putusan hakim yang sesuai dengan metode penemuan hukum progresif

8
Prinsip utama yang dijadikan landasan hukum progresif adalah “Hukum adalah untuk manusia” bukan sebaliknya. Jadi manusialah yang merupakan penentu dan dipahami dalam hal ini manusia pada dasarnya adalah baik. Prinsip tersebut ingin menggeser landasan teori dari faktor hukum ke faktor manusia. Konsekuensinya hukum adalah bukanlah merupakan sesuatu yang mutlak dan final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as a process, law in the making) yakni menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteraan atau hukum yang perduli terhadap rakyat. 1 Putusan hakim secara faktual banyak dihasilkan oleh para hakim, dan untuk berikut akan saya bahas contoh putusan hakim yang dapat diklasifikasikan sebagai putusan hakim yang sesuai dengan metode penemuan hukum yang bersifat progresif : 1. Putusan MA No. 275 K/Pid/1983 Tanggal 15 Desember 1983, dalam Perkara Atas Nama Terdakwa : Natalegawa Dalam putusan ini, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan Pengadilan 1 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan) Majalah Hukum Newsletter Nomor 59 Bulan Desember 2004, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 2004, hlm 1

Upload: vio-muskitta

Post on 21-Oct-2015

193 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Prinsip utama yang dijadikan landasan hukum progresif adalah “Hukum adalah untuk manusia” bukan sebaliknya. Konsekuensinya hukum adalah bukanlah merupakan sesuatu yang mutlak dan final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as a process, law in the making) yakni menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteraan atau hukum yang peduli terhadap rakyat. Disini saya akan membahas contoh putusan hakim yang dapat diklasifikasikan sebagai putusan hakim yang sesuai dengan metode penemuan hukum yang bersifat progresif.

TRANSCRIPT

Page 1: Putusan Hakim Yang Sesuai Dengan Metode Penemuan Hukum Progresif

Prinsip utama yang dijadikan landasan hukum progresif adalah “Hukum adalah untuk

manusia” bukan sebaliknya. Jadi manusialah yang merupakan penentu dan dipahami dalam hal

ini manusia pada dasarnya adalah baik. Prinsip tersebut ingin menggeser landasan teori dari

faktor hukum ke faktor manusia. Konsekuensinya hukum adalah bukanlah merupakan sesuatu

yang mutlak dan final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as a process, law in the making)

yakni menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang berkeadilan, hukum yang

mampu mewujudkan kesejahteraan atau hukum yang perduli terhadap rakyat.1

Putusan hakim secara faktual banyak dihasilkan oleh para hakim, dan untuk berikut akan

saya bahas contoh putusan hakim yang dapat diklasifikasikan sebagai putusan hakim yang sesuai

dengan metode penemuan hukum yang bersifat progresif :

1. Putusan MA No. 275 K/Pid/1983 Tanggal 15 Desember 1983, dalam Perkara Atas Nama

Terdakwa : Natalegawa

Dalam putusan ini, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari Jaksa

Penuntut Umum terhadap putusan Pengadilan Negeri yang membebaskan terdakwa Natalegawa.

Padahal dalam Pasal 244 KUHAP ditegaskan bahwa : “Penuntut Umum tidak diberi hak untuk

melakukan kasasi”. Namun demikian, pada kenyataannya Mahkamah Agung memberikan hak

kepada Penuntut Umum untuk melakukan kasasi.

Penerimaan kasasi tersebut merupakan contra legem terhadap Pasal 244 KUHAP, yang

melarang pengajuan kasasi atas putusan bebas. Pasal 244 KUHAP menyatakan bahwa : terhadap

putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari MA,

1 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan) Majalah Hukum Newsletter Nomor 59 Bulan Desember 2004, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 2004, hlm 1

Page 2: Putusan Hakim Yang Sesuai Dengan Metode Penemuan Hukum Progresif

terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada

Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.

