refarat dispepsia
DESCRIPTION
Refarat Mengenai DispepsiaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Dispesia merupakan nyeri kronis atau berulang atau ketidaknyamanan
berpusat di perut bagian atas. Kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa
tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan.
Gejalanya meliputi nyeri epigastrium, perasaan cepat kenyang (tidak dapat
menyelesaikan makanan dalam porsi yang normal), dan rasa penuh setelah makan.1
Dispepsia terbagi menjadi dua jenis, yaitu dispepsia organik dan dispepsia
fungsional. Disebut dispepsia organik apabila penyebabnya telah diketahui dengan
jelas dan disebut dispepsia fungsional bila tidak ada kelainan organik tetapi
merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan.2
Dispepsia fungsional merupakan manifestasi nyeri perut berulang terbanyak kedua
setelah IBS. Angka prevalensinya sekitar 15.9% dari keseluruhan nyeri perut berulang. Suatu
penelitian pada anak dan remaja berusia di atas 5 tahun yang mengeluhkan sakit perut, rasa
tidak nyaman, dan mual sedikitnya dalam waktu satu bulan, ditemukan 62% merupakan
dispepsia fungsional dan 35% dijumpai adanya peradangan mukosa.2 Pada anak usia di
bawah 4 tahun sebagian besar disebabkan kelainan organik, sedangkan pada usia di atasnya
kelainan fungsional merupakan penyebab terbanyak.3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINSI
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (dys : sulit dan pepsis : pencernaan).1
Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau keluhan klinis yang terdiri dari rasa tidak
enak atau nyeri di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan.4
Dispepsia terbagi menjadi dua jenis, yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional.
Disebut dispepsia organik apabila penyebabnya telah diketahui dengan jelas dan
disebut dispepsia fungsional bila tidak ada kelainan organik tetapi merupakan
kelainan fungsi dari saluran makanan.2
Menurut kriteria ROME III, dispepsia fungsional harus memenuhi semua
kriteria di bawah ini yang dialami sekurang-kurangnya satu kali seminggu selama
minimal dua bulan sebelum diagnosis ditegakkan.5
a. Nyeri yang persisten dan berulang atau perasaan tidak nyaman yang berasal
dari perut bagian atas (di atas umbilikus) .
b. Nyeri tidak berkurang dengan defekasi atau tidak berhubungan dengan suatu
perubahan frekuensi buang air besar atau konsistensi feses.
c. Tidak ada bukti adanya proses inflamasi, kelainan anatomis, kelainan
metabolik atau neoplasma.
2
Dan menurut kriteria ROME III berdasarkan kriteria Kelainan
Gastroduodenal Fungsional, dispepsia fungsional harus memenuhi 1 atau lebih dari
kriteria dibawah ini pada 3 bulan terakhir atau setidaknya 6 bulan sebelum diagnosis
ditegakan.
a. Gangguan rasa penuh pada bagian Post Prandial
b. Rasa cepat kenyang
c. Nyeri Epigastrium
d. Rasa terbakar di Epigastrium
e. Tidak ada bukti penyakit struktural ( termasuk di endoskopi atas) yang
mungkin untuk menjelaskan gejala
B. EPIDEMIOLOGI
Dispepsia fungsional merupakan manifestasi nyeri perut berulang terbanyak
kedua setelah IBS. Angka prevalensinya sekitar 15.9% dari keseluruhan nyeri perut
berulang.6 Penelitian di Italia dengan menggunakan kriteria Rome II menyatakan
prevalensi dispepsia fungsional 0.3% dari seluruh kunjungan anak ke pusat pelayanan
primer.Penelitian di Amerika Utara menyatakan 12.5% sampai 15.9% anak berusia 4
sampai 18 tahun dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier karena keluhan nyeri
perut merupakan dispepsia fungsional.
