ramadhanita mustika sari nim. 09.2.00.1.09.01.0020 …

120
RAMADHANITA MUSTIKA SARI NIM. 09.2.00.1.09.01.0020 JARING PENGAMAN PENCEGAHAN KONFLIK: KASUS MASYARAKAT OKU TIMUR Tesis Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister di Bidang Kajian Islam SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011

Upload: others

Post on 21-Nov-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

RAMADHANITA MUSTIKA SARI

NIM. 09.2.00.1.09.01.0020

JARING PENGAMAN PENCEGAHAN KONFLIK:

KASUS MASYARAKAT OKU TIMUR

Tesis

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Magister di Bidang Kajian Islam

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011

1

KATA PENGANTAR

Persoalan konflik merupakan problem besar yang mengarah

kepada kehancuran dan disintegrasi bangsa. Hal tersebut nampak dari

berbagai kasus yang terjadi di Indonesia. Provinsi Sumatera Selatan

sebagai salah satu wilayah rentan konflik, namun tetap aman dan tidak

terprovokasi dengan berbagai persoalan konflik di provinsi-provinsi

tetangga. Asumsi dasar yang dikembangkan karena adanya jaring

pengaman pencegahan konflik, asumsi itu perlu dikaji lebih mendalam.

Asumsi yang berkembang bahwa masyarakat OKU Timur

memiliki jaring pengaman agama yang berpijak pada nilai-nilai sebiduk sehaluan yang menjadi motto kabupaten tersebut. Namun demikian,

asumsi tersebut perlu dikaji tingkat efektifitasnya. Tinjuan ini juga

terkait dengan masih adanya informasi yang berhubungan dengan

ketimpangan pemberlakuan terhadap suku atas suku lain, termasuk

ketidakadilan dalam menerima bantuan dana keagamaan satu agama

dengan agama lain, Selain itu juga, penerimaan intervensi terhadap

tradisi dan keyakinan keagamaan, yang dapat menimbulkan gesekan-

gesekan, sekalipun di tempat ini belum pernah berkembang menjadi

konflik kekerasan. Kekerasan sosial, sebagai akibat dari kesenjangan

sosial maupun sikap budaya. Adanya kesenjangan kesejahteraan sosial

penduduk dalam bidang ekonomi antara penduduk pendatang yang

dominan kaya dengan penduduk primbumi yang pada umumnya

tergolong miskin, yakni antara orang Bali yang secara ekonomi lebih

sukses dibandingkan orang Komering dan orang Jawa. Yang sebagian

menyebut sebagai salah satu bentuk benih-benih konflik. Dari hal-hal

tersebut maka penelitian yang berjudul Jaring Pengaman Pencegahan Konflik: Masyarakat Oku Timur menarik untuk dikaji.

Secara umum dapat diuraikan isi buku yang ada di hadapan

pembaca ini dibagi ke dalam lima bab. BAB I Pendahuluan. Bab ini

memuat latar belakang masalah, permasalahan, tujuan dan manfaat

penelitian, riset terdahulu, metodologi penelitian, dan diakhiri dengan

sistematika pembahasan. BAB II merupakan landasan teori dalam

penelitian ini, yang mengkaji mengenai karakteristik konflik, teoritisasi

penyebab konflik, dan pendekatan dalam upaya pencegahan konflik.

Untuk kemudian dikaji lebih lanjut mengenai teorisasi jaring pengaman

pencegahan konflik. BAB III membahas kebijakan pemerintah dalam

upaya mencegah konflik. Sedangkan, BAB IV mengkaji mengenai peran

2

dan fungsi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam

pencegahan konflik. BAB V merupakan penutup, yang terdiri dari

kesimpulan dan implementasi penelitian.

Selesainnya buku ini tentu saja tidak terlepas dari bantuan

banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan kepada semua

pihak yang telah membantu proses penulisan hingga selesainya buku ini.

Pertama penulis mengucapkan terima kasih kepada DR. Sudarnoto

Abdul Hakim, MA selaku pembimbing, melalui bimbingan dan

arahannya yang telaten dan teliti penulis menuntaskan buku ini.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. DR.

Azyumardi Azra, MA Direktur Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Prof. DR. Suwito, MA, DR. Fuad Jabali, dan DR.

Yusuf Rahman yang telah memberikan ide, masukan, dan juga saran

yang membangun dan sangat berguna.

Penulis mengucapkan banyak terima kepada Pak Heri Junaidi,

Ibu Syefriyeni, Pak Idzam Fautanu, Pak Jhon Supriyanto, Pak

Syarifuddin, Pak Maryuzi, Pak Kusnadi, Pak Abdul Hadi\\ serta bapak-

bapak yang ada di IMPASS (Ikatan Mahasiswa Sumatera Selatan), juga

kepada dosen-dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang

atas bantuan, doa dan motivasinya yang sangat membantu proses

penyelesaian studi S2 di Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Bupati

OKU Timur serta segenap jajarannya, juga kepada Tri Kartika Sari dan

Yan Safari. Terima kasih banyak atas semua bantuannya selama proses

pengumpulan data di Kabupaten OKU Timur.

Lebih lanjut penulis persembahkan karya ini kepada ayahanda

Mustopa Usman, dan Ibunda Sofiah Suhaimi, juga yunda Agusliana,

kanda Agustiansyah, serta Adinda Ari Kurniawan yang terus

mensupport baik baik materil maupun non materil. Terima kasih banyak

atas pengorbanan yang telah diberikan selama ini.

Kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu

persatu, yang telah memberikan saran, kritik, dan bantuan hingga

selesainya penulisan buku ini diucapkan terima kasih. Semoga Allah

SWT membalasnya sebagai amal ibadah. Semoga bermanfa’at. Amin.

Jakarta, Mei 2011

Penulis,

Ramadhanita Mustika Sari

3

TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA

A. Huruf Konsonan

q = ق z = ز ' = أ

k = ك s = س b = ب

l = ل sh = ش t = ت

m = م {s = ص th = ث

n = ن }d = ض j = ج

w = و {t = ط }h = ح

h = ه {z = ظ kh = خ

= ء ‘ = ع d = د

y = ي gh = غ dh = ذ

f = ف r = ر

B. Huruf Vokal

Vokal Tunggal: a = ´ ; i = ; u =

Vokal Panjang: a< = ا ; i> = ي ; ū = و

Vokal Rangkap: ay = ا ي ; aw = ا و

4

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ─ v

TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA ─ ix

DAFTAR ISI ─ x

BAB I

PENDAHULUAN ─ 1

BAB II

PENCEGAHAN KONFLIK DALAM PERSPEKTIF ─ 14

A. Karakteristik Konflik ─ 14

B. Teoritisasi Penyebab Konflik ─ 27

C. Pendekatan dalam Upaya Pencegahan Konflik ─ 33

D. Jaring Pengaman Pencegahan Konflik ─ 42

BAB III

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM UPAYA

MENCEGAH KONFLIK ─ 45

A. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Keadilan dan

Kesejahteraan Umat ─ 45

B. Perbaikan di Bidang Sosial Ekonomi ─ 60

BAB IV

PERAN DAN FUNGSI FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

(FKUB) DALAM PENCEGAHAN KONFLIK ─ 68

A. Dinamika Kehidupan Umat Beragama di

Kabupaten OKU Timur ─ 68

B. Wewenang dan Tanggung Jawab FKUB ─ 81

C. Agenda Kegiatan FKUB dalam Menciptakan

Kerukunan Umat Beragama ─ 84

5

D. Kerjasama Pemerintah Kabupaten OKU Timur

dengan Pemuka Agama, serta Masyarakat OKU Timur

dalam Upaya Mencegah Konflik ─ 88

BAB V

PENUTUP ─ 99

A. Kesimpulan ─ 99

B. Implementasi Penelitian ─ 100

DAFTAR PUSTAKA ─ 101

INDEKS ─ 113

GLOSARI ─ 115

BIODATA DIRI ─ 118

6

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Persoalan konflik merupakan problem besar yang mengarah

kepada kehancuran dan disintegrasi bangsa. Hal tersebut nampak dari

berbagai kasus yang terjadi diberbagai provinsi yang ada di Indonesia,

misalnya konflik yang terjadi di Aceh (1976-2005),1 Papua (1965-

2000),2 Poso (1998-2001),

3 Tasikmalaya (1996),

4 Sampit

5 (Kalimantan

Tengah) tahun 1997-2001, Sambas (Kalimantan Barat) tahun 1999-

2001,6 Ambon (1999-2002)

7.

Provinsi Sumatera Selatan sebagai salah satu wilayah rentan

konflik,8 namun tetap aman dan tidak terprovokasi dengan berbagai

1Untuk lebih jelasnya lihat Syamsul Hadi dan Andi Widjajanto, eds.

Disintegrasi Pasca Orde Baru: Konflik Lokal dan Dinamika Internasional (Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2007), 92-93. 2Syamsul Hadi dan Andi Widjajanto, eds. Disintegrasi Pasca Orde Baru:

Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, 100-117. 3Endang Kironosasi, dkk., ‚Deskripsi Penelitian Wilayah Poso,‚ dalam

Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air, Rusmin Tumanggor, eds. (Jakarta: Lemlit & PM UIN Syahid Bekerjasama dengan

Balitbangsos Depsos RI, 2004), 129-176.

4Toriq Hadad, Amarah Tasikmalaya: Konflik di Basis Islam (Jakarta: ISAI,

1998), 9-28. 5Syamir Salam dan Badri Yatim, ‚Deskripsi Penelitian Wilayah Sampit,‚

dalam Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air, Rusmin Tumanggor, eds., 85-126.

6Lihat Stanley, eds. Konflik Etnis di Sambas (Jakarta: IAIS, 2000), 120-124.

Lihat juga Hamdani Anwar dan Amsal Bakhtiar, ’’Deskripsi Penelitian Wilayah

Sambas,‚ dalam Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air, Rusmin Tumanggor, eds., 35-80.

7Syamsul Hadi dan Andi Widjajanto, eds. Disintegrasi Pasca Orde Baru:

Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, 157-174. Untuk mengetahui lebih jelas

bagaimana deskripsi wilayah Ambon, Lihat Imam Soeyoeti, ‛Deskripsi Penelitian

Wilayah Ambon,‚ dalam Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air, Rusmin Tumanggor, eds., 177-220. Lihat juga

Eriyanto, Media dan Konflik Ambon: Media, Berita dan Kerusuhan Komunal di Ambon 1999-2002 (Jakarta: Penerbit Kantor Berita Radio 68 H, 2003), dalam kata

pengantar. 8Sumatera Selatan mempunyai 22 suku, antara lain suku Komering,

Palembang, Pasemah, Semendo, Ranau, Ogan, Kisam, Lematang, Renjang, Rawas,

7

persoalan konflik di provinsi-provinsi tetangga. Berdasarkan hasil studi

terdahulu diketahui wilayah Sumatera Selatan yang memiliki

masyarakat multikultural, multi-etnik dan multi-religius adalah

Kabupaten OKU Timur. Indikator yang menjadi dasar adalah Pertama,

Kabupaten ini memiliki penduduk yang berjumlah 620.862 jiwa, dengan

mayoritas penduduk beragama Islam (588.213 jiwa), mayoritas kedua

beragama Hindu (12.901 jiwa), sisanya Kristen (11.745 jiwa) Katolik

(7.157 jiwa), Budha (846 jiwa).9 Kedua, penduduk di Kabupaten OKU

Timur terdiri dari berbagai suku dan etnis. Berdasarkan data dari

Pemerintah Kabupaten OKU Timur suku yang berada di wilayah

tersebut meliputi suku Bali (24%), suku komering (22%), suku Jawa

(19%), suku Padang (14%), Suku Batak (12%), suku Palembang (9%).

Sedangkan etnis yang berada di wilayah dikenal dengan sebiduk sehaluan tersebut terdiri dari etnis Basemah yang berasal dari

Kabupaten Lahat (termasuk Kabupaten Empat Lawang) dan Kota Pagar

Alam, Kisam (Kabupaten OKU Selatan), Kedurang (Kabupaten

Bengkulu Selatan), Padang Guci dan Kinal (Kabupaten Kaur). Pasemah

(Besemah) bersama-sama dengan Rejang, Empat Lawang, Kikim dan

Kisam serta beberapa daerah yang terletak antara Lampung dan

Palembang iliran, Etnis India, Etnis China, dan Etnis Arab.10

Berdasarkan data tersebut memperlihatkan bahwa wilayah OKU

Timur yang rentan terhadap konflik, namun tetap aman di tengah-tengah

wilayah lain di Indonesia yang bergejolak. Asumsi yang berkembang

bahwa masyarakat OKU Timur memiliki jaring pengaman agama yang

berpijak pada nilai-nilai sebiduk sehaluan yang menjadi motto

kabupaten tersebut. Namun demikian, asumsi tersebut perlu dikaji

tingkat efektifitasnya. Tinjuan ini juga terkait dengan masih adanya

informasi yang berhubungan dengan ketimpangan pemberlakuan

terhadap suku atas suku lain, termasuk ketidakadilan dalam menerima

bantuan dana keagamaan satu agama dengan agama lain, Selain itu juga,

penerimaan intervensi terhadap tradisi dan keyakinan keagamaan, yang

dapat menimbulkan gesekan-gesekan, sekalipun di tempat ini belum

pernah berkembang menjadi konflik kekerasan. Kekerasan sosial,

sebagai akibat dari kesenjangan sosial maupun sikap budaya. Adanya

Kubu. Selain itu juga ada etnis Cina, India, Arab, dan Melayu. Sumber: Depdikbud

Ditjen. Kebudayaan, Peta Suku Bangsa di Pulau Sumatera, Direktorat Jarahnita Subdit

Lingkungan Budaya, 1989, 34. 9Sumber: Arsip Departemen Agama Kabupaten OKU Timur, 2010.

10Sumber: www. bappedaokutimurkab.go.id di akses tanggal 10 Januari

2010.

8

kesenjangan kesejahteraan sosial penduduk dalam bidang ekonomi

antara penduduk pendatang yang dominan kaya dengan penduduk

primbumi yang pada umumnya tergolong miskin, yakni antara orang

Bali yang secara ekonomi lebih sukses dibandingkan orang Komering

dan orang Jawa. Yang sebagian menyebut sebagai salah satu bentuk

benih-benih konflik.11

Dari hal-hal tersebut maka penelitian yang

berjudul Jaring Pengaman Pencegahan Konflik: Masyarakat Oku Timur layak untuk diteliti.

Studi ini bermula dari keinginan memperoleh jawaban mengenai

upaya untuk mencegah terjadinya konflik di daerah yang memiliki

keragaman baik suku maupun agama, yang bila tidak disikapi secara

bijak dapat memunculkan konflik komunal Sehubungan dengan itu,

permasalahan yang ada dalam judul tersebut diidentifikasi sebagai

berikut.

Untuk mengamankan masyarakat pluralis yang rentan terjadinya

konflik dengan menggunakan jaring pengaman masyarakat dapat dikaji

dari berbagai aspek, yakni Pertama, aspek ekonomi, dengan melakukan

upaya-upaya yang dapat mensejahterakan masyarakat, seperti

pemberdayaan masyarakat berbasis keadilan dan kesejahteraan umat,

dengan memberlakukan JPS (Jaring Pengaman Sosial), memberikan

bantuan bagi keluarga yang kurang mampu, mengadakan pelatihan-

pelatihan kepada masyarakat yang tidak mempunyai pekerjaan sehingga

ia mempunyai keterampilan yang dapat menghasilkan uang. Kedua,

aspek normatif (dokrin agama), yakni upaya memberikan kesadaran dan

pemahaman yang baik mengenai pentingnya untuk hidup damai dan

rukun, salah satu caranya dengan mengadakan kegiatan pengajian yang

materinya seputar pentingnya menciptakan dan memelihara kerukunan

dan keharmonisan hidup beragama (pengajian agama berbasis

pluralitas), peran serta dan kearifan pemuka agama untuk tidak

melakukan dakwah standar ganda dalam masyarakat majemuk. Ketiga,

aspek politik dan hukum, yakni dengan memberlakukan sangsi yang

tegas dan mengamankan siapa saja yang berbuat sesuatu hal yang dapat

menyebabkan terjadinya konflik.

Artinya, untuk mencegah agar tidak terjadinya konflik yang

perlu diperhatikan, yakni bagaimana kondisi sosial masyarakat itu,

seperti keadaan ekonomi, situasi politik, sosial budaya, dll. Disinilah

dituntut sejauh mana peran pemerintah dalam menyelesaikan masalah-

11

Berdasarkan observasi dan pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti

dalam studi pendahuluan di Kabupaten OKU Timur, Bulan Januari 2010.

9

masalah yang ada. Disamping itu, pemerintah juga perlu bekerja sama

dengan semua pihak yang terkait, antara lain dengan pemuka agama,

agamawan dan para cendikiawan teologis. Dalam hal ini juga, banyak

sudut pandang dan ilmu yang dapat dipakai dalam mengkaji masalah

tersebut, antara lain: ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu sosiologi, ilmu

psikologi, dll.

Melihat begitu kompleksnya masalah yang dihadapi dalam upaya

mencegah agar konflik komunal tidak terjadi, diperlukan ilmu

pengetahuan yang kompeten dan dapat diharapkan sanggup

memecahkan masalah ini dengan wajar. Teknologi, teologi, ilmu

ekonomi, ilmu politik, ilmu antropologi budaya, ilmu hukum harus bisa

disinerjikan dan dikolaborasikan dengan efektif. Karena teologi saja

misalnya, tidak dapat diharapkan mampu memecahkan persoalan,

apalagi teologi yang masih berpegang pada pola tradisional dan biasanya

kurang menguasai pengetahuan sosiologis. Munculnya usaha

pengembangan ke arah teoritis dan praktis dalam teologi seperti teologi

sosial, teologi bisnis, dewasa ini sesungguhnya merupakan jawaban dari

kesempitan makna teologi yang sampai sekarang ini dianut oleh

mayoritas muslim di Indonesia. Dari teknologi pun juga belum cukup,

karena teknik pembangunan dari sarana-sarana fisik adalah lain dari

teknik menangani masalah sosial. Masyarakat tidak dapat digerakkan

dalam pembangunan ini dengan hanya ditawari teknologi-teknologi

canggih melainkan perlu teknik-teknik penyadaran akan perlunya

kehidupan yang lebih baik. Untuk itu butuh juga ilmu-ilmu, misalnya

psikologi atau sosiologi umum.

Penelitian yang berjudul Jaring Pengaman Pencegahan Konflik: Masyarakat Oku Timur ini memfokuskan diri pada upaya pencegahan

konflik melalui pendekatan sosial umat beragama, yakni mencegah

terjadinya konflik dengan mengkaji masalah-masalah yang terjadi antar

umat beragama ditinjau dari sosial kemasyarakatan, dengan

menggunakan jaring pengaman pencegahan konflik, dengan studi kasus

pada masyarakat Kabupaten OKU Timur Provinsi Sumatera Selatan.

Unsur-unsur yang ada dalam jaring pengaman ini adalah: Pertama, peran

pemerintah Kabupaten OKU Timur dan pemuka agama dalam jaring

pengaman pencegahan konflik. Kedua, fungsi Forum Kerukunan Umat

Beragama (FKUB) dalam upaya pencegahan konflik. Ketiga, kegiatan

sosial kemasyarakatan sebagai wujud dari adanya keharmonisan di

Kabupaten OKU Timur, yakni gotong royong; kerja sama dalam bidang

sosial, ekonomi, dan politik; serta bakti sosial.

10

Sesuai dengan pembatasan yang telah ditentukan, maka rumusan

masalah penelitian ini, yakni apakah jaring pengaman pencegahan

konflik dapat menjadi salah satu strategi yang efektif untuk mencegah

terjadinya konflik pada masyarakat Kabupaten OKU Timur Sumatera

Selatan ? Dari rumusan masalah ini kemudian muncul pertanyaan-

pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana peran dan kerjasama pemerintah Kabupaten OKU Timur

dengan pemuka agama dalam jaring pengaman pencegahan konflik

pada masyarakat Kabupaten OKU Timur?

b. Bagaimana fungsi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)

Kabupaten OKU Timur dalam upaya pencegahan konflik di

Kabupaten OKU Timur?

c. Bagaimana fungsi kegiatan sosial kemasyarakatan (gotong royong,

kerja sama dan bakti sosial) dalam upaya pencegahan konflik di

Kabupaten OKU Timur?

Tujuan diadakan penelitian ini, yaitu untuk mengkaji bagaimana

peran dan kerjasama pemerintah Kabupaten OKU Timur dengan pemuka

agama dalam jaring pengaman pencegahan konflik pada masyarakat

Kabupaten OKU Timur; memaparkan bagaimana fungsi Forum

Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten OKU Timur dalam

upaya pencegahan konflik di Kabupaten OKU Timur; serta untuk

memperoleh gambaran bagaimana fungsi kegiatan sosial

kemasyarakatan (gotong royong, kerja sama dan bakti sosial) dalam

upaya pencegahan konflik di Kabupaten OKU Timur.

Manfaat penelitian ini adalah dapat menjadi salah satu strategi

dalam meminimalisir dan mencegah terjadinya konflik umat beragama

di Indonesia umumnya, dan di Kabupaten OKU Timur Sumatera Selatan

khususnya. Serta diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi bagi

pemerintah dalam membuat kebijakan mengenai kerukunan umat

beragama.

Kajian Teoritis

Dalam rangka penelitian tentang jaring pengaman pencegahan

konflik lebih dahulu perlu dilakukan tinjauan dan kajian pustaka yang

dipandang relevan dengan pokok bahasan. Sepanjang pengetahuan

peneliti, sampai saat ini sudah ada karya ilmiah yang ditulis mengenai

konflik, baik resolusi konflik maupun upaya pencegahan konflik, antara

lain: Arifin Assegaf dalam penelitiannya ‛Memahami Sumber Konflik

Antar Iman‛, menyatakan bahwa sikap inklusif dalam beragama dapat

11

menjadi salah satu upaya untuk mencegah konflik.12

Sedangkan menurut

Mark Juergensmeyer dalam penelitian yang berjudul Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, bahwa cara efektif

untuk mencegah terjadinya konflik melalui pendekatan yang lebih

menekankan peran sentral agama bagi tegaknya tatanan publik dan

terpeliharanya rasa aman masyarakat, yang hanya akan terwujud

manakala tidak mencampuradukkan agama dengan politik. 13

Hal senada

juga diungkapkan oleh Reynal Querol.14

Menurut Frances Stewart dalam penelitiannya yang berjudul ‛Sebab-Sebab Dasar Sosial Ekonomi dan Konflik Politik, dengan

Kekerasan‛ menyatakan bahwa konflik dapat terjadi karena adanya

ketidakrelasian antar pemeluk agama yang disebabkan oleh monopoli

kekuasaan politik satu kelompok atau kelompok lainnya yang

menimbulkan kesenjangan-kesenjangan sosial. Oleh karenanya,

perbaikan di bidang sosial ekonomi dan sosial politik dapat menjadi

salah satu langkah problem solving dalam resolusi konflik.15

Hal senada

juga diungkapkan oleh Leo Suryadinata.16

Sedangkan menurut Marc

12

Arifin Assegaf, ‚Memahami Sumber Konflik Antar Iman,‛ dalam

Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Th. Sumartana, eds.

(Yogyakarta: Institut Dian/Interfidei, 2001), 34-37. 13

Mark Juergensmeyer, Terror in the Mind of God: the Global Rise of Religious Violence, 326.

14Reynal Querol dalam analisisnya mengenai etnisitas, sistem politik dan

perang sipil menyatakan bahwa perbedaan agama menjadi faktor yang sangat kuat

dalam memunculkan konflik yang dahsyat dibandingkan konflik perebutan sumber-

sumber ekonomi, ataupun perbedaan bahasa. Menurut Reynal Querol faktor agama

menjadi lebih berpotensi menimbulkan konflik dibandingkan faktor sosial lainnya, hal

ini dikarenakan: Pertama, faktor eksklusifitas agama itu sendiri. Agama dapat

dijadikan sebagai identitas yang secara mutlak akan membedakan seseorang dengan

lainnya. Kedua, perbedaan agama yang didukung oleh perbedaan peradaban cenderung

memberikan perbedaan pemahaman dalam melihat fenomena realitas, hubungan sosial,

dll. Meskipun kelompok memiliki perbedaan bahasa, namun mereka cenderung

memiliki cara pandang dan pemahaman yang sama dalam melihat dunia jika seseorang

tersebut memiliki kesamaan peradaban. Hal ini akan menjadi lebih sulit bagi mereka

yang berbeda agama. Kajian selengkapnya lihat Reynal Querol, M. Ethnicity, Political System and Civil Wars (Bellaterra-Barcelona, Spain, Institute d’analisis Economic

(IAE), 2004), 2. 15

Frances Stewart, ‛Sebab-Sebab Dasar Sosial Ekonomi, Konflik Politik,

dengan Kekerasan,‛ dalam Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik, Helene Bouvier, eds., 186-209.

16Leo Suryadinata, ‛Aksi Anti Cina di Asia Tenggara: Upaya Mencari

Penyebab dan Pemecahan,‛ dalam Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik, Helene Bouvier, eds., 173-209.

12

Gaborieau dalam penelitiannya ‛Konflik Hindu-Muslim di India dalam

Perspektif Sejarah‛ menegaskan bahwa terjadinya konfik antar agama

lebih disebabkan oleh masalah politik, seperti dianalogikan kasus India

yang sejak kerusuhan Gujarattaun pada tahun 2002.17

Penelitian Imtiyaz Yusuf dan Lars Peter Schmidt yang berjudul

Understanding Conflict and Approaching Peace in Southern Thailand,

menyimpulkan bahwa penyebab konflik yang diisukan dengan SARA

(Suku Agama Ras) lebih disebabkan pada persaingan ekonomi.

Terutama adanya kecemburuan komunitas pribumi terhadap kemajuan

komunitas minoritas pendatang. Kasus Kalimantan (2000), Thailand dan

di Asia Tenggara menjadi salah satu contoh konflik lokal bernuansa

kecemburuan sosial ekonomi yang dikembangkan menjadi SARA. Oleh

karena itu untuk mencegah agar konflik seperti ini tidak terjadi yang

perlu diperhatikan, yakni meningkatkan kesejahteraan ekonomi

penduduk.18

Hal senada juga dinyatakan oleh Jeremy Black dalam

bukunya War and the New Disorder in the 21st Century .19

Karya M. Arfah Shiddiq dalam disertasinya yang berjudul ‛Konflik dan Konformitas antara Islam dan Kristen (Studi tentang

Hubungan antar Umat Beragama di Indonesia 1966-1992)‛. Disertasi ini

membahas mengenai faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antara

umat Islam dan Kristen di Indonesia dalam kurun waktu 1966-1992

adalah faktor doktrinal, konflik historis politis, isu Kristenisasi (kasus

Indonesia). Akan tetapi, jika di analisis secara mendalam faktor-faktor

tersebut, ternyata kesenjangan sosial-ekonomi dan perebutan kekuasaan

merupakan pemicu terjadinya konflik yang disertai kekerasan.

Disamping itu, menurut M. Arfah Shiddiq agama juga dapat dipandang

sebagai faktor konformitas, dalam melihat konformitas antara Islam dan

Kristen, ada beberapa faktor yang dapat dijadikan acuan, yaitu adannya

titik temu antara ajaran Islam dan Kristen, budaya sebagai faktor

konformitas, dan urgensi dialog antar umat beragama dalam konteks

17

Menurut Marc Gaborieau dalam kasus ini terlihat jelas bahwa konflik agama

memang dapat membantu meningkatkan prospek meraih kemenangan dalam pemilihan

umum bagi nasionalis Hindu yang berkuasa di India. Kajian lebih lanjut lihat Marc

Gaborieau, ‛Konflik Hindu-Islam di India dalam Perspektif Sejarah,‛ dalam Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik,

Helene Bouvier, eds., 21-30. 18

Imtiyaz Yusuf dan Lars Peter Schmidt, Understanding Conflict and Approaching Peace in Southern Thailand (Bangkok: Konrand Adenaver Stiftung,

2006), 191.

19

Jeremy Black, War and the New Disorder in the 21st Century (New York-

London: Continuum, 2004), ix-xiv.

13

pluralitas bangsa. Disertasi ini hanya membahas konflik yang terjadi

antara umat agama Islam dan Kristen, serta resolusi konflik yang lebih

memfokuskan pada pendekatan normatif agama, padahal banyak konflik

yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan masalah sosial umat

beragama, seperti kesenjangan sosial-ekonomi dan perebutan kekuasaan

(masalah politik). 20

Heri Junaidi21

dalam penelitiannya yang berjudul ‛Analisis

Kerukunan antar Agama di Wilayah Kabupaten OKU Timur Provinsi

Sumatera Selatan Melalui Nilai-Nilai Bahasa Wong Kito Galo‛,

membahas mengenai bagaimana nilai-nilai bahasa Wong Kito Galo

menjadi dasar bahasa kerukunan yang perlu dilestarikan dan dihargai

secara berkesinambungan khususnya di Kabupaten OKU Timur yang

memiliki kemajemukan baik agama maupun budaya. Hal ini merupakan

salah satu upaya untuk mencegah terjadinya konflik. Dalam penelitian

ini hanya memfokuskan pada kajian nilai-nilai yang terkandung dalam

bahasa Wong Kito Galo sebagai salah satu upaya mencegah terjadinya

konflik antar umat beragama di Kabupaten OKU Timur.

Zubaedi dalam penelitiannya yang berjudul ‛Integrasi Kelompok

Etnis dan Agama Berbeda pada Masyarakat Transmigran di Desa

Sumber Agung Argamakmur Bengkulu Utara Provinsi Sumatera

Selatan‛, membahas mengenai integrasi yang terjadi dalam beberapa

aspek kehidupan di Desa Sumber Agung, yaitu dalam hal urusan

pemukiman atau tempat tinggal, penggunaan bahasa, kebudayaan,

pergaulan dan tatanan sosial yang lain. Integrasi etnis dan agama yang

berbeda tidak selalu menimbulkan gesekan-gesekan yang berujung pada

konflik etnis dan agama, tetapi sebaliknya di daerah ini integrasi etnis

dan agama yang berbeda membawa banyak manfaat, antara lain

terpeliharanya keharmonisan antar masyarakat dan kedamaian di desa

tersebut, meningkatkan pemahaman masyararakat tentang kebebasan

beragama, sehingga dapat mencegah terjadinya gesekan yang dapat

menimbulkan konflik antar umat beragama, terjadinya akulturasi budaya

20

M. Arfah Shiddiq, ‚Konflik dan Konformitas antara Islam dan Kristen

(Studi Tentang Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia 1966-1992).‛ Disertasi

PascaSarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000. 21

Heri Junaidi, ‛Analisis Kerukunan antar Agama di Wilayah Kabupaten

OKU Timur Provinsi Sumatera Selatan Melalui Nilai-Nilai Bahasa Wong Kito Galo,‛

Disampaikan dalam Seminar Hasil Penelitian Kompetitif Kehidupan Keagamaan

‚Internalisasi Nilai-Nilai Keagamaan dalam Rangka Memperkuat Wawasan

Kebangsaan‛, yang diselenggarakan oleh Badan Litbang Departemen Agama RI, di

Hotel Horison, Bekasi, Jawa Barat, tanggal 6-7 Oktober 2009.

14

dan inkulturasi budaya, meningkatnya pembangunan dan kemakmuran

di desa Sumber Agung karena terjalinnya kerja sama yang baik antara

pemerintah setempat, tokoh masyarakat dan pemuka agama dengan

masyarakat. Penelitian ini hanya menjelaskan mengenai upaya

mencegah terjadinya konflik melalui integrasi etnis dan agama yang

berbeda.22

Faizah dalam tesisnya yang berjudul ‛Konsep Dakwah dalam

Mencegah Konflik antar Umat Beragama‛,23

yang membahas mengenai

konsep dakwah dalam mencegah konflik antar umat beragama, yang

lebih memfokuskan pembahasan mengenai konsep dakwah dari segi

materi dan metode dakwah yang dapat mencegah konflik antar umat

beragama. Dalam tesisnya, Faizah lebih memfokuskan penelitiannya

pada upaya pencegahan konflik melalui pendekatan normatif agama,

yakni bagaimana mencari konsep dan format dakwah yang tidak

menimbulkan terjadinya konflik.

Kajian ini lebih memfokuskan pembahasan mengenai

pencegahan konflik dengan menggunakan pendekatan sosial umat

beragama, dengan mengkaji bagaimana kerja sama, serta bahu membahu

dari semua pihak yang ada di Kabupaten OKU Timur (termasuk di

dalamnya pemerintah Kabupaten OKU Timur, pemuka agama,

agamawan dan para cendikiawan teologis) yang dijadikan alat dalam

upaya mencegah agar tidak terjadinya konflik di daerah ini.

Objek Kajian

Penelitian ini pada dasarnya merupakan studi lapangan (field research) dengan menggunakan dua macam sumber data, yaitu sumber

primer dan sumber sekunder. Sumber primer yang dimaksud adalah

sumber data yang diambil langsung dari sumbernya,24

yakni data

mengenai jaring pengaman pencegahan konflik masyarakat Kabupaten

OKU Timur, baik berupa hasil observasi, hasil wawancara, arsip ataupun

dokumen-dokumen hasil kegiatan yang berkaitan dengan upaya

22

Zubaedi,‛Integrasi Kelompok Etnis dan Agama Berbeda pada Masyarakat

Transmigran di Desa Sumber Agung Argamakmur Bengkulu Utara Provinsi Sumatera

Selatan,‛ Disampaikan dalam Seminar Hasil Penelitian Kompetitif Kehidupan

Keagamaan ‚Internalisasi Nilai-Nilai Keagamaan dalam Rangka Memperkuat

Wawasan Kebangsaan‛, yang diselenggarakan oleh Badan Litbang Departemen Agama

RI, di Hotel Horison, Bekasi, Jawa Barat, tanggal 6-7 Oktober 2009. 23

Faizah, ‛Konsep Dakwah Dalam Mencegah Konflik Antar Umat Beragama.‛

Tesis PascaSarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004. 24

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek

(Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 114.

15

pencegahan konflik di Kabupaten OKU Timur. Sedangkan sumber

sekunder studi ini adalah data berupa monografi kelembagaan agama,

hasil penelitian dan dialog, studi kasus, artikel-artikel dalam majalah

dan surat kabar yang berkaitan dengan penelitian ini.

Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui

berbagai teknik pengumpulan data, yaitu: observasi,25

wawancara,26

dan

dokumentasi. Wawancara ditujukan kepada orang-orang yang dianggap

memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai upaya pencegahan

konflik di Kabupaten OKU Timur serta terlibat langsung di dalamnya,

seperti Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur 2010-2015 (Kholid

Mawardi), Kabid Kesatuan Bangsa (Marwan), Ketua FKUB Kabupaten

OKU Timur (Nurkarsiarto), serta pemuka agama (Islam, Hindu, Kristen

Protestan, Khatolik, dan Budha).27

Wawancara ini dilakukan selama dua

hari, yakni tanggal 9-10 Februari 2011.28

Sedangkan metode dokumentasi29

digunakan untuk mendapatkan

data yang berkenaan dengan upaya pencegahan konflik umat beragama

yang ditulis dalam jurnal penelitian, hasil penelitian, opini media dan

tabloid. Metode ini juga digunakan untuk mengumpulkan data mengenai

Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten OKU Timur (struktur

organisasi dan dokumen-dokumen hasil kegiatan yang telah dilakukan),

serta arsip kegiatan-kegiatan yang ada di masyarakat, seperti gotong

royong, kerja sama, dan kegiatan bakti sosial, yang berkaitan dengan

upaya pencegahan terjadinya konflik di Kabupaten OKU Timur. Dengan

digunakannya metode ini diharapkan dapat diketahui seberapa besar

manfaat dan peran strategis dari adanya FKUB (Forum Kerukunan Umat

Beragama) Kabupaten OKU Timur, serta terlaksananya kegiatan sosial

25

Consule G. Sevilla, eds. Pengantar Metode Penelitian (Jakarta: Penerbit UI

Press, 1993), 198-203. 26

Untuk lebih jelas mengenai pengertian wawancara lihat Masri Singarimbun

dan Sofian Effendi, eds. Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1995), 192-215. 27

Dalam hal ini digunakan purposive random sampling, yaitu mengambil

responden dengan tingkat kesempatan yang sama dan dilakukan secara acak. Hal

tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa: perwakilan pemuka agama memiliki

pengetahuan dan pengertian yang sama tentang jaring pengaman pencegahan konflik;

diambil satu perwakilan dari setiap agama yang dianggap mewakili, dalam hal ini,

perwakilan agama Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik

(Romo Pius), Hindu (I Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto). 28

Wawancara dilakukan selama dua hari agar didapatkan data yang failed,

karena bila jaraknya berjauhan ditakutkan perubahan situasi dan kondisi

mempengaruhi responden. 29

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek

(Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 149.

16

kemasyarakatan tersebut dalam mencegah terjadinya konflik di

Kabupaten OKU Timur.

