islam progresif

22
ISLAM PROGRESIF DAN IJTIHADI PROGRESIF DALAM PANDANGAN ABDULLAH SAEED: Potret Kegelisahan Islam menghadapi Modernitas Ahmad Imam Mawardi Prolog Hukum Islam seringkali digugat sebagi penyebab munculnya image Islam sebagai agama normatif dan tradisional. Lambannya, kalau tidak mandegnya, perkembangan hukum Islam paska fase kodifikasi 1 telah memposisikan ketertinggalan Islam jauh di belakang perkembangan peradaban manusia secara umum. Isu tertutupnya pintu ijtihad yang sangat mendominasi selama berabad-abad benar-benar menjadikan umat Islam bergantung kepada referensi intelektual abad pertengahan yang dibarengi oleh ketidakmanpuan berdialog dengan realitas yang senantiasa berkembang. Adalah Wael B. Hallaq, seorang guru besar hukum Islam McGill University, yang mencoba membongkar secara akademik tidak matinya tradisi ijtihad di kalangan fuqaha. 2 Hallaq 1 Lihat bahasan Muhammad 'Abid al-Jabiri, Takwin al-'Aql al-'Araby (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-'Arabiyah, 1989), terutama pada bab 11; baca pula Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997) 1-36. Menurut Hallaq, dominasi empat madhhab pada masa formatif ini disebabkan oleh kemampuan pendiri madhhab ini menawarkan sebuat tatanan yang jelas yang menggantikan sistem yang sebelumnya tidak tertata bagus. Pandangan semacam ini sebenarnya dibangun oleh Joseph Schacht dalam bukunya An Introduction to Islamic Law yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1964. Pendapat inilah yang nantinya dikriktik oleh Hallaq dalam disertasinya yang menyatakan bahwa pintu ijtihad tidak tertutup. 2 Lihat Wael B. Hallaq, "Was the Gate of Ijtihad Closed?" dalam International Journal of Middle East Studies 16 (1984), 3-41. Artikel ini adalah bagian dari disertasi Ph.Dnya pada Washington University tahun 1983.

Upload: aimawardi

Post on 24-Jun-2015

399 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Islam Progresif

ISLAM PROGRESIF DAN IJTIHADI PROGRESIF DALAM PANDANGAN ABDULLAH SAEED:

Potret Kegelisahan Islam menghadapi Modernitas

Ahmad Imam Mawardi

Prolog

Hukum Islam seringkali digugat sebagi penyebab munculnya image Islam sebagai

agama normatif dan tradisional. Lambannya, kalau tidak mandegnya, perkembangan

hukum Islam paska fase kodifikasi1 telah memposisikan ketertinggalan Islam jauh di

belakang perkembangan peradaban manusia secara umum. Isu tertutupnya pintu ijtihad

yang sangat mendominasi selama berabad-abad benar-benar menjadikan umat Islam

bergantung kepada referensi intelektual abad pertengahan yang dibarengi oleh

ketidakmanpuan berdialog dengan realitas yang senantiasa berkembang.

Adalah Wael B. Hallaq, seorang guru besar hukum Islam McGill University, yang

mencoba membongkar secara akademik tidak matinya tradisi ijtihad di kalangan fuqaha.2

Hallaq memaparkan betapa ijtihad masih bekerja di dalam perkembangan diskursus hukum

Islam, tidak tertutup sebagaimana yang disimpulkan oleh Joseph Schacht. Pandangan

Hallaq ini dibantah oleh Sherman Jackson3 dan Michel Hoebink4 yang membuktikan

bahwa memang hampir tidak ada perkembangan baru lagi setelah pembakuan hukum Islam

oleh empat madzhab yang terkenal itu yang disebabkan oleh terbuka lebarnya pintu taqlid.

Bagi mereka, Hallaq exagerated, karena, meminjam istilah Jackson, "regime of taqlid"

menjadi fenomena global.5 Hallaqpun akhirnya secara halus mengakui bahwa secara

1 Lihat bahasan Muhammad 'Abid al-Jabiri, Takwin al-'Aql al-'Araby (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-'Arabiyah, 1989), terutama pada bab 11; baca pula Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997) 1-36. Menurut Hallaq, dominasi empat madhhab pada masa formatif ini disebabkan oleh kemampuan pendiri madhhab ini menawarkan sebuat tatanan yang jelas yang menggantikan sistem yang sebelumnya tidak tertata bagus. Pandangan semacam ini sebenarnya dibangun oleh Joseph Schacht dalam bukunya An Introduction to Islamic Law yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1964. Pendapat inilah yang nantinya dikriktik oleh Hallaq dalam disertasinya yang menyatakan bahwa pintu ijtihad tidak tertutup. 2 Lihat Wael B. Hallaq, "Was the Gate of Ijtihad Closed?" dalam International Journal of Middle East Studies 16 (1984), 3-41. Artikel ini adalah bagian dari disertasi Ph.Dnya pada Washington University tahun 1983.3 Lihat Sherman A. Jackson, Islamic Law and The State: The Constitutional Jurisprudence of Shihab al-Din al-Qarafi(Leiden: E. J. Brill, 1996), 96.4 Michel Hoebink, Two Half of the Same Truth: Schacht, Hallaq, and the Gate of Ijtihad (Amsterdam: Middle East Research Associates, 1994)5 Jackson, Islamic Law, 79-96. Bandingkan dengan Taha Jabir al-Alwani, Ijtihad (Herdon, Virginia: IIIT, 1993) 17-18.

