rabu, 30 november 2011 ukan kesejahteraan · posisi harumi di pabrik sebenarnya sudah cukup ma- ......

1
BEBAS visa membuat warga Singapura lebih dekat dengan Kota Batam, di Kepulauan Riau. Pada akhir pekan dan hari biasa, mereka dengan mudah dijumpai hilir mudik di berbagai penjuru kota. Dengan status wisatawan mancanegara, warga Singapura menjadi penyumbang yang berarti bagi perekonomian Batam. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan mencatat jumlah turis asal ‘Negeri Singa’ yang masuk ke Batam mendomi- nasi kunjungan. Jumlah mereka mencapai 57,87% dari total turis. Beberapa hari setelah demon- strasi buruh melumpuhkan kota berpenduduk 1.081.527 jiwa ini, kunjungan orang Singapura ikut terpengaruh. Pada akhir pekan, yang biasanya ramai, Media Indonesia nyaris tidak menemukan mereka. Namun, ketika menyelisik lebih teliti di sejumlah pusat perbelanjaan, ternyata masih ada beberapa warga Singapura. Mereka tetap asyik membelan- jakan fulus di kota melayu ini. Kawasan favorit mereka ialah Nagoya, pusat bisnis, belanja, dan makanan. Salah satu dari mereka meng- aku bernama Ong Shin Hoe, 24. Pebisnis lajang itu mengatakan setidaknya dua minggu sekali melancong ke Batam. Ia menghabiskan biaya setidaknya US$300 (sekitar Rp2,7 juta) untuk satu kali pelesiran. Batam di mata Ong adalah arena ‘berpetualang’ yang relatif murah. “Uang sebesar itu sudah cukup untuk biaya penginapan yang murah, makan siang dan malam, sampai hiburan malam termasuk gadis-gadis,” ujar pria bermata sipit itu sembari terkekeh. Soal huru-hara buruh, Ong Shin Hoe mengaku sama sekali tidak khawatir. Ia bahkan su- dah merencanakan perjalanan berikutnya ke Batam bersama beberapa rekan kerjanya. Biaya belanja murah di kota industri Batam memang menjadi salah satu daya tarik tersendiri. Lain Ong, lain pula Eltha. Warga Singapura yang be- kerja di sebuah agen perjalan- an itu sering bertandang ke Batam untuk urusan peker- jaan. Namun, ia juga sesekali memboyong suami dan kedua anak mereka untuk berwisata kuliner melayu khas Batam. Sekitar US$200-US$300 (Rp1,8 juta-Rp2,7 juta) mesti dirogoh Eltha untuk perjalanan selama dua hari di Batam. “Tergantung berapa lama dan apa saja yang dikerjakan di Batam,” ujar Eltha, yang mengaku keranjingan makanan Indonesia. Kerusuhan dalam aksi bu- ruh, kata Eltha, tidak pernah memengaruhi hasratnya me- ngunjungi Batam. Ia justru mendukung para pekerja un- tuk memperjuangkan kehidup- an yang lebih baik. “Pemerintah harus mema- hami apa yang dibutuhkan para pekerja. Mereka itu kan hanya membutuhkan sedikit perubahan dengan upah, ka- rena hari demi hari, biaya hidup itu semakin tinggi. Gaji yang mereka terima tidak bisa memenuhi itu,” terangnya. (SZ/HK/N-2) “SAMPAI tanggal 10, kami masih bisa makan pakai ikan. Setelah itu? Terpaksa kami makan nasi pakai mi instan,” tutur Darman, 35. Pria yang tinggal di Keca- matan Bengkong, Kota Batam, Kepulauan Riau, itu operator di sebuah pabrik elektronik. Dia hidup dengan mengontrak be- deng kayu tripleks berukuran 3 x 2,5 meter. Karena hidup bersama is- tri dan seorang anak, Dar- man harus pintar mengatur keuangan keluarga. Gajinya sesuai dengan upah minimum Kota Batam 2011 sebesar Rp1,1 juta. Pria asal Minang itu harus merogoh kocek sekitar Rp300 ribu untuk kontrakan dan biaya makan tak kurang dari Rp900 ribu per bulan. Anaknya yang sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama membutuhkan biaya Rp500 ribu per bulan. “Istri saya terpaksa harus membantu dengan mencuci baju tetangga. Terkadang saya ngojek, tapi seringnya kerja lembur,” tambahnya. Dengan lembur terus-te- rusan, ia bisa mendapat tam- bahan Rp1 juta per bulan. Namun, cara itu membuat Dar- man harus merelakan waktu berkumpul bersama anak dan istrinya. “Saya hampir tidak bisa meli- hat anak saya pergi ke sekolah. Saya juga tidak pernah tahu apakah dia bisa mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Pergi pukul 06.00, saya baru masuk rumah sekitar pukul 09.00,” tandas Darman. Darman tidak sendiri. Ha- rumi, 33, asal Flores, Nusa Tenggara Timur, juga ter- paksa hidup di rumah liar. Ia sudah menjalaninya selama 10 tahun, di kawasan sim- pang Awal Bross, Kecamatan Lubukbaja. Harumi hidup bersama istri dan tiga anak. Mereka me- ngontrak rumah dengan dua kamar, tanpa listrik dan air bersih. Posisi Harumi di pabrik sebenarnya sudah cukup ma- pan. Jabatannya assistant leader. Hanya, pendapatannya juga tidak jauh dari UMK Batam, Rp1,1 juta per bulan. “Baju baru untuk Natal