ref. lpr
DESCRIPTION
abcTRANSCRIPT
REFERAT
Laryngopharyngeal Reflux
OLEH :
FARIZKY BASKORO
1102011100
PEMBIMBING
dr. Budhy P. Sp.THT-KL, M.kes
TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT
RSUD CILEGON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
OKTOBER 2015
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan ke Tuhan Yang Maha Esa, yang dengan
pertolongan-Nya, referat yang berjudul “Laryngopharyngeal Reflux” dapat selesai disusun.
Referat ini disusun sebagai sarana diskusi dan pembelajaran, serta diajukan guna untuk
memenuhi persyaratan penilaian di kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit THT RSUD Kota Cilegon.
Penghargaan dan rasa terima kasih disampaikan kepada dr. Budhy P, Sp.THT-KL, M.kes
yang telah memberikan dorongan, bimbingan dan pengarahan dalam pembuatan referat ini.
Penyusun juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan referat ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam referat ini masih jauh dari sempurna, baik mengenai
isi, susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan
dan pengalaman dari penyusun dalam mengerjakan referat ini. Oleh karena itu penyusun
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan referat ini.
Semoga referat ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan
ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Akhir kata dengan mengucapkan Alhamdulillah, semoga Allah SWT selalu meridhoi kita
semua dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
Cilegon, Oktober 2015
Penyusun
2
Daftar isi
Kata pengantar ……………………………………………………………………… 2
Daftar isi …………………………………………………………………….... 3
Bab I Pendahuluan ……………………………………………………………………… 4
Bab II Tinjauan Pustaka .........................................................................................................5
Bab III Kesimpulan ............................................................................................................21
Daftar pustaka ...........................................................................................................22
3
BAB I
PENDAHULUAN
Refluks menurut literatur adalah aliran balik. Kata ini diambil dari bahasa
latin yaitu “re” yang bermakna balik atau kembali dan “fluere” yang artinya
mengalir. Refluks Laring Faring/ Laryngopharyngeal Reflux (LPR) dapat
didefinisikan sebagai pergerakan asam lambung secara retrograd menuju
faring dan laring serta saluran pencernaan atas. LPR dapat menyebabkan
iritasi dan perubahan pada laring.1,2
Pada tahun 1996, Koufman3 dkk memperkenalkan istilah penyakit
refluks laring faring (LPR) untuk penyakit ini. Amerika Serikat beranggapan
LPR merupakan bentuk lain dari Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)
karena pada pasien LPR tidak perlu ditemukan gejala spesifik GERD seperti
rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi. Lebih jauh lagi pada
kebanyakan pasien dengan LPR refluks asam di esofagus bagian bawah
normal dan pasien LPR tidak didiagnosis sebagai GERD.
Walaupun penyebab kedua penyakit tersebut sama, LPR harus
dibedakan dari GERD. Pasien dengan LPR biasanya mempunyai keluhan di
daerah kepala dan leher sedangkan pada GERD biasanya didapatkan
keluhan klasik seperti esofagitis dan rasa panas di dada (heartburn).
Perbedaan ini menyebabkan kedua penyakit tersebut memerlukan
pengobatan yang agak berbeda.1
Dikenal berbagai istilah LPR seperti GERD supraesofagus, GERD atipikal,
komplikasi ekstra esofagus dari GERD, refluks laryngeal, gastrofaringeal
refluks, refluks supraesofageal dan refluks ekstraesofageal. Sekarang LPR
dianggap sebagai penyakit yang berbeda dan memerlukan penatalaksanaan
yang berbeda pula.3 Inflamasi jaringan laring yang disebabkan LPR mudah
rusak karena intubasi sehingga mempermudah progesifitas menjadi
granuloma dan dapat berubah menjadi stenosis subglotik.1
4
Dalam menentukan diagnosis LPR perlu dilakukan anamnesis yang teliti,
pemeriksaan penunjang seperti laringoskopi fleksibel, pH dan lain-lain.1
Pengobatan LPR meliputi kombinasi diet, modifikasi perilaku, antasida,
antagonis reseptor H2, proton pump inhibitor (PPI) dan tindakan bedah.2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. ANATOMI 4
Hubungan faring dengan proses respirasi. Faring yang adalah bagian
dari sistem pencernaan dan juga bagian dari sistem pernafasan. Hal ini
merupakan jalan dari udara dan makanan. Udara masuk ke dalam rongga
mulut atau hidung melalui faring dan masuk ke dalam laring. Nasofaring
terletak di bagian posterior rongga hidung yang menghubungkannya melalui
nares posterior. Udara masuk ke bagian faring turun melewati dasar dari
faring dan selanjutnya memasuki laring.
