ratifikasi statuta roma dalam perspektif hukum nasiona

10

Click here to load reader

Upload: hidayat-muhtar

Post on 15-Apr-2017

161 views

Category:

Law


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ratifikasi Statuta Roma dalam Perspektif Hukum Nasiona

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sistem hukum internasional modern merupakan suatu produk,kasarnya dari empat ratus

tahun terakhir ini yang berkembang dari adat istiadat dan praktek-praktek negara-negara eropa

modern dalam hubungan-hubungan dan komunikasi-komunikasi mereka.1

Abad ini telah menjadi sanksi adanya dorongan yang besar bagi perkembangan hukum

internasional di banding dengan yang terjadi pada tahap sebelumnya dari sejarah hukum

internasional ini.hal tersebut merupakan akibat wajar dari berkembanya interdependensi negara-

negara dan peningkatan pesat hubungan-hubungan antar negara negara karena berbagai macam

penemuan yang di tunjukan guna menagulangi kesulitan-kesulitan menyangkut waktu,ruang dan

komunikasi.2

Hukum internasional sendiri berkembang sangat pesat setelah berakhirnya perang dunia

ke II dengan tujuan utama untuk mengadili para penjahat perang nazi seperti Herman Goring,

Heinric himler dan beberapa penjahat nazi lainya lewat Mahkamah Militer Internasional di

Nuremberg yang di bentuk oleh sekutu sebagai pemenang perang antara lain Amerika

Serikat,Uni Soviet, Inggris dan Perancis selain itu sekutu juga mendirikan Mahkamah

Internasional Timur Jauh, atau dikenal dengan Mahkamah Tokyo, juga merupakan mahkamah

yang didirikan untuk mengadili penjahat perang

Pengadilan ini sendiri memiliki tujuan untuk menyelidiki pelanggaran HAM yang di

1 J.G.Starke,Pengantar Hukum Internnasional,(Jakarta:,Sinar Grafika 2010),Hal 82 Ibid.hlm 17

Page 2: Ratifikasi Statuta Roma dalam Perspektif Hukum Nasiona

lakukan oleh para pejabat serta jendral perang nazi dan jepang yang terjadi di negara-negara

yang di duduki oleh nazi dan jepang lewat kejadian yang kita kenal sebagai holocaust yaitu suatu

pemusnahan besar-besaran kaum yahudi oleh nazi dan perbudakan oleh pihak jepang.

Dengan demikian,Konsepsi negara-negara Barat dari semula telah medominasi pemikiran

negara-negara yang tergabung dalam PBB waktu mereka,seusai perang dunia ke II (1942-1945)

yang amat dahsyat itu,ingin merumuskan suatu dokumen hak asasi manusia yang dapat di terima

secara universal.3

Hampir setengah abad setelah Perang Dunia berakhir, masyarakat internasional kembali

dikejutkan dengan praktek pembersihan etnis yang lagi-lagi terjadi di Eropa yakni di Negara

bekas Yugoslavia. Konflik di Bosnia-Herzegovina, sejak April 1992 dan berakhir bulan

November 1995, merupakan praktek pembersihan etnis yang kekejamannya sudah mencapai

tingkat yang tidak pernah dialami Eropa sejak Perang Dunia II. Kamp-kamp konsentrasi,

perkosaan yang sistematis, pembunuhan besar-besaran, penyiksaan, dan pemindahan penduduk

sipil secara massal adalah bukti-bukti yang tidak dapat diingkari yang akhirnya mendorong

Dewan Keamanan PBB untuk mendirikan International Criminal Tribunal for The Former

Yugoslavia (ICTY) dengan pertimbangan bahwa sudah meluasnya tindakan pelanggaran

terhadap hukum humaniter termasuk praktek pembersihan etnis sehingga sangat mengancam

perdamaian dan keamanan internasional.