Ada dua jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini,

yaitu Pertama, pendekatan sosiologi-politik.30

Pendekatan ini dipakai

karena ilmu sosial (sosiologi) mencoba memahami, menelaah, meneliti,

mencari persamaan dan perbedaan antara masyarakat yang satu dengan

yang lain. Ilmu sosial juga mencoba memahami perilaku individu dalam

masyarakat dan sebaliknya perilaku masyarakat sebagai kumpulan

individu dengan kelompok masyarakat lainnya.31

Sedangkan ilmu politik

mengkaji mengenai hak dan wewenang, kekuasaan, proses pembuatan

keputusan dalam masyarakat, serta konflik yang terjadi sebagai akibat

dari distribusi dan alokasi barang dan jasa yang dianggap mempunyai

nilai oleh masyarakat menjadi tak seimbang.32

Ilmu politik juga

mencakup studi mengenai berbagai permasalahan manusia, tentang

perlengkapan yang dikembangkan untuk memecahkan masalah tersebut,

serta ide dan faktor yang mempengaruhi keputusan manusia untuk

mengatasi semua permasalahan itu.33

Dari kedua ilmu ini kemudian

melahirkan hubungan antara ilmu sosial (sosiologi) dan ilmu politik,

yang menghasilkan cabang ilmu sosiologi politik, dengan tokoh

30

Ilmu politik menaruh perhatian pada kekuasaan, karakteristik-karakteristik

dan kegiatan-kegiatan pemerintah, serta aktivitas-aktivitas politik dalam lingkungan

masyarakat yang berbeda-beda. Para sosiolog telah banyak belajar dari para ahli

politik. Namun para sosiolog biasanya lebih tertarik pada bagaimana institusi-institusi

seperti keluarga dan sistem pendidikan mempengaruhi sikap politik dan jalannya

pemungutan suara. Untuk lebih jelasnya lihat Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik: Suatu Pemikiran dan Penerapan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007), 16.

31Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan

Struktural (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 139-145. 32

Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, 2003), 3. 33

Penjelasan ini memperlihatkan bahwa politik merupakan suatu bidang studi

khusus tentang cara-cara manusia memecahkan permasalahan-permasalahan bersama

dengan manusia yang lain. Dalam hal ini ilmu politik mencakup studi mengenai

permasalahan manusia, mengenai perlengkapan yang dikembangkan manusia untuk

memecahkan permasalahan tersebut, mengenai factor-faktor yang mempengaruhi

keputusan manusia, dan terutama mengenai ide yang mempengaruhi manusia untuk

mengatasi semua permasalahan tersebut. Dengan demikian ilmu politik tidak sama

dengan studi mengenai pemerintahan, melainkan fungsi pemerintahan dalam

masyarakat. Menurut anggapan umum, titik sentral studi politik adalah kekuasaan

dalam konteks masyarakat. Bahasan lebih lanjut lihat Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik: Suatu Pemikiran dan Penerapan, 18.

17

utamanya Maurice Duverger yang membicarakan tentang basis-basis

sosial dari kekuasaan dalam masyarakat.34

Pendekatan sosiologi-politik digunakan dalam penelitian ini

dengan asumsi bahwa nilai-nilai politis yang ada di Kabupaten OKU

Timur dan telah dilakukan oleh pihak yang berwenang (seperti

pemerintah Kabupaten OKU Timur, serta pemuka agama) tidak bisa

lepas dalam kehidupan sosial umat beragama di daerah ini, yang turut

mempengaruhi, mewarnai dan membentuk hubungan yang harmonis

antar umat beragama di Kabupaten OKU Timur. Dengan pendekatan ini

juga diharapkan dapat ditembus rahasia nilai-nilai yang terkandung

dalam politisasi pemerintah Kabupaten OKU Timur dalam upaya

mencegah terjadinya konflik di daerah ini.

Kedua, pendekatan fenomenologis. Menurut Suharsimi Arikunto,

pendekatan fenomenologis dapat menjadi salah satu pendekatan dalam

penelitian kualitatif karena kebenaran sesuatu itu dapat diperoleh

dengan cara menangkap fenomena atau gejala yang memancar dari objek

yang diteliti, sehingga dapat dipahami mengapa seseorang melakukan

suatu tindakan.35

34

Kunci dari pandangan Duverger ini terletak pada konsepnya tentang politik.

Menurut Duverger politik adalah masalah kekuasaan. Jadi, ilmu politik atau sosiologi

politik adalah ilmu kekuasaan, yakni ilmu yang mempelajari tentang seluruh jaringan

hubungan yang telah mempunyai model atau pola (atau struktur) yang mengandung

sifat otoritas. Kekuasaan dalam arti hubungan yang mengandung otoritas

mempengaruhi kehidupan politik, baik dalam bentuk negara maupun komunitas-

komuitas yang lebih kecil. Ada dua corak pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuasaan,

yakni bisa sebagai penyebab konflik atau perpecahan dan bisa juga sebagai benih

integrasi. Kekuasaan dapat memainkan peranan sebagai penyebab konflik dan alat

untuk menindas, bilamana orang melihat politik sebagai arena pertarungan atau medan

pertempuran. Dalam hal ini kekuasaan memungkinkan mereka yang berhasil merebut

dan mengontrolnya untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya di dalam

masyarakat. Disamping itu, ada pihak lain yang menentang dan ingin merebut

kekuasaan itu untuk tujuan yang sama. Sejalan dengan itu, Duverger menyebut ini

sebagai aspek antagonisme atau konflik dari kekuasaan atau politik. Aspek kedua,

muncul bilamana orang menganggap bahwa politik adalah suatu upaya untuk

menegakkan ketertiban dan keadilan. Dalam hal ini kekuasaaan dilihat sebagai

pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum melawan tekanan dan tuntutan

berbagai kelompok kepentingan. Disini kekuasaan memainkan peranan integratif,

memihak dan melindungi kepentingan bersama vis-a-vis kepentingan golongan atau

kelompok. Kedua aspek kekuasaan itu selalu muncul dalam kehidupan politik. Kajian

selengkapnya mengenai hal ini lihat Maurice Duverger, The Study Of Politics (New

York: Crowell, 1972). 35

Untuk lebih jelasnya lihat Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, 8-19.

18

Digunakan pendekatan fenomenilogis dalam studi ini untuk

mengkaji fenomena-fenomena mengenai bagaimana jaring pengaman

pencegahan konflik di Kabupaten OKU Timur. Mengapa masyarakat

tidak melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan konflik, apakah

karena kesadaran atau ada hal lain yang turut mempengaruhinya.

Dengan pendekatan ini diharapkan fenomena-fenomena yang nampak di

Kabupaten OKU Timur berkenaan dengan upaya yang telah dilakukan

masyarakat serta seluruh elemen yang ada (termasuk di dalamnya

pemerintah Kabupaten OKU Timur, serta pemuka agama) dalam

mencegah agar tidak terjadi konflik di daerah ini.

Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan

analisis interaksionisme simbolik36

untuk melihat berbagai fenomena

yang ada pada skala mikro dan lingkungan sepesifik. Yakni dengan

melakukan deskriptif terhadap konteks sosial. Setelah itu, diberi

interpretasi yang relevan dengan referensi teoritis dan data yang telah

terkumpul untuk melihat hubungan signifikannya. Lalu diambil

kesimpulan mengenai jaring pengaman pencegahan konflik masyarakat

Kabupaten OKU Timur Provinsi Sumatera Selatan. Oleh karena itu,

analisis atas lingkungan sosial politik, sosial kultural, sosial ekonomi

dan sosial keagamaan yang ada saat itu akan menjadi pelengkap penting

studi ini.

36

Istilah interaksionisme simbolik merupakan sumbangan orisinal Berbert

Blumer melalui artikel Man and Society (1969). Sebenarnya teori ini tidak spesifik

melakukan analisis konflik. Interaksionisme simbolis membahas interpretasi aktor

terhadap simbol-simbol, termasuk bahasa, yang dibawa oleh aktor lain dalam proses

interaksi sosial. Simbol bisa dimaknai secara variatif oleh masing-masing aktor dalam

interaksi sosial. Lihat Novri Susan, Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2009), 61. Lihat juga Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 2002), 148.

19

BAB II

PENCEGAHAN KONFLIK DALAM PERSPEKTIF

Bab ini mengkaji mengenai: karakteristik konflik (ciri-ciri

konflik); faktor penyebab konflik yang terdiri dari faktor struktural

(keadaan/kondisi negara, keamanan dalam negeri, etnisitas suatu

wilayah); faktor politik (sistem politik, ideologi politik yang berlaku,

dinamika politik antarkelompok, perilaku elite, distribusi kekuasaan dan

wewenang yang tidak merata); faktor budaya dan persepsi (diskriminasi

budaya terhadap kaum minoritas, persepsi terhadap kelompok tertentu).

Dalam bab ini juga dijelaskan mengenai teori yang dipakai dalam

pencegahan konflik, yakni conflict management (mengelola konflik

dengan cara mengatasi perbedaan seproduktif mungkin untuk

mengurangi eskalasi konflik kekerasan); dan democratic conflict governance (suatu dinamisasi hubungan antara berbagai aktor dan

lembaga dalam tata kelola unsur konflik dalam suatu ruang politik yang

inklusif).

A. Karakteristik Konflik

Para pemikir besar dalam ilmu sosial telah banyak mencurahkan

pemikirannya tentang konflik, seperti Darwin, Maltus, Machiavelli,

Hobbes, Herbert Spencer dan Karl Marx.37

Mereka membagi konflik ke

dalam empat kategori, yaitu: Pertama, persaingan atau pertentangan

antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain. Kedua, keadaan

37

Mereka menganalisis konflik sebagai sesuatu yang menyatu (embedded)

dalam diri manusia. Maka eksistensi konflik dalam peradaban manusia adalah untuk

mempertahankan hidup terhadap lingkungannya. Apalagi, konflik selalu membicarakan

pertentangan, baik dalam bidang ekonomi, politik dan sosial budaya, di mana manusia

saling berinteraksi sosial. Farrington dan Chertok (1993) melakukan pemetaan

pemikiran Machiavelli dan Hobbes dalam melihat kecenderungan konflik sebagai

elemen dasar dari sifat manusia. Darwin dan Maltus membahas konflik dari sudut

pandang kompetisi untuk mendapatkan sumber daya. Herbert Spencer menyatakan,

konflik adalah proses alamiah yang memberikan kontribusi pada perubahan sosial.

William Graham Summer mengungkapkan, kompetisi untuk bertahan hidup

mempunyai pengaruh positif pada kemajuan sosial. Farrington dan Chertok membahas

Marxian Theory, yang memandang konflik adalah struktur dasar kondisi masyarakat

dan konflik yang merupakan bagian lazim dalam setiap hubungan manusia. Pemikiran

Marx dalam melihat eksistensi manusia, merupakan sebuah kontradiksi, baik dalam

pikiran dan tindakan manusia, melalui proses dialektika: tesis, anti tesis, dan sintesis.

Dikutip dari Hasrullah, Dendam Konflik Poso (periode 1998-2001) (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2009), 39.

14

20

atau perilaku yang bertentangan (misalnya pertentangan pendapat,

kepentingan, ataupun pertentangan antar individu).38

Ketiga,

perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan atau tuntutan yang

bertentangan. Dan Keempat, bahwa konflik adalah perseteruan.39

Pemahaman tersebut memperlihatkan bahwa pengertian konflik adalah

terjadinya pertentangan dalam hubungan kemanusiaan antara satu pihak

dengan pihak lain, ataupun antara kelompok dengan kelompok lain, yang

timbul akibat adanya perbedaan kepentingan dalam mencapai suatu

tujuan.

Pengertian konflik di atas sesuai dengan pendapatnya Pruit dan

Rubin, yang menyatakan bahwa konflik berarti persepsi mengenai

perbedaan kepentingan, atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-

pihak yang berkonflik tidak dicapai secara simultan.40

Jika memahami

konflik pada dimensi ini, maka unsur-unsur yang ada di dalam konflik

adalah persepsi, aspirasi, dan aktor yang terlibat di dalamnya. Artinya

dalam dunia sosial yang ditemukan persepsi, maka akan ditemukan pula

aspirasi dan aktor.

Menurut jenisnya konflik terbagi dua, yakni: konflik vertikal

(konflik antara elite dengan rakyatnya); dan konflik horizontal, yakni

konfllik yang terjadi dikalangan massa (rakyat) sendiri.41

Selain jenis

konflik, dikenal pula istilah tipe konflik yang akan menggambarkan

persoalan sikap, perilaku, dan situasi yang ada. Tipe-tipe konflik terdiri

38

Hal ini senada dengan pendapatnya Otomar J. Bartos dan Paul Wehr yang

mendefinisikan konflik sebagai situasi pada saat para aktor menggunakan perilaku

konflik melawan satu sama lain untuk menyelesaikan tujuan yang berseberangan atau

mengekspresikan naluri permusuhan. Dalam definisi itu sebenarnya Bartos dan Wehr

memasukkan unsur perilaku konflik sebagai unsur pemicu konflik. Kajian lebih lanjut

lihat Otomar J. Bartos dan Paul Wehr, Using Conflict Theory (New York: Cambridge

University Press, 2003), 13. 39

Pengertian yang sama juga terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

yang mengartikan konflik sebagai perbedaan, pertentangan dan perselisihan. Lihat

Badudu-Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Penerbit Pustaka Sinar

Harapan, 2001), 711. Lihat juga Departemen Agama RI, Manajemen Konflik Umat Beragama (Jakarta: Puslitbang Depag RI, 2004), 28-29. Bandingkan dengan D.G Pruitt

& Rubin, Teori Konflik Sosial (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 31. 40

G. Dean Pruitt dan Sung Hee Kim, Social Conflict: Escalation, Stalemate, and Settlement (New York: McGraw-Hill, 2004), 10.

41Novri Susan, Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer (Jakarta:

Kencana, 2009), 92-94.

21

dari tanpa konflik, konflik laten, konflik terbuka, dan konflik di

permukaan. 42

Ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam

menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering

muncul. Pertama, pandangan primordialis.43

Kelompok ini menganggap,

perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras (dan

juga agama) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan

kepentingan etnis maupun agama.44

Kedua, pandangan kaum

instrumentalis. Menurut kelompok ini suku, agama dan identitas lainnya

dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk

mencapai tujuan yang diinginkan, baik dalam bentuk materil maupun

non-materil.45

Ketiga, kaum konstruktivis, yang beranggapan bahwa

identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan

kaum primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga

membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Karenanya, etnisitas

merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling

mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah

anugrah dan perbedaan adalah berkah.46

Lederach menjelaskan bagaimana konflik dalam perspektif

konstruksi sosial.47

Ada tujuh asumsi yang dituliskannya, yaitu:

42

Simon Fisher, eds. Working with Conflict: Skills and Strategies for Action

diterjemahkan oleh S.N. Kartika Sari, et.al., Mengelola Konflik: Keterampilan & Strategi Untuk Bertindak (Jakarta: Penerbit The British Council, 2001), 5.

43Antony Giddens, Human Society A Reader (Cambridge: Polity Press, 1992),

162. Harold R. Isaacs, ‚Basic Group Identity: The Idol of the Trible,‛ dalam Ethnicity, Theory and Experience, ed. Nathan Glazer and Daniel P. Moyniham (Cambridge:

Harvard University Press, 1975), 29-52. 44

Lihat Vanhanen, ‚Ethnic Conflicts Explained by Ethnic Neotism,‛ Research in Biopolitics, Vol. 7, Stamford CT: JAI Press, 1999.

45Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk

mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan "Islam"

misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk mendukung

kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis,

selama setiap orang mau mengalah dari pilihan yang dikehendaki elite, selama itu pula

benturan antar kelompok identitas dapat dihindari bahkan tidak terjadi. Kajian lebih

lanjut lihat Paul R. Brass, Ethnicity and Nationalism: Theory and Comparison (New

York: Sage Publication, 1991), 10. 46

Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan (Jakarta: PT. Dunia Pustaka

Jaya, 1995), 37-40. 47

John Paul Lederach adalah salah seorang sosiolog perdamaian yang

mengembangkan perspektif konstruksi sosial. Lederach memusatkan analisis

konfliknya pada dinamika bahasa dalam struktur hubungan sosial. Untuk lebih jelasnya

22

Pertama, konflik sosial dipahami sebagai hal yang alamiah, suatu

pengalaman-pengalaman umum yang hadir di setiap hubungan dan

budaya. Kedua, konflik dipahami sebagai kejadian konstruktif

kebudayaan secara sosial. Konflik tidak hanya terjadi pada seseorang,

tetapi orang merupakan peserta aktif dalam menciptakan situasi dan

interaksi yang mereka ambil pengalaman sebagai konflik. Ketiga,

konflik muncul melalui proses interaktif yang melandaskan pada

pencarian dan penciptaan makna bersama. Keempat, proses interaktif

disempurnakan melalui dan diakarkan dalam persepsi manusia,

interpretasi ekspresi, dan niatan-niatan, yang semuanya tumbuh dari dan

berputar kembali ke kesadaran umum mereka (common sense). Kelima,

pemaknaan muncul sebagaimana manusia meletakkan diri mereka

sendiri dan sesuatu yang sosial seperti situasi, kejadian, dan tindakan di

dalam pengetahuan terkumpul mereka. Keenam, kebudayaan berakar di

dalam pengetahuan bersama dan skema-skema dan digunakan oleh

sekelompok orang untuk merasakan, menafsirkan, mengekspresikan, dan

merespons kenyataan sosial di sekitar mereka. Ketujuh, pemahaman

hubungan konflik sosial dan budaya tidak hanya satu pertanyaan sensitif

dari kesadaran, tetapi lebih jauh petualangan yang dalam dari penemuan

dan penggalian arkeologis dari pengetahuan umum bersama dari

sekelompok orang.48

Menurut Novri Susan, konflik bisa muncul pada skala yang

berbeda seperti konflik antar orang (interpersonal conflict), konflik

antarkelompok (intergroup conflict), konflik antar kelompok dengan

negara (vertical conflict), dan konflik antarnegara (interstate conflict).49

Pemahaman tersebut juga seiring dengan teori orientasi kepentingan

lihat John Paul Lederach, Preparing for Peace Conflict Transformation Across Culture (Syracus, NY: Syracus University Press, 1996), 9-10.

48Selanjutnya Lederach menyatakan bahwa pandangan konstruksionis

mengusulkan bahwa manusia bertindak pada basis suatu pemaknaan yang ada pada

mereka. Pemaknaan diciptakan melalui pengetahuan bersama dan terakumulasi.

Konflik sosial politik pun didorong oleh proses pemaknaan aktor-aktor yang terlibat

dalam konflik. Sehingga dalam menganalisis konflik, bahasa dalam struktur hubungan

sosial menjadi sangat penting. Analisis inilah yang kemudian menciptakan segitiga

negoisasi kepemimpinan yang banyak dipakai dalam menciptakan resolusi konflik

damai. John Paul Lederach, Preparing for Peace Conflict Transformation Across Culture , 11.

49Untuk lebih jelas mengenai bahasan ini lihat Novri Susan, Sosiologi Konflik

& Isu-Isu Konflik Kontemporer, 5-6.

23

Dahrendorf.50

Menurutnya, kepentingan adalah sesuatu yang berskala

luas, yang akan mempengaruhi tindakan seseorang. Dalam konteks ini,

terdapat dua jenis kepentingan: (1) kepentingan tersembunyi, yaitu

harapan peran yang tidak disadari oleh yang lain, dan (2) kepentingan

nyata, yaitu kepentingan tersembunyi yang telah disadari orang lain.

Sedangkan secara teoritis dapat diproposisikan, apabila dalam satu

wilayah terdapat kehidupan lintas etnis dan agama di mana masing-

masing mempunyai norma, nilai dan hukum yang berbeda di antara satu

sama lainnya dalam menata kehidupan sosial dan kebudayaannya, maka

keutuhan dan persatuan dapat terjelma dalam wilayah tersebut manakala

mereka secara sadar dan rela dapat melatenkan atau memodifikasi

norma, nilai dan hukum tersebut yang nyata-nyata mengundang

pertentangan etnis, agama serta pelapisan masyarakat. Disamping itu

dapat menampilkan sisi-sisi yang sesuai berbagai norma dan hukum

yang ada.

Sebaliknya jika dinamika relatif aman, namun masing-masing

etnis, agama dan pelapisan masyarakat memaksakan perbedaan itu

kepada satu sama lainnya di wilayah interaksi antar variasi tersebut,

inilah yang menjadi sumber keretakan, konflik dan berwujud dengan

kerusuhan sosial.51

Hal tersebut ditegaskan Simon Fisher yang

menyatakan bahwa konflik adalah hubungan antara dua pihak (individu

ataupun kelompok) yang memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan.

Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering

bersifat kreatif.52

Ahmad Syafi’i Ma’arif juga mengatakan hal yang

senada, yakni bahwa konflik akan senantiasa menjadi bagian yang

melekat terhadap keberlangsung peradaban.53

Akan tetapi, konflik

menjadi menarik untuk dikaji saat ia diterapkan dalam praksis agama.

Sebabnya tidak lain karena agama justru didesain, bahkan diklaim

sebagai jalan menuju kedamaian. Kegagalan agama, seharusnya tidak

50

Ralf Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society (London:

Routledge & Kegan Paul, 1959), 173-179. 51

Rumin Tumanggor, eds. Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air (Jakarta: Lemlit & PM UIN Syahid

Bekerjasama dengan Balitbangsos Depsos RI, 2004), 5-6. 52

Ahad Soedijar, Bencana Sosial Sampit (Jakarta: Badan Litbang Sosial

Depsos RI, 2002), 3. 53

Ahmad Syafi’i Ma’arif, ‚Situasi dan Kekuatan Konflik dalam Sejarah

Indonesia Kontemporer,‛ HARMONI: Jurnal Multikultural dan Multireligius, Volume

1, No. 1, Januari-Maret 2002, 14-24. Lihat juga Frans Magnis-Suseno, ‚Konflik dan

Harmoni: Pengelolaannya dalam Wawasan Indonesia,‛ Prisma, no. 2, 1985, 90.

24

ditimpakan langsung kepada agama itu sendiri, tetapi pada proses

keberagamaan pemeluknya.

Memaknai konflik dari konstruk agama, maka penilaian dasar

dari etimologi bahwa agama tidak lain terstruktur dari kata a yang

berarti tidak dan gama yang bermakna kacau. Jadi agama berjati-makna

tidak kacau, dan itulah sebabnya orang yang beragama adalah orang

yang meraih dan mempraktikan hidup tidak kacau, apalagi

mengacaukan. Tetapi di dalam kenyataan, sejarah membuktikan bahwa

manusia yang memeluk suatu agama tidak menjamin menjadi sebagai

komunitas pembawa rahmat damai bagi seru sekalian alam. Bahkan, di

antara sesama pemeluk agama, antara satu sekte dengan sekte lainnya,

sampai yang berbeda agama, terbukti selalu dan potensil menciptakan

konflik.54

Ada formula ironi-sosiologis yang menyatakan, di mana ada

agama, di situ ada konflik.55

Oleh karena itu, agama dianggap

mengandung potensi bawaan konflik. Terutama karena doktrin dasar

dari agama adalah klaim keselamatan eskatologis,56

yang mudah rentan

kualitas humanitas relasinya.57

54

Bahasan lebih lanjut lihat Abdul Qodir Shaleh, Agama Kekerasan

(Yogyakarta: Prismasophie, 2003), 79. 55

Analisis sosio-historis menjelaskannya secara benderang, tentang hal

tersebut. Pertama, agama diturunkan atau diciptakan di saat kekacauan; baik yang

berkaitan dengan kerisuhan relasi sosial maupun nilai, sedang terjadi. Agama datang

untuk menyelesaikan masalah, begitu misi hakikinya. Dalam konteks tersebut, misal

munculnya dogma bahwa saat agama Kristen lahir, tugasnya adalah menyelamatkan

umat manusia dan dunia dengan cara menggenapkan agama Yahudi. Hal yang sama

juga terjadi saat Islam turun, klaimnya bertajuk untuk melengkapi dan melanjutkan

misi Isa. Tugas kerasulan Muhammad adalah untuk menjadikan seantero manusia di

jagat ini berakhlak mulia. Ironisnya, pada saat pelahiran agama-agama tersebut telah

dengan sendirinya menegasikan agama yang sudah ada. Sebagai resikonya adalah

pemberangusan oleh penguasa agama (dan umumnya didukung pemerintah) terhadap

agama baru tersebut. Pemertahanan diri dari agama baru dan perlawanan dengan

sendirinya dilakukan. Kedua-duanya jelas mengatasnamakan Tuhan dan demi

kesucian-Nya. Kedua, ketika sebuah agama tersebut tercipta, yang bertikai, selain

dengan agama lain (antar agama) adalah antara sesama penganutnya (intern agama).

Konflik justru terjadi dengan alasan demi membela agama yang bersangkutan. Fakta

tersebut sangat mencolok baik di dalam tradisi kristiani maupun islami. Konflik dari

dan di dalam komunitas agama lantas menjadi laten dan poten. Lihat Muhammad

Legenhausen, Islam and Religious Pluralism (London: Alhoda Publishers dan Printers,

1999), 136. 56

Realitas kajian yang menjadi nilai bahwa ‚hanya yang melalui dia (Isa Al

Masih) yang akan sampai ke pada Tuhan dan selamat di dunia dan akhirat‛ di dalam

agama Kristen. Yesus Kristus itu Tuhan, karena Ia mempunyai segala kuasa, baik di

surga maupun di atas bumi (Matius 28: 18). Yesus itu nabi, karena Ia mengajarkan

25

Agama dianggap sebagai salah satu sumber konflik sebagaimana

juga paham hidup yang lain seperti komunisme, kapitalisme, ataupun

nasionalisme.58

Kemudian konflik Irak-Iran yang merupakan cermin

konflik nasionalisme.59

Begitu juga di Indonesia, berbagai kerusuhan

terjadi silih berganti, antara lain di Tasikmalaya (1996),60

Poso (1998-

2001),61

dan Ambon (1999-2002),62

menunjukkan bahwa bila konflik

telah terjadi, tidak ada yang bisa membedung agresifitas pemeluk

agama. Pada kasus ini juga memperlihatkan bahwa konflik yang terjadi

di berbagai daerah di Indonesia mengandung sentimen agama, apapun

alasannya, menyerang atau mempertahankan diri dari serangan.63

Dan

masih banyak lagi konflik yang terjadi di berbagai daerah dibelahan

jalan keselamatan bagi manusia (Kitab Ulangan, 18: 15-18 dan Kisah para Rasul, 3:

22). Yesus Kristus adalah raja abadi, sebab kerajaan-Nya itu kekal adanya, jauh

berbeda dengan kerajaan duniawi yang binasa kelak, karena ia abadi untuk selamanya

(Injil Lukas, 1: 32-33). Dikutip dari Fritzjof Shuon, Mencari Titik Temu Agama-Agama (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 1994), 3-7.

57Yang tidak selalu mendapatkan jalan perjumpaan sosiologis antara umat

beragama. Hal ini terjadi hampir di semua wilayah konflik dunia, termasuk dan

terutama di Indonesia. Terutama bila nuansa politis (baca kepentingan pribadi atau

kelompok) memanfaatkannya. Masalahnya karena beragama itu bersyarat, yakni harus

beriman. Di sinilah sesungguhnya sumber yang jadi pemicu terciptanya social ill di

atas. Itulah sebabnya secara sosiologis, dapat dimaklumi bila iman (faith) yang menjadi

dasar dan ruh seseorang beragama, yakni di dalam merumuskan dirinya dan orang-

orang di luar dirinya, senantiasa jadi terminologi rawan. Sebab, iman berkarakter

muskil abstrak dan logikanya unik. Selain itu, iman acapkali menafikan kemajemukan.

Lihat Yusnar Yusuf MS, Prasangka Ber-agama: Implikasi Konflik Sosial di Ambon Atas Relasi Keberagamaan di Indonesia (Jakarta: Penamadani, 2004), 125-130.

58M. Hilaly Basya dan David K. Alka, Amerika Perangi Teroris Bukan Islam

(Jakarta: Penerbit Center for Moderate Moslem, 2004), 12-27. Lihat juga Donald

Eugene Smith, Religion, Politics, and Social Change in the Third World (New York:

The Free Press, 1971), 223. 59

Nasir Tamara dan Agnes Samsuri, Perang Iran-Perang Irak (Jakarta: Penerbit

Sinar Harapan, 1981), 56-62.

60

Toriq Hadad, Amarah Tasikmalaya: Konflik di Basis Islam (Jakarta: ISAI,

1998), 9-28. 61

Endang Kironosasi, dkk., ‚Deskripsi Penelitian Wilayah Poso,‚ dalam

Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air, Rumin Tumanggor, eds., 129-176.

62Kusuma Espe, Provokator Paradigma Kritis di Tengah Konflik: Penyadaran

Masyarakat Pasca Pertikaian antar Komunitas di Ambon (Jakarta: Awan Indah, 2004),

16-18. 63

Departemen Agama RI, Sosiologi Keagamaan: Suatu Kajian Empirik dalam Memantapkan Nilai-Nilai Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Proyek Peningkatan

Kerukunan Umat Beragama, 2004), 116.

26

dunia, bagaimana sebetulnya teoritisasi penyebab konflik, akan dibahas

lebih lanjut pada sub bab berikut ini.

B. Teoritisasi Penyebab Konflik

Michael Brown dalam bukunya Nationalism and Ethnic Conflict mengungkap bahwa para peneliti yang meneliti konflik di dalam suatu

negara mengidentifikasikan ada empat faktor yang menyebabkan

terjadinya konflik, yakni64

: Pertama, faktor struktural. Dalam cakupan

bahasan faktor struktural menekankan terdapat tiga faktor pokok utama

yang dapat menyebabkan terjadinya konflik, yakni keadaan/kondisi

negara, keamanan dalam negeri, dan etnisitas suatu wilayah.65

Kedua,

64

M.E. Brown, et.al., Nationalism and Ethnic Conflict (Cambridge: The MIT

Press, 1997), 5-12. 65

Contoh kasus konflik di Poso yang diakibatkan faktor struktural yakni:

Pertama, Horizontal Inequalities, sebuah kombinasi dari ketidaksamaan antara dua

kelompok agama yang dominan Muslim dan Nasrani dalam kebijakan Islamisasi

selama beberapa dekade terakhir dari rezim Orde Baru, yang menyebabkan timbulnya

ketidakpuasan sosial ekonomi. Ketidaksamaan horizontal antarkelompok telah menjadi

dasar dari sumber-sumber konflik etnik dan agama. Kedua, Dynamics of Migration,

akibat dinamika transmigrasi resmi yang dilakukan oleh pemerintah baik dari Jawa dan

Bali, maupun transmigrasi secara spontan yang berasal dari suku Bugis Sulawesi

Selatan, telah menambah terciptanya dimensi ketidakpuasan dan ketegangan antara

pendatang dengan penduduk setempat. Ketiga, Natural Resources Contestation,

kompetisi dalam sumber-sumber alam, terutama lahan, seperti yang telah diprediksikan

para ahli sebagai sumber utama dalam ketegangan atau konflik di Sulawesi Tengah.

Perebutan sumber lahan, mengundang kontroversi dalam dua sisi, yaitu: (1) penduduk

pendatang merujuk pada pemilikan lahan berdasarkan pemerintahan, mengklaim

legitimasi pada konsep hukum barat dalam hak-hak kekayaan, (2) sementara pribumi

atau penduduk asli bersandar pada konsep hukum adat istiadat dan hak-hak tradisional.

Keempat, Weak Legal Institutions, lemahnya institusi hukum telah menyebabkan

terjadinya kekerasan. Kurang efektifnya institusi-institusi hukum pada episode

kekerasan dan penegakan hukum (apakah itu besar atau kecil) telah berperan

meningkatkan kekerasan, seperti yang terjadi di Poso, di mana dua perkelahian yang

memicu fase konflik yang pertama dan kedua yang mengarah kepada vigilantisme yang

telah memunculkan kekerasan. Kelima, Transparency and Accountability of

Governance, transparasi dan akuntabilitas sangat dibutuhkan dalam menciptakan

pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Oleh sebab itu publik sangat mengharapkan

agar pemerintah mampu menyediakan akses informasi sebagai respon pada krisis yang

telah menjadi faktor signifikan dalam konflik di Sulawesi Tengah. Kompetisi pada

posisi yang menguntungkan pada pemerintah, telah melahirkan kekerasan.

Ketidaksukaan Kristen karena meningkatnya marginalisasi mereka yang menyebabkan

konflik menjadi laten. Kecurigaan terhadap praktik korupsi dan nepotisme pekerjaan,

serta kurangnya transparasi telah meningkatkan ketegangan. Lihat M.E. Brown, et.al.,

Nationalism and Ethnic Conflict, 5-6. Bandingkan dengan Hasrullah, Dendam Konflik Poso (periode 1998-2001) (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), 42-43.

27

faktor politik. Biasanya faktor politik seringkali menjadi pemicu

ketegangan antar-etnik. Terjadinya ketegangan etnis terkait dengan

sistem politik, ideologi politik yang berlaku, dinamika politik

antarkelompok, dan juga perilaku elite.66

Ketiga, faktor sosial ekonomi.

Sumber potensial dari faktor sosial ekonomi yang dapat memunculkan

konflik, yakni: permasalahan ekonomi dalam negeri, sistem ekonomi

yang diskriminan dan dampak modernisasi ekonomi. Keempat, faktor

budaya atau persepsi. Terdapat dua faktor yang dianggap sebagai

sumber dari munculnya konflik, yaitu diskriminasi budaya terhadap

kaum minoritas dan persepsi terhadap kelompok tertentu.67

Sedangkan

66

Dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari statemen

politik para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi sendi-sendi

kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme

sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama. Hal ini menunjukkan

bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar telah memprovokasi

masyarakat. Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar masyarakat Indonesia

sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya sehingga dengan mudah

terpicu untuk bertindak yang menjurus ke arah terjadinya kerusuhan maupun konflik

antar kelompok atau golongan.

Sumber: http://www.perspektifbaru.com/wawancara/399 Di akses tanggal 11 Maret

2011. 67

Contoh kasus pertikaian berkepanjangan antara suku Madura dengan warga

suku Melayu di Sambas dapat dilihat bahwa interaksi dua suku yang berbeda budaya

dan perilaku sosialnya tersebut sangat rawan menimbulkan konflik. Suku Madura

berasal dari daerah yang gersang, kering dan tak ada hasil daerah yang dapat

diandalkan. Latar belakang daerah yang demikian menyebabkan orang Madura dikenal

sebagai suku yang keras, berani dan tekun dalam berusaha. Kebudayaan mereka

berorientasi keluar, menggarap lahan yang tidak terbatas pada pulau Madura saja,

tetapi daerah manapun yang dapat dijadikan sandaran hidup. Mereka juga merantau,

karena desakan daerah yang miskin dan sempit. Hal inilah yang menjadikan orang

Madura sangat mandiri dan berani menghadapi segala rintangan apapun. Namun, sifat

keberanian yang kadang berlebihan ditambah dengan rendahnya tingkat pendidikan,

pada umumnya menyebabkan tindakan dan perilaku sering kurang mengenakkan

masyarakat setempat. Orang Madura seperti inilah hidup di lingkungan suku Melayu

yang ramah, toleran dan tenggang rasa. Bahasan lebih lanjut lihat M.E. Brown, et.al.,

Nationalism and Ethnic Conflict (Cambridge: The MIT Press, 1997). Lihat juga Edi

Petebang dan Eri Sutrisno, Konflik Etnik di Sambas, 115-120.

Sedangkan menurut A.B. Tangdililing ada perbedaan adat istiadat (budaya)

antara Melayu dan Madura konteks di Sambas merupakan kejadian unik, disebabkan

yang lebih dominan adalah perselisihan karakter dan adat istiadat, karena dari segi

agama, kedua suku itu sama-sama menganut agama Islam yang taat. Bedanya Melayu

cenderung lebih inklusif, sedangkan sikap keberagamaan suku Madura cenderung lebih

eksklusif. Dalam keadaan demikian, kesalahpahaman mudah muncul dan itu

merupakan salah satu potensi konflik. Diantara potensi konflik yang dapat menjadi

pemicu permusuhan yakni, Pertama, Suku Melayu dan Madura, menyandang adat

28

konflik antarkelompok baik yang ada dalam kelompok itu sendiri

maupun dalam lingkungan masyarakat terjadi karena, ketika salah satu

kelompok berusaha memaksakan nilai (value) yang mereka miliki pada

kelompok lain. Dalam cakupan bahasan konflik antarkelompok, Walter

G. Stephan dan Cookie White Stephan yang dikutip oleh Hasrullah

menawarkan tiga teori tentang penyebab konflik antarkelompok,

yakni68

: Pertama, Realistic Group Conflict Theory. Teori ini mempunyai

premis didasari oleh kompetisi untuk memperebutkan resources (land,

money, natural resources) atau pun value, belief dan norms. Teori

realistik ini digunakan untuk memprediksi konsekuensi psikologis, di

mana realitas konflik kelompok memicu meningkatnya kohesivitas dan

etnosentrisme antarkelompok. Perubahan ini biasanya diiringi dengan

kekerasan terhadap kelompok lain. Konflik juga dapat terjadi ketika

kemampuan untuk memelihara kesetaraan antarkelompok menjadi

timpang, yang dapat dipicu oleh ketidakseimbangan mendapatkan

peluang kerja, tingkat ekonomi, kemakmuran antarkelompok tersebut.

Kedua, Relative Deprivation Theory. Premis dalam teori ini berbeda

dengan premis teori sebelumnya yang menekankan pada perbedaan

nyata antarkelompok. Relative Deprivation Theory, cenderung

memfokuskan diri pada persepsi, menjadi kelompok yang kurang

beruntung. Misalnya, persepsi merasa tertindas dapat memicu

munculnya konflik, meskipun pada persepsi yang dirasakan belum tentu

kebenarannya. Konsep teori ini cenderung mempunyai kaitan dengan

teori pertukaran sosial (social exhange theory) karena dalam cakupan

bahasannya, konflik muncul dari perasaan dalam suatu kelompok yang

merasa kurang beruntung ditinjau dari segi input dan output-nya, jika

dibandingkan kelompok lain. Faktor perasaan inilah yang kemudian

memunculkan kekecewaan, sehingga menimbulkan konflik. Ketiga,

Basic Psychological Need Theory. Teori ini menekankan adanya

pertikaian dalam pemenuhan kebutuhan dasar psikis. Isu yang

dimunculkan dalam teori ini yaitu konflik muncul karena terjadi

istiadat yang berbeda. Kedua, Terdapat ketidakserasian pandangan hidup dan perilaku

antara keduanya. Ketiga, Kecembuan ekonomi antara Melayu yang merasa penduduk

asli dan Madura sebagai penduduk pendatang, karena Madura lebih sejahtera

dibandingkan dengan Melayu. Keempat, Suku Melayu merasa tanah mereka diambil

oleh orang-orang Madura. Lihat A.B. Tangdililing, ‚Aspek Sosiologis-Antropologis

Etnik di Kalimantan Barat‛, dalam Edi Petebang dan Eri Sutrisno, Konflik Etnik di Sambas, 131-136.

