rabu, 17 mei 2017 utama kpk bantah izinkan …gelora45.com/news/sp_2017051703.pdf[jakarta] komisi...

1
[JAKARTA] Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah telah memberikan izin kepada Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham) terkait pem- bebasan bersyarat kepada Urip Tri Gunawan atau lebih dikenal dengan Jaksa Urip. Pada Jumat (12/5) lalu, Kemkumham memberikan pembebasan bersyarat kepada Urip. Jaksa Urip pada 2008 dipidana 20 tahun penjara dalam perkara suap pengu- rusan penanganan perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Urip mene- rima suap sebesar US$ 660.000 dari pengusaha Artalyta Suryani alias Ayin, yang merupakan orang dekat obli- gor BLBI, Sjamsul Nursalim. Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengakui adanya surat yang dilayangkan Kemkumham kepada KPK. Namun, surat itu tidak ada kaitannya dengan pembebas- an bersyarat. Dalam surat itu, Kemkumham hanya mena- nyakan mengenai konversi denda yang sudah dibayarkan dengan hukuman pengganti. “Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa pembe- basan bersyarat Urip tersebut sudah dikonsultasikan dengan KPK, sudah seizin KPK, saya kira itu tidak tepat, karena surat yang dikirim ke KPK adalah surat pertanyaan per- mintaan penjelasan terkait dengan denda dan juga kon- versi dari denda tersebut dengan hukuman pengganti yang lain,” jelas Febri di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (16/5). Bahkan, Febri mengatakan, surat yang disampaikan Kemkumham mengenai pen- jelasan soal konversi denda dan hukuman pengganti itu pun belum direspons KPK. Hal ini lantaran KPK perlu memeriksa dan mempertim- bangkan sejumlah hal. “Kami sedang pelajari surat tersebut dan tentu saja koordinasi akan kami lakukan lebih lanjut,” katanya. Dia memastikan pembebasan bersyarat Urip akan menjadi preseden buruk bagi pembe- rantasan korupsi di Indonesia. Sebab, meskipun diatur dalam UU, pemberian remisi atau pembebasan bersyarat kepada koruptor seharusnya dilakukan secara hati-hati agar tak melukai rasa keadilan masya- rakat. Apalagi PP 99/2012 ten- tang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan memperketat syarat remisi terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa atau extraordinary crime, seperti narkoba, terorisme dan korup- si. Dengan PP itu, Kemkumham seharusnya tidak memberikan pembebasan bersyarat kepada koruptor dengan alasan telah meme- nuhi syarat menjalani 2/3 dari masa hukuman. “Jika ada keseriusan kita memberantas korupsi, seba- iknya bukan ketentuan mini- mal yang diambil. Sebab, kalau kita baca UU, 2/3 menjalani masa pidana terse- but adalah ketentuan yang minimal. Jadi tidak harus 2/3 menjalani masa pidana kemu- dian harus dibebaskan karena ada syarat-syarat yang lain yang perlu juga diperhatikan,” ujarnya. Tak Melanggar Secara terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani, mengakui bahwa pembebasan bersyarat Urip adalah hal itu tak melang- gar aturan, namun dianggap menyinggung rasa keadilan publik. Untuk menghindari kejadian yang sama, dia mendorong agar regulasi menyangkut hal itu segera diperbaiki. “Mulai UU-nya, PP, hing- ga Keppres sebagai dasar pemberian remisi, perlu dibenahi semua dengan sege- ra. Supaya tak terus-terusan masyarakat terkaget-kaget,” kata Arsul. Dia menekankan bahwa transparansi sejak awal perlu lebih dilakukan. Misalnya, seorang hakim ataupun jaksa penuntut, seharusnya benar -benar bisa memahami per- kara sebelum menyusun tuntutan atau membuat vonis. Misalnya, dalam kasus Urip, jaksa maupun hakim juga memahami soal teknis pembebasan bersyarat, dan turut memperhitungkan dalam tuntutan dan vonis, sebagai antisipasi kemungkinan hak tersebut diberikan. “Artinya, sejak awal tuntutan dan vonis memang dibuat seberat-be- ratnya demi menghindari adanya keringanan lewat remisi atau bebas bersyarat,” jelasnya. Sedangkan, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P Masinton Pasaribu mengingatkan, sepanjang dilakukan sesuai aturan per- undang-undangan terkait remisi dan pembebasan ber- syarat, maka setiap tindakan yang dilakukan terhadap Jaksa Urip tetap legal. Dia yakin, pembebasan bersyarat yang diberikan kepada Jaksa Urip sudah dikaji dan dilaksanakan sesuai aturan berlaku. “Lagipula, Urip hanya menerima pembebasan ber- syarat, yang bukan berarti bebas sebebas-bebasnya. Kalau bebas bersyarat itu tak boleh ke luar negeri, tak boleh melakukan