protokol pemilihan pasangan lintasan dengan filebanyak hambatan dan tantangan penulis lewati dalam...
TRANSCRIPT
PROTOKOL PEMILIHAN PASANGAN LINTASAN DENGAN METODE PARETO PADA JARINGAN AD HOC
Oleh :
Dr. Nyoman Gunantara, ST, MT. NIP. 197408272001121002
JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
Januari 2016
iii
RINGKASAN
Transmisi nirkabel untuk menghasilkan sinyal kualitas tinggi membutuhkan bandwidth yang tinggi dan rentan terhadap pengaruh lingkungan propagasi. Untuk mengatasi hal tersebut maka komunikasi point to point dengan antena tunggal beralih ke teknologi antena jamak disebut multi input multi output (MIMO). Teknologi MIMO ini mempunyai banyak keunggulan tetapi penerapannya sangat sulit dilakukan. Melihat kondisi tersebut maka dikembangkan teknologi komunikasi kooperatif.
Dalam komunikasi kooperatif, setiap node dalam skenario multi node bekerja sama dan berkoordinasi sehingga menghasilkan kinerja yang lebih baik. Kerjasama dalam komunikasi kooperatif memerlukan relay dalam transmisi dari source ke destination. Penelitian saat ini baru sebatas pemilihan relay untuk membentuk satu lintasan dan menggunakan protokol tradisional. Pada protokol tradisional semua trafik dari source dikirim melalui lintasan tunggal. Apabila jumlah trafik yang dikirim melalui lintasan tunggal yang memiliki kapasitas yang lebih kecil dari trafik yang dikirim maka akan terjadi congestion. Selain congestion, protokol tradisional akan membutuhkan banyak waktu transmisi dalam mengirimkan informasi dari source ke destination.
Untuk mengurangi terjadinya congestion dan jumlah waktu transmisi dari source ke destination maka dibuat protokol pemilihan lintasan diversitas kooperatif pada jaringan ad hoc nirkabel dengan kriteria permasalahan jamak lintas lapisan menggunakan MOO dengan metode Pareto. Pertama, pemilihan pasangan lintasan terbaik dilakukan dengan metode Pareto yaitu algoritma continuously updated berdasarkan dua kriteria permasalahan jamak yaitu SNR dan load variance. Dua pasangan lintasan terbaik dihasilkan melalui solusi tidak didominasi yang memiliki jarak Euclidean terkecil. Kedua, nilai SNR dengan algoritma yang diusulkan lebih besar dibandingkan dengan metode skalarisasi. Terakhir, nilai load variance dengan menggunakan protokol yang diusulkan lebih kecil dibandingkan dengan protokol skalarisasi. Ini berarti bahwa komunikasi dengan protokol yang diusulkan mengakibatkan beban trafik menjadi terdistribusi lebih merata.
iv
PRAKATA
Puja dan puji penulis sembahkan kehadapan Sang Pencipta yang telah
memberikan karuniaNya kepada penulis sehingga penulisan laporan ini dapat
diselesaikan.
Banyak hambatan dan tantangan penulis lewati dalam penulisan laporan
ini. Namun berkat bantuan dari berbagai pihak, akhirnya penulisan laporan ini
dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak demi perbaikan dan pengembangan penelitian ini.
Denpasar, Januari 2016
Peneliti
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i
RINGKASAN ii
PRAKATA iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR viii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1 1.2. Rumusan Masalah 3 1.3. Tujuan Khusus 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komunikasi Kooperatif 4 2.2. Jaringan Ad Hoc Nrikabel 7 2.3. Propagasi Nirkabel 9 2.4. Optimasi Lintas Lapisan 10 2.5. Optimasi Permasalahan Jamak (MOO) 11 2.5.1. Metode Skalarisasi 12 2.5.2. Metode Pareto 13
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Pemodelan Sistem Dan Protokol 15 3.2. Parameter Simulasi 17
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kriteria Permasalahan Jamak 19 4.1.1. SNR 20 4.1.2. Load Variance 20 4.2. Protokol Komunikasi Kooperatif Dengan Metode Pareto 21 4.3. Hasil Simulasi 23
BAB V KESIMPULAN 27
DAFTAR PUSTAKA 28
v
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Parameter Simulasi 17
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Komunikasi Nirkabel Ad Hoc 2
Gambar 2.1. Komunikasi Kooperatif pada Tiga User 4
Gambar 2.2. Konfigurasi Sistem Komunikasi Kooperatif 6
Gambar 2.3. Multipath Routing 8
Gambar 2.4. Tujuh Lapisan OSI 10
Gambar 2.5. POF untuk 2 Fungsi Obyektif 14
Gambar 3.1. Model Sistem 16
Gambar 3.2. Diagram Alir Protokol Diversitas Kooperatif 17
Gambar 4.1. Kemungkinan Hasil Pemilihan Path 19
Gambar 4.2. Model Jaringan Ad Hoc Nirkabel 24
Gambar 4.3. POF Jaringan Ad Hoc Nirkabel 24
Gambar 4.4. Pasangan Lintasan Terbaik 25
Gambar 4.5. CDF dari SNR 26
Gambar 4.6. CDF dari Load Variance 26
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Transmisi nirkabel dengan kecepatan dan kualitas tinggi merupakan
tantangan karena membutuhkan sifat yang real time. Disamping itu, transmisi
nirkabel dengan kecepatan dan kualitas tinggi membutuhkan bandwidth yang
tinggi dan sensitif terhadap error. Transmisi nirkabel dengan kecepatan dan
kualitas tinggi biasa digunakan untuk komunikasi multimedia yaitu video digital.
Sementara kanal nirkabel rentan terhadap kondisi lingkungan propagasi serta
dibatasi oleh bandwidth. Sehingga komunikasi point to point dengan antena
tunggal beralih ke teknologi antena jamak pada sisi pemancar maupun penerima.
Teknologi ini disebut multi input multi output (MIMO). Teknologi MIMO ini
mempunyai keunggulan dalam hal meningkatkan kapasitas kanal dan kehandalan
komunikasi dibandingkan dengan teknologi antena tunggal (Zhang dan Dai,
2004). Keunggulan dari teknologi MIMO tersebut sudah banyak diketahui secara
luas namun dalam penerapannya sangat sulit dilakukan. Dilihat dari sisi peralatan
radionya yaitu dibatasi oleh ukuran, biaya, kemampuan daya dari baterai, dan
perangkat keras yang tidak mendukung (Cui et al, 2004).
Melihat kondisi tersebut maka dikembangkan teknologi komunikasi yaitu
peralatan radio antena tunggal (node) yang dapat mengimbangi keunggulan dari
sistem MIMO. Teknologi komunikasi tersebut adalah menggunakan node lain
sebagai relay. Relay dalam komunikasi nirkabel terdapat dua yaitu relay pada
lapisan fisik dan relay pada lapisan jaringan. Relay pertama yang dimaksud adalah
relay pada komunikasi kooperatif. Dalam komunikasi kooperatif seperti pada
(Sendonaris et al, 2003, Laneman et al, 2004), setiap node dalam skenario multi
node bekerja sama dan berkoordinasi yang mengakibatkan meningkatnya gain
diversitas akibat membentuk virtual array seperti sistem MIMO sehingga
mendapatkan kinerja yang lebih baik. Kinerja itu berupa peningkatan kapasitas
kanal sebesar 21,3% akibat dari dua node berkooperatif untuk mengirimkan
informasi ke node lain sebagai tujuan. Hal ini bisa dijelaskan bahwa sumber (S)
selain mengirimkan informasi ke tujuan (D) juga ke relay (R). Dan dari relay
2
informasi dilanjutkan ke tujuan. Ini memperlihatkan bahwa dua node
berkooperatif tersebut bertindak seperti antena jamak terdistribusi.
