reaksi substitusi nukleofilik

31
REAKSI SUBSTITUSI Reaksi Substitusi Nukleofilik Reaksi substitusi nukleofilik terdiri dari tiga jenis reaksi yaitu reaksi substitusi nukleoflik unimolekuler (S N 1), reaksi substitusi nukleofilik bimolekuler (S N 2), serta reaksi substitusi nukleofilik internal (S N i). Dalam praktikum ini, reaksi substitusi nukleofilik yang dilakukan adalah reaksi substitusi nukleofilik unimolekuler (S N 1). Reaksi S N 1 teramati dari pelarut yang digunakan yaitu pelarut polar (HCl). Selain digunakan sebagai pelarut, HCl juga digunakan sebagai nukleofil (Nu - ) atau reagen dalam reaksi substitusi nukleofilik ini. Tahap pertama yang dilakukan dalam praktikum reaksi substitusi nukleofilik ini adalah pendinginan larutan HCl pekat yang bertujuan untuk mempertahankan larutan HCl pekat tetap berada pada fase cair. Pentingnya larutan HCl pekat dalam fase cair karena apabila tidak didinginkan, maka larutan HCl akan berubah fase menjadi gas (menguap). Menguapnya HCl dapat mengakibatkan berkurangnya jumlah HCl yang nantinya akan digunakan sebagai pelarut dan reaktan (Nukleofil), sehingga berdampak pada sedikitnya hasil reaksi yang akan terbentuk. Hal lainnya yang menandakan bahwa reaksi substitusi nukleofilik yang terjadi adalah reaksi S N 1 adalah adalah substrat yang digunakan (t-butil alkohol) memiliki rintangan sterik yang besar (atom C yang mengikat –OH merupakan atom C tersier). Dengan besarnya rintangan sterik, maka reaksi S N 1 ini memerlukan waktu yang lama, sehingga diperlukan cara untuk

Upload: putu-rahmadewa

Post on 18-Feb-2015

686 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Organik

TRANSCRIPT

Page 1: Reaksi Substitusi Nukleofilik

REAKSI SUBSTITUSI

Reaksi Substitusi Nukleofilik

Reaksi substitusi nukleofilik terdiri dari tiga jenis reaksi yaitu reaksi substitusi

nukleoflik unimolekuler (SN1), reaksi substitusi nukleofilik bimolekuler (SN2), serta reaksi

substitusi nukleofilik internal (SNi). Dalam praktikum ini, reaksi substitusi nukleofilik yang

dilakukan adalah reaksi substitusi nukleofilik unimolekuler (SN1). Reaksi SN1 teramati dari

pelarut yang digunakan yaitu pelarut polar (HCl). Selain digunakan sebagai pelarut, HCl juga

digunakan sebagai nukleofil (Nu-) atau reagen dalam reaksi substitusi nukleofilik ini.

Tahap pertama yang dilakukan dalam praktikum reaksi substitusi nukleofilik ini

adalah pendinginan larutan HCl pekat yang bertujuan untuk mempertahankan larutan HCl

pekat tetap berada pada fase cair. Pentingnya larutan HCl pekat dalam fase cair karena

apabila tidak didinginkan, maka larutan HCl akan berubah fase menjadi gas (menguap).

Menguapnya HCl dapat mengakibatkan berkurangnya jumlah HCl yang nantinya akan

digunakan sebagai pelarut dan reaktan (Nukleofil), sehingga berdampak pada sedikitnya hasil

reaksi yang akan terbentuk.

Hal lainnya yang menandakan bahwa reaksi substitusi nukleofilik yang terjadi adalah

reaksi SN1 adalah adalah substrat yang digunakan (t-butil alkohol) memiliki rintangan sterik

yang besar (atom C yang mengikat –OH merupakan atom C tersier). Dengan besarnya

rintangan sterik, maka reaksi SN1 ini memerlukan waktu yang lama, sehingga diperlukan cara

untuk dapat mempercepat reaksi SN1 ini. Cara untuk mempercepat reaksi SN1 dalam

praktikum ini adalah menambahkan substrat (t-butil alkohol) secara perlahan-lahan (tetes

demi tetes) ke dalam larutan HCl pekat, sambil dibantu dengan pengocokan secara rutin.

Pada saat pengocokan dengan menggunakan corong pisah ini, sesekali keran corong dibuka

untuk menghindari tekanan yang terlau tinggi di dalam corong karena terbentuknya gas HCl

berlebih.

Setelah semua t-butil alkohol ditambahkan, kemudian campuran didiamkan beberapa

saat (dalam praktikum ini selama 7 hari), sehingga terbentuk 2 lapisan pada corong pisah.

Lapisan yang terbentuk ini pada bagian atas adalah lapisan t-butil klorida (berat jenis 0,78 g

cm-3) , sedangkan pada bagian bawah adalah HCl (berat jenis 1,19 g cm-3). Mekanisme reaksi

SN1 dari t-butil alkohol menjadi t-butil klorida adalah sebagai berikut.

Page 2: Reaksi Substitusi Nukleofilik

Gambar 5.1 Mekanisme Reaksi SN1 dari t-butil alkohol menjadi t-butil klorida

Dari kedua lapisan yang terpisah tadi, lapisan yang digunakan adalah lapisan t-butil

klorida (lapisan atas), sehingga lapisan bawah (HCl) dipisahkan. Larutan t-butil klorida

kemudian dicuci dengan menggunakan air yang bertujuan menghilangkan sisa-sisa HCl yang

kemungkinan masih ada pada lapisan t-butil klorida tadi. Setelah dicuci, larutan kembali

dibiarkan terpisah menjadi dua lapisan, dimana lapisan bawah adalah lapisan air dengan

kontaminan HCl, dan lapisan atas adalah lapisan t-butil klorida. Lapisan yang digunakan

adalah lapisan atas, namun perlu dibersihkan kembali karena kemungkinan masih ada HCl

yang tersisa dengan menggunakan larutan natrium bikarbonat. Reaksi yang terjadi adalah

sebagai berikut.

NaHCO3(aq) + HCl(aq) → NaCl(aq) + H2O(aq) + CO2(g)

Terbentuknya gas CO2 ditandai dengan adanya gelembung-gelembung pada larutan yang

dicampur dengan Natrium Bikarbonat tadi.

