prosiding semnas dikta v - iain tulungagung · keterkaitan antar konsep terlihat ketika siswa...
TRANSCRIPT
i
PROSIDING SEMNAS DIKTA V
“Menumbuhkan Pola Pikir Kreatif dan Inovatif dalam Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi di Era
Revolusi Industri 4.0”
Tulungagung, 12 September 2019
ii
PROSIDING SEMNAS DIKTA V
“Menumbuhkan Pola Pikir Kreatif dan Inovatif dalam Pembelajaran
Matematika Berbasis Teknologi di Era Revolusi Industri 4.0”
Ketua Pelaksana : Ahmad Ifan Affandi Sekretaris : Sevi Afi Fatulhaniah Bendahara : Erfina Jamil Sie. Acara : Ayub Abdullah
Zufan Hakim Muzaki Mohammad Sulton Agustin Ajeng Yuliani Rif’atul Nuril Laily
Sie. Kesekretariatan : Priswanti Wulandari Nova Kurnia Audia Safitri Ana Wijiariska M. Junaidi Iis Afidah
Sie. Konsumsi : Zulia Lesti
M. Wanto Irawan Vivi Putri Lestari Rayna Yuniar Putri Fitri Anjar Wati Julita Windayu Ustantik Rochmad Harizqi. S Nurul Ni’mah Oktavia Eki Agustin
Sie. DPAT : Abi Khoirul Majid
M. Afif Alfiyan Taruvita Rosa. A Aliefia Dewi Arumsari Ulfatun Ni’mah M. Wahyu Santoso Andika Abdi Robbi. A. Mokhamad Muhsin Eria Kristiana M. Haikal Habib M. Susilo Sudarman
iii
Sie. Dekdok : M. Syifaul Mucharrom. A Yudhistira Pieter Pahlevi Ellya Nandita. T. Dhonny Prasetya. K. J. Nisa’ur Rohmah
Sie. Humas : Angga Agusta Lutfi Kurniawan Fauzi Agnis Mila Listanti M. Zakka Fahimi Nurliana Sefie Habibatun Nisa’ Lala Anjarsari Adinda Kurnia Dewi Iffa Sarah Fatehah Lailatul Wakhidah
Steering Committe : Dr. Hj. Binti Maunah, M.Pd.I. (Dekan FTIK) Dr. Fathul Mujib, M.Ag. (Wadek I FTIK) Dr. Khoirul Anam, M.Pd.I. (Wadek II FTIK) Dr. Muniri, M.Pd. (Wadek III FTIK) Reviewer: Dr. Ummu Sholihah, S.Pd., M.Si. Dr. Maryono, M.Pd. Beni Asyhar, S.Si., M.Pd. Editor: Mei Rina Hadi, M.Pd. Farid Imroatus Sholihah, S.Si., M.Pd. Dziki Ari Mubarok, M.Pd. Ahmad Ifan Afandi ISBN: 978-602-5618-77-2 Cetakan pertama, Juni 2020
Diterbitkan oleh: IAIN Tulungagung Press Jl. Mayor Sujadi Timur No.46, Tulungagung Telp: 081216178398
Email: [email protected]
iv
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih
lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas
kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat melaksanakan
dan menyelesaikan prosiding makalah SEMNAS DIKTA V
dengan tema “MENUMBUHKAN POLA PIKIR KREATIF DAN
INOVATIF DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS
TEKNOLOGI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0”
Seminar ini diikuti oleh dosen dan mahasiswa dari jurusan
matematika ,dalam rangka memberikan solusi dan pemikiran
untuk memperkuat peran Indonesia terutama oleh Guru dalam
menghadapi era revolusi industri 4.0.
Akhir kata kami mengucapkan terimakasih kepada IAIN
Tulungagung, Ketua dan Sekertaris Jurusan, Pemateri,
Pemakalah, Peserta, Panitia dan Sponsor yang telah berupaya
mensukseskan Seminar Nasional ini. Semoga Allah SWT
meridhoi usaha baik kita.
Tulungagung, September 2019
Penyusun
v
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................................... vi
ANALISIS BERPIKIR FUNGSIONAL SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL GEOMETRI BERDASARKAN GAYA BELAJAR .......................................................................................................................... 1
ANALISIS BERPIKIR MATEMATIS RIGOR (RIGORIOUS MATHEMATIC THINKING) DALAM MENYELESAIKAN SOAL BANGUN RUANG SISWA KELAS VIII MTS DARUL FALAH DITINJAU BERDASARKAN GAYA BELAJAR.................................................. 15
Analisis Kemampuan Komunikasi Matematis Berdasarkan Self- Efficacy Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Statistika .............................. 33
ANALISIS LITERASI MATEMATIS DITINJAU DARI KEMAMPUAN MATEMATIKA SISWA MTS DARUL HIKMAH TAHUN AJARAN 2018/2019................................................................................................................... 57
ANALISIS PEMAHAMAN SISWA BERDASARKAN TEORI PIERE-KIEREN DALAM MENYELESAIKAN BANGUN RUANG ............................ 85
BERPIKIR REFRAKTIF SISWA EXTROVERT-INTROVERT DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA NON RUTIN ................ 105
EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN ARCS BERBANTUAN MEDIA EDUTAINMENT TERHADAP HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK ....... 123
ETNOMATEMATIKA KESENIAN REYOG TULUNGAGUNG SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA SMP .................... 143
HUBUNGAN KEMANDIRIAN BELAJAR (SELF REGULATED LEARNING) DENGAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VIII PADA MATERI BANGUN RUANG SISI DATAR DI SMPN 1 KEDUNGWARU TULUNGAGUNG TAHUN AJARAN 2018/2019 .. 158
KARAKTERISTIK KEMAMPUAN KOMUNIKASI SISWA YANG MEMILIKI KECERDASAN LOGIS-MATEMATIS DALAM MENYELESAIKAN SOAL PISA (PROGRAMME FOR INTERNATIONAL STUDENTS ASSESMENT) .............................................. 172
KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA DITINJAU DARI KECERDASAN LINGUISTIK, LOGIS-MATEMATIS DAN VISUAL-SPASIAL .................. 196
KEMAMPUAN BERPIKIR SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL MATEMATIKA TIPE HOTS ................................................................................. 212
vii
KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL MATEMATIKA BERSTANDAR PISA DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF FIELD DEPENDENT DAN FIELD INDEPENDENT ........................................................................................................ 230
PENGEMBANGAN KONSEP MATHETHNIC GAME BERBENTUK CONGLAK GO PADA PELAJARAN TRANSFORMASI TITIK ................. 246
PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS APLIKASI ANDROID SEBAGAI SARANA BELAJAR UNTUK SISWA KELAS 12 ................................................................................... 263
PROFIL ANTISIPASI SISWA MTS DALAM MENYELESAIKAN MASALAH BANGUN RUANG DITINJAU BERDASARKAN KEMAMPUAN MATEMATIKA .......................................................................... 285
MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA SELF-REGULATED LEARNING (PMSRL) SEBAGAI UPAYA MENUMBUHKAN POLA PIKIR KREATIF DAN INOVATIF DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS IT DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 ...... 305
PERAN PENDIDIK DALAM MENUMBUHKAN KREATIFITAS DAN INOVASI MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS TEKNOLOGI DI ERA RI 4.0 ................................................................................ 315
1
ANALISIS BERPIKIR FUNGSIONAL SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL GEOMETRI BERDASARKAN
GAYA BELAJAR
Yuliana dan Nila Veronica Permatasari
[email protected] dan [email protected]
ABSTRAK
Berpikir fungsional adalah hal yang mendasar bagi setiap aspek matematika. Namun pada kenyataannya, banyak siswa yang dapat menyelesaikan permasalahan matematika namun belum mampu memaknai setiap prosesnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara berpikir fungsional dengan tipe gaya belajar siswa. Jenis penelitian ini adalah deskiptif kualitatif dengan intrumen utama peneliti sendiri dan instrumen pendukung adalah angket gaya belajar, soal tes, dan pedoman wawancara. Teknik pengumpulan datanya yaitu pemberian angket gaya belajar, tes, dan wawancara. Analisis data meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan karakteristik dari setiap gaya belajar siswa. Siswa dengan gaya belajar visual memiliki pekerjaan paling rapi; siswa dengan gaya belajar auditorial tidak mampu menerjemahkan soal dalam bentu gambar; dan siswa dengan gaya belajar kinestetik mempunyai pekerjaan yang kurang rapi. Dalam pembelajaran, sebaiknya guru memperhatikan tipe gaya belajar yang dimiliki siswa guna menyusun strategi pembelajaran dalam menumbuhkan pemikiran fungsional siswa dalam menyelesaikan masalah matematika.
Kata kunci: berpikir fungsional, gaya belajar, siswa
2
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
ABSTRACK
Functional thinking is fundamental to every aspect of mathematics.
But in reality, many students can solve mathematical problems but
have not been able to interpret each process. This study aims to
determine the relationship between functional thinking and the type
of student learning style. This type of research is descriptive
qualitative with the main instruments of the researchers themselves
and supporting instruments are learning style questionnaires, test
questions, and interview guidelines. The data collection techniques
are giving learning style questionnaires, tests, and interviews. Data
analysis includes data reduction, data presentation, and conclusion
drawing. The results of this study indicate the characteristics of each
student's learning style. Students with visual learning styles have the
neatest jobs; students with auditory learning styles are unable to
translate questions in the form of images; and students with
kinesthetic learning styles have less neat jobs. In learning, the
teacher should pay attention to the type of learning style students
have in order to develop learning strategies in fostering students'
functional thinking in solving mathematical problems.
Keywords: functional thinking, learning style, student
PENDAHULUAN
Berpikir fungsional adalah hal yang mendasar bagi setiap
aspek matematika dan setiap cabang ilmu lainnya [1]. Proses
berpikir pada siswa merupakan salah satu cara yang digunakan
untuk menyelesaikan masalah matematika dalam proses berikir
fungsional. Smith (2008) berpendapat bahwa berpikir
fungsional adalah representasi yang berpikir atas hubungan
antarkonsep yang saling ada keterkaitannya sehingga orang
tersebut akan mendapat suatu pengetahuan yang baru. Dengan
mengetahui permasalahan matematika dalam berpikir
fungsional, peneliti mengetahui proses berpikir siswa. Dalam
penyelesaian soal matematika siswa harus memahami
antarkonsep yang telah di dapatkan saat pembelajaran
3
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
berlangsung. Dengan demikian siswa dapat mengerjakan soal
dengan lancar tahap demi tahapnya. Dan penilaian soal dalam
matematika bukan hanya dalam jawaban akhirnya saja
melainkan proses yang dilalui ketika mendapatkan sebuah
jawaban akhir. [2]
Namun tidak semua siswa dapat merepresentasikan
hubungan antarkonsep pada setiap materi pelajaran
matematika. Berdasarkan hasil observasi peneliti, bahwa siswa
hanya terpaku pada rumus saat mengerjakan soal matematika,
terutama dalam materi geometri tanpa siswa bisa memaknai
setiap proses yang dilalui. Selain itu, dalam menyelesaikan
sebuah permasalah matematika, ada siswa yang bahkan tidak
mengerti sama sekali fungsi atau kegunaan dari materi yang
diterimanya, sehingga siswa acuh tak acuh dalam proses
pembelajaran. Permasalahan matematika pada siswa juga
sering di hadapi karena siswa belum paham akan materi yang
disampaikan oleh gurunya. Dan kurangnya motivasi siswa
mengakibatkan kurang semangatnya akan proses
pembelajaran. Karena pembelajaran yang ditekankan pada guru
adalah proses menghafal informasi bukan pada pengembangan
proses berfikir pada siswa. [2]
Matematika telah dikategorikan oleh Scandura (1971)
yaitu hanya memiliki tiga fokus: hal-hal (yaitu angka, bentuk,
dan variabel); hubungan antara hal-hal; dan transformasi
(perubahan) hal. Kekuatan matematika terletak pada hubungan
danntransformasi yang memunculkan pola dan generalisasi,
bukan dalam hal-hal. Matematika di sekolah juga lebih
berorientasi pada “produk berpikir” dan kurang memberi
perhatian pada proses berpikir itu sendiri. Suharnan (2005)
mengatakan bahwa berpikir didefinisikan sebagai proses
menghasilkan representasi mental yang baru melalui
transformasi informasi yang melibatkan interaksi kompleks
antara atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi,
penalaran, imajinasi, dan pemecahan masalah. Berdasarkan
4
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
pendapat ini bahwa proses berpikir siswa dalam belajar
matematika sangat penting sehingga diharapkan mampu
memahami materi matematika secara mendalam serta dapat
mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialaminya secara bertahap.
Menurut Marpaung (1986), dalam pembentukan algoritma,
tipe berpikir siswa terbagi menjadi proses berpikir tipe
predikatif dan tipe fungsional. Berpikir fungsional sangat
diperlukan dalam matematika karena merupakan salah satu
kunci utama dalam berpikir aljabar yang memuat generalisasi
fungsi. Dalam hal ini, Smith (2008) mendefinisikan berfikir
fungsional sebagai representasi berpikir yang berfokus pada
hubungan dua atau lebih variasi jumlah yang berpusat pada
hubungan secara umum yang pada akhirnya menghasilkan
sebuah fungsi. Blanton & Kaput (2011) mengatakan bahwa, “To
discuss the kinds of functional thinking found in classroom data:
(1) recursive patterning nvolves finding variation within a
sequence of values; (2) covariational thinking is based on
analyzing how two quan-tities vary simultaneously and keeping
that change as an explicit, dynamic part of a function’s description
(e.g., “as x increases by one, y increases by three”), and (3) a
correspondence relationship is based on identifying a correlation
between variables (e.g., “y is 3 times x plus 2”)”.
Pemikiran fungsional dianggap sebagai aktivitas kognitif
“yang berfokus pada hubungan antara dua (atau lebih) jumlah
yang bervariasi, khususnya jenis pemikiran yang mengarah dari
hubungan tertentu (insiden individu) untuk generalisasi
hubungan itu di seluruh instansi” [3], [4], [5]. Pemikiran seperti
itu melibatkan konstruksi, deskripsi dan penalaran dengan dan
tentang fungsi juga termasuk generalisasi tentang variabel yang
saling terkait [4], [5]. Berdasarkan hubungan fungsional yang
dibentuk dari perspektif matematika, Smith (2008)
mengusulkan tiga jenis pendekatan untuk bekerja dengan
fungsi: (a) pengulangan, yang memerlukan ditemukannya
variasi atau pola variasi dalam serangkaian nilai untuk suatu
5
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
variabel sedemikianrupa sehingga sebuah nilai spesifik dapat
diperoleh berdasarkan nilai sekarang atau nilai sebelumnya; (b)
korespondensi, dan (c)kovarisasi. Inti dari berpikir fungsional
adalah hubungan antara dua kuantitas tertentu; ini dapat
disebut sebagai aturan korespondensi [3]. Dengan demikian,
eksplorasi pemikiran fungsional harus bertahap dan terjadi
dalam jangka waktu lama.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengasah
kemampuan berpikir fungsional melalui penyelesaian masalah
matematika. Sebab ketika siswa menyelesaikan masalah
matematika membutuhkan pemahaman antar konsep
matematika. Pemahaman siswa yang kurang mengenai
keterkaitan antar konsep terlihat ketika siswa menyelesaikan
masalah matematika. Penyelesaian suatu masalah tidak hanya
memperhatikan jawaban akhir, tetapi proses penyelesaian juga
harus diperhatikan. Dalam menyelesaikan masalah matematika
diharapkan siswa melalui proses tahap demi tahap sehingga
terlihat alur berpikirnya.
Selain itu, gaya belajar yang digunakan oleh siswa juga
mempengaruhi proses menyelesaikan sebuah permasalah
matematika. Karena setiap siswa dengan gaya belajar yang berbeda
pasti juga punya pemikiran yang berbeda dalam menyelesaikan
sebuah permasalahan, tak terkecuali dengan masalah matematika.
Oleh karena itu, untuk bisa menyampaikan materi kepada siswa dan
membuat siswa bisa menyelesaikan permasalahan yang ada tanpa
hanya berpaku pada rumus, guru harus mengetahui tipe gaya belajar
yang dimiliki oleh siswanya.
Sedangkan gaya belajar ada 3 macam yaitu visual, auditorial,
dan kinestetik. [2] Gaya belajar visual adalah gaya belajar yang
harus menggunakan indra penglihatan untuk mengamati sebuah
objek dalam pembelajaran. Selain itu, gaya belajar auditorial
menggunakan indra pendengaran sebagai penangkap objek
pembelajarannya. Sedangkan untuk gaya belajar kinestetik adalah
gaya belajar yang melibatkan aktivitas fisik dalam pembelajarannya,
6
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
seperti belajar dengan cara bergerak ataupun menyenteuh objek
pembelajaran secara langsung.
Selanjutnya, berpikir fungsional yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara tipe gaya belajar
yang dimiliki oleh siswa dalam menyelesaikan permasalahan
matematika yaitu pada materi geometri. Gaya belajar yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah adalah gaya belajar visual,
gaya belajar audiotorial, dan gaya belajar kinestetik.
Penelitian tentang berpikir fungsional dalam matematika telah
banyak dilakukan sebelumnya, namun belum ada yang meneliti
terkait dengan berpikir fungsional siswa berdasarkan gaya belajar.
Sedangkan pada penelitian ini, peneliti membandingkan proses
berpikir fungsional siswa ditinjau dari gaya belajar yang mereka
terapkan dalam proses pembelajaran. Ini berbeda dengan penelitian
yang sebelumnya, seperti [2] yang meneliti tentang berpikir
fungsional siswa dalam menyelesaikan masalah matematika ditinjau
dari perbedaan jenis kelamin, Eisenmann (2009) meneliti tentang
kontribusi berpikir fungsional dalam membangun siswa dan [6]
yang meneliti tentang mengembangkan berpikir fungsional siswa
pada materi aljabar melalui visualisasi yang berbeda dari struktur
pola yang tumbuh pada siswa.
Untuk itu, perlu dilakukan penelitian tentang berpikir
fungsional siswa berdasarkan tipe gaya belajar yang digunakan
siswa terutama pada materi geometri. Dengan mengetahui gaya
belajar siswa, guru dapat mengetahui cara pengajaran yang tepat
dalam menyampaikan pelajaran. Guru bisa menggunakan gaya
belajar yang lebih dominan dimiliki oleh siswanya. Atau mungkin
guru dapat menerapkan ketiga gaya belajar tesebut agar
pembelajaran tidak kelihatan monoton.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan
aktivitas berpikir fungsional siswa dalam memecahkan soal
7
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
geometri berdasarkan gaya belajar. Penelitian ini dilakukan di
MTs Negeri 3 Blitar. Subjek dalam penelitian ini adalah 3 siswa
kelas VIII A MTs Negeri 3 Blitar yang terdiri dari 1 siswa dengan
gaya belajar visual, 1 siswa dengan gaya belajar auditorial, dan
1 siswa dengan gaya belajar kinestetik. Pengelompokkan siswa
didasarkan pada hasil memberikan angket gaya belajar kepada
semua siswa kelas VIII A MTs Negeri 3 Blitar.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
peneliti sebagai instrumen utama, angket gaya belajar, tes
kemampuan menyelesaikan soal geometri, dan pedoman
wawancara. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini, diantaranya: (1) memberikan angket gaya belajar
kepada siswa kelas VIII A MTs Negeri 3 Blitar, (2) memberikan
soal tes kemampuan menyelesaikan soal geometri kepada
subjek penelitian, dan (3) melakukan perekaman secara audio
pada saat wawancara.
Dalam menetapkan keabsahan data, penelitian ini
menggunakan metode triangulasi. Triangulasi pada penelitian
ini dilakukan dengan cara menggabungkan data hasil pengisian
angket gaya belajar, data hasil tes menyelesaikan soal geometri,
dan data hasil wawancara.
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara,
(1) mereduksi/merangkum data yang difokuskan pada siswa
yang hasil jawabannya mengacu pada indikator aktivitas
berpikir fungsional, (2) penyajian data untuk menyusunan teks
naratif yang kompleks dari sekelumpulan informasi dari reduksi
data kedalam bentuk yang sistematis yang juga dilengkapi
dengan analisis data yang meliputi analisis hasil tes
penyelesaian soal geometri dan analisis hasi lwawancara, dan
(3) penarikan kesimpulan dengan membandingkan hasil tes
menyelesaikan soal geometri dengan hasil wawancara. Adapun
indikator aktivitas berpikir fungsional dalam menyelesaikan
masalah dapat disajikan seperti dalam tabel berikut.[2]
8
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Tabel 1.1 Aspek yang diamati dalam Aktivitas Berpikir
Fungsional
No. Aktivitas mental Aspek yang diamati
1. Mengidentifikasi
pola
Mengidentifikasikan informasi
yang terdapat pada
permasalahan.
Mengenali perbedaan antara
dua kuantitas.
Menentukan nilai lain untuk
data berikutnya.
2. Menentukan
hubungan antara dua
kuantitas
Mengenali hubungan satu-satu
antara kedua kuantitas.
Menentukan nilai untuk data
yang ditanyakan
3. Menyatakan aturan
umum
Menentukan aturan umum
antara dua kuantitas dengan
menggunakan notasi aljabar.
Dalam penelitian ini langkah awal yang dilakukan peneliti
adalah menyusun instrument penelitian. Kemudin peneliti
memberikan angket gaya belajar kepada siswa kelas VIII A MTs
Negeri 3 Blitar. Angket gaya belajar ini nantinya akan digunakan
untuk mengelompokkan gaya belajar siswa. Setelah mengetahui
gaya belajar yang dimiliki siswa, peneliti mengambil sampel
dengan ke tiga macam gaya belajar yang dimiliki siswa untuk
diberikan tes menyelesaikan soal geometrid dan wawancara.
Kemudain peneliti memeriksa keabsahan data untuk dianalisis
dan ditarik kesimpulan.
9
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Bagan 1.1 Metode Penelitian
PEMBAHASAN
Hasil dari penelitian ini adalah mendiskripsikan tiga gaya
belajar yang biasa dilakukan oleh siswa dalam menyelesaikan
soal geometri. Gaya belajar tersebut disajikan dalam tabel 1.
Karena dari setiap gaya belajar akan menghasilkan pemahaman
materi yang diterima relatif berbeda. Perbedaan pemahaman
tersebut meliputi penggunaan rumus matematika, keterkaitan
akan konsep yang telah dipahami, penggunaan simbol
matematika, langkah-langkah dalam penyelesaiannnya, dan
cara menuliskan kesimpulan di akhir jawaban
Pembagian Angket
Gaya Belajar
Visual Auditori
al
Kinesteti
k
Pemilihan Subjek
Pengambilan Data
Wawancara
Tes Menyelesaikan
Soal Geometri
Pengecekan
Keabsahan Data
Analisis Data
Penarikan
Kesimpulan
10
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Tabel 1.2 Karakteristik dari gaya belajar pemahaman
siswa dalam menyelesaikan masalah matematika
Jawaban siswa Diskripsi gaya belajar
Gambar 1 Hasil jawaban siswa dengan gaya belajar audiotorial
1. Siswa yang cenderung memakai gaya belajar audiotorial, tidak dapat menerjemahkan soal ke bentuk gambar. Padahal gambar dapat membantu dalam menyelesakan soal.
2. Pemahaman konsep yang di dapat juga sudah bagus. Keterkaitan antar konsep mereka juga sudah bisa mengaplikasikan dengan baik.
3. Siswa melakukan pengerjaan soal dengan langkah yang sudah benar dan jaawaban akhir juga benar.
4. Cara penulisan matematika nya juga sudah benar.
Gambar 2 Hasil jawaban siswa dengan gaya belajar visual
1. Siswa yang menggunakan gaya belajar visual, mereka cenderung memiliki pekerjaan yang rapi dalam hal tulisan dan siswa dapat menerjemahkan soal cerita menjadi sebuah gambar
2. Siswa dapat mengaitkan antar konsep yang telah di dapatkan dalam proses pembelajaran
3. Siswa melakukan pengerjaan soal dengan benar dan langkah-langkah
11
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
yang digunakan sudah runtut
4. Cara penulisan dalam matematikanya juga sudah teratur dan rapi
Gambar 3 Hasil jawaban siswa dengan gaya belajar kinestetik
1. Siswa yang memiliki gaya belajar kinestetik cenderung memiliki pekerjaan yang kurang rapi, sehingga sulit untuk di pahami. Namun mereka dapat menerjemahkan soal cerita ke dalam bentuk gambar.
2. Siswa dapat mengaitkan antar konsep yang telah di dapat
3. Siswa mengerjakan soal dengan teratur dan dan langkah-langkah yang dipakai sudah runtut
4. Cara penulisan matematikanya masih belum teratur
Siswa yang menggunakan gaya belajar audiotarial mereka cenderung kesulitan dalam menerjemahkan soal cerita ke bentuk gambar. Mungkin karena mereka mengandalkan pendengarannya dalam melakukan proses pembelajaran. Mereka kurang memperhatikan saat guru menjelaskan materi. Sehingga mereka kesulitan dalam menerjemahkan soal ke bentuk gambar. Namun mereka merasa tidak kesulitan dalam melakukan proses pengerjaan soal yang telah diberikan oleh gurunya.
Siswa yang menggunakan gaya belajar visual mereka memiliki ketelitian yang cukup bagus sehingga mereka bisa menerjemahkan soal ke dalam gambar, dan pekerjaan mereka kelihatan lebih rapi dan enak di baca. Dalam pengerjaan soal, mereka juga sudah menggunakan prosedur yang tepat sehingga mereka dapat menemukan jawaban akhir yang tepat dan benar.
12
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Sedangkan siswa yang menggunakan gaya belajar kinestetik, mereka juga mampu menerjemahkan soal ke dalam bentuk gambar, hanya saja pekerjaan mereka terlalu rapi. Misalnya menggambar bangun tanpa bantuan penggaris, sehingga gambar mereka kelihatan tidak rapi. Namun mereka yang mempunyai gaya belajar kinestetik juga mampu menyelesaikan soal dengan baik, namun mereka mempunyai tingkat ketelitian yang kurang teliti. Walaupun mereka kelihatan sudah memahami akan konsep materi, namun mereka suka ceroboh dalam menuliskan jawaban sehingga jawaban akhir yang peroleh belum benar.
Pada penelitian sebelumnya peneliti memandingkan cara berfikir fungsional antara siswa laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran matematika. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa aktivitas berpikir fungsional subjek laki-laki maupun subjek perempuan telah melakukan setiap aktivitas. Namun cara berfikir fungsional laki-laki lebihkritis dibandingkan dengan aktivitas berfikir fungsional siswa perempuan.
SIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan tentang pemahaman siswa tentang pembelajaran matematika ditinjau dari gaya belajar. Setiap gaya belajar yang dimiliki oleh siswa, memiliki tingkat pemahaman yang berbeda-beda. Semua memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Siswa yang menggunakan gaya belajar audiotorial memiliki tingkat pemahaman matematika yang bagus, siswa bisa mengerjakan soal sesuai alurnya dan bisa saling mengaitkan konsepnya. Namun siswa tersebut kesulitan dalam menerjemahkan soal ke dalam bentuk matematika. Siswa yang memiliki gaya belajar visual, mereka memilki pekerjaan yang rapi dan bisa menerjemahkan soal cerita ke dalam bentuk matematika, serta mereka juga bisa mengaitkan antar konep yang telah didapatkannya. Sedangkan siswa yang memiliki gaya belajar kinsetetik, mereka mempunyai pekerjaan tangan yang kurang rapi, namun mereka bisa menerjemahkan soal ke dalam bentuk matematika dan bisa mengaitkan antar konsep yang telah didapatkannya.
13
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Penelitian ini merupakan salah satu pendekatan untuk melakukan penilaian, dan mengidentifikasikan gaya belajar yang dimiliki oleh siswa. Penelitian tentang berpikir fungsional dalam materi matematika ditinjau dari gaya belajar memiliki banyak keterbatasan karena pemahaman memiliki arti yang sangat luas sehingga tergantung pada konteks yang digunakan. Jadi, saya berharap penelitian ini akan memotivasi orang lain untuk melanjutkan penelitian, memverifikasi, memodifikasi, dan menerapkannya.
DAFTAR RUJUKAN
[1] E. Warren, J. Miller, and T. J. Cooper, “E y s ’ f t,” vol. 4, pp.
75–84, 2013.
[2] A. P. Siregar, D. Juniati, and R. Sulaiman, “PROFIL BERPIKIR
FUNGSIONAL SISWA SMP DALAM,” JRPM, vol. 2, no. 2, pp.
144–152, 2017.
[3] Blanto, “No Title,” 2008.
[4] J. . Kaput, D. . Carraher, and M. . Blanton, “Representational
thinking as a framework for introducing functions in the
elementary curriculum.”
[5] L. Erlbaum, “Algebra in the early grades,” p. 133−163.
[6] E. Pinto and M. C. Cañadas, “F unctional thinking and
generali s atio n in third year of primary school,” pp. 1–8,
2012.
14
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
15
ANALISIS BERPIKIR MATEMATIS RIGOR (RIGORIOUS MATHEMATIC THINKING) DALAM MENYELESAIKAN
SOAL BANGUN RUANG SISWA KELAS VIII MTS DARUL FALAH DITINJAU BERDASARKAN GAYA BELAJAR
Farida Dewi Rahmania1, Tika Wahyuningtyas2, Muhammad
Shodiq Wahyudi3
IAIN Tulungagung 1) [email protected]
ABSTRAK
Pendidikan matematika tidak pernah terlepas dari problem
solving. Kemampuan berpikir rigor (rigoriuous mathematic
thinking) selalu terlibat didalam problem solving. Terdapat tiga
level berpikir rigor yaitu berpikir berpikir kualitatif, berpikir
kuantitatif dan berpikir berpikir relasional abstrak. Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis kemampuan berpikir rigor
dalam menyelesaikan soal bangun ruang ditinjau berdasarkan
gaya belajar. Penelitian ini merupakan penelitian deskripstif
eksploratif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek
Penelitian ini adalah tiga orang siswa kelas VIII MTs Darul Falah.
Langkah analisis data yang digunakan adalah reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian
menunjukkan subjek dengan gaya belajar visual mampu
menggunakan fungsi kognitif yang termasuk level 2 (berpikir
kuantitatif). subjek dengan gaya belajar auditorial mampu
16
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
menggunakan fungsi kognitif yang termasuk level 1 (berpikir
kualitatif) dan level 2 (berpikir kuantitatif). Sedangkan Subjek
dengan gaya belajar kinestetik mampu menggunakan ketiga
fungsi kognitif yang termasuk dalam berpikir matematis rigor.
Kata-kata Kunci: Berpikir matematis rigor, gaya belajar,
problem solving.
ABSTRACT
Mathematics lessons have never been separated from problem
solving. The ability of rigorous mathematical thinking is always
associated with solving problems. There are three levels of
rigorous thinking, namely qualitative thinking, quantitative
thinking, and abstract relational thinking. This study aims to
analyze the ability to think rigorously in solving the problem of
shape that have been reviewed on the basis of learning styles. This
study is a descriptive exploratory study with a qualitative
approach. The subject is three eighth-grade students of MTs Darul
Falah. The data analysis step used is data reduction, data
presentation and inference drawing. The results showed that
subjects with visual learning styles were able to use cognitive
functions including quantitative thinking. subjects with auditory
learning styles were able to use cognitive functions including
qualitative thinking and quantitative thinking. While subjects
with kinesthetic learning styles are able to use all three cognitive
functions included in rigorious thinking.
Keywords: Rigorous mathematical thinking, learning style,
problem solving.
PENDAHULUAN
Setiap individu pasti pernah melakukan aktivitas berpikir
selama hidupnya (Susanti, 2013). Ketika seseorang berpikir
tentang bagaimana memecahkan dan menyelesaikan soal
matematika maka tidak menutup kemungkinan bahwa individu
tersebut sedang melakukan aktivitas berpikir matematis
(Ariyadi, 2012). Berpikir matematis adalah kemampuan
berpikir yang berkaitan dengan kemampuan dalam
17
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
menggunakan penalaran untuk membangun argumen
matematis, kemampuan dalam mengembangkan strategi atau
metode, pemahaman konten matematika, serta kemampuan
mengomunikasikan gagasan.
Dalam berpikir tentu melibatkan kehadiran fungsi kognitif.
Fungsi kognitif sebagai sebuah proses mental yang memiliki
makna khusus (Kinard, J. T., & Konzulin, 2008). Makna khusus
tersebut terdapat dalam berpikir matematis rigor. Dalam
matematika, instruksi rigor juga ditandai oleh siswa yang
terlibat dengan tugas matematika tingkat tinggi yang
mendukung pengembangan koneksi antara ide-ide matematika
dan berbeda representasi dari ide-ide ini sepanjang pelajaran.
Berpikir matematis rigor didefinisikan pula sebagai kualitas
pengajaran pada kerasnya diskusi kelas dan tugas akademik
dengan harapan hasil dari pekerjaan siswa akan berkualitas
(Matsumura, Slater, & Crosson, 2008).
Proses berpikir matematis rigor membutuhkan
penggunaan fungsi kognitif dari fungsi kognitif level rendah ke
level tinggi (H. Fitriyani & Khasanah, 2018). Dalam melakukan
berpikir matematis rigor, terdapat tiga level fungsi kognitif.
Ketiga level fungsi kognitif tersebut dipaparkan pada Tabel 1.
Level pertama terdiri dari fungsi kognitif umum yang
diperlukan untuk berpikir kualitatif. Sebelum siswa terlibat
dalam penalaran konseptual secara rigor. Proses kognitifnya
terjadi di level konkret dan didominasi oleh fungsi psikologis
alami yang sudah ada.
Level kedua terdiri dari fungsi kognitif yang diperlukan
untuk berpikir kuantitatif dan ketepatan. Level ketiga fungsi
kognitif mengintegrasikan proses yang berkaitan dengan
kuantitas dan ketepatan ke dalam struktur unik dan
digeneralisasikan berpikir relasional abstrak. Subjek pada level
berpikir logis relasional abstrak mampu memahami masalah
secara lengkap, membuat sketsa yang sesuai dengan
permasalahan asal, merencanakan strategi penyelesaian yang
tepat, dan mampu memeriksa kembali hasil jawabannya dengan
baik (Ningrum & Mega, 2016). Syarat subjek pada level tersebut
18
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
harus memiliki kemampuan yang relatif sama yaitu memiliki
nilai tinggi serta kemampuan komunikasi yang lancar
(Yudianto, 2018). Secara bersama-sama ketiga level fungsi
kognitif itu mendefinisikan proses mental yang meluas dari
keterampilan kognitif umum ke fungsi matematis khusus
tingkat lebih tinggi (Harina Fitriyani, 2019).
Berdasarkan teori Kinard dan Kozulin terdapat tiga level
indikator fungsi kognitif berpikir matematis rigor, Kinard
mendefinisikan fungsi kognitif sebagai sebuah proses mental
yang memiliki makna khusus. Ketiga level tersebut dipaparkan
dalam tabel 1.
Tabel 1. Tiga Level Indikator Fungsi Kognitif Berpikir
Matematis Rigor
Level Fungsi Kognitif Berpikir Matematis Rigor
Tahapan Fungsi Kognitif Berpikir Matematis Rigor
Keterangan
Level 1 berpikir kualitatif
Pelabelan (Labeling) Memberi suatu nama bangun ruang berdasarkan atribut kritisnya (misalnya symbol sejajar, sama panjang, siku-siku)
Visualisasi (Visualizing)
Mengkonstruk gambar (Bangun ruang) dalam pikiran atau menghasilkan konstruk yang terinternalisasi dari sebuah objek yang namanya diberikan
Pembandingan (Comparing)
Mencari persamaan dan perbedaan (dalam hal ciri atau atribut kritisnya) antara dua atau lebih objek
19
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Pencarian secara sistematis untuk mengumpulkan dan melengkapi informasi (searching systematically to gather clear and complete information)
Memperhatikan (misal gambar) dengan seksama dengan terorganisir, dan penuh rencana untuk mengumpulkan dan melengkapi informasi
Penggunaan lebih dari datu sumber informasi
Bekerja secara mental dengan lebih dari satu konsep pada saat yang
(Using more than one search of information)
sama (warna, ukuran, bentuk atau situsi dalam berbagai sudut pandang)
Penyandian (Encoding)
Memaknai (objek) kedalam kode atau symbol
Pemecahan kode (Decoding)
Mengartikan suatu kode atau symbol suatu objek
Level 2:
Berpikir kuantitatif dengan ketelitian
Pengawetan ketetapan (Conserving Constancy)
Mengidentifikasi apa yang tetap sama dalam hal atribut, konsep atau hubungan sementara beberapa lainnya berubah.
Pengukuran ruang dan hubungan spasial (Quantifying space and spatial relationships)
menggunakan referensi internal/eksternal sebagai panduan untuk mengatur, menganalisis hubungan spasial berdasarkan hubungan keseluruhan ke sebagian
penganalisisan (Analyzing)
memecahkan keseluruhan atau menguraikan kuantitas ke dalam atribut kritis atau susunannya
Pengintegrasian (Integrating)
membangun keseluruhan dengan menggabungkan
20
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
bagian-bagian atau atribut kritisnya
Penggeneralisasian (Generalizing)
tanpa merujuk ke rincian khusus ataupun atribut kritisnya
ketelitian (Being precise)
menyimpulkan/ memutuskan dengan fokus dan tepat
Level 3 : Berpikir Relasional abstrak
Pengaktifan pengetahuan Matematika sebelumnya (Activating prior mathematically related knowledge)
menghimpun pengetahuan sebelumnya untuk menghubungkan dan menyesuaikan aspek yang sedang dipikirkan dengan aspek pengalaman sebelumnya.
Penyediaan bukti matematika logis (Providing mathematical logical evidence)
memberikan rincian pendukung, petunjuk, dan bukti yang masuk akal untuk membuktikan kebenaran suatu pernyataan.
Pengartikulasian (pelafalan) kejadian matematika logis (Articulating mathematical logical evidence)
membangun dugaan, pertanyaan, pencarian jawaban, dan mengkomunikasikan penjelasan yang sesuai dengan aturan matematika.
Pengartikulasian (pelafalan) kejadian matematika logis
membangun dugaan, pertanyaan, pencarian jawaban, dan
(Articulating mathematical logical evidence)
mengkomunikasikan penjelasan yang sesuai dengan aturan matematika.
Pendefinisian masalah (defining the problem)
mencermati masalah dengan menganalisis dan melihat hubungan untuk mengetahui secara tepat apa yang harus dilakukan secara matematis .
21
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Berpikir hipotesis (Hypothetical thinking)
membentuk proposisi matematika atau dugaan dan mencari bukti matematis untuk mendukung atau menyangkal proposisi atau dugaannya tersebut.
Berpikir inferensial (Inferential thinking)
mengembangkan generalisasi dan bukti yang valid berdasarkan sejumlah kejadian matematika.
Pemroyeksian dan perestrukturisasian hubungan (Projecting and restructuring relationships)
membuat hubungan antara objek atau kejadian yang tampak dan membangun kembali keberadaan hubungan antara objek atau kejadian untuk memecahkan masalah baru.
Pembentukan hubungan kuantitatif proporsional (forming proportional Quantitative relationships)
menetapkan hubungan kuantitatif yan menghubungkan konsep A dan konsep B dengan menentukan beberapabanyaknya konsep A dan hubungannya dengan konsep B
Berpikir induktif matematis(mathematical inductif thinking)
mengambil aspek dari berbagai rincian matematis yang diberikan untuk membentuk pola, mengkategorikan ke dalam hubungan atribut umum dan mengatur hasilnya untuk membentuk aturan matematika umum, prinsip, panduan.
Berpikir deduktif Matematis (mathematical deductive thinking)
menerapkan aturan umum atau rumus untuk situasi khusus.
22
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Berpikir relasional matematis (mathematical relational thinking)
mempertimbangkan proposisi matematika yang menyajikan hubungan antara dua objek matematika, A dan B, dengan proposisi matematika kedua yang menyajikan
hubungan antara konsep A dan C dan kemudian menyimpulkan hubungan
antara B dan C.
Penjabaran aktivitas matematika melalui kategori kognitif (elaborating mathematical activity through cognitive categories)
merefleksikan dan menganalisis aktivitas matematika.
Berdasar pada paparan fungsi kognitif untuk berpikir
matematis rigor di atas, maka dapat ditarik pengertian bahwa
berpikir matematis rigor dalam penelitian ini yaitu suatu
aktivitas berpikir matematis yang melibatkan penggunaan
beberapa fungsi kognitif dimana dalam penggunaannya berpikir
matematis rigor dikategorikan dalam tiga level yaitu level satu
(level berpikir kualitatif), level dua (level berpikir kuantitatif)
dan level tiga (level berpikir relasional abstrak).
Gaya belajar merupakan cara termudah yang dimiliki oleh
individu dalam menyerap, mengatur, dan mengolah informasi
yang diterima. Penggunaan gaya belajar yang dibatasi hanya
dalam satu bentuk, terutama yang bersifat verbal atau dengan
jalur auditorial, tentunya dapat menyebabkan adanya
ketimpangan dalam menyerap informasi. Oleh karena itu, dalam
kegiatan belajar, siswa perlu dibantu dan diarahkan untuk
mengenali gaya belajar yang sesuai dengan dirinya sehingga
tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif (Bire, 2014).
23
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Secara umum gaya belajar manusia dibedakan ke dalam tiga
kelompok besar, yaitu gaya belajar visual, gaya belajar auditorial
dan gaya belajar kinestetik. Gaya belajar visual adalah gaya
belajar dengan cara melihat, mengamati, memandang, dan
sejenisnya. Kekuatan gaya belajar ini terletak pada indera
penglihatan. Gaya belajar auditorial adalah gaya belajar dengan
cara mendengar. Individu dengan gaya belajar ini, lebih
dominan dalam menggunakan indera pendengaran untuk
melakukan aktivitas belajar. Gaya belajar kinestetik adalah gaya
belajar
dengan cara bergerak, bekerja, dan menyentuh. Maksudnya
ialah belajar dengan mengutamakan indera perasa dan gerakan-
gerakan fisik (Papilaya & Huliselan, 2017).
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya
adalah tinjauan yang diambil oleh peneliti dimana peneliti
sebelumnya meninjau berdasarkan perbedaan kemampuan
matematika sedangkan penelitian ini meninjau berdasarkan
gaya belajar siswa. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
kemampuan berpikir rigor siswa MTs Darul Falah dalam
menyelesaikan soal bangun ruang ditinjau berdasarkan gaya
belajar. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai
tambahan pengetahuan bagi mahasiswa, guru maupun peneliti
matematika mengenai profil berpikir rigor.
Penelitian ini merupakan penelitian deskripstif eksploratif
dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian
ini, subjek yang diteliti adalah tiga orang siswa kelas VIII MTs
Darul Falah dengan gaya belajar auditorial, visual dan
kinestetik. Instrumen utama dalam penelitian ini adalah
peneliti, dan instrumen pembantunya berupa soal tes
kemampuan matematika dan angket gaya belajar. Teknik
sampling menggunakan random sampling atau pengambilan
sampel secara acak. Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan langkah-langkah reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan. Sedangkan untuk
mendapatkan data penelitian yang valid, dalam penelitian ini
digunakan triangulasi waktu.
24
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
PEMBAHASAN
a. Siswa dengan gaya belajar visual
Selama memecahkan masalah matematika yang diberikan,
subjek yang mempunyai gaya belajar visual belum bisa
menggunakan fungsi kognitif matematis rigor yang termasuk
dalam kriteria fungsi level 1 (berpikir kualitatif) karena subjek
masih keliru dalam melabelkan suatu bangun yang telah
disajikan dalam bentuk deskriptif. Subjek masih belum bisa
membedakan antara ciri-ciri bangun yang hampir sama yaitu
prisma segitiga dengan layang-layang.
Gambar 1. Hasil pekerjaan subjek gaya belajar visual
nomor soal 1 dan 2
Fungsi kognitif matematis rigor pada level 2 (berpikir
kuantitatif) berpikir matematis rigor yang telah digunakan oleh
subjek yang mempunyai gaya belajar visual diantaranya ialah
subjek mampu mengidentifikasi apa yang tetap sama dan apa
yang berubah apabila diketahui luas alas dan tinggi bangun dan
diminta untuk mencari volumenya. Pengukuran ruang dan
hubungan spasial yaitu subjek menggunakan referensi yang
berasal dari pengetahuan matematika sebelumnya. Analisis
yaitu subjek menguraikan deskripsi soal bangun ruang pada soal
limas segitiga. Ketelitian yaitu subjek mampu memutuskan
dengan fokus dan tepat dalam memecahkan suatu masalah
tersebut.
25
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Gambar 1. Hasil pekerjaan subjek gaya belajar visual
nomor 3
Sedangkan fungsi kognitif matematis rigor pada level 3, berpikir matematis rigor tidak digunakan oleh subjek yang mempunyai gaya belajar visual dalam memecahkan masalah matematika yang diberikan karena pengaktifan pengetahuan matematika sebelumnya untuk menyelesaikan soal masih kurang, penyediaan bukti matematis logis yaitu subjek belum mampu memberikan rincian pendukung, alasan matematis dan bukti untuk membuktikan kebenarannya. Subjek belum mampu membangun dugaan terkait dengan adanya ciri yang diketahui dalam soal dan mengaitkannya ke dalam apa yang di minta oleh soal sehingga belum bisa menemukan jawabannya. Belum bisa mengkomunikasikan penjelasan yang sesuai dengan aturan matematika, pendefinisian masalah yaitu subjek belum bisa mencermati soal dengan menganalisis dan membaca soal berulang-ulang untuk memahami maksud soal dengan tujuan untuk mengetahui strategi apa yang tepat untuk digunakannya. Subjek belum mampu membentuk dugaan tentang hubungan luas permukaan dengan volume tabung serta mencari bukti matematika untuk mendukung kebenaran dugaannya.
b. Siswa dengan gaya belajar auditorial
Selama memecahkan masalah matematika yang diberikan, subjek yang mempunyai gaya belajar audio sudah bisa menggunakan fungsi kognitif matematis rigor yang termasuk dalam kriteria fungsi level 1 (berpikir kualitatif) karena subjek telah mampu dalam melabelkan suatu bangun yang telah disajikan dalam bentuk deskriptif. Pembandingan ialah subjek sudah mampu mencari ciri-ciri bangun ruang yang telah disajikan. Pencarian secara sistematis untuk mengumpulkan
26
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
informasi ialah subjek mencermati soal yang disediakan dan menkonstruk sendiri dengan seksama untuk mengumpulkan dan melengkapi informasi yang diperlukan dalam menyelesaikan soal. Pemecahan kode ialah subjek memaknai apa yang dimaksud dari soal.
Gambar 3. Hasil pekerjaan subjek gaya belajar auditorial nomor soal 1 dan 2
Fungsi kognitif pada level 2 (berpikir kuantitatif) berpikir matematis rigor yang telah digunakan oleh subjek yang mempunyai gaya belajar audio diantaranya ialah subjek mampu mengidentifikasi apa yang tetap sama dan apa yang berubah apabila diketahui luas alas dan tinggi bangun dan diminta untuk mencari volumenya. Pengukuran ruang dan hubungan spasial yaitu subjek menggunakan referensi yang berasal dari pengetahuan matematika sebelumnya. Analisis yaitu subjek menguraikan deskripsi soal bangun ruang pada soal limas segitiga. Ketelitian yaitu subjek mampu memutuskan dengan fokus dan tepat dalam memecahkan suatu masalah tersebut.
Gambar 4. Hasil pekerjaan subjek gaya belajar auditorial
nomor soal 3
27
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Sedangkan fungsi kognitif pada level 3 berpikir matematis
rigor tidak digunakan oleh subjek mempunyai gaya belajar
audio dalam memecahkan masalah matematika yang diberikan
karena pengaktifan pengetahuan matematika sebelumnya
untuk menyelesaikan soal masih kurang, penyediaan bukti
matematis logis yaitu subjek belum mampu memberikan rincian
pendukung, alasan matematis dan bukti untuk membuktikan
kebenarannya. Subjek belum mampu membangun dugaan
terkait dengan adanya ciri yang diketahui dalam soal dan
mengaitkannya ke dalam apa yang di minta oleh soal sehingga
belum bisa menemukan jawabannya. Belum bisa
mengkomunikasikan penjelasan yang sesuai dengan aturan
matematika, pendefinisian masalah yaitu subjek belum bisa
mencermati soal dengan menganalisis dan membaca soal
berulang-ulang untuk memahami maksud soal dengan tujuan
untuk mengetahui strategi apa yang tepat untuk digunakannya.
Subjek belum mampu membentuk dugaan tentang hubungan
luas permukaan dengan volume tabung serta mencari bukti
matematika untuk mendukng kebenaran dugaannya.
c. Siswa dengan gaya belajar kinestetik
Selama memecahkan masalah matematika yang diberikan,
subjek yang mempunyai gaya belajar kinestetik sudah bisa
menggunakan fungsi kognitif matematis rigor yang termasuk
dalam kriteria fungsi level 1 (berpikir kualitatif) karena subjek
telah mampu dalam melabelkan suatu bangun yang telah
disajikan dalam bentuk deskriptif. Pembandingan ialah subjek
sudah mampu mencari ciri-ciri bangun ruang yang telah
disajikan. Pencarian secara sistematis untuk mengumpulkan
informasi ialah subjek mencermati soal yang disediakan dan
menkonstruk sendiri dengan seksama untuk mengumpulkan
dan melengkapi informasi yang diperlukan dalam
menyelesaikan soal. Pemecahan kode ialah subjek memaknai
apa yang dimaksud dari soal.
28
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Gambar 5. Hasil pekerjaan subjek gaya belajar kinestetik nomor soal 1 dan 2
Fungsi kognitif pada level 2 (berpikir kuantitatif) berpikir matematis rigor yang telah digunakan oleh subjek yang mempunyai gaya belajar kinestetik diantaranya ialah subjek mampu mengidentifikasi apa yang tetap sama dan apa yang berubah apabila diketahui luas alas dan tinggi bangun dan diminta untuk mencari volumenya. Pengukuran ruang dan hubungan spasial yaitu subjek menggunakan referensi yang berasal dari pengetahuan matematika sebelumnya. Analisis yaitu subjek menguraikan deskripsi soal bangun ruang pada soal limas segitiga. Ketelitian yaitu subjek mampu memutuskan dengan fokus dan tepat dalam memecahkan suatu masalah tersebut.
Gambar 6. Hasil pekerjaan subjek gaya belajar kinestetik
nomor soal 3
29
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Sedangkan fungsi kognitif matematis rigor pada level 3,
berpikir matematis rigor sudah digunakan oleh subjek
mempunyai gaya belajar kinestetik dalam memecahkan
masalah matematika yang diberikan antara lain pengaktifan
pengetahuan matematika sebelumnya ialah subjek mampu
mengingat kembali, menghimpun dan menggunakan
pengetahuan matematika sebelumnya untuk menyelesaikan
soal. Penyediaan bukti matematis logis yakni subjek mampu
memberikan rincian pendukung, bukti yang masuk akal untuk
membuktikan kebenaran pernyataannya. Pendefinisian
masalah ialah subjek mampu mencermati soal dengan
menganalisis dan membaca soal berulang-ulang untuk
memahami maksud soal dengan tujuan untuk mengetahui cara
yang tepat untuk melakukan penyelesaian secara matematis.
Berpikir hipotesis ialah subjek mampu membentuk dugaan
tentang hubungan luas permukaan tabung dengan volume
tabung serta mencari bukti matematika untuk mendukung
kebenaran dugaannya tersebut. Pembentukan hubungan
kuantitatif proporsional ialah subjek mampu menetapkan
hubungan kuantitatif yang menghubungkan tinggi yang
dibentuk oleh luas permukaan tabung pada soal serta diameter
yang dimiliki oleh bangun tersebut. Berpikir deduktif matematis
rigor ialah subjek menggunakan rumus luas permukaan tabung
untuk menjawab pertanyaan volume tabung.
d. Keterkaitan dengan penelitian sebelumnya
Pada penelitian sebelumya tentang berpikir matematis
rigor pernah dilakukan oleh Harina Fitriyani dari Universitas
Ahmad Dahlan. Penelitian tersebut membahas mengenai profil
berpikir matematis rigor ditinjau dari kemampuan matematika.
Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa kemampuan
matematis siswa akan linier dengan indikator berpikir rigor
yang dicapai dimana siswa dengan kemampuan matematika
tinggi mampu mencapai level 3 (berpikir relasional abstrak).
Kemudian pada penelitian ini, peneliti membahas mengenai
profil berpikir matematis rigor ditinjau dari gaya belajar. Hasil
yang diperoleh menunjukkan bahwa gaya belajar visual mampu
30
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
mencapai level 2 namun tidak berhasil menjawab soal untuk
level 1. Sedangkan gaya belajar auditorial mampu mencapai
level 1 dan level 2 (berpikir kuantitatif) sedangkan siswa dengan
gaya belajar kinestetik mampu mencapai level 3 yaitu berpikir
relasional abstrak. Jadi, berdasarkan penelitan ini dan penelitian
terdahulu dapat ditarik kesimpulan bahwa siswa dengan
kemampuan matematika tinggi dan mempunyai gaya belajar
kinestetik mampu mencapai level 3 (berpikir relasional
abstrak) dalam berpikir matematis rigor.
PENUTUP
Berdasarkan proses yang dilakukan dalam memecahkan
permasalahan penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Subjek dengan gaya belajar auditorial mampu
menggunakan fungsi kognitif yang termasuk level 2
(berpikir kuantitatif) dalam berpikir matematis rigor.
2. Sedangkan Subjek dengan gaya belajar kinestetik
mampu menggunakan fungsi kognitif yang termasuk
level 1 (berpikir kualitatif) dan level 2 (berpikir
kuantitatif) dalam berpikir matematis rigor.
3. Subjek dengan gaya belajar visual hanya mampu
menggunakan fungsi kognitif yang termasuk level 1
(berpikir kualitatif), level 2 (berpikir kuantitatif) dan
level 3 (berpikir relasional abstrak) dalam berpikir
matematis rigor.
Sesuai hasil penelitian maka dapat disarankan untuk
peneliti selanjutnya sebaiknya meneliti kemampuan berpikir
matematis rigor beradasarkan aspek lain seperti gaya kognitif
atau berdasarkan peninjauan yang lain.
31
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
DAFTAR PUSTAKA
Ariyadi, W. (2012). Pendidikan Matematika Realistik: Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Bire, A. L. (2014). Pengaruh Gaya Belajar Visual, Auditorial, Dan
Kinestetik Terhadap Prestasi Belajar Siswa. Jurnal
Kependidikan, 44(2), 168–174.
Fitriyani, H. (2019). Profil Berpikir Matematis Rigor Siswa Smp Dalam Memecahkan Masalah Matematika Ditinjau Dari Perbedaan Kemampuan Matematika. AdMathEdu : Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika, Ilmu Matematika Dan Matematika Terapan, 3(1), 37-56.
Fitriyani, H., & Khasanah, U. (2018). Student’s rigorous mathematical thinking based on cognitive style. Journal of Physics: Conference Series, 943(1), 1-6
Kinard, J. T., & Konzulin, A. (2008). Rigorious Mathematical Thinking : Conceptual Formation in the Mathematics Classroom. New York: Cambridge University Press.
Matsumura, L. C., Slater, S. C., & Crosson, A. (2008). Classroom
Climate, Rigorous Instruction and Curriculum, and
Students’ Interactions in Urban Middle Schools. The
Elementary School Journal, 108(4), 293–312.
Ningrum, R., & Mega, T. . (2016). Identifikasi Kemampuan
Matematika Siswa Dalam Menyelesaikan Masalah Geometri
Smp Ditinjau Dari Level Fungsi Kognitif Rigorous
Mathematical Thinking. Jurnal Ilmiah Pendidikan
Matematika, 1(5), 59–66.
Papilaya, J. O., & Huliselan, N. (2017). Identifikasi Gaya Belajar Mahasiswa. Jurnal Psikologi Undip, 15(1), 56-63.
Susanti, S. W. (2013). Identifikasi Kemampuan Berpikir
Matematis Rigor Siswa Tipe Kepribadian Introvert -
Extrovert dalam Menyelesaikan Soal Matematika, 523–531.
32
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Yudianto, E. (2018). Antisipasi Ide Kreatif Mahasiswa Level
Rigor dalam Menentukan Algoritma Benda Ruang
Menggunakan Maple. Jurnal Didaktik Matematika, 4(2), 98–
106.
33
Analisis Kemampuan Komunikasi Matematis Berdasarkan Self- Efficacy Siswa Dalam
Menyelesaikan Soal Statistika
Moh. Malikul Hasan, Desika Imafatul
Binti Roudhotul Aziizah
[email protected], [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan kemampuan
komunikasi berdasarkan self-efficacy siswa dalam
menyelesaikan soal statistika. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu kualitatif deskriptif. Penelitian dilakukan
dengan subjek 35 siswa kelas VII-D MTs 03 Tulungagung. Tes
yang diberikan meliputi 3 nomor soal uraian dan 15 nomor
angket. Hasil dari penelitian kemampuan komunikasi
matematis siswa berdasarkan self-efficacy yaitu : a. Siswa
dengan self-efficacy rendah kurang baik dalam penyapaian
indikator komunikasi matematisnya. Sehingga, siswa
mengalami kesalahan dalam menuliskan informasi yang
didapatkan dan tidak bisa menyelesaikan soal tersebut dengan
batas waktu yang diberikan; b. Siswa dengan self- efficacy
sedang, cukup baik dalam penyapaian indikator komunikasi
matematisnya. Akan tetapi, siswa masih mengalami kesalahan.
Sehingga subjek bisa menyelesaikan dalam kurun waktu yang
diberikan akan tetapi penyelesaian masalah matematika kurang
tepat; c. Siswa dengan self-efficacy tinggi sudah baik dalam
penyapaian indikator komunikasi matematis nya. Sehingga,
34
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
siswa mampu menyelesaikan soal dengan tepat sesuai dengan
indikator yang ada.
Kata kunci : kemampuan komunikasi, self-efficacy,
menyelesaikan soal statistika
ABSTRACT
This study aims to describe communication skills based on
students' self- efficacy in solving statistical questions. The method
used in this study is descriptive qualitative. The study was
conducted with the subject of 35 students of class VII-D MTs 03
Tulungagung. The test provided includes 3 description questions
and 15 questionnaire numbers. The results of the research on
students' mathematical communication skills based on self-
efficacy are: a. Students with low self-efficacy are not good at
achieving mathematical communication indicators. So, students
experience errors in writing down the information obtained and
cannot solve the problem with the time limit given; b. Students
with moderate self-efficacy are quite good at achieving
mathematical communication indicators. However, students still
experience errors. So that the subject can complete within the
given time period but the resolution of mathematical problems is
less precise; c. Students with high self-efficacy are good at
achieving mathematical communication indicators. So, students
are able to solve the problem exactly according to the indicators.
Keywords: communication skills, self-efficacy, solving problems
statistic.
PENDAHULUAN
Kemampuan berkomunikasi di dalam pembelajaran matematika khususnya di sekolah menengah pertama kurang mendapat perhatian dari para guru. Karena guru lebih cenderung menekankan pada kemampuan berhitung, pemecahan masalah maupun penalaran. Sehingga kemampuan komunikasi siswa pada matematika sangat lemah. Untuk lebih lanjutnya (Bicer dan Capraro, 2013) mengungkapkan bahwa
35
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
adanya mata pelajaran matematika karena ada bahasa komunikasi di dalam matematika yang memiliki sebuah peran yang sangat penting dalam (Juhrani, Suyitno, & Khumaedi, 2017).
Pembelajaran adalah proses komunikasi fungsional antara siswa dengan guru dan siswa dengan siswa, dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir yang akan menjadi kebiasaan bagi siswa yang bersangkutan. Di sini guru berperan sebagai komunikator, siswa sebagai komunikan, dan materi yang berkomunikasi dan materi yang dikomunikasikan berisi pesan berupa ilmu pengetahuan.
Komunikasi adalah proses menuangkan ide atau gagasan dan pemahaman matematis yang menggunakan angka, gambar, dan kata, dalam beragam komunitas termasuk didalamnya adalah guru, teman sebaya, dan kelompok atau kelas. Hal ini juga diungkapkan oleh (Suryadi, 2008) bahwa “Komunikasi matematika adalah cara untuk berbagi ide dan memperjelas pemahaman pada pembelajaran matematika.” (Yuniarti, 2013)
Komunikasi matematis merupakan kemampuan siswa untuk menjelaskan suatu algoritma dalam menyelesaikan masalah, kemampuan siswa mengkonstruksi dan menjelaskan suatu fenomena dalam bentuk grafik, diagram tabel, atau kalimat yang secara fisik dapat membantu siswa untuk memahami suatu masalah yang diberikan. Berdasarkan hal tersebut, kemampuan komunikasi matematis siswa dapat diketahui dengan melalui pemecahan masalah. Siswa dengan kemampuan komunikasi matematis yang baik akan dapat membuat representasi yang beragam sehingga akan mempermudah mereka dalam menemukan alternatif pemecahan masalah. Dan pada proses pembelajaran tersebut, sering terjadi pada siswa yang mampu menyelesaikan soal atau masalah matematika dengan baik, akan tetapi mereka tidak mengerti makna sesungguhnya dari apa yang sedang dikerjakan. Kasus ini sudah dibuktikan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Armiati (2009) yaitu siswa kurang mampu berkomunikasi dengan baik, seakan-akan sesuatu yang mereka pikirkan hanya untuk dirinya sendiri. Sehingga banyak ditemukan siswa cerdas namun mereka kurang mampu menyampaikan hasil pemikirannya (Librianti, 2018)
36
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Menurut NCTM (National Council of Teachers of Mathematics) (2002:60); Komunikasi matematis adalah suatu cara siswa untuk berbagi suatu ide matematika yang telah dipelajari dan dan diklarifikasi dalam suatu pemahaman. Melalui komunikasi, ide-ide menjadi objek refleksi, dan dapat diperbaiki, serta didiskusikan, dan dapat dirubah. Ketika siswa ditantang untuk mengkomunikasikan hasil pemikiran mereka kepada orang lain secara lisan atau tertulis, mereka belajar menjelaskan, menyakinkan, dan menggunakan bahasa matematika dengan tepat. Dalam Skripsi (Ritonga, 2018)
Untuk mengembangkan komunikasi matematis siswa merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan oleh para guru. Sehingga kemampuan komunikasi matematika akan membuat seseorang bisa menggunakan matematika untuk kepentingan sendiri maupun orang lain. Dan akan meningkatkan sikap positif terhadap matematika. Sedangkan pentingnya memiliki kemampuan komunikasi matematis menurut Greenes dan Schulman dalam Tandiling, menyatakan bahwa komunikasi matematika adalah (1) Kekuatan utama bagi siswa dalam merumuskan konsep dan strategi pembelajaran matematika; (2) Kunci keberhasilan siswa terhadap pendekatan dan penyelesaian dalam eksplorasi dan pendidikan matematika; (3) Cara siswa untuk berkomunikasi dengan teman-teman mereka dalam memperoleh berbagai informasi dan menemukan ide-ide, menilai dan memperbaiki ide menyakinkan orang lain (Ritonga, 2018)
Baroody (1993) menjelaskan bahwa pentingnya komunikasi dalam pembelajaran matematika, karena mathematics as language dan mathematics learning as social activity. Sebagai Bahasa, matematika digunakan orang dalam menyampaikan ide dengan menggunakan simbol dan pengertian yang mempunyai arti tunggal dalam (Haji & Abdullah, 2016). Pendidikan matematika di sekolah mempunyai tujuan untuk memberikan penekanan pada ketraampilan dalam menerapkan ilmu matematika, baik pada kehidupan sehari-hari maupun dalam membantu mempelajari ilmu pengetahuan lainnya (Suherman et al., 2003). Selain aktivitas di dalam kelas (sekolah), matematika juga digunakan oleh masyarakat dalam aktivitas sehari-harinya. Seperti di dalam aktivitas
37
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
perdagangan, pertanian, pertambangan dan sebagainya. Dalam (Juhrani et al., 2017).