pelanggaran hukum di masa itu, dan wajib lapor, misalnya. Kalau di masa itu dilanggar, maka harus masuk lagi ke penjara,” jelasnya. Masinton menjelaskan, paradigma sistem hukum di Indonesia memang bersifat hukuman untuk membina, bukan untuk membalas den- dam. Konsekuensinya seorang narapidana tetap memiliki hak yang dilindungi, termasuk untuk berubah menjadi lebih baik. Namun, dia mengingatkan, demi menghindari kontrover- si, seharusnya proses pembe- rian remisi dilaksanakan secara transparan sejak awal. Misalnya, ketika yang ber- sangkutan berkelakuan baik selama masa penahanan dan memenuhi syarat-syarat untuk mendapatkan remisi hingga bebas bersyarat, seharusnya disampaikan ke publik,” katanya. Untuk itu, Masinton juga mendorong para jaksa di KPK melakukan refleksi atas kasus ini. Ke depan, sebaiknya tak perlu ragu untuk benar-benar melaksanakan pidana tam- bahan dalam penuntutan kasus korupsi. Misalnya, hartanya dirampas untuk negara, dica- but hak politiknya, hingga hukuman meniadakan kesem- patan mendapat remisi atau pembebasan bersyarat. “Kasus (Urip) ini kan sudah selesai proses di peng- adilan, dan sudah diserahkan ke Pemerintah yang wajib membina dia. Maka kalau tak mau, seharusnya sejak awal hukumannya dibikin yang benar-benar berat,” tandasnya. Sebelumnya, Kasubag Publikasi Humas Ditjen Pemasyarakatan Kemkumham Syarpani memastikan, kepu- tusan pembebasan bersyarat Jaksa Urip Tri Gunawan sesuai dengan prosedur. [F-5/MJS/E-11] 3 Suara Pembaruan Rabu, 17 Mei 2017 Utama KPK Bantah Izinkan Pembebasan Bersyarat Jaksa Urip Febri Diansyah FOTO-FOTO:ANTARA Arsul Sani [SEMARANG] Pemberian remisi dan bebas bersyarat kepada mantan jaksa yang terlibat kasus suap, Urip Tri Gunawan, merupakan pukulan telak bagi pene- gakan hukum dan pembe- rantasan korupsi di Tanah Air. Negara dinilai masih terlalu ramah dan murah hati terhadap para koruptor. “Seharusnya, negara jangan bersikap murah hati kepada para koruptor,” ujar pegiat antikorupsi dari Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah Eko Haryanto kepada SP di Semarang, Rabu (17/5). Eko mengatakan, nega- ra seharusnya tidak lemah dan tegas terhadap upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air. Sebab, kejahat- an korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra- ordinary crime). Sudah selayaknya jika para pela- ku kejahatan korupsi dihukum dengan luar biasa pula agar bisa menimbulkan efek jera di masyarakat. Eko berpendapat, peme- rintah terbukti tidak tegas dan menyerahkan sepenuh- nya proses remisi dan pembebasan bersyarat kepada Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Tidak ada pengawasan yang ketat terhadap pihak penge- lola Lapas dalam hal pemberian remisi dan pembebasan bersyarat. “Yang terjadi selama ini, pemberian remisi hanya bersandar pada subjektivi- tas kepala Lapas. Padahal, kita tahu, Lapas itu ibarat negara dalam negara. Sangat sulit diawasi oleh orang luar. Akibatnya, sering terjadi penyalahgu- naan kekuasaan di dalam lapas,” katanya. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Yogyakarta, Hifdzil Alim menilai, pembebasan ber- syarat jaksa Urip berten- tangan dengan KUHP dan PP 99/2012. Menurutnya, remisi bisa diberikan kepa- da terpidana jika telah memenuhi syarat, salah satunya telah menjalankan 2/3 hukuman. “Maka, kalau diputus- kan 20 tahun penjara, berarti baru akan diberikan remisi setelah menjalankan hukuman selama 15 tahun,” katanya. Selain itu, jika Kemkumham beralasan bahwa kebijakan itu diam- bil karena penjara yang kelebihan kapasitas, alasan itu juga tidak bisa dibenar- kan dan terkesan menga- da-ada. Peneliti Pukat UGM lainnya, Oce Madril menga- takan, Urip tidak berhak mendapatkan remisi bahkan pembebasan bersyarat. Sebab, kata dia, Urip tidak pernah menjadi justice collaborator. Pemberian remisi, kata Oce, seharus- nya berdasarkan PP 99/2012, sementara PP itu tidak berlaku bagi Urip yang telah menjadi terpi- dana sejak 2008 atau sebelum PP terbit. [142/152] Jangan Murah Hati kepada Koruptor

Upload: hatuyen

Post on 23-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

[ J A K A RTA ] K o m i s i Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah telah memberikan izin kepada Kementerian H u k u m d a n H A M (Kemkumham) terkait pem-bebasan bersyarat kepada Urip Tri Gunawan atau lebih dikenal dengan Jaksa Urip. Pada Jumat (12/5) lalu, Kemkumham memberikan pembebasan bersyarat kepada Urip.