ta- hun ini rasanya tidak akan bisa saya berikan kepada anak- anak,” kata Harumi penuh penyesalan. Salah satu anaknya kini su- dah berumur 8 tahun. Namun, Harumi harus menunda untuk memasukkannya ke sekolah. Gajinya sudah habis untuk kebutuhan makan dan cicilan sepeda motor. “Ayah sudah janji mau me- nyekolahkan saya tahun ini. Tapi, ayah bilang nanti saja,” kata Bernadus, anak tertua Harumi. Yang lebih baik ialah nasib Sulastri, 23. Pekerja di pabrik elektronik di kawasan Mu- kakuning itu masih lajang. Sekalipun pendapatannya se- batas UMK, Sulastri masih bisa membiayai sekolah dua adiknya di Dampit, Malang, Jawa Timur. Karena merasa cukup, ia mengaku tidak tertarik untuk berdemo dengan turun ke jalan, pekan lalu. “Saya punya pengalaman buruk. Beberapa tahun lalu, setelah ikut unjuk rasa, saya dikeluarkan oleh perusahaan,” tuturnya. Hal yang sangat jauh ber- beda terlihat jelas pada para pekerja asing yang berburu uang di Batam. Gaji mere- ka bisa mencapai S$20.000 (S$1=Rp7.000). Sementara yang paling kecil, mereka bisa mengantongi S$5.000 per bulan. (SZ/HK/N-2) Upah minimum kota yang tahun ini diajukan serikat pekerja sebesar Rp1,3 juta per bulan juga menimbul- kan pertanyaan besar bagi akade- misi dari Universitas Putera Batam, Baru Harahap. Angka sejahtera bagi pekerja di kawasan ini seharusnya sudah di atas Rp1,7 juta. “Kebutuh- an hidup di Batam jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kawasan industri lain yang ada di Indonesia,” tandasnya. Jadi sorotan ketika kerusuhan me- ledak membuat Pemerintahan Kota Batam sepertinya memilih pasrah. Wali Kota Ahmad Dahlan tidak per- nah menampakkan diri. Karena itu, kabar pun beredar bahwa ia memilih kabur ke Singapura. Sedikit suara justru dilontarkan Ketua Dewan Pengupahan Kepu- lauan Riau Togar Napitupulu. “Kami menyerahkan semuanya kepada Gu- bernur Kepulauan Riau.” Mengapa buruh di Batam menga- muk? Itu tindakan yang ditempuh setelah perundingan berjalan buntu. Menurut Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Batam Yoni Mulyo Widodo, rundingan UMK sudah dimulai 27 Oktober. “Yang hadir saat itu ialah pengurus Asosiasi Pengusaha Indonesia Batam serta Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia,” katanya saat ditemui di sebuah ruko di Batam, kemarin. Apindo saat itu memunculkan angka Rp1,2 juta. Serikat pekerja mematok Rp1,7 juta. Deadlock terjadi. “Sepanjang perundingan, tidak per- nah ada kesepakatan bahwa UMK Batam itu Rp1,3 juta. Yang benar, saat survei pada 20 Oktober didapatkan angka kebutuhan hidup layak Rp1,3 juta,” tambah Yoni. Tunggu aksi menteri Dari Jakarta, anggota Komisi Ketenagakerjaan DPR Rieke Diah Pi- taloka mendukung seluruh buruh di Tanah Air berjuang untuk mendapat kenaikan upah. “Penetapan upah di setiap kota, kabupaten, dan provinsi di seluruh Indonesia adalah hal yang krusial, karena menyangkut kehidupan me- reka satu tahun ke depan. Apalagi untuk daerah industri dan berka- tegori free trade zone seperti Batam,” ujar Rieke. Ia pun mengecam keras insiden penembakan dengan peluru karet oleh kepolisian yang menyebabkan empat orang terluka. “Aneh, buruh nuntut hak-haknya malah ditembak,” sambungnya. Mantan selebritas ini juga mendesak Menteri Tenaga Kerja dan Transmigra- si Muhaimin Iskandar untuk segera merespons persoalan pengupahan dan tuntutan buruh. Salah satunya dengan memenuhi janji dan kesepakatan dengan Komisi IX DPR RI dalam rapat dengar pendapat umum pada 22 Novem- ber. “Menteri sudah berjanji akan me- revisi Peraturan Menakertrans No 17/2005 tentang KHL, yang sudah tidak layak digunakan lagi dengan kondisi sekarang,” tandas dia. (HK/ N-2) [email protected] ukan Kesejahteraan m pekerja. Nasib mereka juga tidak beringsut as alias free trade zone seperti Kota Batam. Tidak Pernah Membantu Anak Mengerjakan PR Surga Kecil bagi Tetangga ANTARA/NWA KANU MI/HENDRI KREMER MI/HENDRI KREMER REUTERS/MAMAD MANSYUR TUNTUT UMK: Puluhan buruh berunjuk rasa menuntut implementasi upah minimum kota (UMK) di Batam, Kepulauan Riau. OBJEK WISATA: Keindahan Pantai Lagoi menjadi daya tarik ribuan turis untuk datang ke Batam, Kepulauan Riau. BLOKADE JALAN: Pekerja memblokade jalan saat bentrok dengan polisi dalam aksi menuntut kenaikan upah di Batam, Kepulauan Riau. USANTARA 23 RABU, 30 NOVEMBER 2011 Ketika pemilihan kepala daerah, Wali Kota Batam Ahmad Dahlan, yang ketika itu mencalonkan diri, mengumbar janji manis. Mulai dari harga air bersih yang tidak akan naik, listrik, hingga sekolah gratis.”