Clark dan Jennifer (2005) menyatakan bahwa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa dapat diberikan 4 strategi, yaitu: (1) Dengan memberikan tugas-tugas yang cukup memadai (untuk membuat siswa maupun kelompok diskusi lebih aktif), (2) Menciptakan lingkungan yang kondusif agar siswa bisa dengan lebih leluasa untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya,(3) Mengarahkan siswa untuk menjelaskan dan memberi argumentasi pada hasil yang diberikan dan gagasan-gagasan yang dipikirkan, (4) Mengarahkan siswa agar aktif memproses berbagai macam ide dan gagasan..
Terdapat 5 komunikasi pada matematika yaitu: (a) Komunikasi lisan (dimana siswa berbicara matematika melalui diskusi atau di bentuk suatu kelompok kecil.) (b) Komunikasi visual (representasi 2 dimensi misalnya pada proyek tertulis dan 3 dimensi misalnya proyek konstruksi bangunan.) (c) Komunikasi digital (dengan menggunakan teknologi computer) (d) Komunikasi teks atau tertulis (digunakan untuk penjelasan, dasar kebenaran, serta pembuktian kesalahan dan dugaan dan sebagainya komunikasi simbolik yaitu komunikasi yang dengan menggunakan simbol (Rizqi, 2014).
Jatisunda (2017) mengemukakan bahwa dalam proses pembelajaran di sekolah akan berhasil jika ditunjang oleh aspek psikologis yang berhubungan dengan attitude siswa dalam pembelajaran. Self-efficacy merupakan aspek psikologis yang menghasilkan pengaruh yang signifikan. Sedangkan menurut Ormrod (Jatisunda, 2017) self-efficacy merupakan penilaian seseorang tentang kemampuan dirinya untuk menjalankan perilaku tertentu atau mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan hal tersebut maka kaitannya dengan kemampuan koneksi matematis adalah self-efficacy yang mempunyai fungsi untuk menilai suatu keberhasilan siswa dalam menyelesaikan soal kemampuan koneksi matematis, karena dengan self-efficacy siswa dilatih agar siswa yakin akan kemampuan dirinya, berani dalam menghadapi tantangan, tidak mudah menyerah dalam menyelesaikan masalah, serta dapat mengetahui akan kelemahan dan kekurangan dirinya, maka secara tidak langsung
38
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
treatment tersebut dapat merubah kebiasaan siswa agar tidak malu untuk bertanya, berani mengemukakan pendapat, serta dapat bekerja sama dengan orang lain, dan berani jika diminta oleh guru untuk maju ke depan, dengan hal tersebut secara tidak langsung dapat mengasah kemampuan koneksi matematis siswa (Adni, Nurfauziah, & Rohaeti, 2018)
Pembelajaran dapat berjalan sesuai dengan harapan dan mencapai tujuan, jika siswa merasa nyaman dan tidak tertekan serta memiliki self-efficacy yang memadai. Bandura (1982) memaparkan bahwa self-efficacy merupakan berfokus pada keyakinan terhadap pelaksaan tugas dengan baik yang berhubungan perspektif situasi.dalam (Juhrani et al., 2017) kemampuan siswa dalam menyelesaiakan soal atau tugas dipengaruhi oleh kepercayaan diri yang dimilikinya. self-efficacy yang terus dikembangkan akan berdampak baik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Akan tetapi, kebanyakan fakta yang ada di lapangan siswa dalam menyelesaikan soal tidak yakin dengan kemampuan dan hasil jawaban yang dimilikinya. hal ini berkesinambungan dengan self-efficacy. Padahal belum tentu jawaban yang dimiliki temannya itu benar dan jawaban yang didapat dari pengerjaan sendiri itu salah.
Beberapa penelitian telah dilakukan yang berkenaan dengan self-efficacy siwa. Dari beberapa penelitian tersebut salah satunya yang dilakukan oleh (Juhrani et al., 2017)yang berjudul “Analisis Kemampuan Komunikasi Matematis Berdasarkan Self-efficacy Siswa pada Model Pembelajaran Mea ” mengungkapkan bahwa salah satu tujuan mata pelajaran matematika yaitu mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Sehingga tujuan tersebut sesuai dengan karakteristik matematika dalam (Juhrani et al., 2017). Penelitian yang lain dari (Nurdiana, Pujiastuti, & Sugiman, 2018) dengan judul “Kemampuan Komunikasi Matematis Ditinjau dari Self-efficacy Menggunakan Model Discovery Learning Terintregasi Pemberian Motivasi” dengan kesimpulan tingkat self-efficacy siswa mempengaruhi pencapaian indikator komunikasi matematis sehingga berdampak pada proses berpikirnya dalam (heny nurdiana, emi pujiastuti, dan sugiman, 2018.). Berdasarkan beberapa penelitian di atas belum ada penelitian yang meneliti mengenai kemampuan komunikasi berdasarkan
39
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
self-efficacy siswa dalam menyelesaikan soal statistika, sehingga penelitian ini perlu dilakukan. Manfaat dari penelitian ini untuk membantu guru dalam menentukan perlakuan yang harus diterapkan supaya self-efficacy siswa bisa terus berkembang sehingga berdampak terhadap hasil belajar siswa menjadi yang lebih baik.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif digunakan untuk memperoleh jawaban atas
masalah yang ada dalam penelitian ini yaitu mendiskripsikan
kemampuan komunikasi berdasarkan self-efficacy siswa dalam
menyelesaikan soal statistika. Data kualitatif didapat melalui
wawancara dengan siswa secara mendalam.
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII D yang terdiri
dari 35 siswa. Pengambilan sempel menggunakan teknik
purporsive sampling maka dalam satu kelas diambil 5 siswa
sebagai perwakilan. Pengambilan 5 perwakilan yang terdiri dari
2 laki-laki dan 3 perempuan untuk pengumpulan data
wawancara.
Penentuan subjek penelitian didasarkan pada hasil angket
self-efficacy siswa. Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini melalui angket karakter cara berpikir, tes,
wawancara. Angket ini digunakan dalam pengumpulan data
mengenai self-efficacy yang dimiliki oleh siswa. Wawancara
digunakan dalam penelitian ini untuk memperoleh data secara
langsung mengenai kemampuan komunikasi matematis siswa
dalam menyelesaikan soal tes kemampuan komunikasi.
Sehingga, hasil dari penelitian ini akan diurakan dalam bentuk
deskripsi.
40
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Flow Chart Penelitian
Penjelasan flow chart penelitian
1. Tahap penyusunan instrument
Merupakan tahap awal untuk menyusun instrumen
yang akan digunakan.
2. Uji validitas
Uji validitas digunakan untuk apakah instrumen yang
telah dibuat sudah valid atau belum. Dalam hal ini instumen
41
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
yang dibuat berupa tes, wawancara, dan angket dalam
instumen wawancara ternyata belum sesuai dengan tujuan
penelitian maka perlu dilakukan evaluasi.
3. Pengumpulan data
a. Penyebaran tes soal
Tes berupa soal disebarkan kepada 35 siswa kelas
VII D MTs N 3 Tulungagung.
b. Penyebaran angket
selanjutnya angket self-efficacy disebarkan kepada
35 siswa kelas VII D MTs N 3 Tulungagung.
c. Melakukan wawancara
Setelah itu dari hasil tes dan angket yang ada dipilih
berdasarkan kemampuan komunikasi matematis
kemudian dilakukan wawancara terhadap subjek-
subjek yang telah dipilih tersebut.
4. Hasil
Setelah dilakukan pengujian soal tes, angket, dan
wawancara, selanjutnya hasil tes dan angket dilakukan
analisis berdasarkan kemampuan komunikasi hasil
tersebut akan disinkronkan dengan hasil wawancara.
5. Pembahasan
Berisi penyusunan secara lengkap dan disertai
argumentasi yang memiliki dasar referensi dan data-data
valid tentang informasi ilmiah ketika melakukan proses
penelitian.
6. Kesimpulan
Kesimpulan diberikan untuk menjawab permasalahan
yang diangkat dalam penelitian
Hasil dan Pembahasan
Dari hasil tes kemampuan komunikasi matematis yang
terdiri dari 3 soal yang dapat dinilai dengan cara pensekoran
yang berdasarkan kemampuan komunikasi matematis siswa.
42
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Pensekoran dapat dilakukan per indikator komunikasi
matematis. Setelah mengetahui ketercapaian tersebut masing-
masing indikator kemampuan komunikasi matematis yang
terdiri dari 5 tahap atau tingkatan yaitu tahap 0 sampai tahap ke
4. Berikut ini akan disajikan pada tabel 1 yang menyatakan rata-
rata perolehan skor per indikator dari kemampuan komunikasi
matematis yang diperoleh setiap kelompok siswa yang
berdasarkan Self-efficacy. Pengelompokan siswa sesuai dengan
kriteria pengelompokan skala psikologi menurut ( Damri dkk
.2017).
Tabel 1. Pengelompokan Siswa ditinjau dari Self-efficacy
Self-efficacy Banyak Presentase
Tinggi 6 31,26%
Sedang 24 46,86%
Rendah 5 21,88%
Jumlah 35 100%
Berdasarkan Tabel 1 diatas dapat diperoleh bahwa siswa
dengan self-efficacy lebih mendominasi daripada siswa dengan
self-efficacy tinggi dan siswa yang self-efficacy nya rendah. Dari
35 siswa yang telah mengisi angket self-efficacy terdapat 6 siswa
yang memiliki self-efficacy tinggi, 24 siswa memiliki self-efficacy
sedang dan 5 siswa memiliki self-efficacy rendah. Masing-
masing karakteristik dipilih 5 siswa untuk dianalisis
kemampuan komunikasi matematisnya secara mendalam.
Pemilihan subjek penelitian kategori pada self-efficacy rendah
diperoleh dari 1 siswa dari kelompok siswa self-efficacy rendah
dengan skor per indikator kemampuan komunikasi matematis
1 terendah pada hasil tes kemampuan komunikasi matematis
siswa pada materi statistika. Untuk pemilihan subjek penelitian
yang kategorinya self-efficacy sedang diperoleh oleh dua siswa
dari kelompok siswa self-efficacy sedang dengan skor per
indikator kemampuan komunikasi matematis yang berada di
tengah. Dan untuk, pemilihan subjek penelitian kategori self-
efficacy tinggi diperoleh 1 siswa dari kelompok siswa self-
43
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
efficacy tinggi dengan skor per indikator kemampuan
komunikasi matematis, dua tertinggi pada hasil tes kemampuan
komunikasi matematis. Berdasarkan hasil skor yang diperoleh
siswa dalam pengisian angket self-efficacy dan hasil tes
kemampuan komunikasi matematis, terpilih satu siswa dengan
self-efficacy tinggi yaitu A-07, dua siswa dengan self-efficacy
sedang yaitu A-22, dan siswa dengan self-efficacy rendah yaitu
A-19.
a. Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa self-efficacy
Rendah
Gambar 1. Jawaban tes soal terhadap indikator
kemampuan komunikasi subjek A-19
Pada jawaban nomor satu subjek A-19, belum bisa
menuliskan jawaban sesuai rumus yang dibutuhkan.
Subjek A-19 juga belum bisa menggambar diagram
batang sesuai dengan perintah soal. Hal ini
menunjukkan bahwa subjek A-19 belum bisa mencapai
indikator pertama yaitu membuat model dari situasi
melalui tulisan, gambar, dan lisan.
44
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Pada jawaban nomor dua subjek A-19 sudah mampu mencari presentase banyaknya orang tua siswa yang latar belakangnya SMP, akan tetapi subjek A-19 belum bisa melanjutkan ke tahap berikutnya yaitu mencari banyaknya orang tua yang siswa yang berlatar belakang pendidikan SMP. Dari jawaban ini siswa belum bisa memenuhi indikator kedua yaitu menyusun refleksi dan membuat klasifikasi tentang ide-ide matematika, yaitu menggunakan kemampuan membaca, menyimak, dan mengamati untuk menginterprestasi dan mengevaluasi suatu ide matematika.
Pada jawaban nomor tiga subjek A-19 sama sekali belum bisa menjawab dari soal yang diberikan. Langsung bisa dikatakan subjek A-19 belum memenuhi indikator yang ketiga yaitu menyusun refleksi dan membuat klasifikasi tentang ide-ide matematik;mengembangkan pemahaman dasar matematika, termasuk aturan-aturan definisi matematika, menggunakan kemampuan membaca, menyimak, dan mengintreprestasi dan mengevaluasi suatu ide matematika; mengapresiasi nila-nila dari suatu notasi matematis termasuk aturan-aturannya dalam mengembangkan ide matematika.
Petikan Wawancara subjek A-19 pada indikator pertama
P : Sudahkah kamu mengetahui mengenai statistika ?
Subjek A-19 : Sudah. P : Apa pengertian dari statistika ? Subjek A-19 : Pengumpulan data P : Sudahtahukah kamu apa itu penyajian
data? Subjek A-19 : Tahu P : Ada berapa jenis bentuk penyajian data
yang kamu ketahui? Subjek A-19 : tiga
45
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
P : Pada jawaban nomer satu bentuk penyajian data apa yang kamu gambarkan?
Subjek A-19 : Diagram batang P : Kenapa kamu memilih gambar bentuk
penyajian data tersebut? Subjek A-19 : Karena lebih mudah P : Tunjukkan perbedaan dari jenis bentuk
penyajian data itu? Subjek A-19 : Sesuai dengan namanya
Petikan Wawancara subjek A-19 pada indikator kedua
P : Bagaimana kamu bisa memahami soal nomor dua?
Subjek A-19 : Dengan melihat soal P : Bagaimana cara untuk menyelesaikan
soal bentuk penyajian datanya? Subjek A-19 : Dengan menggunakan rumus P : Adakah rumus yang digunakan jika ada
apa rumusnya? Subjek A-19 : Saya lupa P : Gambar jenis bentuk penyajian data
mana yang lebih mudah kamu dipahami?
Subjek A-19 : Diagram batang
Petikan Wawancara subjek A-19 pada indikator ketiga
P : Langkah pertama apa yang kamu lakukan dalam menyelesaikan soal nomor tiga ?
Subjek A-19 : Saya bingung P : Sulitkah menyelesaikan soal nomor tiga
? Subjek A-19 : Sangat sulit P : Menurut kamu mudah menyelesaikan
soal bentuk penyajian data yang mana ? Subjek A-19 : Diagram batang P : jenis bentuk penyajian data apa yang
kamu lihat dari soal nomor tiga? Subjek A-19 : diagram lingkaran
46
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada
subjek A-19 menunjukkan bahwa ia belum menguasai
materi statistik secara lengkap. Subjek A-19 hanya
sekedar bisa menyebutkan jenis penyajian data tanpa
bisa menjelaskan perbedaannya. Subjek A-19 juga
tidak bisa menyebutkan rumus yang telah
dipelajarinya.
Berdasarkan uraian diatas menunjukkan
bahwasannya subjek penelitian self-efficacy rendah
yaitu A-19 dalam menuliskan informasi yang
didapatkan dari soal kurang dipahami. Hal ini
dikarenakan subjek A-19 belum menguasai secara
maksimal materi Statistik yang diajarkan gurunya,
sehingga menimbulkan kebinggungan dalam
menyelesaikan soal dan subjek tidak bisa
menyelesaikan soal dalam kurun waktu yang
diberikan.
b. Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa self-efficacy
Sedang
Gambar 2. jawaban tes soal terhadap indikator
kemampuan komunikasi subjek A-22
47
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Pada jawaban nomor satu subjek A-22, belum bisa
menuliskan jawaban sesuai rumus yang dibutuhkan.
Subjek A-22 juga belum bisa menggambar salah satu
dari jenis penyajian data dan jawaban yang dituliskan
salah. Hal ini menunjukkan bahwa subjek A-22 belum
bisa mencapai indikator pertama yaitu membuat model
dari situasi melalui tulisan, gambar, dan lisan.
Pada jawaban nomor dua subjek A-22 tidak
menuliskan jawaban secara lengkap. Subjek A-22 juga
belum mampu mencari presentase banyaknya orang tua
siswa yang latar belakangnya SMP, akan tetapi subjek A-
22 bisa melanjutkan ke tahap berikutnya yaitu mencari
banyaknya orang tua yang siswa yang berlatar belakang
pendidikan SMP. Dari jawaban ini siswa belum bisa
memenuhi indikator kedua yaitu menyusun refleksi dan
membuat klasifikasi tentang ide-ide matematika, yaitu
menggunakan kemampuan membaca, menyimak, dan
mengamati untuk menginterprestasi dan mengevaluasi
suatu ide matematika.
Pada jawaban nomor tiga subjek A-22 tidak
menuliskan jawaban secara lengkap. Langkah pertama
dalam mencari besar derajat pemain sepak bola belum
dituliskan, akan tetapi pada langkah kedua sudah
dijawab dengan benar. Bisa dikatakan subjek A-22
belum sepenuhnya memenuhi indikator yang ketiga
yaitu menyusun refleksi dan membuat klasifikasi
tentang ide-ide matematik;mengembangkan
pemahaman dasar matematika, termasuk aturan-aturan
definisi matematika, menggunakan kemampuan
membaca, menyimak, dan mengintreprestasi dan
mengevaluasi suatu ide matematika; mengapresiasi
nila-nila dari suatu notasi matematis termasuk aturan-
aturannya dalam mengembangkan ide matematika.
Petikan Wawancara subjek A-22 pada indikator pertama
48
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
P : Sudahkah kamu mengetahui mengenai
statistika ?
Subjek A-22 : Sudah.
P : Apa pengertian dari statistika ?
Subjek A-22 : mengenai data
P : Sudahtahukah kamu apa itu penyajian
data?
Subjek A-22 : Tahu
P : Ada berapa jenis bentuk penyajian data
yang kamu ketahui?
Subjek A-22 : tiga
P : Pada jawaban nomer satu bentuk
penyajian data apa yang kamu
gambarkan?
Subjek A-22 : suda saya gambar tapi sepertinya salah
P : Kenapa kamu memilih gambar bentuk
penyajian data tersebut?
Subjek A-22 : Karena lebih mudah
P : Tunjukkan perbedaan dari jenis bentuk
penyajian data itu?
Subjek A-22 : bentuk lingkaran, batang
Petikan Wawancara subjek A-22 pada indikator kedua
P : Bagaimana kamu bisa memahami soal
nomor dua?
Subjek A-22 : Dengan membaca memahami soal
P : Bagaimana cara untuk menyelesaikan
soal bentuk penyajian datanya?
Subjek A-22 : Dengan mencari besarnya presentase
P : Adakah rumus yang digunakan jika ada
apa rumusnya?
Subjek A-22 : ada tapi saya tidak hafal
P : Gambar jenis bentuk penyajian data
mana yang lebih mudah kamu
dipahami?
Subjek A-22 : Diagram batang
49
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Petikan Wawancara subjek A-22 pada indikator ketiga
P : Langkah pertama apa yang kamu
lakukan dalam menyelesaikan soal
nomor tiga ?
Subjek A-22 : Langsung mencari banyaknya orang
P : Sulitkah menyelesaikan soal nomor tiga
?
Subjek A-22 : Lumayan sulit
P : Menurut kamu mudah menyelesaikan
soal bentuk penyajian data yang mana ?
Subjek A-22 : Lingkaran
P : jenis bentuk penyajian data apa yang
kamu lihat dari soal nomor tiga?
Subjek A-22 : diagram lingkaran
Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada
subjek A-22 menunjukkan bahwa ia masih menguasai
sebagian dari materi statistik yang telah didapat..
Subjek A-22 hanya sekedar bisa menyebutkan jenis
penyajian data tanpa bisa menjelaskan perbedaannya.
Subjek A-22 juga bisa menyebutkan sebagian rumus
yang telah dipelajarinya.
Berdasarkan uraian diatas diperoleh informasi
bahwa subjek penelitian dengan self- efficacy sedang
yaitu subjek A-22 dalam menuliskan informasi
pemecahan masalah sudah cukup bisa namun ada
beberapa penyelesaian masalah matematika kurang
tepat.
50
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
c. Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa self-efficacy
Tinggi
Gambar 3. jawaban tes soal terhadap indikator
kemampuan komunikasi subjek A-07
Pada jawaban nomor satu subjek A-07, sudah bisa
menuliskan jawaban sesuai rumus yang dibutuhkan.
Subjek A-07 juga sudah bisa menggambar salah satu
dari jenis penyajian data dan jawaban yang dituliskan
dengan benar. Hal ini menunjukkan bahwa subjek A-
07 sudah bisa mencapai indikator pertama yaitu
membuat model dari situasi melalui tulisan, gambar,
dan lisan.
Pada jawaban nomor dua subjek A-07 menuliskan
jawaban secara lengkap. Subjek A-07 juga sudah
mampu mencari presentase banyaknya orang tua
siswa yang latar belakangnya SMP, akan tetapi subjek
A-07 bisa melanjutkan ke tahap berikutnya yaitu
mencari banyaknya orang tua yang siswa yang berlatar
belakang pendidikan SMP. Dari jawaban ini siswa
sudah bisa memenuhi indikator kedua yaitu menyusun
refleksi dan membuat klasifikasi tentang ide- ide
matematika, yaitu menggunakan kemampuan
membaca, menyimak, dan mengamati untuk
menginterprestasi dan mengevaluasi suatu ide
matematika.
51
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Pada jawaban nomor tiga subjek A-07 menuliskan
jawaban secara lengkap. Langkah pertama dalam
mencari besar derajat pemain sepak bola sudah
dituliskan, akan tetapi pada langkah kedua sudah
dijawab dengan benar. Bisa dikatakan subjek A-07
sudah memenuhi indikator yang ketiga yaitu
menyusun refleksi dan membuat klasifikasi tentang
ide-ide matematik;mengembangkan pemahaman
dasar matematika, termasuk aturan-aturan definisi
matematika, menggunakan kemampuan membaca,
menyimak, dan mengintreprestasi dan mengevaluasi
suatu ide matematika; mengapresiasi nila-nila dari
suatu notasi matematis termasuk aturan-aturannya
dalam mengembangkan ide matematika.
Petikan Wawancara subjek A-07 pada indikator
pertama
P : Sudahkah kamu mengetahui mengenai
statistika ?
Subjek A-07 : Sudah.
P : Apa pengertian dari statistika ?
Subjek A-07 : materi yang membahas tetang
pengumpulan data
P : Sudah tahukah kamu apa itu penyajian
data?
Subjek A-07 : Sudah
P : Ada berapa jenis bentuk penyajian data
yang kamu ketahui?
Subjek A-07 : tiga
P : Pada jawaban nomer satu bentuk
penyajian data apa yang kamu
gambarkan?
Subjek A-07 : Diagram batang
P : Kenapa kamu memilih gambar bentuk
penyajian data tersebut?
Subjek A-07 : Karena lebih mudah dipahami
P : Tunjukkan perbedaan dari jenis bentuk
penyajian data itu?
52
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Subjek A-07 : bentuk gambar lingkaran, batang, dan
garis
Petikan Wawancara subjek A-07 pada indikator kedua
P : Bagaimana kamu bisa memahami soal
nomor dua?
Subjek A-07 : Dengan membaca, memahami,
menganalisis soal
P : Bagaimana cara untuk menyelesaikan
soal bentuk penyajian datanya?
Subjek A-07 : Dengan mencari besarnya presentase
P : Adakah rumus yang digunakan jika ada
apa rumusnya?
Subjek A-07 : ada, menggunakan rumus untuk
mencari presentase
P : Gambar jenis bentuk penyajian data
mana yang lebih mudah kamu
dipahami?
Subjek A-07 : Diagram batang
Petikan Wawancara subjek A-07 pada indikator ketiga
P : Langkah pertama apa yang kamu
lakukan dalam menyelesaikan soal
nomor tiga ?
Subjek A-07 : Mencari besarnya derajat
P : Sulitkah menyelesaikan soal nomor tiga
?
Subjek A-07 : Tidak sulit
P : Menurut kamu mudah menyelesaikan
soal bentuk penyajian data yang mana ?
Subjek A-07 : Semuanya tapi lebih mudah diagram
batang
P : jenis bentuk penyajian data apa yang
kamu lihat dari soal nomor tiga?
Subjek A-07 : diagram lingkaran
Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada
subjek A-07 menunjukkan bahwa ia sudah menguasa
materi statistik yang telah didapat.. Subjek A-07 bisa
menyebutkan jenis penyajian data dan bisa
53
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
menjelaskan perbedaannya. Subjek A-07 juga bisa
menyebutkan rumus yang telah dipelajarinya.
Berdasarkan uraian diatas menunjukkan
bahwasannya subjek penelitian self-efficacy tinggi
yaitu A-07 dalam menuliskan informasi yang
didapatkan dari soal sudah baik. Langkah-langkah
dalam menyelesaikan soal juga sudah terstruktur
dengan baik, sehingga mampu menyelesaikan soal
dengan tepat sesuai dengan indikator yang ada.
Hal ini sudah sesuai dengan teori bandura (1997)
yang menjelaskan bahwa individu yang memiliki self-
efficacy sedang memiliki ketertarikan dan komitmen
yang tinggi pada tugas yang ringan namun cenderung
menghindari tugas yang sulit. Hasil penelitian dari
jurnal (Novi Indriani dan Endah Budi Rahayu. 2016)
siswa yang memiliki self-efficacy tinggi memiliki
komitmen yang tinggi untuk menyelesaikan suatu
masalah dan siswa mampu mengembangkan konsep
yang sudah didapatkan sehingga siswa mempunya
rasa optimis yang tinggi ketika menghadapi suatu
permasalahan.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian ini diperoleh kesimpulan sebagai
berikut 1.) Kemampuan komunikasi matematis siswa dalam
menyelesaikan soal statistika. Sudah mencapai ketuntasan
belajar hal ini dapat dibuktikan dengan kemampuan
komunikasi matematis siswa yang sudah mencapai ketuntasan.
2.) Deskripsi kemampuan komunikasi matematis siswa
berdasarkan self-efficacy yaitu : a. Siswa dengan self-efficacy
rendah kurang baik dalam hal penyapaian indikator komunikasi
matematis nya. Sehingga, siswa masih mengalami kesalahan
dalam menuliskan informasi yang didapatkan dari soal kurang
dipahami sehingga menimbulkan kebinggungan dalam
menyelesaikan soal sehingga subjek tidak bisa menyelesaikan
dalam kurun waktu yang diberikan. b. Siswa dengan self-efficacy
54
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
sedang cukup baik dalam hal penyapaian indikator komunikasi
matematis nya. Akan tetapi, siswa masih mengalami kesalahan
dalam menuliskan informasi pemecahan masalah sudah cukup
bisa namun ada beberapa penyelesaian masalah matematika
kurang tepat. c. Siswa dengan self-efficacy tinggi sudah baik
dalam hal penyapaian indikator komunikasi matematis nya.
Sehingga, siswa dapat menuliskan langkah-langkah dalam
menyelesaikan soal juga sudah terstruktur dengan baik,
sehingga mampu menyelesaikan soal dengan tepat sesuai
dengan indikator yang ada.
55
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
DAFTAR PUSTAKA
Adni, D. N., Nurfauziah, P., & Rohaeti, E. E. (2018). Analisis
Kemampuan Koneksi Matematis Siswa Smp Ditinjau Dari
Self-efficacy Siswa. Jurnal Pembelajaran Matematika
Inovatif, 1(5), 957–964.
Damri, Engkizar, & Anwar, F. (n.d.). Hubungan Self-efficacy Dan
Prokrastinasi Akademik Mahasiswa Dalam
Menyelesaikan Tugas Perkuliahan. Jurnal Edukasi
Bimbingan Konseling, 74–95.
Haji, S., & Abdullah, M. I. (2016). Peningkatan Kemampuan
Komunikasi Matematik Melalui Pembelajaran
Matematika Realistik. Jurnal IImiah Program Studi
Matematika STKIP Siliwangi Bandung, 5(1), 42–49.
Indriani, N., & Rahaju, E. B. (2016). Proses Berpikir Siswa Dalam
Pemecahan Masalah Trigonometri Ditinjau Dari Self-
efficacy Siswa. Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika, 3(5).
Juhrani, Suyitno, H., & Khumaedi. (2017). Analisis Kemampuan
Komunikasi Matematis Berdasarkan Self- Efficacy Siswa
Pada Model Pembelajaran Mea, 6(2), 251–258.
Librianti, V. D. (2018). Proses Komunikasi Matematis Siswa SMP
Beradasarkan Tipe Kepribadiani Keirsey Dalam
Menyelesaikan Masalah Terbuka Geometri.
Nurdiana, H., Pujiastuti, E., & Sugiman. (2018). Kemampuan
Komunikasi Matematis Ditinjau dari Self-efficacy
Menggunakan Model Discovery Learning Terintegrasi
Pemberian Motivasi, 1, 120–129.
Ritonga, S. N. (2018). Analisis Kemampuan Komunikasi
Matematis Siswa Dalam Pembelajaran Matematika Mts
Hifzil Qur’an Medan.
Rizqi, A. A. (2014). Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa
melalui Blended Learning Berbasis Pemecahan Masalah,
191–202.
Yuniarti, Y. (2013). Pengembangan Kemampuan Komunikasi
56
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Matematis Dalam Pembelajaran Matematika Di Sekolah
Dasar, (c), 109–114.
57
ANALISIS LITERASI MATEMATIS DITINJAU DARI KEMAMPUAN MATEMATIKA SISWA MTS DARUL
HIKMAH TAHUN AJARAN 2018/2019
Santi Cahyo Dewanti1, Dewi Armarani2 1Tadris Matematika, IAIN Tulungagung, Tulungagung 2Tadris Matematika, IAIN Tulungagung. Tulungagung
e-mail: [email protected],1
ABSTRAK
Penelitian ini dilatar belakangi oleh masih rendahnya tingkat literasi matematika siswa di Indonesia sebagaimana tercatat di dalam PISA 2015. Oleh karena itu, peneliti tergerak untuk melakukan penelitian berkaitan dengan literasi matematis ditinjau dari kemampuan matematika siswa kelas VIII D MTs Darul Hikmah. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui bagaimana kemampuan literasi matematis siswa kelas VIII D MTs Darul Hikmah Tawangsari. (2) Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kesulitan yang dialami siswa kelas VIII D MTs Darul Hikmah Tawangsari dalam menyelesaikan soal PISA yang diberikan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif jenis penelitian deskriptif. Data penelitian yang diperoleh berupa data tes tertulis dan wawancara. Analisis data dilakukan melalui tahap reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi. Pengecekan keabsahan data dilakukan dengan cara perpanjangan keikutsertaan peneliti dan triangulasi. Hasil penelitian ini menunjukkan (1) siswa dengan kemampuan matematika tinggi berada pada level PISA yang cukup tinggi yaitu level 5. Akan tetapi, salah satu siswa dengan kemampuan
58
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
tinggi belum mampu menyelesaikan level yang kedua. Siswa dengan kemampuan matematika sedang berada pada level literasi 1 dan level 4. Ada salah satu siswa dengan kemampuan sedang yang mampu menyelesaikan level 2. Sedangkan siswa dengan kemampuan rendah belum bisa didefinisikan levelnya pada PISA. (2) Kesulitan yang dialami siswa dalam menyelesaikan soal yang diberikan lebih kepada sulitnya memahami soal PISA dimana soal tersebut memuat masalah-masalah dalam kehidupan nyata. Soal matematika pada PISA terkenal dengan soal yang memiliki bacaan panjang karena soal tersebut sengaja dibuat untuk mengetahui tingkat kemampuan literasi siswa dimana pada saat ini masih banyak siswa yang belum terbiasa dengan soal-soal seperti itu.
Kata Kunci: Matematika, Literasi Matematis, Kemampuan
Matematika, PISA.
ABSTRACT
Background of the study is the lower student’s mathematical literacy level in Indonesia as written in PISA 2015. Because of that, the researcher wants to conduct the mathematical literacy from student’s math ability of VIII D student’s of MTs Darul Hikmah. The purposes of the study are (1) to know how the mathematical literacy ability from the VIII D student’s of MTs Darul Hikmah. (2) Besides, this study is also to know the difficulties faced by VIII D student’s of MTs Darul Hikmah to solve the PISA’s question given. This study use descriptive qualitative approach, data gotten in front of written test and interview. Data analysis is done by reducing data, survey data, take the conclusion and verification. Checking the data validity is done by lengthen the researcher participation and triangulation. The result of the study shown that (1) student with the high math ability is in high PISA level, that is 5, but there is one student with high ability cannot solved the second ability. There is one of the student with the medium ability is in the fourth and first level. There is one student with medium ability who can solve the second level. But the student with lower ability can’t be defined its level in PISA. (2) The difficulties faced by student’s to solve the question given is in the difficulties to understand PISA question where that question accommodate problems in real life. Math question in PISA famous
59
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
with long reading question, because the question is deliberately made to know the students literacy ability where now days, there are many students who haven familiar with that kind of question.
Keywords: Math, Mathematical Literacy, Math Ability, PISA.
PENDAHULUAN
OECD (Organisation for Economic Co-Operation and
Development) merupakan sebuah organisasi internasional yang
memiliki prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar
bebas.1 Pentingnya literasi dalam kehidupan ekonomi dan sosial
mendorong negara anggota OECD untuk mencetuskan PISA.
PISA (Programme International for Student Assesment)
merupakan suatu studi internasional dimana kegiatannya yaitu
menilai prestasi literasi membaca, matematika, dan sains siswa
sekolah yang berusia 15 tahun.2 PISA menggunakan pendekatan
literasi yang inovatif dalam setiap studinya.
Inovasi PISA diantaranya yaitu mengenai konsep belajar
yang berkaitan dengan kapasitas para siswa untuk menerapkan
pengetahuan dan keterampilan pada mata pelajaran disertai
dengan kemampuan untuk menelaah, memberi alasan, dan
mengkomunikasikannya secara efektif, serta memecahkan dan
menginterpretasikan permasalahan dalam berbagai situasi.3
Inilah yang disebut sebagai literasi secara umum. Sedangkan
penelitian kali ini akan fokus pada literasi matematika.
Literasi matematika adalah kemampuan seseorang untuk
merumuskan, menerapkan dan menafsirkan matematika dalam
berbagai konteks. Kemampuan ini mencakup penalaran secara
matematis dan menggunakan konsep, prosedur, dan fakta untuk
menggambarkan, menjelaskan atau memperkirakan
fenomena/kejadian. Hal ini membantu seseorang dalam
1http://id.m.wikipedia.org/wiki/Organisasi_untuk_Kerja_Sama_dan_Pembangun
an_Ekonomi, diakses pada tanggal 23 Oktober 2018 2Buyung dan Dwijanto, Analisis Kemampuan Literasi Matematika Melalui
Pembelajaran Inkuiri Dengan Strategi Scaffolding, Vol. 6 No. 1, UJMER, 2017, hal. 113 3Andes Safarandes Asmara, et. all., Analisis Kemampuan Literasi Matematika
Siswa Kelas X Berdasarkan Kemampuan Mtematika, Vol. 7 No. 2, Scholaria, Mei 2017, hal. 136
60
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari sebagai
wujud dari keterlibatan masyarakat yang konstruktif dan
reflektif.4 Literasi matematika ini merupakan salah satu materi
yang dijadikan survei oleh PISA.
Survei PISA diselenggarakan setiap tiga tahun sekali. Tahun
2000 merupakan tahun pertama PISA menyelenggarakan
survei. Indonesia menjadi salah satu dari 32 negara yang
mengikuti survei ini untuk pertama kalinya.5
Sudah tercatat enam kali Indonesia berpartisipasi dalam
PISA. Akan tetapi, hasil yang didapatkan masih sangat
memprihatinkan. Pada tahun 2012, Indonesia menempati
peringkat ke 2 dari bawah dengan rata-rata skor 375.6 Menurut
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, penyebab rendahnya
hasil yang dicapai oleh siswa di Indonesia dikarenakan
banyaknya materi uji yang muncul dalam soal PISA yang tidak
terdapat di dalam kurikulum yang ada di Indonesia.7
Menanggapi kenyataan tersebut, pergantian Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi Kurikulum 2013
sangatlah diperlukan. Dalam buku-buku kurikulum 2013
terdapat soal-soal yang sudah dihubungkan dengan literasi
matematika meskipun pada kenyataannya masih belum
menunjukkan hasil yang maksimal.
Kenyataan pada tahun 2015, Indonesia menempati
peringkat ke 63 dari 70 negara yang mengikuti survei pada
literasi matematika dengan rata-rata skor sebesar 386 yang
4Egidius Gunardi, Skripsi Program Sarjana Pendidikan, Analisis Keampuan
Liiterasi Matematis Siswa Kelas VIII A SMP Pangudi Luhur Moyudan Tahun Ajaran 2016/2017, (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2017), hal. 13
5Samsul Hadi dan Endang Mulyatiningsih, Model Trend Prestasi Siswa Berdasarkan Data PISA Tahun 2000, 2003, Dan 2006, Departemen Pendidikan Nasional, 2009, hal. 1
6Angel Gurria, PISA 2012 Result In Focus dalam https://www.oecd.org/pisa/keyfindings/pisa-2012-results-overview.pdf, diakses 23 Oktober 2018
7Tri Tasyanti, et. All., Analisis Kemampuan Literasi Matematika Berdasarkan Kecerdasan Emosional Siswa Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation, UNNES, 2018, hal. 335
61
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
hanya naik 11 poin dari tahun 2012.8 Skor tersebut masih sangat
jauh berbeda dibanding dengan rata-rata skor yang didapat oleh
negara-negara maju lainnya. Rendahnya hasil studi
internasional tersebut menunjukkan bahwa dalam
keterampilan memahami bacaan, kompetensi peserta didik
Indonesia tergolong rendah.9 Untuk mendapatkan hasil yang
maksimal, dibutuhkan kerja keras dari berbagai elemen. Hal ini
juga disebut dalam firman Allah yaitu Al-Qur’an surat Ash-
Shaffat ayat 61 yang berbunyi:
لمثل هذا ف لي عمل العملون “Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja.”10
Ayat di atas menunjukkan seruan kepada manusia untuk
berusaha dalam melakukan suatu pekerjaan demi mencapai
tujuan. Pekerjaan yang dimaksud memiliki arti yang luas,
dimana pada pembahasan kali pekerjaan yang dimaksud
memiliki arti yaitu pekerjaan dalam mencerdaskan putra-putri
Indonesia. Hasil jangka pendek yang diharapkan dapat tercapai
salah satunya yaitu meningkatnya skor PISA pada survei
selanjutnya yang akan diadakan pada akhir tahun 2018.
Sedangkan hasil jangka panjang yang diharapkan salah satunya
yaitu meningkatnya perekonomian di Indonesia. Tidak dapat
dipungkiri bahwa ilmu seseorang sangat berpengaruh terhadap
taraf perekonomian mereka.
Pentingnya ilmu untuk meningkatkan derajat baik dari segi
martabat maupun ekonomi seseorang juga disebutkan oleh
Allah SWT dalam firmannya Al-Qur’an surat Mujadalah ayat 11
yang berbunyi:
8Angel Gurria, PISA 2012 Result In Focus dalam
https://www.oecd.org/pisa/keyfindings/pisa-2015-results-overview.pdf, diakses 23 Oktober 2018
9Winardi, et. all., Analisis Kemampuan Literasi Matematika Melalui Model Missouri Mathematics Project Dengan Pendekatan Open-Ended, UNNES, 2018, hal. 163
10Kementrian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemah, (Bekasi: Sukses Publishing, 2012) hal. 449
62
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
حوا ف المجلس فافس يي هاالذين امن وا اذا قيل لك حوا م ت فسن امن وا فانشزوا ي رفع الله الذي ي فسح الله لكمخ واذا قيل انشزوا
بير جتقلى والله با ت عملون خ والذين اوت وا العلم در منكملا“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan allah maha teliti apa yang kamu kerjakan.”11
Pada ayat tersebut disebutkan bahwa Allah akan
meninggikan derajat orang-orang yang berilmu. Hal ini
menunjukkan bahwa ada hubungan antara derajat seseorang
dengan ilmu yang mereka miliki. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, taraf perekonomian seseorang dipengaruhi oleh
ilmu yang mereka miliki.
Menyadari kenyataan di atas, peneliti tergerak untuk
melakukan penelitian dengan harapan dapat mengetahui
literasi matematis siswa kelas VIII berdasarkan kemampuan
matematika mereka. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
perkembangan kemampuan literasi matematika siswa di
Indonesia lebih lanjut setelah revisi kurikulum 2013 yang
dilakukan pada tahun 2017 dan menyongsong datangnya PISA
2018.
Peneliti tidak lupa bahwa kompetensi-kompetensi pada
literasi membutuhkan kemampuan pemecahan masalah yang
lebih kompleks dibanding dengan soal yang sudah biasa
diberikan oleh guru. PISA melakukan penelitian pada siswa
berumur 15 tahun yang rata-rata berada pada bangku SMP kelas
IX.
11Kementrian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemah, (Bekasi: Sukses Publishing,
2012) hal. 544
63
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Siswa kelas IX sengaja tidak dijadikan sebagai subyek
penelitian dikarenakan kelas IX akan menghadapi ujian
nasional. Sedangkan pengambilan subyek penelitian kelas VIII
karena kelas VIII merupakan kelas yang paling ideal dalam
penelitian kali ini baik pertimbangan dari umur (mempengaruhi
penalaran) maupun pengetahuan mengenai materi yang akan
diteliti (soal-soal yang diadaptasi dari PISA).
METODE
Penelitian ini dilakukan di MTs Darul Hikmah tepatnya
kelas VIII D. Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan
kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Data penelitian
yang diperoleh berupa data tes tertulis dan wawancara. Tes
tertulis dilakukan oleh semua siswa kelas VIII D. Instrumen tes
ini memuat lima (5) soal PISA yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia. Sedangkan wawancara hanya
dilakukan oleh 6 siswa yang terpilih saja. Instrumen wawancara
disesuaikan dengan level-level yang ada pada PISA. Kategori
siswa yang terpilih sebagai subyek wawancara ialah dua (2)
siswa dengan kemampuan matematika rendah (S1), dua (2)
siswa dengan kemampuan matematika sedang (S2), dan dua (2)
siswa dengan kemampuan matematika tinggi (S3).
Pengkategorian siswa menggunakan arahan dari guru
pengampu mata pelajaran kelas VIII D MTs Darul Hikmah.
Analisis data dilakukan melalui tahap reduksi data, penyajian
data, penarikan kesimpulan dan verifikasi. Pengecekan
keabsahan data dilakukan dengan cara perpanjangan
keikutsertaan peneliti dan triangulasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ada dua bentuk data dalam kegiatan penelitian ini yaitu
dari jawaban tertulis dan hasil wawancara. Dua data ini akan
menjadi tolak ukur untuk menyimpulkan level literasi
matematis yang dimiliki siswa. Subyek S3 diwakili oleh siswa
dengan kode L20 dan L33. Untuk siswa S2 diwakili oleh siswa
dengan kode L15 dan L25. Sedangkan untuk siswa S1 diwakili
oleh siswa dengan kode L23 dan L28.
64
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
L15 mampu menyelesaikan 2 soal dengan jawaban benar
yaitu soal nomor 1 dan soal nomor 5. Soal tersebut
menunjukkan level 1 dan level 4 dalam 6 level literasi
matematis. Dengan demikian subyek L15 dapat menjawab
pertanyaan yang konteksnya umum dan dikenal serta semua
informasi tersedia dari pertanyaan yang jelas. Ia dapat
mengidentifikasi informasi dan menyelesaikan prosedur rutin
menurut instruksi langsung pada situasi yang eksplisit. Ia dapat
melakukan tindakan sesuai dengan stimulasi yang diberikan.
Selain itu, L15 mampu bekerja secara efektif dalam situasi yang
konkret dan juga kompleks yang memungkinkan terdapatnya
suatu kendala sehingga dalam pengerjaannya melibatkan
pembuatan asumsi-asumsi. Ia dapat merepresentasikan suatu
model dengan berbeda. Siswa pada level ini dapat menggunakan
ketrampilannya menggunakan ketrampilannya dengan baik dan
mengemukakan alasan-alasan yang fleksibel sesuai konteks. Ia
dapat memberikan penjelasan dan mengkomunikasikannya
serta berargumentasi berdasarkan pada interpretasi dan
tindakan mereka.
Untuk subyek L20 mampu menyelesaikan 4 soal dengan
jawaban benar yaitu soal nomor 1, nomor 3, nomor 4 dan nomor
5. Soal tersebut menunjukkan level 1, level 3, level 5 dan level 4
dari 6 level literasi matematis. Dengan demikian subyek L20
dapat menjawab pertanyaan yang konteksnya umum dan
dikenal serta semua informasi tersedia dari pertanyaan yang
jelas. Ia dapat mengidentifikasi informasi dan menyelesaikan
prosedur rutin menurut instruksi langsung pada situasi yang
eksplisit. Ia dapat melakukan tindakan sesuai dengan stimulasi
yang diberikan.
Level 3 yang mampu L20 selesaikan juga memperlihatkan
bahwa L20 dapat melaksanakan prosedur dengan baik,
termasuk prosedur yang membutuhkan keputusan berurutan.
Ia dapat memilih dan menerapkan strategi pemecahan masalah
yang sederhana. Selain itu, ia juga dapat menafsirkan dan
menggunakan representasi berdasarkan sumber-sumber
informasi yang berbeda dan mengemukakan alasan secara
65
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
langsung. Ia dapat mengembangkan komunikasi yang
sederhana melalui hasil, interpretasi dan penalaran mereka.
L20 juga mampu menyelesaikan soal nomor 4 yang berlevel
5 dimana level tersebut mengindikasikan bahwa L20 mampu
bekerja secara efektif dalam situasi yang konkret dan juga
kompleks yang memungkinkan terdapatnya suatu kendala
sehingga dalam pengerjaannya melibatkan pembuatan asumsi-
asumsi. Ia dapat merepresentasikan suatu model dengan
berbeda. Selain itu, ia juga dapat menggunakan ketrampilannya
menggunakan ketrampilannya dengan baik dan mengemukakan
alasan-alasan yang fleksibel sesuai konteks. Ia dapat
memberikan penjelasan dan mengkomunikasikannya serta
berargumentasi berdasarkan pada interpretasi dan tindakan
mereka.
Soal nomor 5 yang mampu L20 selesaikan menunjukkan
bahwa L20 dapat mengembangkan dan bekerja dengan model
untuk situasi yang kompleks, mengidentifikasi kendala dan
melakukan dugaan-dugaan. Ia dapat memilih, membandingkan,
dan mengevaluasi strategi untuk memecahkan masalah yang
rumit yang berhubungan dengan model ini. Subyek ini dapat
bekerja dengan menggunakan pemikiran dan penalaran yang
luas, serta secara tepat menghubungkan pengetahuan dan
keterampilan matematikanya dengan situasi yang dihadapi. Ia
dapat melakukan refleksi dari apa yang mereka kerjakan dan
mengkomunikasikannya.
Berbeda dengan L20, L23 belum mampu memenuhi level 1
sampai dengan level 5 dari soal yang diujikan oleh peneliti.
Semua soal yang diujikan belum bisa satupun L23 jawab dengan
benar. L23 mengaku bahwa ia belum memahami soal yang
diberikan.
L25 mampu menyelesaikan 3 soal dengan jawaban benar
yaitu soal nomor 1, nomor 2 dan nomor 5. Soal tersebut
menunjukkan level 1, level 2 dan level 4 dalam 6 level literasi
matematis. Dengan demikian subyek L25 dapat menjawab
pertanyaan yang konteksnya umum dan dikenal serta semua
informasi tersedia dari pertanyaan yang jelas. Ia dapat
66
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
mengidentifikasi informasi dan menyelesaikan prosedur rutin
menurut instruksi langsung pada situasi yang eksplisit. Ia dapat
melakukan tindakan sesuai dengan stimulasi yang diberikan.
L25 dapat menafsirkan dan mengenali situasi dalam
konteks yang membutuhkan penarikan kesimpulan secara
langsung. Ia dapat memilah informasi yang relevan dari satu
sumber dan menggunakan cara representasi tunggal. Selain itu,
ia dapat mempekerjakan algoritma dasar, menggunakan rumus,
melaksanakan prosedur atau konvensi sederhana untuk
memecahkan masalah yang melibatkan seluruh angka. L25
mampu memberikan alasan secara langsung dari hasil yang
ditulisnya.
Subyek L25 juga mampu bekerja secara efektif dalam
situasi yang konkret dan juga kompleks yang memungkinkan
terdapatnya suatu kendala sehingga dalam pengerjaannya
melibatkan pembuatan asumsi-asumsi. Ia dapat
merepresentasikan suatu model dengan berbeda. L25 dapat
menggunakan ketrampilannya menggunakan ketrampilannya
dengan baik dan mengemukakan alasan-alasan yang fleksibel
sesuai konteks. Ia dapat memberikan penjelasan dan
mengkomunikasikannya serta berargumentasi berdasarkan
pada interpretasi dan tindakan mereka.
L28 belum mampu menyelesaikan satupun soal yang
diberikan. Selain itu, hasil wawancaranyapun tidak
menunjukkan bahwa ia memahami soal. L28 belum mampu
menjelaskan apa yang dimaksud soal meskipun ia mengaku
bahwa ia paham terhadap soal yang diberikan.
L33 mampu menyelesaikan 5 soal dengan jawaban benar
yaitu soal nomor 1, nomor 2, nomor 3, nomor 4 dan nomor 5.
Soal tersebut menunjukkan level 1, level 2, level 3, level 5 dan
level 4 dari 6 level literasi matematis. Dengan demikian subyek
L33 dapat menjawab pertanyaan yang konteksnya umum dan
dikenal serta semua informasi tersedia dari pertanyaan yang
jelas. Ia dapat mengidentifikasi informasi dan menyelesaikan
prosedur rutin menurut instruksi langsung pada situasi yang
67
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
eksplisit. Ia dapat melakukan tindakan sesuai dengan stimulasi
yang diberikan.
L33 dapat menafsirkan dan mengenali situasi dalam
konteks yang membutuhkan penarikan kesimpulan secara
langsung. Ia dapat memilah informasi yang relevan dari satu
sumber dan menggunakan cara representasi tunggal. Selain itu,
L33 dapat mempekerjakan algoritma dasar, menggunakan
rumus, melaksanakan prosedur atau konvensi sederhana untuk
memecahkan masalah yang melibatkan seluruh angka. Ia
mampu memberikan alasan secara langsung dari hasil yang
ditulisnya.
Level 3 yang mampu L33 selesaikan juga memperlihatkan
bahwa L33 dapat melaksanakan prosedur dengan baik,
termasuk prosedur yang membutuhkan keputusan berurutan.
Ia dapat memilih dan menerapkan strategi pemecahan masalah
yang sederhana. Selain itu, ia juga dapat menafsirkan dan
menggunakan representasi berdasarkan sumber-sumber
informasi yang berbeda dan mengemukakan alasan secara
langsung. Ia dapat mengembangkan komunikasi yang
sederhana melalui hasil, interpretasi dan penalaran mereka.
L33 juga mampu menyelesaikan soal nomor 4 yang berlevel
5 dimana level tersebut mengindikasikan bahwa L33 mampu
bekerja secara efektif dalam situasi yang konkret dan juga
kompleks yang memungkinkan terdapatnya suatu kendala
sehingga dalam pengerjaannya melibatkan pembuatan asumsi-
asumsi. Ia dapat merepresentasikan suatu model dengan
berbeda. Selain itu, ia juga dapat menggunakan ketrampilannya
menggunakan ketrampilannya dengan baik dan mengemukakan
alasan-alasan yang fleksibel sesuai konteks. Ia dapat
memberikan penjelasan dan mengkomunikasikannya serta
berargumentasi berdasarkan pada interpretasi dan tindakan
mereka.
Soal nomor 5 yang mampu L33 selesaikan menunjukkan
bahwa L33 dapat mengembangkan dan bekerja dengan model
untuk situasi yang kompleks, mengidentifikasi kendala dan
melakukan dugaan-dugaan. Ia dapat memilih, membandingkan,
68
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
dan mengevaluasi strategi untuk memecahkan masalah yang
rumit yang berhubungan dengan model ini. Subyek ini dapat
bekerja dengan menggunakan pemikiran dan penalaran yang
luas, serta secara tepat menghubungkan pengetahuan dan
keterampilan matematikanya dengan situasi yang dihadapi. Ia
dapat melakukan refleksi dari apa yang mereka kerjakan dan
mengkomunikasikannya.
LEVEL LITERASI MATEMATIS SISWA S3
Subyek yang memiliki kemampuan matematika tinggi
dapat dengan mudah menyeleseaikan level PISA yang pertama
yang menyatakan bahwa siswa dapat menjawab pertanyaan
yang konteksnya umum dan dikenal serta semua informasi
tersedia dari pertanyaan yang jelas. Siswa juga dapat
mengidentifikasi informasi dan menyelesaikan prosedur rutin
menurut instruksi langsung pada situasi yang eksplisit.
Tindakan yang siswa ambil sesuai dengan stimulus yang
diberikan.12
Wawancara yang dilakukan terhadap S3 menunjukkan
bahwa S3 dapat dengan mudah menyampaikan data yang
diketahui dan yang ditanyakan. Menurut Sudirman, siswa yang
dapat mengemukakan data yang diketahui dan yang ditanyakan
dari masalah yang tersaji menunjukkan bahwa siswa tersebut
memahami masalah yang diberikan.13 Dari uaraian di atas,
dapat disimpulkan bahwa subyek dengan kemampuan
matematika tinggi yaitu L20 dan L33 telah melewati level 1 dari
6 level yang ada pada PISA.
L33 juga dapat menyelesaikan level 2 dari 6 level yang ada
pada PISA. Level 2 menyatakan bahwa siswa dapat menafsirkan
dan mengenali situasi dalam konteks yang membutuhkan
penarikan kesimpulan secara langsung. Mereka dapat memilah
informasi yang relevan dari satu sumber dan menggunakan cara
representasi tunggal. Siswa pada level ini dapat mempekerjakan
12Egidius Gunardi, Skripsi Program Sarjana Pendidikan, Analisis…, hal. 21 13Nur Baeti, Analisis Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa dalam Pemecahan
Masalah Matematika di SMP, Vol. 6 No. 2, Jurnal Pendidikan Matematika STIKIP Bima, Juli 2015, hal. 25
69
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
algoritma dasar, menggunakan rumus, melaksanakan prosedur
atau konvensi sederhana untuk memecahkan masalah yang
melibatkan seluruh angka. Mereka mampu memberikan alasan
secara langsung dari hasil yang ditulisnya.14
Akan tetapi, L20 membuat kesalahan pada saat
memperkirakan penjualan CD pada bulan Februari sampai
dengan Juni. Kesalahan tersebut membuat kesimpulan yang L20
tuliskan salah. Menurut Rahardjo, dalam menyelesaikan soal
cerita siswa dituntut untuk memecahkan masalah melalui
kemampuannya dalam memahami, merancang, dan
menyelesaikan soal cerita tersebut.15 L20 sudah berhasil
memahami apa yang soal inginkan. Ketika melakukan
perancangan dan penyelesaian, L20 membuat kesalahan dalam
melihat grafik yang ada pada soal. Meskipun alur yang ia
kerjakan sudah benar, ia tetap mendapat kesimpulan yang
salah.
Selain hal tersebut, L20 juga belum memahami bahwa soal
nomor 2 ini memiliki kemungkinan jawaban benar yang lebih
dari satu. Masalah yang memiliki solusi lebih dari satu
merupakan soal open-ended. Hal ini selaras dengan yang
dikatakan Takashi. Menurut Takashi masalah open-ended
adalah masalah yang mempunyai banyak solusi.16
Subyek S3 mampu melewati level 3 dari 6 level yang ada
pada PISA dengan baik. Level 3 menyatakan bahwa siswa dapat
melaksanakan prosedur dengan baik, termasuk prosedur yang
membutuhkan keputusan berurutan. Mereka dapat memilih
dan menerapkan strategi pemecahan masalah yang sederhana.
Siswa pada level ini dapat menafsirkan dan menggunakan
representasi berdasarkan sumber-sumber informasi yang
berbeda dan mengemukakan alasan secara langsung. Mereka
14Egidius Gunardi, Skripsi Program Sarjana Pendidikan, Analisis…, hal. 20-21 15Rahardjo dan Waluyati, Pembelajaran Soal Cerita Pada Operasi Hitung
Campuran di SD, (Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PPPTK), 2011), hal. 21
16Muhammad Saudi, Profil Metakognisi Siswa SMP dalam Memecahkan Masalah Open-Ended Ditinjau dari Tingkat Kemampuan Siswa, Vol. 01 No. 01, Jurnal Math Educator Busantara, 2015, hal. 28
70
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
dapat mengembangkan komunikasi yang sederhana melalui
hasil, interpretasi dan penalaran mereka.17
Selain itu, proses metakognisi yang S3 lakukan pada saat
menjawab nomor 3 ini sangatlah baik. Menurut Mohsen
Mahdavi, ada 3 tahap pada metakognisi yaitu perencanaan,
memonitor rencana, dan melakukan evaluasi.18 Dalam proses
perencanaan, S3 sudah siap dengan aturan sinus untuk
menjawab nomor 3 tersebut. Pemonitoran rencana mereka
lakukan dengan memasukkan yang diketahui pada rumus
aturan sinus yang ada kemudian mereka lakukan perkalian
silang. Mereka tidak lupa bahwa ada bentuk akar yang harus
mereka sederhanakan. S3 juga melakukan evaluasi dengan
sangat baik. Mereka tahu benar bahwa cara untuk menjwab
nomor 3 tidak hanya aturan sinus saja. Cara lain yang mereka
maksud ialah penggunaan aturan pada segitiga sama kaki yang
memiliki sudut siku-siku. Soal nomor 3 ini S3 lewati dengan
sangat baik.
Pada soal nomor 3 ini, ada sedikit masalah yang dihadapi
oleh S3 yaitu pada saat melihat soal yang menggunakan sudut-
sudut. Dapat dipahami bahwa siswa kelas VIII belum
sepenuhnya mengenal aturan sinus. Mereka hanya mendapat
sedikit materi mengenai aturan sinus yaitu pada materi segi
banyak. Akan tetapi, kendala tersebut dapat S3 lewati dengan
baik berbekal kemampuan operasi hitung dan penyederhanaan
bentuk akar yang mereka miliki. Prosedur pemecahan masalah
yang mereka tuliskan sudah sangat baik. Menurut Klurik dan
Rudnick, pemecahan masalah merupakan salah satu cara yang
dilakukan seseorang dengan menggunakan pengetahuan,
ketrampilan dan pemahaman untuk memenuhi tuntutan dari
soal yang tak rutin.19
17Egidius Gunardi, Skripsi Program Sarjana Pendidikan, Analisis…, hal. 20 18Mohsen Mahdavi, An Overview: Metacognition in Education, (ISSN: 2321-3124,
2014, Available at: http://ijmer.com) 19Tatag Yuli Eko Siswono dan Whidia Novitasari, Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Kreatif Siswa Melalui Pemecahan Masalah Tipe What’s Another Way, (Surabaya: Universitas Negeri Surabaya, 2006), hal.1
71
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Level 4 dari 6 level yang ada dalam PISA mampu S3 lewati
dengan baik. Level 4 dalam PISA yang menyatakan siswa dapat
bekerja secara efektif dalam situasi yang konkret dan juga
kompleks yang memungkinkan terdapatnya suatu kendala
sehingga dalam pengerjaannya melibatkan pembuatan asumsi-
asumsi. Mereka dapat merepresentasikan suatu model dengan
berbeda. Siswa pada level ini dapat menggunakan
ketrampilannya menggunakan ketrampilannya dengan baik dan
mengemukakan alasan-alasan yang fleksibel sesuai konteks.
Mereka dapat memberikan penjelasan dan
mengkomunikasikannya serta berargumentasi berdasarkan
pada interpretasi dan tindakan mereka.20
Soal nomor 5 ini belum menjadi masalah bagi L20. Menurut
Kantowski seseorang yang berhadapan dengan suatu masalah
ketika ia menghadapi suatu pernyataan yang tidak bisa
dijawabnya atau suatu situasi yang tidak mampu ia pecahkan
dengan pengetahuan yang seketika ada untuknya.21 Hal tersebut
menandakan bahwa tidak semua pertanyaan atau soal
merupakan masalah. Hanya pertanyaan yang menimbulkan
konflik dalam pikiran siswa yang bisa disebut sebagai masalah.
Konflik tersebut sangat bergantung pada kemampuan dasar
yang siswa miliki. Masalah bagi siswa A belum tentu menjadi
masalah bagi siswa B. Sangat jelas disampaikan oleh L20 pada
saat sesi wawancara bahwa ia tidak mendapat kesulitan pada
saat menjawab soal nomor 5 ini. Oleh karena itu, soal nomor 5
ini bukanlah suatu masalah bagi L20.
Seperti pada level-level yang sebelumnya, pada level yang
kelima juga mampu S3 selesaikan dengan baik. Level kelima
tersebut menyatakan bahwa siswa dapat mengembangkan dan
bekerja dengan model untuk situasi yang kompleks,
mengidentifikasi kendala dan melakukan dugaan-dugaan.