Untuk memperoleh t-butil klorida yang murni (bebas dari kontaminan), maka langkah

berikutnya yang dilakaukan adalah dengan menambahkan zat anhidrat ke dalam lapisan t-

butil klorida. Penambahan zat anhidrat bertujuan untuk menghilangkan/mengikat air yang

masih ada di dalam lapisan t-butil klorida. Zat anhidrat yang digunakan adalah tembaga sulfat

(CuSO4), karena CuSO4 dapat dengan jelas dilihat apabila sudah mengikat air yang ada pada

t-butil klorida. Perubahan yang terjadi ketika semua air telah diikat oleh CuSO4 adalah ketika

CuSO4 tidak berubah warna menjadi biru lagi ketika dimasukkan ke dalam t-butil klorida.

Untuk menguji kemurnian dari t-butil klorida yang terbentuk, maka t-butil klorida

harus didistilasi pada suhu antara 49 – 520C. Suhu distilasi yang digunakan pada praktikum

ini adalah 500C, dimana pada suhu tersebut, t-butil klorida yang dihasilkan sudah benar-benar

Page 3: Reaksi Substitusi Nukleofilik

murni dan larutan yang ada pada labu dasar bulat sudah tidak menguap lagi. Warna larutan t-

butil klorida murni yang terbentuk adalah tidak berwarna (bening).

Volume t-butil klorida yang terbentuk pada praktikum ini adalah sebanyak 2,3 mL.

Secara teoritis, volume t-butil klorida yang harusnya terbentuk adalah sebanyak 5 mL. tidak

terbentuknya t-butil klorida sebanyak 5 mL kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal yaitu

sebagai berikut.

1. Pendinginan HCl yang kurang sempurna pada awal praktikum, sehingga HCl yang

bereaksi dengan t-butil alkohol berjumlah sedikit. Hal ini berdampak pada jumlah

produk yang sidikit pula.

2. Pengocokan yang tidak optimal mengakibatkan reaksi yang terjadi tidak berjalan

dengan optimal.

3. Pemisahan yang kurang akurat karena kelalaian dari praktikan, sehingga

kemungkinan beberapa t-butil klorida ikut dengan lapisan HCl yang dipisahkan.

4. t-butil klorida yang terbentuk sebagian telah menguap ke lingkungan, karena titik

didih t-butil klorida yang rendah (510C).

Dari banyaknya t-butil klorida yang terbentuk, maka rendemennya adalah sebagai berikut.

Rendemen =

volume t-butil klorida yang diperolehvolume t-butil klorida teoritis

x100 %

=

2,3 mL5,0 mL

x 100 %

Rendemen = 46 %

Cara berikutnya untuk menguji kemurnian dari t-butil klorida yang terbentuk, adalah dengan

menguji indeks biasnya menggunakan refraktometer. Indeks bias dari t-butil klorida yang

terbentuk adalah sebesar 1,3828. Secara teoritis, indeks bias dari t-butil klorida adalah

sebesar 1,3860. Jika dibandingkan dengan nilai indeks bias t-butil klorida yang dihasilkan

pada praktikum ini, maka t-butil klorida yang dihasilkan adalah t-butil klorida yang sudah

murni karena nilai indeks biasnya yang tidak berbeda jauh dengan t-butil klorida teoritis.

Page 4: Reaksi Substitusi Nukleofilik

V.2 Reaksi Substitusi Elektrofilik

Pada praktikum ini, reaksi substitusi elektrofilik yang dilakukan adalah nitrasi pada

senyawa aromatik. Gugus elektrofil NO2+ pada reaksi ini dibuat dengan mencampurkan asam

nitrat pekat dengan asam sulfat pekat. Campuran ini harus tetap dijaga berada dalam fase cair,

dengan cara pendinginan dengan air es. Berubahnya fase campuran dari cair menadi gas

dapat menyebabkan gugus elektrofil NO2+ berkurang, sehingga pada akhirnya dapat

mengurangi jumlah produk yang dihasilkan.

Nitrasi senyawa aromatik yang dilakukan pada praktikum ini adalah menggunakan

senyawa aromatik berupa bromobenzena. Bromobenzena yang yang ditambahkan ke dalam

gugus elektrofil adalah 0,025 mol. Pembuatan 0,025 mol bromobenzena adalah sebagai

berikut.

Massa bromobenzena yang digunakan = 0 ,025 mol x 157 g/mol= 3,925 g

Volume bromobenzena yang digunakan =

3,925 g1,49 g/mL

= 2,63 mL

dengan demikian, bromobenzena yang digunakan adalah sebanyak 2,63 mL.

Penambahan bromobenzena ke dalam gugus elektrofil dilakukan sedikit demi sedikit

agar bromobenzena benar-benar tercampur dengan gugus elektrofil. Agar campuran homogen

juga dilakukan dengan bantuan pengocokan. Selama penambahan bromobenzena ini, suhu

campuran dijaga pada 50 – 550C dengan tujuan agar reaksi dapat berlangsung sempurna.

Mekanisme reaksi yang terjadi pada pembentukan nitro bromobenzena dari bromobenzena

adalah sebagai berikut.

1. Pembentukan elektrofil (E+)

Page 5: Reaksi Substitusi Nukleofilik

2. Serangan Elektrofil (E+)

3. Pelepasan H+

Setelah adisi berlangsung sempurna, kemudian campuran dibiarkan pada suhu

dibawah 500C selama ± 30 menit. Kemudian, campuran didinginkan kembali dalam suhu

kamar, lalu dicuci dengan air dingin, disaring, dan dikeringkan. Tujuan dari pendinginan ini

adalah agar Kristal yang terbentuk lebih cepat dan lebih baik, sehingga terbentuk kristal

nitrobromobenzena. Kristal nitrobromobenzena yang terbentuk pada praktikum ini adalah

sebanyak 4,732 gram.

Kristal nitrobromobenzena yang terbentuk ini kemudian kembali dilarutkan

menggunakan etanol 95% panas sampai semua kristal larut. Setelah larutan dibiarkan dingin,

terbentuklah kristal 4-bromonitrobenzena. Kristal 4-bromonitrobenzena ini kemudian

disaring, dan filtratnya ditampung sebagai induk cairan 1. Kristal 4-bromonitrobenzena yang

disaring ini kemudian dicuci ,menggunakan alkohol dingin, dengan tujuan menghilangkan

Page 6: Reaksi Substitusi Nukleofilik

kandungan air yang masih berada pada kristal. Filtrat dalam campuran ini kembali ditampung

sebagai induk cairan 2.