Relay kedua berikutnya adalah relay pada lapisan jaringan yang berfungsi
sebagai router pada komunikasi nirkabel ad-hoc. Pada penelitian ini, komunikasi
nirkabel ad-hoc ini menggunakan multipath routing yang berbeda dari skema
routing tradisional. Pada routing tradisional semua trafik dari sumber dikirim
melalui lintasan tunggal. Apabila jumlah trafik yang dikirim melalui lintasan
tunggal yang memiliki kapasitas yang lebih kecil dari trafik yang dikirim maka
akan terjadi congestion. Selain terjadi congestion maka waktu transmisi dari
source ke destination dibutuhkan lebih besar. Untuk mengurangi terjadinya
congestion dan banyaknya waktu transmisi tersebut digunakan metode mutipath
routing. Metode multipath routing dapat dijelaskan seperti pada Gambar 1. Semua
trafik dari node 1 (sumber) yang akan dikirim ke node 6 (tujuan) dibagi menjadi
dua lintasan. Lintasan yang dimaksud adalah kumpulan beberapa link dari sumber
ke tujuan. Sedangkan link adalah hubungan dari node ke node yang lain. Lintasan
pertama yaitu lintasan 1-2-3-6 dan lintasan kedua adalah lintasan 1-4-5-6.
Lintasan 1-2-3-6 dan 1-4-5-6 disebut dengan lintasan node disjoint. Multipath
routing ini akan mengakibatkan load balancing sehingga congestion pada node
dapat dikurangi seperti yang dijelaskan pada penelitian (Wu and Harms, 2001,
Iyer et al, 2002).
1
4 5
6
32
Gambar 1.1. Komunikasi nirkabel ad-hoc
3
1.2. Rumusan Masalah
Adanya congestion dan waktu transmisi yang besar pada lintasan tunggal
untuk sistem komunikasi kooperatif maka dibuat rumusan masalah sebagai
berikut :
a. Bagaimana protokol dalam pemilihan pasangan lintasan untuk komunikasi
kooperatif pada jaringan ad hoc dengan metode Pareto?
b. Bagaimana kinerja dari protokol pemilihan pasangan lintasan untuk
kehandalan pada jaringan ad hoc yang menggunakan metode Pareto?
1.3. Tujuan
Penelitian ini mempunyai tujuan khusus sebagai berikut :
a. Mendesain protokol dalam pemilihan pasangan lintasan untuk komunikasi
kooperatif pada jaringan ad hoc.
b. Mengetahui kehandalan kinerja dari protokol pemilihan pasangan lintasan
dengan protokol komunikasi kooperatif yang sudah ada.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Protokol pemilihan pasangan lintasan pada komunikasi kooperatif dapat
mengurangi terjadinya congestion dan waktu transmisi dari source ke destination
pada jaringan ad hoc. Dari state of the art ini maka di bawah ini akan diuraikan
teori-teori pendukungnya.
2.1. Komunikasi Kooperatif
Komunikasi kooperatif adalah sistem dimana source bekerja sama dan
berkoordinasi dengan relay sebelum sampai pada tujuan untuk meningkatkan
kualitas transmisi. Untuk lebih jelasnya mengenai komunikasi kooperatif tersebut
dapat dilihat pada Gambar 2.1 (Nosratinia et al, 2004).
S
D
R
Ps
Pr
hs,r
hr,d
hs,d
Gambar 2.1. Komunikasi kooperatif pada tiga user
Dalam komunikasi kooperatif ada tiga komponen utama yang harus ada
yaitu :
- Sumber (S) : user yang mengirimkan informasi.
- Relay (R) : user yang menerima dan mengirimkan informasi
untuk meningkatkan komunikasi diantara sumber
dan tujuan.
- Tujuan (D) : user yang menerima informasi.
5
Dari tiga komponen utama dalam sistem komunikasi kooperatif dapat
dikembangkan menjadi berbagai konfigurasi. Konfigurasi sistem komunikasi
kooperatif tersebut ada dua yaitu dengan menggunakan tiga user dan empat user.
Untuk tiga user, dibagi menjadi dua yaitu kooperatif dengan relay kanal akses
jamak dan kooperatif dengan relay kanal tersebar. Sedangkan untuk empat user,
dibagi menjadi dua yaitu kooperatif dengan relay kanal paralel dan kooperatif
dengan relay kanal interferensi. Berbagai jenis konfigurasi tersebut dapat dilihat
pada Gambar 2.2 (Laneman, 2002).
Dari Gambar 2.2 dapat dijelaskan berbagai jenis konfigurasi sistem
komunikasi kooperatif. Gambar 2.2a dikatakan relay kanal akses jamak karena
sumber dan relay berkooperatif untuk mengirimkan informasi secara serentak ke
tujuan. Ini dilakukan untuk mengatasi pengaruh dari kanal akses jamak. Gambar
2.2b dikatakan relay kanal tersebar karena sumber mengirimkan informasi ke
relay dan tujuan secara bersamaan atau dengan kata lain relay dan tujuan
berkooperatif dalam menerima informasi dari sumber. Gambar 2.2c menjelaskan
relay kanal paralel. Pada relay kanal paralel, sumber mengirimkan informasi
kepada dua relay dan dua relay tersebut berkooperatif untuk mengirimkan kembali
ke tujuan. Gambar 2.2d menjelaskan relay kanal interferensi. Kasus ini terjadi
apabila sumber dekat dengan relay dan relay dekat dengan tujuan saling
berkooperatif dalam menerima informasi. Konfigurasi ini dengan tujuan
mengatasi interferensi antar cluster.
S
R
T
S
R
T
(a) (b)
6
S
R 1
T
R 2 S
R 1
T
R 2
(c) (d)
Gambar 2.2. Konfigurasi sistem komunikasi kooperatif :
(a). Relay kanal akses jamak; (b). Relay kanal tersebar
(c). Relay kanal paralel; (d). Relay kanal interferensi
Penerapan dari konfigurasi sistem komunikasi kooperatif tersebut telah
banyak dilakukan di berbagai bidang penelitian. Salah satunya adalah penerapan
dalam pengkodean blok berdasarkan ruang dan waktu (STBC). An et al (2007)
meneliti tentang pengiriman kode blok Alamouti STBC dengan menerapkan
konfigurasi pada Gambar 1. Hasil yang dicapai adalah terjadi penurunan BER
yang cukup signifikan apabila dibandingkan kode blok Alamouti tersebut
dikirimkan tanpa melalui komunikasi kooperatif.
