refarat eri alp
DESCRIPTION
1234567TRANSCRIPT
ABSES FOSSA CANINA
PENDAHULUAN
Rongga mulut merupakan tempat berkembang biaknya berbagai macam
mikroorganisme. Mikroorganisme yang secara normal ada dalam rongga mulut ini
dapat mengakibatkan infeksi apabila, yang pertama sifat mikroorganisme tersebut
berubah, baik kualitas maupun kuantitasnya; yang kedua, mukosa mulut dan pulpa
gigi terpenetrasi; dan yang ketiga, sistem kekebalan tubuh dan pertahanan seluler
terganggu, atau kombinasi dari hal-hal tersebut diatas. Infeksi bisa bersifat akut
atau kronis, dimana suatu kondisi akut biasanya disertai dengan pembengkakan
dan rasa sakit yang hebat dengan manifestasi sistemik yaitu malaise dan demam
yang berkepanjangan. Sedangkan bentuk kronis bisa berkembang dari
penyembuhan sebagian keadaan akut, serangan yang lemah atau pertahanan yang
kuat (Petersen, 2003).
Infeksi merupakan suatu proses yang melibatkan proliferasi mikroorganisme
yang menimbulkan reaksi pertahanan tubuh, yaitu suatu proses yang disebut
inflamasi. Inflamasi adalah reaksi pertahanan tubuh yang hasilnya merupakan
pengiriman cairan, zat-zat terlarut dan sel-sel darah dari darah yang bersirkulasi
kedalam jaringan interstitial pada daerah yang cedera atau yang mengalami
nekrotik. Inflamasi akut adalah reaksi segera dari tubuh terhadap cedera atau
kematian sel. Tanda tanda pokok peradangan adalah dolor (rasa sakit), rubor
(merah), calor (panas), tumor (pembengkakan) dan fungsio laesa (perubahan
fungsi). Untuk memahami perbedaan antara jenis-jenis peradangan dianggap
penting untuk mengetahui dan menentukan terapi pengobatan (Fragiskos, 2007).
Infeksi odontogenik adalah penyakit yang paling umum ditemukan dan
menjadi masalah pada seluruh dunia maka dari itu menjadi alasan utama untuk
mencari perawatan gigi yang tepat. Infeksi odontogenik dapat berkembang dari
gigi yang rusak (karies), trauma pada daerah akar gigi, dikarenakan lokasi
anatomi dan topografi dari gigi, pathogen dalam mulut atau adanya mediator
inflamasi dapat dengan cepat menyusup kedaerah yang terdekat, misalnya
trigonum submandibular dan fossa canina. Hal ini dapat mengakibatkan
terbentuknya cairan di jaringan lunak dan pembentukan abses. Ini dapat meluas
sampai daerah cranial, seperti pada kasus abses fossa canina. Obstruksi saluran
napas, abses periorbital dan abses intracranial merupakan gejala yang paling
sering dan sangat familiar ketika infeksi bertambah (Agacayak, 2013; Lopez, et
al., 2007).
Infeksi ini menyebar melalui tulang dan periosteum terhadap struktur dan
ruang di dekatnya atau yang lebih jauh yang meningkatkan risiko septikemia dan
kematian untuk pasien yang terkena. Abses fossa canina adalah infeksi
odontogenik yang dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa.
Keberhasilan pengobatan memerlukan pengenalan lebih awal, penentuan faktor
etiologi, dan manajemen medis dan bedah yang tepat (Vernonez, et al., 2014;
Agacayak, 2013).
Untuk melakukan perawatan infeksi odontogenik, dokter gigi harus
memahami terminologi mengenai infeksi dan patofisiologi peradangan. Infeksi
odontogenik selalu berasal dari berbagai macam mikroba seperti bakteri aerob dan
anaerob fakultatif. Faktor anatomi memainkan peran kunci dalam presentasi
infeksi bakteri, setelah menyebar di luar batas-batas rahang. Penyebaran infeksi
cenderung mengikuti garis paling berlawanan, yang ditentukan oleh tulang dan
periosteum, otot dan fasia (Uluibau, 2005).
Penentuan tingkat keparahan infeksi, evaluasi pertahanan tuan rumah,
manajemen bedah, dukungan medis, pemberian antibiotik, dan evaluasi berkala
pasien adalah jalur utama pengelolaan infeksi odontogenik. Tiga faktor utama
yang harus dipertimbangkan ketika menentukan keparahan infeksi pada kepala
dan leher: anatomi lokasi, laju perkembangan, dan kompromi jalan napas.
