putusan hakim yang sesuai dengan metode penemuan hukum progresif
DESCRIPTION
Prinsip utama yang dijadikan landasan hukum progresif adalah “Hukum adalah untuk manusia” bukan sebaliknya. Konsekuensinya hukum adalah bukanlah merupakan sesuatu yang mutlak dan final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as a process, law in the making) yakni menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteraan atau hukum yang peduli terhadap rakyat. Disini saya akan membahas contoh putusan hakim yang dapat diklasifikasikan sebagai putusan hakim yang sesuai dengan metode penemuan hukum yang bersifat progresif.TRANSCRIPT
Prinsip utama yang dijadikan landasan hukum progresif adalah “Hukum adalah untuk
manusia” bukan sebaliknya. Jadi manusialah yang merupakan penentu dan dipahami dalam hal
ini manusia pada dasarnya adalah baik. Prinsip tersebut ingin menggeser landasan teori dari
faktor hukum ke faktor manusia. Konsekuensinya hukum adalah bukanlah merupakan sesuatu
yang mutlak dan final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as a process, law in the making)
yakni menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang berkeadilan, hukum yang
mampu mewujudkan kesejahteraan atau hukum yang perduli terhadap rakyat.1
Putusan hakim secara faktual banyak dihasilkan oleh para hakim, dan untuk berikut akan
saya bahas contoh putusan hakim yang dapat diklasifikasikan sebagai putusan hakim yang sesuai
dengan metode penemuan hukum yang bersifat progresif :
1. Putusan MA No. 275 K/Pid/1983 Tanggal 15 Desember 1983, dalam Perkara Atas Nama
Terdakwa : Natalegawa
Dalam putusan ini, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari Jaksa
Penuntut Umum terhadap putusan Pengadilan Negeri yang membebaskan terdakwa Natalegawa.
Padahal dalam Pasal 244 KUHAP ditegaskan bahwa : “Penuntut Umum tidak diberi hak untuk
melakukan kasasi”. Namun demikian, pada kenyataannya Mahkamah Agung memberikan hak
kepada Penuntut Umum untuk melakukan kasasi.
Penerimaan kasasi tersebut merupakan contra legem terhadap Pasal 244 KUHAP, yang
melarang pengajuan kasasi atas putusan bebas. Pasal 244 KUHAP menyatakan bahwa : terhadap
putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari MA,
1 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan) Majalah Hukum Newsletter Nomor 59 Bulan Desember 2004, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 2004, hlm 1
terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada
Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.
Dasar pertimbangan yang dipergunakan oleh Mahkamah Agung antara lain menyatakan
bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam tindak pidana korupsi, apabila
dalam putusan yang dijatuhkan telah melampaui batas kewenangan, dalam hal ini putusan
didasarkan pada pertimbangan nonyuridis pada satu sisi, dan putusan pembebasan itu pada sisi
yang lain menusuk perasaan hati masyarakat luas, maka terhadap putusan bebas tersebut dapat
dimintakan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Dengan putusannya tersebut berarti Mahkamah Agung telah menyingkirkan Pasal 244
KUHAP dengan cara menemukan dan menciptakan hukum (case law).2 Putusan ini kemudian
dikuatkan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. MA/PEMB/2653/33 tanggal 8
Agustus 1983 dan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. 01/44-PW-07.D.3 tanggal 10
Desember 1983. Beberapa argumentasi yang dapat disampaikan terkait dengan putusan tersebut,
adalah bahwa Mahkamah Agung telah melakukan suatu langkah terobosan, dengan melakukan
interpretasi terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP, sehingga kasasi dari penuntut umum yang
seharusnya tidak diperbolehkan, akan tetapi dengan pertimbangan kedepan bahwa tindak pidana
korupsi merupakan suatu perbuatan yang tidak patut dilakukan dalam masyarakat dan menusuk
perasaan keadilan masyarakat. Oleh karena itu, MA berusaha untuk memberikan rasa keadilan
bagi masyarakat (social justice) dengan menjatuhkan putusan yang bertujuan menciptakan rasa
keadilan yang bersifat substansial (materiil), sehingga kasasi penuntut umum diterima dan
dengan kewenangannya, MA mengadili sendiri dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yang
telah diputus bebas oleh Pengadilan Negeri.
2 H.A. Mukhsin Asyrof. Asas-asas Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum oleh Hakim dalam Proses Peradilan. Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun ke-XXI No. 252 November 2006. Ikahi. Jakarta, hlm. 77
2. Putusan Mahkamah Agung No. 2263K/Pdt/1991 dalam Perkara Pembebasan Tanah untuk
Proyek Bendungan Kedungombo, yang Diputuskan oleh Majelis Hakim yang Diketuai
Asikin Kusumaatmaja
Dalam putusannya tersebut, hakim menolak keterangan Tergugat (Pemerintah Provinsi
Jawa Tengah) yang menganggap bahwa rakyat telah bersepakat menerima ganti rugi berdasarkan
musyawarah, karena pada kenyataannya ganti rugi yang diberikan pemerintah kepada penduduk
tidak mencerminkan keadilan dan kebenaran materiil, sehingga hakim perlu mendefenisikan
ulang pengertian musyawarah untuk mufakat. Kemudian dalam putusan tersebut hakim
mengabulkan ganti rugi kepada pemilik tanah yang besarnya ternyata melebihi dari apa yang
diminta dalam gugatannya.
