ref. lpr

32
REFERAT Laryngopharyngeal Reflux OLEH : FARIZKY BASKORO 1102011100 PEMBIMBING dr. Budhy P. Sp.THT-KL, M.kes TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT RSUD CILEGON FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI OKTOBER 2015 1

Upload: farizky-baskoro

Post on 02-Feb-2016

256 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

abc

TRANSCRIPT

Page 1: ref. LPR

REFERAT

Laryngopharyngeal Reflux

OLEH :

FARIZKY BASKORO

1102011100

PEMBIMBING

dr. Budhy P. Sp.THT-KL, M.kes

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT

RSUD CILEGON

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

OKTOBER 2015

1

Page 2: ref. LPR

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan ke Tuhan Yang Maha Esa, yang dengan

pertolongan-Nya, referat yang berjudul “Laryngopharyngeal Reflux” dapat selesai disusun.

Referat ini disusun sebagai sarana diskusi dan pembelajaran, serta diajukan guna untuk

memenuhi persyaratan penilaian di kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit THT RSUD Kota Cilegon.

Penghargaan dan rasa terima kasih disampaikan kepada dr. Budhy P, Sp.THT-KL, M.kes

yang telah memberikan dorongan, bimbingan dan pengarahan dalam pembuatan referat ini.

Penyusun juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik

secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan referat ini.

Penyusun menyadari bahwa dalam referat ini masih jauh dari sempurna, baik mengenai

isi, susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan

dan pengalaman dari penyusun dalam mengerjakan referat ini. Oleh karena itu penyusun

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan referat ini.

Semoga referat ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan

ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Akhir kata dengan mengucapkan Alhamdulillah, semoga Allah SWT selalu meridhoi kita

semua dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Cilegon, Oktober 2015

Penyusun

2

Page 3: ref. LPR

Daftar isi

Kata pengantar ……………………………………………………………………… 2

Daftar isi …………………………………………………………………….... 3

Bab I Pendahuluan ……………………………………………………………………… 4

Bab II Tinjauan Pustaka .........................................................................................................5

Bab III Kesimpulan ............................................................................................................21

Daftar pustaka ...........................................................................................................22

3

Page 4: ref. LPR

BAB I

PENDAHULUAN

Refluks menurut literatur adalah aliran balik. Kata ini diambil dari bahasa

latin yaitu “re” yang bermakna balik atau kembali dan “fluere” yang artinya

mengalir. Refluks Laring Faring/ Laryngopharyngeal Reflux (LPR) dapat

didefinisikan sebagai pergerakan asam lambung secara retrograd menuju

faring dan laring serta saluran pencernaan atas. LPR dapat menyebabkan

iritasi dan perubahan pada laring.1,2

Pada tahun 1996, Koufman3 dkk memperkenalkan istilah penyakit

refluks laring faring (LPR) untuk penyakit ini. Amerika Serikat beranggapan

LPR merupakan bentuk lain dari Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

karena pada pasien LPR tidak perlu ditemukan gejala spesifik GERD seperti

rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi. Lebih jauh lagi pada

kebanyakan pasien dengan LPR refluks asam di esofagus bagian bawah

normal dan pasien LPR tidak didiagnosis sebagai GERD.

Walaupun penyebab kedua penyakit tersebut sama, LPR harus

dibedakan dari GERD. Pasien dengan LPR biasanya mempunyai keluhan di

daerah kepala dan leher sedangkan pada GERD biasanya didapatkan

keluhan klasik seperti esofagitis dan rasa panas di dada (heartburn).

Perbedaan ini menyebabkan kedua penyakit tersebut memerlukan

pengobatan yang agak berbeda.1

Dikenal berbagai istilah LPR seperti GERD supraesofagus, GERD atipikal,

komplikasi ekstra esofagus dari GERD, refluks laryngeal, gastrofaringeal

refluks, refluks supraesofageal dan refluks ekstraesofageal. Sekarang LPR

dianggap sebagai penyakit yang berbeda dan memerlukan penatalaksanaan

yang berbeda pula.3 Inflamasi jaringan laring yang disebabkan LPR mudah

rusak karena intubasi sehingga mempermudah progesifitas menjadi

granuloma dan dapat berubah menjadi stenosis subglotik.1

4

Page 5: ref. LPR

Dalam menentukan diagnosis LPR perlu dilakukan anamnesis yang teliti,

pemeriksaan penunjang seperti laringoskopi fleksibel, pH dan lain-lain.1

Pengobatan LPR meliputi kombinasi diet, modifikasi perilaku, antasida,

antagonis reseptor H2, proton pump inhibitor (PPI) dan tindakan bedah.2

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. ANATOMI 4

Hubungan faring dengan proses respirasi. Faring yang adalah bagian

dari sistem pencernaan dan juga bagian dari sistem pernafasan. Hal ini

merupakan jalan dari udara dan makanan. Udara masuk ke dalam rongga

mulut atau hidung melalui faring dan masuk ke dalam laring. Nasofaring

terletak di bagian posterior rongga hidung yang menghubungkannya melalui

nares posterior. Udara masuk ke bagian faring turun melewati dasar dari

faring dan selanjutnya memasuki laring.