Page 2: Islam Progresif

dominan, hukum Islam memang sudah kehilangan spirit ijtihad ini, tetapi di sana-sini

masih ada orang yang ijtihad.

Jelas sudah, bahwa dominasi stagnasi fenomena pemikiran keislaman adalah realita

yang tak terbantahkan. Inilah yang mengantarkan Islam pada posisi yang seringkali

bertentangan dengan kenyataan modernitas. Hukum yang seharusnya, menurut pendekatan

sosiologi hukum, bergerak bersama dengan perkembangan masyarakat, tidak berlaku pada

hukum Islam. Piranti usuli yang sebenarnya membuka peluang pembaharuan hukum Islam

harus tunduk patuh di bawah dominasi "kesakralan" teks yang diinterpresi oleh muslim

generasi awal. Adalah tepat apa yang disimpulkan oleh Khaled Abou El Fadl bahwa

hukum Islam sesungguhnya masih hidup, tetapi piranti metodologis dan landasan

epistemologinya telah mati. Inilah yang menjadikan hukum Islam stagnan dan tidak

berdaya berdialog dengan realitas yang semakin berkembang.6

Ketika modernitas dengan globalisasi dan kecanggihan ITnya memunculkan pola

hidup dan pola hubungan kemanusiaan yang berbeda dengan masa lalu, maka dirasalah

semakin lebar gap Islam dan realitas. Islam menjadi agama langit yang tidak membumi dan

kehilangan tenaga untuk menjawab permasalahan-permasalahan zaman. Kenyataan inilah

yang mengetuk kesadaran pemikir-pemikir muslim komtemporer untuk merubuhkan

stagnasi dan membangun kembali wajah Islam yang responsif atas kemajuan zaman. Maka

muncullah istilah Islam Progresif, Muslim Progresif dan Ijtihadi Progresif. Hal ini sejalan

dengan apa yang diserukan oleh Farid Esack dalam bukunya Qur'an, Liberation &

Pluralism:7

The Present generation of Muslims, like the many preceding ones, faces the option of

reproducing meaning intended for earlier generations or of critically and selectively

appropiating traditional understandings to reinterpret the Qur'an as a part of the task of

reconstructing society."

Islam Progresif, Muslim Progresif, Ijtihadi Progresif

Pada tanggal 7-8 Maret 2006, The Institute of Defence and Strategic Studies

(IDSS) menyelenggarakan seminar dengan tema "Progressive Islam and The State in

6 Khaled Abou El Fadl, Speking in God's Name: Islamic Law, Authority and Women (Oxford: Oneworld, 2001), 1717 Farid Esack, Qur'an, Liberation & Pluralism (Oxford: Oneworld, 1997), 50.

Page 3: Islam Progresif

Contemporary Muslim Societies" di Marina Mandarin Singapore. Narasumber pada

seminar tersebut adalah Syed Hussein Alatas, Abdullah Saeed, Ashgar Ali Engineer,

Alparsalan Acikgence Syafi'i Anwar, Julkipli Wadi, Ibrahim Abu-Rabi, Chandra Muzaffar

dan Syed Farid Alatas. Tema tersebut diangkat berdasarkan rasa butuh atas kajian dimensi

progresif dari kebangkitan umat Islam. Kebangkitan Islam itu sendiri yang biasa ditarik ke

belakang sejak abad 19 memiliki karakter rational and cosmopolitan approach dalam

mengkaji problematika masyarakat Islam.8

Kajian tentang dimensi progresif ini saat ini mulai marak dengan dasar suatu

kesadaran akan dua hal: pertama adalah untuk merespons secara positif anggapan negatif

press dunia yang menilai Islam senantiasa lamban dalam merespon laju zaman sehingga

ada gap yang sangat lebar antara dunia Islam dan dunia barat; kedua adalah kesadaran

bahwa salah satu strategi untuk melawan ekstrimisme yang senantiasa dituduhkan pada

Islam adalah dengan memberdayakan elemen-elemen progresif pada masyarakat muslim

dan menjembatani gulf antara dunia Islam dengan lainnya. Dua hal inilah yang menjadi

dasar urgensi edukasi dan soialisasi Islam progresif.9

Barry Desker, direktur IDSS, dan Zainul Abidin Rasheed, Menteri Luar Negeri

Malaysia, sepakat bahwa mengangkat dimensi progresif Islam ini menjadi suatu keharusan.

Bagi Desker, dimensi progresif ini sebenarnya bukan barang baru karena sesungguhnya

dalam dunia Islam ada suatu tradisi yang tidak pernah pudar, yang disebutnya dengan

istilah ongoing drive to reform yang mentradisi sejak runtuhnya dinasti Ottoman tahun

1924. Kajian dimensi progresif semacam ini, menurut Rasheed akan menawarkan sebuah

pendekatan rasional dan moderat dalam memanaje pola hubungan dunia luas. Sementara

Desker menawarkan strategi reliving the progressive spirit of the pioneering Muslims,