Dasar pertimbangan yang dipergunakan oleh Mahkamah Agung antara lain menyatakan

bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam tindak pidana korupsi, apabila

dalam putusan yang dijatuhkan telah melampaui batas kewenangan, dalam hal ini putusan

didasarkan pada pertimbangan nonyuridis pada satu sisi, dan putusan pembebasan itu pada sisi

yang lain menusuk perasaan hati masyarakat luas, maka terhadap putusan bebas tersebut dapat

dimintakan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung.

Dengan putusannya tersebut berarti Mahkamah Agung telah menyingkirkan Pasal 244

KUHAP dengan cara menemukan dan menciptakan hukum (case law).2 Putusan ini kemudian

dikuatkan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. MA/PEMB/2653/33 tanggal 8

Agustus 1983 dan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. 01/44-PW-07.D.3 tanggal 10

Desember 1983. Beberapa argumentasi yang dapat disampaikan terkait dengan putusan tersebut,

adalah bahwa Mahkamah Agung telah melakukan suatu langkah terobosan, dengan melakukan

interpretasi terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP, sehingga kasasi dari penuntut umum yang

seharusnya tidak diperbolehkan, akan tetapi dengan pertimbangan kedepan bahwa tindak pidana

korupsi merupakan suatu perbuatan yang tidak patut dilakukan dalam masyarakat dan menusuk

perasaan keadilan masyarakat. Oleh karena itu, MA berusaha untuk memberikan rasa keadilan

bagi masyarakat (social justice) dengan menjatuhkan putusan yang bertujuan menciptakan rasa

keadilan yang bersifat substansial (materiil), sehingga kasasi penuntut umum diterima dan

dengan kewenangannya, MA mengadili sendiri dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yang

telah diputus bebas oleh Pengadilan Negeri.

2 H.A. Mukhsin Asyrof. Asas-asas Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum oleh Hakim dalam Proses Peradilan. Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun ke-XXI No. 252 November 2006. Ikahi. Jakarta, hlm. 77

Page 3: Putusan Hakim Yang Sesuai Dengan Metode Penemuan Hukum Progresif

2. Putusan Mahkamah Agung No. 2263K/Pdt/1991 dalam Perkara Pembebasan Tanah untuk

Proyek Bendungan Kedungombo, yang Diputuskan oleh Majelis Hakim yang Diketuai

Asikin Kusumaatmaja

Dalam putusannya tersebut, hakim menolak keterangan Tergugat (Pemerintah Provinsi

Jawa Tengah) yang menganggap bahwa rakyat telah bersepakat menerima ganti rugi berdasarkan

musyawarah, karena pada kenyataannya ganti rugi yang diberikan pemerintah kepada penduduk

tidak mencerminkan keadilan dan kebenaran materiil, sehingga hakim perlu mendefenisikan

ulang pengertian musyawarah untuk mufakat. Kemudian dalam putusan tersebut hakim

mengabulkan ganti rugi kepada pemilik tanah yang besarnya ternyata melebihi dari apa yang

diminta dalam gugatannya.

Putusan dalam tingkat kasasi ini menguntungkan penduduk sekitar selaku pemilik tanah

disekitar waduk / bendungan Kedungombo, yang selalu menjadi korban keserakahan dari kaum

powerfull, yang biasanya memanfaatkan kelemahan-kelemahan peraturan perundangan-

undangan.

Sebenarnya dibalik kasus waduk Kedungomobo ini, dapat dilihat sarat dengan ambisi

politik dari Pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan agar terlihat

kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan, tetapi hal tersebut dilakukan diatas

penderitaan rakyat yang diinjak-injak haknya dan perampasan tanah-tanah dengan cara

sewenang-wenang.

Dalam usahanya memberikan putusan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat (social

justice) yang didasarkan pada pencairan akan keadilan yang substansial (materiil) itulah, maka

hakim kasasi di MA menilai bahwa ganti kerugian yang dituntut oleh masyarakat saat itu sudah

Page 4: Putusan Hakim Yang Sesuai Dengan Metode Penemuan Hukum Progresif

tidak sesuai lagi dengan harga tanah pada saat saat putusan kasasi diperiksa oleh hakim, sehingga

dengan melakukan terobosan hukum yang progresif, hakim menjatuhkan putusan yang menurut

penulis merupakan putusan yang mengedepankan sisi kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran

sebagaimana konsep hukum progresif itu sendiri.