Mereka dapat memilih, membandingkan, dan mengevaluasi
20Egidius Gunardi, Skripsi Program Sarjana Pendidikan, Analisis…, hal. 20 21Muhammad Ilman Nafi’an, Skripsi Program Sarjana Pendidikan, Level
Kemampuan Siswa dalam Memecahkan Masalah yang Berbentuk Soal Cerita pada Materi Garis dan Sudut di Kelas VII SMP Negeri 4 Surabaya, (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2010), hal. 7
72
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
strategi untuk memecahkan masalah yang rumit yang
berhubungan dengan model ini. Siswa pada level ini dapat
bekerja dengan menggunakan pemikiran dan penalaran yang
luas, serta secara tepat menghubungkan pengetahuan dan
keterampilan matematikanya dengan situasi yang dihadapi.
Mereka dapat melakukan refleksi dari apa yang mereka
kerjakan dan mengkomunikasikannya.22
Seperti pada level yang ketiga, S3 mendapat kesulitan pada
saat mengerjakan soal nomor 4 ini. Kesulitan yang mereka
maksud ialah pada saat melakukan penghitungan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa soal nomor 4 ini menggunakan angka yang
mencapai jutaan dengan pembagi ribuan. Akan tetapi, soal
tersebut dapat memotivasi siswa dengan kemampuan tinggi
untuk berpikir lebih dari pada biasanya. Hal tersebut selaras
dengan yang disampaikan Frederick yang menyatakan bahwa
pemecahan masalah dapat meningkatkan motivasi, karena
siswa dihadapkan pada masalah yang menantang dan
menarik.23
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa S3 yaitu L20 mampu memenuhi level 1, level 3, level 4
dan level 5 menurut PISA. Sedangkan L33 mampu mencapai
level 1 sampai dengan level 5. Tabel 5.1 berikut menunjukkan
level literasi matematis yang mampu L20 dan L33 capai.
LITERASI MATEMATIS SISWA S2
Sama halnya dengan subyek S3, S2 dapat menyeleseaikan
level 1 dalam PISA dengan mudah. Level 1 menyatakan bahwa
siswa dapat menjawab pertanyaan yang konteksnya umum dan
dikenal serta semua informasi tersedia dari pertanyaan yang
jelas. Siswa juga dapat mengidentifikasi informasi dan
menyelesaikan prosedur rutin menurut instruksi langsung pada
situasi yang eksplisit. Tindakan yang siswa ambil sesuai dengan
stimulus yang diberikan.24
22Egidius Gunardi, Skripsi Program Sarjana Pendidikan, Analisis…, hal. 19-20 23Tatag Yuli Eko Siswono dan Whidia Novitasari, Meningkatkani…, hal. 16 24Egidius Gunardi, Skripsi Program Sarjana Pendidikan, Analisis…, hal. 21
73
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Wawancara yang dilakukan terhadap S2 menunjukkan
bahwa S2 dapat dengan mudah menyampaikan data yang
diketahui dan yang ditanyakan. Menurut Sudirman, siswa yang
dapat mengemukakan data yang diketahui dan yang ditanyakan
dari masalah yang tersaji menunjukkan bahwa siswa tersebut
memahami masalah yang diberikan.25 Dengan demikian subyek
dengan kemampuan matematika sedang yaitu L15 dan L25
telah melewati level 1 dari 6 level yang ada pada PISA.
Pada level yang kedua, subyek L25 dapat menyelesaikan
menyelesaikannya dengan baik. Level 2 menyatakan bahwa
siswa dapat menafsirkan dan mengenali situasi dalam konteks
yang membutuhkan penarikan kesimpulan secara langsung.
Mereka dapat memilah informasi yang relevan dari satu sumber
dan menggunakan cara representasi tunggal. Siswa pada level
ini dapat mempekerjakan algoritma dasar, menggunakan
rumus, melaksanakan prosedur atau konvensi sederhana untuk
memecahkan masalah yang melibatkan seluruh angka. Mereka
mampu memberikan alasan secara langsung dari hasil yang
ditulisnya.26
Subyek L15 memiliki permasalahan yang sama seperti L20
yaitu melakukan kesalahan pada saat memperkirakan
penjualan CD pada bulan Februari sampai dengan Juni.
Kesalahan tersebut membuat kesimpulan yang L15 tuliskan
salah. Menurut Rahardjo, dalam menyelesaikan soal cerita siswa
dituntut untuk memecahkan masalah melalui kemampuannya
dalam memahami, merancang, dan menyelesaikan soal cerita
tersebut.27 L15 sudah berhasil memahami apa yang soal
inginkan. Ketika melakukan perancangan dan penyelesaian, L15
membuat kesalahan dalam melihat grafik yang ada pada soal.
Meskipun alur yang ia kerjakan sudah benar, ia tetap mendapat
kesimpulan yang salah.
Selain hal tersebut, L15 juga belum memahami bahwa soal
nomor 2 ini memiliki kemungkinan jawaban benar yang lebih
25Nur Baeti, Analisis …, hal. 25 26Egidius Gunardi, Skripsi Program Sarjana Pendidikan, Analisis…, hal. 20-21 27Rahardjo dan Waluyati, Pembelajaran …, hal. 21
74
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
dari satu. Masalah yang memiliki solusi lebih dari satu
merupakan soal open-ended. Hal ini selaras dengan yang
dikatakan Takashi. Menurut Takashi masalah open-ended
adalah masalah yang mempunyai banyak solusi.28
Berbeda dengan S3, pada level 3 subyek S2 belum mampu
menyelesaikan indikator yang ada. Menurut Polya, terdapat 4
fase dalam menyelesaikan masalah yaitu memahami,
merencanakan, melaksanakan rencana, dan menafsirkan
kembali.29 S2 belum mampu memahami soal level 3 yang
diujikan. Hal tersebut mempengaruhi proses-proses yang
selanjutnya. Terdapat kecacatan pengerjaan soal apabila dari
awal siswa tidak paham apa yang dimaksud soal seperti pada
prosedur pengerjaan yang tidak benar dan juga alasan yang
dikemukakan belum sesuai dengan konteks yang dibicarakan.
Level 3 yang belum mampu S2 capai ialah melaksanakan
prosedur dengan baik. Mereka belum dapat memilih dan
menerapkan strategi pemecahan masalah yang sederhana. S2
juga belum bisa menafsirkan dan menggunakan representasi
berdasarkan sumber-sumber informasi yang berbeda dan
mengemukakan alasan secara langsung. Mereka belum dapat
mengembangkan komunikasi yang sederhana melalui hasil,
interpretasi dan penalaran mereka.30 Dengan demikian, subyek
S2 belum bisa mencapai level 3 dari 6 level yang ada pada PISA.
Level 4 mampu S2 lewati dengan baik. Level 4 dalam PISA
yang menyatakan siswa dapat bekerja secara efektif dalam
situasi yang konkret dan juga kompleks yang memungkinkan
terdapatnya suatu kendala sehingga dalam pengerjaannya
melibatkan pembuatan asumsi-asumsi. Mereka dapat
merepresentasikan suatu model dengan berbeda. Siswa pada
level ini dapat menggunakan ketrampilannya menggunakan
ketrampilannya dengan baik dan mengemukakan alasan-alasan
28Muhammad Saudi, Profil Metakognisi Siswa SMP dalam Memecahkan Masalah
Open-Ended Ditinjau dari Tingkat Kemampuan Siswa, Vol. 01 No. 01, Jurnal Math Educator Busantara, 2015, hal. 28
29Polya, G., How To Solve It (2ndEd), (Princeton: Princeton University Press, 1973)
30Egidius Gunardi, Skripsi Program Sarjana Pendidikan, Analisis…, hal. 20
75
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
yang fleksibel sesuai konteks. Mereka dapat memberikan
penjelasan dan mengkomunikasikannya serta berargumentasi
berdasarkan pada interpretasi dan tindakan mereka.31
Soal nomor 5 ini bukan masalah bagi L25. Menurut
Kantowski seseorang yang berhadapan dengan suatu masalah
ketika ia menghadapi suatu pernyataan yang tidak bisa
dijawabnya atau suatu situasi yang tidak mampu ia pecahkan
dengan pengetahuan yang seketika ada untuknya.32 Hal tersebut
menandakan bahwa tidak semua pertanyaan atau soal
merupakan masalah. Hanya pertanyaan yang menimbulkan
konflik dalam pikiran siswa yang bisa disebut sebagai masalah.
Konflik tersebut sangat bergantung pada kemampuan dasar
yang siswa miliki. Masalah bagi siswa A belum tentu menjadi
masalah bagi siswa B. Sangat jelas disampaikan oleh L25 pada
saat sesi wawancara bahwa ia tidak mendapat kesulitan pada
saat menjawab soal nomor 5 ini. Oleh karena itu, soal nomor 5
ini bukanlah suatu masalah bagi L25.
Pada level yang kelima, S2 belum mampu menyelesaikan
permasalahan yang diberikan. Mereka mendapat kesulitan
dalam memahami soal yang memuat angka jutaan tersebut. Soal
nomor 4 yang berlevel 5 ini membutuhkan pemahaman yang
tinggi dan penalaran yang baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa
setiap peserta didik memiliki kreatifitas, intelegensi, dan
kompetensi yang berbeda beda.33 Menurut Shadiq dalam
Komang Melin, dkk., materi matematika dan penalaran
matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan
karena materi matematika dipahami melalui penalaran dan
penalaran dilatih melalui belajar matematika.34
31Ibid. 32Muhammad Ilman Nafi’an, Skripsi Program Sarjana Pendidikan, Level
Kemampuan Siswa dalam Memecahkan Masalah yang Berbentuk Soal Cerita pada Materi Garis dan Sudut di Kelas VII SMP Negeri 4 Surabaya, (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2010), hal. 7
33Mulyasa E., Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: Rosda, 2010) hal. 15
34Komang Melin, et. all., Profil Kemampuan Penalaran Siswa dalam Memecahkan Masalah Soal Cerita Barisan dan Deret Aritmatika di Kelas X SMAN 2 Palu, Vol. 4 No. 2, Aksioma, September 2015, hal. 178.
76
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa L15 mampu menyelesaikan 2 level yaitu level 1 dan level
4. Sedangkan L25 mampu menyelesaikan 3 level yaitu level 1,
level 2, dan level 4. Berikut tabel 5.2 menunjukkan level PISA
yang mampu S2 capai.
LITERASI MATEMATIS SISWA S1
Berdasarkan deskripsi sebelumnya, subyek S1 belum
mampu menyelesaikan satupun soal yang telah diberikan.
Wawancara yang dilakukan terhadap subyek L23 dan L28 juga
belum bisa menunjukkan level pada PISA yang sesuai dengan
subyek S1 tersebut. Menurut Jones dalam Mochamad Abdul
Basir menyatakan bahwa bernalar juga dipandang sebagai
aktivitas dinamis yang berhubungan dengan cara berpikir
dalam memahami, merumuskan, menemukan relasi antara ide-
ide, dan menggambarkan konklusi tentang ide-ide.35 Hal
tersebut dapat menjadi petunjuk bahwa penalaran S1 belum
bisa mencapai soal yang telah diujikan. Berikut tabel yang
menunjukkan ketercapaian level S1.
KESULITAN YANG DIALAMI SISWA DALAM
MENYELESAIKAN SOAL PISA
Kesulitan yang S1 alami berdasar pada proses analisis soal
yang panjang. Analisis yang salah menyebabkan ketidaktahuan
siswa terhadap apa yang diminta soal. Menurut Wina Sanjaya
analisis adalah kemampuan menguraikan atau memecah suatu
bahan pelajaran ke dalam bagian-bagiannya yang merupakan
tujuan pembelajaran yang kompleks yang hanya mungkin
dipahami oleh siswa yang telah dapat menguasai kemampuan
memahami dan menerapkan.36 Zevenberg menyatakan bahwa
memecahkan masalah perlu memiliki pemahaman dan
pengetahuan yang memadai, serta memiliki berbagai macam
strategi yang dapat dipilih ketika menghadapi masalah yang
35Mochamad Abdul Basir, Kemampuan Penalaran Siswa dalam Pemecahan
Masalah Matematis Ditinjau dari Gaya Kognitif, Vol. 3 No. 1, Jurnal Pendidikan Matematika FKIP Unissula, 2015, hal. 107
36Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 127
77
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
berbeda.37 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki S1 belum memadai
jika diukur dari soal yang diujikan oleh peneliti.
Berbeda halnya dengan soal S1, subyek L25 mengalami
kesulitan pada saat mengerjakan soal nomor 2 dalam
menentukan penjualan pada bulan Februari sampai dengan Juni
dari band The Kicking Kangaroos. Situasi tersebut dikarenakan
pada grafik soal nomor 2 batas penjualan sengaja tidak
ditentukan dengan jelas untuk merangsang penalaran siswa.
Menurut Ikram dalam Maya Gustiati, penalaran merupakan
suatu kegiatan, suatu proses atau suatu aktivitas berpikir untuk
menarik kesimpulanatau membuat suatu pernyataan baru yang
benar berdasarkan beberapa pernyataan yang kebenarannya
telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya. Sedangkan
penalaran matematika atau biasa yang disebut penalaran
matematis ialah suatu proses pencapaian kesimpulan logis
berdasarkan fakta dan sumber yang relevan.38 Dengan
demikian, dapat dikatan bahwa L25 masih kesulitan dalam
mengambil kesimpulan dari masalah nyata yang ada pada soal.
Pada soal yang ketiga, L20 mengatakan bahwa ia mendapat
kesulitan pada saat menentukan sudut. Hal ini memang
dikarenakan aturan sinus yang belum dijelaskan secara
mendalam ditingkat SMP sederajat. Aturan sinus hanya
dijelaskan sekilas pada materi bangun datar segi 5 ke atas. Akan
tetapi ia sangat paham bahwa soal nomor 3 tidak harus
dikerjakan menggunakan aturan sinus, hanya saja ia ingin
mencoba pengalaman baru.
Kesulitan yang berbeda dialami oleh L15 pada nomor 3. Ia
mengatakan bahwa mendapat kesulitan pada saat melakukan
pengakaran. L15 mengaku bahwa materi pengakaran sudah
pernah diajarkan akan tetapi ia masih kebingungan disaat
37Zebenberg, et. all., Teaching Mathematics in Primary School, (Sidney: Allen and
Unwi, 2004), hal. 107-108 38Maya Gustiati, Tesis Program Magister, Profil Kemampuan Penalaran
Matematis Dalam Pemecahan Masalah Ditinjau Dari Kecerdasan Emosional Dan Gaya Belajar Siswa, (Makasar: Universitas Negeri Makasar, 2016), hal. 19
78
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
mengerjakan. Sedangkan untuk L25 menyatakan bahwa ia
masih bingung dalam memahami soal.
Pada soal nomor 4, L20 dan L33 menyatakan bahwa ia
mendapat kesulitan pada saat proses menghitung.
Penghitungan pada soal nomor 4 memang cukup besar karena
mencapai pada angka jutaan. Selain itu, penghitungan yang
memberikan hasil desimal juga memicu kesulitan pengerjaan
pada nomor 4 ini. Selain kesulitan pada proses penghitungan,
L20 dan L25 juga mengalami kesulitan pada saat memahami
soal.
SIMPULAN
Berdasarkan paparan hasil penelitian dan pembahasan
tentang literasi matematis ditinjau dari kemampuan
matematika siswa dapat disimpulkan bahwa level yang dapat
dicapai setiap siswa berbeda-beda.
Siswa dengan kemampuan matematika tinggi dapat
memahami soal dengan baik. Salah satu siswa dapat
menyelesaikan level 1 sampai dengan level 5 yang ada dalam
PISA. Sedangkan siswa dengan kemampuan tinggi lainnya dapat
menyelesaikan level 1, level 3, level 4 dan level 5.
Siswa dengan kemampuan matematika sedang berada pada
keadaan dimana mereka hanya memahami soal yang
konteksnya umum dan konkret. Mereka belum mampu
melaksanakan prosedur pengerjaan soal dengan baik. Salah satu
siswa dapat menyelesaikan level 1 dan level 4 yang ada dalam
PISA. Sedangkan siswa dengan kemampuan tinggi lainnya dapat
menyelesaikan level 1, level 2 dan level 4.
Siswa dengan kemampuan rendah belum bisa didefinisikan
levelnya pada PISA. Hal tersebut dikarenakan siswa dengan
kemampuan rendah belum mampu menjawab satupun soal
yang diberikan. Selain itu, penjelasan yang mereka berikan
belum sesuai dengan yang dibicarakan.
Kesulitan yang dialami siswa dalam menyelesaikan soal
yang diberikan lebih kepada sulitnya memahami soal PISA
79
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
dimana soal tersebut memuat masalah-masalah dalam
kehidupan nyata. Soal matematika pada PISA terkenal dengan
soal yang memiliki bacaan panjang karena soal tersebut sengaja
dibuat untuk mengetahui tingkat kemampuan literasi siswa
dimana pada saat ini masih banyak siswa yang belum terbiasa
dengan soal-soal seperti itu.
80
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
DAFTAR RUJUKAN
Andes Safarandes Asmara, et. all., 2017, Analisis Kemampuan
Literasi Matematika Siswa Kelas X Berdasarkan
Kemampuan Mtematika, Researchgate, 7(1), 135–142.
Angel Gurria, PISA 2012 Result In Focus dalam
https://www.oecd.org/pisa/keyfindings/pisa-2012-results-
overview.pdf, diakses 23 Oktober 2018.
Angel Gurria, PISA 2015 Result In Focus dalam
https://www.oecd.org/pisa/keyfindings/pisa-2015-results-
overview.pdf, diakses 23 Oktober 2018.
Bobby Ojose, 2011, Mathematics Literacy: Are We Able To Put
The Mathematics We Learn Into Everyday Use, Jurnal of
Mathematics Education, 4(1), 89-100.
Buyung dan Dwijanto, 2011, Analisis Kemampuan Literasi
Matematika Melalui Pembelajaran Inkuiri Dengan Strategi
Scaffolding, UJMER, 6(1), 112–119.
Chrisna Sinaga, Kemampuan Komunikasi Matematika,
Researchgate, Desember 2017.
Departement of Education of South Africa, National Curriculum
Statement Grades 10-12 (General), Africa: Government
Printer Pretoria, 2003.
Egidius Gunardi, Skripsi Program Sarjana Pendidikan, Analisis
Keampuan Liiterasi Matematis Siswa Kelas VIII A SMP
Pangudi Luhur Moyudan Tahun Ajaran 2016/2017,
Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2017.
Erman Suherman, et. all., Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer, Jakarta: UI, 2003.
Herman Hudojo, Strategi Belajar Mengajar Matematika, Malang:
IKIP Malang, 1990.
Ika Septiani Putri, Skripsi Program Sarjana Pendidikan,
Deskripsi Kemampuan Literasi Metematika Siswa MTsN
Model Babakan Tegal Ditinjau Dari Gaya Kognitif Reflektif
Dan Impulsif, Purwokerto: Universitas Muhammadiyah
81
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Purwokerto, 2017.
Isna Nur Safitri, Skripsi Program Sarjana Pendidikan, Analisis
Kemampuan Literasi Matematis Siswa dalam Perspektif
Gender, Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel,
2016.
Kementrian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemah, Bekasi: Sukses
Publishing, 2012.
Komang Melin, et. all., 2015, Profil Kemampuan Penalaran Siswa
dalam Memecahkan Masalah Soal Cerita Barisan dan
Deret Aritmatika di Kelas X SMAN 2 Palu, Aksioma, 4(2),
177-189.
Maya Gustiati, Tesis Program Magister, Profil Kemampuan
Penalaran Matematis Dalam Pemecahan Masalah Ditinjau
Dari Kecerdasan Emosional Dan Gaya Belajar Siswa,
Makasar: Universitas Negeri Makasar, 2016.
Mochamad Abdul Basir, 2015, Kemampuan Penalaran Siswa
dalam Pemecahan Masalah Matematis Ditinjau dari Gaya
Kognitif, Jurnal Pendidikan Matematika FKIP Unissula,
3(1), 106-114.
Mohsen Mahdavi, An Overview: Metacognition in Education,
ISSN: 2321-3124, 2014, Available at: http://ijmer.com
Muhammad Ilman Nafi’an, Skripsi Program Sarjana Pendidikan,
Level Kemampuan Siswa dalam Memecahkan Masalah
yang Berbentuk Soal Cerita pada Materi Garis dan Sudut di
Kelas VII SMP Negeri 4 Surabaya, Surabaya: UIN Sunan
Ampel, 2010.
Muhammad Saudi, 2015, Profil Metakognisi Siswa SMP dalam
Memecahkan Masalah Open-Ended Ditinjau dari Tingkat
Kemampuan Siswa, Jurnal Math Educator Busantara, 1(1),
29-40.
Mulyasa E., Menjadi Guru Profesional: Menciptakan
Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung:
Rosda, 2010.
82
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan
Belajar, Jakarta: Rineka Cipta, 1999
Nur Baeti, 2015, Analisis Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa
dalam Pemecahan Masalah Matematika di SMP, Jurnal
Pendidikan Matematika STIKIP Bima, 6(2), 27-39.
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara,
2008.
PISA, Draft Mathematics Framework dalam
https://www.oecd.org/pisa/pisaproduct/Draft%2520PISA%2
52015%2520Mathematics%2520Framework%2520.pdf&sa
=U&ved=2ahUKEwiKo8Lq8ujeAhXBN48KHaj6BpQQFjA
CegQIBRAB&usg=AOvVaw3dX8Eyo-ZVTPCW1m8IXm1h,
diakses 23 November 2018.
PISA, Assessment Framework-Mathematics, Reading, Science and
Problem Solving Knowledge and Skills, OECD: 2003.
Polya, G., How To Solve It (2ndEd), Princeton: Princeton
University Press, 1973.
Rahardjo dan Waluyati, Pembelajaran Soal Cerita Pada Operasi
Hitung Campuran di SD, Yogyakarta: Pusat Pengembangan
dan Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
(PPPTK), 2011.
Samsul Hadi dan Endang Mulyatiningsih, Model Trend Prestasi
Siswa Berdasarkan Data PISA Tahun 2000, 2003, Dan 2006,
Departemen Pendidikan Nasional, 2009.
Sri Wardhani Rumiati, Instrumen Penilaian Hasil Belajar
Matematika SMP : Belajar Dari PISA Dan TIMSS,
Yogyakarta: Kementrian Pendidikan Nasional Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan Dan
Penjamin Mutu Pendidikan Pusat Pengembangan Dan
Pemberdayaan Pendidik Dan Tenaga Kependidikan
Matematika, 2011.
Stephani Rangga Larasati, Skripsi Program Sarjana Pendidikan,
Profil Kemampuan Literasi Matematis Siswa Kelas VIII F
AMP Pangudi Luhur 1 Yogyakarta Dalam Pembelajaran
83
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Matematika Dengan Pendekatan PMRI (Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia) Pokok Bahasan Kubus
Dan Balok Tahun Ajaran 2015/2016, Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma, 2016.
Tatag Yuli Eko Siswono dan Whidia Novitasari, Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Pemecahan
Masalah Tipe What’s Another Way, Surabaya: Universitas
Negeri Surabaya, 2006.
Tri Tasyanti, et. all., 2018, Analisis Kemampuan Literasi
Matematika Berdasarkan Kecerdasan Emosional Siswa
Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group
Investigation, PRISMA 1, 334-346.
Uno Hamzah B., Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar
Mengajar Yang Kreatif Dan Efektif, Jakarta: Bumi Aksara,
2007.
Winardi, et. all., 2018, Analisis Kemampuan Literasi Matematika
Melalui Model Missouri Mathematics Project Dengan
Pendekatan Open-Ended, PRISMA 1, 162-169.
Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Yudi Yunika Putra, et. all., Pengembangan Soal Matematika
Model PISA Konten Bilangan Untuk Mengetahui
Kemampuan Literasi Siswa, Jurnal Elemen, 2(1), 14-26.
Zebenberg, et. all., Teaching Mathematics in Primary School,
Sidney: Allen and Unwi, 2004.
Zul Fazri dan Ratu Aprilia, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
Jakarta: Aneka Ilmu, 2008.
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Organisasi_untuk_Kerja_Sama_d
an_Pembangunan_Ekonomi, diakses pada tanggal 23
Oktober 2018.
84
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
85
ANALISIS PEMAHAMAN SISWA BERDASARKAN TEORI PIERE-KIEREN DALAM MENYELESAIKAN BANGUN
RUANG
Adelia Ratnasari dan Fanda Riza Fahlefi Latep
Institut Agama Islam Negeri Tulungagung
[email protected], [email protected]
ABSTRAK
Pemahaman matematis merupakan aspek yang penting dalam pembelajaran matematika. Teori Piere dan Kieren mengklasifikasikan delapan lapisan pemahaman matematis, satu diantaranya Folding back. Pemahaman matematis yang ditengarahi untuk menyelesaikan permasalahan pada lapisan lebih luar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pemahaman matematis siswa berdasarkan teori Piere Pieren dengan materi bangun datar. Penlitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif, menggunakan teknik pengumpulan data dengan metode tes dan wawancara. Subjek penelitian ini adalah kelas XI MIPA 5 semester genap 2018-2019. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, (1) Siswa memiliki pola pemahaman dari Primitive knowing , Image making menuju Image having. untuk lapisan selanjutnnya Property noticing dan yang terakhir Formalising. Adapun Folding back yang terjadai dengan kembali pada lapisan sebelumnya. (2) Siswa memiliki pola pemahaman dari Primitive knowing , langsung menuju Image having. untuk lapisan selanjutnnya Property noticing dan yang terakhir Formalising. Adapun Folding back yang terjadai dengan kembali pada lapisan sebelumnya.
Kata Kunci :Pemahaman Matematis, Folding Back, Teori Piere Kieren
86
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
ABSTRACT
Mathematical understanding is an important aspect in learning
mathematics. Piere and Kieren's theory classifies a layer of
mathematical understanding, one that is supported Fold back.
Mathematical understanding is aimed at resolving understanding
in the outer layer. The purpose of this study is to describe students'
mathematical understanding based on the theory of Piere Pieren
with the material get flat. This research is descriptive qualitative
research, using data collection techniques with test and interview
methods. The subject of this research is class XI MIPA 5 even
semester 2018-2019. The results of the study show that, (1)
Students who have a pattern of understanding from Primitive
know, Image making is towards Image have. for the next layer the
property noticing attention and the last formalizes. While Folding
back which is plagued by returning to the previous layer. (2)
Students have a pattern of understanding from Primitive
knowing, directly towards Image having. for the next layer the
property pays attention and the last formalizes. While Folding
back which is plagued by returning to the previous layer.
Keywords: Mathematical Understanding, Folding Back, Piere
Kieren's Theory
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan usaha manusia untuk mengubah
dan membina kepribadian berlandaskan dengan nilai-nilai baik
di dalam masyarakat maupun kebudayaan melalui proses
pendidikan. Dalam hal ini, pendidikan erat kaitannya dengan
pembelajaran. Dimana belajar pada dasarnya merupakan kunci
yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan.
Melalui pendidikan manusia memperoleh ilmu pendidikan
yang dapat dijadikan tuntunan dalam kehidupan dan dengan
penddikan orang menjadi maju serta mampu bersaing dengan
Negara lain dalam segala bidang. Kamarullah (2017)
menegaskan siswa dituntut sesuai kurikulum dengan tujuan
yang lebih komprehensif, yakni : (1) memahami konsep
87
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep, secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat, dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran
pada pola dan siat, melakukan manipulasi matematika dalam
membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah
yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang
model matematika , menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh; (4) mengomunikasikan gagasan dengan
symbol, table, diagram, atau media lain untuk memperjelas
keadaan atau masalah; (5) memiliki sikap menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan yaitu, memeiliki rasa ingin tahu,
perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta
sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Matematika merupakan salah satu bagian yang penting dalam
bidang ilmu pengetahuan. Apabila dilihat dari sudut
pengklasifikasian bidang ilmu pengetahuan, matematika
termasuk ke dalam ilmu-ilmu eksakta yang lebih banyak
memerlukan pemahaman dari pada hapalan.
Perlu juga adanya penyampaian suatu informasi. Proses
penyampaian suatu informasi atau materi yang disampaikan
oleh guru pada siswanya, selain memperhatikan media, juga
menggunakan metode yang tepat. Penggunaan metode yang
tepat menjadikan materi yang disampaikan dapat diterima
dengan baik oleh siswa. Sebelum menggunakan metode apa
yang digunakan, terlebih dahulu guru mengetahui pola
pemahaman setiap siswa, sehingga dapat mengetahui metode
apa yang sesuai dengan pola pemahaman siswa. Dalam proses
pembelajaran ide yang dimiliki siswa merupakan hal yang
paling penting, karena dengan mengetahui ide dari siswanya
guru dapat mengetahui pola pemahaman
Pola Pemahaman atau pemahaman matematis merupakan
aspek yang paling penting dalam pembelajaran, terutama
matematika. Menurut peraturan mentri pendidikan nasional
nomer 59 tentang kurikulum 2013, memahami konsep
88
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
matematika yang berkaitan dengan kemampuan menjelaskan
keterkaitan antarkonsep maupun algoritma secara luwes,
akurat, efisein, dan tepat dalam pemecahan masalah. Sehingga
dapat disimpulkan dalam pembelajaran matematika hal yang
perlu ditekankan adalah pemahaman matematis yang dimiliki
siswa.
Pentingnya kemampuan pemahaman matematika siswa
juga dikemukakan oleh Nirmala Purwosusilo bahwa
membangun pemahaman pada setiap kegiatan belajar
matematika akan mengembangkan pengetahuan matematika
yang dimiliki oleh seseorang (Ramadhani, 2017). Hal ini dapat
disimpulkan bahwa pemahaman konsep dalam pembelajaran
matematika harus dikembangkan dan dimiliki siswa dalam
proses pembelajaran sisiwa perlu dibiasakan untuk lebih
memahami konsep dalam memecahkan masalah, baik masalah
matematis maupun masalah dalam kehidupan sehari hari agar
siswa memperoleh pengetahuan serta ketrampilan yang
dimiliki untuk menyelesaikan soal.
Taksonomi Bloom menerangkan bahwa pemahaman
berada satu tingkat diatas mengingat. Maka dari itu untuk bisa
memahami suatu permasalahan haruslah dapat mengingat hal-
hal lian yang mendukung dalam menyelesaikan suatu
permasalahn tersebut. Menurut Krathowl, memahami
merupakan arti dari pembelajaran termasuk lisan, tertulis, dan
komunikasi. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat
disimpulakan pemahaman bukan hanya dilihat dapat
mengingat tetapi juga mempunyai kemampuan menangkap
makna dalam pembelajaran.
Menurut Suharsimi Arikunto pemahaman siswa diminta
untuk membuktikan bahwa ia memahami hubungan yang
sederhana diantara fakta-fakta atau konsep. Menurut Nana
Sudjana pemahaman dapat dibedakan dalam tiga kategori,
antara lain: (1) tingkat terendah adalah pemahaman
terjemahan, mulai dari menerjemahkan dalam arti yang
sebenarnya, mengartikan prinsip-prinsip, (2) pemahaman
89
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
penafsiran, yaitu menghubungkan bagian-bagian terendah
dengan yang diketahui berikutnya, atau menghubungkan
dengan kejadian, membedakan yang pokok dengan yang bukan
yang bukan pokok, dan (3) pemahaman ektrapolasi.
Pemahaman merupakan suatu topik yang menarik untuk
dikaji. Berbagai teori telah muncul untuk menjelaskan
perkembangan pemahaman ini. Beberapa teori tersebut antara
lain Teori Skemp(1987), Teori Hibert & Carpenter (1992), Teori
Piere Kieren (1992), Teori Sierpinska (1994). Teori-teori
tersebut memiliki inti yang sama yaitu pemahaman seseorang
terletak pada pikirannya sendiri. Pemahaman dapat berubah
waktu. Seseorang dapat dikatakan paham dapat dilihat dari
analisis fakta yang ada. Sehingga dalam penelitian ini
mengasumsikan pemahaman siswa dapat diketahui melalui
penjelasannya dalam mengerjakan soal dan interaksi antara
subjek dan peneliti.
Hampir semua teori yang pemahaman di atas, kecuali teori
Pirie dan Kieren, menganggap bahwa pemahaman merupakan
proses yang linear. Pirie dan Kieren (dalam Susiswo, 2014)
menganggap pemahaman merupakan proses pertumbuhan
yang utuh, dinamis, berlapis tetapi tidak linear dan tidak pernah
berakhir. Proses pemahaman ini digambarkan seperti bawang
yang memiliki lapisan-lapisan. Lapisan-lapisan tersebut antara
lain primitive knowing, image having, image making, property
noticing, formalizing, observing, structuring, dan investizing
(Pirie dan Kieren, 1994). Sesuai dengan anggapan pemahaman
merupakan proses yang tidak pernah berakhir, sehingga
pemahaman pada investizing sering menjadi primitive knowing
materi baru. Lapisan- lapisan pemahaman merupakan satu dari
keistimewaan dari teori ini. Keistimewaan lain dari teori ini
adalah adanya komponen-komponen penyusun tiap lapisan dan
adanya folding back.
Lapisan – lapisan di dalam teori Piere Kiren ini secara rinci
di jelaskan di bawah ini:
90
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
No Pemahaman Menurut Piere dan Kieren
1 Primitive knowing
Level ini merupakan level usaha awal dalam memahami definisi baru, membawa pengetahuan sebelumnya ke level pemahaman selanjutnya, lewat aksi yang melibatkan definisi, atau merepresentasikan definisi
2 Image making
Seseorang membuat pemahaman dari pengetahuan sebelumnya dan menggunakannya dalam cara baru
3 Image having
Seseorang sudah memiliki gambaran mengenai suatu topik dan membuat gambaran mental mengenai topik tersebut, tanpa harus mengerjakan contoh-contoh
4 Property noticing
Seseorang mampu mengombinasikan aspek-aspek dari sebuah topik untuk membentuk sifat yang relevan dan spesifik terhadap topik tersebut
5 Formalising Seseorang membuat abstraksi suatu konsep matematika berdasarkan sifat-sifat yang muncul
6 Organising Seseorang mengoordinasikan aktivitas formal pada level formalising sehingga mampu menggunakannya pada permasalahan terkait yang dihadapinya
7 Structuring Seseorang mampu mengaitkan hubungan antara teorema yang satu dengan teorema yang lain dan mampu membuktikannya berdasarkan argumen logis
8 Inventising Seseorang memiliki sebuah pemahaman terstruktur komplit dan menciptakan pertanyaan-pertanyaan baru yang dapat tumbuh menjadi sebuah konsep yang baru
91
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Sedangkan tujuan dari penelitian ini untuk
mendeskripsikan pemahaman matematis siswa berdasarkan
teori Piere Pieren dengan materi bangun datar. Hal penting
lainnya dalam teori ini adalah folding back. Folding back adalah
proses kembali ke sebuah lapisan yang lebih dalam dari lapisan
tertentu (Susiswo, 2014). Menurut Slaten (2010), terdapat
effective folding back dan ineffective folding back. Effective
folding back ketika seseorang dapat menggunakan perluasan
pemahaman yang didapat untuk menyelesaikan permasalahan
yang ada. Sedangkan ineffective folding back ketika seseorang
tidak dapat menggunakan pemahaman yang telah diperoleh.
Ineffective folding back tidak mengindikasikan tidak terjadi
folding back.
Folding back bertujuan untuk memperluas pemahaman
pada lapisan yang lebih dalam sehingga dapat digunakan untuk
menyelesaikan permasalahan pada lapisan lebih luar. Folding
back tidak selalu kembali pada lapisan primitive knowing, tetapi
folding back kembali ke lapisan yang dibutuhkan. Sebagai
contoh, folding back ke lapisan image making mungkin dengan
melakukan aksi fisik seperti menggambar diagram,
memanipulasi atau bermain dengan angka (Martin, LaCroix dan
Fownes, 2005b).
Nur Aida Endah Pratama dengan judul Perkembangan
Pemahaman Matematis Siswa Sekolah Dasar Kelas V
Berdasarkan Teori Pirie-Kieren pada Topik Pecahan. Penelitian
ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menggambarkan alur
perkembangan pemahaman matematis siswa sekolah dasar
kelas V dalam menyelesaikan masalah pecahan berdasarkan
teori Pirie Kieren.
Indah Wahyu Utami dan Abdul Haris Rosyidi dengan judul
“Profil Lapisan Pemahaman Property Noticing Siswa pada
92
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Materi Logaritma Ditinjau dari Perbedaan Jenis Kelamin”.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan lapisan
pemahaman property noticing siswa laki-laki dan perempuan
dengan kemampuan setara hampir sama. Siswa laki-laki dapat
membuktikan dua dari ketiga sifat dasar logaritma
menggunakan definisi, sedangkan siswa perempuan dapat
membuktikan ketiga sifat dasar mengginakan definisi.
Dari hasil penelitian terdahulu juga mengindikasikan
bahwa penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proses siswa
dalam mengkontruksi pemahaman dalam menyelesaikan
masalah bangun datar, kemudian dianalisis dalam kerangka
teori Pirie-Kieren.
Penelitian mengenai pemahaman berdasarkan teori Piere
Kieren ini masih jarang yang meneliti. Adapun penelitian ini
mengkaji pola pemahaman siswa SMA secara keseluruhan. Pola
yang dimaksud adalah bagaimana tahap pemahaman apakah
samapai pada lapisan terakhir atau tidak. Dan bagaimana
folding back yang terjadi.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat di katakan tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pemahaman siswa
SMA Manfaat penelitian ini dapat memberikan masukan atau
cara untuk guru dalam mengetahui pola pemahaman siswa
sehingga nantinya metode dan media yang digunakan dapat
tepat sasaran.
METODE
Penlitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Karena
penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan atau
menggambarkan pola pemahaman atau menggambarkan
pemahaan matematis berdasarakan Teori Piere Kieren.
93
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Penelitian ini dilakukan di SMAN 1 Gondang. Penelitian
dilakukan di sekolah ini karena salah satu sekolah yang sudah
menggunakan kurikulum 2013, dan belum ada yang mangkaji
sebelumnya mengenai pemahaman matematis berdasarkan
Teori Piere-Kieren. Subjek penelitian ini adalah kelas XI MIPA 5
semester genap 2018-2019. Pemilihan subjek dalam penelitian
ini dengan purpose sampling, yaitu pengambilan sampel sumber
data berdasarkan pertimbangan tertentu. Uji keabsahan data
yang digunakan dalam penelitain ini adalah uji validitas ahli.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
instrumen utama yaitu peneliti itu sendiri dan instrumen
pendamping yaitu tes dan wawancara. Tes yang diberikan
terdiri dari 3 soal. Setiap soal terdapat indikator-indikator yang
sesuai dengan apa yang diperlukan. Wawancara merupakan
instrumen yang digunakan untuk memperjelas dari hasil
jawaban tes yang telah diberikan.
Berdasarkan instrumen yang diguankan, peneliti
menggunakan teknik pengumpulan data dengan metode tes dan
wawancara. Tes dapat dikerjakan selam 60 menit. Seddangakan
wawancara berdurasi 30 menit. Wawancara yang digunakan
dalam penelitian ini adalah wawancara semiterstruktur. Dalam
penelitian ini juga menggunakan triangulasi teknik.
Analisis data yang digunakan adalalah tes, dan analisis
wawancara. Analisis tes melihat penyelesaian siswa berdarakan
Teori Piere Kiren dan analisis wawancara dilakukan dengan
tahap (1) reduksi data, (2) penyajian data, (3) penarikan
kesimpulan. Penarikan kesimpulan didasarkan pada kriteria
pemahaman, yaitu siswa dapat membuktikan aturan yang ada
dengan menggunkan definisi yang telah diperoleh atau
menggabungakan pengetahuan yang telah didapat. Secara
umum prosedur penelitian ini dijelaskan dalam bagan berikut :
94
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Bagan 1. Tahap Pelaksanaan
PEMBAHASAN
Pengambilan data di kelas XI MIPA 5. Tes diberikan kepada
20 siswa di kelas tersebut. dalam penelitain ini memilih subjek
dengan melihat cara pengerjaannya yang sebagian besar sama
dengan cara pengerjaan siswa lain. 2 subjek kami pilih yang
kami kami beri kode :
Hasil Tes
sesuai
Mulai
Pemberian tes
Wawancara
Hasil
Tida
k
Iya
Selesai
Analisis hasil
wawancara
Hasil Analisis
pemahaman siswa
berdasarkan Teori
Piere Kieren
95
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
S1 : Subjek 1
S2 : Subjek 2
Soal yang diberikan ada 3 soal yang akan menggambarakan
bagaiman pola pemahaman berdasarakn teori piere kieren.
Ketiga soal tersebut dipaparkan bersama dengan jawaban dan
hasil wawancara.
1. Sebuah prisma segi empat terbuat dari baja berukuran
15 cm x 15 cm x 10 cm. Prisma tersebut setiap rusuknya
diberi kerangka terbuat dari kawat dan setiap sisi dicat.
Harga baja setiap 1 cm2 adalah Rp800,00; setiap 4 cm
kawat harganya Rp1.300,00; dan setiap 10 cm2
membutuhkan cat seharga Rp1.600,00. Biaya untuk
membuat prisma segi empat tersebut !
2. Lisa akan membuat kotak berbentuk balok dengan
perbandingan panjang, lebar, tinggi = 3 : 2 : 4. Jika
panjang kotak tersebut 15 cm, maka luas seluruh
permukaan kotak terseebut !
3. Sebuah bola besi berada di dalam tabung plastik
terbuka. Di bagian atasnya seperti nampak pada gambar
berikut.
Tabung tersebut kemudian di isi dengan air sampai penuh.
Jika diameter serta tinggi tabung sama dengan diameter dari
bola yaitu 60 cm, maka tentukanlah volume air yang sudah
tertampung oleh tabung!
Melalui jawabab dari soal nomer 1 terlihat bahwa S1 dapat
mengerjakan soal. Adapun pengerjaan soal tersebut runtut
mulai dari primitif knowingi dan sampai tahap property noticing.
Berikut jawaban S1 terhadap soal nomer 1.
96
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Gambar 1. Jawaban S1 no 1
Berdasarakan jawaban S1 diatas untuk mencarai jawaban
S1 mendeskripsikan dahulu luas permukaan seluruhnya
(menggunakan contoh). Untuk lebih jelasnya berikut cuplikan
wawancara terhadap S1.
Kode Uraian P : Berdasarakan jawaban kamu
yang nomer 1 ini kamu merinci dulu untuk mencarai jawabannya kenapa tidak langsung memakai rumus?
S1 : Karena sulit kak kalau langsung ke rumus jadi kurang paham saya.
P : Tapi jika langsung menggunakan rumus bisa atau tidak?
S1 : Seperti ini ya kak (sambil mengerjakan). Bisa kak tapi saya kesulitan.
Tabel 1. Cuplikan wawancara S1 nomer 1
97
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Selanjutnya jawaban S1 soal no 2.
Gambar 2. Jawaban S1 soal nomer 2
Berdasarakan jawaban diatas S1 pengerjaannya runtut
mulai mengetahu perbandingan sampai mengetahui panjang,
lebar dan tingginya (digambarakan /dicontohkan). Adapun
pengerjaan soal tersebut runtut mulai dari primitif knowingi dan
sampai tahap property noticing.
Untuk lebih jelasnya berikut cuplikan wawancara :
Kode Uraian
P : Berdasarakan jawaban kamu yang nomer 2
ini kamu merinci dulu. Apa kamu bisa jika
untuk langakah yang ini (sambil menunjuk)
hanya mengangan saja dan langsung
subtitusikan?
S1 : Tidak bisa kak , Karena sulit kak kalau
langsung. Saya kesulitan kalau mengangan-
angan lebih mudah kalau ditulis dulu
Tabel 2. Cuplikan wawancara S1 nomer 2
98
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Selanjutnya jawaban S1 no 3.
Gambar 3. Jawaban S1 soal nomer 3
Seperti soal sebelumnya jawaban yang dipaparkan
menurut juga runtut. S1 mampu memecahkan masalah
berdasarkan definisi yang dia pahami sebelumnya Berikut
cuplikan wawancara.
Kode Uraian
P : Berdasarakan jawaban kamu yang nomer
3. Rumus apa yang kamu ingat?
S1 : Volume tabung dan volume bola kak.
P : Setelah apa itu yang kamu lakukan?
S1 : Iya menguranginya kak seperti ini sesuai
dengan pertanyaannya jadi ini tinggal
dikurangi aja (sambil menunjuk)
Tabel 3. Cuplikan wawancara S1 nomer 3
Dari urain diatas S1 pola pemahamannya dari Primitive
knowing, Image making menuju Image having. untuk lapisan
selanjutnnya Property noticing dan yang terakhir Formalising.
99
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Adapun Foldimg back yang terjadai dengan kembali pada
lapisan sebelumnya.
Berikut jawaban S2 untuk soal nomer 1
Gambar 4. Jawaban S2 soal nomer 1
Berdasarakan jawaban S2 cenderung langsung
menggunakan rumus tanpa merinci lebih dahulu. Berbeda
dengan jawaban S1 yang merinci lebih dahulu. Berikut cuplilkan
wawancara
Kode Uraian
P : Dari jawaban kamu nomer satu ini , kamu
langsung menggunkan rumus ya. Kenapa
tidak di rinci dulu?
S2: Kelamaan kak mudah yang seperti ini.
P : Coba kalau kamu rinci satu persatu dulu1
S2: Gini ya kak (sambil menunjuk) malah
bingung kak .
Tabel 4. Cuplikan wawancara S2 nomer 1
100
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Jawaban S2 soal nomer 2.
Gambar 5. Jawaban S2 soal nomer 2
Jawaban S2 menunjukan penegerjaan yang langsung tanpa
memaparkan nilai x nya. Akan tetapi mensubtitusikan langsung
dan jawabanya benar. Berikut wawancara :
Kode Uraian P : Kamu mngerjakan soal no 2 ini kok langusng seperti ini.
Bagamiana kamu tahu nilai x nya? S2: Kalau ini saya tidak menuliskannya kak langsung. Jadi
seperti ini kak mencari nilai x nya itu (sambil mngerjaka)
Tabel 5. Cuplikan wawancara S2 nomer 2
Jawaban S2 soal no 3
Gambar 6. Jawaban S2 soal nomer 3
101
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Jawaban tersebut juga membedakan dengan jawaban dari
S1 yang cenderung terperinci dan dijelaskan dulu. Sedangakan
jawaban dari S2 langsung tanpa di jelaskan (melalui contoh-
contoh menurut teori piere kiren). Hanya saja penggunaan
simbol masih kurang teliti misal tanda min “-“ menjadi tanda
titik saja. S2 juga mampu memecahkan masalah berdasarkan
definisi yang dia pahami sebelumnya Berikut cuplikan
wawancara.
Kode Uraian
P : Dari jawaban kamu nomer tiga ini , ini maksutnya apa (sambil menunjuk)?
S2: Maaf kak ini maksutnya dikurangi.
P : Rumus apa yang kamu ketahu dari soal ini dan bagaimana cara menyelesaikannya?
S2: Kalo ini rumus volume tabung sama bola kak, ya ini tinggal dikurangi saja sebenarnya sudah selesai
Tabel 6. Cuplikan wawancara S2 nomer 3
Dari urain diatas S2 pola pemahamannya dari Primitive
knowing langsung menuju Image having. untuk lapisan
selanjutnnya Property noticing dan yang terakhir Formalising.
Folding Back yang terjadi sama yaitu kembali pada lapisan
sebelumnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pembahasan, dapat disimpulkan deskripsi
pemahaman matematis siswa berdasarkan teori Piere Pieren
dengan materi bangun datar, berikut:
1. Siswa memiliki pola pemahaman dari Primitive
knowing , Image making menuju Image having. untuk
lapisan selanjutnnya Property noticing dan yang
terakhir Formalising. Adapun Foldimg back yang
terjadai dengan kembali pada lapisan sebelumnya.
102
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
2. Siswa memiliki pola pemahaman dari Primitive
knowing , langsung menuju Image having. untuk
lapisan selanjutnnya Property noticing dan yang
terakhir Formalising. Adapun Foldimg back yang
terjadai dengan kembali pada lapisan sebelumnya.
Saran berdasarakan hasil penelitian
1. Siswa yang memiliki pola pemikiran baik melalui
imaging making atau langsung ke imaging having.
memiliki ciri khas dan kemampuan yang berbeda
sehingga guru tidak menyama ratakan atau
membenarkan hanya satu cara yang benar tetapi
memberikan cara lain yang berbeda.
2. Kekurangan dari penelitian ini hanya terbatas pada
lapisan Formalising adapun penelitian berikutnya
dapat mencangkup keseluruhan lapisan
berdasarakan teori piere kieren ini
103
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharsimi. 1995. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Hakim, Fauziah. 2017. Analisis Pemahaman Mahasiswa Pps Unm Berpandu Teori Piere-Kieren Dalam Menyelesaikan Masalah Pembuktian Pada Teori Grup Ditinjau Dari Gaya Kognitif Dan Adversity Quotient. Makasar: Universitas Negeri Makasar
Kamarullah. 2017. Pendidikan Matematika di Sekolah Kita. Aceh : Al Khawarizmi: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Matematika .
Krathwohl, D.R., Bloom, B.S., & Masia, B.B. 1964. Taxonomy of educational objectives: The Classification of Educational Goals. Handbook II: The Affective Domain. New York: David Mc Kay.
Martin,L., LaCroix, L., dan Fownes, L. 2005. Folding Back and the Growth of Mathematical Understanding in Workplace Training. ALM Internasional. 1(1): 19-35
Pratama, Nur Aida Endah. 2017. Perkembangan Pemahaman Matematis Siswa Sekolah Dasar Kelas V Berdasarkan Teori Pirie-Kieren pada Topik Pecahan. Trenggalek: STIKIP PGRI Trenggalek Sudjana, Nana. 1992. Penelitian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Rosmaiyadi. Mariyam. Juliyanti. 2018. Pemahaman Konsep Matematis Siswa Dengan Strategi Pembelajaran Group To Group Exchange Berpendekatan Kontekstual. Penddikan Matematika STKIP Singkawang: JPPM Vol. 11 No. 1
Suraji, Maimunah, Sehatta Saragih. 2018. Analisis Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis Siswa SMP Pada Materi Sistem Persamaan Liniear Dua Variable (SPLDV). Riau: Suska Journal Of Mathematics, Vol. 4, No. 1
Susiswo, Sudirman, dan Qohar, A. 2011. Proses Berpikir Mahasiswa dalam Memahami Konsep Limit. Laporan Penelitian Program Hibah Penelitian IMHERE. Universitas Negeri Malang
Utami, Indah Wahyu dan Abdul Haris Rosyidi. 2016. Profil
104
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Lapisan Pemahaman Property Noticing Siswa Pada Materi Logaritma Ditinjau dari Perbedaan Jenis Kelamin. Surabaya:Universitas Negeri Surabaya.
105
BERPIKIR REFRAKTIF SISWA EXTROVERT-INTROVERT DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA
NON RUTIN
Friska Nur Fadilla Nastiti1, Maryono2 1, 2Tadris Matematika, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.
Institut Agama Islam Negeri Tulungagung
e-mail: [email protected],1 [email protected]
ABSTRAK
Pembelajaran di sekolah haruslah mampu meningkatkan daya
saing Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia. Diperlukan
adanya pembelajaran yang mengarah pada pemecahan masalah
matematika yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Tujuan dari penelitian ini adalah 1) Untuk mengetahui proses
berpikir refraktif siswa dalam menyelesaikan masalah matematika
non rutin dengan tipe kepribadian Extrovert, 2) Untuk mengetahui
proses berpikir refraktif siswa dalam menyelesaikan masalah
matematika non rutin dengan tipe kepribadian Introvert. Penelitian
ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis
penelitian studi kasus. Teknik pengumpulan data berupa hasil
observasi, hasil tes tulis dan wawancara. Analisis data dilakukan
dengan menggunakan teknik triangulasi. Hasil penelitian ini,
mendeskripsikan bahwa proses berpikir refraktif siswa
Extrovert dimulai dari mengumpulkan informasi dari soal
kemudian menafsirkan informasi yang didapatkan menjadi
kalimat matematika, menghubungkan informasi yang ada
dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya, melaksanakan
strategi penyelesaian soal tanpa mengajukan beberapa
106
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
alternatif solusi penyelesaian dan mengeliminasi setiap
alternatif penyelesaian, dan tidak memeriksa ulang jawaban
yang telah didapatkan. Sedangkan proses berpikir refraktif
siswa Introvert dimulai dari mengumpulkan informasi dari soal
kemudian menafsirkan informasi yang didapatkan menjadi
kalimat matematika, menghubungkan informasi yang ada
dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya untuk
menyelesaikan masalah matematika, mengajukan beberapa
alternatif penyelesaian dan mengeliminasi ide-ide tersebut
untuk selanjutnya melaksanakan strategi penyelesaian masalah
yang telah dipilih, melakukan pemeriksaan intuitif mengenai
jawaban yang telah didapatkannya kemudian memeriksa ulang
jawaban yang telah didapatkannya.
Kata Kunci: berpikir refraktif, extrovert, introvert.
ABSTRACT
The learning in the school must be up grade competitiveness of
Human Resources in Indonesia. And then need to be trained in
form of learning that leads to solving mathematical problems
related to daily life. The purpose of this study is 1) to find out the
refractive thinking process of students in solving non-routine
mathematical problems with Extrovert personality types, 2) to
find out the refractive thinking process of students in solving non-
routine mathematical problems with Introverted personality
types. This research uses a qualitative research approach with a
type of case study research. Data collection techniques in the form
of observations, written test results and interviews. Data analysis
was performed using triangulation techniques. The results of this
research describe that the Extrovert student’s refractive thinking
process starts from gathering information from the problem then
interpreting the information obtained into mathematical
sentences, then connecting the existing information with
previously owned knowledge, implementing a problem solving
strategy without proposing several alternative solutions to
solving and eliminating each alternative settlement, and do not
double-check the answers that have been obtained. While the
refractive thinking process of Introverted students starts from
107
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
gathering information from the questions then interpreting the
information obtained into mathematical sentences, then
connecting existing information with previously owned
knowledge to solve mathematical problems, proposing several
alternative solutions and eliminating these ideas to further
implement the settlement strategy the problem that has been
chosen, performs an intuitive examination of the answers he has
obtained, then checks the answers he has obtained.
Keywords: refraction, extrovert,introvert.
PENDAHULUAN
Menurut Permendiknas No. 22 tahun 2006 tujuan pembelajaran matematika yang efektif di sekolah adalah mengembangkan sikap kritis, cermat, obyektif, dan terbuka menghargai keindahan matematika, serta rasa ingin tahu dan senang belajar matematika (BNSP, 2016). Berpikir adalah suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak dalam memanipulasi informasi dengan tujuan menalar, memecahkan masalah, membuat keputusan dan penilaian atas suatu peristiwa (Desmawati & Farida, 2018). Dewey menyatakan bahwa berpikir diawali pada situasi yang membutuhkan proses berpikir secara mendalam dan hasil akhir dari kejadian adalah untuk membantu menarik kesimpulan dan membuat keputusan akhir (Siregar, Deniyanti, & Hakim, 2018).
Berpikir kritis adalah cara berpikir tanpa menghafal materi tetapi menggunakan dan memanipulasi bahan-bahan yang di pelajari dalam situasi baru sehingga dikategorikan sebagai berpikir lebih tinggi (Setyowati & Subali, 2012). Berfikir kritis juga berkitan dengan kemampuan berfikir reflektif. Hal tersebut sesuai pendapat Ennis yang menyatakan bahwa berfikir kritis adalah berfikir reflektif yang difokuskan pada pengambilan keputusan yang akan dilakukan atau diyakini (Wafida, 2018). Pagano dan Roselle menyatakan bahwa proses berpikir diawali dengan proses berpikir reflektif dan dilanjutkan berpikir kritis disebut sebagai berpikir refraktif.
Berpikir refraktif terjadi apabila siswa diberikan permasalahan matematika dan mengalami kesulitan dalam
108
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
penyelesaian masalah dan mengalami kebingungan, sehingga memungkinkan siswa untuk melakukan refleksi. Selanjutnya siswa akan memunculkan alternatif penyelesesaian ketika refleksi yang kemudian akan menghasilkan suatu kesimpulan yang akan mengarahkan siswa pada berfikir kritis (Setyowati & Subali, 2012). Refraction atau yang dikenal dengan refraksi adalah peristiwa perubahan atau pembelokan arah gelombang akibat melewati bidang batas dua medium yang mempunyai kerapatan berbeda (Prayitno, Subanji, & Muksar, 2014).
Refraksi merupakan suatu proses dimana cahaya (refleksi) membentur medium sehingga menyebabkan “reaksi” pada medium yang memicu terjadinya berpikir kritis. Untuk menggambarkan proses berfikir refraksi yang dihasilkan dari berpikir refleksi menuju berpikir kritis, Dewey menggunakan methapor cahaya (gambar 1.1).
Gambar 1.1 Proses Berpikir Refraktif
Refraktif merupakan suatu proses dimana cahaya
(reflektif) membentur medium sehingga menyebabkan “reaksi”
pada medium yang memicu terjadinya berpikir kritis (Yuni
Oktavia, 2016). Sehingga komponen yang dilewati berpikir
refraktif adalah reflektif dan berpikir kritis.
Berdasarkan adanya persamaan antara berpikir reflektif
dengan berpikir kritis, Anton Prayitno mengkontruksikan
berpikir rekfraktif melalui komponen berpikir reflektif dengan
berpikir kritis seperti tabel berikut (Prayitno, dll., 2014).
Tabel 2.1 Komponen dan Indikator Berpikir Refraktif
Komponen Indikator Keterangan
109
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Identifikasi Masalah
Mengumpulkan informasi dari soal (menyebutkan informasi yang diberikan soal dan menyebutkan apa yang ditanyakan soal) (I1)
Reflektif
Menafsirkan informasi (I2)
Kritis
Menghubungkan setiap informasi dengan pengetahuan sebelumnya untuk menyelesaikan soal (I3)
Strategi Mengajukan beberapa alternatif solusi berdasarkan ide terhadap informasi (I4)
Reflektif
Mengeliminasi ide tersebut untuk memperoleh cara penyelesaian terbaik. (I5)
Kritis
Melaksanakan strategi yang telah direncanakan sebelumnya. (I6) Melakukan pemeriksaan dengan menggunakan pemeriksaan intuitif atau dengan pembuktian formal. (I7) Menentukan jawaban yang tepat berdasarkan masalah yang dihadapi. (I8)
Evaluasi Memeriksa ulang apakah jawaban yang ditentukan sudah selesai. (I9)
Reflektif dan Kritis
Dalam penelitian ini, masalah matematika yang
dimaksudkan adalah masalah matematika non rutin. Dimana
dalam proses penyelesaiannya membutuhkan strategi khusus.
110
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan menggunakan
strategi yang tepat. Soal tipe non rutin ini berkaitan dengan
proses berpikir kritis siswa. Berpikir kritis merupakan salah
satu komponen dalam berfikir refraktif (Prayitno, Sutawidjaja,
& Makbul Muksar, 2014). Sehingga dapat dikatakan masalah
matematika non rutin dapat digunakan dalam melihat
kemampuan berpikir refraktif siswa.
Setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda dalam
menyelesaikan masalah matematika. Perbedaan tersebut
muncul karena setiap siswa memiliki proses berpikir yang
berbeda-beda (Agustina, 2014). Dalam sebuah penelitian
menyebutkan bahwa proses berpikir melatarbelakangi
perbedaan kepribadian (Permatasari, Budiyono, & Slamet,
2016). Perbedaan tipe kepribadian juga akan berdampak pada
perbedaan proses berpikir (Hasanah dan Sutrima, 2016). Jung
berpendapat bahwa orang bertipe Ekstrovert maupun Introvert
memiliki hubungan. Keduanya memiliki kemampuan berfikir
dalam keadaan alam sadar maupun tidak sadar. Kedua sikap ini
terdapat dalam diri seseorang. Yang membedakan adalah sikap
yang dominan dan berpengaruh pada diri seseorang.
Siswa dengan kepribadian extrovert akan cenderung lebih
aktif. Dan siswa dengan kepribadian introvert akan cenderung
lebih pasif. Perbedaan kepribadian ini akan mempengaruhi
proses berpikir kritis siswa, yang nantinya akan berdampak
pula pada kemampuan berpikir refraktifnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses
berpikir refraktif siswa Extrovert dan Introvert dalam
menyelesaikan maslaah matematika non rutin.
METODE
111
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data
deskriptif, yakni data yang berupa jawaban subjek secara
tertulis ataupun lisan yang berasal dari subjek penelitian
(Moleong, 2010). Proses yang diamati dalam penelitian ini
adalah kegiatan siswa saat menyelesaikan soal non rutin. Sesuai
dengan tujuan tersebut, data hasil penelitian yang didapatkan
baik secara lisan maupun tertulis akan diuraikan secara jelas
dan sesuai dengan situasi di lapangan. Sehingga jenis penelitian
ini menggunakan penelitian studi kasus. Study kasus bertujuan
untuk memahami objek yang diteliti secara mendalam/khusus
(Arifin, 2012)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Subjek penelitian ditentukan berdasarkan hasil tes EPPS
atau Edwards Personal Preference Schedule adalah suatu tes
kepribadian yang digunakan untuk mengukur kepribadian
orang dilihat dari kebutuhan-kebutuhan yang mendorongnya.
Terdapat 29 pertanyaan dengan jawaban ya dan tidak untuk
menentukan seseorang memiliki tipe kepribadian Extrovert
atau Introvert.
Dari 26 siswa yang mengikuti tes, terdapat 10 siswa
Introvert, 6 siswa Extrovert dan 9 siswa Ambivert. Dari hasil
analisis tersebut, ditentukan 2 subjek masing-masing yang
memiliki kepribadian Extrovert maupun Introvert paling tinggi.
Selain berdasarkan hasil analisis angket, pengambilan subjek
juga atas pertimbangan guru kelas mata pelajaran matematika.
Pertimbangan tersebut berkaitan dengan kemampuan
matematika siswa (nilai ulangan harian) dan keaktifan siswa di
kelas. Selanjutnya keempat siswa tersebut diberikan tes tertulis
dan diwawancarai. Subjek yang dipilih di sajikan dalam tabel
berikut.
Tabel 1.1 Data Subjek Penelitian
112
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Hasil dari tes dan wawancara dari subjek penelitian
memperoleh hasil berupa proses berpikir refraktif siswa
extrovert dan introvert sebagai berikut.
a. Proses Berpikir Refraktif Extrovert
Berikut akan disajikan analisis hasil tes dan juga
wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan subjek S1.
Gambar 1.1 Jawaban Tertulis Subjek S1
Berdasarkan jawaban tertulis subjek S1, peneliti melakukan
wawancara terhadap subjek S1 untuk memperoleh jawaban
mendalam. Berikut cuplikan wawancara peneliti dengan subjek
S1.
P: Apa yang kamu ketahui dari soal tersebut?
