rancangan rancangan peraturan daerah...
TRANSCRIPT
I - 1
DRAFT LAPORAN
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN
TUBAN TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN
DAN KAWASAN PERMUKIMAN
Disiapkan oleh:
Tim Konsultan
Dinas Perumahan Dan Kawasan Permukiman
Kabupaten Tuban
PEMERINTAH KABUPATEN TUBAN
DINAS PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN
2017
I - 2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban
tentang Penyelenggaraan Perumahan Dan Kawasan Permukiman.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015, salah satu urusan pemerintahan
konkuren yang bersifat wajib dan berkaitan dengan pelayanan dasar adalah
perumahan dan kawasan permukiman. Urusan perumahan dan kawasan
perumahan tersebut meliputi beberapa sub urusan yaitu:
1. perumahan;
2. kawasan permukiman;
3. perumahan dan kawasan permukiman Kumuh;
4. Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU); dan
5. sertifikasi, kualifikasi, klasifikasi, dan Registrasi Bidang Perumahan dan
Kawasan Permukiman.
Selanjutnya dalam rangka penyelenggaraan kewenangan daerah di
bidang perumahan rakyat dan kawasan permukiman serta sebagai penjabaran
lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
khususnya Pasal 36, Pasal 49, dan Pasal 98 UU No 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman beserta peraturan pelaksanaannya dan
sekaligus menjadi atas permasalahan di daerah (local problem solving) terkait
di bidang Perumahan dan kawasan permukiman, dipandang perlu membentuk
Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman. Selanjutnya untuk mewujudkan sebuah Peraturan Daerah yang
baik dan ideal, maka perlu dilakukan kajian akademis.
I - 3
Kajian hukum ini dilaksanakan dalam rangka mendapatkan kajian yang
mendalam secara yuridis terhadap Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman di Daerah Kabupaten Tuban. Atas selesainya naskah akademik ini,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyiapan sampai selesainya laporan pelaksanaan
kegiatan penelitian ini.
Laporan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kami akan menerima
dengan tangan terbuka kritik dan saran guna perbaikannya. Akhirnya kami
berharap semoga hasil kajian ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak
yang memerlukannya.
Tuban, Juni 2017
Tim Penyusun
I - 4
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul .........…………............................................................ i
Kata Pengantar ................................................................................ ii
Daftar Isi ………….. .................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN ...................................................................... I-1
A. Latar Belakang ............................................................... I-1
B. Identifikasi Masalah ......................................................... I-7
C. Maksud, Tujuan dan Target ............................................. I-13
D. Kegunaan ...................................................................... I-14
D. Metode Penulisan ............................................................ I-14
BAB II : KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIS EMPIRIS ............................... II-1
A. Kajian Teoretis ................................................................. II-1
1. Tinjauan tentang Pemerintahan Daerah ............................ II-1
2. Tinjauan Tentang Peran Pemerintah ................................. II-9
3. Tinjauan tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman ................................................................... II-11
a. Pengertian Perumahan ................................................. II-11
b. Pengertian Permukiman ............................................... II-21
4. Permukiman Kumuh ........................................................ II-28
I - 5
a. Pengertian Permukiman Kumuh .................................... II-28
b. Faktor-Faktor Penyebab Tumbuhnya Permukiman
Kumuh ....................................................................... II-30
c. Karakteristik dan Kriteria Permukiman Kumuh ................ II-34
d. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kondisi
Permukiman Kumuh .................................................... II-36
5. Urusan Pemerintahan bidang Perumahan dan Kawasan
Permukinan yang menjadi Kewenangan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota Berdasarkan UU No 23 Tahun
2014 .............................................................................. II-42
6. Pembangunan Prasarana, Sarana, dan Utilitas
Perumahan dan Permukiman ......................................... II-48
B. Kajian Terhadap Asas Terkait Dengan Penyusunan Norma ... II-52
C. Kajian Terhadap Penyelenggaraan Perumahan dan Permukiman
di Daerah dan Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat ...... II-60
D. Kajian Implikasi Peraturan Daerah Terhadap
Aspek Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya
Terhadap Aspek Beban Keuangan Daerah ............................. II-84
BAB III: EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN TERKAIT ............................................................. III-1
A. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
III-3
B. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria ................................................ III-3
C. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung ........................................................................... III-4
I - 6
D. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahanan
dan Kawasan Permukiman ................................................ III-5
E. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan ........................................ III-9
F. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 ................... III-13
G. Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2014 tentang
Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman .................................................................... III-15
H. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman ..... III-16
I. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2016 tentang
Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah III-28
BAB IV : LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS .................. IV-1
A. Landasan Filosofis ............................................................ IV-1
B. Landasan Sosiologis Yuridis ............................................... IV-3
C. Landasan Yuridis .............................................................. IV-6
BAB V : JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG
LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH ....................... V-1
A. Jangkauan dan Arah Pengaturan .......................................... V-1
B. Ketentuan Umum ............................................................... V-2
C. Materi Yang Akan Diatur dalam Perda ..................................... V-8
D. Ketentuan Sanksi ............................................................... V-35
E. Ketentuan Peralihan ........................................................... V-36
F. Ketentuan Penutup ............................................................ V-36
BAB VI : PENUTUP ............................................................................... VI-1
A. Kesimpulan ..................................................................... VI-1
B. Saran ............................................................................. VI-2
I - 7
LAMPIRAN:
A. Daftar Kepustakaan.
B. Daftar Inventarisasi Peraturan Perundang-undangan.
C. Draft Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia sebagaimana diidealkan dan dicita-
citakan oleh the founding fathers adalah sebagai Negara
Kesejahteraan (Welfare Staat). Negara kesejahteraan
adalah suatu negara yang memiliki tujuan mewujudkan
kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini sesuai dengan dengan
apa yang tercantum dalam Alinea ke 4 (empat) Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945) yang berbunyi sebagai berikut:
“.....untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”.
Negara Indonesia juga merupakan negara hukum.
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
yaitu: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam
negara Hukum, hukum hendaknya dapat dipahami dan
dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Apalagi,
I - 2
negara hendak dipahami sebagai suatu konsep hukum,
yaitu sebagai Negara Hukum. Dalam hukum sebagai suatu
kesatuan sistem terdapat (1) elemen kelembagaan (elemen
institusional), (2) elemen kaedah aturan (elemen
instrumental), dan (3) elemen perilaku para subjek hukum
yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh
norma aturan itu (elemen subjektif dan kultural). Ketiga
elemen sistem hukum itu mencakup (a) kegiatan
pembuatan hukum (law making), (b) kegiatan pelaksanaan
atau penerapan hukum (law administrating), dan (c)
kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law
adjudicating).
Supremasi hukum dikenal juga dengan “the rule of law”
yang diartikan sebagai “the governance not by man but by
law”, pemerintahan oleh hukum, bukan oleh manusia;
bukan hukumnya yang memerintah, karena hukum itu
hanyalah kaedah atau pedoman dan sekaligus sarana atau
alat, tetapi harus ada manusianya yang menjalankan adan
melaksanakannya secara konsisten berdasarkan hukum,
dan tidak sekehendak atau sewenang-wenang.
Gagasan negara hukum (konstitusionalisme) tersebut,
maka negara perlu campur tangan karena hal itu menjadi
kewajiban negara untuk menjamin hak setiap orang
mendapatkan keadilan. Dengan kata lain, negara harus
menjamin terselenggaranya bantuan hukum kepada orang
miskin atau orang yang tidak mampu sehingga tidak ada
yang luput dari akses keadilan yang merupakan amanat
konstitusi.
I - 3
Berdasarkan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dinyatakan
bahwa: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Kosekuensi dari ketentuan tersebut adalah
bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar
manusia, dan yg mempunyai peran yg sangat strategis dlm
pembentukan watak serta kepribadian bangsa sbg salah
satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya,
berjati diri, mandiri, dan produktif.
Hak bertempat tinggal merupakan hak asasi manusia.
Sebagai hak asasi manusia maka memberikan tanggung
jawab kepada negara setidaknya pada 3 hal yaitu:
menghormati, melindungi dan memenuhinya. Selanjutnya
sebagai bentuk pelaksanaan tanggung jawab tersebut maka
Pemerintah mengundangkan Undang-Undang No 4 Tahun
1992 tentang Perumahan dan Permukiman yang kemudian
sejak tahun 2011 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
dengan Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Terkait dengan hak bertempat tinggal negara
bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia
melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal
serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam
perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan
di seluruh wilayah Indonesia.
I - 4
Saat ini kebutuhan masyarakat terhadap pemukiman
dan perumahan di berbagai daerah termasuk di Tuban
sangat tinggi, karena perumahan atau papan adalah
kebutuhan primer yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Terhadap kebutuhan utama (primer) tersebut telah
menimbulkan suatu lahan baru bagi pengusaha
pengembang untuk membuat perumahan-perumahan yang
terjangkau dan murah. Hal ini juga merupakan program
pemerintah untuk memberikan perumahan yang laik bagi
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Konsideran
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan
Dan Kawasan Permukiman yang menyatakan:
1. bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang
mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa
sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan
produktif;
2. bahwa negara bertanggung jawab melindungi
segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta
menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan
berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia;
Dengan demikian, hadirnya perumahan-perumahan
tersebut dapat diterima dengan baik karena tentu berkaitan
erat dengan program Pemerintah dan juga kebutuhan
Masyarakat akan perumahan yang laik dan baik akan
terpenuhi. Kehadiran dan keberadaan perumahan-
perumahan khususnya di Kabupaten Tuban perlu
I - 5
memperhatikan aspek kelayakan itu sendiri dan terutama
kepatuhan terhadap aturan yang sudah digariskan oleh UU
tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman.
Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian
yang dilengkapi dengan prasarana, sarana dan utilitas.
Permukiman yaitu bagian dari lingkungan hunian yang
terdiri atas lebih dari satu satuan Perumahan yang
mempunyai prasarana, sarana, dan utilitas umum, serta
mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain dikawasan
perkotaan atau kawasan perdesaan. Sedangkan Kawasan
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar
kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun
perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan
perkembangan pembangunan di berbagai sektor yang
terjadi di Kabupaten Tuban telah menimbulkan banyaknya
perumahan dan permukiman yang berdiri sebagai upaya
memenuhi kebutuhan tempat tinggal masyarakat.
Pertumbuhan Permukiman yang sangat pesat
mengakibatkan munculnya permasalahan tata ruang
Perumahan dan Permukiman sehingga perlu ditata.
penataan Permukiman sebagaimana dimaksud berguna
untuk pemenuhan kebutuhan hunian dan lingkungan hunian
yang layak huni dan upaya penataan ruang, Perumahan,
dan Permukiman, sekaligus rangka melaksanakan ketentuan
Pasal 36 ayat (3), Pasal 49 ayat (3) dan Pasal 98 ayat (3)
I - 6
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman.
Esesnsi Pemerintahan Daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah
daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD
1945. Penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran
serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015, salah satu
urusan pemerintahan konkuren yang bersifat wajib dan
berkaitan dengan pelayanan dasar adalah urusan
perumahan rakyat dan kawasan permukiman. Urusan
perumahan dan kawasan perumahan tersebut meliputi
beberapa sub urusan yaitu:
6. perumahan;
7. kawasan permukiman;
8. perumahan dan kawasan permukiman Kumuh;
9. Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU); dan
I - 7
10. sertifikasi, kualifikasi, klasifikasi, dan Registrasi Bidang
Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Dalam rangka penyelenggaraan kewenangan daerah
di bidang perumahan rakyat dan kawasan permukiman
tersebut dan sekaligus menjadi atas permasalahan di
daerah (local problem solving) terkait di bidang Perumahan
dan kawasan permukiman, dipandang perlu membentuk
Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Perumahan dan
Kawasan Permukiman.
Untuk mewujudkan sebuah Perda yang ideal maka
dilakukanlah kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Atas dasar pemikiran tersebut di atas maka
Pemerintah Kabupaten Tuban melalui Dinas Perumahan
Rakyat dan Kawasan Permukiman melaksanakan kegiatan
berupa Penyusunan Naskah Akademis Rancangan Peraturan
Daerah tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
B. Identifikasi Masalah
Perkembangan dan pertumbuhan jumlah penduduk
di Daerah Kabupaten Tuban menuntut adanya pemenuhan
kebutuhan akan tempat tinggal (rumah). Dari banyaknya
rumah yang berdiri akan membentuk perumahan maupun
permukiman. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai
bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun
perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan
utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang
I - 8
layak huni. Sedangkan Permukiman adalah bagian dari
lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan
perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas
umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di
kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.
Kehadiran dan keberadaan perumahan-perumahan
khususnya di Kabupaten Tuban perlu memperhatikan aspek
kelayakan itu sendiri dan terutama kepatuhan terhadap
aturan yang sudah digariskan oleh UU No 1 Tahun 2011
tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman. Setidaknya
terdapat 4 pasal dalam UU No 1 Tahun 2011 tersebut yang
mengamanahkan pembentukan Peraturan Daerah.
Selengkapnya bunyi ketentuan dalam keempat pasal
tersebut sebagai berikut:
1. Pasal 36 :
(1) Dalam hal pembangunan perumahan dengan hunian
berimbang tidak dalam satu hamparan,
pembangunan rumah umum harus dilaksanakan
dalam satu daerah kabupaten/kota.
(2) Pembangunan rumah umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus mempunyai akses menuju pusat
pelayanan atau tempat kerja.
(3) Kemudahan akses sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Daerah.
2. Pasal 47 ayat (4):
"Prasarana, sarana, dan utilitas umum yang telah selesai
dibangun oleh setiap orang harus diserahkan kepada
pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”
I - 9
3. Pasal 49:
(1) Pemanfaatan rumah dapat digunakan sebagai
kegiatan usaha secara terbatas tanpa
membahayakan dan tidak mengganggu fungsi
hunian.
(2) Pemanfaatan rumah selain digunakan untuk fungsi
hunian harus memastikan terpeliharanya
perumahan dan lingkungan hunian.
(3) Ketentuan mengenai pemanfaatan rumah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Daerah.
4. Pasal 98:
(1) Penetapan lokasi perumahan dan permukiman
kumuh wajib memenuhi persyaratan:
a. kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah
nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi,
dan rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota;
b. kesesuaian dengan rencana tata bangunan dan
lingkungan;
c. kondisi dan kualitas prasarana, sarana, dan
utilitas umum yang memenuhi persyaratan dan
tidak membahayakan penghuni;
d. tingkat keteraturan dan kepadatan bangunan;
e. kualitas bangunan; dan
f. kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat.
(2) Penetapan lokasi perumahan kumuh dan
permukiman kumuh wajib didahului proses
pendataan yang dilakukan oleh pemerintah daerah
dengan melibatkan peran masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan lokasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
oleh pemerintah daerah dengan peraturan daerah.
Sebagaimana telah dikemukakan dalam sub bab
sebelumnya bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1)
I - 10
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa
kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015,
salah satu urusan pemerintahan konkuren yang bersifat
wajib dan berkaitan dengan pelayanan dasar adalah urusan
perumahan rakyat dan kawasan permukiman. Selanjutnya
rincian urusan perumahan rakyat dan kawasan permukiman
yang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten
adalah sebagaimana tersaji dalam tabel berikut:
NO SUB URUSAN KEWENANGAN DAERAH KABUPATEN
1 Perumahan a. Penyediaan dan rehabilitasi rumah
korban bencana kabupaten.
b. Fasilitasi penyediaan rumah bagi
masyarakat yang terkena relokasi
program Pemerintah Daerah
kabupaten.
c. Penerbitan izin pembangunan dan
pengembangan perumahan.
d. Penerbitan sertifikat kepemilikan
bangunan gedung (SKBG).
2 Kawasan
Permukiman
a. Penerbitan izin pembangunan dan
pengembangan kawasan
permukiman.
b. Penataan dan peningkatan kualitas
kawasan permukiman kumuh dengan
luas di bawah 10 ha.
3 Perumahan dan
Kawasan
Permukiman
Kumuh
Pencegahan perumahan dan kawasan
permukiman kumuh pada Daerah
kabupaten.
4 Prasarana, Sarana,
dan Utilitas Umum
(PSU)
Penyelenggaraan PSU perumahan.
I - 11
5 Sertifikasi,
Kualifikasi,
Klasifikasi, dan
Registrasi Bidang
Perumahan dan
Kawasan
Permukiman
Sertifikasi dan registrasi bagi Orang
atau Badan Hukum yang melaksanakan
perancangan dan perencanaan rumah
serta perencanaan prasarana, sarana
dan utilitas umum PSU tingkat
kemampuan kecil.
Sumber: Lampiran UU No 23 Tahun 2014.
Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai daerah Otonom,
maka Pemerintahan Daerah Kabupaten Tuban berwenang
mengatur penyelenggaraan urusan perumahan rakyat dan
kawasan permukiman yang menjadi kewenangannya dalam
sebuah Peraturan Daerah.
Peraturan daerah hakekatnya adalah kebijakan
publik untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas
Pembantuan. Peraturan daerah dibentuk selaras atau dalam
kerangka mewujudkan tujuan otonomi daerah. Selanjutnya
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 14 UU No 12 Tahun
2011, Pasal 236 UU No 23 Tahun 2014 dan Pasa 4 ayat (2)
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 80 Tahun 2015,
disebutkan bahwa Peraturan Daerah memuat materi
muatan:
a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas
Pembantuan; dan
I - 12
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hingga saat ini terkait dengan urusan perumahan
rakyat dan kawasan permukiman, Pemerintah Kabupaten
Tuban telah mengundangkan Peraturan Daerah tentang
Penyerahan Prasarana, Sarana Dan Utilitas Perumahan Dan
Permukiman kepada Pemerintah Daerah.
Selanjutnya dalam rangka penyelenggaraan
kewenangan daerah di bidang perumahan rakyat dan
kawasan permukiman serta sebagai penjabaran lebih lanjut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
khususnya Pasal 36, Pasal 49, dan Pasal 98 UU No 1 Tahun
2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman beserta
peraturan pelaksanaannya dan sekaligus menjadi atas
permasalahan di daerah (local problem solving) terkait di
bidang Perumahan dan kawasan permukiman, dipandang
perlu membentuk Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka
perumusan masalah dalam penyusunan naskah akademik
ini adalah:
1. Apakah pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Tuban tentang Penyelenggaraan Perumahan
dan Kawasan Permukiman memiliki landasan akademik
sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
I - 13
2. Bagaimana Pokok-pokok pengaturan yang perlu
dirumuskan dalam draft Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Tuban tentang Penyelenggaraan Perumahan
dan Kawasan Permukiman.
C. Maksud, Tujuan dan Target
1. Maksud Kegiatan
Kegiatan ini dimaksudkan untuk menyiapkan
Naskah Akademik untuk memberikan arah, tinjauan
akademis dan kerangka normatif sebagai bahan untuk
penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
2. Tujuan Kegiatan
Tujuan yang diharapkan dari kegiatan
Penyusunan Naskah Akademis Rancangan Peraturan
Daerah tentang Penyelenggaraan Perumahan dan
Kawasan Permukiman adalah sebagai berikut:
a. untuk mengetahui kelayakan secara akademik atas
Rancangan Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman;
b. untuk mengetahui pokok-pokok pengaturan yang
perlu dirumuskan dalam Rancangan Peraturan Daerah
tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman yang dapat diterima masyarakat serta
dapat diberlakukan secara efektif dan efisien.
I - 14
3. Target Kegiatan
Target dari kegiatan ini adalah tersusunnya
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
D. Kegunaan
Kegunaan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Tuban tentang Penyelenggaraan
Perumahan dan Kawasan Permukiman sebagai dokumen
resmi yang menyatu dengan konsep Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Tuban tentang Penyerahan yang akan
dibahas bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Tuban berdasarkan prioritas Program
Pembentukan Peraturan Daerah.
E. Metodologi Penulisan
Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya
merupakan suatu kegiatan penelitian, sehingga kegiatan
penelitian dimaksud dilakukan dengan menggunakan
metode penelitian tertentu yang berbasis pada metode
penelitian hukum.
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam
penyusunan Naskah Akademik ini adalah Metode
pendekatan yuridis normatif. Metode pendekatan yuridis
normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah
(terutama) data sekunder yang berupa Peraturan
I - 15
Perundang-undangan, dokumen hukum lainnya, hasil
penelitian, hasil pengkajian, atau referensi lainnya.
Metode yuridis normatif ini juga dilengkapi dengan
wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat
dengar pendapat dengan langkah-langkah strategis yang
dilakukan meliputi:
a. Menganalisis berbagai peraturan perundang-
undangan (tinjauan legislasi) yang berkaitan dengan
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
b. Melakukan tinjauan akademis melalui diskusi dan
melaksanakan pertemuan-pertemuan untuk
mendapatkan masukan dari masyarakat dan pejabat
terkait.
c. Merumuskan dan mengkaji persoalan krusial dalam
penyusunan Raperda sehingga memperoleh
kesepahaman diantara stakeholder yang
kepentingannya terkait dengan substansi pengaturan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban
tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
d. Melakukan sosialisasi dalam rangka untuk
memberikan pemahaman kepada masyarakat
tentang pentingnya pengaturan mengenai
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman Daerah.
e. Menganalisa informasi dan aspirasi yang berkembang
dari berbagai instansi/ lembaga terkait dan tokoh-
tokoh masyarakat (tinjauan teknis), dan seluruh
I - 16
pihak yang berkepentingan dengan Penyelenggaraan
Perumahan dan Kawasan Permukiman.
f. Merumuskan dan menyusun dalam bentuk deskriptif
analisis serta menuangkannya dalam Naskah
Akademis Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Tuban tentang Penyelenggaraan Perumahan dan
Kawasan Permukiman.
2. Jenis dan Sumber Data
Sebagaimana dikemukakan bahwa pendekatan
penelitian ini adalah yuridis normatif maka data utama
yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder
yaitu data digunakan untuk mendukung dan melengkapi
data primer yang berhubungan dengan masalah
penelitian. Menurut Soerjono Soekanto (1986) data
sekunder digunakan dalam penelitian meliputi tiga
bahan hukum yaitu :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer ialah bahan hukum yang
menjadi dasar pedoman penelitian. Adapun yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen;
2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung;
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan
I - 17
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah;
4) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang;
5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman;
7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
8) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang
Rumah Susun;
9) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005
tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung;
10) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005
tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
11) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010
tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang;
12) Peraturan Pemerintah nomor 27 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/
Daerah;
13) Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2014
tentang Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan
dan Kawasan Permukiman;
14) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016
tentang Penyelenggaraan Perumahan dan
Kawasan Permukiman;
15) Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2016
tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat
Berpenghasilan Rendah;
16) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun
2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik
Daerah;
I - 18
17) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun
2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana,
Sarana dan Utilitas Perumahan dan Permukiman
di Daerah;
18) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
19/PRT/M/2011 tentang Persyaratan Teknis Jalan
Dan Kriteria Teknis Jalan;
19) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
03/PRT/M/2013 tentang Penyelenggaraan
Prasarana dan Sarana Persampahan dalam
Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga;
20) Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No 12
Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Pembangunan dan Pengembangan
Perumahan dan Kawasan Permukiman Daerah
Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota;
21) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Nomor 02/PRT/M/2016
tentang Peningkatan Kualitas Terhadap
Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh;
22) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Nomor 05/PRT/M/2016
tentang Izin Mendirikan Bangunan Gedung;
23) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Nomor 13/PRT/M/2016
tentang Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya;
dan
24) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Nomor 21/PRT/M/2016
tentang Kemudahan dan/atau Bantuan Perolehan
Rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
26/PRT/M/2016 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Nomor 21/PRT/M/2016
I - 19
tentang Kemudahan dan/atau Bantuan Perolehan
Rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Adapun
yang digunakan dalam penelitian ini adalah jurnal,
literatur, buku, internet, laporan penelitian dan
sebagainya berkaitan Penyelenggaraan Perumahan
dan Kawasan Permukiman.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yakni bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder (Soerjono
Soekanto,1986:52). Bahan hukum tersier seperti
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, dan
Ensiklopedi.
Di samping itu guna melengkapi informasi dan
memperkuat kesimpulan dalam kajian ini digunakan pula
data primer. Data Primer yaitu data yang diperoleh
langsung dari sumber pertama. Data primer dalam
penelitian ini diperoleh dari Pejabat yang terkait dengan
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data
dilakukan melalui 3 (tiga) cara sebagai berikut:
a. Studi kepustakaan,
I - 20
Studi kepustakaan yaitu suatu bentuk
pengumpulan data dengan cara membaca buku
literatur, hasil penelitian terdahulu, dan membaca
dokumen, peraturan perundang-undangan, Peraturan
Daerah Kabupaten Tuban yang berhubungan dengan
obyek penelitian.
b. Wawancara
Wawancara merupakan proses tanya-jawab
dalam penelitian yang berlangsung secara lisan
antara dua orang atau lebih bertatap muka
mendengarkan secara langsung informasi-informasi
atau keterangan-keterangan (Cholid Narbuko dan
Abu Achmadi,2004: 83).
c. Focus Group Disscussion (FGD)
FGD diselenggarakan untuk merumuskan dan
menyelesaikan persoalan-persoalan krusial dalam
penyusunan peraturan perundang-undangan
sehingga memperoleh kesepahaman diantara
stakeholder yang ada.
d. Public Hearing (Konsultasi Publik)
Public Hearing dilakukan untuk menyerap
sebanyak-banyaknya masukan dari masyarakat
dengan mendengarkan pendapat mereka.
4. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses mengumpulkan
dan mengolah data kedalam pola, kategori, dan satuan
uraian dasar, sehingga dengan analisis data akan
I - 21
menguraikan dan memecahkan masalah yang diteliti
berdasarkan data yang diperoleh. Dalam penelitian ini
digunakan teknik analisis kualitatif.
Model analisis kualitatif digunakan model analisis
interaktif, yaitu model analisis yang memerlukan tiga
komponen berupa reduksi data, sajian data, serta
penarikan kesimpulan/verifikasi dengan menggunakan
proses siklus (H.B. Sutopo, 1998:48). Dalam
menggunakan analisis kualitatif, maka interprestasi
terhadap apa yang ditentukan dan merumuskan
kesimpulan akhir digunakan logika atau penalaran
sistematik. Ada 3 (tiga) komponen pokok dalam tahapan
analisa data, yaitu:
a. Data Reduction merupakan proses seleksi,
pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data
kasar yang ada dalam field note. Reduksi data
dilakukan selama penelitian berlangsung, hasilnya
data dapat disederhanakan dan ditransformasikan
melalui seleksi, ringkasan serta penggolongan dalam
suatu pola.
b. Data Display adalah paduan organisasi informasi
yang memungkinkan kesimpulan riset yang
dilakukan, sehingga peneliti akan mudah memahami
apa yang terjadi dan harus dilakukan.
c. Conclution Drawing adalah berawal dari
pengumpulan data peneliti harus mengerti apa arti
dari hal-hal yang ditelitinya, dengan cara pencatatan
peraturan, pola-pola, pernyataan konfigurasi yang
I - 22
mapan dan arahan sebab akibat, sehingga
memudahkan dalam pengambilan kesimpulan.
Tiga komponen analisis data di atas membentuk
interaksi dengan proses pengumpulan yang berbentuk
siklus (diagram flow) (HB Sutopo, 1998:37).
I - 23
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK
EMPIRIS
A. Kajian Teoritis
1. Tinjauan tentang Pemerintahan Daerah
Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang
terbagi dalam bagian-bagian pemerintahan daerah, baik
provinsi, kabupaten maupun kota. Pemerintahan daerah
ini mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18, 18A dan 18B
UUD 1945. Selengkapnya bunyi pasal-pasal tersebut
adalah sebagai berikut.
Pasal 18
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten,
dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten,
dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan
umum.
(4) Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan
kota dipilih secara demokratis.
I - 24
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang.
Pasal 18A
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota,
atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-Undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah.
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Pasal 18B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.
Dasar mengenai pemerintahan daerah tersebut,
memuat pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
a) Daerah Indonesia akan dibagi atas dasar besar dan
kecil yang akan diatur dengan undang-undang;
b) Pengaturan tersebut harus memandang dan
mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem
I - 25
pemerintahan negara serta hak-hak asal-usul dalam
daerah yang bersifat istimewa (Manan, Bagir, 2002:
2-3)
Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada angka 1,
dijelaskan bawa:
Pemberian otonomi yang seluas-luasnya
kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan
peran serta masyarakat.
Disamping itu melalui otonomi luas, dalam
lingkungan strategis globalisasi, Daerah
diharapkan mampu meningkatkan daya saing
dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan serta potensi dan keanekaragaman
Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya
kepada Daerah dilaksanakan berdasarkan
prinsip negara kesatuan. Dalam negara
kesatuan kedaulatan hanya ada pada
pemerintahan negara atau pemerintahan
nasional dan tidak ada kedaulatan pada
Daerah. Oleh karena itu, seluas apapun
otonomi yang diberikan kepada Daerah,
tanggung jawab akhir penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah akan tetap ada ditangan
Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintahan
Daerah pada negara kesatuan merupakan satu
kesatuan dengan Pemerintahan Nasional.
Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat dan
I - 26
dilaksanakan oleh Daerah merupakan bagian
integral dari kebijakan nasional. Pembedanya
adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan
kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan
kreativitas Daerah untuk mencapai tujuan
nasional tersebut di tingkat lokal yang pada
gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan
nasional secara keseluruhan.
Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai otonomi berwenang
mengatur dan mengurus Daerahnya sesuai
aspirasi dan kepentingan masyarakatnya
sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan
hukum nasional dan kepentingan umum. Dalam
rangka memberikan ruang yang lebih luas
kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus
kehidupan warganya maka Pemerintah Pusat
dalam membentuk kebijakan harus
memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya
Daerah ketika membentuk kebijakan Daerah
baik dalam bentuk Perda maupun kebijakan
lainnya hendaknya juga memperhatikan
kepentingan nasional. Dengan demikian akan
tercipta keseimbangan antara kepentingan
nasional yang sinergis dan tetap
memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan
lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan
secara keseluruhan.
Pada hakekatnya Otonomi Daerah diberikan
kepada rakyat sebagai satu kesatuan
masyarakat hukum yang diberi kewenangan
untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan
Pemerintahan yang diberikan oleh Pemerintah
Pusat kepada Daerah dan dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh kepala daerah
dan DPRD dengan dibantu oleh Perangkat
Daerah. Urusan Pemerintahan yang diserahkan
I - 27
ke Daerah berasal dari kekuasaan
pemerintahan yang ada ditangan Presiden.
Konsekuensi dari negara kesatuan adalah
tanggung jawab akhir pemerintahan ada
ditangan Presiden. Agar pelaksanaan Urusan
Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah
berjalan sesuai dengan kebijakan nasional
maka Presiden berkewajiban untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Negara Kesatuan memiliki dua macam sistem
penyelenggaraan wewenangnya yaitu sentralisasi dan
desentralisasi. Sistem sentralisasi adalah sistem yang
tidak menyelenggarakan pembagian daerah.
Pembagian daerah yang dilakukan hanya dalam
bentuk daerah-daerah administrasi. Sedang dalam
sistem desentralisasi, negara kesatuan tersebut
menyelenggarakan pembagian daerah yang masing-
masing daerah berhak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri. Setiap daerah mempunyai
pemerintahan sendiri yang disebut pemerintah
daerah.
Bentuk negara kesatuan yang mengambil
sistem pemerintahan desentralisasi menurut Dharma
Setyawan (2004), memiliki karakteristik:
1) Terjadi transfer kewenangan (otoritas) pusat
kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya
sendiri sesuai dengan aspirasi daerah dan
masyarakat di daerah;
I - 28
2) Sistem lebih demokratis karena lebih
mengikutsertakan rakyat dalam pengambilan
keputusan;
3) Implementasi sistem pemerintahan desentralisasi
adalah terbentuknya daerah otonomi seperti
kabupaten atau kota;
4) Memberi keleluasaan dan otonom kepada daerah
tidak akan menimbulkan disintegrasi dan tidak
akan menurunkan derajat/wibawa pemerintah
pusat, bahkan sebaliknya akan menimbulkan
respek daerah kepada pemerintah pusat sehingga
memperkuat pelaksanaan pemerintahan.
Urgensi penyelenggaraan pemerintahan
desentralisasi melalui otonomi daerah adalah:
1) Untuk mencegah menumpuknya kekuasaan di
satu tangan yang menimbulkan tirani,
2) Mengikutsertakan rakyat dalam kegiatan
pemerintahan dan mendidik rakyat untuk
menggunakan hak dan kewajibannnya dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
3) Untuk mencapai pemerintahan yang efektif dan
efisien.
4) Untuk dapat mengambil keputusan yang lebih
cepat dan tepat sehingga pelayanan kepada
masyarakat lebih cepat, tepat, mudah dan murah.
5) Untuk mengantisipasi adanya perbedaan faktor-
faktor geografis, demografis, ekonomi, sosial
budaya antar daerah.
I - 29
6) Untuk memperlancar pembangunan sosial
ekonomi.
7) Mencegah disintegrasi bangsa (Dharma Setyawan,
2004:47-52).
Karena itu, yang utama dalam
penyelenggaraan otonomi daerah adalah pengakuan
kemandirian suatu masyarakat dan daerah sehingga
masyarakat berpartisipasi aktif dalam pembangunan
nasional dan peningkatan kualitas pelayanan
birokrasi pemerintah kepada masyarakat.
Selanjutnya tujuan dari pemberian otonomi
daerah (Sarundajang, 2005: 80), adalah :
(1) Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang semakin membaik;
(2) Pengembangan kehidupan demokrasi;
(3) Distribusi pelayanan publik yang semakin
membaik, merata dan adil;
(4) Penghormatan terhadap budaya lokal; dan
(5) Perhatian atas potensi dan keanekaragaman
daerah.
Tujuan pemberian otonomi daerah setidak-
tidaknya harus meliputi empat aspek yaitu:
1) Dari segi politik
Untuk mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi
dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan
daerah sendiri, maupun untuk mendukung politik
dan kebijaksanaan nasional dalam rangka
I - 30
pembangunan dalam proses demokrasi di lapisan
bawah.
2) Dari segi manajemen pemerintahan
Untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam
memberikan penyelenggaraan pemerintahan,
terutama dalam memberikan pelayanan terhadap
masyarakat dengan memperluas jenis-jenis
pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan
masyarakat.
3) Dari segi kemasyarakatan
Untuk meningkatkan partisipasi serta
menumbuhkan kemandirian masyarakat, dengan
melakukan usaha pemberdayaan (empowerment)
masyarakat, sehingga masyarakat makin mandiri,
dan tidak terlalu banyak tergantung pada
pemberian pemerintah serta memiliki daya saing
yang kuat dalam proses penumbuhannya.
4) Dari segi ekonomi pembangunan
Untuk melancarkan pelaksanaan program
pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat
yang makin meningkat (Sarundajang, 2005: 82)
2. Tinjauan tentang Peran Pemerintah
Pemerintah maupun pemerintah daerah memiliki
peran strategis dalam pencapaian tujuan berbangsa dan
bernegara. Peran strategis yang dapat dilakukan oleh
pemerintah daerah adalah daerah berperan sebagai
I - 31
enterpreneur, koordinator, fasilitator, dan stimulator
(Badrul Munir, 2002 : 207-208).
Peran pemerintah sebagai enterpreneur
mengandung konsekuensi tanggung-jawab untuk
melakukan usaha sendiri dalam mengelola sumber daya
ekonomi. Banyak hal bisa dilakukan dalam
memberdayakan aset-asset daerah dan sumber daya
ekonomi potensial sehingga dapat memberai manfaat
kepada masyarakat. Sebagai koordinator pemerintah
daerah harus mampu mengkoordinir semua komponen
masyarakat sebagai aktor pembangunan, menetapkan
kebijakan atau strategi-strategi pembangunan, dan
mengelola disharmoni sosial. Pemerintah daerah
mengarahkan dan memotivasi pelaksanaan
pembangunan sesuai orientasi dan menghilangkan
kerancuan yang bersifat stagnan dalam mencapai tujuan
secara sinergis. Sedangkan sebagai fasilitator
pemerintah daerah dapat mempercepat pembangunan
melalui perbaikan lingkungan attitudinal, yaitu
berkaitan dengan perbaikan perilaku budaya masyarakat
dan birokrasi. Antara kinerja birokrasi dan pelayanan
publik harus mewujudkan mekanisme yang lebih efektif,
efisien, dan terkendali. Sebagai stimulator pemerintah
daerah harus dapat menciptakan dan mengembangkan
usaha melalui kebijaksanaan khusus yang dapat menarik
investor menanamkan modal di daerah, sekaligus
menjaga iklim usaha yang kondusif. Kebijaksanaan
khusus yang dimaksud adalah menstimulasi strategi
pengembangan budaya lokal, responsif, dan adaptif
I - 32
terhadap isu-isu strategi yang mencuat. Hal ini dapat
dilakukan dengan tetap menjaga sensitifitas pemerintah
daerah.
