksigen kepada ibu hanya menghasilkan sedikit

peningkatan PaO2 janin. Sebagai contoh, jika PaO2 ibu meningkat dari 91 menjadi

583 mmHg, PaO2 janin hanya naik dari 11 menjadi 16 mmHg. Namun, sedikit

perubahan PaO2 janin akan menghasilkan peningkatan tajam saturasi oksigen

janin dan dapat memberikan manfaat untuk janin hipoksik. Hal ini tampak jika

ada masalah pada fungsi janin-plasenta seperti pada pertumbuhan janin terhambat.

Karena itu, pemantauan kesejahteraan janin yang agresif sangat penting selama

penyakit kritis ibu 5.

Kelayakan aliran darah uterus merupakan pertimbangan penting lain pada

janin dari ibu yang sedang sakit serius. Saat usia kehamilan mendekati aterm,

aliran darah uterus mencapai 500 cc per menit yaitu sekitar 10% dari curah

jantung total ibu. Sirkulasi ke kotiledon plasenta sekitar 85-90% dari aliran darah

uterus tersebut. Arteri-arteri uterus hanya memiliki kapasitas kecil autoregulasi.

Karena itu, jika tekanan arteri sistemik turun, aliran darah uterus dan plasenta juga

10

turun. Sebagai tambahan, hiperventilasi dan hipokarbia ibu dapat menyebabkan

vasospasme sehingga menurunkan aliran darah uterus. Pada ibu hipotensif atau

hipoksik, vasodilatasi kompensatoar yang bertujuan untuk mempertahankan

sirkulasi ke organ-organ vital seperti jantung dan otak akan lebih menurunkan

aliran darah uterus. Maka tidak mengherankan jika hipotensi atau hipoksia ibu

dengan penyebab apapun menjadi perhatian utama dokter karena denyut jantung

janin abnormal yang mengindikasikan gawat janin. Gawat janin dapat timbul

bahkan saat tidak ada hipotensi atau hipoksia ibu karena mekanisme kompensasi

ibu cenderung untuk mempertahankan tekanan arteri sistemik dan oksigenisasi

organ-organ vital ibu yang mengurangi aliran darah uterus. Karena itu janin

berfungsi sebagai oksimeter dalam tubuh ibu, jika tidak ada kelainan denyut

jantung janin, hampir tidak mungkin didapatkan hipoksia dan hipotensi ibu 5.

Pemantauan kesejahteraan janin yang agresif penting dilakukan selama

penyakit kritis ibu. Meskipun dekompensasi kardiopulmonar ibu yang

bermanifestasi sebagai bradikardi janin seharusnya sudah tampak nyata, variasi

manifestasi kondisi ibu dapat berupa hanya variabilitas beat-to-beat denyut

jantung janin menghilang dan atau deselerasi hipoksik yang samar. Maka dari itu,

pemantauan elektronik denyut jantung janin yang kontinyu bersama interpretasi

yang baik penting dilakukan pada trimester ketiga 5.

Pertumbuhan janin terhambat dan keluaran perinatal yang jelek telah

dikaitkan dengan asma selama kehamilan. Karena alasan inilah, semua pasien

dengan asma sedang atau berat atau asma tidak terkontrol selama kehamilan

seharusnya mendapatkan penilaian pertumbuhan janin serial dengan ultrasound,

juga penilaian denyut jantung janin antepartum selama akhir kehamilan trimester

ketiga 5.

3.3. Efek Asma Terhadap Kehamilan

Asma khususnya jika berat pada kenyataannya dapat berpengaruh pada

kehamilan. Menurut Clark, dkk (1993) dua penelitian besar epidemiologi

mengatakan bahwa asma berpotensi memberikan efek yang merugikan, diikuti

11

dengan peningkatan insidensi lahir premature, BBLR, kematian perinatal, dan

preeklamsi, gangguan tekanan darah ini disertai dengan bocornya protein pada

urine ibu dan sangat potensial untuk terjadinya kerusakan ginjal, otak, hepar, dan

mata. Lehrer, dkk (1993) melaporkan bahwa wanita asma memiliki insidensi dua

koma lima kali lipat dari kehamilan menimbulkan hipertensi. (12)

Komplikasi yang dapat mengancam hidup yaitu pnemothorax,

pnemomediatinum, akut cor pulmonale, cardiac aritmia, kelelahan otot dengan

respiratory arest(12).

3.4. Efek Kehamilan Terhadap Asma

Pengaruh kehamilan terhadap perjalanan klinis asma, bervariasi dan tidak

dapat diduga. Dispnea simtomatik yang terjadi selama kehamilan, yang mengenai

60%-70% wanita hamil, bisa memberi kesan memperberat keadaan asma(1).

Wanita yang memulai kehamilan dengan asma yang berat, tampaknya

akan mengalami asma yang lebih berat selama masa kehamilannya dibandingkan

dengan mereka yang dengan asma yang lebih ringan. Sekitar 60% wanita hamil

dengan asma akan mengalami perjalanan asma yang sama pada kehamilan-

kehamilan berikutnya(1).

Gluck& Gluck menyimpulkan bahwa peningkatan kadar IgE diperkirakan

akan memperburuk keadaan asma selama kehamilan, sebaliknya penderita dengan

kadar IgE yang menurun akan membaik keadaannya selama kehamilan(1).

Eksaserbasi serangan asma tampaknya sering terjadi pada trimester III atau

pada saat persalinan, hal ini menimbulkan pendapat adanya pengaruh perubahan

faktor hormonal, yaitu penurunan progesteron dan peningkatan prostaglandin,

sebagai faktor yang memberikan pengaruh(1).

Pada persalinan dengan seksio sesarea resiko timbulnya eksaserbasi

serangan asma mencapai 18 kali lipat dibandingkan jika persalinan berlangsung

pervaginam(1).

12

BAB IV

OBAT-OBAT ASMA DALAM KEHAMILAN DAN LAKTASI

Idealnya semua obat-obatan dihindari selama kehamilan, tetapi yang lebih

penting adalah meyakinkan bahwa janin dalam kandungan mendapat suplai

oksigen yang cukup dan menurunkan resiko yang akan terjadi pada ibu. Dengan

kata lain kita harus mempertimbangkan manfaat dan resiko dari suatu obat (9).