Fossa kanina terletak antara levator labii superior dan levator anguli oris.
Fossa kanina merupakan tempat infeksi yang berasal dai gigi rahang atas pada
regio ini terdapat jaringan ikat dan lemak, serta memudahkan terjadinya
akumulasi cairan jaringan. Etiologi saluran akar yang terinfeksi pada premolar
atau kaninus maksila
Gambaran klinis ditandai dengan edema yang terlokalisir pada regio infraorbital,
yang menyebar menuju daerah bawah mata dan hidung. Edema pada daerah
bawah mata tersebut sakit saat dipalpasi. Permukaan kulit pada daerah tersebut
terlihat tegang dan mengkilat yang disebabkan adanya supurasi, dengan warna
kemerahan Ruang ini berada di dekat kelopak mata bawah, dan karena itu
manajemen dini sangat penting untuk menghindari infeksi sirkumorbital. Ada
risiko penyebaran ke kranial, melalui sudut eksternal vena, yang kemudian
menjadi thrombos (Fragiskos, 2007).
LAPORAN KASUS
S : Pasien laki-laki usia 37 tahun datang dengan keluhan bengkak pada daerah
pipi kanan atas dan mata bagian bawah kanan sejak 3 hari yang lalu. Pasien
mengatakan gigi depan atas kanan goyang sejak kurang lebih 2 bulan yang
lalu. Pasien mengatakan 1 minggu yang lalu terdapat bengkak kecil pada
daerah tersebut setelah pasien berusaha mencabut sendiri gigi yang goyang
tersebut, namun tidak bisa. Pasien datang ke puskesmas 3 hari yang lalu dan
diberi obat clindamycin, asam mefenamat, dan non flamin. Pasien merasa
bengkak semakin membesar dan ada rasa terbakar setelah meminum ketiga
obat tersebut sehingga obat tidak diteruskan. Pasien mengatakan reaksi obat
baru terasa setelah kurang lebih 4 jam Tidak ada keluhan pada gigi tersebut
sekarang. Pasien tidak memiliki riwayat kencing manis dan darah tinggi,
pasien mengira dia memiliki alergi obat.
Gambar 1. Gambaran ekstra oral
Keadaan umum
Kondisi fisik : Baik
Vital signs : BP :120/80 mmHg P :
90x/menit
Pemeriksaan Fisik Regional
EO : Kepala & Leher
Wajah-Leher : ABN
I : terdapat pembengkakan pada bagian bawah mata sebelah kanan
dan lipatan nasolabial, batas diffuse, kemerahan (+),
warna mengkilat
P : pembengkakan (+), konsitensi padat, fluktuasi (+), nyeri tekan (+)
Kelenjar lymphe
Pada pemeriksaan inspeksi dan palpasi kelenjar lymphe submandibularis,
submentalis,
dan cervicalis tidak terdapat kelaian.
LO : Rongga Mulut
Buccal Mucosa : ABN
I : terdapat bercak keputihan, iregular
P: tidak ada peninggian, dapat dikerok
Palatum Durum : ABN
I : warna pucat
P : tidak ada kelainan
Terdapat kalkulus pada gigi insisif dan kaninus maxilla regio 1 dan 2, dan seluruh
Gigi mandibular regio 3 & 4.
Gambar 2. Gambaran intra oral terdapat bercak putih
Gingiva
Maxilla R.Anterior gigi 14,15 : I : pembengkakan minimal (+), kemerahan(+)
P : pembengkakan minimal (+), nyeri tekan (-),
keluar pus saat gingiva ditekan
GGambar 3. Gambaran intra oral regio gigi 14,15
Status Lokalis-Intra Oral
Pemeriksaan Gigi-gigi
Gangren radix gigi 17,27.
Gigi 14 : perkusi (-), druk (-), resesi gingiva (+), mobilitas gigi (+
º4),gingiva
poket (+)
Gigi 15 : perkusi (-), druk (-), resesi gingiva (+), mobilitas gigi (+
º3),gingiva
Poket (+)
Hasil Ro : Foto : Panoramik
Gambar 4. Foto panoramik
Gambaran radiografi panoramik terlihat tampakan radiolusen pada daerah ujung
apeks gigi 13 dan 14. ). Dari hasil pemeriksaan klinis dan radiografi, pasien
didiangnosis abses fossa canina.