Kontrol membukanya faring, dengan pengecualian dari esofagus dan

membukanya tuba auditiva, semua pasase pembuka masuk ke dalam faring

dapat ditutup secara volunter. Kontrol ini sangat penting dalam pernafasan

dan waktu makan, selama membukanya saluran nafas maka jalannya

pencernaan harus ditutup sewaktu makan dan menelan atau makanan akan

masuk ke dalam laring dan rongga hidung posterior.

Laring. Organ ini (kadang-kadang disebut sebagai Adam’s Apple)

terletak di antara akar lidah dan trakhea. Laring terdiri dari 9 kartilago

melingkari bersama dengan ligamentum dan sejumlah otot yang mengontrol

pergerakannya. Kartilago yang kaku pada dinding laring membentuk suatu

lubang berongga yang dapat menjaga agar tidak mengalami kolaps. Dalam

kaitan ini, maka laring membentuk trakea dan berbeda dari bangunan

berlubang lainnya. Laring masih terbuka kecuali bila pada saat tertentu

5

Page 6: ref. LPR

seperti adduksi pita suara saat berbicara atau menelan. Pita suara terletak di

dalam laring, oleh karena itu ia sebagai organ pengeluaran suara yang

merupakan jalannya udara antara faring dan laring.

Bagian laring sebelah atas luas, sementara bagian bawah sempit dan

berbentuk silinder. Kartilago laring merupakan kartilago yang paling besar

dan berbentuk V yaitu kartilago tiroid. Kartilago ini terdiri dari dua kartilago

yang cukup lebar, dimana pada bagian depan membentuk suatu proyeksi

subkutaneus yang dikenal sebagai Adam’s Apple atau penonjolan laringeal.

Kartilago ini menempel pada tulang lidah melalui membrana hyotiroidea,

suatu lembaran ligamentum yang luas dan terhadap kartilago krikoid oleh

suatu “elastic cone” suatu ligamentum yang sebagian besar terdiri dari

jaringan elastik berwarna kuning. Kartilago krikoid lebih kecil tapi lebih tebal

terdiri dari cincin depan, tetapi meluas ke dalam suatu struktur menyerupai

plat untuk membentuk bagian bawah dan belakang laring. Kartilago

arytenoid berjumlah dua buah terletak pada batas atas dari bagian yang luas

sebelah posterior krikoid. Kartilago ini kecil dan berbentuk piramid.

\

Gambar 1. Anatomi Laring

Epiglotis, kartilago yang berbentuk daun terletak di pangkal lidah dan

kartilago tiroid pada linea mediana anterior. Kartilago ini melebar secara

oblik ke belakang dan atas. Rongga laring, rongga ini dimulai pada

6

Page 7: ref. LPR

pertemuan antara faring dan laring serta ujung dari bagian bawah kartilago

krikoid dimana ruangan ini akan berlanjut dengan trakhea. Bagian ini dibagi

ke dalam dua bagian oleh vokal fold dan ventrikuler fold secara horizontal.

Vokal fold atau pita suara merupakan dua ligementum yang kuat dimana

meluas dari sudut antara bagian depan terhadap dua kartilago aritenoid

pada bagian belakang. Ventrikuler fold sering disebut sebagai pita suara

palsu yang terdiri dari lipatan membrana mukosa dan terselip suatu pita

jaringan ikat. Lipatan-lipatan berada di samping terhadap pita suara yang

asli. Ruangan di antara lipatan pita disebut sebagai glottis, bentuknya

bervariasi sesuai dengan ketegangan lipatan pita.

Fungsi laring, yaitu mengatur tingkat ketegangan dari pita suara yang

selanjutnya mengatur suara. Laring juga menerima udara dari faring

diteruskan ke dalam trakhea dan mencegah makanan dan air masuk ke

dalam trakhea. Kedua fungsi ini sebagian besar dikontrol oleh muskulus

instrinsik laring.

Otot-otot laring baik yang memisahkan vokal fold atau yang

membawanya bersama, pada kenyataannya mereka dapat menutup glotis

kedap udara, seperti halnya pada saat seseorang mengangkat beban berat

atau terjadinya regangan pada waktu defekasi dan juga pada waktu

seseorang menahan nafas pada saat minum. Bila otot-otot ini relaksasi,

udara yang tertahan di dalam rongga dada akan dikeluarkan dengan suatu

tekanan yang membukanya dengan tiba-tiba yang menyebabkan timbulnya

suara ngorok. Pengaliran udara pada trakhea, glotis hampir terbuka setiap

saat dengan demikian udara masuk dan keluar melalui laring. Namun akan

menutup pada saat menelan. Epiglotis yang berada di atas glottis berfungsi

sebagai penutup laring. Ini akan dipaksa menutup glottis bila makanan

melewatinya pada saat menelan. Epiglotis juga sangat berperan pada waktu

memasang intubasi, karena dapat dijadikan patokan untuk melihat pita

suara yang berwarna putih yang mengelilingi lubang.

