puisi pilihan pembacaan puisi gerbang lastra 3

10
PUISI PILIHAN LOMBA PEMBACAAN PUISI GERBANG LASTRA 3 Sungai Sajak Oleh: Syaifuddin Gani Seluas apa sungai sajakmu Sedalam tatapan gerhana Atau setetes embun? Mungkin tajuk pinus itu Lebih tajam dari rindumu Bahkan lembah Tak terukur sebagai rahim Kau pun jadi setakzim ilalang Rebah dan tegak Di bilah-bilah subuh Yang masih kau ragukan Apakah iblis tak sungkan berkawan? Seluas apa sungai sajakmu Mungkin kau tak perlu Menunggu angin terluka Sebab gelombang lebih merdeka Dari laut yang menampungnya Kaulah sajak itu!

Upload: gerbang-lastra-3

Post on 26-Dec-2015

49 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

puisi pilihan pembacaan puisi gerbang lastra 3 untuk lomba pembacaan puisi tingkat SMA/sederajat dan mahasiswa.

TRANSCRIPT

Page 1: Puisi Pilihan Pembacaan Puisi Gerbang Lastra 3

PUISI PILIHAN LOMBA PEMBACAAN PUISI GERBANG LASTRA 3

Sungai Sajak

Oleh: Syaifuddin Gani

Seluas apa sungai sajakmu

Sedalam tatapan gerhana

Atau setetes embun?

Mungkin tajuk pinus itu

Lebih tajam dari rindumu

Bahkan lembah

Tak terukur sebagai rahim

Kau pun jadi setakzim ilalang

Rebah dan tegak

Di bilah-bilah subuh

Yang masih kau ragukan

Apakah iblis tak sungkan berkawan?

Seluas apa sungai sajakmu

Mungkin kau tak perlu

Menunggu angin terluka

Sebab gelombang lebih merdeka

Dari laut yang menampungnya

Kaulah sajak itu!