Sumber lain menyebutkan bahwa obat-obatan anti asma dapat digunakan

dengan aman selama kehamilan, walaupun demikian penggunaannya selama

trimester pertama kehamilan harus dengan hati-hati(11).

Obat yang tersedia untuk terapi asma dapat dibagi menjadi dua bagian

besar, yaitu obat-obat bronkodilator dan obat-obat anti inflamasi(9).

4.1. Golongan broncodilator:

4.1.1. B-agonis

Agonis β yang mengaktivasi baik reseptor β1 dan β2 misalnya epinefrin

(adrenalin) dan analog isopropilnya yaitu isoproterenol. Dapat dipertimbangkan

pemberian epinefrin subkutan pada eksaserbasi akut berat meskipun terapi awal

lain sudah diberikan. Epinefrin juga didapatkan pada beberapa inhaler asma.

Perhatian timbul pada vasokonstriksi uterus akibat dari efek adrenergik α dari

epinefrin.

β agonis mempunyai keunggulan karena bekerja cepat dan obat yang masuk ke

peredaran darah janin sangan minimal. Obat ini juga sangat efektif untuk

mencegah asma yang disebabkan karena olahraga jika digunakan 15 menit

sebelum aktifitas.

Perinhalasi (Albuterol, Pirbuterol, Terbutaline, Metaproterenol, Biltlterol)

Tablet (Albuterol, Terbutaline, Metaproterenol)

4.1.2. Antikolinergik

Antikolinergik inhalasi menyebabkan bronkodilatasi dengan cara mengurangi

tonus vagal intrinsik pada saluran pernafasan. Beberapa bahan juga menutup

refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan inhalasi. Alkaloid beladona

13

seperti atropin merupakan antikolinergik prototip namun mempunyai efek

samping lokal dan sistemik untuk pasien dengan asma. Ipratropium yang

merupakan derivat keempat bentuk inhalan memiliki sedikit efek samping atropin.

Bahan ini telah terbukti efektif untuk mengobati eksaserbasi akut pada

penggunaan dalam bentuk nebulisasi. Efektivitas ipratropium untuk

penatalaksanaan asma sehari-hari belum teruji 6,7.

Merupakan bronchodilator yang bekerja lebih lambat dari B-agonis inhalasi

(Atrovent).

Satu-satunya bronchodilator yang digunakan parenteral adalah Aminophylline.

Bahan-bahan antikolinergik sudah banyak digunakan selama kehamilan tanpa

efek samping. Ipratropium memiliki efek sistemik yang lebih sedikit daripada

atropin dan tidak dikontraindikasikan pada kehamilan meskipun umumnya tidak

digunakan kecuali pada pasien dengan asma berat 6,7.

4.1.3. Agonis β2 adrenergik (Agonis β2)

Agonis β2 merelaksasi otot polos saluran pernafasan dan menjadi

perantara pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Agonis β2 inhalasi

merupakan obat pilihan untuk pengobatan awal asma eksaserbasi akut dan

pencegahan asma yang diinduksi aktivitas. Agonis β2 juga digunakan secara

kronis untuk membantu kontrol pengecilan saluran pernafasan persisten meskipun

laporan terakhir menunjukkan penggunaan agonis β2 yang terjadwal dengan

teratur (berlawanan dengan penggunaan ‘jika diperlukan/prn’) berhubungan

dengan menurunnya kontrol asma. Karena asma yang terkontrol baik

membutuhkan penggunaan minimal agonis β2 inhalasi, penggunaan yang

meningkat menunjukkan kegagalan kontrol asma. Metaproterenol (orsiprenalin),

albuterol (salbutamol), pirbuterol, bitolterol, dan terbutalin adalah agonis β2

selektif yang sering digunakan.

Hasil penelitian agonis β2 pada binatang umumnya negatif meskipun beberapa

bahan menyebabkan kelainan pada dosis tinggi. Pengalaman penggunaan pada

manusia sudah cukup banyak namun umumnya tidak dilakukan pada akhir

kehamilan. Tidak ada bukti adanya jejas pada janin dari penggunaan obat-obat ini

14

secara sistemik atau inhalasi, dan tidak ada kontraindikasi penggunaannya selama

menyusui 6,7.

4.1.4. Teofilin

Teofilin merupakan penggunaan utama metilsantin dalam terapi asma. Meskipun

mekanisme tepatnya belum diketahui, teofilin berlaku sebagai bronkodilator

ringan-sedang, tergantung dari konsentrasi serumnya. Jika diberikan dalam bentuk

preparat lepas lambat, teofilin memiliki durasi yang panjang dan karena itu

berguna untuk kontrol asma nokturnal. Jika digunakan bersama dosis umum

agonis β2 inhalasi, teofilin dapat menyebabkan bronkodilatasi. Lebih

lanjut,teofilin juga dapat mengurangi kelelahan otot pernafasan dan memiliki

beberapa tingkat aktivitas anti inflamasi 6,7.

Penggunaan teofilin selama kehamilan sudah sangat luas dan tanpa adanya

bukti efek samping terhadap neonatus jika dosis dipandu oleh kadar serum yang

cukup (tidak melebihi 12 g/mL) 6,7.

4.2. Anti inflamasi:

4.2.1. Cromolyn sodium

Obat ini merupakan bahan anti inflamasi nonsteroid yang digunakan untuk

penatalaksanaan sebagai profilaksis asma kronis, tersedia dalam bentuk inhaler

dan nebulizer. Sodium kromolin yang diberikan sebagai profilaksis menghambat

fase awal dan lebih lanjut pengecilan saluran nafas yang diinduksi alergen seperti

juga pengecilan saluran nafas akut setelah aktivitas dan setelah terpapar udara

dingin kering dan sulfurdioksida. Mekanismenya belum seluruhnya dimengerti

namun diperkirakan sodium kromolin menstabilkan dan mencegah pelepasan

mediator dari sel mast. Penelitian pada binatang dan pengalaman manusia hanya

menunjukkan sedikit ancaman terhadap janin 6,7.