Faring

7

Page 8: ref. LPR

Faring atau tenggorok merupakan struktur seperti tuba yang

menghubungkan hidung dan rongga mulut ke laring

Faring dibagi menjadi tiga region : nasal (nasofaring), oral (orofaring),

dan laring (laringofaring)

Fungsi faring adalah untuk menyediakan saluran pada traktus

respiratorius dan digestif

Trakea

o Disebut juga batang tenggorok

o Ujung trakea bercabang menjadi dua bronkus yang disebut karina

Gambar 2. Anatomi Faring, Trakea, Esofagus

2.2. DEFINISI LPR (Laryngopharyngeal Reflux)

Laryngopharyngeal Reflux/ LPR atau Refluks Laringofaring adalah keadaan

dimana asam lambung bergerak retrograd kearah esofagus bagian atas,

faring dan laring.

2.3. EPIDEMIOLOGI

8

Page 9: ref. LPR

Kejadian refluks sering ditemukan di Negara-negara barat dengan angka

kejadian 10-15% dan umumnya mengenai usia diatas 40 tahun (35%). Hal ini

berhubungan dengan pola konsumsi masyarakat barat, olahraga genetik dan

kebiasaan berobat. Qadeer dkk5 pada tahun 2005 menyebutkan bahwa

prevalensi gejala yang berhubungan dengan LPR adalah 15-20%.

Diperkirakan lebih dari 15% pasien yang datang ke spesialis THT disebabkan

oleh manifestasi dari LPR. Vaezi dkk6 pada tahun 2006 menyebutkan bahwa

insiden GERD yang berhubungan dengan gejala THT sekitar 10% di praktek.

Pada penelitian terdahulu menunjukkan bahwa prevalensi GERD pada

populasi China lebih rendah dibandingkan dengan populasi negara-negara

barat. Hal ini kemungkinan disebabkan perbedaan kebiasaan diet,

perbedaan bentuk tubuh, genetik, dan perilaku kesehatan.10 Di Amerika

Serikat GERD adalah kelainan yang umum dijumpai. Sebesar 50% orang

dewasa menderita GERD dan diperkirakan 4-10% kelainan laring kronis non

spesifik di klinik THT berhubungan dengan penyakit refluks. Tidak ditemukan

predileksi ras pada penyakit refluks. Namun prevalensi pria dibandingkan

wanita yaitu 55% dan meningkat pada usia lebih dari 44 tahun.3

2.4. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Penyebab LPR adalah adanya refluks secara retrograd dari asam lambung

atau isinya seperti pepsin kesaluran esofagus atas dan menimbulkan cedera

mukosa karena trauma langsung.3 Sehingga terjadi kerusakan silia yang

menimbulkan tertumpuknya mukus, aktivitas mendehem dan batuk kronis

akibatnya akan sebabkan iritasi dan inflamasi.4

Patofisiologi LPR sampai saat ini masih sulit dipastikan. Seperti yang

diketahui mukosa faring dan laring tidak dirancang untuk mencegah cedera

langsung akibat asam lambung dan pepsin yang terkandung pada refluxate.

Laring lebih rentan terhadap cairan refluks dibanding esofagus karena tidak

mempunyai mekanisme pertahanan ekstrinsik dan instrinsik seperti

esofagus.3

9

Page 10: ref. LPR

Dua mekanisme yang dianggap sebagai penyebab REE atau LPR akibat PRGE

ialah 12:

1. Kontak langsung refluks asam lambung dan pepsin ke esofagus

proksimal dan SEA yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring,

laring, dan paru;

2. Pajanan asam esofagus distal akan merangsang refleks vagal yang

menyebabkan terjadinya spasme bronkus, batuk, sering meludah,

menyebabkan perubahan inflamasi pada laring dan faring.

Gambar 3. Patofisiologi LPR

Ada dua otot spingter yang terletak pada esophagus, Lower

Esophageal Sphincter (LES) dan Upper Esophageal Sphincter (UES). Ketika

LES tidak bekerja dengan benar ada suatu aliran balik dari lambung berupa

asam menuju ke esophagus. Jika ini terjadi dua kali ataupun lebih dalam

seminggu, itu bisa merupakan tanda dari penyakit gastroesofaggeal refluks,

atau GERD. Tetapi apa yang terjadi ketika UES yang tidak berfungsi secara

10

Page 11: ref. LPR

benar, seperti pada LES, jika UES tidak berfungsi secara benar, asam yang

mengalir balik menuju esophagus menuju tenggorokan dan pita suara.

Ketika ini terjadi, maka inilah yang dikatakan dengan laringofageal refluks

atau LPR.