NO NAMA SISWA
Extrovert Introvert Kesimpulan KODE SISWA
ST
T R SR
ST
T R SR
1. FNFU Extrovert Tinggi
S1
2. AHF Introvert Sangat Tinggi
S2
I1
I2
I8
113
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
S: Yang diketahui adalah luas lahan Pak Jung yaitu 4400m2, kebutuhan lahan tiap tanaman adalah 25m2 dan 40m2, serta air yang tersedia yaitu 3300 koli unit dan kebutuhan tiap tanaman adalah 30 koli unit dan 15 koli unit.
P: Apa yang ditanyakan dari soal? S: Banyak pohon jati dan mahoni yang dapat di tanam oleh
Pak Jung agar mendapatkan keuntungan maksimum. P: Informasi dari soal yang manakah yang bisa dijadikan
model matematika? S: Yang dapat dijadikan model matematika adalah 25𝑥 +
40𝑦 = 4400 serta 30𝑥 + 15𝑦 = 3300 P: Bagaimana caranya untuk mendapatkan jawaban yang
ditanyakan oleh soal? S: Setiap persamaan saya cari nilai x dan y nya, mbak. Lalu
setelah itu saya tidak tahu bagaimana menentukan nilai f(x) nya, dan waktu mengerjakan sudah keburu habis. Hehe
P: Apakah ada cara lain untuk mendapatkan jawaban? S: Sebenarnya dieliminasi dan substitusi mbak, tapi saya
bingung terus nilai x dan y nya disubstitusi kemana, karena tidak ada nilai f(x) nya.
P: Berapa hasil yang didapatkan? S: Belum tahu mbak. P: Untuk meyakinkan jawabanmu, apa yang kamu lakukan? S: Tidak melakukan apa-apa mbak, hehe...
Berdasarkan hasil tes dan wawancara di atas, subjek S1 memenuhi indikator I1 yakni, subjek S1 mampu mengidentifikasi masalah serta mengumpulkan informasi dari soal seperti luas lahan dan kebutuhan air pada masing-masing pohon yang akan ditanam oleh Pak Jung serta hal yang ditanyakan pada soal. Subjek S1 menyebutkan hal-hal yang diketahui oleh soal yang menunjukkan bahwa subjek mampu menganalisis informasi awal dan telah melakukan berpikir reflektif. Siswa yang melakukan berpikir reflektif adalah siswa yang memiliki kemampuan untuk mengetahui hal yang diketahui dan dibutuhkan dalam menyelesaikan suatu masalah matematika (Puspita & Arum, 2017).
Subjek S1 juga mampu menafsirkan informasi mengenai hal-hal yang diketahui oleh soal, dan mengubahnya menjadi
114
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
model matematika. Terlihat dari kemampuan siswa dalam mengubah hal yang diketahui oleh soal menjadi kalimat matematika. Meskipun dtidak dituliskan secara langsung. Namun hal ini menunjukkan bahwa siswa telah melakukan berpikir reflektif. Dimana ia mampu menafsirkan masalah berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya (Prayitno, Sutawidjaja, & Muksar, 2014). Selain itu, siswa subjek S1 juga melakukan proses berpikir kritis. Dimana berpikir kritis diartikan sebagai kemampuan untuk menafsirkan informasi (Wafida, 2018). Sehingga, subjek S1 telah memenuhi indikator I2.
Dalam menghubungkan informasi yang ada dengan pengetahuan yang dimiliki, subjek mengetahui cara untuk mendapatkan nilai x dan y yakni dengan menggunakan substitusi dan eliminiasi. Sejalan dengan pendapat Glaser dan Winston yakni berpikir kritis adalah kemampuan mengenal adanya hubungan yang logis antara masalah dengan informasi (Badawi, 2016). Hal tersebut terlihat dengan kemampuan siswa melakukan eliminasi dan substitusi dalam menyelesaikan soal matematika yang ada. Sehingga subjek S1 melakukan proses berpikir kritis dan subjek S1 memenuhi indikator I3.
Pada indikator I4 subjek tidak dapat memenuhi karena subjek tidak mengetahui alternatif solusi selain metode campuran. Hal tersebut diungkapkan saat wawancara berlangsung dan menunjukkan bahwa siswa dengan tipe kepribadian ini tidak melakukan proses berpikir reflektif, yakni dimana hasil dari berpikir kritis adalah munculnya beberapa alternatif penyelesaian (Pagano & Roselle, 2009). Dalam menentukan jawaban dari masalah yang ada, siswa tidak memiliki alternatif penyelesaian lain selain menggunakan eliminasi dan substitusi sehingga siswa tidak memiliki alasan dalam memilih penyelesaian masalah tersebut. Meskipun berpikir kritis adalah kemampuan mengaitkan pandangan yang berbeda sehingga memiliki pertimbangan yang berbeda dalam memilih suatu alternatif penyelesaian (Prayitno, Sutawidjaja, & Muksar, 2014). Sehingga siswa tidak melaksanakan proses berpikir kritis.
Pada indikator I5 subjek juga belum mampu memenuhinya. Subjek juga belum mampu menyelesaikan tes dengan baik,
115
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
sehingga indikator I6 hingga I8 belum mampu terpenuhi. Hal tersebut dikarenakan subjek tidak mampu mengetahui langkah yang harus dilakukan setelah melakukan eliminasi dan substitusi. Dan yang lebih tepatnya adalah subjek tidak mampu menuliskan nilai f(x) yang dapat digunakan untuk menentukan nilai maksimum. Meskipun dalam pekerjaannya, subjek mengetahui langkah yang harus dilakukan yakni mensubstitusikan titik-titik tersebut ke dalam nilai f(x) serta melakukan pemeriksaan ulang pada permasalahan yang diberikan.
Berdasarkan pembahasan diatas siswa dengan tipe kerpibadian extrovert belum melaksanakan proses berpikir refraktif sesuai dengan indikator berpikir refraktif. Dimana proses berpikir reflektif dan kritis dikonstruksi menjadi berpikir refraktif (Prayitno, Sutawidjaja, & Muksar, 2014). Terdapat beberapa indikator yang tidak mampu dipenuhi oleh siswa.
b. Proses Berpikir Refraktif Introvert
Berikut akan disajikan analisis hasil tes dan juga wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan subjek S2.
Gambar 1.2 Jawaban Tertulis Subjek S2
I8
I1
I6
116
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Berdasarkan jawaban tertulis dari subjek S2, peneliti
melakukan wawancara terhadap subjek S2 untuk memperoleh
jawaban mendalam. Berikut cuplikan wawancara peneliti
dengan subjek S2.
P: Apa yang kamu ketahui dari soal tersebut?
S: Yang diketahui adalah luas lahan Pak Jung yaitu 4400m2,
kebutuhan lahan tiap tanaman adalah 25m2 dan 40m2, serta
air yang tersedia yaitu 3300 koli unit dan kebutuhan tiap
tanaman adalah 30 koli unit dan 15 koli unit.
P: Apa yang ditanyakan dari soal?
S: Banyak pohon jati dan mahoni yang dapat di tanam oleh Pak
Jung agar mendapatkan keuntungan maksimum.
P: Informasi dari soal yang manakah yang bisa dijadikan model
matematika?
S: Yang dapat dijadikan model matematika adalah 25𝑥 +40𝑦 = 4400 serta 30𝑥 + 15𝑦 = 3300 dan juga anu mbak,
yang nomer 2 pada keuntungan maksimum itu jadinya
𝑓(𝑥) = 𝑥 + 1,5𝑦. P: Bagaimana caranya untuk mendapatkan jawaban yang
ditanyakan oleh soal?
S: Pertama, kita cari dulu nilai x dan y nya dengan cara di
eliminasi dan substitusi. Lalu membuat gambar garis di
koordinat cartesius, tapi dicari dulu nilai x dan y nya dengan
memisalkan x=0 dan y=0 gitu. Setelah itu kita gambar, dan
ditentukan dulu titik-titik terluar A, B dan C. Terus titik itu di
substitusi ke persamaan f(x) tadi dan mendapatkan nilai
maksimum.
P: Apakah ada cara lain untuk mendapatkan jawaban?
S: Sama mbak pake matriks bisa.
P: Coba, dari dua cara tersebut manakah yang lebih efektif
menurutmu?
S: Sebenarnya, cara matriks lebih efektif mbak. Tapi kalau
nomor 2 kan agak ribet, jadi pake substitusi dan eliminasi
saja yang sudah biasa saya gunakan.
P: Berapa hasil yang didapatkan?
S: Hasilnya adalah 330 mbak. Eh, 0 sama 220 mbak. Jadi
pohon jatinya 0 dan pohon mahoninya 220.
P: Untuk meyakinkan jawabanmu, apa yang kamu lakukan?
S: Saya lihat lagi mbak, siapa tahu saya salah hitung.
117
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Berdasarkan hasil tes dan wawancara di atas, subjek S2
memenuhi indikator I1. Siswa mula-mula menyebutkan hal-hal
yang diketahui oleh soal. Hal ini menunjukkan bahwa subjek S2
mampu menganalisis informasi awal dan telah melakukan
berpikir reflektif. Hal ini dikarenakan siswa yang melakukan
berpikir reflektif adalah siswa yang memiliki kemampuan untuk
mengetahui hal yang diketahui dan dibutuhkan dalam
menyelesaikan suatu masalah matematika(Puspita & Arum,
2017).
Subjek S2 juga mampu memenuhi indikator I2 yakni
menafsirkan informasi dengan baik dengan menyebutkan hal-
hal yang diketahui menjadi model matematika secara
keseluruhan. Siswa mampu menentukan nilai f(x) yang
digunakan dalam menentukan nilai maksimum pada soal.
Dalam hal ini siswa telah melaksanakan proses berpikir
reflektif. Dimana ia mampu menafsirkan masalah berdasarkan
pengetahuan yang dimilikinya (Prayitno, Sutawidjaja, & Muksar,
2014). Selain itu, siswa introvert juga melakukan proses
berpikir kritis. Dimana berpikir kritis diartikan sebagai
kemampuan untuk menafsirkan informasi (Wafida, 2018).
Subjek S2 mampu memenuhi indikator I3 dalam
mengerjakan soal. Dalam menghubungkan informasi yang telah
ada dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya, siswa
melakukannya dengan baik. Siswa mengetahui dengan pasti
cara mendapatkan jawaban yang diinginkan oleh soal. Hal
tersebut terlihat dengan kemampuan siswa melakukan
eliminasi dan substitusi dalam menyelesaikan soal matematika
yang ada. Sejalan dengan pendapat Glaser dan Winston yakni
berpikir kritis adalah kemampuan mengenal adanya hubungan
yang logis antara masalah dengan informasi (A. Badawi ,
Rochmad, 2016). Sehingga siswa dengan tipe kepribadian
introvert melakukan proses berpikir kritis.
Subjek S2 juga mengetahui alternatif lain dalam
menyelesaikan soal matematika dan memilih salah satu yang
menurutnya lebih mudah dilakukan. Sehingga subjek
memenuhi indikator I4. Siswa mampu mengajukan beberapa
118
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
alternatif penyelesaian dengan baik. Terhitung siswa introvert
memiliki 2 hingga 3 solusi penyelesaian. Siswa introvert juga
mampu mengetahui kelebihan dan kekurangan dari masing-
masing alternatif penyelesaian yang diungkapkan saat
wawancara berlangsung. Hal tersebut menunjukkan bahwa
siswa dengan tipe kepribadian ini melakukan proses berpikir
kritis, yakni dimana hasil dari berpikir kritis adalah munculnya
beberapa alternatif penyelesaian (Pagano & Roselle, 2009).
Siswa introvert memiliki beberapa alternatif penyelesaian.
Dengan adanya beberapa alternatif penyelesaian, siswa
memilih salah satu alternatif penyelesaian yang dianggap paling
mudah diaplikasikan dalam soal. Sehingga siswa memiliki
alasan dalam memilih penyelesaian masalah tersebut. Sehingga
siswa memenuhi indikator I5.
Pada indikator I6 subjek S3 juga menyelesaikan dengan baik
karena subjek mengetahui nilai f(x) yang digunakan untuk
menentukan nilai maksimumnya. Subjek mampu melaksanakan
strategi penyelesaian yang telah dipilih dengan baik yakni
dengan melakukan eliminasi dan substitusi sehingga
menghasilkan nilai yang diinginkan.
Pemeriksaan intuitif dilakukan oleh siswa untuk
menentukan jawaban yang tepat pada setiap soal. Sedangkan
pemeriksaan ulang tidak dilakukan ketika wawancara
berlangsung, sehingga subjek S2 memenuhi indikator I7 hingga
I9.Berdasarkan pembahasan diatas siswa dengan tipe
kerpibadian introvert telah melaksanakan proses berpikir
refraktif sesuai dengan alur yang disebutkan oleh Prayitno.
Dimana proses berpikir reflektif dan kritis dikonstruksi menjadi
berpikir refraktif (Prayitno, Sutawidjaja, & Muksar, 2014).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan hasil
penelitian proses berpikir refraktif siswa dalam menyelesaikan
soal matematika non rutin dengan tipe kepribadian extrovert-
introvert menunjukkan bahwa proses berpikir refraktif siswa
extrovert-introvert tidak sistematis/ hirearkis. Dimana indikator
119
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
berpikir refrakrif tidak semuanya terpenuhi oleh siswa. Namun
hal tersebut sesuai dengan indikator berpikir refraktif yang
dikonstruksikan dari indikator berpikir reflektif dan kritis
sejatinya tidak hirearkis. Artinya indikator tersebut dapat
berpindah-pindah dan bertukar posisi.
Selain itu, dapat diketahui pula bahwa proses berpikir
refraktif siswa extrovert dan introvert berbeda. Hal ini terlihat
dari tabel berpikir refraktif siswa extrovert dan introvert yang
berbeda. Dimana terdapat beberapa indikator yang tidak
mampu terpenuhi oleh siswa extrovert dan mampu terpenuhi
oleh siswa introvert. Namun, secara keseluruhan siswa extrovert
dan introvert memiliki kemampuan dalam melakukan proses
berpikir refraktif.
120
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
DAFTAR RUJUKAN
A. Badawi , Rochmad, A. A. (2016). Analisis Kemampuan
Berpikir Aljabar Dalam matematika Pada Siswa Smp Kelas
VIII. Unnes Journal of Mathematics Education, 3(5), 76–83.
Arifin, Z. (2012). Penelitian Pendidikan:Metode dan Paradigma
Baru. yogyakarta: Remaja Rosdakarya.
Badawi, A. (2016). Analisis Kemampuan Berpikir Aljabar Dan
Kemampuan Berpikir Kritis Dalam Matematika Siswa SMP
Kelas VIII. UNNES.
Desmawati, D., & Farida, F. (2018). Model ARIAS berbasis TSTS
terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Ditinjau
dari Gaya Kognitif. Desimal: Jurnal Matematika, 1(1), 65.
https://doi.org/10.24042/djm.v1i1.1918
Hasanah, N. M., & dan Sutrima. (2016). Analisis Proses Berpikir
Siswa Dalam Memecahkan masalah Matematika Ditinjau
dari Tipe Kepribadian Estrovert-Introvert dan Gender.
Jurnal Pasca UNS, 422–432.
Moleong, J. L. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Pagano, M., & Roselle, L. (2009). Beyond reflection through an
academic lens: Refraction and international experiential
education. Frontiers: The Interdisciplinary Journal of Study
Abroad, 18(2), 217–229.
Permatasari, N., Budiyono, & Slamet, I. (2016). Proses Berpikir
Siswa Kelas VIII Smp Negeri 25 Surakarta Dalam
Memecahkan Masalah Matematika Ditinjau Dari Tipe
Kepribadian Extrovert-Introvert Pada Materi Persamaan
Garis Lurus. Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika,
4(3), 314–327.
Prayitno, A., Malang, U. W., Subanji, S., & Muksar, M. (2014).
Konstruksi teoritik tentang berpikir refraksi dalam
matematika, (August 2016).
121
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Prayitno, A., Sutawidjaja, A., & Makbul Muksar, D. (2014). Proses
Berpikir Refraksi Siswa Menyelesaikan Masalah Data
“Membuat Keputusan.” Prosiding Seminar Nasional TEQIP,
(1984).
Prayitno, A., Sutawidjaja, A., & Muksar, M. (2014). Konstruksi
Teoritik Tentang Berpikir Refraksi Dalam Matematika,
(November 2016). Diambil dari
http://p4tkmatematika.org
Puspita, L., & Arum, A. (2017). Profil Berpikir Reflektif Siswa
Smp dalam Memecahkan Masalah Aljabar Ditinjau dari
Perbedaan Jenis Kelamin. Jurnal Ilmiah Pendidikan
Matematika, 2(6), 193–202.
Rina Agustina. (2014). Proses Berpikir Siswa Sma Dalam
Penyelesaian Masalah Aplikasi Turunan Fungsi Ditinjau
dari Tipe Kepribadian Choleris. Jurnal Pendidikan
Matematika FKIP Univ. Muhammadiyah Metro, 3(1), 50–54
51.
Setyowati, A., & Subali, B. (2012). Implementasi pendekatan
konflik kognitif dalam pembelajaran fisika untuk
menumbuhkan kemampuan berpikir kritis siswa SMP
kelas VIII. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia (Indonesian
Journal of Physics Education), 8(1), 89–96. Diambil dari
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPFI
Siregar, N. A. R., Deniyanti, P., & Hakim, L. El. (2018). Pengaruh
Model Pembelajaran Core Terhadap Kemampuan
Berpikir Kritis Dan Disposisi Matematis Ditinjau Dari
Kemampuan Awal Matematika Siswa Sma Negeri Di
Jakarta Timur. Jurnal Penelitian dan Pembelajaran
Matematika, 11(1).
https://doi.org/10.30870/jppm.v11i1.2997
Wafida, A. (2018). Analisis Proses Berpikir Refraktif Siswa Dalam
Menyelesaikan Soal Berstandar Pisa Ditinjau dari Tipe
Kepribadian Extrovert-. UIN Jakarta.
122
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
123
EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN ARCS BERBANTUAN MEDIA EDUTAINMENT TERHADAP HASIL BELAJAR
PESERTA DIDIK
Dhonny Prasetya Kusumajati1, Muniri2 1Mahasiswa Tadris Matematika, Institut Agama Islam Negeri
Tulungagung. 2Dosen Tadris Matematika, Institut Agama Islam Negeri
Tulungagung.
[email protected],1 [email protected]
ABSTRAK
Pembelajaran ARCS (Attention, Relevance, Confidence,
Satisfaction) merupakan pembelajaran dengan metode
meningkatkan daya tarik motivasi bahan ajar. Pembelajaran ini
merupakan salah satu pembelajaran yang dapat digunakan oleh
pendidik sebagai alternatif pembelajaran yang dapat digunakan
dalam proses belajar mengajar. Penelitian ini memiliki tujuan
untuk mengetahui efektifitas Pembelajaran ARCS (Attention,
Relevance, Confidence, Satisfaction) berbantuan Media
Edutainment terhadap hasil belajar peserta didik. Metode yang
digunakan yakni dengan mengedepankan sisi perhatian peserta
didik terhadap pemaparan materi, hubungan materi dalam
kehidupan sehari-hari, rasa percaya diri peserta didik dalam
menyelesaikan permasalahan matematika, serta menumbuhkan
rasa puas dari peserta didik atas capaian yang telah diperoleh.
Pembelajaran tersebut berbantuan media Edutainment sebagai
saran untuk memotivasi peserta didik terhadap pembelajaran
matematika yang interaktif. Dengan taraf signifikan 𝛼 = 0,05
dan perolehan hasil dari uji U Mann-Whitney 0,001 (. 𝑠𝑖𝑔 < 𝛼)
124
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
yang mengakibatkan tolak 𝐻0 dan terima 𝐻1. Sehingga,
menghasilkan kesimpulan bahwa ada pengaruh Pembelajaran
ARCS (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction) berbantuan
Media Edutainment terhadap hasil belajar peserta didik.
Kata Kunci: Pembelajaran ARCS, dan Media Edutainment,
ABSTRACT
ARCS learning (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction) is
learning with a method to increase the attractiveness of teaching
material motivation. This learning done from learning that
educators can use as alternative learning that can be used in
teaching and learning. This study aims to determine the
effectiveness of ARCS learning (Attention, Relevance, Confidence,
Satisfaction) on student learning outcomes through media
edutainment. The method used is to direct students' attention to
the exposure of the material, the relationship from material in
daily life, the confidence of the students in the solution of
mathematical problems, and the satisfaction of the students with
the achievements achieved. Learning is supported by edutainment
media to motivate students for interactive math learning. With a
significant value of α = 0.05 and the results of the Mann-Whitney
U test of 0.001 (.sig <α), which resulted in 𝐻0 being discarded and
𝐻1 being accepted. Therefore, it is concluded that ARCS learning
(Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction), which is
supported by Media Edutainment, has an impact on students'
learning outcomes.
Keywords: ARCS Learning, and Media Edutainment
PENDAHULUAN
Pembelajaran matematika memiliki beberapa tujuan
khusus yang harus dicapai diantaranya adalah mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan pemecahan
masalah merupakan salah satu bentuk kemampuan berpikir
tingkat tinggi. Suatu soal yang dianggap sebagai “masalah”
adalah soal yang memerlukan keaslian berpikir tanpa adanya
contoh penyelesaian sebelumnya. Masalah berbeda dengan soal
125
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
latihan. Pada soal latihan, peserta didik telah mengetahui cara
menyelesaikannya, karena telah jelas hubungan antara yang
diketahui dengan yang ditanyakan, dan biasanya telah ada
contoh soal. Faktanya, peserta didik tidak tahu bagaimana cara
menyelesaikannya, tetapi peserta didik tertarik dan tertantang
untuk menyelesaikannya. Peserta didik menggunakan segenap
pemikiran, memilih strategi pemecahannya, dan memproses
hingga menemukan penyelesaian dari suatu masalah (Amin,
2004).
Matematika juga merupakan ilmu yang cukup sulit
dipelajari bagi semua kalangan, bahkan matematika dijadikan
momok dalam berbagai macam pelajaran. Matematika juga
merupakan suatu ilmu sains, dimana dapat berperan dalam
berbagai aspek study. Ada berbagai macam ilmu sains yang
menggunakan konsep dasar matematika, diantaranya adalah
fisika, kimia, astronomi dan masih banyak ilmu lain yang
berhubungan dengan matematika. Hal ini di perjelas oleh study
research yang dilakukan oleh Intisari (2017) tentang persepsi
matematika terhadap peserta didik yang menjelaskan bahwa
hasil kuisioner tentang penilaian terhadap mata pelajaran
matematika sungguh memprihatinkan, karena matematika yang
selama ini menjadi pelajaran wajib diseluruh jenjang
pendidikan, pendapat atau persepsi peserta didik mengatakan
matematika sangat sulit, menakutkan, tidak ada gunanya, dan
menyebabkan sakit kepala serta menjadi stress (Intisari, 2017).
Salah satu hal yang dapat digunakan untuk mengurangi
asumsi-asumsi bahwa matematika sulit adalah suatu model
pembelajaran. Pembelajaran dalam Pendidikan merupakan
upaya penataan lingkungan yang memberikan suatu situasi
tertentu agar program pembelajaran dapat berlangsung secara
optimal. Pembelajaran berguna untuk memberikan suatu topik
pelajaran tertentu bagi peserta didik dalam mengembangkan
suatu mata pelajaran tertentu. Salah satu materi pokok yang ada
disetiap jenjang sekolah dasar ataupun sekolah menengah
adalah pelajaran matematika (Suherman, 2003).
126
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Pembelajaran matematika merupakan suatu proses atau
kegiatan guru matematika dalam mengajarkan mata pelajaran
matematika kepada peserta didiknya, dimana terdapat upaya
guru untuk menciptakan suatu keadaan dan pelayanan
terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat dan kebutuhan
peserta didik yang beragam agar terjadi interaksi optimal, baik
antara guru dengan peserta didik atau antar peseta didik dalam
mempelajari matematika (Amin, 2004).
Matematika sendiri berasal dari bahasa latin mathematika
yang mulanya diambil dari bahasa Yunani mathematike yang
berarti mempelajari. Perkataan itu mempunyai asal kata
mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge,
science). Kata mathematike berhubungan pula dengan kata
lainnya yang hampir sama, yaitu mathein atau mathenein yang
artinya belajar (berpikir). Jadi, berdasarkan asal katanya,
matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan
berpikir atau bernalar. Matematika lebih menekankan kegiatan
dalam dunia rasio (penalaran), bukan menekankan dari hasil
eksperimen atau hasil observasi. Matematika terbentuk karena
pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan ide, proses,
dan penalaran (Rahmah, 2018).
Dalam suatu kondisi pembelajaran, seorang pendidik
haruslah memiliki kemampuan dalam menciptakan suatu
pembelajaran yang inovatif. Pembelajaran yang inovatif
memerlukan pemahaman terhadap pradigma baru dalam setiap
masa yang sedang berlangsung. Sedangakan dalam praktik
lapangan, masih banyak seorang pendidik yang masih
menggunakan pembelajaran konvensional dengan metode
ceramah, dimana dalam pembelajaran ini keberhasilan
seseorang akan dikaitkan dengan kemampuan intelektualnya,
yang diukur dengan IQ (Intelectual Quotient). Dalam hal ini,
Proses belajar mengajar sangat mementingkan aspek kognitif.
Implikasinya, pengajaran sangat mementingkan belahan otak
kiri, sehingga persoalan berfikir kreatif, imajinatif, holistic,
sangat diabaikan. Untuk menanggulangi hal tersebut seorang
pendidik perlu membuat strategi pembelajaran untuk
127
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
mengetahui pembelajaran apa yang cocok digunakan oleh
peserta didik (Barlian, 2013).
Salah satu pembelajaran yang dapat digunakan oleh
pendidik adalah pembelajaran ARCS (Attention, Relevance,
Confidence, Satisfaction). Pembelajaran ini merupakan salah
satu pembelajaran yang dapat digunakan oleh pendidik sebagai
alternatif pembelajaran. Pembelajaran ini mampu memberikan
motivasi terhadap peserta didik, sehingga peserta didik mampu
mengikuti proses pembelajaran secara maksimal. Adapun kunci
utama dalam pembelajaran ini adalah analisis, dimana guru
harus mampu memahami karakter dan tingkat motivasi setiap
peserta didik, guna optimalisasi pembelajaran yang ada.
Pembelajaran ini didasarkan kepada sintesis konsep dan
karakteristik motivasi kedalam empat kategori, yaitu perhatian
(A), relevansi (R), percaya diri (C), dan kepuasan (S). Keempat
kategori ini mewakili serangkaian kondisi yang diperlukan agar
seseorang dapat termotivasi penuh dalam berlangsungnya
proses pembelajaran (J. Keller, 2000).
Pembelajaran ARCS (Attention, Relevance, Confidence,
Satisfaction) adalah pembelajaran dengan metode
meningkatkan daya tarik motivasi bahan ajar. Pembelajaran ini
memiliki tiga ciri khas. Pertama, berisi empat kategori
konseptual yang mencakup beberapa konsep dan variabel
spesifik yang menjadi ciri setiap peserta didik. Kedua,
serangkaian strategi yang digunakan untuk meningkatkan daya
tarik motivasi instruksi, dan ketiga, menggabungkan proses
desain sistematis, yang disebut desain motivasi, dan dapat
digunakan secara efektif dengan model desain pembelajaran
tradisional (J. M. Keller, 1987).
Pembelajaran ARCS (Attention, Relevance, Confidence,
Satisfaction) mendefinisikan empat kondisi utama yaitu
Perhatian, Relevansi, Percaya diri, dan Kepuasan yang harus
dipenuhi agar peserta didik tetap termotivasi. Adapun
penjelasan dari empat kondisi tersebut adalah sebagai berikut:
(J. M. Keller, 2016)
128
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Kondisi pertama perhatian mencakup penelitian
tentang rasa ingin tahu dan gairah, minat, kebosanan,
dan bidang terkait lainnya seperti pencarian sensasi.
Kondisi kedua relevansi, mengacu pada persepsi
peserta didik, dimana seorang pendidik harus
mengajarkan pelajaran secara konsisten dan sesuai
dengan tujuan, gaya belajar, serta terhubung dengan
kehidupan sehari-hari peserta didik.
Kondisi ketiga keyakinan/kepercayaan diri, hal ini
mengacu kepada seberapa besar efek yang
ditimbulkan oleh peserta didik, yaitu berupa harapan
positif atas keberhasilan yang dicapai dalam
menyelesaikan suatu permasalahan yang berkaitan
dengan pembelajaran.
Kondisi keempat kepuasan. Ini mencakup campuran
yang sesuai dari hasil-hasil yang secara intrinsik dan
ekstrinsik dapat memuaskan peserta didik atas hasil
yang dicapai
Model Pembelajaran ARCS (Attention, Relevance,
Confidence, Satisfaction) memiliki sepuluh langkah untuk
mengembangkan sistem motivasi dalam pengaturan kerja dan
pembelajaran. Dua langkah pertama, yang merupakan bagian
dari keseluruhan komponen analisis proses yang menghasilkan
informasi tentang status dan memberikan dasar untuk
menganalisis kesenjangan dan berdampak pada langkah ketiga
dan keempat. Berdasarkan analisis ini, Langkah kelima
melibatkan persiapan tujuan dan spesifikasi motivasi untuk
bagaimana mereka akan dapat dinilai. Kemudian ada dua
langkah dalam desain. Langkah keenam terdiri dari curah
pendapat dalam setiap kategori motivasi untuk menghasilkan
daftar karya solusi yang potensial. Langkah ketujuh lebih kritis
dan analitis untuk tujuan memilih solusi yang paling sesuai
dengan waktu, sumber daya, dan faktor kendala lainnya dalam
situasi tersebut. Tiga langkah terakhir mencakup
pengembangan dan evaluasi, dan serupa dengan model
pengembangan lainnya (J. M. Keller, 2016).
129
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Tabel 1 langkah-langkah desain motivasi sistematis ARCS-V
1. Dapatkan informasi tempat belajar
2. Dapatkan informasi peserta didk
3. Analisis peserta didik 4. Menganalisis elemen
pendukung lain 5. Sebutkan tujuan dan
penilaian
6. Sebutkan taktik potensial
7. Pilih & taktik desain 8. Integrasikan dengan
instruksi 9. Pilih dan kembangkan
materi 10. Evaluasi dan revisi
Pembelajaran ARCS (Attention, Relevance, Confidence,
Satisfaction) memiliki beberapa indikator capaian yang
digunakan sebagai tolak ukur kesuksesan dalam pembelajaran.
Adapun indikator tersebut adalah sebagai berikut (J. M. Keller,
1987) :
Tabel 2. Indikator Pembelajaran ARCS (Attention,
Relevance, Confidence, Satisfaction)
Attention Meningkatkan perhatian peserta didik terhadap pembelajaran yang telah disediakan
Memperkenalkan fakta atau fenomena yang terjadi untuk mempertahankan perhatian setiap peserta didik
Memperlihatkan Representasi visual dari objek penting dengan sekumpulan ide yang berhubungan
Mengembangkan kreatfitas peserta didik dengan memberi kesempatan untuk memilih topik bahasan pada materi yang telah ditentukan
Relevance Mengaitkan materi dengan segala bentuk hal yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari
Memberi analogi kepada peserta didik tentang kegunaan konsep matematik terhadap permasalahan kontekstual
130
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Memberikan kesempatan kepada peserta didik atas ungkapan tentang tujuan dan cita-cita yang hendak mereka tempuh di masa yang akan datang
Confidence Memberikan trik atau cara alternatif dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang digunakan untuk meningkatkan kepercayaan diri peserta didik
Memberikan gambaran positif kepada peserta didik tentang kesuksesan dimasa depan atas usaha yang telah dilakukan
Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk semakin mandiri dalam belajar dan mempraktikan keterampilan
Satisfactions Memberikan apresiasi kepada peserta didik atas capaian yang telah diperoleh
Memberikan umpan balik yang informatif dan bermanfaat terhadap peserta didik yang telah menyelesaikan permasalahan yang diberikan dengan baik
Memperkuat kebanggaan intrinsik peserta didik dalam menyelesaikan tugas yang sulit
Berdasarkan komponen yang ada dalam keseluruhan
sistem pendidikan, terdapat banyak hal yang perlu mendapat
perubahan, peningkatan, penyempurnaan, maupun perbaikan
melalui kegiatan inovasi. Bidang-bidang tersebut antara lain
menyangkut peserta didik, tujuan pendidikan, isi bahan ajar,
media pendidikan, fasilitas pendidik, metode dan teknik
komunikasi, struktur dan tata laksana, hasil-hasil pendidikan,
situasi belajar mengajar, dan sebagianya (Wahyudin, Supriadi,
& Abduhak, 2007).
Salah satu hal yang mampu menunjang kebutuhan peserta
didik dalam mempelajari suatu konsep matematika adalah
penggunaan media pembelajaran berbasis visual. Media
berbasis visual adalah media yang hanya mengandalkan indra
penglihatan. Media berbasis visual biasanya memiliki bentuk
berupa image atau perumpamaan. Media visual dapat
memperlancar pemahaman dan memperkuat ingatan. Media
131
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
visual dapat pula menumbuhkan minat peserta didik, dan dapat
memberikan dukungan antara isi materi pelajaran dengan
permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Media
visual akan menjadi efektif bila ditempatkan pada konteks yang
tepat, dimana peserta didik mampu berinteraksi langsung
dengan visual (image) untuk menyerap informasi. Salah satu
media pembelajaran visual yang dapat digunakan adalah media
pembelajaran Edutainment dengan aplikasi Adobe Flash
(Nugrahani, 2007).
Perkembangan teknologi dalam penggunaan media
interaktif berbasis visual telah di teliti, dan menghasilkan
validitas dari aspek desain grafis, kualitas dan fungsi menu,
efisiensi media, kualitas fisik, materi atau konten, bahasa,
presentasi dan penampilan, dan pembelajaran, media yang
dikembangkan dapat diuji kepada pengguna setelah
memperoleh penilaian. Media interaktif tersebut valid dengan
tingkat validitas 3,67 dari pakar media, 3,6 dari pakar materi,
dan 3,68 dari praktisi. Kemudian, media yang dikembangkan
sangat efektif dan dapat digunakan dalam pembelajaran di
kelas, karena berdasarkan data hasil tes diketahui bahwa 43
peserta didik dari total 44 peserta didik mendapat skor rata-
rata lebih dari 61 atau 97,73%. Hanya 1 peserta didik atau
2,27% mendapat skor rata-rata kurang dari 61. Sedangkan dari
tes kepraktisan, media berkembang secara praktis dengan rata-
rata praktis 3,31 (Zahroh & Muniri, 2018).
Pesatnya perkembangan teknologi memfasilitasi kegiatan
rekreasi baru, dan waktu untuk memperoleh informasi menjadi
lebih kecil. Selain itu, proses kognitif tidak diperlukan untuk
keberlangsung di lingkungan formal. Berbagai macam media
pembelajaran dari perkembangan teknologi yang ada, mampu
diubah menjadi hiburan yang sehat dengan perolehan
pengetahuan yang lebih signifikan. Dari berbagai fenomena atau
peristiwa yang ada, mengakibatkan munculnya teknologi
pembelajaran Edutainment, yang didasarkan pada konsep
"Education (pendidikan) + Entertainment (hiburan)”.
Edutainment adalah suatu implementasi teknologi dari bentuk
132
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
hiburan modern dalam pembelajaran ataupun kelas tradisional.
Pengembangan media Edutainment didasarkan pada suatu
kondisi yang santai untuk memberikan stimulus kepada peserta
didik dalam mengatur tingkat emosional mereka (Anikina &
Yakimenko, 2015).
Edutainment dalam bidang teknologi akan berkaitan erat
denggan penggunaan komputer sebagai alat untuk
mengembangkan media pembelajaran Edutainment.
Penggunaan Media Edutainment didefinisikan sebagai media
pembelajaran berbasis game, cerita, dan bahan visual. Tujuan
Media Edutainment tidak lain adalah untuk menarik
ketertarikan peserta didik dan untuk mempertahankan
ketertarikan mereka dengan memusatkan perhatian mereka ke
media tersebut,dimana dengan adanya media tersebut akan
menampilkan beberapa animasi interaktif (Aksakal, 2015).
Pembuatan media Edutainment dapat dilakukan dengan
berbagai software, seperti Microsoft Power Point, Adobe Flash,
Adobe Premier, Moodle dan sebagainya. Dari beberapa software
tersebut, Adobe Flash adalah software yang dinilai lebih efektif
dalam membuat media pembelajaran Edutainmen. Adobe Flash
mampu menghasilkan presentasi, game, film, ataupun animasi
pembelajaran. File yang dihasilkan oleh Adobe Flash berukuran
kecil, serta dapat dikonversi menjadi file dengan tipe .exe yang dapat
dijalankan pada semua komputer meskipun dalam komputer
tersebut tidak terinstal software Adobe Flash. Keunggulan media
pembelajaran Edutainment dengan aplikasi Adobe Flash, yaitu
dilengkapi dengan beberapa macam animasi, suara, dan animasi
interaktif. Sehingga, peserta didik mampu mendengarkan
penjelesan serta memperhatikan animasi yang interaktif, maupun
penjelasan dalam bentuk teks (Fatimah, 2016).
Media Edutainment digunakan sebagai optimalisasi hasil
belajar yang diperoleh. Dengan adanya media Edutainment peserta
didik mampu memberikan perhatian khusus terhadap suatu hal baru
(Attention). Selain itu adanya reward mampu memberikan rasa puas
terhadap peserta didik atas hasil yang diperoleh (Satisfaction) dan
menambah kepercayaan diri peserta didik untuk mencoba
133
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
permasalah lain yang berkaitan dengan topik pembahasan
(Confidence). Peserta didik juga diharapkan mampu mengaitkan
materi pembelajaran yang ada dengan kehidupan sehari-hari
(Relevance) (Sulistiyani, 2011).
Adapun tahapan dalam penggunaan media Edutainemnt
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Peserta didik diberikan soal berupa kuis dengan waktu
yang ditentukan
2. Peneliti menjanjikan reward bagi siapa yang menjawab
dengan cepat dan benar
3. Diberikan waktu selama 30 - 60 detik untuk
kesempatan memahami soal
4. Waktu mengerjakan diberikan setelah atau pada saat
soal ditampilkan
Gambar 1 . Media Edutainment (Flashmo, 2011)
134
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Penelitian sebelumnya telah dibahas mengenai Efektiftas
pembelajaran ARCS (Attention, Relevance, Confidence,
Satisfaction) dengan bantuan alat peraga sebagai media
pembelajaran yang digunakan, serta penelitian tersebut
ditempatkan di Madrasah Tsanawiyah (Sulistiyani, 2011).
Penelitain lain juga telah membahas tentang pembelajaran
berbasis edutainment untuk meningkatkan keaktifan belajar
peserta didik, dimana dalam penilitian tersebut edutainment
digunakan sebagai suatu pembelajaran (Sitepu, 2013).
Penelitian ini mencoba menggabungkan antara Pembelajaran
ARCS (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction) dengan
media edutainment, dimana dalam hal ini diharapkan mampu
menjadi inovasi bari bagi pendidik dalam mengembangakan
atau menggabungkan model pembelajaran yang ada dengan
media pembelajaran yang interaktif.
METODE
Pendekatan penelitian dalam penelitian ini menggunakan
penelitian kuantitatif, dimana pendekatan tersebut
menggunakan statistik hitung dalam melakukan suatu
penelitain. Menurut John W Creswell (2014) penelitian
kuantitatif adalah pendekatan untuk menguji teori objektif
dengan memeriksa hubungan antar variabel, dimana variabel-
variabel ini terletak pada tempatnya, dapat diukur. Sehingga,
data-data tersebut dapat dianalisis menggunakan prosedur
statistik (W. Creswell, 2014).
Penelitian ini menggunakan desain penelitian kuantitatif,
dimana penelitian ini merupakan penelitian eksperimental
dengan cara memberikan perlakuan kepada subjek yang diuji.
Penelitian ini dilakukan dengan cara membagi subjek penelitian
kedalam dua kelompok. Kelompok pertama merupakan
kelompok eksperimen dengan menggunakan pembelajaran
ARCS (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction), sedangkan
kelompok kedua merupakan kelompok kontrol dengan
pembelajaran konvensional atau ceramah. Dari kedua kelompok
135
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
tersebut diuji apakah ada beda hasil belajar yang diperoleh. Uji yang
diberikan untuk kedua kelompok tersebut berupa postest,
dimana tes tersebut berupa tes yang sama. Hasil kedua postest
dibandingkan dan diuji pebedaannya. Jika kedua postest pada
kelompok tersebut menunjukkan perbedaan, maka terdapat
pengaruh dari perlakuan yang diberikan (Creswell, 2012).
Setiap penelitian kuantitatif memerlukan adanya populasi,
sampel, dan variabel. Populasi merupakan suatu kesatuan yang
berupa subjek penelitian. Berbagai macam subjek yang
dikumpulkan dalam suatu wadah biasa disebut populasi.
Polpulasi dapat diambil dari suatu kelompok tertentu
berdasarakan kesamaan dalam hal karakteristik, baik berupa
tingkah laku, pola pikir, ataupun yang lain. Sampel merupakan
bagian kelompok dari populasi target yang direncanakan untuk
dipelajari dan digunakan sebagai generalisasi dari seluruh
target dalam populasi. Penelitain ini memiliki dua variabel,
yakni satu variabel bebas (Independen) dan satu variabel terikat
(dependen) (Creswell, 2012). Menurut Sugiono (2010) variabel
penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang,
obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu atau yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulan
(Sugiono, 2010).
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini berupa
seluruh kelas XI yang terdiri dari satu kelas IPA, yakni XI IPA,
serta dua kelas XI IPS, yakni XI IPS 1 dan XI IPS 2. Sampel yang
dipilih dalam penelitian ini berupa peserta didik kelas XI IPS 1
dan XI IPS 2 MA Syekh Subakir Nglegok Blitar. Kedua kelas
tersebut dipilih sebagai subjek penelitian karena kelas tersebut
perlu dilakukan pembelajaran khusus untuk menambah
motivasi dan minat peserta didik dalam pembelajaran
matematika, serta kesamaan karakteristik peserta didik berupa
kesamaan dalam hal konsentrasi jurusan ilmu sosial juga
menjadi pertimbangan. Terdapat pula dua variabel dalam
penelitain ini, yakni variabel bebas dan terikat. Variabel bebas
dalam penelitian ini adalah model pembelajaran ARCS
(Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction) dengan bantuan
136
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
media Edutainment, sedangkan penelitian ini memiliki variabel
terikat berupa hasil belajar matematika peserta didik.
Adapun penelitian ini menggunakan teknik Purposive
Sampling. Teknik Purposive Sampling adalah teknik penentuan
sampel dengan pertimbangan tertentu. Pengambilan sampel
dilakukan atas dasar pertimbangan, serta suatu anggapan
tertentu dengan adanya unsur-unsur yang dikehendaki telah
ada dalam anggota sampel yang diambil. Penentuan
pengambilan sampel yang dilakukan, dikuatkan atas dasar
pertimbangan guru mata pelajaran yang mengampu di sekolah
tersebut. Penguatan tersebut berupa kemampuan peserta didik
yang kurang mumpuni dalam proses pembelajaran
berlangsung, serta kecenderungan peserta didik dalam
memahami suatu kajian tertentu. Sehingga, dalam penelitian ini
digunakanlah Purposive Sampling (Rozaini, 2003).
Data dikumpulkan dengan menggunakan metode observasi
dan tes. Observasi dilakukan sebagai cara untuk mengetahui
budaya akademik dalam proses pembelajaran di sekolah, serta
digunakan untuk memahami karakter setiap peserta didik,
dimana hal ini dilakukan untuk menunjang penelitian yang akan
dilakukan. Tes yang digunakan dalam penelitian ini berupa soal
postest. Soal tersebut diberikan terhadap dua kelompok subjek
tersebut. Setelah pengumpulan data dilakukan, kemudian data
di analisis dengan menggunakan aplikasi statistik SPSS untuk
menguji apakah ada beda antara pembelajaran ARCS (Attention,
Relevance, Confidence, Satisfaction) dan pembelajaran
konvensional.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan pada beberapa subjek yang di
ambil dari dua jenis kelas yang sama, serta mata pelajaran yang
sama, yakni kelas XI IPS serta pada mata pelajaran matematika
wajib dengan materi matriks. Kedua kelas merupakan kelas
dengan fokus jurusan pada ilmu-ilmu sosial. Hasil penelitian
dihitung menggunakan aplikasi statistika SPSS 16. Hasil
penelitian memperoleh data sebagai berikut :
137
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Tabel 3. Nilai Tes Pembelajaran
XI IPS 1 XI IPS 2 XI IPS 1 XI IPS 2 XI IPS 1 XI IPS 2
17 40 90 50 15 83
90 85 10 45 20 85
27 83 29 90 20 60
45 85 32 85 12 83
24 83 22 50 75 Dari data yang telah dikumpulkan dengan melakukan tes,
peneltian ini mempunyai hipotesis :
𝐻0: tidak ada beda nilai tes antara kelas kontrol dan kelas eksperimen
𝐻1 : ada beda nilai tes antara kelas kontrol dan kelas eksperimen
Sebagai prasyarat menguji hipotesis pada statistik perlu dilakukan uji normalitas untuk mengetahui apakah data tersebut merupakan data yang berasal dari populasi berdistribusi normal atau tidak. Hal ini diperlukan untuk mengetahui jenis uji apa yang cocok digunakan, sebab ada beberapa jenis uji yang mengharuskan data berdistribusi normal atau tidak (Kadir, 2016).
Adapun Uji Normalitas memiliki ketentuan sebagai berikut (Siegel, 1992):
𝐻0 : Data berasal dari populasi berdistribusi normal 𝐻1 : Data berasal dari populasi berdistribusi tidak normal
𝜒2 = ∑(𝑂𝑖 − 𝐸𝑖)2
𝐸𝑖
𝑘
𝑖=1
𝑂𝑖 : banyaknya kasus yang diamati dalam kategori ke-𝑖
𝐸𝑖 : banyaknya yang diharapkan dalam kategori ke-𝑖 dibawah 𝐻0
∑𝑘𝑖=1 : penjumlahan semua kategori k
Dengan kriteria uji (𝛼 = 0,05) :
𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔2 < 𝜒𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙
2 𝐻0 diterima
𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔2 ≥ 𝜒𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙
2 𝐻0 ditolak
. 𝑠𝑖𝑔 < 𝛼 𝐻0 ditolak
. 𝑠𝑖𝑔 ≥ 𝛼 𝐻0 diterima
138
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Tabel 4 . Hasil Uji Normalitas dengan SPSS 16
Dari data yang diperoleh dengan menggunakan
penghitungan aplikasi SPPS 16 dapat diketahui bahwa . 𝑠𝑖𝑔 < 𝛼
untuk kedua kelas atau 𝐻0 ditolak. Sehingga, data bukan berasal
dari populasi berdistribusi normal.
Jika data tidak berasal dari distribusi normal, maka data
dapat menggunakan uji yang bebas akan prasyarat distribus
normal, seperti Chi-Kuadrat, Gamma, Tau, Mann-Whitney, dan
Wilcoxon (Kadir, 2016). Dalam hal ini, peneliti menggunakan Uji
U Mann-Whitney yang merupakan jenis statistik non
Parametrik.
Tabel 4 . Rangking data dengan Uji U Mann-Whitney
Tabel 5 . Rangking data dengan Uji U Mann-Whitney
139
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Tabel 4 menunjukkan rata-rata rangking dari setiap kelas, yaitu 9,68 untuk kelas XI IPS 1 dan 19,97 untuk kelas XI IPS 2. Artinya, kelas XI IPS 1 memiliki rangking yang lebih rendah dari pada XI IPS 2. Tabel 5 menunjukkan hasil dari Uji U Mann-Whitney. Pada tabel tersebut dijelaskan bahwa 𝐴𝑠𝑦𝑖𝑚𝑝 . 𝑆𝑖𝑔 = 0,001, . 𝑠𝑖𝑔 < 𝛼 atau 𝐻0 ditolak dan 𝐻1 diterima.
Penelitain ini diperkuat oleh pendapat Siegel (1992) yang menjelaskan bahwa Uji U Mann-Whitney yang digunakan pada penelitian ini memiliki kekuatan efisiensi mendekati
3
𝜋=
95,5% yang seiring dengan meningkatnya jumlah subjek yang diteiti. Oleh sebab itu, uji ini merupakan pengganti untuk uji t, serta tidak memiliki anggapan-anggapan yang membatasi ataupun persyaratan pada uji t (Siegel, 1992)
Penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian yang lain yang
menjelaskan tentang efektiftas Pembelajaran ARCS (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction) dengan bantuan alat peraga (Sulistiyani, 2011), serta Pembelajaran Berbasis Edutainment Untuk Meningkatkan Keaktifan Belajar Peserta didik (Sitepu, 2013). Dalam hal ini, kedua penelitian tersebut memiliki pengaruh terhadap hasil belajar peserta didik. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa ada beda nilai tes antara kelas kontrol dan kelas
eksperimen, dengan kata lain ada perbedaan antara hasil belajar
kelas XI IPS 1 dan XI IPS 2, serta ada pengaruh pembelajaran ARCS
(Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction) berbantuan media
Edutainment terhadap hasil belajar peserta didik.
SIMPULAN
Penelitian ini memiliki kesimpulan bahwa : 1) pembelajaran ARCS (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction) berbantuan media Edutainment telah terbukti berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik, 2) pembelajaran ARCS (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction) merupakan salah satu Motivasional Learning yang digunakan untuk meningkatkan semangat peserta didik dalam pembelajaran matematika, 3) Media Edutainment dapat digunakan sebagai salah satu media alternatif yang digunakan untuk menarik perhatian peserta didik.
140
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
DAFTAR RUJUKAN
Aksakal, N. (2015). Theoretical View to The Approach of The
Edutainment. Social and Behavioral Sciences, 186, 1232–
1239. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.04.081
Amin, S. (2004). Dasar-Dasar Proses Pembelajaran Matematika
I. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Anikina, O. V., & Yakimenko, E. V. (2015). Edutainment as a
modern technology of education. Social and Behavioral
Sciences, 166, 475–479.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.12.558
Barlian, I. (2013). Begitu Pentingkah Strategi Belajar Mengajar
Bagi Guru ? Jurnal Forum Sosial, VI(01), 241–246.
Creswell, J. W. (2012). Eductional Research (4th ed., Vol. 6).
Lincoln: Pearson.
Fatimah, F. (2016). Pengembangan Media Pembelajaran
Menggunakan Software Adobe Flash Professional CS6 Pada
Materi Gula dan Hasil Olahnya Untuk Siswa Kelas X Jasa
Boga SMK Negeri 1 Sewon. Universitas Negeri Yogyakarta.
Flashmo. (2011). Mini Tour. Retrieved from Flashmo.com
website:
http://www.flashmo.com/priview/flashmo_242_mini_tou
r
Intisari. (2017). Persepsi Siswa Terhadap Mata Pelajaran
Matematika. Journal Unsika, 1(1), 62–71.
Kadir, K. (2016). Statistika Terapan : Konsep, Contoh, dan
Analisis Data dengan Program SPSS/Lisrel dalam Penelitian
(2nd ed.). Jakarta: Rajawali Pers.
Keller, J. (2000). How to integrate learner motivation planning
into lesson planning: The ARCS model approach. VII
Semenario, Santiago, Cuba, 1–13.
Keller, J. M. (1987). Development and Use of the ARCS Model of
Instructional Design. Journal Of Instructional Development,
10(3).
141
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Keller, J. M. (2016). Motivation, Learning, and Technology:
Applying the ARCS-V Motivation Model. Participatory
Educational Research, 3(2), 1–15.
https://doi.org/10.17275/per.16.06.3.2
Nugrahani, R. (2007). Media Pembelajaran Berbasis Visual
Berbentuk Ular Tangga Untuk Meningkatkan Kualitas
Belajar Mengajar Di Sekolah Dasar. Lembaran Ilmu
Kependidikan, 36(1), 35–44.
Rahmah, N. (2018). Hakikat Pendidikan Matematika. Al-
Khwarizmi: Jurnal Pendidikan Matematika Dan Ilmu
Pengetahuan Alam, 1(2), 1–10.
https://doi.org/10.24256/jpmipa.v1i2.88
Rozaini, N. (2003). Teknik Sampling. In USU digital library
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
Siegel, S. (1992). Statistik Non Parametrik : Untuk Ilmu-ilmu
Sosial (5th ed.; Z. Suyuti & L. Simatupang, Eds.). Jakarta: PT.
Gramedia.
Sitepu, J. M. (2013). Pembelajaran Berbasis Edutainment Untuk
Meningkatkan Keaktifan Belajar Siswa. Jurnal Fakultas
Agama Islam UMSU.
Sugiono. (2010). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Suherman, E. dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika
Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Pendidikan Indonesia.
Sulistiyani, S. (2011). Efektivitas Pembelajaran ARCS (Attention,
Relevance, Confidence, Satisfaction) berbantuan Alat
peraga terhadap peningkatan hasil belajar Matematika
peserta didik pada pokok bahasan Segiempat. Institut
Agama Islam Negeri Walisongo Semarang.
W. Creswell, J. (2014). Research Design (Qualitative,
Quantitative, and Mixed Methods Approaches) (4th ed.).
142
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
USA: SAGE Publications.
Wahyudin, Di., Supriadi, S., & Abduhak, I. (2007). Pengantar
Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Zahroh, U., & Muniri. (2018). Interactive Learning Media
Development Using Software AutoPlay Media Studio on
Materials of Integration Techniques. University of
Muhammadiyah Malang’s 1st International Conference of
Mathematics Education (INCOMED), 160, 97–102.
https://doi.org/10.2991/incomed-17.2018.2
143
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
ETNOMATEMATIKA KESENIAN REYOG TULUNGAGUNG SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN
MATEMATIKA SMP
Diesty Hayuhantika Program Studi Pendidikan Matematika, STKIP PGRI
Tulungagung
ABSTRAK
Kajian ini bertujuan mendeskripsikan keterkaitan antara hasil
eksplorasi Etnomatematika Kesenian Reyog Tulungagung
dengan materi pembelajaran matematika tingkat SMP.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa di dalam unsur-
unsur kesenian Reyog Tulungagung yang meliputi aspek
instrumen, kostum, dan gerakan tari terdapat pengetahuan
matematika yang potensial sebagai bahan pembelajaran
matematika. Pengetahuan matematika yang telah teridentifikasi
antara lain himpunan, relasi, dan fungsi; pencacahan; pola; titik,
garis, dan sudut; keliling dan luas bangun datar; dan volume
bangun ruang. Pengetahuan matematika tersebut selanjutnya
dipetakan berdasarkan Kompetensi Dasar sesuai dengan
kurikulum mata pelajaran Matematika tingkat SMP. Kajian ini
menunjukkan kontribusi Etnomatematika terhadap bidang
Pendidikan Matematika.
Kata Kunci: Etnomatematika, Pembelajaran Matematika,
Pengetahuan Matematika, Reyog Tulungagung
144
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
ABSTRACT
This study aims to describe the relationship between the results of
the Reyog Tulungagung Ethnomatematics exploration with junior
high school mathematics learning material. Based on the results
of the study it was found that in the Reyog Tulungagung art
elements which included aspects of instruments, costumes, and
dance movements there was potential mathematical knowledge
as a learning material for mathematics. Mathematical knowledge
that has been identified include sets, relations, and functions;
enumeration; pattern; points, lines and angles; flat circumference
and width; and volume of space. The knowledge of mathematics is
then mapped based on Basic Competencies in accordance with the
curriculum of Mathematics at junior high school level. This study
shows the contribution of ethnomatematics to the field of
Mathematics Education.
Keywords: Ethnomatematics, Mathematical Knowledge,
Mathematics Learning, Reyog Tulungagung
PENDAHULUAN
Sebagai pendidik berpengalaman, secara umum dan
khususnya dalam pengajaran matematika, dapat dikatakan
bahwa kita saat ini seringkali terjadi berbagai kesulitan dan
tantangan seperti motivasi belajar matematika yang rendah,
kesulitan dalam membangun dan memahami konsep-konsep
dan nilai-nilai matematika yang kompleks, penurunan dan
perhatian dan konsentrasi di kelas, dan masih banyak lagi. Hal-
hal tersebut berdampak negatif terhadap prestasi akademik dan
menyebabkan proses belajar matematika yang tidak
menyenangkan bagi siswa.
Pengajaran matematika menjadi lebih menarik jika isinya
terkait dengan lingkungan yang dikenal siswa. Interaksi sehari-
hari siswa dengan lingkungan budaya memberikan lebih banyak
peluang untuk berinteraksi dan membuat konsep tentang ide-
145
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
ide matematika. Kegiatan lingkungan budaya dan artefak siswa
melibatkan banyak pengetahuan dan ide matematika. Gagasan
matematika yang tertanam dalam lingkungan budaya siswa
yang akrab bagi siswa memberikan lingkungan yang baik untuk
belajar. Lingkungan ini memainkan alat penting untuk
mengkomunikasikan ide-ide matematika (Rosa dan Orey,
2013).
Gagasan dan pemikiran matematis tertanam dalam setiap
kegiatan lingkungan sekelompok orang. Namun demikian ide-
ide matematika yang mereka miliki untuk melakukan pekerjaan
sehari-hari mereka sebagian besar masih tersembunyi.
Antropologi matematika menggunakan pemodelan matematika
dalam studi sejarah, etnografi, dan budaya material untuk
menggambarkan materi dan pola kognitif kelompok orang
tertentu (Eglash, 2001). Dalam nada ini, Rosa dan Orey (2010)
melihat bahwa pemodelan matematika adalah alat metodologis
yang dapat digunakan dalam program etnomathematical.
Etnomatematika dapat membentuk kembali identitas budaya
kita yang lebih besar dengan cara yang positif dengan
mengharuskan dimasukkannya representasi yang lebih besar
dari praktik matematika yang benar dan masalah untuk
komunitas siswa sendiri (D 'Ambrosio, 1998; Zaslavsky, 1996).
Orang-orang dari budaya yang berbeda di seluruh dunia
biasanya simetri dalam mendesain tekstil, lukisan pasir, lukisan
dinding, tembikar, seni, dan artefak.
Gagasan matematika yang dipraktikkan dalam konteks
lingkungan siswa dapat digunakan sebagai metafora budaya
untuk pengajaran dan belajar matematika sekolah. Ide-ide dan
pengetahuan matematika informal yang dipraktikkan dan
digunakan dalam kegiatan sehari-hari adalah sumber domain
untuk memahami ide-ide matematika abstrak. Dengan
demikian, sistem etnomathematis kelompok budaya dapat
memungkinkan pemahaman yang lebih baik tentang
matematika sekolah.
146
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Ketika siswa dihadapkan pada nilai-nilai budaya
matematika yang berbeda dan merefleksikannya bersama,
mereka menemukan bahwa mereka tahu lebih banyak daripada
yang mereka pikir mereka tahu ketika mereka menilai diri
mereka sendiri dengan formal, matematika tradisional. Lebih
jauh, dengan cara ini mereka mengembangkan keinginan untuk
belajar dan kepercayaan diri mereka tumbuh. Juga,
ethnomathematics membantu mereka memecahkan masalah
yang lebih kompleks (Powell & Frankenstein, 1997).
Menerapkan situasi dari budaya lokal di kelas adalah salah satu
cara untuk membantu siswa dalam melihat relevansi
matematika dengan budaya mereka, dan kemudian
menggunakan tautan ini untuk membantu dalam mengajar
matematika.
Pendekatan ethnomatematika telah berkembang secara
signifikan dalam dua dekade terakhir dan telah menyebar lebih
banyak secara luas dari sebelumnya. Ini telah menjadi
pendekatan rutin yang lebih banyak digunakan, yang
diimplementasikan dalam kurikulum oleh para peneliti dan
guru di seluruh dunia (Rosa dan Gavarette, 2017). Proses
pengembangan ini terbukti dalam banyak hal: buku matematika
di semua tingkatan memasukkan mata pelajaran multikultural
seperti contoh dan latihan. Pendekatan etnomathematis
menjadi dasar dari banyak kurikulum di yurisdiksi nasional dan
lokal (Fouze & Amit, 2018).
Teori konstruktivis Vygotsky terkait dengan pendekatan
etnomatematika, yang menekankan peranbudaya dalam
pengembangan dan pembelajaran siswa dan pentingnya
interaksi siswa dengan nilai-nilai dan elemen budaya untuk
memperoleh pengetahuan. Menurut teori konstruktivis, siswa
pada awalnya memperoleh konsep matematika budaya dari
lingkungan mereka, yang sebenarnya menengahi antara siswa
dan nilai-nilai budaya dan konsep, dan terus memperoleh dan
memantapkannya di sekolah, yang secara ilmiah memproses
dan mengatur pengetahuan.
147
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Studi ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi artefak
budaya dan implikasi pedagogisnya untuk membantu siswa
dalam meningkatkan pemahaman mereka tentang konsep
matematika di tingkat SMP. Salah satu kebudayaan yang
menjadi ciri khas daerah Tulungagung yaitu kesenian Reyog
Tulungagung. Kesenian ini juga menjadi kegiatan ekstra
kurikuler di sekolah-sekolah di Tulungagung.
Mempertimbangkan ini, pertanyaan-pertanyaan penelitian
berikut dirumuskan: “1. Etnomatematika apa yang tertanam
dalam desain Kesenian Reyog Tulungagung? 2. Konsep
matematika apa yang dapat diajarkan guru dari di dalam
pembelajaran matematika SMP dari etnomatematika Reyog
Tulungagung?” Hasil yang akan dicapai dari penelitian ini
meliputi: (1)pengetahuan matematika yang terdapat pada
kesenian Reyog Tulungagung yang memperkaya ilmu
matematika formal, (2) rumusan pemetaan etnomatematika
Reyog Tulungagung ke dalam materi matematika sekolah
sebagai referensi bagi guru matematika. Guru-guru matematika
di Tulungagung memerlukan informasi tentang materi
matematika yang berkaitan dengan budaya lokal Tulungagung,
akan tetapi belum pernah ada publikasi tentang
etnomatematika kebudayaan Tulungagung. Oleh karena itu
sangat penting melakukan eksplorasi etnomatematika tentang
budaya lokal yang menjadi ciri khas daerah, yaitu Reyog
Tulungagung.