4.2.2. Corticosteroid

15

Obat anti inflamasi paling efektif untuk pengobatan asma adalah kortikosteroid.

Dapat diberikan peroral ataupun inhaler.(beclomethasone, betamethasone,

prednisone).

Mekanisme utama adalah interferensi dengan metabolisme asam arakidonat dan

sintesis leukotrien dan prostaglandin, pencegahan migrasi langsung dan aktivasi

sel-sel radang, dan peningkatan responsivitas reseptor beta otot polos saluran

pernafasan. Kortikosteroid dapat diberikan secara parenteral (metilprednisolon,

hidrokortison), secara oral (prednison, prednisolon, metilprednisolon), atau dalam

bentuk aerosol (beklometason, flunisolid, dan triamsinolon) 6,7.

Pemberian kronis kortikosteroid secara oral atau parenteral berkaitan dengan

penurunan berat badan lahir. Penelitian pada binatang menunjukkan adanya celah

palatum pada spesies yang sangat sensitif terhadap kelainan ini tetapi tidak ada

peningkatan cacat bawaan pada manusia. Ada tiga jenis bahan yang tersedia untuk

inhalasi: beklometason, triamsinolon, dan flunisolid. Yang banyak dipakai dalam

kehamilan adalah beklometason sehingga menjadi kortikosteroid inhalasi pilihan

selama kehamilan karena pengalaman klinisnya yang meyakinkan. Meskipun

dapat timbul absorbsi sistemik dari kortikosteroid inhalasi, kadar plasma yang

rendah dari inhalasi ini menyebabkan kecil kemungkinan efek terhadap janin.

Penggunaan kortikosteroid inhalasi atau sistemik merupakan kontraindikasi saat

menyusui 6,7.

4.3. Antihistamin

Antihistamin digunakan untuk menahan aksi pelepasan histamin selama aktivasi

sel mast sebagai respon terhadap alergen atau stimulan lain. Antihistamin banyak

didapatkan dalam obat-obat flu dan anti alergi yang dijual bebas. H1 bloker yang

lebih baru seperti terfenadin dan astemizol memiliki efek sedatif yang lebih kecil

daripada obat-obat generasi pertama yang lebih tua 6,7.

Antihistamin belum terbukti berbahaya bila digunakan selama awal kehamilan.

Dari penelitian dengan binatang dan manusia didapatkan sangat sedikit potensi

teratogenisitas terhadap manusia. Sangat beralasan memilih antihistamin yang

lebih tua karena sudah ada data percobaan terhadap manusia yang meyakinkan

16

untuk penggunaan selama kehamilan. Meskipun ada perhatian tentang efek

antihistamin terhadap anak-anak, tidak ada data meyakinkan tentang efek samping

karena penggunaan obat ini selama akhir kehamilan atau menyusui. Menurut

American Academy of Pediatrics Committee on Drugs, antihistamin disebut-sebut

kompatibel dengan masa menyusui 6,7.

4.4. Dekongestan

Dekongestan merupakan obat adrenergik α yang digunakan untuk konstriksi

pembuluh darah di mukosa hidung. Bahan-bahan yang termasuk dalam golongan

ini misalnya oksimetazolin, fenilefrin, fenilpropanolamin, efedrin, dan

pseudoefedrin. Karena jenis ini memiliki aktivitas adrenergik α, ada perdebatan

tentang potensinya dalam konstriksi suplai pembuluh darah yang terkait dalam

pertukaran udara dan makanan ibu-janin. Akan tetapi, pseudoefedrin tampaknya

tidak menghasilkan efek ini pada dosis terapeutik. Pengalaman pada manusia

tidak menghasilkan gambaran pasti adanya cacat bawaan meskipun the National

Collaborative Perinatal Project mempertanyakan tentang fenilefrin dan

fenilpropanolamin 6,7.

17

BAB V

PENATALAKSANAAN ASMA SELAMA KEHAMILAN

5.1. Prinsip Terapi Pada Wanita Hamil

Tujuan penatalaksanaan asma pada wanita hamil yang juga berlaku untuk semua

pasien asma adalah6,7:

Mempertahankan fungsi paru normal atau mendekati normal

Mengontrol gejala, termasuk gejala-gejala malam

Mempertahankan tingkat aktivitas normal, termasuk olahraga

Mencegah asma eksaserbasi akut

Menghindari efek samping pengobatan asma

Selain itu ada tujuan lebih lanjut penatalaksanaan asma pada wanita hamil yaitu:

Melahirkan bayi yang sehat

Walaupun terapi farmakologi merupakan komponen yang vital dari managemen

yang baik, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan penerangan

pada pasien tentang penyakitnya dan bagaimana cara menghindari serangan asma,

sehingga pasien akan taat terhadap terapi yang dianjurkan dan tujuan untuk

mengarah ke kehidupan yang relative normal dan kehamilan yang normal dapat

diharapkan. Tujuan lainnya adalah agar pasien dapat mengidentifikasi serangan,

mengenali dan mengobati exacerbasi pada tingkat awal. Juga agar pasien

mengetahui bahwa terapi asma hanya mempunyai resiko rendah atau dapat

dikatakan sama sekali tidak beresiko(11).

Secara umum langkah yang harus diperhatikan pada managemen asma yaitu(8,11):

1. Sedapat mungkin menghindari serangan.

2. Terapi awal merupakan hal yang sangat penting. Gunkananlah obat saat

tanda-tanda awal dari asma mulai muncul.

3. Penting pada wanita hamil untuk tidak menunda pengobatan lebih lanjut

jika ditemukan hal-hal dibawah ini:

o Obat-obatan tidak menghasilkan perbaikan yang cepat

o Perbaikan tidak terjadi terus-menerus

18

o Penyakit semakin lama semakin berat

o Terdapat kemunduran dari pergerakan fetus

4. yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan pengobatan yang teratur.