Kontrol membukanya faring, dengan pengecualian dari esofagus dan
membukanya tuba auditiva, semua pasase pembuka masuk ke dalam faring
dapat ditutup secara volunter. Kontrol ini sangat penting dalam pernafasan
dan waktu makan, selama membukanya saluran nafas maka jalannya
pencernaan harus ditutup sewaktu makan dan menelan atau makanan akan
masuk ke dalam laring dan rongga hidung posterior.
Laring. Organ ini (kadang-kadang disebut sebagai Adam’s Apple)
terletak di antara akar lidah dan trakhea. Laring terdiri dari 9 kartilago
melingkari bersama dengan ligamentum dan sejumlah otot yang mengontrol
pergerakannya. Kartilago yang kaku pada dinding laring membentuk suatu
lubang berongga yang dapat menjaga agar tidak mengalami kolaps. Dalam
kaitan ini, maka laring membentuk trakea dan berbeda dari bangunan
berlubang lainnya. Laring masih terbuka kecuali bila pada saat tertentu
5
seperti adduksi pita suara saat berbicara atau menelan. Pita suara terletak di
dalam laring, oleh karena itu ia sebagai organ pengeluaran suara yang
merupakan jalannya udara antara faring dan laring.
Bagian laring sebelah atas luas, sementara bagian bawah sempit dan
berbentuk silinder. Kartilago laring merupakan kartilago yang paling besar
dan berbentuk V yaitu kartilago tiroid. Kartilago ini terdiri dari dua kartilago
yang cukup lebar, dimana pada bagian depan membentuk suatu proyeksi
subkutaneus yang dikenal sebagai Adam’s Apple atau penonjolan laringeal.
Kartilago ini menempel pada tulang lidah melalui membrana hyotiroidea,
suatu lembaran ligamentum yang luas dan terhadap kartilago krikoid oleh
suatu “elastic cone” suatu ligamentum yang sebagian besar terdiri dari
jaringan elastik berwarna kuning. Kartilago krikoid lebih kecil tapi lebih tebal
terdiri dari cincin depan, tetapi meluas ke dalam suatu struktur menyerupai
plat untuk membentuk bagian bawah dan belakang laring. Kartilago
arytenoid berjumlah dua buah terletak pada batas atas dari bagian yang luas
sebelah posterior krikoid. Kartilago ini kecil dan berbentuk piramid.
\
Gambar 1. Anatomi Laring
Epiglotis, kartilago yang berbentuk daun terletak di pangkal lidah dan
kartilago tiroid pada linea mediana anterior. Kartilago ini melebar secara
oblik ke belakang dan atas. Rongga laring, rongga ini dimulai pada
6
pertemuan antara faring dan laring serta ujung dari bagian bawah kartilago
krikoid dimana ruangan ini akan berlanjut dengan trakhea. Bagian ini dibagi
ke dalam dua bagian oleh vokal fold dan ventrikuler fold secara horizontal.
Vokal fold atau pita suara merupakan dua ligementum yang kuat dimana
meluas dari sudut antara bagian depan terhadap dua kartilago aritenoid
pada bagian belakang. Ventrikuler fold sering disebut sebagai pita suara
palsu yang terdiri dari lipatan membrana mukosa dan terselip suatu pita
jaringan ikat. Lipatan-lipatan berada di samping terhadap pita suara yang
asli. Ruangan di antara lipatan pita disebut sebagai glottis, bentuknya
bervariasi sesuai dengan ketegangan lipatan pita.
Fungsi laring, yaitu mengatur tingkat ketegangan dari pita suara yang
selanjutnya mengatur suara. Laring juga menerima udara dari faring
diteruskan ke dalam trakhea dan mencegah makanan dan air masuk ke
dalam trakhea. Kedua fungsi ini sebagian besar dikontrol oleh muskulus
instrinsik laring.
Otot-otot laring baik yang memisahkan vokal fold atau yang
membawanya bersama, pada kenyataannya mereka dapat menutup glotis
kedap udara, seperti halnya pada saat seseorang mengangkat beban berat
atau terjadinya regangan pada waktu defekasi dan juga pada waktu
seseorang menahan nafas pada saat minum. Bila otot-otot ini relaksasi,
udara yang tertahan di dalam rongga dada akan dikeluarkan dengan suatu
tekanan yang membukanya dengan tiba-tiba yang menyebabkan timbulnya
suara ngorok. Pengaliran udara pada trakhea, glotis hampir terbuka setiap
saat dengan demikian udara masuk dan keluar melalui laring. Namun akan
menutup pada saat menelan. Epiglotis yang berada di atas glottis berfungsi
sebagai penutup laring. Ini akan dipaksa menutup glottis bila makanan
melewatinya pada saat menelan. Epiglotis juga sangat berperan pada waktu
memasang intubasi, karena dapat dijadikan patokan untuk melihat pita
suara yang berwarna putih yang mengelilingi lubang.