Induk cairan 1 dan 2 kemudian dicampur lalu diuapkan dalam penangas air sampai

volumenya menjadi 1/3 nya. Sisa dari penguapan ini kemudian didinginkan sehingga kembali

tebentuk Kristal 4-bromonitrobenzena. Kristal 4-bromonitrobenzena ini kemudian dicuci

dengan alkohol dingin agar kandungan airnya hilang. Kristal 4-bromonitrobenzena ini

dicampur dengan Kristal 4-bromonitrobenzena sebelumnya dan diperoleh beratntnya adalah

sebanyak 4,2322 gram. Secara teoritis, berat kristal yang terbentuk adalah seberat 5,075

gram, dengan perhitungan sebagai berikut:

Mol nitrobromobenzena = mol bromobenzena = 0,025 mol

Massa nitrobromobenzena yang terbentuk = 0,025 mol x 203 g/mol = 5,075 gram

Rendemen dari Kristal 4-bromonitrobenzena pada praktikum ini adalah:

Rendemen =

berat kristal 4-nitrobromobenzen yang diperolehberat kristal 4-nitrobromobenzen teoritis

x 100 %

=

4 , 4322 g5 , 075 g

x100 %=87 ,33 %

Untuk menguji kemurnian dari kristal 4-bromonitrobenzena pada praktikum ini,

dilakukan pengujian terhadap titik leleh kristal 4-bromonitrobenzena. Titik leleh dari Kristal

4-bromonitrobenzena adalah sebesar 125oC. Titik leleh dari Kristal 4-bromonitrobenzena ini

tidak terlalu berbeda jauh dengan titik leleh p-nitrobromobenzena secara teoritis yaitu sebesar

127oC. Hal ini menunjukkan bahwa kristal yang didapat adalah kristal 4-nitrobromobenzena

yang cukup murni.

REAKSI OKSIDASI-REDUKSI

Reaksi oksidasi adalah reaksi yang digunakan untuk membedakan antara alkohol

primer, sekunder, dan tersier. Suatu alkohol primer dapat dioksidasi menjadi aldehid atau

asam karboksilat. Alkohol sekunder dapat dioksidasi menjadi keton saja. Sedangkan pada

alkohol tersier menolak terjadinya reaksi oksidasi (Fessenden, 1997). Oksidasi terhadap

alkohol menggunakan bahan pengoskidasi (oksidator) kuat, yang dalam praktikum ini

digunakan kalium dikromat (K2Cr2O7) dengan bilangan oksidasi Cr adalah +6, dengan warna

larutan orange. Untuk menstabilkan kalium dikromat yang digunakan sebagai oksidator

dalam praktikum ini, maka terlebih dahulu larutan kalium dikromat diasamkan dengan

menggunakan asam sulfat (H2SO4) pekat. Hal ini dilakukan karena kalium dikromat

Page 7: Reaksi Substitusi Nukleofilik

(K2Cr2O7) lebih stabil dalam suasana asam dibandingkan dalam suasana basa. Selain itu,

natrium atau kalium dikromat dalam suasana asam merupakan oksidator yang kuat. Reaksi

yang terjadi antara kalium dikromat (K2Cr2O7) dan H2SO4 adalah sebagai berikut.

K2Cr2O7 + H2SO4 → K2SO4 + H2Cr2O7

Pada praktikum ini, alkohol yang akan dioksidasi adalah sikloheksanol (C6H11OH).

Sikloheksanol merupakan alkohol sekunder (20) yang dapat dioksidasi menjadi keton

(sikloheksanon). Pada praktium ini, sikloheksanol dioksidasi oleh kalium dikromat menjadi

sikloheksanon. Reaksi oksidasi sikloheksanol menjadi sikloheksanon adalah sebagai berikut.

Mekanisme reaksi oksidasi sikloheksanol menjadi sikloheksanon adalah sebagai berikut.

Untuk mengoptimalkan hasil reaksi, maka suhu dijaga tetap pada suhu 550C. Pada

pencampuran sikloheksanol dengan larutan kalium dikromat dalam suasana asam, larutan

berubah warna dari berwarna orange menjadi berwarna hijau. Warna hijau yang terbentuk ini

disebabkan oleh ion Cr6+ pada K2Cr2O7 yang mengalami reduksi menjadi Cr3+ yang berwarna

hijau. Reaksi reduksi ion Cr6+ pada K2Cr2O7 menadi ion Cr3+ adalah sebagai berikut.

Cr2O72-

(aq) + 14H+ + 6e → 2Cr3+(aq)

+ 7H2O(l)

(orange) (hijau)

Untuk mereduksi kelebihan dikromat pada reaksi, ditambahkan larutan oksalat ke dalam

campuran. Kemudian, campuran dicuci dengan menggunakan air sehingga terbentuk dua

lapisan dimana lapisan atas adalah sikloheksanon yang belum murni dengan berat jenis 0,95

dan lapisan bawah adalah air dengan berat jenis 1,0. Setelah dicuci dengan menggunakan air,

kemudian lapisan atas yang berisi sikloheksanon ditampung dan diekstraksi sebanyak 3 kali

dengan menggunakan eter.

Page 8: Reaksi Substitusi Nukleofilik

Ekstraksi bertingkat (berkali-kali) bertujuan untuk memperoleh ekstrak sikloheksanon

yang lebih banyak. Sedangkan, tujuan penggunaan eter sebagai bahan pengekstrak

sikloheksanon adalah karena eter merupakan pelarut organic yang dapat melarutkan bahan

organic seperti sikloheksanon, sehingga terbentuk dua lapisan dimana lapisan atas adalah

sikloheksanon yang terlarut dalam eter (bening dengan sedikit pengotor) dengan berat jenis

0,71 dan lapisan bawah adalah air dengan berat jenis 1,0.

Untuk menghilangkan pengotor yang ada pada sikloheksanon yang terlarut dalam

eter, larutan dicuci dengan larutan natrium bikarbonat. Pada penambahan larutan natrium

bikarbonat, kembali terbentuk dua lapisan, dimana lapisan atas adalah sikloheksanon yang

larut dalam eter, dan lapisan bawah adalah larutan natrium bikarbonat. Lapisan yang

digunakan untuk langkah selanjutnya adalah lapisan atas, dimana lapisan atas adalah larutan

bening yang sudah bersih tanpa pengotor.