Penatalaksanaan efektif asma untuk wanita hamil berpedoman pada empat

komponen yaitu6,7:

1. Pengukuran obyektif untuk menilai dan memantau fungsi paru ibu dan

kesejahteraan janin dengan tujuan membuat rekomendasi terapeutik

yang tepat.

2. Pengukuran untuk menghindari atau mengontrol pemicu asma di

lingkungan pasien.

3. Terapi farmakologis

4. Edukasi pasien

5.2. Komponen 1: Pengukuran Obyektif Untuk Penilaian dan Pemantauan

5.2.1. Fungsi Paru Ibu

Tes fungsi paru penting untuk menilai beratnya asma dengan tujuan

memberikan rekomendasi terapeutik yang baik. Asma memiliki karakter obstruksi

aliran udara variabel yang seringnya paling berat saat malam atau pagi hari.

Fungsi paru biasa dinilai dengan spirometri. FEV1 merupakan ukuran

tunggal terbaik fungsi paru untuk menilai beratnya asma. Karena itu, spirometri di

tempat praktek direkomendasikan dalam penilaian awal pasien hamil yang

dievaluasi asmanya dan kemudian dinilai secara periodik sebagaimana

dibutuhkan.

Rasio udara ekspiratoar puncak (peak expiratory flow rate/PEFR)

merupakan kapasitas udara terbesar yang didapat selama ekspirasi paksa yang

dimulai dengan paru mengembang penuh, dan berhubungan erat dengan FEV1.

PEFR dapat diukur dengan peak flow meter yang terpercaya, murah, dan portabel.

Karena PEFR hanya mengukur fungsi saluran pernafasan besar, PEFR bukan

pengukuran obstruksi aliran udara paling sensitif. Maka dari itu, PEFR mungkin

tidak cukup untuk menegakkan diagnosis atau evaluasi penuh gangguan fisiologis

yang berhubungan dengan asma. Namun tidak dapat disangkal bahwa pemantauan

19

PEFR di rumah sangat berguna dalam menilai variasi sirkadia pada fungsi paru

(sebuah indikasi hiperresponsivitas saluran pernafasan) dan selanjutnya baik

perjalanan asma dan respon terhadap terapi. Pengukuran PEFR juga dapat

membedakan asma dengan penyebab lain dispneu selama kehamilan, menilai

gejala dan meramalkan eksaserbasi asma. Penggunaan PEFR direkomendasikan

sebagai parameter obyektif untuk follow up gejala dan membuat rekomendasi

terapeutik saat rekomendasi semacam itu tergantung pada beratnya obstruksi

aliran udara. Pemantauan PEFR terutama bermakna untuk mendeteksi deteriorasi

asma, meramalkan eksaserbasi akut, dan menilai respon terhadap terapi.

Mempertahankan fungsi paru sampai sebisa mungkin mendekati normal sangat

diharapkan selama kehamilan. Pasien-pasien yang memerlukan keberhasilan

tujuan ini sebaiknya disuplai dengan peak flow meter rumah. Secara umum hal ini

termasuk wanita dengan asma sedang sampai berat. Pasien-pasien ini seharusnya

mencatat PEFR pagi hari, siang hari, dan kira-kira 12 jam kemudian lalu

membawa catatan ini setiap kunjungan prenatal.

5.2.2. Pemantauan Janin

Tujuan penatalaksanaan wanita hamil dengan asma adalah mengoptimalkan

fungsi paru ibu dan mengidentifikasi janin-janin yang berisiko mengalami

hambatan pertumbuhan dan keluaran buruk.

Yang penting ibu hamil penderita asma sebaiknya rajin memeriksakan

janinnya sejak awal. Pemeriksaan dengan USG dapat dilakukan sejak usia

kehamilan 12 - 20 minggu untuk mengetahui pertumbuhan janin. USG dapat

diulang pada trisemester ke-2 dan ke-3 terutama bila derajat asmanya berada pada

tingkat sedang - berat. Pemeriksaan janin juga dapat dilakukan dengan electronic

fetal heart rate monitoring untuk memeriksa detak jantung janin.

Pada trimester ketiga, pemantauan janin kadang terlupa selama eksaserbasi

asma. Pada trimester ketiga, jika diperlukan dapat dilakukan pemantauan denyut

jantung janin (nonstress test atau contraction stress test) dan penentuan tingkah

laku janin secara elektronik (biophysical assessment) untuk meyakinkan

kesejahteraan janin. Indikasi penilaian antepartum janin meliputi hambatan

20

pertumbuhan, asma sedang-berat, eksaserbasi asma, dan penurunan pergerakan

janin.

Saat wanita dengan asma berada dalam persalinan maka diperlukan

pemantauan janin ketat. Pada pasien risiko rendah, mungkin tidak diperlukan

pemantauan janin elektronik kontinyu. Penilaian janin dapat dicapai dengan

pemantauan elektronik selama 20 menit yang disebut tes masuk rumah sakit

(admission test). Namun pasien-pasien dengan asma ringan atau sedang yang

terkontrol dan tes masuk rumah sakit yang meyakinkan, auskultasi intermiten,

pengukuran PEFR, atau pemantauan denyut jantung janin elektronik mungkin

cukup. Pemantauan janin intensif direkomendasikan untuk pasien yang memasuki

persalinan dengan asma tidak terkontrol atau berat dan memiliki tes masuk rumah

sakit yang tidak meyakinkan atau faktor risiko lain. Hal ini dapat dilakukan

dengan cara pemantauan denyut jantung janin elektronik atau auskultasi

intermiten (setiap 15 menit pada kala 1, setiap 5 menit pada kala 2). Selama masa

persalinan, pemantauan janin intensif dapat dipikirkan untuk menjadi pedoman

obstetris dan penatalaksanaan asma.

5.3. Komponen 2: Pengukuran Untuk Mencegah atau Mengontrol Pemicu

Asma

5.3.1. Kontrol Lingkungan

Menghapuskan paparan lingkungan yang buruk sangat penting dalam

mengontrol asma selama kehamilan. Iritan dan alergen yang merangsang gejala

akut juga meningkatkan hiperresponsivitas saluran nafas. Iritan nonspesifik

meliputi asap rokok, debu, bau-bauan kuat, dan polutan udara lingkungan.