PENATALAKSANAAN
Perawatan abses odontogenik akut dapat dilakukan secara lokal atau sistemik.
Perawatan lokal meliputi irigasi, aspirasi, insisi dan drainase, sedangkan
perawatan sistemik terdiri atas pengobatan untuk menghilangklan rasa sakit, terapi
antibiotik dan terapi pendukung.Insisi untuk drainase dilakukan secara intraoral
pada lipatan mukobukal (paralel dengan tulang alveolar) pada regio caninus.
Anastesi dilakukan ekstraoral didekat foramen infraorbital (Sailer, 1999;
Petersen, 1996).
Suatu hemostat kemudian dimasukkan sedalam mungkin pada akumulasi pus
sampai bersentuhan dengan tulang. Sementara itu jari telunjuk pada tangan
satunya melakukan palpasi di margin infraorbital. Pada tahap akhir, drain karet
dipasang, yang distabilisasi dengan jahitan (Fragiskos, 2007).
Sebaiknya pemilihan obat didasarkan pada hasil smear atau pewarnaan
garam, kultur dan tes sensitivitas. Antibiotik yang dipilih diresepkan dengan dosis
yang adekuat dan jangka waktu yang lama (Petersen, 2003).
Radiasi dan indurasi yang sangat sakit pada sudut medial orbital
mengindikasikan adanya kemungkinanainfeksi melaui vena angular. Infeksi ini
dapat menyebar melalui vena ini menuju sinus cavernosus (Sailer, 1999).
Namun, karena komplikasi ini menimbulkan tuntutan khusus dalam
mengelola penyakit, diagnosis tersebut harus diperhatikan secara serius, dan
pasien biasanya membutuhkan perawatan yang serius dan bahkan dirawat inap
secara khusus, abses fossa canina dan selulitis memerlukan perawatan cepat untuk
mengontrol bakteremia lebih lanjut (misalnya, melalui vena sudut). Telah
dijelaskan kasus abses fossa canina memerlukan pendektan komprehensif dari
patogenesis dan prosedur bedah yang terlibat. Selain operasi, pasien diberi terapi
antibiotik dan anti-inflamasi untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari infeksi
inflamasi ke dalam jaringan lunak dan untuk mencegah kerusakan lanjutan
sebagai akibat dari edema. Pasien diberi 1 mg amoksisilin atau asam klavulanat
dan 0,5 mg metronidazol, baik intravena tiga kali sehari. pasien juga diberi 75 mg
natrium diklofenak intravena tiga kali sehari untuk mencegah pembengkakan.
Terapi intravena dipertahankan selama satu minggu. Rongga abses dibilas hamper
setiap hari. Dalam radiografi, diamati repneumatization lengkap lesi apikal saat ini
(Agacayak et al., 2013).
Penisilin adalah jenis antibiotik yang paling sering digunakan pada infeksi
odontogen, baik yang alami maupun semisintesis. Antibiotik ini mempunyai
aktifitas bakteriosid yang luas dan bekerja dengan cara mengganggu pembentukan
dan keutuhan dinding sel bakteri (Petersen, 2003).
Gambar 5: proses insisi untuk drainase dari abses, Sumber : Fragiskos D. Oral Surgery.
Berlin : Springer ; 2007. p.221.
gambar 6: a. insersikan hemostat di daerah kavitas abses untuk drainase; b. penempatan
rubber drain pada lokasi drainase, Sumber : Fragiskos D. Oral Surgery. Berlin : Springer ;
2007. p.221.
gambar 7: insisi daerah vestibulum folt untuk drainase abses fossa canina, Sumber :
Fragiskos D. Oral Surgery. Berlin : Springer ; 2007. p.222.
gambar 8: insersikan hemostat dan eksplorasikan daerah abses sampai permukaan tulang
untuk memudahkan drainase pus, Sumber : Fragiskos D. Oral Surgery. Berlin : Springer ;
2007. p.222.
Penatalaksanaan dalam kasus
1. Informed consent
2. Asepsis intraoral povidone iodine 10%
3. LA (xyl + adr) 1,5 cc
4. Ekstraksi gigi 14, 15
Insisi tidak dilakukan pada area yang mudah terlihat, karena alasan
estetik. Dalam kasus ini, port de entry abses berasal dari gigi 14 dan 15
yang mengalami periodontitis marginalis kronis. Oleh karena itu, insisi
tidak dilakukan pada kasus ini namun dilakukan ekstraksi gigi yang
menjadi penyebab.