Dalam sistem komunikasi kooperatif ada dua metode relay yang biasa
digunakan yaitu :
a. Metode amplify and forward (AF)
Pada metode AF, sumber mengirim sinyal informasi ke relay. Sinyal yang
diterima oleh relay bercampur dengan noise dikuatkan amplitudonya untuk
mengkompensasi akibat adanya fading pada transmisi dan selanjutnya
dikirimkan ke tujuan. Pada tujuan diperlukan pengetahuan keadaan kanal
untuk mendapatkan kembali sinyal informasi yang dikirimkan.
b. Metode decode and forward (DF)
Pada metode DF, sumber mengirimkan informasi ke relay. Sinyal yang
7
diterima oleh relay kemudian didekodekan dan selanjutnya dikirimkan ke
tujuan. Dalam mendekodekan kembali sinyal yang diterima kemungkinan
terjadi error, untuk mengatasi maka diperlukan metode koreksi kesalahan
yaitu forward error correction (FEC).
2.2. Jaringan Ad-Hoc Nirkabel Jaringan ad-hoc nirkabel adalah kumpulan node yang bergerak tanpa
memiliki infrastruktur yang membentuk jaringan temporer. Dalam membentuk
jaringan tersebut dipergunakan beberapa teknik routing. Secara garis besar
terdapat dua teknik routing dalam jaringan ad-hoc yaitu (Wu and Harms, 2001) :
a. Proactive routing
Routing yang memelihara rute untuk semua kemungkinan tujuan tanpa
memperhatikan apakah node tersebut diperlukan atau tidak. Artinya
protokol routing harus secara periodik mengirim pesan kontrol untuk
memelihara informasi rute yang benar. Proactive routing biasa disebut
dengan table driven protocol. Tiap-tiap node dalam protokol ini biasanya
mempunyai semua atau sebagian informasi topologi.
b. Reactive routing
Reactive routing biasa disebut dengan istilah on demand protocol. Protokol
ini memulai menemukan rute tergantung dari kebutuhan data trafik. Rute-
rute tersebut dipergunakan hanya untuk node tujuan yang diharapkan.
Pendekatan rute ini secara drastis meneurunkan overload dari setiap rute
apabila jaringan tidak berubah. Metode ini setiap node mempunyai sedikit
informasi mengenai topologi. Sehingga tanpa pengetahuan yang lengkap
dan akurat dari informasi topologi maka akan sulit menemukan node
disjoint untuk lintasan jamak.
Dalam suatu routing terdapat router yang bertugas untuk membaca alamat
tujuan dari suatu paket data yang datang kemudian disesuaikan dengan informasi
yang terdapat pada router selanjutnya paket data tersebut dikirim ke node tujuan.
Pada skema routing tradisional bahwa semua trafik dikirim melalui lintasan
tunggal. Sehingga akan terjadi congestion apabila lintasan tersebut memiliki
8
kapasitas yang lebih kecil dari paket data yang masuk. Untuk hal tersebut maka
strategi multipath routing digunakan supaya trafik dari paket data dibagi menjadi
beberapa lintasan. Multipath routing tersebut bertujuan mengurangi terjadinya
congestion pada lintasan. Teknik multipath routing tersebut dapat dijelaskan pada
Gambar 2.3 (Medhi and Ramasamy, 2007).
Dari Gambar 2.3 tersebut dijelaskan bahwa dari node1 (sumber) akan
mengirimkan paket data ke node 6 (tujuan). Pada setiap link berisi trafik. Trafik
dari node 1 ke node 6 dapat melewati beberapa lintasan node disjoint diantaranya
adalah lintasan node disjoint 1-2-3-6, 1-2-3-5-6, 1-2-4-3-6, 1-2-4-5-6, dan 1-4-5-
6.
1
4 5
6
322
2
1
1 1
1
11 1
Gambar 2.3. Multipath routing
Selain untuk mengurangi congestion pada link, multipath routing
bertujuan untuk mengantisipasi apabila lintasan yang satu mengalami kegagalan
maka diperlukan lintasan yang lain untuk mengirimkan paket data ke tujuan. Pada
lintasan jamak yang menghubungkan node sumber ke node tujuan maka sumber
dapat melakukan beberapa tugas yaitu (Kesidis, 2007) :
1. Mengirimkan pada satu lintasan.
2. Menyeimbangkan beban secara dinamis dengan memilih satu lintasan
untuk tiap paket atau berkelompok untuk mengirimkan paket.
3. Mengirimkan tiap paket kepada lebih dari satu lintasan.
9
2.3. Propagasi Nirkabel
Apabila daya terima ππ suatu node melalui kanal nirkabel telah ditentukan
maka pada jarak sejauh π pada kondisi ruang bebas maka daya pancar (konsumsi
daya) dapat dihitung malalui persamaan berikut (Rappaport, 2002) :
ππ =ππ πΊππΊπ
οΏ½π
4πποΏ½β2
(2.1)
di mana :
ππ = konsumsi daya
ππ = daya terima
πΊπ = gain antena pemancar
πΊπ = gain antena penerima
π = jarak antara pemancar dan penerima
π = panjang gelombang sinyal
Secara umum maka persamaan konsumsi daya dapat ditulis sebagai berikut :
ππ ~ ππ πΊππΊπ
οΏ½1ποΏ½ββ
(2.2)
Pangkat β dari persamaan (2.2) merupakan pangkat dari jarak lintasan yang
ditentukan oleh kondisi daerah dimana lintasan sinyal berada. Sebagai contoh
untuk daerah urban bershadowing n bernilai 3 sampai 5.
Salah satu ukuran yang menggambarkan kinerja sistem transmisi nirkabel
adalah daya radiasi efektif suatu pemancar. Daya radiasi efektif suatu pemancar
dapat dihitung melalui persamaan berikut (Rappaport, 2002) :
ππ = πππΊπ (2.3)
di mana :
ππ = daya radiasi efektif
10
ππ = konsumsi daya
πΊπ = gain antena pemancar
2.4. Optimasi Lintas Lapisan
Menurut model open system interconnection (OSI) ada tujuh lapisan
komunikasi seperti terlihat pada Gambar 2.4. Dari Gambar 2.4 dijelaskan bahwa
lapisan fisik adalah lapisan paling bawah yang berhubungan langsung dengan
media transmisi. Semakin ke atas lapisannya maka pengaruh terhadap media
transmisi semakin berkurang. Dari ketujuh lapisan komunikasi tersebut tiga
lapisan pertama yang menentukan dalam desain suatu sistem komunikasi.
Aplikasi Aplikasi
Presentasi Presentasi
Sesi Sesi
Transport Transport
Jaringan Jaringan
Data Link Data Link
FisikFisik
Host A Host B
PROTOKOL
Antar Muka
Lapisan 7
6
5
4
3
2
1
Gambar 2.4. Tujuh lapisan OSI
Berikut ini akan dijelaskan fungsi atau tugas masing-masing tiga lapisan
pertama tersebut (Haykin, 2005).
Lapisan fisik
11
Bertugas mengirimkan informasi dari sumber ke tujuan. Pada lapisan fisik
ada tiga komponen utama dalam sistem komunikasi yaitu pemancar, kanal,
dan penerima.