Khususnya jika pasien sendiri merokok, dia harus dipaksa berhenti dan dirujuk ke

sebuah program berhenti merokok yang baik.

Kutu-kutu rumah tampak memegang peran utama sebagai penyebab asma

alergi. Alergen kutu dapat ditemukan di seluruh rumah, di kasur, bantal, karpet,

furnitur, selimut, pakaian, dan mainan lunak. Kelangsungan hidup binatang ini

tergantung pada kelembaban udara, mereka muncul pada lingkungan dimana

kelembaban relatifnya lebih tinggi dari 50%.

21

Pencetus lain bisa berasal dari latihan olahraga yang terlalu dipaksakan,

infeksi saluran pernapasan (batuk-pilek), perubahan cuaca, dan emosi.

5.3.2. Terapi Imun

Terapi imun dapat mencegah inflamasi alergi dan terbukti mengurangi

gejala asma yang dirangsang alergen seperti kutu rumah, kotoran kucing, serbuk

sari rumput, dan alternaria. Terapi imun dapat dipertimbangkan untuk pasien yang

tidak mungkin menghindari alergen dan iritan dan jika pengobatan medis gagal

mengontrol gejala asma.

Masalah utama penggunaan terapi imun selama kehamilan adalah

timbulnya reaksi sistemik (anafilaksis). Induksi kontraksi uterus yang timbul

setelah anafilaksis dan menyebabkan abortus disebutkan dalam beberapa laporan

meskipun hal ini jarang sekali terjadi.

5.3.3. Vaksin

Sudah umum direkomendasikan pemberian vaksin influenza setiap tahun

kepada pasien asma sedang dan berat. Influenza adalah vaksin mati dan tidak ada

bukti menunjukkan adanya hubungan dengan risiko ibu atau janin meskipun

direkomendasikan pemberiannya setelah trimester pertama.

5.4. Komponen 3: Terapi Farmakologis

Prinsip Utama Penatalaksanaan Farmakologis yaitu penyesuaian pedoman

terapi umum sesuai kebutuhan individu pasien. Mengingat asma merupakan

penyakit yang bervariasi diantara penderitanya. Tingkat beratnya asma pada setiap

wanita dapat berubah dari satu bulan atau musim ke bulan lainnya atau selama

kehamilan. Karena itu, regimen farmakologik spesifik harus disesuaikan sesuai

keperluan individu dan keadaan serta diintegrasikan dengan rekomendasi strategi

penatalaksanaan nonfarmakologis.

Salah satu tujuan terapi adalah penggunaan obat minimum yang

diperlukan untuk mempertahankan kontrol dengan risiko efek samping terkecil.

22

Pendekatan bertahap dimana jumlah obat dan frekuensi pemberian ditingkatkan

sesuai keperluan untuk menetapkan kontrol (step up) dan diturunkan jika mungkin

untuk mempertahankan kontrol (step down) digunakan untuk mencapai tujuan ini.

Secara umum, setiap pasien asma harus memiliki agonis β2 inhalan yang tersedia

untuk penanganan penyelamatan gejala akut. Perawatan penyelamatan ini juga

memiliki pola bertahap. Obat-obatan ditambahkan jika perlu untuk mengontrol

gejala. Peningkatan sering hanya bersifat sementara dan tergantung pada berat dan

durasi eksaserbasi asma juga respon pasien sendiri.

Asma merupakan penyakit yang heterogen berdasarkan pada beratnya,

riwayat alamiah dan respon terhadap terapi. Selain itu beratnya gejala pada

seorang pasien tidak selalu sama setiap waktu, sehingga pendekatan managemen

tunggal tidak selalu dapat diterapkan. Dengan kata lain dibutuhkan terapi yang

tepat untuk tingkat beratnya penyakit yang terjadi pada saaat itu(9).

a. Asma Intermiten

Menurut pengalaman, banyak asma yang terjadi hanya ringan saja, gejala

yang kadang kala muncul dapat hilang dengan bronchodilator perinhalasi, tanpa

menimbulkan efek samping yang besar. Jika asma terjadi karena keadaan yang

dapat diperkirakan seperti latihan berat pada olah raga, terapi pencegahan dengan

B-agonis inhaler dianjurkan untuk pasien dengan fungsi paru yang normal atau

mendekati normal (FEV1 lebih besar dari 80%) dan sedikit variasi peak flow

(kurang dari 20%) (7,8,11)

b. Asma Ringan

Penambahan dari preparat control dianjurkan pada gejala ringan yang

terjadi dengan selang waktu yang tidak lama. Walaupun tidak ada konsensus yang

menetapkan berapa frekuensi yang disebutkan sebagai selang waktu yang tidak

lama tersebut. Tetapi sebagai patokan penambahan preparat kontrol diberikan jika

gejala terjadi 1 kali perminggu atau jika gejala pada malam hari terjadi lebih dari

2 kali perbulan. Sebagai pilihan terapi kontrol digunakan kortikosteroid. Tujuan

dari penggunaan kortikosteroid awal tidak hanya meringankan gejala yang terjadi

saat ini tetapi juga mencegah komplikasi jangka panjang dari asma. Walaupun

23

belum terbukti tetapi pemikiran tersebut timbul karena inflamasi saluran napas

yang tidak diterapi dapat menimbulkan perubahan saluran napas dan obstruksi

saluran napas kronik persisten(7,8,11).

Kromolin sebagai anti inflamasi non steroid dapat digunakan jika asma

ringan dengan peningkatan gejala dengan frekuensi kurang dari 1 kali perhari.