Seiring dengan bertambah majunya ilmu pengetahuan dan alat-alat kedokteran
terutama endoskopi dan diketahuinya penyakit gastroduodenum yang disebabkan
Helicobacter pylori (Hp) maka diperkirakan makin banyak kelainan organik yang
dapat ditemukan. Suatu penelitian pada anak dan remaja berusia di atas 5 tahun yang
mengeluhkan sakit perut, rasa tidak nyaman, dan mual sedikitnya dalam waktu satu
bulan, ditemukan 62% merupakan dispepsia fungsional dan 35% dijumpai adanya
peradangan mukosa.4 Pada anak usia di bawah 4 tahun sebagian besar disebabkan
3
kelainan organik, sedangkan pada usia di atasnya kelainan fungsional merupakan
penyebab terbanyak.3
C. PATOFISIOLOGI
Data mengenai penyebab berkembangnya dispepsia pada anak dan remaja
masih sangat terbatas. Beberapa faktor yang mendasari terjadinya dispepsia
fungsional, yaitu :
1. Gangguan motilitas dari saluran pencernaan
Pada pasien dispepsia fungsional ditemukan motilitas yang abnormal
yaitu ritme elektrik lambung yang ireguler dan gangguan pengosongan
lambung dan duodenum. Hal ini dibuktikan dengan gerakan lambung dan
duodenum kearah proksimal (gangguan motilitas antoduodenal).7 Cepatnya
proses pengosongan lambung terkait lambatnya transit di usus ditemukan pada
penderita dispepsia dengan kembung sebagai gejala yang dominan.8
2. Faktor Psikososial
Stres adalah faktor yang mempengaruhi dispepsia fungsional. Keadaan
emosional dapat mempengaruhi sentral dan inervasi usus, dan keadaan stres
akan mengubah aktivitas motorik dan sekretorik gastrointestinal melalui
mekanisme neuroendokrin. Keadaaan stres, emosional dan abnormalitas
sistem saraf otonom diduga juga akan mengakibatkan gangguan
gastrointestinal.9
3. Faktor genetik
4
Genetik merupakan faktor predisposisi pada penderita gangguan
gastrointestinal fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah sitokin
antiinflamasi seperti interleukin-10 (IL-10), transforming growth factor- β
(TGF-β). Penurunan sitokin antiinflamasi dapat menyebabkan peningkatan
sensitisasi pada usus.9
4. Pengaruh Flora Bakteri
Infeksi Hp mempengaruhi terjadinya dispepsia fungsional. Diketahui
bahwa Hp dapat merubah sel neuroendokrin lambung. Sel neuroendokrin
menyebabkan peningkatan sekresi lambung dan menurunkan tingkat
somatostatin. Penyelidikan epidemiologi menunjukkan kejadian infeksi Hp
pada pasien dispepsia cukup tinggi, walaupun masih ada perbedaan pendapat
mengenai pengaruh Hp terhadap dispepsia fungsional.10
5. Hipersensitivitas viseral
Hipersensitivitas viseral adalah suatu hipotesis yang menerangkan
penyakit gastrointestinal. Hal ini berdasarkan adanya perubahan mekanisme
perifer. Sensasi nyeri viseral di saluran cerna ditransmisikan dari saluran cerna
ke otak dan selanjutnya di otak persepsi nyeri ini diperluas.9 Pengamatan
pada penderita dispepsia fungsional menunjukkan meluasnya sensibilitas
isobarik dan isovolumetrik proksimal lambung bersama dengan timbulnya
nyeri di epigastrium.11 Meningkatnya kepekaan dinding lambung
menunjukkan adanya disfungsi aktivitas saraf aferen. Secara keseluruhan
terganggunya aktivitas saraf aferen lambung menyebabkan timbulnya gejala
dispepsia. Hipersensitivitas viseral juga dikaitkan dengan mekanisme sentral.
Adanya perubahan persepsi nyeri di perifer saluran cerna akan disaring dan
5
dimodulasi oleh mekanisme sentral pada tingkat spinal cord atau otak.9
Kemungkinan adanya interaksi antara faktor psikososial dan fungsi sensori
motor gastrointestinal, antara otak dan usus (brain-gut axis).9
D. MANIFESTASI KLINIS
Klasifikasi klinis praktis membagi dispepsia berdasarkan atas keluhan/ gejala
yang dominan menjadi tiga tipe yaitu :4
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia) yang ditandai
dengan gejala nyeri yang berpusat di bagian medial kuadran atas abdomen,
dan biasanya gejala hilang dengan pemberian antasida atau makanan, serta
sering terbangun di malam hari.
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia)
ditandai dengan gejala tidak nyaman ataupun mengganggu tetapi tidak nyeri,
disertai rasa penuh, cepat kenyang, kembung, ataupun mual.
3. Dispepsia non spesifik bila keluhan yang timbul tidak memenuhi kriteria baik
ulcer like dyspepsia maupun dysmotility-like dyspepsia.