Lapisan data link
Bertugas memperbaiki kesalahan atau mendeteksi. Ada sub lapisan medium
access control (MAC) yang bertugas mengatur akses dari sistem
komunikasi. Metode aksesnya adalah : FDMA, TDMA, CDMA, dan SDMA.
Lapisan jaringan
Bertugas untuk menentukan routing dari informasi, mengontrol jaringan, dan
kualitas layanan.
Untuk mengoptimalkan kinerja sistem maka fungsi atau tugas dari tiap-
tiap lapisan perlu diadaptasikan yang dikenal dengan istilah lintas lapisan. Tujuan
dari lintas lapisan tersebut tergantung dari besaran pada lapisan yang mau
diadaptasikan. Sebagai contoh, kinerja yang ingin dioptimalkan adalah
mengurangi konsumsi daya dan pemilihan rute maka lintasan yang akan
beradaptasi adalah lintasan fisik dan jaringan.
2.5. Optimasi Permasalahan Jamak (MOO)
Definisi yang paling sederhana tentang optimasi yaitu proses mencari
solusi yang terbaik dari permasalahan optimasi. Permasalahan optimasi ada yang
berupa memaksimalkan atau meminimalkan fungsi obyektif. Solusi yang terbaik
pada proses optimasi adalah mencari solusi yang optimal.
Permasalahan dalam membuat keputusan dalam MOO, memungkinkan
terjadinya kompromi (tradeoff) terhadap beberapa permasalahan yang saling
kontradiktif. MOO diperkenalkan oleh Vilfredo Pareto. Dalam permasalahan
MOO terdapat vektor fungsi obyektif. Setiap fungsi obyektif adalah fungsi dari
vektor solusi. Secara matematis persamaan dari permasalahan MOO dapat ditulis
sebagai berikut (Erhgott, 2005) :
min {π1(π₯),π2(π₯), β¦ ,ππ(π₯)} subject to : π₯ β π
(2.4)
di mana :
12
n = banyaknya fungsi obyektif
π = himpunan yang layak
ππ = fungsi obyektif ke- n
π₯ = solusi
min = meminimalkan suatu obyek gabungan
Metode untuk menyelesaikan permasalahan MOO dapat diklasifikasikan
menjadi dua yaitu metode skalarisasi dan Pareto (Weck, 2004). Metode skalarisasi
dan Pareto adalah metode yang berbeda. Berikut ini akan dijelaskan masing-
masing metode tersebut.
2.5.1. Metode Skalarisasi
Metode skalarisasi dibuat solusi tunggal dan pembobot terlebih dahulu
ditentukan sebelum proses optimasi. Metode skalarisasi ada beberapa macam
yaitu weighted sum approach (WSA), compromise programming, physical
programming, goal programming, dan fuzzy logic. Salah satu metode skalarisasi
yang paling banyak digunakan adalah metode weighted sum approach (WSA)
karena metode ini lebih mudah dianalisis. Metode WSA, menggabungkan fungsi
multi obyektif menjadi solusi fitness skalar seperti pada persamaan berikut
(Murata et al, 1996) :
π(π₯) = π€1π1(π₯) + π€2π2(π₯) + β―+ π€πππ(π₯) (2.5) di mana :
n = banyaknya fungsi obyektif
π(π₯) = fungsi fitness
ππ(π₯) = fungsi obyektif ke - n
π₯ = solusi
π€π = bobot ke - n
Bobot suatu fungsi obyektif akan menentukan solusi dari fungsi fitness tersebut.
Merubah suatu bobot dari fungsi obyektif tersebut maka menyebabkan
berubahnya solusi dari fungsi fitness.
13
2.5.2. Metode Pareto
Pada metode Pareto menjaga elemen dari vektor solusi secara terpisah
(independen) selama optimasi dan adanya konsep dominasi untuk membedakan
solusi dominasi (inferior) dan tidak didominasi (non inferior). Solusi dominasi
dan Nilai optimal pada MOO biasanya tercapai apabila salah satu fungsi obyektif
tidak dapat meningkat tanpa mengurangi fungsi obyektif yang lain. Kondisi ini
biasa disebut Pareto optimality. Kumpulan beberapa solusi optimal dalam MOO
disebut Pareto optimal solution. Di dalam Pareto optimal solution terdapat istilah
solusi tidak terdominasi (non inferior) atau Pareto efficient. Sedangkan solusi
dimana suatu fungsi obyektif dapat ditingkatkan tanpa mengurangi fungsi
obyektif yang lain disebut non Pareto optimal solution. Solusi ini disebut dengan
solusi dominasi (inferior). Secara matematis, permasalahan MOO dapat
diselesaikan apabila telah ditemukan sekumpulan Pareto optimal solution
(Erhgott, 2005).
Untuk optimasi dengan dua fungsi obyektif maka solusi tidak terdominasi
dapat digambarkan dalam Pareto optimal front (POF) dalam bidang datar (dua
dimensi) (Chong dan Zak, 2008). Sebagai contoh fungsi obyektifnya adalah
meminimalkan konsumsi daya dan meminimalkan load variance. Maka solusi
tidak terdominasi dapat dilihat pada Gambar 2.13.
Sedangkan untuk optimasi dengan tiga fungsi obyektif maka solusi tidak
terdominasi dapat digambarkan dalam Pareto optimal front dalam bidang ruang
(tiga dimensi). Apabila optimasi dengan fungsi obyektif lebih dari tiga maka
solusi non dominated tidak dapat digambarkan ke dalam Pareto optimal front
(Pernodet dkk, 2009).
Gambar 2.13 menjelaskan bahwa titik-titik solusi yang mewakili lintasan
komunikasi nirkabel ad-hoc multihop. Sebagai contoh titik 1-3-9-32 yang berarti
komunikasi dari node 1 (source) melewati node 3 dan node 9 (sebagai relay)
sebelum sampai node 32 (destination) merupakan salah satu lintasan atau node
disjoint dari jaringan ad-hoc tersebut.
Sebelum mencari nilai optimal maka perlu diketahui beberapa istilah yang
terdapat di dalam Pareto optimal solution. Istilah-istilah tersebut adalah sebagai
berikut :
14
a. Titik Anchor
Titik anchor merupakan titik dengan nilai terbaik dari salah satu fungsi
obyektif.
b. Titik Utopia
Titik Utopia merupakan titik dari perpotongan nilai maksimal/minimal
suatu fungsi obyektif dan nilai maksimal/minimal suatu fungsi
obyektif yang lain.
c. Titik Dominasi dan Tidak Didominasi
Titik dominasi dan tidak didominasi dapat diketahui dari
membandingkan dua buah solusi, sebagai contoh p3 dan p9, yang
terdapat pada Pareto optimal solution. Sebuah solusi p3 dikatakan
dominasi dari solusi p9 apabila kedua kondisi dibawah ini benar yaitu
(Deb, 2001):
- Solusi p3 tidak buruk dibandingkan p9 dalam semua fungsi
obyektif.
- Solusi p3 lebih baik dibandingkan dengan solusi p9 untuk paling
sedikit satu fungsi obyektif.