METODE
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi
ide-ide matematika yang tertanam dalam kesenian Reyog
Tulungagung dan untuk menganalisis kemungkinannya dalam
proses mengajar matematika sekolah. Untuk melakukan ini,
metode penelitian yang digunakan yakni penelitian kualitatif,
karena bermaksud untuk memahami dunia yang kompleks dari
ide-ide dan pengetahuan matematika yang tertanam dalam
konteks siswa di luar sekolah. Penelitian kualitatif terutama
bergantung pada pengumpulan data kualitatif. Ini adalah bidang
penyelidikan yang memotong lintas disiplin dan mata pelajaran
148
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
(Denzin & Lincoln, 2005). Dalam kajian ini, desain penelitian
kualitatif dipilih karena ingin memahami dunia kompleks
artefak budaya, pengetahuan matematika yang tertanam dalam
kesenian Reyog Tulungagung dan implikasinya dalam
pengajaran matematika sekolah.Tidak mungkin untuk
mengukur ide, persepsi dan pengetahuan dalam angka dan
angka. Ide-ide matematika yang tertanam dalam artefak budaya,
kepercayaan, persepsi, pemahaman orang, tentang kegiatan
mereka tidak dapat ditangkap dan dikonversi secara kuantitatif.
Etnografi adalah metodologi penelitian kualitatif yang
berupaya memahami perilaku manusia dalam pengaturan
sosialnya sendiri, yakni proses yang menggabungkan
pengetahuan peserta yang berasal dari budaya tertentu dan
keterampilan peneliti atau ahli etnografi (Pardhan, 2018).
Untuk melaksanakan tujuan penelitian ini, digunakan
teknik wawancara mendalam dan observasi non-partisipan.
Instrumen bantu yang dikembangkan adalah pedoman
wawancara dan protokol observasi sehingga akan lebih mudah
untuk menghasilkan data di lapangan (Creswell, 2009).
Instrumen ini dikembangkan sendiri oleh peneliti dan terlebih
dahulu divalidasikan kepada ahli matematika dan ahli budaya.
Informan yang diwawancarai diberikan beberapa pertanyaan
dan berdasarkan respons mereka, diberikan lagi pertanyaan
berikutnya untuk mendapatkan informasi yang diperlukan
untuk penelitian. Informan diizinkan untuk berbicara secara
bebas tentang perasaan mereka. Karena mencatat dapat
mengganggu aliran percakapan, perekam suara digunakan oleh
peneliti untuk merekam semua tanggapan dari peserta
wawancara. Dengan hati-hati semua peristiwa direkam dengan
bantuan kamera video dan catatan lapangan dibuat sebanyak
mungkin. Data yang dihasilkan dari budaya luar sekolah
mencerminkan seberapa kaya dalam hal ide dan pengetahuan
etnomatematika. Data dikumpulkan dari berbagai sumber
selama penelitian ini, antara lain pemilik dan pelatih sanggar
kesenian Reyog Tulungagung Sadjiwo Djati, para penari dari
149
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Acarya Nirwasita, dosen kesenian sebagai ahli di bidang seni
budaya, tokoh-tokoh dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Tulungagung, dan siswa-siswi SMP yang mengikuti
ekstrakurikuler Reyog Tulungagung. Di samping itu dilakukan
pula penggalian arsip dan dokumen terkait kesenian Reyog
Tulungagung. Semua data yang dikumpulkan dari berbagai
sumber data dilakukan peninjauan (Creswell, 2009) dan
kemudian diatur ke dalam kategori atau tema yang melintasi
semua sumber data. Data percakapan dan wawancara
ditranskripsi menjadi naskah sehingga dapat dengan mudah
dianalisis dan ditafsirkan.
Tugas utama peneliti dalam penelitian ini adalah untuk
menganalisis dan menafsirkan data yang saya dikumpulkan dari
lapangan. Setelah mengamati data, selanjutnya dihubungkan
dengan banyak teori yang memungkinkan untuk
menafsirkannya. Temuan penelitian ditriangulasi serta
diberikan makna. Dalam proses ini, peneliti mencoba untuk
menghasilkan deskripsi isi yang akurat. Interpretasi meliputi
melampirkan makna dan makna pada analisis, menjelaskan pola
deskriptif, dan mencari hubungan dan keterkaitan antara
dimensi deskriptif. Dalam penelitian ini analisis penelitian
divalidasi dan dibuat lebih dapat diandalkan dengan melakukan
triangulasi pernyataan di antara para peserta penelitian, cara
mereka memberikan jawaban dalam beberapa kali periode
pengumpulan data.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Reyog Tulungagung adalah kesenian tradisional khas
Tulungagung yang telah mendapatkan pengakuan namanya
berdasarkan SK HKI Kementerian Hukum dan HAM RI No HKt-
2-HI.01.01-08 Tahun 2010 (Irfan, 2017). Kesenian ini
dimainkan oleh 6 orang dengan masing-masing orang menari
sambil menabuh instrumen yang dibawanya. Instrumen ini
bernama dhodhog yang memiliki bentuk menyerupai tabung
150
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
dengan diameter berbeda-beda dan dipukul dengan irama
berbeda pula.
Gambar 1. Penari Reyog Tulungagung
Tiap satu orang penari membawa satu instrumen dhodhog yang berbeda dengan penari lainnya. Hal ini dapat merepresentasikan konsep matematika korespondensi satu-satu. Korespondensi satu-satu terkait dengan materi kelas 8 yakni relasi dan fungsi.
Di samping itu, dari bentuk instrumen dhodhog terdapat konsep-konsep matematika yang penting. Permukaan dhodhog berbentuk lingkaran, dan keenam dhodhog memiliki diameter yang berbeda-beda. Hal ini dapat digunakan untuk mengajarkan konsep-konsep lingkaran di kelas 8, seperti diameter, keliling, dan luas lingkaran. Tali yang digunakan oleh penari untuk menggendong dhodhog juga dapat merepresentasikan konsep
151
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
garis singgung lingkaran. Konsep lingkaran yang lain juga terdapat pada instrumen-instrumen pengiring seperti gong dan kenong.
Gambar 2. Instrumen Pendukung Reyog Tulungagung
Pada instrumen kenong, gong, seperti juga yang terdapat
pada dhodhog juga terkandung konsep bangun ruang sisi
lengkung. Hal ini dapat digunakan untuk mengajarkan
pemecahan masalah terkait volume bangun ruang sisi lengkung
di kelas 9. Bentuk dhodhog, dapat dipandang sebagai gabungan
dari dua kerucut terpancung yang saling membelakangi dan
tabung. Kenong dapat juga dipandang sebagai gabungan dua
kerucut terpancung dengan tinggi berbeda tetapi berdiameter
sama dengan ditambahkan irisan bola kecil di ujungnya.
Sedangkan gong merupakan gabungan dari dua tabung dengan
diameter yang berbeda ditambahkan dengan setengah bola.
Konsep keliling lingkaran juga dapat diperkenalkan melalui
salah satu perlengkapan kostum Reyog Tulungagung, yakni iker.
Iker adalah asesoris yang digunakan di kepala. Iker ini
berbentuk lilitan memanjang, yang dipakai dengan cara
melingkar di kepala. Hal ini dapat dikaitkan dengan konsep
diameter dan keliling lingkaran, yakni berkaitan dengan
panjang iker dan diameter kepala penari.
Gambar 3. Iker
152
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Cara memukul instrumen Reyog Tulungagung juga dapat
dikaitkan dengan materi pola dan barisan di kelas 8. Selain pola
berulang pada semua instrumen musik setiap hitungan,
terdapat pula pola berulang pada masing-masing instrumen
musik. Berikut pola bilangan pada ritme 1:
a. Kenong : NG-O-N-O-NG-O-N-O-NG dapat ditulis
ABCBABCBA
b. Gong : G-O-O-O-G-O-O-O-G ABBBABBBA
c. Kendang 1 : B-O-BB-O-B-O-BB-O-B. ABCBABCBA
d. Kendang 2 : OP-OP-OP-OP-OP-OP-OP-OP-OP AAAAAAAAA
e. Imbal 1 : OB-B-OB-B-OB-B-OB-B-OB ABABABABA
f. Imbal 2 : O-OB-B-OB-B-OB-B-OB-B ABCBCBCBC
g. Keplak : OP-OP-OP-OP-OP-OP-OP-OP-OP AAAAAAAAA
h. Trinting : OT-TT-OT-TT-OT-TT-OT-TT-OT ABABABABA
Untuk mempelajari pola berulang, yang harus diperhatikan
yaitu komponen penyusun pola berulang tersebut. Pola ritme 1,
2, dan 3 memiliki pola berulang yaitu ABCBA, sedangkan untuk
(1) kenong pada ritme 1, 2, dan 3 memiliki pola ABCBA, (2) gong
pada ritme 1,2,3 memiliki pola ABBBA, (3) kendang 1 : pada
ritme 1 memiliki pola ABABA, pada ritme 2 dengan pola
AABBAA, pada ritme 3 dengan pola ABABBBAB, (4) kendang 2
pada ritme 1, 2, dan 3 memiliki pola AAAAA, (5) imbal 1 : pada
ritme 1 memiliki pola ABABA, pada ritme 2 dengan pola ABBAA,
pada ritme 3 dengan pola ABABA, (6) imbal 2 : pada ritme 1
memiliki pola ABCBA, pada ritme 2 dengan pola AABBAA, ritme
3 dengan pola ABABA, (7) keplak : pada ritme 1 dengan pola
AAAAA, pada ritme 2 dengan pola ABABA, pada ritme 3 dengan
pola AAAAA, (8) trinting : pada ritme 1 dengan pola ABCBA,
pada ritme 2 dengan pola ABBAA, dan pada ritme 3 dengan pola
ABABA.
Gerakan tari Reyog ini terdiri dari 12 gerakan pokok yang
memiliki filosofi masing-masing berdasarkan sejarahnya.
Lamanya tiap gerakan dihitung sebanyak delapan gong dengan
diberi aba-aba oleh pengendang berganti gerakan. Hal ini
berkaitan dengan konsep pencacahan bilangan, kelipatan 8.
153
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Konsep bilangan ini berkaitan dengan materi bilangan bulat di
kelas 7.
Busana yang digunakan oleh para penari memiliki makna yang mendalam, dengan perlengkapannya memiliki bentuk, ukuran, dan motif yang bermacam-macam, terkandung unsur-unsur geometri di dalamnya. Konsep segitiga terdapat di dalam udheng. Udheng ini berupa kain berbentuk segitiga, namun dalam pemakaiannya akan dipakai melingkar di kepala. Hal ini juga akan memadukan konsep panjang sisi segitiga dengan diameter lingkaran. Konsep-konsep geometri lain yang banyak terdapat pada kostum Reyog Tulungagung yakni konsep Transformasi. Konsep simetri terdapat pada garuda, motif clono, motif kace, dan srempang. Konsep refleksi terdapat pada sumping, deker, dan boro-boro. Konsep dilatasi terdapat pada uncal. Sedangkan konsep rotasi terdapat juga pada motif deker.
Gambar 4. Kostum-kostum Reyog Tulungagung yang berkaitan dengan konsep Transformasi.
Penerapan pedagogi yang relevan secara budaya dalam kurikulum matematika membantu mengembangkan pembelajaran intelektual, sosial, emosional, dan politik siswa dengan menggunakan rujukan budaya mereka sendiri untuk memberikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mereka sebelumnya. Pedagogi yang relevan secara budaya menyediakan cara bagi siswa untuk mempertahankan identitas mereka sambil berhasil secara akademis. Dalam konteks ini, ada kebutuhan untuk memeriksa tertanamnya matematika dalam budaya dengan menggambar dari perspektif etnomathematis yang mengambil sifat budaya produksi pengetahuan ke dalam kurikulum matematika. Etnomathematika dan pendekatan pedagogi berbasis budaya yang relevan dengan kurikulum matematika dimaksudkan untuk membuat matematika sekolah relevan dan bermakna juga untuk mempromosikan kualitas
154
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
keseluruhan pengalaman pendidikan siswa (Rosa & Orey, 2013).
SIMPULAN
Ada berbagai budaya dan tradisi di setiap masyarakat. Arti
penting dan dasar pemikiran di balik seni budaya dan artefak
hampir tidak dikenal sehubungan dengan konsep, ide dan
pengetahuan matematika; meskipun kelompok orang yang
berbeda telah terlibat untuk waktu yang lama. Orang-orang
memiliki pengetahuan matematika implisit saat melakukan
pekerjaan sehari-hari mereka. Cara mereka membangun
kegiatan biasa tetapi memiliki konsep matematika yang tinggi
dari sudut pandang etnomatik. Menggunakan etnomatematika
sebagai alat pedagogis di kelas matematika membantu siswa
belajar tidak hanya konsep matematika tetapi juga elemen
budaya. Artefak budaya mengenai ide-ide matematika dianggap
sebagai metafora budaya untuk pengajaran dan pembelajaran
konsep abstrak matematika di tingkat dasar pendidikan.
Gagasan matematika yang dipraktikkan dalam konteks
lingkungan siswa dapat digunakan sebagai kendaraan budaya
untuk pengajaran dan pembelajaran matematika sekolah.
Gagasan dan pengetahuan matematika informal yang
dipraktikkan dan digunakan dalam kegiatan sehari-hari adalah
domain sumber untuk memahami ide-ide matematika abstrak.
Jadi, sistem etnomathematis kelompok budaya dapat
memungkinkan pemahaman yang lebih baik tentang
matematika sekolah.
Dengan demikian, kegiatan pembelajaran dan materi kelas
harus berhubungan sedekat mungkin dengan pengalaman di
luar kelas siswa. Masalahnya harus ditetapkan dalam konteks
yang akrab, contoh-contoh harus dari lingkungan murid, bahasa
yang digunakan harus akrab dengan siswa, data numerik harus
dekat dengan pengalaman murid dll. Kemudian, ketika siswa
menjadi akrab dengan strategi, konsep, dan rutinitas kegiatan
matematika, guru dapat memperkenalkan masalah, bahasa, dan
situasi dari luar pengalaman siswa. Namun, guru harus
155
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
membuat persiapan sebelumnya dengan sebaik mungkin agar
pembelajaran di kelas dapat berjalan dengan efektif.
156
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
DAFTAR RUJUKAN
Creswell, J. W. (2009). Research design: Qualitative,
quantitative and mixed methods approaches (Third Edition). New
Delhi, India: Sage.
D’Ambrosio, U. (1998). Ethnomathematics: The art or
technique of explaining and knowing. Las Cruces: ISGEm.
Denzin, N. K. & Lincoln, Y. S. (2005). Introduction: The
discipline and practice of qualitative research. In N. K. Denzin &
Y. S. Lincoln (Eds.), Handbook of qualitative research, (pp. 1-32).
Thousand Oaks, CA: Sage.
Eglash, R. (2001). Rethinking symmetry in
ethnomathematics. Symmetry: Culture and Science, 12 (1-2),
159-166.
Fouze, A. Q., & Amit, M. (2018). Development of
mathematical thinking through integration of ethnomathematic
folklore game in math instruction. Eurasia Journal of
Mathematics, Science and Technology Education, 14(2), 617–
630. https://doi.org/10.12973/ ejmste/80626
Irfan, M. N. (2017). Perkembangan Kesenian Reyog
Tulungagung Tahun 1970 – 2016.” AVATARA, e-Journal
Pendidikan Sejarah, 5(3), pp. 1113 – 1122.
Powell, A. B., & Frankenstein, M. (Eds.) (1997).
Ethnomathematics: Challenging Euroceentrrism in mathematics
education. Albany, New York: State University of New York
Press.
Pradhan, J. B. (2018). Mathematical Ideas in Cultural
Artefacts : A Metaphor for Teaching of School Mathematics.
International Journal of Scientific & Research Publications, 8(1),
335–341. https://doi.org/10.29322/IJSRP.8.9.2018.p8145
Rosa, M. & Gavarette, M. E. (2017). Ethnomathematics and
its Diverse Approaches for Mathematics Education.
https://doi.org/ 10.1007/978-3-319-59220-6
157
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Rosa, M., & Orey, D. C. (2010). Ethnomodeling as a
pedagogical tool for the ethnomathematics program. Revista
Latinoamericana de Ethnomatheamtica, 3(2), 14–23.
Rosa, M., & Orey, D. C. (2013). Culturally Relevant Pedagogy
a an Ethnomathematical Approach. Journal of Mathematics and
Culture, 7(1), 74–97. Retrieved from
http://weekly.cnbnews.com/news/ article.html?no=124000.
Zaslavsky, C. (1996). The multicultural mathematics
classroom: Bringing in the world. Portsmouth, NH: Heinemann.
http://dx.doi.org/ 10.29322/IJSRP.8.9.2018.p8145.
158
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
HUBUNGAN KEMANDIRIAN BELAJAR (SELF REGULATED LEARNING) DENGAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VIII PADA MATERI
BANGUN RUANG SISI DATAR DI SMPN 1 KEDUNGWARU TULUNGAGUNG TAHUN AJARAN
2018/2019
Fadila Alfi’a Nur Rohmah1 Dewi Asmarani2
Jurusan Tadris Matematika, Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Tulungagung Jl. Mayor Sujadi Timur No. 46 Tulungagung
[email protected] [email protected] 2
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh sebuah fenomena
rendahnya hasil belajar dan kemandirian belajar (self regulated
learning) siswa pada mata pelajaran matematika. Adapun
tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui (1)
Adanya hubungan kemandirian belajar (self regulated learning)
dengan hasil belajar matematika siswa kelas VIII pada materi
bangun ruang sisi datar di SMPN 1 Kedungwaru Tulungagung
tahun ajaran 2018/2019. (2) Besarnya hubungan kemandirian
belajar (self regulated learning) dengan hasil belajar
matematika siswa kelas VIII pada materi bangun ruang sisi
datar di SMPN 1 Kedungwaru Tulungagung tahun ajaran
2018/2019..
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan
jenis penelitian korelasional. Populasi penelitian ini adalah
siswa kelas VIII SMPN 1 Kedungwaru Tulungagung. Sedangkan
sampel dalam penelitian ini adalah kelas VIII F yang diambil
159
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
dengan teknik simple random sampling. Instrumen penelitian
yang digunakan yaitu angket kemandirian belajar (self regulated
learning) dan tes hasil belajar matematika. Teknik analisis data
dilakukan dengan analisis statistik deskriptif serta uji hipotesis
menggunakan korelasi product moment.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Ada hubungan yang
signifikan antara kemandirian belajar (self regulated learning)
dengan hasil belajar matematika siswa kelas VIII pada materi
bangun ruang sisi datar di SMPN 1 Kedungwaru Tulungagung
tahun ajaran 2018/2019 (2) Besarnya hubungan yang terjadi
dalam penelitian ini yaitu 48,7% dan termasuk dalam kategori
cukup kuat.
Kata Kunci: Kemandirian Belajar (Self Regulated Learning),
Hasil Belajar Matematika
PENDAHULUAN
Hasil belajar mempunyai peranan penting dalam proses
pembelajaran. Menurut Winkel, hasil belajar adalah perubahan
yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah
lakunya.1 Hasil belajar dapat diketahui seberapa besar
ketercapaian tujuan pendidikan pada siswa setelah proses
pembelajaran. Hasil belajar matematika, juga memiliki peranan
yang harus diperhatikan dalam dunia pendidikan. Hasil belajar
matematika adalah kemampuan yang dimiliki siswa yang
meliputi kemampuan kognitif, afektif dan pikomotorik setelah
mengikuti proses pembelajaran matematika.2 Namun, hasil
belajar matematika pada kenyataannya belum sesuai dengan
harapan.
Mutu pendidikan matematika di Indonesia masih tergolong
rendah. Berdasarkan peringkat PISA (Programme for
International Student Assesment) tahun 2015 Indonesia
memperoleh peringkat 62 dari 70 negara. Peringkat tersebut
1 Purwanto, Evaluasi Hasil Belajar,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 45 2 M. Nawi, Pengaruh Strategi Pembelajaran dan Kemampuan Penalaran
Formal terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas (Swasta) Al Ulum Medan, Jurnal Tabularasa PPS UNIMED, (Vol. 9, No. 1, Juni/2012), hal. 84
160
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
masih dibawah rata-rata negara OECD karena skor Indonesia
untuk Matematika hanya 386 sedangkan rata-rata negara OECD
yaitu 490.3 Selain itu, rendahnya nilai matematika juga dapat
dilihat dari hasil Ujian Nasional tingkat SMP tahun 2018 yang
mengalami penurunan pada rata-rata nilai UN. Secara rata-rata
baik di sekolah negeri maupun swasta, hasil UN turun 4,25 poin
untuk mata pelajaran matematika.4
Rendahnya hasil belajar sangat dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal dalam pembelajaran. Faktor internal
yang mempengaruhi hasil belajar diantaranya adalah
kemandirian belajar (self regulated learning) siswa.
Kemandirian merupakan salah satu segi dari sifat seseorang.
Kemandirian atau otonomi adalah kemampuan untuk
mengendalikan dan mengatur pikiran, perasaan dan tindakan
sendiri secara bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi
perasaan-perasaan malu dan keraguan. Kemandirian biasanya
ditandai dengan beberapa ciri, antara lain kemampuan
menentukan nasib sendiri, kreatif dan inisiatif, mengatur
tingkah laku, bertanggung jawab, mampu menahan diri,
membuat keputusan-keputusan sendiri, serta mampu
mengatasi masalah tanpa ada pengaruh dari orang lain.5
Sehingga, kemandirian belajar (self regulated learning) adalah
suatu proses belajar dimana setiap individu dapat mengambil
inisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain, dalam hal
menentukan kegiatan belajarnya.
Sikap kemandirian juga dijelaskan dala Al-quran, yaitu
pada surat Ar-Rad ayat 11:
3 Sutama dan Binta Anggitasari, Gaya dan Hasil Belajar Matematika pada Siswa
Smk, Jurnal Managemen Pendidikan, (Vol. 13, No. 1, Januari/2017), hal. 52 4 Kustin Ayuwuragil, “Kemendikbud Akui UN Komputer Turunkan Nilai UN
SMP” dalam https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180528145310-20-301868/kemendik bud-akui-un-komputer-turunkan-nilai-un- smp diakses 17 Oktober 2018.
5 Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik.(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2009), hal. 185
161
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
ينه وه هده ي هين نن ب ق بت م معه ن له لنفه يه نن خه ه م ان الل ر الل نن اهمن هه م ن له فهظون
همن ننفس ه ا ب ا مه ون ت يغهي م حه قهون ا ب مه ء يغهي م سون قهون ب اده الل ا اهره ذه ا د وه ره ا فهله مه
ال نن و نه م نن دون ههمن م ا ل مه وه ﴾۱۱﴿الرعد : له
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa keputusan Allah itu
digantungkan dengan usaha manusia.6 Allah tidak akan
merubah nasib atau keadaan manusia tersebut, jika dari dirinya
sendiri tidak ada kemauan untuk merubahnya. Oleh sebab itu,
diharapkan sikap kemandirian tertanam dan dimiliki oleh setiap
orang.
Seseorang yang tidak mempunyai kemandirian pasti tidak
akan bisa berdiri sendiri dan tidak akan timbul suatu
kepercayaan diri dalam menghadapi kehidupan khususnya
dalam kehidupan didunia pendidikan. Dalam proses belajar
mengajar, siswa yang memiliki kemandirian belajar (self
regulated learning) cenderung bersikap tenang saat
menghadapi suatu masalah pengerjaan tugas- tugas belajar
dikarenakan mereka mempunyai kepercayaan diri yang tinggi
sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain.
Suatu masalah tidak akan selesai kalau kita putus asa atau
menghindari masalah tersebut, tapi ketika konsisten dan
pantang menyerah pasti akan ada solusi. Siswa yang tidak
menghindari masalah dalam kegiatan belajar mengajar akan
mengerjakan tugas- tugas yang diberikan guru dan
mendengarkan penjelasan materi pelajaran yang disampaikan
6 Nurwahidin, Memaknai Kembali Eskatologi dan Semangat Etos Kerja Islami,
HUMANIKA (Vol. 9 No. 1, Maret/2009), hal. 17
162
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
guru.7 Sehingga sikap kemandirian belajar (self regulated
learning) pada siswa diyakini akan berdampak pada hasil
belajar siswa. Semakin tinggi sikap kemandirian belajar (self
regulated learning) seseorang, maka akan memungkinkannya
untuk mencapai hasil belajar yang tinggi.8
Lebih lanjut kemandirian belajar (self regulated learning)
pada siswa dapat dideskripsikan sebagai kemampuan siswa
untuk berpartisipasi aktif dalam proses belajarnya, baik secara
metakognitif, motivasional dan behavioral.9 Secara
metakognitif, individu yang meregulasi diri merencanakan,
mengorganisasi, mengintruksi diri, memonitor dan
mengevaluasi dirinya dalam proses belajar. Secara
motivasional, individu yang belajar merasa bahwa dirinya
kompeten, memiliki keyakinan diri (self-efficacy). Sedangkan
secara behavioral, individu menyeleksi, menyusun, dan menata
lingkungan agar lebih optimal belajarnya.10
Berdasarkan observasi lapangan yang dilakukan di kelas
VIII SMPN 1 Kedungwaru Tulungagung pada tanggal 10 Oktober
2018, terdapat permasalahan yang menunjukkan bahwa sikap
kemandirian belajar (self regulated learning) siswa terhadap
mata pelajaran matematika cenderung kurang baik. Hal ini
terlihat dari fenomena saling mencontek tugas, belajar hanya
jika ada ulangan, rendahnya usaha untuk menambah wawasan
dari berbagai sumber, dan masih tingginya tingkat
ketergantungan belajar pada guru di kelas. Kurang baiknya
sikap kemandirian belajar (self regulated learning) siswa,
diyakini saling berhubungan dengan kurang baiknya hasil
belajar matematika. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya
7 Arum Sanjayanti, et. All, Tingkat Kemandirian Belajar Siswa SMAN 1 Kediri
Kelas XI MIA-5 pada Model PBL Materi Sistem Reproduksi Manusia, Seminar Nasional XII Pendidikan Biologi FKIP UNS 2015, hal. 361
8 A. Saefullah, et. All., Hubungan Antara Sikap Kemandirian Belajar dan Prestasi Belajar Siswa Kelas X pada Pembelajaran Fisika Berbasis Portofolio, Jurnal Wahana Pendidikan Fisika, (Vol. 1, Februari/2013), hal. 27
9 Barry J. Zimmerman, A Social Cognitive View of Self-Regulated Academic Learning, Journal of Educational Psychology, (Vol. 81, No. 3, September/1989), hal. 1
10 Siti S. Fasikhah dan Siti Fatimah, Self-Regulated Learning (SRL) dalam Meningkatkan Prestasi Akademik pada Mahasiswa, Jurnal Imliah Psikologi Terapan, (Vol. 01, No.01, Januari/2013), hal. 147
163
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
hasil ulangan harian matematika siswa yang masih dibawah
KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal).
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Kemandirian
Belajar (Self Regulated Learning) dengan Hasil Belajar
Matematika Siswa Kelas VIII pada Materi Bangun Ruang Sisi
Datar di SMPN 1 Kedungwaru Tulungagung Tulungagung Tahun
Ajaran 2018/2019”
METODE
Sesuai dengan judul penelitian yang diambil, maka
pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan
kuantitatif. Pendekatan kuantitatif dipilih karena data
penelitiannya berupa angka yang dianalisis menggunakan
statistik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji apakah ada
hubungan antara kemandirian belajar (self regulated learning)
dengan hasil belajar matematika. Sedangkan jenis penelitian
yang digunakan adalah jenis penelitian korelasional.
Variabel penelitian ini terdiri dari dua variabel, yakni
variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas yang
dimaksud adalah kemandirian belajar (self-regulated learning)
dan variabel terikatnya adalah hasil belajar matematika.
Populasi yang digunakan adalah seluruh siswa kelas VIII SMPN
1 Kedungwaru Tulungagung dengan sampel penelitiannya
adalah kelas VIII F yang diambil secara acak dengan teknik
probability sampling jenis simple random sampling.
Untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam
penelitian, maka peneliti menggunakan beberapa teknik
pengumpulan data. Teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah 1) Teknik angket (daftar pertanyaan atau pernyataan
yang diberikan kepada orang lain di mana mereka bersedia
memberikan respon sesuai dengan permintaan peneliti). 2)
Teknik tes (serangkaian pertanyaan atau latian yang digunakan
untuk mengukur keterampilan pengetahuan dan intelegensi). 3)
Teknik dokumentasi (ditujukan untuk memperoleh data
langsung dari tempat penelitian, meliputi file,buku yang
164
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
relevan, peraturan-peraturan, laporan kegiatan, notulen rapat,
surat kabar dan lain sebagainya). Analisis data merupakan
kegiatan setelah data dari seluruh responden atau sumber data
lain terkumpul. Teknik analisis data dilakukan dengan analisis
statistik deskriptif serta uji hipotesis menggunakan korelasi
product moment.
HASIL PENELITIAN
Sebelum pengujian hipotesis, maka harus dilakukan uji prasyarat hipotesis. Uji prasyarat hipotesis terdiri dari uji normalitas dan uji linearitas. Berikut hasil dari uji normalitas menggunakan uji kolmogorov-smirov dengan bantuan SPSS versi 16.0 for windows untuk variabel kemandirian belajar (self regulated learning) dan hasil belajar matematika
Tabel 1. Hasil Uji Normalitas
Variabel Nilai Signifikansi
Keterangan
Kemandirian
Belajar (Self
Regulated
Learning)
0,377 Data berdistribusi
normal
Hasil Belajar
Matematika
0,216 Data berdistribusi normal
Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa nilai signifikansi dari variabel kemandirian belajar (self regulated learning) adalah sebesar 0,377 sedangkan nilai signifikansi untuk variabel hasil belajar matematika adalah 0,216. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kedua variabel tersebut berdistribusi normal karena nilai signifikansi variabel > 0,05.
Tabel 2.Descriptive Statistic
Variabel N Mean Standar
Deviation
Max Min
Kemandirian Belajar
(Self Regulated
Learning)
31 106,48 11,885 132 90
Hasil Belajar Matematika
31 72,29 9,596 90 51
165
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Sedangkan untuk hasil deskripsi data statistik diperoleh
bahwa untuk variabel Kemandirian Belajar (Self Regulated
Learnin) memiliki rata-rata 106,48 dengan nilai maksimum 132
dan nilai minimum 90. Sedangkan untuk variabel hasil belajar
matematika memiliki rata-rata 72,29 dengan nilai maksimum
90 dan nilai minimum sebesar 51. Nilai standar deviasi untuk
masing-masing variabel berturut-turut adalh 11,885 dan 9,596.
Setelah uji normalitas dilakukan, maka langkah selanjutnya
adalah melakukan uji linearitas untuk menguji apakah kedua
variabel memiliki hubungan yang linear atau tidak. Hasil analisis
data uji linieritas kemandirian belajar (self regulated learning)
dan hasil belajar matematika siswa dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 3. Hasil Uji Linearitas
Variabel Nilai
Sig.
Deviation from
Linearity
Keterangan
Hasil Belajar
Matematika
*
Kemandirian
Belajar
0,003 0,769 Linear
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai signifikansi
dari kedua variabel sebesar 0,003 dan Deviation from Linearity
0,769. Karena 0,003 < 0,05 atau 0,769> 0,05 , dapat disimpulkan
bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang linier.
Uji statistic berikutnya adalah uji hipotesis dengan
menggunakan analisis pearson correlation.
Adapun hasil dari perhitungan uji hipotesis dapat dilihat
dalam tabel berikut ini:
166
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Tabel 4. Hasil Uji Pearson Correlation
Kemandirian
Belajar (Self
Regulated
Learning)
Hasil
Belajar
Matematika
Kemandirian Belajar
Pearson Correlation
1 0,699
(Self Regulated
Sig (2-tailed) 0,000
Learning) N 31 31
Hasil Belajar Pearson
Correlation
Sig (2-
tailed) N
0,699 1 Matematika 0,000
31 31
Berdasarkan perhitungan korelasi Product Moment dengan
menggunakan bantuan program SPSS
16.0 diperoleh koefisien korelasi (𝑟𝑥𝑦) antara kemandirian
belajar (self regulated learning) dengan hasil belajar
matematika siswa sebesar 0,699 dan signifikansi 0,000 < 0,05.
Sehingga terdapat korelasi yang positif antara kemandirian
belajar (self regulated learning) dengan hasil belajar
matematika siswa kelas VIII SMPN 1 Kedungwaru Tulungagung.
PEMBAHASAN
Pada sampel penelitian di SMPN 1 Kedugwaru Tulungagug tentang hubungan kemandirian belajar (self regulated learning) dengan hasil belajar matematika siswa menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi sebesar 0,699. Hasil tersebut kemudian dikonsultasikan dengan rtabel
dengan taraf signifikansi 5 %. Dari rtabel diperoleh nilai sebesar 0,355. Hasil koefisien korelasi (rxy) menunjukkan bahwa rhitung
0,699 > rtabel 0,355. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap terjadi kenaikan pada variabel bebas maka akan diikuti dengan kenaikan variabel terikat begitu pula jika terjadi penurunan. Dengan kata lain peningkatan skor kemandirian belajar (self regulated learning) berbanding lurus dengan peningkatan skor tes hasil belajar, begitupun penurunan skor
167
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
kemandirian belajar (self regulated learning) berbanding lurus dengan penurunan skor tes hasil belajar.
Hasil dari hubungan antara kedua variabel tersebut sesuai dengan teori yang telah diungkapkan oleh Zimmerman bahwa siswa yang menerapkan kemandirian belajar (self regulated learning) sangat berkorelasi dengan indeks pencapaian hasil belajar mereka.11 Pendapat lain juga diungkapkan oleh A. Saefullah melalui penelitiannya dengan hasil yang menyatakan bahwa sikap kemandirian belajar (self regulated learning) pada siswa diyakini akan berdampak pada hasil belajar siswa. Semakin tinggi kemandirian belajar (self regulated learning) seseorang, maka akan memungkinkannya untuk mencapai hasil belajar yang tinggi. 12
Sikap kemandirian belajar (self regulated learning) sangatlah penting, karena siswa yang menerapkan sikap ini akan mampu mengatur dirinya dalam belajar. Sehingga dengan kemampuannya untuk mengatur diri dalam belajar, siswa tersebut akan lebih mudah untuk meraih tujuan belajar atau hasil belajar yang baik. Dengan begitu secara langsung dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan antara kemandirian belajar (self regulated learning) dengan hasil belajar matematika siswa kelas VIII pada materi bangun ruang sisi datar di SMPN 1 Kedungwaru Tulungagung tahun ajaran 2018/2019.
Untuk mengetahui interpretasi dari nilai korelasi (r) tersebut adalah dengan mengkonsultasikannya pada tabel ( r ). 0,699 berada pada interval 0,40 - 0,699 sehingga interpretasi hubungan antara kemandirian belajar (self regulated learning) dengan hasil belajar matematika adalah cukup kuat.
Adapun untuk mengetahui besarnya hubungan atau kontribusi dari kemandirian belajar (self regulated learning) terhadap hasil belajar matematika siswa, digunakan koefisien determinasi. Berdasarkan koefisien korelasi ( r ) yaitu 0,699, maka dapat diketahui koefisien determinasi dari kemandirian
11 Barry J. Zimmerman, A social Cognitive …, hal. 18 12 A. Saefullah, et All, Hubungan Antara Sikap…, hal. 27
168
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
belajar (self regulated learning) memiliki kontribusi sebesar (0,699)2 = 0,487 atau 48,7% terhadap hasil belajar matematika. Dengan demikian, besarnya pengaruh faktor lain selain kemandirian belajar (self regulated learning) adalah sebesar 51,3%. Hal ini sesuai dengan teori Ruseffendi yang menyatakan bahwa ada banyak faktor yang saling berhubungan dan mempengaruhi hasil belajar. Faktor lain selain kemandirian belajar (self regulated learning) diantaranya adalah tingkat kecerdasan, kesehatan, minat, motivasi, sarana dan prasarana pembelajaran, metode pembelajaran, cara belajar, lingkungan belajar dan faktor-faktor lainya.13
SIMPULAN
Berdasarkan analisis data diperoleh kesimpulan bahwa 1)
terdapat hubungan yang signifikan antara kemandirian belajar
(self regulated learning) dengan hasil belajar matematika siswa
kelas VIII pada materi bangun ruang sisi datar di SMPN 1
Kedungwaru Tulungagung tahun ajaran 2018/2019. 2)
Hubungan kemandirian belajar (self regulated learning) dengan
hasil belajar matematika siswa kelas VIII pada materi bangun
ruang sisi datar di SMPN 1 Kedungwaru Tulungagung tahun
ajaran 2018/2019 adalah sebesar 0,487 atau 48,7 %. Dengan
nilai korelasi (r) 0,699 maka interpretasi hubungan tergolong
cukup kuat.
SARAN
Setelah peneliti mengadakan penelitian di SMPN 1
Kedungwaru Tulungagung tahun ajaran 2018/2019 dan
memperoleh data hasil yang signifikan, maka peneliti
memberikan saran-saran berikut:
1. Bagi Siswa
Siswa hendaknya lebih termotivasi untuk meningkatkan
kemandirian belajar (self regulated learning) sehingga mampu
mendapatkan hasil belajar yang lebih baik. Hal ini dapat
13 A. Saefullah, et All, Hubungan Antara Sikap…, hal. 34
169
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
dilakukan dengan cara menerapkan strategi self regulated
learning, misalnya seeking from the others yaitu bertanya
kepada pihak lain yang dianggap mampu memberikan informasi
mengenai materi belajar yang mungkin kurang dipahaminya.
2. Bagi Guru
Guru hendaknya selalu mengingatkan dan memotivasi
siswa pada setiap pertemuan untuk meningkatkan kemandirian
belajar (self regulated learning) siswa, misalnya dengan cara
memberikan latihan soal mandiri atau tugas proyek yang
membuat siswa akan berusaha untuk menyelesaikannya
sendiri. Sehingga dengan adanya peningkatkan kemandirian
belajar (self regulated learning) dapat diyakini akan mengatasi
rendahnya hasil belajar yang diperoleh siswa serta
meningkatkan hasil belajar siswa yang lebih tinngi.
3. Bagi Kepala Sekolah
Kepala sekolah sebaiknya membuat kebijakan untuk
meningkatkan kemandirian belajar (self regulated learning)
siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyarankan guru
untuk senantiasa memberikan proses pembelajaran dengan
metode yang efektif untuk meningkatkan kemandirian belajar
(self regulated learning) siswa.
4. Peneliti
Bagi peneliti berikutnya diharapkan dapat
mengembangkan penelitian dan mengukur lebih dalam tentang
variabel kemandirian belajar (self regulated learning) dengan
memfokuskan pada aspek self efficacy yang merupakan
komponen kemandirian belajar (self regulated learning),
mengingat self efficacy sangat jarang dijumpai pada diri siswa.
170
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
DAFTAR RUJUKAN
Ayuwuragil, Kustin. “Kemendikbud Akui UN Komputer Turunkan
Nilai UN SMP” dalam
https://www.cnnindonesia.com/nasional/
20180528145310-20-301868/kemendikbud-akui-un-
kompu ter-turunkan-nilai-un-smp, diakses 17 Oktober
2018.
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung
: PT. Remaja Rosdakarya. Fasikhah, Siti S. & Siti Fatimah.
2013. “Self-Regulated Learning (SRL) dalam
Meningkatkan Prestasi
Akademik pada Mahasiswa”. Jurnal Imliah Psikologi Terapan. 1
(1), 145-155.
M. Nawi. 2012. “Pengaruh Strategi Pembelajaran dan
Kemampuan Penalaran Formal terhadap Hasil Belajar
Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas (Swasta) Al
Ulum Medan”, Jurnal Tabularasa PPS UNIMED. 9 (1), 81-
96.
Nurwahidin, “Memaknai Kembali Eskatologi dan Semangat Etos
Kerja Islami”. HUMANIKA. 9 (1), 13-24.
Purwanto. 2009. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Saefullah, et. All. 2013. “Hubungan Antara Sikap Kemandirian
Belajar dan Prestasi Belajar Siswa Kelas X pada
Pembelajaran Fisika Berbasis Portofolio”. Jurnal Wahana
Pendidikan Fisika. 1, 26-36.
Sanjayanti, Arum. et. All. 2015. “Tingkat Kemandirian Belajar
Siswa SMAN 1 Kediri Kelas XI MIA- 5 pada Model PBL
Materi Sistem Reproduksi Manusia”, Seminar Nasional XII
Pendidikan Biologi FKIP UNS 2015. 361-363.
Sutama & Binta Anggitasari. 2017. “Gaya dan Hasil Belajar
Matematika pada Siswa SMK. Jurnal Managemen
Pendidikan. 13 (1), 52-61.
171
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Zimmerman, Barry J. 1989. “A Social Cognitive View of Self-
Regulated Academic Learning”.
Journal of Educational Psychology. 81 (3), 1-23.
172
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
KARAKTERISTIK KEMAMPUAN KOMUNIKASI SISWA YANG MEMILIKI KECERDASAN LOGIS-MATEMATIS DALAM MENYELESAIKAN SOAL PISA (PROGRAMME
FOR INTERNATIONAL STUDENTS ASSESMENT)
Isna Watul Khusna, Windy Arianti, Aulia Difaeni Romanti
Tadris Matematika IAIN Tulungagung
[email protected], [email protected],
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemampuan
komunikasi siswa yang memiliki kecerdasan logis-matematis.
Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian kualitatif.
Hasil penelitian yaitu deskripsi mengenai kemampuan
komunikasi siswa yang memiliki kecerdasan logis- matematis
dalam menyelesaikan soal PISA. Siswa yang dipilih sebagai
subjek penelitian berjumlah 27 orang dari kelas VIII-A MTs Al-
Ma’arif Tulungagung yang disaring menggunakan angket
kecerdasan majemuk untuk memperoleh siswa yang memiliki
kecerdasan logis- matematis. Indikator kemampuan
komunikasi matematis yaitu menghubungkan gambar ke dalam
ide matematika; menjelaskan ide dan relasi matematis dengan
gambar; menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa
simbol matematika; berdiskusi dan menulis tentang
matematika; membaca dengan pemahaman presentase
matematika tertulis; membuat konjektur; menjelaskan
matematika yang telah dipelajari. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kemampuan siswa dengan kecerdasan logis matematis
173
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
tinggi mencapai 7 indikator berjumlah 1 subjek, siswa dengan
kecerdasan logis matematis sedang mencapai 5 indikator
berjumlah 2 subjek, dan siswa dengan kecerdasan logis
matematis rendah mencapai 3 indikator berjumlah 5 subjek.
Kata Kunci : Kemampuan Komunikasi, Kecerdasan Logis-
Matematis, Soal PISA
PENDAHULUAN
Kemampuan komunikasi adalah salah satu faktor yang
penting dalam memahami suatu permasalahan. Kemampuan
komunikasi siswa dapat menunjang kemampuan- kemampuan
matematis yang lain, misalnya kemampuan pemecahan
masalah, penalaran, dll. Dengan kemampuan komunikasi yang
baik maka suatu permasalahan akan lebih cepat bisa
direpresentasikan dengan benar dan hal ini akan mendukung
penyelesaian masalah. (Putra, Wijaya, & Sujadi, 2016)
Komunikasi merupakan bentuk pelemparan pesan atau
lambang yang mau tidak mau akan menimbulkan pengaruh
pada proses umpan balik, sebab dengan adanya umpan balik,
sudah membuktikan adanya jaminan bahwa pesan telah sampai
pada pendengar. Komunikasi matematika menjadi bagian
penting dalam pembelajaran matematika karena melalui
komunikasi siswa dapat mengorganisasi dan memperkuat
berpikir matematisnya, serta mampu mengeskplorasi ide-ide
matematika. (Sinaga, 2017)
Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan
siswa dalam menyampaikan ide matematika baik secara lisan
maupun tulisan. Kemampuan komunikasi matematis siswa
dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran di sekolah,
salah satunya adalah proses pembelajaran matematika. Hal ini
terjadi karena salah satu unsur dari matematika adalah ilmu
logika yang mampu mengembangkan kemampuan berpikir
siswa. Dengan demikian, matematika memiliki peran penting
terhadap perkembangan kemampuan komunikasi
matematisnya.(Sinaga, 2017)
174
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Armiati menyatakan bahwa komunikasi matematis adalah
suatu keterampilan penting dalam matematika yaitu
kemampuan untuk mengekspresikan ide-ide matematika secara
berkesinambungan kepada teman, guru, dan lainnya melalui
bahasa lisan dan tulisan. Dengan menggunakan bahasa
matematika yang benar, siswa akan mampu mengklarifikasi ide-
ide mereka dan belajar bagaimana membuat argumen yang
meyakinkan dan merepresentasikan ide-ide
matematika.(Sinaga, 2017).
Greenes dan Schulman yang menyatakan bahwa
komunikasi matematik merupakan: 1) kekuata sentral bagi
siswa dalam merumuskan konsep dan strategi matematik, 2)
modal keberhasilan bagi siswa terhadap pendekatan dan
penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi matematik, 3)
wadah bagi siswa dalam berkomunikasi dengan temannya
untuk memperoleh informasi, membagi pikiran dan penemuan,
curah pendapat, menilai dan mempertajam ide untuk
meyakinkan orang lain. (Aminah, Wijaya, & Yuspriyati, 2018)
Tabel 1. Indikator Komunikasi Menurut Sumarmo
Indikator Kemampuan Komunikasi
1. Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke
dalam ide matematika
2. Menjelaskan ide, situasi dan relasi matematik secara
lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik
dan aljabar.
3. Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa simbol
matematika.
4. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang
matematika.
5. Membaca dengan pemahaman suatu presentasi
matematika tertulis.
6. Membuat konjektur, menyusun argument, merumuskan
definisi dan generalisasi.
7. Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari
175
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Baroody mengemukakan bahwa pembelajaran harus dapat
membantu siswa mengkomunikasikan ide matematika melalui 5
aspek komunikasi yaitu representasi (representing), mendengar
(listening), membaca (reading), diskusi (discussion), dan menulis
(writing). Terdapat dua alasan mengapa
komunikasi perlu ditumbuhkembangkan dalam
pembelajaran matematika. Pertama, matematika bukan hanya
alat berpikir yang membantu siswa untuk memecahkan
masalah, menemukan pola, dan menarik kesimpulan, tetapi juga
alat untuk mengkomunikasikan pikiran siswa tentang ide
dengan jelas, ringkas dan tepat. Kedua, pembelajaran
matematika merupakan aktivitas sosial yang menjadi tempat
interaksi dan alat komunikasi yang melibatkan sedikitnya dua
pihak yaitu guru dan siswa. Dua hal tersebut merupakan bagian
penting dalam mengembangkan potensi matematika yang
dimiliki siswa.(Sari, 2017)
Turmudi mengatakan bahwa peserta didik akan sulit
mengembangkan matematika tanpa adanya komunikasi yang
baik sebagai mana tujuan proses pembelajaran yang
sebelumnya di tetapkan dengan baik. karena proses komunikasi
dapat membantu siswa dalam membangun berbagai macam
makna seperti menyampaikan gagasan dengan benar, dan
memudahkan dalam menjelaskan ide tersebut kepada orang
lain sehingga informasinya dapat mudah dimengerti dan
dipahami. (Susanti, 2018)
Kemampuan dalam menganalisis informasi yang
digunakan untuk menyelesaikan masalah matematika berkaitan
dengan beberapa kemampuan yang lainnya, diantaranya
mengidentifikasi informasi, menjelaskan keterkaitan antar pola
dan memanipulasi objek. Siswa harus mampu menemukan
keterkaitan antar informasi yang ada pada masalah sehingga
gambaran dari penyelesaian masalah dapat diketahui.
Kemampuan-kemampuan tersebut dapat dilakukan dengan
baik oleh orang-orang yang memiliki kecerdasan logis-
matematis. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gunawan,
yaitu orang yang memiliki kecerdasan logis-matematis yang
176
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
berkembang dengan baik memiliki ciri ”mampu mengamati dan
mengenali pola dan hubungan”. Dengan demikian, penyelesaian
masalah memiliki kaitan erat dengan kecerdasan logis-
matematis. (Kurniawan, 2018)
Kecerdasan logis-matematis merujuk pada kemampuan
siswa untuk berhitung, menjumlah, suka terhadap angka,
berpikir sistematis dan logis. Menurut Ormrod, kecerdasan
logis-matematis merupakan kemampuan bernalar secara logis,
khususnya dalam bidang matematika dan sains. Kemampuan
bernalar secara logis termasuk dalam menghitung, mengukur,
dan menyelesaikan hal-hal yang bersifat matematis baik dalam
bidang ilmu matematika maupun ilmu pengetahuan
alam.(Kurniawan, 2018)
Indragiri menyatakan bahwasanya kecerdasan logis
matematis merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang
dalam menyelesaikan suatu permasalahan, dimana orang
tersebut mampu memikirkan dan mencari jalan keluar dengan
logis dan mampu berpikir secarainduktif dan
deduktif.(Muchlisa, Fauzi, & Monawati, 2018)
Komunikasi dalam matematika biasanya diwujudkan
melalui soal cerita yang dalam penyelesaiannya siswa terlebih
dahulu harus dapat memahami isi soal cerita, setelah itu
menarik kesimpulan obyek - obyek yang harus dipecahkan dan
menyatakan dengan simbol-simbol matematika, sampai pada
tahap akhir yaitu penyelesaiannya. Namun dalam
kenyataannya, kemampuan komunikasi yang dimiliki siswa
masih rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari rendahnya nilai
rata-rata siswa pada mata pelajaran matematika di Indonesia.
Penilaian kemampuan komunikasi siswa yang memiliki
kecerdasan logis-matematis dapat dilaksanakan melalui
pemberian tes atau soal. Salah satu tes atau soal yang dapat
digunakan untuk menganalisis kemampuan komunikasi
matematis adalah dengan menggunakan soal PISA.
PISA atau Program International Student Assessment adalah
studi tentang program penilaian peserta didik tingkat
177
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
internasional yang diselenggarakan oleh Organisation For
Economic Co-Operation and Development (OECD). PISA
merupakan upaya yang dilaksanakan untuk melihat sejauh
mana program pendidikan negara berkembang dibanding
dengan negara-negara lain di dunia. Hal ini dapat digunakan
untuk melihat sejauh mana kemampuan siswa-siswa di
Indonesia di masa yang akan datang. Apakah akan mampu
bersaing dengan siswa-siswa dari negara lain pada era
globalisasi. Indonesia perlu menjadikan hasil PISA sebagai dasar
dalam melakukan perbaikan terhadap dunia pendidikan
sebagaimana yang dilakukan negara-negara maju tersebut.
Tujuan PISA dalam bidang matematika yaitu untuk mengukur
tingkat kemampuan peserta didik dalam menggunakan
pengetahuan dan keterampilan matematika dalam menangani
masalah kehidupan sehari-hari.(Rianti & Zulfah, 2018)
Penelitian sebelumnya yang dikemukakan oleh Wida
Rianti, dkk yang berjudul kemampuan komunikasi matematis
peserta didik melalui soal PISA 2015. Subjek penelitian yaitu
siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Bangkinang kota dan SMP Negeri
2 Bangkinang Kota pada semester genap tahun ajaran
2017/2018 berjumlah 39 orang. Penelitian yang dilakukan oleh
Wida Rianti, dkk mendapatkan kesimpulan bahwa kemampuan
komunikasi matematis pada peseta didik di SMP di Bangkinang
melalui soal PISA 2015 masih rendah pada kategori
Mathematichal Expression. Siswa masih kesulitan dalam
membuat model matematika dari permasalahan yang
diberikan, memilih strategi yang tepat guna memecahkan
permasalahan yang diberikan, diikuti dengan rendahnya
kemampuan siswa merefleksikan grafik ke dalam ide
matematika yang mana termasuk kategori drawing.(Rianti &
Zulfah, 2018)
Adapun penelitian lain yang dikemukakan oleh Tatag Yuli
Eko Siswono, dkk yang berjudul kecerdasan logis-matematis
siswa dalam memecahkan masalah matematika pada materi
komposisi fungsi. Subjek penelitiannya yaitu kelas IX IPS 1 SMA
Negeri 2 Sidoarjo yang berjumlah 38 siswa. Siswa-siswa
178
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
tersebut dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yakni
kelompok tinggi, sedang, dan rendah. Penelitian yang dilakukan
oleh Tatag ini mendapatkan hasil penelitian bahwa pada
kelompok tinggi siswa mampu melakukan 4 indikator. Pada
kelompok sedang kedua siswa mampu melakukan 4 indikator.
Sedangkan pada kelompok rendah siswa mampu melakukan 3
indikator. Sehingga dpat ditarik kesimpulan bahwa setiap siswa
pada setiap kelompok mampu melakukan beberapa indikator
kecerdasan logis- matematis siswa dalam memecahkan masalah
matematika.(Hasanah & Eko Siswono, 2015)
Penelitian lain yang juga mengenai kemampuan
komunikasi matematis yang dilakukan oleh Asep ikin Sugandi,
dkk yang berjudul analisis kemampuan komunikasi matematis
dan keaktifan siswa SMA dengan pendekatan problem posing.
Subjek penelitian ini dilakukan pada siswa kelas X SMA 1
Muhamadiyah tahun pelajaran 2017/2018 yang berjumlah 31
orang. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah desain
penelitian kelas dengan model John Elliot. Adapun alur
penelitiannya adalah siklus I dan siklus II. Pada materi Sistem
Persamaan Linear Tiga Variabel (SPLTV). Pada pelaksanaan
siklus I dan II hal yang dilakukan oleh peneliti hamper sama,
bedanya hanya dalam pemberian LKS pada siklus I. LKS yang
diberikan satu kelompok satu, sedangkan pada siklus II, LKS
diberikan kepada masing-masing siswa. Lembar Kerja Siswa
(LKS) sudah disesuaikan dengan pendekatan problem posing
dan setiap siklus diakhiri dengan tes tertulis berupa soal
kemampuan komunikasi matematis siswa. Hasil dari penelitian
ini adalah terdapat peningkatan kemampuan dan keaktifan
komunikasi matematis dengan pendekatan problem posing pada
pembelajaran matematika tentang SPLTV kelas X di SMA
Muhammadiyah 1 Cimahi. Untuk hasil peningkatan
kemampuan komunikasi matematis dilihat berdasarkan
persentase siswa yang nilainya di bawah KKM, sama dengan
KKM, dan di atas KKM secara berurutan masing-masing sebesar
9,68%, 54,84%, dan 96,77%. Untuk meningkatkan keaktifan
siswa dapat dilihat berdasarkan persentase siswa yang memiliki
nilai aktif aktif dan sangat aktif pada siklus I dan siklus II,
179
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
masing-masing sebesar 35,48% dan 93,54%.(Merdian, Sari, &
Sugandi, 2018)
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya
adalah penelitian analisis kemampuan komunikasi ini
menggunakan instrumen tes soal PISA dan subjek penelitian
diambil hanya siswa yang memiliki kecerdasan logis- matematis
saja. Sedangkan pada penelitian yang sudah ada, subjek
penelitiannya bebas.
Sesuai dengan yang telah dikemukakan oleh peneliti di atas
bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa sangatlah
penting, karena mempengaruhi kemampuan-kemampuan
matematis lainnya. Tetapi, dalam kenyatannya kemampuan
komunikasi matematis siswa masih rendah. Oleh karena itu
peneliti mengambil judul penelitian yaitu “Karakteristik
Kemampuan Komunikasi Siswa yang Memiliki Kecerdasan
Logis-Matematis dalam Menyelesaikan Soal PISA”. Tujuan dari
penelitian ini yaitu untuk menganalisis kemampuan komunikasi
matematis siswa yang memiliki kecerdasan logis-matematis
dalam menyelesaikan soal PISA. Sedangkan manfaat dari
penelitian ini adalah guru dapat mengetahui kemampuan
komunikasi matematis siswa yang memiliki kecerdasana logis-
matematis dalam menyelesaikan soal PISA.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang
bertujuan untuk menganalisis karakteristik kemampuan
komunikasi siswa yang memiliki kecerdasan matematis-logis
dalam menyelesaikan soal PISA (Programme For International
Student Assesment). Penelitian kualitatif ini berisikan
deskrtiptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari subyek yang
akan diamati. Penelitian ini dilaksanakan di MTs Al-Ma’arif
Tulungagung pada semester genap tahun ajaran 2018/2019.
Dalam pemilihan subyek penelitian ini dengan menggunakan
purposive sampling dengan prosedur peneliti menyebarkan
angket kecerdasan majemuk di kelas VIII-A. Dimana tipe
kecerdasan dapat diketahui dari hasil angket kecerdasan
180
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
majemuk. Hasil dari angket tersebut, peneliti memperoleh 8
siswa yang mempunyai kecerdasan logis- matematis dari 27
siswa. Kemudian 8 siswa tersebut diberikan tes untuk
mengukur kemampuan komunikasi dan angket kecerdasan
logis matematis sehingga didapat 1 siswa dengan kecerdasan
logis metamatis tinggi, 2 siswa dengan kecerdasan logis
metamatis sedang, dan 5 siswa dengan kecerdasan logis
matematis rendah. Dari hasil tersebut kami mengambil 3 subjek
disetiap kecerdasan logis tinggi, rendah dan sedang. Peneliti
menegaskan lagi dengan mengadakan wawancara terhadap 3
siswa tersebut.
Pada penelitian kualitatif ini, peneliti sebagai instrumen
utama (instrumen kunci) dimana peneliti dalam penelitian ini
tidak bisa digantikan oleh yang lain, jadi peneliti berperan
langsung dalam penelitian. Peneliti juga menggunakan
instrumen pendukung seperti instrumen angket kecerdasan
majemuk, instrumen tes soal PISA dan instrumen pedoman
wawancara untuk mengetahui kemampuan komunikasi yang
dimiliki siswa. Howarad Gardner membagi kecerdasan
majemuk menjadi 9 tipe, yaitu : 1) kecerdasan linguistik /
bahasa, 2) kecerdasan musikal, 3) kecerdasan matematis-logis,
4) kecerdasan ruang visual, 5) kecerdasaran kinestetik badani,
6) kecerdasan intrapersonal, 7) kecerdasan interpersonal, 8)
kecerdasan lingkungan, dan
9) kecerdasan eksistensi. Hasil dari angket kecerdasan
majemuk, diperoleh data paling banyak adalah kecerdasan
logis-matematis. Untuk itu peneliti berfokus pada siswa yang
memiliki tipe kecerdasan logis-matematis. Dimana siswa yang
termasuk dalam kecerdasan logis-matematis tersebut diukur
dengan soal tes untuk mengetahui kemampuan komunikasinya.
Soal yang diberikan yaitu soal PISA yang berjumlah 3 butir. Dari
hasil jawaban siswa diperoleh data untuk mengetahui
karakteristik kemampuan komunikasi siswa. Untuk
menegaskan kevalidan penelitian yang berupa hasil tes, peneliti
juga mengadakan wawancara terhadap siswa dengan
181
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
memberikan pertanyaan seputar soal yang diberikan. Data
wawancara dianalisis dan dibandingkan dengan hasil jawaban
dari tes siswa.
Data yang terkumpul kemudian akan dianalisis dengan
menggunakan model Miles dan Huberman yaitu reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan. Dalam reduksi data
peneliti hanya merangkum hal-hal pokok yang berfokuskan
dalam data yang diperlukan saja dan membuang yang tidak
perlu agar gambaran lebih jelas dan mengacu pada indikator
kemampuan komunikasi matematis. Untuk penyajian data,
informasi disusun secara sistematis untuk memperoleh
kesimpulan yang diperoleh dari hasil tes dan wawancara.
Dimana, dari keduanya dianalisis, dibandingkan, dan ditarik
kesimpulan.
182
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
FLOW CHART PENGAMBILAN DATA
PEMBAHASAN
183
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Penelitian ini dilakukan pada salah satu kelas VIII di MTs
Al-Ma’arif Tulungagung. Tes kemampuan komunikasi
matematis diberikan kepada 8 siswa yang memiliki kecerdasan
logis-matematis. Pengumpulan datanya menggunakan
instrumen berupa tes uraian model PISA sebanyak 3 butir soal
yang dinilai dengan cara pensekoran berdasarkan kemampuan
komunikasi matematis siswa. Pensekoran dilakukan dengan
cara dinilai per indikator komunikasi matematis. Akan disajikan
pada tabel 1 yang menyatakan rata-rata perolehan skor per
indikator dari kemampuan komunikasi matematis yang
diperoleh siswa yang memiliki kecerdasan logis-matematis.
Pengelompokkan siswa sesuai dengan kriteria pengelompokan.
(Faizah, Sujadi, & Setiawan, 2017)
Tabel 2 Pengelompokan Siswa ditinjau dari Kecerdasan
Logis-matematis
Kecerdasan Logis-matematis
Banyak Presentase
Tinggi 1 12,5% Sedang 2 25%
Rendah 5 62,5% Jumlah 8 100%
Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat diperoleh bahwa siswa
yang memiliki kecerdasan logis- matematis rendah lebih
dominan daripada siswa yang memiliki kecerdasan logis-
matematis tinggi dan sedang. Dari 8 siswa yang memiliki
kecerdasan logis-matematis diberikan angket kecerdasan logis-
matematis dimana di dapat hasilnya bahwa, 1 siswa memiliki
kecerdasan logis-matematis tinggi, 2 siswa memiliki kecerdasan
matematis sedang, dan 5 siswa memiliki kecerdasan matematis
rendah. Berdasarkan hasil skor siswa dalam mengisi angket
kecerdasan logis-matematis dan hasil tes kemampuan
komunikasi matematis, dipilih 1 siswa yang memiliki
kecerdasan logis-matematis tinggi yaitu A5, 1 siswa yang
memiliki kecerdasan logis-matematis sedang yaitu A2, dan 1
siswa yang memiliki kecerdasan matematis rendah yaitu A8.
184
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
a. Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa yang
Memiliki Kecerdasan Logis- matematis Tinggi
Jawaban tes soal PISA terhadap indikator
kemampuan komunikasi subjek A5
Pada indikator pertama pada kemampuan komunikasi
matematis yaitu menghubungkan benda nyata, gambar, dan
diagram ke dalam ide matematika. Subjek A5 dapat
menyebutkan dan memisalkan variabel x dan y dengan
benar.
Pada indikator ketiga pada kemampuan komunikasi
matematis yaitu menyatakan peristiwa sehari-hari dalam
bahasa simbol matematika. Subjek A5 dapat menyatakan
permisalan variabel x dan y sesuai dengan gambar tower lalu
memasukkan ke dalam model matematika dengan benar.
Pada indikator kelima pada kemampuan komunikasi
matematis yaitu membaca dengan pemahaman suatu
presentase matematika tertulis. Subjek A5 dapat memahami
soal dengan benar sehingga jawaban siswa terstruktur. Mulai
dari memisalkan x dan y kemudian memasukkan ke dalam
model matematika. Selanjutnya menggunakan metode
eliminasi dan substitusi ke dalam pengerjaannya. Sehingga
jawaban siswa benar.