Putusan dalam tingkat kasasi ini menguntungkan penduduk sekitar selaku pemilik tanah
disekitar waduk / bendungan Kedungombo, yang selalu menjadi korban keserakahan dari kaum
powerfull, yang biasanya memanfaatkan kelemahan-kelemahan peraturan perundangan-
undangan.
Sebenarnya dibalik kasus waduk Kedungomobo ini, dapat dilihat sarat dengan ambisi
politik dari Pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan agar terlihat
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan, tetapi hal tersebut dilakukan diatas
penderitaan rakyat yang diinjak-injak haknya dan perampasan tanah-tanah dengan cara
sewenang-wenang.
Dalam usahanya memberikan putusan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat (social
justice) yang didasarkan pada pencairan akan keadilan yang substansial (materiil) itulah, maka
hakim kasasi di MA menilai bahwa ganti kerugian yang dituntut oleh masyarakat saat itu sudah
tidak sesuai lagi dengan harga tanah pada saat saat putusan kasasi diperiksa oleh hakim, sehingga
dengan melakukan terobosan hukum yang progresif, hakim menjatuhkan putusan yang menurut
penulis merupakan putusan yang mengedepankan sisi kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran
sebagaimana konsep hukum progresif itu sendiri.
Hakim dalam perkara ini, telah melakukan penemuan hukum melalui teori atau metode
interpretasi teleologis atau sosiologis, yang mana nilai ganti kerugian yang dituntut oleh
masyarakat disesuaikan dengan nilai uang atau harga tanah pada saat perkara kasasi itu
diputuskan, sehingga nilai tanah itu mengikuti nilai ekonomis tanah dari tahun ke tahun, yang
terus bertambah mahal, hal ini sangat menguntungkan penduduk pemilik tanah tersebut.
Putusan ini, oleh banyak kalangan termasuk Satjipto Rahardjo, dianggap sebagai revolusi
yang setara dengan putusan Hoge Raad tahun 1919, dengan alasan karena putusan MA dengan
tegas-tegas membela kepentingan rakyat kecil yang lemah kedudukannya.3
3. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Barat No. 546/73.P, tanggal 14
November 1973 yang Mengabulkan Permohonan Penggantian Jenis Kelamin dari
Seorang Laki-laki Bernama Iwan Robianto Menjadi Seorang Perempuan dengan Nama
Vivian Rubiyanti
Dilihat dari segi ilmu hukum, seluk beluk ganti kelamin masih merupakan persoalan baru
dibidang perkembangan hukumnya. Adanya kepentingan persoalan hukum muncul setelah
adanya perkembangan di bidang ilmu kedokteran yang disebut dengan operasi kelamin, sehingga
penetapan hakim ini merupakan era baru di bidang praktik peradilan Indonesia dalam mengisi
kekosongan peraturan hukum (rechtvacuum), karena hal ini memang belum ada pengaturannya
3 Antonius Sudirman, 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya. Bandung : Citra Adtya Bakti, hlm. 12
dalam peraturan perundang-undangan. Dengan putusan ini, hakim dipandang telah berhasil
melakukan penemuan hukum yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat.
Pertimbangan hukum yang diberikan hakim adalah tepat, yaitu dalam kehidupan di
masyarakat terdapat dua jenis manusia yaitu yang berjenis kelamin laki-laki dan nerjenis kelamin
perempuan, tetapi tidak dapat dipungkiri dalam kenyataannya terdapat pula segolongan manusia
yang hidupnya ada diantara kedua jenis itu, yaitu waria (wanita pria).
Dalam melengkapi kekosongan hukum tentang perubahan kelamin tersebut, hakim
memberikan pertimbangan dengan meninjaunya dari segi agama yang disesuaikan dengan
keyakinan si pemohon, yang tidak keberatan sepanjang perubahan kelamin tersebut merupakan
satu-satunya jalan untuk menolong penderitaan si pemohon, sehingga ia dapat berkembang
sebagai manusia yang wajar.4
Jika ditelaah, putusan ini merupakan penemuan hukum yang dilakukan hakim dengan
metode konstruksi hukum, karena ketentuan hukum yang mengatur mengenai penggantian jenis
kelamin, belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan sehingga terjadi kekosongan
undang-undang (wet vacuum). Hakim melakukan konstruksi dengan berlandaskan pada metode
fiksi hukum, dimana dalam putusan tersebut, dikemukakan fakta-fakta baru, sehingga tampil
suatu personifikasi atau keadaan hukum baru, yaitu perubahan kelamin dari si pemohon seorang
laki-laki yang bernama Iwan Robianto menjadi seorang perempuan yang bernama Vivian
Rubiyanti.
4 Antonius Sudirman, 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya. Bandung : Citra Adtya Bakti, hlm. 12