Disamping itu peran organisator sebagai organ
pemerintah daerah dituntut mampu mengendalikan pola
komunikasi yang lengkap dan hubungan-hubungan lain
di dalam suatu kelompok orang. Pemimpin sangat
diperlukan dalam pengendalian ini, maka manajerial
yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi segera
diperbaharui agar tidak ketinggalan zaman..
3. Tinjauan tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman
a. Pengertian Perumahan
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman, yang dimaksud dengan
perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian
dari permukiman, baik perkotaan maupun
perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana,
sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya
pemenuhan rumah yang layak huni.
Rumah adalah salah satu jenis ruang tempat
manusia beraktivitas, harus dipandang dari seluruh
sisi faktor yang mempengaruhinya dan dari sekian
banyak faktor tersebut, yang menjadi sentral adalah
manusia. Dengan kata lain, konsepsi tentang rumah
harus mengacu pada tujuan utama manusia yang
I - 33
menghuninya dengan segala nilai dan norma yang
dianutnya (Eko Budiharjo, 1998: 4).
Masyarakat manusia mulai membangun
rumah setelah meninggalkan cara hidup berburu dan
mengumpulkan makanan. Dalam tradisi masyarakat
tradisional, rumah, lebih dari sekedar tempat
bernaung dari cuaca dan segala hal yang dianggap
musuh, sarat dengan makna-makna sebagai hasil
pengejawantahan budaya, tradisi dan nilai-nilai yang
dianut. Rumah dianggap sebagai mikrokosmos, yang
merupakan bagian dari makrokosmos di luarnya
serta lingkungan alam secara luas. Ini berarti bahwa
manusia, konstruksi rumah, bahan bangunan serta
lingkungannya seperti gunung, batu alam, pohon
atau tumbuhan lainnya dapat disamakan sebagai
makhluk hidup, bukan benda mati.
Dalam banyak istilah rumah lebih
digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat fisik
(house, dwelling, shelter) atau bangunan untuk
tempat tinggal/ bangunan pada umumnya (seperti
gedung dan sebagainya). Jika ditinjau secara lebih
dalam rumah tidak sekedar bangunan melainkan
konteks sosial dari kehidupan keluarga di mana
manusia saling mencintai dan berbagi dengan orang-
orang terdekatnya (Aminudin, 2007: 12).
Dalam pandangan ini rumah lebih merupakan
suatu sistem sosial ketimbang sistem fisik Hal ini
disebabkan karena rumah berkaitan erat dengan
manusia, yang memiliki tradisi sosial, perilaku dan
I - 34
keinginan-keinginan yang berbeda dan selalu bersifat
dinamis, karenanya rumah bersifat kompleks dalam
mengakomodasi konsep dalam diri manusia dan
kehidupannya. Beberapa konsep tentang rumah:
1. Rumah sebagai pengejawantahan jati diri, rumah
sebagai simbol dan pencerminan tata nilai selera
pribadi penghuninya;
2) Rumah sebagai wadah keakraban, rasa memiliki,
rasa kebersamaan, kehangatan, kasih dan rasa
aman;
3) Rumah sebagai tempat menyendiri dan menyepi.
tempat melepaskan diri dari dunia luar, dari
tekanan dan ketegangan, dari dunia rutin;
4) Rumah sebagai akar dan kesinambungan; rumah
merupakan tempat kembali pada akar dan
menumbuhkan rasa kesinambungan dalam
untaian proses ke masa depan;
5) Rumah sebagai wadah kegiatan utama sehari-
hari;
6) Rumah sebagai pusat jaringan sosial; dan
7) Rumah sebagai Struktur Fisik (Hendrawan, 2004:
54).
Pada masyarakat modern, perumahan
menjadi masalah yang cukup serius. Pemaknaan atas
rumah, simbolisasi nilai-nilai dan sebagainya
seringkali sangat dipengaruhi oleh tingkat ekonomi
dan status sosial. Rumah pada masyarakat modern,
terutama di perkotaan, menjadi sangat bervariasi,
dari tingkat paling minim, yang karena keterbatasan
I - 35
ekonomi hanya dijadikan sebagai tempat berteduh,
sampai kepada menjadikan rumah sebagai lambang
prestise karena kebutuhan menjaga citra kelas sosial
tertentu.
Masalah perumahan di Indonesia berakar dari
pergeseran konsentrasi penduduk dari desa ke kota.
Pertumbuhan penduduk kota di Indonesia yang
cukup tinggi, sekitar 4 % pertahun, lebih tinggi dari
pertumbuhan nasional, dan cenderung akan terus
meningkat. Hal ini menunjukkan kecenderungan
yang tinggi tumbuhnya kota-kota di Indonesia.
Sayangnya, terjadi keadaan yang tidak sesuai antara
tingkat kemampuan dengan kebutuhan sumber daya
manusia untuk lapangan kerja yang ada di
perkotaan, mengakibatkan timbulnya kelas sosial
yang tingkat ekonominya sangat rendah. Hal ini
berakibat terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan
dasar kaum papa itu yang dapat dikatakan sangat
minim. Rumah dan tempat hunian mereka tidak lebih
merupakan tempat untuk tetap survive di tengah
kehidupan kota. Kualitas permukiman mereka
dianggap rendah dan tidak memenuhi standar hidup
yang layak (Widyaningsih, 2006:14).
Berbagai program pengadaan perumahan
telah dilakukan Pemerintah dan swasta (real estat).
Tetapi apa yang dilakukan belum mencukupi, baik
dari segi kualitas maupun kuantitas. Dari segi jumlah
ternyata Pemerintah dan swasta hanya mampu
menyediakan lebih kurang 10 % saja dari kebutuhan
I - 36
rumah, sementara sisanya dibangun sendiri oleh
masyarakat. Dari segi kualitas, banyak pihak yang
berpendapat bahwa program yang ada belum
menyentuh secara holistik dimensi sosial
masyarakat, sehingga masih perlu diupayakan
perbaikan-perbaikan (IBID).
Perbedaan persepsi tentang rumah layak huni.
Masalah rumah dan perumahan sering hanya didekati
dengan penyelesaian teknis-ekonomi yang sepihak,
tanpa melibatkan masyarakat pemakai yang
berhubungan erat dengan latar belakang budaya,
tradisi dan perilaku mereka. Hal ini menimbulkan
kesenjangan dalam memandang rumah yang layak
huni. Salah satu akibatnya adalah rumah siap huni
berupa rumah susun, misalnya, ditinggalkan oleh
penghuninya, atau berkembang menjadi sangat
rawan akan kriminalitas, atau dipugar, yang tentunya
membutuhkan biaya tambahan.
Ketidakseimbangan pasokan (supply) dan
permintaan (demand). Kebutuhan paling banyak
adalah berasal dari golongan rumah menengah ke
bawah, sementara ada kecenderungan pihak
pengembang-terutama swasta-membangun untuk
masyarakat menengah atas yang memamng
menjanjikan keuntungan yang lebih besar.
Keberlanjutan (sustainability) rumah dan
perumahan. Belum ada sistem yang efektif untuk
mengevaluasi perumahan, agar dapat diperoleh
gambaran kehidupan masyarakat di dalamnya pasca
I - 37
okupansi. Padahal hal ini penting untuk perbaikan
kualitas perumahan secara berkelanjutan (Eko
Budiarjo, Opcit hal:7).
Ketidakseimbangan aksesibilitas masyarakat
terhadap fasilitas pelayanan kota. Masyarakat
berpendapatan rendah yang membangun rumahnya
dalam batas kemampuannya pada ruang-ruang kota,
karena dianggap ilegal, jadi tidak memiliki akses
yang semestinya ke fasilitas pelayanan kota, seperti
prasarana dan sanitasi lingkungan. Hal ini
menunjukkan tidak terlindunginya hak-hak mereka
sebagai warga kota. Masalah perolehan tanah. Belum
adanya sistem pengendalian harga tanah oleh
Pemerintah, menyebabkan merebaknya spekulan
tanah, yang mengakibatkan membubungnya harga
tanah, jauh dari jangkauan daya beli masyarakat.
Menyelesaikan masalah-masalah tersebut merupakan
tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Oleh
karenanya setiap pihak harus mengupayakan
perbaikan perumahan sesuai dengan kemampuannya
masing-masing, baik melalui sumbang pemikiran,
tenaga maupun modal.
Beberapa persyaratan yang harus ditempuh
dalam mendirikan perumahan adalah sebagai
berikut:
1) Tahap Pertama
Pastikan tanah yang dikelola menjadi perumahan
merupakan tanah yang tidak melanggar Rencana
Tata Ruang Kota supaya tidak ada kerumitan
I - 38
dalam melakukan proses perijinan. Lakukan juga
pengecekan Rencana Tata Ruang Kota untuk
memastikan akan dijadikan apa lahan tersebut
dalam perencanaan tata ruang kota, semisal
lokasi yang dipilih akan dijadikan pemukiman
maka dapat dilanjutkan propses pengajuan
perijinan pendirian perumahan. Pemilihan lokasi
perumahan bisa melalui langkah
“pendomplengan” lokasi yang telah banyak
perumahan. Hal ini dinilai lebih menjanjikan
dalam berinvestasi, akan tetapi harga tanahnya
juga jauh lebih mahal.
2) Tahap Kedua
Pada tahap kedua ini dilanjutkan dengan
mengurus ijin ke Dinas Pekerjaan Umum serta
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Ijin
pertama yang harus diurus adalah Advice
Planning. Pada tiap instansi memiliki nama yang
berbeda untuk jenis perijinan „Advice Planning‟,
ijin Advice Planning berguna untuk kesesuaian
antara tata ruang di lokasi yang dituju dengan
Site Plan pengembangan. Beberapa berkas yang
wajib disediakan untuk mengurus ijin tersebut
antara lain adalah proposal ijin pemanfaatan
ruang yang memuat segala aspek yang
menyangkut perencanaan lokasi yang dilampiri
dengan sertifikat tanah dan apabila tanah masih
menggunakan nama orang lain harus dicantunkan
surat kuasa bermaterai yang juga dilengkapi
I - 39
dengan Site Plan. Produk ijin berupa gambar
rekomendasi Advive Planning yang memuat garis
besar aturan-aturan pembangunan serta Surat
Keputusan atau Ijin Prinsip yang disetujui Bupati
atau Walikota. Pada beberapa daerah perijinan ini
hanya untuk lahan dengan luas lebih dari 1 Ha,
akan tetapi pada beberapa daerah lain ada juga
yang tidak mempunyai batas luas lahan. Pada
umumnya lebih dari lima rumah telah dianggap
sebagai perumahan.
3) Tahap Ketiga
Tahap ketiga dilaksanakan di Badan Pertanahan
Negara. Langkah awalnya adalah melakukan
pengecekan sertifikat serta pengecekan patok
pembatas. Memastikan bahwa status yang
disyaratkan untuk lahan adalah HGB (Hak Guna
Bangunan), ini berarti lokasi yang akan
digunakan menggunakan nama perusahaan atau
PT yang bersangkutan dan dapat juga dikavling
atas nama masing-masing individu. Pada setiap
proses perijinan akan selalu muncul retribusi dan
pajak perijinan, akan tetapi besar kemungkinan
pada tiap daerah akan memiliki prosedur yang
berbeda. Setelah proses perijinan legalitas clear
dilanjutkan dengan mengurus Ijin Perubahan
Penggunaan Tanah. Ini merupakan langkah awal
pengajuan Ijin Mendirikan Bangunan.
4) Tahap Keempat
I - 40
AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan),
Pada umumnya Amdal berlaku untuk lokasi
dengan luas lahan > 1 Ha, jika luas lahan kurang
dari 1 Ha cukup dengan mengurus ijin UKL
(Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup) / UPL
(Upaya Pemanfaatan Lingkungan Hidup). Proses
awal dari tahap keempat ini mengharuskan
pengecekan kadar air tanah dan proposal
mengenai kelebihan dan dampak yang
ditimbulkan dari proyek yang akan dilaksanakan.
Produk dari perijinan ini berupa surat
rekomendasi dari kantor KLH yang selanjutnya
dilampirkan dalam pengajuan IMB.
5) Tahap Kelima
Pada tahap kelima adalah melakukan pengajuan
IMB sekaligus pengesahan Site Plan Perumahan
(zoning) ke Perangkat Daerah yang
menyelenggarakan pelayanan perizinan daerah.
Syarat pengajuan IMB terdiri atas akumulasi
perijinan-perijinan yang telah diurus sebelum
memasuki tahap ke lima ini. Jika seluruh syarat
telah terlampir, hanya tinggal menunggu
keluarnya ijin serta membayar retribusi yang
nominalnya disesuaikan dengan luas tanah dan
bangunan (IBID hal: 12).
b. Pengertian Permukiman
Menurut Pasal 1 angka (5) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
I - 41
Kawasan Permukiman, yang dimaksud dengan
permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian
yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan
yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum,
serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di
kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.
Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman, menyatakan bahwa kawasan
permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di
luar kawasan lindung, baik berupa kawasan
perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan.
Rumah tidak dapat dipandang secara sendiri-
sendiri, karena ia terkait dan harus perduli dengan
lingkungan sosialnya, maka perumahan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari sistem sosial
lingkungannya. Perencanaan perumahan harus
dipandang sebagai unit yang menjadi satu kesatuan
dengan lingkungan sekitarnya, sehingga harus
terdapat ruang-ruang sosial (ruang bersama) untuk
masyarakat berinteraksi satu sama lain. Unit-unit
rumah adalah pengorganisasian kebutuhan akan
privasi dan kebutuhan untuk berinteraksi sosial
(Zulfie Syarief, 2000: 6).
Ruang-ruang dalam komplek perumahan yang
lestari adalah ruang-ruang yang mampu
I - 42
mengakomodasi aktivitas sosial masyarakat pada
lingkungan tersebut, termasuk mengorganisasikan
keberagaman sosial dalam masyarakat. Harus diberi
ruang-ruang untuk aktivitas dengan latar belakang
tradisi yang berlainan, dengan proporsi yang
seimbang untuk setiap aktivitas yang berbeda,
misalnya tradisi beragama dan adat istiadat. Dengan
demikian rasa aman secara spiritual akan tercapai
dengan terpeliharanya tradisi dan aktivitas sosial
masyarakat setempat juga dengan adanya
penerimaan bahwa perbedaan adalah hal yang wajar.
Perencanaan perumahan harus menggunakan
pendekatan ekologi, rumah dipandang sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari ekosistem.
Keseluruhan bagian rumah, mulai dari proses
pembuatan, pemakaian, sampai pembongkarannya
akan sangat berpengaruh terhadap keseimbangan
alam. Menurunnya kualitas lingkungan-meningkatnya
suhu global; meningkatnya pencemaran air, udara
dan tanah; berkurangnya keanekaragaman hayati;
berkurangnya cadangan energi dari minyak dan gas
dsb-yang sebagian besar diakibatkan oleh
pembangunan yang tidak terkendali, adalah masalah
yang harus dipecahkan dengan pendekatan teknologi
yang ramah lingkungan. Berdasarkan kenyataan ini
maka perumahan adalah rumah yang seluruh
prosesnya-pembangunan, pemakaian dan
pembongkaran-berusaha untuk tidak mengganggu
I - 43
keseimbangan alam, bahkan jika mungkin
memperbaiki kualitas lingkungan.
Usaha-usaha untuk kenyamanan dan
kesehatan penghuni harus dicapai dengan
pendekatan teknis yang tidak merusak alam (Zulfie
Syarief, 2000: 7). Dalam pendekatan teknis,
perumahan yang berorientasi terhadap kepuasan
penghuni harus memenuhi syarat-syarat berikut :
1) Struktur dan konstruksi rumah yang cukup kuat
dan aman;
2) Material bangunan yang menjamin terciptanya
kenyamanan dan kesehatan di dalam rumah; dan
3) Prasarana/infrastruktur yang memenuhi standar
kenyamanan, kesehatan dan keamanan
lingkungan (IBID hal: 9).
Beberapa kriteria permukiman atau kawasan
permukan yang layak adalah sebagai berikut:
1) Jaminan perlindungan hukum.
Perlindungan hukum mengambil banyak bentuk,
diantaranya penyewaan akomodasi (publik dan
swasta), perumahan kolektif, kredit, perumahan
darurat, pemukiman informal, termasuk
penguasaan tanah dan properti. Meskipun ada
beragam jenis perlindungan hukum, setiap orang
harus memiliki tingkat perlindungan hukum yang
menjamin perlindungan hukum dari pengusiran
paksa, pelecehan, dan ancaman lainnya. Negara
Pihak harus secara bertanggung jawab, segera
I - 44
mengambil tindakan-tindakan yang bertujuan
mengkonsultasikan jaminan perlindungan hukum
terhadap orang-orang tersebut dan rumah tangga
yang saat ini belum memiliki perlindungan,
konsultasi secara benar dengan orang-orang atau
kelompok yang terkena.
2) Ketersediaan layanan, bahan-bahan baku,
fasilitas, dan infra struktur. Tempat tinggal yang
layak harus memiliki fasilitas tertentu yang
penting bagi kesehatan, keamanan, kenyamanan,
dan nutrisi. Semua penerima manfaat dari hak
atas tempat tinggal yang layak harus memiliki
akses yang berkelanjutan terhadap sumber daya
alam dan publik, air minum yang aman, energi
untuk memasak, suhu dan cahaya, alat-alat
untuk menyimpan makanan, pembuangan
sampah, saluran air, layanan darurat.
3) Keterjangkauan.
Biaya pengeluaran seseorang atau rumah tangga
yang bertempat tinggal harus pada tingkat
tertentu dimana pencapaian dan pemenuhan
terhadap kebutuhan dasar lainnya tidak terancam
atau terganggu. Tindakan harus diambil oleh
Negara Pihak untuk memastikan bahwa
persentasi biaya yang berhubungan dengan
tempat tinggal, secara umum sepadan dengan
tingkat pendapatan. Negara Pihak harus
menyediakan subsidi untuk tempat tinggal bagi
mereka yang tidak mampu memiliki tempat
I - 45
tinggal, dalam bentuk dan tingkat kredit
perumahan yang secara layak mencerminkan
kebutuhan tempat tinggal. Dalam kaitannya
dengan prinsip keterjangkauan, penghuni harus
dilindungi dengan perlengkapan yang layak ketika
berhadapan dengan tingkat sewa yang tidak
masuk akal atau kenaikan uang sewa. Di
masyarakat, dimana bahan-bahan baku alam
merupakan sumber daya utama bahan baku
pembuatan rumah, Negara Pihak harus
mengambil langkah-langkah untuk memastikan
ketersediaan bahan baku tersebut.
4) Layak huni.
Tempat tinggal yang memadai haruslah layak
dihuni, artinya dapat menyediakan ruang yang
cukup bagi penghuninya dan dapat melindungi
mereka dari cuaca dingin, lembab, panas, hujan,
angin, atau ancaman-ancaman bagi kesehatan,
bahaya fisik bangunan, dan vektor penyakit.
Keamanan fisik penghuni harus pula terjamin.
Komite mendorong Negara Pihak untuk secara
menyeluruh menerapkan Prinsip Rumah Sehat
yang disusun oleh WHO yang menggolongkan
tempat tinggal sebagai faktor lingkungan yang
paling sering dikaitkan dengan kondisi-kondisi
penyebab penyakit berdasarkan berbagai analisis
epidemiologi; yaitu, tempat tinggal dan kondisi
kehidupan yang tidak layak dan kurang sempurna
I - 46
selalu berkaitan dengan tingginya tingkat
kematian dan ketidaksehatan.
5) Aksesibilitas.
Tempat tinggal yang layak harus dapat diakses
oleh semua orang yang berhak atasnya.
Kelompok-kelompok yang kurang beruntung
seperti halnya manula, anak-anak, penderita
cacat fisik, penderita sakit stadium akhir,
penderita HIV-positif, penderita sakit menahun,
penderita cacat mental, korban bencana alam,
penghuni kawasan rawan bencana, dan lain-lain
harus diyakinkan mengenai standar prioritas
untuk lingkungan tempat tinggal mereka.
6) Lokasi.
Tempat tinggal yang layak harus berada di lokasi
yang terbuka terhadap akses pekerjaan,
pelayanan kesehatan, sekolah, pusat kesehatan
anak, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya. Di
samping itu, rumah hendaknya tidak didirikan di
lokasi-lokasi yang telah atau atau akan segera
terpolusi, yang mengancam hak untuk hidup
sehat para penghuninya.
7) Kelayakan budaya.
Cara rumah didirikan, bahan baku bangunan yang
digunakan, dan kebijakan-kebijakan yang
mendukung kedua unsur tersebut harus
memungkinkan pernyataan identitas budaya dan
keragaman tempat tinggal. Berbagai aktivitas yang
ditujukan bagi peningkatan dan modernisasi dalam
I - 47
lingkungan tempat tinggal harus dapat
memastikan bahwa dimensi-dimensi budaya dari
tempat tinggal tidak dikorbankan, dan bahwa,
diantaranya, fasilitas-fasilitas berteknologi modern,
juga telah dilengkapkan dengan semestinya (Zulfie
Syarief, Op cit hlm: 12-13)
4. Permukiman Kumuh
a. Pengertian Permukiman Kumuh
Permukiman berasal dari kata housing dalam
bahasa inggris yang artinya perumahan. Perumahan
memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan
rumah beserta sarana dan prasarana lingkungan,
sedangkan permukiman memberikan arti yakni
kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di
dalam lingkungan.
Kota pada awalnya berupa permukiman dengan
skala kecil, kemudian mengalami perkembangan
akibat dari pertumbuhan penduduk, perubahan sosial
ekonomi serta interaksi dengan kota-kota lain dan
daerah hinterland. Kota-kota di indonesia
pertumbuhan penduduk tidak di imbangi dengan
pembangunan sarana dan prasarana kota dan
peningkatan pelayanan perkotaan, bahkan yang
terjadi justru sebagian kawasan perkotaan
mengalami penurunan lingkungan yang berpotensi
menciptakan slum area (kumuh). Akibatnya, muncul
slum area (kumuh) di beberapa wilayah kota
merupakan hal yang tidak dapat dihindari yaitu tidak
I - 48
di rencanakan oleh pemerintah tetapi slum area
(kumuh) ini tumbuh secara alami.
Menurut Rindrojono, (2013) Kumuh adalah
gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah
laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan
penghasilan rendah. Dengan kata lain, kumuh dapat
di artikan sebagai tanda atau cap yang diberikan
golongan atas yang sudah mapan kepada golongan
bawah yang belum mapan.
Menurut Pasal 1 angka 13 Undang–Undang No.
1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman, dijelaskan bahwa permukiman kumuh
adalah permukiman yang tidak layak huni karena
ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan
bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta
sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.
Dan, perumahan kumuh adalah perumahan yang
mengalami penurunan kualitas fungsi sebagai tempat
hunian.
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa slums area adalah wilayah permukiman yang
berkepadatan tinggi, miskin, kurang terpenuhinya
akses pada infrastruktur dan sewa lahan yang tidak
aman. Adapun beberapa masalah yang sering
ditemui dalam wilayah slums ini seperti kekumuhan,
sarana dan prasarana yang terbatas, dan kriminalitas
yang tinggi sehingga mempengaruhi perkembangan
daerah sekitarnya.
I - 49
b. Faktor-faktor Penyebab Tumbuhnya
Permukiman Kumuh
Menurut Rindrojono (2013), faktor-faktor yang
menyebabkan tumbuhnya di permukiman kumuh di
daerah perkotaan, yakni:
1) Faktor Urbanisasi
Urbanisasi adalah substansi pergeseran atau
transformasi perubahan corak sosio-ekonomi
masyarakat perkotaan yang berbasis industri dan
jasa-jasa. Proses Urbanisasi ini merupakan suatu
gejala umum yang di alami oleh negara-negara
yang sedang berkembang dan proses urbanisasi ini
berlansung pesat di karenakan daya tarik daerah
perkotaan yang sangat kuat, baik yang bersifat
aspek ekonomi maupun yang bersifat non
ekonomi. Selain itu, daerah pedesaan yang serba
kekurangan merupakan pendorong yang kuat
dalam meningkatkan arus urbanisasi ke kota-kota
besar.
Kota yang mulai padat penduduk dengan
penambahan penduduk tiap tahunnya melampaui
penyediaan lapangan pekerjaan yang ada di
daerah perkotaan sehingga menambah masalah
baru bagi kota. Tekanan ekonomi dan kepadatan
penduduk yang tinggi bagi para penduduk yang
urbanisasi dari desa, memaksa para urbanisasi ini
untuk tinggal di daerah pinggiran sehingga akan
terjadinya lingkungan yang kumuh dan
I - 50
menyebabkan banyaknya permukiman liar di
daerah pinggiran ini.
2) Faktor Lahan Perkotaan
Lahan di daerah perkotaan semakin hari luas
lahannya berkurang akibat pertumbuhan penduduk
yang melonjak drastis dari tahun ke tahun, ini
merupakan permasalahan yang di hadapi di daerah
perkotaan sehingga masalah perumahan di daerah
perkotaan merupakan masalah serius yang
dihadapi daerah perkotaan.
Permasalahan perumahan sering disebabkan
karena ketidakseimbangan antara penyedian unit
rumah bagi orang yang berekonomi lemah dan
kaum yang tergolong ekonomi mampu di daerah
perkotaan. Sehingga banyak masyarakat yang
berekonomi lemah hanya mampu tinggal di unit –
unit hunian di permukiman yang tidak layak.
3) Faktor Prasarana dan Sarana
Kondisi sarana dan prasarana dasar di
permukiman seperti air bersih, jalan, drainase,
jarinhan sanitasi, listrik, sekolah, pusat pelayanan,
ruang terbuka hijau, dan pasar tidak memenuhi
standar dan tidak memadai sehingga
menyebabkan permukiman tersebut bisa menjadi
kumuh.
4) Faktor Sosial dan Ekonomi:
Pada umumnya sebagaian besar penghuni
lingkungan permukiman kumuh mempunyai
tingkat pendapatan yang rendah karena
I - 51
terbatasnya akses terhadap lapangan kerja yang
ada. Tingkat pendapatan yang rendah ini yang
menyebabkan tingkat daya beli yang rendah pula
atau terbatasnya kemampuan untuk mengakses
pelayanan sarana dan prasarana dasar. Selain itu,
ketidakmampuan ekonomi bagi masyarakat
berpenghasilan rendah untuk membangun rumah
yang layak huni menambah permasalahan
permukiman di daerah perkotaan.
5) Faktor Tata Ruang:
Dalam tata ruang, permukiman kumuh merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari bentuk struktur
ruang kota. Oleh karena itu, perencanaan tata
ruang kota harus didasarkan pada pemahaman
bahwa pengembangan kota harus dilakukan sesuai
dengan daya dukungnya termasuk daya dukung
yang relatif rendah di lingkungan permukiman
kumuh. Jika salah pemahaman dan pemanfaatan
ruang kota akan menimbulkan dampak yang
merusak lingkungan serta berpotensi mendorong
tumbuh kembangnya lingkungan permukiman
kumuh atau tumbuhnya permukiman kumuh baru
di daerah perkotaan, bahkan jadi akan menghapus
lingkungan permukiman lama tau kampung-
kampung kota yang mempunyai nilai warisan
budaya tinggi.
Menurut Khomarudin (1997), penyebab utama
tumbuhnya permukiman kumuh adalah sebagai
berikut:
I - 52
a) Urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi
kelompok masyarakat berpenghasilan rendah;
b) Sulit mencari pekerjaan;
c) Kurang tegasnya pelaksanaan perundang-
undangan;
d) Perbaikan lingkungan yang hanya dinikmati oleh
para pemilik rumah serta disiplin warga yang
rendah; dan
e) Semakin sempitnya lahan permukiman dan
tingginya harga tanah.
Menurut Arawinda Nawagamuwa, 2003 keadaan
kumuh dapat mencerminkan keadaan ekonomi, sosial,
budaya para penghuni permukiman tersebut. Adapun
ciri-ciri kawasan permukiman kumuh dapat tercermin
dari: penampilan fisik bangunannya yang makin
kontruksi, yaitu banyaknya bangunan-bangunan
temprorer yang berdiri serta nampak tak terurus
maupun tanpa perawatan.
c. Karakteristik Dan Kriteria Permukiman Kumuh
Menurut Budiharjo (2011), karakteristik
permukiman kumuh dapat disebabkan oleh faktor
rumah dan faktor prasarana. Selain itu ktriteria
perbaikan permukiman kumuh dapat dilihat dari gejala
sosial dan gejala fisik.
Karakteristik Permukiman Kumuh tercermin
dari:
I - 53
1) Faktor rumah yang semi permanen dan non
permanen:
a) tata letak tidak teratur;
b) status bangunan pada umumnya tidak memiliki
surat izin mendirikan bangunan;
c) kepadatan bangunan dan penduduk yang
tinggi;
d) kondisi bangunan yang tidak layak huni dan
jarak antara bangunan yang rapat; dan
e) kurangnya kesehatan lingkungan permukiman.
2) Faktor prasarana:
a) Aksesibilitas / jalan
b) Drainase
c) Air bersih
d) Air limbah
e) Persampahan
Kriteria perbaikan permukiman kumuh tercermin
dari:
1) Gejala sosial:
a) Kehidupan sosial yang rendah;
b) Status sosial ekonomi sangat rendah;
c) Tingkat pendidikan sangat rendah; dan
d) Kepadatan penduduk sangat tinggi.
2) Gejala fisik:
a) Kondisi bangunan rata-rata dibawah standar
minimum:
b) Umumnya suatu kampung dengan bangunan
non permanen dan semi permanen telah
mencapai umur 10 tahun;
I - 54
c) Kepadatan bangunan yang tinggi, sangat
minimumnya ruang terbuka dan jarak antar
bangunan;
d) Kondisi sarana fisik yang dibawah standar
minimum;
e) Daerah yang sangat dipengaruhi banjir; dan
f) Keadaan daerah memerlukan pengaturan dari
segi tata guna lahan.
Permukiman suatu kelompok masyarakat memiliki
karakteristik yang berbeda dengan kelompok
masyarakat lainnya, yang tergantung pada
karekteristik sosial budaya maupun sosial ekonominya.
Pada hakikatnya, fungsi rumah bagi suatu keluarga
bukan semata-mata sebagai tempat untuk bernaung
melindungi diri dari segala pengaruh fisik saja, namun
juga sebagai tempat tinggal atau tempat beristirahat
setelah menjalani kegiatan sehari-hari. Rumah harus
mampu memenuhi syarat-syarat psikologis insani
dalam membina keluarga dan mampu memberi rasa
aman, tentram dalam menyeimbangkan dan
membangun diri maupun keluarga untuk mencapai
kebahagiaan hidup lahir maupun batin.
d. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap
Kondisi Permukiman Kumuh .
Menurut Eko Budiharjo (2011), kondisi
permukiman kumuh di perkotaan, banyak dipengaruhi
oleh karakteristik fisik dan sosial yang ada pada
masyarakat. Karakteristik fisik dan sosial yang
I - 55
diperkirakan berpengaruh terhadap permukiman
kumuh perkotaan ini adalah : tingkat pendapatan,
status kepemilikan lahan, tingkat pendidikan, jumlah
anggota keluarga dan penilaian masyarakat terhadap
lingkungan permukimannya. Pengaruh faktor- faktor
tersebut terhadap kondisi permukiman kumuh akan
dikemukakan berikut ini:
1) Faktor Pendapatan
Permukiman merupakan kebutuhan dasar disamping
pangan dan sandang. Permukiman termasuk
indikator dari mutu kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat. Pemenuhan kebutuhan dasar tersebut
erat kaitannya dengan tingkat pendapatan.
Kebutuhan pangan merupakan prioritas utama,
selanjutnya diikuti oleh kebutuhan sandang dan
papan.
Pemenuhan setiap kebutuhan tersebut sangat
bergantung pada tingkat pendapatan masing- masing
keluarga. Pada keluarga dengan tingkat pendapatan
rendah tidak digunakan untuk menambah
pengeluaran bagi rumah karena yang utama adalah
tercukupinya kebutuhan pangan. Setelah kebutuhan
pangan terpenuhi dan juga kebutuhan sandang
terpenuhi, pengeluaran untuk rumah akan meningkat
sesuai dengan peningkatan pendapatan. Secara
hipotesis, pada keluarga dengan tingkat pendapatan
semakin tinggi, pengeluaran untuk perbaikan rumah
akan semakin tinggi pula. Persentase pengeluaran
untuk perumahan akan semakin meningkat, jika
I - 56
tingkat pendapatan tinggi dan sebagai implikasinya
kondisi atau kualitas rumah akan semakin baik.
2) Faktor Tingkat Pengeluaran
Masyarakat menginginkan kondisi permukiman yang
ditinggalinya nyaman, aman dan sehat. Akan tetapi
hal tersebut disebabkan oleh tingkat pendapatan
masyarakat itu sendiri. Apabila tingkat pendapatan
masyarakat tinggi, maka tingkat pengeluarannya
akan dipertimbangkan sesuai dengan kebutuhannya.
Oleh karena itu masyarakat akan menyisihkan
sebagian pendapatannya untuk memperbaiki rumah.
Sedangkan masyarakat dengan tingkat pendapatan
rendah, maka tingkat pengeluarannya hanya untuk
memenuhi kebutuhan pangan. Pada keluarga dengan
tingkat pendapatan semakin tinggi, maka
pengeluaran untuk perbaikan rumah akan semakin
tinggi pula. Sebaliknya apabila keluarga dengan
tingkat pendapatan rendah, maka pengeluaran untuk
perbaikan rumah akan semakin rendah.
3) Faktor Tingkat Pendidikan
Kondisi permukiman, baik di kota maupun di desa
masih banyak yang memenuhi persyaratan teknis
maupun kesehatan. Hal ini disebabkan oleh tingkat
pendapatan dan pendidikan dari sebagian besar
masyarakat yang relatif rendah. Akibatnya daya
tangkap dan pengertian terhadap fungsi rumah serta
lingkungan masih kurang. Rendahnya tingkat
pendidikan menyebabkan kurangnya pemahaman
dan pengetahuan masyarakat tentang arti serta
I - 57
fungsi rumah sehat. Tingkat pendidikan masyarakat
akan turut menentukan kondisi rumah mereka. Jadi
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka
pemahaman akan arti dan fungsi rumah yang sehat
akan lebih baik, sehingga kondisi rumah akan lebih
baik.
4) Faktor Mata Pencaharian
Mata pencaharian adalah sumber dari tingkat
pendapatan masyarakat. Masyarakat dengan mata
pencaharian dari sektor formal serta tingkat
pendapatan tinggi kemungkinan dalam perbaikan
kondisi rumah sangat tinggi. Sedangkan masyarakat
dengan mata pencaharian dari sektor informal serta
tingkat pendapatan rendah kemungkinan dalam
perbaikan kondisi rumah sangat rendah.
5) Faktor Anggota Keluarga
Jumlah anggota keluarga juga merupakan salah satu
faktor yang diduga mempengaruhi pada kondisi
rumah. Pengaruh jumlah anggota keluarga terhadap
kondisi rumah ini dapat berupa pengaruh positif
maupun negatif. Jumlah anggota keluarga yang
besar merupakan potensi keluarga untuk
membangun, memperbaiki, dan memelihara rumah
sehingga kondisinya tetap terjaga dengan baik. Hal
ini merupakan pengaruh yang positif. Sebaliknya,
jika potensi anggota keluarga yang besar tidak
dimanfaatkan maka merupakan pengaruh yang
negatif terhadap kondisi rumah. Keadaan ini justru
akan memperburuk kondisi rumah. Jumlah anggota
I - 58
keluarga akan menimbulkan kesan padat apabila
tidak sebandung dengan luas rumah yang ada.
Standar lantai untuk 1 orang adalah sebesar 6 m.