185
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Petikan Wawancara:
P1 : Sekarang anda sudah bisa menjawab dan memisalkan
dengan benar, coba tunjukkan lagi dengan gambar
sesuai dengan apa yang sudah kalian tuliskan dan
misalkan tadi ?
A5 : Bisa bu, seperti ini. (gambar sesuai)
P1 : Menurut anda kesulitan apa yang anda temui selama
mengerjakan soal tersebut? Apakah anda perlu
berdiskusi dengan teman untuk menyelesaikannya?
A5 : Alhamdulillah saya bisa mengerjakan semua dan belom menemukan kesulitan saat itu. Saya
menggunakan konsep dan cara-cara yang sudah pernah
diajarkan oleh guru saya.
P1 : Membaca apa yang ditanyakan dalam soal, apakah
anda bisa menduga atau mengalisis sebelumnya
sebelum mengerjakannya?
A5 : Ketika melihat dan membaca soalnya saya sudah
memastikan kalau tinggi tower ketiga lebih pendek dari
kedua tower yang sudah diketahui.
P1 : Sebutkan kembali langkah-langkah dalam mengerjakan
soal tersebut?
A5 : Yang pertama yaitu memisalkan variabel yang
diketahui kemudian menuliskan dalam model
matematikannya. Karena materi sistem persamaan
linear berarti metode eliminasi, substitusi yang akan digunakan. Terakhir yaitu menyimpulkan.
Deskripsi petikan wawancara
Pada indikator kedua pada kemampuan komunikasi
matematis yaitu menjelaskan ide, situasi, dan relasi
matematik secara lisan atau tulisan dengan benda nyata,
gambar, grafik, dan alajabar. Subjek A5 siswa dapat
menggambar dengan sesuai.
Pada indikator keempat pada kemampuan komunikasi
matematis yaitu mendengarkan, berdiskusi, dan menulis
tentang matematika. Subjek A5 dapat mengerjakan semua
186
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
dan belum menemukan kesulitan serta menerapkan
pengetahuan yang sudah diperoleh sebelumnya.
Pada indikator keenam pada kemampuan komunikasi
matematis yaitu membuat konjektur, menyusun argumen,
merumuskan definisi, dan generalisasi. Siswa A5 dapat
menduga bahwasannya tinggi tower 3 lebih pendek daripada
tower 1 dan 2.
Pada indikator ketujuh pada kemampuan komunikasi
matematis yaitu menjelaskan dan membuat pertanyaan
tentang matematika yang telas dipelajari. Subjek A5 dapat
menjelaskan tahap-tahap secara rinci dan benar.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwasannya
subjek yang memiliki kecerdasan logis-matematis tinggi
yaitu subjek A5 dapat mencapai ketujuh indikator
kemampuan komunikasi matematis dengan baik.
b. Kemampuan Komunikasi Matemais Siswa yang
Memiliki Kecerdasan logis-matematis sedang.
Jawaban tes soal PISA terhadap indikator kemampuan
komunikasi subjek A2
187
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Pada indikator pertama pada kemampuan komunikasi
matematis yaitu menghubungkan benda nyata, gambar, dan
diagram ke dalam ide matematika. Subjek A2 dapat
menyebutkan dan memisalkan variabel x dan y tetapi kurang
jelas karena tidak menyebutkan permisalkan untuk persegi
panjang dan segi enam. Siswa hanya menyebutkan banyak
persegi panjang dan segi enam dalam setiap tower saja.
Pada indikator ketiga pada kemampuan komunikasi
matematis yaitu menyatakan peristiwa sehari-hari dalam
bahasa simbol matematika. Subjek A2 kurang tepat dapat
menyatakan permisalan variabel x dan y namun mampu
memasukkan ke dalam model matematika dengan benar.
Pada indikator kelima pada kemampuan komunikasi
matematis yaitu membaca dengan pemahaman suatu
presnetase matematika tertulis. Subjek A2 dapat memahami
soal dengan benar sehingga jawaban siswa terstruktur. Mulai
dari memisalkan x dan y walaupun kurang tepat, kemudian
memasukkan ke dalam model matematika. Selanjutnya
menggunakan metode eliminasi dan substitusi ke dalam
pengerjaannya. Sehingga jawaban siswa benar.
Petikan Wawancara:
P1 : Sekarang anda sudah bisa menjawab dan memisalkan
dengan benar, coba tunjukkan lagi dengan gambar
sesuai dengan apa yang sudah kalian tuliskan dan
misalkan tadi ?
A2 : Bisa bu, seperti ini.(gambar sesuai)
P1 : Menurut anda kesulitan apa yang anda temui selama
mengerjakan soal tersebut? Apakah anda perlu
berdiskusi dengan teman untuk menyelesaikannya?
A2 : Saya bisa mengerjakan semua dan belom menemukan kesulitan saat itu.
P1 : Membaca apa yang ditanyakan dalam soal, apakah anda bisa menduga atau mengalisis sebelumnya sebelum mengerjakannya?
A2 : Pastinya tinggi tower 3 lebih pendek
188
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
P1 : Sebutkan kembali langkah-langkah dalam mengerjakan soal tersebut?
A2 : Memisalkan variabel yang diketahui seperti x dan y. Menuliskan dalam model matematikannya. Metode yang digunakan yaitu eliminasi dan substitusi kemudian menyimpulkannya.
Deskripsi wawancara:
Ada indikator kedua pada kemampuan komunikasi
matematis yaitu menjelaskan ide, situasi, dan relasi
matematik secara lisan atau tulisan dengan benda nyata,
gambar, grafik, dan alajabar. Subjek A2 dapat menggambar
dengan sesuai.
Pada indikator keempat pada kemampuan komunikasi
matematis yaitu mendengarkan, berdiskusi, dan menulis
tentang matematika. Subjek A2 dapat mengerjakan semua
dan belum menemukan kesulitan serta menerapkan
pengetahuan yang sudah diperoleh sebelumnya.
Pada indikator keenam pada kemampuan komunikasi
matematis yaitu membuat konjektur, menyusun argumen,
merumuskan definisi, dan generalisasi. Subjek A2 dapat
menduga bahwasannya tinggi tower 3 lebih pendek
daripada tower 1 dan 2.
Pada indikator ketujuh pada kemampuan komunikasi
matematis yaitu menjelaskan dan membuat pertanyaan
tentang matematika yang telas dipelajari. Subjek A2 dapat
menjelaskan tahap-tahap pengerjaan soal. Namun siswa
tidak menyebutkan variabel x dan y secara jelas. Siswa
hanya menyebutkan banyak persegi panjang dan segi enam
dalam setiap tower saja.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan
bahwasannya subjek yang memiliki kecerdasan logis-
matematis sedang yaitu subjek A2 mampu. mencapai 5
indikator kemampuan komunikasi matematis.
189
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
c. Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa yang
Memiliki Kecerdasan logis- matematis rendah.
Jawaban tes soal PISA terhadap indikator kemampuan
komunikasi subjek A8
Pada indikator pertama pada kemampuan komunikasi
matematis yaitu menghubungkan benda nyata, gambar,
dan diagram ke dalam ide matematika. Subjek A8 tidak
dapat menyebutkan dan memisalkan variabel x dan y.
Pada indikator ketiga pada kemampuan komunikasi
matematis yaitu menyatakan peristiwa sehari-hari dalam
bahasa simbol matematika. Subjek A8 salah dalam
memasukkan ke dalam model matematika karena tidak
memisalkan variabel x dan y terlebih dahulu.
Pada indikator kelima pada kemampuan komunikasi
matematis yaitu membaca dengan pemahaman suatu
presentase matematika tertulis. Subjek A8 dapat
memahami soal namun siswa tidak memisalkan x dan y
sehingga salah memasukkan ke dalam model matematika
yang menyebabkan jawaban siswa salah.
190
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Petikan waawancara:
P1 : Sekarang anda sudah bisa menjawab dan memisalkan
dengan benar, coba tunjukkan lagi dengan gambar
sesuai dengan apa yang sudah kalian tuliskan dan
misalkan tadi ?
A8 : Bisa bu, seperti ini.(gambar sesuai)
P1 : Menurut anda kesulitan apa yang anda temui selama
mengerjakan soal tersebut? Apakah anda perlu
berdiskusi dengan teman untuk menyelesaikannya?
A8 : Perlu, karena saya masih bingung dalam menuliskan
model matematikanya dan baru keingat kalau kesulitan
itu dikarenakan saya lupa memisalkannya.
P1 : Membaca apa yang ditanyakan dalam soal, apakah
anda bisa menduga atau mengalisis sebelumnya
sebelum mengerjakannya?
A8 : Heheh tidak bias
P1 : Sebutkan kembali langkah-langkah dalam mengerjakan soal tersebut?
A8 : Menuliskan apa yang diketahui kemudian menuliskan matemtikannya. Metode substitusi dan eliminasi yang saya gunakan yaitu menguranginya kemudian menyimpulkan.
Deskripsi wawancara:
Pada indikator kedua pada kemampuan komunikasi
matematis yaitu menjelaskan ide, situasi, dan relasi
matematik secara lisan atau tulisan dengan benda nyata,
gambar, grafik, dan alajabar. Subjek A2 dapat menggambar
dengan sesuai.
Pada indikator keempat pada kemampuan komunikasi
matematis yaitu mendengarkan, berdiskusi, dan menulis
tentang matematika. Subjek A2 masih mengalami kesulitan
dalam menuliskan model matematikanya sehingga masih
mebutuhkan bantuan orang lain.
Pada indikator keenam pada kemampuan komunikasi
matematis yaitu membuat konjektur, menyusun argumen,
191
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
merumuskan definisi, dan generalisasi. Subjek A2 tidak
dapat menduga jawaban dari soal tersebut.
Pada indikator ketujuh pada kemampuan komunikasi
matematis yaitu menjelaskan dan membuat pertanyaan
tentang matematika yang telas dipelajari. Subjek A2 dapat
menjelaskan tahap-tahap pengerjaan soal namun
penjelasannya kurang terperinci dan lengkap.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwasannya
subjek yang memiliki kecerdasan logis-matematis sedang
yaitu A8 mencapai 3 indikator kemampuan komunikasi
matematis.
Uraian di atas sudah sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Gardner yaitu siswa dengan kecerdasan
logis matematis tinggi lebih mudah memecahkan masalah
matematika dibandingkan dengan siswa yang memiliki
kecerdasan logis-matematis sedang dan siswa dengan
kecerdasan logis-matematis sedang lebih mudah
memecahkan masalah matematika dibandingkan dengan
siswa yang memiliki kecerdasan logis-matematis rendah.
Selain itu hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
Farah Faizah (2017) yaitu proses berpikir siswa dengan
kecerdasan logis- matematis tinggi mampu memamai
masalah dengan baik, menentukan strategi yang digunakan
dalam memecahkan masalah yaitu menggunakan strategi
standar atau alternative strategi, menentukan hasil
pekerjaan yang telah dilakukan tidak melakukan
pemeriksaan terhadap pekerjaannya dan melakukan
perhitungan berkaitan permasalhan tambahan yang
diberikan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa
kemampuan komunikasi matematis siswa yang memiliki
kecerdasan logis-matematis yang terdiri dari 7 indikator yaitu:
(1) menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke
dalam ide matematika;(2) menjelaskan ide, situasi dan relasi
192
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
matematik secara lisan atau tulisan dengan benda nyata,
gambar, grafik dan aljabar; (3) menyatakan peristiwa sehari-
hari dalam bahasa simbol matematika; (4) mendengarkan,
berdiskusi, dan menulis tentang matematika; (5) membaca
dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis; (6)
membuat konjektur, menyusun argument, merumuskan definisi
dan generalisasi; (7) menjelaskan dan membuat pertanyaan
tentang matematika yang telah dipelajari, dapat dideskripsikan
yaitu: a) Siswa yang memiliki kecerdasan logis-matematis
rendah dalam pencapaian indikator kemampuan komunikasi
matematis mencapai 7 indikator yaitu, b) Siswa yang memiliki
kecerdasan logis-matematis rendah dalam pencapaian
indikator kemampuan komunikasi matematis mencapai 5
indikator kemampuan komunikasi matematis, c) Siswa yang
memiliki kecerdasan logis-matematis rendah dalam pencapaian
indikator kemampuan komunikasi matematis mencapai 3
indikator kemampuan komunikasi matematis. Dari hasil
tersebut menjadikan penelitian dasar untuk peneliti lain
mengenai penelitian selanjutnya. Berdasarkan hasil di atas
penelitian memberikan saran sebagai berikut : (1) Guru haru
lebih sering memberikan soal yang berbentuk PISA karena
dalam soal PISA tersebut dapat meningkatkan kemampuan
komunikasi matematis siswa.(2) Diharapkan penelitian
lanjutan mengenai pencapaian dan peningkatan kemempuan
komunikasi matematis siswa.
193
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
DAFTAR RUJUKAN
Aminah, S., Wijaya, T. T., & Yuspriyati, D. (2018). Analisis
Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas VIII Pada
Materi Himpunan, 1(1), 15–22.
Faizah, F., Sujadi, I., & Setiawan, R. (2017). Proses Berpikir Siswa
Kelas VII-E Dalam Memecahkan Masalah Matematika
Pada Materi Pecahan Ditinjau Dari Kecerdasan Logis-
Matematis. Encyclopedia of Social Science Research
Methods, 01(4), 885–886.
https://doi.org/10.4135/9781412950589
Hasanah, W., & Eko Siswono, T. Y. (2015). Kecerdasan Logis-
Matematis Siswa Dalam Memecahkan Masalah
Matematika Pada Materi Komposisi Fungsi.
Kurniawan, G. (2018). Analisis Kesalahan Siswa Ditinjau Dari
Kecerdasan Logis-Matematis, 13(20), 45–55.
Merdian, A., Sari, V. T. A., & Sugandi, A. I. (2018). Analisis
Kemampuan Komunikasi Matematis Dan Keaktifan Siswa
SMA Dengan Pendekatan Problem Posing.
SOSIOHUMANIORA: Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial Dan Humaniora, 4(1), 45–50. https://doi.org/10.30738/sosio.v4i1.2279
Muchlisa, S., Fauzi, & Monawati. (2018). Hubungan Antara
Kecerdasan Logis-Matematis dengan Hasil Belajar Siswa
Kelas IV SD Negeri 26 Banda Aceh. Journal Ilmiah PGSD,
03, 66–71.
Putra, H., Wijaya, I., & Sujadi, I. (2016). Kemampuan Komunikasi
Matematis Dengan Gender Dalam Pemecahan Masalah
Pada Materi Balok Dan Kubus ( Studi Kasus Pada Siswa
Smp Kelas Viii Smp Islam. Jurnal Elektronik Pembelajaran
Matematika, 4(9), 778–788. Retrieved from
http://jurnal.fkip.uns.ac.id
Rianti, W., & Zulfah. (2018). Kemampuan Komunikasi Matematis
Peserta Didik Melalui Soal PISA 2015, 7(15), 49–56.
194
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Sari, I. P. (2017). Kemampuan Komunikasi Matematika
Berdasarkan Perbedaan Gaya Belajar Siswa Kelas X SMA
Negeri 6 Wajo Pada Materi Statistika. Jurnal Nalar
Pendidikan, 5(2), 86–92.
Sinaga, C. (2017). Kemampuan Komunikasi Matematika
(Communication Mathematics Ability). ResearchGate,
(December). Retrieved from
https://www.researchgate.net/
publication/321835644%0A
Susanti, M. (2018). Analisis Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Smp Di Tinjau Dari Self-Concept. SOSIOHUMANIORA: Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial Dan Humaniora, 4 (2). https://doi.org/10.30738/sosio. v4i2.2751
195
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
196
KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA DITINJAU
DARI KECERDASAN LINGUISTIK, LOGIS-MATEMATIS DAN VISUAL-SPASIAL
Dewi Anggreini 1, Dedek Yuana Saputri 2
Pendidikan Matematika, STKIP PGRI Tulungagung
[email protected],1 [email protected] 2
ABSTRAK
Penelitian ini menggambarkan bagaimana mendeskrip-sikan kemampuan berpikir kreatif dalam memecahkan masalah matematika ditinjau dari kecerdasan linguistik, kecerdasan logis matematis dan kecerdasan visual spasial siswa. Prosedur pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dengan angket, tes dan wawancara. Penelitian ini menunjukkan bahwa hasil analasis pengelompokan tipe kecerdasan multipel siswa, diperoleh 17 siswa dengan kecerdasan linguistik, 5 siswa dengan kecerdasan logis matematis dan 8 siswa dengan kecerdasan visual spasial. Kemudian dari masing-masing kelompok dipilih secara purposive sebanyak 1 siswa dari masing-masing kelompok. Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa siswa dengan kecerdasan logis matematis mampu menunjukkan indikator berpikir kreatif secara menyeluruh dengan baik. Sedangkan untuk siswa dengan kecerdasan linguistik dan visual spasial mampu menunjukkan indikator berpikir kreatif antara lain kefasihan (fluency), keluwesan (flexibility) dan keterincian (elaborasi) dengan cukup baik. tetapi kurang mampu menunjukkan dengan baik pada indikator keaslian (originality).
197
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Kata Kunci: Bepikir Kreatif, Kecerdasan Multipel, Memecahkan Masalah Matematika
ABSTRACT
This research describes how to describe the ability of creative
thinking in solving mathematical problems in terms of students'
linguistic intelligence, mathematical logical intelligence and
visual spatial intelligence.. The data collection procedure was
carried out in this study by questionnaires, tests and interviews.
This study shows that the results of the analysis of multiple
intelligence types of students, obtained 17 students with linguistic
intelligence, 5 students with mathematical logical intelligence
and 8 students with spatial visual intelligence. Then from each
group purposively selected as many as 1 student from each group.
The results of the analysis show that students with mathematical
logical intelligence are able to show indicators of creative
thinking as a whole well. While for students with linguistic and
visual spatial intelligence, they are able to show indicators of
creative thinking, including fluency, flexibility and elaboration
quite well. but less able to show well on the indicator of originality.
Keywords: Creative Thinking, Multiple Intelligence, Solving
Mathematical Problems
PENDAHULUAN
Kompetensi berpikir kreatif bagi siswa merupakan hal yang
sangat penting dalam era persaingan global sebab tingkat
kompleksitas permasalahan dalam segala aspek kehidupan
modern semakin tinggi. Berpikir kreatif tergolong kompetensi
tingkat tinggi dan dapat dipandang sebagai kelanjutan dari
kompetensi dasar (basic skills) dalam pembelajaran
matematika. Kompetensi dasar (basic skills) dalam
pembelajaran matematika biasanya dibentuk melalui aktivitas
yang bersifat konvergen. Aktivitas ini umumnya cenderung
berupa latihan-latihan matematika yang bersifat algoritmik,
mekanistik, dan rutin. Namun, kompetensi berpikir kreatif
bersifat divergen dan menuntut aktivitas investigasi masalah
198
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
matematika dari berbagai perspektif. Proses berpikir kreatif
merupakan suatu proses yang mengkombinasikan berpikir logis
dan berpikir divergen. Siswono dkk (2015) seperti dikutip di
Sari, Ikhsan, & Saminan (2017) menyatakan berpikir divergen
digunakan untuk mencari ide-ide untuk menyelesaikan masalah
sedangkan berpikir logis digunakan untuk memverifikasi ide-
ide tersebut menjadi sebuah penyelesaian yang kreatif. Dengan
berpikir kreatif, maka siswa dapat menggunakan banyak ide
dan gagasannya untuk menyelesaikan permasalahan.
Setiap masalah dan tantangan yang dianggap sulit untuk
dipecahkan mungkin masih ada solusinya, namun belum
terpikirkan oleh kita. Bagaimana kita bisa menemukannya jika
kita tidak mencari. Proses pencarian inilah yang disebut dengan
proses berpikir kreatif. Santrock (2010) seperti dikutip di
Mursidik dkk (2015) mendefinisikan berpikir kreatif adalah
kemampuan berpikir tentang sesuatu dengan cara baru dan
tidak biasa dan menghasilkan solusi yang unik atas suatu
masalah. Munandar (2004) seperti dikutip di Sarip, Kamid, &
Hariyadi (2013) menambahkan bahwa berpikir kreatif adalah
proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat
dugaan tentang kekurangan masalah menilai dan menguji
dugaan atau hipotesis, kemudian mengubah dan mengujinya
lagi dan akhirnya menyampaikan hasilnya.
Weisberg (2006) seperti dikutip di Siswono (2016)
menambahkan bahwa berpikir kreatif mengacu pada proses-
proses untuk menghasilkan produk kreatif yang merupakan
karya baru (inovatif) yang diperoleh dari suatu aktivitas terarah
yang sesuai dengan tujuan. Berdasarkan keterangan tersebut,
berpikir kreatif dapat dipandang sebagai suatu proses yang
digunakan ketika siswa mendatangkan atau memunculkan ide
baru yang merupakan hasil pemikirannya berdasarkan
pengalaman dan pengetahuan belajar sebelumnya. Untuk
mengetahui kriteria berpikir kreatif siswa pada penelitian ini,
pedoman yang digunakan adalah kriteria berpikir kreatif yang
dikembangkan oleh (Munandar, 1999, seperti dikutip Mursidik
dkk, 2015). Adapun kriteria kemampuan berpikir kreatif antara
199
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
lain kefasihan (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian
(originality), dan keterincian (elaboration).
Kunci berpikir kreatif adalah kemampuan menilai
permasalahan dari berbagai sudut pandang sehingga menjadi
solusi lebih baik. Dalam memecahkan masalah matematik,
setiap orang memiliki cara dan kemampuan yang berbeda
karena tidak semua orang memiliki kemampuan berpikir sama.
Kecerdasan setiap siswa berbeda-beda sesuai dengan tipe
kecerdasannya, guru perlu mempertimbangkan kecerdasan
yang dimiliki setiap siswa didalam pembelajaran. Perbedaan ini
tentu berpengaruh terhadap kemampuan siswa dalam
menghadapai masalah khususnya dari segi kemampuan
berpikir kreatif mereka dalam memandang dan menyelesaikan
suatu masalah baik dari segi jawaban dan proses berpikir siswa.
Kecerdasan adalah kemampuan yang dibawa sejak lahir,
yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara
yang tertentu (Purwanto seperti dikutip di Irvaniyah & Akbar,
2014). Kecerdasan merupakan kemampuan memahami dunia,
berpikir secara rasional, dan menggunakan sumber-sumber
secara efektif pada saa dihadapkan dengan tantangan.
Bainbridge seperti dikutip di Anggraeni (2015) kecerdasan
sering didefinisikan sebagai “kemampuan mental umum untuk
belajar dan menerapkan pengetahuan dalam memanipulasi
lingkungan, serta kemampuan untuk berpikir abstrak.
Dalam memecahkan masalah matematika juga dibutuhkan
interaksi dari beberapa kecerdasan (Armstrong, 2013).
Kecerdasan yang dapat dilibatkan meliputi kecerdasan
linguistik, logis-matematis dan visual-spasial. Hal ini
berdasarkan komponen-komponen inti dan perkembangan dari
masing-masing tipe kecerdasan majemuk yang dikemukakan
(Armstrong, 2013). Komponen inti dari ketiga kecerdasan
tersebut dapat muncul dalam pemecahan masalah matematika.
Dalam memecahkan masalah matematika, kecerdasan linguistik
diperlukan untuk memahami informasi yang terdapat dalam
masalah dan menjabarkan jawaban beserta alasan dalam
bentuk bahasa yang jelas. Selanjutnya kecerdasan logis-
200
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
matematis diperlukan untuk menganalisis atau menjabarkan
alasan logis, serta mengonstruksi solusi dari persoalan yang
timbul. Sedangkan kecerdasan visual-spasial diperlukan untuk
menciptakan representasi, berpikir tiga dimensi dan membuat
gambaran visual mengenai masalah dalam pikiran. Sedangkan
untuk perkembangannya, ketiga kecerdasan tersebut
perkembangannya dipengaruhi usia dan tergolong kuat di usia
remaja. Berbeda dengan kelima kecerdasan lainnya yang
perkembangannya dipengaruhi hal lain selain usia.
Penelitian yang dilakukan oleh Sarip, Kamid, & Hariyadi
(2014) yang menyimpulkan bahwa subjek tipe linguistik dalam
penelitian melakukan proses berpikir kreatif dengan tahap-
tahap yaitu tahap persiapan, tahap inkubasi, tahap iluminasi
dan tahap verifikasi dalam menyelesaikan masalah. Adapun
penelitian yang dilakukan oleh Mursidik, Samsiyah, & Rudiyanto
(2015) yang menyimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif
siswa untuk kategori tinggi dan sedang berada pada kriteria
sangat baik sampai baik, sedangkan kemampuan berpikir
kreatif siswa untuk kategori rendah secara keseluruhan berada
pada kriteria kurang baik.
Berdasarkan permasalahan di atas penulis bermaksud
untuk membahas mengenai kecerdasan siswa yang
diklasifikasikan menjadi kecerdasan linguistik, kecerdasan
logis-matematis dan kecerdasan visual-spasial untuk
menentukan subjek yang akan dideskripsikan tentang
kemampuan berpikir kreatif dalam memecahkan masalahnya
METODE
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan
berpikir kreatif dalam memecahkan masalah matematika
ditinjau dari kecerdasan linguistik, kecerdasan logis matematis
dan kecerdasan visual siswa. Untuk mendapatkan data yang
lengkap, peneliti sebagai pengumpul data utama yang sekaligus
sebagai pelaksana tindakan, mengamati, dan mengobservasi
siswa selama proses pembelajaran. Data yang dihasilkan berupa
kata-kata ataupun ucapan-ucapan dan tulisan. Jenis penelitian
201
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
yang dilakukan oleh peneliti adalah penelitian deskriptif
kualitatif, yang bertujuan untuk mendeskripsikankemampuan
berpikir kreatif dalam memecahkan masalah matematika
ditinjau dari kecerdasan linguistik, kecerdasan logis matematis
dan kecerdasan visual siswa. Penelitian ini dilaksanakan di
SMPN 1 Trenggalek dengan tahapanpenelitian dilakukan
dengan dimulai dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan
tahap akhir.
Perencanaan dalam penelitian merupakan kegiatan awal
yang harus dilakukan peneliti sebelum mengumpulkan data.
Sebagai perencana, peneliti menyiapkan segala keperluan yang
berkaitan dengan penelitian ini. Keperluan tersebut berupa ijin
penelitian, proposal penelitian, instrumen penelitian, dan lain-
lain terkait dengan penelitian ini.Kegiatan mengumpulkan data
merupakan kegiatan utama dalam penelitian kualitatif. Kegiatan
pengumpulan data pada dasarnya adalah aktifitas terjun ke
lapangan. Sebagai pengumpul data, peneliti bertugas untuk
mencari dan menghimpun data selengkap-lengkapnya sesuai
dengan instrumen yang telah ditentukan. Dalam
mengumpulkan data peneliti akan berhubungan dengan orang-
orang, baik dengan siswa, guru, waka kurikulum maupun Kepala
Sekolah.
Data yang sudah dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis
oleh peneliti. Sebagai penganalisis, peneliti bertugas membaca
dan mereview data (dalam penelitian ini meninjau hasil, angket,
tes, dan wawancara) untuk mendeteksi hal-hal yang terjadi
dalam penelitian ini. Subjek penelitian adalah siswa kelas VIII B
SMPN 1 Trenggalek. Untuk pemilihan subjek dilakukan dengan
angket penggolongan kecerdasan multipel untuk kemudian
digolongkan ke dalam kelompok kecerdasan linguistik,
kecerdasan logis matematis dan kecerdasan visual spasial.
Pemilihan subjek penelitian berdasarkan teknik pengambilan
purposive sampling. Subjek penelitian dipilih 1 orang dari setiap
kelompok. Selanjutnya diberikan soal tes kemampuan berpikir
kreatif serta pemberian wawancara setelah pelaksanaan tes.
202
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Teknik pengumpulan data melalui metode angket untuk
mengelompokkan kecerdasan multipel siswa, serta metode tes
dan wawancara untuk mengetahui bagaimana kemampuan
komunikasi berpikir kreatif dalam memecahkan masalah
matematika. Tahap analisis data meliputi: tahap reduksi data,
penyajian data dan menarik kesimpulan. Pada penelitian ini
reduksi data dilakukan dengan caramengklasifikasikan
kecerdasan siswa berdasarkan kecerdasan lingustik,
kecerdasan logis matematis dan kecerdasan visual spasial, serta
pemusatan perhatian pada kemampuan berpikir kreatif, dan
penyerdehanaan yang dari instrumen yang diujikan.
Data-data yang dikumpulkan dan disajikan dalam bentuk
teks naratif dan tabel. Penarikan kesimpulan yang dilakukan
dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan penelitian yaitu:
Mendeskripsikan kemampuan berpikir kreatif dalam
memecahkan masalah matematika ditinjau dari kecerdasan
linguistic, kecerdasan logis matematis dan kecerdasan visual
spasial siswa kelas VIII SMPN 1 Trenggalek. Untuk mengecek
keabsahan data digunakan triangulasi tehnik serta ketekuan
penelitian. Adapun data yang dikumpulkan dalam penelitian ini
sebahai berikut:
1. Hasil dari anfket kecerdasan multipel yang diberikan siswa
2. Hasil tes kemampuan berpikir kreatif siswa waktu
penelitian
3. Hasil wawancara kemampuan berpikir kreatif siswa waktu
penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada tahap pelaksanaan, peneliti melakukan pemberian
angket pengelompokan kecerdasan multipel siswa yang telah
dinyatakan valid oleh validator. Adapun angket kecerdasan
multipel yang merupakan pengembangan dan terjemahan dari
Multiple Intelligence Test – based on Howard Gardner’s MI Model
Young People Version untuk usia 8-16 th yang dikembangkan
oleh (MSc & Chapman, 2006). Angket dalam penelitian ini telah
dikembangkan dan hanya fokus pada tiga kecerdasan, yaitu:
203
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
kecerdasan linguistik, kecerdasan logis-matematis, dan
kecerdasan visual-spasial. Angket terdiri dari 30 butir
pernyataan, yaitu 10 pernyataan tentang kecerdasan linguistik,
10 pernyataan tentang kecerdasan logis-matematis dan 10
pernyataan tentang kecerdasan visual-spasial. Adapun
indikator angket mengacu pada kisi-kisi kecerdasan linguistik,
kecerdasan logis-matematis dan kecerdasan visual-spasial
menurut (Armstrong, 2013).
Hasil analisis pengelompokkan kecerdasan multipel siswa
diperoleh 17 siswa atau 53,125% dari seluruh siswa dengan
kecerdasan linguistik, 5 siswa atau 15,625% dari seluruh siswa
dengan kecerdasan logis matematis dan 8 siswa atau 25% dari
seluruh siswa dengan kecerdasan visual spasial. Dari kelompok
kecerdasan linguistik, kecerdasan logis matematis dan
kecerdasan visual spasial, dipilih secara purposive sampling
masing-masing kelompok sebanyak 1 siswa dengan melihat
nilai kecerdasan multipel siswa serta berdasarkan
pertimbangan pendapat guru.
Untuk mempermudah dalam pelakasanaan dan
mengindetfikasi data, maka peneliti melakukan pengkodean
kepada setiap siswa. Berikut adalah daftar peserta penelitian
secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Data Subjek Penelitian
No Nama Keterangan Kode Kecerdasan multiple
1 IS LI Linguistik
2 AM LM Logis Matematis
3 RR VS Visual-spasial
Tes kemampuan berpikir kreatif diberikan kepada subjek
penelitian. Siswa yang diuji sebanyak 3 siswa dari 32 siswa.
Sedangkan pemberian wawancara kemampuan berpikir kreatif
dilaksanakan setelah pelaksanaan tes kemampuan berpikir
kreatif. Pemberian wawancara bertujuan untuk menunjukkan
hasil lebih atau penguatan dari deskripsi kemampuan berpikir
204
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
kreatif siswa. Adapun kriteria kemampuan berpikir kreatif
antara lain kefasihan (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian
(originality), dan keterincian (elaboration).
Tabel 2. Kriteria Penilaian Kemampuan Berpikir Kreatif
Indikator Pemecahan Masalah KegiatanSiswa
Kefasihan (fluency)
Siswa menyelesaikan masalah dengan beragam ide penyelesaian yang disajikan secara lengkap dan benar.
Siswa mampu membuat masalah (soal) sekaligus penyelesaiannya yang beragam dan benar.
Keluwesan (flexibility)
Siswa menyelesaikan masalah dengan satu cara (metode), kemudian dengan cara (metode) penyelesaian yang lain.
Siswa mengajukan masalah (soal) yang dapat dipecahkan dengan cara (metode) yang berbeda-beda.
Keaslian (originality)
Siswa mampu memberikan jawaban dari masalah dengan satu cara (metode) penyelesaian yang tidak biasa dilakukan oleh individu (siswa) pada tingkat pengetahuanya.
Siswa memeriksa beberapa masalah yang diajukan, kemudian mengajukan suatu masalah (soal) yang berbeda dari siswa yang lain.
Keterincian (elaborasi)
Siswa mampu memberikan jawaban dari masalah dengan runtut, rinci dan saling terkait antara langkah-langkah penyelesaian masalah.
Siswa mampu menjelaskan penyelesaian masalah yang diajukan secara rinci dalam langkah penyelesaiannya.
Adapun subjek penelitian adalah 3 siswa yang dipilih secara
purposive dengan pengelompokan 1 siswa dengan kecerdasan
linguistik, 1 siswa dengan kecerdasan logis matematis dan 1
siswa dengan kecerdasan visual spasial. Berikut paparan hasil
dari kemampuan berpikir kreatif dalam memecahkan masalah
205
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
matematika ditinjau dari kecerdasan linguistik, logis matematis
dan visual spasial siswa kelas VIII B SMPN 1 Trenggalek dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Kemampuan berpikir kreatif dalam memecahkan
masalah matematika pada siswa dengan kecerdasan
linguistik.
Siswa yang memiliki kecerdasan linguistik memiliki
kemampuan berpikir kreatif yang cukup baik. Hal ini dapat
dilihat dari indikator kemampuan berpikir kreatif dimana
siswa dapat memenuhi indikator kefasihan (flexibility) dan
keluwesan (fluency) dengan baik pada nomor soal 2 akan
tetapi kurang memenuhi dengan baik pada nomor soal 1.
Siswa kurang mampu menunjukkan keaslian (originality)
dan keterincian (elaborasi) dengan baik pada semua nomor
soal tes kemampuan berpikir kreatif. Siswa mampu
memecahkan masalah dengan beragam ide penyelesaian
yang disajikan dengan benar, serta dapat menggambarkan
bangun ruang baru dan menyelesaikannya dengan cara yang
seragam pada nomor soal 2 tes kemampuan berpikir kreatif.
Siswa dapat menyajikan jawaban dengan langkah-langkah
yang runtut serta dapat memperinci ukuran-ukuran yang
ada pada bangun ruang yang dibuat, tetapi siswa kurang baik
dalam menunjukkan kesimpulan pada nomor soal kesemua
nomor soal tes kemampuan berpikir kreatif.
2. Kemampuan berpikir kreatif dalam memecahkan
masalah matematika pada siswa dengan kecerdasan
logis matematis.
Siswa yang memiliki kecerdasan logis matematis
memiliki kemampuan berpikir kreatif yang baik. Hal ini
dapat dilihat dari indikator kemampuan berpikir kreatif
dimana siswa dapat memenuhi indikator kefasihan
(flexibility), keluwesan (fluency), keaslian (originality) dan
keterincian (elaborasi) secara menyeluruh dengan baik pada
206
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
semua nomor soal tes kemampuan berpikir kreatif maupun
dalam wawancara yang dilakukan. Siswa mampu
memecahkan masalah dengan beragam ide penyelesaian
yang disajikan secara lengkap dan benar, serta dapat
menggambarkan bangun ruang baru dan menyelesaikannya
dengan cara yang berbeda pada setiap nomor soal tes. Siswa
dapat menyajikan jawaban dengan langkah-langkah yang
runtut serta dapat memperinci ukuran-ukuran yang ada
pada bangun ruang yang dibuat, tetapi siswa kurang baik
dalam menunjukkan kesimpulan pada nomor soal 1
3. Kemampuan berpikir kreatif dalam memecahkan
masalah matematika pada siswa dengan kecerdasan
visual spasial.
Siswa yang memiliki kecerdasan visual spasial memiliki
kemampuan berpikir kreatif yang cukup baik. Hal ini dapat
dilihat dari indikator kemampuan berpikir kreatif dimana
siswa dapat memenuhi indikator kefasihan (flexibility) dan
keluwesan (fluency) dengan baik pada nomor soal 2 akan
tetapi kurang memenuhi dengan baik pada nomor soal 1.
Siswa kurang mampu menunjukkan keaslian (originality)
dan keterincian (elaborasi) dengan baik pada semua nomor
soal tes kemampuan berpikir kreatif. Pada indikator keaslian
(originality) pada nomor soal 2, jawaban siswa sama dengan
jawaban siswa dengan kecerdasan logis matematis. Siswa
mampu memecahkan masalah dengan beragam ide
penyelesaian yang disajikan dengan benar, serta dapat
menggambarkan bangun ruang baru dan menyelesaikannya
dengan cara yang seragam pada nomor soal 2 tes
kemampuan berpikir kreatif. Siswa dapat menyajikan
jawaban dengan langkah-langkah yang runtut serta dapat
memperinci ukuran-ukuran yang ada pada bangun ruang
yang dibuat, tetapi siswa kurang baik dalam menunjukkan
kesimpulan pada nomor soal kesemua nomor soal tes
kemampuan berpikir kreatif.
207
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Tabel 3. Hasil Analisis Kemampuan Berpikir Kreatif
Nama Nomor Soal 1 Nomor Soal 2
Siswa dengan kecerdasan linguistic
1. Kefasihan (fluency) yang kurang baik
2. Keluwesan (flexibility) yang kurang baik
3. Keaslian (originality) yang cukup baik
4. Keterincian (elaborasi) yang kurang baik
1. Kefasihan (fluency) yang baik
2. Keluwesan (flexibility) yang baik
3. Keaslian (originality) yang kurang baik
4. Keterincian (elaborasi) yang cukup baik
Siswa dengan kecerdasan logis matematis
1. Kefasihan (fluency) yang baik
2. Keluwesan (flexibility) yang baik
3. Keaslian (originality) yang baik
4. Keterincian (elaborasi) yang baik
1. Kefasihan (fluency) yang baik
2. Keluwesan (flexibility) yang baik
3. Keaslian (originality) yang baik
4. Keterincian (elaborasi) yang baik
Siswa dengan kecerdasan visual spasial
1. Kefasihan (fluency) yang baik
2. Keluwesan (flexibility) yang kurang baik
3. Keaslian (originality) yang cukup baik
4. Keterincian (elaborasi) yang kurang baik
1. Kefasihan (fluency) yang baik
2. Keluwesan (flexibility) yang baik
3. Keaslian (originality) yang kurang baik
4. Keterincian (elaborasi) yang cukup baik
208
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Berdasarkan uraian pembahasan dapat dilihat siswa
dengan kecerdasan linguistik dan kecerdasan visual spasial
cukup mampu menunjukkan indikator kemampuan berpikir
kreatif. Sedangkan pada siswa dengan kecerdasan logis
matematis mampu menunjukkan indikator kemampuan
berpikir kreatif dalam memecahkan masalah matematika
dengan baik. Hal ini sesuai dengan aspek indikator yang
disampaikan Mursidik dkk (2015). Siswa mampu menunjukkan
kefasihan (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality)
dan keterincian (elaborasi) dengan baik. Hasil penelitian ini
relevan dengan penelitian terdahulu oleh Irvaniyah & Akbar
(2014) yang mengungkapkan bahwa kecerdasan logis
matematis memuat kemampuan seseorang dalam berpikir
secara induktif dan deduktif, kemampuan berfikir menurut
aturan logika, memahami dan menganalisa pola angka-angka
serta memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan
berpikir. Pada siswa yang mampu menunjukkan kemampuan
berpikir kreatif secara baik, hendaknya guru lebih dapat
mengembangkan pembelajaran agar siswa dapat mencapai
kemampuan diri yang maksimal. Sedangkan pada siswa yang
belum mampu menunjukkan kemampuan berpikir kreatif,
hendaknya guru lebih memberikan perhatian dalam
membimbing agar sis
wa tidak merasa putus asa untuk mencoba terus dalam
meningkatkan kemampuan yang dimiliki.
SIMPULAN
Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasan mengenai
kemampuan berpikir kreatif dalam memecahkan masalah
matematika ditinjau dari kecerdasan linguistik, kecerdasan
logis matematis dan kecerdasan visual spasial siswa kelas VIII B
SMPN 1 Trenggalek yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan
sebagai berikut.
1. Kemampuan berpikir kreatif dalam memecahkan masalah
matematika siswa dengan kecerdasan linguistik mampu
menunjukkan pencapaian indikator penilaian dengan
cukup baik. Siswa mampu memenuhi kefasihan (fluency)
209
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
dan keluwesan (flexibility) dengan cukup baik, keaslian
(originality) dengan kurang baik dan keterincian
(elaborasi) dengan cukup baik sesuai indikator penilaian
kemampuan berpikir kreatif.
2. Kemampuan berpikir kreatif dalam memecahkan masalah
matematika siswa dengan kecerdasan logis matematis
mampu menunjukkan pencapaian indikator penilaian
dengan baik. Siswa mampu memenuhi kefasihan (fluency),
keluwesan (flexibility), keaslian (originality) dan
keterincian (elaborasi) dengan baik sesuai indikator
penilaian kemampuan berpikir kreatif.
3. Kemampuan berpikir kreatif dalam memecahkan masalah
matematika siswa dengan kecerdasan visual spasial
mampu menunjukkan pencapaian indikator penilaian
dengan cukup baik. Siswa mampu memenuhi kefasihan
(flexibility) dan keluwesan (fluency) dengan cukup baik,
keaslian (originality) dengan kurang baik, serta keterincian
(elaborasi) dengan cukup baik sesuai indikator penilaian
kemampuan berpikir kreatif.
Kemampuan berpikir kreatif siswa memiliki karakteristik
yang beragam dilihat dari kecerdasan yang dimiliki siswa. Hal
tersebut dapat terlihat dari pencapaian indikator penilaian dari
kemampuan berpikir kreatif siswa.
210
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
DAFTAR RUJUKAN
Anggreini, D. (2015). Studi Penerapan Multiple Intelegences
Pada Materi Pokok Garis dan Sudut. Seminar Nasional
Matematika Dan Pendidikan Matematika UNY, 291–298.
Armstrong, T. (2013). Kecerdasan Multipel di dalam Kelas (3rd
ed.). Jakarta: PT Indeks.
Irvaniyah, Iyan, Reza Oktaviana Akbar. 2014. Analisis
Kecerdasan Logis Matematis dan Kecerdasan Linguistik
Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin Studi Kasus Pada Siswa
Kelas XI IPA MA Mafatihul Huda. EduMa. (3)1.138-159.
MSc, V. C., & Chapman, A. (2006). Multiple Intelligences Test -
based on Howard Gardner ’ s MI Model ( manual version -
see businessballs . com for self-calculating version ).
Multiple Intelligences Test, 2–5.
Mursidik, E. M., Samsiyah, N., & Rudiyanto, H. E. (2015).
Kemampuan Berpikir Kreatif dalam Memecahkan Masalah
Matematika Open-ended Ditinjau dari Tingkat Kemampuan
Matematika pada Siswa Sekolah Dasar. Journal Pedagogia,
4(1), 23–33.
Sari, A. P., Ikhsan, M., & Saminan. (2017). Proses Berpikir Kreatif
Siswa dalam Memecahkan Masalah Matematika
Berdasarkan Model Wallas. Jurnal Tadris Matematika,
10(1), 18–32.
Sarip, I. A., Kamid, & Hariyadi, B. (2013). Proses Berpikir Kreatif
Siswa Tipe Linguistik dalam Pemecahan Masalah Biologi.
Edu-Sains, (2)2, 8–13.
Siswono, T. Y. E. (2016). Berpikir Kritis dan Berpikir Kreatif
sebagai Fokus Pembelajaran Matematika. Prosiding
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika.
STKIP PGRI Semarang. 11–26.
211
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
212
KEMAMPUAN BERPIKIR SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL MATEMATIKA TIPE HOTS
Maftuhatul Habibah1, Ummu Sholihah2.
1,2 Tadris Matematika, Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Tulungagung 1 [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan
berpikir siswa dalam menyelesaikan soal matematika tipe
HOTS. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
jenis deskriptif. Subjek penelitian adalah 3 siswa kelas VIII-A
MTsN 4 Trenggalek yang terdiri dari gaya belajar visual, auditori
dan kinestetik. Teknik pengumpulan data menggunakan
observasi, angket, tes, wawancara, dan dokumentasi. Teknik
analisis data yang digunakan yaitu reduksi data, penyajian data,
dan penarikan kesimpulan. Pengecekan keabsahan data yang
digunakan pada penelitian ini adalah peningkatan ketekunan
pengamatan, triangulasi teknik, dan pemeriksaan teman
sejawat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) Kemampuan
berpikir siswa dengan gaya belajar visual memiliki
kecenderungan pada indikator kemampuan berpikir semi
konseptual. 2) Kemampuan berpikir siswa dengan gaya belajar
auditori memiliki kecenderungan pada indikator kemampuan
berpikir konseptual. 3) Kemampuan berpikir siswa dengan gaya
belajar kinestetik memiliki kecenderungan pada indikator
kemampuan berpikir konseptual.
213
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Kata Kunci: Kemampuan berpikir, Soal Matematika Tipe HOTS,
Gaya Belajar
PENDAHULUAN
Terkait dengan isu perkembangan pendidikan di tingkat
Internasional, kondisi pendidikan di Indonesia masih tergolong
dalam kategori rendah. Sebagaimana hasil survei mengenai
prestasi peserta didik yang dilaksanakan secara Internasional,
dinyatakan bahwa nilai peserta didik Indonesia masih jauh di
bawah rata-rata. Dan hal ini sempat dimunculkan dalam
penelitian Trends in International Mathematics and Science
Study (TIMSS) yang setiap empat tahun sekali mengukur
kemampuan peserta didik kelas VIII SMP.1 Data yang ada
menyatakan bahwa pada umumnya kemampuan peserta didik
Indonesia dalam memahami informasi yang kompleks, teori,
analisis, pemecahan masalah, pemakaian alat, prosedur dan
melakukan investigasi sangatlah rendah.2
Menyikapi hal di atas, Kemendikbud melakukan perubahan
sistem dalam pembelajaran. Perubahan tersebut tertuang
dengan hadirnya Kurikulum 2013 yang dirancang dengan
berbagai penyempurnaan.3 Hal ini di maksud agar proses
pembelajaran yang telah terlaksana akan mengalami
peningkatan hasil yang dicapai. Penyempurnaan yang di
lakukan pada kurikulum tersebut antara lain pada standar isi
dan standar penilaian. Standar isi dirancang agar peserta didik
mampu berpikir kritis dan analitis berstandar Internasional.
Selain itu, juga dilakukan pengurangan materi yang tidak
relevan. Sedangkan untuk materi yang relevan dilakukan
pendalaman dan peluasan. Pada standar penilaian dilakukan
dengan mengadaptasi model-model penilaian standar
Internasional secara bertahap. Penilian hasil belajar ini lebih
1 Jailani dan Agus Budiman, “Pengembangan Instrumen…,” hal.140 2 Pipit Puji Astutik, HOTS Berbasis PPK Dalam Pembelajaran Tematik (Malang:
Pustaka Media Guru, 2018),hal.3 3 I Wayan Widana, “Modul Penyusunan Higher order thingking Skill (HOTS),”
Direktorat Pembinaan Sma Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 2017, 2017,hal.1
214
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
menitik beratkan pada kemampuan berpikir tingkat tinggi
(Higher Order Thinking Skill/ HOTS). 4
Penyempurnaan kurikulum dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik. Dan untuk
mengembangan kemampuan tersebut, para pendidik dapat
melakukannya antara lain dengan pembelajaran matematika.5
Pembelajaran matematika secara subtansial dapat
mendorong pengembangan kemampuan berpikir siswa karena
konsep-konsep matematika tersusun secara hierarkis,
terstruktur, logis, dan sistematis. Mulai dari konsep yang paling
sederhana sampai yang paling kompleks, sehingga memerlukan
kemampuan berpikir matematika yang baik untuk
mengatasinya.6 Sehingga kehadiran pelajaran matematika pada
tiap lapisan jenjang pendidikan tidak lain juga untuk
menyempurkan hasil dari tujuan pendidikan itu sendiri.
Sebagaimana dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang standar isi telah
disebutkan bahwa “mata pelajaran Matematika perlu diberikan
pada semua siswa mulai dari Sekolah Dasar untuk membekali
siswa dengan kemampuan Matematika”.7 Oleh karena itu, benar
jika pelajaran matematika di ajarkan di semua jenjang. Pada
Kurikulum 2013, disebutkan pula bahwa di antara beberapa
tujuan matematika yang diajarkan kepada siswa adalah agar
siswa mampu berkompeten dalam menghadapi perubahan
kehidupan dan mempertahankan budaya bangsa dalam era
globalisasi (pasar bebas) dimasa yang akan datang.8 Sehingga
dengan adanya pembelajaran matematika diberbagai jenjang
pendidikan diharapkan nantinya akan mampu membekali
individu untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya,
4 Pipit Puji Astutik, HOTS Berbasis PPK…, hal.3 5 Widodo Winarso, “Membangun Kemampuan Berfikir Matematika Tingkat
Tinggi Melalui Pendekatan Induktif, Deduktif Dan Induktif-Deduktif Dalam Pembelajaran Matematika,” EduMa 3, no. 2 (2014),hal. 96
6 Ibid.,hal.96 7 Ibid,hal.96 8 Ibid, hal.96
215
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
terlebih pada kemampuan berpikir tingkat tinggi atau higher
order thinking skill.
Salah satu upaya perolehan informasi terkait kemampuan
berpikir tingkat tinggi siswa, kini muncul istilah soal tipe HOTS.
Soal tipe ini diyakini mampu meningkatkan kemampuan
berpikir kritis siswa, dimana dengan berpikir kritis siswa akan
terlatih berpikir tingkat tinggi.9 Soal tipe HOTS juga diyakini
dapat melatih kemampuan berpikir siswa dari kemampuan
berpikir tingkat rendah (Low Order Thinking Skill) menuju
kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking
Skill). Dan dengan adanya soal tipe HOTS, diharapkan informasi
akan sejauh mana kemampuan berpikir siswa serta sejauh mana
keberhasilan kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan, juga
dapat diketahui.
Rendahnya kemampuan siswa dalam memecahkan
masalah tersebut juga perlu diperbaiki dengan memberikan
latihan soal - soal yang berbeda dengan contoh yang telah
diberikan oleh guru. Salah satunya dapat diupayakan dengan
pemberian soal tipe HOTS.10 Sehingga munculnya soal denga
tipe HOTS ini sebagai pengimplementasian tujuan
pembelajaran pada kurikulum 2013 yang perlu di tekankan
kembali.
Soal tipe HOTS tidak selalu berupa soal yang sulit.11 Soal tipe
ini merupakan soal untuk mengukur tingkat pemahaman akan
informasi dan bernalar siswa. Bukan sekedar soal yang
menuntut siswa untuk mengingat kembali atau recall apa yang
telah dipelajari dan tersimpan dalam memory. 12, dan soal yang
sulit belum tentu termasuk soal tipe HOTS.
Pada kegiatan pembelajaran khususnya pembelajaran
matematika yang tidak terlepas dari konsep-konsep yang
mengikatnya, siswa memiliki beragam gaya belajar untuk
9 Pipit Puji Astutik, HOTS Berbasis PPK…,hal.12 10 Komarudin A, “Analisis Tipe Berfikir…," hal. 986 11 Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, "PANDUAN PENULISAN SOAL SMP/MTs TAHUN 2017", (Jakarta :2017),hal.45
12 Ibid, hal.45
216
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
memahami matematika tersebut. Gaya belajar tersebut adalah
cara seseorang merasa mudah, nyaman, dan aman saat belajar,
baik dari sisi waktu maupun indera.13 Pada kondisi tersebut,
setiap individu memiliki gaya belajar masing-masing yang
tentunya unik dan khas dari tiap individu yang kemudian akan
mempengaruhi bagaimana kemampuan berpikir dari setiap
individu tersebut. Berdasarkan cara memecahkan suatu masalah, Zuhri juga menggolongkan kemampuan berpikir menjadi tiga yaitu konseptual, semi konseptual, dan komputasional. Adapun indikator berfikir tersebut adalah sebagai berikut: 14
Tabel Indikator Kemampuan berpikir Menurut Zuhri
NO
INDIKATOR
Kemampuan
berpikir
Konseptual
Kemampuan
berpikir Semi
Konseptual
Kemampuan
berpikir
Komputasi
1.
Mampu
mengungkapkan
apa yang
diketahui dalam
soal dengan
kalimat sendiri
Kurang mampu
mengungkapkan
apa yang
diketahui dalam
soal dengan
kalimat sendiri
Tidak mampu
mengungkapkan
apa yang
diketahui dalam
soal dengan
kalimat sendiri
2.
Mampu
mengungkapkan
dengan kalimat
sendiri terkait
apa yang
ditanya dalam
soal
Kurang Mampu
mengungkapkan
dengan kalimat
sendiri terkait
apa yang ditanya
dalam soal
Tidak Mampu
mengungkapkan
dengan kalimat
sendiri terkait
apa yang
ditanya dalam
soal
13 Nini Subini, Rahasia Gaya Belajar Orang Besar (Yogyakarta: PT. Buku Kita,
2011), hal.5 14 Andy Nur Cahyo, dan RiniSetianingsih, “Tipe Berpikir Siswa...,” hal.2
217
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
3.
Mampu
menentukan
konsep yang
sesuai dengan
penyelesaian
soal
Kurang mampu
menentukan
konsep yang
sesuai dengan
penyelesaian
soal
Tidak mampu
menentukan
konsep yang
sesuai dengan
penyelesaian
soal
4.
Mampu
menjelaskan
langkah-langkah
yang ditempuh
Tidak
sepenuhnya
mampu
menjelaskan
langkah-langkah
yang ditempuh
Tidak mampu
menjelasakan
langkah-langkah
yang ditempuh
Dikarena setiap siswa memilki gaya tersendiri dalam
belajar, maka guru juga perlu memperhatikan gaya belajar yang
dimiliki siswanya. Hal ini akan memberikan pertimbangan yang
lebih baik lagi bagi guru untuk memilih cara pengajaran yang
akan digunakan dalam menyampaiakn materi untuk melatih
kemampuan berpikir siswa menuju higher order thinking skill
yang notabennya belum terlalu akrab dengan siswa. Oleh karena
itu, dalam penelitian ini diambil judul “Kemampuan berpikir
Siswa dalam Menyelesaiakn Soal Matematika Tipe HOTS”
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan
kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif yang dilakukan di
Madrasah Tsanawiyah Negeri 4 Trenggalek atau MTsN 4
Trenggalek. Subjek dalam penelitian ini adalah 3 siswa kelas
VIII MTsN 4 Trenggalek tahun ajaran 2018/2019 dengan gaya
belajar visual, audio dan kinestetik yang diperoleh melalui
penyebaran angket.
Teknik pengumpulan pada penelitian ini dengan observasi,
angket, tes, wawancara, dan dokumentasi. Selanjutnya, data
yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan model Miles
dan Huberman, yaitu data reduction (reduksi data), data display
218
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
(penyajian data), dan conclusion (penarikan kesimpulan).15
Untuk menjamin keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan
uji kredibilitas data dengan peningkatan ketekunan dalam
penelitian, triangulasi dan diskusi dengan teman sejawat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
kemampuan berpikir siswa dalam menyelesaikan soal
matematika tipe HOTS. Dalam pembahasan berikut,
pendeskripsian kemampuan berpikir siswa dilakukan
berdasarkan tipe gaya belajar. Sebelum peneliti membahas
lebih lanjut maka akan disajikan instrument sebagai berikut :
Berikut hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil
penelitian sebagai berikut :
KEMAMPUAN BERPIKIR SISWA DENGAN GAYA BELAJAR
VISUAL DALAM MENYELESAIKAN SOAL MATEMATIKA TIPE
HOTS
15 Ibid., hal 337
Setelah makan siang, Ziddan dan Raihan meninggalkan kantin sekolah
menuju kelas mereka masing-masing. Ziddan berjalan 8 meter ke arah
Barat menuju gedung A, sedangkan Raihan berjalan 8 meter ke arah
Selatan menuju gedung B Sesampainya di gedung A, Ziddan harus naik 3
meter, karena kelasnya ada dilantai dua. Suatu ketika karena suatu
kebutuhan, pihak sarana dan prasarana sekolah harus memasang kabel
listrik untuk dihubungkan antar gedung. Jika gedung A tingginya 9 meter
sedangkan gedung B tingginya 5 meter. Hitunglah panjang kabel minimal
yang di butuhkan untuk dipasang lurus dari atap kelas Ziddan ke atap
kelas Raihan !
219
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Hasil jawaban subjek :
Gambar 1.1 Jawaban Subjek Visual
Terkait penjelasan lengkap mengenai kemampuan berpikir
yang dilakukanoleh subjek dapat ditunjukkan sebagai berikut :
1. Subjek mampu mengungkap apa yang diketahui dalam soal
dengan menggambarkan ulang apa yang diketahui tersebut
ke dalam sebuah ilustrasi garis dengan satuan panjangnya
(S1-1). Sebagaimana yang dikatakan oleh Khadijah bahwa
berpikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif
baik long-tern memory. Sehingga berpikir merupakan
S1-1
S2JT1-2
S2JT1-3
S2JT1-4
220
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
sebuah representasi simbol dari beberapa peristiwa.16 Oleh
karena itu dalam memahami permasalahan subjek akan
mampu mengungkapkan dengan benar apa yang diketahui
pada soal.
2. Subjek tidak mengungkapkan apa yang ditanya dalam soal.
Namun dalam pelaksanaan wawancara, subjek mampu
menyampaikan apa yang ditanya dalam soal dengan
kalimatnya sendiri. Sehingga dia paham dengan apa yang
ditanyakan.
3. Subjek menggunakan konsep penyelesaian dengan rumus
Pythagoras (S1-2), (S1-3). Namun pada saat wawancara
subjek tidak mampu menjelaskan bagaiama konsep itu
diyakini mampu menyelesaikan soal, sehingga kemampuan
subjek dengan gaya belajar visual dalam menentukan
konsep penyelesaian soal memang belum terlalu bagus.
Kondisi tersebut memang berkaitan erat dengan
kemampuan seseorang dalam hal menganalisis, dimana
dalam soal tes yang merupakan soal matematika tipe HOTS,
mengharuskan siswa untuk mampu menganalisi informasi
yang ada, dan mentransfer informasi yang ada dari satu
konteks ke konteks lainnya17.
4. Subjek pada proses penyelesaian soal menuliskan terlebih
dahulu suatu kalimat keterangan kemudian menuliskan
nilai-nilai angkanya (S1-4), namun jika di cermati maksud
subjek, kurang bisa di mengerti keterkaitannya dengan
proses yang dia lakukan selanjutnya dan penyelesaian pun
tidak benar.
Sehingga jika dilihat dari indikator kemampuan berpikir,
berdasarkan hasil jawaban tertulis dan wawancara, subjek
termasuk kedalam kemampuan berpikir semikonseptual dalam
menyelesaikan soal tes.
16 Rohmalia Wahab, Psikologi Belajar, (Palembang: PT. Rajagrafindo Persada,
2015), hal.147. 17 Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian Dan Pengembangan
Kementerianpendidikan dan Kebudayaan, Panduan Penulisan Soal SMP/MTs Tahun 2017, 2017, Hal.45
221
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
KEMAMPUAN BERPIKIR SISWA DENGAN GAYA BELAJAR
AUDITORI DALAM MENYELESAIKAN SOAL MATEMATIKA
TIPE HOTS
Hasil jawaban subjek sebagai berikut :
Gambar 1.2 Jawaban Subjek Auditori
Terkait penjelasan lengkap mengenai kemampuan berpikir
yang dilakukan oleh Subjek dapat ditunjukkan sebagai berikut :
1. Subjek sama sekali tidak menuliskan apa yang diketahui
dalam soal pada lembar jawabannya. Meskipun begitu dari
proses penyelesaian subjek mampu menentukan
penyelesaian atas soal tes dengan benar. Namun ketika
proses wawancara, mereka mampu menyatakan apa saja
yang diketahui dalam soal tes yang diberikan.
P : Tapi kenapa keterangan yang diketahui tadi tidak
kamu tuliskan di dalam lembar jawaban kamu?
S : Hehe… tidak bu, kelamaan nanti menjawabnya
Menurut Bobbi, salah satu ciri gaya belajar auditori
adalah merasa kesulitan dalam menulis, tetapi hebat dalam
bercerita atau lebih pandai mengeja dengan keras daripada
menuliskannya.18 Sehingga benar jika hal demikian terjadi.
2. Subek mampu mengungkapkan apa yang ditanya dalam
soal tes yang diberikan. Mereka mampu mengungkapkan
hal tersebut dalam wawancara yang dilakukan, meskipun
18 Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum Learning Membiasakan Belajar
Nyaman Dan Menyenangkan, ed. oleh Alawiyah Abdurrahman, (Bandung: Mizan Media Utama (MMU), 2015), hal.118
222
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
dalam lembar jawaban yang mereka kerjakan tidak di
temui redaksi kalimat yang menyatakan suatu hal yang
ditanyakan tersebut. Hal ini masih bekaitan erat dengan
kemampuan siswa bergaya belajar auditori dalam
menganalisis yang tergolong dalam kategori cukup baik.
Sehingga siswa dengan gaya belajar auditori mampu
memeriksa dan mengurai informasi yang masuk dan
membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam
bagaian yang lebih sederhana untuk mengenali pola atau
hubungan yang ada, memformulasikan masalah, serta
mengidentifikasikan atau merumuskan pertanyaan.19
3. Subjek mampu menentukan konsep penyelesaian soal
yang diberikan. Meskipun tidak tertuliskan dengan
struktur tulisan yang rapi pada lembar jawaban mereka,
namun dapat diketahui bahwa algoritma matematika yang
mereka gunakan untuk menyelesaikan soal tes yang
diberikan tersebut merupakan penerapan langsung dari
konsep suatu materi yang telah dipelajari, yakni pencarian
sisi miring pada suatu segitiga siku-siku dengan
menggunakan rumus phyhagoras.