Load
Variance **
**
*
*
* Solusi tidakterdominasi
Solusi dominasi
POF
Titik Utopia
Jarak Euclidean
Contoh :1-3-9- 32
Titik Anchor
Konsumsi Daya
p1
p2
p3
p4p5 p6
p7
p8
p9p10
p11
p12
p13
p14
p16
p15
Gambar 2.5. POF untuk dua fungsi obyektif
15
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini memaparkan metode penelitian dalam Hibah Bersaing 2015 ini
yaitu perumusan protokol komunikasi kooperatif berdassarkan kriteria
permasalahan jamak lintas lapisan. Kriteria permasalahan jamak lintas lapisan
tersebut diformulasi menjadi MOO. Selanjutnya dilakukan simulasi untuk
mengetahui kinerja protokol komunikasi kooperatif dengan kriteria permasalahan
jamak lintas lapisan yang diformulasi menjadi MOO yang diselesaikan dengan
metode Pareto.
3.1. Pemodelan Sistem Dan Protokol
Model jaringan ad hoc yang digunakan adalah satu source, satu
destination, dan multi relay. Semua node berada pada ruang terbuka dengan luas
100 m Γ 100 m. S mengirimkan paket data secara broadcast ke D dibantu oleh
multi relay node. Pada studi ini, ditentukan sebanyak 30 node memiliki peluang
menjadi relay. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Dalam studi ini setiap node dapat bertindak sebagai source (S), relay (R), dan
destination (D). Ciri-ciri dari model sistem ini adalah :
β’ Tiap-tiap node mengunakan antena tunggal dengan radiasi omnidirectional.
β’ Relay dalam melakukan komunikasi kooperatif menggunakan metode AF.
β’ Metode pengiriman paket berdasarkan half duplex.
β’ Transmisi dilakukan dalam fase transmisi langsung dan satu atau lebih fase
transmisi kooperatif.
β’ Daya pancar S dan R dianggap sama sebesar π.
β’ Model kanal yang digunakan adalah model path loss yaitu distance power
law yang dipengaruhi oleh shadowing (Gunantara dan Hendrantoro, 2013).
β’ Noise yang mempengaruhi adalah noise AWGN dengan varian π0.
16
S
D1
N
8
7
6
5
4
3
2
Gambar 3.1. Model sistem
Kami asumsikan dalam protokol ini masing-masing node menyiarkan
informasi tentang daya yang diterima dan beban trafik dari node lain secara
bergantian sehingga masing-masing node mengetahui daya terima setiap node
berupa tabel daya yang diterima. Protokol komunikasi dimulai dari source
mengirimkan paket secara broadcast. Terdapat dua macam lintasan yaitu lintasan
langsung dan lintasan kooperatif dengan hanya dibatasi satu relay. Himpunan
semua lintasan tersebut merupakan populasi (P) solusi. Dalam mencari solusi
tidak didominasi dilakukan dengan cara Continuously Updated. Terakhir, memilih
dua solusi tidak didominasi dengan Euclidean distance terkecil. Untuk lebih
jelasnya protokol ini dapat dilihat pada Gambar 3.2.
17
STransmit
Mulai
Selesai
Langsung :S - D
Kooperatif :S - R - D
Metode Pareto : Continuously Updated
Euclidean Distance Terkecil
P = { Langsung,Kooperatif }
Gambar 3.2. Diagram alir protokol diversitas kooperatif
3.2. Parameter Simulasi
Untuk mewujudkan model sistem dalam pemilihan relay dan pasangan
lintasan serta protokol diversitas kooperatif maka dilakukan simulasi. Parameter-
parameter yang digunakan untuk melakukan simulasi diambil berdasarkan
penerapan WLAN pada jaringan ad hoc nirkabel yang ditunjukkan pada Tabel 4.1.
Tabel 3.1. Parameter Simulasi
Parameter : Value
Path loss exponent , βπ : 4
Standard deviation of shadowing, π : 8 dB
Power Transmit, π : 1 W
18
Transmit antenna gain, πΊπ‘ : 2 dB
Receive antenna gain, πΊπ : 2 dB
Frequency, π : 2.5 GHz
Noise, π0 : - 101 dBm
Spectral Efficiency, π : 4 Mbps/Hz
19
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini memaparkan hasil yang dicapai berupa protokol pemilihan lintasan
diversitas kooperatif pada jaringan ad hoc nirkabel dengan kriteria permasalahan
jamak lintas lapisan dengan metode Pareto.
4.1. Kriteria Permasalahan Jamak
Pemilihan relay yang akan digunakan didasarkan pada kombinasi dua
kriteria, yaitu SNR dan varians beban trafik untuk setiap kemungkinan relay node.
Formulasi dari kedua kriteria tersebut beserta protokol diversitas kooperatif
dengan metode Pareto akan dijabarkan sebagai berikut. Terdapat 5 kemungkinan
hasil pemilihan path yaitu S-D only, S-R-D only, S-D and S-R-D, S-R1-D and S-
R2-D, dan no connection. Kemungkinan hasil pemilihan path dapat dilihat pada
Gambar 4.1.
S D
S D
R
S D
R
S D
R1
R2
(a) S-D only (b) S-R-D only
(c) S-D and S-R-D
(d) S-R1-D and S-R2-D
Gambar 4.1. Kemungkinan hasil pemilihan path
20
4.1.1. SNR
Keberhasilan komunikasi dengan konfigurasi S-D dan S-R-D dengan relay
AF ditentukan besarnya nilai kapasitas kanal terhadap spektral efisiensi π. Nilai
kapasitas kanal dari metode AF dapat dihitung dengan persamaan berikut :
πΆπ΄πΉ = 12 log(1 + πΎ)
= 12 logοΏ½1 + πΎπ ,π + πΎππ,ποΏ½
= 12 log οΏ½1 + πΎπ ,π + πΎπ ,ππ πΎππ,π
πΎπ ,ππ +πΎππ,π+1οΏ½
(4.1)
Dari persamaan (4.1) maka kapasitas kanal akan mencapai nilai optimal apabila
nilai πΎππ,π optimal juga. Sehingga untuk mencapai nilai πΎππ,π optimal maka
dibutuhkan relay yang memberikan nilai optimal. Relay terbaik diberikan oleh
nilai πΎπππ‘ optimal. Secara matematis dapat ditulis menjadi (Zhao dkk, 2006) :
πΎπππ‘ = arg max οΏ½πΎπ ,ππ πΎππ,π
πΎπ ,ππ +πΎππ,π+1οΏ½ (4.2)
di mana subscript πππ‘ berarti nilai optimal.
4.1.2. Load Variance Load variance, yaitu varians beban trafik semua node, berbanding terbalik
dengan load balance atau fairness (Wong dkk, 1982). Pada jaringan ad hoc
nirkabel, load balance menjadi sangat penting karena beberapa node mungkin
memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menjadi relay. Pada pasangan
lintasan dimana node π digunakan sebagai relay maka beban node π tersebut
menjadi :
π΅π = π΅ππ + π΅ππ (4.3)
dengan π΅ππ dan π΅ππ berturut-turut adalah beban trafik dirinya sendiri dan beban
trafik yang menuju ke node π tesebut.