6) Faktor Status Kepemilikan Lahan Dan Bangunan
Tanah atau lahan merupakan salah satu faktor
penting bagi permukiman. Mengenai hal status
kepemilikannya, dapat dibedakan menjadi 2 yaitu
tanah atau lahan dengan status hak milik dan tanah
atau lahan dengan status bukan hak milik. Tanah
atau lahan dengan status hak milik dapat
dimanfaatkan oleh pemiliknya seoptimal mungkin
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
masyarakat. Akan timbul keterbatasan-keterbatasan
dalam pemanfaatannya oleh pemilik jika status tanah
atau lahannya bukan hak milik. Pada umumnya
pemakaian tanah atau lahan ini dilakukan dengan
membayar sewa yang besarnya antara lain
ditentukan oleh luas tanah atau lahan dan lokasi
tanah atau lahan tersebut berada.
Status kepemilikan tanah atau lahan ini akan turut
dipengaruhi kondisi rumah yang dibangun diatasnya.
Masyarakat tidak akan ragu-ragu lagi untuk
membangun rumah yang permanen sesuai dengan
keinginan dan kemampuannya, jika berada ditanah
atau lahan miliknya. Sedangkan masyarakat yang
menggunakan tanah atau lahan bukan hak milik/
sewa, masih mempertimbangkan besarnya uang
sewa yang harus dikeluarkan disamping biaya untuk
pembangunan dan perbaikannya. Jadi dapat
I - 59
disimpulkan bahwa dengan status tanah atau lahan
milik sendiri diharapkan kondisi rumah akan relatif
lebih baik dari pada rumah yang dibangun di atas
tanah atau lahan bukan hak milik, karena
kesempatan untuk memperbaiki rumah lebih besar
tanpa harus membayar sewa tanah atau lahan.
7) Faktor Penilaian Masyarakat Terhadap
Lingkungan Permukiman
Rumah atau bangunan merupakan faktor penting
pula bagi permukiman. Bangunan dengan status hak
milik dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh pemilik
bangunan tersebut. Apabila status bangunan bukan
hak milik akan mengakibatkan keterbatasan dalam
pemanfaatannya. Status kepemilikan bangunan akan
turut mempengaruhi kondisi rumahnya, karena
masyarakat dapat membangun sesuai keinginannya
apabila status bangunan milik sendiri. Sedangkan
masyarakat yang menggunakan status bangunan
bukan milik sendiri atau sewa, mereka masih
mempertimbangkan uang sewa dibandingkan biaya
untuk pembangunan atau perbaikannya. Hal tersebut
dapat disimpulkan, bahwa masyarakat dengan status
bangunan milik sendiri diharapkan kondisi rumah
relatif lebih baik dari pada rumah dengan status
bukan milik sendiri atau sewa.
5. Urusan Pemerintahan bidang Perumahan dan
Kawasan Permukinan yang menjadi Kewenangan
I - 60
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
Berdasarkan UU No 23 Tahun 2014
Esensi Pemerintahan Daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah
daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Berbeda dengan UU No 32 Tahun 2004 yang
rincian pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota diatur lebih lanjut
dalam PP yaitu PP No 38 Tahun 2007, dalam UU No 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota terdapat dalam lampirannya.
Pembagian urusan berdasarkan UU No 23 Tahun
2014 didasarkan pada prinsip:
a. Akuntabilitas adalah bahwa penanggungjawab
penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan
ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas,
besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan
oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan;
b. Efisiensi adalah bahwa penyelenggaraan suatu
ursan pemerintahan ditentukan berdasarkan
I - 61
perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi
yang dapat diperoleh;
c. Eksternalitas adalah bahwa penyelenggaraan suatu
urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan luas ,
besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat
penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan; dan
d. Strategi Nasional; adalah bahwa penyelenggaraan
suatu ursan pemerintahan ditentukan berdasarkan
pertimbangan dalam rangka menjaga keutuhan dan
kesatuan bangsa, menjaga kedaulatan negara,
implementasi hubungan luar negeri, pencapaian
program strategis nasional, dan pertimbangan lain
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Berdasarkan prinsip tersebut kriteria Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
Kabupaten/Kota adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah
kabupaten/kota;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam
Daerah kabupaten/kota;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak
negatifnya hanya dalam Daerah kabupaten/kota;
dan/atau
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber
dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah
kabupaten/kota.
I - 62
Berdasarkan UU No 23 Tahun 2014 urusan
pemerintahan dibagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu urusan
absolut, urusan konkuren dan urusan pemerintahan
umum. Selanjutnya urusan konkuren terbagi menjadi
urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib yang
terdiri urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan
dasar dan urusan wajib yang tidak berkaitan dengan
pelayanan dasar.
Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan
dengan Pelayanan Dasar meliputi:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum dan penataan ruang;
d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan
masyarakat; dan
f. sosial (Ps 12 ayat (1) UU No 23 Tahun 2014).
Sedangkan Pemerintahan Wajib yang tidak
berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi:
a. tenaga kerja;
b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;
c. pangan;
d. pertanahan;
e. lingkungan hidup;
f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
g. pemberdayaan masyarakat dan Desa;
h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
i. perhubungan;
I - 63
j. komunikasi dan informatika;
k. koperasi, usaha kecil, dan menengah;
l. penanaman modal;
m. kepemudaan dan olah raga;
n. statistik;
o. persandian;
p. kebudayaan;
q. perpustakaan; dan
r. kearsipan (Ps 12 ayat (2) UU No 23 Tahun 2014).
Selanjutnya Urusan Pemerintahan Pilihan meliputi:
a. kelautan dan perikanan;
b. pariwisata;
c. pertanian;
d. kehutanan;
e. energi dan sumber daya mineral;
f. perdagangan;
g. perindustrian; dan
h. transmigrasi (Ps 12 ayat (3) UU No 23 Tahun
2014).
Pemerintahan Daerah menyelenggarakan urusan
pemerintahan konkuren menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD
Tahun 1945.
Salah satu Urusan Pemerintahan Wajib yang
berkaitan dengan Pelayanan Dasar adalah bidang
perumahan dan kawasan permukiman. Selanjutnya
rincian kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
I - 64
terkait dengan bidang perumahan dan kawasan
permukiman adalah sebagaimana tersebut dalam tabel
berikut.
NO SUB
URUSAN
DAERAH KABUPATEN/KOTA
1 2 3
1. Perumahan
a. Penyediaan dan rehabilitasi rumah
korban bencana kabupaten/kota. b. Fasilitasi penyediaan rumah bagi
masyarakat yang terkena relokasi
program Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
c. Penerbitan izin pembangunan dan pengembangan perumahan.
d. Penerbitan sertifikat kepemilikan bangunan gedung (SKBG).
2. Kawasan Permukiman
a. Penerbitan izin pembangunan dan pengembangan kawasan
permukiman.
b. Penataan dan peningkatan kualitas kawasan permukiman kumuh
dengan luas dibawah 10 (sepuluh) ha.
3. Perumahan dan
Kawasan Permukiman
Kumuh
Pencegahan perumahan dan kawasan permukiman kumuh pada
Daerah kabupaten/kota.
4. Prasarana, Sarana, dan
Utilitas Umum
(PSU)
Penyelenggaraan PSU perumahan.
5. Sertifikasi,
Kualifikasi,
Klasifikasi, dan
Registrasi Bidang
Perumahan
Sertifikasi dan registrasi bagi orang
atau badan hukum yang
melaksanakan perancangan dan perencanaan rumah serta
perencanaan prasarana, sarana dan utilitas umum PSU tingkat
kemampuan kecil.
I - 65
NO SUB
URUSAN
DAERAH KABUPATEN/KOTA
1 2 3
dan
Kawasan Permukiman
6. Pembangunan Prasarana, Sarana, dan Utilitas
Perumahan dan Permukiman
Prasarana sebagaimana dimuat dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas
Perumahan dan Perukiman di Daerah adalah
kelangkapan dasar fisik lingkungan yang
memungkinkan lingkungan perumahan dan
permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Adapun sarana adalah fasilitas penunjang yang
berfungsi untyk penyeleggaraan dan pengembangan
kehidupan ekonomi, social dan budaya. Sedangkan
utilitas merupakan sarana penunjang untuk pelayanan
lingkungan.
Pembangunan prasarana, sarana dan utilitas
perumahan dan permukiman sangat tergantung pada
minimal jumlah penduduk pendukung yang dibutuhkan
untuk pengadaan fasilitas sosial dimaksud. Standar
I - 66
pengadaan fasilitas sosial pada perumahan/
permukiman antara lain ditentukan berdasarkan
ketentuan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:
278/KPTS/1987.
Pelimpahan prasarana, sarana, dan utilitas
perumahan dan permukiman dilakukan melalui
beberapa tahapan seperti perencanaan, pelaksanaan,
dan pasca pelaksanaan. Proses pelimpahan prasarana,
sarana dan utilitas perumahan adalah penyerahan
berupa tanah dengan bangunan dan/ atau tanah tanpa
bangunan dalam bentuk asset dan tanggung jawab
pengelolaan dari pengembang kepada Pemerintah
Daerah.
a. Tahap Perencanaan
Tata cara persiapan penyerahan prasarana,
sarana, dan utilitas perumahan itu dapat dirinci
sebagai berikut:
1) Bupati menerima permohonan penyerahan
prasarana, sarana, dan utilitas perumahan dan
permukiman dari pengembang;
2) Bupati menugaskan Tim Verifikasi untuk
memproses penyerahan prasarana, sarana, dan
utilitas perumahan dan permukiman;
3) Tim Verifikasi mengundang pengembang untuk
melakukan pemaparan prasarana, sarana, dan
utilitas yang akan diserahkan;
I - 67
4) Tim verifikasi melakukan inventarisasi terhadap
prasarana, sarana, dan utilitas yang akan
diserahkan meliputi: rencana tapak yang telah
disetujui oleh Pemerintah Daerah, tata letak
bangunan dan lahan, serta besar prasarana,
sarana, dan utilitas dan
5) Tim Verifikasi menyusun jadwal kerja tim.
b. Tahap Pelaksanaan
Tata cara pelaksanaan penyerahan prasarana,
sarana, dan itu, meliputi:
1) Tim verifikasi melakukan penelitian atas
persyaratan umum, teknis dan administrasi;
2) Tim verifikasi melakukan pemeriksaan lapangan
dan penilaian fisik prasarana, sarana, dan
utilitas;
3) Tim verifikasi menyusun laporan hasil
pemeriksaan dan penilaian fisik prasarana,
sarana, dan utilitas serta merumuskan
prasarana, sarana, dan utilitas yang layak atau
tidak layak diterima.
4) Prasarana, sarana, dan utilitas yang tidak layak
diterima diberikan kesempatan kepada
pengembang untuk melakukan perbaikan paling
lambat 1 (satu) bulan setelah dilakukan
pemeriksaan;
I - 68
5) Hasil perbaikan prasarana, sarana, dan utilitas
sebagaimana dimaksud pada huruf d, dilakukan
pemeriksaan dan penilaian kembali.
6) Prasarana, sarana, dan utilitas layak diterima
dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan
untuk disampaikan kepada Bupati.
7) Bupati menetapkan prasarana, sarana, dan
utilitas yang diterima.
8) Tim verifikasi mempersiapkan berita acara serah
terima, penetapan jadwal penyerahan dan SKPD
yang berwenang mengelola; dan
9) Penandatanganan berita acara serah terima
prasarana, sarana, dan utilitas dilakukan oleh
pengembang dan Bupati dengan melampirkan
daftar prasarana, sarana, dan utilitas, dokumen
teknis dan administrasi.
c. Tahap Pasca Penyerahan
Selanjutnya tata cara pasca penyerahan prasarana,
sarana, dan utilitas itu diatur secara rinci, meliputi:
1) Bupati menyerahkan prasarana, sarana, dan
utilitas kepada SKPD yang berwenang mengelola
dan memelihara paling lambat 3 (tiga) bulan
setelah penyerahan prasarana, sarana dan
utilitas dilaksanakan.
2) Pengelola barang milik daerah melalakukan
pencatatan asset atas prasarana, sarana, dan
I - 69
utilitas ke dalam Daftar Barang Milik Daerah
(DBMD).
3) SKPD yang menerima asset prasarana, sarana
dan utilitas melakukan pencatatan ke dalam
Daftar Barang Milik Pengguna (DBMP); dan
4) SKPD yang menerima asset prasarana, sarana
dan utilitas menginformasikan kepada
masyarakat mengenai prasarana, sarana dan
utilitas yang sudah diserahkan oleh
pengembang.
B. Kajian terhadap Asas/Prinsip yang terkait dengan
Penyusunan Norma
1. Tinjauan Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa Negara
Indonesia adalah negara hukum, dengan demikian
berarti bahwa setiap pelaksanaan kenegaraan serta
segala ketentuan di negeri ini harus diatur dengan
hukum atau suatu peraturan perundangan. Istilah
perundang-undangan mempunyai dua pengertian, yaitu:
a. Proses pembentukan peraturan negara, baik pada
tingkat pusat maupun daerah.
b. Segala peraturan negara yang merupakan hasil
pembentukan peraturan-peraturan, baik oleh
pemerintah pusat maupun daerah.
I - 70
Berdasarkan kajian ilmu hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dikenal adanya berbagai norma hukum,
yaitu:
a. Norma hukum umum dan norma hukum individual.
b. Norma hukum abstrak dan norma hukum konkrit.
c. Norma hukum einmalig (sekali selesai) dan norma
hukum dauerhafig (berlaku terus menerus).
d. Norma hukum tunggal dan norma hukum
berpasangan.
Hal yang perlu untuk diperhatikan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan adalah
mengenai daya laku dan daya guna serta keabsahan dari
bagian-bagian pembentuknya. Apabila suatu peraturan
perundangan dibentuk oleh suatu lembaga yang
berwenang dan sesuai dengan norma hukum yang
berlaku dan sah, maka peraturan tersebut memiliki
legitimasi dan dapat ditaati oleh masyarakat. Norma
hukum diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kelompok,
yaitu:
a. Norma fundamental negara (Stats Fundamental
Form) yang merupakan norma yang tertinggi dalam
sebuah negara dan ditetapkan oleh masyarakat.
b. Aturan dasar, yaitu aturan yang bersifat pokok,
umum, dan masih bersifat tunggal.
c. Undang-undang formal.
d. Aturan pelaksana atau otonom.
Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
I - 71
Pasal 5 dijelaskan bahwa dalam membentuk Peraturan
Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada
asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
baik, yang meliputi: (i) kejelasan tujuan; (ii)
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; (iii)
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
(iv) dapat dilaksanakan; (v) kedayagunaan dan
kehasilgunaan; (vi) kejelasan rumusan; dan (vii)
keterbukaan.
2. Asas-asas dalam Peraturan Perundang-undangan
Terkait dengan berlakunya peraturan perundang-
undangan dalam arti material dikenal adanya beberapa
asas-asas. Asas-asas tersebut dimaksudkan supaya
peraturan perundang-undangan mempunyai akibat yang
positif apabila benar-benar dijadikan sebagai pegangan
dalam penerapannya, walaupun hal tersebut masih
membutuhkan suatu penelitian yang mendalam untuk
dapat mengungkapkan kebenarannya. Beberapa asas
yang dikenal dan biasa digunakan dalam peraturan
perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Asas pertama: undang-undang tidak berlaku surut.
b. Asas kedua: undang-undang yang dibuat oleh
penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi pula. Hal tersebut mengakibatkan:
1) Peraturan yang lebih tinggi tidak dapat diubah
atau dihapuskan oleh peraturan yang lebih
rendah, sedangkan proses sebaliknya
dimungkinkan terjadi.
I - 72
2) Hal-hal yang wajib diatur oleh peraturan atasan
tidak mungkin diatur oleh peraturan yang lebih
rendah, sedangakan sebaliknya adalah mungkin.
3) Isi peraturan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan isi peraturan di atasnya.
Keadaan sebaliknya adalah mungkin dan apabila
hal tersebut terjadi, maka peraturan yang lebih
rendah menjadi batal.
4) Peraturan yang lebih rendah dapat merupakan
peraturan pelaksanaan.
c. Asas ketiga: undang-undang yang bersifat khusus
menyampingkan undang-undang yang bersifat
umum, jika pembuatannya sama. Artinya adalah
pada peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-
undang yang menyebut peristiwa tersebut, walaupun
untuk peristiwa khusus itu dapat pula diperlakukan
undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih
luas atau lebih umum.
d. Asas keempat: undang-undang berlaku terdahulu.
Artinya adalah undang-undang lain yang lebih dahulu
berlaku dimana diatur suatu hal tertentu, tidak
berlaku lagi jika undang-undang baru yang mengatur
pula hal tertentu akan tetapi makna dan tujuannya
berlainan atau berlawanan dengan undang-undang
yang lama tersebut.
e. Asas kelima: undang-undang tidak dapat diganggu
gugat.
f. Asas keenam: undang-undang sebagai sarana untuk
semaksimal mungkin mencapai kesejahteraan
I - 73
spiritual dan material bagi masyarakat maupun
mencapai pribadi, dilakukan pembaharuan dan
pelestarian.
Selain asas-asas yang telah disebutkan di atas,
dalam pembentukan peraturan perundangan juga harus
memenuhi beberapa persyaratan supaya dalam
pembentukan undang-undang tidak sewenang-wenang.
Adapun persyaratan tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Keterbukaan, maksudnya adalah sidang-sidang
pembentukan undang-undang dan sikap dari para
eksekutif dalam penyusunan peraturan perundang-
undangan harus terbuka, supaya masyarakat yang
berminat dapat memberi tanggapan pada peraturan
yang sedang disusun.
b. Memberikan hak kepada masyrakat untuk dapat
mengajukan usul tertulis kepada penguasa.
Pengajuan usul tersebut dapat dilakukan melalui
beberapa cara berikut ini:
1) Penguasa mengundang mereka yang berminat
untuk menghadiri suatu pembicaraan penting
yang menyangkut suatu peraturan di bidang
tertentu.
2) Suatu departemen mengandung organisasi-
organisasi tertentu untuk memberikan usulan
tentang suatu rancangan undang-undang.
3) Acara dengar pendapat yang diadakan di Dewan
Perwakulan Rakyat.
I - 74
4) Pembentukan komisi-komisi penasehat yang
terdiri dari tokoh-tokoh dan ahli-ahli terkemuka
(Soerjono Soekanto, 1987).
3. Asas-asas Muatan Peraturan Daerah
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 6
menjelaskan beberapa asas-asas yang harus dipenuhi
dalam materi muatan peraturan perundang-undangan,
meliputi:
a) Asas pengayoman adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
berfungsi memberikan pelindungan untuk
menciptakan ketentraman masyarakat.
b) Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap
warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
c) Asas kebangsaan adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia
yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
d) Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
I - 75
e) Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian
dari sistem hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
f) Asas bhinneka tunggal ika adalah bahwa Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku
dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
g) Asas keadilan adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara.
h) Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat
hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar
belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan,
gender, atau status sosial.
i) Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus dapat mewujudkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
I - 76
j) Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara
kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan
bangsa dan negara.
k) Asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan antara lain:
dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas
tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan
narapidana, dan asas praduga tak bersalah; dalam
Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian,
antara lain, asas kesepakatan, kebebasan
berkontrak, dan itikad baik.
C. Kajian Terhadap Penyelenggaraan Perumahan dan
Kawasan Permukiman di Daerah dan Permasalahan
yang Dihadapi Masyarakat
1. Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Tuban
Kabupaten Tuban merupakan salah satu kabupaten
yang terletak di Propinsi Jawa Timur. Kabupaten Tuban
terletak pada 111,30’ – 112,35’ BT dan 6,40’- 7,18’ LS.
Batas wilayah Daerah Kabupaten Tuban adalah:
sebelah utara : berbatasan dengan Laut Jawa;
sebelah timur : berbatasan dengan Kabupaten
Lamongan;
sebelah selatan : berbatasan dengan Kabupaten
Bojonegoro; dan
I - 77
sebelah barat : berbatasan dengan Provinsi Jawa
Tengah.
Luas Wilayah Daratan, Kabupaten Tuban adalah
1.839,94 Km2 (Tuban dalam Angka 2014) sementara
menurut Lampiran Permendagri Nomor 39 Tahun 2015
luasnya adalah 1.834,15 Km2. Kabupaten Tuban
memiliki pantai dengan panjang 65 Km dan luas wilayah
lautan sebesar 22.608 Km2.
Pada bulan Agustus 2005, Kabupaten Tuban
mengalami pemekaran kecamatan dari 19 kecamatan
menjadi 20 kecamatan. Kecamatan yang berkurang luas
wilayahnya adalah 3 kecamatan yaitu Kecamatan
Semanding, Rengel dan Soko. Kecamatan Grabagan
adalah pemekaran dari 3 kecamatan tersebut. Dari tabel
1.3 kecamatan yang mempunyai luas wilayah yang
paling luas adalah Kecamatan Montong, yaitu 8.04
persen dari total luas Kabupaten Tuban. Sedangkan
kecamatan yang mempunyai luas wilayah paling kecil
adalah Kecamatan Tuban dengan luas 21,29 km2 atau
1,16 persen dari total luas Kabupaten Tuban, dengan
jumah penduduk dengan jumlah penduduk 1.162.777
jiwa (Lampiran PMDN 39/2015)
Kabupaten Tuban memiliki Iklim yang secara
umum sama dengan wilayah pesisir utara Pulau Jawa.
Curah hujan yang terjadi pada tahun 2013 di Kabupaten
Tuban paling tinggi terjadi di bulan Januari yaitu 344
mm. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus
dan September dimana tidak ada hujan sama sekali.
Untuk curah hujan yang paling tinggi berdasarkan
I - 78
stasiun pengukur terjadi di Jojogan yang mencapai
2.346 mm dan yang paling rendah terjadi di Jenu
dengan curah hujan 1.374 mm (Tuban Dalam Angka
Tahun 2014).
2. Gambaran Pembangunan Perumahan di Kabupaten
Tuban
Posisi strategis Perkotaan Tuban pada jalur arteri
yang menghubungkan Surabaya-Semarang merupakan
otensi utama yang mendorong pertumbuhan kota yang
awalnya terkonsentrasi di sepanjang periferi jalan arteri.
Masuknya pabrik Semen Gresik ke Tuban pada era 90-
an di Kerek, disusul Semen Holcim yang membangun
pabrik sejak 2006 di Merak Urak, Kawasan Industri
Tuban di Jenu, serta industri lainnya, mendorong
perkembangan wilayah menjadi tumbuh semakin cepat.
Perkembangan kegiatan industri selanjutnya
mendorong pengembangan perumahan, karena para
pekerja membutuhkan tempat tinggal sedekat mungkin
dengan tempat kerjanya. Berawal dari kebutuhan dasar
untuk memenuhi perumahan bagi para pekerja, para
pengembang mulai membangun perumahan untuk
memenuhi kebutuhan tempat tinggal pekerja. Pada
awalnya perumahan yang dibangun pengembang
terkonsentrasi di Tuban bagian Barat, antara lain
Perumahan Tuban Indah, Mondokan Asri, Siwalan
Permai, Tuban Akbar, Merak Indah Regency, dengan
membangun rumah sederhana sampai rumah
menengah. Gambaran lingkungan perumahan yang
I - 79
dikembangkan Perumahan Tuban Akbar di Perbon
ditunjukkan pada Gambar 3.1. sampai Gambar 3.4.
Seiring dengan semakin besarnya peluang bisnis
di bidang perumahan, pengembang mulai berani
membangun perumahan ke arah kota dengan
membangun rumah sederhana sampai mewah. Antara
lain perumahan yang dibangun oleh Griya Permata
Latsari, Bale Agung Latsari, Grand City Tuban, Watu
Gajah Residence, Perbon Raya. Tahap selanjutnya
pengembangan perumahan tida hanya dilakukan di
Tuban bagian Barat saja, tetapi juga ke Tuban bagian
Timur dan Selatan. Di Tuban bagian Timur Perumnas
membangun Perumahan Giya Asri Tasikmadu di
Kecamatan Palang, Gambaran perumahan yang
dikembangkan Perumnas Tasikmadu ditunjukkan pada
Gambar 3.5. sampai Gambar 3.8. Peluang
pengembangan perumahan ke arah Timur tampaknya
cukup baik, dan tampaknya mulai diminati oleh
pengembang lain untukmembangun perumahan di
kawasan ini. Selain di bagian Timur, pengembangan juga
dilakukan di bagian Selatan, dimana pengembang
membangun Perumahan Agro Sejahtera Abadi.
Pengembang perumahan yang disebutkan di atas
adalah pengembang perumahan yang berbadan hukum,
berbetuk PT atau CV yang umumnya menjadi anggota
REI atau APERSI. Pengembang perumahan di Tuban
terdiri dari :
I - 80
1. Pengembang perumahan yang membangun
perumahan pegawai PT. Semen Gresik, yaitu Graha
Sandiya Semen Gresik di Desa Senori, Merak Urak.
2. Pengembang anggota REI
Di Tuban, ada empat pengembang yang menjadi
anggota REI (Real Estate Indonesia) (lihat Tabel
3.1). Di antara empat anggota REI, tiga di
antaranya adalah pengembang yang berkantor di
luar Tuban (di Surabaya dan Nganjuk).
3. Pengembang anggota APERSI
Di Tuban ada lima pengembang yang menjadi
anggota APERSI (Asosiasi Pengembang Perumahan
dan Permukiman Seluruh Indonesia) (lihat Tabel
3.2). Pengembang anggota APERSI seluruhnya
berkantor di luar Tuban (di Surabaya).
4. Selain pengembang anggota REI dan anggota DPD
APERSI, di Kabupaten Tuban terdapat sekitar 32
pengembang yang bukan anggota REI dan APERSI
(lihat Tabel 3.3). Di antara 32 pengembang yang
bukan anggota REI dan APERSI, terdapat 24
pengembang yang belum dapat diidentifikasikan
data nama pengembang dan alamat kantornya.
Karena itu belum dapat diidentifikasikan apakah
pengembang tersebut adalah pengembang yang
berasal dari Tuban atau dari luar Tuban.
Lokasi perumahan yang dibangun pengembang
bukan anggota REI dan APERSI tersebar di
Kembangbilo, Mondokan, Jenu, Karang, Semanding,
I - 81
Perbon, Tasikmadu, Latsari, Sugihwaras,
Gedongombo.
Selain perumahan yang dikembangkan oleh
pengemban atau developer yang berbadan hukum
(berbentuk PT, CV, Koperasi), di Tuban juga terdapat
perumahan yang dibangun oleh pengembang yang tidak
berbadan hukum. Pengembang tidak berbadan hukum
ini membangun rumah dalam jumlah tidak lebih dari
lima unit sehingga tidak terkena ketentuan untuk
membuat Izin Site Plan, tetapi hanya pengajuan IMB
saja. Pengembang tidak berbadan hukum biasanya
mengokupasi tanah enclave di tengah perkampungna
yang sedang tumbuh, atau menguasai tanah kaveling
cukup luas tetapi dibangun sedikit demi sedikit antara
satu sampai lima rumah saja setiap tahap
pembangunan. Keberadaan pengembang tidak berbadan
hukum di Tuban hingga saat ini belum terdata.
Tabel:
Pengembang Anggota REI di Tuban
No Nama
Perusahaan
Alamat
Kantor
Nama
Perumahan
Lokasi Luas
lahan
(m2)
(1) (2) (3) (4) (5)
1. Guna Bhakti
Permai
Mutiara
Margomulyo
Permai C3-
2 Tandes
Surabaya
Mondokan
Santosa
Tahap II
Jl. Masjid Al-
Falah V,
Kelurahan
Mondokan,
Tuban
Mutiara
Margomulyo
Permai C3-
2 Tandes
Surabaya
Mondokan
Santosa
Tahap II
Desa/Kelurahan
Mondokan Kec.
Tuban
25.000
2. PT. Tunas
Indra
Nuansa
Mulia
Jl. Bromo
Raya No. 1
Ploso,
Nganjuk
Bumi
Permata
Estate
Tuban 17.000
I - 82
3. PT. Graha
Piramida
Sejahtera
Jl. Letda
Sutjipto No.
209 Tuban
Perumahan
Permata
Sejahtera
Desa/Kelurahan
Latsari, Tuban
10.120
Bogorejo
Sejahtera
Regency
Desa Tuwiri
Wetan
Kecamatan
Merakurak
4.020
4. CV. Graha
Inovasi
Gunungsari
Indah AZ-
39
Surabaya
Graha
Inovasi
Regency
Tuban
Sumber : REI DPD Jawa Timur; 2016 dalam Kajian Penyediaan, Penyerahan, dan Pengelolaan Sarana, Prasarana, dan
Utilitas Lingkungan Perumahan, Pemkab Tuban: 2016.
Tabel: Pengembang Anggota APERSI di Tuban
No Nama
Perusahaan
Alamat
Kantor
Nama
Perumahan
Lokasi Jumlah
Rumah
Yang
Dibangun
(unit)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. PT. Sukses
Bangun
Pertiwi
Perum
Ketintang
Permai BD-
15
Surabaya
Graha
Ronggolawe
Regency
Semanding
Tuban
MBR : 184
Non MBR :
100
2. PT. Duta
Mulyo
Jl.
Menganti
Kramat
116 jajar
Tunggal
Wiyung
Surabaya
Pondok
Widang
Indah
Widang,
Tuban
MBR : 150
Non MBR :
50
3. PT. Tiga
Permata
Usaha
Jl. Darmo
Indah
Selatan
KK-16
Surabaya
Grand
Merak
Regency
Merak
Urak
Tuban
MBR : 100
Jl. Darmo
Indah
Selatan
KK-16
Surabaya
Merak Indah
Regency
Sekardadi,
Jenu
na
4. PT. Graha
Agung
Kencana
Jl.
Margorejo
Indah 202-
A Surabaya
Griya
Kencana
Jatirogo
Jatirogo
Tuban
MBR : 150
I - 83
5. PT. Rivera
Jaya Mandiri
Graha
Indah Jl.
Gayung
Kebonsari
Blok E-9
Surabaya
Villa Jenu
Permai
Jenu
Tuban
MBR : 100
Sumber: DPD APERSI Jawa Timur; 2016 dalam Kajian Penyediaan, Penyerahan, dan Pengelolaan Sarana,
Prasarana, dan Utilitas Lingkungan Perumahan, Pemkab Tuban: 2016.
Tabel:
Pengembang Bukan Anggota REI dan Bukan Anggota Anggota APERSI di Tuban
No Nama
Perusahaan
Alamat Kantor Nama
Perumah
an
Lokasi Keterang
an
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. PT. AHSANA
PROPERTY
SYARIAH
PUSAT: JL.
LAKSDA ADI
SUCIPTO 179,
BLIMBING,
MALANG.
CABANG: JL.
MASJID AL
FALAH 1,
KEMBANGBILO,
TUBAN.
D'AHSANA
DARUS
SAKINAH
KEMBANGBI
LO TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
2 GRANADA
PROPERTY
JL. KH AGUS
SALIM 48,
MAKAM AGUNG,
TUBAN
GRANADA
REGENCY
KARANG
TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
JL. KH AGUS
SALIM 48,
MAKAM AGUNG,
TUBAN
GRANADA
INDAH
REGENCY
KARANG
TUBAN
MASIH
RENCANA
JL. KH AGUS
SALIM 48,
MAKAM AGUNG,
TUBAN
MONDOKA
N ASRI
KEL.MONDO
KAN,
KEC.TUBAN,
TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
3. PUSAT
PROPERTINDO
JL. SUNAN
KALIJOGO
(KOMPLEKS
PERTOKOAN
KOMPI TUBAN),
SUPRA
RESIDENC
E
JENU TUBAN
MASIH
RENCANA
I - 84
No Nama
Perusahaan
Alamat Kantor Nama
Perumah
an
Lokasi Keterang
an
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
LATASARI,
TUBAN
JL. SUNAN
KALIJOGO
(KOMPLEKS
PERTOKOAN
KOMPI TUBAN),
LATASARI,
TUBAN
WATUGAJ
AH
RESIDENC
E
SEMANDING
TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
JL. SUNAN
KALIJOGO
(KOMPLEKS
PERTOKOAN
KOMPI TUBAN),
LATASARI,
TUBAN
BUMI
KARANG
RESIDENC
E
SEMANDING
TUBAN
MASIH
RENCANA
JL. SUNAN
KALIJOGO
(KOMPLEKS
PERTOKOAN
KOMPI TUBAN),
LATASARI,
TUBAN
BALE
AGUNG
LATSARI
KEC.TUBAN,
TUBAN
MASIH
RENCANA
4. NA NA PERUMAH
AN
PERBON
RAYA
NA SUDAH
TERBANG
UN
5. PT. EMPAT
SAHABAT
BERLIAN
JL. WAHIDIN
SUDIROHUSODO
18A, TUBAN
PERUMAH
AN
PERBON
RAYA 2
KEL.
PERBON,
KEC. TUBAN,
TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
JL. WAHIDIN
SUDIROHUSODO
18A, TUBAN
PERUMAH
AN GRAND
TUBAN
CITY
JL.
PAHLAWAN,
KEC.SEMAN
DING,
TUBAN
MASIH
RENCANA
6. PT
PERUMAHAN
PERMATA
BONANG
JL TEUKU UMAR
17 NO.7A, KEL.
LATSARI, KEC.
TUBAN, TUBAN
PERUMAH
AN
PERMATA
BONANG
KEL.
PERBON,
KEC. TUBAN,
TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
I - 85
No Nama
Perusahaan
Alamat Kantor Nama
Perumah
an
Lokasi Keterang
an
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
7. PERUMNAS
NA PERUMAH
AN
TASIKMAD
U
DS.TASIKMA
DU,
KEC.PALANG
, TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
NA PERUMAH
AN
PERBON
PERMAI
KEL.
PERBON,
KEC. TUBAN,
TUBAN
MASIH
RENCANA
8. PT. BANYU
AGUNG
NA PERUMAH
AN SATYA
GRAHA
PERBON
KEL.
PERBON,
KEC. TUBAN,
TUBAN
MASIH
RENCANA
9. NA NA PERUMAH
AN YASA
GRIYA
JL. LETDA
SUCIPTO,
KEL.PERBON
,
KEC.TUBAN,
TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
10. NA NA PERUMAH
AN BUKIT
KARANG
KEL.
KARANG,
KEC.
SEMANDING,
TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
11. NA NA PERUMAH
AN
SIWALAN
PERMAI
JL MASJID
AL FALAH,
KEL.KEMBAN
GBILO,
KEC.TUBAN,
TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
12. NA NA PERUMAH
AN PURI
TUBAN
INDAH
JL
DR.WAHIDIN
SUDIROHUS
ODO,
KEC.TUBAN,
TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
13. NA NA PERUMAH
AN GRAND
EXECUTIV
E
JL APEL,
KEL.
PERBON,
KEC. TUBAN,
TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
I - 86
No Nama
Perusahaan
Alamat Kantor Nama
Perumah
an
Lokasi Keterang
an
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
14. NA NA PERUMAH
AN
SEJAHTER
A INDAH
JENU TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
15. NA NA PERUMAH
AN GRIYA
JENGGOLO
PERMAI
DS.
JENGGOLO,
KEC. JENU,
TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
16. NA NA PERUMAH
AN
NGEMPLAK
ASRI
JL.
NGEMPLAK,
KEL.SIDOREJ
O,
KEC.TUBAN,
TUBAN
MASIH
RENCANA
17. NA NA PERUMAH
AN TUBAN
INDAH
JL RAYA
TUBAN,
KEL.SUGIHW
ARAS,
KEC.JENU,
TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
18. NA NA GRIYA
PERMATA
LATSARI
JL. P.
DIPONEGOR
O (LATSARI
GG.3),
KEL.LATSARI
,
KEC.TUBAN,
TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
19. NA NA PERUMAH
AN TUBAN
AKBAR
KEL.
PERBON,
KEC. TUBAN,
TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
20. NA NA CAKRAWA
LA INDAH
MONDOKA
N
KEL.
MONDOKAN,
KEC. TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
21. NA NA DELIMA
ASRI 1
KEL.
PERBON,
KEC. TUBAN,
TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
I - 87
No Nama
Perusahaan
Alamat Kantor Nama
Perumah
an
Lokasi Keterang
an
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
22. NA NA DELIMA
ASRI 2
KEL.
PERBON,
KEC. TUBAN,
TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
23. NA NA GEDONGO
MBO BARU
KEL.
GEDONGOM
BO, KEC.
TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
24. NA NA HIL
RESIDENC
E
KEL.
PERBON,
KEC. TUBAN,
TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
25. NA NA LATSARI
INDAH
KEL.
LATSARI,
KEC. TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
26. NA NA MARINA
RESIDENC
E
DESA
SUGIWARAS,
KAB. TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
27. NA NA PANDAN
ARUM
RESIDENC
E
KEC. JENU,
KAB. TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
28. NA NA PRIMA
GARDEN
RESIDENC
E
KEC. JENU,
KAB. TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
29. NA NA PERUMAH
AN TUBAN
PERMAI
KEC. TUBAN,
KAB. TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
31. NA NA TUBAN
VILLA
REGENCY
KEL.
PERBON,
KEC. TUBAN,
TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
32 NA NA VALENCIA
REGENCY
KEL.
PERBON,
KEC. TUBAN,
TUBAN
SUDAH
TERBANG
UN
I - 88
Sumber: google.com dan Penelurusan Lapangan; 2016 dalam Kajian
Penyediaan, Penyerahan, dan Pengelolaan Sarana,
Prasarana, dan Utilitas Lingkungan Perumahan, Pemkab
Tuban: 2016.
3. Urgensi Pengaturan Penyelenggaraan Perumahan
dan Permukiman oleh Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah sesuai dengan amanat
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014,
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan yang menjadi urusan
Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
tersebut, pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan
tugas pembantuan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa pemerintah
daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya, kecuali urusan yang menjadi
urusan pemerintah pusat. Dalam menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya
daerah, pemerintah daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan
tugas pembantuan. Menurut Pasal 12 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah menegaskan bahwa urusan pemerintah yang
menjadi wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota di
I - 89
antaranya adalah perumahan rakyat dan kawasan
permukiman.
Pemerintah harus mengupayakan perlindungan
hak penghuni rumah untuk kenyamanan dan
kesehatan, terutama untuk registrasi material hasil
industri. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan
labelisasi material bangunan. Jadi, labelisai tidak hanya
berlaku untuk makanan, karena pengaruh material
bangunan juga sangat besar terhadap kesehatan
penghuni. Apa lagi rumah didiami bukan untuk waktu
yang singkat, tetapi untuk puluhan tahun, bahkan
seumur hidup.
Untuk Rumah siap huni-misalnya yang dibangun
oleh real estate dan Perumnas harus jelas spesifikasi
bangunan, yang tidak sekedar spesifikasi teknis, tetapi
juga spesifikasi efek bahan terhadap kesehatan. Hal
tersebut harus disertakan dalam dokumen rumah, dan
disepakati dalam acara serah terima resmi antara
pengembang dan pemilik rumah. Kesenjangan cara
pandang dan persepsi antara perencana dan
masyarakat harus diminimalkan, dengan dialog yang
aktif dan terbuka. Perencana harus mengembalikan
kedudukannya sebagai mediator dan penterjemah
aspirasi pemilik rumah, sebagai pihak yang
mengupayakan yang terbaik bagi penghuni rumah,
bukan sebagai pihak yang berada pada posisi „pihak
sok tahu‟ dengan dalih ilmu pengetahuan yang
dimilikinya.
I - 90
Harus diupayakan pengembangan teknologi
konstruksi, material dan alat-alat rumah tangga yang
akrab lingkungan sebagai tanggung jawab akan
kelestarian alam dan kualitas kehidupan manusia yang
berkelanjutan, misalnya:
a. Labelisasi/sertifikasi bahan bangunan untuk
menjamin bahan tersebut tidak menimbulkan efek
yang tidak menguntungkan bagi kesehatan
penghuni rumah;
b. Penelitian dan pengembangan industri material
bangunan organik-misalnya dari limbah pertanian-
sebagai bahan bangunan alternatif yang murah,
sehat dan nyaman;
c. Perencanaan hutan produksi yang
berkesinambungan untuk bahan bangunan yang
berkelanjutan, sehingga hutan konservasi yang ada
tidak rusak untuk kebutuhan matertial
rumah/perumahan;
d. Penelitian dan pengembangan teknologi tepat guna
untuk kebutuhan akan energi, mengingat cadangan
bahan bakar minyak dan gas terbatas (IBID, hal:
12).
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011
Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
menyatakan bahwa pemerintah kabupaten/kota dalam
melaksanakan pembinaan mempunyai wewenang:
(1) Menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan permukiman pada
tingkat kabupaten/kota; (2) Menyusun dan menyempurnakan peraturan
perundang-undangan bidang perumahan dan
I - 91
kawasan permukiman pada tingkat
kabupaten/kota bersama DPRD; (3) Memberdayakan pemangku kepentingan dalam
bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota;
(4) Melaksanakan sinkronisasi dan sosialisasi peraturan perundang-undangan serta kebijakan
dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat
kabupaten/kota; (5) Mencadangkan atau menyediakan tanah untuk
pembangunan perumahan dan permukiman bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR);
(6) Menyediakan prasarana dan sarana
pembangunan perumahan bagi MBR pada tingkat kabupaten/kota;
(7) Memfasilitasi kerja sama pada tingkat kabupaten/kota antara pemerintah
kabupaten/kota dan badan hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman; (8) Menetapkan lokasi perumahan dan permukiman
sebagai perumahan kumuh dan permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota; dan
(9) Memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh pada
tingkat kabupaten/kota.
Kewenangan pemerintah dalam bidang
perumahan dan permukiman tersebut dimaksudkan
untuk mencapai suatu keteraturan dan kualitas yang
baik bagi perumahan dan permukiman harus
akomodatif terhadap keragaman budaya, tradisi dan
perilaku masyarakat. Harus diupayakan tingkat
penerimaan yang wajar terhadap budaya masyarakat
pada kelas sosial rendah dalam mengatasi masalah
perumahan yang mereka hadapi dengan cara yang
mereka pilih. Untuk mendukung mereka, harus
I - 92
diupayakan kebijaksanaan khusus untuk penyediaan
prasarana dasar lingkungan yang murah.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 16
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan
bahwa pemerintah dalam melaksanakan pembinaan
mempunyai wewenang:
a. Menyusun dan menetapkan norma, standar,
pedoman, dan kriteria rumah, perumahan,
permukiman, dan lingkungan hunian yang layak,
sehat, dan aman;
b. Menyusun dan menyediakan basis data perumahan
dan kawasan permukiman;
c. Menyusun dan menyempurnakan peraturan
perundang-undangan bidang perumahan dan
kawasan permukiman;
b. Memberdayakan pemangku kepentingan dalam
bidang perumahan dan kawasan permukiman pada
tingkat nasional;
c. Melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan
sosialisasi peraturan perundang-undangan serta
kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan
dan kawasan permukiman dalam rangka
mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan
pelindungan hukum dalam bermukim;
d. Mengoordinasikan pemanfaatan teknologi dan
rancang bangun yang ramah lingkungan serta
pemanfaatan industri bahan bangunan yang
I - 93
mengutamakan sumber daya dalam negeri dan
kearifan lokal;
e. Mengoordinasikan pengawasan dan pengendalian
pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang
perumahan dan kawasan permukiman;
f. Mengevaluasi peraturan perundang-undangan serta
kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan
dan kawasan permukiman pada tingkat nasional;
g. Mengendalikan pelaksanaan kebijakan dan strategi
di bidang perumahan dan kawasan permukiman;
h. Memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap
perumahan kumuh dan permukiman kumuh;
i. Menetapkan kebijakan dan strategi nasional dalam
penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman;
j. Memfasilitasi pengelolaan prasarana, sarana, dan
utilitas umum perumahan dan kawasan
permukiman; dan
k. Memfasilitasi kerja sama tingkat nasional dan
internasional antara pemerintah dan badan hukum
dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman.
4. Program Pemerintah Daerah terkait Perumahan
dan Kawasan Permukiman
Dalam rangka pelaksanaan program pengentasan
sesuai Perpres nomor 2 tahun 2015 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-
2019, Pemerintah Kabupaten Tuban sudah dapat
I - 94
diterjemahkan dalam bentuk program Kota Tanpa
Kumuh (Kotaku), meski baru tahap perencanaan.
Program Kotaku ini dilakukan guna mewujudkan
permukiman perkotaan yang layak huni, produktif dan
berkelanjutan. Meski baru tahap perencanaan.
Program Kotaku menjadi program pengentasan
permukiman kumuh terutama di Kecamatan Tuban.
Pemerintah Kabupaten Tuban memiliki pekerjaan
rumah dalam menuntaskan lahan sekitar 49 hektare
dalam percepatan pengentasan permukiman kumuh.
Diketahui, pada 2016 program Kotaku
dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (Bappeda), kemudian pada 2017 mendatang
program pengentasan permukiman kumuh diambil alih
sepenuhnya oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD)
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang
perumahan rakyat dan kawasan permukiman yaitu
Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman
Kabupaten Tuban.
Selanjutnya Bappeda terlibat sebagai leading
sector meskipun menjadi koordinator program,
sehingga masih terlibat dalam perencanaan maupun
evluasi program. Program Kotaku ini diharapkan secara
teknis mampu terintegrasi dengan program lain.
Karena program tersebut lebih mengarah kepada
pembangunan fisik semata, diharapkan terintegtrasi
dengan bidang lain khususnya di ekonomi masyarakat
maupun yang lain.
I - 95
Langkah awal menuju kota tanpa kumuh
tersebut, Bappeda membuka ruang sosialisasi dengan
pihak terkait. Sehingga dapat menghimpun komitmen
wadah dan mencapai kesepakatan bersama dalam
pelaksanaannya kelak.
Target 2019 sudah terwujud, khususnya 100
persen drainase, permukiman kumuh dan fasilitas
ketersediaan air bersih. Selain itu, Program Kotaku
dilaksanakan sesuai visi dan misi Bupati Tuban pada
jilid kedua masa pemerintahannya kali ini, program
tersebut menjadi prioritas pertama. Diharapkan pada
akhir jabatan (Bupati, red) nanti, tidak ada
permukiman kumuh khususnya di kota yakni di
Kecamatan Tuban [http://bloktuban.com/berita-
read.php/?show=5857-pemkab-susun-rencana-
program-kota-tanpa-kumuh.html diakses 20 Mei 2017 ]
5. Permasalahan yang dihadapi Dalam
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan
urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD
1945. Penyelenggaraan pemerintahan daerah
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
I - 96
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah
dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perkembangan usaha perumahan di Kabupaten
Tuban semakin berkembang dari waktu ke waktu
seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan
tuntutan kebutuhan fasilitas perumahan bagi warga
masyarakat Kabupaten Tuban.
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015, salah satu urusan pemerintahan konkuren
yang bersifat wajib dan berkaitan dengan pelayanan
dasar adalah urusan perumahan rakyat dan kawasan
permukiman. Urusan perumahan dan kawasan
perumahan tersebut meliputi beberapa sub urusan
yaitu:
11. perumahan;
12. kawasan permukiman;
13. perumahan dan kawasan permukiman Kumuh;
14. Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU); dan
15. sertifikasi, kualifikasi, klasifikasi, dan Registrasi
Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Dalam rangka penyelenggaraan kewenangan daerah
di bidang perumahan rakyat dan kawasan permukiman
tersebut dan sekaligus menjadi atas permasalahan di
I - 97
daerah (local problem solving) terkait di bidang Perumahan
dan kawasan permukiman, dipandang perlu membentuk
Peraturan Daerah sebagai acuan Pemerintah Daerah dalam
menyelenggarakan urusan Perumahan rakyat dan Kawasan
Permukiman.
Peraturan daerah hakekatnya adalah kebijakan
publik untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas
Pembantuan. Peraturan daerah dibentuk selaras atau dalam
kerangka mewujudkan tujuan otonomi daerah. Selanjutnya
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 14 UU No 12 Tahun
2011, Pasal 236 UU No 23 Tahun 2014 dan Pasa 4 ayat (2)
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 80 Tahun 2015,
disebutkan bahwa Peraturan Daerah memuat materi
muatan:
c. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas
Pembantuan; dan
d. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hingga saat ini terkait dengan urusan perumahan
rakyat dan kawasan permukiman, Pemerintah Kabupaten
Tuban baru memiliki Peraturan Daerah tentang Penyerahan
Prasarana, Sarana Dan Utilitas Perumahan Dan Permukiman
kepada Pemerintah Daerah. Peraturan Daerah tersebut
dibentuk dalam rangka menindaklanjuti ketentuan Pasal 47
UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
I - 98
Sementara sub urusan lain di bidang Perumahan
Rakyat dan Kawasan Permukiman hingga saat belum diatur
dalam Peraturan Daerah. Oleh karena dalam rangka
penyelenggaraan kewenangan daerah di bidang perumahan
rakyat dan kawasan permukiman selain Penyerahan
Prasarana, Sarana Dan Utilitas Perumahan Dan Permukiman
kepada Pemerintah Daerah serta sebagai penjabaran lebih
lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi khususnya Pasal 36, Pasal 49, dan Pasal 98 UU No 1
Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
beserta peraturan pelaksanaannya dan sekaligus menjadi
atas permasalahan di daerah (local problem solving) terkait
di bidang Perumahan dan kawasan permukiman,
Pemerintah Daerah perlu membentuk Peraturan Daerah
tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
D. Kajian Implikasi Peraturan Daerah Terhadap Aspek
Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya Terhadap
Aspek Beban Keuangan Daerah
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban
tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman merupakan acuan dan pedoman bagi
Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perumahan rakyat dan kawasan
permukiman, serta para pengembang dalam menjalankan
usahanya membangun perumahan dan permukiman di
wilayah Kabupaten Tuban.
I - 99
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman adalah kegiatan perencanaan, pembangunan,
pemanfaatan, dan pengendalian, termasuk di dalamnya
pengembangan kelembagaan, pendanaan dan sistem
pembiayaan, serta peran masyarakat yang terkoordinasi
dan terpadu. Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman didasarkan pada Rencana Pembangunan dan
Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman
(RP3KP). RP3KD merupakan dokumen perencanaan yang
merupakan jabaran pengisian rencana pola ruang
Perumahan dan Kawasan Permukiman dalam RTRW, serta
memuat skenario penyelenggaraan pengelolaan bidang
Perumahan dan Kawasan Permukiman yang terkoordinasi
dan terpadu secara lintas sektoral dan lintas wilayah
administratif.
Pengaturan tentang Penyelenggaraan Perumahan
dan Kawasan Permukiman harus mampu:
a. mewujudkan ketertiban dalam Penyelenggaraan
Perumahan dan Kawasan Permukiman;
b. memberikan kepastian hukum bagi seluruh pemangku
kepentingan dalam melaksanakan tugas dan wewenang
serta hak dan kewajibannya dalam Penyelenggaraan
Perumahan dan Kawasan Permukiman; dan
c. mewujudkan keadilan bagi seluruh pemangku
kepentingan terutama bagi MBR dalam
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
Ruang lingkup Penyelenggaraan Perumahan dan
Kawasan Permukiman meliputi:
I - 100
a. penyelenggaraan Perumahan;
b. penyelenggaraan Kawasan Permukiman;
c. pemeliharaan dan perbaikan;
d. pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap
Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh;
e. penyediaan tanah;
f. Pendanaan;
g. peran masyarakat; dan
h. pembinaan dan pengawasan.
Dampak pengaturan Penyelenggaraan Perumahan
dan Kawasan Permukiman terhadap keuangan daerah
adalah perlunya alokasi anggaran dari APBD guna
membiayai penyelenggaraan perumahan rakyat dan
kawasan permukiman yang menjadi tanggungjawab
pemerintah daerah. Dengan demikian dengan Peraturan
Daerah ini akan sedikit banyak akan membebani APBD.
I - 101
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Perundang-undangan isinya tidak boleh bertentangan dengan
isi perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau
derajatnya. Menurut Amiroeddin Syarif (1997: 78). Berdasarkan asas
dapat diperinci hal-hal sebagai berikut:
1. Perundang-undangan yang rendah derajatnya tidak dapat
mengubah atau mengenyampingkan ketentuan-ketentuan
perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi yang sebaliknya
dapat.
2. Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah
oleh atau dengan perundang-undangan yang sederajat atau yang
lebih tinggi tingkatannya.
3. Ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya
tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila
bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya. Dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan
yang yang lebih tinggi tetap berlaku dan mempunyai kekuatan
hukum serta mengikat, walaupun diubah, ditambah, diganti atau
dicabut oleh perundang-undangan yang lebih tinggi.
4. Materi yang seharusnya diatur oleh perundang-undangan yang
lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh perundang-
undangan yang lebih rendah.
Dalam proses Pembentukan Peraturan Daerah, terdapat
beberapa asas yang menjadi landasan yuridis yang perlu
diperhatikan, yakni:
I - 102
1. Lex superior derogat lexatheriorri dan lex superior lex inferiori;
yang berarti hukum yang dibuat oleh kekuasaan yang lebih tinggi
kedudukannya mengesampingkan hukum yang lebih rendah
2. Asas lex spesialis derogat lex generalis; yang berarti bahwa
hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum,
3. Asas lex posteriori derogat lex priori; yang artinya hukum yang
baru mengesampingkan hukum yang lama.
4. Asas delegata potestas non potest delegasi; yang berarti
penerima delegasi tidak berwewenang mendelegasikan lagi tanpa
persetujuan pemberi delegasi.
Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Tuban
tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman ini
substansi yang akan diatur memiliki relevansi dengan beberapa
peraturan perundang-undangan. Menyangkut Penyelenggaraan
Perumahan dan Kawasan Permukiman di Kabupaten Tuban beberapa
peraturan perundangan menjadi acuan pengaturannya dalam
Rancangan Peraturan Daerah ini antara lain peraturan perundang-
undangan tentang: (i) Dasar Hukum yang memberikan kewenangan
pembentukan Peraturan Daerah terkait; (ii) Dasar Hukum yang
memerintahkan pembentukan Peraturan Daerah terkait; dan (iii)
Dasar Hukum yang memiliki relevansi dengan Penyelenggaraan
Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Secara rinci beberapa peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman ini antara lain sebagaimana tersebut di bawah ini.
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
Ketentuan yang relevan dikemukakan terkait dengan tulisan ini
adalah:
I - 103
a. Pasal 18 ayat (6) yang berbunyi:Pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah.
b. Pasal 18H ayat (1) yang berbunyi: Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria.
Beberapa ketentuan dalam UU No 5 Tahun 1960 yang relevan
dikemukakan terkait dengan tulisan ini adalah:
Pasal 6.
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi social.
Pasal 7.
Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
Pasal 8.
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 2 diatur pengambilan kekayaan alam yang
terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa.
Pasal 9
I - 104
(1) Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hubungan
yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa,
dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2.
(2) Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun
wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperioleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat
manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun
keluarganya
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung.
Beberapa ketentuan dalam UU No 28 Tahun 2002 yang
relevan dikemukakan terkait dengan tulisan ini adalah:
Pasal 5
1) Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian,
keagamaan, usaha, sosial dan budaya, serta fungsi khusus. 2) Bangunan gedung fungsi hunian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) meliputi bangunan untuk rumah tinggal
tunggal, rumah tinggal deret, rumah susun, dan rumah tinggal sementara.
3) Bangunan gedung fungsi keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi masjid, gereja, pura, wihara, dan
kelenteng. 4) Bangunan gedung fungsi usaha sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) meliputi bangunan gedung untuk
perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, dan penyimpanan.
5) Bangunan gedung fungsi sosial dan budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi bangunan gedung untuk pendidikan, kebudayaan, pelayanan kesehatan,
laboratorium, dan pelayanan umum. 6) Bangunan gedung fungsi khusus sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) meliputi bangunan gedung untuk reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan keamanan, dan bangunan sejenis yang diputuskan oleh menteri.
7) Satu bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu fungsi.
I - 105
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahanan
dan Kawasan Permukiman.
Beberapa ketentuan dalam UU No 11 Tahun 2011 yang relevan
dikemukakan terkait dengan tulisan ini adalah:
Pasal 1
1. Perumahan dan kawasan permukiman adalah satu kesatuan
sistem yang terdiri atas pembinaan, penyelenggaraan
perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman,
pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan
kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman
kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem
pembiayaan, serta peran masyarakat.
2. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari
permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang
dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum
sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.
3. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup
di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan
maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan
yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
4. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang
terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang
mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta
mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan
perkotaan atau kawasan perdesaan.
6. Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman
adalah kegiatan perencanaan, pembangunan, pemanfaatan,
dan pengendalian, termasuk di dalamnya pengembangan
kelembagaan, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta
peran masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu.
21. Prasarana adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian
yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan
bertempat tinggal yang layak, sehat, aman, dan nyaman.
22. Sarana adalah fasilitas dalam lingkungan hunian yang
berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan dan
pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi.
I - 106
23. Utilitas umum adalah kelengkapan penunjang untuk
pelayanan lingkungan hunian.
Pasal 3
Perumahan dan kawasan permukiman diselenggarakan untuk:
a. memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;
b. mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta
penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman
sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi MBR;
c. meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam
bagi pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di
kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan; d. memberdayakan para pemangku kepentingan bidang
pembangunan perumahan dan kawasan permukiman; e. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, dan
budaya; dan
f. menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi,
teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.
Ruang lingkup penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman meliputi:
a. pembinaan; b. tugas dan wewenang;
c. penyelenggaraan perumahan; d. penyelenggaraan kawasan permukiman;
e. pemeliharaan dan perbaikan; f. pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan
kumuh dan permukiman kumuh;
g. penyediaan tanah; h. pendanaan dan pembiayaan;
i. hak dan kewajiban; dan j. peran masyarakat.
Pasal 32
(1) Pembangunan perumahan meliputi:
I - 107
a. pembangunan rumah dan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan/atau
b. peningkatan kualitas perumahan. (2) Pembangunan perumahan dilakukan dengan
mengembangkan teknologi dan rancang bangun yang ramah lingkungan serta mengembangkan industri bahan bangunan
yang mengutamakan pemanfaatan sumber daya dalam negeri dan kearifan lokal yang aman bagi kesehatan.
(3) Industri bahan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) wajib memenuhi Standar Nasional Indonesia.
Pasal 36 :
(4) Dalam hal pembangunan perumahan dengan hunian
berimbang tidak dalam satu hamparan, pembangunan
rumah umum harus dilaksanakan dalam satu daerah
kabupaten/kota.
(5) Pembangunan rumah umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus mempunyai akses menuju pusat pelayanan
atau tempat kerja.
(6) Kemudahan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Daerah.
Pasal 47
(1) Pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau setiap orang. (2) Pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum wajib
dilakukan sesuai dengan rencana, rancangan, dan perizinan. (3) Pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum
perumahan harus memenuhi persyaratan:
a. kesesuaian antara kapasitas pelayanan dan jumlah rumah;
b. keterpaduan antara prasarana, sarana, dan utilitas umum dan lingkungan hunian; dan
c. ketentuan teknis pembangunan prasarana, sarana, dan
utilitas umum. (4) Prasarana, sarana, dan utilitas umum yang telah selesai
dibangun oleh setiap orang harus diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 49:
I - 108
(4) Pemanfaatan rumah dapat digunakan sebagai kegiatan
usaha secara terbatas tanpa membahayakan dan tidak
mengganggu fungsi hunian.
(5) Pemanfaatan rumah selain digunakan untuk fungsi
hunian harus memastikan terpeliharanya perumahan dan
lingkungan hunian.
(6) Ketentuan mengenai pemanfaatan rumah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Daerah.
Pasal 98:
(1) Penetapan lokasi perumahan dan permukiman kumuh
wajib memenuhi persyaratan:
g. kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah
nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, dan
rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;
h. kesesuaian dengan rencana tata bangunan dan
lingkungan;
i. kondisi dan kualitas prasarana, sarana, dan utilitas
umum yang memenuhi persyaratan dan tidak
membahayakan penghuni;
j. tingkat keteraturan dan kepadatan bangunan;
k. kualitas bangunan; dan
l. kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat.
(4) Penetapan lokasi perumahan kumuh dan permukiman
kumuh wajib didahului proses pendataan yang dilakukan
oleh pemerintah daerah dengan melibatkan peran
masyarakat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan lokasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh
pemerintah daerah dengan peraturan daerah.
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Beberapa ketentuan dalam UU No 12 Tahun 2011 yang
relevan dikemukakan terkait dengan tulisan ini adalah:
I - 109
Pasal 5
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus
dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 5 UU No 12 Tahun 2011
dijelaskan sebagai berikut.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa
setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat
pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan
Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang
berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat
dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga
negara atau pejabat yang tidak berwenang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki,
dan materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi
muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa
setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan
I - 110
tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis,
maupun yuridis.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”
adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat
karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa
setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan,
sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang
jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 6
(3) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
h. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
i. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
I - 111
(4) Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi
asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-
undangan yang bersangkutan.
Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU No 12 Tahun
2011 dijelaskan sebagai berikut.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi
memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman
masyarakat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia
serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk
dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam
setiap pengambilan keputusan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di
I - 112
daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum
dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama,
suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum”
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat
melalui jaminan kepastian hukum.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu,
masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
Pasal 14
I - 113
Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih
lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa
kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
Beberapa ketentuan dalam UU No 23 Tahun 2014 yang
relevan dikemukakan terkait dengan tulisan ini adalah:
Pasal 12 ayat (1): salah satu urusan pemerintahan konkuren
yang bersifat wajib dan berkaitan dengan pelayanan dasar adalah
urusan perumahan rakyat dan kawasan permukiman.
Pasal 236
(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas
Pembantuan, Daerah membentuk Perda.
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh
DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah.
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi
muatan:
e. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas
Pembantuan; dan
f. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 237
I - 114
(1) Asas pembentukan dan materi muatan Perda berpedoman
pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas
hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Pembentukan Perda mencakup tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, penetapan, dan pengundangan
yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
dan/atau tertulis dalam pembentukan Perda.
(4) Pembentukan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan secara efektif dan efisien.
Pasal 250
(1) Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249
ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.
(2) Bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;
b. terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
c. terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
d. terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat; dan/atau
e. diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan,
ras, antar-golongan, dan gender.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2014 tentang
Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman
Peraturan Pemerintah No 88 Tahun 2014 ini dibentuk untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah
Susun. Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No 88
I - 115
Tahun 2014 yang memiliki relevansi dengan tulisan ini antara
lain:
Pasal 2
(1) Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman menjadi tanggung jawab:
a. Menteri pada tingkat nasional;
b. gubernur pada tingkat provinsi; dan
c. bupati/walikota pada tingkat kabupaten/kota.
(3) Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman dilaksanakan secara berjenjang dari:
a. Menteri kepada gubernur, bupati/walikota, dan
pemangku kepentingan;
b. gubernur kepada bupati/walikota dan pemangku
kepentingan; dan
c. bupati/walikota kepada pemangku kepentingan.
Pasal 3
Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman dilakukan terhadap aspek:
a. perencanaan;
b. pengaturan;
c. pengendalian; dan
d. pengawasan.
Pasal 8
Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilaksanakan
dengan cara:
a. koordinasi;
b. sosialisasi peraturan perundang-undangan;
c. pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi;
d. pendidikan dan pelatihan;
e. penelitian dan pengembangan;
f. pendampingan dan pemberdayaan; dan/atau
g. pengembangan sistem layanan informasi dan komunikasi.
I - 116
8. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2016 ini dibentuk untuk
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27, Pasal 31, Pasal 50 ayat
(3), Pasal 53 ayat (3), Pasal 55 ayat (6), Pasal 58 ayat (4), Pasal
84 ayat (7), Pasal 85 ayat (5), Pasal 90, Pasal 93, Pasal 95 ayat
(6), Pasal 104, Pasal 113, dan Pasal 150 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No 16 Tahun
2016 yang memiliki relevansi dengan tulisan ini antara lain:
Pasal 2
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman
bertujuan untuk:
a. mewujudkan ketertiban dalam Penyelenggaraan Perumahan
dan Kawasan Permukiman;
b. memberikan kepastian hukum bagi seluruh pemangku
kepentingan dalam melaksanakan tugas dan wewenang serta hak
dan kewajibannya dalam Penyelenggaraan Perumahan dan
Kawasan Permukiman; dan
c. mewujudkan keadilan bagi seluruh pemangku kepentingan
terutama bagi MBR dalam Penyelenggaraan Perumahan dan
Kawasan Permukiman.
Lingkup
Pasal 3
Lingkup Peraturan Pemerintah ini meliputi:
d. penyelenggaraan Perumahan;
e. penyelenggaraan kawasan Permukiman;
f. keterpaduan Prasarana, Sarana, Utilitas Umum Perumahan
dan Kawasan Permukiman;
g. pemeliharaan dan perbaikan;
I - 117
h. pencegahan dan peningkatan kualitas Perumahan Kumuh dan
Permukiman Kumuh;
i. Konsolidasi Tanah; dan
j. sanksi administrasi.
Pasal 4
(2) Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman
merupakan satu kesatuan sistem yang dilaksanakan secara
terkoordinasi, terpadu dan
berkelanjutan.ukumonline.com/pusatdata
(3) Penyelenggaraan Perumahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dengan prinsip penyelenggaraan
kawasan Permukiman sebagai dasar penyelenggaraan
Perumahan.
(4) Prinsip penyelenggaraan kawasan Permukiman sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) merupakan perwujudan kegiatan
pembangunan peruntukan Perumahan di kawasan
Permukiman sebagaimana yang dituangkan di dalam
rencana tata ruang yang mengutamakan keterpaduan
Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum kawasan sebagai
pengendalian dan pengembangan Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
Pasal 5
(1) Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman
dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan strategi nasional di
bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
(2) Kebijakan Perumahan dan kawasan Permukiman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
meliputi:
e. kemudahan masyarakat untuk memperoleh hunian yang
layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat,
aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan
berkelanjutan; dan
f. peningkatan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan antar
pemangku kepentingan dalam Penyelenggaraan
Perumahan dan Kawasan Permukiman.
(3) Strategi kemudahan masyarakat untuk memperoleh hunian
yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat,
I - 118
aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
h. penyediaan kebutuhan pemenuhan Perumahan dan
Kawasan Permukiman melalui perencanaan dan
pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
dan
i. keterjangkauan pembiayaan dan pendayagunaan
teknologi.
(4) Strategi peningkatan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. pelaksanaan keterpaduan kebijakan Pembangunan
Perumahan dan Kawasan Permukiman antar pemangku
lintas sektor, lintas wilayah, dan masyarakat;
b. peningkatan kapasitas kelembagaan bidang Perumahan
dan Kawasan Permukiman.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan dan strategi
nasional bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Presiden.
Pasal 6
(1) Penyelenggaraan Perumahan meliputi:
a. perencanaan Perumahan;
b. pembangunan Perumahan;
c. pemanfaatan Perumahan; dan
d. pengendalian Perumahan.
(2) Perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
Rumah atau Perumahan beserta Prasarana, Sarana, dan
Utilitas Umum.
(6) Rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibedakan
menurut jenis dan bentuknya.
(7) Jenis Rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dibedakan berdasarkan pelaku pembangunan dan
penghunian meliputi Rumah komersial, Rumah umum,
Rumah swadaya, Rumah khusus, dan Rumah negara.
(8) Bentuk Rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dibedakan berdasarkan hubungan atau keterikatan
antarbangunan meliputi Rumah tunggal, Rumah deret, dan
Rumah susun.
I - 119
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rumah negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan Rumah susun
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan
Peraturan Pemerintah tersendiri.
Pasal 7
(1) Dalam hal penyelenggaraan Perumahan bagi MBR,
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat memberikan
fasilitasi terhadap perencanaan, pembangunan, dan
pemanfaatan Perumahan.
(2) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh lembaga atau badan yang ditugasi oleh Pemerintah dan
atau Pemerintah Daerah.
(3) Penugasan lembaga atau badan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
PENYELENGGARAAN KAWASAN PERMUKIMAN
Bagian Kesatu
Arahan Pengembangan Kawasan Permukiman
Pasal 47
(1) Arahan pengembangan kawasan Permukiman meliputi:
a. hubungan antar kawasan fungsional sebagai bagian
lingkungan hidup di luar kawasan lindung;
b. keterkaitan Lingkungan Hunian perkotaan dengan
Lingkungan Hunian perdesaan;
c. keterkaitan antara pengembangan Lingkungan Hunian
perkotaan dan pengembangan Kawasan Perkotaan;
e. keterkaitan antara pengembangan Lingkungan Hunian
perdesaan dan pengembangan Kawasan Perdesaan;
f. keserasian tata kehidupan manusia dengan lingkungan
hidup;
g. keseimbangan antara kepentingan publik dan
kepentingan setiap orang; dan
h. lembaga yang mengoordinasikan pengembangan
kawasan Permukiman.
I - 120
(2) Arahan pengembangan kawasan Permukiman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menjadi acuan dalam mewujudkan:
a. hubungan antara pengembangan Perumahan sebagai
bagian dari kawasan Permukiman; dan
b. kemudahan penyediaan pembangunan Perumahan
sebagai bagian dari kawasan Permukiman.
Pasal 55
Penyelenggaraan kawasan Permukiman wajib dilaksanakan sesuai
dengan arahan pengembangan kawasan Permukiman yang
terpadu dan berkelanjutan.
Pasal 56
(1) Penyelenggaraan kawasan Permukiman dilaksanakan melalui
tahapan:
a. perencanaan;
b. pembangunan;
c. pemanfaatan; dan
d. pengendalian.
(2) Penyelenggaraan kawasan Permukiman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam:
a. pengembangan yang telah ada;
b. pembangunan Baru; atau
c. pembangunan kembali.
Pasal 90
(1) Keterpaduan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum
Perumahan dan Kawasan Permukiman dilakukan sebagai
pengikat satu kesatuan sistem Perumahan dan Kawasan
Permukiman sesuai dengan hierarkinya berdasarkan RTRW.
(2) Keterpaduan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum
Perumahan dan Kawasan Permukiman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan rencana
penyediaan tanah berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Keterpaduan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum
Perumahan dan Kawasan Permukiman sebagaimana
I - 121
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhitungkan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan standar teknis yang
berlaku.
(4) Ketentuan mengenai pedoman keterpaduan Prasarana,
Sarana, dan Utilitas Umum Perumahan dan Kawasan
Permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
hierarki Perumahan dan Kawasan Permukiman diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 91
(1) Pembangunan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum
Perumahan dan Kawasan Permukiman wajib dilaksanakan
sesuai dengan rencana yang telah disahkan dan izin yang
telah diterbitkan oleh Pemerintah Daerah.
(2) Pembangunan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum
Perumahan dan Kawasan Permukiman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah;
Pemerintah Daerah, dan/atau setiap orang.
(3) Dalam pembangunan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum
Perumahan dan Kawasan Permukiman sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui kerja sama
antara:
a. Pemerintah dengan Pemerintah Daerah;
b. Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Daerah lainnya;
c. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan Badan
Hukum; dan/atau
d. Badan Hukum dengan Badan Hukum lainnya.
(4) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
PEMELIHARAAN DAN PERBAIKAN
Pasal 92
(1) Pemeliharaan dan perbaikan dimaksudkan untuk menjaga
fungsi Perumahan dan Kawasan Permukiman yang dapat
berfungsi secara baik dan berkelanjutan untuk kepentingan
kualitas hidup orang perorangan.
I - 122
(2) Pemeliharaan dan perbaikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan pada Rumah serta Prasarana, Sarana,
dan Utilitas Umum di Perumahan, Permukiman, Lingkungan
Hunian dan kawasan Permukiman.
(3) Pemeliharaan dan perbaikan dilaksanakan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah dan/atau setiap orang.
Pemeliharaan
Pasal 93
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan
penyusunan pedoman pemeliharaan Rumah serta Prasarana,
Sarana, dan Utilitas Umum di Perumahan, Permukiman,
Lingkungan Hunian dan kawasan Permukiman.
(2) Pemeliharaan Rumah serta Prasarana, Sarana, dan Utilitas
Umum dilakukan melalui perawatan dan pemeriksaan secara
berkala.
Pasal 94
(1) Pemeliharaan Rumah wajib dilakukan oleh setiap orang.
(2) Pemeliharaan Rumah dilakukan terhadap Rumah yang telah
selesai dibangun.
(3) Rumah sebelum diserahterimakan kepada pemilik,
pemeliharaan Rumah menjadi tanggung jawab pelaku
pembangunan.
(4) Tanggung jawab pelaku pembangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya selama 3 (tiga)
bulan.