68Dikutip dari Hasrullah, Dendam Konflik Poso (periode 1998-2001), 43-44.

29

pembohongan kebutuhan psikis seperti: rasa aman, identitas, pengakuan,

dan partisipasi. Konflik yang dilandasi oleh kebutuhan psikis cenderung

bertahan cukup lama sehingga kebutuhan tersebut dapat terpenuhi. Yang

jelas, ketiga teori yang ditawarkan di atas menggunakan analisis

psikologi sosial dalam memetakan fenomena konflik antarkelompok.

George Ritzer yang dikutip oleh Ahmad Soedijar,69

mengatakan

bahwa yang menjadi faktor penyebab terjadinya konflik, antara lain

masalah distribusi kekuasaan dan wewenang secara proporsional tidak

merata tanpa kecuali, lemahnya penegakan hukum, adanya kesenjangan

sosial-ekonomi yang melebar, tindakan sewenang-wenang satu

kelompok terhadap kelompok lain. Satu sisi konflik juga dapat terjadi,

bilamana salah satu pihak merasakan ketidakadilan terhadap diri,

kelompok atau suku mereka. Ketidakadilan itu dapat disebabkan oleh

posisi yang dominan dari kelompok atau suku lainnya di bidang politik,

ekonomi, pelayanan, pendidikan dan lainnya. Selain daripada itu, setiap

kelompok atau suku mempunyai harapan dan nilai-nilai yang dijunjung

tinggi oleh kelompok tersebut, karenanya mereka berkeinginan untuk

mencapai harapan dan cita dan menjunjung nilai tersebut. Setiap

kelompok akan berupaya secara terus menerus untuk mendapatkan

sesuatu melebihi apa yang telah dicapai oleh pihak lain. Bagi kelompok

ini kelebihan yang diperoleh akan memberikan posisi tertentu, ataupun

dapat mengangkat gengsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Perebutan kedudukan dan gengsi tersebut merupakan benih-benih

konflik yang bila tidak disikapi secara bijak dapat menimbulkan konflik

komunal.70

Menurut Aripinsyah terjadinya konflik dapat disebabkan oleh

beberapa faktor, yakni terkait dengan stratifikasi sosial dan ekonomi.71

69

Ahad Soedijar, Bencana Sosial Sampit (Jakarta: Badan Litbang Sosial

Depsos RI, 2002), 5-6. Lihat juga Achmad Habib, Konflik antaretnik di Pedesaan: Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa (Yogyakarta: LKiS, 2009), 26.

70Chaider S. Bamualim, eds. Communal Conflict in Contempory Indonesia

(Jakarta: The Konrad Adenauer Foundation Bekerja Sama dengan Center for

Languanges and Cultures UIN Syarif Hidayatullah, 2002), viii-xiii. 71

Faktor-faktor itu pada awalnya hanyalah pertentangan kelas sosial dilihat

dari perspektif penguasa ekonomi dan kedudukan sosial yang tidak seimbang antara

sesama komponen masyarakat. Namun, persoalan ini dapat saja berubah menjadi

pertentangan agama ketika ditemukan adanya garis linier yang dapat ditarik untuk

memisahkan kelas tersebut berdasarkan agama yang dianut. Misalnya, ketika

mayoritas penduduk pendatang menguasai beberapa sektor penting ekonomi, maka

kecemburuan sosial yang muncul pertama kali adalah antara penduduk pendatang dan

penduduk setempat. Tetapi, ketika penduduk pendatang tersebut mayoritas beragama

30

Faktor pemicu konflik adalah stratifikasi sosial: pelapisan sosial

kehidupan dalam masyarakat seperti perbedaan status sosial dan

ekonomi antar pemeluk agama maupun para pemimpinnya, yang antara

lain dapat melahirkan kecemburuan sosial. Stratifikasi sosial ini

merupakan faktor yang dapat mempengaruhi faktor-faktor lainnya,

antara lain faktor kepentingan ekonomi dan politik,72

faktor

faham/penafsiran agama,73

mobilitas kegiatan dakwah/umat,74

keyakinan agama.75

Sedangkan Mills tidak sepakat dengan pendapat

yang menyatakan bila penyebab konflik hanya terdiri dari dimensi

ekonomi, tetapi dia lebih sepakat terhadap pandangan Weber tentang

terbaginya stratifikasi sosial ke dalam tiga dimensi, yakni ekonomi,

prestise, dan politik. Karena Mills melihat hubungan konflik, yang

tertentu dan penduduk setempat beragama lainnya, maka yang terjadi berikutnya

adalah manipulasi pertentangan antara kelompok agama. Padahal sebenarnya,

pertentangan tersebut semata-mata pertentangan ekonomi, pendapatan masyarakat

yang tidak seimbang, lapangan kerja yang selektif. Pada akhirnya, yang terlihat secara

nyata adalah pertentangan religiusitas, agama versus agama. Lihat Aripinsyah,

Hubungan Antar Agama: Wacana Pluralisme, Eksklusivisme, dan Inklusivisme (Jakarta: IAIN Press, 2002), 59-60.

72Kepentingan-kepentingan nyata setiap kelompok masyarakat termasuk para

pemeluk agama dan para pemimpin setiap kelompok agama yang sama dalam

memperebutkan sumber-sumber kehidupan ekonomi dan politik sebagai kebutuhan

sosial yang penting. Termasuk perebutan aset kekuasaan politik, seperti menjadi

anggota DPR, birokrasi pemerintah, dan sebagainya. Kepentingan ini dipengaruhi oleh

tingkat stratifikasi sosial dari masing-masing kelompok umat maupun pemimpinnya. 73

Perbedaan pemahaman atau penafsiran terhadap ajaran agama dapat

melahirkan sikap fanatisme berlebihan terhadap mazhab atau faham keagamaan yang

dianut oleh setiap kelompok agama di lingkungan intern agama yang sama, baik pada

level umat/jamaah maupun pemimpinnya. Perbedaan paham ini juga terkait dengan

kondisi sratifikasi sosial dan kepentingan ekonomi serta politik antar kelompok

maupun pemimpin agama di lingkungan intern agama yang sama. 74

Yakni usaha-usaha mempertahankan atau memperluas jumlah jamaah yang

menjadi pengikut paham maupun gerakan dakwah yang dilakukan oleh setiap

kelompok agama di lingkungan umat beragama yang sama, termasuk dalam

melakukan mobilitas sosial kelompok terutama para elit pemimpinnya. Kualitas dan

kuantitas maupun jenis mobilitas ini dipengaruhi oleh faktor stratifikasi sosial,

kepentingan ekonomi dan politik, serta paham keagamaan pada setiap kelompok

keagamaan. 75

Yakni kepercayaan yang mendasar dan dianggap mutlak yang terkait dengan

komitmen utama keberagamaan yang bersifat sakral dan fundamental bagi setiap

pemeluk agama.

31

mengandalkan hubungan dominasi, sangat dipengaruhi oleh ekonomi

dan politik.76

Penyebab konflik ditinjau dari sifatnya terbagi dua, yakni dapat

bersifat terbuka dan dapat pula bersifat tertutup (laten).77

Konflik

terbuka biasanya merupakan lanjutan dari konflik tertutup atau terbuka

yang terjadi sebelumnya, pada tempat yang sama ataupun di tempat lain,

tetapi belum memperoleh penyelesaian secara tuntas.78

Karena itulah,

perlu diwaspadai, benih-benih konflik yang akan muncul kembali pada

tempat atau waktu yang lain. Sedangkan konflik tertutup (laten) adalah

rasa tidak senang yang terpendam oleh seseorang, kelompok ataupun

suku tertentu kepada pihak lain.79

Meskipun tidak mengemuka dalam

masyarakat, konflik ini dapat meledak menjadi konflik terbuka, bila saja

rasa tidak senang itu terus berlanjut dan faktor-faktor penyebabnya

semakin berkembang, baik kualitatif maupun kuantitatif dikalangan

masyarakat yang terlihat dalam konflik tersebut.80

76

Charles W. Mills adalah salah satu sosiolog yang mengkaji konflik dengan

menggunakan analisis dari aliran kritis dalam risetnya tentang struktur kekuasaan di

Amerika. Mills melalukan riset terhadap struktur kekuasaan Amerika yang dari

penelitian itu diperoleh suatu hubungan dominatif, yaitu struktur sosial dikuasai elite

dan rakyat adalah pihak di bawah kontrol politisnya. Hubungan dominatif itu muncul

karena elite-elite berusaha memperoleh dukungan politis rakyat demi kepentingan

mobilitas vertikal mereka secara ekonomi dan politik. Elite-elite itu adaalh militer,

politisi, dan para pengusaha (ekonomi). Mills menemukan bahwa mereka, para elite

kekuasaan, mempunyai kecenderungan untuk kaya, baik diperoleh melalui investasi

atau duduk dalam posisi eksekutif. Satu hal yang penting lagi, mereka yang termasuk

dalam elite kekuasaan sering kali pindah dari satu bidang yang posisinya tinggi dalam

bidang yang lain. Kasus Amerika, Mills memberi contoh jenderal Eisenhower yang

kemudian menjadi Presiden Eisenhower. Ada contoh lain yang diungkapkan Mill,

seperti seorang laksamana yang juga seorang banker, direktur, dan menjadi pemimpin

perusahaan ekonomi terkemuka. Untuk lebih jelas mengenai kajian ini lihat Charles W.

Mills, The Power Elites (New York: Oxford University Press, 1956), 30-35. 77

Helene Bouvier, eds. Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

2005), dalam kata pengantar. 78

Hajriyanto Y. Thohari, ‚Pluralisme Etnik: Sebuah Potensi Konflik‛ dalam Melawan Kekerasan tanpa Kekerasan, Syaiful Arifin, eds. (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2000), 130. 79

M.Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius, 16-

17. 80

Samir Salam dan Badri Yatim, ‛Deskripsi Penelitian Wilayah Sampit,‛

dalam Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini, W.A.L. Stokhof, eds. (Leiden & Jakarta:

INIS & PBB, 2003), 102.

32

Marck Ross mengemumukan enam teori mengenai berbagai

penyebab konflik, yakni Pertama. Teori Hubungan Masyarakat.

Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus

terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang

berbeda dalam suatu masyarakat. Kedua. Teori Negoisasi Prinsip.

Berasumsi bahwa konflik yang terjadi disebabkan oleh posisi-posisi

yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-

pihak yang mengalami konflik. Ketiga. Teori Kebutuhan Manusia.

Berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh

kebutuhan manusia, baik berupa kebutuhan fisik, mental dan sosial yang

tidak terpenuhi atau dihalangi. Keempat. Teori Identitas. Konflik

disebabkan oleh identitas yang terancam, yang sering berakar pada

hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak

terselesaikan. Kelima. Teori Kesalahpahaman Antarbudaya. Teori ini

berasumsi bahwa konflik itu disebabkan oleh ketidakcocokan dalam

cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Keenam.

Teori Transformasi Konflik. Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh

masalah-masalah yang berkaitan dengan ketidaksetaraan dan

ketidakadilan yang muncul sebagai problem sosial, budaya, dan

ekonomi. 81

C. Pendekatan dalam Upaya Pencegahan Konflik

Salah satu kajian penting untuk mencegah terjadinya konflik,

yakni pengelolaan konflik (conflict management). Namun istilah

pengelolaan konflik masih terus diperdebatkan.82

Karena dalam kajian

konflik dan perdamaian kontemporer conflict management yang

bertujuan mencegah konflik, malah menghasilkan bentuk-bentuk

kekerasan, baik langsung dan struktural. Terutama sekali pada bentuk

kekerasan langsung. Menurut Rubenstein conflict management

81

Marck Ross dalam makalahnya yang berjudul ‛Creating the Conditions for

Peacemaking: Theories of Practice in Ethnic Conflict Resolution‛. Dikutip dari Simon

Fisher, eds. Working with Conflict: Skills and Strategies for Action diterjemahkan

oleh S.N. Kartika Sari, et.al., Mengelola Konflik: Keterampilan & Strategi Untuk Bertindak, 8-9.

82Novri Susan mengkritik istilah dan teknik pengelolaan konflik karena hanya

tepat dimanfaatkan oleh organisasi yang tidak mengutamakan dialog, namun

menggunakan wewenang. Istilah conflict management (pengelolaan konflik) kemudian

perlu diganti dengan democratic conflict governance. Conflict governance tidak

mengakui beberapa model pengelolaan konflik yang berpotensi menciptakan

ketidakadilan, seperti executive dispute resolution dan extra legal approach. Lihat

Novri Susan, Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer, 166-167.

33

bertujuan memoderasi atau memberadabkan efek-efek konflik tanpa

perlu menangani akar konflik dan sebab-sebabnya.83

Teori conflict management menjelaskan bahwa semua konflik tidak perlu diselesaikan,

tetapi mempelajari bagaimana mengelola berbagai konflik, dapat

mengurangi eskalasi konflik kekerasan. Seperti pendapat Carpenter dan

Kennedy yang menyatakan bahwa tantangan pada manajer konflik

adalah bukan menghapus konflik melainkan mengatasi perbedaan

seproduktif mungkin.84

Secara mendasar baik Rubenstein maupun

Carpenter telah menyatakan secara eksplisit bahwa istilah conflict management adalah upaya pencegahan konflik dari kekerasan tanpa

harus mencapai pemecahan masalah.

Otomar J. Bartos dan Paul Wehr berpendapat bahwa conflict management adalah masalah bagaimana menjadi orang yang ahli.

Kemudian melihat pada aspek perilaku konflik untuk meningkatkan

keahlian pengelolaan konflik. Mereka mengategorikan perilaku konflik

ke dalam dua posisi berlawanan, yaitu perilaku nonkoersif dan perilaku

koersif. Perilaku nonkoersif termasuk di dalamnya adalah kerja sama

murni, menjanjikan hadiah, dan persuasi. Sedangkan perilaku koersif

adalah ancaman koersi, nonkekerasan dan kekerasan koersi.85

Hal ini

memperjelas mengenai definisi terbatas dari conflict management sebagai praktek strategi konflik yang setiap pihak berkonflik harus ahli

dalam konflik. Conflict management adalah proses setiap pihak,

termasuk pihak ketiga untuk menggunakan keahlian dan pengetahuan

mereka untuk menciptakan strategi konflik yang tepat.86

Dimensi lain conflict management adalah bagaimana suatu

wewenang ditegakkan oleh pihak berkonflik atau pihak ketiga.

Pendekatan ini melihat conflict management mampu menekan

kemunculan kekerasan dalam konflik dengan menggunakan seperangkat

83

E. Richard Rubenstein, Conflict Resolution and Power Politics; Global Conflict After the Cold War. Two Lectures. [Working Paper printed edition] (USA:

Institute for Conflict Analysis and Resolution George Mason University, 1996), 1. 84

L. Swan Carpenter dan WJD. Kennedy, Managing Public Disputes: A Pratical Guide to Handling Conflict and Reaching Agreements (London: Jossey Bass

Publisher, 1988), 4. 85

Otomar J. Bartos dan Paul Wehr, Using Conflict Theory (New York:

Cambridge University Press, 2003), 175. 86

Kajian lebih lanjut mengenai hal ini lihat L. Swan Carpenter dan WJD.

Kennedy, Managing Public Disputes: A Pratical Guide to Handling Conflict and Reaching Agreements (London: Jossey Bass Publisher, 1988), 4. Bandingkan dengan

Otomar J. Bartos dan Paul Wehr, Using Conflict Theory (New York: Cambridge

University Press, 2003), 175.

34

kekuasaan dan kekuatan. Seperti pendapat Hugh Miall bahwa conflict management adalah seni intervensi yang tepat guna mencapai

pembuatan politik yang stabil, terutama oleh mereka yang mempunyai

kekuasaan dan sumber daya yang besar untuk menciptakan tekanan

terhadap para pihak berkonflik agar tetap dalam kondisi stabil.87

Cukup

jelas di sini adalah conflict management menciptakan pola hubungan

berbasis pada kekuasaan. Menurut Hopmann, negoisasi yang berlandas

pada hubungan kekuasaan dicirikan oleh pendekatan bargaining.

Pendekatan ini berlawanan dengan pendekatan negoisasi berbasis

pemecahan masalah. Hopmann menyatakan bahwa negoisasi berdasar

pada pendekatan bargaining dicirikan oleh dominasi kekuasaan seperti

ancaman dan tekanan politis.88

Pada dimensi ini, pendekatan bargaining

adalah satu ciri utama conflict management yang mungkin membuka

kesempatan kelompok-kelompok dominan untuk menentukan bentuk

resolusi konflik.

Walaupun demikian, beberapa ilmuan sosial meredefinisi conflict management sebagai konsep yang tidak hanya bertujuan mencegah

kekerasan dalam konflik melalui praktik pengelolaan tetapi juga

mentransformasi konflik. Hal ini berarti conflict management bukan

hanya sekedar conflict containment, tapi tentang bagaimana

mengkonstruksi pemecahan masalah dan menangani akar-akar konflik.

Hamad beragumentasi bahwa istilah management89 tidak hanya tentang

to manage atau to cope with tetapi juga to administer. Oleh karenanya

87

Hugh Miall, Conflict Transformation: A Multidimensional Task. [Berghof Handbook of Conflict Transformation], 2004, 3. Diakses 1 Desember 2010 dari

http://www.berghop-handbook.net/uploads/download/boege_handbook.pdf. 88

P. Terrence Hopmann, Two Paradigms of Negotiation: Bargaining and Problem Solving (United Kingdom: Sage Publication, 1995), 26.

89Manajemen adalah istilah dalam tradisi ekonomi positivis yang memberi

kekuasaan besar terhadap pimpinan puncak untuk mengontrol proses organisasi

mereka. Tujuan utama dari manajemen dalam ekonomi positivis adalah mengontrol

dan menstabilkan proses organisasi sehingga tercapai blue-print organisasi. Dalam

pengertian ini, pendekatan top-down dan keputusan berdasar pada posisi adalah inti

dari conflict management. Kemudian hal ini bisa dikatakan bahwa conflict management tidak lagi mampu mengklaim dalam konteks demokrasi akan mereduksi

dan mentransformasi konflik kekerasan menjadi perdamaian. Conflict management adalah istilah dari positivis dalam kajian konflik dan perdamaian. Oleh karena itu,

perlu mencari jalan keluar dengan cara mengubah terminologi, metodologi, dan

teorinya. Weymes, eds., A Challenge to Traditional Management Theory, 2004, 5.

Diakses 27 November 2009 dari

www.emeraldinsigt.com/researchregister.

35

ia menyatakan bahwa conflict management adalah satu disiplin dan

istilah yang dapat dimanfaatkan juga untuk mentransformasi konflik.90

Menurut Moore, ada beberapa bentuk dan proses pengelolaan

konflik yaitu91

: Pertama, avoidance: pihak-pihak berkonflik saling

menghindari dan mengharap konflik bisa terselesaikan dengan

sendirinya. Kedua, informal problem solving: pihak-pihak berkonflik

setuju dengan pemecahan masalah yang diperoleh secara informal.

Ketiga, negotiation, ketika konflik masih terus berlanjut, maka para

pihak berkonflik perlu melakukan negoisasi. Artinya, mencari jalan

keluar dan pemecahan masalah secara formal. Hasil negoisasi bersifat

prosedural yang mengikat semua pihak yang terlibat dalam negoisasi.

Keempat, mediation: munculnya pihak ketiga yang diterima oleh kedua

pihak dipandang bisa membantu para pihak berkonflik dalam

penyelesaian konflik damai. Kelima, executive dispute resolution

approach: kemunculan pihak lain yang memberi suatu bentuk

penyelesaian konflik. Keenam, arbitration: suatu proses tanpa paksaan

dari pihak berkonflik untuk mencari pihak ketiga yang dipandang netral

atau imparsial. Ketujuh, judicial approach: terjadinya intervensi yang

dilakukan oleh lembaga-lembaga berwenang dalam memberi kepastian

hukum. Kedelapan, legislative approach: intervensi melalui musyawarah

politik dari lembaga perwakilan rakyat, kasus-kasus konflik kebijakan

sering menggunakan pendekatan ini. Kesembilan, extra legal approach:

penanganan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuatan legal

dan mungkin tidak dimiliki oleh pihak lawan. Salah satu pihak bisa

memanfaatkan kekuatannya untuk menciptakan nonviolent action dan

violence. Model ini terjadi pada kasus ekspansi Amerika Serikat

terhadap Irak.

Meretas kajian konflik dengan berbagai penyebabnya

menumbuhkan berbagai upaya untuk mengelola konflik serta

mencarikan resolusi penyelesaiannya,92

yaitu: Pertama, bila konflik

disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan

permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat,

90

Ahmad Azem Hamad, ‚The Reconceptualisation of Conflict Management‛,

Interdisciplinary Journal, Vol 7, July 2007, 10-16. Diakses 3 November 2009 dari

http://www.peacestudiesjournal.org.uk. 91

W. Chistoper Moore, Mediation Process: Practical Strategies for Resolving Conflict (USA: Jossey-Bass, 2003), 6-12.

92Simon Fisher, eds. Working with Conflict: Skills and Strategies for Action

diterjemahkan oleh S.N. Kartika Sari, et.al., Mengelola Konflik: Keterampilan & Strategi Untuk Bertindak, 8-9.

36

maka upaya yang harus dilakukan ialah meningkatkan komunikasi dan

saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik,

serta mengusahakan toleransi agar masyarakat lebih bisa saling

menerima keragaman. Kedua, bila konflik yang terjadi disebabkan oleh

posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang

konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik, maka diperlukan

adanya suatu strategi untuk membantu pihak-pihak yang mengalamai

konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah

dan isu, dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi

berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka daripada posisi tertentu

yang sudah tetap, serta melancarkan proses pencapaian kesepakatan

yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak. Ketiga, bila

konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan manusia, baik

berupa kebutuhan fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau

dihalangi, maka upaya yang harus dikerjakan yakni membantu pihak-

pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan

mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan

menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu,

serta mengusahakan agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai

kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak. Keempat, teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang

terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan

di masa lalu yang tidak terselesaikan. Sasaran yang ingin dicapai teori

ini adalah melalui fasilitas lokakarya dan dialog antar pihak-pihak yang

mengalami konflik; mereka diharapkaan dapat mengindetifikasi

ancaman dan ketakutan yang dirasakan, untuk kemudian membangun

empati dan rekonsiliasi, serta meraih kesepakatan bersama yang

mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak. Kelima, bila konflik

itu disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di

antara berbagai budaya yang berbeda, maka diperlukan upaya untuk

menambah pengetahuan semua pihak yang mengalami konflik mengenai

budaya pihak lain, mengurangi stereotip negatif yang dimiliki, serta

meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya. Keenam, teori ini

berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah yang

berkaitan dengan ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul

sebagai problem sosial, budaya, dan ekonomi. Sasaran yang ingin

dicapai teori ini adalah mengubah berbagai struktur serta kerangka kerja

yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk

kesenjangan ekonomi, meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka

panjang di antara pihak-pihak yang mengalami konflik, mengembangkan

37

berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan,

keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, pengakuan.

Salah satu aspek pendekatan dalam pencegahan konflik yakni

pendekatan dokrin agama. Strategi yang dapat dilakukan, yakni:

Pertama, dalam dakwah (pemberian pelayanan, penyuluhan dan

pendidikan agama) lebih diarahkan pada penghayatan dan pemahaman

substansi agama, serta fungsinya dalam kehidupan pribadi maupun

kehidupan sosial. Kedua, para pemimpin agama tidak memusatkan

perhatiannya hanya untuk memperbanyak umat secara kuantitatif, tetapi

lebih berkonsentrasi pada peningkatan kualitas hidup umatnya.93

Peningkatan kuantitatif seringkali menimbulkan konflik, karena terjadi

pencaplokan secara tidak wajar terhadap umat agama lain.94

Selain itu, pengkajian agama berbasis pluralitas juga dapat

menjadi salah satu upaya dalam pendekatan dokrin agama. Pluralisme

dan kemajemukan yang dikemas dalam budaya dan agama juga

disinyalkan dalam nash. Isyarat adanya keimanan, amal saleh

duniawiyah dan keimanan ukhrawiyah serta isyarat lainnya

menunjukkan bahwa inti ajaran agama adalah keberagaman dalam

keber-agama-an, dan keberagaman dalam kerukunan, serta toleransi.

Seperti dijelaskan dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 62,95

surat al-

Maidah ayat 69,96

dan surat al-Hajj ayat 1797

. Ketiga ayat ini satu sama

lain saling mendukung, yang pada dasarnya memiliki penafsiran secara

substansial sama, walaupun tampak ada perbedaan. Bahwa kehidupan

pluralitas dan saling menghargai sesama merupakan pengakuan

93

Zakaria J. Ngelow, ‚Spritualitas Manusia Baru: Suatu Pandangan Kristen

Mengenai Sumber Daya Manusia,‛ dalam Jimly Asshiddiqie, eds. Sumber Daya Manusia untuk Indonesia Masa Depan (Bandung: Mizan, 1997), 45.

94George B. Grose dan Benjamin J. Hubbard, eds. Tiga Agama Satu Tuhan:

Sebuah Dialog (Bandung: Mizan,1998), 298-304. 95

‛Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang

Nasrani dan orang-orang Shabi>n, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman

kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari

Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka

bersedih hati‛. (QS. al-Baqarah: 62) 96

‛Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabi>n dan

orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak

ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati‛. (QS. al-

Maidah: 69) 97

‛Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-

orang Shabi>n, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik,

Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah

menyaksikan segala sesuatu‛. (QS. al-Hajj: 17)

38

Alquran.98

Karena itulah, pluralisme tidak semata menunjuk pada

kenyataan adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah

keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut, yakni

dengan usaha memahami persamaan dan perbedaan. Oleh sebab itu,

pluralisme harus dapat terpahami oleh masyarakat sebagai sesuatu yang

tidak bisa dihindari dalam pergaulan manusia.99

Dalam hal ini,

pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme, karena

kosmopolitanisme menunjuk pada realitas dimana aneka ragam agama,

ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi.100

Pluralisme juga tidak bisa disamakan dengan relativisme. Karena

seorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut

kebenaran atau nilai-nilai tertentu oleh pandangan hidup, serta kerangka

berfikir seseorang atau masyarakat, sebagai konsekuensi dari paham

relativisme agama, dokrin agama apapun harus dinyatakan benar. Hanya

saja kebenarannya relatif, kebenaran agama-agama walaupun berbeda

dan bertentangan satu sama lainnya, tetapi harus diterima. Sehingga

kaum relativis tidak akan mengenal apalagi menerima suatu kebenaran

universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa. Walaupun,

tidak dapat dipungkiri bahwa paham pluralisme terdapat unsur

relativisme, yakni unsur tidak mengklaim pemilikan tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran kepada pihak lain.

Tetapi, paling tidak seorang pluralis akan menghindari sikap

absolutisme yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain, dan

berusaha merendahkan selainnya, karena hal tersebut bertentangan

dengan prinsip pluralisme. Capaian-capaian demikian ini dikaji dalam

ruang sosiologis.101

Pluralisme dapat dimaknai sebagai sebuah paham atau gagasan

yang menggambarkan berbagai kemungkinan. Hal tersebut, menurut

98

Aloys Budi Purnomo, Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik (Jakarta:

Penerbit Buku Kompas, 2003), 58-59. 99

Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Dokrin dan Peradaban Islam di Panggung Sejarah (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2003), 231-232.

100Contohnya di kota New York, kota metropolitan yang di dalamnya terdapat

komunitas Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, bahkan orang-orang yang tanpa agama

sekalipun. Seakan seluruh penduduk dunia berada di kota ini, namun interaksi positif

antar penduduk, terutama di bidang agama begitu baik. Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 2001), 41.

101M. Quraish Shihab, ‚Agama antara Absolusitas dan Relativitas Ajaran

Agama,‛ dalam Agama dan Pluralitas Bangsa (Jakarta: P3M, 1991), 42-47.

39

Michael Walzer yang dikutip Supiyan Ramli,102

mengatakan bahwa

substansi atau hakekat pluralisme, yaitu: Pertama, menerima perbedaan

untuk hidup damai. Kedua, menjadikan keseragaman menuju perbedaan.

Artinya, membiarkan segala kelompok berbeda dan eksis dalam dunia.

Tidak perlu ada penyeragaman. Ketiga, membangun moral stoisisme,

yaitu menerima bahwa orang lain mempunyai hak, kendatipun dalam

prakteknya haknya kurang menarik simpati orang lain. Keempat, mengekspresikan keterbukaan terhadap yang lain; ingin tahu;

menghargai; ingin mendengarkan dan belajar dari orang lain. Kelima,

dukungan yang antusias terhadap perbedaan serta menekankan aspek

otonomi.

Dengan menganalisis dinamika konflik, seorang analis konflik

bisa menemukan langkah multidisipliner yang bisa digunakan untuk

mengintervensi konflik. Menurut Moore dalam bukunya Mediation Process, menyatakan bahwa intervensi berarti masuk ke dalam sistem

hubungan yang sedang berlangsung, melakukan kontak di antara dua

pihak atau beberapa pihak, untuk membantu mereka. Pada saat

intervensi berlangsung sistem hubungan tersebut berjalan secara

independen dari intervenor. Ada beberapa bentuk dan tingkatan intervensi konfllik. Pertama,

peace making (menciptakan perdamaian) yang biasa muncul dalam

bentuk intervensi militer. Dinamika konflik biasanya berada pada

puncak eskalasi yang ditandai oleh reproduksi aksi kekerasan, mobilisasi

massa, dan tidak adanya komitmen menghentikan konflik kekerasan.

Kedua, peace keeping (menjaga perdamaian) yang juga muncul dalam

bentuk intervensi militer agar pihak yang sudah tidak bertikai tidak

kembali melakukan aksi kekerasan. Pada tingkatan ini pihak bertikai

tidak melakukan aksi kekerasan bukan dilandasi oleh pemecahan

masalah, namun akibat melemahnya atau habisnya sumber daya

bertempur. Ketiga, conflict management (pengelolaan konflik) yang

mulai menciptakan berbagai usaha pemecahan masalah dengan

melibatkan berbagai pihak untuk mencari pemecahan masalah. Beberapa

tindakan pengelolaan konflik ini bisa dalam bentuk negoisasi, mediasi,

penyelesaian jalur hukum (judicial settlement), arbitrasi, dan workshop

pemecahan masalah. Keempat, peace building (pembangunan

perdamaian) yang merupakan proses peningkatan kesejahteraan,

pembangunan infrastruktur, dan rekonsiliasi seluruh pihak bertikai.

102

Supiyan Ramli, Menggagas Pluralisme dalam Islam (Jambi: Penerbit

Sultan Thaha Press, 2008), 181.

40

Semua proses ini merupakan bagian dari conflict transformation

(transformasi konflik), yaitu suatu proses menanggulangi berbagai

masalah dalam konflik, sumber-sumber konflik, dan kosekuensi negatif

konflik. Tranformasi konflik sendiri merupakan proses jangka

panjang.103

Menurut Soetomo sebagai masalah sosial yang didiagnosa dari

adanya konflik nilai yang sering juga berkaitan dengan konflik

kepentingan, maka rekomendasi untuk pemecahan masalah menurut

perspektif ini juga didasarkan pada pola pikir yang dilatarbelakangi

anggapan adanya suatu kehidupan sosial yang di dalamnya terdapat

berbagai variasi nilai dan kepentingan. Ada beberapa usaha yang dapat

dijalankan untuk melakukan antisipasi terhadap masalah tersebut,

yakni104

: Pertama, Katup Penyelamat, ialah suatu mekanisme khusus

yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan

konflik sosial. Katup penyelamat membiarkan luapan permusuhan

tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur. Banyak orang melihat

cara ini dapat berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan

permusuhan. Tanpa sarana tersebut hubungan-hubungan diantara pihak-

pihak yang bertentangan akan semakin tajam. Kedua, Simbiose

Mutualistik, dalam arti mengusahakan suasana atau iklim sedemikian

rupa, sehingga diantara kelompok-kelompok yang potensial terlibat

konflik merasa dapat saling mengambil keuntungan dari kehadiran

masing-masing. Ketiga, Nilai Koordinatif, dalam pengertian ada suatu

nilai inti yang mampu mengkoordinasikan setiap nilai yang ada dalam

masyarakat. Dengan demikian nilai-nilai yang ada berkedudukan

subordinasi terhadap nilai koordinatif ini. Keempat, Transformasi

Struktural, dalam pengertian ditransformasikan suatu struktur sosial

baru yang diperhitungkan dapat menghilangkan perbedaan posisi yang

mengakibatkan konflik nilai dan konflik kepentingan.

Dalam perspektif yang hampir sama, Hamka Haq memberikan

solusi dalam upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir

terjadinya konflik, yakni105

: Pertama, teori yang mengatakan bahwa

konflik terjadi karena masalah ekonomi. Jadi, bila kesejahteraan

masyarakat dapat terpenuhi, maka tidak akan terjadi ketegangan-

ketegangan yang berujung pada konflik sosial dalam masyarakat. Teori

103

W. Christoper Moor, Mediation Process: Pratical Strategies for Resolving Conflict (USA: Jossey-Bass, 2003), 46-50.

104Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan, 40-41.

105Hamka Haq eds., Jaringan Kerjasama Antar Umat Beragama dari Wacana

ke Aksi Nyata (Jakarta: Titahandalusia Press, 2002), xi-xiii.

41

ini mengatakan bahwa untuk mensejahterakan masyarakat, hal yang

harus dilakukan antara lain, memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi

dan menciptakan kesempatan kerja yang banyak, dengan berlandaskan

pada keadilan.106

Kedua, teori yang mengatakan bahwa konflik dapat

dicegah bila struktur pemerintahannya berperan (teori strukturalis)

dalam mengamankan masyarakat. Pihak penguasa sebagai struktur

tertinggi dapat menerapkan peraturan-peraturan yang mengintegrasikan

masyarakat, seperti yang terjadi di masa Orde Baru.107

Disamping itu

juga, harus ada peran serta dari pemuka agama dan tokoh masyarakat

dalam mengamankan.108

Ketiga, teori yang mengatakan bahwa untuk

mencegah konflik diperlukan suatu lembaga yang mengurus dan

berwenang mengatur, serta menyelesaikan masalah-masalah yang

berkenaan dengan kerukunan antar umat beragama, yang independent,

serta tidak memihak. Lembaga yang dimaksud yakni FKUB (Forum

Kerukunan Umat Beragama).

Menurut Nader dan Todd bahwa penyelesaian konflik dapat

dilakukan dengan beberapa cara berikut109

: Pertama, bersabar (lumping),

yaitu suatu tindakan yang merujuk pada sikap untuk mengabaikan

konflik begitu saja atau dengan kata lain isu-isu dalam konflik itu

mudah untuk diabaikan, meskipun hubungan dengan orang yang terlibat

konflik itu karena orang tersebut informasi atau akses. Kedua,

penghindaran (aviodance), yaitu suatu tindakan yang dilakukan untuk

mengakhiri hubungannya dengan cara meninggalkannya. Keputusan

untuk meninggalkan konflik itu didasarkan pada perhitungan bahwa

konflik yang terjadi atau yang dibuat tidak memiliki kekuatan secara

sosial, ekonomi, dan emosional. Ketiga, kekerasan/paksaan (coersion),

yaitu suatu tindakan yang diambil untuk mengatasi konflik jika

dipandang bahwa dampak yang ditimbulkan cukup membahayakan.

Keempat, negosiasi (negotiation), ialah tindakan yang menyangkut

pandangan bahwa penyelesaian konflik dapat dilakukan oleh orang-

orang yang berkonflik secara bersama-sama tanpa melibatkan pihak

106

M.A. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Yogyakarta: Dana Bhakti

Wakaf, 1993), 113. 107

Syamsul Hadi dan Andi Widjajanto, eds. Disintegrasi Pasca Orde Baru: Konflik Lokal dan Dinamika Internasional (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007),

99. 108

M. Ridwan Lubis, ‚Kerjasama Umat Beragama dari Wacana ke Aksi

Nyata,‛ dalam Jaringan Kerjasama antar Umat Beragama dari Wacana ke Aksi Nyata,

Hamka Haq eds., 71. 109

Laura Nader dan Harry F. Todd, The Disputing Process Law in Ten Societies (Columbia: Columbia University Press, 1978), 4-6.

42

ketiga. Kelompok tindakan mencari pencapaian solusi dalam term satu

aturan, tetapi membuat aturan yang dapat mengorganisasikan

hubungannya dengan pihak lain.110

Kelima, konsiliasi (conciliation),

yaitu tindakan untuk membawa semua yang berkonflik ke meja

perundingan. Konsiliator tidak perlu memainkan secara aktif satu

bagian dari tahap negoisasi meskipun ia mungkin bisa melakukannya

dalam batas diminta oleh yang berkonflik. Konsiliator sering

menawarkan kontekstual bagi adanya negoisasi dan bertindak sebagai

penengah. Keenam, mediasi (mediation), hal ini menyangkut pihak

ketiga yang ikut menangani/membantu menyelesaikan konflik agar

tercapai persetujuan.111

Pihak ketiga ini bisa dipilih oleh pihak-pihak

110

Adapun teknik perundingan yang sering dipakai, yakni: Pertama,

keterwakilan kelompok. Dalam perundingan semua anggota kelompok yang berunding

dengan gigih membela dan memperjuangkan posisinya dengan argumentasi yang

menurutnya benar. Kedua, penyelesaian masalah bersama. Seorang pimpinan tidak

boleh menganggap kalah bila forum menyepakati salah satu solusi dari kelompok lain,

atau mengambil keputusan menurut konsep yang ditawarkan oleh kelompok lain.