2.5. GEJALA

Pasien LPR sering datang ke ahli THT dengan keluhan tenggorok rasa nyeri

dan kering, rasa panas di pipi, sensasi ada yang menyumbat (globus

sensation), kelainan laring dengan suara serak, batuk kronik, asma.

Sedangkan pada bayi dan anak sering dibawa ke ahli THT dengan gejala dan

kelainan rinosinusitis kronik, batuk kronik, suara serak, sering meludah, rasa

tercekat di faring (globus pharyngeus), disfagia orofaring, otitis media

rekuren, batuk berulang atau batuk spasme, kelainan laring seperti

laringomalasia, stridor, dan pseudolaringomalasia, stenosis subglotis 7.

2.6. DIAGNOSA

Ditegakkan berdasarkaan riwayat penyakit (Reflux Symptoms Index/RSI) dan pemeriksaan Laring

(Reflux Finding Score/ RFS). Akan tetapi pemeriksaan penunjang sering digunakan untuk

menegakkan diagnosis.3 Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa

LPR adalah 24 hour Ph monitoring dengan double/triple probe, minimal menggunakan 1 probe

di atas sfingter esofagus atas. Pemeriksaan laringoskopi fleksibel fiberoptik, videolaringoskopi,

video stroboskopi dan laringoskopi kaku merupakan pemeriksaan yang sensitif terhadap refluks

laringofaring 7.

a. Riwayat Penyakit

Hal yang penting ditanyakan apakah ada perubahan suara terutama perubahan suara yang

intermitten di siang hari. Jika ada keluhan ini perlu ada kecurigaan akan LPR. 1 Gejala lain yang

sering dikeluhkan pasien adalah rasa seperti tersangkut di tenggorok (Globus sensation),

mendehem (throat clearing), batuk dan suara serak. Gejala lain seperti nyeri tenggorok,

penumpukan dahak di tenggorok, obstruksi jalan nafas intermiten, post nasal drip, wheezing,

11

Page 12: ref. LPR

halitosis dan disfagia dapat timbul.3 Suara serak merupakan gejala utama pada LPR yang paling

nyata dan utama.

Gejala-gejala yang tidak spesifik lain dapat disebabkan kondisi lain seperti keeadaan

alergi dan kebiasaan merokok. Gerakan paradoks dari pita suara dan spasme laring juga dapat

dikarenakan LPR sehingga perlu ditanyakan apakah pasien mempunyai masalah pernafasan

dan perubahan suara.1 Asma dan sinusitis dapat merupakan gejala lain LPR. Refluks sering

dianggap sebagai faktor yang dapat mencetuskan asma. Pada pasien yang asam lambungnya

dapat ditekan terlihat ada perbaikan fungsi paru dan perbaikan keluhan pada kasus asma

78%.1 Gejala-gejala esofagus yang dapat ditemui pada pasien LPR seperti rasa seperti

terbakar di dada 37 % dan regurgitasi 3%.3 riwayat mengkonsumsi obat gastritis seperti

antasida perlu ditanyakan serta riwayat suka mengkonsumsi makanan pedas. Pertanyaan

seperti ini membantu penegakan diagnosis penyakit refluk karena pasien sering datang

dengan keluhan yang tidak pasti. Pola hidup seperti kebiasaan merokok dan mengkonsumsi

alkohol, 92% ditemukan pada pasien dengan penyakit refluks. Rokok dan alkohol

ditenggarai sebagai salah satu penyebab penurunan tekanan esofagus bawah, kelemahan

tahanan mukosa, memanjangnya waktu pengosongan lambung dan merangsang sekresi

lambung.1

Belfasky (2002) seperti dikutip4 menyatakan ada 9 gejala refluks (Reflux Symptom

Index/RSI) yang dapat digunakan untuk menentukan adanya gejala LPR dan derajat

sebelum dan sesudah terapi. Gejala yang sering muncul seperti suara serak, mendehem,

penumpukan dahak di tenggorok atau post nasal drip, sukar menelan, batuk setelah makan,

sulit bernafas atau tersedak, batuk yang sangat mengganggu, rasa mengganjal dan rasa

panas di tenggorok, nyeri dada atau rasa asam naik ke tenggorok.

Gejala tersering pada LPR adalah suara serak 71%, batuk 51% dan rasa mengganjal

di tenggorok (globus faringeus) 47%. Pasien karsinoma laring ditemukan riwayat LPR

58% dan stenosis subglotik 56%.1 Skor RSI adalah 0-45 dengan skor ≥ 13 curiga LPR.

12

Page 13: ref. LPR

Gambar 4. Reflux Symptom Index (RSI)

b. Pemeriksaan Fisik

Keadaan laring yang dicurigai teriritasi asam seperti hipertrofi komissura

posterior, globus faringeus, nodul pita suara, laringospasme, stenosis

subglotik dan karsinoma laring. Untuk melihat gejala LPR pada laring dan

pita suara perlu pemeriksaan Laringoskopi. Gejala paling bermakna seperti

adanya eritema, edema dan hipertrofi komissura posterior.