Jaksa Urip pada 2008 dipidana 20 tahun penjara dalam perkara suap pengu-rusan penanganan perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Urip mene-rima suap sebesar US$ 660.000 dari pengusaha Artalyta Suryani alias Ayin, yang merupakan orang dekat obli-gor BLBI, Sjamsul Nursalim.

Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengakui adanya surat yang dilayangkan Kemkumham kepada KPK. Namun, surat itu tidak ada kaitannya dengan pembebas-an bersyarat. Dalam surat itu, Kemkumham hanya mena-nyakan mengenai konversi denda yang sudah dibayarkan dengan hukuman pengganti.

“Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa pembe-basan bersyarat Urip tersebut sudah dikonsultasikan dengan KPK, sudah seizin KPK, saya kira itu tidak tepat, karena surat yang dikirim ke KPK adalah surat pertanyaan per-mintaan penjelasan terkait dengan denda dan juga kon-versi dari denda tersebut dengan hukuman pengganti

yang lain,” jelas Febri di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (16/5).

Bahkan, Febri mengatakan, surat yang disampaikan Kemkumham mengenai pen-jelasan soal konversi denda dan hukuman pengganti itu pun belum direspons KPK. Hal ini lantaran KPK perlu memeriksa dan mempertim-bangkan sejumlah hal.

“Kami sedang pelajari surat tersebut dan tentu saja koordinasi akan kami lakukan lebih lanjut,” katanya. Dia memastikan pembebasan bersyarat Urip akan menjadi preseden buruk bagi pembe-rantasan korupsi di Indonesia. Sebab, meskipun diatur dalam UU, pemberian remisi atau pembebasan bersyarat kepada koruptor seharusnya dilakukan secara hati-hati agar tak melukai rasa keadilan masya-rakat.

Apalagi PP 99/2012 ten-tang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

memperketat syarat remisi terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa atau extraordinary crime, seperti narkoba, terorisme dan korup-s i . D e n g a n P P i t u , Kemkumham seharusnya tidak memberikan pembebasan bersyarat kepada koruptor dengan alasan telah meme-nuhi syarat menjalani 2/3 dari masa hukuman.

“Jika ada keseriusan kita memberantas korupsi, seba-iknya bukan ketentuan mini-mal yang diambil. Sebab, kalau kita baca UU, 2/3 menjalani masa pidana terse-but adalah ketentuan yang minimal. Jadi tidak harus 2/3 menjalani masa pidana kemu-dian harus dibebaskan karena ada syarat-syarat yang lain yang perlu juga diperhatikan,” ujarnya.

Tak MelanggarSecara terpisah, anggota

Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani, mengakui bahwa pembebasan bersyarat

Urip adalah hal itu tak melang-gar aturan, namun dianggap menyinggung rasa keadilan publik. Untuk menghindari kejadian yang sama, dia mendorong agar regulasi menyangkut hal itu segera diperbaiki.

“Mulai UU-nya, PP, hing-ga Keppres sebagai dasar pemberian remisi, perlu dibenahi semua dengan sege-ra. Supaya tak terus-terusan masyarakat terkaget-kaget,” kata Arsul.

Dia menekankan bahwa transparansi sejak awal perlu lebih dilakukan. Misalnya, seorang hakim ataupun jaksa penuntut, seharusnya benar-benar bisa memahami per-kara sebelum menyusun tuntutan atau membuat vonis.

Misalnya, dalam kasus Urip, jaksa maupun hakim juga memahami soal teknis pembebasan bersyarat, dan turut memperhitungkan dalam tuntutan dan vonis, sebagai antisipasi kemungkinan hak tersebut diberikan. “Artinya, sejak awal tuntutan dan vonis memang dibuat seberat-be-ratnya demi menghindari adanya keringanan lewat remisi atau bebas bersyarat,” jelasnya.

Sedangkan, anggota

Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P Masinton Pasaribu mengingatkan, sepanjang dilakukan sesuai aturan per-undang-undangan terkait remisi dan pembebasan ber-syarat, maka setiap tindakan yang dilakukan terhadap Jaksa Urip tetap legal. Dia yakin, pembebasan bersyarat yang diberikan kepada Jaksa Urip sudah dikaji dan dilaksanakan sesuai aturan berlaku.

“Lagipula, Urip hanya menerima pembebasan ber-syarat, yang bukan berarti bebas sebebas-bebasnya. Kalau bebas bersyarat itu tak boleh ke luar negeri, tak boleh melakukan pelanggaran hukum di masa itu, dan wajib lapor, misalnya. Kalau di masa itu dilanggar, maka harus masuk lagi ke penjara,” jelasnya.