Sebab pengambilan keputusan tersebut berdasarkan pertimbangan manfaat dan

mud}aratnya. Karena seorang pimpinan atau perwakilan kelompok tidak perlu merasa

kalah atas kelompok lain. Ketiga, kekuatan bersaing. Dalam proses perundingan

biasanya berlangsung cukup ulet. Unsur-unsur yang terkait berkompetisi membuat

lawan berfikir untuk. Pemerintah mungkin menjanjikan bahwa ia akan merehabilitas

seluruh sarana ibadah jika semua unsur menerima persetujuan damai. Namun,

pemerintah harus tetap objektif, tidak berada dalam salah satu kekuatan kelompok

yang terlibat konflik. Pernyataannya tidak boleh menyinggung kelompok lain.

Keempat, membagi perbedaa. Ini dapat menjadi cara yang berguna jika hasil

perundingan kedua kelompok berakhir dengan win-win. Masing-masing menyadari dan

melakukan instrospeksi dengan memikirkan kepentingan yang lebih besar dibanding

kepentingan kelompoknya. Tidak ada siapa yang salah dan disalahkan dalam proses

perundingan. Kesadaran demikian akan memunculkan kepuasan kelompok masing-

masing. Kelima, penawaran rendah. Tawaran atau konsesi yang rendah sering

digunakan untuk menurunkan kelompok lain. Pemerintah atau aparat tidak boleh

membiarkan penawaran jenis ini menurunkan harapan atau tujuan; atau tidak boleh

berhenti karena menilai posisi kelompok yang lain tak dapat disahkan, selanjutnya

proses komunikasi harus tetap berlanjut. Jelasnya, situasi yang berbeda membutuhkan

taktik dan strategi yang berbeda pula. Pemerintah atau pimpinan harus menyadari

pilihan yang memungkinkan dan berusaha untuk memahami kebijaksanaan di balik

pilihan tersebut. Lihat Departemen Agama, Manajemen Konflik Umat Beragama

(Jakarta: Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, 2004), 162-164. 111

Pihak ketiga yang dimaksud bisa pemerintah, aparat keamanan atau

kekuatan kelompok tertentu yang tidak terlibat konflik. Ia berfungsi sebagai penengah

(mediator), karena itu dibutuhkan sikap netral memungkinkan seorang yang netral

untuk mencapai suatu persetujuan yang menguntungkan kedua belah pihak dan

organisasi secara keseluruhan. Memakai penengah sedini mungkin ke dalam proses

43

yang berkonflik atau perwakilan dari luar. Pihak-pihak yang berkonflik

itu menyerahkan penyelesaian konflik kepada pihak ketiga tersebut.

Ketujuh, arbitrase, kedua belah pihak yang berkonflik setuju pada

keterlibatan pihak ketiga yang memiliki otoritas hukum dan mereka

sebelumnya harus setuju untuk menerima keputusannya.112

Kedelapan,

peradilan, hal ini pada intervensi pihak ketiga yang berwenang untuk

campur tangan dalam penyelesaian konflik, apakah pihak-pihak yang

berkonflik itu menginginkan atau tidak. Dapat dipahami bahwa dasar-

dasar penanganan konflik itu dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu

penyelesaian konflik yang dilakukan sendiri-sendiri, dengan perwakilan,

dan meminta keterlibatan pihak ketiga.

Menciptakan konflik konstruktif, yaitu konflik tanpa kekerasan

dan menghasilkan pemecahan masalah, memerlukan mekanisme politik

demokratis. Conflict management mendapat kritik karena konsepnya

yang melibatkan kekuasaan dan kekerasan. Sehingga democratic conflict governance dapat menjadi alternatif dalam melembagakan mekanisme

tata kelola konflik yang memungkinkan konflik produktif. Perlu diakui

bahwa democratic conflict governance merupakan pendekatan baru

dalam tata kelola konflik dan hanya ideal dalam masyarakat demokrasi

yang rasional dan budaya nirkekerasan.113

D. Jaring Pengaman Pencegahan Konflik

Dalam kajian mengenai jaring pengaman pencegahan konflik

digunakan teori democratic conflict governance.114

Dalam pengertian

memungkinkan terjadinya penyelesaian konflik sebelum perselisihan kelompok terjadi,

yang dapat mengarah kepada hasil yang tak berguna. 112

Suatu pilihan untuk pertengahan adalah arbritase, dimana kedua kelompok

terkait oleh keputusan arbritase. Beberapa unsur membentuk komite resmi dari

bertujuan untuk menyelesaikan perbedaan di antara kelompok-kelompok. Komite ini

mempunyai wewenang menyerahkan pengambilan keputusan kepada salah satu

kelompok netral, untuk memberikan penyelesaian yang baik dan dapat disetujui

bersama, atau meminta pihak yang terlibat untuk mengumpulkan informasi yang lebih

banyak sebelum keputusan dicapai. Keuntungan cara pendekatan ini adalah bahwa

pihak yang tidak setuju tidak perlu berkompromi untuk menyelesaikan masalah. Sekali

keputusan diambil, kedua kelompok dapat kembali bekerjasama. 113

Kajian lebih lanjut mengenai hal ini lihat Novri Susan, Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer, 127-135.

114Sebelum masuk pada teori democratic conflict governance, perlu

dimengerti secara singkat penggunaan istilah governance. Menurut Rodinelli

governance mempunyai pengertian yang berkaitan dengan pelayanan publik oleh

pemerintah. Demikian pula dengan Debiel dan Terlinden mengategorikan governance

dalam masyarakat pasca konflik ke dalam tiga dimensi, yaitu governance keamanan,

44

yang sama Novri Susan menyebutnya dengan istilah conflict governance.

115 Democratic conflict governance dapat ditelusuri melalui

konsep deliberative democracy (demokrasi deliberatif)116

. Demokrasi

deliberatif adalah konsep inisial dari democratic conflict governance.

Substansi demokrasi deliberatif adalah inclusive policital arena yang

memfasilitasi adanya ruang untuk dialog dan musyawarah untuk

mencapai persepsi bersama atau konsensus. Sehingga dapat

menegosiasikan kebutuhan atau kepentingan mereka dan menciptakan

kebijakan berdasar pada kebijakan bersama.117

governance administratif politik, dan governance sosial ekonomi. Secara umum,

governance adalah seperangkat praktik politik yang mendasarkan pada aturan dan

proses politik dalam menciptakan dan melaksanakan suatu kebijakan, menyediakan

pelayanan publik, dan menjalankan administrasi publik. Walaupun demikian, ada

batasan jelas antara pengertian governance ini, yang idealisasinya disebut good

governance, dan conflict governance sebagai wacana tata kelola konflik. Sebenarnya

conflict governance melihat pada proses politik dari dinamika konflik tanpa

memasukkan isu administrasi dan pelayanan publik seperti good governance. Conflict governance berfokus pada ada atau tidaknya proses deliberatif dalam relasi konflik.

Kajian lebih lanjut lihat A. Dennis Rondinelli, Restoring Governance ini Post-Conflict Countries of International Assistance, 15-16. Diakses 10 Agusutus 2010 dari

http//:unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/UN/UNPAN026575.pdf

Lihat juga Tobias Debiel dan Ulf Terliden, Promoting Good Governance in Post-Conflict Societies [Discution Paper], Diakses 20 Januari 2010 dari www.oecd.org/data-

oecd/47/26/34481761.pdf. 115

Kajian lebih lanjut mengenai hal ini lihat Novri Susan, Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer, 125-135. Sebagai perbandingan lihat juga L. Swan

Carpenter dan WJD. Kennedy. Managing Public Disputes: A Pratical Guide to Handling Conflict and Reaching Agreements (London: Jossey Bass Publisher, 1988),

39. Lihat juga O Ramsbotham, T. Woodhouse, dan Hugh. Miall, Contemporary Conflict Resolution: The Prevention, Management, and Transformation of Deadly Conflict (New York: Polity, 2006), 56.

116Menurut Habermas deliberative democracy adalah proses praktik

argumentasi rasional dan diskursif melalui suatu komunikasi politik antara negara,

masyarakat sipil, dan pasar. Untuk lebih jelasnya lihat Jurgen Habermas, On the Pragmatics of Communacation (Massachusetts: The MIT Press, 1998), 20.

117Walaupun demikian, sebagai konsep ideal, demokrasi deliberatif

menghadapi berbagai kenyataan sosial yang dapat menciptakan dinamika konflik.

Seperti perbedaan tafsir kenyataan mengenai kebutuhan dasar manusia akan

menciptakan preferensi dan prioritas kebijakan berbeda. Suatu perbedaan mengenai

kenyataan sosial dari kebutuhan dasar manusia diperjuangkan oleh setiap kelompok

kepentingan dengan memanfaatkan sumber konflik seperti identitas, jaringan politik,

dan uang. Pada tingkat ini, suatu perbedaan tafsir kenyataan dan kekuasaan kelompok-

kelompok kepentingan adalah fondasi dari dinamika konflik. Anthony Giddens

menyebut dinamika ini sebagai dialectic of control in social system. Pihak-pihak

berkonflik dengan kekuasaan mereka memiliki kemampuan transformatif yang mana

45

Jaring pengaman pencegahan konflik118

dapat diartikan sebagai

sebuah ikatan yang saling mempengaruhi serta adanya kerja sama dari

pemerintah, pemuka agama, agamawan, dan para cendikiawan teologis

yang bertujuan untuk mencegah agar tidak terjadinya konflik komunal,

strategi yang dilakukan antara lain dengan mendorong pembentukan

majelis agama-agama,119

membentuk wadah kerukunan antar umat

beragama,120

mengembangkan kesepahaman di antara para pemimpin

mereka menjadi mampu menegoisasikan dan menciptakan suatu gerakan sosial untuk

memenuhi kebutuhan dasar mereka. Dinamika konflik terjadi sebagai akibat dari

dialektika kenyataan dan kekuasaan. Perbedaan tafsir kenyataan dan kekuasaan yang

termanifestasikan dalam sikap politik dan praktik sosial, perlu dikelola (governed) oleh

pelembagaan politik yang menyediakan arena yang melibatkan semua pihak kompeten

(berkepentingan), serta norma dan nilai demokratis. Melalui dua faktor inilah politik

deliberatif dapat diciptakan sehingga praktik negoisasi berbasis pada pemecahan

masalah bisa berjalan.

Lihat Novri Susan, Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer, 132. David Held, Models of Democracy (Cambridge: Polity Press,

2006), 34. Bandingkan dengan Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber (Jakarta: UIP,

1986), 11. 118

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, jaring adalah ikatan yang saling

berhubungan dan tidak bisa dilepaskan satu sama lainnya. Pengertian pengaman, yakni

orang yang mengamankan (negeri/kota); alat untuk menghindari/mencegah terjadinya

kecelakaan. Sedangkan pencegahan adalah upaya untuk mencegah sesuatu agar tidak

terjadi. Konflik yaitu pertentangan faham, pertikaian, persengketaan, perselisihan.

Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), 404, 414, 728, 731.

119Untuk umat Islam ada MUI (Majelis Ulama Indonesia) berdiri tahun 1975,

untuk umat Kristen Protestan ada PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) yang

berdiri tahun 1950, sedangkan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) ditujukan untuk

umat Khatolik, untuk umat yang beragama Hindu didirikan PHDI (Parisada Hindu

Dharma Indonesia) pada tahun 1959, untuk umat yang beragama Budha ada WALUBI

(Perwakilan Umat Budha Indonesia) berdiri tahun 1978, dan untuk umat yang

beragama Khonghucu ada MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia)

yang berdiri tahun 1955. Lihat Departemen Agama RI, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Puslitbang

Kehidupan Beragama Depag RI, 2009), 34-40. 120

Wadah yang dimaksud bernama Wadah Musyawarah Antar Umat

Beragama (WMAUB) terbentuk tahun 1980 di Jakarta. Keberadaan wadah ini

didasarkan atas Surat Keputusan Menteri Agama No. 35 Tahun 1980 yang menyatakan

terbentuknya ‛Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama‛ yang telah disepakati oleh

wakil-wakil Majelis Agama dalam pertemuan tingkat puncak pada tanggal 30 Juni

1980 di Jakarta. Untuk penjelasan lebih rinci lihat Departemen Agama RI, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama, 40-42.

Lihat juga J.A. Ferdinandus, ‚Pola Ideal Jaringan Kerjasama Antar Umat Beragama,‛

46

dan tokoh agama melalui berbagai pertemuan dan kontrak

antarpribadi,121

serta mengembangkan perangkat peraturan yang

berfungsi mencegah kemungkinan timbulnya penggunaan agama sebagai

sistem acuan hingga ke tingkat konflik.122

Jaring pengaman ini mempunyai arti penting, sebab pemicu

ketegangan sosial dapat bersumber dari berbagai interaksi sosial yang

ada dalam masyarakat. Interaksi sosial tidak jarang menimbulkan

sumber konflik. Isu agama,123

isu etnis, adat-istiadat dan batas wilayah

teritorial sering menjadi benih yang akan menimbulkan konflik.124

Dalam melakukan intervensi mencegah konflik agar tidak

menghebat menjadi kekerasan, mekanisme tradisional dan modern

keduanya memiliki peran penting. Dalam banyak situasi sudah ada

dalam Jaringan Kerjasama Antar Umat Beragama dari Wacana ke Aksi Nyata, Hamka

Haq eds., 88. 121

Misalnya bila terjadi konflik, baik didalam maupun antar umat beragama

yang menyebabkan jatuhnya korban, maka pemerintah turun tangan ikut

menyelesaikan atau mencari jalan keluar (problem solving) terhadap konflik tersebut.

Salah satu strategi yang dapat dilakukan, yakni pemerintah memanggil para tokoh

yang bertikai untuk bermusyawarah guna mencari solusi terhadap konflik yang sedang

berlangsung. Kemudian, hasil musyawarah tersebut dijadikan pedoman selanjutnya

dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, khususnya bagi yang sedang bertikai. Lihat

Achmad Syahid & Zainudin Daulay, eds., Riuh di Beranda Satu: Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia (Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup

Umat Beragama Depag RI, 2002), 76. 122

Lihat Departemen Agama RI, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama, 48-55.

123Agama dapat menjadi wahana yang sangat efektif untuk memobolisasi

massa. Namun keefektifan agama sebagai penyebab suatu konflik tergantung pada

kondisi yang dialami sebuah masyarakat. Agama akan mudah menjadi wahana

mobilisasi guna mencapai tujuan negatif, seperti penyebab konflik, apabila masyarakat

mengalami ketidakberdayaan ekonomi dan politik yang tinggi. Sebaliknya, agama akan

sulit dijadikan penyebab konflik apabila keberdayaan ekonomi dan politik masyarakat

tinggi. Loekman Soetrisno, Konflik Sosial: Study Kasus di Indonesia (Yogyakarta:

Tajidu Press, 2003), 39-40. 124

Persoalan keragaman baik agama maupun etnis timbul jika masing-masing

kelompok mengembangkan batas-batasannya sendiri sehingga menimbulkan isolasi.

Isolasi yang eksklusif secara teoritis memang dimungkinkan, tetapi secara praktis

sebenarnya tidak bisa terjadi. Sebab setiap daerah tempat tinggal, betapapun kaya dan

luasnya, pastilah memiliki keterbatasan sumber daya untuk menopang kelangsungan

hidup. Dan pula setiap kelompok agama maupun etnik yang mengisolasi diri cepat atau

lambat cenderung gagal untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Untuk lebih

jelasnya lihat Hajriyanto Y. Thohari, ‚Pluralisme Etnik: Sebuah Potensi Konflik‛,

dalam Melawan Kekerasan tanpa Kekerasan, Syaiful Arifin, eds. (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2000), 132.

47

mekanisme yang seharusnya berguna untuk mengatasi konflik. Strategi

menggunakan jaring pengaman pencegahan konflik, yakni dengan

merajut benang-benang paralel ini bersama, usaha yang dapat dilakukan

antara lain dengan Pertama, membentuk sekelompok orang dari berbagai

bagian masyarakat, yang dapat meliputi, misalnya perwakilan-

perwakilan seluruh etnis atau kelompok-kelompok marga, pemerintah

lokal, kekuatan-kekuatan keamanan, pemimpin agama dan para

pemimpin masyarakat. Kedua, mengirim sesepuh dari marga, suku atau

kelompok tradisional lainnya sebagai utusan. Ketiga, mengundang

tokoh-tokoh agama untuk melakukan intervensi, dengan tujuan

menyediakan ruang untuk dialog. Keempat, memanfaatkan ritual yang

ada bertujuan untuk membawa orang bersama-sama dengan cara

menekankan nilai-nilai dan visi-visi yang dibagi bersama. Kelima,

memanfaatkan struktur-struktur atau kelompok-kelompok yang ada dan

yang dihormati (contoh: kelompok wanita, dewan pengurus sekolah,

komite pembangunan masyarakat), sebagaimana adanya atau

dimodifikasi untuk pencegahan konflik. Keenam, menggunakan

publikasi secara hati-hati untuk menyoroti kebutuhan tindakan darurat.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa cara kerja Jaring Pengaman

Pencegahan Konflik, yakni dengan mengadakan jaringan hubungan kerja

sama antara pemerintah yang berwenang dengan berbagai organisasi

keagamaan, maupun masyarakat secara periodik.

48

BAB III

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM UPAYA

MENCEGAH KONFLIK

Bab ini membahas mengenai peran pemerintah Kabupaten OKU

Timur dalam mencegah konflik, strategi yang dilakukan yakni:

pemberdayaan masyarakat berbasis keadilan dan kesejahteraan umat,

serta melakukan perbaikan di bidang sosial ekonomi. Di antara upaya

yang telah dilakukan pemerintah Kabupaten OKU Timur, yaitu:

membangun sarana dan prasarana (infrastruktur), serta melakukan

upaya-upaya untuk memberdayakan dan mensejahterakan kehidupan

ekonomi masyarakat. Dengan asumsi bahwa benih-benih konflik yang

muncul di Kabupaten ini terkait dengan masalah ekonomi.125

A. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Keadilan dan Kesejahteraan

Umat

Dalam konteks Kabupaten OKU Timur, kesejahteraan sosial

dapat dimaknai terpenuhinya kebutuhan seseorang, kelompok atau

masyarakat dalam hal materi, spritual maupun sosial.126

Itu berarti

125

Benih-benih konflik yang muncul di Kabupaten OKU Timur, antara lain

kekerasan sosial, sebagai akibat dari kesenjangan sosial maupun sikap budaya. Adanya

kesenjangan kesejahteraan sosial penduduk dalam bidang ekonomi antara penduduk

pendatang yang dominan kaya dengan penduduk primbumi yang pada umumnya

tergolong miskin, yakni antara orang Bali yang secara ekonomi lebih sukses

dibandingkan orang Komering dan orang Jawa. Hasil wawancara dengan Wakil Bupati

Kabupaten OKU Timur; Kabid Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten

OKU Timur; pemuka agama Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan),

Khatolik (Romo Pius), Hindu (I Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-

10 Februari 2011. 126

Hal ini sesuai dengan pengertian kesejahteraan sosial, menurut Midgley

dalam Isbandi Rukminto Adi, yakni suatu keadaan atau kondisi kehidupan manusia

yang tercipta ketika berbagai permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik, ketika

kebutuhan manusia dapat terpenuhi dan ketika kesempatan sosial dapat

dimaksimalisasikan. Sedangkan dalam UU No 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan

Sosial Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi

terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup

layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Lihat Isbandi Rukminto Adi, Psikologi, Pekerjaan Sosial, dan Ilmu Kesejahteraan Sosial: Dasar-Dasar Pemikiran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 16.

43

49

bahwa kesejahteraan masyarakat akan meningkat, apabila masyarakat

diberdayakan untuk dapat meningkatkan dan mengembangkan

kemampuan dan kapasitasnya. Hal ini dapat dilakukan melalui proses

pemberdayaan masyarakat. Konsep pemberdayaan masyarakat

memegang peranan penting dalam proses implementasi program

pemberdayaan yang nantinya akan dilakukan oleh pihak pemerintah

Kabupaten OKU Timur. Hakekat sebuah program pemberdayaan dengan

pendekatan partisipatif adalah untuk mengentaskan kemiskinan secara

keseluruhan. Karena metode pemberdayaan tersebut memiliki sejumlah

muatan indikator yang cukup mendukung dan dilengkapi dengan sudut

pandang yang terarah. Dari keseluruhan proses tersebut diarahkan untuk

mendukung tercapainya bangunan konstruksi kemandirian yang

berkelanjutan dari masyarakat setempat.127

Bila ditinjau dari proses

pemberdayaan masyarakat, maka tidak hanya berbicara mengenai

peningkatan kemampuan atau kapasitas dari masyarakat, tetapi penting

juga melihat aset-aset yang ada di masyarakat tersebut, karena bila terus

dikembangkan atau dimaksimalkan dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat.128

127

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9

Februari 2011. Lihat juga Owin Jamasy, Keadilan, Pemberdayaan & Penanggulangan Kemiskinan (Jakarta: Blantika, 2004), 24. Harry Hikmat Kusnaka Adimihardja,

Participatory Research Appraisal dalam Pelaksanaan Pengabdian Kepada Masyarakat: Modul Latihan (Bandung: Humaniora, 2001), 9. Bandingkan dengan Isbandi Rukminto

Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat, dan Intervensi Komunitas: Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi

UI, 2003), 54. 128

Ada beberapa aset komunitas yang perlu untuk dipahami dalam proses

pemberdayaan masyarakat Kabupaten OKU Timur, yaitu: Pertama, Modal Manusia.

Modal ini mewakili unsur pengetahuan, perspektif, mentalitas, keahlian, pendidikan,

kemampuan kerja, dan kesehatan masyarakat yang berguna untuk meningkatkan

kualitas hidup masyarakat. Kedua, Modal Fisik. Modal ini mewakili unsur bangunan

(seperti: perumahan, pasar, sekolah, rumah sakit, dan sebagainya) dan infrastruktur

dasar (seperti jalan, jembatan, jaringan air minum, jaringan telepon, dan sebagainya)

yang merupakan sarana yang membantu masyarakat untuk meningkatkan kualitas

hidupnya. Ketiga, Modal Finansial. Modal ini mewakili unsur sumber-sumber

keuangan yang ada di masyarakat (seperti penghasilan, tabungan, pendanaan reguler,

pinjaman modal usaha, sertifikat surat berharga, saham, dan sebagainya) yang dapat

dimanfaatkan untuk menunjang derajat kehidupan masyarakat. Keempat, Modal

Teknologi. Modal ini mewakili sistem atau peranti lunak (software) yang melengkapi

modal fisik (seperti teknologi pengairan sawah, teknologi penyaringan air, teknologi

pangan, teknologi cetak jarak jauh dan berbagai teknologi lainnya) yang dapat

digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kelima, Modal Lingkungan.

Modal ini mewakili sumber daya alam dan sumber daya hayati yang melingkupi suatu

50

Misalnya, untuk meningkatkan aset manusia diperlukan aset

fisik, seperti sekolah atau rumah sakit sebagai sarana untuk

mengembangkan pengetahuan, keahlian, pendidikan, maupun kesehatan

masyarakat. Hal ini menjadi salah satu prioritas pemerintah Kabupaten

OKU Timur. Demikian juga dengan aset fiskal atau aset keuangan

sangat mendukung masyarakat untuk meningkatkan perekonomiannya.

Aset sosial sebagai sarana untuk mengembangkan ikatan sosial atau

jaringan sosial dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Selain

itu, modal atau aset natural dan teknologi sangat penting dalam

membantu masyarakat untuk mengembangkan sumber daya alam yang

dimiliki dengan dibantu oleh penguasaan teknologi yang dapat

meningkatkan penggunaan sumber daya alam yang ada di masyarakat

seperti penggunaan teknologi untuk pengembangan pertanian

masyarakat, agar nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat.129

Contoh kasus, di Kabupaten OKU Timur penduduknya

mayoritas hidup dari pertanian, tapi, modal atau aset fisik belum

memadai, seperti jalan raya atau jembatan, sehingga masyarakat

kesulitan untuk memasarkan hasil pertaniannya. Pembangunan jalan

raya ataupun jembatan sulit direalisasikan mengingat dana yang

dikeluarkan sangat besar. Tetapi melalui pemberdayaan masyarakat

dimana ada peran dari berbagai pihak atau stakeholder yang dapat

membantu dalam proses pemberdayaan masyarakat.130

Dengan adanya

kerjasama itu, maka pembangunan infrastruktur berupa jalan raya

ataupun jembatan menjadi lebih efektif dan efisien.131

masyarakat. Keenam, Modal Sosial. Modal ini mewakili sumber daya sosial (seperti

jaringan sosial, kepercayaan masyarakat, ikatan sosial, dan sebagainya) yang

bermanfaat untuk membantu masyarakat memenuhi kebutuhan hidupnya. Aset-aset

yang ada itu tidak dapat berdiri sendiri, tetapi saling melengkapi satu dengan yang

lainnya. Sumber: Arsip Bapeda Kabupaten OKU Timur, 2010. Didukung juga dengan

hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9 Februari

2011. Lihat juga Isbandi Rukminto Adi, Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2005), 285-313. 129

Salah satu program pemberdayaan yang terkenal di Indonesia saat ini, yaitu

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri belum sepenuhnya

mengembangkan aset-aset yang ada di masyarakat. 130

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9

Februari 2011. 131

Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010. Data ini juga didukung oleh

hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9 Februari

2011.

51

Pemerintah Kabupaten OKU Timur juga mendorong

terbentuknya Kelompok Pemberdayaan Masyarakat (KPM) yang

menjalankan fungsi utama peningkatan kesejahteraan. Hal ini terlihat

dari usaha pemerintah Kabupaten untuk menjamin kesejahteraan dan

memberikan perlindungan kepada anggota kelompok tani yang ada di

daerah ini, dengan membentuk badah usaha yang dinamakan Koperasi

Unit Desa (KUD). Badan usaha ini sesuai dengan karakteristik

masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dan

gotong-royong seperti di Kabupaten OKU Timur. Karena koperasi

merupakan wadah bagi perekonomian rakyat. Dengan demikian,

diharapkan akan menumbuh-kembangkan pembangunan pertanian dan

pedesaan, serta pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) atau

dengan meminjam istilah Umar Chapra IKM (Industri Kecil dan

Menengah).132

Memang, untuk membangun usaha tersebut, pasti

menghadapi kendala, terutama kaitannya dengan masalah permodalan

dan pemasaran. Untuk itulah diperlukan kerjasama dari semua pihak

yang ada di daerah ini.133

Pemerintah Kabupaten OKU Timur menyusun langkah-langkah

utama dan pendukung, agar visi yang dicitakan-citakan dapat

terwujud.134

Langkah-langkah ini merupakan penjabaran lebih rinci dan

kongkrit dari misi yang telah digariskan.135

Semua langkah ini terkait

satu sama lain dan bersifat saling melengkapi. Dari langkah manapun

132

Umer Chapra, Islam and The Economic Challenge (USA: The Islamic

Foundation, 1995), 256. 133

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas, Tanggal 9 Februari 2011. Lihat juga Loekman

Soetrisno, ‚Pembangunan Manusia Indonesia sebagai Pendukung Masyarakat

Industrial Pancasila,‛ dalam Sumber Daya Manusia untuk Indonesia Masa Depan,

Jimmly Asshiddiqie, eds. (Bandung: Mizan, 1997), 141-148. 134

Hal ini sesuai dengan visi Kabupaten OKU Timur, yakni terwujudnya

Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur yang unggul dan berdaya saing global berbasis

pada pemanfaatan potensi sumber daya alam. Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur,

2010. 135

Misi Kabupaten OKU Timur, yaitu: Pertama, meningkatkan mutu sumber

daya manusia dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi

daerah dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada

mekanisme pasar; Kedua, meningkatkan profesionalisme aparatur dan penataan

kelembagaan pemerintah daerah ramping struktur dan karya fungsi (rasional, efektif,

efisien, realitas, dan professional) dan menjamin tegaknya hukum; Ketiga,

meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana dasar wilayah/infrastruktur yang

berorientasi pada pemerataan; Keempat, meningkatkan pendayagunaan potensi sumber

daya melalui pembangunan berkelanjutan. Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.

52

dimulai upaya pemecahan masalah yang ada, maka pada akhirnya akan

bertemu dan membutuhkan dukungan dari sisi yang lain. Langkah-

langkah yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten OKU Timur,136

yaitu: Pertama, pemberdayaan masyarakat desa, yakni: dengan

peningkatan keberdayaan masyarakat perdesaan, pengembangan

lembaga ekonomi perdesaan, peningkatan partisipasi masyarakat dalam

membangun desa, peningkatan kapasitas aparatur pemerintah desa,

peningkatan peran serta perempuan di perdesaan, pengembangan

data/informasi perdesaan. Selain itu, pemerintah Kabupaten OKU Timur

juga berupaya meningkatan perlindungan, pelayanan dan rehabilitasi

sosial, dengan pemberdayaan fakir miskin, Komunikasi Adat Terpencil

(KAT) dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) lainnya,

meningkatkan pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial,

pembinaan anak terlantar, pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan

sosial. Pemerintah juga berupaya melakukan pemberdayaan dan

perlindungan terhadap kualitas hidup perempuan dan anak. Untuk

mewujudkan hal ini, strategi yang dilakukan yakni dengan program

keserasian kebijakan peningkatan kualitas anak dan perempuan,

penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender dan anak, peningkatan

kualitas hidup dan perlindungan perempuan, peningkatan peran serta dan

kesetaraan gender dalam pembangunan, program penguatan

kelembagaan pengarusutamaan gender dan anak.

Kedua, pengembangan pendidikan. Dalam bidang pendidikan,

arah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Oku Timur,

yaitu: perluasan akses pendidikan gratis untuk masyarakat miskin, yakni

dengan kebijakan memperluas akses pendidikan bagi anak usia sekolah.

Diantara upaya yang dilakukan pemerintah Kabupaten OKU Timur,

yakni terus menggalakkan program pendidikan anak usia dini, program

wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, program pendidikan

menengah, program pendidikan non formal, program pendidikan luar

sekolah, program peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan,

program pengembangan budaya baca dan pembinaan perpustakaan,

program manajemen pelayanan pendidikan. Selain itu pemerintah

Kabupaten OKU Timur juga terus berupaya membangun sarana dan

prasarana pendidikan, seperti pengadaan gedung sekolah dan

136

Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010. Data ini juga didukung oleh

hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9 Februari

2011.

53

penambahan tenaga pengajar/guru.137

Hal ini bertujuan agar

pengembangan pendidikan yang semakin bermutu dan menyebar ke

seluruh daerah/kecamatan.

Ketiga, peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Dalam

bidang pelayanan kesehatan, strategi yang dilakukan oleh pemerintah

Kabupaten OKU Timur, yakni diarahkan kepada pelayanan kesehatan

penduduk, pelayanan kesehatan terhadap tenaga produktif, dan usaha

preventif kesehatan. Upaya yang dilakukan pemerintah Kabupaten OKU

Timur dalam pelayanan kesehatan meliputi pelayanan kesehatan kepada

seluruh lapisan masyarakat dan diupayakan agar dapat menjangkau

seluruh lapisan masyarakat, terutama masyarakat pedesaan dengan

golongan ekonomi lemah, sehingga diharapkan mereka dapat pula

menikmati pelayanan kesehatan yang jauh lebih baik. Untuk itulah

pemerintah Kabupaten OKU Timur terus membangun sarana dan

prasarana, baik bangunan rumah sakit maupun tenaga medis. Rumah

sakit yang ada di Kabupaten OKU Timur hingga tahun 2010 berjumlah

3 unit, yakni 1 rumah sakit umum, 2 rumah sakit swasta. Sedangkan

jumlah puskesmas sebanyak 17 buah, puskesmas pembantu 24 buah dan

rumah bersalin berjumlah 36 buah. Tenaga medis/kesehatan yang ada di

Kabupaten Oku Timur selama tahun 2010 adalah dokter umum

berjumlah 22 orang, dokter gigi berjumlah 2 orang, bidan berjumlah 121

orang, perawat gigi berjumlah 13 orang, dan perawat umum berjumlah

92 orang ditambah lagi dengan bidan desa sebanyak 161 orang.138

Keempat, peningkatan sarana prasarana infrastruktur daerah.

Salah satu pembangunan infrastruktur yang menjadi perhatian

pemerintah Kabupaten OKU Timur yakni infrastruktur berupa jalan

raya. Tahun 2010 panjang jalan di Kabupaten OKU Timur mencapai

1948.84 km dengan jangkuan terhadap luas wilayah hanya 0.51 km2 dari

total wilayah Kabupaten OKU Timur. 21,68 km merupakan jalan

nasional yang menjangkau bagian selatan Kabupaten OKU Timur

melalui ibu kota Kabupaten Martapura. 279.40 km merupakan jalan

137

Jumlah sekolah dasar yang ada baik Sekolah Dasar (SD) negeri maupun

swasta di Kabupaten OKU Timur berjumlah 425 unit sekolah. Sedangkan jumlah

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) adalah sekolah negeri berjumlah 41 unit

yang tersebar diseluruh kecamatan dan sekolah swasta berjumlah 37 unit, dengan

jumlah ruang belajaar 553 buah untuk negeri dan 535 buah untuk swasta. Sedangkan

Sekolah Menengah Umum (SMU) yang ada di Kabupaten OKU Timur, yaitu

berjumlah 15 unit SMU negeri dan 19 unit SMU swasta, dengan jumlah ruang belajar

sebanyak 132 buah untuk negeri dan 120 buah untuk swasta. Sumber: Arsip Bappeda

OKU Timur, 2010. 138

Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.

54

provinsi, 563 km jalan Kabupaten dan 1084.91 km adalah jalan desa.

Berdasarkan kondisi, dari panjang total jalan tersebut, 42.42 % atau

1.170,49 km merupakan jalan dengan kondisi jalan tanah sedangkan

jalan dengan kondisi beraspal hanya 21,23% atau 585,76 km. Selain itu,

terdapat 178 unit jembatan dengan panjang 2.219,85 km dan 2 terminal

yang berklasifikasi b dan 1 terminal berklasifikasi c. Jembatan timbang

sebanyak 1 unit, 7 unit SPBU dengan jumlah bus antar kota antar

provinsi yang melayani OKU Timur sebanyak 40 unit.139

Selain itu

pemerintah Kabupaten OKU Timur juga melakukan pembangunan dan

perbaikan jalan penghubung antar wilayah, strategi yang dilakukan

yakni dengan program pembangunan jalan dan jembatan, pembangunan

saluran drainase (gorong-gorong), pembangunan turap,

rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan jembatan, rehabilitasi/pemeliharaan

turap, inspeksi kondisi jalan dan jembatan, tanggap darurat jalan dan

jembatan, pembangunan sistem informasi/database jalan dan jembatan.

Pemerintah Kabupaten OKU Timur juga melakukan

pembangunan infrastruktur perhubungan, teknologi dan informasi di

seluruh wilayah, yakni dengan pembangunan fasiltas, sarana prasarana

perhubungan, rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana dan fasilitas

LLAJ, peningkatan pelayanan angkutan, pembangunan sarana dan

prasarana perhubungan, pengendalian dan pengamanan lalu lintas,

peningkatan kelayakan pengoperasian kendaraan bermotor. Selain itu

pemerintah juga mengupayakan peningkatan akses jaringan informasi

dan komunikasi, antara lain dengan: program pengembangan

komunikasi, informasi dan media massa, pengkajian dan penelitian

bidang informasi dan komunikasi, fasilitasi peningkatan sumber daya

manusia bidang komunikasi dan informasi, kerjasama informasi dan

mass media. Pemerintah Kabupaten OKU Timur juga mengupayakan

pembangunan perumahan yang layak huni serta meningkatan kualitas

pemukiman kumuh, yakni dengan melakukan program: pengembangan

perumahan, lingkungan sehat perumahan, pemberdayaan komunitas

perumahan, perbaikan perumahan akibat bencana alam/sosial,

peningkatan kesiagaan dan pencegahan bahaya kebakaran, serta

pengelolaan areal pemakaman.

Kelima, peningkatan investasi dan percepatan pembangunan

ekonomi. Untuk meningkatkan dan mendorong investor dalam rangka

berinvestasi di Kabupaten OKU Timur guna mendorong percepatan

pertumbuhan investasi dan perekonomian masyarakat, strategi yang

139

Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.