Pada gejala yang lebih berat dan seing tetap digukana kortikosteroid inhalasi

karena hasilnya lebih baik(7,8,11).

c. Asma Sedang

Asma sedang ditandai dengan gejala yang hilang dengan menghirup B-

agonis beberapa kali perhari. Asma sedang ini paling baik diobati dengan

kortikosteroid inhalasi untuk mengontrol inflamasi dan B-agonis diberikan jika

perlu untuk menghilangkan gejala(7,8,11)

Pemilihan dosis initial lebih mengarah ke empiris. Terapi dimulai dengan

dosis yang besar 600-1000 mikrogram per hari lalu diturunkan setelah didapatkan

keadaanyang terkontrol. Kebanyakan pasien mencapai control asma yang adekuat

pada dosis dibawah 1000 mikrogram perhari. Pada sebagian kecil pasien

kortikosteroid inhalasi kurang dari 1000 mikrogram perhari tidak cukup untuk

mengontrol gejala. Pada beberapa kasus terapi ditingkatkan dengan menaikan

dosis kortikosteroid inhalasi atau dengan penambahan obat lain, seperti B-agonis

dan theophyllin. Dan menurut penelitian penambahaan B-agonis lebih bermanfaat

daripada meningkatkan dosis kortikosteroid(8,11)

d. Asma Berat

Asma yang ditandai dengan gejala yang menetap walaupun diterapi

dengan kortikosteroid inhalasi dan penambahan terapi dengan B-agonis atau

theophyllin. Asma berat biasanya timbul karena ketidaktaatan terhadap terapi atau

karena terpapar faktor lingkungan yang memicu atau dapat pula karena mendapat

obat yang memicu asma seperti aspirin dan B-bloker(8,11).

Pada asma yang berat pilihan terbatas, termasuk penambahan dosis

kortikosteroid inhalasi, penambahan theopillin dan B-agonis. Pasien yang tidak

terkontrol walaupun diterapi dengan kortikosteroid inhalasi sampai dengan 2000

24

mikrogram perhari dan satu atau lebih long acting bronchodilator,

dipertimbangkan untuk mendapat steroid oral(8,11)

e. Terapi Exacerbasi Akut

Dalam menghadapi ibu hamil dengan serangan asma akut, harus secara

cepat dinilai beratnya serangan, jika berat perlu dipertimbangkan perawat diruang

unit perawatan intensif dengan tetap memonitor keadaan janin dalam kandungan.

Penanganan serangan asma akut pada kehamilan adalah sebagai berikut(1):

1. Pemberian oksigen yang telah dilembabkan, 2-4/menit, pertahankan pO2 70-

80 mmHg. Janin sangat rentan terhadap keadaan hipoksia.

2. Hindari obat-obat penekan batuk, sedatif dan antihistamin. Tenangkan

penderita Berikan cairan intravena, biasanya penderita mengalami kekurangan

cairan, cairan yang digunakan biasanya ringer laktat atau normal saline.

3. Berikan aminofilin dengan loading dose 4-6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan

dosis 0,8-1 mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma

sebesar 10-20 mikrogram/ml.

4. Jika diperlukan pertimbangan penggunaan terbulatin subkutan dengan dosis

0,25 mg

5. Berikan steroid : hidrokortison secara intravena 2 mm/kgBB loading dose,

tiap 4 jam atau setelah loading dose dilanjutkan dengan infus 0,5

mg/kgBB/jam

6. Pertimbangan penggunaan antibiotika jika ada kecurigaan infeksi yang

menyertai

7. Intubasi dan ventilasi bantuan, jarang dibutuhkan kecuali pada kasus-kasus

yang mengancam kehidupan.

8. Serangan asma berat yang tidak memberikan respons setelah 30-60 menit

dengan terapi infeksi (obat agonis beta & teofilin) disebut status asmatikus,

pada keadaan ini penderita ini harus ditangani di unit perawatan intensif

25

Selama kehamilan pertimbangan untuk intubasi lebih awal diperlukan jika

fungsi pernapasan ibu terus menurun, meskipun dilakukan penanganan yang

intensif. Melakukan intubasi dan ventilasi mekanis.

f. Penatalaksanaan Asma Yang Diinduksi Latihan

Asma yang diinduksi latihan (Exercise-induced asthma/EIA) jika tidak

diterapi dapat membatasi dan mengganggu kehidupan normal. Definisi EIA

adalah istilah untuk pengecilan saluran nafas yang timbul beberapa menit setelah

melakukan aktivitas berat. EIA harus diantisipasi pada semua pasien asma

dimana sebagian besar pasien memiliki hiperiritabilitas saluran nafas yang

mengarah pada kondisi ini.

EIA banyak disebabkan oleh kontraksi otot polos. EIA biasanya mencapai

puncaknya 5-10 menit setelah menghentikan aktivitas berat dan kembali normal

dalam 20-30 menit kemudian.

Tujuan penatalaksanaan adalah agar pasien bisa melakukan aktivitas

apapun yang mereka pilih tanpa mengalami gejala asma. Pasien yang mendapat

terapi anti inflamasi dengan jadwal teratur mungkin memiliki kontrol asma yang

cukup dimana asmanya tidak dirangsang oleh latihan. EIA dapat dicegah dengan

inhalasi agonis β2 5-60 menit sebelum latihan. Terapi awal ini berguna untuk

beberapa jam ke depan. Jika pasien masih mengalami gejala dengan adanya

latihan, 2 ‘puffs’ agonis β2 inhalasi dapat melegakan gejala dan dosisnya harus

dinaikkan untuk terapi awal latihan berikutnya. Kombinasi terapi awal agonis β2

dan kromolin dapat efektif saat tidak ada salah satu obat ini yang mencukupi.

5.5. Penanganan Asma Dalam Persalinan

Untuk merawat pasien dengan asma selama persalinan dan kelahiran,

direkomendasikan untuk melanjutkan pengobatan asma yang terjadwal dengan

teratur (kromolin inhalasi, beklometason, dan atau teofilin oral) selama persalinan

dan kelahiran. PEFR harus diukur saat akan bersalin atau melahirkan dan

kemudian tiap 12 jam. Jika timbul gejala asma, PEFR diukur setelah pengobatan

26

asma. Pasien harus dijaga baik hidrasinya dan disiapkan analgesik yang cukup

untuk membatasi risiko bronkospasme. Pasien yang sudah memerlukan

kortikosteroid sistemik kronis atau beberapa kortikosteroid sistemik jangka

pendek selama kehamilan harus diberi hidrokortison 100 mg setiap 8 jam sampai

24 jam postpartum untuk mengobati kemungkinan supresi adrenal.