5. Kuretase
Kuretase dilakukan untuk menghilangkan sisa jaringan nekrotik
6. Pro kontrol
Untuk mengetahui apakah pasien alergi terhadap obat yang diberikan atau
tidak
7. Instruksi post ekstraksi
8. Resep obat
R/ Metronidazole tabs 500 mg No XV
ʃ 3 d d I
R/ Spiramycin tabs 500 mg No XV
ʃ 3 d d I
Kedua antibiotik ini diberikan karena pasien memiliki alergi terhadap
clindamycin, asam mefenamat dan flamin. Metronidazole merupakan golongan
nitroimidazole, yang bekerja secara bakterisid, pada bakteri gram negatif anaerob.
Spiramycin termasuk dalam golongan makrolid, untuk bakteri aerob dan anaerob
gram positif (Fragiskos, 2007).
Kontrol Hari 1
S : Pasien datang ingin kontrol pasca pencabutan gigi 14,15. Pasien mengeluhkan
bengkak yang terdapat pada daerah pipi kanan atas mendekati lipatan hidung
belum mengecil, hanya pada bagian mata yang mengecil. Pasien mengatakan
setelah meminum obat nonflamin masih ada rasa terbakar sehingga tidak
diteruskan. Pasien mengaku tidak membeli obat spiramycin. Pasien
mengeluhkan nyeri pada bagian bengkak tersebut, namun setelah meminum
obat metronidazole dan obat anti nyeri yang dibeli sendiri nyeri tersebut reda.
O : KU: Baik BP :130/90 mmHg P :
90x/menit
EO: Regio orbital kanan
I : pembengkakan(+), kemerahan (+), batas diffuse
P: pembengkakan(+), nyeri tekan(+), konsistensi padat lunak, fluktuas(+)
IO: Regio gigi 14,15
I: pembengkakan minimal, kemerahan(+), terbentuk blood clot (+), pus
Mengalir
P: pemengkakn minimal, nyeri tekan(-)
A : Proses keradangan akut post ekstraksi gigi 14,15
P :
1. Irigasi H2O2 & Pz
2. Instruksi melanjutkan obat
3. Instruksi meningkatkan OH
4. Instruksi kompres air hangat pada daerah yang bengkak
5. Pro ekstraksi dan kontrol tanggal 15 Maret 2016
6. R/Natrium diclofenac tabs 500 mg No XV
ʃ 3 d d I pc prn
Gambar 9. Gambaran ekstraoral kontrol 1
Gambar 10. Terbentuk bloo clot (kiri), pus mengalir (kanan)
PEMBAHASAN
Penyebab dan diagnosis infeksi odontogenik dan kecenderungannya untuk
menyebar telah dijelaskan secara luas dalam literatur. Abses fossa canina
merupakan salah satu jenis infeksi odontogenik yang memiliki beberapa faktor
pemicu. Hal ini dapat dihubungkan dengan karies gigi, abses periapikal atau
periodontal, perikoronitis, pulpitis, dan osteitis. Dalam kasus ini diduga port de
entry berasal dari jaringan periodontal yang, terbukti dengan didapatkan poket
pada gigi 14,15.
Penyebaran infeksi ke fossa canina biasanya berasal dari gigi caninus rahang
atas atau gigi anterior lainnya dan gigi premolar atas. Infeksi menimbulkan
pembengkakan pada sulkus labial dan jarang pembengkakan pada palatal. Otot
levator bibir atas berada di atas puncak akar gigi kaninus dan premolar pertama.
Origo otot ini tinggi terletak dalam fossa kanina pada dinding maksila, sementara
insersi otot ini pada sudut mulut, bercampur dengan serabut otot orbicularis oris
dan otot zygomaticus. Bila infeksi pada gigi kaninus atau premolar atas
menyebabkan perforasi pada korteks lateral maksila pada superior origo otot,
ruang kaninus dapat terinfeksi/
Sering terlihat di atas otot businator. pembengkakan ini menghilangkan lipatan
nasolabial. Ruang ini berada di dekat kelopak mata bawah, dan karena itu
manajemen dini sangat penting untuk menghindari infeksi circumorbital. Pada
kasus ini infeksi berasal dari gigi premolar atas kanan yang ditunjukkan dengan
pemeriksaan klinis dan foto panoramic terdapat radiolusen diffuse pada apical gigi
14,15.