Belfasky (2002) membuat tabel penilaian gejala LPR melalui

pemeriksaan laringoskop fleksibel (Reflux Finding Score/ RFS). Skor dimulai

dari nol (tidak ada kelainan) dengan nilai maksimal 26 dan jika nilai RFS ≥7

dengan tingkat keyakinan 95% dapat di diagnosis sebagai LPR. Nilai ini juga

dapat dengan baik memprakirakan efektifitas pengobatan pasien.2

13

Page 14: ref. LPR

Gambar 5. Reflux Finding Score

Laringitis posterior ditemukan pada 74% kasus begitu juga udem serta

eritema laring dijumpai pada 60% kasus LPR.4 Dapat juga terjadi hipertrofi

mukosa interaritenoid dan pada kasus lanjutan dapat berkembang menjadi

hyperkeratosis epitel pada komissura posterior. Granuloma (gambar 6) dan

nodul pita suara dapat terjadi pada kasus-kasus yang tidak diobati.1

Gambar 6. Granuloma

Udem subglotik (Pseudosulkus vokalis-gambar 7) ditemui pada 90%

kasus, adalah udem subglotik dimulai dari komissura anterior meluas sampai

laring posterior.2 Obliterasi ventrikel (gambar 8) ditemukan pada 80% kasus.

14

Page 15: ref. LPR

Dinilai menjadi parsial atau komplit. Pada obliterasi parsial ditemukan

gambaran pemendekan jarak ruang ventrikel dan batas pita suara palsu

memendek. Sedangkan paada keadaan komplit ditemukan pita suara asli

dan palsu seperti bertemu dan tidak terlihat adanya ruang ventrikel.2

Gambar 7. Pseudosulkus vocalis dan Obliterasi ventrikel

Eritema atau laring yang hiperemis merupakan gambaran LPR yang

tidak spesifik. Sangat tergantung kualitas alat endoskopi seperti kualitas

sumber cahaya, monitor video dan kualitas endoskop fleksibel sendiri jadi

kadang-kadang sulit terlihat.2 Edema pita suara dinilai tingkatannya. Gradasi

ringan (nilai 1) jika hanya ada pembengkakan ringan, nilai 2 jika

pembengkakan nyata dan gradasi berat jika ditemukan pembengkakan yang

lebih berat dan menetap sedangkan nilai 4 (gradasi sangat berat) jika

ditemukan degenerasi polipoid pita suara.2

Gambar 8. Laring Hiperemis dan Polipoid Cord

15

Page 16: ref. LPR

Udem laring yang difus dinilai dari perbandingan antara ukuran laring

dengan ukuran jalan nafas, penilaian mulai nari nol sampai nilai 4

(obstruksi). Hipertrofi komissura posterior gradasi ringan (nilai 1) jika

komissura posterior terlihat seperti “kumis”, nilai 2 (gradasi sedang) jika

komisura posterior bengkak sehingga seperti membentuk garis lurus pada

belakang laring. Gradasi berat (nilai 3) jika terlihat penonjolan laring

posterior kearah jalan nafas dan gradasi sangat berat apabila terlihat ada

obliterasi ke arah jalan nafas.2

c. Pemeriksaan Penunjang

1. Laringoskop Fleksibel

Merupakan pemeriksaan utama untuk mendiagnosis LPR. Biasanya

yang digunakan adalah laringoskop fleksibel karena lebih sensitif dan

mudah dikerjakan di poliklinik dibandingkan laringoskop rigid.

2. Pemeriksaan 24 Hour Monitoring dengan Double/Triple Probe

Dual probe pH monitoring dengan probe 5 cm di bawah SEB dan probe

kedua 20 cm di atas esofagus proksimal sedikit di bawah SEA

merupakan prosedur pilihan untuk pasien dengan gejala otolaringologi

akibat PRGE.

Pemeriksaan ini dianjurkan

pada keadaan pasien dengan

keluhan LPR tetapi pada

pemeriksaan klinis tidak ada

kelainan. Pemeriksaan ini sangat

sensitif dalam mendiagnosis

refluks karena pemeriksaan ini

secara akurat dapat membedakan

adanya refluks asam pada sfingter

esofagus atas dengan dibawah

sehingga dapat menentukan

adanya LPR atau GERD. Pajanan asam esofagus bagian distal yang

abnmormal dapat dicatat pada posisi tegak dan tidur telentang,

16

Gambar 9. Monitoring pH 24 jam

Page 17: ref. LPR

menunjukkan bahwa ada aspirasi, sehingga dapat dikatakan gejala

otolaringologi diakibatkan oleh PRGE.