Rasheed menawarkan konsep re-imagine Islam as a civilizational project that carries a

cultural heritage of both progress and reform. 10

Meskipun demikian, para pakar memiliki perbedaan pendapat dalam

mendefinisikan Islam progresif ini, yang nantinya juga berimplikasi pada definisi ijtihadi

progresif. Syed Hussein Alatas menjelaskan bahwa terma Islam Progresif tidak

menyiratkan abstraksi ataupun reduksi dari totalitas Islam, melainkan sebuah istilah yang

mengindikasikan bahwa Islam itu memang sejatinya bersifat progresif. Watak asli Islam

8 IDSS, "Progressive Islam and The State in Contemporary Muslim Societies," Laporan Seminar yang diadakan di Marina Mandarin Singapore tanggal 7-8 Maret 2006.9 Ibid, 210 Ibid, 2-3

Page 4: Islam Progresif

seperti inilah sesungguhnya yang akan diangkat ke permukaan. Sementara itu, Alparsalan

Acikgenc, Dekan Fakultas Seni dan Ilmu-ilmu Sosial Fatih University Turkey, menyatakan

bahwa Islam progresif adalah Islam yang menawarkan keseimbangan antara mysterious

and the rational aspects of human nature.11 Definisi lainnya adalah yang dikemukakan

oleh Abdullah Saeed bahwa Islam progresif merupakan salah satu dari sekian banyak

aliran pemikiran Islam kontemporer yang berupaya untuk incorporate the contexts and the

needs of modern Muslims 12 yang pada akhirnya sesungguhnya menuju "want to act to

preserve the vibrancy and variety of the Islamic tradition."13

Betapapun bagusnya definisi di atas, istilah Islam Progresif ini masih menuai

kritik. Chandra Muzaffar dan Ashgar Ali Engineer adalah salah satu yang keberatan.

Mudzaffar tidak setuju dengan labelisasi Islam dengan label progresif, konserfatif atau

liberal karena label-label ini cenderung membatasi kemampuan seorang pembicara (juru

dakwah) untuk berhubungan dengan audiennya yang disebabkan oleh pembedaan dan

penggolongan masyarakat muslim. Sementara itu, ketidaksetujuan Ashgar adalah karena

Islam itu secara inherent sudah bersifat progresif, membebaskan dan revolusioner.

Baginya, lebih baik mengkatagorikan Islam secara periodik seperti kajian Islam pada masa

modern ketimbang berbicara tentang Islam modern.14 Hampir sama dengan Ashgar, Syed

Farid Alatas menyoal keras istilah Islam Progresif ini dengan menyatakan bahwa istilah ini

tidak perlu karena menyiratkan ada Islam yang tidak progresif. Lebih jauh lagi, istilah ini

berkonotasi hubungan intim dengan apa yang disebut dengan Islam Liberal, mengaca

kepada pengalaman cendikiawan-cendikiawan yang ada di Mesir dan Indonesia.15

Meskipun mereka tidak setuju dengan penggunaan istilah Islam Progresif, mereka sepakat

bahwa dimensi progresif Islam menjadi krusial untuk diangkat dan disosialisasikan.

Sosialisasi dan diseminasi ide Islam Progresif ini mengalami beberapa kendala.

Antara lain adalah, menurut Abdullah Saeed, anggapan bahwa hanya ada satu set hukum

Islam yang bisa diterima sebagai kebenaran tunggal dan lainnya dianggap salah. Penyakit

truth claim ini masih major di kalangan umat Islam. Dalam bahasa lain Engineer

menyatakan bahwa key obstacle terletak pada internal umat, yaitu hilangnya kebebasan dan

11 Ibid, 712 Ibid, 1413 Omid Safi, (ed) "Introduction," dalam Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism (Oxford: Oneworld, 2003), 2.14 ? IDSS, "Progressive Islam," 14-15.15 Ibid, 16.

Page 5: Islam Progresif

tiadanya demokrasi. Sementara itu, Chandra Muzaffar menyebutkan empat kendala

penyebaran ide-ide Islam progresif: pertama adalah yang direpresentasikan oleh kelompok

muslim konservatif yang menebarkan ide-idenya dengan menggunakan kekerasan; kedua

adalah yang ditunjukkan oleh karya intelektual muslim yang menklaim peduli pada masa

depan Islam tetapi yang dilakukan adalah membungkus ide lama dengan pakaian baru

(refashioning Islam); ketiga adalah perilaku atau tindakan negara-bangsa yang represif;

keempat adalah apa yang ditunjukkan oleh global system of power yang tidak memberi

peluang perbedaan pendapat dalam mendiskusikan isu-isu sosial ekonomi.16

Lepas dari kendala-kendala tersebut, ide-ide Islam Progresif terus berjalan

menciptakan equilibrium pemikiran keislaman. Bahkan, ide Islam Progesif ini bukan hanya

bersentuhan dengan nilai-nilai universal seperti keadilan dan kebebasan yang menjadi

wacana unggulan modernitas, melainkan masuk pada wilayah-wilayah hukum Islam. Maka

muncullah istilah progressive ijtihadi yang meniscayakan penafsiran ulang nash-nash

hukum dan pembingkaian ulang metode penetapan hukum sehingga sifat fleksibelitas dan

elastisitas hukum Islam yang dicanangkan oleh para mujtahid masa lalu tidak hanya tertulis

di kitab-kitab kuning melainkan menjadi kenyataan sehari-hari. Abdullah Saeed adalah

salah satu dari sekian cendekiawan yang peduli dengan proyek ini.