Gambar 11. Penyebaran infeksi dari gigi ke dalam fossa canina
Pembengkakan yang terjadi lebih besar setelah mengkonsumsi obat dari
puskesmas dimungkinkan terdapat ketidaksesuaian obat dan efek yang kurang
adekuat dalam melakukan pertahanan terhadap mikroorganisme. idealnya pilihan
antibiotic untuk terapi infeksi odontogenik harus berdasarkan hasil pemeriksaan
kultur dan sensitivitas di laboratorium. Infeksi pada umumnya disebabkan
gabungan dari bakteri aerob dan anaerob, sehingga dalam medikamentosa ksaus
ini digunakan kombinasi dua jenis antibiotik untuk memperkuat efek terapi
antibitotik.
Hal yang juga menjadi faktor pencetus adalah oral hygiene pasien yang rendah,
sehingga mikroorganisme lebih cepat perkembangannya dalam menginfeksi.
Terapi awal dilakukan ekstraksi pada gigi penyebab karena fokal infeksi
berasal dari poket yang dalam gigi 14. Tujuan ekstraksi selain gigi penyebab
adalah drainase spontan dari dalam soket gigi 14 dan 15. Drainase bertujuan untuk
membersihkan organ yang terinfeksi dari material toksik purulent dan mengurangi
tekanan pus pada jaringan, sehingga terjadi perfusi darah yang mengandung
antibiotic juga meningkatnya oksigenasi pada daerah yang terinfeksi. Selanjutnya
pemberian kombinasi obat antibiotik dan analgesic dan berikut akan dilakukan
evaluasi pada hari berikutnya.
Kontrol hari 1 pasca pencabutan, pasien merasakan terjadi penyusutan daerah
pembengkakan pada mata saja, namun belum pada bagian yang lain. Hal tersebut
diduga karena obat yang dikonsumsi tidak lengkap, sehingga efek terapi yang
diharpakan kurang maksimal. Dalam pemeriksaan intra oral masih didapatkan
drainase spontan dari dalam soket gigi 14 dan 15.
Planning selanjutnya dilakukan evaluasi kembali, jika pembengkakan pada
daerah lipatan nasolabial belum mengalami penyusutan yang bermakna akan
dilakukan insisi intra oral pada sulkus labal untuk drainase pus. Dilakukan diseksi
tumpul kea rah superior dengan klem kecil untuk membuat jalan pus abses nasal
lateral atau abses ruang spasia kanina. Setelah drainase pus, dilakuakn
pemasangan drain dan jaringan granulasi purulent dikuret dari fossa tulang di atas
akar gigi premolar dan kaninus, kemudian ditambahkan dengan medikamentosa
antibiotic, antiinflamasi dan anti nyeri (Topazian, 2002; Peterson, 2003).
DAFTAR PUSTAKA
1. Agacayak S. Atilgan S, Belgin G. 2013. Case Report: Canine Fossa Abscess;
A Rare Etiological Factor: The Lower Canine Tooth. Journal of International
Dental & Medical Research;, 6(1), pp 36-39.
2. Fragiskos, FD. 2007. Oral surgery. Germany: Springer – Verlag Berlin
Heldelberg; P. 205-223.
3. Lopez-piriz L, Aguilar Lorenzo, Gimenez Josa Maria. 2007. Management of
Odontogenic Infection of Pulpa and Periodontal Origin. Med oral patol oral
cir bukal. 154-159.
4. Onur Gonul, Sertac Aktop, Tulin Satilmis, Hasan Garip and Kamil Goker.
Odontogenic Infections. 2015. A Textbook of Advanced Oral and
Maxillofacial Surgery. Intech. Turkey. 47-49.
5. Petersen, GW. 2003. Oral surgery. 1 th Ed. Philadelphia: W.B. Saunders
Company;. P. 191-197.
6. Sailer, H.F. dan Parajola, G.F.(1999).Oral Surgery for General Dentist. New
York :Thieme.
7. Uluibau IC, Jaunay T, Goss AN. Severe odontogenic infections. Australian
Dental Journal Medications. 2005;50(4). Pp 74-80.
8. Topazian et al., 2002. Oral and Maxillofacial Infection 4th ed. WB Saunders
Company, Philadelphia
9. Veronez B, De Matos, Monnazzi MS. 2014/ Maxillofacial infection. A
retrospective evaluation of eight years. Brazil Journal of Oral Science. 13(2):
pp 98-103.