55

dilakukan pemerintah Kabupaten OKU Timur yaitu: (1) pengembangan

sumber daya energi terbarukan dan pengelolaan yang berwawasan

lingkungan; peningkatan akses jaringan listrik kepada seluruh

masyarakat; pengembangan energi alternatif dan peningkatan akses

terhadap penelitian bidang energi alternatif dengan upaya meningkatkan

anggaran untuk pengembangan sektor pertambangan; pembangunan

jaringan listrik baru untuk wilayah yang belum teraliri listrik;

meningkatkan kerjasama dengan lembaga penelitian dalam

mengembangkan energi alternatif. Untuk mewujudkan hal ini

pemerintah Kabupaten OKU Timur menetapkan kebijakan antara lain:

program pembinaan dan pengawasan bidang pertambangan; melakukan

pengawasan dan penertiban kegiatan rakyat yang berpotensi merusak

hutan; program pembinaan dan pengembangan bidang ketenagalistrikan;

program geologi, SDM dan pertambangan umum; pembinaan dan

pengembangan minyak dan gas; serta melakukan pengembangan energi

alternatif. (2) penguatan kemitraan antara industri menengah, industri

kecil dan koperasi; peningkatan pembinaan terhadap Usaha Kecil

Menengah dan Koperasi; peningkatan industri pengolahan sektor

pertanian. Kebijakan yang dilakukan yakni: meningkatkan kemitraan

antar usaha kecil, menengah dan koperasi; meningkatkan pembinaan

kepada usaha kecil, menengah dan koperasi; meningkatkan pembinaan

terhadap industri mengolah hasil pertanian. Untuk mewujudkan hal ini

strategi yang dilakukan pemerintah Kabupaten OKU Timur adalah:

penciptaan usaha kecil menengah dan koperasi; pengembangan

kewirausahaan dan keunggulan kompetitif usaha kecil menengah;

melakukan pengembangan sistem pendukung usaha bagi usaha mikro

kecil menengah; peningkatan kualitas kelembagaan koperasi;

peningkatan promosi dan kerjasama investasi; peningkatan iklim

investas dan realisasi investasi; penyiapan potensi sumber daya, sarana

dan prasarana daerah; peningkatan kapasitas IPTEK sistem produksi;

pengembangan industri kecil dan menengah; peningkatan kemampuan

teknologi industri; penataan struktur industri; serta pengembangan

sentra-sentra industri potensial. (3) peningkatan penataan sektor

perdagangan dan pasar untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah

(PAD), dengan arah kebijakan pengembangan potensi ekonomi daerah

dengan membangun fasilitas perdagangan. Untuk mewujudkan hal ini

strategi yang dilakukan pemerintah Kabupaten OKU Timur, yakni:

dengan terus berupaya untuk meningkatkan perlindungan terhadap

konsumen dan pengamanan perdagangan, peningkatan kerjasama

perdagangan internasional, peningkatan dan pengembangan ekspor,

56

peningkatan efisiensi perdagangan dalam negeri, serta melakukan

pembinaan pedagang kaki lima dan asongan.

Keenam, pengembangan daerah pertumbuhan baru dan daerah

tertinggal. Meningkatkan pertumbuhan daerah-daerah baru khususnya

wilayah cepat tumbuh, wilayah perbatasan dan wilayah tertinggal adalah

sebagai berikut: peningkatan pembangunan di wilayah Kota Terpadu

Mandiri, peningkatan program pembangunan di daerah pesisir komering,

peningkatan jumlah transmigasi lokal. Kebijakan yang dilakukan yakni:

pembangunan fasilitas di KTM (Kota Terpadu Mandiri), meningkatkan

anggaran pembangunan di wilayah pesisir komering, meningkatkan

jumlah daerah transmigasi dan jumlah transmigran. Sedangkan upaya

yang dilakukan untuk mewujudkan hal ini yakni dengan melakukan

pengembangan wilayah transmigasi, program transmigrasi lokal,

program transmigrasi regional.

Ketujuh, pembangunan keagamaan dan budaya. Arah kebijakan

pemerintah Kabupaten OKU Timur dalam peningkatan dan

pengembangan kualitas kehidupan beragama bagi masyarakat adalah

sebagai berikut: peningkatan kesadaran dan kerukunan antar umat

beragama, serta meningkatan kecintaan terhadap budaya daerah;

mengembangkan daya tarik wisata untuk mendukung perekonomian

daerah. Kebijakan yang dilakukan pemerintah Kabupaten OKU Timur,

yakni: meningkatkan pembinaan terhadap lembaga keagamaan dan

lembaga adat; meningkatkan pengembangan pariwisata dengan

meningkatkan fasilitas penunjang kepariwisataan. Hal ini diwujudkan

dengan cara: pengelolaan nilai budaya, pengelolaan kekayaan budaya,

pengelolaan keragaman budaya, pengembangan kerjasama pengelolaan

kekayaan budaya, pengembangan pemasaran pariwisata, pengembangan

destinasi pariwisata, dan pengembangan kemitraan.

Kedelapan, pembangunan keamanan dan ketertiban. Untuk

meningkatkan stabilitas keamanan dan ketentraman masyarakat dalam

rangka mendorong terciptanya pertumbuhan perekonomian daerah dan

masyarakat arah kebijakan yang dilakukan pemerintah Kabupaten OKU

Timur yaitu: memantapkan peran pemerintah sebagai fasilitator dan

mediator yang kredibel dan adil dalam menjaga dan memelihara

keamanan dan ketertiban dalam masyarakat; memelihara ketentraman

dan ketertiban masyarakat yang sejalan dengan pengembangan

keamanan swakarsa dan perlindungan terhadap masyarakat; penegakan

hukum dan penciptaan ketertiban dan keamanan. Kebijakan yang

dilakukan, yakni: meningkatkan peran pemerintah dalam menjalin

komunikasi antar kelompok masyarakat, membangun kemitraan antar

57

aparat keamanan dan masyarakat, meningkatkan pemahaman

masyarakat terhadap hak asasi manusia. Agar hal ini dapat terwujud

strategi yang dilakukan pemerintah Kabupaten OKU Timur, yaitu:

peningkatan keamanan dan kenyamanan lingkungan, pemeliharaan

kantrantibnas (keamanan, ketentraman serta ketertiban nasional) dan

pencegahan tindak kriminal, pengembangan wawasan kebangsaan,

kemitraan pengembangan wawasan kebangsaan, pemberdayaan

masyarakat untuk menjaga ketertiban dan keamanan, Peningkatan

Pemberantasan Penyakit Masyarakat (PEKAT), program pendidikan

politik masyarakat, serta pencegahan dini penanggulangan bencana

alam.

Pemerintah Kabupaten ini juga terus berupaya untuk

mewujudkan pembangunan dan pengembangan wilayah Kabupaten

OKU Timur yaitu: Pertama, Kota Terpadu Mandiri (KTM). Strategi

yang dilakukan, yakni: pembangunan infrastruktur pendukung seperti

jalan penghubung dan jembatan menuju dan di areal KTM;

pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan; pembangunan pusat-

pusat perekonomian dan perdagangan; pembangunan perumahan khusus

bagi peserta transmigasi lokal; serta bantuan bagi usaha pertanian,

perkebunan dan peternakan. Kedua, kawasan agropolitan. Strategi yang

dilakukan, yakni: mengembangkan daerah pertanian sebagai daerah

pertumbuhan baru yang didukung dengan fasilitas dan sarana prasarana

yang mendukung usaha bidang pertanian. Ketiga, kawasan minapolitan.

Strategi yang dilakukan yakni, mengembangkan daerah pertanian

khususnya perikanan budidaya sebagai daerah pertumbuhan baru yang

didukung dengan fasilitas dan sarana prasarana yang mendukung usaha

bidang perikanan. Keempat, kawasan khusus OMIBA. Strategi yang

dilakukan yakni, kawasan khusus dimana kepemilikan wilayah adalah

militer yang dapat dikembangkan sebagai usaha produktif dan dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat. Hal ini bertujuan untuk mengurangi

angka pengangguran. Kebijakan pembangunan di Kabupaten OKU

Timur tidak hanya berorentasi pada pembangunan ekonomi, namun juga

memperhatikan aspek pembangunan sosial, yakni melalui pembangunan

fundamental sosial-budaya masyarakat. Salah satu strateginya yakni,

pemerintah bekerja sama dengan pihak terkait mengadakan pelatihan-

pelatihan dan penyuluhan secara rutin di berbagai daerah yang ada di

Kabupaten OKU Timur. Hal ini bertujuan agar tumbuh dalam

masyarakat kepribadian yang tangguh dalam menghadapi beragam

tantangan, adanya kultur masyarakat yang berdisiplin dan beretos kerja

tinggi, memiliki rasa saling percaya antar warga yang berbeda latar

58

belakang, juga memiliki religiusitas dan spiritualitas yang tinggi.140

Untuk mewujudkan pemberdayaan masyarakat berbasis keadilan dan

kesejahteraan umat diperlukan peran serta dan kerjasama pemerintah

Kabupaten OKU Timur dengan seluruh masyarakat yang ada di daerah

ini.141

B. Perbaikan di Bidang Sosial Ekonomi

Penyebaran penduduk Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur di

16 Kecamatan yang ada ternyata tidak merata.142

Hal ini disebabkan

karena sebagian besar penduduk lebih memilih tinggal di kecamatan

yang potensial secara ekonomi dan memiliki fasilitas umum dan sosial

yang lebih lengkap dibandingkan kecamatan lainnya yang masih

tertinggal. Kecamatan Belitang 1 misalnya, mempunyai jumlah

penduduk terbesar yaitu 63.070 jiwa, disusul Kecamatan Madang Suku 1

dengan penduduk sebesar 60.832 jiwa dan Kecamatan Buay Madang

Timur dengan penduduk sebesar 57.916 jiwa. Sedangkan jumlah

penduduk terkecil berada di Kecamatan Jayapura yaitu hanya sebanyak

6.564 jiwa.143

Sebagian tanah petuanan di Kabupaten OKU Timur dihuni oleh

pendatang baik dari luar maupun dari dalam kabupaten itu.144

Hal ini

dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya konflik, apalagi bila tidak

ditemukan alternatif jalan penyelesaian. Misalnya, dalam hal hubungan

penduduk pendatang transmigran dari Bali yang dominan beragama

Hindu dan penduduk pribumi yang dominan beragama Islam yang

140

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama

Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I

Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. 141

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas, Tanggal 9 Februari 2011. 142

Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur merupakan satu dari 14

Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Sumatera Selatan, dengan luas wilayah 3 370

km2. Dilihat dari sisi geografisnya Kabupaten ini terletak antara 103o40’ Bujur Timur

sampai dengan 104o33’ Bujur Timur dan antara 3

o45’ sampai dengan 4

o55’ Lintang

Selatan. Luas wilayah Pemerintahan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur yang

beribu kota Martapura meliputi 20 kecamatan, 3 kelurahaan, 202 desa dan 9 desa

persiapan. Daratan sekecil itu dihuni oleh 604.857 jiwa, yang menyebar di 16

kecamatan dan 211 desa/kelurahan. Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.

143Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.

144Hasil wawancara dengan Wakil Bupati OKU Timur, Tanggal 9 Februari

2011. Kajian lebih lanjut mengenai masalah-masalah sosial lihat Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan, 37.

59

bersuku Komering ataupun keturunan Jawa. Masalah konflik atau paling

tidak terhambatnya proses integrasi antara transmigran dengan

penduduk penduduk asli sering kali juga didasari oleh perbedaan atau

pertentangan nilai inti, sedangkan perbedaan nilai yang menyangkut

unsur budaya fisik juga dapat menyulut terjadinya konflik yang bersifat

destruktif atau fungsional negatif terhadap integrasi sosial. Apalagi

kalau kemudian didasari bahwa diantara kedua belah pihak terdapat juga

pertentangan kepentingan sehingga masing-masing pihak berposisi

sebagai kelompok kepentingan terhadap yang lain. Masalah lain yang

muncul adalah penyerobotan tanah orang lain makin bertambah,

mengingat batas-batas tanah yang tidak jelas. Berkaitan dengan lahan

pemukiman yang makin bertambah di satu pihak dan makin

berkurangnya lahan untuk pertanian dan perkebunan perlu diwaspadai

pertumbuhan desa-desa, ibu kota kabupaten. Kota kabupaten baru pada

umumnya merupakan perkembangan dari daerah yang baru berkembang,

sehingga tanah perkebunan dan pertanian akan tergusur oleh bangunan

perkantoran dan perumahan. Perkembangan Kabupaten OKU Timur

mengarah pada masyarakat hetrogen dan pluralistik dari segi agama dan

etnis. Kondisi demikian menjadi rawan untuk terjadinya kerusuhan

sosial yang berujung pada konflik komunal.145

Untuk itu berbagai usaha diupayakan, salah satu contohnya

dalam hal ini pemerintah Kabupaten OKU Timur bekerjasama dengan

Kemnakertrans RI berkomitmen untuk terus menumbuhkan kembali dan

berusaha agar pembangunan transmigrasi dapat mempercepat proses

pembangunan daerah dan dilaksanakan dengan secepat-cepatnya serta

sebaik-baiknya. Salah satu contoh upaya itu, yakni pembangunan dan

pengembangan permukiman transmigrasi Kota Terpadu Mandiri (KTM)

berbasis kawasan. Permukiman transmigrasi Kota Terpadu Mandiri

(KTM) yang dicanangkan pada tanggal 17 Januari 2007 oleh

Kemnakertrans RI terletak di Belitang Kabupaten OKU Timur, dengan

wilayah seluas 120 hektar yang tersebar di sembilan kecamatan, 142

desa, dengan luas wilayah 117.140,9 ha. Kemnakertrans RI juga

memberikan bantuan satu paket medical kit, dua unit power tresher, dua

paket buku perpustakaan, delapan set peralatan pembuat kue, 20 unit

mesin jahit, dan dua set peralatan olahraga, serta bibit karet untuk lahan

usaha bagi 25 KK transmigransi lokal.146

145

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas, Tanggal 9 Februari 2011. 146

Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.

60

Dengan demikian pemberdayaan masyarakat transmigrasi tidak

lagi bersifat eksklusif bagi transmigran, melainkan inklusif, dengan

melibatkan penduduk setempat dan sekitarnya yang juga sebagai

penerima manfaat keberadaan KTM ini. Oleh karena itu, penanganan

KTM akan melibatkan berbagai sektor, misalnya sektor kehutanan,

pertanian, pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan, perindustrian,

koperasi dan usaha kecil menengah, pertanahan dan sebagainya, dalam

suatu program terpadu secara bersama-sama. Satu kesatuan terpadu dan

model pembangunan transmigrasi merupakan upaya semua pihak dalam

lintas-sektoral dan lintas-struktural yang menyatu dalam koordinasi

yang produktif. Pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi

dengan skema KTM ini diharapkan menjadi alat untuk mempercepat

pembangunan daerah yang sebelumnya berorientasi perdesaan, untuk

kemudian terintegrasi dengan terwujudnya pusat pertumbuhan baru.

Dengan tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan baru di KTM ini,

dipastikan akan menggerakkan ekonomi lokal dan daerah. Melalui

proses pembangunan dan pengembangan, serta penataan kembali

kawasan-kawasan transmigrasi yang relatif belum berkembang melalui

skema KTM, dapat menjadi daya tarik bagi masyarakat luas, termasuk

dunia usaha, untuk bermukim, berusaha dan menanamkan modalnya di

kawasan transmigrasi.147

Program transmigrasi yang dikemas dengan skema KTM di

kawasan transmigrasi akan mengintegrasikan semua entitas kehidupan

dalam kawasan KTM secara hirarkis dengan memposisikan sebagai

Kawasan Perkotaan Baru (KPB) yang terletak di Satuan Permukiman

(SP) Utama dalam Satuan Kawasan Pengembangan (SKP) Utama. Pusat

KTM juga dilengkapi berbagai fungsi perkotaan, yang secara sekaligus

diarahkan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang tidak

jauh berbeda dengan masyarakat perkotaan, misalnya kebutuhan dasar

pendidikan, kesehatan, mental spiritual maupun pengembangan usaha

ekonomi. Dengan diresmikannya Gedung Badan Pengelola Gedung

Pusat Bisnis Taman dan Tugu, serta sarana pendidikan di Pusat Kota

Terpadu Mandiri (KTM) Belitang Kabupaten OKU Timur, diharapkan

kesejahteraan masyarakat lebih cepat tercapai. Salah satu tujuan

pembangunan KTM Belitang adalah mempercepat pembangunan

berbagai sektor, yaitu industri, perdagangan barang dan jasa, pendidikan

dan kesehatan serta menciptakan sentra-sentra bisnis dan argo industri.

147

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9

Februari 2011.

61

Sehingga mampu menarik investor swasta untuk

menumbuhkembangkan kegiatan ekonomi transmigran dan penduduk

sekitar. Dengan mengembangkan potensi dan membuka peluang usaha,

kesempatan kerja akan meningkat sehingga KTM Belitang akan menjadi

embrio kota masa depan dengan sarana dan prasarana memadai.148

Berbagai usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten

OKU Timur tersebut diharapkan mampu mengejar ketertinggalan

dengan daerah lain, bahkan bakal menjadi salah satu Kabupaten hasil

pengembangan daerah terbaik di Indonesia. Terbukti dengan

keberhasilan Kabupaten yang dikenal dengan slogan ‛sebiduk sehaluan‛

yang memiliki luas wilayah 3.370 km2 itu menjadi Kabupaten

percontohan tingkat nasional yang patut dibanggakan.149

Kabupaten ini

juga dikenal sebagai lumbung pangan nasional, yang telah mengoleksi

29 jenis penghargaan.150

Selain itu juga pemerintah Kabupaten OKU Timur terus

berupaya untuk memaksimalkan semua potensi yang ada di berbagai

sektor,151

antara lain: Pertama, sektor pertanian dan perkebunan.

Sebanyak 218.619 ha atau 64.61 % penggunaan lahan di Kabupaten

OKU Timur digunakan sebagai lahan pertanian dan perkebunan. Kondisi

ini juga ditunjang dengan adanya irigasi Perjaya yang menjangkau

wilayah yang luas sampai ke wilayah Provinsi Lampung. Selain

pertanian, penduduk juga bekerja di kebun. Produksi perkebunan rakyat

pada tahun 2010, yakni: 4.577,52 ton karet yang dihasilkan oleh 20.753

ha kebun karet di OKU Timur; perkebunan sawit rakyat menghasilkan

4.470,14 ton tandan buah segar (TBS) dari 1.201 ha kebun sawit; jumlah

produksi lada rakyat mencapai 1.829,46 ton yang dihasilkan dari

148

Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.

149Sumber:

Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.

150Penghargaan dan tanda jasa yang pernah diterima Bupati Kabupaten OKU

Timur dari tahun 2007-2009, antara lain: piagam penghargaan bakti koperasi dan

usaha menengah, atas jasa darma bakti dalam mewujudkan kegiatan dan usaha kecil

menengah (2007); Sumsel Bussiness Award 2006, kategori supporting for good

acceleration; piagam penghargaan atas keberhasilan dalam mewujudkan keteladanan

kota Martapura Provinsi Sumatra Selatan (2007); penghargaan, kategori mewujudkan

tertib administrasi kependudukan (SIAK); piagam penghargaan Menteri Negara

Pendayagunaan Aparatur Negara yang telah menyampaikan Laporan Akuntabilitasi

Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) tahun 2006-2008; penghargaan peningkatan

produksi beras nasional dari Presiden RI (2009); Piala Adipura sebagai Kabupaten

terbersih (dan termuda) dari Presiden RI; penghargaan Wana Lestari Kabupaten, kota

dan pelaku usaha peduli pembangunan kehutanan dari Menteri Kehutanan RI (2009).

Sumbert: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.

\\

151Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.

62

2.110,59 ha kebun lada; perkebunan kelapa rakyat menghasilkan

2.753,43 ton dengan luas kebun kelapa sekitar 2.375,95 ha; perkebunan

kopi rakyat seluas 1.703,01 ha dengan hasil produksi 1.338,89 ton.

Sementara itu perusahaan perkebunan kelapa sawit dan tebu di

Kabupaten OKU Timur dikelola oleh tujuh perusahaan perkebunan

dengan lokasi di Kecamatan Martapura, Kecamatan Buay Madang dan

Kecamatan Cempaka dengan luas areal yang telah dimanfaatkan

mencapai 10.727 ha, sedangkan yang belum dimanfaatkan seluas 33.502

ha.

Kedua, pertambangan. Kabupaten OKU Timur memiliki empat

macam barang tambang yang sudah dieksploitasi, diantaranya adalah

pasir, tanah liat, andesit/batu sungai/batu pecah dan batu koral. Pada

tahun 2010 hasil produksi yang paling banyak ditambang adalah pasir,

yaitu sebanyak 60.000 ton diikuti oleh batu koral sebesar 37.500 ton.

Selain itu Kabupaten OKU Timur mempunyai potensi di barang

tambang yang lain, yaitu batubara dan marmer. Diperkirakan pada tahun

2010 Kabupaten ini mempunyai cadangan batubara sebanyak 207,705

juta ton dan marmer sebesar 14,6 juta ton. Cadangan batubara terbanyak

berada di kecamatan Madang Suku III yang diperkirakan sebanyak 77

juta ton, diikuti kecamatan Buay Madang, kecamatan Buay Pemuka

Peliung dan Kecamatan Jayapura masing-masing diperkirakan sebanyak

50 juta ton.

Ketiga, pariwisata. Sektor pariwisata juga mendapatkan

perhatian pemerintah Kabupaten OKU Timur. Salah satu potensi wisata

buatan di Kabupaten OKU Timur adalah bendung perjaya Kecamatan

Martapura. Bendung yang dibangun tahun 1991 ini, selain berfungsi

sebagai sarana irigasi juga potensial untuk dijadikan dijadikan objek

wisata alam sebagai sumber pendapatan daearah dan hiburan rakyat.

Selain itu juga terdapat wisata alam Banau Datuk yang terletak sekitar

40 km dari Ibukota Kabupaten, Martapura. Terletak di desa Surabaya

dan Desa Mendayun Kecamatan Madang Suku I. Sebagai kawasan

pertanian, Pemerintah Kabupaten OKU Timur berupaya agar kawasan-

kawasan pertanian tersebut dapat dikembangkan sebagai kawasan

pariwisata yang lazim dikenal dengan agrowisata. Salah satu tempat

unggulan agrobisnis adalah lahan persawahan yang ada di daerah

Belitang dan pertanian duku di Rasuan yang selama ini dikenal dengan

duku Palembang sebagai buah duku terbaik yang telah dikenal sebagai

varietas nasional. Komoditas ini sudah merambah hingga Jakarta dan

Bandung.

63

Keempat, perdagangan. Sampai dengan tahun 2010, di

Kabupaten OKU Timur terdapat 136 unit usaha industri perdagangan

kecil. Dimana terdapat penambahan jumlah yang sebelumnya hanya 79

unit usaha. Adapun serapan tenaga kerja mencapai 522 orang dengan

nilai produksi mencapai Rp. 2.040.000.000,00. pada bidang industri

perdagangan terdapat 38 unit usaha dengan serapan tenaga kerja

sebanyak 190 orang. Pasar tradisional di Kabupaten OKU Timur

sebanyak 39 unit dengan pasar lokal sebanyak 5 unit. Terdapat 510

orang pengusaha kecil, 95 orang pengusaha sedang, dan 5 orang

pengusaha besar. Badan usaha berbentuk perseroan terbatas sebanyak 8

unit, persekutuan komanditer 148 unit dan 704 unit usaha perseorangan.

Dengan serapan tenaga kerja sebesar 17%.

Pemerintah Kabupaten OKU Timur terus berusaha untuk

mewujudkan peningkatan taraf hidup masyarakat yang maksimal

sebagai indikator kesejahteraan, dengan menyediakan peluang kerja bagi

masyarakat berusia produktif. Terbukanya peluang usaha menengah

kecil berbentuk plasma-plasma usaha, menumbuhkan jiwa

kewirausahaan dan munculnya sistem, serta sarana pendidikan yang

mendukung bidang kewirausahaan berskala besar. Pemerintah kabupaten

ini juga berupaya mewujudkan kebijakan mikro ekonomi yang

mendukung tumbuh-kembangnya dunia usaha dengan memperbaiki

regulasi mikro dan makro ekonomi secara komprehensif, misalnya

pemberian modal usaha melalui pinjaman yang lebih berpihak dengan

mengedepankan prinsip keadilan, tanpa memandang SARA (Suku,

Agama dan Ras). Hal itu diperkuat dengan pengembangan potensi lokal

sebagai bentuk pemberdayaan riil di setiap daerah di Kabupaten OKU

Timur, karena potensi dan kekayaan yang beragam.152

Menurut Wakil Bupati OKU Timur, permasalahan yang dihadapi

di dalam kehidupan bermasyarakat memang demikian kompleks,

sehingga memerlukan pendekatan multidimensional dan multijalur. Tak

cukup hanya dipecahkan dari sudut ekonomi saja, karena perkembangan

ekonomi yang tidak diikuti dengan penguatan institusi politik dan

budaya juga akan menyebabkan kegoncangan sosial tersendiri.153

152

Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010. Didukung juga dengan hasil

wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9 Februari 2011. 153

Salah satu konsep mengenai upaya pencegahan konflik dengan

menggunakan pendekatan politik ekonomi, yakni Jaring Pengaman Sosial, yaitu sebuah

program pemerintah yang bertujuan untuk membantu masyarakat mengatasi krisis

tahun 1998 yang melanda negara Indonesia. Perdebatan mengenai hal ini telah banyak

dikaji di berbagai literatur. Teori ini menjelaskan mengenai nilai transformasi

64

Persoalan yang ada di Kabupaten OKU Timur juga tak dapat didekati

hanya dari aspek politik dan keamanan belaka, dengan keyakinan bahwa

stabilitas politik dan keamanan akan memperlancar seluruh agenda

pembangunan lainnya. Karena penekanan yang berlebihan pada aspek

politik keamanan seringkali mengorbankan kebebasan warga dan daya

kreasi publik, sehingga stabilitas politik yang muncul hanya bersifat

semu dan artifisial, sementara itu ketidakpuasan serta semangat

perlawanan akan bergejolak di bawah permukaan. Proses pembangunan

dalam wujud apapun, harus berpusat pada manusia dan warga

masyarakat sebagai subyek utama. Manusia secara individual dan

kolektif menjadi penggerak pembangunan, karena itu mereka harus

menemukenali permasalahan yang dihadapi dan mencari jalan keluar

bagi setiap persoalan itu. Lingkungan yang kondusif tidak berguna,

apabila warga masyarakat yang menghuninya tak mampu memanfaatkan

perubahan yang terjadi di sekitarnya untuk mengangkat derajat mereka.

Kebijakan dan program yang digencarkan oleh pemerintah Kabupaten

OKU Timur juga tidak banyak manfaat, apabila masyarakat tidak

berinisiatif untuk mengentaskan keadaan mereka yang terpuruk.

Pembangunan manusia dari segala aspek, yakni aspek fisikal,

intelektual, dan spiritual menjadi kata kunci, agar perubahan sosial

dalam berbagai dimensi ekonomi, politik, dan sosial- budaya dapat

terpenuhi. Karena ini, kebijakan dalam bidang sosial-budaya mendapat

pelayanan sosial dalam memperbaiki kesetaraan, dan juga dengan metode untuk

memperluas efisiensi. Cara yang dilakukan dengan menganalisa peran Jaring Pengaman

Sosial (JPS) dalam konteks reformasi politik-ekonomi, metode distribusi, dan

implikasinya. Berbagai peneliti memverifikasi bahwa dalam situasi ekonomi normal,

bantuan sosial tidak dapat mengurangi kemiskinan secara efektif, sebaliknya malah

menunjukkan in-efisiensi program jaminan sosial untuk mengurangi kemiskinan.

Karena menimbulkan ketergantungan, sehingga Jaring Pengaman Sosial (JPS) menjadi

tidak efektif dan efesien. Kajian mengenai Jaring Pengaman Sosial, antara lain terdapat

dalam karya Mulyadi Sumarto, ‚Jaring Pengaman Sosial dan Transisi Ekonomi di

Indonesia: Paradoks Pelayanan Sosial,‛ JOAAG, Vol. 2, No. 1, Yogyakarta: CPPS

GMU, 2007, 56. Lihat juga C. Graham, Safety Nets, Politics, and the Poor: Transition to Market Economies. Washington DC: The Brooking Institution, 1994. P.R. Gregory

dan R. Stuart, Comparative Economic System. Boston: Houghton Mifflin Company,

1999. J. Le Grand, C. Propper & R. Robinson, The Economics of Social Problems, 49-

50. D. M. Dinitto, & T.R. Dye, Social Welfare Politics and Public Policy (New Jersey:

Prentice Hall, 1987), 71. Bandingkan J. Midgley, Social Welfare in Global Context (Thousand Oaks: Sage Publications, 1997), 82.

65

perhatian serius bagi pemerintah Kabupaten OKU Timur sebagai sarana

membentuk manusia dan masyarakat yang berdaya.154

154

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati OKU Timur, Tanggal 9 Februari

2011.

66

BAB IV

PERAN DAN FUNGSI FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

DALAM PENCEGAHAN KONFLIK

Bab ini mengkaji mengenai peran dan fungsi Forum Kerukunan

Umat Beragama (untuk selanjutnya disingkat FKUB) dalam upaya

mencegah terjadinya konflik di masyarakat Kabupaten OKU Timur.

Pembahasan dalam bab ini yakni: dinamika kehidupan umat beragama di

Kabupaten OKU Timur, wewenang dan tanggung jawab FKUB, agenda

kegiatan FKUB dalam pencegahan konflik. Selain itu juga dibahas

mengenai upaya yang dilakukan pemerintah Kabupaten OKU Timur

bekerjasama dengan pemuka agama, antara lain: mengadakan jaringan

hubungan dan kerja sama dengan pemerintah dan berbagai organisasi

keagamaan ataupun masyarakat secara periodik, mengadakan upaya

sosialisasi konsep-konsep kerukunan. Hal ini dilakukan melalui berbagai

pertemuan, dialog, kunjungan, ucapan selamat, himbauan, seruan dan

sebagainya.155

A. Dinamika Kehidupan Umat Beragama di Kabupaten OKU Timur

Wilayah Ogan Komering Ulu (OKU) Timur meliputi 20

kecamatan dan 184 Kelurahan dengan luas wilayah 4.467,58 km2.

Ibukota Kabupaten OKU Timur adalah Martapura. Penyebaran

penduduk di wilayah ini dominan di wilayah perdesaan dengan tingkat

pendidikan yang belum merata, pertumbuhan penduduk tinggi, etnisitas

yang majemuk, sarana dan prasarana sosial terbatas.156

Sehubungan

155

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama

Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I

Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Data ini juga

didukung dengan arsip FKUB Kabupaten OKU Timur periode 2006-2009. Penjelasan

lebih rinci mengenai bagaimana jaringan kerjasama antar umat beragama dapat dilihat

karya Hamka Haq, Jaringan Kerjasama antar Umat Beragama: dari Wacana ke Aksi Nyata (Jakarta: Penerbit Titahandalusia Press, 2002), 79-83.

156Kecamatan Buay Madang Timur ditempati penduduk terbesar di Kabupaten

OKU Timur yaitu 52.637 jiwa, begitu pula Kecamatan Belitang dan Kecamatan

Martapura dengan penduduk 49.585 jiwa dan 47.352 jiwa. Sedangkan Kecamatan

Jayapura mempunya penduduk paling sedikit yaitu 11.446 jiwa. Penyebaran penduduk

di wilayah Kabupaten OKU Timur menurut data tahun 2010 relatif tidak merata di

61

67

dengan hal tersebut, salah satu hal yang menarik adalah keanekaragaman

budaya yaitu adat istiadat dan suku bangsa yang berada di Kabupaten

OKU Timur. Masyarakat yang ada di kabupaten ini terdiri dari suku

bangsa Komering, suku bangsa ini adalah suku bangsa penduduk

asli/lama. Perkembangan selanjutnya karena pengembangan wilayah

transmigrasi dan mobilitas penduduk (urbanisasi) terdapat suku bangsa

lainnya seperti Jawa, Bali serta Tionghoa. Penduduk suku bangsa

asli/lama tersebar di masing-masing wilayah kecamatan, sedangkan

penduduk suku bangsa Jawa-Bali menyebar di kawasan-kawasan

transmigrasi dengan mata pencaharian sebagai petani, sedangkan

penduduk Tionghoa menyebar di kawasan perkotaan dengan mata

pencaharian sebagai pedagang.157

Penduduk dari berbagai suku bangsa

ini mempunyai keanekaragaman bahasa yang berbeda, namun antara

mereka hidup dengan rukun dan damai. Selain itu mayoritas penduduk

sebagai penganut agama Islam. Mobilitas penduduk Kabupaten OKU

Timur tinggi, sehingga mereka banyak berkomunikasi antar etnis dan

kontak sosial budaya pun terjadi. Kebudayaan yang masih dilakukan

sampai saat ini di Kabupaten OKU Timur di antaranya ruwahan, maulid

dan selamatan.

Berdasarkan observasi di lapangan, benih-benih konflik yang

muncul dalam kehidupan bermasyarakat di Kabupaten OKU Timur,

antara lain Pertama, adanya kesenjangan kesejahteraan sosial penduduk

dalam bidang ekonomi antara penduduk pendatang yang dominan kaya

dengan penduduk pribumi yang pada umumnya tergolong miskin.

Kedua, kekerasan sosial, sebagai akibat dari kesenjangan sosial maupun

sikap budaya. Ketiga, adakalanya terjadi intervensi terhadap tradisi dan

keyakinan keagamaan, yang bisa menimbulkan gesekan-gesekan,

sekalipun di tempat ini belum pernah berkembang menjadi konflik

kekerasan. Keempat, penggunaan idiom atau simbol-simbol secara tidak

tepat di Indonesia telah menjadi identitas kelompok agama tertentu.158

setiap wilayah kecamatan. Jumlah penduduk dengan kepadatan tertinggi terdapat di

Kecamatan Martapura mencapai 463 jiwa/Km2, disusul oleh Kecamatan Belitang

Mulya dengan kepadatan 424 jiwa/Km2. Kepadatan penduduk terendah adalah

Kecamatan Jayapura yaitu 49 jiwa/Km2. Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.

157Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9

Februari 2011. 158

Selain itu, permasalahan sosial lainnya yang ada di wilayah Kabupaten

OKU Timur yakni dibukanya agro-industri seperti perkebunan besar kelapa sawit dan

karet, yang berpengaruh terhadap pola penggunaan lahan, serta polusi industri yang

mengakibatkan banyak konflik kepentingan penggunaan lahan yang mengakibatkan

68

Sedangkan potensi kerukunan di Kabupaten OKU Timur, yaitu:

keterlibatan pemuda dan tokoh masyarakat, serta pemuka agama dalam

Kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Masyarakat); mudahnya

komunikasi yang akrab antar pemuka agama; koordinasi yang baik

antara aparat pemerintah dan pemuka agama; kepekaan yang positif dari

pemuka agama untuk mengantisipasi secara dini kemungkinan

munculnya gangguan kerukunan umat beragama, serta adanya Forum

Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten OKU Timur yang

mempunyai peran strategis dalam memelihara kerukunan umat

beragama di daerah ini.

Menurut Wakil Bupati OKU Timur, bila dikaji lebih lanjut

mengenai sejarah terjadinya konflik di berbagai daerah di Indonesia.

Peristiwa konflik yang terjadi di Indonesia yang menyebabkan

kerusuhan yang memakan korban nyawa di berbagai daerah. Oleh

pengamat sosial, kerusuhan itu dikaitkan dengan terjadinya kesenjangan

sosial dan ekonomi yang melanda tanah air. Tetapi ada sebagian lagi

yang berpendapat dan mengaitkan kerusuhan tersebut bukan hanya

sebagai akibat kesenjangan sosial semata, melainkan juga erat kaitannya

dengan masalah SARA (Suku Agama dan Ras). Berbagai analisis yang

kritis dilontarkan oleh para ahli sosiologi dan para biroktat, pemuka

agama, dan tokoh masyarakat di media massa, penyebab-penyebab dari

prahara yang melanda Tanah Air lengkap dengan solusi-solusinya.

Namun, kerusuhan demi kerusuhan seolah tidak pernah menunjukkan

tanda-tanda surut, bahkan beberapa daerah menunjukkan indikasi

peningkatan konflik. Masalah ini perlu dikritisi dan dicermati secara

hati-hati. Bagi daerah-daerah yang secara teritorial aman dan tentram,

perlu mengambil pelajaran dari fenomena konflik dari kerusuhan yang

terjadi di daerah-daerah lain. Antisipasi dini perlu dilakukan oleh

pemimpin-pemimpin, tokoh-tokoh masyarakat dan pemuka agama.

Interaksi yang berpotensi menjadi sumber konflik perlu ditelaah dan

diatur oleh pemimpin di daerah guna memelihara agar kerukunan tetap

terjaga dan mencegah terjadinya konflik.159

munculnya masalah kepentingan serta kesehatan masyarakat sekitarnya. Hasil

wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9 Februari 2011. 159

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9

Februari 2011. Lihat juga Bidawi Zubir, ‚Tantangan dan Harmoni dalam Pluralisme:

Sebuah Sketsa Pengalaman Lapangan‛ dalam Islam Humanis, Islam dan Persoalan Kepemimpinan, Pluralitas, Lingkungan Hidup, Supremasi Hukum dan Masyarakat Marginal, M. Tuwah ed. (Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2001), 47-48.

69

Ia juga mengatakan bahwa agama dapat menjadi wahana yang

sangat efektif untuk memobilisasi massa. Namun keefektifan agama

sebagai penyebab suatu konflik tergantung pada kondisi yang dialami

sebuah masyarakat. Agama akan mudah menjadi wahana mobilisasi

guna mencapai tujuan negatif, seperti penyebab konflik, apabila

masyarakat mengalami ketidakberdayaan ekonomi dan politik yang

tinggi. Sebaliknya, agama akan sulit dijadikan penyebab konflik apabila

keberdayaan ekonomi dan politik masyarakat tinggi.160

Karena sejatinya

tak ada agama satu pun, baik itu Islam, Kristen Protestan, Kristen

Katolik, Hindu, dan Budha yang mengajarkan pengikutnya untuk

menyakiti orang lain, apalagi membunuh manusia. Tapi, agama hadir di

dunia dengan membawa misi suci yakni cinta damai terhadap sesama.