Untuk menghilangkan kadar air yang masih terkandung di dalam sikloheksanon,

maka air diserap menggunakan zat anhidrat yaitu CuSO4. Penggunaan CuSO4 sebagai

penyerap air dikarenakan CuSO4 yang berwarna putih bila menyerap air akan berubah warna

menjadi biru. Setelah air dalam larutan habis, maka CuSO4 tidak mengalami perubahan

warna menjadi biru lagi (tetap putih). Dengan kata lain, penggunaan CuSO4 sebagai penyerap

air dikarenakan kemudahan dalam mengamati telah habisnya air, yang ditandai dengan tidak

berubahnya warna CuSO4 saat dimasukkan ke dalam larutan sikloheksanon dalam eter.

Setelah kandungan air sudah habis, untuk menghilangkan pelarut (eter) yang

digunakan dilakukan proses destilasi. Destilasi adalah teknik pemisahan campuran yang

didasarkan atas perbedaan titik didih antara dua buah zat yang bercampur tersebut. Titik didih

eter adalah berkisar antara 34-350C, sehingga eter dapat dipisahkan pada suhu tersebut.

Sedangkan, titik didih sikloheksanon adalah berkisar antara 152-1550C, sehingga

sikloheksanon murni akan diperoleh pada suhu tersebut. Dalam destilasi, destilat pertama kali

menetes pada suhu 340C, yang menandakan bahwa destilat tersebut adalah eter, karena titik

didih eter adalah 340C. kemudian, destilat pada suhu 340 ini ditampung, sampai sisa larutan

pada labu dasar bulat tinggal tersisa beberapa mL lagi. Suhu kemudian naik secara perlahan,

sampai pada suhu 1610C, terdapat tetesan destilat pada penampung, yang menandakan bahwa

destilat tersebut adalah sikloheksanon. Destilat yang dihasilkan ini ditampung dan diukur

volumenya. Volume sikloheksason yang diperoleh adalah 4,6 mL. Berdasarkan data ini,

maka rendemen dapat dihitung dengan :

Page 9: Reaksi Substitusi Nukleofilik

Sikloheksanol (ῥ = 0,94 g/mL) :

- Massa sikloheksanol = vol. Sikloheksanol x

= 6,926 mL x 0,94 g/mL = 6,5104 g

- Mol sikloseksanol =

massa sikloheksanolMr

=

6 ,5104 g100,16 g/mol = 0,065 mol

Reaksi yang terjadi:

C6H11OH + Cr2O72- → C6H11O + Cr3+ + H2O

Berdasarkan reaksi di atas, mol sikloheksanon = mol sikloheksanol = 0,065 mol

Sikloheksanon :

- Massa sikloheksanon secara teoriris = mol sikloheksanon x Mr

= 0,065 mol x 99 g/mol

= 6,435 g

- Volume sikloheksanol (0,95 g/mL) yang dihasilkan adalah 4,6 mL

- Massa sikloheksanon = volume sikloheksanon x

=mL x 0,95 g/mL

= 4,37 g

- Rendemen hasil praktikum=

massa sikloheksanon yang diperolehmassa sikloheksanon secara teoritis

×100 %

=

4 ,370 g6,435 g

×100%

= 67,91%

Page 10: Reaksi Substitusi Nukleofilik

Untuk memastikan kemurnian sikloheksanon yang dihasilkan pada praktikum ini,

maka dilakukan uji indeks bias. Indeks bias sikloheksanon pada praktikum ini adalah 1,4500,

sedangkan indeks bias sikloheksanon teoritis adalah 1,4507. Tingginya indeks bias

sikloheksanon yang terukur disebabkan karena suhu kamar saat praktikum lebih dari 250C.

Suhu mempengaruhi indeks bias dari suati zat semakin tinggi suhu maka indeks biasnya

semakin besar pula. Hal ini disebabkan pada suhu yang besar jarak antara molekul semakin

meregang. Tekanan juga mempengaruhi indeks bias semakin rendah tekanan maka indeks

bias semakin meningkat. Dari data tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

sikloheksanon yang dihasilkan pada praktikum ini adalah murni.

REAKSI ELIMINASI

Alkohol sekunder (20) dapat dieliminasi menghasilkan senyawa alkena dengan cara

melepaskan molekul air yang ada pada alkohol sekunder tersebut. Reaksi eliminasi dengan

melepaskan molekul air ini juga sering disebut reaksi dehidrasi. Reaksi eliminasi

merupakan kebalikan dari reaksi adisi. Pada reaksi eliminasi ini, molekul senyawa yang

berikatan tunggal (ikatan jenuh) berubah menjadi senyawa berikatan rangkap (ikatan tak

jenuh) dengan melepaskan molekul yang kecil. Eliminasi alkohol sekunder akan

menghasilkan senyawa alkena dengan melepaskan molekul air.

Pada praktikum ini, substrat yang digunakan adalah sikloheksanol (C6H11OH).

Sikloheksanol merupakan alkohol sekunder, yaitu alkohol dimana gugus –OH terikat pada

atom C sekunder (atom C yang mengikat dua gugus alkil). Sikloheksanol yang digunakan

pada praktikum ini yaitu sebanyak 10 gram atau 10,6 mL, karena masa jenis () dari

sikloheksanol adalah 0,94 g/mL. Sedangkan, zat yang digunakan untuk mengeliminasi

sikloheksanol adalah asam fosfat. Asam fosfat terdiri dari ion H+ dan ion fosfat. Ion fosfat

merupakan basa lewis yang kuat.

Dalam reaksi eliminasi ini, asam fosfat berperan sebagai katalis (pemercepat reaksi),

dan juga bertujuan agar reaksi yang berlangsung adalah dominan reaksi eliminasi. Hal ini

dikarenakan untuk alkohol sekunder, reaksi eliminasi bersaing dengan reaksi substitusi (SN2)

sehingga akan dihasilkan produk yang berbeda. Reaksi eliminasi akan berlangsung dominan

dibandingkan dengan substitusi jika basa lewis yang digunakan adalah basa lewis yang kuat

dan suhu reaksi berlangsung tinggi. Oleh karena itu, pada reaksi eliminasi ini digunakan asam

fosfat sebagai zat pengeliminir dan campuran dipanaskan pada labu didih. Selain bertujuan

Page 11: Reaksi Substitusi Nukleofilik

agar reaksi yang terjadi adalah reaksi eliminasi, pemanasan campuran sikloheksanol dengan

asam fosfat juga bertujuan mempercepat dan menyempurnakan reaksi.