Setelah beban setiap node diketahui maka load variance pasangan lintasan
dapat ditinjau berdasarkan varians dari beban tiap node yang dihitung untuk
21
semua node di dalam pasangan lintasan tersebut. Nilai load variance tersebut
dapat diketahui dengan menghitung load balance dengan persamaan berikut
(Wong dkk, 1982):
ππππ‘ =1ποΏ½οΏ½π΅π β οΏ½
1ποΏ½π΅π
π
π=1
οΏ½οΏ½
2π
π=1
(4.4)
4.2. Protokol Komunikasi Kooperatif Dengan Metode Pareto Untuk permasalahan yang saling berlawanan, dimana untuk permasalahan
SNR adalah dimaksimalkan dan permasalahan load variance adalah diminimalkan
dapat digunakan metode Pareto dalam mencari solusi Pareto optimal front. Jika
jumlah node total (termasuk pasangan source dan destination) adalah π, maka
terdapat 1 solusi single-hop dan (π β 2) solusi 2-hop. Secara matematis kedua
permasalahan tersebut dapat ditulis sebagai berikut (Ehrgott, 2005) :
πΎπππ‘ = max οΏ½πΎ1,πΎ2, β¦ , πΎ(πβ2)οΏ½ (4.5)
ππππ‘ = min οΏ½π1,π2, β¦ ,π(πβ2)οΏ½
Optimasi dengan metode Pareto menjaga solusi pada Pareto optimal solution
untuk setiap permasalahan secara terpisah selama optimasi. Pada Pareto optimal
solution terdapat adanya konsep dominasi untuk membedakan solusi dominasi
(inferior) dan tidak didominasi (non inferior). Untuk optimasi dengan dua
permasalahan maka solusi tidak didominasi dapat digambarkan dalam POF bidang
datar (dua dimensi). Sedangkan untuk optimasi tiga permasalahan maka solusi
tidak didominasi dapat digambarkan dalam POF bidang tiga dimensi (Pernodet
dkk, 2009). POF untuk dua permasalahan yang meminimalkan dapat dilihat pada
Gambar 2.13 (Chong dan Zak, 2008).
Dalam penelitian ini, protokol komunikasi kooperatif dapat dilihat pada
Gambar 3.2. Protokol komunikasi dimulai dari source mengirimkan paket secara
broadcast. Terdapat dua macam lintasan yaitu lintasan langsung dan lintasan
kooperatif dengan hanya dibatasi satu relay. Himpunan semua lintasan tersebut
22
merupakan populasi (P) solusi. Dalam mencari solusi tidak didominasi dilakukan
dengan cara Exhaustive dan Continuously Updated. Exhaustive yaitu mengecek
semua solusi secara keseluruhan. Sedangkan Continuously Updated adalah
pendekatan terus diperbarui dalam mencari solusi tidak didominasi.
Pendekatan Continuously Updated (terus diperbarui) tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut (Deb, 2001) :
a. Inisialisasi himpunan lintasan tidak didominasi πβ² = {1}. Set counter π = 2.
b. Set π = 1.
c. Bandingkan solusi π dengan π yang terdapat pada πβ² untuk mencari solusi
yang lebih dominan.
d. Jika solusi π mendominasi solusi π, hapus anggota ke- π dari πβ². Jika π
kurang dari jumlah anggota πβ² tambahkan π dengan satu dan kembali ke
langkah c. Sebaliknya, maka lanjut ke langkah e.
Jika anggota ke- π dari πβ² mendominasi solusi π, tambahkan π dengan satu dan
kembali ke langkah b.
e. Masukkan solusi π ke dalam πβ² atau perbarui πβ² = πβ² βͺ {π}. Jika π < π,
dimana π adalah banyaknya solusi maka tambahkan π dengan satu dan
kembali ke langkah b. Sebaliknya, proses berhenti dan nyatakan πβ² sebagai
himpunan tidak terdominasi. Himpunan tidak terdominasi tersebut yang
membentuk POF.
Setelah POF terbentuk dari solusi tidak didominasi maka dipilih 2 (dua)
melalui Euclidean Distance terkecil. Dalam menentukan Euclidean Distance
terkecil dari titik Utopia ke titik-titik pada POF dapat menggunakan persamaan
berikut (Cohanim dkk, 2004) :
ππΈ = minοΏ½οΏ½πΎ β πΎβ
πΎπππποΏ½2
+ οΏ½π β πβ
ππππποΏ½2
(4.6)
di mana {πΎβ,πβ} adalah koordinat solusi-solusi Utopia untuk variabel SNR yang
dicari nilai maksimumnya dan variabel load variance yang dicari nilai
minimumnya, {πΎ,π} adalah koordinat solusi-solusi pada POF, dan {πΎππππ,πππππ}
adalah koordinat solusi-solusi normalisasi pada bidang permasalahan. πΎππππ dan
23
πππππ ditentukan berdasarkan nilai maksimum dari solusi tidak terdominasi πΎ,
sedangkan πππππ ditentukan berdasarkan nilai minimum dari solusi tidak
terdominasi π.
4.3. Hasil Simulasi Untuk simulasi perhitungan load variance, diasumsikan bahwa selain
source yang mengirim data ke destination terdapat lima node lain yang
mengirimkan data secara bersamaan ke node tujuan masing-masing. Akibatnya ada
beberapa node yang memiliki peluang lebih besar untuk menjadi relay karena
memiliki beban yang relatif lebih rendah. Dalam contoh ini lima pasangan node
tersebut menggunakan lintasan 4-12-31, 7-11-25, 10-19-23, 16-12-2, dan 25-20-6.
Diasumsikan bahwa source, node 4, node 7, node 10, node 16, node 25 masing-
masing mengirimkan data secara berturut-turut sebesar 5 Mbps, 3 Mbps, 8 Mbps, 7
Mbps, 2 Mbps, dan 11 Mbps. Sedangkan node-node lain diasumsikan memiliki
beban secara acak sebesar 2 Mbps, 7 Mbps, 12 Mbps, atau 17 Mbps.
Gambar 4.2 mengilustrasikan salah satu contoh hasil dari simulasi. Tanda
βsquareβ merupakan node source dan destination, βstarβ menandakan bahwa node
tersebut aktif atau sedang ada komunikasi dengan node lain, dan βcircleβ
merupakan node-node sebagai relay.
Untuk simulasi dengan algoritma continuously update ini dihasilkan solusi
tidak didominasi berjumlah lima yaitu π1β² lintasan (S-11-D) dengan nilai SNR =
25.55 Mbps dan load variance 43,1396 Mbps2, π2β² lintasan (S-28-32) dengan nilai
SNR = 24.33 Mbps dan load variance 41,58 Mbps2, π3β² lintasan (S-12-D) dengan
nilai SNR = 27.23 Mbps dan load variance 45,64 Mbps2, π4β² lintasan (S-20-D)
dengan nilai SNR = 36.61 Mbps dan load variance 46.26 Mbps2, π5β² lintasan (S-22-
D) dengan nilai SNR = 25.91 Mbps dan load variance 44,70 Mbps2. Solusi tidak
didominasi hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 4.3.