Kelemahan pemeriksaan ini adalah mahal, invasif dan tidak

nyaman dan dapat ditemukan hasil negative palsu sekitar 20%. Hal ini

dikarenakan pola refluks pada pasien LPR yang intermittent atau

berhubungan dengan gaya hidup sehingga kejadian refluks dapat

tidak terjadi saat pemeriksaan. Pemeriksaan ini hanya dapat menilai

refluks asam sedangkan refluks non asam tidak terdeteksi.

Pemeriksaan ini disarankan pada pasien yang tidak respons terhadap

pengobatan supresi asam.

3. Endoskopi

Dengan menggunakan esofagoskop dapat membantu dalam

penegakan diagnosis. Gambaran esofagitis hanya ditemukan sekitar

30% pada kasus LPR. Gambaran yang patut dicurigai LPR adalah jika

kita temukan gambaran garis melingkar “barret” dengan atau tanpa

adanya inflamasi esofagus.3

Pemeriksaan endoskopi tidak dilakukan secara rutin sebagai

pemeriksaan awal pada pasien dengan suspek PRGE dengan

manifestasi penyakit otolaringologi dan tidak merupakan prasyarat

untuk memulai terapi medik.

Indikasi Pemeriksaan Endoskopi :

- Pasien dengan gejala tanda bahaya antara lain disfagia, odinofagia,

BB menurun, anemia, perdarahan GI tract (untuk menyingkirkan

kelainan GI tract), metaplasi Barret, dan komplikasi lain;

- Pasien yang tidak ada respon dengan terapi medik, pasien yang

mengalami gejala lebih dari 5 tahun untuk menilai prognosis terapi

medik.

4. Pemeriksaan Videostroboskopi

Pemeriksaan video laring dengan menggunakan endoskop sumber

cahaya xenon yang diaktifasi oleh pergerakan pita suara. Gambaran

ini dapat dilihat dengan gerakan lambat.

17

Page 18: ref. LPR

5. Pemeriksaan Histopatologi

Pada biopsi laring ditemukan gambaran hyperplasia epitel skuamosa

dengan inflamasi kronik pada submukosa. Gambaran ini dapat

berkembang menjadi atopi dan ulserasi epitel serta penumpukan

fibrin, jaringan granulasi dan fibrotik didaerah submukosa.4

6. Barium Esofagografi

Pemeriksaan Barius esofagogram dengan kontras ganda berguna

untuk:

- Menilai penebalan lipatan mukosa esofagus, adanya erosi atau

ulkus;

- Menentukan hernia hiatus, sehingga SEB berada di atas diafragma;

- Menentukan barium ke atau di atas karina atau ke dalam rongga

toraks, sehingga diduga terjadi aspirasi yang merupakan petunjuk

adanya manifestasi laringitis oleh PRGE;

- Mengevaluasi suspek komplikasi PRGE, seperti motilitas abnormal

atau striktur peptik, sumbatan berupa cincin, selaput, atau

keganasan.

Kelemahannya pemeriksaan ini tidak dapat menilai refluks yang

intermiten.4 pemeriksaan ini dianjurkan pada keadaan jika pengobatan

gagal, terdapat indikasi klinis kearah GERD, disfungsi esofagus atau

diagnosis yang belum pasti.

7. Laringoskop direct

Pemeriksaan ini memerlukan anestesi umum dan dilakukan diruangan

operasi. Dapat melihat secara langsung struktur laring dan jaringan

sekitarnya serta dapat dilakukan tindakan biopsi. 1

2.7. PERBEDAAN GERD DENGAN LPR

Banyak fakyor yang mempengaruhi keadaan GERD dan LPR yaitu sensitifitas

jaringan, keadaan fungsi sfingter esofagus dan lamanya paparan.

Mekanisme pasti LPR masih belum dapat disimpulkan dengan pasti. Akan

18

Page 19: ref. LPR

tetapi yang dianggap berperan seperti disfungsi sfingter esofagus atas dan

berkaitan erat dengan posisi badan tegak. Berbeda pada GERD dimana

keluhan sering timbul saat berbaring dan berhubungan dengan kelainan

sfingter esofagus bawah. Perbedaan lain yang mencolok adalah keluhan rasa

terbakar di dada dan esofagitis sangat jarang ditemukan pada kasus LPR

dibandingkan dengan GERD. Keluhan rasa terbakar di dada ditemukan

kurang dari 40% kasus LPR sedangkan gejala esofagitis hanya 25%.1 Pada

LPR refluks bersifat intermiten dengan motilitas esofagus yang normal

sedangkan GERD refluks bersifat lebih lama dengan gangguan motilitas

esofagus sering ditemukan.

Refluks pada LPR sering terjadi pada siang sedangkan kasus GERD,

refluks biasanya malam hari. Defek sfingter esofagus bawah dijumpai pada

GERD sedangkan pada LPR terjadi disfungsi sfingter atas esofagus. Dari segi

pengobatan kedua penyakit ini mirip namun medikamentosa LPR lebih lama

dan agresif dibandingkan penanganan GERD.