Faring
7
Faring atau tenggorok merupakan struktur seperti tuba yang
menghubungkan hidung dan rongga mulut ke laring
Faring dibagi menjadi tiga region : nasal (nasofaring), oral (orofaring),
dan laring (laringofaring)
Fungsi faring adalah untuk menyediakan saluran pada traktus
respiratorius dan digestif
Trakea
o Disebut juga batang tenggorok
o Ujung trakea bercabang menjadi dua bronkus yang disebut karina
Gambar 2. Anatomi Faring, Trakea, Esofagus
2.2. DEFINISI LPR (Laryngopharyngeal Reflux)
Laryngopharyngeal Reflux/ LPR atau Refluks Laringofaring adalah keadaan
dimana asam lambung bergerak retrograd kearah esofagus bagian atas,
faring dan laring.
2.3. EPIDEMIOLOGI
8
Kejadian refluks sering ditemukan di Negara-negara barat dengan angka
kejadian 10-15% dan umumnya mengenai usia diatas 40 tahun (35%). Hal ini
berhubungan dengan pola konsumsi masyarakat barat, olahraga genetik dan
kebiasaan berobat. Qadeer dkk5 pada tahun 2005 menyebutkan bahwa
prevalensi gejala yang berhubungan dengan LPR adalah 15-20%.
Diperkirakan lebih dari 15% pasien yang datang ke spesialis THT disebabkan
oleh manifestasi dari LPR. Vaezi dkk6 pada tahun 2006 menyebutkan bahwa
insiden GERD yang berhubungan dengan gejala THT sekitar 10% di praktek.
Pada penelitian terdahulu menunjukkan bahwa prevalensi GERD pada
populasi China lebih rendah dibandingkan dengan populasi negara-negara
barat. Hal ini kemungkinan disebabkan perbedaan kebiasaan diet,
perbedaan bentuk tubuh, genetik, dan perilaku kesehatan.10 Di Amerika
Serikat GERD adalah kelainan yang umum dijumpai. Sebesar 50% orang
dewasa menderita GERD dan diperkirakan 4-10% kelainan laring kronis non
spesifik di klinik THT berhubungan dengan penyakit refluks. Tidak ditemukan
predileksi ras pada penyakit refluks. Namun prevalensi pria dibandingkan
wanita yaitu 55% dan meningkat pada usia lebih dari 44 tahun.3
2.4. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Penyebab LPR adalah adanya refluks secara retrograd dari asam lambung
atau isinya seperti pepsin kesaluran esofagus atas dan menimbulkan cedera
mukosa karena trauma langsung.3 Sehingga terjadi kerusakan silia yang
menimbulkan tertumpuknya mukus, aktivitas mendehem dan batuk kronis
akibatnya akan sebabkan iritasi dan inflamasi.4
Patofisiologi LPR sampai saat ini masih sulit dipastikan. Seperti yang
diketahui mukosa faring dan laring tidak dirancang untuk mencegah cedera
langsung akibat asam lambung dan pepsin yang terkandung pada refluxate.
Laring lebih rentan terhadap cairan refluks dibanding esofagus karena tidak
mempunyai mekanisme pertahanan ekstrinsik dan instrinsik seperti
esofagus.3
9
Dua mekanisme yang dianggap sebagai penyebab REE atau LPR akibat PRGE
ialah 12:
1. Kontak langsung refluks asam lambung dan pepsin ke esofagus
proksimal dan SEA yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring,
laring, dan paru;
2. Pajanan asam esofagus distal akan merangsang refleks vagal yang
menyebabkan terjadinya spasme bronkus, batuk, sering meludah,
menyebabkan perubahan inflamasi pada laring dan faring.
Gambar 3. Patofisiologi LPR
Ada dua otot spingter yang terletak pada esophagus, Lower
Esophageal Sphincter (LES) dan Upper Esophageal Sphincter (UES). Ketika
LES tidak bekerja dengan benar ada suatu aliran balik dari lambung berupa
asam menuju ke esophagus. Jika ini terjadi dua kali ataupun lebih dalam
seminggu, itu bisa merupakan tanda dari penyakit gastroesofaggeal refluks,
atau GERD. Tetapi apa yang terjadi ketika UES yang tidak berfungsi secara
10
benar, seperti pada LES, jika UES tidak berfungsi secara benar, asam yang
mengalir balik menuju esophagus menuju tenggorokan dan pita suara.
Ketika ini terjadi, maka inilah yang dikatakan dengan laringofageal refluks
atau LPR.
2.5. GEJALA
Pasien LPR sering datang ke ahli THT dengan keluhan tenggorok rasa nyeri
dan kering, rasa panas di pipi, sensasi ada yang menyumbat (globus
sensation), kelainan laring dengan suara serak, batuk kronik, asma.