Reaksi eliminasi sikloheksena merupakan reaksi eliminasi bimolekuler (E2). Reaksi

ini berlangsung dalam satu langkah. Pada proses ini terjadi pengurangan proton dari karbon β

dan pengusiran gugus pergi yaitu ion OH- dari karbon α serta pembentukan ikatan rangkap

secara stimultan. Laju reaksi ini dipengaruhi oleh jenis substrat dan kekuatan basa yang

digunakan. Sikloheksanol memiliki dua buah karbon pada posisi β. Penyerangan ion fosfat

dapat terjadi pada kedua karbon tersebut, sehingga terjadi dua kemungkinan mekanisme

reaksi yang terjadi. Mekanisme reaksi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Mekanisme I :

Mekanisme II :

dimana HB adalah katalis yang lepas kembali berupa asam fosfat.

Kedua mekanisme di atas menggambarkan bahwa ion basa lewis menyerang atom H

yang terletak pada karbon-β dan pada posisi berlawanan dengan gugus yang akan menjadi

gugus pergi (-OH). Hal ini terjadi sesuai dengan prinsip reaksi eliminasi yaitu prinsip anti-

koplanar. Prinsip anti-koplanar menyatakan bahwa atom H yang diserang adalah atom H

yang terletak pada satu bidang dengan x (-OH) dan jarak yang terjauh. Tujuannya yaitu untuk

menghasilkan sikloheksena dalam posisi trans. Posisi trans lebih stabil dibandingkan dengan

posisi cis.

Page 12: Reaksi Substitusi Nukleofilik

Dalam praktikum ini, campuran dalam labu yang dipanaskan langsung dihubungkan

dengan kolom fraksinasi dan pendingin Leibeg, yang bertujuan agar sikloheksena yang

terbentuk dapat langsung terpisah dengan campuran. Prinsip pemisahan ini adalah destilasi

bertingkat. Destilasi bertingkat dipilih karena perbedaan titik didih yang dekat antara dua

larutan yang ingin dipisahkan (air dengan titik didih 1000C, serta sikloheksena dengan titik

didih 830C). Oleh karena itu, dalam proses destilasi yang terlebih dahulu keluar sebagai hasil

destilasi (destilat) adalah sikliheksena. Sedangkan zat-zat lainnya seperti air, sikloheksanol,

dan asam fosfat yang titik didihnya lebih besar akan menguap kemudian, namun setelah

uapnya mencapai kolom fraksinasi uap tersebut mengalami kondensasi dan turun kembali ke

campuran.

Suhu yang terukur saat destilat menetes adalah 670C, yang terus konstan sampai

campuran yang terdapat dalam labu ± 3,5 mL. Pemanasan kemudian dihentikan, destilat

didinginkan untuk menghindari penguapan destilat yang diperoleh. Setelah proses

didinginkan, destilat kemudian ditambahkan 10 mL ksilena yang bertujuan untuk

mengekstrak sikloheksena yang ada pada campuran. Ksilena digunakan sebagai zat

pengekstrak sikloheksena karena ksilena dan sikloheksena sama-sama bersifat non polar.

Proses penarikan zat-zat sejenis ini disebut dengan kohesi. Penambahan ksilena menghasilkan

campuran yang saling tidak saling melarut, karena ada dua lisan yaitu lapisan polar dan non

polar. Lapisan non polar (sikloheksena dalam ksilena) ada di bagian atas, sedangkan lapisan

polar (air dan asam fosfat) berada pada bagian bawah. Campuran kemudian didestilasi

kembali, dengan tujuan untuk pemurnian sikloheksena yang diperoleh. Destilasi

dilangsungkan sampai volume larutan sikloheksena dalam ksilena tersisa setengahnya.

Destilat yang diperoleh kemudian dicuci dengan 10 mL air, yang bertujuan untuk

melarutkan ion fosfat yang masih terkandung dalam hasil reaksi dan memisahkan ion fosfat

dengan sikloheksena. Sikloheksena tidak melarut dengan air karena bersifat non polar

sehingga akan terbentuk dua lapisan. Lapisan bawah adalah air yang melarutkana ion fosfat,

sedangkan lapisan atas adalah sikloheksena. Kedua lapisan ini dipisahkan dengan

menggunakan corong pisah.

Untuk memastikan bahwa tidak ada air lagi dalam lapisa sikloheksena tadi, digunakan

zat yang dapat mengikat air yaitu CuSO4 anhidrat. Penggunaan CuSO4 sebagai penyerap air

dikarenakan CuSO4 yang berwarna putih bila menyerap air akan berubah warna menjadi biru.

Setelah air dalam larutan habis, maka CuSO4 tidak mengalami perubahan warna menjadi biru

lagi (tetap putih). Dengan kata lain, penggunaan CuSO4 sebagai penyerap air dikarenakan

kemudahan dalam mengamati telah habisnya air, yang ditandai dengan tidak berubahnya

Page 13: Reaksi Substitusi Nukleofilik

warna CuSO4 saat dimasukkan ke dalam larutan sikloheksena. Kemudian, larutan didekantasi

untuk memisahkan CuSO4 yang sudah mengikat air tadi dengan sikloheksena.

Untuk menguji kemurnian sikloheksena, dilakukan uji titik didh dan uji indeks bias.

Titik didih sikloheksena berdasarkan literatur (pada tekanan 1 atm) adalah 830C. Namun pada

praktikum diperoleh suhu dimana mulai diperoleh destilat adalah pada 820C. perbedaan titik

didih ini kemungkinan disebabkan tekanan udara yang lebih rendah dari 1 atm. Sedangkan,

indeks bias yang terukur adalah 1,450 (literature 1,445). Tingginya indeks bias sikloheksanon

yang terukur disebabkan karena suhu kamar saat praktikum lebih dari 250C. Suhu

mempengaruhi indeks bias dari suati zat semakin tinggi suhu maka indeks biasnya semakin

besar pula. Hal ini disebabkan pada suhu yang besar jarak antara molekul semakin meregang.

Tekanan juga mempengaruhi indeks bias semakin rendah tekanan maka indeks bias semakin

meningkat. Selain itu juga, perbedaan indeks bias ini menunjukkan bahwa sikloheksena yang

diperoleh kemurniannya masih dibawah 100%. Sikloheksena yang diperoleh kemudian

ditimbang. Massa sikloheksena yang diperoleh adalah 4,9561 g. Berdasarkan data hasil

percobaan ini, kemudian dapat dihitung rendemen dari produk seperti berikut ini.