Itulah pluralitas agama di era globalisasi yang menjadi karakteristik dari

bangsa Indonesia yang heterogen. Sehingga tak bisa dipungkiri,

pluralitas agama ini memiliki potensi dan peran sangat besar dalam

proses integrasi dan pembangunan Kabupaten OKU Timur. Realitas ini

didasarkan pada ajaran agama yang mewajibkan umatnya untuk

mencintai sesama dan hidup rukun. Tak terkecuali, Islam dalam al-

Qur’a>n surat al-Hujura>t: 10 yang mengajarkan: ‚Sesungguhnya orang-

orang beriman itu tidak lain adalah bersaudara. Maka, damaikanlah

antara dua saudaramu, dan bertakwalah pada Allah supaya kamu

dirahmati‛.161

Bahwa pada beberapa tahun terakhir ini, ketika bangsa Indonesia

mengalami masa transisi dari Orde Baru ke era Reformasi dengan

berbagai isu dan kecenderungan global, khususnya mengenai

demokratisasi, HAM, dan ekonomi global, kondisi ini dapat dijadikan

peluang oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk

menimbulkan kerusakan dan berakhir pada konflik komunal. Hal inilah

yang menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik di berbagai daerah di

Indonesia, seperti kasus di Maluku, Poso, Aceh. Selain itu, faktor

penyebab konflik juga, bisa bernuansa agama, etnis, politis, sosial,

160

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9

Februari 2011. Lihat juga Loekman Soetrisno, Konflik Sosial: Study Kasus di Indonesia (Yogyakarta: Tajidu Press, 2003), 39-40.

161Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama

Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I

Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011.

70

budaya, atau kombinasi dari berbagai nuansa tersebut.162

Untuk

mencegah agar konflik yang terjadi di berbagai daerah itu tidak

merambat ke Kabupaten OKU Timur, maka pemerintah kabupaten ini

segera membentuk suatu forum yang diharapkan dapat berperan aktif

dalam upaya pemeliharaan kerukunan, forum itu bernama Forum

Kerukunan Umat Beragama atau disingkat FKUB,163

yang akan dibahas

lebih lanjut pada sub bab berikutnya.

Selain membentuk FKUB, pemerintah Kabupaten OKU Timur

juga menghimbau dan mengajak para pemuka agama, baik pemuka

agama Islam, Kristen, Khatolik, Hindu dan Budha untuk dialog dan

memahami benar pentingnya perdamaian. Salah tema dialog yang

efektif dalam memelihara kerukunan dan mencegah terjadinya konflik,

yakni membahas mengenai pluralisme agama (pemahaman yang

memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan, dengan

menerimanya sebagai sebuah kenyataan dan berbuat sebaik mungkin

berdasarkan kenyataan itu). Itulah pluralitas agama di era globalisasi

yang menjadi karakteristik dari bangsa Indonesia yang heterogen.

Sehingga tak bisa dipungkiri, pluralitas agama ini memiliki potensi dan

peran sangat besar dalam proses integrasi dan pembangunan Kabupaten

OKU Timur. Realitas ini didasarkan pada ajaran agama yang

mewajibkan umatnya untuk mencintai sesama dan hidup rukun. Di

samping itu, pluralitas agama ini juga mengandung potensi terjadinya

konflik, disintegrasi bangsa, ketika melihat masing-masing agama

memiliki klaim kebenaran absolut dan muatan emosi keagamaan yang

menjadi dasar interaksi primer. Konflik atas dasar perbedaan agama bisa

disebabkan, baik oleh ajaran agama itu sendiri, kualitas moral-spiritual

penganutnya, maupun latar belakang budaya, seperti kultur patriarkal

atau ikatan primordial yang masih kuat. Secara struktural perbedaan

agama tersebut berkaitan erat dengan rasa in-security dalam bidang

sosial, ekonomi, politik, dan budaya.164

162

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9

Februari 2011. Lihat J.A. Ferdinandus, ‚Pola Ideal Jaringan Kerjasama Antar Umat

Beragama,‛ dalam Jaringan Kerjasama antar Umat Beragama: dari Wacana ke Aksi Nyata, Hamka Haq eds., 88.

163Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama

Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I

Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. 164

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama

71

Pemuka agama dan tokoh masyarakat disebut dengan istilah

fungsionaris agama, dan intelektual; fungsionaris agama boleh jadi

termasuk intelektual, dan sebaliknya tidak semua intelektual merupakan

fungsionaris agama. Seorang intelektual boleh jadi sangat qualified dan

kapabel dalam hal-hal agama, namun tidak disebut dan diakui

masyarakat luas sebagai fungsionaris agama, karena tidak sepenuhnya

menjalankan fungsi-fungsi fungsionaris agama.165

Dalam perkembangan selanjutnya, semakin banyak dialog yang

justru dilakukan para intelektual, juga melibatkan fungsionaris dan

wakil-wakil berbagai agama. Dialog yang berlangsung itu dapat dilihat

dalam kerangka Kimball, yang mengambil beberapa bentuk distingtif

tetapi saling berkaitan,166

yakni: Pertama, dialog parlementer,167

dialog

kelembagaan,168

dialog teologis,169

dialog dalam masyarakat,170

dialog

kerohanian171

.

Islam (Faturrahman), Tanggal 9-10 Februari 2011. Lihat juga Azyumardi Azra,

Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), 10. 165

Yang dimaksud dengan fungsionaris adalah orang yang menjalankan fungsi-

fungsi kepemimpinan agama; memimpin dan mengarahkan para pemeluk agama,

seringkali bukan hanya dalam urusan agama (sakral) seperti keimanan (teologi), ibadat,

ritual, dan sebagainya, tetapi juga dalam urusan-urusan yang lebih bersifat keduniaan

(profan). Secara individual dan kolektif mereka dikenal dengan julukan (yang sekaligus

menunjukkan fungsinya) ulama, ustad, mubalig, pastur, pendeta, bikhsu, pedanda.

Untuk lebih jelasnya lihat Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), 56-58.

166A. Charles Kimball, ‚Muslim-Christian Dialogue,‛ dalam J.L. Esposito,

eds., The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Vol. 3 (New York:

Oxford University Press, 1995), 204. Lihat juga Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), 62-65.

167Yakni dialog yang melibatkan ratusan peserta, misalnya World’s

Parliament of Religions pada tahun 1893 di Chicago, World Conference on Religion

and Peace (WCRP) dan the World Congress of Faiths (WCF) pada dasawarsa 1980-an

dan 1990-an. Dalam pertemuan-pertemuan ini, ratusan para peserta cenderung

memusatkan diri dalam penciptaan dan pengembangan kerjasama yang lebih baik di

antara berbagai kelompok agama, dan sekaligus mengggalang perdamaian di antara

para pemeluk agama. 168

Yakni dialog di antara wakil-wakil institusional berbagai organisasi agama,

yang bertujuan untuk membicarakan dan memecahkan masalah mendesak yang

dihadapi umat agama yang berbeda, serta untuk mengembangkan dan menciptakan

komunikasi di antara wakil-wakil kelembagaan dari organisasi berbagai agama. Dialog

kelembagaan ini melibatkan majelis-majelis agama yang diakui pemerintah, yakni

MUI, PGI, KWI, Parisadha Hindu Dharma, dan Walubi. 169

Dialog jenis ini mencakup pertemuan-pertemuan baik regular maupun tidak

untuk membahas persoalan-persoalan teologis dan filosofis, seperti makna tradisi

keagamaan seseorang dalam konteks pluralisme keagamaan. Dialog teologi ini pada

72

Manfaat dialog, antara lain terkikisnya kesalahpahaman yang

bersumber dari adanya perbedaan bahasa dari masing-masing agama,

dialog juga dimaksudkan untuk mencari respons yang sama terhadap

semua tantangan yang dihadapi oleh agama, yakni bahwa tantangan

yang dihadapi oleh salah satu agama pada dasarnya tantangan yang

dihadapi oleh semua agama, dan tantangan yang dihadapi oleh agama,

juga tantangan yang dihadapi manusia sebagai manusia.172

Dialog antar pemuka agama menurut Romo Pius harus

senantiasa dimulai dan dilandasi oleh kejujuran dan ketulusan.

Ketulusan untuk mengakui dan menyadari keterbatasan diri dalam

pemahaman tentang Tuhan dan kebenaran-Nya. Dan jika ketulusan itu

telah ada, maka akan lahir pula ketulusan untuk mengerti dari pihak lain

agar pemahaman tentang Tuhan dan kebenaran serta kekuasaan-Nya

dapat lebih diperkaya. Tetapi harus jelas bahwa yang pertama sekali

haruslah ada ketulusan untuk mengakui keterbatasan diri sendiri untuk

memahami kebesaran-Nya. Bila ada perasaan sempurna itu terdapat

dalam pemahaman kebenaran Tuhan, jangan-jangan bukan kebenaran

Tuhan itu sendiri yang dianggap sempurna melainkan kebenaran diri

sendiri. Dilandasi dengan ketulusan dan kejujuran, tantangan

selanjutnya di antara sesama pemuka agama dalam melaksanakan

peranannya di tengah-tengah umat adalah keterbukaan. Keterbukaan

agar orang dapat mengetahui, mencari informasi yang jujur,

mempelajaari apa yang ingin dipelajari. Keterbukaan untuk berdialog

dan berdiskusi guna menyelesaikan konflik-konflik pandangan untuk

umumnnya diselenggarakan kalangan intelektual atau organisasi-organisasi yang

dibentuk untuk juga mengembangkan dialog antaragama, seperti Interfidei,

Paramadina, MADIA, dll. 170

Dialog dalam kategori ini pada umumnya berkonsentrasi pada penyelesaian

hal-hal praktis dan aktual dalam kehidupan yang menjadi perhatian bersama. Misalnya

hubungan yang lebih patut antara agama dan negara, hak-hak minoritas agama,

kemiskinan, masalah-masalah yang muncul dari perkawinan antaragama, pendekatan

yang lebih pantas dalam penyebaran agama, atau nilai-nilai agama dalam pendidikan.

Dialog semacam ini biasanya diselenggarakan oleh organisasi-organisasi dialog dan

LSM lainnya. 171

Dialog seperti ini bertujuan untuk menyuburkan dan memperdalam

kehidupan spiritual di antara berbagai agama. Bentuk dialog spiritual yang mungkin

lebih acceptable adalah melalui aspek esoteris agama, seperti ditawarkan misalnya oleh

Schuon (1975), Schimmel & Falaturi (1979), dan Sayyed Hossein Nasr dalam berbagai

bukunya. 172

Departemen Agama, Sosiologi Keagamaan: Suatu Kajian Empirik dalam Memantapkan Nilai-Nilai Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Puslitbag Depag RI,

2004), 119.

73

mencegah terjadinya konflik yang lebih luas lagi. Keterbukaan yang

dilembagakan dalam arti mewujudkan kontrol sosial yang nyata, agar

konflik dalam membentuk apapun pun dapat dengan mudah diatasi. Juga

termasuk konflik-konflik yang kemungkinan timbul akibat begitu

heterogennya masyarakat Kabupaten OKU Timur khususnya, dan

Indonesia pada umumnya. Sebelum dicapainya nilai-nilai sikap ideal

yang dimaksud, sudah barang tentu masing-masing pemuka agama harus

kredibel di mata umatnya. Apakah kata-kata kita dapat dipegang dan

dijadikan panutan umat. Apakah kita hanya mampu berbicara yang

luhur-luhur saja dari nilai agama kita tanpa membawakan contoh dan

teladan yang benar. Menurut Romo Pius selama ini karena suasana

dialogis belum terlembagakan dengan baik, respon yang diberikan oleh

agama dalam menghadapi tantangan eksternal, masih bersifat

monolitikeksial, yakni hanya mengandalkan agamanya masing-masing

dan menolak kehadiran agama lain, jika kelompok lain mau melibatkan,

tetap dalam format monolitik. Sekilas kecenderungan monolitik-eklesial

ini mengisyaratkan semangant untuk melakukan perubahan seperti yang

dikehendaki oleh ketentuan normatif ajaran agama. Jika dicermati lebih

mendalam, kecenderungan ini sebenarnya akan menggiring agama ke

dalam persaingan, sektarian, eksklusivitas, dan instrumentalis. Padahal

dengan semakin maju perkembangan teknologi informasi dan

transfortasi, yang telah meruntuhkan batas-batas budaya, bahasa, etnis,

geografis, ideologi, dengan sendirinya perjumpaan dialog dan kerjasama

antar umat beragama tidak mungkin bisa dihindari.173

Dalam konteks ini mengembangkan suasana dialog memang

tidak mudah. Salah satu cara yang dapat dilakukan dengan metode

fenomenologi dan perennialistik. Fenomenologi seperti dijelaskan oleh

Hidayat dan Nafis merupakan cara memahami agama yang ada dengan

sikap apresiatif tanpa semangat penaklukan atau pengkafiran. Dialog

agama dengan metode fenomenologis itu, meskipun masih terasa aspek

dakwahnya, cukup positif karena disamping akan melahirkan kompetisi

di bidang intelektual, juga metode ini tidak berpretensi melakukan

falsifikasi terhadap keyakinan orang dalam rangka membenarkan

agamanya sendiri. Dengan metode ini mengajak untuk menjadi

173

Hasil wawancara dengan Romo Pius (pemuka agama Khatolik), Tanggal 10

Februari 2011. Lihat juga Departemen Agama, Sosiologi Keagamaan: Suatu Kajian Empirik dalam Memantapkan Nilai-Nilai Kerukunan Umat Beragama (Jakarta:

Puslitbag Depag RI, 2004), 119-120. Bandingkan dengan Hamka Haq, Jaringan Kerjasama antar Umat Beragama: dari Wacana ke Aksi Nyata (Jakarta: Penerbit

Titahandalusia Press, 2002), 81-82.

74

pemerhati dan pendengar yang baik, sehingga bisa memahami dan

menghargai sikap keberagamaan orang lain tanpa membuang keimanan

kita. Menurut Swidler, yang ingin ditekankan melalui dialog secara

fenomenologis ini adalah saling belajar terhadap pengalaman

keberagamaan orang lain.174

Selanjutnya agar diperoleh pemahaman yang lebih mendalam

terhadap agama lain, dialog tidak boleh berhenti hanya pada pemahaman

secara fenomenologis, karena hasil paling jauh yang diperoleh adalah

ditemukan adanya struktur-struktur yang sama dalam setiap agama,

yang diekspresikan ke dalam berbagai cara. Oleh karena itu dialog perlu

dikembangkan lagi melalui metode perennialistik yang bisa

mengarahkan pada usaha pencarian kemungkinan adanya apa yang

disebut trancendent unity of religious. Metode ini tidak mempunyai

pretensi menegaskan sama terhadap keragaman agama-agama secara

eksoterik seperti bahasa, simbol-simbol, dan tradisi keagamaan. Tanpa

menolak itu semua, metode perennial ingin memberikan suatu insight

bahwa dibalik adanya perbedaan eksoterik, sesungguhnya dalam semua

agama terdapat pesan tentang kesatuan transedental, yakni kepasrahan

kepada realitas yang mutlak, yaitu Tuhan, terlepas bagaimana yang

mutlak itu dikontruksi ke dalam bahasa para pemeluknya. 175

Ulama176

memperlihatkan karakteristik-karakteristik tertentu

sebagai sebuah kelompok sosial. Mereka lebih daripada sekedar suatu

kelompok kerja. Meskipun garis pembatas antara ulama dan pedagang

atau petani, misalnya, tidak selalu jelas karena banyak pula ulama yang

menjadi pedagang atau petani untuk mendapatkan nafkah, tetapi karena

pengetahuan dan fungsi khusus yang mereka miliki, mereka sebagai

suatu kelompok jelas berbeda dengan kelompok-kelompok sosial

174

Dikutip dari Departemen Agama, Sosiologi Keagamaan: Suatu Kajian Empirik dalam Memantapkan Nilai-Nilai Kerukunan Umat Beragama (Jakarta:

Puslitbag Depag RI, 2004), 120-121. 175

Dikutip dari Departemen Agama, Sosiologi Keagamaan: Suatu Kajian Empirik dalam Memantapkan Nilai-Nilai Kerukunan Umat Beragama, 120-121.

176Istilah ulama, bentuk jamak dari kata benda (fa>’il) bahasa Arab ’a>lim,

berasal dari kata kerja ’alima yang berarti mengetahui atau berpengetahuan tentang.

Sedangkan ’a>lim adalah seorang yang memiliki atribut ’ilm (pengetahuan) sebagai

suatu kekuatan yang berakar kuat dalam ilmu pengetahuan seseorang yang sangat

terpelajar dalam ilmu pengetahuan dan literatur. Singkatnya seorang yang pakar dalam

ilmu-ilmu agama yang mempunyai hak-hak istimewa untuk disebut ulama. Untuk lebih

jelas mengenai hal ini lihat E.W. Lane, Arabic-English Lexicon, Vol II (Cambridge:

Cambridge UP, 1984), 2138. Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic,

edisi ke-3 (Ithaca:1976), 635.

75

lainnya. Ulama dengan demikian membentuk suatu kelompok sosial

yang dapat tumpang tindih dengan kelompok-kelompok sosial lainnya

dari segi kerja. Dalam pengertian ini, cukup beralasan menyatakan

bahwa ulama lebih merupakan suatu kelompok fungsional daripada

kelompok kerja. Lebih jauh, berkat kedalaman ilmu dan fungsi khas

yang mereka pegang, ulama jelas termasuk ke dalam kelompok

cendekiawan, yang memainkan peran sebagai elit kultural dalam

masyarakat Muslim. Sebagai suatu kelompok elit kultural dan kelompok

nonpolitis, ulama secara strategis menduduki posisi sebagai kelompok

mediator, yang menjembatani jurang pemisah antara umara>’ (penguasa)

dan ummah (rakyat jelata).177

Peran kaum intelektual sebagai agen perubahan sosial, yakni:

menata kehidupan sosial terutama nilai/norma yang diajarkan oleh

agama; membimbing masyarakat melalui aktivitas intelektual mereka

untuk mendapatkan pemahaman yang benar; menauladani perilaku yang

benar sebagai perbuatah dakwah untuk masyarakat dimanapun berada;

menjadi pembela utama dan penolong masyarakat dalam melepaskan

beban penderitaan mereka, terutama penderitaan yang ditimbulkan oleh

segala bentuk arogansi manusia; menyediakan diri sebagai tempat

konsultasi/komunikasi untuk menggalang keikutsertaan masyarakat

dalam menyelesaikan proyek-proyek kemanusiaan (sosial dan

spiritual).178

Sedangkan untuk mengarahkan umat beragama di

Kabupaten OKU Timur agar menjadi manusia yang beriman dan

bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, serta mampu menciptakan

keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan pribadi dan

dalam hubungannya dengan masyarakat dan lingkungannya, maka

pemerintah kabupaten ini menetapkan tiga sasaran kerukunan hidup

umat beragama, yaitu kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar

umat beragama, serta kerukunan umat beragama dengan pemerintah.

Menurut Nurkasiarto perspektif dimensi agama, ajaran agama

mengandung klaim kebenaran yang bersifat universal. Hal ini

memungkinkan terjadi ambiguitas dalam interpretasi menurut tingkat

pemahaman, penghayatan, dan moralitas-spiritualitas penganutnya.

Fenomena ini tampak dalam penggunaan konsep-konsep atau simbol-

177

Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam

(Jakarta: Paramadina, 1999), 168. 178

Hal ini sejalan dengan pendapatnya Sayyid Naquib al-Attas dalam bukunya

Intellectuals in Developing Siciaties yang menyebutkan bahwa tidak adanya kaum

intelektual sama dengan tidak adanya pemimpin yang mampu: meletakkan

permasalahan, mendefenisikannya, menganalisisnya, dan memecahkannya.

76

simbol agama untuk orientasi tertentu ketika melibatkan emosi

keagamaan penganutnya. Untuk itu, menghindari konflik atau

mewujudkan kerukunan umat beragama di Kabupaten OKU Timur

merupakan nilai universal. Dengan nilai ini, semua manusia melalui

agamanya diharapkan dapat hidup berdampingan secara damai, saling

menghormati, saling toleransi, dan bekerjasama dalam menangani

persoalan kemanusiaan. Di antara usaha untuk menghindari konflik atau

mewujudkan kerukunan umat beragama itu, tentunya ada upaya untuk

saling mengenal di antara agama-agama melalui dialog antar umat

beragama. Hal ini merupakan salah satu tujuan dibentuknya FKUB

Kabupaten OKU Timur, yakni memfasilitasi dan menyelenggarkan

dialog dengan ormas/ tokoh lintas agama.179

Ia juga menyatakan bahwa perlunya setiap umat beragama yang

ada di Kabupaten OKU Timur menyadari betapa pentingnya kerukunan

antar umat beragama dibina dan pupuk agar tidak terjadi perpecahan

dikalangan masyarakat Indonesia. Pemerintah selalu menumbuhkan

pemahaman untuk mengetahui arti pentingnya kerukunan mulai dengan

mendidik anak-anak mulai dari sekolah yang paling rendah hingga

perguruan tinggi, sehingga perrpecahan tidak terjadi.180

Kholid Mawardhi menyatakan persoalan pokok dalam

menghadapi politisasi konflik adalah mempersiapkan upaya-upaya yang

mampu menghadapi ancaman tersebut, seperti mendorong pembentukan

majelis agama-agama,181

Selain membentuk organisasi kemasyarakatan

keagamaan, seperti MUI, PGI, KWI, PHDI, WALUBI. Pemerintah juga

membentuk Wadah Musyawarah antar Umat Beragama (WMAUB),

keberadaan WMAUB ini berdasarkan atas Surat Keputusan Menteri

179

Hasil wawancara dengan Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9

Februari 2011. Data ini juga didukung dengan arsip FKUB Kabupaten OKU Timur,

2010. 180

Hasil wawancara dengan Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9

Februari 2011. Data ini juga didukung dengan arsip FKUB Kabupaten OKU Timur,

2010. 181

Untuk umat Islam ada MUI (Majelis Ulama Indonesia) berdiri tahun 1975,

untuk umat Kristen Protestan ada PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) yang

berdiri tahun 1950, sedangkan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) ditujukan untuk

umat Khatolik, untuk umat yang beragama Hindu didirikan PHDI (Parisada Hindu

Dharma Indonesia) pada tahun 1959, untuk umat yang beragama Budha ada WALUBI

(Perwakilan Umat Budha Indonesia) berdiri tahun 1978, dan untuk umat yang

beragama Khonghucu ada MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia)

yang berdiri tahun 1955. Lihat Departemen Agama RI, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Puslitbang

Kehidupan Beragama Depag RI, 2009), 34-40.

77

Agama Nomor 35 Tahun 1980 yang menyatakan terbentuknya Wadah

Musyawarah Antar Umat Beragama yang telah disepakati oleh wakil-

wakil Majelis Agama dalam pertemuan tingkat puncak pada tanggal 30

Juni 1980 di Jakarta.182

Wadah ini merupakan forum komunikasi dan

komunikasi antar pemimpin-pemimpin agama. Bentuknya adalah

pertemuan-pertemuan yang diadakan sewaktu-waktu, sesuai dengan

keperluan, baik atas undangan Menteri Agama maupun atas permintaan

salah satu atau lebih majelis agama. Pertemuan-pertemuan tersebut

terdiri atas: pertemuan antara sesama wakil-wakil majelis agama, dan

pertemuan antara wakil-wakil majelis agama dengan pemerintah. Badan

atau wadah musyawarah ini hanya dibentuk di tingkat pusat, namun

untuk dibeberapa daerah seperti Kabupaten OKU Timur wadah ini

dinamakan FKUB (Forum kerukanan Umat Beragama). Pemerintah

Kabupaten OKU Timur juga terus berupaya mengembangkan

kesepahaman di antara para pemimpin dan tokoh agama melalui

berbagai pertemuan dan kontak antarpribadi. Misalnya bila terjadi

konflik, baik didalam maupun antar umat beragama yang menyebabkan

jatuhnya korban, maka pemerintah turun tangan ikut menyelesaikan

atau mencari jalan keluar terhadap konflik tersebut. Salah satu strategi

yang dapat dilakukan, yakni pemerintah memanggil para tokoh yang

bertikai untuk bermusyawarah guna mencari solusi terhadap konflik

yang sedang berlangsung. Kemudian, hasil musyawarah tersebut

dijadikan pedoman selanjutnya dalam menjalankan kegiatan sehari-hari,

khususnya bagi yang sedang bertikai.183

Selain itu juga pemerintah Kabupaten OKU Timur

mengembangkan perangkat peraturan yang berfungsi mencegah

kemungkinan timbulnya penggunaan agama sebagai sistem acuan

hingga ke tingkat konflik, di antaranya: Pertama, kebijakan mengenai

organisasi kemasyarakatan keagamaan. Yang mencakup keberadaan

organisasi kemasyarakatan; pembentukan organisasi kemasyarakatan;

pembinaan dan bimbingan; sanksi hukum; keberadaan, fungsi dan tujuan

182

Untuk penjelasan lebih rinci lihat Departemen Agama RI, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama, 40-42.

183Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama

Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I

Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Lihat juga

Achmad Syahid & Zainudin Daulay eds., Riuh di Beranda Satu: Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia (Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup

Umat Beragama Depag RI, 2002), 50.

78

organisasi kemasyarakatan keagamaan; pengumpulan dana organisasi.

Kedua, penyiaran agama dan tenaga keagamaan. Perangkat peraturan

yang dikembangkan dalam penyiaran agama meliputi: pedoman

penyiaran agama, tata cara penyiaran agama, penyelenggaraan hari-hari

besar keagamaan, bimbingan pelaksanaan dakwah, masalah perbedaan

pendapat keagamaan. Sedangkan perangkat peraturan yang

dikembangkan dalam tenaga keagamaan mencakup: bantuan tenaga

keagamaan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Kabupaten OKU

Timur, pendataan tenaga asing, rekomendasi bagi tenaga asing yang

melakukan kegiatan keagamaan di Kabupaten OKU Timur, rekomendasi

bagi tenaga asing, rekomendasi bagi tenaga asing di bidang keagamaan

yang mengajukan naturalisasi. Ketiga, pedoman pendirian dan

penggunaan rumah ibadah. Yakni kebijakan mengenai prosedur

pendirian rumah ibadah, izin sementara pemanfaatan bangunan gedung,

penggunaan rumah ibadah, pedoman penggunaan pengeras suara di

rumah ibadah, serta pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan

untuk kepentingan umum. Keempat, hubungan antaragama dalam

bidang pendidikan, perkawinan, penguburan jenazah dan upacara hari-

hari besar keagamaan. Kelima, pengamanan terhadap barang cetakan.

Yaitu kebijakan mengenai pelarangan terhadap peredaran barang

cetakan, impor buku-buku agama, pengawasan terhadap mushaf

Alquran. Keenam, penodaan dan penghinaan agama. Yang mencakup

pembekuan aliran kepercayaan atau kerohanian, tugas dan wewenang

kejaksaan agung, instansi yang membekukan aliran, serta sanksi pidana

penodaan.184

B. Wewenang dan Tanggung Jawab FKUB

Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,

melalui peraturan No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan

Jangka menengah nasional 2005-2009 tetapkan bahwa peningkatan

kerukunan intern dan antarumat beragama merupakan salah satu dari

arah kebijakan pembangunan kehidupan beragama, dengan fokus pada

upaya: pertama, memberdayakan masyarakat, kelompok-kelompok

agama, serta pemuka agama untuk menyelesaikan sendiri masalah

184

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9

Februari 2011. Mengenai perangkat peraturan yang menjadi rujukan Pemerintah

Kabupaten OKU Timur lihat Departemen Agama RI, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama, 27-94.

79

kerukunan uamt beragama (KUB); dan kedua, memberikan rambu-

rambu dalam pengelolaan kerukunan umat beragama.185

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, pada saat ini telah

dibentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di 306

kabupaten/kota dan di seluruh provinsi di Indonesia. Sedangkan terkait

masalah yang kedua, pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan

dan peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan antarumat

beragama, baik yang berhubungan dengan hak dan kebebasan beragama,

penyebarluasan ajarana agama, dan interaksi sosial di antara mereka.186

Pemerintah pusat pada tanggal 21 Maret 2006, menerbitkan

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM),

sebagai pengganti SKB dua menteri. Yang dalam PBM itu, diatur

tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah dalam: (1)

pemeliharaan kerukunan umat beragama, (2) pemberdayaan forum

kerukunan umat beragama, dan (3) pendirian rumah ibadat.187

Untuk

menindaklanjuti Pemerintah Kabupaten OKU Timur melalui dinas-dinas

terkait kemudian mulai memfasilitasi pertemuan-pertemuan para

pimpinan/tokoh ormas-ormas agama tingkat kabupaten. Pertemuan-

pertemuan itu berlangsung di kantor Pemkab, dilanjutkan di kantor

Dinas Sosial, kantor Kesbang (Kesatuan Bangsa), dan di aula kantor

Kementrian Agama Kabupaten OKU Timur.188

Dalam pertemuan yang

berlangsung pada hari Kamis, tanggal 1 Juni 2006, di aula kantor

Kementrian Agama Kabupaten OKU Timur, para pimpinan/tokoh

ormas-ormas agama di kabupaten ini menyepakati dibentuknya Forum

Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten OKU Timur. Dalam

kesempatan itu dibentuk pula susunan keanggotaan dan kepengurusan

FKUB Kabupaten OKU Timur dengan merujuk PBM nomor 9 dan 8

tahun 2006.189

Pemerintah Kabupaten OKU Timur membentuk Forum

Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten OKU Timur yang

185

Tim penyusun, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan dalam Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama (Jakarta: Proyek Pembinaan Kerukunan

Hidup Beragama, 2009), 10. 186

Tim penyusun, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan dalam Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, 10.

187Sumber: Arsip FKUB Kabupaten OKU Timur, 2010.

188Hasil wawancara dengan Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9

Februari 2011. 189

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9-10

Februari 2011.

80

anggota pengurusnya terdiri dari Lima Majelis Agama yang ada.190

Forum ini dibentuk untuk mencegah agar benih-benih konflik yang ada

dapat diselesaikan sedini mungkin, sebelum menjadi besar dan

munculnya konflik komunal. Pembentukan Forum Kerukunan Umat

Beragama merupakan instrumen daerah dalam melaksanakan

kewajibannya untuk memelihara kerukunan nasional dari segi kehidupan

keagamaan; FKUB merupakan salah atu wadah penting bagi masyarakat

kabupaten OKU Timur dalam rangka upaya penghormatan hak-hak asasi

manusia sekaligus upaya pelaksanaan kewajiban hak asasi manusia;

FKUB merupakan bentuk kemitraan antara pemerintah khususnya

pemerintah daerah dengan masyarakat dalam rangka mewujudkan

kerukunan nasional.

Fungsi wadah musyawarah antar umat beragama bagi para

pemimpin atau pemuka agama, adalah: Pertama, wadah atau forum bagi

pemimpin/pemuka agama untuk membicarakan tanggungjawab bersama

dan kerjasama di antara para warga negara yang menganut berbagai

agama, dengan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dalam rangka

meningkatkan persatuan dan kesatuan serta keutuhan bangsa. Kedua,

wadah atau forum bagi pemimpin/ pemuka agama untuk membicarakan

kerjasama dengan pemerintah sehubungan dengan pelaksanaan Pedoman

Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) dan GBHN dan ketentuan

laiinya dari pemerintah khususnya yang menyangkut bidang keagamaan.

Ketiga, wadah musyawarah membicarakan segala sesuatu tentang

tanggungjawab bersama dan kerjasama di antara para warga negara yang

menganut berbagai agama, dan dengan pemerintah, berlandaskan

Pancasila dan UUD 1945 dalam rangka meningkatkan persatuan dan

kesatuan serta keutuhan bangsa dan pelaksanaan P4 dan GBHN dan

ketentuan lainnya dari pemerintah, khususnya yang menyangkut bidang

keagamaan. Keempat, keputusan-keputusan yang diambil oleh Wadah

190

Majelis agama yang sudah terbentuk antara lain: untuk umat Islam ada

MUI (Majelis Ulama Indonesia) berdiri tahun 1975, untuk umat Kristen Protestan ada

PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) yang berdiri tahun 1950, sedangkan

KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) ditujukan untuk umat Khatolik, untuk umat

yang beragama Hindu didirikan PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) pada tahun

1959, untuk umat yang beragama Budha ada WALUBI (Perwakilan Umat Budha

Indonesia) berdiri tahun 1978, dan untuk umat yang beragama Khonghucu ada

MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) yang berdiri tahun 1955.

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Ketua FKUB

Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9 Februari 2011. Lihat juga Departemen Agama RI,

Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama,

34-40.

81

Musyawarah merupakan kesepakatan yang mempunyai nilai ikatan

moral dan bersifat saran/rekomendasi bagi pemerintah, majelis-majelis

agama dan masyarakat.191

Adapun tugas FKUB Kabupaten OKU Timur adalah: Pertama,

melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; Kedua,

menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat; Ketiga,

menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk

rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati; Keempat, melakukan

sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang

keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan

pemberdayaan masyarakat; dan Kelima, memberikan rekomendasi

tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.192

Untuk melaksanakan tugas-tugasnya itu, FKUB Kabupaten OKU

Timur telah menjabarkan rincian program, sebagai berikut: Pertama.

bidang konsolidasi organisasi, yakni: mengadakan kantor berikut isinya;

mengadakan alat-alat kesekretariatan; menyelenggarakan Rapat Kerja

(Raker); menyelenggarakan rapat-rapat internal; menyelenggarakan

kunjungan kerja; audiensi dengan para pejabat pemerintah daerah,

eksekutif, yudikatif, legislatif, dan keamanan. Kedua, bidang sosialisasi,

yaitu: melakukan sosialisasi tentang keberadaan FKUB Kabupaten OKU

Timur di lingkungan aparatur pemerintahan dan ormas/tokoh Agama,

mulai dari tingkat kecamatan, dan kelurahan; melakukan sosialisasi

tentang peraturan-peraturan di bidang keagamaan; melakukan diskusi

tentang kerukunan hidup antar umat beragama; mengikuti diskusi dan

seminar tentang peraturan-peraturan di bidang keagamaan, baik di

tingkat daerah, provinsi, maupun pusat. Ketiga. bidang dialog, yakni:

menyelenggarakan dialog dengan ormas/tokoh Islam; menyelenggarakan

dialog dengan ormas/tokoh non Islam; menyelenggarakan dialog dengan

ormas/tokoh lintas Agama; menyelenggarakan dialog dengan camat &

191

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama

Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I

Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Dengan

merujuk pada Lampiran Keputusan Menteri Agama No. 35 Tahun 1980, Pedoman

Dasar Wadah Musyawarah antar Umat Beragama, Pasal 1 dan Pasal 6. Dikutip dari

Departemen Agama RI, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama, 40-42.

192Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Bupati OKU Timur, Nomor

118/KPTS/II/2006 Tentang Pembentukan Pengurus Forum Kerukunan Umat

Beragama Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur periode 2006-2009.

82

lurah.193

Keempat. bidang aspirasi, yaitu: menampung aspirasi ormas

keagamaan; menampung aspirasi masyarakat; serta menyalurkan

aspirasi ormas keagamaan; menyalurkan aspirasi masyarakat. Kelima.

bidang pendirian rumah ibadat, yakni: meninjau lokasi permohonan

pendirian rumah ibadat, dan merekomendeasikan permohonan rumah

ibadah.194

C. Agenda Kegiatan FKUB dalam Menciptakan Kerukunan Umat

Beragama

Menurut Nurkasiarto komunikasi antar tokoh agama sangat

dibutuhkan terutama dalam merumuskan langkah untuk memperkokoh

kerukunan. Keberadaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di

daerah-daerah dirasakan semakin penting dalam memperkokoh

hubungan antar pemuka agama dan umat beragama sebagai upaya

mencegah timbulnya konflik komunal. Untuk itu wadah komunikasi

antar umat ini agar lebih diperkokoh peranan dan kedudukannya.

Sehingga FKUB dapat segera melaksanakan program-program yang

memantapkan kerukunan, serta ikut berperan menyelesaikan

permasalahan umat beragama. Pada kaitan ini, FKUB memiliki posisi

penting, sebab dengan saling menjalin komunikasi, para pemuka agama

bisa merumuskan langkah-langkah yang dapat mendorong kerukunan

untuk dikembangkan. Selain itu, dapat pula memetakan faktor yang

mungkin menghambat kerukunan untuk diambil kebijakan dalam rangka

menjaga kerukunan beragama.195

Misalnya untuk mengamankan kekondusifan perayaan Natal dan

Tahun Baru tahun 2011, masyarakat dan Forum Kerukunan Umat

Beragama (FKUB) Kabupaten OKU Timur menjalin kerjasama

193

Dialog dan musyawarah antar pemuka agama dapat menghilangkan sikap

saling curiga, hal itu dikarenakan sikap ini muncul disebabkan kurangnya pemahaman

terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Dialog ini tidak membicarakan dokrin

normatif agama, melainkan hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan sosial

kemasyarakatan. Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur;

Kabid Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka

agama Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius),

Hindu (I Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. 194

Sumber: Arsip FKUB Kabupaten OKU Timur, Tahun 2010. 195

Hasil wawancara dengan Nurkasiarto (Ketua FKUB Kabupaten OKU

Timur). Hal senada juga dinyatakan oleh Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas;; pemuka agama Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson

Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto),

Tanggal 9-10 Februari 2011.