Abdullah Saeed dan Ijtihadi Progresif

Abdullah Saeed17 adalah cendekiawan yang berlatar belakang pendidikan bahasa dan sastra

Arab serta studi Timur Tengah yang sangat baik. Kombinasi institusi pendidikan yang

diikuti, yaitu pendidikan di Saudi Arabia dan Australia18 menjadikannya kompeten untuk

menilai dua dunia, Barat dan Timur, secara obyektif.19

16 Ibid, 15.17 Jabatan yang dipegang saat ini adalah Direktur pada Asia Institute, University of Melbourne, Direktur Centre for the Study of Contemporary Islam, University of Melbourne, Sultan of Oman Professor of Arab and Islamic Studies, University of Melbourne, Adjunct Professor pada Faculty of Law, University of Melbourne18 Riwayat pendidikan Abdullah Saeed adalah sebagai berikut: Arabic language study, Institute of Arabic Language, Saudi Arabia, 1977–79, High School Certificate, Secondary Institute, Saudi Arabia, 1979–82, Bachelor of Arts, Arabic literature and Islamic Studies, Islamic University, Saudi Arabia, 1982–86, Master of Arts Preliminary, Middle Eastern Studies, University of Melbourne, Australia, Master of Arts, Applied Linguistics, University of Melbourne, Australia (1992–94), Doctor of Philosophy, Islamic Studies, University of Melbourne, Australia (1988–92)19 Karya tulis baik yang berupa buku, makalah ataupun tulisan lepas banyak sekali dalam berbagai bidang yang bervariasi. Kecenderungan tema yang ditulis adalah tentang Islam dan Barat, al-Qur'an dan Tafsir, serta tentang Tren Kontemporer Dunia Islam termasuk ekonomi Islam dan Jihad/Terorisme. Selengkapnya bisa dilihat di lampiran.

Page 6: Islam Progresif

Abdullah Saeed sangat concern dengan dunia Islam kontemporer. Pada dirinya ada

spirit bagaimana ajaran-ajaran Islam itu bisa shalih li kulli zaman wa makan.20 Spirit

semacam inilah yang ia sebut dengan Islam Progresif, subyeknya dikenal dengan Muslim

Progresif, upaya untuk mengaktifkan kembali dimensi progresif Islam yang dalam kurun

waktu cukup lama mati suri ditindas oleh dominasi teks.21 Metode berfikir yang digunakan

oleh muslim progresif inilah yang disebutnya dengan istilah progressive ijtihadi.

Sebelum dipaparkan bagaimana kerangka kerja ijtihadi progresif ini, ada baiknya

dilihat posisi muslim progresif dalam trend pemikiran muslim yang ada saat ini. Menurut

Abdullah Saeed, ada enam kelompok pemikir: 1) the legalist-traditionalist, yang titik

tekannya adalah pada hukum-hukum yang dikembangkan dan ditafsirkan oleh para ulama

periode pra modern; 2) the theological puritans, yang fokus pemikirannya adalah pada

dimesi etika dan doktrin Islam; 3) the political Islamists, yang kecenderungan

pemikirannya adalah pada aspek politik Islam dengan tujuan akhir mendirikan negara

Islam; 4) the Islamist Extremists, yang memiliki kecenderungan menggunakan kekerasan

untuk melawan setiap individu dan kelompok yang dianggapnya sebagai lawan baik

muslim ataupun non-muslim; 5)the Secular Muslims, yang beranggapan bahwa agama

merupakan urusan pribadi (private matter); 6) the progressive ijtihadists, yaitu para

pemikir modern atas agama yang berupaya menafsir ulang ajaran agama agar bisa

menjawab kebutuhan masyarakat modern. Pada katagori yang terakhir inilah posisi muslim

progresif.22

Katogorisasi tersebut di atas hampir sama dengan katagorisasi Tariq Ramadan yang

juga membaginya menjadi enam kelompok yang merepresentasikan perspektif Muslim

20 Lihat karyanya, di antaranya Interpreting the Qur'an: Towards a Contemporary Approach.(London: Routledge, 2006); 'Muslims in the West and their Attitudes to Full Participating in Western Societies: Some Reflections' dalam Geoffrey Levey (ed). Religion and Multicultural Citizenship.(Cambridge: Cambridge University Press, 2006); 'Muslims in the West Choose Between Isolationism and Participation' dalam Sang Seng vol 16. Seoul: Asia-Pacific Centre for Education and International Understanding / UNESCO, 2006; ). ‘Jihad and Violence: Changing Understanding of Jihad among Muslims’ dalam Tony Coady and Michael O’Keefe (eds). Terrorism and Violence. Melbourne: Melbourne University Press, 2002; dan risetnya yang berjudul Reconfiguration of Islam among Muslims in Australia (2004-2006)21 Baca komentar N. J. Coulson yang menyatakan bahwa apa yang disebut dengan ijtihad modern pun masih tertatih-tatih bersentuhan dengan permasalahan yang ada karena memang belum ditatanya pendekatan yang sistematis. Lihat N. J. Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964), 75, 80-81, 152-154 dan 220-223; lihat pula Majid Khadduri, "From Religion to National Law," dalam J. Thompson dan R. Reischauer (Eds), Modernization of the Arab World (New York: Van Nostrand, 1966), 41.22 Abdullah Saeed, Islamic Thought An Introduction (London and New York: Routledge, 2006), 142-150.

