minggu, 11 desember 2011 mengerang di jemari sajak filepenonton pun tertawa sambil memberikan tepuk...

1
A RT & CULTURE 10 IWAN KURNIAWAN ‘…DENGAN seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?’ S EPENGGAL sajak berjudul Batu tersebut merupakan karya penyair kawakan Sutardji Calzoum Bachri. Meski usianya telah menginjak 70 tahun, ia masih terlihat energik. Sambil duduk di sebuah kursi, Sutardji pun mulai berceloteh. “Saya mau membacakan sajak saya dalam bahasa Inggris. Karya ini sudah diterjemah- kan,” ujarnya, seraya mendapatkan tepuk tangan ratusan penonton pada acara The 2nd Jakarta International Literary Festival 2011 di Gedung Kesenian Jakarta, pertengahan pekan ini. Dengan perawakan yang selengekan, sang Presiden Penyair itu begitu santai. Di atas panggung yang ditata begitu sederhana, ha- nya terdapat latar belakang kain hitam me- manjang serta pencahayaan remang-remang, Sutardji tak langsung membacakan sajak. Ia mengeluarkan harmonika dari dalam saku jaketnya. Sejurus, ia hanya meniup dengan irama khas country. Lalu, ia menyanyikan sebuah lagu Ambon, Sio Mama. Suara Tardji--sapaan Sutardji--terdengar se- rak namun merdu. Ia memainkan harmonika secara atraktif sambil mengangkat kedua kakinya. Gerak-geriknya terlihat sedikit lucu. Penonton pun tertawa sambil memberikan tepuk tangan lagi. Pada malam pembacaan puisi itu, Tar- dji membacakan dua sajaknya dalam bahasa Inggris, yakni Batu/Stone dan Berdarah/Blood. Juga, satu dalam bahasa Indonesia, Wahai Pemuda Mana Telurmu?. Unsur penjiwaan begitu mendarah daging dalam diri Tardji. Terkadang ia berteriak lan- tang. Terkadang pula, ia hanya mengerang. Khususnya pada puisi ketiga, ia memba- Simbolisme Mimpi Werner Schulze Penjiwaan Sutardji dalam membacakan sajak membuat kata-kata seakan memiliki taring untuk meruntuhkan langit. Mengerang di Jemari Sajak Ia mengeluarkan harmonika dari dalam saku jaketnya. Sejurus, ia hanya meniup dengan irama khas country.” MINGGU, 11 DESEMBER 2011 SEBUAH pengharapan dalam hidup dapat membawa semangat untuk bisa menjalani kehidupan secara manusiawi. Hal itulah yang mela- tarbelakangi sutradara asal Austria Werner Schulze untuk mementas- kan lakon Mimpi: Suatu Catatan Perjalanan Hidup Insani. Pada pementasan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, pertengahan pekan ini, Schulze memanfaatkan anggota Teater Tetas untuk mem- visualisasikan idenya ke dalam sebuah pertunjukan. Pria kelahiran Wiener Neustadt, 10 Juli 1952, itu memadukan tari, musik, dan teater. Hasilnya, penon- ton perlu sedikit berpikir. Apalagi tak banyak percakapan. Simbolisme begitu kuat dalam lakon tersebut. Lakon berawal saat seorang perempuan tua (Artasya Sudir- man) menyapu halaman rumahnya. Ia berjalan membungkuk. Tak lama kemudian, lelaki buta (Didi Hasyim) muncul sambil mendongeng. Sebenarnya ia berperan sebagai seorang dalang. Ia menceritakan aktor-aktor yang hendak berperan dalam pementasan tersebut. Lima penari pun muncul dan memben- tuk lingkaran. Di atas tangan yang terpaut disatukan, seorang lelaki naik di atasnya. Tampak sebuah perpaduan an- tara koreografi yang tak begitu beraturan. Apalagi sambil menari, mereka menyanyi secara lip-sync mengikuti lagu-lagu yang diputar. Para penari pun menari sambil memainkan bulu-bulu yang jatuh dari atas panggung dan berserakan di lantai. Sejurus kemudian, Artsya, Adi Nugraha, Harris Syaus, dan Meyke Vierna muncul dengan menggu- nakan topeng berwajah buruk. Mereka berjalan ke arah penonton dengan digiring seorang dirigen. Musik elektrik yang diputar pun menghadirkan nuansa mencekam. Lakon yang berlangsung selama 60 menit itu menghadirkan sebuah keseimbangan dan keterpaduan. Unsur tari, musik, dan teater disaji- kan lewat sebuah pementasan penuh loso. Maklum, sang sutra- dara adalah guru besar pada Pusat Harmoni Internasional di Univer- sitas Musik dan Seni Pertunjukan Wina, Austria. “Bulu putih, pendeta, batang bambu, dan telur sebagai simbol. Ini sebagai lambang harapan dan awal yang baru,” ujar Schulze yang juga