Hakim dalam perkara ini, telah melakukan penemuan hukum melalui teori atau metode

interpretasi teleologis atau sosiologis, yang mana nilai ganti kerugian yang dituntut oleh

masyarakat disesuaikan dengan nilai uang atau harga tanah pada saat perkara kasasi itu

diputuskan, sehingga nilai tanah itu mengikuti nilai ekonomis tanah dari tahun ke tahun, yang

terus bertambah mahal, hal ini sangat menguntungkan penduduk pemilik tanah tersebut.

Putusan ini, oleh banyak kalangan termasuk Satjipto Rahardjo, dianggap sebagai revolusi

yang setara dengan putusan Hoge Raad tahun 1919, dengan alasan karena putusan MA dengan

tegas-tegas membela kepentingan rakyat kecil yang lemah kedudukannya.3

3. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Barat No. 546/73.P, tanggal 14

November 1973 yang Mengabulkan Permohonan Penggantian Jenis Kelamin dari

Seorang Laki-laki Bernama Iwan Robianto Menjadi Seorang Perempuan dengan Nama

Vivian Rubiyanti

Dilihat dari segi ilmu hukum, seluk beluk ganti kelamin masih merupakan persoalan baru

dibidang perkembangan hukumnya. Adanya kepentingan persoalan hukum muncul setelah

adanya perkembangan di bidang ilmu kedokteran yang disebut dengan operasi kelamin, sehingga

penetapan hakim ini merupakan era baru di bidang praktik peradilan Indonesia dalam mengisi

kekosongan peraturan hukum (rechtvacuum), karena hal ini memang belum ada pengaturannya

3 Antonius Sudirman, 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya. Bandung : Citra Adtya Bakti, hlm. 12

Page 5: Putusan Hakim Yang Sesuai Dengan Metode Penemuan Hukum Progresif

dalam peraturan perundang-undangan. Dengan putusan ini, hakim dipandang telah berhasil

melakukan penemuan hukum yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat.

Pertimbangan hukum yang diberikan hakim adalah tepat, yaitu dalam kehidupan di

masyarakat terdapat dua jenis manusia yaitu yang berjenis kelamin laki-laki dan nerjenis kelamin

perempuan, tetapi tidak dapat dipungkiri dalam kenyataannya terdapat pula segolongan manusia

yang hidupnya ada diantara kedua jenis itu, yaitu waria (wanita pria).

Dalam melengkapi kekosongan hukum tentang perubahan kelamin tersebut, hakim

memberikan pertimbangan dengan meninjaunya dari segi agama yang disesuaikan dengan

keyakinan si pemohon, yang tidak keberatan sepanjang perubahan kelamin tersebut merupakan

satu-satunya jalan untuk menolong penderitaan si pemohon, sehingga ia dapat berkembang

sebagai manusia yang wajar.4

Jika ditelaah, putusan ini merupakan penemuan hukum yang dilakukan hakim dengan

metode konstruksi hukum, karena ketentuan hukum yang mengatur mengenai penggantian jenis

kelamin, belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan sehingga terjadi kekosongan

undang-undang (wet vacuum). Hakim melakukan konstruksi dengan berlandaskan pada metode

fiksi hukum, dimana dalam putusan tersebut, dikemukakan fakta-fakta baru, sehingga tampil

suatu personifikasi atau keadaan hukum baru, yaitu perubahan kelamin dari si pemohon seorang

laki-laki yang bernama Iwan Robianto menjadi seorang perempuan yang bernama Vivian

Rubiyanti.

4 Antonius Sudirman, 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya. Bandung : Citra Adtya Bakti, hlm. 12