4. Menjelaskan langkah-langkah yang ditempuh dalam
menyelesaiakan soal
Meskipun pada lembar jawaban yang mereka tuliska
tidak dapat kita ketahui dengan jelas langkah penyelesaian
yang dilakukannya tersebut. Dimungkinkan karena
memang sifat gaya belajar siswa dengan auditori ini
menurut DePoerter terbilang kurang mampu dalam
menulis, namun hebat dalam bercerita.20
Sehingga jika dilihat dari indikator kemampuan
berpikir, berdasarkan hasil jawaban tertulis dan
wawancara, subjek termasuk kedalam kemampuan
berpikir konseptual dalam menyelesaikan soal tes.
19 Purbaningrum, “Kemampuan Berpikir…,”hal.46 20 DePorter dan Hernacki, Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman Dan
Menyenangkan.,hal.118
223
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
KEMAMPUAN BERPIKIR SISWA DENGAN GAYA BELAJAR
KINESTETIK DALAM MENYELESAIKAN SOAL MATEMATIKA
TIPE HOTS
Hasil jawaban subjek sebagai berikut :
Gambar 1.3 Jawaban Subjek Kinestetik
Terkait penjelasan lengkap mengenai kemampuan berpikir
yang dilakukan oleh Subjek dapat ditunjukkan sebagai berikut :
1. Subjek mampu dalam mengungkap apa yang diketahui
dalam soal. Namun hal tersebut mereka wujudkan dalam
224
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
sebuah gambar ilustrasi yang dimaksudkan akan mampu
mewakili apa yang mereka pahami dan mereka ketahui
dalam soal. Meskipun begitu dari hasil ilustrasi gambar
yang mereka buat, juga tidak menyalahi apa yang diketahui
dalam soal. Sehingga melalui gambar ilustrasi yang mereka
buat, masih mampu mewakili apa yang diketahui dalam
soal. Hal ini terjadi karena ketika seseorang memikirkan
sesuatu berarti ia mengarahkan diri pada objek tertentu,
menyadari kehadirannya seraya secara aktif
menghadirkannya dalam pikiran kemudian mempunyai
gagasan atau wawasan tentang objek tersebut.21 Wujud
dari gambar ilustrasi tersebutlah yang mungkin juga
sebagai wujud apa yang mereka pikirkan terhadap soal tes
yang diberikan.
2. Subjek mampu mengungkapkan apa yang ditanyakan
dalam soal dengan bahasa dan cara mereka sendiri.
Kemampuan ini masih berkitan erat dengan kemampuan
siswa dalam menganalisis soal tes yang diberikan.
Kemampuan menganalisis adalah kemampuan dalam
memeriksa dan mengurai informasi yang masuk dan
membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam
bagaian yang lebih sederhana untuk mengenali pola atau
hubungan yang ada, memformulasikan masalah, serta
mengidentifikasikan atau merumuskan pertanyaan.22
Dengan dimililikinya kemampuan menganalisis yang
tergolong cukup, siswa dengan gaya belajar kinestetik ini
masih mampu mengungkapkan apa yang yang ditanyakan
dalam soal dengan benar
3. Subjek mampu menentukan konsep penyelesaian terhadap
soal tes yang diberikan. Konsep penyelesaian soal tersebut
mampu mereka ungkapkan saat peneliti menanyakan hal
tersebut pada mereka dalam kegiatana wawancara. Karena
dari jawaban yang mereka tuliskan tidak semuanya dapat
diketahui konsep penyelesaian yang telah digunakannya.
21 Ibid.,hal.123. 22 Ibid.,hal.46.
225
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Dalam lembar jawaban tersebut, subjek dengan gaya
belajar kinestetik ini, banyak menuliskan dan
menggambarakan suatu ilustrasi gambar yang disertai
keterangan pendukungnya, sehingga algoritma matematika
yang dituliskannya tidak akan mampu sepenuhnya
mewakili konsep penyelesaian yang di maksudkannya. Hal
ini tidak salah, karena dalam kegiatan berpikir menurut
Ahmadi dan Widodo adalah daya jiwa yang dapat
meletakkan hubungan-hubungan antara pengetahuan
kita.23 Dan apa yang dilakukan oleh kedua subjek dalam hal
menentukan konsep penyelesaian yang mereka buat
tersebut, dimungkinkan juga berasal dari apa yang telah
mereka pahami dan ketahui sebelumnya.
4. Subjek mampu menjelaskan langkah-langkah penyelesaian
dengan benar. Mereka menjelaskan detail langkah
penyelesaian yang mereka kerjakan dalam wawancara
dengan peneliti, sehingga dari tulisan di lembar jawaban
yang mereka telah tulis sebelumnya mampu mereka
jelaskan alur penyelesaiannya dengan baik. Kemampuan ini
diyakini dapat terjadi ketika siswa memiliki kemampuan
menganalisis dan mengevaluasi dengan baik.
Sehingga jika dilihat dari indikator kemampuan berpikir,
berdasarkan hasil jawaban tertulis dan wawancara, subjek
termasuk kedalam kemampuan berpikir konseptual dalam
menyelesaikan soal tes
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah
dilakukan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Kemampuan berpikir siswa dengan gaya belajar visual
memiliki kecenderungan pada indikator kemampuan
berpikir semi konseptual, yakni (a) mampu
mengungkapkan apa yang diketahui dalam soal dengan
kalimatnya sendiri (b) kurang mampu mengungkapkan apa
23 Wahab, Psikologi Belajar.,hal.147
226
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
yang ditanya dalam soal dengan kalimatnya sendiri (c)
kurang mampu menentukan konsep penyelesaian soal dan
(d) kurang mampu dalam menjelaskan langkah-langkah
yang ditempuh dalam menyelesaikan soal.
2. Kemampuan berpikir siswa dengan gaya belajar auditori
memiliki kecenderungan pada indikator kemampuan
berpikir konseptual, yakni (a) mampu mengungkapkan apa
yang diketahui dalam soal dengan kalimatnya sendiri (b)
mampu mengungkapkan apa yang ditanya dalam soal
dengan kalimatnya sendiri (c) mampu menentukan konsep
penyelesaian soal dan (d) mampu dalam menjelaskan
langkah-langkah yang ditempuh dalam menyelesaikan soal.
3. Kemampuan berpikir siswa dengan gaya belajar kinestetik
memiliki kecenderungan pada indikator kemampuan
berpikir konseptual, yakni (a) mampu mengungkapkan apa
yang diketahui dalam soal dengan kalimatnya sendiri (b)
mampu mengungkapkan apa yang ditanya dalam soal
dengan kalimatnya sendiri (c) mampu menentukan konsep
penyelesaian soal dan (d) mampu dalam menjelaskan
langkah-langkah yang ditempuh dalam menyelesaikan soal.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah
dilakukan, maka peneliti memberikan saran sebagai berikut :
1. Bagi Guru
Diharapkan guru lebih peka dalam memberikan
pembelajaran kepada siswa dimana dalam satu kelas tersebut,
terdapat beragam tipe belajar siswa yang kesemuanya berhak
untuk menjadi pandai dan pintar, maka guru sebagai mediator
dan fasilitator alangkah lebih baiknya mampu memberikan dan
menyampaiakan materi dengan tidak hanya menguntungkan
salah satu tipe gaya belajar siswa, namun bisa merangkul semua
tipe gaya belajar siswa. Sehingga hasil pembelajaran yang
dilakukan akan mampu mengantarkan agar siswa dalam
menguasai materi dengan optimal.
227
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
2. Bagi siswa
Untuk semua siswa yang sedang belajar, belajaralah
sungguh-sungguh dan nikmati prosesnya. Belajaralah
sebagaimana yang engkau suka dan jangan takut akan salah.
Tidak perlu menjadi pribadi seperti orang lain, namun
menjadilah pribadi sebagaimana kamu nyaman menjadi
pribadimu sebenarnya.
3. Bagi sekolah
Diharapkan sekolah mampu memfasilitasi dan melengkapi
sarana dan prasarana pembelajaran agar guru maupun anak
sebagai siswa mampu secara optimal dalam belajar. Selain itu
hal tersebut juga kan berdampak pada citra baik sekolah di
masyarakat karena sekolah mampu memberikan dan
menyediakan sarana dan prasarana pendukung pembelajaran
baik, maka sekolah juga akan mampu menghasilkan dan
mencetak output siswa bagus pula. Karena siswa mampu
mengembangkan diri dengan terfasilitasinya sarana dan
prasarana belajar yang sesuai dengan gaya belajara mereka.
4. Bagi peneliti lain
Diharapkan untuk peneliti selanjutnya yang akan
melakukan penelitian serupa , sebaiknya dalam mengambil tes
tidak hanya sejumlah dua, atau minilal dua karena jika hanya
ada dua, akan masih kurang dalam menganalisis penggolongan
kemampuan berpikir siswa.
228
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
DAFTAR PUSTAKA
A, Komarudin. 2015. “Analisis Tipe Berfikir Dengan Soal Higher
Order Thinking Ditinjau Berdasarkan Kemampuan
Matematika Siswa, Seminar Nasional Matematika Dan
Pendidikan Matematika UNY 2015 PM-139, no. ISBN 978-
602-73403-0-5”.
Astutik, Pipit Puji. 2018. HOTS Berbasis PPK Dalam
Pembelajaran Tematik. Malang: Pustaka Media Guru.
Budiman, Agus dan Jailani. 2014. “Pengembangan Instrumen
Asesmen Higher Order Thinking Skill (HOTS) Pada Mata
Pelajaran Matematika Smp Kelas Viii Semester 1, Jurnal
Riset Pendidikan Matematika 1”. dalam
http://journal.uny.ac.id/index.php/
jrpm/article/view/2671. Diakses tanggal 10 November
2018
DePorter, Bobbi dan Hernacki, Mike. 2015. Quantum Learning
Membiasakan Belajar Nyaman Dan Menyenangkan. Editor
Alawiyah Abdurrahman. Bandung: Mizan Media Utama
(MMU).
Purbaningrum, Kus Andini. 2017. “ Kemampuan Berpikir
Tingkat Tinggi Siswa SMP Dalam Pemecahan Masalah
Matematika Ditinjau Dari Gaya Belajar, Jurnal Penelitian
Dan Pendidikan Matematika 10, no. 2”.
Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2017. Panduan Penulisan Soal SMP/MTs
Tahun 2017.
Subini, Nini. 2011. Rahasia Gaya Belajar Orang Besar.
Yogyakarta: PT. Buku Kita.
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan
Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D). Bandung: Alfabeta.
Wahab, Rohmalia. 2015. Psikologi Belajar. Palembang: PT.
RajagrafindoPersada.
229
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Wardiana, Uswah. 2004. Psikologi Umum. Editor P3M STAIN
Tulungagung. Tulungagung: PT. Bina Ilmu.
Widana, I Wayan. 2017. Modul Penyusunan Higher Order
Thingking Skill (HOTS). Direktorat Pembinaan Sma
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan 2017.
Winarso, Widodo. 2014. “Membangun Kemampuan Berfikir
Matematika Tingkat Tinggi Melalui Pendekatan Induktif,
Deduktif dan Induktif-Deduktif dalam Pembelajaran
Matematika, EduMa 3, no. 2
230
KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL MATEMATIKA
BERSTANDAR PISA DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF FIELD DEPENDENT DAN FIELD INDEPENDENT
Nandaning Tryas Apriliani1, Maryono2
1,2,3Tadris Matematika , FTIK, IAIN Tulungagung
[email protected], [email protected],.
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya nilai PISA
Indonesia khususnya dalam bidang matematika. Soal-soal PISA
khususnya dalam bidang matematika memiliki keterkaitan
dengan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Oleh karena itu,
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
mendeskripsikan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa
dalam menyelesaikan soal matematika berstandar PISA ditinjau
dari gaya kognitif Field Dependent dan Field Independent. Dalam
hal ini, keterampilan berpikir tingkat tinggi meliputi analisis,
evaluasi, dan kreasi. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif-kualitatif. Subjek penelitian dalam penelitian ini
berjumlah 2 siswa kelas 9 MTsN Kanigoro. Teknik analisis data
yang digunakan yaitu reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan. Hasil penelitiannya adalah siswa FD
kurang mampu untuk berpikir tingkat tinggi ketika
menyelesaikan masalah khususnya pada masalah matematika
berstandar PISA. Hal tersebut ditunjukkan dengan lemahnya
kemampuan mereka pada setiap aspek yang ada.
Kata Kunci: Keterampilan berpikir tingkat tinggi, gaya kognitif.
231
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
ABSTRACT
This research is conducted based on the low value of PISA
Indonesia, especially in of mathematics’ field. PISA questions
especially in mathematics’ field have to do with higher-order
thinking skill. Therefore, the purpose of this study is to find out and
describe students' high-level thinking skills in solving PISA-
standard mathematical problems in terms of the Field Dependent
and Field Independent cognitive styles. In this case, higher-order
thinking skills include analysis, evaluation, and creation. This
research is a descriptive-qualitative study. The research subjects
in this study involve 2 students of 9th grade of MTsN Kanigoro.
Data analysis techniques that are used are data reduction, data
presentation, and drawing conclusions. The results of this
research are FD students are less able to think at a high level when
solving problems, especially in PISA-standard mathematical
problems. This is indicated by their weak ability in every aspects.
Keywords: Higher order thinking skill, cognitive style.
PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran dalam
pendidikan formal yang diajarkan secara berkesinambungan
serta bertahap, yakni dari konkrit menjadi abstrak. Tidak
dipungkiri bahwa matematika merupakan salah satu mata
pelajaran yang dianggap sulit oleh kebanyakan siswa. Padahal
matematika merupakan ilmu yang mendasari perkembangan
teknologi modern, sehingga matematika menjadi kebutuhan
universal dalam berbagai disiplin keilmuan yang dapat
mengembangkan pola pikir manusia (Lewy, Zulkardi, & Aisyah,
N., 2009: 14). Tim MKPBM (2001: 20) juga menyatakan bahwa
matematika bukan hanya sarana berpikir, namun matematika
juga mencakup bahasa yakni bahasa matematik yang dapat
melatih manusia untuk berpikir secara logis dan sistematis.
Begitu pentingnya matematika maka pembelajaran
matematika dalam pendidikan formal seharusnya dapat
mengasah siswa dalam menguasai kompetensi dasar
matematika yang sesuai dengan tujuan umum pendidikan
232
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
matematika. Terdapat lima kemampuan dasar matematika yang
termasuk tujuan umum pendidikan matematika yakni
pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan bukti
(reasoning and proof), komunikasi (communication), koneksi
(connections), dan representasi (representation) (NCTM, 2000).
Mengembangkan program pendidikan yang berfokus pada
keterampilan berpikir merupakan salah satu cara yang dapat
dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan matematika.
Marpaung (dalam Darminto, 2008: 36) menyatakan bahwa
berpikir merupakan suatu aktivitas yang dimulai dari
mengumpulkan informasi, mengolah, menyimpan dan
memanggil kembali informasi dari ingatan siswa. Oleh karena
itu berpikir merupakan suatu proses yang kompleks yang
diawali dari penemuan, pengolahan, serta kesimpulan (Amalia,
2013: 5).
Konsep matematika mengajarkan cara berpikir sistematis,
logis, dan tersusun secara terstruktur dan hierarkis, menjadikan
siswa harus memiliki keterampilan berpikir matematika yang
baik dalam menyelesaikan masalah matematika. Keterampilan
berpikir yang harus dikuasai siswa dalam mempelajari
matematika adalah keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Keterampilan berpikir tingkat tinggi harus terus dikembangkan
dalam proses pembelajaran (Permansari, 2013:4). Secara
substansial, matematika merupakan salah satu mata pelajaran
yang mampu mengembangkan keterampilan berpikir terutama
keterampilan berpikir tingkat tinggi (Amalia, 2013:7). Menurut
(Shadiq, 2014: 11) keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa
belum dimanfaatkan dalam pembelajaran matematika.
Seringkali pembelajaran matematika lebih fokus pada
keterampilan prosedural, pembelajaran yang berpusat pada
guru, pembelajaran yang monoton, low order thinking skill, dan
didominasi oleh soal-soal rutin (Brookhart, 2010).
Dewanto (2004) mengungkapkan bahwa keterampilan
berpikir tingkat tinggi adalah suatu kapasitas di atas informasi
yang diberikan, dengan sikap yang kritis untuk mengevaluasi,
mempunyai kesadaran (awereness) metakognitif dan memiliki
233
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
kemampuan pemecahan masalah. Stein dan Lane (dalam
Thompson, 2008: 97) menyatakan bahwa keterampilan
berpikir matematis tingkat tinggi menggunakan pemikiran yang
kompleks, non-algoritmik untuk menyelesaikan suatu masalah
yang tidak dapat diprediksi, menggunakan pendekatan yang
berbeda dengan tugas yang telah ada atau contoh latihan.
Anderson & Krathwohl (2001) menyakatakan bahwa indikator
untuk mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi meliputi
analyzing, evaluating, dan creating.
Soal-soal rutin yang diberikan dalam proses pembelajaran
matematika menjadikan siswa hanya berpikir dengan low order
thinking skill. Siswa menjadi tidak terbiasa dengan soal-soal
yang membutuhkan penalaran tinggi. PISA merupakan studi
internasional yang digunakan untuk mengukur keterampilan
berpikir siswa rentang usia 15 tahun yang diselenggarakan oleh
Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD) (Kurniati, Harimukti, & Jamil, 2016: 143). Soal PISA
merupakan soal-soal yang membutuhkan keterampilan analisis,
evaluasi, kreasi dan penalaran yang tinggi dalam
menyelesaikannya. Selain itu, soal PISA menuntut siswa untuk
dapat menerapkan suatu konsep dalam berbagai macam
pemecahan masalah (Kurniati, Harimukti, & Jamil, 2016: 144).
Pemberian soal-soal matematika berstandar PISA dalam proses
pembelajaran matematika dapat meningkatkan keterampilan
berpikir tingkat tinggi siswa (Setiawan, Dafik, & Lestari, 2014:
250). Selain itu, pemberian soal berstandar PISA juga dapat
meningkatkan keterampilan pemecahan masalah.
Setiap orang memiliki cara yang berbeda-beda dalam
menyelesaikan masalah, terutama masalah matematika.
Menurut Ardana (2007), setiap individu memiliki cara-cara
khusus dalam menyelesaikan masalah. Sehingga mereka
memiliki ciri khas dari masing-masing individu. Perbedaan cara
penyelesaian masalah dapat dilihat dari tipe-tipe kognitif atau
gaya kognitif setiap individu. Gaya kognitif inilah yang
digunakan seseorang untuk mengenali informasi, untuk
memproses, menyimpan maupun untuk menanggapi suatu
234
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
masalah. Perbedaan mendasar dalam melihat suatu
permasalahan dapat dilihat pada gaya kognitif Field Dependent-
Field Independent ( Lewy, Zulkardi, & Aisyah, N., 2009: 15).
Menurut Witkin, dkk., (1977), gaya kognitif dibagi ke dalam
dua tipe, yaitu field dependent (FD) dan field independent (FI).
Individu dengan gaya kognitif FD memandang sesuatu secara
global dan sulit memisahkan bagian-bagian dari suatu masalah
sehingga memiliki kemampuan analisis yang lebih lemah
dibandingkan individu dengan gaya kognitif FI (Khatib &
Hosseinpur, 2011: 641). Sementara itu, individu dengan gaya
kognitif FI melihat bagian-bagian secara terpisah sehingga
memiliki kemampuan analisis yang kuat (Khatib & Hosseinpur,
2011: 641). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Ngilawajan (2013) dapat disimpulkan bahwa gaya kognitif FI
dan FD mempengaruhi cara pandang siswa terhadap suatu
masalah matematis. Ngilawajan (2013) menyimpulkan bahwa
siswa bergaya kognitif FI cenderung lebih analitis dalam
memandang suatu masalah matematis jika dibandingkan
dengan siswa bergaya FD. Gaya kognitif tidak hanya
mempengaruhi cara pandang siswa terhadap suatu masalah,
tetapi juga keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa.
Dalam penelitian ini, keterampilan berpikir tingkat tinggi
siswa dalam menyelesaikan soal matematika berstandar PISA
dianalisis dengan memperhatikan gaya kognitif siswa yaitu gaya
kognitif field dependent dan field independent. Adapun indikator
keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam penelitian ini adalah
sebagaimana Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Indikator Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
Indikator 1: Menganalisis (Analyzing)
Siswa mampu memeriksa dan mengurai informasi secara tepat
Siswa mampu mengidentifikasi/merumuskan masalah
Indikator 2: Mengevaluasi (Evaluating)
Siswa memberikan langkah penyelesaian dengan tepat
Siswa mampu menilai, menyangkal, ataupun mendukung suatu gagasan
235
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
menggunakan kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya.
Siswa mampu membuat hipotesis, mengkritik, dan melakukan pengujian.
Siswa mampu menerima atau menolak suatu pernyataan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
Indikator 3: Mengkreasi (Creating)
Siswa mampu membuat generalisasi suatu ide atau cara pandang terhadap sesuatu
Siswa mampu merancang suatu cara untuk menyelesaikan masalah atau memadukan informasi menjadi strategi yang tepat
Modifikasi dari sumber: (Prasetyani, 2016:34-35)
Berdasarkan uraian sebelumnya, dijelaskan bahwa
keterampilan berpikir tingkat tinggi diperlukan dalam
pembelajaran matematika khususnya dalam hal pemecahan
masalah dan keterkaitan gaya kognitif yang dimiliki siswa
dengan keterampilan berpikir tingkat tinggi, maka peneliti akan
mengangkat judul “Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
Siswa dalam Menyelesaikan Soal Matematika Berstandar
PISA Ditinjau dari Gaya Kognitif Field Dependent dan Field
Independent”.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. Hal tersebut dikarenakan peneliti akan
menggunakan data berupa kata-kata tertulis dan lisan dari
subjek yang akan diamati.
236
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Jenis penelitian di dalam penelitian ini adalah deskriptif.
Hal ini disebabkan peneliti ini akan menguraikan semua fakta
baik lisan maupun tulisan dari subjek penelitian secara jelas dan
ringkas sehingga mampu menangkap keterampilan berpikir
tingkat tinggi siswa bergaya kognitif field dependent (FD) dan
field independent (FI) ketika menyelesaikan soal matematika
berstandar PISA. Lokasi penelitian adalah MTsN 2 Kediri yang
terletak di Jalan Raya Kanigoro, Kecamatan Kras, Kabupaten
Kediri. Adapun langkah-langkah penelitian sebagaimana
ditunjukkan Gambar 1.
Gambar 1. Langkah-langkah Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari 26 siswa kelas 9B MTsN 2 Kediri yang mengikuti tes
GEFT, terdapat 12 siswa bergaya kognitif FD, 3 siswa bergaya
kognitif cenderung FD, 5 siswa bergaya kognitif cenderung FI,
dan 6 siswa bergaya kognitif FI. Maka diambil 1 siswa bergaya
kognitif FD dan 1 siswa bergaya kognitif FI sebagai subjek
penelitian dalam penelitian ini. Selain dari hasil tes GEFT,
pemilihan subjek juga didasarkan pada hasil wawancara dengan
guru matematika. Hasil Tes GEFT dan pemilihan subjek
penelitian disajikan dalam Tabel 1 berikut:
237
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Tabel 1. Subjek dalam Penelitian
No. Nama Gaya Kognitif
1. Bima Dzunurraini FI
2. Sabrina Wulandari FD
Setelah dilakukan pemilihan subjek berdasarkan hasil tes
dan wawancara dengan guru matematika, maka selanjutnya
akan diberikan tes yang mengukur keterampilan berpikir
tingkat tinggi. Berikut ini akan disajikan paparan hasil tes
keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa dalam
menyelesaikan soal matematika berstandar PISA.
Paparan Data Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Subjek
1 (S1)
Dalam hal ini S1 adalah siswa bergaya kognitif FI. Pada
kriteria menganalisis, yakni mulai dari S1 memahami masalah.
Subjek S1 menuliskan hal yang diketahui pada soal seperti yang
disajikan pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2. Informasi yang Diketahui pada Soal Menurut S1
Pada saat wawancara, S1 juga memperjelas informasi yang
dipahami dari soal yaitu mengenai dua tugu dengan tinggi
berbeda sebagaimana kutipan berikut.
”Soal nomor 1 itu kan ada 2 gambar, tugu I dan tugu II yang dibentuk dari beberapa segienam dan persegi. Dimana tugu I itu tingginya 57 meter, dan tugu II tingginya 69 meter. Terus persegi dan segienamnya pada masing-masing tugu itu kongruen”.
238
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
S1 juga menjelaskan pengertian dari kongruen yang
terdapat dalam soal dengan tepat yaitu semua bentuk persegi
memiliki ukuran yang sama dan semua bentuk segienam
memiliki ukuran yang sama. Hal tersebut dijelaskan dalam
kutipan wawancara berikut, “Bisa dijelaskan maksudnya
kongruen pada bangun yang membentuk kedua tugu tersebut?”,
”ya jadi perseginya itu sama kak. Sisinya sama. Segienamnya juga
gitu”.
Selain itu, S1 menuliskan hal yang ditanyakan dalam soal
yaitu mungkinkah membuat tugu 61 meter menggunakan
persegi dan segienam sebagaimana disajikan pada Gambar 3
dan diperjelas dengan kutipan wawancara berikut.
Gambar 3. Hal yang Ditanyakan Pada Soal Menurut S1
“Terus yang ditanyakan apa dari situ?”, ”Pada soal ini ditanyakan, apakah mungkin menentukan banyaknya bentuk persegi dan segienam untuk membuat tugu setinggi 61 meter?”.
Pada kriteria analisis dan evaluasi, yakni S1
mengemukakan strategi dan kesimpulan. Strategi awal S1 untuk
menyelesaikan soal adalah dengan terlebih dahulu menemukan
tinggi persegi dan segienam sebagaimana disajikan dalam
kutipan berikut, “Terus, strategi yang pertama kamu lakukan
apa biar bisa menentukan banyaknya persegi dan segienam?”,
“menentukan tinggi persegi dan segienam, kak.”.
Berdasarkan strategi tersebut, S1 membuat pemisalan.
Akan tetapi S1 salah dalam menuliskan pemisalan seperti yang
ditunjukkan pada hasil pekerjaannya pada Gambar 4 berikut.
Gambar 4. Pemisalan S1 mengenai tinggi persegi dan
segienam
239
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Setelah dikonfirmasi oleh peneliti melalui wawancara, S1
mengatakan bahwa pemisalan yang dimaksud adalah tinggi
persegi dan tinggi segienam. “ok, berarti strategi pertamamu
seperti itu ya. Bentar, dari pemisalanmu tadi gambar segiempat
samadengan 𝑥 dan gambar segienam samadengan 𝑦. Maksudnya
apa?”
S1 kemudian membuat persamaan untuk tinggi tugu I yaitu
3𝑥 + 5𝑦 = 57 dan tinggi tugu II yaitu 5𝑥 + 4𝑦 = 69, sekaligus
menggunakan metode eliminasi dan substitusi (metode
campuran) dalam mencari nilai 𝑥 dan nilai 𝑦. S1 terlebih dulu
mengalikan 3𝑥 + 5𝑦 = 57 dengan 5 dan 5𝑥 + 4𝑦 = 69 dengan 3
seperti pada Gambar 5.
Gambar 5. Pemodelan sekaligus metode eliminasi 𝒙 oleh
S1
S1 lalu mensubstitusikan nilai tersebut ke variabel 𝑦 yang
terdapat pada persamaan 5𝑥 + 4𝑦 = 69, sehingga diperoleh 𝑥 =
9. Langkah pengerjaan tersebut disajikan pada Gambar 6 dan
melalui kutipan wawancara berikut.
Gambar 6. Metode Substitusi oleh S1
240
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
“Kan nilai x nya sudah ketemu ya kak, yaitu x=9, jadi langkah selanjutnya adalah disubstitusikan ke salah satupersamaan. Kalau aku pakai persamaan 5𝑥 + 4𝑦 = 69”.
S1 lalu menyimpulkan bahwa tinggi persegi adalah 9 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟
dan tinggi segienam adalah 6 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 sesuai dengan hasil
pekerjaannya pada gambar 7 berikut.
Gambar 7. Kesimpulan S1 Mengenai Tinggi Segienam dan
Tinggi Persegi
“Jadi kesimpulannya ya tinggi dari segienam itu 6 meter, tinggi dari persegi 9 meter”
Setelah membuat kesimpulan mengenai tinggi segienam
dan tinggi persegi, S1 lalu mencari banyaknya segienam dan
persegi dengan menggunakan cara coba-coba dan disinilah
aspek kreasi muncul, sebagaimana pada pekerjaannya pada
gambar 8 berikut.
Gambar 8. Cara coba-coba yang dilakukan S1 untuk Mecari
Kemungkinan Membuat Tugu 61m
241
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Cara coba-coba yang dilakukan S1 adalah dengan membuat
beberapa kemungkinan tugu yang memiliki tinggi 61 meter.
Kemungkinan tersebut dengan mencoba membuat tugu dari
beberapa pesegi dan segienam yang jika dijumlahkan akan
menghasilkan 61 meter. Kesimpuan akhir tentang mungkin atau
tidaknya dibuat tugu setinggi 61 meter tidak tampak pada
pekerjaan S1, namun pernyataan “Tidak Mungkin” muncul saat
dilakukan wawancara.
Paparan Data Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
Subjek 2
Pada aspek analisis, S2 kurang memahami masalah. S2
menyebutkan hal yang diketahui yaitu mengenai tinggi dua tugu
seperti yang disajikan pada Gambar 9 dan hasil wawancara
berikut.
Gambar 9. Informasi pada Soal Menurut S2
“Ok, silahkan diceritakan informasi apa saja yang ada pada soal!”, “Tinggi tugu I 57 meter, yang tinggi II 69 meter. Bentuk persegi pada tugu I dengan persegi pada tugu II, bentuk segienam pada tugu I kongruen dengan segienam di tugu II”.
Berdasarkan kutipan wawancara berikut, S2 kurang
memahami istilah kongruen yang terdapat dalam soal. S2
mengatakan bahwa kongruen berarti semua persegi dan
segienam sama, termasuk tingginya. “kalau kongruen itu apapun
bentuknya entah persegi atau segienam pasti sama kak”.
S2 tidak menuliskan hal apa yang ditanyakan dalam
pekerjaannya, tetapi S2 bisa menyebutkan hal yang ditanyakan
melalui wawancara, yaitu banyaknya persegi dan segienam
untuk membuat tugu 61 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟. “Terus apa yang ditanyakan? ”,
“Banyaknya bentuk persegi sama segienam yang diperlukan
dalam membuat tugu setinggi 61”.
242
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Pada kriteria analisis dan evaluasi, S2 mengutarakan
strategi dan kesimpulannya. S2 langsung menggunakan tugu I
dan tugu II untuk membuat tugu setinggi 61 meter. Strategi ini
disajikan dalam kutipan pekerjaannya pada Gambar 10.
Gambar 10. Strategi S2 dalam Membuat Tugu 61 meter
“Kan tugu I sama tugu II bentuknya semua kongruen. Ini 61 berarti kan di tengah-tengahnya to. Kalau dipotong berarti ga kongsuen”, “Lalu aku mikirnya kalau ditambah 1 persegi atau 1 segienam tingginya sama kayak tugu II”
S2 menjelaskan bahwa dari tugu I, dia akan menambahkan bangun segienam atau persegi agar tingginya 61 meter. Akan tetapi, ia memutuskan bahwa hal tersebut tidak bisa dilakukan karena jika ditambahkan satu persegi atau satu segienam maka tingginya akan menjadi 69 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟, bukan 61 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟. Akan tetapi, S2 memutuskan bahwa hal tersebut juga tidak dapat dilakukan karena jika dikurangi satu segienam atau satu persegi saja tingginya akan menjadi 57 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟. Berdasarkan cara tersebut, tampak bahwa S3 mengabaikan tinggi persegi dan segienam.
Pada aspek kreasi, S2 mengutarakan strategi dari pengambilan keputusannya. S2 mengutarakan bahwa jika 1 bangun penyusun ditambahkan ke tugu I, maka akan terdapat 9 bangun penyususn di tugu I, sehingga tingginya akan sama dengan tugu II yang juga memiliki 9 bangun penyusun, yaitu 69 meter. S2 mengungkapkan bahwa tinggi 69 meter tidak bisa dikurangi menjadi 61 meter dikarenakan jika dikurangi, maka bangun penyusun harus dipotong. Hal tersebut akan menyebabkan bangun penyusun tidak kongruen. S2 juga mengutarakan bahwa jika bangun penyusun dikurangi atau dihilangkan dari tugu II, maka akan terdapat 8 bangun
243
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
penyusun di tugu II, sehingga tingginya akan sama dengan tugu I yang juga memiliki 8 bangun penyusun, yaitu 57 meter. Berdasarkan cara tersebut tampak bahwa S3 mengabaikan tinggi persegi dan segienam.
Berdasarkan hasil pembahasan tersebut, pada setiap aspek berpikir tingkat tinggi, terdapat perbedaan-perbedaan fundamental dari siswa FI dan FD yang berasal dari karakteristiknya. Karakteristik yang sangat berpengaruh terhadap kualitas berpikir tingkat tinggi siswa FI dan FD adalah kemampuan analisisnya terhadap suatu masalah. Kemampuan analisis FI cenderung lebih baik, dikarenakan mampu memisahkan masalah dari konteksnya. Sementara kemampuan analisis FD cenderung rendah, dikarenakan FD memandang suatu masalah secara global. Hal tersebut mengakibatkan FI dapat lebih banyak menyerap informasi dan mengubah strukturnya agar lebih mudah digunakan untuk menyelesaikan masalah dibandingkan siswa FD.
Dalam aspek evaluasi, siswa FI memberikan strategi pengerjaan yang lebih tepat dibandingkan siswa FD. Selain itu, siswa FI juga mampu memberikan alasan berdasarkan fakta dan bukti yang relevan. Hal ini berbeda dengan siswa FD yang sebagian alasannya tidak berdasarkan fakta dan bukti yang logis.
Berdasarkan aspek kreasi, siswa FI mampu merancang suatu cara atau cara untuk menyelesaikan masalah atau memadukan informasi menjadi strategi yang tepat. Selain itu siswa FI mampu menggunakan situasi dalam soal dengan lebih baik daripada siswa FD. Penjelasan yang diberikan siswa FI cenderung lebih jelas dan lebih analitis dibandingkan siswa FD.
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan pada setiap aspek tersebut, dapat
disimpulkan bahwa siswa FD kurang mampu untuk berpikir
tingkat tinggi ketika menyelesaikan masalah khususnya pada
masalah matematika berstandar PISA. Hal tersebut ditunjukkan
dengan lemahnya kemampuan mereka pada setiap aspek yang
ada.
244
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
DAFTAR RUJUKAN
Amalia, R. (2013). Penerapan Model Pembelajaran Pembuktian Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa SMA. Jurnal Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (2001). A Taxonomy Forlearning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. New York: Addison Valley.
Brookhart, S. M. (2010). How to Assess Higher Order Thinking Skills in Your Classroom. Alexandria: ASCD.
Darminto, B. P. (2008). Studi Perbandingan Model-Model Pembelajaran Berbasis Komputer dalam Peningkatan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Calon Guru di Perguruan Tinggi Muhammadiyah.
Dewanto, S. (2004). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Induktif-Deduktif. Tesis PPS UPI Bandung.
Khatib, M., & Hosseinpur, R. M. (2011). On the Validity of the Group Embedded Figure Test (GEFT). Journal of Language Teaching and Research, 2(3), 640–648.
Kurniati, D., Harimukti, R., & Jamil, N. A. (2016). Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa SMP di Kabupaten Jember dalam Menyelesaikan Soal Berstandar PISA. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 20(2), 142–155. Diambil dari http://journal.uny.ac.id/index.php/jpep
Lewy, Zulkardi, & Aisyah, N. (2009). Pengembangan Soal Untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Pokok Bahasan Barisan dan Deret Bilangan di Kelas IX Akselerasi SMP Xaverius Maria Palembang. Jurnal Pendidikan Matematika, 3(2), 15–28.
NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: THe National Council of Teacher of Mathematics.
245
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Ngilawajan, D. A. (2013). Proses Berpikir Siswa SMA dalam Memecahkan Masalah Matematika Materi Turunan Ditinjau dari Gaya Kognitif Field Dependent dan Field Independent. Pedagogia, 2(1), 71–83.
Ngilawajan, D. A. (2013). Proses Berpikir Siswa SMA dalam
Memecahkan Masalah Matematika Materi Turunan
Ditinjau dari Gaya Kognitif Field Independent dan Field
Dependent. Jurnal Pedagogia, 2(1), 71–83.
Permansari, V. (2013). Efektivitas Pendekatan Pembelajaran
Open-Ended terhadap Kemampuan Berpikir Matematis
Siswa pada Materi Trigonometri Ditinjau dari Kreativitas
Belajar Matematika Siswa. Jurnal Pendidikan Matematika
Solusi, 1(1), 1–7.
Setiawan, H., Dafik, & Lestari, N. D. S. (2014). Soal Matematika
dalam PISA Kaitannya dengan Literasi Matematika dan
Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi. In Prosiding
Seminar Nasional Matematika, Universitas Jember.
Shadiq, F. (2014). Pembelajaran Matematika: Cara
Meningkatkan Kemampuan Berpikir Siswa. Jurnal Tekno-
Pedagogi, 1(2), 3–7.
Thompson, T. (2008). Mathematics Teachers’ Interpretation of
Higher-Order Thingking In Bloom’s Taxonomy.
International Electric Journal of Mathematics Education,
3(2), 96–109.
Tim MKPBM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika
FPMIPA UPI.
Witkin, H. A., Moore, C. A., Goodenough, D. R., & Cox, P. W. (1977).
Field Dependent and Field Independent Cognitive Styles
and Their Educational Implications. Review of Educational
Research, 47(1), 1–64.
246
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
PENGEMBANGAN KONSEP MATHETHNIC GAME BERBENTUK CONGLAK GO PADA PELAJARAN
TRANSFORMASI TITIK
Mochammad Yunus Erlangga1, Mochammad Darwis2 1Program Studi Pendidikan Matematika,
STKIP Al-Hikmah, Surabaya 2Program Studi Elektro Industri,
Politeknik Elektronika Negeri Surabaya
e-mail: [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Kurangnya media pembelajaran yang baik dan menarik, terkadang membuat Matematika menjadi momok bagi kebanyakan siswa karena dianggap sulit untuk dipahami. Seorang calon pengajar harus memulai dan membiasakan membuat inovasi media pembelajaran sehingga membantu meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang sulit. Penelitian kali ini akan membahas tentang penciptaan sebuah inovasi media pembelajaran dengan konsep MathEthnic Game yang dibuat dari permainan tradisional untuk membantu pemahaman siswa terhadap sebuah materi pelajaran Matematika. Kemudian dianalisa apakah inovasinya dapat diterapkan di kelas atau tidak. Penelitian ini menghasilkan produk Dakon Go. Sebagai pengembangan permainan dakon atau conglak untuk membantu pemahaman sub mata pelajaran Transformasi titik pada kelas 9. Dakon Go dikonsep bahwa pemain harus dapat berkelana dari titik awal sampai titik keluar arena. Jenis pergerakan dan jumlah langkahnya didapatkan dari kejadian yang terjadi pada saat pemain Dakon mendapatkan momen penembakan, Yang mana
247
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
pemain akan mendapatkan beberapa biji yang berada di lubang lawan untuk dimasukkan ke dalam lubang besar miliknya. Setelah diperkenalkan dan disosialisaikan, diberikan angket kepada 300 siswa. 230 siswa mengapresiasi dengan baik, 36 siswa mengapresiasi biasa dan 14 siswa mengapresiasi kurang. Ini menjadi bukti bahwa inovasi berjalan baik dengan persentasi sebesar 76,67 persen.
Kata Kunci: Game, MathEthnic, Dakon, Transformasi Titik.
ABSTRACT
Lack of good and interesting learning media, makes Mathematics a scourge for most students because it is considered difficult to understand. A prospective teacher must start and get used to innovating learning media so as to facilitate student understanding the subject. This research will discuss about creating an innovative learning media with the concept of MathEthnic Game which is improved from traditional games to help the students understanding of Mathematics subject. Then analyzed whether the innovation can be applied in a class or not. It resulted Dakon Go. It help to understand the Transformation of points subject in 9th class. Each players must be able to wander from the starting point to the exit point of the arena. The type of movement and the number of steps obtained from the event that occurs when the player gets the moment of shooting, in which the player will get some seeds in the opponent's hole to put into his big hole. After being introduced and socialized, a questionnaire was given to 300 students. 230 students appreciated it well, 36 students appreciated normal and 14 students appreciated it less. This is proof that innovation is going well with a number of 76.67 percent.
Keywords: Game, MathEthnic, Dakon, Point Transformation.
PENDAHULUAN
Kemajuan jaman dan teknologi sudah menggeser dan
merubah gaya hidup dan cara berinteraksi seseorang dengan
orang yang lain. Bermain adalah salah satu wujud interaksi
sosial manusia. Bermain lebih sering dilakukan oleh anak-anak
daripada orang dewasa. Karena anak-anak mempunyai banyak
248
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
waktu luang dan belum memiliki tanggung jawab yang masih
sederhana. Kalau pada jaman dahulu, bermain dilakukan oleh
lebih dari satu orang, lebih banyak aktifitas fisiknya dan
dilakukan pada tempat yang sama. Saat ini, permainan tetap
dilakukan bersama-sama namun menggunakan media gawai
(gadget) dan internet. Meskipun, tidak terjadi interaksi secara
langsung antar sesamanya dan tidak berada ditempat yang
sama, tapi mereka dapat terhubung satu dengan yang lain. Inilah
fenomena yang disebut dengan dunia maya.
Gambar 1. Maraknya game online di ponsel yang
digandrungi oleh berbagai lapisan usia khususnya anak-
anak dan remaja
Masalah mulai muncul. Kebiasaan memainkan game ini
akan membawa banyak efek negatif tertutama kepada anak-
anak dan remaja. Kemampuan motorik menurun, karena kurang
gerak. Memainkan online dengan durasi waktu yang lama, akan
menurunkan kemampuan mata. Jarak pandang yang terlalu
dekat secara terus menerus, akan menyebabkan mata tidak bisa
menjadi fleksible untuk melihat benda yang berjarak jauh. Anak
akan cenderung memiliki gangguan mata minus dan silinder.
Karena hanya duduk diam selama waktu yang lama dan tubuh
yang kurang atau tidak bergerak akan mengalami berbagai
masalah kesehatan.
Masalah yang lainnya adalah konten atau isi game yang
cenderung berisi kekerasan dan ledakan, membuat anak
menjadi tempramental dan suka merusak sesuatu.Tidak
mempunyai sifat kasih sayang dan toleransi antar sesama. Hal-
hal negatif yang seharusnya tidak boleh dimiliki oleh generasi
penerus bangsa.
Dengan semakin maraknya game online, permainan
tradiosional yang memiliki banyak hal positif dan membawa
249
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
nilai-nilai luhur karaker bangsa menjadi terlupakan dan lama-
lama akan hilang. Hal ini harus dihindarkan.
Ada beberapa siswa yang mengalami masalah dalam
Matematika di tingkat SMP. Kurangnya media pendidikan yang
baik, terkadang membuat Matematika menjadi momok bagi
kebanyakan siswa.
Di beberapa buku dan tautan internet, saya mendapatkan
informasi bahwa kita dapat membuat inovasi pembelajaran
yang menarik. Sehingga memudahkan pemahaman siswa
terhadap materi pelajaran yang sulit dicerna dengan metode
pelajaran yang biasa dilakukan. Dibutuhkan sebuah inovasi
pembelajaran di bidang matematika yang menggabungkan
unsur permainan tradisional dan alat bantu pemahaman materi
pelajaran Matematika.
RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang yang sudah diuraikan sebelumnya,
penulis mendapatkan beberapa masalah dan harus dipecahkan.
Masalah itu antara lain:
Dapatkah membuat sebuah inovasi media pembelajaran
yang dibuat dari permainan tradional untuk membantu
pemahaman siswa terhadap sebuah materi pelajaran
khususnya Matematika.
Apakah inovasinya dapat diterapkan dan seberapa
menariknya penerapan media inovasi ini dalam membantu
meningkatkan pemahaman Matematka untuk siswa.
STUDI PUSTAKA
Saat ini generasi muda mengalami banyak masalah. Atau
biasa dikenal dengan kenakalan remaja. Salah satu penyebab
kenakalan anak-anak dan remaja yang marak terjadi akhir-akhir
ini adalah kemerosotan moral. Semakin kurangnya pendidikan
karakter di kalangan pelajar dan gencarnya gempuran budaya
luar, menyebabkan kemerosotan moral makin lama makin
parah. Tawuran dan bullying, hampir setiap saat bisa kita lihat
250
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
di media massa dan media sosial. Sifat gotong royong, saling
menghormati, bertenggang rasa dan tolong menolong sebagai
sifat asli bangsa Indonesia sudah seperti hilang.
Pemerintah melalui Presiden Jokowi juga memberi
perhatian akan masalah ini. Sebagaimana dalam pidato Presiden
Jokowi dalam penyampaian visi misi menjelang Pemilu Presiden
2014. Beliau menyampaikan konsep Nawacita. Nawacita adalah
istilah dalam bahasa Sansekerta yang berarti sembilan harapan
atau sembilan agenda. Pada butir Nawacita yang ke 8,
mengagendakan revolusi karakter bangsa atau lazim disebut
dengan revolusi mental. Beliau menjelaskan bahwa arti revolusi
mental yang dia gagas adalah menggalakan pembangunan
karakter untuk mempertegas kepribadian dan jati diri bangsa.
Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem pendidikan harus
diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa
Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi
niai-nilai moral agama yang hidup di Indonesia.
Menteri Pendidikan dan Kebudayan, Bapak Muhadjir
Effendy, langsung mengambil tindak lanjut dari agenda
Presiden tersebut. Bapak Menteri mengeluarkan Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomer 23 Tahun 2017
tentang Hari Sekolah. Permen ini mendorong percepatan hasil
dari gerakan PPK (Penguatan Pendidikan Karakter).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-
nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan maupun kebangsaan.
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus
dilibatkan, termasuk komponen- komponen pendidikan, yaitu
isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian kualitas
hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran,
pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-
kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan
etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
251
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Congklak adalah suatu permainan tradisional yang dikenal
dengan berbagai macam nama di seluruh Indonesia. Biasanya
dalam permainan, sejenis cangkang kerang digunakan sebagai
biji congklak dan jika tidak ada, kadangkala digunakan juga biji-
bijian dari tumbuh-tumbuhan dan batu-batu kecil.
Gambar 2. Anak-anak bermain congklak
Di Jawa, permainan ini lebih dikenal dengan nama
congklak, dakon, dhakon atau dhakonan. Di beberapa daerah di
Sumatra yang berkebudayaan Melayu, permainan ini dikenal
dengan nama congkak. Di Lampung, permainan ini lebih dikenal
dengan nama dentuman lamban, sedangkan di Sulawesi
permainan ini lebih dikenal dengan beberapa nama: Mokaotan,
Maggaleceng, Aggalacang dan Nogarata.
Permainan congklak dilakukan oleh dua orang. Dalam
permainan mereka menggunakan papan yang dinamakan papan
congklak dan 98 (14 x 7) buah biji yang dinamakan biji congklak
atau buah congklak. Umumnya papan congklak terbuat dari
kayu dan plastik, sedangkan bijinya terbuat dari cangkang
kerang, biji-bijian, batu-batuan, kelereng atau plastik. Pada
papan congklak terdapat 16 buah lubang yang terdiri atas 14
lubang kecil yang saling berhadapan dan 2 lubang besar di
kedua sisinya. Setiap 7 lubang kecil di sisi pemain dan lubang
besar di sisi kananya dianggap sebagai milik sang pemain.
252
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Pada awal permainan setiap lubang kecil diisi dengan tujuh
buah biji. Dua orang pemain yang berhadapan, salah seorang
yang memulai dapat memilih lubang yang akan diambil dan
meletakkan satu ke lubang di sebelah kanannya dan seterusnya
berlawanan arah jarum jam. Bila biji habis di lubang kecil yang
berisi biji lainnya, ia dapat mengambil biji-biji tersebut dan
melanjutkan mengisi, bila habis di lubang besar miliknya maka
ia dapat melanjutkan dengan memilih lubang kecil di sisinya.
Bila habis di lubang kecil di sisinya maka ia berhenti dan
mengambil seluruh biji di sisi yang berhadapan. Tetapi bila
berhenti di lubang kosong di sisi lawan maka ia berhenti dan
tidak mendapatkan apa-apa. Permainan dianggap selesai bila
sudah tidak ada biji lagi yang dapat diambil (seluruh biji ada di
lubang besar kedua pemain). Pemenangnya adalah yang
mendapatkan biji terbanyak.
Awalnya, tiap lubang kecil diisi masing-masing 7 buah biji
congklak. Di ronde pertama, dua orang pemain jalan secara
beriringan, memindahkan tiap biji congklak yang ada di satu
lubang ke lubang lain dan juga ke lubang besar sebagai
rumahnya. Ia akan kalah bila biji terakhir di tangannya masuk
ke dalam lubang kecil yang kosong.
Meski sudah jarang dimainkan, permainan tradisional ini
rupanya punya banyak manfaat untuk anak. Manfaatnya antara
lain: (1) Melatih Saraf Motorik Anak. Saat anak memindahkan
biji congklak, anak perlu menggerakkan tangannya untuk
mengambil dan memasukkan biji-biji ke lubang congklak. Hal
itu dapat menstimulasi saraf motorik halus si kecil. Hal itu
dikarenankan bermain congklak, berhubungan dengan
keterampilan fisik yang melibatkan otot kecil dan koordinasi
mata dan tangan si anak. (2) Belajar Berhitung (Matematika).
Untuk pemula, para pemain congklak diperbolehkan
menghitung tiap biji congklak yang ada di lubang kecil sebelum
jalan. Hal itu kemudian dapat merangsang anak untuk belajar
menghitung sambil bermain. (3) Belajar Memahami Aturan.
Dalam bermain congklak, ada aturan yang harus dipatuhi para
pemain, yaitu tidak boleh memasuki biji congklak ke lubang
253
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
besar atau rumah milik kawan. Dengan bermain congklak,
secara tidak langsung anak belajar memahami aturan yang
berlaku. (4) Belajar Jujur. Biji congklak yang dimasukkan ke tiap
lubang harus satu per satu, tidak boleh memasukkan lebih dari
satu biji per lubangnya. Dengan bermain ini, anak akan belajar
jujur untuk meletakkan satu biji ke dalam tempatnya dan jujur
bila ia ternyata sudah mati dan harus menunggu giliran main
selanjutnya.(5) Belajar Sabar. Di ronde pertama, para pemain
memang jalan secara beriringan. Namun, di ronde selanjutnya,
para pemain jalan secara bergantian sampai salah satu pemain
ada yang mati. Hal itu kemudian yang membuat anak belajar
sabar dan menunggu giliran jalan.
Peneliti mencoba menghubungkan permainan congklak
dengan mata pelajaran Matematika yang diajarkan di kelas 9.
Pada gambar 3 dapat dilihat bahwa materi Bab 3 yaitu tentang
Transformasi, dapat diterapkan pada permainan congklak.
Gambar 3. Referensi Buku Matematika kelas 9
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif. Data
penelitian diambil dari angket yang disebarkan ke siswa.
Sebagai solusi dari rumusan masalah yang disebutkan
sebelumnya, maka penulis membuat inovasi yang memiliki
konsep yang disebut dengan MathEthnic Game. MathEthnic
terdiri dari dua kata, yatu Math dan Ethnic. Math berarti
254
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Matematika dan Ethnic berarti Suku. Indonesia memiliki banyak
suku. Tiap-tiap suku memiliki kekhasan masing-masing.
Kekhasan ini mewakili nilai luhur pendidikan karakter dan
harus dilestarikan. Kekhasan ini diwujudkan dalam berbagai
jenis permainan tradisional. Dengan melakukan permainan
tradional yang diaplikasikan dengan pemahaman matematika,
berbagai tujuan dari rumusan masalah yang disebutkan
sebelumnya akan tercapai.
SMPN 1 Surabaya adalah Sekolah Menengah Pertama
favorit yang berada di kota Surabaya. Merupakan Sekolah
Menengah Pertama Negeri yang pertama kali berdiri di
Surabaya. Dijadikan sebagai sekolah rujukan bagi sekolah yang
lain. Sekolah yang mengembangkan pendidikan karakter untuk
siswanya. Oleh karena itu, tidak salah jika penulis
mengembangkan konsep pengembangan inovasi pembelajaran
disini. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2019.
Gambar 4. Berbagai jenis permainan tradisional
Gambar 5. Logo Konsep MathEthnic Game
Salah satu jenis game yang dihasilkan dari konsep
MathEthnic Game adalah produk Dakon Go. Dakon Go adalah
pengembangan permainan dakon atau conglak untuk
255
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
membantu pemahaman sub mata pelajaran Transformasi titik.
Dakon Go dikonsep bahwa dalam permainannya, pemain harus
dapat berkelana dari titik awal sampai titik keluar arena. Jenis
pergerakan dan jumlah langkahnya didapatkan dari kejadian
yang terjadi pada saat pemain Dakon mendapatkan momen
penembakan. Momen penembakan adalah istilah apabila
pemain mendapatkan beberapa biji yang berada di lubang
lawan untuk dimasukkan ke dalam lubang besar miliknya.
Gambar 6. Logo permainan Dakon Go
Gambar 7. Papan Dakon Go kotak (kiri) dan melingkar
(kanan)
Gambar 8. Disain kerangka peyangga lapangan Dakon Go
256
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Gambar 9. Papan Dakon Go yang sudah dipasang pada
kerangka peyangga
Gambar 10. Kesepakatan penamaan lubang dan fungsinya
257
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Gambar 11. Pola arah gerakan memasukkan biji dakon
dan Posisi lubang pemain dan lawannya
Gambar 12. Penjelesan posisi “penembakan”
Gambar 13. Hasil kemenangan bisa ditentukan dari total
jumlah biji yang ada di lubang besar
Aturan permainan pada arena atau papan Dakon Go dapat
dilihat pada gambar 14 sampai gambar 18.
258
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
(a) Papan kotak
(b) Papan sirkular
Gambar 14. Posisi start permainan
(a) Papan kotak
(b) Papan sirkular
259
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Gambar 15. Cara melakukan pergerakan pin (dibutuhkan
dua pin dengan warna yang sama).
Setelah pergerakan dikonfirmasi, posisi awal bisa dilepas
Gambar 16 . Pin pemain berada di pulau hijau (harus
kembali ke posisi start)
Gambar 17. Posisi pin berada di titik yang sama, maka pin
lawan yang berada di posisi tersebut harus kembali ke
posisi start
260
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Gambar 18 . Posisi Menang, jika pin pemain lebih dahulu
berada di luar arena
Gambar 19. Persiapan sebelum bermain dengan teman
Permainan dibuka dan diakhiri dengan salaman untuk memupuk sifat saling menghormati, bermain sportif dan saling mengenal. Kemudian memulai melakukan permainan dakon seperti permainan dakon biasa. Kemudian, saat Memindahkan posisi pin sesuai dengan hasil “penembakan” Dakon. Jenis pergerakan dapat dilihat pada gambar 10.
261
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah Dakon Go diperkenalkan dan disosialisaikan, diberikan angket untuk diisi. Dari 300 siswa yang diiminta hasil angketnya didapatkan bahwa 230 siswa mengapresiasi dengan baik, 36 siswa mengapresisasi dengan status biasa dan 14 siswa dengan status kurang. Jika dibuat menjadi sebuah grafik pie seperti pada gambar 20.
Gambar 20. Grafik apreasisi inovasi Dakon Go
SIMPULAN DAN SARAN
Dakon Go dapat menjadi inovasi yang dapat digunakan
menjadi inovasi media pembelajaran siswa karena mendapat
apresiasi diatas 50 persen, yaitu 76,67 persen
Untuk mengetahui seberapa besar peningkatan yang dapat
diperoleh dengan menggunakan media pembelajaran ini, dapat
dilakukan penelitian lanjutan (atau melakukan penelitian
tindakan kelas)
262
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
DAFTAR RUJUKAN
Dwi Krisbiantoro, Deny Haryono (2017) Game Matematika
sebagai Upaya Peningkatan Pemahaman Matematika Siswa
Sekolah Dasar, Jurnal Telematika Vol. 10 No. 2 Agustus 2017,
STMIK AMIKOM Purwokerto
Elly Dwiana Hendrawati (2018) Penggunaan Media
Permainan dalam Pembelajaran Matematika untuk
Pengembangan Karakter Siswa di SMP Negeri 24 Surakarta,
Program Studi Magister Administrasi Pendidikan, Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Wicka Yunita Dwi Utami (2012) Meningkatkan Minat
Belajar Matematika melalui Permainan Teka-Teki, PG PAUD FIP
Universitas Negeri Jakarta
d
263
PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS APLIKASI ANDROID
SEBAGAI SARANA BELAJAR UNTUK SISWA KELAS 12
Latifatul Nisa1, Syafiul Fuad2, Muniri3
1Tadris Matematika, IAIN Tulungagung. Tulungagung 2IAIN Tulungagung. Tulungagung 3IAIN Tulungagung. Tulungagung
[email protected], [email protected],
ABSTRAK
Saat ini kehidupan berada pada era revolusi industri 4.0 yang
mana dunia dituntut agar mengikuti dan memanfaatkan
perkembangan teknologi. Pemanfaatan teknologi tersebut
diantaranya terjadi pada pembelajaran di dunia Pendidikan.
Salah satu pembelajaran dengan pemanfaatan teknologi adalah
dengan pembelajaran berbasis android. Penulisan ini bertujuan
untuk mengembangkan media pembelajaran matematika
berbasis aplikasi android berupa kumpulan-kumpulan rumus
materi kelas 12. Penulisan ini termasuk penulisan
pengembangan. Prosedur dalam penulisan ini terdiri dari
analisis produk yang dikembangkan, mengembangkan produk
awal, uji coba produk, dan hasil produk. Hasil penelitian
menunjukkan media pembelajaran berbasis aplikasi android
yang dikembangkan valid.
Kata Kunci: aplikasi android, pembelajaran matematika,
kumpulan rumus.
264
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
ABSTRACT
At present life is in the era of the industrial revolution 4.0 where
the world is required to follow and take advantage of
technological developments. Utilization of these technologies
among others occurs in learning in the world of Education. One of
the learning with the use of technology is with android-based
learning. This writing aims to develop mathematics learning
media based on Android applications in the form of a collection of
class 12 material formulas. This writing includes development
writing. The procedure in this writing consists of analyzing the
product being developed, developing the initial product, testing
the product, and product results. The results showed that the
learning media based on the android application that was
developed was valid.
Keywords: Android application, mathematics learning, collection
of formulas.
PENDAHULUAN
Saat ini kita hidup di era revolusi industri 4.0 sehingga
pengajaran matematika harus menyesuaikan diri dengan gerakan revolusi industri 4.0, suatu era yang memanfaatkan
teknologi digital dan cyber.
Adapun hubungan dunia pendidikan dengan revolusi
industri 4.0.adalah dunia pendidikan dituntut harus mengikuti perkembangan teknologi yang sedang berkembang pesat serta
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi sebagai fasilitas lebih dan serba canggih untuk memperlancar proses
pembelajaran. Selain itu, diharapkan dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi pola pikir pembelajaran
dapat bergeser dari berpusat pada guru (teacher centered) menjadi berpusat pada peserta didik (student centered).
Teknologi dalam dunia pendidikan biasanya disebut dengan e-learning. Manfaat dari pemakaian fasilitas e-leaning
adalah untuk memperlancar proses belajar dan pembelajaran. Penggunaan e-learning dalam pembelajaran menurut riset-
riset terbaru memberikan dampak yang positif terhadap proses
265
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
dan hasil belajar (Wahyuningsih & Makmur, 2017). Menurut
(Karina, 2017) secara umum ada dua faktor yang mempengaruhi hasil belajar, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Minat
belajar termasuk ke dalam salah satu faktor internal memiliki hubungan erat terhadap hasil belajar. Hal ini berarti selain
berdampak positif terhadap hasil belajar, penggunaan teknologi dalam pembelajaran dapat berdampak positif terhadap minat
belajar.
Menurut (Satya, 2014) “penggunaan teknologi diharapkan
dapat meningkatkan minat belajar siswa karena proses pembelajaran yang bersifat konvensional dirasa kurang
menyenangkan dan terbilang monoton”. Selain itu, pembelajaran yang hanya berpusat pada guru dan buku akan
membuat murid bosan dengan pembelajaran di kelas. Oleh karena itu, diperlukan suatu inovasi pembelajaran salah
satunya dengan pembelajaran yang berbasis teknologi agar tampilan dan gaya belajar lebih menarik membuat siswa
terhindar dari rasa jenuh dan bosan saat mengikuti pembelajaran.
Kepala Program Studi S2 Magister Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Prof. Dr Hamka (Uhamka)
mengatakan jika pendidikan matematika di era revolusi industri 3.0 masih didominasi alat peraga, di era industri 4.0 lebih pada
pemanfaatan aplikasi perangkat lunak.
Salah satu teknologi pembelajaran yang dapat digunakan
adalah pembelajaran berbasis android, dimana siswa dapat menggunakan aplikasi android yang kontennya sesuai dengan
mata pelajaran yang dipelajari. Hampir seluruh siswa, khususnya siswa SMA telah memiliki smartphone android
sehingga dalam pembelajaran penggunaan aplikasi android dapat dilaksanakan. Selain penggunaan teknologi,
keanekaragaman model pembelajaran juga merupakan salah satu alternatif dari beberapa dalam strategi pembelajaran yang
hendak disampaikan untuk menarik minat siswa terhadap pembelajaran.
266
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Pengertian teknologi Informasi adalah merupakan suatu
istilah untuk mendefinisikan segala sesuatu atau peralatan teknologi yang mampu memberi kemudahan bagi seseorang
untuk membuat, mengubah, menyimpan atau bahkan menyebarkan informasi terhadap satu sama lain, sedangkan
pengertian android menurut (Hermawan, 2011) Android merupakan sistem operasi yang dikembangkan untuk
perangkat mobile berbasis Linux. (Ardiansyah, 2011) mengatakan Android adalah sistem operasi untuk telepon
seluler yang berbasiskan linux, Android menyediakan platform terbuka bagi para pengembang untuk menciptakan aplikasi
mereka sendiri sehingga dapat digunakan oleh berbagai macam piranti penggerak.