menjadi guru besar tamu di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, itu. Pemimpin Proyek Teater Tetas Hari Prasetyo mengatakan proses pembuatan lakon dilakukan setelah Schulze melakukan diskusi bersa- ma. “Ia mencampurkan kebudayaan Barat dan Timur,” ujarnya. Sebagai sebuah pementasan yang menekankan simbolisme, para pe- nari mampu menyuguhkan tarian kontemporer yang beragam, mulai dari gerakan memutar, melompat, hingga mengangkang. Lakon Mimpi memuat penggam- baran tentang kehidupan individu manusia. Penggunaan sajak berju- dul Ithaka karya sastrawan Yunani Constantinos Petrou Kavaphes semakin memberikan sentuhan losos. Schulze bersama Teater Tetas akan melangsungkan pelawatan ke empat negara di Eropa untuk mem- pertontonkan lakon Mimpi . Ke- empat negara itu meliputi Yunani, Autria, Slovenia, dan Hongaria. “Saya mau memberikan suguhan yang belum pernah ditampil- kan di Eropa,” pungkas Schulze. (Iwa/M-1) FESTIVAL SASTRA: Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri saat membacakan dua sajaknya dalam bahasa Inggris berjudul Stone dan Blood di Gedung Kesenian Jakarta, Jakarta, Selasa (6/12) malam. Penampilan penyair senior tersebut menjadi pembuka The 2nd Jakarta International Literary Festival 2011 yang diikuti 45 penyair. LAKON MIMPI: Teater Tetas Jakarta saat mementaskan lakon berjudul Mimpi: Suatu Catatan Perjalanan Hidup Insani di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, kemarin. Lakon yang disutradarai Werner Schulze itu menceritakan penafsiran ‘mimpi’ bukan hanya sebagai perjalanan memasuki relaksasi momen manusia saat tidur. MI/JHONI HUTAPEA MI/ANGGA YUNIAR cakan sambil melihat teks yang ia catat di dalam ponsel. Ekspresi Pada festival tersebut, hadir pula sederet penyair yang ikut membacakan karya me- reka. Gaya pembacaan pun sangat beragam. Ada yang membaca sambil berteater dengan cara melompat sehingga tampak seperti terbang. Ada yang membaca sambil berjalan mengelilingi panggung. Ada pula yang mem- baca di tempat tanpa berpindah-pindah. Lewat The 2nd Jakarta International Li- terary Festival 2011 itu, karya-karya dari 45 penyair dipilih panitia dan dimasukkan ke buku antologi puisi Ibu Kota Kebersamaan. Setiap penyair membacakan karya mereka dengan penuh penjiwaan. Ahmad Syubbanuddin Alwy, misalnya, menghadirkan dua sajak berjudul Di Sebuah Negeri dan Cirebon 1818. Gaya pembacaan se- cara lantang ia tunjukan di atas panggung. Sajak Di Sebuah Negeri berbunyi, ‘Di sebuah ritus negeri, di liuk lembah kudus ini// Deru ta- nah air itu dipenuhi pagoda yang gemetar// Riak semenanjung darah, melingkar-lingkar dalam cacar// Kehidupan yang terbuka ke gugusan nanar benua lain// Tapi, batinmu seperti seorang Buddha bertapa di altar lilin// Yang kelak cair dan berakhir, kembali menemukan ufuk sunyi…’. Puisi tersebut ditujukan untuk pemimpin prodemokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi. Setidaknya, penyair terinspirasi oleh kegigih- an dan ketokohan sang perempuan, peraih Nobel Perdamaian pada 1991, itu. Penyair Sihar Ramses Sakti Simatupang ikut tampil dengan memasukkan unsur et- nis berupa nyanyian tradisional Batak yang dipadukan dengan teknik pembacaan puisi. Lelaki kelahiran 1 Oktober 1974 itu memba- cakan tiga puisinya. Meliputi, Puisi dan Kau, Tunas (1), dan Percakapan (1). Sihar begitu bermain dengan perasaan yang paling mendalam. “Karakter setiap penyair sangat khas dalam membacakan sajak,” kata Ketua Tim Kurator Ahmadun Yosi Herfanda. Sebuah sajak telah menjadi dunia tersen- diri. Dunia yang diciptakan kembali oleh sang penyair. Kata-kata pun menjelma menjadi sajak. Dari yang terlahir dari rasa kemarah- an, kegetiran, kecemasan, kesedihan, dan kesunyian di lengkung jiwa. (M-1) [email protected]

Upload: dodan

Post on 03-May-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ART & CULTURE10

IWAN KURNIAWAN

‘…DENGAN seribu gunung langit tak runtuhdengan seribu perawan hati tak jatuhdengan seribu sibuk sepi tak matidengan seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?’