Sedangkan pada bayi dan anak sering dibawa ke ahli THT dengan gejala dan
kelainan rinosinusitis kronik, batuk kronik, suara serak, sering meludah, rasa
tercekat di faring (globus pharyngeus), disfagia orofaring, otitis media
rekuren, batuk berulang atau batuk spasme, kelainan laring seperti
laringomalasia, stridor, dan pseudolaringomalasia, stenosis subglotis 7.
2.6. DIAGNOSA
Ditegakkan berdasarkaan riwayat penyakit (Reflux Symptoms Index/RSI) dan pemeriksaan Laring
(Reflux Finding Score/ RFS). Akan tetapi pemeriksaan penunjang sering digunakan untuk
menegakkan diagnosis.3 Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa
LPR adalah 24 hour Ph monitoring dengan double/triple probe, minimal menggunakan 1 probe
di atas sfingter esofagus atas. Pemeriksaan laringoskopi fleksibel fiberoptik, videolaringoskopi,
video stroboskopi dan laringoskopi kaku merupakan pemeriksaan yang sensitif terhadap refluks
laringofaring 7.
a. Riwayat Penyakit
Hal yang penting ditanyakan apakah ada perubahan suara terutama perubahan suara yang
intermitten di siang hari. Jika ada keluhan ini perlu ada kecurigaan akan LPR. 1 Gejala lain yang
sering dikeluhkan pasien adalah rasa seperti tersangkut di tenggorok (Globus sensation),
mendehem (throat clearing), batuk dan suara serak. Gejala lain seperti nyeri tenggorok,
penumpukan dahak di tenggorok, obstruksi jalan nafas intermiten, post nasal drip, wheezing,
11
halitosis dan disfagia dapat timbul.3 Suara serak merupakan gejala utama pada LPR yang paling
nyata dan utama.
Gejala-gejala yang tidak spesifik lain dapat disebabkan kondisi lain seperti keeadaan
alergi dan kebiasaan merokok. Gerakan paradoks dari pita suara dan spasme laring juga dapat
dikarenakan LPR sehingga perlu ditanyakan apakah pasien mempunyai masalah pernafasan
dan perubahan suara.1 Asma dan sinusitis dapat merupakan gejala lain LPR. Refluks sering
dianggap sebagai faktor yang dapat mencetuskan asma. Pada pasien yang asam lambungnya
dapat ditekan terlihat ada perbaikan fungsi paru dan perbaikan keluhan pada kasus asma
78%.1 Gejala-gejala esofagus yang dapat ditemui pada pasien LPR seperti rasa seperti
terbakar di dada 37 % dan regurgitasi 3%.3 riwayat mengkonsumsi obat gastritis seperti
antasida perlu ditanyakan serta riwayat suka mengkonsumsi makanan pedas. Pertanyaan
seperti ini membantu penegakan diagnosis penyakit refluk karena pasien sering datang
dengan keluhan yang tidak pasti. Pola hidup seperti kebiasaan merokok dan mengkonsumsi
alkohol, 92% ditemukan pada pasien dengan penyakit refluks. Rokok dan alkohol
ditenggarai sebagai salah satu penyebab penurunan tekanan esofagus bawah, kelemahan
tahanan mukosa, memanjangnya waktu pengosongan lambung dan merangsang sekresi
lambung.1
Belfasky (2002) seperti dikutip4 menyatakan ada 9 gejala refluks (Reflux Symptom
Index/RSI) yang dapat digunakan untuk menentukan adanya gejala LPR dan derajat
sebelum dan sesudah terapi. Gejala yang sering muncul seperti suara serak, mendehem,
penumpukan dahak di tenggorok atau post nasal drip, sukar menelan, batuk setelah makan,
sulit bernafas atau tersedak, batuk yang sangat mengganggu, rasa mengganjal dan rasa
panas di tenggorok, nyeri dada atau rasa asam naik ke tenggorok.
Gejala tersering pada LPR adalah suara serak 71%, batuk 51% dan rasa mengganjal
di tenggorok (globus faringeus) 47%. Pasien karsinoma laring ditemukan riwayat LPR
58% dan stenosis subglotik 56%.1 Skor RSI adalah 0-45 dengan skor ≥ 13 curiga LPR.
12
Gambar 4. Reflux Symptom Index (RSI)
b. Pemeriksaan Fisik
Keadaan laring yang dicurigai teriritasi asam seperti hipertrofi komissura
posterior, globus faringeus, nodul pita suara, laringospasme, stenosis
subglotik dan karsinoma laring. Untuk melihat gejala LPR pada laring dan
pita suara perlu pemeriksaan Laringoskopi. Gejala paling bermakna seperti
adanya eritema, edema dan hipertrofi komissura posterior.