(5) Pemeliharaan Rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 95
a. Pemeliharaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum untuk
Perumahan, dan Permukiman wajib dilakukan oleh
Pemerintah Daerah dan/atau setiap orang.
b. Pemeliharaan Sarana dan Utilitas Umum untuk Lingkungan
Hunian wajib dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan/atau Badan Hukum.
c. Pemeliharaan Prasarana untuk kawasan Permukiman wajib
dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau
Badan Hukum.
I - 123
d. Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) dilakukan oleh setiap orang yang memiliki
keahlian.
e. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeliharaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.
Perbaikan
Pasal 96
Perbaikan Rumah dan Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum
dilakukan melalui rehabilitasi atau pemugaran.
Pasal 97
(1) Perbaikan Rumah wajib dilakukan oleh setiap orang.
(2) Perbaikan Rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan terhadap Rumah milik setiap orang.
Pasal 98
(1) Perbaikan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum untuk
Perumahan dan Permukiman wajib dilakukan oleh
Pemerintah Daerah.
(2) Perbaikan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap
Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum yang telah diserahkan
kepada Pemerintah Daerah.
(3) Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat menunjuk atau bekerjasama dengan Badan Hukum
untuk melakukan perbaikan Prasarana, Sarana, dan Utilitas
Umum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum yang
belum diserahkan kepada Pemerintah Daerah maka
perbaikan merupakan kewajiban penyelenggara
pembangunan.
Pasal 99
(1) Perbaikan Prasarana untuk Lingkungan Hunian dan kawasan
Permukiman wajib dilakukan oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya.
(2) Perbaikan Prasarana untuk kawasan Permukiman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
melalui penunjukan atau bekerjasama dengan Badan Hukum
sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 100
I - 124
Ketentuan mengenai tata cara perbaikan Rumah dan Prasarana,
Sarana dan Utilitas Umum untuk Perumahan,
Permukiman, Lingkungan Hunian, dan kawasan Permukiman
diatur dengan Peraturan Menteri.
PENCEGAHAN DAN PENINGKATAN KUALITAS TERHADAP
PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH
Pasal 102
Pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap Perumahan
Kumuh dan Permukiman Kumuh dilakukan untuk mencegah
tumbuh dan berkembangnya Perumahan Kumuh dan Permukiman
Kumuh barn serta untuk menjaga dan meningkatkan kualitas dan
fungsi Perumahan dan Permukiman.
Pencegahan Terhadap Tumbuh dan Berkembangnya Perumahan
Kumuh dan Permukiman Kumuh
Pasal 103
Pencegahan terhadap tumbuh dan berkembangnya Perumahan
Kumuh dan Permukiman Kumuh dilaksanakan melalui:
a. pengawasan dan pengendalian; dan
b. pemberdayaan masyarakat.
Pasal 104
(1) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 103 huruf a dilakukan atas kesesuaian
terhadap:
a. perizinan;
b. standar teknis; dan
c. kelaikan fungsi.
(2) Kesesuaian terhadap perizinan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dilakukan terhadap pemenuhan perizinan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
I - 125
(3) Kesesuaian terhadap standar teknis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dilakukan terhadap pemenuhan
standar teknis:
a. bangunan gedung;
b. jalan lingkungan;
c. penyediaan air minum;
d. drainase lingkungan;
e. pengelolaan air limbah;
f. pengelolaan persampahan; dan
g. proteksi kebakaran.
(4) Kesesuaian terhadap kelaikan fungsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dilakukan terhadap pemenuhan:
a. persyaratan administratif; dan
b. persyaratan teknis.
(5) Dalam hal hasil pengawasan dan pengendalian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) terdapat
ketidaksesuaian, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau
Setiap Orang melakukan upaya penanganan sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 105
(1) Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 103 huruf b dilakukan oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah melalui:
a. pendampingan; dan
b. pelayanan informasi.
(2) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
merupakan kegiatan pelayanan kepada masyarakat dalam
bentuk:
a. penyuluhan;
b. pembimbingan; dan
c. bantuan teknis.
(3) Pelayanan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilakukan untuk membuka akses informasi bagi
masyarakat meliputi pemberian informasi mengenai:
a. rencana tata ruang;
b. penataan bangunan dan lingkungan;
c. perizinan; dan
d. standar teknis dalam bidang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
I - 126
Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan
Permukiman Kumuh
Pasal 106
(1) Peningkatan kualitas terhadap Perumahan Kumuh dan
Permukiman Kumuh didahului dengan penetapan lokasi.
(2) Penetapan lokasi Perumahan Kumuh dan Permukiman
Kumuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahului
proses pendataan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
dengan melibatkan peran masyarakat.
(3) Penetapan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan oleh bupati/walikota, khusus untuk DKI Jakarta
oleh gubernur.
(4) Penetapan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditindaklanjuti dengan perencanaan penanganan Perumahan
Kumuh dan Permukiman Kumuh yang dilakukan oleh
Pemerintah kabupaten/kota, khusus untuk DKI Jakarta oleh
gubernur.
KONSOLIDASI TANAH
Pasal 122
Konsolidasi Tanah dilakukan untuk mencapai pemanfaatan tanah
secara optimal, melalui peningkatan efisiensi dan produktifitas
penggunaan tanah.
Pasal 123
(1) Dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan dan sekaligus
menyediakan tanah untuk pembangunan Prasarana dan
fasilitas umum dilaksanakan pengaturan penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dalam
bentuk konsolidasi tanah di wilayah perkotaan dan di
pedesaan.
(2) Kegiatan Konsolidasi Tanah meliputi penataan kembali
bidang-bidang tanah termasuk hak atas tanah dan/atau
penggunaan tanahnya dengan dilengkapi Prasarana, Sarana,
dan Utilitas Umum dengan melibatkan partisipasi para
pemilik tanah dan/atau penggarap tanah.
I - 127
Pasal 124
(1) Konsolidasi Tanah dilakukan dalam rangka penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah sesuai dengan RTRW kabupaten/kota, sebagai upaya
penyediaan tanah untuk Pembangunan Perumahan dan
Kawasan Permukiman.
(2) Konsolidasi Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilaksanakan bagi pembangunan Rumah tunggal,
Rumah deret, atau Rumah susun.
Pasal 125
(1) Penetapan lokasi Konsolidasi Tanah yang terletak pada satu
kabupaten/kota dilakukan oleh bupati/walikota, khusus
untuk DKI Jakarta, dilakukan oleh Gubernur.
(2) Lokasi Konsolidasi Tanah yang sudah ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memerlukan izin
lokasi.
SANKSI ADMINISTRATIF
Pelanggaran atas ketentuan terkait penyelengaraan permahan
dan kawasan permukiman dapat dikenai sanksi administratif
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. pembekuan izin usaha; dan
d. denda administratif.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2016 tentang
Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan
Rendah
Peraturan Pemerintah No 64 Tahun 2016 ini dibentuk untuk
untuk percepatan penyediaan rumah bagi masyarakat
berpenghasilan rendah berdasarkan Pasal 13 huruf g, Pasal 14
huruf i, Pasal 15 huruf n, dan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman. Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
I - 128
No 64 Tahun 2016 yang memiliki relevansi dengan tulisan ini
antara lain:
Pasal 2
(1) Pembangunan Perumahan MBR dilakukan untuk luas lahan
tidak lebih dari 5 (lima) hektare dan paling kurang 0,5 (nol koma
lima) hektare serta berada dalam 1 (satu) lokasi yang
diperuntukkan bagi pembangunan Rumah tapak.
(2) Lokasi pembangunan Perumahan MBR sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) telah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.
Pasal 3
Pembangunan Perumahan MBR sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 4
Pelaksanaan pembangunan Perumahan MBR dilakukan dalam 4
(empat) tahapan, yaitu:
a. persiapan;
b. prakonstruksi;
c. konstruksi; dan
d. pascakonstruksi.
Pasal 5
(1) Badan Hukum yang akan melaksanakan pembangunan
Perumahan MBR menyusun proposal pembangunan
Perumahan MBR.
(2) Proposal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi
perencanaan pembangunan Perumahan MBR yang memuat
paling sedikit:
a. perencanaan dan perancangan Rumah MBR;
b. perencanaan dan perancangan Prasarana, Sarana, dan
Utilitas Umum Perumahan MBR;
c. perolehan tanah; dan
d. pemenuhan perizinan.
I - 129
Pasal 6
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d
berupa seluruh perizinan yang diperlukan dalam pelaksanaan
pembangunan Perumahan MBR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, yang meliputi:
a. perizinan yang menyangkut pengesahan site plan;
b. surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan;
c. izin mendirikan bangunan dan pengesahan dokumen rencana
teknis
PRAKONSTRUKSI
Pasal 7
(1) Badan Hukum mengajukan proposal pembangunan
Perumahan MBR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
kepada bupati/walikota melalui PTSP.
(2) Proposal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi
dengan lampiran, yaitu:
a. sertifikat tanah atau bukti kepemilikan tanah lainnya;
dan
b. bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan tahun
terakhir;
(3) Dalam hal Badan Hukum melampirkan bukti kepemilikan
tanah lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a,
Badan Hukum sekaligus mengajukan permohonan izin
pemanfaatan tanah.
(4) PTSP memberikan persetujuan atas proposal pembangunan
Perumahan MBR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling lama 7 (tujuh) Hari kerja sejak permohonan diterima
oleh PTSP secara lengkap dan benar.
(5) Dalam hal PTSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
terbentuk, pengajuan proposal disampaikan melalui satuan
kerja perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Perumahan.
Pasal 8
Dalam rangka pelaksanaan PTSP, bupati/walikota wajib
mendelegasikan wewenang pemberian perizinan dan
I - 130
nonperizinan terkait dengan pembangunan Perumahan MBR
kepada PTSP kabupaten/kota
KONSTRUKSI
Pasal 15
(1) Pelaksanaan konstruksi Perumahan MBR berupa Rumah
MBR, Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum Perumahan MBR
yang berbentuk bangunan gedung dilaksanakan berdasarkan
dokumen rencana teknis yang telah disetujui dan disahkan
oleh PTSP.
(2) Kegiatan pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. pemeriksaan dokumen pelaksanaan;
b. persiapan lapangan;
c. kegiatan konstruksi;
d. pemeriksaan akhir pekerjaan konstruksi; dan
e. penyerahan hasil akhir pekerjaan.
(3) Pemeriksaan dokumen pelaksanaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a meliputi pemeriksaankelengkapan,
kebenaran, dan keterlaksanaan konstruksi (constructability)
dari semua dokumenpelaksanaan pekerjaan.
(4) Persiapan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b meliputi penyusunan programpelaksanaan,
mobilisasi sumber daya, dan penyiapan fisik lapangan.
(5) Kegiatan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c meliputi pelaksanaan pekerjaankonstruksi fisik di
lapangan, pembuatan laporan kemajuan pekerjaan,
penyusunan gambar kerjapelaksanaan (shop drawings) dan
gambar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan yang
dilaksanakan (as built drawings), serta kegiatan masa
pemeliharaan konstruksi dengan menerapkan prinsip-
prinsipkeselamatan dan kesehatan kerja.
(6) Kegiatan pemeriksaan akhir pekerjaan konstruksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d
meliputipemeriksaan hasil akhir pekerjaan konstruksi Rumah
MBR, Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum Perumahan MBR
yang berbentuk bangunan gedung terhadap kesesuaian
dengan dokumen pelaksanaan.
I - 131
(7) Penyerahan hasil akhir pekerjaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf e merupakan berita acara serah terima
rumah MBR, Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum
Perumahan MBR yang berbentuk bangunan gedung yang laik
fungsi.
PASCAKONSTRUKSI
Pasal 18
(1) Badan Hukum mengajukan penerbitan pajak bumi dan
bangunan atas pembangunan Perumahan MBR kepada
satuan kerja perangkat daerah yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pendapatan daerah dengan
melampirkan dokumen izin mendirikan bangunan.
(2) Satuan kerja perangkat daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menerbitkan pajak bumi dan bangunan paling lama
1 (satu) Hari sejak pengajuan diterima secara lengkap dan
benar oleh satuan kerja perangkat daerah.
Pasal 19
(1) Kabupaten/kota menetapkan besaran bea perolehan hak
atas tanah dan bangunan Rumah MBR berdasarkan nilai
harga jual Rumah.
(2) Dalam rangka penetapan besaran bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan Rumah MBR sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak diperlukan validasi oleh kabupaten/kota.
(3) Pembayaran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
Rumah MBR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai.
Pasal 20
(1) Dalam hal Rumah MBR telah dijual kepada masyarakat,
Badan Hukum mengajukan kepada Kantor Pertanahan untuk
pemecahan sertifikat hak guna bangunan dan peralihan hak
dari Badan Hukum kepada masyarakat.
(2) Pengajuan pemecahan sertifikat dan peralihan hak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan dilampiri
dengan akta jual beli dari pejabat pembuat akta tanah.
I - 132
(3) Kantor Pertanahan melakukan penyelesaian penerbitan
sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama
4 (empat) Hari sejak pengajuan diterima secara lengkap dan
benar oleh Kantor Pertanahan.
Pasal 21
(1) Badan Hukum mengajukan kepada satuan kerja perangkat
daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pendapatan daerah untuk pemecahan dokumen
pajak bumi dan bangunan atas nama Badan Hukum menjadi
atas nama masyarakat yang membeli Rumah MBR.
(2) Pengajuan pemecahan pajak bumi dan bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan
dokumen pemecahan sertifikat dan dokumen Pajak Bumi
dan Bangunan atas nama Badan Hukum.
(3) Satuan kerja perangkat daerah yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pendapatan daerah
melakukan penyelesaian pemecahan pajak bumi dan
bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama
3 (tiga) Hari sejak pengajuan diterima secara lengkap dan
benar oleh satuan kerja perangkat daerah.
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 22
Pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan pembangunan
Perumahan MBR dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Perumahan dan permukiman.
Pasal 23
Dalam rangka percepatan pelaksanaan pembangunan Perumahan
MBR, dibentuk tim koordinasi percepatan pembangunan
Perumahan MBR yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden
SANKSI
Pasal 24
(1) Dalam hal persyaratan perizinan yang disampaikan oleh
Badan Hukum kepada PTSP telah terpenuhi dan perizinan
I - 133
tidak diberikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan,
Badan Hukum menyampaikan kepada bupati/walikota untuk
penerbitan izin sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang pemerintahan daerah.
(2) Dalam hal izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diterbitkan oleh bupati/walikota, Badan Hukum
menyampaikan kepada gubernur untuk pemberian sanksi
administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang pemerintahan daerah.
(3) Dalam hal sanksi administratif telah dikenakan dan perizinan
tidak diterbitkan oleh bupati/walikota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), gubernur mengambil alih
pemberian izin dimaksud.
(4) Dalam hal persyaratan perizinan yang disampaikan kepada
gubernur telah terpenuhi dan perizinan tidak diberikan
dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, Badan Hukum
menyampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri
untuk pemberian sanksi administratif sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pemerintahan
daerah.
(5) Dalam hal sanksi administratif telah dikenakan dan perizinan
tidak diterbitkan oleh gubernur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri
mengambil alih pemberian izin dimaksud.
Pasal 25
Dalam hal persyaratan yang berkaitan dengan pertanahan
disampaikan oleh Badan Hukum kepada Kantor Pertanahan telah
terpenuhi dan perizinan dan nonperizinan tidak diberikan dalam
jangka waktu yang telah ditetapkan, Badan Hukum
menyampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertanahan untuk penerbitan izin dan
sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
I - 134
Di samping peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di
atas penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman memiliki
keterkaitan dengan peraturan teknis antara lain sebagai berikut:
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan
dan Permukiman di Daerah;
2. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 19/PRT/M/2011
tentang Persyaratan Teknis Jalan Dan Kriteria Teknis Jalan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 900);
3. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2013
tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan
dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis
Sampah Rumah Tangga (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 470);
4. Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No 12 Tahun 2014 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Pembangunan dan
Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman Daerah
Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 1490);
5. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Nomor 02/PRT/M/2016 tentang Peningkatan Kualitas Terhadap
Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 172);
6. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Nomor 05/PRT/M/2016 tentang Izin Mendirikan Bangunan
Gedung (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
176);
7. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Nomor 13/PRT/M/2016 tentang Bantuan Stimulan Perumahan
Swadaya (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
664).
I - 135
8. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Nomor 21/PRT/M/2016 tentang Kemudahan dan/atau Bantuan
Perolehan Rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 892)
sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat Nomor 26/PRT/M/2016 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Nomor 21/PRT/M/2016 tentang Kemudahan
dan/atau Bantuan Perolehan Rumah bagi Masyarakat
Berpenghasilan Rendah (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 892);
9. Peraturan Daerah Kabupaten Tuban Nomor 9 Tahun 2012
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tuban Tahun
2012-2032; dan
10. Peraturan Daerah Kabupaten Tuban Nomor 5 Tahun 2015
tentang Bangunan Gedung.
I - 136
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Peraturan perundang-undangan harus mendapatkan
pembenaran yang dapat diterima apabila dikaji secara
filosofis, yaitu cita-cita kebenaran, keadilan, dan kesusilaan.
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita
hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah
bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Falsafah hidup suatu bangsa berisi mengenai nilai
moral dan etika dari bangsa tersebut. Falsafah hidup
merupakan suatu landasan untuk membentuk hukum.
Sehingga, dalam pembentukan peraturan perundang-
udangan termasuk peraturan daerah harus mencerminkan
nilai dan moral yang tumbuh di masyarakat bersangkutan.
Semua nilai yang berkembang di Indonesia merupakan
cermin dari Pancasila, karena Pancasila merupakan cermin
dari pandangan hidup, cita-cita bangsa, dan jalan kehidupan
bangsa.
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang
I - 137
baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia,
dan yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam
pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah
satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya,
berjati diri, mandiri, dan produktif. Untuk itu negara melalui
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah bertanggung jawab
melindungi segenap bangsa Indonesia melalui
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman
agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni
rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang
sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh
wilayah Indonesia.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu lebih
berperan dalam menyediakan dan memberikan kemudahan
dan bantuan perumahan dan kawasan permukiman bagi
masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman yang berbasis kawasan serta
keswadayaan masyarakat sehingga merupakan satu
kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik,
kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu
menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan
semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan
dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Kebijakan umum pembangunan perumahan diarahkan
untuk:
a. memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan
terjangkau dalam lingkungan yang sehat dan aman
yang didukung prasarana, sarana, dan utilitas umum
I - 138
secara berkelanjutan serta yang mampu mencerminkan
kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia;
b. ketersediaan dana murah jangka panjang yang
berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan rumah,
perumahan, permukiman, serta lingkungan hunian
perkotaan dan perdesaan;
c. mewujudkan perumahan yang serasi dan seimbang
sesuai dengan tata ruang serta tata guna tanah yang
berdaya guna dan berhasil guna;
d. memberikan hak pakai dengan tidak mengorbankan
kedaulatan negara; dan
mendorong iklim investasi asing.
Oleh karena itu, dalam membentuk regulasi daerah
tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman harus mencerminkan nilai-nilai Pancasila dan
menjunjung tinggi norma beserta tujuan pembangunan
nasional serta berdasarkan pada visi-misi Pemerintah
Kabupaten Tuban. Keberadaan regulasi tersebut nantinya
harus mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Kabupaten
Tuban secara menyeluruh.
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau
alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam
berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya
I - 139
menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan
masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan
harus sesuai dengan kenyataan, fenomena, dan
perkembangan sosial-ekonomi-politik, serta kesadaran dan
kebutuhan hukum masyarakat. Apabila masyarakat
berubah, maka nilai-nilai pun akan ikut mengalami
perubahan. Suatu peraturan perundangan harus
mencerminkan kehidupan sosial masyarakat yang ada.
Hukum yang dibuat harus dapat dipahami dan sesuai
dengan kondisi yang dihadapi oleh masyarakat. Apabila hal-
hal tersebut telah sesuai, maka peraturan perundangan
yang telah dibuat implementasinya tidak akan banyak
mengalami kendala dan hukum dapat ditegakkan.
Secara aktual, bahwa masih banyak para pengembang
di wilayah Kabupaten Tuban yang belum memenuhi
tuntutan kebutuhan kehidupan perumahan dan permukiman
yang layak huni karena belum tersedianya lahan, prasarana
lingkungan, fasilitas umum dan fasilitas sosial yang
memadai. Perhatian terhadap penyediaan prasarana
lingkungan, fasilitas umum dan fasilitas sosial pada
lingkungan perumahan dan permukiman yang
dikembangkan belum menyeluruh, sehingga masyarakat
atau konsumen perumahan lebih banyak dirugikan karena
kondisi lingkungan perumahan yang tidak layak huni.
Pada sisi lain, beberapa lingkungan perumahan sudah
disediakan prasarana, sarana, dan utilitas oleh
pengembang, namun problematikanya belum dilakukan
penyerahan oleh pengembang kepada Pemerintah Daerah.
I - 140
Hal itu menyebabkan terjadinya permasalahan berikutnya
yaitu masalah pemeliharaan prasarana lingkungan, fasilitas
umum dan fasilitas sosial tersebut. Pihak mana yang harus
bertanggung jawab terhadap pemelihataan atau
pengembangan sarana prasarana umum tersebut, karena
kalau tetap dibebankan pada penghuni atau konsumen
perumahan jelas menjadi berat beban biaya mereka, namun
kalau dibebankan pada pengembang juga memberatkan
pengembang. Kondisi tersebut kalau tidak segera dicari
jalan keluarnya menjadikan prasarana lingkungan, fasilitas
umum dan fasilitas sosial itu dapat terbengkelai tidak ada
yang bertanggung jawab untuk pemeliharaan dan
perbaikan.
Pembangunan perumahan dan kawasan permukiman
yang bertumpu pada masyarakat memberikan hak dan
kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut
berperan. Sejalan dengan peran masyarakat di dalam
pembangunan perumahan dan kawasan permukiman,
Pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai tanggung
jawab untuk menjadi fasilitator, memberikan bantuan dan
kemudahan kepada masyarakat, serta melakukan penelitian
dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek yang
terkait, antara lain, tata ruang, pertanahan, prasarana
lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi
dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber
daya manusia, kearifan lokal, serta peraturan perundang-
undangan yang mendukung.
Sejalan dengan arah kebijakan umum tersebut,
penyelenggaraan perumahan dan permukiman, baik di
I - 141
daerah perkotaan yang berpenduduk padat maupun di
daerah perdesaan yang ketersediaan lahannya lebih luas
perlu diwujudkan adanya ketertiban dan kepastian hukum
dalam pengelolaannya. Pemerintah dan pemerintah daerah
perlu memberikan kemudahan perolehan rumah bagi
masyarakat berpenghasilan rendah melalui program
perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap
dalam bentuk pemberian kemudahan pembiayaan dan/atau
pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum di
lingkungan hunian.
Selama ini landasan hukum Penyelenggaraan
Perumahan dan Kawasan Permukiman belum secara
eksplisit diatur dalam peraturan perundang-undangan di
daerah. Maka untuk menjamin ketersediaan prasarana,
sarana dan utilitas pada masyarakat penghuni perumahan
perlu ada pengaturan yang tegas.
C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau
alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau
mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan
aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang
berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur
sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan
I - 142
yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain,
peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak
harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih
rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya
lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau
peraturannya memang sama sekali belum ada.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Pasal 28H ayat (1) menyebutkan, bahwa setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat. Tempat tinggal mempunyai peran yang sangat
strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian
bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia
Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif
sehingga terpenuhinya kebutuhan tempat tinggal
merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia, yang
akan terus ada dan berkembang sesuai dengan tahapan
atau siklus kehidupan manusia.
Landasan yuridis adalah landasan hukum yang
memberikan perintah untuk membentuk suatu peraturan
perundang-undangan, landasan tersebut meliputi: (1)
terkait dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-
undangan Tingkat Daerah; (2) undang-undang yang
menjadi dasar pembentukan peraturan daerah yang
bersangkutan; dan (3) peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan materi peraturan perundang-undangan
yang harus dibuat. Peraturan perundang-undangan harus
mempunyai dasar hukum yang terdapat dalam ketentuan
yang levelnya lebih tinggi.
I - 143
Terkait dengan penyusunan Raperda tentang
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman
terdapat beberapa peraturan perundangan yang terkait dan
dijadikan dasar dalam penyusunannya. Peraturan
perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah Kabupaten di Djawa Timur
Timur (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950
Nomor 42);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821);
4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1247);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587),
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,
I - 144
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5679);
6. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
8. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5188);
9. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
10. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang
Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5252);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83,
I - 145
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4532);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pedoman Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4593);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103;
14. Peraturan Pemerintah nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 78,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4855);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2014 tentang
Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 320, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5615);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5883);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2016 tentang
Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan
Rendah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
I - 146
2016 Nomor 316, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6004)
18. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun
2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik
Daerah;
19. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009
tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana dan
Utilitas Perumahan dan Permukiman di Daerah;
20. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
19/PRT/M/2011 tentang Persyaratan Teknis Jalan Dan
Kriteria Teknis Jalan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 900);
21. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
03/PRT/M/2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana
dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 470);
22. Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No 12 Tahun
2014 tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan
Kawasan Permukiman Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 1490);
23. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Nomor 02/PRT/M/2016 tentang Peningkatan
Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan
Permukiman Kumuh (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 172);
I - 147
24. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Nomor 05/PRT/M/2016 tentang Izin
Mendirikan Bangunan Gedung (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 176);
25. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Nomor 13/PRT/M/2016 tentang Bantuan
Stimulan Perumahan Swadaya (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 664).
26. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Nomor 21/PRT/M/2016 tentang Kemudahan
dan/atau Bantuan Perolehan Rumah bagi Masyarakat
Berpenghasilan Rendah (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 892) sebagaimana
diubah dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat Nomor 26/PRT/M/2016
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 21/PRT/M/2016
tentang Kemudahan dan/atau Bantuan Perolehan
Rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
892);
27. Peraturan Daerah Kabupaten Tuban Nomor 9 Tahun
2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Tuban Tahun 2012-2032;
28. Peraturan Daerah Kabupaten Tuban Nomor 5 Tahun
2015 tentang Bangunan Gedung.
I - 148
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN
RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
PERATURAN DAERAH
A. Jangkauan dan Arah Pengaturan
Naskah Akademik berfungsi untuk mengarahkan
ruang lingkup materi muatan Rancangan Peraturan Daerah
yang akan dibentuk. Arah dari Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Tuban tentang Penyelenggaraan Perumahan dan
kawasan Pemukiman adalah mewujudkan adanya regulasi
daerah yang dapat dijadikan acuan dan pedoman bagi
pengembang serta pihak-pihak terkait dalam melaksanakan
Penyelenggaraan Perumahan dan kawasan Pemukiman di
Kabupaten Tuban.
Tujuan pengaturan Penyelenggaraan Perumahan dan
Kawasan Permukiman adalah:
a. mewujudkan ketertiban dalam Penyelenggaraan
Perumahan dan Kawasan Permukiman;
d. memberikan kepastian hukum bagi seluruh pemangku
kepentingan dalam melaksanakan tugas dan wewenang
serta hak dan kewajibannya dalam Penyelenggaraan
Perumahan dan Kawasan Permukiman;
e. mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta
penyebaran penduduk yang proporsional melalui
pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan
permukiman sesuai dengan tata ruang untuk
mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama
bagi MBR;
f. meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya
alam bagi pembangunan perumahan dengan tetap
I - 149
memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di
kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan;
g. memberdayakan para pemangku kepentingan bidang
pembangunan perumahan dan kawasan permukiman;
h. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial,
dan budaya; dan
i. menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan
terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi,
teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka ruang
lingkup materi yang akan diatur dalam Raperda ini
mencakup ketentuan sebagai berikut:
i. penyelenggaraan Perumahan;
j. penyelenggaraan Kawasan Permukiman;
k. pemeliharaan dan perbaikan;
l. pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap
Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh;
m. penyediaan tanah;
n. Pendanaan;
o. peran masyarakat; dan
p. pembinaan dan pengawasan
B. Ketentuan Umum
Ketentuan Umum Naskah Akademik Peraturan
Daerah ini, pada dasarnya memuat definisi atau pengertian
dari istilah-istilah penting yang secara berulang-ulang
digunakan dalam pengaturan peraturan daerah ini. Istilah
itu tentu berkaitan erat dengan Penyelenggaraan
Perumahan dan kawasan Pemukiman yang akan dilakukan
oleh Pengembang di Kabupaten Tuban. Definisi istilah-istilah
itu relatif baku yang dapat dirujuk dari peraturan
I - 150
perundang-undangan yang berkaitan dengan disesuaikan
dalam konteks daerah dan kebutuhan pengaturan yang
dikehendaki.
Untuk itu pengertian-pengertian dasar yang termuat
dalam ketentuan umum, merupakan pengertian dan
peristilahan yang terkait dengan Penyelenggaraan
Perumahan dan kawasan Pemukiman di Kabupaten Tuban.
Selain pengertian-pengertian itu dapat berasal dari kutipan
peraturan perundang-undangan yang ada, dapat juga
didasarkan pada bahan bacaan lain yang berkaitan dengan
kajian tentang Penyelenggaraan Perumahan dan kawasan
Pemukiman tersebut, meliputi:
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Kabupaten Tuban.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
3. Bupati adalah Bupati Tuban.
4. Organisasi Perangkat Daerah yang selanjutnya
disingkat OPD adalah Organisasi Perangkat Daerah di
Pemerintah Kabupaten Tuban.
5. Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman adalah kegiatan perencanaan,
pembangunan, pemanfaatan, dan pengendalian,
termasuk di dalamnya pengembangan kelembagaan,
pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran
masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu.
6. Setiap Orang adalah orang perseorangan.
7. Badan Hukum adalah Badan Hukum yang didirikan oleh
Warga Negara Indonesia yang kegiatannya dibidang
penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
8. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian
dari Permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan,
yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas
I - 151
umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang
layak huni.
9. Kawasan Permukiman adalah bagian dari lingkungan
hidup diluar kawasan lindung, baik berupa kawasan
perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan
tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan
penghidupan.
10. Lingkungan Hunian adalah bagian dari Kawasan
Permukiman yang terdiri atas lebih dari satu satuan
Permukiman.
11. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian
yang terdiri atas lebih dari satu satuan Perumahan
yang mempunyai prasarana, sarana, dan utilitas
umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi
lain dikawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.
12. Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman adalah kegiatan perencanaan,
pembangunan, pemanfaatan, dan pengendalian,
termasuk di dalamnya pengembangan kelembagaan,
pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran
masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu.
13. Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan
dan Kawasan Permukiman yang selanjutnya disebut
RP3KP adalah dokumen perencanaan yang merupakan
jabaran pengisian rencana pola ruang Perumahan dan
Kawasan Permukiman dalam RTRW, serta memuat
skenario penyelenggaraan pengelolaan bidang
Perumahan dan Kawasan Permukiman yang
terkoordinasi dan terpadu secara lintas sektoral dan
lintas wilayah administratif.
14. Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi
sebagai tempat tinggal, sarana pembinaan keluarga,
cerminan harkat dan martabat, serta aset bagi
pemiliknya.
15. Rumah Komersial adalah Rumah yang diselenggarakan
dengan tujuan mendapatkan keuntungan.
I - 152
16. Rumah Swadaya adalah Rumah yang dibangun atas
prakarsa dan upaya masyarakat.
17. Rumah Umum adalah rumah yang diselenggarakan
untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat
berpenghasilan rendah.
18. Rumah Khusus adalah rumah yang diselenggarakan
untuk memenuhi kebutuhan khusus.
19. Rumah Negara adalah Rumah yang dimiliki negara dan
berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan
sarana pembinaan keluarga serta penunjang
pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri.
20. Rumah Mewah adalah rumah Komersial dengan harga
jual diatas harga jual rumah menengah dengan
perhitungan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
21. Rumah Menengah adalah rumah komersial dengan
harga jual diatas harga jual rumah sederhana dan
dibawah harga jual rumah mewah dengan perhitungan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
22. Rumah Sederhana adalah rumah umum yang dibangun
diatas tanah dengan luas kavling antara 60 m2 (enam
puluh meter persegi) sampai dengan 200 m2 (dua
ratus meter persegi) dengan harga jual sesuai
ketentuan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
23. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat
yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi
dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara
fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal
dan merupakan satuan-satuan yang masingmasing
dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama
untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
24. Rumah Tapak adalah rumah horizontal yang berdiri di
atas tanah yang dibangun atas upaya masyarakat atau
lembaga/institusi yang berbadan hukum melalui suatu
proses perijinan sesuai peraturan perundang-
undangan.
I - 153
25. Rumah Layak Huni adalah rumah yang memenuhi
syarat kesehatan, kenyamanan dan keselamatan
penghuninya.
26. Perumahan Formal adalah suatu rumah atau
Perumahan yang dibangun atau disiapkan oleh suatu
lembaga/institusi yang berbadan hukum dan melalui
suatu proses perizinan sesuai peraturan perundang-
undangan.
27. Perumahan Swadaya adalah suatu rumah dan/atau
Perumahan yang dibangun atas prakarsa dan upaya
masyarakat, baik sendiri atau berkelompok, yang
meliputi perbaikan, pemugaran/perluasan, atau
pembangunan rumah baru beserta lingkungan.
28. Permukiman Kumuh adalah Permukiman yang tidak
layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat
kepadatan bangunan yang tinggi,dan kualitas
bangunan sertasarana dan prasarana yang tidak
memenuhi syarat.
29. Perumahan Kumuh adalah Perumahan yang mengalami
penurunan kualitas fungsi sebagai tempat hunian.
30. Kaveling Tanah Matang adalah sebidang tanah yang
telah dipersiapkan untuk rumah sesuai dengan
persyaratan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan
tanah, rencana rinci tata ruang, serta rencana tata
bangunan dan lingkungan.
31. Pendanaan adalah penyediaan sumber daya keuangan
yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja
negara, anggaran pendapatan dan belanja Daerah
dan/atau sumber dana lain yang dibelanjakan untuk
penyelenggaraan Perumahan danKawasan Permukiman
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
32. Prasarana adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan
hunian yang memenuhi standar tertentu untuk
kebutuhan bertempat tinggal yang layak, sehat, aman
dan nyaman.
I - 154
33. Sarana adalah fasilitas dalam lingkungan hunian yang
berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan dan
pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan
ekonomi.
34. Utilitas Umum adalah kelengkapan penunjang untuk
pelayanan lingkungan hunian.
35. Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang selanjutnya
disingkat MBR, adalah masyarakat yang mempunyai
keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat
dukungan pemerintah untuk memperoleh Rumah.
36. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan
atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat
terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh
tanaman secara alamiah maupun yang sengaja
ditanam.
37. Septictank Komunal adalah tempat pengolahan air
limbah domestik tanpa dihubungkan dengan jaringan
perpipaan dalam skala besar yang digunakan secara
bersama-sama oleh beberapa rumah tangga.
38. Hunian berimbang adalah Perumahan atau lingkungan
hunian yang dibangun secara berimbang antara rumah
sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah.
39. Garis Sepadan Bangunan adalah garis yang
menunjukkan batas untuk mendirikan bangunan di
pekarangan, diantara garis sepadan dan pagar tidak
boleh ada bagian gedung yang berdiri diatas tanah.
40. Izin Mendirikan Bangunan adalah perizinan yang
diberikan oleh pemerintah daerah kecuali untuk
bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah
kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun
baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau
merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan
administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.
Tujuan pengaturan Penyelenggaraan Perumahan
dan Kawasan Permukiman adalah:
I - 155
a. mewujudkan ketertiban dalam Penyelenggaraan
Perumahan dan Kawasan Permukiman;
j. memberikan kepastian hukum bagi seluruh
pemangku kepentingan dalam melaksanakan tugas
dan wewenang serta hak dan kewajibannya dalam
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman;
k. mendukung penataan dan pengembangan wilayah
serta penyebaran penduduk yang proporsional
melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan
kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang
untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan,
terutama bagi MBR;
l. meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber
daya alam bagi pembangunan perumahan dengan
tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan,
baik di kawasan perkotaan maupun kawasan
perdesaan;
m. memberdayakan para pemangku kepentingan
bidang pembangunan perumahan dan kawasan
permukiman;
n. menunjang pembangunan di bidang ekonomi,
sosial, dan budaya; dan
o. menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan
terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman,
serasi, teratur, terencana, terpadu, dan
berkelanjutan.