Berbagai kritikan kembali muncul seiring terbentuknya ICTY ini, banyak kalangan yang

menganggap bahwa mahkamah ini hanyalah kebetulan belaka dan hanya menjadi alat bagi

negara-negara adikuasa seperti halnya amerika serikat untuk memuluskan langkah politiknya

dalam politik negara lain di sisi lain pembentukan ICTY jauh dari objektifitas hukum karena

yang mengadili adalah negara-negara yang memiliki kepentingan di negara tersebut sebagai

3 Prof.Miriam Budiardjo,Dasar-dasar Ilmu Politik,(Jakarta:Gramedia Pustaka Utama 2008),Hal 211

Page 3: Ratifikasi Statuta Roma dalam Perspektif Hukum Nasiona

akibat belum adanya hukum internasional atau peraturan mengenai pelanggaran Hak Asasi

Manusia.

Indonesia sendiri telah mengalami berbagai macam pelanggaran HAM seperti peristiwa

1965, Semanggi I, Semanggi II, Tragedi Trisakti, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Tanjung Priok,

Penembak Misterius, Penculikan Aktivis 1998, Kasus-Kasus di Papua dan Aceh, Timor Leste yang

membuat kejadian-kejadian tersebut merubah perspektif dan paradigma masyarakat tentang

perlindungan dan pertanggungjawaban penyelesain peristiwa pelanggaran HAM akan tetapi dengan

banyaknya korban jiwa tidak membuat banyak pelaku pelanggar HAM dapat di seret di pengadilan

sebagai akibat masih kuatnya praktek impunitas di Indonesia.

Masih kuatnya praktek impunitas di Indonesia sebagai akibat belum terlaksananya secara

maksimal Asas Pertanggungjawaban Komando biasanya dalam penaganan kasus pelanggaran HAM

serta penyelesainya hanya fokus kepada pelaku yang melakukan pelanggaran secara langsung atau

fisik akan tetapi para pejabat terkait dan atasan mereka tidak di bebankan pelanggaran HAM

walaupun mereka tidak melakukan secara fisik tetapi mereka mengetahui dan ikut memerintahkan

karena hal tidak mungkin seorang prajurit melakukan suatu operasi tanpa sepengatahuan atau

perintah dari atasan.

Dalam perkembanganya sebagai akibat belum adanya suatu peraturan Mengenai Hak

Asasi Manusia secara universal akhirnya PBB berinisiatif untuk membentuk suatu peraturan dan

pembentukan lembaga permanen yang mengadili tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia yang

bertujuan untuk supermasi hukum dan keadilan dalam penaganan Kasus pelanggaran HAM.

Pada 17 Juli 1998, 120 negara yang berpartisipasi dalam “United Nations Diplomatic

Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court

menyetujui dibentuknya International Criminal Court (ICC) yang diadopsi dari Statuta Roma

tersebut.Pengadilan Pidana Internasional (ICC = The International Criminal Court) merupakan

Page 4: Ratifikasi Statuta Roma dalam Perspektif Hukum Nasiona

sebuah lembaga yudisial independen yang permanen, yang diciptakan oleh komunitas negara-

negara internasional, untuk mengusut kejahatan yang mungkin dianggap sebagai yang terbesar

menurut hukum internasional seperti: genosida, kejahatan lain terhadap kemanusiaan dan

kejahatan perang.4

Statuta Roma menjadi tonggak sejarah dalam penegakan pelanggaran HAM di berbagai

negara akan tetapi Indonesia sebagai negara yang telah berkomitmen dalam penegakan

pelanggaran HAM belum melakukan Ratifikasi Statuta Roma padahal hal ini telah tercantum

dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (Ranhamnas) 2004 – 20095 dan remhamnas

2009-20146, akan tetapi Ratifikasi masih belum di lakukan padahal Ratifikasi Statuta Roma

menjadi hal sangat Urgen dalam penegakan HAM di Indonesia padahal UUD 1945 telah jelas

mengatur dan melindungi HAM rakyat Indonesia, dan dalam pasal 28 I ayat 4

dinyatakan:“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah

tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”7

Dalam hal ini sudah sangat jelas negara harus berperan aktif dalam melindungi warga