Upload: phamdang

Post on 15-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BEBAS visa membuat warga Singapura lebih dekat dengan Kota Batam, di Kepulauan Riau. Pada akhir pekan dan hari biasa, mereka dengan mudah dijumpai hilir mudik di berbagai penjuru kota.

Dengan status wisatawan mancanegara, warga Singapura menjadi penyumbang yang berarti bagi perekonomian Batam. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan mencatat jumlah turis asal ‘Negeri Singa’ yang masuk ke Batam mendomi-nasi kunjungan. Jumlah mereka mencapai 57,87% dari total turis.

Beberapa hari setelah demon-strasi buruh melumpuhkan kota berpenduduk 1.081.527 jiwa ini, kunjungan orang Si ngapura ikut terpengaruh. Pada akhir pekan, yang biasa nya ramai, Media Indonesia nyaris tidak menemukan mereka.

Namun, ketika menyelisik lebih teliti di sejumlah pusat perbelanjaan, ternyata masih ada beberapa warga Singapura. Mereka tetap asyik membelan-jakan fulus di kota melayu ini. Kawasan favorit mereka ialah Nagoya, pusat bisnis, belanja, dan makanan.

Salah satu dari mereka meng-aku bernama Ong Shin Hoe, 24. Pebisnis lajang itu mengatakan setidaknya dua minggu sekali melancong ke Batam.

Ia menghabiskan biaya setidaknya US$300 (sekitar Rp2,7 juta) untuk satu kali pelesiran. Batam di mata Ong adalah arena ‘berpetualang’ yang relatif murah.

“Uang sebesar itu sudah cukup untuk biaya penginapan yang murah, makan siang dan malam, sampai hiburan malam termasuk gadis-gadis,” ujar pria bermata sipit itu sembari terkekeh.

Soal huru-hara buruh, Ong Shin Hoe mengaku sama sekali tidak khawatir. Ia bahkan su-dah merencanakan perjalanan berikutnya ke Batam bersama beberapa rekan kerjanya. Biaya belanja murah di kota industri Batam memang menjadi salah satu daya tarik tersendiri.

Lain Ong, lain pula Eltha.