Belfasky (2002) membuat tabel penilaian gejala LPR melalui
pemeriksaan laringoskop fleksibel (Reflux Finding Score/ RFS). Skor dimulai
dari nol (tidak ada kelainan) dengan nilai maksimal 26 dan jika nilai RFS ≥7
dengan tingkat keyakinan 95% dapat di diagnosis sebagai LPR. Nilai ini juga
dapat dengan baik memprakirakan efektifitas pengobatan pasien.2
13
Gambar 5. Reflux Finding Score
Laringitis posterior ditemukan pada 74% kasus begitu juga udem serta
eritema laring dijumpai pada 60% kasus LPR.4 Dapat juga terjadi hipertrofi
mukosa interaritenoid dan pada kasus lanjutan dapat berkembang menjadi
hyperkeratosis epitel pada komissura posterior. Granuloma (gambar 6) dan
nodul pita suara dapat terjadi pada kasus-kasus yang tidak diobati.1
Gambar 6. Granuloma
Udem subglotik (Pseudosulkus vokalis-gambar 7) ditemui pada 90%
kasus, adalah udem subglotik dimulai dari komissura anterior meluas sampai
laring posterior.2 Obliterasi ventrikel (gambar 8) ditemukan pada 80% kasus.
14
Dinilai menjadi parsial atau komplit. Pada obliterasi parsial ditemukan
gambaran pemendekan jarak ruang ventrikel dan batas pita suara palsu
memendek. Sedangkan paada keadaan komplit ditemukan pita suara asli
dan palsu seperti bertemu dan tidak terlihat adanya ruang ventrikel.2
Gambar 7. Pseudosulkus vocalis dan Obliterasi ventrikel
Eritema atau laring yang hiperemis merupakan gambaran LPR yang
tidak spesifik. Sangat tergantung kualitas alat endoskopi seperti kualitas
sumber cahaya, monitor video dan kualitas endoskop fleksibel sendiri jadi
kadang-kadang sulit terlihat.2 Edema pita suara dinilai tingkatannya. Gradasi
ringan (nilai 1) jika hanya ada pembengkakan ringan, nilai 2 jika
pembengkakan nyata dan gradasi berat jika ditemukan pembengkakan yang
lebih berat dan menetap sedangkan nilai 4 (gradasi sangat berat) jika
ditemukan degenerasi polipoid pita suara.2
Gambar 8. Laring Hiperemis dan Polipoid Cord
15
Udem laring yang difus dinilai dari perbandingan antara ukuran laring
dengan ukuran jalan nafas, penilaian mulai nari nol sampai nilai 4
(obstruksi). Hipertrofi komissura posterior gradasi ringan (nilai 1) jika
komissura posterior terlihat seperti “kumis”, nilai 2 (gradasi sedang) jika
komisura posterior bengkak sehingga seperti membentuk garis lurus pada
belakang laring. Gradasi berat (nilai 3) jika terlihat penonjolan laring
posterior kearah jalan nafas dan gradasi sangat berat apabila terlihat ada
obliterasi ke arah jalan nafas.2
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Laringoskop Fleksibel
Merupakan pemeriksaan utama untuk mendiagnosis LPR. Biasanya
yang digunakan adalah laringoskop fleksibel karena lebih sensitif dan
mudah dikerjakan di poliklinik dibandingkan laringoskop rigid.
2. Pemeriksaan 24 Hour Monitoring dengan Double/Triple Probe
Dual probe pH monitoring dengan probe 5 cm di bawah SEB dan probe
kedua 20 cm di atas esofagus proksimal sedikit di bawah SEA
merupakan prosedur pilihan untuk pasien dengan gejala otolaringologi
akibat PRGE.
Pemeriksaan ini dianjurkan
pada keadaan pasien dengan
keluhan LPR tetapi pada
pemeriksaan klinis tidak ada
kelainan. Pemeriksaan ini sangat
sensitif dalam mendiagnosis
refluks karena pemeriksaan ini
secara akurat dapat membedakan
adanya refluks asam pada sfingter
esofagus atas dengan dibawah
sehingga dapat menentukan
adanya LPR atau GERD. Pajanan asam esofagus bagian distal yang
abnmormal dapat dicatat pada posisi tegak dan tidur telentang,
16
Gambar 9. Monitoring pH 24 jam
menunjukkan bahwa ada aspirasi, sehingga dapat dikatakan gejala
otolaringologi diakibatkan oleh PRGE.
Kelemahan pemeriksaan ini adalah mahal, invasif dan tidak
nyaman dan dapat ditemukan hasil negative palsu sekitar 20%. Hal ini
dikarenakan pola refluks pada pasien LPR yang intermittent atau
berhubungan dengan gaya hidup sehingga kejadian refluks dapat
tidak terjadi saat pemeriksaan. Pemeriksaan ini hanya dapat menilai
refluks asam sedangkan refluks non asam tidak terdeteksi.