24
Gambar 4.2. Model jaringan ad hoc nirkabel
Gambar 4.3. POF jaringan ad hoc nirkabel
Untuk memilih dua solusi tidak didominasi sebagai pasangan lintasan maka
dilakukan dengan mencari jarak euclidean terkecil. Nilai jarak Euclidean untuk
solusi tidak didominasi π1β², π2β², π3β²,π4β², dan π5β² berturut-turut adalah 0.1087, 0.3792,
0.4251, 0.4347, dan 0.4808. Sehingga dua pasangan lintasan yang terpilih
berdasarkan nilai jarak Euclidean tekecil adalah π1β² lintasan (S-11-D) dan π2β²
lintasan (S-28-32). Dua pasangan lintasan terbaik untuk pasangan lintasan
kooperatif dapat dilihat pada Gambar 4.4.
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 1000
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
node position (m)
node
pos
ition
(m)
S 2
3
4
5
6
7 8
9
10 11
12
13 14 15
16
17 18
19
20 21
22 23
24
25 26 27 28
29 30
31 D21
43
5 10 15 20 25 30 35 4041
42
43
44
45
46
47
48
49
SNR (Mbps)
Load
Var
ianc
e (M
bps2 )
1
2
3
4
5
25
Gambar 4.4. Pasangan lintasan terbaik
Simulasi dilakukan sebanyak 1000 kali dengan posisi dan beban node yang
acak untuk mengetahui distribusi dari masing-masing kriteria dan dibandingkan
dengan metode skalarisasi. Hasil simulasi yang dilakukan sebanyak 1000 kali
ditampilkan pada Gambar 4.5 sampai Gambar 4.6. Nilai cdf (cumulative
distribution function) dari SNR pada protocol diversitas kooperatif dapat dilihat
pada Gambar 4.5. Dari Gambar 4.5 tersebut dapat dijelaskan bahwa nilai SNR dari
metode Pareto yang diusulkan berkisar 23.5 sampai 48.5 dB. Sebagai perbandingan
ditampilkan juga nilai SNR yang dilakukan dengan metode skalarisasi [15]. Nilai
SNR yang dihasilkan adalah berkisar 18.5 sampai 45 dB. Dari hasil tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa dengan protokol yang diajukan diperoleh nilai SNR lebih
besar dibandingkan dengan metode skalarisasi.
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 1000
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
node position (m)
node
pos
ition
(m)
S
2
3
4
5
6
7 8
9
10 11
12
13 14 15
16
17 18
19
20 21
22 23
24
25 26 27 28
29 30
31 D21
43
26
Gambar 4.5. CDF dari SNR
Selanjutnya dianalisa nilai cdf dari load variance dimana hasil simulasinya
dapat dilihat pada Gambar 4.6. Nilai load variance dari protokol yang diusulkan
diperoleh berkisar 38.51 sampai 50.39 Mbps2. Sedangkan dengan metode
skalarisasi diperoleh nilai load variance berkisar 39.20 sampai 51.26
Mbps2. Gambar 4.6 menunjukkan bahwa nilai load variance dengan protokol yang
diusulkan lebih kecil dibandingan load variance dengan metode skalarisasi. Hal
ini disebabkan oleh beban trafik dari node-node pada protokol yang diusulkan
lebih terdistribusi dibandingkan beban trafik dari node-node dengan protokol
dengan metode skalarisasi.
Gambar 4.6. CDF of Load Variance
15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 6510
-3
10-2
10-1
100
SNR (dB)
Pro
b[S
NR
<=
absc
issa
]
ParetoScalarization
38 40 42 44 46 48 50 520
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Load Variance (Mbps2)
Pro
b[Lo
ad V
aria
nce
<= a
bsci
ssa]
ParetoScalarization
27
4.4. Kesimpulan Berdasarkan analisa hasil simulasi dari protocol diversitas kooperatif yang
diusulkan maka dapat dibuat beberapa kesimpulan. Pertama, pemilihan pasangan
lintasan terbaik dilakukan dengan metode Pareto yaitu algoritma continuously
updated berdasarkan dua kriteria permasalahan jamak yaitu SNR dan load
variance. Dua pasangan lintasan terbaik dihasilkan melalui solusi tidak didominasi
yang memiliki jarak Euclidean terkecil. Kedua, nilai SNR dengan algoritma yang
diusulkan lebih besar dibandingkan dengan metode skalarisasi. Terakhir, nilai
load variance dengan menggunakan protocol yang diusulkan lebih kecil
dibandingkan dengan protokol skalarisasi. Ini berarti bahwa komunikasi dengan
protocol yang diusulkan mengakibatkan beban trafik menjadi terdistribusi lebih
merata.
27
BAB V
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil pada laporan akhir ini adalah :
1. Pemilihan lintasan sebagai solusi tidak didominasi untuk membentuk POF
dilakukan dengan cara Continuously Updated berdasarkan dua kriteria
permasalahan jamak yaitu SNR dan load variance.
2. Dua pasangan lintasan terbaik dihasilkan melalui solusi tidak didominasi
yang memiliki jarak Euclidean terkecil.
3. Nilai SNR dengan algoritma yang diusulkan lebih besar dibandingkan dengan
metode skalarisasi.
4. Nilai load variance dengan menggunakan protocol yang diusulkan lebih kecil
dibandingkan dengan protokol skalarisasi. Ini berarti bahwa komunikasi
dengan protocol yang diusulkan mengakibatkan beban trafik menjadi
terdistribusi lebih merata.
28
DAFTAR PUSTAKA
April, J., Glover F., Kelly, J. P., dan Laguna, M., Practical Introduction to
Simulation Optimization, (2003), Proceedings of the 2003 Winter
Simulation Conference.
Bletsas, A., Lippman, A., and Reed, D. P., (2005), A Simple Distributed
Method for Relay Selection in Cooperative Diversity Wireless Networks,
based on Reciprocity and Channel Measurements, Proceedings of the
IEEE Vehicular Technology Conference Spring, Stockholm, Sweden.
Boyd, S., dan Vandenberghe, L., (2004), Convex Optimization, Cambridge
University Press.
Chen, W., Dai, L., Letaief, K. B., and Cao, Z., (2008), A Unified Cross Layer
Framework for Resource Allocation in Cooperative Networks, IEEE
Transc. on Wireless Communications, vol. 7, no. 8.
Chong, E. K. P., and Zak, S. H., (2008), An Introduction to Optimization, Third
Edition, John Wiley & Sons, USA.
Cohanim, B. E., Hewitt, J. N., and de Weck, O., (2004), The Design of Radio
Telescope Array Configurations Using Multiobjective Optimization:
Imaging Performance versus Cable Length, The Astrophysical Journal
Supplement Series, vol. 154, issue 2, pp. 705-719.
Cui, S., Goldsmith, A. J., and Bahai, A., (2004), Energy-efficiency of MIMO
and Cooperative MIMOTechniques in Sensor Networks, IEEE Journal
On Selected Areas In Communications, vol. 22, no. 6.
Deb, K., (2001), Multi-Objective Optimization using Evolutionary Algorithms,
John Wiley & Sons, England.