Ruang lingkup Penyelenggaraan Perumahan dan
Kawasan Permukiman meliputi:
a. penyelenggaraan Perumahan;
I - 156
b. penyelenggaraan Kawasan Permukiman;
c. pemeliharaan dan perbaikan;
d. pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap
Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh;
e. penyediaan tanah;
f. Pendanaan;
g. peran masyarakat; dan
h. pembinaan dan pengawasan.
C. Materi Muatan yang diatur dalam Peraturan Daerah
Materi muatan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Tuban tentang Penyelenggaraan Perumahan dan
kawasan Pemukiman meliputi Bab-bab sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan Perumahan
Dalam bab ini diuraikan ketentuan terkait
penyelenggaraan perumahan. Secara umum, bahwa
Penyelenggaraan Rumah dan Perumahan meliputi:
1) perencanaan pembangunan dan pengembangan
Perumahan dan Kawasan Permukiman;
2) perencanaan Perumahan;
3) pembangunan Perumahan;
4) pemanfaatan Perumahan; dan
5) pengendalian Perumahan.
Perumahan sebagaimana dimaksud mencakup Rumah
beserta Prasarana, Sarana, dan Utilitas umum.
Penyelenggaraan Rumah dan Perumahan juga wajib
berpedoman pada rencana tata ruang.
Selengkapnya ketentuan yang diatur dalam bab ini
adalah sebagai berikut:
BAB II
PENYELENGGARAAN PERUMAHAN
Bagian Kesatu
I - 157
Umum
Pasal 3
(1) Penyelenggaraan Rumah dan Perumahan dilakukan
oleh Pemerintah Daerah, Badan Hukum dan/atau
Setiap Orang untuk menjamin hak setiap warga
untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki
Rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat,
aman, serasi, dan teratur.
(2) Penyelenggaraan Rumah dan Perumahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perencanaan pembangunan dan pengembangan
Perumahan dan Kawasan Permukiman;
b. perencanaan Perumahan;
c. pembangunan Perumahan;
d. pemanfaatan Perumahan; dan
e. pengendalian Perumahan.
(3) Perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup Rumah beserta Prasarana, Sarana, dan
Utilitas umum.
(4) Penyelenggaraan Rumah dan Perumahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
berpedoman pada rencana tata ruang.
Pasal 4
(1) Rumah dibedakan menurut jenis dan bentuknya.
(2) Jenis Rumah meliputi:
a. jenis rumah komersial;
b. jenis rumah umum;
c. jenis rumah khusus;
d. jenis rumah swadaya; dan
e. jenis rumah negara.
(3) Bentuk Rumah meliputi:
a. bentuk rumah tunggal;
b. bentuk rumah deret; dan
c. bentuk Rumah Susun.
Bagian Kedua Perencanaan
I - 158
Paragraf 1
Perencanaan Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman
Pasal 5
(1) Perencanaan Pembangunan dan Pengembangan
Perumahan dan Kawasan Permukiman didasarkan
pada Rerencanaan Pembangunan dan Pengembangan
Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP).
(2) RP3KP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
oleh Pemerintah Daerah sebagai acuan
pembangunan Perumahan dan pengembangan
Kawasan Permukiman di Daerah.
(3) Kedudukan RP3KP di Daerah sebagai:
a. Informasi yang memuatara han dan rambu-
rambu kebijaksanaan, serta rencana
pembangunan Perumahan dan Kawasan
Permukiman dalam suatu tingkatan wilayah dan
kurun waktu tertentu;
b. arahan untuk mengatur perimbangan
pembangunan Perumahan dan Kawasan
Permukiman; dan
c. sarana mempercepat terbentuknya sistem
Kawasan Permukiman yang terpadu.
Paragraf 2 Perencanaan Perumahan
Pasal 6
(1) Perencanaan Perumahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b merupakan bagian
dari perencanaan Permukiman dan terdiri atas:
a. perencanaan dan perancangan Rumah; dan
b. perencanaan dan perancangan Prasarana, Sarana
dan Utilitas umum.
(2) Perencanaan Perumahan dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan rumahyang mencakup:
a. Rumah Sederhana;
b. Rumah Menengah; dan/atau
I - 159
c. Rumah Mewah.
(3) Luasan minimal perencanaan Perumahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
paling kurang seluas 3.000 m2 (tiga ribu meter
persegi) kecuali pada lahan enclave.
(4) Perencanaan Perumahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dikecualikan untuk perencanaan
Rumah Susun.
Pasal 7
(1) Perencanaan Perumahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 disusun dalam bentuk dokumen
perencanaan Perumahan yang menjamin
pelaksanaan hunian berimbang.
(2) Dokumen perencanaan Perumahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. rencana tapak;
b. desain Rumah;
c. spesifikasi teknis Rumah;
d. rencana kerja perwujudan hunian berimbang;
e. rencana kerjasama;
f. nama Perumahan atau Perumahan tunggal
(cluster);
g. rencana Prasarana, Sarana dan Utilitas
Perumahan; dan
h. rencana vegetasi Rumah dan Perumahan.
(3) Rencana Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g paling
sedikit meliputi:
a. rencana sirkulasi, lebar penampang jalan dan
material jalan;
b. rencana dampak lalu lintas;
c. rencana elevasi, perhitungan volume dan material
saluran drainase;
d. rencana penempatan septictank komunal;
e. rencana penempatan sumur resapan Perumahan;
f. rencana pengolahan sampah lingkungan;
I - 160
g. rencana integrasi prasarana (jalan dan saluran)
dan utilitas (jaringan penerangan jalan umum,
telekomunikasi dan listrik) dengan kawasan
sekitar;
h. rencana pemenuhan kebutuhan air bersih; dan
i. ruang terbuka hijau.
(4) Dokumen perencanaan Perumahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib mendapatkan
pengesahan dari Bupati.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengesahan dokumen perencanaan Perumahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam
Peraturan Bupati.
Paragraf 3 Perencanaan Rumah
Pasal 8
(1) Perencanaan dan perancangan Rumah dilakukan untuk:
a. menciptakan Rumah sehat dan layak huni;
b. mendukung upaya pemenuhan kebutuhan Rumah; dan
c. meningkatkan tata bangunan dan lingkungan yang
terstruktur.
(2) Perencanaan dan perancangan Rumah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib menyediakan sumur
resapan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Luasan minimum perencanaan Rumah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan:
a. paling sedikit 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi)
untuk semua jenis Rumah Tunggal atau Rumah Deret;
b. sesuai dengan ketentuan Rumah sehat bersubsidi atau
Rumah sehat sejahtera tapak untuk rumah sederhana;
atau
c. paling sedikit 24 m² (dua puluh empat meter persegi)
untuk Rumah Susun umum (milik) dan/atau
disesuaikan dengan ketentuan luas minimum satuan
Rumah Susun tipe studio.
I - 161
(4) Permohonan Izin Mendirikan Bangunan berupa rumah
tunggal dan/atau rumah deret pada lahan kaveling yang
teridentifikasi berasal dari suatu hamparan, diwajibkan
memenuhi ketentuan prasarana dasar Perumahan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan Izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam
Peraturan Bupati.
(6) Perencanaan dan perancangan rumah dilakukan oleh setiap
Orang atau Badan Hukum yang memiliki keahlian di bidang
perencanaan dan perancangan rumah sesuai dengan
ketentuan dan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 4
Perencanaan Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum
Pasal 9
(1) Perencanaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum
Perumahan meliputi:
a. rencana penyediaan kaveling tanah untuk Perumahan
sebagai bagian dari Permukiman; dan
b. rencana kelengkapan Prasarana, Sarana, dan Utilitas
umum Perumahan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan Prasarana,
Sarana, dan Utilitas Umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Daerah tersendiri.
Bagian Ketiga Pembangunan
Paragraf 1
Pembangunan Perumahan
Pasal 10
(1) Pembangunan Perumahan dilakukan oleh Badan Hukum.
(2) Pembangunan Perumahan meliputi pembangunan Rumah
dan Prasarana, Sarana dan Utilitas umum dan/atau
peningkatan kualitas Perumahan.
I - 162
(3) Pembangunan Perumahan dilakukan dengan
mengembangkan teknologi dan rancang bangun yang
ramah lingkungan dan memenuhi Standar Nasional
Indonesia.
Pasal 11
(1) Badan Hukum yang melakukan pembangunan Perumahan
wajib mewujudkan Perumahan dengan hunian berimbang.
(2) Dalam hal pembangunan Perumahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah dapat
memberikan insentif kepada Badan Hukum untuk
mendorong pembangunan Perumahan dengan hunian
berimbang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai insentif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 12
(1) Pembangunan Perumahan dengan hunian berimbang
meliputi rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah
mewah.
(2) Pembangunan Perumahan skala besar yang dilakukan oleh
Badan Hukum wajib mewujudkan hunian berimbang dalam
satu hamparan, kecuali untuk Badan Hukum yang
membangun Perumahan yang seluruhnya ditujukan untuk
pemenuhan kebutuhan rumah umum dan/atau rumah
sederhana.
(3) Pembangunan rumah sederhana pada Perumahan
sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat berbentuk Rumah
Susun.
Pasal 13
(1) Dalam hal pembangunan Perumahan dengan hunian
berimbang tidak dalam satu hamparan, pembangunan
rumah umum/rumah sederhana harus dilaksanakan dalam
satu kecamatan.
I - 163
(2) Pembangunan Rumah Umum atau Rumah Sederhana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Rumah
Tapak dan/atau Rumah Susun.
(3) Dalam hal pembangunan Rumah Susun komersial, maka
perwujudan hunian berimbang adalah sebagai berikut:
a. Badan Hukum wajib menyediakan Rumah Susun
umum/sederhana paling kurang 20% (dua puluh
perseratus) dari total luas lantai Rumah Susun
komersial yang dibangun; dan
b. kewajiban pembangunan Rumah Susun
umum/sederhana dapat dilaksanakan diluar lokasi
kawasan Rumah Susun komersial tetapi harus
dilaksanakan dalam satu kecamatan.
(4) Pembangunan Perumahan dengan hunian berimbang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Badan Hukum yang sama.
(5) Ketentuan teknis mengenai pelaksanaan hunian berimbang
pada Perumahan dan Rumah Susun komersial disesuaikan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
(1) Lokasi pembangunan Rumah Susun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) ditetapkan sebagai
berikut:
a. Rumah Susun (komersial/umum) dengan perencanaan
ketinggian lebih dari 8 (delapan) lantai, harus berada
pada lokasi dengan akses minimum garis sepadan
bangunan rencana 20 m (dua puluh meter).
b. Rumah Susun (komersial/umum) dengan perencanaan
ketinggian sampai dengan 4 (empat) lantai dengan
gedung/tower lebih dari 4 (empat) gedung/tower harus
berada pada lokasi dengan akses minimum garis
sempadan Bangunan rencana 12 m (dua belas meter).
(2) Aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mencapai jalan utama terdekat sesuai rencana orientasi
pencapaian.
I - 164
(3) Dalam hal akses jalan eksisting dengan garis sepadan
bangunan rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
belum tercapai,maka Badan Hukum wajib meningkatkan
kapasitas jalan sesuai kajian analisis dampak lalu lintas.
Pasal 15
(1) Pembangunan Rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (1) harus mempunyai akses menuju pusat
pelayanan atau tempat kerja. (2) Penyediaan akses
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengadaan akses;
b. pelebaran akses; dan/atau
c. peningkatan akses.
(2) Perumahan selain peruntukan Rumah umum wajib
menyediakan akses dengan lebar minimal 6 m (enam
meter) dan/atau sesuai rencana tata ruang dan/atau
sesuai kajian Analisis Dampak Lalu Lintas termasuk Rumah
Susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).
(3) Penyediaan akses sebagaimana ayat (2) dan ayat (3)
harus sesuai dengan ketentuan rencana tata ruang serta
peraturan perundang-undangan.
(4) Badan Hukum wajib menyediakan dan membangun akses
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebelum
membangun Rumah dan Prasarana, Sarana dan Utilitas
umum lainnya.
Paragraf 2
Pembangunan Rumah
Pasal 16
(1) Pembangunan rumah meliputi pembangunan rumah
tunggal,rumah deret, dan/atau Rumah Susun dan
dikembangkan berdasarkan
tipologi,ekologi,budaya,dinamika ekonomi, serta
mempertimbangkan faktor keselamatan dan keamanan.
I - 165
(2) Pembangunan rumah tunggal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan oleh setiap orang dan/atau
Pemerintah Daerah.
(3) Pembangunan Rumah Deret dan Rumah Susun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan oleh
Badan Hukum dan/atau Pemerintah Daerah.
(4) Pembangunan Rumah dilakukan dengan tidak melebihi
batas kepemilikan lahan termasuk bangunan pagar.
Pasal 17
(1) Tanggungjawab pembangunan rumah tapak dan Rumah
Susun dengan criteria rumah umum, rumah khusus dan
rumah negara, dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan
dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
dan/atau biaya lainnya sesuai peraturan perundang-
undangan.
(2) Dalam melaksanakan pembangunan rumah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah menunjuk
Badan Hukum yang menangani pembangunan Perumahan
dan Kawasan Permukiman sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(3) Ketentuan teknis pembangunan, penyediaan, penghunian,
pengelolaan, serta pengalihan status dan hak atas Rumah
Khusus dan Rumah Negara sesuai dengan peraturan
perundang undangan.
Pasal 18
(1) Rumah Tunggal, Rumah Deret, dan/atau Rumah Susun
yang dibangun sebagai rumah komersial dan masih dalam
tahap proses pembangunan dapat dipasarkan melalui
sistem perjanjian pendahuluan jual beli.
(2) Perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan
kepastian atas:
a. status pemilikan tanah;
b. hal yang diperjanjikan;
c. kepemilikan Izin Mendirikan Bangunan induk;
I - 166
d. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;
dan
e. keterbangunan Perumahan paling sedikit 20% (dua
puluh perseratus).
(3) Sistem perjanjian jual beli sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan disesuaikan dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 19
Pembangunan untuk Rumah Tunggal, Rumah Deret, dan/atau
Rumah Susun, dapat dilakukan di atas tanah:
a. hak milik;
b. hak guna bangunan, baik di atas tanah Negara maupun di
atas hak pengelolaan; atau
c. hak pakai di atas tanah Negara.
Paragraf 3
Pembangunan Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum
Pasal 20
(1) Pembangunan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum
Perumahan yang dilakukan Pemerintah Daerah dan/atau
Badan Hukum dilakukan sesuai dengan Rencana,
Rancangan dan Perizinan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan Prasarana,
Sarana, dan Utilitas Umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Daerah tersendiri.
Bagian Keempat
Pemanfaatan
Paragraf 1 Pemanfaatan Perumahan
Pasal 21
(1) Pemanfaatan Perumahan digunakan sebagai fungsi hunian.
(2) Pemanfaatan Perumahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) di lingkungan hunian meliputi pemanfaatan
I - 167
Rumah, pemanfaatan Prasarana dan Sarana Perumahan
dan pelestarian rumah, Perumahan serta Prasarana dan
Sarana Perumahan.
Paragraf 2 Pemanfaatan Rumah
Pasal 22
(1) Pemanfaatan rumah dapat digunakan sebagai kegiatan
usaha secara terbatas tanpa membahayakan dan tidak
mengganggu fungsi hunian dan harus memastikan
terpeliharanya Perumahan dan lingkungan hunian
termasuk ketersediaan sarana Parkir yang memadai.
(2) Rumah yang dapat digunakan sebagai kegiatan usaha
secara terbatas berada pada lokasi Perumahan formal dan
Perumahan swadaya sesuai peruntukannya selain
peruntukan rumah toko dan rumah kantor.
(3) Kegiatan usaha secara terbatas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. usaha praktek keahlian perorangan yang bukan badan
usaha atau bukan gabungan badan usaha;
b. usaha retail dengan kategori usaha mikro dan kecil
(nonbankable);
c. usaha pelayanan lingkungan yang kegiatannya
langsung melayani kebutuhan lingkungan yang
bersangkutan dan/atau tidak mengganggu/merusak
keserasian dan tatanan lingkungan; dan
d. kegiatan sosial tertentu yang tidak mengganggu
dan/atau merusak keserasian dan tatanan lingkungan.
(4) Penaggungjawab kegiatan usaha di luar ketentuan ayat (3)
wajib mengurus perizinan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(5) Khusus untuk pemanfaatan rumah pada Rumah Susun,
dapat dilakukan setelah:
a. mendapatkan persetujuan penghuni Rumah Susun;
dan/atau
b. mendapatkan persetujuan Perhimpunan Pemilik dan
Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS); dan
I - 168
c. mendapatkan pengesahan pertelaan dari Bupati.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan rumah secara
terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dan
pemanfaatan rumah secara terbatas pada Rumah Susun diatur
dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kelima
Pengendalian Perumahan
Pasal 24
(1) Pengendalian Perumahan dimulai dari tahap:
a. perencanaan;
b. pembangunan;
c. pemanfaatan; dan
d. serah terima Prasarana, Sarana dan Utilitas
Perumahan.
(2) Pengendalian Perumahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dalam
bentuk:
a. perizinan;
b. penataan; dan/atau
c. penertiban.
(3) Pelaksanaan pengendalian Perumahan dilakukan oleh OPD
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang
Perumahan dan Kawasan Permukiman.
(4) OPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam
melakukan pengendalian Perumahan dapat melibatkan:
a. OPD yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang penanaman modal dan PTSP;
b. OPD yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang pekerjaan umum dan penataan ruang; dan
c. OPD yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat.
I - 169
Bagian Keenam
Penyerahan Terima Prasarana, Sarana dan Utilitas
Pasal 25
(1) Untuk menjamin keberlanjutan pemeliharaan dan
pengelolaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas di lingkungan
Perumahan dan Kawasan Permukiman perlu ada
penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan
dan Permukiman dari Pengembang kepada Pemerintah
Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyerahan Prasarana,
Sarana, dan Utilitas Umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Daerah tersendiri.
2. Penyelenggaraan Kawasan Permukiman
Dalam bab ini diuraikan ketentuan terkait penyelenggaraan
kawasan permukiman. Selengkapnya ketentuan yang diatur
dalam bab ini adalah sebagai berikut:
Pasal 26
(1) Penyelenggaraan Kawasan Permukiman bertujuan untuk
memenuhi hak warga negara atas tempat tinggal yang
layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan
teratur serta menjamin kepastian bermukim.
(2) Penyelenggaraan Kawasan Permukiman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencakup lingkungan hunian dan
tempat kegiatan pendukung perikehidupan dan
penghidupan di perkotaan dan di perdesaan melalui
tahapan perencanaan, pembangunan, pemanfaatan dan
pengendalian.
(3) Penyelenggaraan Kawasan Permukiman dilakukan
berdasarkan ketentuan dan peraturan perundang-
undangan serta kondisi budaya, sosial dan ekonomi
Daerah.
Pasal 27
I - 170
(1) Penyelenggaraan Kawasan Permukiman wajib dilaksanakan
sesuai dengan arahan pengembangan Kawasan
Permukiman yang terpadu dan berkelanjutan yang
meliputi:
a. hubungan antar kawasan fungsional sebagai bagian
lingkungan hidup di luar kawasan lindung;
b. keterkaitan lingkungan hunian perkotaan;
c. keterkaitan antara pengembangan lingkungan hunian
perkotaan dan pengembangan kawasan perkotaan;
d. keserasian tata kehidupan manusia dengan
lingkunganhidup;
e. keseimbangan antara kepentingan publik dan
kepentingan setiap orang; dan
f. lembaga yang mengoordinasikan pengembangan
Kawasan Permukiman.
(2) Penyelenggaraan Kawasan Permukiman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pengembangan yang telah ada;
b. pembangunan baru; atau
c. pembangunan kembali.
(3) Arahan pengembangan Kawasan Permukiman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 28
(1) Penyelenggaraan lingkungan hunian perkotaan dilakukan
melalui:
a. pengembangan lingkungan hunian perkotaan dan
perdesaan; dan
b. pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan
dan perdesaan.
(2) Penyelenggaraan pengembangan lingkungan hunian
perkotaan dan perdesaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a mencakup:
a. peningkatan efisiensi potensi lingkungan hunian
perkotaan dengan memperhatikan fungsi dan peranan
perkotaan dan perdesaan;
I - 171
b. peningkatan pelayanan lingkungan hunian perkotaan
dan perdesaan;
c. peningkatan keterpaduan Prasarana, Sarana, dan
Utilitas umum lingkungan hunian perkotaan dan
perdesaan;
d. penetapan bagian lingkungan hunian perkotaan dan
perdesaan yang dibatasi dan yang didorong
pengembangannya;
e. pencegahan tumbuhnya lingkungan dan kawasan
kumuh; dan
f. pencegahan tumbuh dan berkembangnya lingkungan
hunian yang tidak terencanadan tidak teratur.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 29
(1) Pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan dan
perdesaan dimaksudkan untuk memulihkan fungsi
lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan.
(2) Pembangunan kembali dilakukan dengan cara:
a. rehabilitasi;
b. rekonstruksi; atau
c. peremajaan.
(4) Pembangunan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)harus menjamin hak penghuni untuk dimukimkan
kembali di lokasi yang sama sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 30
(1) Penyelenggaraan pengembangan lingkungan hunian
perkotaan dan perdesaan dan pembangunan kembali
lingkungan hunian perkotaan dilakukan oleh Pemerintah
Daerah.
(2) Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat membentuk atau menunjuk Badan Hukum.
I - 172
(3) Pembentukan atau penunjukan Badan Hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
Keputusan Bupati.
(4) Bupati dapat mendelegasikan penetapan pembentukan
atau penunjukan Badan Hukum kepada Pejabat yang
ditunjuk.
Pasal 31
(1) Perencanaan Kawasan Permukiman dimaksudkan untuk
menghasilkan dokumen rencana Kawasan Permukiman
sebagai pedoman bagi seluruh pemangku kepentingan.
(2) Dokumen rencana Kawasan Permukiman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati.
(3) Perencanaan Kawasan Permukiman harus mencakup:
a. peningkatan sumber daya perkotaan dan perdesaan;
b. mitigasi bencana; dan
c. penyediaan atau peningkatan Prasarana, Sarana, dan
Utilitas umum.
Pasal 32
(1) Pembangunan Kawasan Permukiman disesuaikan dengan
ketentuan dan peraturan perundang-undangan.
(2) Pembangunan Kawasan Permukiman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Pemerintah
Daerah dan/atau Badan Hukum.
Pasal 33
(1) Pemanfaatan Kawasan Permukiman dilakukan untuk:
a. menjamin Kawasan Permukiman sesuai dengan
fungsinya sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata
ruang; dan
b. mewujudkan struktur ruang sesuai dengan
perencanaan Kawasan Kermukiman.
(2) Pemanfaatan Kawasan Permukiman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 34
I - 173
(1) Pengendalian Kawasan Permukiman dilakukan untuk:
a. menjamin pelaksanaan pembangunan Permukiman dan
pemanfaatan Permukiman sesuai dengan rencana
Kawasan Permukiman;
b. mencegah tumbuh dan berkembangnya Perumahan
Kumuh dan Permukiman Kumuh; dan
c. mencegah terjadinya tumbuh dan berkembangnya
lingkungan hunian yang tidak terencana dan tidak
teratur.
(2) Pengendalian Kawasan Permukiman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada lingkungan hunian
perkotaan dan lingkungan hunian perdesaan.
(3) Pengendalian penyelenggaraan lingkungan hunian
perkotaan dilaksanakan pada:
a. pengembangan perkotaan; atau
b. perkotaan baru.
(4) Pengendalian penyelenggaraan lingkungan hunian
perdesaan dilaksanakan pada pengembangan perdesaan
sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, sosial, dan/atau
budaya perdesaan.
(5) Pengendalian Kawasan Permukiman dilakukan oleh
Pemerintah Daerah, Badan Hukum dan/atau setiap orang
yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan serta kewenangan Pemerintah
Daerah.
3. Pemeliharaan dan Perbaikan
Dalam bab ini diuraikan ketentuan terkait pemeliharaan dan
perbaikan. Selengkapnya ketentuan yang diatur dalam bab
ini adalah sebagai berikut:
BAB IV
PEMELIHARAAN DAN PERBAIKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 35
I - 174
(1) Pemeliharaan dan perbaikan dimaksudkan untuk menjaga
fungsi Perumahan dan Kawasan Permukiman sehingga
dapat berfungsi secara baik dan berkelanjutan untuk
kepentingan peningkatan kualitas hidup setiap orang pada
rumah serta Prasarana, Sarana, dan Utilitas umum di
Perumahan, Permukiman, lingkungan hunian dan Kawasan
Permukiman.
(2) Pemeliharaan dan perbaikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, Badan
Hukum dan/atau setiap orang.
(3) Perbaikan oleh Pemerintah Daerah dilakukan terhadap
Rumah umum yang dinilai tidak layak huni dan bagi korban
bencana alam.
(4) Perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat
stimulant.
Bagian Kedua Pemeliharaan
Pasal 36
(1) Pemeliharaan Rumah wajib dilakukan oleh setiap orang.
(2) Pemeliharaan Prasarana, Sarana dan Utilitas umum untuk
Perumahan, Permukiman, lingkungan hunian dan Kawasan
Permukiman dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Badan
hukum dan/atau setiap orang sesuai kewenangan masing-
masing.
(3) Pelaksanaan dan mekanisme pemeliharaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Perbaikan
Pasal 37
(1) Perbaikan Rumah dilakukan oleh setiap Orang.
(2) Perbaikan Prasarana, Sarana dan Utilitas umum untuk
Perumahan, Permukiman, lingkungan hunian dan Kawasan
I - 175
Permukiman dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Badan
Hukum dan/atau setiap Orang sesuai kewenangan masing-
masing.
(3) Pelaksanaan dan mekanis perbaikan Rumah dan
Prasarana, Sarana, atau Utilitas umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
4. Pencegahan Dan Peningkatan Kualitas Perumahan
Kumuh Dan Permukiman Kumuh
Dalam bab ini diuraikan ketentuan terkait Pencegahan Dan
Peningkatan Kualitas Perumahan Kumuh Dan Permukiman
Kumuh. Selengkapnya ketentuan yang diatur dalam bab ini
adalah sebagai berikut:
BAB V PENCEGAHAN DAN PENINGKATAN KUALITAS
PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH
Pasal 38 (1) Pencegahandan peningkatan kualitas terhadap Perumahan
Kumuh dan Permukiman Kumuh guna meningkatkan mutu
kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni
dilakukan untuk mencegah tumbuh dan berkembangnya
Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh baru serta
untuk menjaga dan meningkatkan kualitas dan fungsi
Perumahan dan Permukiman.
(2) Pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap Perumahan
Kumuh dan Permukiman Kumuh sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pada prinsip
kepastian bermukim yang menjamin hak setiap anggota
masyarakat untuk menempati, menikmati, dan/atau
memiliki tempat tinggal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap Perumahan
Kumuh dan Permukiman Kumuh sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Badan
Hukum dan/atau setiap Orang.
Pasal 39
I - 176
(1) Pelaksanaan pencegahan dan peningkatan kualitas
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat
(1), dilakukan dengan konsep penataan Perumahan Kumuh
dan Permukiman Kumuh perkotaan serta peningkatan
kualitas Rumah dan Sarana dan Prasarana penunjang
Permukiman sesuai kewenangannya.
(2) Pelaksanaan pencegahan dan peningkatan kualitas
lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat
stimulant.
(3) Dalam hal pelaksanaan pencegahan dan peningkatan
kualitas memerlukan penetapan lokasi, maka penetapan
lokasi Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh harus
memenuhi persyaratan:
a. kesesuaian dengan rencana tata ruang;
b. kesesuaian dengan rencana tata bangunan dan
lingkungan;
c. kondisi dan kualitas Prasarana, Sarana, dan Utilitas
umum yang memenuhi persyaratan dan tidak
membahayakan penghuni;
d. tingkat keteraturan dan kepadatan bangunan;
e. kualitas bangunan; dan
f. kondisi sosial ekonomi masyarakat.
(4) Pelaksanaan pencegahan dan peningkatan kualitas
Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh disesuaikan
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 40
(1) Penetapan lokasi Perumahan Kumuh dan Permukiman
Kumuh harus didahului proses pendataan yang dilakukan
oleh Pemerintah Daerah dengan melibatkan peran
masyarakat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendataan,
peran serta masyarakat dan penetapan lokasi sebagaimana
dimaksud pada ayat(1) diatur dalam Peraturan Bupati.
Pasal 41
I - 177
(1) Penanganan peningkatan kualitas Perumahan Kumuh dan
Permukiman Kumuh dengan pola pemukiman kembali
dilakukan untuk mewujudkan kondisi rumah, Perumahan,
dan Permukiman yang lebih baik guna melindungi
keselamatan dan keamanan penghuni dan masyarakat.
(2) Pemukiman kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memindahkan masyarakat terdampak
dari lokasi yang tidak mungkin dibangun kembali karena
tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau rawan
bencana serta dapat menimbulkan bahaya bagi barang
ataupun Orang.
(3) Pemukiman kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
(4) Lokasi yang akan ditentukan sebagai tempat untuk
Pemukiman kembali ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
dengan melibatkan peran masyarakat.
5. Penyediaan Tanah
Dalam bab ini diuraikan ketentuan terkait penyediaan tanah.
Selengkapnya ketentuan yang diatur dalam bab ini adalah
sebagai berikut.
BAB VI PENYEDIAAN TANAH
Pasal 42
(1) Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
bertanggungjawab atas ketersediaan tanah untuk
pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
(2) Ketersediaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk penetepannya dalam rencana tata ruang wilayah
merupakan tanggungjawab Pemerintah Daerah.
(3) Penyediaan tanah untuk pembangunan Perumahan dan
Kawasan Permukiman dapat dilakukan melalui:
a. pemberian hak atas tanah terhadap tanah yang
langsung dikuasai negara;
b. konsolidasi tanah oleh pemilik tanah;
c. peralihan atau pelepasan hak atas tanah oleh pemilik
tanah;
I - 178
d. pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah barang
milik daerah sesuai ketentuan perundang-undangan;
e. pendayagunaan tanah Negara bekas tanah terlantar;
dan/atau
f. pengadaan tanah untuk pembangunan bagi
kepentingan umum dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses dan tahapan
penyediaan tanah untuk pembangunan Rumah,
Perumahan, dan Kawasan Permukiman diatur dalam
Peraturan Bupati.
6. Pendanaan
Dalam bab ini diuraikan ketentuan terkait pendanaan.
Selengkapnya ketentuan yang diatur dalam bab ini adalah
sebagai berikut.
BAB VII
PENDANAAN
Pasal 43
Pendanaan dimaksudkan untuk memastikan ketersediaan dana
untuk pemenuhan kebutuhan Rumah umum, peningkatan
kualitas Rumah tidak layak huni, pemeliharaan dan perbaikan
Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan dan Permukiman
yang merupakan kewenangan dan tanggungjawab Pemerintah
Daerah.
Pasal 44
Dana untuk pemenuhan kebutuhan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jawa
Timur; dan/atau
c. Sumber dana lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 45 Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dimanfaatkan
untuk mendukung:
I - 179
a. penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman
sesuai kewenangannya;
b. pemeliharaan dan perbaikan rumah tidak layak huni secara
stimulan;
c. peningkatan kualitas lingkungan dan Kawasan Permukiman;
d. pemenuhan kebutuhan rumah bagi MBR; dan
e. kepentingan lain dibidang Perumahan dan Kawasan
Permukiman sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan termasuk tanggap darurat penyediaan
Rumah bagi korban bencana alam.
7. Peran Serta Masyarakat
Dalam bab ini diuraikan ketentuan terkait peran serta
masyarakat. Selengkapnya ketentuan yang diatur dalam bab
ini adalah sebagai berikut.
BAB VIII PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 46
(1) Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman
dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan melibatkan
peran masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memberikan masukan dalam:
a. penyusunan rencana pembangunan Perumahan dan
Kawasan Permukiman;
b. pelaksanaan pembangunan Perumahan dan Kawasan
Permukiman;
c. pemanfaatan Perumahan dan Kawasan Permukiman;
d. pemeliharaan dan perbaikan Perumahan dan Kawasan
Permukiman; dan/atau
e. pengendalian penyelenggaraan Perumahan dan
Kawasan Permukiman.
(3) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf e dilakukan dengan membentuk forum
pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman
yang mempunyai fungsi dan tugas sebagai berikut:
a. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat;
I - 180
b. membahas dan merumuskan pemikiran arah
pengembangan penyelenggaraan Perumahan dan
Kawasan Permukiman;
c. meningkatkan peran dan pengawasan masyarakat;
d. memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah;
dan/atau
e. melakukan peran arbitrase dan mediasi dibidang
penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman; dan
f. fungsi/tugas lain sesuai kebutuhan Daerah.
(4) Forum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terdiri dari
unsur:
a. OPD yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman;
b. asosiasi perusahaan penyelenggara Perumahan dan
kawasan Permukiman;
c. asosiasi profesi penyelenggara Perumahan dan
Kawasan Permukiman;
d. asosiasi perusahaan barang dan jasa mitra usaha
penyelenggara Perumahan dan Kawasan Permukiman;
dan/atau
e. pakar di bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
(5) Lembaga swadaya masyarakat dan/atau yang mewakili
konsumen yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
8. Pembinaan dan pengawasan
Dalam bab ini diuraikan ketentuan terkait pembinaan dan
pengawasan. Selengkapnya ketentuan yang diatur dalam
bab ini adalah sebagai berikut.
BAB IX PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 47
(1) Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman menjadi tanggung jawab Bupati.
I - 181
(2) Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman dilaksanakan secara berjenjang dari Bupati
kepada pemangku kepentingan.
(3) Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman dilakukan terhadap aspek:
a. perencanaan;
b. pengaturan;
c. pengendalian; dan
d. pengawasan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagai mana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Bupati.
Pasal 48
(1) Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
dilaksanakan dengan cara:
d. koordinasi;
e. sosialisasi peraturan perundang-undangan;
f. pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi;
g. pendidikan dan pelatihan;
h. penelitian dan pengembangan;
i. pendampingan dan pemberdayaan; dan/atau
j. pengembangan sistem layanan informasi dan
komunikasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Bupati.
Pasal 49
(1) Kewenangan Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 ayat (1) didelegasikan kepada OPD yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang
Perumahan dan Kawasan Permukiman.
(2) OPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyusun
pedoman teknis dan/atau pelaksanaan sebagai dasar
pelaksanaan pembinaan selain ketentuan yang tertuang
pada tugas, pokok dan fungsi.
I - 182
D. Kententuan Sanksi
Dalam rancangan Peraturan Daerah ini terhadap
pelanggarannya akan dikenakan sanksi berupa sanksi
administratif. Selengkapnya ketentuan yang diatur dalam
bab ini adalah sebagai berikut.
BAB X SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 50
(1) Setiap orang, Badan Hukum dan/atau Badan Usaha Milik
Negara/Daerah yang menyelenggarakan Perumahan dan
Kawasan Permukiman yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), Pasal 7
ayat (4), Pasal 8ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 14 ayat
(3) huruf a, Pasal 16 ayat (5), Pasal 23 ayat (4), Pasal 43
ayat (1) dan Pasal 44 ayat (1) dikenakan sanksi berupa:
a. teguran atau peringatan tertulis;
b. penundaan perizinan/pekerjaan;
c. penghentian proses perizinan/pekerjaan;
d. pembatalan perizinan atau kebijakan Pemerintah
Daerah (insentif);
e. pencabutan perizinan;
f. pembongkaran; dan
g. perintah menghentikan, membangun, membongkar,
melengkapi, merevisi, menyempurnakan dan/atau
membangun kembali.
(2) Setiap orang, Badan Hukum dan/atau Badan Usaha Milik
Negara/Daerah yang melakukan pembangunan rumah,
Perumahan dan/atau Permukiman tidak pada peruntukan
ruang yang ditetapkan dikenakan sanksi sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap pejabat yang dengan sengaja mengeluarkan izin
pembangunan rumah, Perumahan dan/atau Permukiman
yang tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukan
pemanfaatan ruang dikenai sanksi sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
I - 183
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme
tahapan pemberian sanksi sebagaimana dimaksud ayat (1)
diatur dalam Peraturan Bupati.