Pemeriksaan ini disarankan pada pasien yang tidak respons terhadap
pengobatan supresi asam.
3. Endoskopi
Dengan menggunakan esofagoskop dapat membantu dalam
penegakan diagnosis. Gambaran esofagitis hanya ditemukan sekitar
30% pada kasus LPR. Gambaran yang patut dicurigai LPR adalah jika
kita temukan gambaran garis melingkar “barret” dengan atau tanpa
adanya inflamasi esofagus.3
Pemeriksaan endoskopi tidak dilakukan secara rutin sebagai
pemeriksaan awal pada pasien dengan suspek PRGE dengan
manifestasi penyakit otolaringologi dan tidak merupakan prasyarat
untuk memulai terapi medik.
Indikasi Pemeriksaan Endoskopi :
- Pasien dengan gejala tanda bahaya antara lain disfagia, odinofagia,
BB menurun, anemia, perdarahan GI tract (untuk menyingkirkan
kelainan GI tract), metaplasi Barret, dan komplikasi lain;
- Pasien yang tidak ada respon dengan terapi medik, pasien yang
mengalami gejala lebih dari 5 tahun untuk menilai prognosis terapi
medik.
4. Pemeriksaan Videostroboskopi
Pemeriksaan video laring dengan menggunakan endoskop sumber
cahaya xenon yang diaktifasi oleh pergerakan pita suara. Gambaran
ini dapat dilihat dengan gerakan lambat.
17
5. Pemeriksaan Histopatologi
Pada biopsi laring ditemukan gambaran hyperplasia epitel skuamosa
dengan inflamasi kronik pada submukosa. Gambaran ini dapat
berkembang menjadi atopi dan ulserasi epitel serta penumpukan
fibrin, jaringan granulasi dan fibrotik didaerah submukosa.4
6. Barium Esofagografi
Pemeriksaan Barius esofagogram dengan kontras ganda berguna
untuk:
- Menilai penebalan lipatan mukosa esofagus, adanya erosi atau
ulkus;
- Menentukan hernia hiatus, sehingga SEB berada di atas diafragma;
- Menentukan barium ke atau di atas karina atau ke dalam rongga
toraks, sehingga diduga terjadi aspirasi yang merupakan petunjuk
adanya manifestasi laringitis oleh PRGE;
- Mengevaluasi suspek komplikasi PRGE, seperti motilitas abnormal
atau striktur peptik, sumbatan berupa cincin, selaput, atau
keganasan.
Kelemahannya pemeriksaan ini tidak dapat menilai refluks yang
intermiten.4 pemeriksaan ini dianjurkan pada keadaan jika pengobatan
gagal, terdapat indikasi klinis kearah GERD, disfungsi esofagus atau
diagnosis yang belum pasti.
7. Laringoskop direct
Pemeriksaan ini memerlukan anestesi umum dan dilakukan diruangan
operasi. Dapat melihat secara langsung struktur laring dan jaringan
sekitarnya serta dapat dilakukan tindakan biopsi. 1
2.7. PERBEDAAN GERD DENGAN LPR
Banyak fakyor yang mempengaruhi keadaan GERD dan LPR yaitu sensitifitas
jaringan, keadaan fungsi sfingter esofagus dan lamanya paparan.
Mekanisme pasti LPR masih belum dapat disimpulkan dengan pasti. Akan
18
tetapi yang dianggap berperan seperti disfungsi sfingter esofagus atas dan
berkaitan erat dengan posisi badan tegak. Berbeda pada GERD dimana
keluhan sering timbul saat berbaring dan berhubungan dengan kelainan
sfingter esofagus bawah. Perbedaan lain yang mencolok adalah keluhan rasa
terbakar di dada dan esofagitis sangat jarang ditemukan pada kasus LPR
dibandingkan dengan GERD. Keluhan rasa terbakar di dada ditemukan
kurang dari 40% kasus LPR sedangkan gejala esofagitis hanya 25%.1 Pada
LPR refluks bersifat intermiten dengan motilitas esofagus yang normal
sedangkan GERD refluks bersifat lebih lama dengan gangguan motilitas
esofagus sering ditemukan.
Refluks pada LPR sering terjadi pada siang sedangkan kasus GERD,
refluks biasanya malam hari. Defek sfingter esofagus bawah dijumpai pada
GERD sedangkan pada LPR terjadi disfungsi sfingter atas esofagus. Dari segi
pengobatan kedua penyakit ini mirip namun medikamentosa LPR lebih lama
dan agresif dibandingkan penanganan GERD.