Page 7: Islam Progresif

yang terkenal pada abad 20 dan 21, yaitu: "Scholastic Traditionalism," "Salafi Literalism,"

"Salafi Reformism," Political Literalist Salafism," "Liberal or Rational Reformism,"

"Sufism."23 Menurutnya, muslim progresif ada pada kelompok Liberal or Rational

Reformism.

Dalam bukunya, Islamic Thought, Abdullah Saeed menyebutkan enam karakteristik

yang paling penting yang dimiliki oleh mereka yang menklaim dirinya sebagai muslim

progresif, yaitu:

1. Mereka mengadopsi pandangan bahwa beberapa bidang hukum Islam tradisional

memerlukan perubahan dan reformasi substansial dalam rangka menyesuaikan

dengan kebutuhan masyarakat muslim saat ini.

2. Mereka cenderung mendukung perlunya fresh ijtihad dan metodologi baru dalam

ijtihad untuk menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer.

3. Beberapa diantara mereka juga mengkombinasikan kesarjanaan Islam tradisional

dengan pemikiran dan pendidikan Barat modern.

4. Mereka secara teguh berkeyakinan bahwa perubahan sosial, baik pada ranah

intelektual, moral, hukum, ekonomi atau teknologi, harus direfleksikan dalam

hukum Islam.

5. Mereka tidak mengikatkan dirinya pada dogmatisme atau madhhab hukum dan

teologi tertentu dalam pendekatan kajiannya.

6. Mereka meletakkan titik tekan pemikirannya pada keadilan sosial, keadilan gender,

HAM dan relasi yang harmonis antara Muslim dan non-Muslim.24

Pada kesempatan yang lain, yaitu pada seminar "Progressive Islam and The State in

Contemporary Muslim Societies" di Marina Mandarin Singapore, Abdullah Saeed

memberikan kreteria yang agak berbeda dengan kretia diatas, yakni sepuluh kriteria yang

lebih bersifat teknis gerakan yang membedakan muslim progresif dengan lainnya.

Menurutnya, muslim progresif (a) menunjukkan rasa nyaman (comfort) ketika menafsir

ulang atau menerapkan kembali hukum dan prinsip-prinsip Islam, (b) berkeyakinan bahwa

keadilan gender adalah ditegaskan dalam Islam, (c) berpandangan bahwa semua agama

secara inheren adalah sama dan harus dilindungi secara konstitusional, (d) berpandangan

bahwa semua manusia juga equal, (e) berpandangan bahwa keindahan (beauty)

23 Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam (New York: Oxford University Press, 2004), 24-28.24 Ibid, 150-151.

Page 8: Islam Progresif

merupakan bagian inheren dari tradisi Islam baik yang ditemukan dalam seni, arsitektur,

puisi atau musik, (f) mendukung kebebasan berbicara, berkeyakinan dan berserikat, (g)

menunjukkan kasih sayang pada semua makhluk, (h) menganggap bahwa hak "orang lain"

itu ada dan perlu dihargai, (i) memilih sikap moderat dan anti-kekerasan dalam

menyelesaikan permasalahan masyarakatnya, (j) menunjukkan kesukaan dan antusiasnya

ketika mendiskusikan isu-isu yang berkaitan dengan peran agama dalam tataran publik.25

Dari kriteria-kriteria di atas jelaslah bahwa muslim progresif dituntut

penguasaannya pada dasar-dasar Islam dan permasalahan-permasalahan kontemporer

untuk kemudian melalui proses berfikir metodologis menemukan jawabannya. Karena

itulah maka Abdullah Saeed juga menyebutnya dengan progressive ijtihadist. Mereka

dituntut melompat jauh melampaui apologia yang sering dikumandangkan oleh kaum

tradisionalis ataupun modernist dan juga melampaui batasan-batasan yang dicanangkan

oleh kaum neo-modernis.26

Keadilan, kebaikan dan keindahan adalah nilai-nilai universal Islam yang menjadi

jiwa semua ketentuan-ketentuan hukum. Segenap ketentuan dan status hukum tradisional

yang tidak berpihak pada keadilan, kebaikan dan keindahan haruslah ditinggalkan untuk

kemudian diganti dengan ketentuan dan status hukum yang sesuai dengan prinsip universal

Islam dengan menggunakan pendekatan progressive ijtihadi. Dengan cara seperti inilah

Islam akan mampu eksis di percaturan dunia dan mampu menjawab persoalan-persoalan

kontemporer seperti masalah hak-hak asasi manusia, gender, pluralisme dan lain

sebagainya.

Dengan demikian, jelaslah bahwa progressive ijtihadists tidaklah berkehendak

untuk menciptakan sebuah agama atau ajaran baru melainkan mencoba mere-interpretasi

fondasi religius tradisional untuk mengakomodasi kehidupan kontemporer. Dalam bahasa

Omid Safi, apa yang dilakukan oleh muslim progresif adalah "is not so much an

25 IDSS, "Progressive Islam," 5; Bandingkan dengan lima kriteria yang dikemukakan oleh Omid Safi, yaitu: berkehendak untuk melawan ketidakadilan pada masyarakat dimana muslim berada, menyadari bahwa tidak semua yang datang dari Barat itu pasti benar dan menguntungkan, mendukung pluralisme, memiliki keinginan untuk berhubungan dengan apa yang sifatnya tradisional dalam Islam, dan yang terakhir adalah mendukung kesetaraan gender. Lihat, Omid Safi, Progressive Muslims, 9-15; lihat pula Omid Safi, "What is Progressive Islam," dalam The International Institute for the Study of Islam in the Modern World (ISIM) News Letter, No.13, Desember 2003, 10.26 IDSS, "Progressive Islam," 15.