Page 2: Puisi Pilihan Pembacaan Puisi Gerbang Lastra 3

Wangi-wangi

Oleh: Syaifuddin Gani

Di pulau-pulau terjauh

Bintang bergetaran

Perahu-perahu menjauh

Lelampu bertangisan

Ombak membuih

Gugur jua dipangkuan karang

Pepasir memutih

Pudar dalam tangisan malam

Pangkal teluk merah dan memar

Di rongrong persengaamaan alam

Gadis-gadis berdaging samar

Lambaikan senyum tangiskan salam

Kutinggalkan dermaga wangi-wangi

Angin gemetar merangkul nafasmu wangi

Tahun depan angin timur tinggallah kenangan

Aku datang mengepang rambutmu jadi delapan

Page 3: Puisi Pilihan Pembacaan Puisi Gerbang Lastra 3

Kesaksian

Oleh: Irianto Ibrahim

Beginikah kau mengajariku tentang jarak dan waktu-

Sebentuk wajah yang hanya bisa kulihat dari

Gerak daunan mungil

Dan sepasang senyumku yang beku dalam cermin

Aku merindukanmu

Seperti dahulu kaupun memberi jemari untuk kusimpan

Lalu nada pada piano segera mengirimkan bait-bait ngilu

Lagu yang selalu kau nyanyikan seusai mandi

Yang telah membuatku berkali-kali mati

Dan terlahir lagi sebagai penanti

Aku belum bisa menerjemahkan waktu

Setelah usia sungguh-sungguh menua digelasku

Matahari yang menepi dimatamu

Atau laut yang menentramkan maut

Serupa nyala: kedipan pada matamu

Beginikah aku mengajari tentang jarak dan waktu-

Ketika aku hanya bisa bernyanyi

Seperti dirimu yang tak henti-henti memintaku menari

Sambil menggendong sepi

Setiap senja selesai

Page 4: Puisi Pilihan Pembacaan Puisi Gerbang Lastra 3

Jalan Pulang

Oleh: Irianto Ibrahim

Mungkin aku butuh semacam kantong ajaib

Yang membuatku tiba-tiba menjadi sajak

Yang tidak pernah sungguh-sungguh mencintai

Sampai baris akhir

Atau aku butuh semacam topi pesulap

Yang membuatku lenyap seketika

Kepergian yang tak pernah kembali

Yang tak akan pernah datang lagi

Mungkin masih ada jejak senyum

Atau malam bisu di ranjang

Karena alamat hari masih tersimpan di saku bajuku

Di dada sebelah kiri

Tempat jantungku biasa memaggilmu

Aku tidak bicara pada kenangan

Pada laut yang menjelma ombak dalam dirimu

Atau lagu terakhir yang dinyanyikan para pemabuk

Sudah lama tak kupikirkan rimbun mawar

Atau kabut asap sepanjang penantian

Sebab kenangan bukan jalan pulang untuk kembali

Bukan isyarat hari yang mau berbagi

Page 5: Puisi Pilihan Pembacaan Puisi Gerbang Lastra 3

Perjamuan

Oleh: Irianto Ibrahim

Berapa luka yang kau minta

Sedanau darah atau secangkir nestapa

Di dada, sesayat jantungku

Sudah kuhidang di meja makan

Kutambahkan air mata setia

Penyedap rasa dan aroma kesukaanmu

Apa kau minta juga mimpiku

Sekerat angan yang kusimpan di bawah bantal

Tempat kubaringkan kepalaku yang sudah kosong

Sebab katamu dendeng otaklah

Yang paling kau gemari

Berapa iga lagi yang kau perlu

Sepasang paru atau sumsum tulang belakang

Sebagai sop yang kau didihkan sepanjang hari

Sepanjang jalan pulang yang sudah kulupa selamanya

Kumohon, jangan lidahku

Jangan ambil lidahku

Karena dia menerjemahkan

Detak dalam dadaku

Page 6: Puisi Pilihan Pembacaan Puisi Gerbang Lastra 3

INAWA

Oleh: Salim

Sebelum nyawa itu ada maka hidup telah ada. tetapi nyawa menyunting hidup biar ada

pengakuan yang makin bergema sampai kini, maka berucap sederet kata yang beruntun mengalir

dalam tubuh, sampai Malaikat sujud hormat menjalani isyarat yang tak bisa dihalaunya dan

teruslah mengungkap isi bumi yang utuh lagi perawan membawa martabatnya pada sisi yang

tersendiri dan disebut itu paling mulia di sisiNya

teriaklah di setiap waktu nyawa yang baru, meraung ampun pada hidup yang dijumpainya

Namun erat kepalan tangan terlalu rahasia adanya sambil membawa tangis dari langit ketujuh,

Tepat dua setengah purnama lampu minyak kampua menyala-nyala mengikuti lantunan

barasandi pertanda perang telah dimulai dengan selamat

Karena waktu, ubun-ubun mulai membatu dan canda itu mulai mengigit tubuh malaikat,

terlihatlah sifat baru di hadirat Tuhan, maka dupa dibakar dalam empat unsur bumi yang

menyertai bacaan modhi mengelus pundak guna menyapa ruh titipan Tuhan lewat malaikat nyata

yang bernama Ina

Kini usia semakin matang menantikan kawan yang hendak menemunya, turunlah cinta dari

langit tenggelam dalam batinnya melahirkan perasaan yang sama di antara mereka, kehadiran

cinta mengenalkan pada kesepian, maka sunyi mulai menikam hati

Diseberang dunia turunlah api yang membara hinggap di antara angan, menguji cinta yang asing,

lalu rasa itu bertasbih buat menepis baranya yang jatuh di antara langit dan bumi

Page 7: Puisi Pilihan Pembacaan Puisi Gerbang Lastra 3

KALAMBE

:Pingit

Oleh: Deasy Tirayoh

Perdu bersemak selagi mata mengisyaratkan dongeng leluhur

Saat tunas ranum menemani rintik-rintik kegadisan

Lantas gong bunyi

Tetabuh mengungsikan sepi ditarung hasrat

Menarilah dengan tungkai sekokoh akar jati

Sebab gong telah menandai

Bibir terkatup menimbun doa

Angka dimatangkan agar siap pada goda

Apa yang menganga?