Saat wanita dengan asma berada dalam persalinan, diperlukan pemantauan

janin ketat. Pada pasien risiko rendah, mungkin tidak diperlukan pemantauan ini.

Penilaian janin dapat diselesaikan dengan pemantauan elektronik selama 20 menit

yang disebut tes masuk rumah sakit. Kemudian untuk pasien dengan asma ringan

atau sedang yang terkontrol baik dan tes masuk masuk rumah sakit yang

meyakinkan, perlu dilakukan auskultasi intermiten, pengukuran PEFR, atau

pemantauan denyut jantung janin elektronik. Pemantauan janin secara intensif

direkomendasikan untuk pasien-pasien yang memasuki persalinan dengan asma

tidak terkontrol atau asma berat dan tidak memiliki tes masuk rumah sakit yang

meyakinkan atau faktor risiko lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan

pemantauan denyut jantung janin elektronik kontinyu atau auskultasi intermiten

(setiap 15 menit pada kala 1, setiap 5 menit pada kala 2). Selama persalinan,

pemantauan janin intensif ini dapat djiadikan pedoman untuk mengambil

keputusan dalam pengelolaan asma dan obstetris yang baik.

Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 I/menit,

maka persalinan harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas untuk menangani

komplikasi pernapasan yang berat; peneliti menunjukkan bahwa 10% wanita

memberat gejala asmanya pada waktu persalinan(1).

Selama persalinan kala I, pengobatan asma selama masa prenatal harus

diteruskan, ibu yang sebelum persalinan mendapat pengobatan kortikosteroid

harus hidrokortison 100 mg intravena, dan diulangi tiap 8 jam sampai persalinan.

Bila mendapat serangan akut selama persalinan, penanganannya sama dengan

penanganan serangan akut dalam kehamilan seperti telah diuraikan di atas(1).

Untuk induksi persalinan, oksitosin merupakan obat terpilih. Penggunaan 15-metil

prostaglandin F2-alfa harus dihindari karena merupakan analog prostaglandin F2-

alfa sintetik yang dilaporkan menyebabkan bronkospasme pada pasien asma.

27

Penggunaan prostaglandin E2 dilaporkan juga dapat menyebabkan bronkospasme.

Namun, sebuah penelitian terakhir menyebutkan bahwa bahan ini aman untuk

abortus terapeutik atau induksi persalinan janin mati pada pasien dengan asma.

Penggunaan jel prostaglandin E2 intravaginal atau intracervical untuk pematangan

serviks sebelum induksi persalinan tidak dilaporkan menyebabkan bronkospasme.

Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan terbaik

untuk penderita asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya

seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih dipilih anestesi regional

daripada anestesi umum karena intubasi trakea dapat memacu terjadinya

bronkospasme yang berat(1).

Saat memilih analgesik narkotik untuk pasien dengan asma, harus

dipertimbangkan bahan tersebut menyebabkan pelepasan histamin yang

mempercepat bronkospasme. Harus dihindarkan morfin dan meperidin sehingga

bahan terpilih adalah fentanil. Analgesik narkotik menyebabkan depresi

pernafasan dan tidak boleh digunakan pada eksaserbasi asma akut.

Pada penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan

pervaginam, memperpendek kala II dengan menggunakan ekstraksi vakum atau

forceps akan bermanfaat(1).

Jika diperlukan anestesi umum, penggunaan atropin dan glikopirolat dapat

memberikan efek bronkodilator. Untuk induksi anestesi, ketamin merupakan obat

terpilih karena menurunkan resistensi jalan nafas dan dapat mencegah

bronkospasme. Anestesi halogen konsentrasi rendah dapat memberikan efek

bronkodilatasi, memberikan jalan untuk oksigen konsentrasi tinggi dan mencegah

kecemasan ibu terhadap pembedahan serta tidak menimbulkan pendarahan pasca

salin. Bila persalinan dengan seksio sesarea atas indikasi medik obstetrik yang

lain, maka sebaiknya anestesi cara spinal(1).

Dalam memilih anestesi dalam persalinan, golongan narkotik yang tidak

melepaskan histamin seperti fentanyl lebih baik digunakan daripada meperidine

atau morfin yang melepas histamine(1).

5.6. Penanganan Asma Post Partum

28

Penanganan asma post partum dimulai jika secara klinik diperlukan.

Perjalanan dan penanganan klinis asma umumnya tidak berubah secara dramatis

setelah post partum. Pada wanita yang menyusui tidak terdapat kontra indikasi

yang berkaitan dengan penyakitnya ini. Teofilin bisa dijumpai dalam air susu ibu,

tetapi jumlahnya kurang dari 10% dari jumlah yang diterima ibu. Kadar maksimal

dalam air susu ibu tercapai 2 jam setelah pemberian, seperti halnya prednison,

keberadaan kedua obat ini dalam air susu ibu masih dalam konsentrasi yang

belum mencukupi untuk menimbulkan pengaruh pada janin(1).

Pengobatan farmakologis untuk pendarahan pasca salin pada pasien

dengan asma berbeda karena sebagian besar obat oksitosik untuk atonia uteri

dapat memperburuk bronkospasme. Oksitosin adalah obat terpilih untuk

pendarahan pasca salin. Namun jika diperlukan obat tambahan, metilergonovin

dan ergonovin harus dihindari karena menyebabkan bronkospasme. Jika

penggunaannya tidak dapat dihindarkan, sangat disarankan pengobatan awal

dengan metilprednisolon. Penggunaan 15-metil prostaglandin F2-alfa harus

dihindari karena merupakan bronkokonstriktor dan dapat memperburuk asma.

Jika diperlukan pengobatan dengan prostaglandin, analog teraman adalah E2 yang

kurang menyebabkan bronkospasme. Jika ada pendarahan uterus berat,

prostaglandin E2 20 mg supositoria dapat diberikan untuk menghindari efek

washout yang disebabkan pendarahan vagina terus-menerus.