E. Ketentuan Peralihan
Pada bab ini dijelaskan tentang ketentuan
peralihan dalam Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman dengan perincian pengaturan sebagai berikut:
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku,
penggunaan Rumah pada peruntukan ruang
Perumahan yang berubah fungsi di luar kriteria
sebagaimana dimaksud Pasal 22, wajib mengurus izin
peruntukan ruang dan izin mendirikan bangunan
sesuai ketentuan paling lambat 12 (dua belas) bulan
setelah Peraturan Daerah ini ditetapkan atau
dikenakan sanksi sesuai Peraturan Daerah Kabupaten
Tuban Nomor 16 Tahun 2014 tentang Ketertiban
Umum dan Ketentraman Masyarakat (Lembaran
Daerah Kabupaten Tuban Tahun 2015 Seri E Nomor
09, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Tuban
Nomor 37.
F. Ketentuan Penutup
Ketentuan Penutup merupakan bagian terakhir
Batang Tubuh Peraturan Daerah, yang biasanya berisi
ketentuan tentang saat mulai berlakunya Peraturan Daerah
dapat melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Penetapan mulai berlakunya Peraturan Daerah pada
suatu tanggal tertentu;
2. Saat mulai berlakunya Peraturan Daerah tidak harus
sama untuk seluruhnya (untuk beberapa bagian dapat
berbeda).
I - 184
Selengkapnya bunyi ketantuan penutup dalam Rancangan
Peraturan Daerah ini adalah sebagai berikut.
Pasal 52
Peraturan Bupati sebagai pelaksanaan Peraturan Daerah ini
harus sudah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak
diundangkannya Peraturan Daerah ini.
Pasal 53
Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Tuban.
G. Rancangan Penjelasan
Suatu peraturan biasanya selalu disertai penjelasan
atau memorie van toelichting. Penjelasan lazimnya terdiri
dari atas 2 (dua) bagian yaitu penjelasan bersifat umum
yang disebut penjelasan umum dan penjelasan pasal demi
pasal yang disebut penjelasan pasal demi pasal.
Fungsi dari penjelasan adalah menjelaskan segala
sesuatu yang dianggap masih memerlukan penjelasan,
ketentuan yang sudah jelas tidak perlu dijelaskan lagi.
Penjelasan yang semacam ini berupa lampiran yang isinya
uraian atau penegasan dari beberapa hal yang diatur dalam
pasal-pasal dibatang tubuh sehingga maknanya tidak bisa
dan orang dapat dengan mudah memahaminya.
I - 185
BAB VI
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Dari analisis tentang penyusunan naskah akademik
ini, dapat disimpulkan bahwa Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Tuban tentang Penyelenggaraan Perumahan
Rakyat dan Kawasan Permukiman dibentuk dalam rangka
penyelenggaraan kewenangan daerah di bidang perumahan
rakyat dan kawasan permukiman serta sebagai penjabaran
lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi khususnya Pasal 36, Pasal 49, dan Pasal 98 UU
No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman beserta peraturan pelaksanaannya dan
sekaligus menjadi atas permasalahan di daerah (local
problem solving) terkait di bidang Perumahan dan kawasan
permukiman. Selanjutnya pokok-pokok pengaturan yang
perlu dirumuskan dalam Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Tuban tentang Penyelenggaraan Perumahan
Rakyat dan Kawasan Permukiman, minimal harus mengatur
ketentuan sebagai berikut ini:
q. penyelenggaraan Perumahan;
r. penyelenggaraan Kawasan Permukiman;
s. pemeliharaan dan perbaikan;
t. pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap
Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh;
u. penyediaan tanah;
I - 186
v. Pendanaan;
w. peran masyarakat;
x. pembinaan dan pengawasan; dan
y. ketentuan sanksi.
B. Saran-saran
1. Sebagian materi naskah akademik diatur dalam
bentuk Peraturan Daerah Kabupaten Tuban tentang
Penyelenggaraan Perumahan Rakyat dan Kawasan
Permukiman dan sebagian lagi membutuhkan
pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
2. Pemerintah Kabupaten Tuban perlu memprioritaskan
penyusunan Raperda Kabupaten Tuban tentang
Penyelenggaraan Perumahan Rakyat dan Kawasan
Permukiman dan memasukkan dalam Program
Pembentukan Peraturan Daerah (Propem Perda).
I - 187
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad. 2002. Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian
filosofisdan sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta.
Aminoedin Syarif, 1987, Perundang-undangan, Dasar Jenis dan Teknik Membuatnya, Jakarta, PT. Bina Aksara.
Aminudin, Peran Rumah dalam Kehidupan Manusia, Kanisius, Semarang, 2007.
Ateng Safrudin, 1976, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di Daerah, Tarsito, Bandung
Arief, Sritua. 1997. Koperasi Sebagai Organisasi Ekonomi Rakyat, dalam Pembangunanisme dan Ekonomi
Indonesia. Pemberdayaan Rakyat dalam Arus Globalisasi. Jakarta: CSPM dan Zaman. Departemen Koperasi.
Statistik Perkoprasian Tahun 2007. www.depkop.go.id
Bagir Manan, 1989, Pemerintah Daerah Bagian I, Penataran Administrative and Organization Planning University
Gadjah Mada, yogyakarta. __________, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan
Indonesia, Jakarta, Ind Hill Co. __________, 1994, Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD
1945, Jakarta : Harian Sinar Harapan. Bagir Manan, Kuntara Magnar, 1987, Peranan Perundang-
undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung, PT. Armico.
Bambang Senggono, 1994, Hukum dan Kebijakan Publik, PT. Sinar Grafika, Jakarta.
__________, 1996, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta.
Hendrawan, Pembangunan Perumahan Berwawasan
Lingkungan, Rineka Cipta, Jakarta, 2004. Widyaningsih, Beberapa Pokok Pikiran Tentang Perumahan,
Tarsito. Bandung. 2006. Zulfie Syarief, Kebijakan Pemerintah di Bidang Perumahan dan
Permukiman bagi Masyarakat Berpendapatan Rendah, USU Press, Medan. 2000.
Collin Mac Andrew, 1983, Hubungan Pusat dan Daerah dalam
Pembangunan, PT. Rajawali Press, Jakarta.
I - 188
Deddy Supriyadi Bratakusumah, Dadang Solihin, 2001, Otonomi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Eddy Supriyadi, Brata Kusumah, 2001, Otonomi Penyelenggaran Pemerintahan Daerah, Jakarta,
Gramedia, Pustaka Utama. Eko Budiharjo. Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan,
Perkotaan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1998.
Hamid S. Attamimi, 1980, UUD 1945, Tap MPR, Undang-
Undang. Kaitan Norma Hukum Ketiganya, Jakarta.
__________, 1990, Peranan Keputusan Presiden dalam
Penyelenggaraan Negara, Disertasi UI, Jakarta.
Irawan Soejito, 1983, Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, PT. Bina Aksara, Jakarta.
__________, 1990, Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah,
PT. Bhinneka Cipta, Jakarta.
Irawan Soejito, 1969, Teknik Membuat Undang-Undang, Jakarta, PT. Pradnya Paramita.
Jazim Hamidi, Budiman N.P.D. Sinaga, Pembentukan Peraturan
Perundangan-undangan Dalam Sorotan, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Dilengkapi dengan Analisa Kritis,
PT. Tata Nusa, Jakarta – Indonesia.
Kunarjo, 1993, Perencanaan dan Pembiayaan Pembangunan, UI Press, Jakarta.
Lexi J. Moleong, 1991, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja
Rosda Karya, Bandung.
Maria Farida Indrawati, 1997, Ilmu Perundang-undangan, Jakarta, Universitas Indonesia.
Maryunani dan Unti Ludigdo (ed), 2002. Desentralisasi dan
Tata Pemerintahan Desa Monitoring dan Evaluasi Berpartisipasi, Prosiding Workshop Nasional,
Kerjasama Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya dan
I - 189
Partnership for Governance Reform in Indonesia, LPEM
FE-Unibraw, Malang.
Pariata Wastra, 1983, Management Pembangunan Daerah, PT. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Purnadi Purbacaraka, 1979, Perundang-undangan dan
Yurisprudensi, Bandung, Alumni.
Roni Hanitjo Soemitro, 1998, Metodologi Penelitian Hukum Jumetri, PT. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Rosyid Ronggowijoyo, 1998. Pengantar Ilmu Perundang-
undangan, Bandung, Mandan Maju.
Rustian Kamalludin, 1983, Seberapa Aspek Pembangunan
Nasional, PT. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Rustian Kamalludin, 1987, Pelaksanaan Kebijakan Pemerintah Daerah, Lembaga Penelitian FE-UI, Jakarta.
Said Zainal Abidin, 2007, “Analisis Kebijakan dalam Pengaduan
Fasos dan Fasum di DKI Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
Victor Situmorang, 1993, Hukum Administrasi Pemerintahan di
Daerah, Sinar Grafika, Jakarta.
Winarno Surachmad, 1994, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar
dan Teknik, Tarsito, Bandung. Babang Sugandhi & Ridwan Sutriadi, 2013, Mekanisme
Penyerahan PSU Perumahan Dari Pengembang Kepada Pemerintah Kota Bandung, dalam Jurnal Perencanaan
Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah Kabupaten di Djawa Timur Timur
I - 190
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor
42);
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821);
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1247);
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5679);
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5188);
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
I - 191
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5252);
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002
tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4532);
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2005
Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4593);
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103;
Peraturan Pemerintah nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4855); Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2014 tentang
Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 320, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5615); Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5883);
Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan
Rendah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 316, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6004)
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah;
I - 192
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas
Perumahan dan Permukiman di Daerah;
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 19/PRT/M/2011
tentang Persyaratan Teknis Jalan Dan Kriteria Teknis Jalan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 900);
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2013
tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
470);
Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No 12 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pembangunan
dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1490);
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 02/PRT/M/2016 tentang Peningkatan Kualitas
Terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
172);
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Nomor 05/PRT/M/2016 tentang Izin Mendirikan Bangunan Gedung (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 176);
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 13/PRT/M/2016 tentang Bantuan Stimulan
Perumahan Swadaya (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 664).
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 21/PRT/M/2016 tentang Kemudahan dan/atau
Bantuan Perolehan Rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 892) sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Nomor 26/PRT/M/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
I - 193
Perumahan Rakyat Nomor 21/PRT/M/2016 tentang
Kemudahan dan/atau Bantuan Perolehan Rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 892);
Peraturan Daerah Kabupaten Tuban Nomor 9 Tahun 2012
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tuban Tahun 2012-2032;
Peraturan Daerah Kabupaten Tuban Nomor 5 Tahun 2015 tentang Bangunan Gedung;
I - 194
BUPATI TUBAN
PROVINSI JAWA TIMUR
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN
NOMOR ...TAHUN .....
TENTANG
PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN
PERMUKIMAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI TUBAN,
Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan
dasar manusia; b. bahwa pertumbuhan perumahan dan
permukiman di Daerah Kabupaten Tuban yang sangat pesat mengakibatkan munculnya permasalahan tata ruang dan
lingkungan, sehingga perlu penataan untuk memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman; c. bahwa dalam rangka menyelenggarakan
urusan di bidang perumahan rakyat dan kawasan permukiman yang menjadi kewenangan Pemerintahan Kabupaten Tuban
sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Draf Raperda
30 Mei 2017
I - 195
Daerah, agar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kondisi
di Daerah serta melaksanakan ketentuan Pasal 36 ayat (3), Pasal 49 ayat (3) dan Pasal
98 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dipandang perlu membentuk
Peraturan Daerah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a,
huruf b dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman;
Mengingat : 1. Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950
tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1950 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 9) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1965 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1965 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2730);
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
I - 196
Nomor 5188);
6. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011
tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252);
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun
2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2014 tentang Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 320, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5615);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun
2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5883);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 316, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
I - 197
Nomor 6004);
12. Peraturan Daerah Kabupaten Tuban Nomor
9 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tuban 2012-2032
(Lembaran Daerah Kabupaten Tuban Tahun 2012 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Tuban Nomor ..);
13. Peraturan Daerah Kabupaten Tuban Nomor 16 Tahun 2014 tentang Ketertiban Umum
dan Ketentraman Masyarakat (Lembaran Daerah Kabupaten Tuban Tahun 2015 Seri E Nomor 09, Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Tuban Nomor 37);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN TUBAN
dan
BUPATI TUBAN
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN
KAWASAN PERMUKIMAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
41. Daerah adalah Kabupaten Tuban.
I - 198
42. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
43. Bupati adalah Bupati Tuban.
44. Organisasi Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat
OPD adalah Organisasi Perangkat Daerah di Pemerintah
Kabupaten Tuban.
45. Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman
adalah kegiatan perencanaan, pembangunan, pemanfaatan,
dan pengendalian, termasuk di dalamnya pengembangan
kelembagaan, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta
peran masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu.
46. Setiap Orang adalah orang perseorangan.
47. Badan Hukum adalah Badan Hukum yang didirikan oleh
Warga Negara Indonesia yang kegiatannya dibidang
penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
48. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari
Permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang
dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum
sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.
49. Kawasan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup
diluar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan
maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan
yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
50. Lingkungan Hunian adalah bagian dari Kawasan
Permukiman yang terdiri atas lebih dari satu satuan
Permukiman.
51. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang
terdiri atas lebih dari satu satuan Perumahan yang
mempunyai prasarana, sarana, dan utilitas umum, serta
mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain dikawasan
perkotaan atau kawasan perdesaan.
52. Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman
adalah kegiatan perencanaan, pembangunan, pemanfaatan,
dan pengendalian, termasuk di dalamnya pengembangan
I - 199
kelembagaan, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta
peran masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu.
53. Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan
Kawasan Permukiman yang selanjutnya disebut RP3KP
adalah dokumen perencanaan yang merupakan jabaran
pengisian rencana pola ruang Perumahan dan Kawasan
Permukiman dalam RTRW, serta memuat skenario
penyelenggaraan pengelolaan bidang Perumahan dan
Kawasan Permukiman yang terkoordinasi dan terpadu
secara lintas sektoral dan lintas wilayah administratif.
54. Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai
tempat tinggal, sarana pembinaan keluarga, cerminan
harkat dan martabat, serta aset bagi pemiliknya.
55. Rumah Komersial adalah Rumah yang diselenggarakan
dengan tujuan mendapatkan keuntungan.
56. Rumah Swadaya adalah Rumah yang dibangun atas
prakarsa dan upaya masyarakat.
57. Rumah Umum adalah rumah yang diselenggarakan untuk
memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat
berpenghasilan rendah.
58. Rumah Khusus adalah rumah yang diselenggarakan untuk
memenuhi kebutuhan khusus.
59. Rumah Negara adalah Rumah yang dimiliki negara dan
berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana
pembinaan keluarga serta penunjang pelaksanaan tugas
pejabat dan/atau pegawai negeri.
60. Rumah Mewah adalah rumah Komersial dengan harga jual
diatas harga jual rumah menengah dengan perhitungan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
61. Rumah Menengah adalah rumah komersial dengan harga
jual diatas harga jual rumah sederhana dan dibawah harga
jual rumah mewah dengan perhitungan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
62. Rumah Sederhana adalah rumah umum yang dibangun
diatas tanah dengan luas kavling antara 60 m2 (enam puluh
meter persegi) sampai dengan 200 m2 (dua ratus meter
persegi) dengan harga jual sesuai ketentuan Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah.
I - 200
63. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang
dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam
bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik
dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan
satuan-satuan yang masingmasing dapat dimiliki dan
digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian
yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama,
dan tanah bersama.
64. Rumah Tapak adalah rumah horizontal yang berdiri di atas
tanah yang dibangun atas upaya masyarakat atau
lembaga/institusi yang berbadan hukum melalui suatu
proses perijinan sesuai peraturan perundang-undangan.
65. Rumah Layak Huni adalah rumah yang memenuhi syarat
kesehatan, kenyamanan dan keselamatan penghuninya.
66. Perumahan Formal adalah suatu rumah atau Perumahan
yang dibangun atau disiapkan oleh suatu lembaga/institusi
yang berbadan hukum dan melalui suatu proses perizinan
sesuai peraturan perundang-undangan.
67. Perumahan Swadaya adalah suatu rumah dan/atau
Perumahan yang dibangun atas prakarsa dan upaya
masyarakat, baik sendiri atau berkelompok, yang meliputi
perbaikan, pemugaran/perluasan, atau pembangunan
rumah baru beserta lingkungan.
68. Permukiman Kumuh adalah Permukiman yang tidak layak
huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan
bangunan yang tinggi,dan kualitas bangunan sertasarana
dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.
69. Perumahan Kumuh adalah Perumahan yang mengalami
penurunan kualitas fungsi sebagai tempat hunian.
70. Kaveling Tanah Matang adalah sebidang tanah yang telah
dipersiapkan untuk rumah sesuai dengan persyaratan
dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah, rencana
rinci tata ruang, serta rencana tata bangunan dan
lingkungan.
71. Pendanaan adalah penyediaan sumber daya keuangan yang
berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara,
anggaran pendapatan dan belanja Daerah dan/atau sumber
dana lain yang dibelanjakan untuk penyelenggaraan
I - 201
Perumahan danKawasan Permukiman sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
72. Prasarana adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan
hunian yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan
bertempat tinggal yang layak, sehat, aman dan nyaman.
73. Sarana adalah fasilitas dalam lingkungan hunian yang
berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan dan
pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi.
74. Utilitas Umum adalah kelengkapan penunjang untuk
pelayanan lingkungan hunian.
75. Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang selanjutnya
disingkat MBR, adalah masyarakat yang mempunyai
keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan
pemerintah untuk memperoleh Rumah.
76. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan
atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat
terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh
tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
77. Septictank Komunal adalah tempat pengolahan air limbah
domestik tanpa dihubungkan dengan jaringan perpipaan
dalam skala besar yang digunakan secara bersama-sama
oleh beberapa rumah tangga.
78. Hunian berimbang adalah Perumahan atau lingkungan
hunian yang dibangun secara berimbang antara rumah
sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah.
79. Garis Sepadan Bangunan adalah garis yang menunjukkan
batas untuk mendirikan bangunan di pekarangan, diantara
garis sepadan dan pagar tidak boleh ada bagian gedung yang
berdiri diatas tanah.
80. Izin Mendirikan Bangunan adalah perizinan yang diberikan
oleh pemerintah daerah kecuali untuk bangunan gedung
fungsi khusus oleh Pemerintah kepada pemilik bangunan
gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas,
mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai
dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis
yang berlaku.
I - 202
Bagian Kedua
Tujuan dan Ruang Lingkup
Pasal 2
(3) Tujuan pengaturan Penyelenggaraan Perumahan dan
Kawasan Permukiman adalah:
a. mewujudkan ketertiban dalam Penyelenggaraan
Perumahan dan Kawasan Permukiman;
p. memberikan kepastian hukum bagi seluruh pemangku
kepentingan dalam melaksanakan tugas dan wewenang
serta hak dan kewajibannya dalam Penyelenggaraan
Perumahan dan Kawasan Permukiman;
q. mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta
penyebaran penduduk yang proporsional melalui
pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan
permukiman sesuai dengan tata ruang untuk
mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi
MBR;
r. meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya
alam bagi pembangunan perumahan dengan tetap
memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di
kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan;
s. memberdayakan para pemangku kepentingan bidang
pembangunan perumahan dan kawasan permukiman;
t. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, dan
budaya; dan
u. menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan
terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi,
teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.
(4) Ruang lingkup Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman meliputi:
z. penyelenggaraan Perumahan;
aa. penyelenggaraan Kawasan Permukiman;
bb. pemeliharaan dan perbaikan;
cc. pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap
Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh;
dd. penyediaan tanah;
ee. Pendanaan;
ff. peran masyarakat; dan
I - 203
gg. pembinaan dan pengawasan.
BAB II
PENYELENGGARAAN PERUMAHAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
(5) Penyelenggaraan Rumah dan Perumahan dilakukan oleh
Pemerintah Daerah, Badan Hukum dan/atau Setiap Orang
untuk menjamin hak setiap warga untuk menempati,
menikmati, dan/atau memiliki Rumah yang layak dalam
lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.
(6) Penyelenggaraan Rumah dan Perumahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perencanaan pembangunan dan pengembangan
Perumahan dan Kawasan Permukiman;
b. perencanaan Perumahan;
c. pembangunan Perumahan;
d. pemanfaatan Perumahan; dan
e. pengendalian Perumahan.
(7) Perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
Rumah beserta Prasarana, Sarana, dan Utilitas umum.
(8) Penyelenggaraan Rumah dan Perumahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib berpedoman pada rencana tata
ruang.
Pasal 4
(4) Rumah dibedakan menurut jenis dan bentuknya.
(5) Jenis Rumah meliputi:
f. jenis rumah komersial;
g. jenis rumah umum;
h. jenis rumah khusus;
i. jenis rumah swadaya; dan
j. jenis rumah negara.
(6) Bentuk Rumah meliputi:
d. bentuk rumah tunggal;
I - 204
e. bentuk rumah deret; dan
f. bentuk Rumah Susun.
Bagian Kedua
Perencanaan
Paragraf 1
Perencanaan Pembangunan dan Pengembangan
Perumahan dan Permukiman
Pasal 5
(4) Perencanaan Pembangunan dan Pengembangan Perumahan
dan Kawasan Permukiman didasarkan pada Rerencanaan
Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan
Permukiman (RP3KP).
(5) RP3KP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh
Pemerintah Daerah sebagai acuan pembangunan
Perumahan dan pengembangan Kawasan Permukiman di
Daerah.
(6) Kedudukan RP3KP di Daerah sebagai:
d. Informasi yang memuatara han dan rambu-rambu
kebijaksanaan, serta rencana pembangunan Perumahan
dan Kawasan Permukiman dalam suatu tingkatan
wilayah dan kurun waktu tertentu;
e. arahan untuk mengatur perimbangan pembangunan
Perumahan dan Kawasan Permukiman; dan
f. sarana mempercepat terbentuknya sistem Kawasan
Permukiman yang terpadu.
Paragraf 2
Perencanaan Perumahan
Pasal 6
(5) Perencanaan Perumahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) huruf b merupakan bagian dari perencanaan
Permukiman dan terdiri atas:
c. perencanaan dan perancangan Rumah; dan
d. perencanaan dan perancangan Prasarana, Sarana dan
Utilitas umum.
I - 205
(6) Perencanaan Perumahan dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan rumahyang mencakup:
d. Rumah Sederhana;
e. Rumah Menengah; dan/atau
f. Rumah Mewah.
(7) Luasan minimal perencanaan Perumahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling kurang seluas
3.000 m2 (tiga ribu meter persegi) kecuali pada lahan
enclave.
(8) Perencanaan Perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dikecualikan untuk perencanaan Rumah Susun.
Pasal 7
(6) Perencanaan Perumahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 disusun dalam bentuk dokumen perencanaan
Perumahan yang menjamin pelaksanaan hunian berimbang.
(7) Dokumen perencanaan Perumahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
i. rencana tapak;
j. desain Rumah;
k. spesifikasi teknis Rumah;
l. rencana kerja perwujudan hunian berimbang;
m. rencana kerjasama;
n. nama Perumahan atau Perumahan tunggal (cluster);
o. rencana Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan; dan
p. rencana vegetasi Rumah dan Perumahan.
(8) Rencana Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g paling sedikit
meliputi:
j. rencana sirkulasi, lebar penampang jalan dan material
jalan;
k. rencana dampak lalu lintas;
l. rencana elevasi, perhitungan volume dan material
saluran drainase;
m. rencana penempatan septictank komunal;
n. rencana penempatan sumur resapan Perumahan;
o. rencana pengolahan sampah lingkungan;
I - 206
p. rencana integrasi prasarana (jalan dan saluran) dan
utilitas (jaringan penerangan jalan umum,
telekomunikasi dan listrik) dengan kawasan sekitar;
q. rencana pemenuhan kebutuhan air bersih; dan
r. ruang terbuka hijau.
(9) Dokumen perencanaan Perumahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib mendapatkan pengesahan dari Bupati.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengesahan
dokumen perencanaan Perumahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Bupati.
Paragraf 3 Perencanaan Rumah
Pasal 8
(7) Perencanaan dan perancangan Rumah dilakukan untuk:
a. menciptakan Rumah sehat dan layak huni;
b. mendukung upaya pemenuhan kebutuhan Rumah; dan
c. meningkatkan tata bangunan dan lingkungan yang
terstruktur.
(8) Perencanaan dan perancangan Rumah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib menyediakan sumur resapan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Luasan minimum perencanaan Rumah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan:
a. paling sedikit 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi)
untuk semua jenis Rumah Tunggal atau Rumah Deret;
b. sesuai dengan ketentuan Rumah sehat bersubsidi atau
Rumah sehat sejahtera tapak untuk rumah sederhana;
atau
c. paling sedikit 24 m² (dua puluh empat meter persegi)
untuk Rumah Susun umum (milik) dan/atau
disesuaikan dengan ketentuan luas minimum satuan
Rumah Susun tipe studio.
(10) Permohonan Izin Mendirikan Bangunan berupa rumah
tunggal dan/atau rumah deret pada lahan kaveling yang
teridentifikasi berasal dari suatu hamparan, diwajibkan
memenuhi ketentuan prasarana dasar Perumahan.
I - 207
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan Izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam
Peraturan Bupati.
(12) Perencanaan dan perancangan rumah dilakukan oleh setiap
Orang atau Badan Hukum yang memiliki keahlian di bidang
perencanaan dan perancangan rumah sesuai dengan
ketentuan dan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 4
Perencanaan Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum
Pasal 9
(3) Perencanaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum
Perumahan meliputi:
a. rencana penyediaan kaveling tanah untuk Perumahan
sebagai bagian dari Permukiman; dan
b. rencana kelengkapan Prasarana, Sarana, dan Utilitas
umum Perumahan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan Prasarana,
Sarana, dan Utilitas Umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Daerah tersendiri.
Bagian Ketiga
Pembangunan
Paragraf 1
Pembangunan Perumahan
Pasal 10
(4) Pembangunan Perumahan dilakukan oleh Badan Hukum.
(5) Pembangunan Perumahan meliputi pembangunan Rumah
dan Prasarana, Sarana dan Utilitas umum dan/atau
peningkatan kualitas Perumahan.
(6) Pembangunan Perumahan dilakukan dengan
mengembangkan teknologi dan rancang bangun yang ramah
lingkungan dan memenuhi Standar Nasional Indonesia.
Pasal 11
I - 208
(1) Badan Hukum yang melakukan pembangunan Perumahan
wajib mewujudkan Perumahan dengan hunian berimbang.
(2) Dalam hal pembangunan Perumahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah dapat
memberikan insentif kepada Badan Hukum untuk
mendorong pembangunan Perumahan dengan hunian
berimbang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai insentif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 12
(4) Pembangunan Perumahan dengan hunian berimbang
meliputi rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah
mewah.
(5) Pembangunan Perumahan skala besar yang dilakukan oleh
Badan Hukum wajib mewujudkan hunian berimbang dalam
satu hamparan, kecuali untuk Badan Hukum yang
membangun Perumahan yang seluruhnya ditujukan untuk
pemenuhan kebutuhan rumah umum dan/atau rumah
sederhana.
(6) Pembangunan rumah sederhana pada Perumahan
sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat berbentuk Rumah
Susun.
Pasal 13
(6) Dalam hal pembangunan Perumahan dengan hunian
berimbang tidak dalam satu hamparan, pembangunan
rumah umum/rumah sederhana harus dilaksanakan dalam
satu kecamatan.
(7) Pembangunan Rumah Umum atau Rumah Sederhana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Rumah Tapak
dan/atau Rumah Susun.
(8) Dalam hal pembangunan Rumah Susun komersial, maka
perwujudan hunian berimbang adalah sebagai berikut:
a. Badan Hukum wajib menyediakan Rumah Susun
umum/sederhana paling kurang 20% (dua puluh
perseratus) dari total luas lantai Rumah Susun komersial
yang dibangun; dan
I - 209
b. kewajiban pembangunan Rumah Susun
umum/sederhana dapat dilaksanakan diluar lokasi
kawasan Rumah Susun komersial tetapi harus
dilaksanakan dalam satu kecamatan.
(9) Pembangunan Perumahan dengan hunian berimbang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan
Hukum yang sama.
(10) Ketentuan teknis mengenai pelaksanaan hunian berimbang
pada Perumahan dan Rumah Susun komersial disesuaikan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
(1) Lokasi pembangunan Rumah Susun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (3) ditetapkan sebagai berikut:
a. Rumah Susun (komersial/umum) dengan perencanaan
ketinggian lebih dari 8 (delapan) lantai, harus berada
pada lokasi dengan akses minimum garis sepadan
bangunan rencana 20 m (dua puluh meter).
b. Rumah Susun (komersial/umum) dengan perencanaan
ketinggian sampai dengan 4 (empat) lantai dengan
gedung/tower lebih dari 4 (empat) gedung/tower harus
berada pada lokasi dengan akses minimum garis
sempadan Bangunan rencana 12 m (dua belas meter).
(2) Aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mencapai jalan utama terdekat sesuai rencana orientasi
pencapaian.
(3) Dalam hal akses jalan eksisting dengan garis sepadan
bangunan rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
belum tercapai,maka Badan Hukum wajib meningkatkan
kapasitas jalan sesuai kajian analisis dampak lalu lintas.
Pasal 15
(5) Pembangunan Rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (1) harus mempunyai akses menuju pusat
pelayanan atau tempat kerja. (2) Penyediaan akses
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengadaan akses;
I - 210
b. pelebaran akses; dan/atau
c. peningkatan akses.
(6) Perumahan selain peruntukan Rumah umum wajib
menyediakan akses dengan lebar minimal 6 m (enam meter)
dan/atau sesuai rencana tata ruang dan/atau sesuai kajian
Analisis Dampak Lalu Lintas termasuk Rumah Susun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).
(7) Penyediaan akses sebagaimana ayat (2) dan ayat (3) harus
sesuai dengan ketentuan rencana tata ruang serta peraturan
perundang-undangan.
(8) Badan Hukum wajib menyediakan dan membangun akses
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebelum membangun
Rumah dan Prasarana, Sarana dan Utilitas umum lainnya.
Paragraf 2
Pembangunan Rumah
Pasal 16
(1) Pembangunan rumah meliputi pembangunan rumah
tunggal,rumah deret, dan/atau Rumah Susun dan
dikembangkan berdasarkan
tipologi,ekologi,budaya,dinamika ekonomi, serta
mempertimbangkan faktor keselamatan dan keamanan.
(2) Pembangunan rumah tunggal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan oleh setiap orang dan/atau
Pemerintah Daerah.
(3) Pembangunan Rumah Deret dan Rumah Susun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan oleh
Badan Hukum dan/atau Pemerintah Daerah.
(4) Pembangunan Rumah dilakukan dengan tidak melebihi
batas kepemilikan lahan termasuk bangunan pagar.
Pasal 17
(6) Tanggungjawab pembangunan rumah tapak dan Rumah
Susun dengan criteria rumah umum, rumah khusus dan
rumah negara, dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan
dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
dan/atau biaya lainnya sesuai peraturan perundang-
undangan.
I - 211
(7) Dalam melaksanakan pembangunan rumah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah menunjuk
Badan Hukum yang menangani pembangunan Perumahan
dan Kawasan Permukiman sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(8) Ketentuan teknis pembangunan, penyediaan, penghunian,
pengelolaan, serta pengalihan status dan hak atas Rumah
Khusus dan Rumah Negara sesuai dengan peraturan
perundang undangan.
Pasal 18
(4) Rumah Tunggal, Rumah Deret, dan/atau Rumah Susun
yang dibangun sebagai rumah komersial dan masih dalam
tahap proses pembangunan dapat dipasarkan melalui sistem
perjanjian pendahuluan jual beli.
(5) Perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan
kepastian atas:
a. status pemilikan tanah;
b. hal yang diperjanjikan;
c. kepemilikan Izin Mendirikan Bangunan induk;
d. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan
e. keterbangunan Perumahan paling sedikit 20% (dua
puluh perseratus).
(6) Sistem perjanjian jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan disesuaikan dengan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 19
Pembangunan untuk Rumah Tunggal, Rumah Deret, dan/atau
Rumah Susun, dapat dilakukan di atas tanah:
d. hak milik;
e. hak guna bangunan, baik di atas tanah Negara maupun di
atas hak pengelolaan; atau
f. hak pakai di atas tanah Negara.
Paragraf 3
Pembangunan Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum
I - 212
Pasal 20
(1) Pembangunan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum
Perumahan yang dilakukan Pemerintah Daerah dan/atau
Badan Hukum dilakukan sesuai dengan Rencana,
Rancangan dan Perizinan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan Prasarana,
Sarana, dan Utilitas Umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Daerah tersendiri.
Bagian Keempat
Pemanfaatan
Paragraf 1
Pemanfaatan Perumahan
Pasal 21
(3) Pemanfaatan Perumahan digunakan sebagai fungsi hunian.
(4) Pemanfaatan Perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) di lingkungan hunian meliputi pemanfaatan Rumah,
pemanfaatan Prasarana dan Sarana Perumahan dan
pelestarian rumah, Perumahan serta Prasarana dan Sarana
Perumahan.
Paragraf 2
Pemanfaatan Rumah
Pasal 22
(1) Pemanfaatan rumah dapat digunakan sebagai kegiatan
usaha secara terbatas tanpa membahayakan dan tidak
mengganggu fungsi hunian dan harus memastikan
terpeliharanya Perumahan dan lingkungan hunian termasuk
ketersediaan sarana Parkir yang memadai.
(2) Rumah yang dapat digunakan sebagai kegiatan usaha
secara terbatas berada pada lokasi Perumahan formal dan
Perumahan swadaya sesuai peruntukannya selain
peruntukan rumah toko dan rumah kantor.
I - 213
(3) Kegiatan usaha secara terbatas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. usaha praktek keahlian perorangan yang bukan badan
usaha atau bukan gabungan badan usaha;
b. usaha retail dengan kategori usaha mikro dan kecil
(nonbankable);
c. usaha pelayanan lingkungan yang kegiatannya langsung
melayani kebutuhan lingkungan yang bersangkutan
dan/atau tidak mengganggu/merusak keserasian dan
tatanan lingkungan; dan
d. kegiatan sosial tertentu yang tidak mengganggu
dan/atau merusak keserasian dan tatanan lingkungan.
(9) Penaggungjawab kegiatan usaha di luar ketentuan ayat (3)
wajib mengurus perizinan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(10) Khusus untuk pemanfaatan rumah pada Rumah Susun,
dapat dilakukan setelah:
a. mendapatkan persetujuan penghuni Rumah Susun;
dan/atau
b. mendapatkan persetujuan Perhimpunan Pemilik dan
Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS); dan
c. mendapatkan pengesahan pertelaan dari Bupati.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan rumah secara
terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dan
pemanfaatan rumah secara terbatas pada Rumah Susun diatur
dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kelima
Pengendalian Perumahan
Pasal 24
(5) Pengendalian Perumahan dimulai dari tahap:
a. perencanaan;
b. pembangunan;
c. pemanfaatan; dan
d. serah terima Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan.
I - 214
(6) Pengendalian Perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk:
a. perizinan;
b. penataan; dan/atau
c. penertiban.
(7) Pelaksanaan pengendalian Perumahan dilakukan oleh OPD
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang
Perumahan dan Kawasan Permukiman.
(8) OPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam melakukan
pengendalian Perumahan dapat melibatkan:
a. OPD yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang penanaman modal dan PTSP;
b. OPD yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang pekerjaan umum dan penataan ruang; dan
c. OPD yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
Bagian Keenam
Penyerahan Terima Prasarana, Sarana dan Utilitas
Pasal 25
(5) Untuk menjamin keberlanjutan pemeliharaan dan
pengelolaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas di lingkungan
Perumahan dan Kawasan Permukiman perlu ada
penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan dan
Permukiman dari Pengembang kepada Pemerintah Daerah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyerahan Prasarana,
Sarana, dan Utilitas Umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Daerah tersendiri.
BAB III
PENYELENGGARAAN KAWASAN PERMUKIMAN
Pasal 26
(4) Penyelenggaraan Kawasan Permukiman bertujuan untuk
memenuhi hak warga negara atas tempat tinggal yang layak
I - 215
dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur
serta menjamin kepastian bermukim.
(5) Penyelenggaraan Kawasan Permukiman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencakup lingkungan hunian dan
tempat kegiatan pendukung perikehidupan dan
penghidupan di perkotaan dan di perdesaan melalui
tahapan perencanaan, pembangunan, pemanfaatan dan
pengendalian.