2.8. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan adalah : 1) menghilangkan gejala, 2) menyembuhkan
kerusakan, 3) mengatasi komplikasi, dan 4) mencegah remisi kembali.
Terapi pada LPR harus merupakan kombinasi modifikasi gaya hidup dan diet,
2) terapi farmakologik, dan 3) terapi bedah antirefluks.
1. Modifikasi Gaya Hidup dan Diet
- Meninggikan kepala 10-20 cm sewaktu berbaring;
- Hindari pakaian yang ketat;
- Stop merokok;
- Kurangi stres;
- Diet
o Rendah lemak, tinggi protein
o Hindari makanan spesifik yang mengiritasi esofagus dan
lambung, jus citrus, produk tomat, kopi, teh, alkohol, cola,
bawang;
19
o Tidak makan 2 jam sebelum tidur;
o Hindari coklat (dapat menurunkan tekanan SEB);
o Hindari makanan pedas
2. Terapi Farmakologik
Ada 4 kategori golongan obat yang digunakan untuk penggunaan terapi
LPR, yaitu antisekretorik yang terdiri dari PPI (proton pump inhibitor) atau
H2-receptor antagonist, prokinetik, dan sitoprotektan 8. Proton Pump
Inhibitor (PPI) atau penghambat pompa proton merupakan terapi LPR
yang utama dan paling efektif dalam menangani kasus refluks. Cara kerja
PPI dengan menurunkan kadar ion hidrogen cairan refluks tetapi tidak
dapat menurunkan jumlah dan durasi refluks. PPI dapat menurunkan
refluks asam lambung sampai lebih dari 80%. Akan tetapi efektifitas obat
terhadap LPR tidak seoptimal efektifitasnya pada kasus GERD.
Umumnya pasien dengan refluks laringofaring dan mnifestasi
ekstraesofagus lainnya dari PRGE memerlukan dosis terapi yang lebih
lebih tinggi, biasanya dengan PPI 2x sehari untuk periode lebih lama
dibandingkan dengan terapi terhadap rasa panas di dada dan refluks
esofagitis. Dosis yang diberikan adalah PPI 2x/hari (Omeprazole 20 mg
atau lansoprazole 30 mg) untuk 8-12 minggu 7.
Sebagai pengganti dari PPI, H2 receptor antagonist dapat digunakan
meskipun pengguanaannya tidak seefektif pada pemberian PPI. Ranitidine
merupakan salah satu H2 receptor antagonist yang lebih baik dalam
mencegah sekresi asam lambung dibandingkan dengan simetidine,
meskipun pada dasarnya penggunaannya terbatas. Dosis yang dapat
diberikan kepada pasien LPR adalah 2 x 150 mg/hari untuk pasien dengan
penyakit simtomatik non esofagitis erosif, atau 4 x 150 mg/hari untuk
pasien esofagitis erosif 7.
Obat proteksi sel atau sitoprotektan dapat mentralisir refluksat asam,
mengurasi kerusakan mukosa dan mencegah aktivitas pepsin,
mempunyai efek paling sidikit terapi memerlukan pembesaran dosis
20
berulang. Obat sukralfat misalnya, dapat digunakan sebagai sitoprotektor 7.
Obat prokinetik yang dapat digunakan untuk terapi LPR adalah
metoclopramide 5-10 mg 4 x perhari; cisapride 10 mg 4 x perhari.
Metoclopramide: berupa antagonis dopamine, dapat memperbaiki
pengosongan lambung, peristaltik esofagus dan meninggikan tekanan
SEB, tetapi mempunyai efek samping ekstapiramidal dan sedatif.
Sedangkan Cisapride adalah obat kolinergik pilihan yang dapat
melepaskan asetilkolin dari pleksus mienterik, menghilangkan efeks
ekstrapiramidal dan sedatif dari Metoclopramide, dapat menekan
produksi asam lambung dan efektif digunakan untuk gangguan saluran
napas yang kronik pada anak 7.
3. Terapi Bedah Antirefluks 7
Pembedahan yang digunakan untuk terapi antirefluks adalah Nissen
Fundoplication, Hells Gastropexy, Belsey Merk IV. Laparoscopic Nissen
Fundoplication merupakan bedah standar, aman dan efektif serta paling
sering dilakukan pada PRGE dan REE.
Indikasi terapi bedah untuk kasus-kasus tertentu, antara lain:
- PRGE refrakter/persisten yang gagal terapi medik;
- Malnutrisi berat;
- Infeksi saluran napas rekuren;
- Striktur esofagus yang gagal dengan terapi dilatasi;
- Esofagus Barret
Tujuan terapi bedah anti refluks berdasarkan anatomi yaitu:
- Memperbaiki kompetensi kardia dengan menambah panjang dan
tekanan SEB;
- Mengurangi diameter esofagus;
- Mengatasi distensi lambung (gaster distention).