Perhitungan secara teoritis :

Reaksi : C6H11OH → C6H10 + H2O

Vol sikloheksanol : 10,6 mL (g/mL)

Massa sikloheksanol = V . sikloheksanol × ρ

= 10,6 mL x 0,94 h/mL

= 9,964 g

Mol sikloheksanol =

massa sikloheksanolMr sikloheksanol

=

9 ,964 g100 g/mol

= 0,09964 mol

Jadi, secara teoritis mol sikloheksanol = mol sikloheksena, maka secara teoritis mol

sikloheksena adalah 0,09964 mol.

Massa sikloheksena secara teoritis = mol sikloheksena x Mr sikloheksena

= 0,09964 mol x 80 g/mol

= 7,9712 g

Massa sikloheksena yang diperoleh yaitu 4,9561 g

Page 14: Reaksi Substitusi Nukleofilik

- Rendemen hasil praktikum =

massa sikloheksena hasil praktikummassa sikloheksena secara teoritis

x 100%

=

4 ,9561 g7,9712 g

× 100%

= 62,18 %

ISOMERISASI GEOMETRI

Pada percobaan ini, asam maleat yang digunakan adalan asam maleat anhidrat, dimana asam

maleat anhidrat yang digunakan sebanyak 7,5222 gram. Pertama yang dilakukan adalah asam

maleat anhidrat dilarutkan dalam 10 mL air mendidih sambil diaduk, sehingga seluruh

padatan asam maleat anhidrat larut dan larutan yang dihasilkan bening. Larutan ini kemudian

didinginkan dalam penangas es dengan suhu ± 20oC dan terbentuk endapan berwarna putih

dan masih terdapat larutan tidak berwarna (bening) tadi. Reaksi pelarutan asam maleat

anhidrat dengan air mendidih sampai terbentuknya padatan asam maleat adalah sebagai

berikut.

Penggunaan penangas es dengan suhu ± 20oC pada saat pembentukan padatan asam

maleat dikarenakan asam maleat bersifat sangat mudah mengendap dalam air dingin (≤

20oC), sehingga suhu diatur sedemikian rupa agar tidak kurang dari 200C. Mudahnya asam

maleat mengendap dalam air dingin dikarenakan asam maleat bersifat tidak stabil pada suhu

tersebut, sehingga pada suhu 0oC seluruh asam maleat akan mengendap. Hal ini

mengakibatkan diperlukannya pengaturan suhu sedemikian rupa agar tidak seluruh asam

maleat mengendap. Suhu yang dikondisikan pada praktikum ini adalah 200C, yang bertujuan

agar tidak seluruhnya kristal asam maleat akan mengendap, karena filtratnya akan digunakan

untuk dibuat menjadi isomer geometri dari asam maleat yaitu asam fumarat.

Langkah berikutnya yaitu kristal yang terbentuk disaring menggunakan corong

Buchner. Penggunaan corong Buchner bertujuan untuk mempercepat proses penyaringan.

Penyaringan menghasilkan jumlah filtrat (bening) yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan

dengan kristal asam maleat (kristal putih) yang terbentuk. Kristal asam maleat atau endapan

Page 15: Reaksi Substitusi Nukleofilik

yang disaring sebelumnya kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven sebelum

ditentukan titik lelehnya. Tujuan pengeringan adalah untuk menghilangkan kandungan air

yang mungkin masih tersisa pada endapan, agar saat ditentukan titik lelehnya, titik leleh dari

kristal asam maleat tidak dipengaruhi oleh kandungan air yang ada.

Setelah dikeringkan, kemudian kristal asam maleat ditentukan titik lelehnya. Titik

leleh asam maleat ditentukan dengan menggunakan melting block (balok logam). Titik leleh

asam maleat yang diperoleh yaitu 130,50C, dengan rentang mulai meleleh ampai habis

meleleh adalah 0,50C. Hal ini menandakan bahwa asam maleat yang ditentukan titik lelehnya

tersebut merupakan asam maleat murni tanpa adanya kantaminan dan air yang mempengaruhi

titikleleh asam maleat. Selain itu berdasarkan teori, titik leleh asam maleat adalah 130,5 0C,

sesuai dengan hasil pengamatan.

Setelah endapan hasil penyaringan tadi diukur titik lelehnya, kemudian langkah

berikutnya yang dilakukan yaitu merefluks filtrat hasil penyaringan tadi. Refluks dilakukan

dengan cara filtrat yang masih mengandung asam maleat dimasukkan ke dalam labu alas

bulat 50 mL, kemudian ditambahkan 7,5 mL asam klorida pekat. Mekanisme reaksi yang

terjadi ketika asam maleat ditambahkan larutan HCl pekat dan dipanaskan dengan merefluks

adalah sebagai berikut.

Campuran tersebut kemudian direfluks selama 10 menit, sehingga terbentuk endapan

berwarna putih. Endapan tersebut adalah kristal asam fumarat, dimana asam maleat

membentuk kesetimbangan dengan asam fumarat ketika asam maleat dipanaskan dengan

asam klorida.

Page 16: Reaksi Substitusi Nukleofilik

Larutan yang sudah direfluks kemudian didinginkan dalam suhu ruangan dan disaring

menggunakan corong Buchner. Hasil dari penyaringan kemudian direkristalisasi dengan

menggunakan air panas. Air panas yang digunakan adalah sebanyak 60 mL, karena endapan

yang dhasilkan adalah sebanyak ± 5 gram (1 gram endapan direkristalisasi dengan 12 mL air

panas). Tujuan penggunaan air panas adalah untuk memisahkan asam fumarat murni dari

pengotornya. Filtrat murni yang diperoleh kemudian dikisatkan sehingga diperoleh endapan

atau Kristal asam fumarat.

Pada saat mengkisatkan, dilakukan pemanasan namun dalam pemanasan filtrat tidak

boleh sampai mendidih, karena akan merusak bentuk kristal asam fumarat. Setelah

dipanaskan, filtrat dalam cawan penguap dikejutkan dengan cara menempelkan dasar cawan

penguap pada es batu sehingga endapan yang diperoleh lebih banyak.