Bila terjadi pendarahan post partum yang berat, prostaglandin E2 dan

uterotonika lainnya harus digunakan sebagai pengganti prostaglandin F2(x) yang

dapat menimbulkan terjadinya bronkospapasme yang berat(1).

5.7. Edukasi Pasien

Edukasi pasien merupakan senjata ampuh untuk menolong pasien

mendapatkan motivasi, keahlian, dan kepercayaan diri untuk mengontrol

asmanya. Edukasi pasien harusnya dimulai pada saat diagnosis ditegakkan dan

diintegrasikan dengan perawatan kontinyu.

29

Sebagian besar tanggung jawab penanganan asma sehari-hari ada pada

pasien dan keluarganya. Partisipasi aktif oleh klinisi, pasien, dan keluarga dalam

sebuah kerjasama dapat meningkatkan pendekatan pada rencana perawatan dan

merangsang kemajuan dalam penatalaksanaan asma. Konsep kerjasama ini

termasuk komunikasi terbuka, pengembangan rencana terapi bersama oleh klinisi

dan pasien, peningkatan usaha keluarga untuk dalam pencegahan dan perawatan

gejala pasien.

Edukasi pasien termasuk membantu pasien memahami asma, membantu

pasien mempelajari dan mempraktekkan keahlian yang diperlukan untuk

mengelola asma, dan mendukung pasien saat mereka meniru tingkah laku

penatalaksanaan asma yang baik dan menambahkannya ke dalam rencana terapi

mereka. Meningkatkan keahlian pasien dalam penatalaksanaan asma dan

meyakinkan bahwa mereka dapat mengontrol asmanya.

4.8. Dukungan Psikologis

Kehamilan merupakan saat stres psikologis karena perubahan-perubahan

dalam bentuk tubuh, gejala-gejala fisik yang menyertai kehamilan, dan ketakutan

tentang kehamilan, persalinan, kelahiran, dan perkembangan janin. Banyak wanita

hamil mengalami labilitas emosi selama kehamilan. Pada pasien yang memiliki

asma, ada masalah tambahan. Stres yang berhubungan dengan kehamilan normal

dapat merangsang asma pada beberapa wanita dengan predisposisi itu. Lebih jauh,

morbiditas asma dapat memperburuk stres kehamilan. Bisa juga didapatkan

ketakutan tambahan tentang efek asma atau pengobatan asma terhadap janin yang

sedang berkembang.

BAB VI

KESIMPULAN

Asma merupakan penyakit obstruktif paru yang sering terjadi yang ada

pada wanita hamil. Sehingga jika pasien menderita asma kita sebagai dokter harus

memberitahu apa saja yang harus dihindari selama hamil dan pengobatan harus

30

teratur untuk mencegah terserangnya asma, yang dapat menyebabkan janin

kekurangan oksigen.

Pengaruh asma terhadap kehamilan misalnya peningkatan kelahiran

preterm dan berat badan lahir bayi rendah, peningkatan mortalitas neonatal, dan

peningkatan hipoksia neonatal, hiperemesis gravidarum, pendarahan vagina, dan

toksemia. Pengaruh kehamilan terhadap asma bisa meningkat (36%), memburuk

(23%), dan tidak mengalami perubahan (41%).

Obat-obat asma yang bisa digunakan adalah anti inflamasi seperti

kortikosteroid, sodium kromolin, sodium nedokromil, bronkodilator seperti agonis

β2 adrenergik, agonis β nonselektif, teofilin, dan anti kolinergik, antihistamin,

dekongestan, dan terapi imun.

Penatalaksanaan efektif asma dalam kehamilan berpedoman pada empat

komponen yaitu:

1. Pengukuran obyektif untuk menilai dan memantau fungsi paru ibu dan

kesejahteraan janin dengan tujuan membuat rekomendasi terapeutik

yang tepat.

2. Pengukuran untuk menghindari atau mengontrol pemicu asma di

lingkungan pasien.

3. Terapi farmakologis

4. Edukasi pasien

Pada saat pasien akan melahirkan baiknya persalinan pervaginam, kecuali

atas indikasi obstetric persalinan dilakukan perabdominal. Jika persalinan

perabdominal lebih baik menggunakan anestesi epidural, karena jika

menggunakan anestesi umum resiko terjadinya bronchospasme lebih besar.

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham,F.Gary, dkk. 2005. Maternal Physiology dalam Williams

Obstetrics. Edisi ke-22. McGraw-Hills Companies

2. Cunningham,F.Gary, dkk. 2005. Pulmonary Disorders dalam Williams

Obstetrics. Edisi ke-22. McGraw-Hills Companies

31

3. Burrow,Gerard N. dan Duffy,Thomas P. 1999. Medical Complications During

Pregnancy. Edisi ke-5. W.B.Saunders Company

4. Perlow,Jordan H. 2000. Asthma Management During Pregnancy dalam

Current Therapy In Obstetrics And Gynecology. Edisi ke-5.

W.B.Saunders Company

5. Kazzi,Amin Antoine dan Marachelian,Araz. 2004. Pregnancy, Asthma.

www.emedicine.com/emerg/topic476.htm

6. Busse,William W. dkk. 2004. Managing Asthma During Pregnancy:

Recommendations for Pharmacologic Treatment.

www.nhlbi.nih.gov/health/prof/lung/asthma/astpreg.htm

7. Lenfant,Claude. dkk. 1993. Management of Asthma During Pregnancy.

http://www.nhlbi.nih.gov/health/prof/lung/asthma/astpreg.txt

8. Setiawati,Arini. 1995. Adrenergik dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-2.

Jakarta:FKUI

9. Sunaryo. 1995. Perangsang Susunan Saraf Pusat dalam Farmakologi dan

Terapi. Edisi ke-2. Jakarta:FKUI

10. Sjamsudin,Udin. 1995. Autakoid dan Antagonis dalam Farmakologi dan

Terapi. Edisi ke-2. Jakarta:FKUI

11. Suherman,Suharti K. 1995. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, dan

Kortikosteroid Sintetik dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-2.

Jakarta:FKUI

12. Sundaru,Heru. 2001. Asma Bronkial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Jilid II. Edisi ke-3. Jakarta:FKUI

32