Gejala-gejala dispepsia timbul baik berhubungan dengan kelainan organik
maupun fungsional.7 Kelainan organik yang mendasari gejala tersebut dicurigai bila
dijumpai tanda peringatan (alarm symptoms), yaitu :12
- Nyeri terlokalisir, jauh dari umbilikus
- Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah)
- Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari
- Nyeri timbul tiba-tiba
- Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan
6
- Disertai gangguan motilitas (diare, obstipasi, inkontinensia)
- Disertai perdarahan saluran cerna
- Terdapat disuria
- Berhubungan dengan menstruasi
- Terdapat gangguan tumbuh kembang
- Terdapat gejala sistemik: demam, nafsu makan turun
- Terjadi pada usia < 4 tahun
- Terdapat organomegali
- Terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada sendi
- Kelainan perirektal: fisura, ulserasi
Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak
memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan, maka
penderita perlu menjalani pemeriksaan.4
E. PEMERIKSAAN
Anamnesis yang lengkap dan cermat sangat penting untuk penilaian bahkan
dapat mengarahkan pada diagnosis. Riwayat penyakit sebaiknya mengeksplorasi
riwayat makan, masalah psikologis, dan faktor sosial, sehingga memungkinkan
mencari hubungan antara gejala yang timbul dengan diet, aktivitas ataupun faktor
stres.12 Sebaiknya orangtua dan anak melengkapi keterangan tentang gejala dan
waktu timbul, lokasi, intensitas dan karakter nyeri dan rasa tidak nyaman tersebut,
waktu dan jenis asupan makanan, aktivitas harian, serta pola defekasi.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan adanya kelainan
organik, pemeriksaan untuk dispepsia terbagi pada beberapa bagian13
7
1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang
lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika ditemukan
leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir atau
banyak mengandung lemak pada pemeriksaan tinja kemungkinan
menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia ulkus
sebaiknya diperiksa derajat keasaman lambung. Jika diduga suatu
keganasan, dapat diperiksa tumor marker seperti CEA (dugaan karsinoma
kolon), dan CA 19-9 (dugaan karsinoma pankreas).
2. Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang
mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau
mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan.
3. Endoskopi bisa digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan dari
lapisan lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di bawah
mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi Helicobacter
pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai
diagnostik sekaligus terapeutik.
4. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi H.
pylori, urea breath test, dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi.
F. PENATALAKSANAAN
1. Non Farmakologis
Gejala dapat dikurangi dengan menghindari makanan yang mengganggu, diet
tinggi lemak, kopi, alkohol, dan merokok. Selain itu, makanan kecil rendah lemak
dapat membantu mengurangi intensitas gejala. Ada juga yang merekomendasikan
untuk menghindari makan yang terlalu banyak terutama di malam hari dan membagi
8
asupan makanan sehari-hari menjadi beberapa makanan kecil. Alternatif pengobatan
yang lain termasuk hipnoterapi, terapi relaksasi dan terapi perilaku.4,14
2. Farmakologis
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa obat, yaitu14
1. Antasida
Golongan ini mudah didapat dan murah. Antasida akan menetralisir sekresi
asam lambung. Antasida biasanya mengandung natrium bikarbonat, Al(OH)3,
Mg(OH)2, dan magnesium trisiklat. Pemberian antasida tidak dapat dilakukan
terus-menerus, karena hanya bersifat simtomatis untuk mengurangi nyeri.
Magnesium trisiklat merupakan adsorben nontoksik, namun dalam dosis besar
akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2.
2. Antikolinergik
Kerja obat ini tidak sepsifik, Obat yang agak selektif adalah pirenzepin yang
bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan sekresi asam
lambung sekitar 28% sampai 43%. Pirenzepin juga memiliki efek
sitoprotektif.
3. Antagonis Reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau
esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan ini adalah
simetidin, ranitidin, dan famotidin.
4. Proton pump inhibitor (PPI )
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari
proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah
omeprazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
9
5. Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2) selain
bersifat sitoprotektif juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal.
Sukralfat berfungsi meningkatkan prostaglandin endogen, yang selanjutnya
memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mucus dan
meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif
(sile protective) yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran
cerna bagian atas.
6. Golongan Prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia
fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki
asam lambung.
7. Golongan Anti Depresi
Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti depresi
dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang
keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan
depresi. Contoh dari obat ini adalah golongan trisiclic antidepressants (TCA)
seperti amitriptilin.
Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum jelas. Beberapa
pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah pemberantasan
Helicobacter pylori, PPI, dan terapi psikologi. Pengobatan yang belum didukung
bukti : antasida, antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal, antagonis reseptor
H2, misoprostol, golongan prokinetik, selective serotonin-reuptake inhibitor,
sukralfat, dan antidepresan.14
10
BAB III
KESIMPULAN
Dispesia merupakan nyeri kronis atau berulang atau ketidaknyamanan
berpusat di perut bagian atas. Kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa
tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan.
Gejalanya meliputi nyeri epigastrium, perasaan cepat kenyang (tidak dapat
menyelesaikan makanan dalam porsi yang normal), dan rasa penuh setelah makan.
Data mengenai penyebab berkembangnya dispepsia pada anak dan remaja
masih sangat terbatas. Beberapa faktor yang mendasari terjadinya dispepsia
fungsional, yaitu gangguan motilitas dari saluran pencernaan, faktor psikososial,
faktor genetik, pengaruh flora bakteri, dan hipersensitivitas viseral. Dispepsia dibagi
menjadi tiga tipe yaitu dispepsia dengan keluhan seperti ulkus, dispepsia dengan
gejala dismotilitas, dan dispepsia non-spesifik.
Untuk terapi farmakologi pada dispepsia dapat menggunakan obat antasida,
antikolinergik, antagonis reseptor h2, PPI, Sitoprotektif, Golongan Prokinetik,
Psikoterapi dan Psikofarmaka. Pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah
adalah pemberantasan Helicobacter pylori, PPI, dan terapi psikologi.
DAFTAR PUSTAKA
11
1. Torpy JM, Lynm CS, Glass RM. Dyspepsia. JAMA. 2006;295(13):1612.
2. Wiryati AAM, Aryasa IKN, Suraatmaja S. Sakit perut akut pada anak. Dalam: Suraatmaja S, penyunting. Kapita selekta gastroenterologi anak. Jakarta: Sagung Seto, 2005. h.189-203.
3. McOmber ME, Shulman RJ. Recurrent abdominal pain and irritable bowel syndrome in children. Curr Opin Pediatr. 2007;19:581-5.
4. Rerksuppaphol L, Rerksuppaphol S. Functional dyspepsia in children. JMHS.
2007;14(2):78-89.
5. Rasquin A, Lorenzo CD, Forbes D, Guiraldes E, Hyams JS, Staiano A, dkk. Childhood functional gastrointestinal disorders: Child/ adolescent. Gastroenterology. 2006;130:1527-37
6. AAP Subcommittee and NASPGHAN Committee on Chronic Abdominal pain. Chronic abdominal pain in children: A technical report of the American Academy of Pediatrics and the North American Society for Pediatric Gastroenterology, hepatology and Nutrition. JPGN. 2005;40:249-61
7. Devanarayana NM, Rajindrajith S, Janaka H. Recurrent abdominal pain in children. Indian J Pediatr. 2009;46:389-96.
8. Cunningham CL, Banez GA. Pediatric gastrointestinal disorders. New York: Springer, 2006. h.93-7.
9. Dobrek L, Thor PJ. Pathophysiologycal concepts of functional dyspepsia and irritable bowel syndrome future pharmacotherapy. Acta Pol Pharm. 2009;66:447-60.
10. Casio S. Frequency of Helicobacter pylori infection using the Helicobacter pylori stool antigen test (HPSAT) among children diagnosed with dyspepsia. Pediatr Infect Dis J. 2009;10:1-6.
11. Chitkara D, Camilleri M, Alan R, Zinsmester AR, Burton D, El-Youssef M, dkk. Gastric sensory and motor dysfunction in adolescents with functional dyspepsia. Clin Enteric neurosci Translational and Epidemiol Res. 2004;46:500-55.
12. Thomson M, Walker-Smith J. Dyspepsia in infants and children. Baillieres Clin Gastroenterol. 2005;100:2324-37.
12
13. Salvini F, Granieri L, Gemmellaro L, Giovannini M. probiotics, prebiotics and child health: where are we going. J Int Med Res. 2004;32:97-108.
14. Dobrek L, Thor PJ. Pathophysiologycal concepts of functional dyspepsia and irritable bowel syndrome future pharmacotherapy. Acta Pol Pharm. 2009;66:447-60.
13