Perawan tak baik bila berisik

Kuburkan deburan tubuhmu di kesenyapan

Hingga dahaga peziarah datang menimba

Di kala rintik-rintik kegadisan pecah dalam upacara

Deras menghujani gersang

Perdu bersemak selagi benakmu masih kuncup

Kalambe, engkau bukanlah perdu itu

Yang jamak terinjak dan tumbuh sembarang

Pupuklah sebilang kata paling menjaga

Jangan durhaka!

Bunga mawar mekar mengiring musim

Siapa yang sungguh tertusuk duri?

Page 8: Puisi Pilihan Pembacaan Puisi Gerbang Lastra 3

Terminal Bulan

Oleh: La Ode Muh Rauf Alimin

Pekat malam menggulung lidah

Menunjuk ke angin belukar

Darahmu bagai berpaku berlalu

Langit, langit

Keluasan hati berdesakan

Terbebas di keras muka

Siapakah yang sangat waktu

Bila detik mengandung sepi

Bulan keguguran

Bulan hangus di jari

Tidak ada warna

Tidak ada tari

Hujan suntuk terbilang hati

Tunggu bulan lain datang

Menggelinding di ranting pohon jati

Yang takkan patah

Di bumi angin

Berikan peka ke hati

Tak perlu jarak pandang mempertua

Bulan juga tahu

Suara angin memaki sepi

Page 9: Puisi Pilihan Pembacaan Puisi Gerbang Lastra 3

SENJA

Oleh : Eka Cahyo

Aku menatap senja

Begitu cerah, walau ada

Guratan sendu disana

Teringat ku sejumput kenangan

Bayangan memori yang

Menabur pilu

Asaku terus membumbung

Jauh menututp nyataku

Mengenang jutaan kenangan

Yang mengalahkan kenyataan

Namun, realita membangunkan aku

Mengajak aku kembali pada senja

Sesak aku akan kenangan itu

Namun rindu terus menghasut

Memaksa otakku untuk terus

Mengenangnya

Akhirnya aku tersadar,

Kau hanyalah bagian indah

Yang menjadi pilu

Dan kini menjelma sebagai

Memori terindah dalam

Senjaku….

Page 10: Puisi Pilihan Pembacaan Puisi Gerbang Lastra 3

SELERA DUSTA

Oleh : Mas Jaya

Hambar kata kehilangan makna

Ujur ingkar membumbui ucap

Pada racikan sup retorika

Yang terhidang di meja harap,

Menyajikan mimpi yang didramatisir kata-katanya

Hinggapun indahnya menyaingi surga Tuhan.

Dan pada mata, telinga kita yang terlanjur

Melahap sup-sup dari lidah dusta pun

Ikiut-ikutan memuntahkan madu pada setiap dusta

Yang membuat ngiler penuh harap oleh

Si Dungu.

Mungkin saja kita telah membungkam mulut hati

Hingga nurani pun tercipta bagai kosa kata hampa

Di atas hawa setan yang terpompa

Di jantung kita sendiri.

Lalu si Dungu yang ikut terbodohi dusta

Mencoba meracik kembali resep dan

Mencipta kepalsuan baru dari bahan-bahan

Berasa dan beraroma dusta

Tuk dihidangkan lagi

Di meja aktor baru yang menggantikannya Kelak.

Siklus dusta pun melingkar tiada ujung dan

Memang tak putus mewariskan generasinya.

Mari merenung; sejarah penuh dusta

telah mencipta kekinian penuh dusta

dan mungkin saja, juga masa depan

penuh dusta.

Mungkin inilah kita?