Negara dari pelanggaran HAM memang Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 26 tahun

2000 tentang Pengadilan HAM yang adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi

manusia yang berat.8 Pengadilan ini bersifat ad hoc (sementara) dan mampu mengadili kasus-

kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau. Namun jika di lihat dari fakta di lapangan

banyak pelaku pelanggaran HAM berat tidak pernah di periksa akibatnya timbulnya Impunitas

terhadap pelaku Pelanggaran HAM padahal pelanggaran HAM Bukan hanya mengenai kontak

fisik tetapi ada pula asas Pertanggujawan Komando yang sangat efektif dalam menjerat para

4Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional, KERTAS KERJA: Indonesia Menuju Ratifikasi Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional Tahun 2008 5 Lihat Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 2004.6 Lihat Peraturan Presiden 23 tahun 2011.7 Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Pasal 28 I ayat 4.8 Lihat Undang-undang No. 26 tahun 2000 pasal 1 angka 3.

Page 5: Ratifikasi Statuta Roma dalam Perspektif Hukum Nasiona

pelaku kejahatan Hak Asasi Manusia.

Oleh sebab itu dari latar belakang di atas penulis berkeinginan meneliti dan memberikan

sebuah gagasan dengan judul ”KONSTRUKSI HUKUM NASIONAL INDONESIA

MENURUT STATUTA ROMA TENTANG PRAKTEK IMPUNITAS DAN PENEGAKAN

ASAS PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO (SUATU TINJAUN KRITIS

TERHADAP KASUS SEMANGGI)”

1.2. Rumusan Masaalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah

adalah sebagai berikut:

1. Apakah memungkinkan bagi Indonesia untuk membentuk konstitusi nasional Indonesia

terkait dengan impunitas atas pelanggaran HAM?

2. Bagaimana kaitan urgensi Ratifikasi Statuta Roma dengan pengaturan impunitas di

Indonesia terkait kasus semanggi?

3. Apa urgensi penerapan asas Pertanggungjawaban Komando di Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian berdasarkan permasalahan diatas antara lain

sebagai berikut:

1. Untuk dapat mengentahui dan menganilisis Konstitusi Nasional Indonesia terkait

impunitas atas pelanggara HAM

2. Untuk dapat mengetahui dan menganalisis Ratifikasi Statuta roma sebagai landasan

Penghapusan Impunitas di Indonesia?

3. Untuk mengetahui dan menganalisis Pentingnya Ratifikasi statuta roma dalam Penerapan

Pertanggungjawaban Komando di Indonesia?

Page 6: Ratifikasi Statuta Roma dalam Perspektif Hukum Nasiona

2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian hukum berdasarkan tujuan penelitian diatas

anatara lain sebagai berikut.

1.4.1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat mengembangkan konsep tentang HAM dan Ratifikasi Statuta Roma

di tinjau dari Praktek Impunitas dan Pertanggungjawaban Komando.

1.4.2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1.4.2.1. Bagi Peneliti

Agar dapat mengetahui, mengerti dan memahami bagaimana Proses penegakan HAM di

Indonesia, Manfaat Ratifikasi Statuta Roma oleh indonesia,dan praktek impunitas serta

Pertanggungjawaban Komando di Indonesia

1.4.2.2. Bagi Masyarakat

Memberikan pemahaman serta pengetahuan yang objektif tentang Ratifikasi Statuta

Roma oleh Indonesia dalam menghapus praktek Impunitas dan penegakan Pertanggungjawaban

Komando.

1.4.2.3. Bagi Pemerintah

Memberikan dorongan moral agar dapat Meratifikasi Statuta Roma sebagai landasan

untuk penyelesain kasus pelanggaran HAM.

1.4.2.4. Bagi Akademisi

Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dan kajian ilmiah tentang penggunaan Ratifikasi

Statuta Roma dalam penghapusan Praktek Impunitas dan Penegakan Asas Pertanggungjawaban

Komando.

Page 7: Ratifikasi Statuta Roma dalam Perspektif Hukum Nasiona