Page 9: Islam Progresif

epistemological rupture from what has come before as a fine-tuning, a polishing, a

grooming, an editing, a re-emphasizing of this and a correction of that."27

Berkaitan dengan operasionalisasi ijtihad yang dilakukan oleh muslim progresif ini,

perlu dikemukakan bentuk-bentuk ijtihad yang sangat popular digunakan pada periode

modern ini. Abdullah Saeed mengidentifikasi tiga model ijtihad yang menurutnya sangat

berpengaruh pada masanya masing-masing sepanjang sejarah hukum Islam: pertama

adalah text-based ijtihad, yakni metode ijtihad yang lazim dilakukan oleh fuqaha klasik

dan masih memiliki banyak pengaruh di kalangan pemikir tradisionalis. Pada model ini

text berkuasa penuh, baik itu nash Qur'any, hadits ataupun pendapat ulama sebelumnya

baik yang berupa ijma' ataupun qiyas; kedua adalah eclectic ijtihad, yakni upaya memilihi

nash atau pendapat ulama sebelumnya yang paling mendukung pendapat dan posisi yang

diyakininya. Yang ada adalah upaya justifikasi bukan pencarian kebenaran; ketiga adalah

context-based ijtihad, sebuah fenomena baru yang mencoba memahami masalah-masalah

hukum dalam konteks kesejarahan dan konteks kekiniannya (modern). Pada biasanya,

pendapat akhirnya akan mengacu pada kemaslahatan umum sebagai maqasid al-shari'ah.28

Ijtihad model ketiga inilah yang dilakukan oleh para progressive ijtihadists. Kalau

metodologi klasik biasanya memecahkan permasalahan hukum dengan mendasarkannya

pada teks al-Qur'an, kemudian memahami apa yang dikatakan teks tentang permasalahan

tersebut, dan paling jauhnya kemudian menghubungkan teks itu dengan konteks sosio-

historisnya,29 maka progressive ijtihadists mencoba lebih jauh lagi menghubungkannya

dengan konteks kekinian sehingga tetap up to date dan bisa diterapkan. Inilah

sesungguhnya yang dilakukan oleh, antara lain Muqtader Khan, Thariq Ramadlan, Bassam

Tibi, Aminah Wadud, Farid Esack, Irshad Manji, Ebrahim Moosa dan lain sebagainya.

27 Omid Safi, Progressive Muslim, 16.28 Abdullah Saeed, Islamic Thought, 55. Katagorisasi ijtihad seperti di atas memiliki kelemahan mendasar pada poin yang kedua, yaitu eclectic ijtihad. Ketika dinyatakan bahwa ijtihad model ini adalah upaya untuk justifikasi "kepentingan" maka sesungguhnya sudah keluar dari definisi ijtihad yang disepakati oleh jumhur ushuliyyin, yaitu upaya sungguh-sungguh untuk menemukan status hukum shara' dari dalil-dalil yang ada. Menegasikan teks dan sejarah yang berposisi berbeda dengan kepentingannya adalah bukti tiadanya kesungguhan dalam pencarian kebenaran, melainkan emosi mencari pembenaran.29 Abdul Hamid A. Sulayman mengkritik metode berfikir fuqaha klasik pada dua hal yang sangat substansial: pertama adalah lack empiricism (tiadanya empirisisme) sebagai akibat tidak digunakannya multi-disciplinary approach, sperti sosiologi, psikologi, ekonomi dan lainnya dalam proses penetapan hukum; kedua adalah lack of overall systemization sebagaimana yang juga dinyatakan oleh Ismail R. al-Faruqi dan Fazlur Rahman. Lihat bukunya yang berjudul Towards an Islamic Theory of International Relations: New Direction for Methodology and Thought (Herdon, Virginia: IIT, 1993), 87-94.

Page 10: Islam Progresif

Berkaitan dengan bagaimana metodologi progressive ijtihadists menafsir ulang

teks-teks al-Qur'an, Abdullah Saeed memaparkan tujuh pendekatan utama: (1) atensi pada

konteks dan dinamika sosio-historis; (2) menyadari bahwa ada beberapa topik yang tidak

dicakup oleh al-Qur'an karena waktunya belum tiba pada waktu diturunkannya al-Qur'an;

(3) menyadari bahwa setiap pembacaan atas teks kitab suci harus dipandu oleh prinsip

kasih sayang, justice dan fairness; (4) mengetahui bahwa al-Qur'an mengenal hirarki nilai-

nilai dan prinsip; (5) mengetahui bahwa dibolehkan berpindah dari satu contoh yang

kongkret pada generalisasi atau sebaliknya; (6) kehati-hatian harus dilakukan ketika

menggunakan teks lain dari tradisi klasik, khususnya yang berkaitan dengan otentisitasnya;

(7) fokus utama pada kebutuhan muslim kontemporer.30

Pendekatan terhadap teks seperti inilah yang menurut Saeed akan mampu

memberikan jawaban atas permaslahan kontemporer. Contoh konkretnya adalah kasus

murtad (riddah/apostasy) yang menurut UDHR pasal 18 dinyatakan sebagai hak asasi

manusia,31 sementara dalam hukum Islam klasik, seorang murtad harus dihukum bunuh.