21
Gambar 10. Laparoscopic Nissen Fundolication
2.9. KOMPLIKASI
LPR dapat merupakan faktor pencetus munculnya penyakit seperti faringitis,
sinusitis, asma, pneumonia, batuk di malam hari, penyakit gigi dan
keganasan laring. Salah satu komplikasi yang patut diwaspadai dan
mengancam nyawa adalah stenosis laring. Riwayat LPR ditemukan pada 75%
pasien stenosis laring dan trakea.9
2.10.PROGNOSIS
Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan catatan
terapi harus diikuti dengan modifikasi diet yang ketat dan gaya hidup. Dari
salah satu kepustakaan menyebutkan angka keberhasilan pada pasien
dengan laryngitis posterior berat sekitar 83% setelah diberikan terapi 6
minggu dengan omeprazol. Dan sekitar 79% kasus alami kekambuhan
22
setelah berhenti berobat. Sedangkan prognosis keberhasilan dengan
menggunakan Lansoprazole 30 mg 2 kali sehari selama 8 minggu
memberikan angka keberhasilan 86% 9.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan diatas, adalah:
23
1. Refluks Laring Faring/ Laryngopharyngeal Reflux (LPR) dapat didefinisikan sebagai
pergerakan asam lambung secara retrograd menuju faring dan laring serta saluran
pencernaan atas;
2. Prevalensi pria dibandingkan wanita yaitu 55% : 45% dan meningkat pada usia lebih dari
44 tahun;
3. Penyebab LPR adalah refluks retrograd dari asam lambung atau isinya pepsin ke saluran
esofagus atas dan menimbulkan cedera mukosa karena trauma langsung sehingga terjadi
kerusakan silia yang menimbulkan tertumpuknya mukus, aktivitas mendehem dan batuk
kronis akibatnya akan terjadi iritasi dan inflamasi;
4. Diagnosis ditegakkan berdasarkaan gejala klinis (Reflux Symptoms Index/RSI) dan
pemeriksaan Laring (Reflux Finding Score/ RFS);
5. Skor RSI pada kecurigaan LPR adalah skor ≥ 13 dan skor RFS ≥7;
6. Laringoskopi fleksibel merupakan pemeriksaan utama untuk mendiagnosis LPR karena
lebih sensitif dan mudah dikerjakan di poliklinik;
7. Penatalaksanaan LPR meliputi medikamentosa dengan obat-obatan anti refluks,
perubahan gaya hidup dengan modifikasi diet serta secara bedah dengan operasi
funduplikasi;
8. 10. Proton Pump Inhibitor (PPI) terapi LPR yang utama dan paling efektif dalam
menangani kasus refluks disamping modifikasi gaya hidup;
9. Rekomendasi dosis PPI adalah 2 kali dosis GERD dengan rentang waktu 8 sampai 12
minggu;
10. Derivat PPI yang ampuh adalah Lansoprazol yang dianggap lebih maksimal dalam
menekan asam lambung.
11. Dapat juga dikombinasikan dengan zat proteksi mukosa, sukralfat misalnya dapat
digunakan untuk melindungi mukosa dari cedera akibat asam dan pepsin.
DAFTAR PUSTAKA
24
1. Diamond L, Laryngopharyngeal reflux-It’s not GERD. JAAPA. 2005; 18 (8):
50-53.
2. Belafsky PC, Postman G, Koufman JA. The validity and Reability of the
Reflux Finding Score (RFS). Laryngoscope. 2001; 111: 1313-17.
3. Koufman JA et al. Laryngopharyngeal reflux: Position statement of the
committee on Speech, Voice and Swallowing Disorders of the American
Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery. Otolaryngology-
Head and Neck Surgery. 2002. 127 (1): 32-35.
4. Atlas Anatomi SOBOTA. Jakarta: EGC
5. Tokashiki R et al. the relationship between esophagoscopic findings and
total acid reflux time below pH 4 and pH 5 in the upper esofagus in
patients with laryngopharyngeal reflux disease (LPRD). Auris Nasus
Larynx. 2005. 32: 265-68.
6. Vaezi MF et al. Treatment of chronic posterior laryngitis with
esomeprazole. Laryngoscope 2006. 116: 254-260.
7. Mariana, HY. 2007. Penyakit Refluks Gastroesofagus dengan Mnifestasi
Otolaringologi dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala, dan Leher, edisi keenam. Jakarta: BP UI
8. Ford C N, Evaluation & Management of Laryngopharyngeal Reflux,
available from http://jama.ama-assn.org
9. Irfandy Dolly. 2010. Laryngopharyngeal Reflux. Bagian Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/ RSUP M Djamil
Padang
25