(6) Penyelenggaraan Kawasan Permukiman dilakukan
berdasarkan ketentuan dan peraturan perundang-undangan
serta kondisi budaya, sosial dan ekonomi Daerah.
Pasal 27
(4) Penyelenggaraan Kawasan Permukiman wajib dilaksanakan
sesuai dengan arahan pengembangan Kawasan Permukiman
yang terpadu dan berkelanjutan yang meliputi:
a. hubungan antar kawasan fungsional sebagai bagian
lingkungan hidup di luar kawasan lindung;
b. keterkaitan lingkungan hunian perkotaan;
c. keterkaitan antara pengembangan lingkungan hunian
perkotaan dan pengembangan kawasan perkotaan;
d. keserasian tata kehidupan manusia dengan
lingkunganhidup;
e. keseimbangan antara kepentingan publik dan
kepentingan setiap orang; dan
f. lembaga yang mengoordinasikan pengembangan
Kawasan Permukiman.
(5) Penyelenggaraan Kawasan Permukiman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pengembangan yang telah ada;
b. pembangunan baru; atau
c. pembangunan kembali.
(6) Arahan pengembangan Kawasan Permukiman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 28
(5) Penyelenggaraan lingkungan hunian perkotaan dilakukan
melalui:
I - 216
a. pengembangan lingkungan hunian perkotaan dan
perdesaan; dan
b. pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan
dan perdesaan.
(6) Penyelenggaraan pengembangan lingkungan hunian
perkotaan dan perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a mencakup:
a. peningkatan efisiensi potensi lingkungan hunian
perkotaan dengan memperhatikan fungsi dan peranan
perkotaan dan perdesaan;
b. peningkatan pelayanan lingkungan hunian perkotaan
dan perdesaan;
c. peningkatan keterpaduan Prasarana, Sarana, dan
Utilitas umum lingkungan hunian perkotaan dan
perdesaan;
d. penetapan bagian lingkungan hunian perkotaan dan
perdesaan yang dibatasi dan yang didorong
pengembangannya;
e. pencegahan tumbuhnya lingkungan dan kawasan
kumuh; dan
f. pencegahan tumbuh dan berkembangnya lingkungan
hunian yang tidak terencanadan tidak teratur.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 29
(3) Pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan dan
perdesaan dimaksudkan untuk memulihkan fungsi
lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan.
(4) Pembangunan kembali dilakukan dengan cara:
a. rehabilitasi;
b. rekonstruksi; atau
c. peremajaan.
(8) Pembangunan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)harus menjamin hak penghuni untuk dimukimkan
kembali di lokasi yang sama sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
I - 217
Pasal 30
(5) Penyelenggaraan pengembangan lingkungan hunian
perkotaan dan perdesaan dan pembangunan kembali
lingkungan hunian perkotaan dilakukan oleh Pemerintah
Daerah.
(6) Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat membentuk atau menunjuk Badan Hukum.
(7) Pembentukan atau penunjukan Badan Hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan
Bupati.
(8) Bupati dapat mendelegasikan penetapan pembentukan atau
penunjukan Badan Hukum kepada Pejabat yang ditunjuk.
Pasal 31
(4) Perencanaan Kawasan Permukiman dimaksudkan untuk
menghasilkan dokumen rencana Kawasan Permukiman
sebagai pedoman bagi seluruh pemangku kepentingan.
(5) Dokumen rencana Kawasan Permukiman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati.
(6) Perencanaan Kawasan Permukiman harus mencakup:
a. peningkatan sumber daya perkotaan dan perdesaan;
b. mitigasi bencana; dan
c. penyediaan atau peningkatan Prasarana, Sarana, dan
Utilitas umum.
Pasal 32
(3) Pembangunan Kawasan Permukiman disesuaikan dengan
ketentuan dan peraturan perundang-undangan.
(4) Pembangunan Kawasan Permukiman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Pemerintah
Daerah dan/atau Badan Hukum.
Pasal 33
(3) Pemanfaatan Kawasan Permukiman dilakukan untuk:
a. menjamin Kawasan Permukiman sesuai dengan
fungsinya sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata
ruang; dan
I - 218
b. mewujudkan struktur ruang sesuai dengan perencanaan
Kawasan Kermukiman.
(4) Pemanfaatan Kawasan Permukiman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disesuaikan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 34
(6) Pengendalian Kawasan Permukiman dilakukan untuk:
a. menjamin pelaksanaan pembangunan Permukiman dan
pemanfaatan Permukiman sesuai dengan rencana
Kawasan Permukiman;
b. mencegah tumbuh dan berkembangnya Perumahan
Kumuh dan Permukiman Kumuh; dan
c. mencegah terjadinya tumbuh dan berkembangnya
lingkungan hunian yang tidak terencana dan tidak
teratur.
(7) Pengendalian Kawasan Permukiman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan pada lingkungan hunian perkotaan
dan lingkungan hunian perdesaan.
(8) Pengendalian penyelenggaraan lingkungan hunian
perkotaan dilaksanakan pada:
a. pengembangan perkotaan; atau
b. perkotaan baru.
(9) Pengendalian penyelenggaraan lingkungan hunian
perdesaan dilaksanakan pada pengembangan perdesaan
sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, sosial, dan/atau
budaya perdesaan.
(10) Pengendalian Kawasan Permukiman dilakukan oleh
Pemerintah Daerah, Badan Hukum dan/atau setiap orang
yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan serta kewenangan Pemerintah Daerah.
BAB IV
PEMELIHARAAN DAN PERBAIKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 35
I - 219
(5) Pemeliharaan dan perbaikan dimaksudkan untuk menjaga
fungsi Perumahan dan Kawasan Permukiman sehingga
dapat berfungsi secara baik dan berkelanjutan untuk
kepentingan peningkatan kualitas hidup setiap orang pada
rumah serta Prasarana, Sarana, dan Utilitas umum di
Perumahan, Permukiman, lingkungan hunian dan Kawasan
Permukiman.
(6) Pemeliharaan dan perbaikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, Badan
Hukum dan/atau setiap orang.
(7) Perbaikan oleh Pemerintah Daerah dilakukan terhadap
Rumah umum yang dinilai tidak layak huni dan bagi korban
bencana alam.
(8) Perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat
stimulant.
Bagian Kedua
Pemeliharaan
Pasal 36
(4) Pemeliharaan Rumah wajib dilakukan oleh setiap orang.
(5) Pemeliharaan Prasarana, Sarana dan Utilitas umum untuk
Perumahan, Permukiman, lingkungan hunian dan Kawasan
Permukiman dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Badan
hukum dan/atau setiap orang sesuai kewenangan masing-
masing.
(6) Pelaksanaan dan mekanisme pemeliharaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Perbaikan
Pasal 37
(4) Perbaikan Rumah dilakukan oleh setiap Orang.
(5) Perbaikan Prasarana, Sarana dan Utilitas umum untuk
Perumahan, Permukiman, lingkungan hunian dan Kawasan
Permukiman dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Badan
I - 220
Hukum dan/atau setiap Orang sesuai kewenangan masing-
masing.
(6) Pelaksanaan dan mekanis perbaikan Rumah dan Prasarana,
Sarana, atau Utilitas umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disesuaikan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB V
PENCEGAHAN DAN PENINGKATAN KUALITAS
PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH
Pasal 38
(4) Pencegahandan peningkatan kualitas terhadap Perumahan
Kumuh dan Permukiman Kumuh guna meningkatkan mutu
kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni
dilakukan untuk mencegah tumbuh dan berkembangnya
Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh baru serta
untuk menjaga dan meningkatkan kualitas dan fungsi
Perumahan dan Permukiman.
(5) Pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap Perumahan
Kumuh dan Permukiman Kumuh sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pada prinsip
kepastian bermukim yang menjamin hak setiap anggota
masyarakat untuk menempati, menikmati, dan/atau
memiliki tempat tinggal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(6) Pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap Perumahan
Kumuh dan Permukiman Kumuh sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Badan
Hukum dan/atau setiap Orang.
Pasal 39
(5) Pelaksanaan pencegahan dan peningkatan kualitas
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1),
dilakukan dengan konsep penataan Perumahan Kumuh dan
Permukiman Kumuh perkotaan serta peningkatan kualitas
Rumah dan Sarana dan Prasarana penunjang Permukiman
sesuai kewenangannya.
I - 221
(6) Pelaksanaan pencegahan dan peningkatan kualitas
lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat
stimulant.
(7) Dalam hal pelaksanaan pencegahan dan peningkatan
kualitas memerlukan penetapan lokasi, maka penetapan
lokasi Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh harus
memenuhi persyaratan:
a. kesesuaian dengan rencana tata ruang;
b. kesesuaian dengan rencana tata bangunan dan
lingkungan;
c. kondisi dan kualitas Prasarana, Sarana, dan Utilitas
umum yang memenuhi persyaratan dan tidak
membahayakan penghuni;
d. tingkat keteraturan dan kepadatan bangunan;
e. kualitas bangunan; dan
f. kondisi sosial ekonomi masyarakat.
(8) Pelaksanaan pencegahan dan peningkatan kualitas
Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh disesuaikan
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 40
(3) Penetapan lokasi Perumahan Kumuh dan Permukiman
Kumuh harus didahului proses pendataan yang dilakukan
oleh Pemerintah Daerah dengan melibatkan peran
masyarakat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendataan, peran
serta masyarakat dan penetapan lokasi sebagaimana
dimaksud pada ayat(1) diatur dalam Peraturan Bupati.
Pasal 41
(5) Penanganan peningkatan kualitas Perumahan Kumuh dan
Permukiman Kumuh dengan pola pemukiman kembali
dilakukan untuk mewujudkan kondisi rumah, Perumahan,
dan Permukiman yang lebih baik guna melindungi
keselamatan dan keamanan penghuni dan masyarakat.
(6) Pemukiman kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memindahkan masyarakat terdampak
dari lokasi yang tidak mungkin dibangun kembali karena
tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau rawan
I - 222
bencana serta dapat menimbulkan bahaya bagi barang
ataupun Orang.
(7) Pemukiman kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
(8) Lokasi yang akan ditentukan sebagai tempat untuk
Pemukiman kembali ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
dengan melibatkan peran masyarakat.
BAB VI
PENYEDIAAN TANAH
Pasal 42
(5) Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
bertanggungjawab atas ketersediaan tanah untuk
pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
(6) Ketersediaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk penetepannya dalam rencana tata ruang wilayah
merupakan tanggungjawab Pemerintah Daerah.
(7) Penyediaan tanah untuk pembangunan Perumahan dan
Kawasan Permukiman dapat dilakukan melalui:
a. pemberian hak atas tanah terhadap tanah yang langsung
dikuasai negara;
b. konsolidasi tanah oleh pemilik tanah;
c. peralihan atau pelepasan hak atas tanah oleh pemilik
tanah;
d. pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah barang milik
daerah sesuai ketentuan perundang-undangan;
e. pendayagunaan tanah Negara bekas tanah terlantar;
dan/atau
f. pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan
umum dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses dan tahapan
penyediaan tanah untuk pembangunan Rumah, Perumahan,
dan Kawasan Permukiman diatur dalam Peraturan Bupati.
BAB VII
PENDANAAN
I - 223
Pasal 43
Pendanaan dimaksudkan untuk memastikan ketersediaan dana
untuk pemenuhan kebutuhan Rumah umum, peningkatan
kualitas Rumah tidak layak huni, pemeliharaan dan perbaikan
Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan dan Permukiman
yang merupakan kewenangan dan tanggungjawab Pemerintah
Daerah.
Pasal 44
Dana untuk pemenuhan kebutuhan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jawa
Timur; dan/atau
c. Sumber dana lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 45
Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dimanfaatkan
untuk mendukung:
a. penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman
sesuai kewenangannya;
b. pemeliharaan dan perbaikan rumah tidak layak huni secara
stimulan;
c. peningkatan kualitas lingkungan dan Kawasan Permukiman;
d. pemenuhan kebutuhan rumah bagi MBR; dan
e. kepentingan lain dibidang Perumahan dan Kawasan
Permukiman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan termasuk tanggap darurat penyediaan Rumah bagi
korban bencana alam.
BAB VIII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 46
(6) Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman
dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan melibatkan peran
I - 224
masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(7) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memberikan masukan dalam:
a. penyusunan rencana pembangunan Perumahan dan
Kawasan Permukiman;
b. pelaksanaan pembangunan Perumahan dan Kawasan
Permukiman;
c. pemanfaatan Perumahan dan Kawasan Permukiman;
d. pemeliharaan dan perbaikan Perumahan dan Kawasan
Permukiman; dan/atau
e. pengendalian penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
(8) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf e dilakukan dengan membentuk forum pengembangan
Perumahan dan Kawasan Permukiman yang mempunyai
fungsi dan tugas sebagai berikut:
a. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat;
b. membahas dan merumuskan pemikiran arah
pengembangan penyelenggaraan Perumahan dan
Kawasan Permukiman;
c. meningkatkan peran dan pengawasan masyarakat;
d. memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah;
dan/atau
e. melakukan peran arbitrase dan mediasi dibidang
penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman;
dan
f. fungsi/tugas lain sesuai kebutuhan Daerah.
(9) Forum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terdiri dari
unsur:
a. OPD yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman;
b. asosiasi perusahaan penyelenggara Perumahan dan
kawasan Permukiman;
c. asosiasi profesi penyelenggara Perumahan dan Kawasan
Permukiman;
d. asosiasi perusahaan barang dan jasa mitra usaha
penyelenggara Perumahan dan Kawasan Permukiman;
dan/atau
I - 225
e. pakar di bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
(10) Lembaga swadaya masyarakat dan/atau yang mewakili
konsumen yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 47
(5) Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman menjadi tanggung jawab Bupati.
(6) Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman dilaksanakan secara berjenjang dari Bupati
kepada pemangku kepentingan.
(7) Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman dilakukan terhadap aspek:
e. perencanaan;
f. pengaturan;
g. pengendalian; dan
h. pengawasan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagai mana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Bupati.
Pasal 48
(1) Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
dilaksanakan dengan cara:
d. koordinasi;
e. sosialisasi peraturan perundang-undangan;
f. pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi;
g. pendidikan dan pelatihan;
h. penelitian dan pengembangan;
i. pendampingan dan pemberdayaan; dan/atau
j. pengembangan sistem layanan informasi dan
komunikasi.
I - 226
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Bupati.
Pasal 49
(3) Kewenangan Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 ayat (1) didelegasikan kepada OPD yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang Perumahan
dan Kawasan Permukiman.
(4) OPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyusun
pedoman teknis dan/atau pelaksanaan sebagai dasar
pelaksanaan pembinaan selain ketentuan yang tertuang
pada tugas, pokok dan fungsi.
BAB X
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 50
(5) Setiap orang, Badan Hukum dan/atau Badan Usaha Milik
Negara/Daerah yang menyelenggarakan Perumahan dan
Kawasan Permukiman yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), Pasal 7 ayat
(4), Pasal 8ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 14 ayat (3) huruf
a, Pasal 16 ayat (5), Pasal 23 ayat (4), Pasal 43 ayat (1) dan
Pasal 44 ayat (1) dikenakan sanksi berupa:
a. teguran atau peringatan tertulis;
b. penundaan perizinan/pekerjaan;
c. penghentian proses perizinan/pekerjaan;
d. pembatalan perizinan atau kebijakan Pemerintah Daerah
(insentif);
e. pencabutan perizinan;
f. pembongkaran; dan
g. perintah menghentikan, membangun, membongkar,
melengkapi, merevisi, menyempurnakan dan/atau
membangun kembali.
(6) Setiap orang, Badan Hukum dan/atau Badan Usaha Milik
Negara/Daerah yang melakukan pembangunan rumah,
Perumahan dan/atau Permukiman tidak pada peruntukan
I - 227
ruang yang ditetapkan dikenakan sanksi sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(7) Setiap pejabat yang dengan sengaja mengeluarkan izin
pembangunan rumah, Perumahan dan/atau Permukiman
yang tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukan
pemanfaatan ruang dikenai sanksi sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme
tahapan pemberian sanksi sebagaimana dimaksud ayat (1)
diatur dalam Peraturan Bupati.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 51
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, penggunaan
Rumah pada peruntukan ruang Perumahan yang berubah fungsi
di luar kriteria sebagaimana dimaksud Pasal 22, wajib mengurus
izin peruntukan ruang dan izin mendirikan bangunan sesuai
ketentuan paling lambat 12 (dua belas) bulan setelah Peraturan
Daerah ini ditetapkan atau dikenakan sanksi sesuai Peraturan
Daerah Kabupaten Tuban Nomor 16 Tahun 2014 tentang
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat (Lembaran
Daerah Kabupaten Tuban Tahun 2015 Seri E Nomor 09,
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Tuban Nomor 37.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 52
Peraturan Bupati sebagai pelaksanaan Peraturan Daerah ini
harus sudah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak
diundangkannya Peraturan Daerah ini.
Pasal 53
Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
I - 228
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Tuban.
Ditetapkan di Tuban
pada tanggal
BUPATI TUBAN,
H. FATHUL HUDA
Diundangkan di Tuban
pada tanggal
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN TUBAN,
BUDI WIYANA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TUBAN TAHUN SERI
NOMOR
NOREG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR
I - 229
RANCANGAN PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN
NOMOR.....TAHUN ....
TENTANG
PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN
PERMUKIMAN
I. UMUM
Penyelenggaraan pembangunan Perumahan dan Kawasan
Permukiman yang bertumpu pada masyarakat memberikan
hak dan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk
ikut berperan. Sejalan dengan peran masyarakat di dalam
pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman,
Pemerintah Daerah mempunyai tanggung jawab untuk menjadi
fasilitator, memberikan bantuan dan kemudahan kepada
masyarakat, serta melakukan penelitian dan pengembangan
yang meliputi berbagai aspek yang terkait, antara lain, tata
ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan dan
komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan,
kelembagaan, sumber daya manusia, kearifan lokal, serta
peraturan perundang-undangan yang mendukung. Peraturan
Daerah ini mempunyai maksud dan tujuanya untuk
mengarahkan pembangunan dan pengembangan Perumahan
dan Kawasan Permukiman di Kabupaten Tuban agar dapat
dilaksanakan sesuai arahan pola tata ruang, aksesibel,
berimbang dan sehat. Selain itu Peraturan Daerah ini
mempunyai sasaran menuju perumusan kebijakan pokok
pembangunan dan pengembangan Perumahan (vertikal
maupun horizontal) dan Kawasan Permukiman, mewujudkan
keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan Prasarana,
Sarana dan Utilitas antar Perumahan dan antar Kawasan
Permukiman, pengalokasian ruang untuk tipologi Perumahan
dan Kawasan Permukiman serta pengaturan kualitas Rumah
dan lingkungan Perumahan dalam koridor pemanfaatan ruang.
Adapun ruang lingkup dari Peraturan Daerah ini adalah
penyelenggaraan Perumahan, penyelenggaraan Kawasan
Permukiman, pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan
I - 230
peningkatan kualitas terhadap Perumahan Kumuh dan
Permukiman Kumuh, penyediaan tanah, pendanaan, peran
masyarakat dan pembinaan serta pengawasan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
yang dimaksud rencana tata ruang adalah tata ruang
nasional, tata ruang Provinsi Jawa Timur, dan tata
ruang Kabupaten Tuban
Pasal 4
Ayat (1)
cukup jelas
Ayat (2)
cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Rumah Tunggal”
adalah rumah yang mempunyai kaveling
sendiri dan salah satu dinding bangunan
tidak dibangun tepat pada batas kaveling.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Rumah Deret” adalah
beberapa rumah yang satu atau lebih dari sisi
bangunan menyatu dengan sisi satu atau
lebih bangunan lain atau rumah lain, tetapi
masingmasing mempunyai kaveling sendiri.
Huruf c
I - 231
Yang dimaksud dengan “Rumah Susun”
adalah bangunan gedung bertingkat yang
dibangun dalam suatu lingkungan yang
terbagi dalam bagian-bagian yang
distrukturkan secara fungsional, baik dalam
arah horizontal maupun vertikal, dan
merupakan satuan-satuan yang masing-
masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, terutama untuk tempat hunian,yang
dilengkapi dengan bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a.
Yang dimaksud dengan “perencanaan” adalah
kegiatan merencanakan kebutuhan ruang
untuk setiap unsur rumah dan kebutuhan
jenis prasarana yang melekat pada bangunan,
dan keterkaitan dengan rumah lain serta
prasarana di luar rumah.
Yang dimaksud dengan “perancangan” adalah
kegiatan merancang bentuk, ukuran, dan tata
letak, bahan bangunan,unsur Rumah, serta
perhitungan kekuatan konstruksi yang terdiri
atas pondasi, dinding, dan atap, serta
kebutuhan anggarannya.
Huruf b.
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan harus memiliki luasan paling
kurang 3.000 m2 (tiga ribu meter persegi) adalah
pemohon (pengembang) wajib memiliki luas lahan
minimal 3.000 m2 (lima ribu meter persegi) dalam
satu hamparan pada saat mengajukan permohonan
pengembangan Perumahan. Yang dimaksud dengan
I - 232
“enclave” adalah bidang tanah atau lahan yang
lokasinya berada diantara tanah atau lahan lain
(terkurung) dengan aksesibilitas minim bahkan tidak
memiliki aksesibilitas.
Ayat (4)
Perencanaan Rumah Susun mempedomani
ketentuan rencana tapak, ketentuan tata ruang dan
substansi dalam Pasal 14.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Rencana tapak (siteplan) Perumahan yang
meliputi rencana tata letak rumah dan
Prasarana, Sarana dan Utilitas umum beserta
komposisinya.
Huruf b
Desain rumah diarahkan kepada rumah tropis
sehingga dapat meminimalisir penggunaan
tenaga mekanik seperti Air Conditioning, kipas
angin, dll termasuk desain pagar.
Desain pagar untuk rumah tunggal/rumah
deret diwajibkan:
a. memiliki ketinggian paling tinggi 150 cm
(seratus lima puluh sentimeter) dan 300 cm
(tiga ratus sentimeter) untuk pagar/batas
belakang rumah terhitung dari muka tanah
(level 0+00); dan
b. dibuat curve pada sisi hook pada kaveling
yang berlokasi di persimpangan.
Huruf c
Diarahkan menggunakan bahan/material
ramah lingkungan dari sumber energi
terbarukan dan cepat dalam pembangunan
dengan tetap mengacu kepada standarisasi
pembangunan bangunan gedung.
Huruf d
Cukup jelas
I - 233
Huruf e
Rencana kerjasama merupakan konsep
kerjasama pembangunan Perumahan antara
lain berupa kerjasama pembiayaan,kerjasama
pembangunan, dan lain sebagainya
Huruf f
Nama Perumahan dan Perumahan tunggal
harus mencirikan lokasi pengembangan
sehingga mudah dituju dan mudah dikenali
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Rencana vegetasi adalah rencana penghijaun
Perumahan dengan kewajiban utama adalah
menanam 1 (satu) pohon kayu keras atau
pohon buah pada setiap unit rumah atau
sesuai ketentuan rencana tapak
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Penempatan septictank komunal diwajibkan
direncanakan sesuai ketentuan dan
penempatannya ditempatkan pada substruktur
ruang terbuka hijau/jalan/sarana parkir
dengan perhitungan konstruksi cukup.
Huruf d
Penempatan sumur resapan Perumahan
diwajibkan direncanakan sesuai ketentuan dan
penempatannya ditempatkan pada substruktur
ruang terbuka hijau atau prasarana jalan
dengan jumlah sesuai perhitungan teknis.
Huruf e
I - 234
Pengelolaan sampah lingkungan diwajibkan
direncanakan dengan konsep pengolahan yang
ramah lingkungan seperti reuse/re-duce/re-
cycle.
Huruf f
Yang dimaksud integrasi adalah bahwa setiap
perencanaan prasarana dan utilitas Perumahan
yang baru, diarahkan mengikuti perencanaan
Prasaranadan utilitas Perumahan/Permukiman
eksisting dengan prinsip keberlanjutan
prasarana dan utilitas terutama bagi
Perumahan kecil dan menengah.
Huruf g
Pemenuhan kebutuhan air bersih wajib
menggunakan layanan perusahaan air minum
pemerintah maupun swasta, kecuali belum
terdapat layanan dengan dibuktikan oleh
keterangan pengelola PAM.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Rumah sehat dan layak huni adalah Rumah
dengan fungsi memadai sebagai tempat
tinggaldan/atau hunian.
Huruf b
Diutamakan bagi pemenuhan kebutuhan
rumah bagi MBR dengan aksesibilitas yang
memadai.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Sumur resapan adalah lubang yang dibuat untuk
meresapkan air hujan ke dalam tanah dan atau
lapisan batuan pembawa air.
Ayat (3)
I - 235
Huruf a
Kebutuhan ruang (luas lantai minimum) per
orang dewasa adalah 9 m2 (sembilan meter
persegi) dengan asumsi penghuni berjumlah 4
(empat) orang atau catur warga.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (4)
Lahan kaveling yang teridentifikasi berasal dari satu
hamparan adalah manakala terdapat dokumen
kepemilikan dengan luasan besar dan disengaja
dibagi menjadi beberapa kaveling luasan kecil dengan
maksud untuk diperjual belikan dan dalam risalah
pemecahan dokumen kepemilikan tidak
mengalokasikan kebutuhan prasarana dasar
Perumahan yang memadai.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Perumahan adalah penyelenggaraan Perumahan
dengan jumlah paling sedikit 15 (lima belas) unit
sampai dengan1.000 (seribu) unit rumah.
Ayat (2)
Yang dimaksud Perumahan skala besar adalah
Permukiman dengan kriteria jumlah rumah paling
sedikit antara 1.000 (seribu) unit sampai dengan
3.000 (tiga ribu) unit rumah atau apabila
I - 236
dikonversikan dalam luas lahan paling kurang seluas
100.000 m2 (seratus ribu meter persegi).
Ayat (3)
Pembangunan rumah sederhana diarahkan
berbentuk Rumah Susun, dengan tujuan pemenuhan
kewajiban hunian berimbang tercapai termasuk
pemenuhan prasarana, sarana, dan utilitas
Perumahan.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud rumah tapak adalah rumah tunggal
dan/atau rumah deret yang dibangun secara
horizontal.
Ayat (3)
Huruf a
Kewajiban 20% (dua puluh perseratus) dapat
dialokasikan dalam satu gedung yang sama
dengan rusun komersial atau dibangun
terpisah dari Rumah Susun komersial tetapi
masih dalam satu hamparan.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Lokasi rusunami/rusunawa komersial/umum
harus pada Ruang Milik Jalan (RMJ) rencana
20 m (dua puluh meter) dimaksudkan karena
kesiapan infrastruktur pada Ruang Milik Jalan
(RMJ) rencana 20 m (dua puluh meter) dinilai
cukup memadai untuk menunjang bangkitan
volume kendaraan/bangkitan lalu lintas.
Huruf b
I - 237
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan jalan utama terdekat
adalah jalan yang memiliki kapasitas sebagai jalan
utama dengan Ruang Milik Jalan (RMJ) rencana
jalan utama lebih besar dari Ruang Mi l ik Jalan
(RMJ) rencana jalan yang menjadi lokasi
dibangunnya Rumah Susun.
Yang dimaksud rencana orientasi pencapaian
adalah rencana BadanHukum yang
diusulkan/diarahkan dalam kajianan alisis dampak
lalulintas mengenai aksesibilitas utama menuju dan
keluar tapak rusun.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Pengadaan merupakan kegiatan pengadaan
dan pembangunan akses menuju dan keluar
Perumahan dari jalan utama terdekat.
Huruf b
Pelebaran merupakan kegiatan melebarkan
jalan (poros/desa/lingkungan) yang digunakan
sebagai akses menuju dan keluar Perumahan
tetapi dimensi, geometrik dan daya dukung
jalan tidak memadai.
Huruf c
Peningkatan merupakan kegiatan
meningkatkan kualitas jalan
(negara/provinsi/kota/poros/desa/
lingkungan) yang digunakan sebagai akses
menuju dan keluar Perumahan.
Ayat (3)
Proses pembangunan konstruksi jalan mengacu
kepada ketentuan
I - 238
pembangunan jalan dengan lebar minimum 6 m
(enam meter)
dan/atau sesuai kajian analisis lalu lintas dengan
proses penyediaan tanah yang mengacu kepada
ketentuan pengadaan tanah.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Dalam hal untuk menata lingkungan Perumahan,
maka setiap orang/BadanHukum/Pemerintah
Daerah hanya dapat membangun sebatas persil
tanah yang dimiliki dengan tetap memperhitungkan
ketentuan tata ruang.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penunjukan Badan Hukum mengacu kepada
peraturan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan “hal yang
diperjanjikan” adalah kondisi rumahyang
I - 239
dibangun dan dijual kepada konsumen, yang
dipasarkan melalui media promosi, meliputi
lokasi rumah,kondisi tanah/kaveling, bentuk
rumah, spesifikasi bangunan,harga rumah,
prasarana, sarana, dana utilitas umum
Perumahan, fasilitas lain, waktu serah terima
rumah, serta penyelesaian sengketa.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan “keterbangunan
Perumahan paling sedikit 20% (dua puluh
perseratus)” adalah hal telah terbangunnya
rumah paling sedikit 20% (dua puluh
perseratus) dari seluruh jumlah unit rumah
serta ketersediaan prasarana,sarana, dan
utilitas umum dalam suatu Perumahan yang
direncanakan.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan kemudahan dan
keserasian hubungan dalam kegiatan sehari-
hari kesesuaian antara kapasitas pelayanan
dan jumlah rumah adalah penempatan sarana
yang aksesibel oleh setiap penghuni
Perumahan dengan komposisi perhitungan
yang proporsional berdasarkan skala
pelayanan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
I - 240
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan“usaha secara terbatas”
adalah kegiatan usaha yang diperkenankan dapat
dikerjakan di rumah untuk mendukung
terlaksananya fungsi hunian. Yang dimaksud dengan
“kegiatan usaha yang tidak membahayakan fungsi
hunian” adalah kegiatan usaha yang tidak
menimbulkan pencemaran lingkungan dan bencana
yang dapat mengganggu dan menyebabkan kerugian.
Yang dimaksud dengan “kegiatan yang tidak
mengganggu fungsi hunian” adalah kegiatan yang
tidak menimbulkan penurunan kenyamanan hunian
dari penciuman, suara, suhu/asap, sampah yang
ditimbulkan dan sosial.
Ayat (2)
Kegiatan usaha secara terbatas pada rumah dengan
peruntukan Perumahan dibatasi dengan formula
prosentase luasan ruang usaha berbanding dengan
luasan ruang rumah yang diijinkan. (ruang
usaha=Σluas ruang usaha:Σ luasRumah sesuai IMB).
Ayat (3)
Huruf a
Antara lain pengacara, konsultan perencana,
dokter, bidan,akuntan, notaris, ahli
pengobatan tradisional, seniman dan keahlian
lainnya.
Huruf b
Antara lain warung kelontong dan usaha retail
yang bersifat consumer good lainnya.
Huruf c
Antara lain salon, taylor dan usaha pelayanan
lingkungan lainnya.
Huruf d
Antara lain PAUD dan lain sebagainya.
I - 241
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keberlanjutan” yaitu
Pemerintah Daerah menjamin keberadaan prasarana,
sarana, dan utilitas sesuai dengan fungsi dan
peruntukannya.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud “Keseluruhan“ adalah
penyerahan Prasarana,Sarana dan Utilitas
(PSU) oleh Badan Hukum ke Pemerintah
Daerah terhadap seluruh PSU sesuai rencana
tapak baik atas prakarsa Badan Hukum atau
Pemerintah Daerah.
Huruf b
Yang dimaksud “parsial” adalah penyerahan
Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU)
olehBadan Hukum ke Pemerintah Daerah
secara bertahap sesuai pengembangannya
terhadap seluruh kewajiban PSU sesuai
rencana tapak baik atas prakarsa Badan
Hukum atau Pemerintah Daerah.
Huruf c
Yang dimaksud “diluar kawasan
pengembangan” adalah proses penyerahan
rasarana, Sarana dan Utilitas (PSU) oleh
Badan Hukum ke Pemerintah Daerah akibat
dari adanya permohonan dari Pemerintah
Daerah maupun masyarakat dan tidak masuk
dalam rencana tapak Perumahan.
Huruf d
I - 242
Yang dimaksud dengan “sepihak tanpa
pengembang” adalah proses pengambilalihan
Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU) pada
Perumahan yang sudah ditinggalkan oleh
pengembang dengan berdasarkan kepada
rencana tapak terakhir dan persetujuan
penghunidan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pembangunan kembali
lingkungan hunian perkotaan” adalah upaya
mengembalikan atau memulihkan kondisi fisik dan
non fisik kawasan perkotaan agar dapat berfungsi
kembali sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah
pembangunan kembali lingkungan hunian
perkotaan melalui perbaikan rumah dan
prasarana, sarana, dan utilitas umum untuk
memulihkan fungsi hunian secara wajar
sampai tingkat yang memadai.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “rekonstruksi” adalah
pembangunan kembali Lingkungan Hunian
perkotaan melalui perbaikan rumah dan
prasarana, sarana, dan utilitas umum dengan
sasaran utama menumbuh kembangkan
kegiatan perekonomian, sosial,dan budaya.
Huruf c
I - 243
Yang dimaksud dengan “peremajaan” adalah
pembangunan kembali Perumahan dan
Permukiman yang dilakukan melalui
penataan secara menyeluruh meliputi rumah,
sarana, dan utilitas umum Perumahan dan
Permukiman.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tetap melindungi masyarakat
penghuni dilokasi yang sama” bertujuan untuk
memberikan jaminan hak bermukim dengan tanpa
menggusur penghuni lama.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penunjukan Badan Hukum mengikuti ketentuan
pengadaan barang/jasa pemerintah atau sesuai
ketentuan lain.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Prasarana, sarana, dan utilitas umum pada
Perumahan yang belum diserahkan kepada
pemerintah daerah, pengelolaannya masih menjadi
kewenangan dan tanggungjawab Badan hukum.
Ayat (3)
I - 244
Kriteria rumah tidak layak huni menyesuaikan
dengan kriteria yang ditetapkan oleh Bupati.
Ayat (4)
Yang dimaksud “stimulant” adalah “perangsang” bagi
warga masyarakat di Daerah sehingga dapat memiliki
rumah sederhana sehat dan layak huni serta
disesuaikan dengan urgensi/prioritas dan/atau
program Pemerintah Daerah.
Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud “Setiap Orang” dalam Pasal 42 ayat
(1)adalah pemilik dan/atau penghuni rumah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud “Setiap Orang” adalah Pemilik
dan/atau penghuni rumah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1)
Proses dan tahapan penetapan dilakukan oleh
Organisasi Perangkat Daerah yang membidangi
urusan penataan ruang, urusan Perumahan dan
Permukiman dengan mengacu kepada kriteria kumuh
yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah terkait
atau sesuai ketetapan Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 41
I - 245
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Dana untuk tanggap darurat dapat dialokasikan
pada SKPD yang menangani tanggap darurat
bencana dan/atau diambil dari dana tidak tersangka
pada APBD yang pelaksanaannya melibatkan SKPD
teknis yang menangani bangunan dan
Perumahan/Permukiman.
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud Pembinaan Penyelenggaraan
Perumahan dan Kawasan Permukiman adalah
upaya yang dilakukan oleh Bupati sesuai dengan
kewenangannya, untuk mewujudkan tercapainya
tujuan penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
I - 246
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Huruf a
Dalam rangka penataan dan tertib lingkungan dan
rumah tinggal pada zonasi peruntukan Perumahan
yang teridentifikasi berubah fungsi tanpa izin, setiap
orang/Badan Hukum yang bersangkutan wajib
mengurus izin peruntukan dan izin pembangunan
sesuai ketentuan.
Huruf b
Pengembang yang telah melakukan serah terima
fasilitas umum/fasilitas sosial kepada Pemerintah
Daerah sebelum Peraturan Daerah ini berlaku tetapi
belum disertai dokumen kepemilikan tanah dan surat
pelepasan hak, maka wajib menyerahkan dokumen
kepemilikan tanah serta surat pelepasan hak, atau
kewajiban Pemerintah Daerah untuk memelihara
jalan, saluran, Penerangan Jalan Umum (PJU)
termasuk pembiayaannya akan kembali menjadi
tanggungjawab pengembang termasuk pembayaran
rekening PJU dan Pajak Bumi atas tanah Prasarana
dan Sarana.
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR
.....