83

meningkatan pengawasan, serta pihak yang berwenang. Saat ini telah

banyak terjalin kerja sama yang melibatkan umat lintas agama, misalnya

saat pelaksanaan shalat Idul Fitri, unsur dari turut berpartisipasi

menjaga keamaan bersama aparat keamanan. Begitu pula ketika Natal

dan Tahun Baru, para remaja masjid ikut menjaga ketertiban. Tradisi

untuk saling membantu antarumat beragama dalam mendirikan rumah

ibadah, serta berpartisipasi dalam membantu umat lain saat merayakan

hari besar keagamaan juga terus berlanjut. Hal ini merupakan tradisi

yang telah lama mengakar di Kabupaten OKU Timur, yakni saling

membantu dalam kegiatan hari besar agama lain, membantu

membangun rumah ibadah umat agama lain. Kondisi kerukunan seperti

itu, mempunyai dampak yang positif pada aktivitas keseharian warga,

termasuk dalam melaksanakan ibadah.196

Selain itu juga, kegiatan yang difasilitasi oleh FKUB Kabupaten

OKU Timur bekerjasama dengan pemerintah Kabupaten OKU Timur,

antara lain mengadakan dialog yang dihadiri oleh wakil dari tokoh-tokoh

masyarakat dan pemuka agama, serta perwakilan LSM. Kegiatan

semacam ini tentunya menjadi momen sangat berharga antar pimpinan

umat beragama daerah ini untuk saling memahami satu dengan lainnya

yang diharapkan implementasikan dalam kehidupan sehari-sehari dengan

umatnya masing-masing. Sikap keterbukaan, kebersamaan dan saling

menjunjung tinggi kedamaian menjadi faktor utama menopang fondasi

utama membangun keharmonisan antarumat beragama di daerah ini.

Agar segenap pimpinan tokoh agama di daerah ini tetap menjaga kondisi

faktual saat ini yang cukup kondusif terus berlangsung dengan saling

menjaga prinsip-prinsip kehidupan beragama masing-masing.197

Menurut Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur, forum ini

tentunya diharapkan mampu berperan sebagai fasilitator dan mediator

dalam membangun keharmonisan hubungan umat beragama dan

antaretnis di Kabupaten OKU Timur.198

Selain itu juga memfasilitasi

196

Hasil observasi, dan dokumentasi pada kegiatan Idul Fitri 1431 H

(September 2010), Natal tanggal 25 Desember 2010 dan Tahun Baru 2011. Sumber:

Arsip FKUB Kabupaten OKU Timur periode 2010-2013. 197

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama

Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I

Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Data ini juga

didukung Arsip kegiatan FKUB Kabupaten OKU Timur periode 2010-2013. 198

Hal ini sesuai dengan maksud dan tujuan pembentukan FKUB, yang

didasarkan pada keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tahun

2006.

84

perselisihan antarumat beragama guna mendapatkan keputusan yang

saling menguntungkan semua pihak. Walaupun FKUB Kabupaten OKU

Timur baru terbentuk. Namun, perannya sudah mulai dirasakan dalam

melakukan mediasi terhadap persoalan-persoalan umat beragama,

maupun antar etnis dan budaya yang ada di Kabupaten OKU Timur,

yang dihuni berbagai kelompok etnis dan agama dengan latar belakang

pendidikan yang beragam. Karena itu, begitu banyak kepentingan yang

saling tarik menarik untuk memperjuangkan kepentingan pribadi atau

kelompoknya masing-masing. Kondisi ini mengharuskan semua warga

yang ada di Kabupaten ini untuk saling hormat menghormati keyakinan,

norma hidup dan adat istiadat yang berbeda satu dengan lainnya.

Sehingga tidak ada yang memaksakan kehendak pribadi atau

kelompoknya mencermati realitas sosial yang tingkat heterogenitasnya

cukup tinggi ini, maka kesadaran dan pemahaman sebagai warga

Kabupaten OKU Timur harus di atas kepentingan pribadi atau kelompok

untuk bersama-sama bergandengan tangan membangun kabupaten ini

dengan semangat kebersamaan dan kekeluargaan.199

Kerukunan antar umat beragam di Kabupaten OKU Timur yang

telah terbina dengan baik, tidak hanya membuat pemeluk agama yang

ada di daerah ini hidup damai saling berdampingan. Tapi juga saling

memberikan dukungan moril, termasuk dengan ikut mengamankan

gereja saat perayaan natal.200

Pemeliharaan kerukunan umat beragama di Kabupaten menjadi

tanggungjawab Bupati, yang dibantu oleh kantor Departemen Agama

Kabupaten. Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfasilitasi

terwujudnnya kerukunan umat beragama, mengkoordinasikan kegiatan

instansi vertikal, menumbuhkembangkan keharmonisan, saling

pengertian, saling menghormati, saling percaya di antara umat

beragama, bahkan menerbitkan IMB rumah ibadah.201

199

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama

Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I

Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Data ini juga

didukung Arsip kegiatan FKUB Kabupaten OKU Timur periode 2010-2013. 200

Hasil wawancara dengan pemuka agama Islam (Faturrahman), Kristen

(Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I Wayan Sumitra), dan Budha

(Sujayanto), Tanggal 10 Februari 2011. Data ini juga didukung Arsip kegiatan FKUB

Kabupaten OKU Timur periode 2010-2013. 201

Untuk memudahkan hubungan kerja FKUB dengan pemerintah daerah dan

sesama instansi pemerintah daerah, termasuk membantu kepala daerah (Bupati) dalam

merumuskan kebijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama dibentuklah Dewan

85

FKUB Kabupaten OKU Timur mempunyai visi dan misi untuk

menumbuh-kokohkan kerukunan hidup umat beragama di Kabupaten

OKU Timur. Forum ini bekerja sama dengan Pemerintah setempat,

aparat keamanan dan masyarakat yang telah teruji keberadaannya dalam

meredam kerusuhan. Keberhasilan ini mencerminkan sikap

kebersamaan, keterbukaan dan kejujuran yang didasari wawasan

kebangsaan yang dalam dari para pengurus yang notabennya adalah

wakil dari lima Majelis Agama.

FKUB juga mempunyai peran yang strategis dalam upaya

mencegah agar tidak terjadinya konflik di Kabupaten OKU Timur, yakni

sebagai fasilisator dan juga mitra Pemerintah Kabupaten OKU Timur

dalam memelihara kerukunan dan menyelesaikan masalah-masalah yang

berkaitan dengan sosial keagamaan masyarakat Kabupaten OKU Timur,

seperti masalah pendirian rumah ibadah, isu-isu keagamaan yang dapat

meresahkan masyarakat. Hal ini sesuai dengan wewenang dan

tanggungjawab FKUB.

D. Kerjasama Pemerintah Kabupaten OKU Timur dengan Pemuka

Agama, serta Masyarakat OKU Timur dalam Upaya Mencegah Konflik

Peran pemerintah setempat pun turut mendukung dalam upaya

pencegahan konflik di Kabupaten Oku Timur. Hal ini tampak dari

beberapa kebijakan yang dilakukan oleh Bupati Oku Timur. Begitu

daerah ini dimekarkan menjadi Kabupaten tersendiri, langsung dibentuk

BKSAUA. Pemerintah Daerah/Bupati telah 10 kali melakukan

kunjungan ke Masjid, membagi-bagikan daging korban di 16

Kecamatan, dalam kegiatan Natal Bersama umat Islam ikut dilibatkan.

Selain itu, dalam rangka menghadiri rakor Ikatan Persaudaraan Haji

Indonesia (IPHI) dibiayai oleh pemerintah daerah.202

Penasehat FKUB, untuk Provinsi diketuai oleh wakil Gubernur, wakil ketua oleh

Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi, sekretaris oleh kepala badan

kesatuan bangsa. Di Kabupaten ketuanya oleh Wakil Bupati, wakil ketua oleh kepala

kantor wilayah Departemen Agama Kabupaten, sekretaris oleh Kepala Badan Kesatuan

Bangsa dan Politik Kabupaten, dan anggota oleh pimpinan instansi terkait. Lihat

Departemen Agama RI, Buku Tanya Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 Thn. 2006/No.8 Thn. 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama; Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat (Jakarta: LitBang dan Diklat, 2007), 4-5.

202Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama

Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I

86

Sejatinya tak ada agama satu pun, baik itu Islam, Kristen

Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Budha yang mengajarkan

pengikutnya untuk menyakiti orang lain, apalagi membunuh manusia.

Tapi, agama hadir di dunia dengan membawa misi suci yakni cinta

damai terhadap sesama. Itulah pluralitas agama di era globalisasi yang

menjadi karakteristik dari bangsa Indonesia yang heterogen. Sehingga

tak bisa dipungkiri, pluralitas agama ini memiliki potensi dan peran

sangat besar dalam proses integrasi dan pembangunan Kabupaten OKU

Timur. Realitas ini didasarkan pada ajaran agama yang mewajibkan

umatnya untuk mencintai sesama dan hidup rukun.

Untuk mencegah terjadinya konflik, pemerintah bekerjasama

dengan pemuka agama melakukan hal-hal yang perlu disosialisasikan,

yakni: (1) tidak boleh menjelek-jelekkan agama lain, juga di dalam

lingkungan umat saudara seagama sendiri. (2), cara-cara penyebaran

agama yang memaksa mendekati orang tanpa diminta dan berbagai

interfensi antarumat beragama perlu dihentikan. (3) bersedia menerima

secara tulus bahwa setiap orang berhak dalam hal mengikuti agama yang

diyakininya tanpa ancaman termasuk kalau ia pindah agama, atas

kesadaran sendiri, bukan intervensi lain dan motif-motif yang dangkal.

Senantiasa menjalin hubungan baik secara pribadi antara sesama umat

beragama untuk dapat mengurangi ketegangan-ketegangan. (4) mengadakan kerjasama yang solid agar lapisan bawah menyadari benar

perlunya hidup rukun, damai, adil dan sejahtera. (5) secara berkala

mengadakan pertemuan-pertemuan keakraban sesama pemuka agama.

(6) mengadakan pelatihan/ pendidikan keterampilan khususnya di

kalangan pemuda dan lebih khusus yang patut sekolah dalam rangka

meningkatkan SDM (Sumber Daya Manusia) dan mengatasi

pengangguran. (7) pemerintah wajib memberikan rasa aman kepada

sesama umat beragama dan wajib memfasilitasi kerukunan hidup umat

beragama.203

Adapun kebijakan yang diperlukan upaya mencegah terjadinya

konflik sosial umat beragama, yaitu: membangun dan menghidupkan

terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu; menciptakan

kondisi yang mendukung komitmen, kesadaran dan kehendak untuk

bersatu dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus;

Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Didukung

dengan dokumentasi kegiatan baik arsip pemerintahan Kabupaten Oku Timur, maupun

dokumentasi hasil kegiatan FKUB Kabupaten Oku Timur periode 2006-2009. 203

Hamka Haq, Jaringan Kerjasama antar Umat Beragama: dari Wacana ke Aksi Nyata (Jakarta: Penerbit Titahandalusia Press, 2002), 83-84.

87

membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma

yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa; merumuskan

kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek

kehidupan dan pembangunan bangsa, yang mencerminkan keadilan bagi

semua pihak, semua wilayah; upaya bersama dan pembinaan integrasi

nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan efektif.204

Sedangkan strategi yang digunakan dalam upaya mencegah

terjadinya konflik sosial umat beragama, antara lain: menanamkan nilai-

nilai Pancasila, jiwa sebangsa dan setanah air dan rasa persaudaraan,

agar tercipta kekuatan dan kebersamaan di kalangan masyarakat

Kabupaten OKU Timur; menghilangkan kesempatan untuk

berkembangnya primodialisme sempit pada setiap kebijaksanaan dan

kegiatan, agar tidak terjadi KKN; meningkatkan ketahanan rakyat dalam

menghadapi usaha-usaha pemecahbelahan dari anasir luar dan kaki

tangannya; penyebaran dan pemasyarakatan wawasan kebangsaan dan

implementasi butir-butir Pancasila, dalam rangka melestarikan dan

menanamkan kesetiaan kepada ideologi bangsa; menumpas setiap

gerakan separatis secara tegas dan tidak kenal kompromi; membentuk

satuan sukarela yang terdiri dari unsur masyarakat, TNI dan Polri dalam

memerangi separatis; melarang, dengan melengkapi dasar dan aturan

hukum setiap usaha untuk menggunakan kekuatan massa.

Untuk mendukung terciptanya keberhasilan suatu kebijaksanaan

dan strategi pertahanan langkah yang ditempuh yakni: Pertama,

menyelesaikan benih-benih konflik vertikal yang bernuansa separatisme

bersenjata, dengan menggunakan pendekatan militer terbatas dan

professional, guna menghindari korban dikalangan masyarakat dengan

memperhatikan aspek ekonomi dan sosial budaya serta keadilan yang

bersandar pada penegakan hukum. Kedua, penyelesaian benih-benih

konflik horizontal yang bernuansa SARA melalui pendekatan hukum

dan HAM. Ketiga, penyelesaian benih-benih konflik akibat peranan

otonomi daerah yang menguatkan faktor perbedaan, disarankan

kepemimpinan daerah harus mampu meredam dan memberlakukan

reward and punishment dari strata pimpinan diatasnya. Keempat, perlu

dibangun dan ditingkatkan institusi inteligen yang handal guna

mengantisipasi segala kegiatan separatisme ataupun kegiatan yang

dapat memunculkan konflik.

204

Sumber: http://www.perspektifbaru.com/wawancara/399 di akses tanggal

11 Maret 2011.

88

Salah satu bentuk kerjasama antarumat beragama, yakni tradisi

gotong royong dalam mendirikan rumah ibadah, serta berpartisipasi

dalam membantu umat lain saat merayakan hari besar keagamaan.

Kondisi kerukunan seperti itu berdampak positif pada aktivitas

keseharian warga, termasuk dalam melaksanakan ibadah. Hal yang

sama tergambar pada aktivitas di sentra-sentra perekonomian, misalnya

di pasar, bank, pertokoan, perkantoran, atau lembaga pendidikan. Begitu

pula pada sarana transportasi umum warga dapat bersama-sama

menggunakannya.205

Kerjasama antar umat beragama di Kabupaten OKU Timur

didukung oleh hubungan kekerabatan, sehingga tidak memandang

agama sebagai dasar hubungan kerja baik sebagai buruh tani atau

karyawan di toko dan industri rumah tangga.206

Demikian pula dalam

hubungan kepemimpinan dalam masyarakat pedesaan mengutamakan

kualitas daripada agama apa yang dianut.207

Dalam hubungan antar umat

beragama di Kabupaten OKU Timur dijumpai hubungan yang secara

umum menggambarkan keakraban. Hubungan antar warga seperti ini

setidak-tidaknya tampak di kecamatan Belitang, Belitang II, Belitang

III, karena penduduk di tiga kecamatan ini, meskipun tergolong

masyarakat heterogen, karena seluruh agama-agama yang diakui di

Indonesia terdapat di daerah tersebut, tetapi dalam hubungan sosial

kemasyarakatan, agama tidak dijadikan sebagai penghalang. Interaksi

sosial antar penganut agama berjalan lancar baik ketika bekerja di

205

Selain itu juga, saling membantu dalam kegiatan hari besar agama lain,

serta membantu membangun rumah ibadah umat agama lain. Hasil wawancara dengan

Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua

FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama Islam (Faturrahman), Kristen

(Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I Wayan Sumitra), dan Budha

(Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Data ini juga didukung dengan hasil

observasi peneliti di Kabupaten OKU Timur. 206

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama

Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I

Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Disamping

wawancara dilakukan juga observasi lapangan. 207

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama

Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I

Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Disamping

wawancara dilakukan juga observasi lapangan.

89

sawah, pada gotong royong, kegiatan ekonomi, pendidikan dan lain-lain.

Keharmonisan hubungan warga yang berbeda agama di wilayah

pedesaan disebabkan beberapa faktor. Diantaranya faktor budaya, yaitu

budaya Jawa dan budaya masyarakat desa, faktor kekerabatan,

pemimpin, pendidikan atau dakwah agama. Faktor budaya dapat

berperan penting, karena di daerah ini hampir 70% merupakan penduduk

pendatang dari Jawa, yang dikenal menganut prinsip mementingkan

hidup rukun dan sedapat mungkin menghindari konflik. Faktor ini

makin diperkuat dengan budaya masyarakat desa yang mementingkan

cara hidup kolektif (gotong royong) daripada hidup secara individualis.

Hubungan kekerabatan menjadi penting sebagai media kerukunan,

disebabkan sebagian besar masyarakat masih memandang hubungan

kekerabatan lebih penting daripada memperdulikan perbedaan agama

yang dianut. Oleh karena itulah, meskipun dalam beberapa keluarga

terdapat perbedaan agama antar suami dan istri tetapi warga setempat

tidak memperdulikannya. Kepemimpinan terlihat berperan dalam

menunjang suasana hidup rukun. Di wilayah ini para pemimpin yang

berbeda agama dengan masyarakat yang dipimpinnya tidak membeda-

bedakan pelayanan kepada masyarakat. Dalam arti tidak memberi

keuntungan layanan bagi warga yang seagama atau merugikan warga

yang tidak seagama dengan dirinya. Dengan demikian masyarakat pun

tidak begitu mempersoalkan agama sesesorang pemimpin yang tampil.

Prinsip yang diinginkan masyarakat adalah mampu mengemban

tugasnya serta mampu memberi pelayanan yang baik dan adil kepada

warga.208

Pendidikan dan dakwah agama memegang peran penting dalam

menggalang hubungan antar umat. Di daerah ini terlihat kecenderungan

makin intensif pendidikan dan dakwah agama yang diberikan ternyata

semakin mengurangi potensi konflik antar agama.209

Meskipun di desa-desa yang diteliti tergambar secara umum

suasana kerukunan antar umat beragama, namun bukan berarti tidak ada

208

Hasil observasi dan hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU

Timur; Kabid Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur;

pemuka agama Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo

Pius), Hindu (I Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011.

Disamping wawancara dilakukan juga observasi lapangan. 209

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama

Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I

Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Disamping

wawancara dilakukan juga observasi lapangan.

90

semacam konflik atau ketidakharmonisan. Akan tetapi intrik-intrik

ketidakharmonisan tersebut tampak lebih bersifat sementara, bukan

pertentangan laten yang mengakar dalam masyarakat. Hal ini juga

terjadi biasanya disebabkan intervensi pihak luar yang datang ke daerah

setempat dengan menonjolkan dan mengembangkan kepentingan

kelompoknya. Umumnya permasalahan yang mereka bawa berada

disekitar pendirian gereja.210

Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam jaring pengaman

pencegahan konflik di daerah ini, yaitu: Pertama, Adanya sikap toleransi

yang tinggi di antara umat beragama. Kedua, Pola budaya Jawa dan

pola budaya masyarakat desa yang tetap bertahan, pola yang dimaksud

yaitu menganut prinsip mementingkan hidup rukun dan sedapat

mungkin menghindari konflik. Faktor ini makin diperkuat dengan

budaya masyarakat desa yang mementingkan cara hidup kolektif

(gotong royong) daripada hidup secara individualis. Ketiga, Faktor

kepemimpinan yang lebih mengutamakan pelayanan yang baik tanpa

memandang apa suku dan agama yang mereka anut. Keempat, Faktor

pendidikan dan dakwah agama yang damai.

Di Kabupaten OKU Timur kerukunan hidup antar umat

beragama tercipta karena para warga mengutamakan hidup bertetangga

secara harmonis, tidak membedakan agama, saling mengunjungi acara-

acara keluarga seperti perkawinan, dan adanya ikatan keluarga di antara

mereka. Bagi masyarakat yang mempunyai pengalaman hidup dalam

komunitas yang beragam agamanya mereka telah menciptakan institusi-

institusi atau tradisi yang mampu meredam kemungkinan terjadinya

konflik antar agama seperti pada komunitas-komunitas tersebut di

atas.211

Namun, karena sifat setiap agama khususnya Islam dan Kristen

yang dinamis berkembang, bahkan harus dikembangkan melalui misi

atau dakwah, maka pluralistik tersebut di samping implikasinya yang

positif terhadap pembangunan bangsa boleh jadi akan merupakan titik

210

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama

Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I

Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Disamping

wawancara dilakukan juga observasi lapangan. Data juga didukung dengan observasi di

lapangan. 211

Hasil wawancara dengan Ketua FKUB Kabupaten Oku Timur, Tanggal 10

Februari 2011. Juga hasil observasi di beberapa tempat yang masyarakatnya plural,

seperti di Belitang, Belitang I dan Belitang II.

91

rawan sebagai pemicu terjadinya berbagai konflik,212

terutama apabila

terjadi ketidakharmonisan dalam kehidupan yang plural itu.

Kehidupan bermasyarakat di Kabupaten Oku Timur terjalin

secara rukun. Hubungan antar umat beragama tersebut dalam kehidupan

sehari-hari lebih bercorak hubungan ketetanggaan dan bukan bercorak

hubungan antar umat beragama. Tidak terdapat perbedaan corak

hubungan antara tetangga yang berbeda agama dengan corak hubungan

antar tetangga yang seagama. Hubungan sosial yang menunjukkan

perbedaan agama terbatas pada beberapa pranata sosial yakni: sebagian

pranata sosial pemerintah desa, upacara-upacara keluarga dan upacara

peringatan hari besar agama. Dalam sistem pemerintah desa, hubungan

antar agama dikembangkan dalam struktur kepengurusan LKMD,

dengan diwujudkannya dalam bentuk penempatan seorang tokoh Islam

dan juga tokoh agama lain sebagai pengurus seksi agama. Hubungan

antar umat beragama selain dilembagakan secara formal melalui

pemerintah desa juga berlangsung secara informal. Terdapatnya

sejumlah tokoh Islam dan dari agama lain yang aktif menjadi pejabat

LKMD dan LMD menunjukkan kenyataan tersebut.213

Dalam kehidupan bertetangga, interaksi itu juga terlihat,

misalnya saling mengunjungi upacara keluarga yang menonjol corak

keagamaanya seperti upacara perkawinan, tidak menjadi penghalang

212

Sejarah telah bercerita panjang kepada manusia pemeluk agama-agama

bagaimana ketidakharmonisan kehidupan plural telah menjadi pemicu terjadinya

sejumlah konflik di dunia dua puluh tahun terakhir ini, yang melibatkan orang-orang

Islam dan bukan Islam. Dibeberapa bagian dunia lainnya meningkat dan meluas pula

konflik keagamaan, baik intern umat beragama maupun antar umat beragama. Konflik

intern umat beragama Kristen terjadi antara kaum Protestan dan kaum Khatolik di

Irlandia Utara. Konflik intern umat beragma Islam berlangsung antara Iran dan Irak,

Irak dan Kuwait. Selain itu di Timur Tengah khususnya kawasan pantai Timur Tengah

berkecambuk berbagi konflik dengan warna agama, antar Yahudi melawan Muslim dan

Kristen, antara Kristen lawan Islam, antara Kristen lawan Kristen, dan antara Muslim

lawan Muslim Sunni, Syiah dan Druz di Libanon. Di Asia Selatan konflik dengan

warna keagamaan terjadi antar Hindu lawan Islam, Hindu lawan Khatolik, Hindu

lawan Sikh terutama di Punjab, Hindu lawan Budha yang tercermin dalam

pemberontakan kaum Buddhist Gurkha di India sebelah Timur, dan Khatolik antara

Tamil lawan Sinhala di Srilangka. Dikutip dari Departemen Agama RI, Profil Kerukunan Hidup Umat Beragama, 2.

213Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama

Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I

Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Data ini juga

diperkuat dengan observasi.

92

kehadiran mereka yang beragama lain dalam upacara tersebut. Mereka

menyadari upacara tersebut di samping mempunyai nilai keagamaan ada

nilai sosial yang mendorong para tetangga yang berbeda agama ikut

hadir dalam acara tersebut.214

Kenyataan tersebut di atas menunjukkan

bahwa ikatan solidaritas komuniti desa relatif lebih tinggi dibanding

ikatan solidaritas keagamaan. Kiranya hal ini yang menjadi salah satu

faktor pendukung dalam jaring pengaman pencegahan konflik pada

masyarakat Kabupaten Oku Timur.

Salah satu bentuk empati beragama di Kabupaten Oku Timur

dapat dilihat melalui contoh kasus berikut ini: pada hari raya Idul Fitri

1413 H (tahun 2000 Masehi) yang kebetulan bertepatan dengan hari

raya Nyepi bagi umat Hindu. Dalam menyambut kedua hari raya

tersebut dapat dikatakan bertolak belakang. Untuk merayakan hari raya

Idul Fitri umat Islam menyambutnya dengan kegembiraan, misalnya

dengan takbir keliling desa atau kota, saling mengunjungi antara

keluarga dan teman. Sedangkan bagi umat Hindu dalam menyambut hari

raya Nyepi dilakukan dengan menutup pintu, tidak menyalakan api (juga

lisrik) dan tidak memasak.215

Untuk menjaga hubungan harmonis antara pemeluk agama Islam

dan Hindu di kota ini. Umat Islam pun rela takbiran di masjid-masjid

mereka, sehingga pelaksanaan takbiran dan hari raya Nyepi dapat

berlangsung dengan hikmat tanpa menimbulkan masalah. Dari uraian di

atas dapat dilihat bagaimana umat beragama di Kabupaten Oku Timur

begitu menjaga kerukunan antar umat beragama, yang salah satu

polanya, yaitu dengan bersikap toleransi dan hormat menghormati antar

pemeluk agama yang berbeda dalam menjalankan ajaran agamanya,

sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Dalam bidang moral, Islam

menggalakkan kasih sayang, persaudaraan, sikap mendahulukan

kepentingan orang lain, dan memerintahkan untuk saling tolong

menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, serta menganjurkan kepada

penyatuan kalimat dan pemaduan barisan, sebagaimana ia menyerukan

kepada saling mengasihi dan saling toleransi, dedikasi dan pengorbanan,

214

Hasil pengamatan peneliti, didukung juga hasil wawancara dengan Wakil

Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB

Kabupaten OKU Timur; pemuka agama Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson

Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto),

Tanggal 9-10 Februari 2011. 215

Hasil wawancara dengan Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9

Februari 2011.

93

menghormati peraturan dan mematuhi pemerintah dalam dalam hal yang

baik.216

Faktor-faktor yang mendukung dalam jaring pengaman

pencegahan konflik di Kabupaten Oku Timur, yakni: adanya ikatan

solidaritas antar warga masyarakat yang lebih kuat dibanding ikatan

solidaritas keagamaan, ikatan hubungan kekerabatan tidak putus akibat

perbedaan agama dan adanya hubungan yang akrab antar tokoh agama.

Sedangkan fungsi kegiatan sosial kemasyarakatan dalam jaring

pengaman pencegahan konflik pada masyarakat Kabupaten Oku Timur,

yaitu: Pertama, masyarakat tidak melakukan hal-hal yang bertentangan

dengan ajaran agamanya masing-masing, karena tidak ada satu agama

pun yang mengajarkan keburukan. Kedua, setiap warga masyarakat

memiliki sikap empati yang tinggi, ringan tangan membantu warga yang

kesusahan siapapun dia dan apapun agamanya. Ketiga, tidak berbuat dan

bersikap yang dapat melecehkan dan menghina agama atau keyakinan,

karena bila hal ini dilakukan maka orang lain akan bersikap yang sama

ke kita. Keempat, tidak mudah curiga dan selalu percaya kepada orang

lain siapapun dia dan apapun agamanya. Karena hambatan utama dalam

memelihara keharmonisan pergaulan bila hilang sikap saling

mempercayai dan berganti dengan saling berprasangka serta saling

mencurigai. Kelima, Terciptanya suasana keharmonisan antara sesama

umat beragama terutama dalam hal saling pengertian, saling

menghormati dan saling menghargai, sehingga tidak mudah terprovokasi

oleh isu-isu yang tidak bertanggung jawab. Keenam, Ketika ada masalah

sosial yang melibatkan atau membawa nama agama, maka dengan

menjadikan tokoh agama sebagai mitra pemerintah, penyelesaian akan

selalu melibatkan para tokoh agama tersebut, sehingga persoalannya

tidak semakin meruncing.

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah bekerjasama dengan

pemuka agama, serta masyarakat Kabupaten OKU Timur dalam upaya

mencegah konflik, dapat dirinci sebagai berikut: (1) Peran serta

masyarakat, pemuka agama serta pemerintah setempat untuk tetap

menjaga kerukunan umat beragama, serta bekerja sama dalam

mencarikan solusi dan jalan penyelesaiannya bila timbul suatu masalah.

(2) Mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang melibatkan

seluruh warga masyarakat tanpa memandang etnik, suku maupun agama

216

Hasil wawancara dengan Perwakilan pemuka agama Islam (Faturrahman),

dan juga dengan perwakilan pemuka agama Hindu (I Wayan Sumitra), Tanggal 10

Februari 2011.

94

yang mereka anut, misalnya kegiatan 17 Agustus dan pertandingan

sepak bola antar warga. (3) Adanya suatu wadah seperti FKUB (Forum

Kerukunan Umat Beragama) yang dapat memfasilitasi silaturahmi di

antara pemuka agama terutama pada tingkat akar rumput, sehingga

masyarakat pada lapisan bawah memperoleh informasi yang benar

tentang bagaimana cara membangun kehidupan yang rukun pada

masyarakat yang majemuk. (4) Terjalinnya komunikasi yang baik antar

umat beragama agar tidak timbul prasangka-prasangka negatif, yang

akhirnya menjadi streotip (prasangka yang diyakini benar walau belum

terbukti kebenarannya). (5) Setiap pemuka agama maupun umat

beragama sama-sama menjaga kode etik dalam pergaulan hidup

beragama baik kode etik yang ditetapkan oleh pemerintah maupun

norma-norma agama. (6) Peran serta pemerintah sebagai sarana untuk

memfasilitasi sarana dan prasarana secara penuh untuk mendukung

upaya kerukunan antar warga masyarakat, misalnya dengan

memfasilitasi adanya kelompok-kelompok diskusi atau dialog beda

agama, membuat suatu forum yang bernama FKUB (Forum Kerukunan

Umat Beragama), membuat Undang-Undang yang mengatur tentang

kerukunan, khususnya kerukunan antar umat beragama. (7) Perlu

komunikasi dan inventarisasi bersama masalah-masalah sensitif

lintas/antar agama. (8) Pemerintah telah melakukan berbagai kegiatan

dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama, diantaranya:

musyawarah intern masing-masing umat beragama dan musyarawarah

antar umat beragama; dialog; mengeluarkan sejumlah peraturan

(Undang-Undang) menyangkut penyiaran agama, pendirian rumah

ibadah dan bantuan luar negeri. (9) Bila terjadi hal-hal yang menyangkut

perilaku individu atau kelompok suatu agama yang dapat menganggu

kerukunan umat beragama, perlu disalurkan atau dipecahkan bersama

melalui agama masing-masing dan forum bersama antar umat beragama.

(10) Kearifan pemuka agama sangat diharapkan agar melalui khutbah,

ceramah dan sikap keagamaan dapat berperan dalam memberi

pengetahuan dan pengertian kepada umatnya tentang pentingnya

memelihara kerukunan umat beragama.217

217

Dalam era global dan kepentingan membangun masyarakat yang maju,

pluralisme masyarakat tidak dapat dielakkan. Oleh karena untuk menjaga

keharmonisan (kerukunan) masyarakat perlu dikembangkan secara terus menerus

kehidupan yang berwawasan multikultural. Dalam rangka pengembangan wawasan

multikultural perlu diupayakan penyadaran masyarakat untuk tidak terkungkung di

dalam comfort-zone (wilayah nyaman) masing-masing. Selain itu perlu juga

membangun masyarakat yang bersikap dan berwawasan multikultural perlu

95

Pedoman yang dijadikan landasan dalam menunjang kesuksesan

dialog antar pemuka agama di Kabupaten OKU Timur, yakni218

:

Pertama, dasar pijak dialog. Dasar pijak yang sama. Semua pemeluk

agama memiliki kepercayaan yang sama akan satu Tuhan. Pencipta dan

penguasa alam semesta. Bahwa umat beragama yang berbeda-beda

merupakan bagian-bagian dari satu keluarga umat yang sama. Adanya

kepercayaan yang sama bahwa umat manusia dilibatkan oleh Pencipta-

Nya dalam hubungan khusus (relasi adikodrati) dengan-Nya, dan oleh

karena manusia menduduki tempat yang istimewa dan mempunyai arti

tersendiri di dalam universum ini. Lebih lanjut terdapat pengakuan yang

sama bahwa semua agama mempunyai perutusan (misi) yang sama,

yakni menyampaikan kepada manusia ajaran Tuhan dan rencana ilahi-

Nya yang inti sarinya adalah penyelamatan manusia oleh Tuhan. Dalam

hal ini Tuhan adalah causa prima dan agama-agama adalah pembantu

atau peran serta untuk mensukseskan rencana itu. Ini berarti bahwa

semua agama memikul tanggungjawab bersama atas penugasan yang

sama itu. Faktor lain yang sama-sama dihadapi ialah tempat tinggal

yang sama. Yang dimaksud adalah kenyataan bahwa pemeluk berbagai

agama tinggal di satu daerah atau negara yang sama. Demi hidup sosial

manusia sendiri situasi demikian itu perlu dibuat suatu landasan hidup

bersama yang menjamin terbinanya kerukunan dan kedamaian yang

terarahkan kepada bentuk konkret, yakni kerjasama dalam pembangunan

bangsa dan negara yang sama. Di dalamnya pemeluk agama Islam,

Kristen, Khatolik, Hindu dan Budha bersama-sama menyadari tugas

bersama dan tanggungjawab bersama atas terwujudnya masyarakat

dunia yang memungkinkan manusia dapat hidup bersama dengan rukun,

damai, dan sejahtera. Dan menyadari bahwa bahaya terbesar yang

mengancam eksistensi dan kooperasi semua agama adalah bahaya

ateisme. Nasib yang sama ini memerlukan penanganan semua agama

dikembangkan melalui beberapa tahapan atau proses, yakni: menjauhkan masyarakat

untuk tidak berpikiran dan berprilaku konflik; mengajak masyarakat untuk lebih

bersikap toleran; mengembangkan dialog untuk tukar menukar informasi dan

menumbuhkan saling pengertian bersama tentang berbagai hal; menumbuhkan

persaudaraan dan kerja sama sejati (tanpa pamrih). 218

Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama

Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I

Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Lihat juga P.

Jansen, ‚Kode etik dalam Pergaulan antar Agama‛. Makalah ini dibacakan dalam

dialog antar umat beragama di Malang, Maret 1976, 7-8. Dikutip dari Hendropuspito,

Sosiologi Agama (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1983), 172-181.

96

bersama-sama. Untuk berhasilnya tugas penanggulangan ini maka dialog

antar umat berbagai agama merupakan suatu kewajiban.

Kedua, tujuan dialog. Memahami benar bahwa tujuan yang

hendak dicapai dalam musyawarah pemeluk agama-agama bukanlah

mengadakan peleburan agama-agama menjadi satu agama. Juga bukan

membuat suatu sinkritisme atau semacama agama baru yang memuat

unsur-unsur ajaran agama. Dialog juga tidak dimaksud untuk mendapat

pengakuan dari pihak lain akan supremasi agamanya sendiri sebagai

agama yang paling benar. Juga tidak dibenarkan bila musyawarah antar

umat beragama mau meniadakan perbedaan-perbedaan yang ada dari

ajaran agama masing-masing. Justru melalui musyawarah bersama itu

harus didasari dan diakui adanya perbedaan fundamental ajaran agama

yang tidak boleh dikaburkan ataupun direlativir kebenarannya. Bahkan

perbedaan agama itu harus dihormati dengan rasa toleransi. Dialog juga

tidak boleh dipakai sebagai topeng untuk mencari kelemahan pihak lain

dan menariknya untuk berpindah agama. Tujuan positif yang hendak

dicapai dengan musyawarah itu ialah mencapai saling pengertian dan

saling penghargaan yang lebih baik antar penganut agama, dan

kemudian bersama-sama menjalin hubungan persaudaraan yang jujur

untuk melaksanakan rencana keselamatan yang dikehendaki Tuhan yang

memanggilnya. Agar pelaksanaan rencana ilahi itu berjalan teratur dan

terarah pada sasaran yang ingin dicapai, maka dialog juga dimaksud

untuk menyusun suatu rencana kerja sama dengan isi dan cara yang

disepakati bersama. Maka dialog pada tingkat ini hendaknya tidak

dimulai dari bidang doktriner, akan tetapi bertolak dari bidang karya.

Ketiga, materi dialog. Masalah-masalah yang menjadi tema

dalam dialog antar pemuka agama di Kabupaten OKU Timur antara

lain: masalah da’wah (misi) dan pendidikan religious (agama), toleransi

versus fanatisme, hidup bersama di daerah yang multikultural (baik

agama maupun etnis), kerja sama antarumat beragama, dan kode etik

pergaulan antar umat beragama.

Keempat, kode etik dialogi antar umat beragama. Kode etik yang

dibicarakan dalam musyawarah yang ada di Kabupaten OKU Timur

mengandung isi yang lebih luas daripada prinsip dialog non-keagamaan

umumnya. Dialog yang dimaksud dalam konteks ini juga bukan sekedar

dwiwicara, tetapi juga dialog karya umat beragama. Jadi, kode etik

bukanlah etiket sopan santun dalam bicara dan kerja sama, melainkan

serangkaian etika yang harus diterapkan dan ditaati oleh penganut

agama, di dalam pergaulan antar umat beragama dan di dalam pergaulan

antar agama. Pedoman etik yang telah disepakati bersama di Kabupaten

97

OKU Timur, yaitu: (1) kesaksian yang jujur dan saling menghormati.

Semua pihak tidak menghendaki supaya keyakinannya masing-masing

ditekan atau dihapus. Justru sebaliknya, supaya setiap pihak membawa

kesaksian yang terus terang tentang kepercayaan dihadapan Tuhan dan

sesamanya. Dengan demikian rasa curiga dan takut dapat dihindarikan.