SEPENGGAL sajak berjudul Batu tersebut merupakan karya penyair kawakan Sutardji Calzoum Bachri. Meski usianya telah menginjak 70

tahun, ia masih terlihat energik. Sambil duduk di sebuah kursi, Sutardji pun mulai berceloteh.

“Saya mau membacakan sajak saya dalam bahasa Inggris. Karya ini sudah diterjemah-kan,” ujarnya, seraya mendapatkan tepuk tangan ratusan penonton pada acara The 2nd Jakarta International Literary Festival 2011 di Gedung Kesenian Jakarta, pertengahan pekan ini.

Dengan perawakan yang selengekan, sang Presiden Penyair itu begitu santai. Di atas panggung yang ditata begitu sederhana, ha-nya terdapat latar belakang kain hitam me-manjang serta pencahayaan remang-remang, Sutardji tak langsung membacakan sajak. Ia mengeluarkan harmonika dari dalam saku jaketnya. Sejurus, ia hanya meniup dengan irama khas country. Lalu, ia menyanyikan sebuah lagu Ambon, Sio Mama.

Suara Tardji--sapaan Sutardji--terdengar se-rak namun merdu. Ia memainkan harmonika secara atraktif sambil mengangkat kedua kakinya. Gerak-geriknya terlihat sedikit lucu. Penonton pun tertawa sambil memberikan tepuk tangan lagi.

Pada malam pembacaan puisi itu, Tar-dji membacakan dua sajaknya dalam bahasa Ing gris, yakni Batu/Stone dan Berdarah/Blood. Juga, satu dalam bahasa Indonesia, Wahai Pemuda Mana Telurmu?.

Unsur penjiwaan begitu mendarah daging dalam diri Tardji. Terkadang ia berteriak lan-tang. Terkadang pula, ia hanya mengerang.

Khususnya pada puisi ketiga, ia memba-

Simbolisme Mimpi Werner Schulze

Penjiwaan Sutardji dalam membacakan sajak membuat kata-kata seakan memiliki taring untuk meruntuhkan langit.

Mengerang di Jemari Sajak

Ia mengeluarkan harmonika dari dalam saku jaketnya. Sejurus, ia hanya meniup dengan irama khas country.”

MINGGU, 11 DESEMBER 2011

SEBUAH pengharapan dalam hidup dapat membawa semangat untuk bisa menjalani kehidupan secara manusiawi. Hal itulah yang mela-tarbelakangi sutradara asal Austria Werner Schulze untuk mementas-kan lakon Mimpi: Suatu Catatan Perjalanan Hidup Insani.

Pada pementasan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, pertengahan pekan ini, Schulze memanfaatkan anggota Teater Tetas untuk mem-visualisasikan idenya ke dalam sebuah pertunjukan.

Pria kelahiran Wiener Neustadt, 10 Juli 1952, itu memadukan tari, musik, dan teater. Hasilnya, penon-ton perlu sedikit berpikir. Apalagi tak banyak percakapan. Simbolisme begitu kuat dalam lakon tersebut.

Lakon berawal saat seorang perempuan tua (Artasya Sudir-man) menyapu halaman rumahnya. Ia berjalan membungkuk. Tak lama

kemudian, lelaki buta (Didi Hasyim) muncul sambil mendongeng.

Sebenarnya ia berperan sebagai seorang dalang. Ia menceritakan aktor-aktor yang hendak berperan dalam pementasan tersebut. Lima penari pun muncul dan memben-tuk lingkaran. Di atas tangan yang terpaut disatukan, seorang lelaki naik di atasnya.

Tampak sebuah perpaduan an-tara koreografi yang tak begitu beraturan. Apalagi sambil menari, mereka menyanyi secara lip-sync mengikuti lagu-lagu yang diputar.

Para penari pun menari sambil memainkan bulu-bulu yang jatuh dari atas panggung dan berserakan di lantai.

Sejurus kemudian, Artsya, Adi Nugraha, Harris Syaus, dan Meyke Vierna muncul dengan menggu-nakan topeng berwajah buruk. Mereka berjalan ke arah penonton

dengan digiring seorang dirigen. Musik elektrik yang diputar pun menghadir kan nuansa mencekam.

Lakon yang berlangsung selama 60 menit itu menghadirkan sebuah keseimbangan dan keterpaduan. Unsur tari, musik, dan teater disaji-kan lewat sebuah pementasan penuh fi losofi . Maklum, sang sutra-dara adalah guru besar pada Pusat Harmoni Internasional di Univer-sitas Musik dan Seni Pertunjukan Wina, Austria.