2.8. PENATALAKSANAAN

Tujuan pengobatan adalah : 1) menghilangkan gejala, 2) menyembuhkan

kerusakan, 3) mengatasi komplikasi, dan 4) mencegah remisi kembali.

Terapi pada LPR harus merupakan kombinasi modifikasi gaya hidup dan diet,

2) terapi farmakologik, dan 3) terapi bedah antirefluks.

1. Modifikasi Gaya Hidup dan Diet

- Meninggikan kepala 10-20 cm sewaktu berbaring;

- Hindari pakaian yang ketat;

- Stop merokok;

- Kurangi stres;

- Diet

o Rendah lemak, tinggi protein

o Hindari makanan spesifik yang mengiritasi esofagus dan

lambung, jus citrus, produk tomat, kopi, teh, alkohol, cola,

bawang;

19

Page 20: ref. LPR

o Tidak makan 2 jam sebelum tidur;

o Hindari coklat (dapat menurunkan tekanan SEB);

o Hindari makanan pedas

2. Terapi Farmakologik

Ada 4 kategori golongan obat yang digunakan untuk penggunaan terapi

LPR, yaitu antisekretorik yang terdiri dari PPI (proton pump inhibitor) atau

H2-receptor antagonist, prokinetik, dan sitoprotektan 8. Proton Pump

Inhibitor (PPI) atau penghambat pompa proton merupakan terapi LPR

yang utama dan paling efektif dalam menangani kasus refluks. Cara kerja

PPI dengan menurunkan kadar ion hidrogen cairan refluks tetapi tidak

dapat menurunkan jumlah dan durasi refluks. PPI dapat menurunkan

refluks asam lambung sampai lebih dari 80%. Akan tetapi efektifitas obat

terhadap LPR tidak seoptimal efektifitasnya pada kasus GERD.

Umumnya pasien dengan refluks laringofaring dan mnifestasi

ekstraesofagus lainnya dari PRGE memerlukan dosis terapi yang lebih

lebih tinggi, biasanya dengan PPI 2x sehari untuk periode lebih lama

dibandingkan dengan terapi terhadap rasa panas di dada dan refluks

esofagitis. Dosis yang diberikan adalah PPI 2x/hari (Omeprazole 20 mg

atau lansoprazole 30 mg) untuk 8-12 minggu 7.

Sebagai pengganti dari PPI, H2 receptor antagonist dapat digunakan

meskipun pengguanaannya tidak seefektif pada pemberian PPI. Ranitidine

merupakan salah satu H2 receptor antagonist yang lebih baik dalam

mencegah sekresi asam lambung dibandingkan dengan simetidine,

meskipun pada dasarnya penggunaannya terbatas. Dosis yang dapat

diberikan kepada pasien LPR adalah 2 x 150 mg/hari untuk pasien dengan

penyakit simtomatik non esofagitis erosif, atau 4 x 150 mg/hari untuk

pasien esofagitis erosif 7.

Obat proteksi sel atau sitoprotektan dapat mentralisir refluksat asam,

mengurasi kerusakan mukosa dan mencegah aktivitas pepsin,

mempunyai efek paling sidikit terapi memerlukan pembesaran dosis

20

Page 21: ref. LPR

berulang. Obat sukralfat misalnya, dapat digunakan sebagai sitoprotektor 7.

Obat prokinetik yang dapat digunakan untuk terapi LPR adalah

metoclopramide 5-10 mg 4 x perhari; cisapride 10 mg 4 x perhari.

Metoclopramide: berupa antagonis dopamine, dapat memperbaiki

pengosongan lambung, peristaltik esofagus dan meninggikan tekanan

SEB, tetapi mempunyai efek samping ekstapiramidal dan sedatif.

Sedangkan Cisapride adalah obat kolinergik pilihan yang dapat

melepaskan asetilkolin dari pleksus mienterik, menghilangkan efeks

ekstrapiramidal dan sedatif dari Metoclopramide, dapat menekan

produksi asam lambung dan efektif digunakan untuk gangguan saluran

napas yang kronik pada anak 7.

3. Terapi Bedah Antirefluks 7

Pembedahan yang digunakan untuk terapi antirefluks adalah Nissen

Fundoplication, Hells Gastropexy, Belsey Merk IV. Laparoscopic Nissen

Fundoplication merupakan bedah standar, aman dan efektif serta paling

sering dilakukan pada PRGE dan REE.

Indikasi terapi bedah untuk kasus-kasus tertentu, antara lain:

- PRGE refrakter/persisten yang gagal terapi medik;

- Malnutrisi berat;

- Infeksi saluran napas rekuren;

- Striktur esofagus yang gagal dengan terapi dilatasi;

- Esofagus Barret

Tujuan terapi bedah anti refluks berdasarkan anatomi yaitu:

- Memperbaiki kompetensi kardia dengan menambah panjang dan

tekanan SEB;

- Mengurangi diameter esofagus;

- Mengatasi distensi lambung (gaster distention).