Sebelum asam fumarat disaring, kertas saring yang digunakan menyaring ditimbang

terlebih dahulu agar berat kertas saring tidak ikut terukur. Berat kertas saring adalah 0,9012

gram. Endapan yang terbentuk disaring menggunakan corong Buchner serta kertas saring

yang telah ditimbang dan dikeringkan. Tujuan pengeringan adalah untuk menghilangkan

kandungan airnya agar tidak mempengaruhi berat asam fumarat yang dihasilkan dan tidak

mempengaruhi penentuan titik leleh asam fumarat.

Asam fumarat yang dihasilkan setelah pengeringan dengan oven tampak seperti

kristal putih. Kemudian kristal tersebut ditimbang dan menghasilkan berat 5,8221 gram.

Dengan demikian, berat asam fumarat yang dihasilkan adalah berat kristal dan kertas saring

dikurangi dengan berat kertas saring. Dari perhitungan diperoleh berat asam fumarat 4,9209

gram.

Titik leleh asam fumarat ditentukan dengan menggunakan melting block (balok

logam). Data hasil percobaan diperoleh titik leleh asam fumarat yaitu diatas 2370C.

Berdasarkan teori, titik leleh asam fumarat adalah 3020C. Karena keterbatasan alat

Page 17: Reaksi Substitusi Nukleofilik

(thermometer) dan waktu maka pengukuran titik leleh asam fumarat dihentikan sampai

2370C.

Langkah terakhir yang dilakukan adalah menghitung berat asam fumarat untuk

mencari persentase rendemennya. Massa asam maleat anhidrat = 7,5222 gram dan Mr asam

maleat anhidrat = 98,03 gram/mol. Dengan demikian, maka mol asam maleat anhidrat adalah:

Mol asam maleat anhidrat =

gramMr

= 7 ,5222 g

98 ,03g

mol

=0 ,07673

mol

Mr asam maleat hidrat adalah 116,03 gram/mol. Massa asam maleat pada larutan adalah

0,07673 mol x 116,03 gram/mol = 8,903 gram. Berdasarkan teori, kelarutan asam maleat

dalam air adalah 7,9 gram/10 mL pada suhu 20oC. Jadi, endapan asam maleat yang diperoleh

adalah 8,903 gram – 7,9 gram = 1,003 gram. Dengan demikian, mol asam maleat hidrat

adalah:

Mol asam maleat hidrat =

gramMr

= 1 ,003 g

116 , 03g

mol

=0 ,0086

mol

Mol asam maleat yang akan digunakan pada persamaan asam fumarat adalah mol asam

maleta anhidrat dikurangi mol asam maleat hidrat (0,07673 mol – 0,0086 mol = 0,06813

mol). Dalam teori, mol asam maleat ≈ mol asam fumarat sehingga:

0 ,06813 mol=massa asam fumaratMr asam fumarat

= gram

116 , 03g

mol

=7 , 9051

gram

Massa asam fumarat berdasarkan teori adalah 7,9051 gram sedangkan massa asam fumarat

berdasarkan hasil percobaan adalah 4,9209 gram.

Mol asam fumarat =

gramMr

= 4 , 9209 g

116 , 03g

mol

=0 ,0424

mol

% rendemen =

massaeksperimenmassa teori

x100 %= 4 , 9209g7 , 9051g

x100%=62 , 25%

Berkurangnya jumlah asam fumarat dari hasil teori dapat disebabkan oleh beberapa hal,

diantaranya :

a. belum semua asam klorida bereaksi dengan asam maleat membentuk asam fumarat

b. Pada saat mendinginkan kemungkinan larutan asam maleat suhunya lebih kecil dari

200C sehingga lebih banyak asam

Page 18: Reaksi Substitusi Nukleofilik

KAFEIN

Kafein adalah suatu senyawa organik yang mempunyai nama lain 1,3,7- trimetixantin.

Kristal kafein dalam air berupa jarum-jarum bercahaya sutra. Bila tidak mengandung air,

kafein meleleh pada 2340C sampai 2390C dan menyublim pada suhu yang lebih rendah

(Frieda, dkk., 2004). Secara alamiah, kafein terdapat pada biji kopi, daun teh, daun mente,

biji kola, dan coklat.

Struktur Kafein

Pada praktikum ini, kafein diisolasi dari serbuk kopi Banyuatis yang diperoleh di Pasar Anyar

Singaraja. Serbuk kopi Banyuatis merupakan kopi yang termasuk ke dalam kelas kopi

Robusta karena memiliki bau yang keras dan khas.

Isolasi kafein dari serbuk kopi pertama-tama dilakukan dengan cara sebanyak 20

gram kopi halus dicampurkan dalam 350 mL aquades kemudian dipanaskan selama 45 menit.

Tujuan pemanasan adalah untuk melarutkan kafein, karena kafein mudah larut dalam air

panas serta didasarkan oleh kelarutan kafein yang semakin meningkat seiring bertambahnya

suhu air, yaitu 22mg/mL pada 250C, 180 mg/mL pada 800C, dan 670 mg/mL pada 1000C.

Pemanasan yang dilakukan pada serbuk kopi halus dilakukan dengan cara refluks. Refluks

yaitu pemanasan larutan dengan menggunakan pendinginan. Keuntungan pemanasan dengan

menggunakan refluks adalah cocok digunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai tekstur

kasar dan tahan terhadap pemanasan langsung seperti serbuk kopi. Selain itu, penggunaan

metode refluks dalam isolasi kafein dari serbuk kopi karena refluks cocok untuk reaksi-reaksi

yang berlangsung pada suhu tinggi (kafein memiliki titik didih 1780C dan titik lelehnya 234-

2390C). Salah satu bagian dalam set alat refluks yaitu pendingin Liebing. Prinsip kerjanya

yaitu air masuk dari selang bawah dan keluar dari selang atas. Hal ini bertujuan untuk

memaksimalkan proses refluks, sebab tekanan air dari bawah ke atas akan lebih

menyempurnakan proses refluks dibandingkan tekanan air dari atas ke bawah (Anonim,

2010).