“Bulu putih, pendeta, batang bambu, dan telur sebagai simbol. Ini sebagai lambang harapan dan awal yang baru,” ujar Schulze yang juga menjadi guru besar tamu di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, itu.

Pemimpin Proyek Teater Tetas Hari Prasetyo mengatakan proses pembuatan lakon dilakukan setelah Schulze melakukan diskusi bersa-ma. “Ia mencampurkan kebudayaan

Barat dan Timur,” ujarnya.Sebagai sebuah pementasan yang

menekankan simbolisme, para pe-nari mampu menyuguhkan tarian kontemporer yang beragam, mulai dari gerakan memutar, melompat, hingga mengangkang.

Lakon Mimpi memuat penggam-baran tentang kehidupan individu manusia. Penggunaan sajak berju-dul Ithaka karya sastrawan Yunani Constantinos Petrou Kavaphes semakin memberikan sentuhan fi losofi s.

Schulze bersama Teater Tetas akan melangsungkan pelawatan ke empat negara di Eropa untuk mem-pertontonkan lakon Mimpi. Ke-empat negara itu meliputi Yunani, Autria, Slovenia, dan Hongaria. “Saya mau memberikan suguhan yang belum pernah ditampil-kan di Eropa,” pungkas Schulze. (Iwa/M-1)

FESTIVAL SASTRA: Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri saat membacakan dua sajaknya dalam bahasa Inggris berjudul Stone dan Blood di Gedung Kesenian Jakarta, Jakarta, Selasa (6/12) malam. Penampilan penyair senior tersebut menjadi pembuka The 2nd Jakarta International Literary Festival 2011 yang diikuti 45 penyair.

LAKON MIMPI: Teater Tetas Jakarta saat mementaskan lakon berjudul Mimpi: Suatu Catatan Perjalanan Hidup Insani di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, kemarin. Lakon yang disutradarai Werner Schulze itu menceritakan penafsiran ‘mimpi’ bukan hanya sebagai perjalanan memasuki relaksasi momen manusia saat tidur.

MI/JHONI HUTAPEA

MI/ANGGA YUNIAR

cakan sambil melihat teks yang ia catat di dalam ponsel.

EkspresiPada festival tersebut, hadir pula sederet

penyair yang ikut membacakan karya me-reka. Gaya pembacaan pun sangat beragam. Ada yang membaca sambil berteater dengan cara melompat sehingga tampak seperti terbang. Ada yang membaca sambil berjalan mengelilingi panggung. Ada pula yang mem-baca di tempat tanpa berpindah-pindah.

Lewat The 2nd Jakarta International Li-terary Festival 2011 itu, karya-karya dari 45 penyair dipilih panitia dan dimasukkan ke buku antologi puisi Ibu Kota Kebersamaan. Setiap penyair membacakan karya mereka dengan penuh penjiwaan.

Ahmad Syubbanuddin Alwy, misalnya, menghadirkan dua sajak berjudul Di Sebuah Negeri dan Cirebon 1818. Gaya pembacaan se-cara lantang ia tunjukan di atas panggung.

Sajak Di Sebuah Negeri berbunyi, ‘Di sebuah ritus negeri, di liuk lembah kudus ini// Deru ta-nah air itu dipenuhi pagoda yang gemetar// Riak semenanjung darah, melingkar-lingkar dalam cacar// Kehidupan yang terbuka ke gugusan nanar benua lain// Tapi, batinmu seperti seorang Buddha bertapa di altar lilin// Yang kelak cair dan berakhir, kembali menemukan ufuk sunyi…’.

Puisi tersebut ditujukan untuk pemimpin prodemokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi. Setidaknya, penyair terinspirasi oleh kegigih-an dan ketokohan sang perempuan, peraih Nobel Perdamaian pada 1991, itu.

Penyair Sihar Ramses Sakti Simatupang ikut tampil dengan memasukkan unsur et-nis berupa nyanyian tradisional Batak yang dipadukan dengan teknik pembacaan puisi. Lelaki kelahiran 1 Oktober 1974 itu memba-cakan tiga puisinya. Meliputi, Puisi dan Kau, Tunas (1), dan Percakapan (1).

Sihar begitu bermain dengan perasaan yang paling mendalam.

“Karakter setiap penyair sangat khas dalam membacakan sajak,” kata Ketua Tim Kurator Ahmadun Yosi Herfanda.

Sebuah sajak telah menjadi dunia tersen-diri. Dunia yang diciptakan kembali oleh sang penyair. Kata-kata pun menjelma menjadi sajak. Dari yang terlahir dari rasa kemarah-an, kegetiran, kecemasan, kesedihan, dan kesunyian di lengkung jiwa. (M-1)

[email protected]