Rasa saling menghormati mencakup juga perhatian yang halus terhadap

hati nurani dan keyakinan pihak lain, simpati kepada kesukaran-

kesukaran dan kekaguman akan kemajuannya. Demikian pula semua

pihak dapat menjauhkan pembandingan kekuatan tradisi masing-masing

yang dapat menimbulkan sakit hati dengan mencari kelemahan pada

tradisi keagamaan lain, atau membandingkan antara cita-cita dari saatu

pihak dengan kenyataannya di pihak lain. (2) prinsip kebebasan

beragama. Prinsip kebebasan tersebut meliputi prinsip kebebasan

perorangan dan kebebasan sosial. Yang pertama cukup jelas, setiap

orang mempunyai kebebasan untuk menganut agama yang disukainya,

bahkan kebebasan untuk berpindah agama. Tetapi kebebasan individual

tanpa adanya kebebasan sosial tidak ada artinya sama sekali. Jika

seseorang benar-benar mendapat kebebasan agama, ia harus dapat

mengartikan itu sebagai kebebasan sosial, tegasnya supaya agama dapat

hidup tanpa tekanan sosial. Dimana secara prinsip ada kebebasan agama

(individual), tetapi tekanan sosial agama mayoritas bermain sesukanya

begitu kuat, maka perkembangan agama secara bebas tidak

dimungkinkan. Bebas dari tekanan sosial, berarti bahwa situasi dan

kondisi sosial memberikan kemungkinan yang sama kepada semua

agama untuk hidup dan berkembang tanpa tekanan. Kebebasan sosial ini

diharapkan dapat dinikmati oleh setiap orang atau kelompok yang

hendak pindah ke agama lain. (3) prinsip acceptance, yakni mau

menerima orang lain seperti adanya. Dengan kata lain tidak menurut

proyeksi yang dibuat sendiri. Jika memproyeksikan penganut agama lain

menurut keinginan kita, maka pergaulan antar golongan beragama tidak

akan dimungkinkan. Jadi untuk konkretnya, seorang yang beragama

Kristen misalnya harus rela menerima seorang penganut Islam menurut

adanya, menerima seorang Hindu seperti adanya. Sebaliknya, seorang

Islam atau seorang Hindu harus rela menerima seorang Kristen seperti

adanya, artinya dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan

cara berfikir dan perasaannya. Adalah hal yang tidak mungkin dituntut

untuk menerima seorang Kristen menurut gambaran Islam, atau

menerima seorang Islam menurut gambaran Kristen dan seterusnya. Jadi

dasar pertama dalam pergaulan umumnya dan pergaulan agama

khususnya, yakni terimalah yang lain dalam kelainannya. (4) berfikir

98

positif dan percaya. Orang berfikir secara positif dalam perjumpaan dan

pergaulan dengan penganut agama lain, jika ia sanggup melihat pertama

yang positif dan bukan yang negatif. Hal ini penting karena berfikir

positif itu perlu dijadikan suatu sikap yang terus menerus. Orang yang

biasa berfikir secara negatif akan menemui kesulitan besar untuk bergaul

dengan orang lain, apalagi orang yang beragama lain. Tetapi bila ia

dapat melihat hal-hal yang positif dalam agama itu, maka ia akan

menemukan dasar untuk bergaul dengan penganut-penganut agama itu.

Sedangkan prinsip percaya merupakan dasar pergaulan antar umat

beragama. Karena kesulitan yang paling besar untuk umat beragama di

dalam dialog, ialah tidak adanya kepercayaan yang kolektif yang

kurang disadari. Ketidakpercayaan kolektif ini telah mengendap di

bawah sadar sebagai prasangka (prejudice). Selama prasangka kolektif

ini masih menguasai golongan beragama, maka dialog antar agama

masih sulit dilaksanakan. Dengan kata lain, selama agama yang satu

masih menaruh prasangka terhadap agama yang lain, usaha-usaha ke

arah pergaulan yang bermakna belum mungkin. Sebab garis pembimbing

dalam kode etik pergaulan adalah bahwa agama yang satu percaya

kepada agama yang lain. Untuk memulainya, langkah pertama yang

diambil setiap agama ialah mencari di dalam agamanya sendiri, apakah

prasangka-prasangka itu masih ada di dalam agamanya. Jika demikian

halnya (masih ada), maka langkah berikutnya ialah mengurangi dan

menghilangkan prasangka itu. Bilamana prasangka pada pihak masing-

masing sudah hilang, atau sudah ada rasa saling percaya, maka pintu

untuk dialog sudah terbuka.

Penjelasan ini menunjukkan bahwa untuk membangun,

mengembangkan dan memelihara kerukunan umat beragama diperlukan

usaha yang sungguh-sungguh dan dibutuhkan kerja sama dari semua

pihak, baik dari umat beragama, pemuka agama, serta pemerintah yang

berwenang.

99

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Jaring pengaman pencegahan konflik masyarakat Kabupaten

OKU Timur dapat diartikan sebagai sebuah ikatan yang saling

mempengaruhi serta adanya kerja sama dari pemerintah, pemuka agama,

agamawan, dan para cendikiawan teologis yang bertujuan untuk

mencegah agar tidak terjadinya konflik komunal. Strategi yang

dilakukan antara lain dengan mendorong pembentukan majelis agama-

agama, membentuk wadah kerukunan antar umat beragama,

mengembangkan kesepahaman di antara para pemimpin dan tokoh

agama melalui berbagai pertemuan dan kontrak antarpribadi, serta

mengembangkan perangkat peraturan yang berfungsi mencegah

kemungkinan timbulnya penggunaan agama sebagai sistem acuan

hingga ke tingkat konflik.

Jaring pengaman ini mempunyai arti penting, sebab pemicu

ketegangan sosial dapat bersumber dari berbagai interaksi sosial yang

ada dalam masyarakat. Interaksi sosial tidak jarang menimbulkan

sumber konflik. Isu agama, isu etnis, adat-istiadat dan batas wilayah

teritorial sering menjadi benih yang akan menimbulkan konflik. Dalam

melakukan intervensi mencegah konflik agar tidak menghebat menjadi

kekerasan, mekanisme tradisional dan modern keduanya memiliki peran

penting. Dalam banyak situasi sudah ada mekanisme yang seharusnya

berguna untuk mengatasi konflik. Strategi menggunakan jaring

pengaman pencegahan konflik, yakni dengan merajut benang-benang

paralel ini bersama. Jadi, dapat disimpulkan bahwa cara kerja jaring

pengaman pencegahan konflik, yakni dengan mengadakan jaringan

hubungan kerja sama antara pemerintah yang berwenang dengan

berbagai organisasi keagamaan, maupun masyarakat secara periodik.

B. Implementasi Penelitian

Setelah dikaji mengenai berbagai upaya yang dapat dilakukan dalam

mencegah agar benih-benih konflik dapat diredam sehingga tidak

99

100

terjadi konflik komunal. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus

kajiannya adalah efektifitas jaring pengaman pencegahan konflik, yakni

bagaimana kerjasama antara elit penguasa (pemerintah) dan elit agama

(pemuka agam). Oleh karena itu diharapkan penelitian ini dapat menjadi

inspirasi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

101

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius.

Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005.

Adi, Isbandi Rukminto. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat, dan Intervensi Komunitas: Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas

Ekonomi UI, 2003.

AG, Muhaimin, eds. Damai di Dunia Damai untuk Semua Perspektif Berbagai Agama. Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian

Kerukunan Hidup Umat Beragama, Badan Litbang Agama &

Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2004.

Ali, Muhammad. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajukan, Menjalin Kebersamaan. Jakarta: Penerbit Kompas,

2003.

Aripinsyah. Hubungan antar Agama: Wacana Pluralisme, Eksklusifvisme, dan Inklusivisme. Jakarta: IAIN Press, 2002.

Arifin, Syaiful, eds. Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan. Yogyakarta:

Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah The Asia

Foundation Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar (Anggota

IKAPI), 2000.

Asshiddiqie, Jimly, eds. Sumber Daya Manusia untuk Indonesia Masa Depan. Bandung: Mizan, 1997.

Ayoub, Mahmud M. The Crisis of Muslim History: Akar-Akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim. Bandung: Mizan, 2004.

Azra, Azyumardi. Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam.

Jakarta: Paramadina, 1999.

Bactiar, Wardi. Sosiologi Klasik dari Comte hingga Parsons. Bandung:

Remaja RosdaKarya, 2006.

Bailey, D. Kenneth. Methods of Social Research. New York: The Free

Press, 1978.

Bamualim, S. Chaider dan Karlina Helmanita, eds. Communal Conflict in Contemporary Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya

IAIN Jakarta and The Konrad Adenover Foundation, 2004.

Bartos, Otomar J. dan Paul Wehr. Using Conflict Theory. New York:

Cambridge University Press, 2003.

102

Basya, M. Hilaly dan David K. Alka. Amerika Perangi Teroris Bukan Islam. Jakarta: Penerbit Center for Moderate Moslem, 2004.

Becker, Howard S. Boy in White: Student Culture in Medical School. Chicago: The University of Chicago Press, 1961.

Becker, Howard S. dan Michal M. McCall, eds. Symbolic Interaction and Cultural Studies. Chicago: The University of Chicago Press,

1990.

Black, Jeremy. War and The New Disorder in The 21st Century. New

York-London: Continum, 2004.

Blumer, Herbert. Symbolic Interaction: Perspective and Method.

Prentice-Hall, Englewood Cliffs, 1969.

Bouvier, Helene, eds. Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik dan Kebijakan di Asia Pasifik. Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 2005.

Brass, Paul R. Ethnicity and Nationalism: Theory and Comparison. New

York: Sage Publication, 1991.

Broder, David S. Berita di Balik Berita. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,

1996.

Brown, M.E. et.al. Nationalism and Ethnic Conflict. Cambridge: The

MIT Press, 1997.

Bukay, David. from Muhammad to Bin Laden: Religious and Ideological Sources of The Homicide Bombers Phenomenon. Transaction

Publishers, th.

al-Bu>thy, Sa’id Ramad}a>n. D}awa>bith al-Mas}lahah fi al-Shari’at al-Islamiyyah. edisi ke 6. Beirut: Mu’assasat al-Risa>lat, 2000.

Carpenter, L. Swan dan WJD. Kennedy. Managing Public Disputes: A Pratical Guide to Handling Conflict and Reaching Agreements.

London: Jossey Bass Publisher, 1988.

Chalid, Pheni. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: CSES, 2005.

Chapra, Umer. Islam and The Economic Challege. USA: The Islamic

Foundation, 1995. Corrigan, John, eds. Jews, Christians, Muslims, a Comparative

Introduction to Monotheistic Religions. Prentice Hall, NJ, 1998.

C. Danforth, John. Onward, Moderate Christian Soldiers. The New York

Times, Wednesday, June 22, 2005.

Dahrendorf, Ralf. Class and Class Conflict in Industrial Society.

London: Routledge & Kegan Paul, 1959.

Debiel, Tobias dan Ulf Terliden. ‚Promoting Good Governance in Post-

Conflict Societies‛. [Discution Paper], http://

103

www.oecd.org/data-oecd/47/26/34481761.pdf. Diakses 20

Januari 2010.

Denhardt, Janet Vinzant dan Robert B. Denhardt. The New Public Service: Serving, not Steering. New York: M.E. Sharpe. Inc,

2007.

Departemen Agama RI. Manajemen Konflik Umat Beragama. Jakarta:

Puslitbang Depag RI, 2004.

______. Alqur’an dan Terjemahannya. Bandung: Penerbit J-ART, 2004.

______. Sosiologi Keagamaan: Suatu Kajian Empirik dalam Memantapkan Nilai-Nilai Kerukunan Umat Beragama. Jakarta:

Proyek Peningkatan Kerukunan Umat Beragama, 2004.

______. Menelusuri Kearifan Lokal di Bumi Nusantara: Catatan Perjalanan dan Hasil Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural antar Pemuka Agama Pusat dan Daerah. Jakarta:

Puslitbang Kerukunan Hidup Beragama, 2005.

______. Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Puslitbang Kehidupan

Beragama Depag RI, 2009.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2000.

Dinitto, D. M. dan T.R. Dye. Social Welfare Politics and Public Policy.

New Jersey: Prentice Hall, 1987.

Douglas, Jack D. Introduction to Sociology: Situations and Structures.

New York: Free Press, 1973.

Effendy, Bahtiar dan Soetrisno Hadi, eds. Agama dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: Nuqtah, 2007.

El-Fadl, Khaled Abou. The Great Theft, Wrestling Islam from The Extremist. SanFransisco: HarperSanFrancisco, 2007.

Emiliana, eds. Intergrasi Nasional: Suatu Pendekatan Budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1997.

Eriyanto. Media dan Konflik Ambon: Media, Berita dan Kerusuhan Komunal di Ambon 1999-2002. Jakarta: Penerbit Kantor Berita

Radio 68 H, 2003.

Esack, Fariq. Qur’an, Liberation and Pluralism: an Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression. Oxford:

Oneworld, 1997.

Espe, Kusuma. Provokator Paradigma Kritis di Tengah Konflik: Penyadaran Masyarakat Pasca Pertikaian antar Komunitas di Ambon. Jakarta: Awan Indah, 2004.

104

Fisher, Simon. eds. Working with Conflict: Skills and Strategies for Action diterjemahkan oleh S.N. Kartika Sari, et.al. Mengelola Konflik: Keterampilan & Strategi Untuk Bertindak. Jakarta:

Penerbit The British Council, 2001.

al-Ghazali. al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Mulk. terj. Arif D. Iskandar,

Etika Berkuasa Nasehat-nasehat Imam al-Ghazali. Bandung:

Pustaka Hidayat, 1998.

Giddens, Anthony. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber. Jakarta:

UIP, 1986.

______. Human Society A Reader. Cambridge: Polity Press, 1992.

Graham, C. Safety Nets, Politics, and the Poor: Transition to Market Economies. Washington DC: The Brooking Institution, 1994.

Grand, J. Le, C. Propper dan R. Robinson. The Economics of Social Problems. Hampshire: Palgrave, 1992.

Gregory, P.R. dan R. Stuart. Comparative Economic System. Boston:

Houghton Mifflin Company, 1999.

Griffin, Em. A. First Look at Communication Theory. New York:

McGraw-Hall, 1997.

Grose, George B. dan Benjamin J. Hubbard, eds. Tiga Agama Satu Tuhan: Sebuah Dialog. Bandung: Mizan,1998.

Habermas, Jurgen. On the Pragmatics of Communacation.

Massachusetts: The MIT Press, 1998.

Habib, Achmad. Konflik antaretnik di Pedesaan: Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa. Yogyakarta: LKiS, 2009.

Hadad, Toriq. Amarah Tasikmalaya: Konflik di Basis Islam. Jakarta:

ISAI, 1998.

Hadi, Samsul. Politik Standar Ganda Amerika Serikat Terhadap Bosnia.

Jakarta: Penerbit FoDIS, 1997.

Hadi, Syamsul, eds. Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2007.

Hadikusuma, Hilman. Antropologi Agama Bagian II (Pendekatan Budaya Terhadap Agama Yahudi, Kristen Katolik, Protestan, dan Islam). Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, 1993.

Hamad, Ahmad Azem. ‚The Reconceptualisation of Conflict

Management.‛ Interdisciplinary Journal, Vol 7, July 2007, 10-16.

http://www.peacestudiesjournal.org.uk. Diakses 3 November

2009.

105

Hasrullah. Dendam Konflik Poso (periode 1998-2001). Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2009.

Haq, Hamka. Jaringan Kerjasama Antar Umat Beragama dari Wacana ke Aksi Nyata. Jakarta: Titahandalusia Press, 2002.

Haq, M. Tirai Kemiskinan Tantangan-Tantangan untuk Dunia Ketiga.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1983.

Held, David. Models of Democracy. Cambridge: Polity Press, 2006.

HD, AP. Budiyono. Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama.

Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1983.

Hidayat, Komaruddin. Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Dokrin dan Peradaban Islam di Panggung Sejarah. Jakarta: Penerbit

Paramadina, 2003.

______. Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik.

Jakarta: Paramadina, 1996.

http://www. bappedaokutimurkab.go.id. Diakses Tanggal 12 Januari

2010.

Hopmann, P. Terrence. Two Paradigms of Negotiation: Bargaining and Problem Solving. United Kingdom: Sage Publication, 1995.

ibn Taimiyah, Taqi al-Din Ahmad. al-Siyasah al-Shar’iyyah fi Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah. Riyadh: al-Maktabah al-Salafiyyah wa

Maktabatuha, 1387 H.

Isaacs, Harold R. ‚Basic Group Identity: The Idol of the Trible.‛ dalam

Ethnicity, Theory and Experience, ed. Nathan Glazer and Daniel

P. Moyniham, 29-52. Cambridge: Harvard University Press,

1975.

al-Jama>l, Muhammad ‘Abd al-Mun’im. Masu>’at al-Iqtis}a>di> al-Isla>m. Kairo: Da>r al-Kutta>b al-Mas}ri>, 1986.

al-Jurjani, Al-Sayyid al-Syarif Ali Muhammad Ibn al-Husein. al-Ta’rifat. Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1987fi al-Wilayah al-Diniyah.

Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, t.th.

Jindan, Khalid Ibrahim. The Islamic Theory of Government According to Ibn Taimiyah. terj. Masrohin, Teori Politik Islam Tela’ah Kritis Ibn Taimiyah tentang Pemerintahan Islam. Surabaya:

Risalah Gusti, 1995.

Jones, Philip. Theory and Method in Sociology: a Guide for the Beginner. Slough: University Tutorial Press, 1985.

Jurnal Dialog Peradaban. Titik Temu. Vol. I No. I, Juli-Desember 2008,

Diterbitkan oleh NCMS, Jakarta.

106

Jurnal Multikultural & Multireligius. ‚Potret Kerukunan Umat

Beragama di Indoensia.‛ dalam Harmoni, vol. IV, No. 15, Juli-

September 2005, Penerbit Puslitbang Kehidupan Beragama

Depag RI, Jakarta.

Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka, 1993.

Keller, Suzanne. Penguasa dan Kelompok Elite. Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, 1995.

Kepel, Gilles. Jihad, The Trail of Political Islam. Harvard University

Press, 2002.

Lederach, John Paul. Preparing for Peace Conflict Transformation Across Culture. Syracus, NY: Syracus University Press, 1996.

Legenhausen, Muhammad. Islam and Religion Pluralism. London:

Alhoda Publishers, 1999.

Lewis, Bernard. Islam and The West. New York: Oxford University

Press, 1993.

Maarif, Ahmad Syafi’i. ‚Situasi dan Kekuatan Konflik dalam Sejarah

Indonesia Kontemporer.‛ HARMONI: Jurnal Multikultural dan Multireligius, Volume 1, No. 1, (Januari-Maret 2002), 14-24.

Madjid, Nurcholis. Islam, Dokrin, dan Peradaban. Jakarta: Paramadina,

2000.

Mahmood, Sohail. Islamic Fundamentalism in Pakistan, Egypt and Iran.

Vanguard Books Ltd., 1995.

Mannan, M.A. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana

Bhakti Wakaf, 1993.

Manis, Jerome G. dan Bernard N. Meltzer, eds. Symbolic Interaction: A Reader in Sosial Psychology. Boston: Allyn & Bacon, 1978.

Marsden, George M. Agama dan Budaya Amerika. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 1996.

Martinuzen, J. State, Society and Market: A Guide to Competing Theories of Development. London: Zed Books Ltd., 1997.

Maudu>di, Sayyed Abu>l Ala’. Islamic Law and Constitution. Lahore:

Islamic Publication (Pvt) Ltd., 1992.

al-Mawardi, Abu Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Bashri al-

Baghdadi. al-Ahkam al-Sulthaniyah Abimanyu, Bambang. Teror Bom di Indoensia. Jakarta: Grafindo, 2005.

Miall, Hugh. Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,

2000.

107

Miall, Hugh. ‚Conflict Transformation: A Multidimensional Task.‛

[Berghof Handbook of Conflict Transformation], no. 3, 2004,

http://www.berghophandbook.net/uploads/download/boege_handbook.p

df. Diakses 1 Desember 2010.

Midgley, J. Social Welfare in Global Context. Thousand Oaks: Sage

Publications, 1997.

Mills, Charles W. The Power Elites. New York: Oxford University

Press, 1956.

Misrawi, Zuhrawi. Alquran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme. Jakarta: Penerbit Fitrah, 2007.

Moore, W. Chistoper. Mediation Process: Practical Strategies for Resolving Conflict. USA: Jossey-Bass, 2003.

Moussalli, Ahmad S. The Islamic Quest for Democracry, Pluralism, and Human Rights. Florida: The University Press of Florida, 2003.

Muhammad, Afif. Model Penelitian tentang Pemikiran. Bandung: Puslit

IAIN Sunan Gunung Djati, 2000.

Mulkan, Abdul Munir. Teologi Kebudayaan dan Demokrasi Modernitas.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 2002.

al-Munawar, Said Agil Husin. Fikih Hubungan Antar Agama. Ciputat:

PT. Ciputat Press, 2005.

Mutahhari, Murtadha. Society and History, edisi Indonesia, Masyarakat dan Sejarah. Bandung: Mizan, 1986.

Nader, Laura dan Harry F. Todd. The Disputing Process Law in Ten Societies. Columbia: Columbia University Press, 1978.

Nasution., Mustafa Edwin. et al. Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam.

Jakarta: Penerbit Kencana, 2006.

Neuman, W. Lawrence. Sosial Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Boston: Allyn and Bacon, 1997.

Nimmo, D. Political Communication and Public Opinion in America.

Santa Monica, Cal: Goodyear Publishing Company, 1978.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES,

1991.

Petebang, Edi dan Eri Sutrisno. Konflik Etnik di Sambas. Jakarta:

Penerbit ISAI, 2000.

Petras, James. Zionism, Militarism and the Decline of US Power. diterjemahkan oleh Epic Mustika Putro. Jakarta: Penerbit Zahra,

2009.

108

Pruitt, G. Dean dan Sung Hee Kim. Social Conflict: Escalation, Stalemate, and Settlement. New York: McGraw-Hill, 2004.

Purnomo, Aloys Budi. Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik. Jakarta:

Penerbit Buku Kompas, 2003.

Ramli, Supiyan. Menggagas Pluralisme dalam Islam. Jambi: Penerbit

Sultan Thaha Press, 2008.

Ramsbotham, O, T. Woodhouse, dan H. Miall. Contemporary Conflict Resolution: The Prevention, Management, and Transformation of Deadly Conflict. New York: Polity, 2006.

Richards, Glyn. Toward a Theology of Religions . London: Routledge,

1989.

Ritzer, George. Modern Sociological Theory. New York: The McGraw-

Hill Companies, 2000.

Robson, W.A. Welfare State and Welfare Society: Illusion and Reality. London: George Allen and Unwin Publishers Ltd, 1977.

Rondinelli, A. Dennis. Restoring Governance ini Post-Conflict Countries of International Assistance, 15-16.

http//:unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/UN/UNPAN026

575.pdf. Diakses 10 Agusutus 2010.

Rose, Arnold M. ‚A Summary of Symbolic Interaction Theory.‛ dalam

Theories and Paradigms in Contemporary Sociology, ed. R.

Serge Denisoff, Orel Callahan dan Mark H. Levine. Itasca:

Illinois, F.E. Peacock, 1974.

Rubenstein, E. Richard. Conflict Resolution and Power Politics; Global Conflict After the Cold War. USA: Institute for Conflict

Analysis and Resolution George Mason University, 1996.

Sachedina, Abdulaziz. Beda tapi Setara: Pandangan Islam tentang Non-Islam. Jakarta: Penerbit Serambi, 2001.

Samuel, Hanneman. Indonesia dalam Transisi: Memikirkan Kembali Masyarakat Sipil, Daerah, dan Krisis. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2004.

Santoso, Thomas. Kekerasan Agama Tanpa Agama. Jakarta: Pustaka

Utan Kayu, 2002.

SF, Qamaruddin. Melampaui Dialog Agama. Jakarta: Penerbit Buku

Kompas, 2002.

Shadily, Hasan. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Rineka

Cipta, 1993.

Shaleh, Abdul Qodir. Agama Kekerasan. Yogyakarta: Prismasophie,

2003.

109

Shihab, Alwi. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama.

Bandung: Mizan, 2001.

Shuon, Fritzjof. Mencari Titik Temu Agama-Agama. Jakarta: Penerbit

Pustaka Firdaus, 1994.

Siran, Candra Lekha dan Zoe Nielsan. Exploring Subregional Conflict: Opportunities for Conflict Prevention. London: Lynne Rienner

Publishers, 2004.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1990.

Smith, Donald Eugene. Religion, Politics, and Social Change in the Third World. New York: The Free Press, 1971.

Soedijar, Ahad. Bencana Sosial Sampit. Jakarta: Badan Litbang Sosial

Depsos RI, 2002.

Soeters, Joseph L. Ethnic Conflict and Terrorism: The Original and Dynamics of Civil Wars. London and New York: Routledge

Taylor & Francis Group, 2005.

Soetomo. Masalah Sosial dan Pembangunan. Jakarta: PT. Dunia Pustaka

Jaya, 1995.

Soetrisno, Loekman. Konflik Sosial: Studi Kasus Indonesia.

Yogyakarta: Tajidu Press, 2003.

Stanley, eds. Konflik Etnis di Sambas. Jakarta: IAIS, 2000.

Stokhof, W.A.L., et.al. Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Leiden

& Jakarta: INIS & PBB, 2003.

Sumartana, Th., et.al. Agama dan Negara: Perspektif Islam, Khatolik, Hindu, Budha, Konghucu, Protestan. Yogyakarta: Institut

Dian/Interfidei, 2002.

Sumarto, M. ‚Social Safety Nets and Economic Transition in Indonesia:

Paradox of Social Services.‛ JOAAG, Vol. 2, No. 1,

Yogyakarta: CPPS GMU, 2007.

Supriatno, Tjahya. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Jakarta:

Rineka Cipta, 2000.

Susan, Novri. Sosiologi Konflik & Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana, 2009.

Susanto, Limas. Membongkar Praktek Kekerasan: Menggagas Kultur Nir-Kekerasan. Yogyakarta: PSIF UMM & Sinergi Press, 2002.

Suseno, Frans Magnis. ‚Konflik dan Harmoni: Pengelolaannya dalam

Wawasan Indonesia.‛ Prisma, no. 2, 1985, 90.

Syahid, Achmad dan Zainudin Daulay, eds. Riuh di Beranda Satu: Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia. Jakarta: Proyek

110

Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama

Depag RI, 2002.

Syamsuddin, Hasyim. Neraca Keadilan dalam Sistem Sosial, Ekonomi, dan Supremasi Hukum. Jakarta: Tajdidiyah, 2004.

Syarif, Mujar Ibnu. Hak-hak Politik Minoritas non-Muslim dalam Komunitas Islam. Bandung: Angkasa, 2003.

______. Presiden non-Muslim di Negara Muslim (Tinjauan dari Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia). Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan, 2006.

Tamara, Nasir dan Agnes Samsuri. Perang Iran-Perang Irak. Jakarta:

Penerbit Sinar Harapan, 1981.

Tedeschi, James T. eds. Impression Management Theory and Sosial Psychological Reseach. New York: Academic Press, 1981.

Tibi, Bassam. The Challenge of Fundamentalism Political Islam & The New World Disorder. California: University of California Press,

2002.

Tumanggor, Rusmin, eds. Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air. Jakarta: LEMLIT

dan LPM UIN Syarif Hidayatullah Bekerjasama dengan

Balitbangsos Depsos RI, 2004.

Uchrowi, Zaim. Merajut Damai di Maluku (Telaah Konflik Antarumat 1999-2000). Jakarta: Diterbitkan atas Kerjasama MUI dengan

Yayasan Pustaka Ummat, 2000.

Ul-Hasan, Masud. Reconstruction of Political Thought in Islam. Lahore:

Islamic Publication, 1988.

Vanhanen. ‚Ethnic Conflicts Explained by Ethnic Neotism.‛ Research in Biopolitics, Vol. 7, Stamford CT: JAI Press, 1999.

Wahid, M Hidayat Nur. Mengelola Masa Transisi Menuju Masyarakat Madani. Ciputat: Fikri, 2004.

Wallace dan Wolf. Reading in Contemporary Sociological Theory from Modernity to Post-Modernity. New Jersey: Prentice Hall, 1995.

Weymes, eds. A Challenge to Traditional Management Theory. 2004, 5.

http://www.emeraldinsigt.com/researchregister. Diakses 27

November 2009.

www.bipnewroom info, di akses pada tanggal 4 Mei 2010.

Yusron. Elite Lokal dan Civil Society: Kediri di Tengah Demokratisasi. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2009.

Yusuf, Yusnar. Prasangka Beragama: Implikasi Konflik Sosial di Ambon atas Relasi Keberagamaan di Indonesia. Jakarta: Penamadina,

2004.

111

Zain, Badudu. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit

Pustaka Sinar Harapan, 2001.

Zubir, Bidawi. ‚Tantangan dan Harmoni dalam Pluralisme: Sebuah

Sketsa Pengalaman Lapangan.‛ dalam M. Tuwah, dkk., eds.,

Islam Humanis, Islam dan Persoalan Kepemimpinan, Pluralitas, Lingkungan Hidup, Supremasi Hukum dan Masyarakat Marginal. Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2001.

112

INDEKS

INDEKS TOKOH

Azra, Azyumardi 74, 85, 88

Bartos, Otomar J. 21, 34

Black, Jeremy 11

Coser, Lewis 4

Fisher, Simon 22, 24, 33, 36

Gaborieau, Marc 1, 11

Haq, Hamka 41, 47

Houtart, Francois 1

Juergensmeyer, Mark 1, 10

Junaidi, Heri 12

Miall, Hugh 35

Mills, Charles W. 32

Querol, Reynal 10

Schmidt, Lars Peter 11

Stewart, Frances 10

Suryadinata, Leo 11

Susan, Novri 21, 23, 33, 44, 45, 46

Wehr, Paul 22, 23, 34

Yusuf, Imtiyaz 11

INDEKS ISTILAH

Agama 1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 18, 19

Conflict governance 21, 35, 46, 21, 35, 46, 47

Conflict management 21, 34, 35, 36, 37, 42

Democratic conflict governance 46, 47

Demokrasi deliberatif 47, 48

Forum Kerukunan Umat Beragama 10, 11, 17, 21

Governance 35, 46

Jaring pengaman 5, 7, 8, 10, 11, 16, 17, 20, 21, 46, 47, 48, 49, 50

Konflik 1, 2, 3, 4, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21,

22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 41,

42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50

Pemerintah 26, 28, 32, 44, 45, 46, 48, 49, 50

Pemerintah Kabupaten OKU Timur 10, 15, 16, 19, 20, 51, 52, 55, 56, 57,

58, 59, 60, 61, 68

113

Pemuka agama 5, 9, 15, 16, 49, 50

Pencegahan konflik 10, 11, 15, 16, 17, 21, 34, 35, 42, 50

Pengelolaan konflik 35, 36, 42

Pluralisme 40, 41

Sosiologi 9, 18, 19

INDEKS TEMPAT

Aceh 2

Ambon 2, 27

India 2, 5, 7, 12, 13

Indonesia 2, 3, 7, 9, 11, 13, 14, 22, 25, 27, 29, 31, 32, 33, 34, 39, 40, 43,

44, 47, 48, 49, 50

Kalimantan Barat 2

OKU Timur 6, 7, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 17,18, 19, 20, 21, 51, 52, 53,

54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68

Palembang 5, 6, 7

Papua 2

Poso 2, 21, 27, 28, 30

Srilanka 1

Sumatera Selatan 5, 6, 7, 10, 11, 13, 14, 15, 19, 20, 21

INDEKS AL-QUR’AN

al-Anbiya’ ayat 107 1

al-Baqarah ayat 62 39, 40

al-Hajj ayat 11 40

al-Hujura>t: 10 84

al-Maidah ayat 69 40

114

GLOSARI

115

Conflict governance : suatu dinamisasi hubungan antara

berbagai aktor dan lembaga dalam tata

kelola unsur-unsur konflik dalam suatu

ruang politik inklusif yang ditandai oleh

aktivitas mempersuasi,

memusyawarahkan, dan

mengimplementasikan kebijakan

perdamaian yang telah tercapai. Suatu

kebijakan perdamaian adalah hasil dari

musyawarah pihak-pihak terlibat dalam

konflik yang harus diimplementasikan

oleh seluruh pihak terlibat.

Democratic conflict governance

: proses mentransformasi konflik

kekerasan melalui dialog di antara

seluruh pihak, dalam posisi politik yang

sama, dan melembagakan nilai-nilai

kemanusiaan dan demokratis.

Dokumentasi : berasal dari kata dokumen, yang artinya

barang-barang tertulis. Dalam

prakteknya metode ini digunakan untuk

menyelidiki/mengkaji benda-benda

tertulis, seperti buku-buku, majalah,

jurnal penelitian, opini media dan

tabloid.

Forum Kerukunan

Umat Beragama

(FKUB)

: forum yang dibentuk oleh masyarakat

dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam

rangka membangun, memelihara, dan

memberdayakan umat beragama untuk

kerukunan dan kesejahteraan. (PBM,

Pasal 1, ayat 6)

Interaksionisme

simbolik

: salah satu di antara beberapa perspektif

utama yang dikenal dalam berbagai

disiplin ilmu, khususnya ilmu sosiologi,

psikoligi, antropologi dan ilmu

komunikasi. Interaksionisme simbolik

sebenarnya adalah salah satu respon

116

terhadap dominasi fungsionalisme

struktural yang melihat proses makro

sosial.

Maulid : tradisi yang dilakukan untuk

memperingati hari lahirnya nabi

Muhammad.

Pemuka agama : tokoh komunitas umat beragama baik

yang memimpin ormas keagamaan

maupun yang tidak, yang diakui dan

atau dihormati oleh masyarakat

setempat sebagai panutan.

Pencegahan konflik : strategi untuk mencegah timbulnya

konflik yang keras, juga untuk

mengatasi konflik laten (konflik yang

tersembunyi), dengan harapan dapat

mencegah meningkatnya kekerasan.

Pengelolaan konflik : strategi yang bertujuan untuk

membatasi dan menghindari kekerasan

dengan mendorong perubahan perilaku

positif bagi pihak-pihak yang terlibat.

Penyelesaian konflik : upaya untuk mengakhiri perilaku

kekerasan melalui suatu persetujuan

perdamaian.

Ruwahan : sedekah yang dilakukan guna

mendoakan orang yang telah meninggal.

Biasanya sedekah ini dilakukan pada

bulan Sya’ban atau sebelum datangnya

bulan Ramadhan.

Saluran drainase

(gorong-gorong)

: saluran yang digunakan untuk

mengalirkan air ke sungai ataupun ke

sawah.

Selamatan : sedekah yang dilakukan dengan tujuan

tertentu, misalnya selamatan karena

117

telah lahirnya seorang bayi, selamatan

atas sembuhnya dari sakit yang telah di

derita selama bertahun-tahun, dll.

Transformasi konflik : strategi yang paling menyeluruh dan

luas, yang juga merupakan strategi yang

membutuhkan komitmen yang paling

lama dan paling luas cakupannya,

dengan kata lain transformasi konflik

adalah strategi untuk mengatasi

sumber-sumber konflik sosial dan

politik yang lebih luas dan berusaha

mengubah kekuatan negatif dari

peperangan menjadi kekuatan sosial dan

politik yang positif.

Turap/talud/bronjong : alat yang digunakan untuk mengedam

pinggiran sungai agar tidak longsor.

118

BIODATA DIRI

Ramadhanita Mustika Sari, S.Th.I anak ketiga dari pasangan

Mustopa Usman dan Sofiah Suhaimi dilahirkan di Palembang 25 tahun

silam, yakni pada tanggal 7 Juni 1986 atau bertepatan dengan 28

Ramadhan 1406 H. Pada tahun 1992–1998 cewek yang akrab dipanggil

rama ini sekolah di SD Negeri 173 Palembang. Kemudian tahun 1998-

2001 melanjutkan studi di Sekolah Menengeh Pertama (SMP) Negeri 8

Palembang. Tahun 2001- 2004 sekolah di SMK Negeri I Palembang

dengan mengambil Jurusan Akuntansi. Selesai dari SMK ia melanjut

kuliah di IAIN Raden Fatah Palembang, tepatnya di Jurusan

Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin. Tahun 2008 ia

menyelesaikan skripsi yang berjudul ‛Pola Pemeliharaan Kerukunan

Umat Beragama pada Masyarakat Muslim dan Budha di Rama Kasih 6

Kelurahan 5 Ilir Palembang‛, dan memperoleh gelar Sarjana Theologi

Islam (S.Th.I). Setelah itu ia mengabdikan diri di salah satu pondok

pesantren yang ada di Kabupaten OKU Timur. Setahun kemudian

melanjutkan studi di Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta Konsentrasi Sosiologi Agama.

Selama kuliah cewek yang bercita-cita ingin menjadi seorang

penulis ini aktif diberbagai organisasi baik intra maupun ekstra kampus,

seperti BEMJ Perbandingan Agama (sebagai Bendahara periode 2006-

2007), BEMF Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang (sebagai

Bendahara Umum periode 2007-2008). Di organisasi ekstra ia aktif di

HMI, dan diamanahi sebagai Ketum Kohati Komisariat Fakultas

Ushuluddin pada tahun 2006-2007. Kemudian tahun 2007-2008 ia

menjadi staf bidang kewanitaan di HMI Cabang Palembang. Selain itu,

ia juga tercatat sebagai anggota IRMA Masjid Agung Palembang hingga

saat ini.

Buku yang berjudul ‚Jaring Pengaman Pencegahan Konflik:

Kasus Masyarakat OKU Timur‛ merupakan tulisan pertamanya yang

dibukukan. Berasal dari tesis berjudul ‚Jaring Pengaman Pencegahan

Konflik Masyarakat Kabupaten OKU Timur Provinsi Sumatera

Selatan‛. Penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari

119

pembaca. Bagi yang ingin memberikan kritik dan saran dapat

dialamatkan pada email [email protected]