Page 19: Reaksi Substitusi Nukleofilik

Langkah berikutnya yang dilakukan setelah campuran bubuk kopi dan aquades

dipanaskan dalam refluks adalah campuran tersebut disaring menggunakan corong Buchner

dalam keadaan panas. Penyaringan dilakukan dalam keadaan panas karena kafein sedikit larut

dalam air dingin, sehingga apabila penyaringan dilakukan dalam keadaan dingin, maka kafein

akan kembali mengendap yang pada akhirnya menyebabkan kafein akan tersaring oleh

corong Buchner (ada sebagai residu). Dalam penyaringan digunakan corong Buchner yang

bertujuan untuk mempercepat proses penyaringan. Proses penyaringan harus dilakukan lebih

cepat karena untuk menghindari larutan menjadi dingin karena dengan dinginnya larutan

maka kafein akan kembali mengendap. Selain itu, penyaring Buchner digunakan untuk proses

penyaringan yang tidak dapat dilakukan dengan penyaring biasa. Penyaringan biasa

dilakukan dengan memanfaatkan gaya grafitasi, sedangkan pada penyaring Buchner, filtrat

dipisahkan dari sistem campuran dengan cara disedot atau divakum.

Untuk memisahkan bahan lain yang ada di dalam serbuk kopi seperti tanin, glukosa,

lemak, protein, dan selulosa, maka berikutnya filtrat ditambahkan larutan timbal asetat (3

gram timbale asetat dalam 27 mL aquades) tetes demi tetes. Jika tanin terisolasi ke dalam air

panas, maka akan terhidrolisis menghasilkan asam klorogenat. Asam klorogenat ini akan

akan menghasilkan endapan bila direaksikan dengan timbal asetat (Frieda dkk., 2004).

Asam Klorogenat

Campuran yang terdapat endapan tersebut kemudian didinginkan dan disaring kembali

dengan menggunakan corong Buchner. Corong Buchner digunakan untuk membantu

mempercepat proses penyaringan karena campuran telah mengental karena proses

pendinginan sebelumnya.

Filtrat yang didapat dari hasil penyaringan menggunakan corong Buchner kemudian

diekstraksi dengan menggunakan kloroform 3 x 25 mL. Ekstraksi dengan menggunakan

kloroform ini adalah salah satu aplikasi dari ekstraksi cair-cair yaitu pemisahan solut dari

cairan pembawa dengan menggunakan solven/pelarut cair. Penggunaan kloroform sebagai

bahan untuk mengekstraksi kafein adalah karena kafein merupakan senyawa organik yang

Page 20: Reaksi Substitusi Nukleofilik

larut dalam pelarut organik seperti kloroform. Selain itu, penggunaan kloroform karena

kafein mudah larut dalam kloroform. Ekstraksi dilakukan sebanyak 3 kali bertujuan untuk

memperoleh kafein dalam jumlah maksimal, karena semakin sering ekstraksi dilakukan maka

efektifitas dari proses ekstraksi tersebut akan semakin meningkat.

Pada proses ekstraksi ini, terbentuk 2 lapisan dimana lapisan atas yang berwarna

kecoklatan adalah lapisan dengan senyawa-senyawa yang larut dalam air (massa jenis air = 1

gram/cm3), sedangkan lapisan bawah yang bening adalah lapisan dengan senyawa yang larut

dalam kloroform (massa jenis kloroform = 1,5 gram/cm3). Senyawa yang kemungkinan

berada pada lapisan atas adalah tanin dan timbale asetat yang masih tersisa, karena tanin dan

timbale asetat larut dalam air. Lapisan bawah kemungkinan adalah kafein, karena kafein

merupakan senyawa organik yang larut dalam pelarut organik seperti kloroform.

Lapisan bawah yang merupakan lapisan senyawa yang larut dalam kloroform

kemudian dikumpulkan lalu kloroformnya yang memiliki titik didih 620C dipisahkan dengan

cara diuapkan dengan cawan penguap. Penguapan dengan cawan penguap ini dilakukan agar

kloroform menguap dan yang tertinggal hanyalah kafein kasarnya saja.

Langkah terakhir yang dilakukan yaitu melakukan sublimasi dari cawan penguapan

yang berisi kafein kasar tersebut agar diperoleh kafein murni dengan cara menutupi bagian

atas cawan penguap dengan kaca arloji yang telah ditimbang terlebih dahulu, kemudian

cawan penguapan yang berisi kafein kasar tersebut diletakkan di atas nyala api kecil selama

beberapa saat hingga terbentuk kristal jarum yang merupakan kafein murni. Dalam praktikum

ini proses sublimasi tidak berhasil dilakukan karena air yang ditempatkan di atas kaca arloji

menetes ke dalam cawan penguap karena pemanasan yang terlalu tinggi. Menetesnya air dari

kaca arloji mengakibatkan tidak berhasilnya proses sublimasi karena tidak ada cairan

pendingin di atas kaca arloji. Mengantisipasi kegagalan praktikum karena tidak berhasilnya

sublimasi ini, maka kaca arloji dipindahkan dan cawan penguap dibiarkan terbuka. Setelah

diuapkan selama ± 1,5 jam, diperoleh kristal putih berbentuk jarum di dasar cawan penguap

yang diduga merupakan Kristal kafein.

Untuk menguji kemurnian kristal yang diduga kafein ini, maka langkah berikutnya

yang dilakukan adalah uji sifat fisikanya yaitu dengan uji titik leleh. Titik leleh kristal kafein

yang dihasilkan pada praktikum ini adalah sebesar 2350C, maka dapat disimpulkan Kristal

yang diduga kafein tersebut adalah kafein murni karena titik leleh kafein adalah 234-2390C.

Dari hasil percobaan yang dilakukan, kafein yang diperoleh dalam 20 gram kopi Banyautis

adalah sebesar 0,2069 gram, sehingga perhitungan kadar kafein dalam serbuk kopi Banyuatis

adalah sebagai berikut.

Page 21: Reaksi Substitusi Nukleofilik

% kadar = massa kristal kafein yang diperolehmassa serbuk kopi yang digunakan

x100 %

=

0,2069 gram20,0028 gram

x 100 %

= 1,034 %

Jadi, berdasarkan perhitungan di atas, kadar kafein dalam kopi Banyuatis adalah 1,034%.

Menurut Chem-is-try.org (2010), kandungan kafein dalam kopi robusta adalah 1,48%. Tidak

sesuainya kadar kafein hasil praktikum dengan kadar kafein teoritis kemungkinan disebabkan

oleh tidak dilakukannya proses rekristalisasi untuk memperoleh kristal kafein. Rendemen

kristal kafein yang terkandung dalam kopi Bnyuatis dapat dihitung sebagai berikut.

% rendemen = massa kristal kafein yang diperoleh

massa kristal teoritisx100 %

= 0,2069 gram0,296 gram

x 100 %

= 69,898 %