Warga Singapura yang be-kerja di sebuah agen perjalan-an itu sering bertandang ke Batam untuk urusan peker-jaan. Namun, ia juga sesekali memboyong suami dan kedua anak mereka untuk berwisata kuliner melayu khas Batam. Sekitar US$200-US$300 (Rp1,8 juta-Rp2,7 juta) mesti dirogoh Eltha untuk perjalanan selama dua hari di Batam.

“Tergantung berapa lama dan apa saja yang dikerjakan di Batam,” ujar Eltha, yang mengaku keranjingan makanan Indonesia.

Kerusuhan dalam aksi bu-ruh, kata Eltha, tidak pernah memengaruhi hasratnya me-ngunjungi Batam. Ia justru mendukung para pekerja un-tuk memperjuangkan kehidup-an yang lebih baik.

“Pemerintah harus mema-hami apa yang dibutuhkan para pekerja. Mereka itu kan hanya membutuhkan sedikit perubahan dengan upah, ka-rena hari demi hari, biaya hidup itu semakin tinggi. Gaji yang mereka terima tidak bisa memenuhi itu,” terangnya. (SZ/HK/N-2)

“SAMPAI tanggal 10, kami masih bisa makan pakai ikan. Setelah itu? Terpaksa kami makan nasi pakai mi instan,” tutur Darman, 35.

Pria yang tinggal di Keca-matan Bengkong, Kota Batam, Kepulauan Riau, itu operator di sebuah pabrik elektronik. Dia hidup dengan mengontrak be-deng kayu tripleks berukuran 3 x 2,5 meter.

Karena hidup bersama is-tri dan seorang anak, Dar-man harus pintar mengatur keuang an keluarga. Gajinya sesuai dengan upah minimum Kota Batam 2011 sebesar Rp1,1 juta.

Pria asal Minang itu harus merogoh kocek sekitar Rp300 ribu untuk kontrakan dan biaya makan tak kurang dari Rp900 ribu per bulan. Anaknya yang sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama membutuhkan biaya Rp500 ribu per bulan.

“Istri saya terpaksa harus membantu dengan mencuci baju tetangga. Terkadang saya ngojek, tapi seringnya kerja lembur,” tambahnya.

Dengan lembur terus-te-rusan, ia bisa mendapat tam-bahan Rp1 juta per bulan. Namun, cara itu membuat Dar-

man harus merelakan waktu berkumpul bersama anak dan istrinya.

“Saya hampir tidak bisa meli-hat anak saya pergi ke sekolah. Saya juga tidak pernah tahu apakah dia bisa mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Pergi pukul 06.00, saya baru masuk rumah sekitar pukul 09.00,” tandas Darman.

Darman tidak sendiri. Ha-rumi, 33, asal Flores, Nusa Tenggara Timur, juga ter-paksa hidup di rumah liar. Ia sudah menjalaninya selama 10 tahun, di kawasan sim-pang Awal Bross, Kecamatan Lubukbaja.

Harumi hidup bersama istri dan tiga anak. Mereka me-ngontrak rumah dengan dua kamar, tanpa listrik dan air bersih.

Posisi Harumi di pabrik sebenarnya sudah cukup ma-pan. Jabatannya assistant leader. Hanya, pendapatannya juga tidak jauh dari UMK Batam, Rp1,1 juta per bulan.

“Baju baru untuk Natal ta-hun ini rasanya tidak akan bisa saya berikan kepada anak-anak,” kata Harumi penuh penyesalan.

Salah satu anaknya kini su-dah berumur 8 tahun. Namun,

Harumi harus menunda untuk memasukkannya ke sekolah. Gajinya sudah habis untuk kebutuhan makan dan cicilan sepeda motor.

“Ayah sudah janji mau me-nyekolahkan saya tahun ini. Tapi, ayah bilang nanti saja,” kata Bernadus, anak tertua Harumi.

Yang lebih baik ialah nasib Sulastri, 23. Pekerja di pabrik elektronik di kawasan Mu-kakuning itu masih lajang. Sekalipun pendapatannya se-batas UMK, Sulastri masih bisa membiayai sekolah dua adiknya di Dampit, Malang, Jawa Timur.

Karena merasa cukup, ia mengaku tidak tertarik untuk berdemo dengan turun ke jalan, pekan lalu.

“Saya punya pengalaman buruk. Beberapa tahun lalu, setelah ikut unjuk rasa, saya dikeluarkan oleh perusahaan,” tuturnya.