Ding, L., Melodia, T., Batalama, S. N., and Matyjasy, J. D., (2010), Distributed
Routing, Relay Selection, and Spectrum Allocation in Cognitive and
Cooperative Ad Hoc Networks, Proceedings of the Seventh Annual IEEE
Communications Society Conference on Sensor, Mesh and Ad Hoc
Communications and Networks, Boston.
Ehrgott, M., (2005), Multicriteria Optimization, Springer, Germany.
29
Gunantara, N. and Hendrantoro, G. βMulti-Objective Cross-Layer Optimization
with Pareto Method for Relay Selection in Multihop Wireless Ad hoc
Networks,β WSEAS Transaction on Communications, issue 3, vol. 12,
March 2013
Gunantara, N. and Hendrantoro, H. βMulti-Objective Cross-Layer Optimization
for Selection of Cooperative Path Pairs in Multihop Wireless Ad hoc
Networks,β Journal of Communications Software and Systems, vol. 9, no.
3, September 2013
Gunantara, N. Sastra,N. P., and Hendrantoro, G. βCooperative Diversity Path
Pairs Selection Protocol with Multi Objective Criterion in Wireless Ad
Hoc Networks,β International Journal of Applied Engineering Research,
vol. 9, no. 23, 2014.
Elmusrati, M., El-Sallabi, H., and Koivo, H., (2008), Applications of Multi-
Objective Optimization Techniques in Radio Resource Scheduling of
Cellular Communication Systems, IEEE Transc. on Wireless
Communication, vol. 7, no. 1.
Haykin, S., and Moher, M., (2005), Modern Wireless Communication, Pearson
Prentice Hall, USA.
Honcharenko, W., Bertoni, H. L., and Dailing, J., (1993), Mechanisms
governing propagation between different floors in buildings, IEEE
Transc. On Antennas and Propagation, vol. 41, no. 6.
Hong, Y. W. P. , Huang, W. J., and Kuo, C. C. J., βCooperative
Communications and Networking,β Springer, London, 2010
Huang, J., Han, Z., Chiang, M., and Poor, H. V., (2008), Auction-Based
Resource Allocation for Cooperative Communications, IEEE Journal on
Selected Areas in Comm. vol. 26, no. 7, 2008.
Iranmanesh, H., Skandari, M. R., dan Allahverdiloo, M., (2008), Finding Pareto
Optimal Front for the Multi-Mode Time, Cost Quality Trade-off in
Project Scheduling, World Academy of Science, Engineering, and
Technology, 40.
Iyer, S., Bhattacharyya, S., Taft, N., McKeoen, N., and Diot, C., (2002), A
measurement Based Study of Load Balancing in an IP Backbone, Sprint
30
ATL Technical Report, TR02-ATL-051027.
Karkkainen, A. S., Miettinen, K., and Vuori, J., (2006), Best Compromise
Solution for a New Multiobjective Scheduling Problem, Elsevier:
Computers & Operations Research, vol. 33, pp 2353β2368.
Kesidis, G., (2007), An Introduction to Communication Network Analysis, John
Wiley & Sons, New Jersey.
Laneman, J. N., Tse, D., and Wornell, G. W., (2004), Cooperative diversity
in wireless networks: Efficient protocols and outage behavior, IEEE
Trans. Inf. Theory, vol. 50, no. 12, pp. 3062β3080.
Le, L., and Hossain, E., (2008), Cross layer optimization frameworks for
multihop wireless network using cooperative diversity, IEEE Trans. On
Wireless Communication, vol. 7, no. 7.
Li, X. E., (2009), Hop Optimization and Relay Node Selection in Multi-Hop
Wireless Ad-hoc Networks, LNCS Social Informatics and
Telecommunications Engineering, vol. 2, pp 161-174.
Medhi, D., and Ramasamy, K., (2007), Network Routing : Algorithms,
Protocol, and Architectures, Morgan Kaufmann, USA.
Meulen, V. D. E.C., (1986), Transmission of information in a T-terminal
discrete memorylesschannel. Ph.D. Thesis, Department of Statistics,
University of California, Berkeley, CA.
Murata, T. and Ishibuchi, H., (1996), Multi-Objective Genetic Algorithm and
its Application to Flow-Shop Scheduling, International Journal of
Computers and Engineering, vol. 30, no. 4.
Nosratinia, A., Hunter, T. E., and Hedayat, A., (2004), Cooperative
Communication in Wireless Networks, IEEE Commun Magazine, vol. 42,
no. 10, pp. 74-80.
Ozcelebi, T., (2006), Multi-Objective Optimization for Video Streaming, Ph.D
Thesis, Graduate School of Sciences and Engineering, Koc University.
Perkins, D.D, Hughes, H. D., and Owen, C. B., (2002), Factors Affecting the
Performance of Ad Hoc Networks, Proceedings of the IEEE International
Conference on Communications (ICC), pp.2048-2052.
Pernodet, F., Lahmidi, H., and Michel, P., (2009), Use of Genetic Algorithms
31
for Multicriteria Optimization of Building Refurbishment, Eleventh
International IBPSA Conference, Glasgow, Scotland.
Rappaport, T. S., (2002), Wireless Communication Principles and Practice,
Prentice-Hall, USA.
Rao, S. S., (2009), Engineering Optimization Theory and Practice, John Wiley
& Sons, New Jersey.
Roy, R. R., (2012), Handbook of Mobile Ad hoc Networks for Mobility Models,
Springer, London.
Runser, K. J., Comaniciu, C., and Gorcey, J. M., (2010), A Multiobjective
Optimization Framework for Routing in Wireless Ad Hoc Networks,
IEEE International Symposium on Conference Modeling and
Optimization in Mobile, Ad Hoc, and Wireless Networks (WiOpt).
Sendonaris, A. E., Erkip, E., and Aazhang, B., (2003), User cooperation
diversity-part I: system description and User cooperation diversity part II:
implementation aspects and performance analysis, IEEE Trans.
Commun., vol. 51, no. 11.
Shi, Y., Hou, Y. T., Sherali, H. D., and Kompella, S., (2006), Cross Layer
Optimization for UWB-Based Ad hoc Networks, Military
Communications Conference (MILCOM), pp. 1-7.
Weck, O. L. D., (2004), Multiobjective Optimization: History and Promise,
Proceedings of 3rd China-Japan-Korea Joint Symposium on
Optimization of Structural and Mechanical Systems, Kanazawa, Japan.
Wong, J. W., Sauve, J. P., and Field, J. A., (1982), βA Study of Fairness in
Packet Switching Networks,β IEEE Transactions on Communications,
vol. 30, no. 2, 1982.
Wu, K., and Harms, J., (2001), Performance Study of Multipath Routing
Method for Wireless Mobile Networks, Proceedings Ninth International
Symposium on Modeling, Analysis, and Simulation of Computer and
Telecommunication Systems.
Zhang, H. and Dai, H., (2004), On The Capacity of Distributed MIMO Systems,
Conference on Information Sciences and Systems, London.
Zhao, Y., Adve, R., and Lim, T. J., βSymbol Error Rate of Selection Amplify-
32
and-Forward Relay Systems, βIEEE Communications Letters, vol. 10, no.
11, Nov. 2006.