Masinton menjelaskan, paradigma sistem hukum di Indonesia memang bersifat hukuman untuk membina, bukan untuk membalas den-dam. Konsekuensinya seorang narapidana tetap memiliki hak yang dilindungi, termasuk untuk berubah menjadi lebih baik.

Namun, dia mengingatkan, demi menghindari kontrover-si, seharusnya proses pembe-rian remisi dilaksanakan

secara transparan sejak awal. Misalnya, ketika yang ber-sangkutan berkelakuan baik selama masa penahanan dan memenuhi syarat-syarat untuk mendapatkan remisi hingga bebas bersyarat, seharusnya disampaikan ke publik,” katanya.

Untuk itu, Masinton juga mendorong para jaksa di KPK melakukan refleksi atas kasus ini. Ke depan, sebaiknya tak perlu ragu untuk benar-benar melaksanakan pidana tam-bahan dalam penuntutan kasus korupsi. Misalnya, hartanya dirampas untuk negara, dica-but hak politiknya, hingga hukuman meniadakan kesem-patan mendapat remisi atau pembebasan bersyarat.

“Kasus (Urip) ini kan sudah selesai proses di peng-adilan, dan sudah diserahkan ke Pemerintah yang wajib membina dia. Maka kalau tak mau, seharusnya sejak awal hukumannya dibikin yang benar-benar berat,” tandasnya.

Sebelumnya, Kasubag Publikasi Humas Ditjen Pemasyarakatan Kemkumham Syarpani memastikan, kepu-tusan pembebasan bersyarat Jaksa Urip Tri Gunawan sesuai dengan prosedur. [F-5/MJS/E-11]

3Sua ra Pem ba ru an Rabu, 17 Mei 2017 Utama

KPK Bantah Izinkan Pembebasan Bersyarat Jaksa Urip

Febri Diansyahfoto-foto:antara

Arsul Sani

[SEMARANG] Pemberian remisi dan bebas bersyarat kepada mantan jaksa yang terlibat kasus suap, Urip Tri Gunawan, merupakan pukulan telak bagi pene-gakan hukum dan pembe-rantasan korupsi di Tanah Air. Negara dinilai masih terlalu ramah dan murah hati terhadap para koruptor.

“Seharusnya, negara jangan bersikap murah hati kepada para koruptor,” ujar pegiat antikorupsi dari Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah Eko Haryanto kepada SP di Semarang, Rabu (17/5).

Eko mengatakan, nega-ra seharusnya tidak lemah dan tegas terhadap upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air. Sebab, kejahat-an korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Sudah selayaknya jika para pela-ku kejahatan korupsi dihukum dengan luar biasa pula agar bisa menimbulkan

efek jera di masyarakat.Eko berpendapat, peme-

rintah terbukti tidak tegas dan menyerahkan sepenuh-nya proses remisi dan pembebasan bersyarat k e p a d a L e m b a g a Pemasyarakatan (Lapas). Tidak ada pengawasan yang ketat terhadap pihak penge-lola Lapas dalam hal pemberian remisi dan pembebasan bersyarat.

“Yang terjadi selama ini, pemberian remisi hanya bersandar pada subjektivi-tas kepala Lapas. Padahal, kita tahu, Lapas itu ibarat negara dalam negara. Sangat sulit diawasi oleh orang luar. Akibatnya, sering terjadi penyalahgu-naan kekuasaan di dalam lapas,” katanya.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Yogyakarta, Hifdzil Alim menilai, pembebasan ber-syarat jaksa Urip berten-tangan dengan KUHP dan PP 99/2012. Menurutnya, remisi bisa diberikan kepa-

da terpidana jika telah memenuhi syarat, salah satunya telah menjalankan 2/3 hukuman.

“Maka, kalau diputus-kan 20 tahun penjara, berarti baru akan diberikan remisi setelah menjalankan hukuman selama 15 tahun,” katanya. Selain itu, jika Kemkumham beralasan bahwa kebijakan itu diam-bil karena penjara yang kelebihan kapasitas, alasan itu juga tidak bisa dibenar-kan dan terkesan menga-da-ada.

Peneliti Pukat UGM lainnya, Oce Madril menga-takan, Urip tidak berhak mendapatkan remisi bahkan pembebasan bersyarat. Sebab, kata dia, Urip tidak pernah menjadi justice collaborator. Pemberian remisi, kata Oce, seharus-nya be rdasa rkan PP 99/2012, sementara PP itu tidak berlaku bagi Urip yang telah menjadi terpi-dana sejak 2008 atau s e b e l u m P P t e r b i t . [142/152]

Jangan Murah Hati kepada Koruptor