Hal yang sangat jauh ber-beda terlihat jelas pada para pekerja asing yang berburu uang di Batam. Gaji mere-ka bisa mencapai S$20.000 (S$1=Rp7.000). Sementara yang paling kecil, mereka bisa mengantongi S$5.000 per bulan. (SZ/HK/N-2)

Upah minimum kota yang tahun ini diajukan serikat pekerja sebesar Rp1,3 juta per bulan juga menimbul-kan pertanyaan besar bagi akade-misi dari Universitas Putera Batam, Baru Harahap. Angka sejahtera bagi pekerja di kawasan ini seharusnya

sudah di atas Rp1,7 juta. “Kebutuh-an hidup di Batam jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kawasan industri lain yang ada di Indonesia,” tandasnya.

Jadi sorotan ketika kerusuhan me-ledak membuat Pemerintahan Kota Batam sepertinya memilih pasrah. Wali Kota Ahmad Dahlan tidak per-nah menampakkan diri. Karena itu, kabar pun beredar bahwa ia memilih kabur ke Singapura.

Sedikit suara justru dilontarkan Ketua Dewan Pengupahan Kepu-lauan Riau Togar Napitupulu. “Kami menye rahkan semuanya kepada Gu-bernur Kepulauan Riau.”

Mengapa buruh di Batam menga-muk? Itu tindakan yang ditempuh

setelah perundingan berjalan buntu. Menurut Ketua Federasi Serikat

Pekerja Metal Batam Yoni Mulyo Widodo, rundingan UMK sudah dimulai 27 Oktober. “Yang hadir saat itu ialah pengurus Asosiasi Pengusaha Indonesia Batam serta Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia,” katanya saat ditemui di sebuah ruko di Batam, kemarin.

Apindo saat itu memunculkan angka Rp1,2 juta. Serikat pekerja mematok Rp1,7 juta. Deadlock terjadi. “Sepanjang perundingan, tidak per-nah ada kesepakatan bahwa UMK Batam itu Rp1,3 juta. Yang benar, saat survei pada 20 Oktober didapatkan angka kebutuhan hidup layak Rp1,3 juta,” tambah Yoni.

Tunggu aksi menteriDari Jakarta, anggota Komisi

Ketenagakerjaan DPR Rieke Diah Pi-taloka mendukung seluruh buruh di Tanah Air berjuang untuk mendapat kenaikan upah.

“Penetapan upah di setiap kota, kabupaten, dan provinsi di seluruh Indonesia adalah hal yang krusial, karena menyangkut kehidupan me-reka satu tahun ke depan. Apalagi untuk daerah industri dan berka-tegori free trade zone seperti Batam,” ujar Rieke.

Ia pun mengecam keras insiden penembakan dengan peluru karet oleh kepolisian yang menyebabkan empat orang terluka. “Aneh, buruh nuntut hak-haknya malah ditembak,”

sambungnya. Mantan selebritas ini juga mendesak

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigra-si Muhaimin Iskandar untuk segera merespons persoalan pengupahan dan tuntutan buruh.

Salah satunya dengan memenuhi janji dan kesepakatan dengan Komisi IX DPR RI dalam rapat dengar pendapat umum pada 22 Novem-ber.

“Menteri sudah berjanji akan me-revisi Peraturan Menakertrans No 17/2005 tentang KHL, yang sudah tidak layak digunakan lagi de ngan kondisi sekarang,” tandas dia. (HK/N-2)

[email protected]

ukan Kesejahteraanm pekerja. Nasib mereka juga tidak beringsut as alias free trade zone seperti Kota Batam.

Tidak Pernah Membantu Anak Mengerjakan PR

Surga Kecil bagi Tetangga

ANTARA/NWA KANU MI/HENDRI KREMER

MI/HENDRI KREMER

REUTERS/MAMAD MANSYUR

TUNTUT UMK: Puluhan buruh berunjuk rasa menuntut implementasi upah minimum kota (UMK) di Batam, Kepulauan Riau.

OBJEK WISATA: Keindahan Pantai Lagoi menjadi daya tarik ribuan turis untuk datang ke Batam, Kepulauan Riau.

BLOKADE JALAN: Pekerja memblokade jalan saat bentrok dengan polisi dalam aksi menuntut kenaikan upah di Batam, Kepulauan Riau.

USANTARA 23RABU, 30 NOVEMBER 2011

Ketika pemilihan kepala daerah, Wali Kota Batam

Ahmad Dahlan, yang ketika itu mencalonkan diri, mengumbar janji manis. Mulai dari harga air bersih yang tidak akan naik, listrik, hingga sekolah gratis.”