21

Page 22: ref. LPR

Gambar 10. Laparoscopic Nissen Fundolication

2.9. KOMPLIKASI

LPR dapat merupakan faktor pencetus munculnya penyakit seperti faringitis,

sinusitis, asma, pneumonia, batuk di malam hari, penyakit gigi dan

keganasan laring. Salah satu komplikasi yang patut diwaspadai dan

mengancam nyawa adalah stenosis laring. Riwayat LPR ditemukan pada 75%

pasien stenosis laring dan trakea.9

2.10.PROGNOSIS

Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan catatan

terapi harus diikuti dengan modifikasi diet yang ketat dan gaya hidup. Dari

salah satu kepustakaan menyebutkan angka keberhasilan pada pasien

dengan laryngitis posterior berat sekitar 83% setelah diberikan terapi 6

minggu dengan omeprazol. Dan sekitar 79% kasus alami kekambuhan

22

Page 23: ref. LPR

setelah berhenti berobat. Sedangkan prognosis keberhasilan dengan

menggunakan Lansoprazole 30 mg 2 kali sehari selama 8 minggu

memberikan angka keberhasilan 86% 9.

BAB III

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan diatas, adalah:

23

Page 24: ref. LPR

1. Refluks Laring Faring/ Laryngopharyngeal Reflux (LPR) dapat didefinisikan sebagai

pergerakan asam lambung secara retrograd menuju faring dan laring serta saluran

pencernaan atas;

2. Prevalensi pria dibandingkan wanita yaitu 55% : 45% dan meningkat pada usia lebih dari

44 tahun;

3. Penyebab LPR adalah refluks retrograd dari asam lambung atau isinya pepsin ke saluran

esofagus atas dan menimbulkan cedera mukosa karena trauma langsung sehingga terjadi

kerusakan silia yang menimbulkan tertumpuknya mukus, aktivitas mendehem dan batuk

kronis akibatnya akan terjadi iritasi dan inflamasi;

4. Diagnosis ditegakkan berdasarkaan gejala klinis (Reflux Symptoms Index/RSI) dan

pemeriksaan Laring (Reflux Finding Score/ RFS);

5. Skor RSI pada kecurigaan LPR adalah skor ≥ 13 dan skor RFS ≥7;

6. Laringoskopi fleksibel merupakan pemeriksaan utama untuk mendiagnosis LPR karena

lebih sensitif dan mudah dikerjakan di poliklinik;

7. Penatalaksanaan LPR meliputi medikamentosa dengan obat-obatan anti refluks,

perubahan gaya hidup dengan modifikasi diet serta secara bedah dengan operasi

funduplikasi;

8. 10. Proton Pump Inhibitor (PPI) terapi LPR yang utama dan paling efektif dalam

menangani kasus refluks disamping modifikasi gaya hidup;

9. Rekomendasi dosis PPI adalah 2 kali dosis GERD dengan rentang waktu 8 sampai 12

minggu;

10. Derivat PPI yang ampuh adalah Lansoprazol yang dianggap lebih maksimal dalam

menekan asam lambung.

11. Dapat juga dikombinasikan dengan zat proteksi mukosa, sukralfat misalnya dapat

digunakan untuk melindungi mukosa dari cedera akibat asam dan pepsin.

DAFTAR PUSTAKA

24

Page 25: ref. LPR

1. Diamond L, Laryngopharyngeal reflux-It’s not GERD. JAAPA. 2005; 18 (8):

50-53.

2. Belafsky PC, Postman G, Koufman JA. The validity and Reability of the

Reflux Finding Score (RFS). Laryngoscope. 2001; 111: 1313-17.

3. Koufman JA et al. Laryngopharyngeal reflux: Position statement of the

committee on Speech, Voice and Swallowing Disorders of the American

Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery. Otolaryngology-

Head and Neck Surgery. 2002. 127 (1): 32-35.

4. Atlas Anatomi SOBOTA. Jakarta: EGC

5. Tokashiki R et al. the relationship between esophagoscopic findings and

total acid reflux time below pH 4 and pH 5 in the upper esofagus in

patients with laryngopharyngeal reflux disease (LPRD). Auris Nasus

Larynx. 2005. 32: 265-68.

6. Vaezi MF et al. Treatment of chronic posterior laryngitis with

esomeprazole. Laryngoscope 2006. 116: 254-260.

7. Mariana, HY. 2007. Penyakit Refluks Gastroesofagus dengan Mnifestasi

Otolaringologi dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,

Tenggorok, Kepala, dan Leher, edisi keenam. Jakarta: BP UI

8. Ford C N, Evaluation & Management of Laryngopharyngeal Reflux,

available from http://jama.ama-assn.org

9. Irfandy Dolly. 2010. Laryngopharyngeal Reflux. Bagian Telinga Hidung

Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/ RSUP M Djamil

Padang

25