Apakah Islam bertentangan dengan hak-hak asasi manusia yang disepakati oleh PBB itu?

Apakah Islam memang tidak memberikan kebebasan kepada seorang muslim untuk

memilih agama lain? Abdullah Saeed dalam seminar tentang Civil and Political Rights

(Fundamental Liberties)32 menjawab permasalahan ini dalam artikelnya yang berjudul

"Article 18 of UDHR and the Need for Rethinking Muslim Conception of Religious

Freedom."

Riddah dalam hukum Islam klasik didefinisikan sebagai perpindahan agama kepada

selain Islam setelah ia dengan suka rela memeluk agama Islam. Mayoritas ulama klasik

menyatakan bahwa sekali seorang memeluk Islam maka ia terlarang untuk pindah ke

agama lain. Riddah adalah termasuk pelanggaran pidana (hudud) yang sanksi hukumnya

adalah hukuman mati. Pada masa itu riddah diasosiasikan dengan pemberontakan pada

familiy/tribe kaum mukminin.

30 IDSS, "Progressive Islam, " 5.31 Pasal 18 UDHR berbunyi: "Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance." Senada dengan pasal ini adalah pasal 18 ayat 2 ICCPR (International Covenant on Civil and Political Right) yang berbunyi: "No one shall be subject to coercion, which would impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice." ICCPR ini berlaku sejak tanggal 23 Maret 1976.32 Seminar ini di adalakan oleh MIEHRI, pada tanggal 16 Mei 2006 di Hotel Hilton Malaysia.

Page 11: Islam Progresif

Abdullah Saeed kemudian mencoba untuk mengeksplorasi perkembangan idea

riddah ini dengan menelusuri aspek sejarahnya. Ternyata pada fase Mekah, "makna" dasar

kebebasan beragama adalah bahwa ia merupakan urusan antara Tuhan dan manusia.

Karena ia adalah urusan individual, maka sesungguhnya riddah itu adalah dosa (sin) antara

hamba dengan Tuhannya, dan bukan tindakan pidana (crime). Pemaknaan baru atas riddah

ini baru muncul pada fase Madinah Meskipun demikian masyarakat beragama pada

tahapan ini masih berfungsi side by side tanpa adanya penekanan yang keterlaluan pada

superioritas Islam. Baru pada masa khlaifahlah "pemaknaan" atas riddah dihiasi oleh

superioritas Islam. Komunitas Islam diasosiasikan dengan kekuatan politik. Peenaklukan-

penaklukan daerah baru akhirnya memetakan komunitas secara hitam putih, termasuk

dalam hal agama. Selanjutnya, mada masa dinasti Umayyah dan awal dinasti Abbasiah,

pemaknaan kehorrnatan politik bertemu dengan superioritas Islam itu. Pada masa inilah

setiap yang berbeda dianggap sebagai sebuah tindakan subversif, tindakan pidana yang

harus mendapatkan hukuman.

Menurut Abdullah Saeed, menyadari perkembangan historis seperti tersebut

di atas, sudah selayaknya mendudukkan riddah ini pada posisi yang sebenarnya, yakni

sebagai sebuah dosa dan bukan pidana. Apalagi kondisi saat ini berbeda dengan masa lalu.

Hal ini terlihat dari kritik dan gugatan atas pandangan hukum Islam klasik tersebut tentang

riddah dengan argumen sebagai berikut: hampir 150-200 ayat al-Qur'an mendukung

kebebasan beragama, berkeyakinan, memilih dan lain-lain; tidak ada satu ayatpun dalam

al-Qur'an yang menyebutkan hukuman di dunia atas orang yang murtad, adanya adalah

dalam hadith; hukum riddah mayoritas adalah berdasarkan ijtihad, bukan langsung dari

Tuhan, karena itu boleh dan bisa diditantang dan dinegosiasikan; keimanan adalah urusan

antara seorang hamba dengan Tuhannya, negara tidak punya urusan dengan hal ini; hukum

riddah berbahaya bagi ummah karena membunuh kreatifitas dan inovasi pemikiran yang

merupakan hak manusia; riddah adalah dosa bukan tindakan pidana.33

Dengan demikian maka apa yang dinyatakan oleh pasal 18 UDHR itu adalah tidak

bertentangan dengan prinsip hukum Islam. Untuk menguatkan pendapatnya, Abdullah

Saeed mengutip pendapat mantan Kepala Pengadilan Pakistan, Rahman, yang mengatakan:

"The position that emerges, after a survey of the relevant verses of the Qur'an, may be summed up by saying that not only is there no punishment for apostasy provided in the

33 Laporan Seminar sengan tema Civil and Political Rights (Fundamental Liberties), MIEHRI, Hotel Hilton Malaysia tanggal 16 Mei 2006, hal. 74

Page 12: Islam Progresif

Book but that the Word of Gog clearly envisages the natural death of the apostate. He will be punished only in the Hereafter."34

Pendapat yang lebih akademis yang dikutip Abdullah Saeed adalah pendapat

Muhammad Hashim kamali yang menyatakan:

"It may be said by way of conclusion that apostasy was a punishable offence in the early years of the advent of Islam due to its subversive effects on the nascent Muslim community and state. Evidence in the Qur'an is, on the other hand, clearly supportive of the freedom of belief, which naturally includes freedom to convert…The Qur'an prescribes absolutely no temporal punishment for apostasy, nor has the Prophet, peace be upon him, sentenced anyone to death for it."35

Kesimpulan ini ternyata selaras dengan kebanyakan suara negara Muslim yang

menjadi anggota PBB. Mayoritas negara Muslim adalah anggota PBB, dan hanya 11 dari

57 negara Muslim di PBB yang tidak menandatangani UDHR tersebut. Dan menurut

penelitian dari PBB sendiri, kebanyakan negara Muslim menganggap UDHR sebagai suatu

dokumen yang penting dan relevan. Dan pada biasanya hal ini akan diikuti oleh

impementasi domestik.

Epilog Diakui oleh Abdullah Saeed bahwa pola pikir progressive ijtihadi ini masih

menghadapi banyak kendala. Kendala yang paling besar adalah kendala internal, seperti

ketidaksiapan umat Islam sendiri untuk berbeda pendapat yang disertai kesenangannya

pada budaya takfir yang bermula dari truth claim. Tidak sedikit sarjana muslim yang

memandangnya secara sinis ataupun bahkan dianggap sebagai sebuah penyimpangan dari

Islam yang asli.

Sesungguhnya, menurut Abdullah Saeed, muslim progresif ini merupakan

perkembangan lanjutan dari trend modernis, yang kemudian berkembang menjadi neo-

modernis dan kemudian menjadi progresif. Sebagai trend, bukan gerakan, muslim

progresif ini menampung semua kelompok dan kalangan yang memiliki keberpihakan pada

nilai-nilai universal Islam sehingga mampu menjawab kebutuhan masyarakat modern.

Omid Safi menyebutkan beberapa issue penting yang harus dijawab oleh muslim progresif,

antara lain adalah ketidakadilan gender, deskriminsasi terhadap kelompok minoritas baik

minoritas agama ataupun etnis, pelanggaran hak asasi manusia, tiadanya kebebasan

34 Ibid, 75.35 Idem

Page 13: Islam Progresif

berbicara, berkeyakinan dan mempraktekkan agama sendiri, pembagian kekayaan yang

tidak merata, dan pemerintahan yang otoriter.36

Ketika Abdullah Saeed ditanya siapakah yang paling berhak untuk menafsirkan

Islam, yang paling berperan menyalurkan warna interpretasi Islam, dia menjawab:

"although Islam does not have a clergy or a centralized church structure, Muslim

religious establishments exert considerable influence in terms of how Muslims view and

practice their religion. If they are antithetical to progressive Islam, their constituences

would be averse to it as well."37

36 Omid Safi, Progressve Muslims, 2-3.37 IDSS, "Progressive Islam," 14.

Page 14: Islam Progresif

BIBLIOGRAFI

al-Alwani, Taha Jabir, Ijtihad (Herdon, Virginia: IIIT, 1993)

Coulson, N. J., A History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964)

Esack, Farid, Qur'an, Liberation & Pluralism (Oxford: Oneworld, 1997),

El Fadl, Khaled Abou, Speking in God's Name: Islamic Law, Authority and Women (Oxford: Oneworld, 2001)

Hallaq, Wael B., A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997)

………., "Was the Gate of Ijtihad Closed?" dalam International Journal of Middle East Studies 16 (1984),

Hoebink, Miche, Two Half of the Same Truth: Schacht, Hallaq, and the Gate of Ijtihad (Amsterdam: Middle East Research Associates, 1994)

IDSS, "Progressive Islam and The State in Contemporary Muslim Societies," Laporan Seminar yang diadakan di Marina Mandarin Singapore tanggal 7-8 Maret 2006.

al-Jabiri, Muhammad 'Abid Takwin al-'Aql al-'Araby (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-'Arabiyah, 1989),

Jackson, Sherman A., Islamic Law and The State: The Constitutional Jurisprudence of Shihab al-Din al-Qarafi (Leiden: E. J. Brill, 1996)

Khadduri, Majid, "From Religion to National Law," dalam J. Thompson dan R. Reischauer (Eds), Modernization of the Arab World (New York: Van Nostrand, 1966)

MIEHRI, Civil and Political Rights (Fundamental Liberties), Laporan Seminar, Hotel Hilton Malaysia tanggal 16 Mei 2006

Ramadan, Tariq, Western Muslims and the Future of Islam (New York: Oxford University Press, 2004)

Saeed, Abdullah. Islamic Thought An Introduction (London and New York: Routledge, 2006)

………., Interpreting the Qur'an: Towards a Contemporary Approach.(London: Routledge, 2006)

………., ‘Jihad and Violence: Changing Understanding of Jihad among Muslims’ dalam Tony Coady and Michael O’Keefe (eds). Terrorism and Justice (Melbourne: Melbourne University Press, 2002)

Safi, Omid (ed), "Introduction," dalam Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism (Oxford: Oneworld, 2003)

………., "What is Progressive Islam," dalam The International Institute for the Study of Islam in the Modern World (ISIM) News Letter, No.13, Desember 2003

Sulayman, Abdul Hamid A., Towards an Islamic Theory of International Relations: New Direction for Methodology and Thought (Herdon, Virginia: IIT, 1993)