Keberadaan android dalam kehidupan tidak terelakkan lagi dan telah meluas hingga ke berbagai kalangan. Android telah
mengatur dan menjadi kebutuhan berbagai bidang. Dalam bidang pendidikan, pendidikan dapat dikatakan berkualitas
baik ketika memiliki sistem pendidikan yang baik, guru yang kompeten dan fasilitas yang mendukung. Salah satu fasilitas
yang menunjang kualitas pendidikan adalah pemanfaatan kemajuan teknologi berbasis android. Guru maupun siswa tidak
terlepas dari pemanfaatan android. Tak hanya sebagai alat komunikasi, guru dan siswa dapat memanfaatkan android untuk
menciptakan pembelajaran yang menarik dan tidak membosanka serta dapat menambah minat siswa terhadap
belajar. Dengan pemanfaatan android diharapkan juga akan menambah kekreativitasan guru maupun tenaga pendidik
dalam pembelajaran. Guru juga dapat memanfaatkan android untuk menyebarkan dan memperoleh informasi , menghadirkan
pembelajaran yang berkualitas dan membantu pengembangan media pembelajaran (Destiana, 2019). Salah satu bentuk media
pembelajaran yang dapat tercipta dengan pemanfaatan teknologi berbasis android adalah kumpulan rumus matematika
yang dikemas dalam aplikasi.
Menurut observasi di lapangan, siswa diminta untuk tidak
menghafalkan materi, melainkan memahaminya. Tetapi rasanya ketika hanya memahami pun tidak akan cukup untuk membuat
267
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
siswa mampu menentukan rumus apa yang tepat digunakan
untuk soal-soal tertentu. Mau tidak mau, siswa pun dituntut untuk menghafal rumus-rumus yang terdapat pada materi mata
pelajaran matematika. Namun, menghafal berbagai rumus Matematika tidak semudah kelihatannya. Sehingga aplikasi yang
dikembangkan dalam penelitian ini berkarakteristik mathematics formula books yang nantinya siswa diharapkan
mampu menghafal rumus-rumus matematika yang diberikan.
Dari penjelasan diatas, dengan adanya teknologi berbasis
android maka guru maupun siswa dapat mengabungkan pembelajaran matematika dengan aplikasi berbasis aplikasi
android. Oleh karena itu, dari permasalahan maka penulis tertarik melakukan suatu kajian dengan judul “Pengembangan
Media Pembelajaran Matematika Berbasis Aplikasi Android Sebagai Sarana Belajar Untuk Siswa Kelas 12”.
METODE
Penelitian ini termasuk penelitian pengembangan. Media
pembelajaran berbasis aplikasi android dalam penelitian ini dikembangkan dengan menggunakan langkah-langkah model
Borg dan Gall yang dimodifikasi oleh (Soenarto, 2003), yaitu: (1) analisis produk yang dikembangkan, (2) mengembangkan
produk awal, (3) uji coba produk, dan (4) Hasil Produk. Analisis produk yang dikembangkan terdiri dari analisis concept, design,
dan collecting materials. Analisis concept yaitu analisis terhadap hal-hal yang diperlukan dalam perencanaan perangkat
pembelajaran; karakteristik aplikasi, consumer aplikasi, dan materi yang digunakan. Analisis design yaitu analisis tentang
tampilan aplikasi; nama aplikasi, tulisan, menu aplikasi, warna, dan tata letak. Tahap collecting materials yaitu pengumpulan
bahan yang diperlukan untuk membuat produk.
Uji coba produk dalam penelitian ini terdiri dari validasi
ahli dan revisi, serta uji coba skala kecil dan revisi produk. Uji ahli atau validasi terdiri dari validasi media dan validasi materi
dengan bantuan validator yaitu dosen matematika IAIN Tulungagung. Model pengembangan pada penelitian
pengembangan ini dapat dilihat pada Bagan 1.
268
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Bagan 1. Model Pengembangan
HASIL PENGEMBANGAN
Analisis produk yang dikembangkan
Analisis produk yang dikembangkan terdiri dari analisis
concept, design, dan collecting materials. Pada tahap analisis
concept penulis menentukan karakteristik aplikasi, consumer
aplikasi, dan materi yang digunakan. Secara umum consumer
aplikasi ini adalah semua stakeholder pembelajaran matematika
yaitu para siswa, guru, dan pengajar matematika. Secara khusus
consumer aplikasi ini adalah siswa kelas 12. Karakteristik
aplikasi ini adalah mathematics formula books. Menurut
observasi siswa diminta untuk tidak menghafalkan materi,
melainkan memahaminya. Tetapi rasanya ketika hanya
memahami pun tidak akan cukup untuk membuatmu mampu
menentukan rumus apa yang tepat digunakan untuk soal-soal
tertentu. Mau tidak mau, siswa pun dituntut untuk menghafal
rumus-rumus yang terdapat pada materi mata pelajaran
matematika. Namun, menghafal berbagai rumus Matematika
tidak semudah kelihatannya. Sehingga aplikasi ini
berkarakteristik mathematics formula books yang nantinya
Analisi
Produk Pengembangan
Produk Awal
Uji Coba
Produk
Hasil
Produk
Design
Material
Pembuatan
Produk
Validasi Alhi Media dan Revisi Validasi Ahli Materi dan Revisi Uji Coba Skala Kecil dan Revisi
269
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
siswa diharapkan mampu menghafal rumus-rumus matematika
yang diberikan. Materi aplikasi ini adalah materi matematika
kelas 12 yaitu: Barisan dan Deret, Limit, Turunan, Integral,
Transformasi, Statistika, Peluang, dan Trigonometri.
Selanjutnya pada tahap analisis design, penulis membuat
rancangan tentang tampilan aplikasi.
Menu
Deskripsi
Berisi tentang deskripsi dan tujuan aplikasi
Materi
Berisi materi-materi dalam aplikasi
Contoh Soal
Berisi contoh-contoh soal yang berkaitan dengan
materi yang dtampilkan
Warna
Aplikasi : Hijau
Tulisan : Hijau
Background : Tekstur Putih
Tata Letak
Left : Menu Deskripsi
Center : Menu Materi
Right : Menu Contoh Soal
Selanjutnya pada tahap collecting materials, dilakukan
pengumpulan bahan yang diperlukan untuk membuat produk.
Pada tahap ini Penulis membuat materi dan contoh soal yang
nantinya akan ditampilkan pada aplikasi.
Mengembangkan Produk Awal
Aplikasi ini dibuat menggunakan salah satu apps creator
yaitu www.appsheet.com. AppSheet menyediakan platform
pengembangan aplikasi tanpa kode yang memungkinkan
pengguna untuk membuat aplikasi seluler, tablet dan web
menggunakan sumber data seperti Google Drive, DropBox, Office
365, platform spreadsheet, dan basis data berbasis cloud lainya.
270
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Mengembangkan produk awal diawali dengan membuat
spreadsheet pada MS Excel yang berisi tentang deskripsi
aplikasi, materi yang berisi rumus-rumus, dan contoh soal yang
nantinya digunakan sebagai menu pada aplikasi.
Gambar 1. Spreadsheet Untuk Menu Dalam Aplikasi
Selanjunya file Excel di-upload ke Google Drive. Setelah file
ter-upload kemudian mengunjungi www.appsheet.com untuk
memulai pembuatan aplikasi dengan menekan tombol “Start for
free”. Berikut tampilan AppSheet:
Gambar 2. Tampilan www.appsheet.com.
271
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Gambar 3. Create a new app 01
Setalah itu tekan “Start with your own data” karena kita
menggunakan data spreadsheet pada Google Drive.
Gambar 4. Create a new app 02
Selanjutnya membuat nama aplikasi. aplikasi android ini
penulis beri nama “Musyaffa”. Musyaffa terdiri dari 3 suku kata
yaitu Mu, Syaf, dan Fa. Masing-masing suku kata tersebut
mewakili nama penulis yaitu “Mu” untuk Muniri, “Syaf” untuk
Syafiul Fuad, dan “Fa” untuk Latifa. Kata Musyaffa juga diambil
dari bahasa arab yang berarti memperoleh syafaat, yang
nantinya diharapkan Musyaffa mempu memberikan manfaat
kepada siswa kelas 12. Pada kolom “Category” pilih kategori
“Other” agar lebih mudah dalam mengatur jenis data. Setalah itu
tekan "Next step"
Selanjutnya cari file yang sudah di-upload sebelumya. Lalu
tekan “Select”. Setelah itu desain aplikasi baru bisa dimulai.
272
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Gambar 5. Select a file
Selanjutnya Penulis membuat isi materi Musyaffa.
Pembuatan materi tersebut meliputi pembuatan materi dengan
format image karena pada spreadsheet tidak dapat menulis
rumus matematika dengan equation, sehingga equation ditulis
pada MS Word dan selanjutnya diubah ke format image. Selain
itu Penulis juga mendesain logo untuk aplikasi ini, berikut
tampilan logo aplikasi:
Gambar 6. Logo Musyaffa
Setelah aplikasi sudah selesai dibuat langkah selanjutnya
adalah menginstal aplikasi Musyaffa melalui aplikasi AppSheet
yang bisa di-download di Play Store.
273
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Gambar 7. Aplikasi AppSheet
Instalasi Musyaffa dengan cara tekan “Share app” kemudian
tekan “Links”
Gambar 8. Share app
Link yang ada pada kolom “Install Link” copy ke browser
sehingga muncul gambal seperti pada Gambar 8. Kemudian
tekan “Instal”.
Gambar 8. Install App
274
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Setelah Musyaffa terinstal, berikut tampilan Musyaffa pada
Android.
Gambar 9. Aplikasi Musyaffa
Halaman depan yang ditampilkan adalah menu deskripsi.
Halaman depan terdiri dari deskripsi, menu materi, menu
contoh soal, menu user, dan syinc.
Gambar 4. Halaman Menu Deskripsi
275
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Gambar 5. Halaman Depan
Menu User digunakan sebagain perantara user, aplikasi, dan app creator. Dalam menu user terdapat sub menu yaitu: (1) Assistant, digunakan untuk pencarian sesuatu dalam aplikasi, (2) About, digunakan untuk melihat info aplikasi, (3) Feedback, digunakan untuk masukkan dan saran kepada app creator, (4) Share, digunakan untuk membagikan aplikasi, (5) App Gallery, digunakan untuk melihat semua aplikasi yang dibuat atau diinstal oleh user, (6) Add Shortcut, digunakan untuk membuat shortcut aplikasi. Biasanya ketika menginstalasi shortcut sudah terpasang sendiri pada layar smartphone, tetapi terdapat smartphone yang tidak langsung memunculkan shortcut, maka untuk memunculkanya dengan menekan menu ini, (7) Create New App, digunakan oleh user untuk membuat aplikasi baru, (8) Log Out, digunakan user untuk log out.
276
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Menu Sync digunakan untuk mesinkronkan atau merefres aplikasi jika ada pembaruan oleh app creator.Halaman kedua pada aplikasi ini adalah halaman menu materi. Berikut adalah contoh tampilan pada halaman materi:
Gambar 6. Halaman Menu Materi
Halaman materi terdiri dari 8 sub menu materi pilihan yang dapat dipelajari oleh siswa yaitu: (1) menu materi Barisan dan Deret, (2) menu materi Limit, (3) menu materi Turunan, (4) menu materi Integral, (5) menu materi Transformasi, (6) menu materi Statistika, (7) menu materi Peluang, dan (8) menu materi Trigonometri. Didalam masing-masing materi terdiri dari pendahuluan dan rumus- rumus. Pendahuluan materi adalah definisi atau deskripsi materi yang ditampilkan. Rumus-rumus adalah rumus materi yang sedang ditampilkan yang terdiri dari rumus 1, rumus 2, dan seterusnya menyesuaikan sedikit banyaknya mutan dalam 1 materi. Rumus-rumus tersebut berbentuk image yang bisa di zoom sesuka hati.
277
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Halaman ketiga pada aplikasi ini adalah halaman menu contoh soal. Berikut adalah contoh tampilan pada halaman contoh soal:
Gambar 7. Halaman Menu Contoh Soal
Sama halnya pada menu materi, hanya saya pada halaman materi berisi rumus-rumus sedangkan pada halaman contoh soal berisi contoh dari rumus-rumus tersebut. Misalnya rumus 1 materi barisan deret pada halaman materi mempunyai contoh rumus 1 materi barisan dan deret pada halaman contoh soal, dan begitu seterunya. Contoh soal tersebut juga berbentuk image yang bisa di zoom sesuka hati.
Uji Coba Produk
Setelah produk awal selesai dikembangkan, dilakukan uji
coba yang terdiri dari dua tahap, yaitu uji ahli dan uji coba skala
kecil. Uji ahli atau validasi terdiri dari validasi pakar media yang
278
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
disajikan pada Tabel 1 dan validasi pakar materi yang disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 1. Hasil Validasi Media
Kriteria yang dinilai Skor rata-rata tiap
aspek Aspek tampilan
Kemenarikan aplikasi atau media pembelajaran
3,5
Kesesuaian ukuran tulisan dan gambar 3,5 Kesesuaian tata letak tulisan dan gambar
4
Aspek tulisan
Kemudahan tulisan untuk dibaca 4,5 Kemudahan kalimat untuk dimengerti 4 Kesesuaian warna yang digunakan 4,5
Skor Kevalidan 4
Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa skor kevalidan yang
diperoleh sebesar 4. Skor tersebut menunjukkan bahwa media
pembelajaran/aplikasi tergolong baik dan dan 4 ≥ 3 dapat
dikatakan bahwa media pembelajaran/aplikasi valid.
Tabel 2. Hasil Validasi Materi
Kriteria yang dinilai Skor rata-rata tiap aspek
Aspek isi Kesesuaian konsep-konsep materi yang disajikan dalam media
4,37
Kelengkapan materi pada media 3,87 Aspek Bahasa
Kemudahan Bahasa untuk dimengerti 4,25 Keefektifan kalimat pada media 4,12 Kelengkapan informasi yang dibutuhkan 3,62
Skor Kevalidan 4,05
279
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa skor kevalidan yang
diperoleh sebesar 4,05. Hal ini Skor tersebut menunjukkan
bahwa materi pada media pembelajaran/aplikasi tergolong baik
dan 4,05 ≥ 3 dapat dikatakan bahwa materi pada media
pembelajaran/aplikasi valid.
Berdasarkan hasil uji validitas tersebut maka media
pembelajaran/aplikasi valid dan sudah siap untuk diuji coba. Uji
coba ini dilakukan untuk menilai respon siswa terhadap media
yang telah dikembangkan. Pada uji coba ini, siswa diberikan
angket dan diminta untuk menilai media tersebut. Penilaian
tersebut didasarkan pada dua aspek, yaitu aspek desain dan
aspek fungsi. Hasil analisis angket respon siswa dapat dilihat
pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Hasil Uji Coba Skala Kecil
Kriteria yang dinilai Skor rata-rata tiap aspek
Aspek Desain Warna dan tulisan menarik 3,9 Kalimat yang digunakan jelas 4,3 Media mudah untuk dioperasikan 4,4
Aspek Fungsi Media mampu memberikan sarana belajar
4,9
Media mampu memberikan sarana berlatih materi matematika
4,7
Media mampu meningkatkan minat siswa untuk belajar matematika
3,9
Skor Uji Coba 4,35
Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa skor uji coba yang
diperoleh sebesar 4,35. Hal ini Skor tersebut menunjukkan
bahwa uji coba media pembelajaran/aplikasi tergolong baik.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil validasi dan uji coba, dapat diketahui
bahwa media pembelajaran/aplikasi android (Musyaffa) valid.
280
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Kevalidan media pembelajaran tersebut didasarkan pada
validasi pakar media dan validasi pakar materi. Validasi pakar
media menunjukkan bahwa diperoleh rata-rata skor = 4 ≥ 3
untuk setiap aspek yang dinilai. Dan validasi pakar materi
menunjukkan bahwa diperoleh rata-rata skor = 4,05 ≥ 3 untuk
setiap aspek yang dinilai. Hasil uji coba skala kecil media
pembelajaran/aplikasi android (Musyaffa) yang telah
dikembangkan menunjukkan bahwa siswa memberikan respon
positif terhadap setiap aspek yang dinilai dengan rata-rata skor
= 4,35 ≥ 3.
Media pembelajaran berbasis aplikasi android yang telah
dikembangkan tidak hanya berisi materi matematika jenjang
SMA, namun juga dilengkapi contoh soal di setiap rumus yang
disajikan sehingga dapat memfasilitasi siswa dalam belajar.
Secara umum kelebihan yang dimiliki oleh media pembelajaran
ini diantaranya :
1. Tampilan media pembelajaran yang menarik
Kemenarikan aplikasi mendapat skor 3,5 yang tergolong
bagus. Kesesuaian ukuran tulisan dan gambar, kesesuaian tata
letak, serta kesesuaian warna yang digunakan masing-masing
mendapat skor 3,5, 4, 4,5 sehingga tampilan aplikasi secara
keseluran bagus dan menarik
2. Aplikasi mudah digunakan
Kemudahan dalam mengoperasikan aplikasi mendapat
skor 4,4 yang tergolong bagus. Jelasnya kalimat pada aplikasi,
mudahnya bahasa yang digunakan pada aplikasi masing-masing
mendapat skor 4 dan 4,1 hal tersebut mendorong mudahnya
pengoperasian aplikasi. Berdasarkan uji coba di lapangan siswa
tidak mengalami kesulitan dalam pengoperasian aplikasi
Musyaffa.
3. Mampu menjadi sarana belajar dan sarana berlatih bagi
siswa secara mandiri
Aplikasi Musyaffa mampu menjadi sarana belajar yang baik,
hal itu dapat dilihat dari hasil skor rata-rata aspek sarana belajar
yang diperoleh sebesar 4,9 yang tergolong sangat bagus. Selain
menjadi sarana belajar, aplikasi Musyaffa juga mampu menjadi
281
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
sarana berlatih materi-materi SMA yang baik, hal itu dapat
dilihat dari skor aspek sarana berlatih yang diperoleh sebesar
4,7 yang juga tergolong sangat bagus. Begitu halnya
kelengkapan informasi yang dibutuhkan oleh siswa mengenai
materi SMA juga telah terdapat pada aplikasi Musyaffa.
4. Contoh soal dapat menambah pengalaman belajar siswa
Dengan mempelajari contoh soal siswa akan dapat
memahami pengaplikasian dari materi materi matematika.
Terlebih jika ditunjang dengan seringnya berlatih soal
matematika, pemahaman siswa akan bertambah dan siswa
mendapat pengalaman belajar matematika yang baik. Selain itu
juga contoh soal diberikan sesuai rumus materi yang ada.
5. Dapat meningkatkan minat siswa dalam belajar
matematika
Aplikasi Musyaffa dapat menjadi salah satu media
pembelajaran yang meningkatkan minat siswa, hal itu
ditunjukkan dengan skor yang diperoleh sebesar 3,9 yang
tergolong bagus. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari
(Satya, 2014) bahwa “penggunaan teknologi diharapkan dapat
meningkatkan minat belajar siswa karena proses pembelajaran
yang bersifat konvensional dirasa kurang menyenangkan dan
terbilang monoton”.
Namun demikian, media ini juga masih memiliki beberapa
kekurangan, yaitu:
1. Jumlah contoh soal masih terbatas.
Pada materi barisan dan deret, limit, turunan, dan
transformasi, memiliki 5 contoh soal, pada materi integral dan
peluang memiliki 6 contoh soal, pada materi statistika memiliki
12 contoh soal dan pada materi trigonometri memiliki 18
contoh soal.
2. Belum menggunakan bahasa bilingual.
Aplikasi Musyaffa masih menggunakan bahasa Indonesia.
3. Tidak adanya soal pengayaan yang interaktif.
282
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Pada aplikasi Musyaffa belum dilengkapi latihan soal yang
interaktif.
4. Tingkat kesulitan contoh soal yang belum bervarisi.
Contoh soal terfokus pada rumus-rumus yang ada pada
setiap materi. Dan tidak disertai langkah- langkah yang
terperinci.
SIMPULAN
Media pembelajaran Musyaffa yang telah dikembangkan
valid dan mampu menjadi sarana belajar dan berlatih siswa.
Media pembelajaran Musyaffa dapat meningkatkan minat siswa
dalam belajar matematika serta dapat menambah pengalaman
belajar matematika siswa dengan berlatih dan memahami
contoh soal.
SARAN
Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan baik
dalam hal penulisan jurnal maupun pengembangan media.
Diharapkan penulis berikutnya dapat mengembangkan media
berbasis aplikasi android ataupun yang lain yang lebih modern
dan menarik untuk siswa sehingga mampu menumbuhkan
minat belajar siswa khususnya di Indonesia. Selain itu juga
diharapkan guru atau pelajar matematika sudah dan mampu
menggunakan aplikasi smartphone dalam proses belajar
mengajar.
283
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
DAFTAR PUSTAKA
Ardiansyah, F. (2011). Pengenalan Dasar Android Programming.
Jakarta: Biraynara.
Destiana. (2019). Pengaruh Teknologi Informasi Berbasis
Android (Smartphone) dalam Pendidikan Industry 4.0.
Prosiding Seminar Nasional Program Pasca Sarjana
Universitas PGRI Palembang
Hermawan, Stephanus Susanto. (2011). Mudah Membuat
Aplikasi Android. Yogyakarta: CV Andi Offset.
Karina, R.M., Alfiati Syafrina, Sy. Habibah. (2017). Hubungan
Antara Minat Belajar Dengan Hasil Belajar Siswa Dalam
Mata Pelajaran IPA Pada Kelas V SD Negeri Garot Geuceu
Aceh Besar. Jurnal Ilmiah Pendidikan Guru Sekolah Dasar
FKIP Unsyiah, 2017: 2(1): 61-77 .
Lestari, Dewanti.13 Oktober (2018). Pengajaran Matematika
Era Revolusi Industri 4.0 Manfaatkan Teknologi Siber
Dipetik 09 September 2019, dari ANTARA News:
https://www.antaranews.com/berita/758182/pengajara
n-matematika-era-revolusi-industri-40-manfaatkan-tekno
logi-siber
Satya, Y. 23 Agustus 2014. Penerapan Teknologi Pendidikan
Tingkatkan Minat Belajar. Dipetik 09 September 2019.dari
Harian Ekonomi Neraca: http://www.neraca.co.id/article/
44596/penerapan-teknologi-pendidikan-tingkatkan-minat
-belajar
Soenarto. 2003. Metodologi penelitian pengembangan untuk
peningkatan kualitas pembelajaran.
Jakarta: Depdiknas.
Wahyuningsih, D., dan Makmur, R. 2017. E-learning Teori dan
Aplikasi. Bandung: Informatika.
284
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
d
285
PROFIL ANTISIPASI SISWA MTS DALAM MENYELESAIKAN MASALAH BANGUN RUANG
DITINJAU BERDASARKAN KEMAMPUAN MATEMATIKA
Imam Baihaqi 1, Andriana Nofikasari2, Stephani Putri
Astarin3
Tadris Matematika IAIN Tulungagung
[email protected], [email protected]
ABSTRAK
Memahami soal merupakan syarat yang paling utama untuk
dapat menyelesaikan soal matematika. Kenyataannya siswa
berkemampuan matematika berbeda memiliki tingkat
pemahaman yang berbeda dalam menyelesaikan masalah
sehingga siswa yang memiliki kemampuan matematika yang
berbeda juga menggunakan antisipasi yang berbeda saat
menyelesaikan masalah. Tujuan penelitian yaitu
mendeskripsikan profil antisipasi siswa dalam menyelesaikan
soal matematika yang berkaitan dengan masalah bangun ruang
yang ditinjau berdasarkan kemampuan matematika. Instrumen
utama adalah peneliti sendiri dan intrumen pendukung adalah
soal tes dan pedoman wawancara. Teknik pengumpulan data
adalah tes dan wawancara. Uji kredibilitas data menggunakan
triangulasi waktu. Analisis data meliputi reduksi data, penyajian
data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan
perbedaan profil antisipasi siswa dalam menyelesaikan masalah
bangun ruang. Siswa berkemampuan matematika rendah
286
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
menggunakan antisipasi impulsif, siswa berkemampuan
matematika sedang menggunakan antisipasi terinterisasi dan
siswa berkemampuan matematika tinggi menggunakan
antisipasi analitik.
Kata kunci : Antisipasi, Masalah Bangun Ruang, Kemampuan
Matematika
ABSTRACT
Understanding questions is the most important condition for
being able to solve math problems. In fact students with different
mathematical abilities have different levels of understanding in
solving problems so students who have different mathematical
abilities also use different anticipations when solving problems.
The purpose of the study is to describe the profile of students'
anticipation in solving mathematical problems related to the
problem of building space which are reviewed based on
mathematical abilities. The main instrument is the researchers
themselves and supporting instruments are test questions and
interview guidelines. Data collection techniques are tests and
interviews. Test the credibility of the data using time
triangulation. Data analysis includes data reduction, data
presentation and conclusion drawing. The results of the study
show differences in the profile of student anticipation in solving
problems in building space. Students with low math abilities use
impulsive anticipation, students with mathematical abilities are
using anticipated anticipation and students with high
mathematical abilities use analytical anticipation.
Keywords : Anticipation, Problem of Geometry, Math Skill
PENDAHULUAN
Siswa melakukan penyelesaian masalah dalam matematika
menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dari proses
berpikir sebelum melakukan tindakan mental (berpikir) melalui
proses pemahaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Lim
287
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
(Yudianto, 2015a) mengatakan bahwa siswa akan
mengantisipasi setiap tindakan mental yang dia lakukan. Jika
antisipasi yang dilakukan siswa salah, maka siswa akan
mengalami konflik kognitif. Pendapat tersebut didukung oleh
Harel (2006) yang mengatakan bahwa konflik kognitif dapat
membantu siswa meningkatkan cara berpikir dan cara
memahami suatu masalah.
Antisipasi adalah perhitungan tentang hal-hal yang akan
(belum) terjadi; bayangan; ramalan, atau penyesuaian mental
terhadap peristiwa yang terjadi. Menurut Boero dan Steiner
(Yudianto, 2015b) mengungkapkan bahwa antisipasi dapat
memberikan bentuk terhadap suatu transformasi yang tepat.
Dalam rangka untuk meningkatkan transformasi secara efisien,
siswa perlu meramalkan beberapa aspek untuk bentuk akhir
dari objek terkait dengan tujuan yang akan dicapai.
Namun tidak semua siswa dapat mengantisipasi setiap
tindakan mental yang dia lakukan. Bahkan setiap siswa yang
memiliki kemampuan matematika yang berbeda dimana
memiliki tingkat pemahaman yang berbeda pada masalah yang
ada juga menggunakan antisipasi yang berbeda dalam
menghadapi masalah tersebut. Hal ini telihat dari tingkah laku
siswa, yang mana saat terjadinya proses belajar mengajar siswa
kelihatannya mengerti apa yang dimaksud oleh pendidik akan
tetapi mengalami kebingungan saat dihadapkan dengan
masalah kontekstual. Pada penelitian, saat siswa saat
dihadapkan dengan sebuah permasalahan konstektual yang
materinya sudah didapatkan terlebih dahulu, siswa kelihatan
bingung saat mau mulai menjawab. Selain itu, terdapat siswa
yang mampu menjawab tetapi jika ditanyakan alasannya siswa
hanya menjawab bahwa itu rumus yang seharusnya dipakai hal
ini menunjukkan bahwa siswa kurang memahami alasan
menggunakan rumus tersebut. Ada juga siswa yang
kebingungan dalam menentukan langkah penyelesaian dari
masalah yang ada. Hal ini menunjukkan pemahaman siswa
288
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
dalam menganalisis soal berbeda jika dilihat dari wawancara
terkait antisipasi dan hasil tes yang dilakukan.
Berdasarkan uraian diatas, menunjukkan bahwa antisipasi
siswa dalam memecahkan masalah itu berbeda-beda sesuai dari
pemahaman siswa terhadap sebuah persoalan yang kemudian
dilanjutkan dengan kegiatan berpikir sesuai dengan
karakteristik dari pemahaman. Yang mana pembelajaran
matematika dapat dilihat dari pemahaman siswa yang
dilanjutkan dengan pemilihan antisipasi yang dibutuhkan. Telah
banyak peneliti yang melakukan penelitian yang berkaitan
dengan antisipasi diantaranya ((Yudianto, 2015c),(Yudianto,
2016),(Yudianto, 2017),(Aprilia, 2015),(Yudianto, 2015a),
(Faradillah et al., 2017), (Mutazam, Tandililing, & Hartoyo,
2017)).
Dalam penelitian ini, antisipasi yang akan dibuat
berdasarkan kemampuan matematis siswa yang mana terdiri
dari siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Dan untuk
mengkaji hal tersebut adalah didasarkan pada proses asimilasi
dan akomodasi dari Piaget. Piaget (Yudianto, 2015c)
berpendapat bahwa struktur kognitif merupakan sebuah
skemata (kumpulan dari dari struktur-struktur). Jika
skema/struktur bekerja dan saling berkaitan, maka seseorang
dapat mengingat, memahami dan memberi respon terhadap
stimulus. Skemata merupakan hasil dari interaksi individu
terhadap lingkungan. Skemata tersebut membentuk sebuah
pola penalaran tertentu dalam pikiran. Semakin baik kualitas
skemata, maka semakin baik pula pola berpikir maupun
penalaran individu. Mohammad Asrori (Asrori, 2006) juga
mengatakan bahwa kemampuan kognitif adalah kemampuan
yang dimiliki seseorang dalam memecahkan masalah melalui
proses berpikir, menghubungkan, menilai serta
mempertimbangkan dalam penyesuaian diri ata tuntutan baru
dengan alat bantu dalam mencapai tujuan.
289
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Dalam memahami permasalahan tersebut, siswa
membutuhkan tindakan mental dan selanjutnya dilakukan
dengan kegiatan berpikir. Dalam memahami sebuah masalah,
siswa akan memperoleh hasil tertentu kemudian dilanjutkan
dengan berpikir yang merupakan karakteristik dari kegiatan
memahami itu sendiri.
Salah satu cabang ilmu matematika adalah geometri, yang
mana geometri memiliki peranan yang penting baik di jajaran
studi matematika maupun studi lainnya. Usiskin (Risqiyani,
Fatimah, & Mulyana, 2017) mengungkapkan alasan mengapa
geometri perlu untuk dipelajari, yaitu: (a) Geometri membantu
manusia memiliki apresiasi yang utuh tentang dunianya, (b)
Eksplorasi geometrik dapat membantu mengembangkan
keterampilan pemecahan masalah. (c) Geometri memainkan
peranan utama dalam bidang matematika lainnya, (d) Geometri
digunakan oleh banyak orang dalam kehidupan sehari-hari, (e)
Geometri penuh dengan tantangan dan menarik untuk
diselesaikan.
Menurut Nopiana (Risqiyani et al., 2017), “geometri
sekolah mempunyai peluang yang besar untuk dapat dipahami
siswa dibandingkan cabang ilmu matematika lainnya.” Hal ini
karena, pengenalan konsep dasar geometri sudah dikenal oleh
siswa sejak usia dini, seperti bangun-bangun ruang maupun
bangun datar yang ada disekitar mereka. Namun sesuai dengan
kenyataan yang ada didapatkan sebuah data yang menunjukkan
bahwa hasil belajar geometri siswa masih rendah dan perlu
ditingkatkan. Pada TIMSS (Trends in International Mathematics
and Science Study) 2011 yang diikuti oleh siswa MTs kelas VIII
dari 42 negara, Indonesia menempati urutan 38 dengan
perolehan skor 377 pada bidang geometri dimana skor tersebut
termasuk ke dalam kelompok skor rendah (low bechmark). Hal
ini menunjukan bahwa penguasaan konsep geometri siswa di
Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara lain.
290
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Penguasaan konsep yang rendah mengakibatkan siswa masih
kesulitan saat menyelesaikan masalah geometri.
Meskipun sudah banyak yang peneliti yang meneliti
tentang antisipasi, namun yang meneliti tentang profil antisipasi
siswa MTs dalam menyelesaikan masalah bangun ruang ditinjau
berdasarkan kemampuan matematika itu masih belum ada.
Seperti Murtiwi et. al (Aprilia, 2015) yang berisi tentang
mengatasi kesulitan pemahaman konseptual dengan
pendekatan antisipasi didaktis materi penjumlahan pecahan di
MTs, Mutazam at. al(Mutazam et al., 2017), membahas tentang
antisipasi didaktis untuk meningkatkan kemampuan
representasi matematis dan penyelesaian masalah matematika,
Erfan, (Yudianto, 2016)yang membahas studi kasus
karakteristik antisipasi eksploratif. Untuk itu perlu diadakannya
penelitian ini adalah untuk memudahkan siswa dalam
menyelesaikan masalah geometri adalah dengan adanya
antisipasi siswa yang sesuai untuk menentukan tindakan yang
akan diambil dalam menyelesaikan masalah. Adapun tujuan
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan profil antisipasi
siswa dalam menenyelesaikan soal matematika yang berkaitan
dengan masalah bangun ruang yang ditinjau berdasarkan
kemampuan matematika.
METODE
Pada penelitian “Profil Antisipasi Siswa MTs dalam
Menyelesaikan Masalah Pada Materi Bangun Ruang”, peneliti
bertindak sebagai instrumen utama dimana keberadaan peneliti
ini tidak dapat digantikan oleh orang lain ataupun sesuatu yang
lain. Pada pelaksanaannya, peneliti lebih mengutamakan hal-hal
yang dilakukan oleh siswa pada saat kegiatan pengambilan data
berlangsung. Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif. Apabila dilihat dari tujuan
penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan profil antisipasi
siswa MTs dalam menyelesaikan masalah pada materi bangun
291
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
ruang, maka penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
sedangkan apabila dilihat dari tujuan spesifiknya yaitu
mengeksplorasi apa yang dipikirkan dan dilakukan oleh siswa,
maka penelitian ini tergolong penelitian eksploratif. Dengan
demikian jenis penelitian ini adalah deskriptif-eksploratif.
Subjek penelitian merupakan siswa MTs Darussalam
Kademangan Kelas VIII dengan kemampuan matematika yang
berbeda. Penentuan subjek menggunakan tes tulis dengan 5 soal
uraian. Subjek diberikan tes kemampuan matematika
selanjutnya masing-masing dipilih dua orang siswa dengan
kemampuan matematika tinggi, dua orang siswa dengan
kemampuan matematika sedang dan dua orang siswa dengan
kemampuan matematika rendah. Dimana siswa yang
memperoleh nilai ≤ 50 memiliki kemampuan matematika
rendah, siswa yang memperoleh nilai 51 ≤ 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 ≤ 75 memiliki
kemampuan matematika sedang dan siswa memperoleh nilai ≥
75 memiliki kemampuan matematika tinggi.
Instrumen yang digunakan antaralain instrumen tes
(instrumen tes kemampuan matematika dan instrumen tes
terkait bangun ruang), dan pedoman wawancara. Teknik
pengumpulan data menggunakan tes (tes kemampuan
matematika dan tes terkait bangun ruang) dan wawancara.
Sedangkan untuk menguji keabsahan data dapat dilakukan
melalui triangulasi dan member checking (pengecekan teman
sejawat). Data yang diperoleh kemudian dianalisis direduksi
(reduksi data yang diperoleh dari hasil tes bangun ruang dan
diperkuat dengan data hasil wawancara) selanjutnya dilakukan
penyajian data berupa teks naratif dan pada tahap akhir
dilaksanakan penarikan kesimpulan. Adapun untuk prosedur
penelitiannya dapat digambarkan pada bagan 1 dibawah ini
292
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Bagan 1. Prosedur Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian dari subjek siswa MTs Darussalam
Kademangan kelas VIII yang memiliki kemampuan matematika
yang berbeda yaitu siswa yang memiliki kemampuan
matematika tinggi, sedang dan rendah. Sesuai dengan tujuan
penelitian yaitu untuk mendeskripsikan profil antisipasi siswa
MTs Darussalam Kademangan dalam menyelesaikan masalah
pada materi bangun ruang ditinjau berdasarkan kemampuan
Pemilihan Subjek
Tes Kemampuan
Akademik
Tinggi Sedang Rendah
Pengambilan data
1.Tes Bangun Ruang 2.Wawancara Antisipasi
Analisis Data
Kesimpulan
293
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
matematika, maka diberikan tes berisi masalah terkait materi
bangun ruang kepada siswa. Adapun profil antisipasi pada siswa
akan disajikan pada tabel 2.1 dan akan dilengkapi dengan hasil
wawancara. Berikut akan disajikan tabel profil antisipasi siswa
MTs Darussalam Kademangan dalam menyelesaikan masalah
pada materi bangun ruang ditinjau berdasarkan kemampuan
matematika.
Tabel 2.1. Profil antisipasi siswa berdasarkan hasil
wawancara
No soal
Jawaban Siswa Deskripsi profil antisipasi siswa
berdasarkan hasil jawaban dan
wawancara siswa
Kemampuan matematika
1.
Siswa mengerjakan soal secara spontan memprediksinya dan melakukan tindakan bersamaan ide yang ada di dalamnya. Siswa tidak mengerjakan sesuai urutan prosedur pengerjaan yang benar dan juga menggunakan rumus yang tidak sesuai dengan perintah soal.
Rendah
Siswa mampu mengarahkan prediksi yang dimiliki dalam menganalisa masalah yang dihadapi sehingga dapat memunculkan langkah-langkah yang tepat yang diambil dalam penyelesaiain tersebut. Siswa mampu mengerjakan soal menggunakan rumus yang sesuai dan memperoleh hasil yang benar meskipun siswa tidak mengerjakan soal melalui prosedur
Sedang
294
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
pengerjaan soal yang baik.
Siswa mampu mengarahkan prediksi yang dimiliki dalam menganalisa masalah yang dihadapi sehingga dapat memunculkan langkah-langkah yang tepat yang diambil dalam penyelesaiain tersebut. Siswa mampu mengerjakan soal menggunakan rumus yang sesuai dan memperoleh hasil yang benar meskipun siswa tidak mengerjakan soal melalui prosedur pengerjaan soal yang baik.
Tinggi
2.
Siswa berpikir secara spontan memprediksi dan melakukan tindakan bersamaan dengan ide yang ada didalam pikirannya. Siswa belum mampu menganalisis soal sehingga kurang tepat dalam menentukan langkah-langkah pengerjaan soal.
Rendah
Siswa mampu memprediksi dan melakukan tindakan secara bersamaan dengan ide yang telah dipertimbangkan dengan matang guna menyelesaikan masalah yang dihadapi. Siswa mampu mengerjakan soal menggunakan rumus yang sesuai tetapi belum memperoleh hasil yang benar. Siswa tidak mengerjakan soal
Sedang
295
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
melalui prosedur pengerjaan soal yang baik, siswa juga kurang teliti.
Siswa mampu mengarahkan prediksi yang dimiliki dalam menganalisa masalah yang dihadapi sehingga dapat memunculkan langkah-langkah yang tepat yang diambil dalam penyelesaiain tersebut. Siswa mampu mengerjakan soal menggunakan rumus yang sesuai dan memperoleh hasil akhir yang benar. Siswa tidak mengerjakan soal melalui prosedur pengerjaan soal yang baik.
Tinggi
3.
Siswa belum mampu memprediksi penyelesaian dari soal tersebut. Siswa tidak melakukan analisis soal dan kebingungan menentukan rumus serta langkah yang akan digunakan.
Rendah
Siswa mampu memprediksi dan melakukan tindakan secara bersamaan dengan ide yang telah dipertimbangkan dengan matang guna menyelesaikan masalah yang dihadapi. Siswa mampu mengerjakan soal menggunakan rumus yang sesuai tetapi belum sampai pada hasil akhir. Siswa tidak mengerjakan soal melalui prosedur
Sedang
296
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
pengerjaan soal yang baik.
Siswa mampu mengarahkan prediksi yang dimiliki dalam menganalisa masalah yang dihadapi sehingga dapat memunculkan langkah-langkah yang tepat yang diambil dalam penyelesaiain tersebut. Siswa mampu mengerjakan soal menggunakan rumus yang sesuai dan memperoleh hasil akhir yang benar. Siswa tidak mengerjakan soal melalui prosedur pengerjaan soal yang baik.
Sehingga dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa
berdasarkan tes pada materi bangun ruang dan wawancara,
pada dasarnya siswa sudah memperoleh pengetahuan dasar
terkait materi bangun ruang. Tetapi siswa yang memiliki
kemampuan rendah cenderung kurang mampu
mengembangkan pengetahuan atau ide dasar mengenai bangun
ruang yang telah diperoleh untuk menyelesaikan masalah yang
ada. Siswa kurang mampu menganalisis masalah dan ide (rumus
serta langkah pengerjaan) tidak sesuai dengan masalah yang
ada. Hal tersebut terlihat dari kutipan wawancara di bawah ini :
Pewawancara : “Apakah langkah pertama yang Anda lakukan setelah membaca soal bangun ruang tersebut”
Subjek : “Setelah membaca soal tersebut, langsung mengerjakan soal sesuai rumus yang saya ingat saja”
Pewawancara : “Apakah Anda merasa kesulitan untuk memahami soal tersebut? Mengapa demikian?”
Subjek : “Iya, saya kurang memahami maksud dari soal mbak. Saya juga kesulitan menentukan langkah penyelesaiannya.”
297
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Pewawancara : “Apakah Anda yakin dengan prediksi hasil penyelesaian soal bangun ruang yang telah Anda lakukan?”
Subjek : “kurang yakin mbak, soalnya saya mengerjakan sesuai yang saya ingat saja. Saya ingatnya cuma sebagian.”
Sedangkan pada siswa yang memiliki kemampuan
matematika sedang, siswa mampu menggunakan dan
mengembangkan pengetahuan atau ide dasar mengenai bangun
ruang yang telah diperoleh sehingga mampu
mempertimbangkan langkah-langkah pengerjaan soal. Tetapi
siswa kurang mampu menganalisis masalah yang ada. Hal
tersebut sesuai dengan kutipan wawancara dibawah ini:
Pewawancara : “Apakah langkah pertama yang Anda lakukan setelah membaca soal bangun ruang tersebut?”
Subjek : “Setelah membaca soal pelan-pelan, lalu mengerjakan soal sesuai rumus yang saya pelajari.”
Pewawancara : “Apakah Anda merasa kesulitan untuk memahami soal tersebut? Mengapa demikian?”
Subjek : “Iya, saya kurang memahami maksud dari soal mbak. Saya juga kadang kesulitan menentukan rumus dan langkah pengerjaannya.”
Pewawancara : “Apakah Anda yakin dengan prediksi hasil penyelesaian soal bangun ruang yang telah Anda lakukan?”
Subjek : “Ya lumayan yakin mbak, soalnya saya mengerjakan semampu saya. Saya kerjakan sesuai rumus yang sudah saya pelajari.”
Siswa yang memiliki kemampuan matematika tinggi
mampu menganalisis masalah yang dan mampu menentukan
langkah penyelesaiannya sehingga prediksi yang dilakukan
tepat. Siswa mampu menyelesaikan masalah dengan benar,
dengan langkah dan prediksi yang sesuai dengan konteks
298
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
permasalahan yang ada. Hal tersebut sesuai dengan kutipan
wawancara dibawah ini :
Pewawancara : “Apakah langkah pertama yang Anda lakukan setelah membaca soal bangun ruang tersebut?”
Subjek : “Setelah membaca soal, saya mencoba memahami maksud dari soal itu. Setelah itu saya mengerjakan soal tersebut.”
Pewawancara : “Apakah Anda merasa kesulitan untuk memahami soal tersebut? Mengapa demikian?”
Subjek : “Iya, saya cukup memahami maksud dari soal mbak. Saya juga lumayan bisa mengerjakan dan bisa menentukan langkah penyelesaiannya.”
Pewawancara : “Apakah Anda yakin dengan prediksi hasil penyelesaian soal bangun ruang yang telah Anda lakukan?”
Subjek : “Saya lumayan yakin, saya mengerjakan dengan teliti. Sudah saya cek juga berkali-kali sebelum dikumpulkan.”
Dari hasil wawancara dan juga tes terkait bangun ruang,
maka kita dapat menganalisis profil antisipasi siswa MTs
Darussalam Kademangan berdasarkan tindakan spontan siswa
setelah menerima soal. Hal tersebut sesuai dengan yang
pendapat Butz (Butz, 2004), yang menyatakan bahwa antisipasi
diartikan sebagai suatu perilaku yang memediasi (penyelesaian
dalam menghadapi suatu masalah), bertujuan untuk
memfokuskan perhatian, prediksi terhadap kesulitan dalam
pembelajaran sehingga berpengaruh pada akal dan perilaku
serta keinginan untuk bisa, memotivasi serta niat dalam
menghadapi dan menyelesaikan masalah tersebut.
Simons dan Chabris (Simons & Chabris, 1999) dalam
hasil percobaannya mengungkapkan bahwa antisipasi mampu
mempengaruhi perilaku seseorang dalam berbagai bentuk
termasuk dalam perencanaan, pelaksanaan hingga analisis
suatu tindakan, pengambilan keputusan perilaku serta
299
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
pemrosesan perhatian. Meskipun percobaan tersebut bersifat
sedikit berbeda dan dilakukan di alam yang berbeda (dunia
hewan), namun hampir semua perilaku tersebut dipengaruhi
oleh prediksi, keinginan atau niat untuk mencapai masa depan.
Sedangkan menurut Liem, memprediksi merupakan suatu
kegiatan memahami dugaan terhadap hasil suatu kejadian
tanpa benar-benar melakukan operasi yang terkait dengan
kejadian tersebut. Dalam penelitian ini, memprediksi dapat
diartikan sebagai cara berpikir seseorang dalam memahami
dugaan hipotesis terhadap masalah yang dihadapi atau yang
mungkin terjadi serta segala aktivitas yang dilakukan untuk
mencapai solusi dari permasalahan tersebut.
Sehingga dari beberapa pendapat ahli diatas mengenai
antisipasi, maka dapat diartikan bahwa antisipasi merupakan
suatu tindakan ketika menghadapi suatu masalah untuk
memfokuskan pada prediksi dalam proses pembelajaran
sehingga individu dapat merencanakan, melaksanakan serta
analisis untuk mengambil keputusan.
Menurut Azza Agustina dalam penelitiannya,
mengungkapkan bahwa terdapat lima jenis antisipasi yaitu
antisipasi impulsif (impulsive anticipation), antisipasi kaku
(tenacious anticipation), antisipasi terinterisasi (interized
anticipation), antisipasi analitik (analytic anticipation) dan
antisipasi eksploratif (explorative anticipation). Adapun
penjelasannya terdapat pada tabel 2.2 dibawah ini.
Tabel 2.2 Deskripsi Klasifikasi Antisipasi
No. Antisipasi Deskripsi 1. Impulsif Kegiatan berpikir individu yang secara
spontan memprediksi dan melakukan tindakan bersamaan dengan ide yang ada dipikirannya.
2. Kaku Kegiatan berpikir individu yang bersikukuh dengan prediksi yang dimiliki dalam menghadapi suatu masalah.
300
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
3. Terinterisasi Kegiatan berpikir individu secara spontan dalam memprediksi dan melakukan tindakan secara bersamaan denga ide yang telah dipertimbangkan dengan matang guna menyelesaikan masalah yang dihadapi.
4. Analitik Kegiatan berpikir individu yang mampu mengarahkan prediksi yang dimiliki dengan menganalisa masalah yang dihadapi sehingga dapat memunculkan langkah-lagkah tepat yang diambil dalam penyelesaian tersebut.
5. Eksploratif Kegiatan berpikir individu dalam mengeksplorasi/menjelajahi ide , informasi maupun pengalaman, yang didapat untuk dimanfaatkan dalam penyelesaian masalah.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, siswa yang
memiliki kemampuan matematika yang berbeda juga memiliki
jenis antisipasi yang berbeda. Berdasarkan hasil tes dan
wawancara, diketahui bahwa siswa yang memiliki kemampuan
rendah melakukan antisipasi impulsif dimana siswa mampu
berpikir secara spontan memprediksi dan melakukan tindakan
sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki namun kurang
mampu menganalisis dan ide dan langkah yang digunakan tidak
sesuai dengan masalah yang dihadapi. Siswa yang memiliki
kemampuan sedang cenderung melakukan antisipasi
terinterisasi dimana siswa mampu menelaah pengetahuan yang
dimiliki, mempertimbangkan langkah yang akan diambil tetapi
kemampuan analisis masih kurang. Sedangkan siswa yang
memiliki kemampuan matematika tinggi cenderung melakukan
antisipasi analitik dimana mampu menganalisa dan
merencanakan langkah yang akan diambil sesuai konteks
masalah yang dihadapi serta dapat membuat prediksi yang
tepat.
301
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil tes bangun ruang dan hasil wawancara
pada penelitian “Profil Antisipasi Siswa MTs Darussalam
Kademangan Dalam Menyelesaikan Masalah Pada Materi
Bangun Ruang Ditinjau Berdasarkan Kemampuan Matematika”
diketahui bahwa siswa ditinjau berdasakan kemampuan
matematika dibagi menjadi tiga yaitu siswa yang memiliki
kemampuan matematika rendah, siswa yang memiliki
kemampuan sedang dan siswa yang memiliki kemampuan
matematika tinggi. Berdasarkan kemampuan matematika
tersebut, siswa yang memiliki kemampuan matematika yang
berbeda juga menggunakan jenis antisipasi yang berbeda.
Siswa yang memiliki kemampuan matematika rendah
cenderung menggunakan antisipasi impulsif dimana siswa
berpikir dan memprediksi secara spontan sesuai ide yang telah
dimiliki namun siswa kurang mampu melakukan analisis
masalah dan menggunakan ide yang dimiliki untuk
menyelesaikan masalah. Siswa yang memiliki kemampuan
matematika sedang cenderung menggunakan antisipasi
terinterisasi dimana siswa mampu berpikir cepat dan
memprediksi, siswa mampu menelaah dan mempertimbangkan
langkah yang akan diambil namun kemampuan analisis masalah
masih kurang. Sedangkan pada siswa yang memiliki
kemampuan matematika tinggi menggunakan antisipasi
analitik dimana siswa mampu menganalisa dan merencanakan
langkah yang akan diambil dalam menyelesaikan masalah dan
membuat prediksi yang tepat.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian “Profil Antisipasi Siswa MTs
Darussalam Kademangan Dalam Menyelesaikan Masalah Pada
Materi Bangun Ruang Ditinjau Berdasarkan Kemampuan
Matematika” maka saran yang dapat diberikan antaralain :
302
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
1. Sebaiknya siswa yang memiliki kemampuan matematika
rendah harus belajar lebih giat dan berlatih sering
mengerjakan soal-soal agar kemampuan analisis dan
prediksi soal meningkat.
2. Sebaiknya siswa yang memiliki kemampuan matematika
sedang harus lebih giat dan membiasakan diri mengerjakan
soal-soal yang sesuai serta lebih teliti dalam mengerjakan
soal yang ada sehingga mampu meningkatkan kemampuan
analisis masalah dan dapat merencanakan langkah
penyelesaian serta prediksi yang tepat.
3. Sebaiknya siswa yang memiliki kemampuan matematika
tinggi lebih giat belajar untuk mempersiapkan diri ketika
dihadapkan masalah, siswa harus lebih teliti dan fokus
untuk menganalisis masalah serta mempertimbangkan
langkah penyelesaian serta prediksi penyelesaian yang
tepat.
303
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
DAFTAR RUJUKAN
Aprilia, M. (2015). Mengatasi kesulitan pemahaman konseptual
dengan pendekatan antisipasi didaktis materi penjumlahan
pecahan di MTs, 1–14.
Asrori, M. (2006). psikologi pembelajaran (CV Wacana).
bandung.
Butz, M. V. (2004). Anticipation for Learning, Cognition, and
Education. Illigal Report, (2004027), 1.
Faradillah, A., Hadi, W., Tsurayya, A., Pusparini, F., Riandi, R.,
Sriyati, S., … Rustaman, N. Y. (2017). The Anticipation : How
to Solve Problem in Integral ? The Anticipation : How Solve
Problem. https://doi.org/10.1088/1742-
6596/755/1/011001
Mutazam, Tandililing, E., & Hartoyo, A. (2017). Pembelajaran
NHT Berstruktur Antisipasi Didaktis untuk Meningkatkan
Kemampuan Representasi Matematis dan Penyelesaian
masalah Matematika, 1–12.
Risqiyani, R., Fatimah, S., & Mulyana, E. (2017). DESAIN
DIDAKTIS BANGUN RUANG SISI DATAR UNTUK
MENINGKATKAN LEVEL BERPIKIR GEOMETRI SISWA MTs.
Jurnal Pendidikan Matematika Indonesia, 1(1).
Simons, D. J., & Chabris, C. F. (1999). Gorillas in our midst:
sustained inattentional blindness for dynamic events, 28,
1059–1074.
Yudianto, E. (2015a). Karakteristik antisipasi analitik siswa sma
dalam memecahkan soal integral. Saintifika, 17(2), 34–39.
Yudianto, E. (2015b). KARAKTERISTIK ANTISIPASI IMPULSIF
SISWA SMA DALAM MEMECAHKAN SOAL INTEGRAL.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dan Sains, 109–116.
Yudianto, E. (2015c). Profil Antisipasi Siswa SMA dalam
Memecahkan Masalah Integral. Jurnal Matematika Kreatif-
Inovatif, 6(1), 21–25.
Yudianto, E. (2016). Studi Kasus: Karakteristik Antisipasi
304
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Eksploratif. AdMathEdu, 6(2), 131–136.
Yudianto, E. (2017). Antisipasi Ide Kreatif Mahasiswa Level
Rigor dalam Menentukan Algoritma Benda Ruang
Menggunakan Maple. Jurnal Dikdatis Matematika, 4(2), 98–
106.
305
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA SELF-REGULATED LEARNING (PMSRL) SEBAGAI UPAYA
MENUMBUHKAN POLA PIKIR KREATIF DAN INOVATIF DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS IT
DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Dr. DEWI ASMARANI, M. Pd
ABSTRAK
Berpikir kreatif dan Inovatif adalah salah satu kemampuan
individu yang dibutuhkan di abad ke-21 yang dapat
diberdayakan melalui pembelajaran. Kemampuan tersebut
dapat menjadi bekal bagi peserta didik untuk menyelesaikan
berbagai masalah, termasuk dalam pembelajaran matematika
berbasis IT. Kemampuan berpikir kreatif dan Inovatif tidak
dapat tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, akan tetapi
perlu dirangsang melalui suatu model pembelajaran yang
membantu memberdayakan kemampuan tersebut. Salah satu
model pembelajaran yang membantu memberdayakan
kemampuan berpikir kreatif dan Inovatif adalah model
Pembelajaran Matematika Self-Regulated Learning (PMSRL).
Setiap fase PMSRL memiliki kekuatan untuk melibatkan
peserta didik untuk menunjukkan kemampuan berpikir kreatif
dan inovatif yang dimiliki.
Kata kunci: PMSRL, Kreatif dan Inovatif, Pembelajaran
Matematika berbasis IT
306
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Pendahuluan
Kemajuan tehnologi yang begitu pesat memberikan
dampak yang cukup besar bagi dunia pendidikan. Mau tidak
mau, suka tidak suka, dunia pendidikan harus terus
menyesuaikan diri dengan perkembangan tehnologi yang ada.
Demikian juga dengan Revolusi Industri 4.0, pemanfaatan
teknologi Komputer dan internet yang super canggih secara
tidak langsung memicu perubahan proses pembelajaran yang
sedang berlangsung di sekolah. Dengan adanya perubahan ini
pendidik danpeserta didik dituntut untuk beradaptasi dan
mengusai teknologi yang ada. Demikian juga dalam
pembelajaran matematika. Dalam pembelajaran matematika di
sekolah pendidik danpeserta didik tidak lagi memfokuskan diri
pada pemakaian alat peraga sebagai alat untuk menyelesaikan
masalah, akan tetapi pendidik dan peserta didik harus berupaya
bagaimana masalah tersebut dapat diselesaikan dengan
menggunakan teknologi yang ada. Oleh sebab itu mereka
dituntut untuk mampu menguasai beberapa aplikasi
matematika seperti: Aplikasi PC Maple, Geogebra, Euler Math
Toolbox, Microsoft Mathematic, Math Editor dll. Sedangkan
aplikasi yang dapat digunakan dengan menggunakan Hp
Android adalah: Rumus Matematika, MalMath, MathWay dll.
Di era Revolusi Industri 4.0 ini manusia dan mesin akan
bersaing. Jika manusia tidak mampu mengikuti perkembangan
tehnologi yang terjadi, maka dengan sendirinya dia akan
tergerus atau tergantikan oleh mesin-mesin yang super canggih.
Untuk menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0 ini, manusia
perlu melakukan beberapa perubahan diantaranya perubahan
cara belajar, pola pikir, dan perilaku. Tentunya perubahan
tersebut harus disupport oleh infrastruktur Tehnologi dan
Informasi. Salah satu perubahan pola pikir yang ditumbuhkan
dalam menghadapi revolusi 4.0 adalah pola pikir kreatif dan
inovatif. Hal ini sejalan dengan pendapat Houng (2014) yang
mengatakan bahwa Kemampuan berpikir kreatif harus menjadi
salah satu kemampuan penting untuk abad 21 dimana peserta
didik harus memperoleh dan menggunakannya. Akan tetapi
307
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
pada kenyataannya banyak sekali penelitian yang menunjukkan
bahwa berpikir kreatif peserta didik di Indonesia masih rendah.
Penyebab terjadinya masalah tersebut adalah pendidik tidak
mengetahui cara tepat untuk meningkatkan kreativitas siswa
dalam proses belajar di kelas (Laius, 2014) dan Pendekatan
pembelajaran yang digunakan untuk mengembangkan
keterampilan berpikir kreatif terlalu sulit diterapkan untuk
peserta didik dengan kemampuan berpikir kreatif yang rendah
(Cheng, 2010). Oleh sebab itu dalam tulisan ini penulis akan
membahas sedikit tentang model pembelajaran yang sesuai
untuk menumbuhkan pola pikir kreatif dan inovatif sebagai
salah satu upaya menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0
Berpikir Kreatif dan Inovatif dalam Matematika
Berpikir kreatif merupakan suatu aktivitas mental
menghasilkan ide-ide atau gagasan baru dalam menyelesaikan
masalah. Aktivitas mental ini mengarahkan individu untuk
mendapatkan cara baru, pendekatan baru, dan wawasan baru
(McGregor, 2007). Sejalan dengan McGregor, Siswono (2006)
mengatakan bahwa berpikir kreatif adalah proses
memunculkan ide atau gagasan baru yang diperoleh dari ide
atau gagasan sebelumnya.
Menurut Uno (2014) berpikir kreatif adalah sebagai suatu
bentuk pemikiran, berusaha menemukan hubungan-hubungan
baru, mendapatkan jawaban, metode atau cara-cara baru dalam
menanggapi suatu masalah, atau menghasilkan bentuk-bentuk
artistik baru. Menurut Surya (2011) berpikir kreatif akan
memudahkan seseorang dalam mengembangkan proses
berpikir, menunjukkan keberanian mencari, memunculkan dan
menemukan ide-ide baru maupun berbagai alternatif untuk
menghadapi dan memecahkan tantangan hidup maupun
keinginan menciptakan hal-hal baru yang orisinal. Ide atau
gagasan baru ini akan diwujudkan melalui inovasi-inovasi baru
yang menunjang keberhasilan mereka dalam belajar, khususnya
belajar menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0. Dari
beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir
kreatif adalah kemampuan individu dalam mengungkapkan ide-
308
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
ide atau gagasan yang ada pada dirinya guna memecahkan
masalah yang dihadapinya baik secara konsep maupun nyata,
sehingga menghasilkan ide-ide baru atau cara memandang
seseuatu dengan cara yang berbeda dari biasanya.
Berpikir kreatif merupakan suatu aktivitas mental yang
dilakukan individu tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari
saja. Di dalam bermatematika berpikir kreatif juga sangat
diperlukan terutama dalam menyelesaikan masalah
matematika. Menurut Park (2004) berpikir kreatif matematis
sebagai kemampuan menemukan solusi terhadap suatu
masalah matematika secara mudah dan fleksibel. Sejalan
dengan Park, Dilla, dkk (2018) mendifinisikan berpikir kreatif
matematis sebagai suatu kemampuan menyelesaikan masalah
matematika dengan memperhatikan beberapa aspek khusus
yaitu: kelancaran, keluwesan, keaslian dan elaborasi.
Kelancaran adalah suatu kemampuan menjawab masalah
matematika secara tepatatau benar. Keluwesan adalah
kemampuan menjawab masalah matematika melalui cara yang
tidak baku atau berbeda debgan cara yang dicontohkan guru.
Keaslian adalah kemampuan menjawab masalah matematika
dengan menggunakan bahasa, cara, atau idenya sendiri.
Elaborasi adalah kemampuan memperluas jawaban masalah
dengan memunculkan masalah baru.
Pembelajaran Matematika Berbasis IT
Tujuan mempelajari matematika adalah untuk
membekali peserta didik dengan kemampuan mengamati,
menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta.
Kompetensi tersebut diperlukan agar pembelajaran
matematika lebih bermakna (Departemen Pendidikan Nasional,
2013). Dengan pembelajaran yang lebih bermakana diharapkan
Peserta didik mampu memperoleh, mengelola, dan
memanfaatkan informasi yang dipelajari untuk bertahan hidup
pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Untuk menunjang keberhasilan tujuan pembelajaran
matematika tidaklah mudah. Banyak sekali faktor yang
309
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
mempengaruhinya. Salah satu faktor penunjangnya adalah
kemajuan teknologi dan informasi saat ini. Karena kemajuan
teknologi inilah maka pembelajaran di kelaspun juga harus
berubah. Perubahannyapun harus menyesuaikan
perkembangan teknologi saat ini. Dengan peubahan ini, maka
dalam pembelajaran di kelas, pendidik dan peserta didik
dituntut untuk selalu berusaha memanfaatkan kemajuan
teknologi yang ada. Sanjaya (2007) mengatakan ”Pemanfaatan
Teknologi dalam pembelajaran menjadikan proses lebih
menarik, mudah diterima, dan meningkatkan motivasi siswa
untuk belajar dimana saja dan kapan saja”. Hal ini diperkuat
oleh penelitian Zakariya (2015) yang menunjukkan bahwa
”80,67% siswa merespon positif dan tertarik terhadap media
yang digunakan guru dalam menyampaikan materi”.
Pembelajaran matematika dengan memanfatkan teknologi kita
kenal sebagai pembelajaran matematika berbasis IT.
Pembelajaran matematika berbasis IT adalah pembelajaran
yang memanfaatkan teknologi, informasi, dan komputer dalam
menyelesaikan soa-soal biasa maupun soal-soal yang
mengandung masalah matematika. Dalam pembelajaran
matematika berbasis IT ini peserta didik dituntut untuk selalu
aktif, kreatif, dan inovatif dalam mengoperasikan dan
menginput data dalam aplikasi yang digunakan. Adapun
permasalahan-permasalahan yang diberikan berupa materi
Aljabar, Fungsi, Grafik Fungsi. Limit Fungsi, Integral, dll.
Model Pembelajaran Matematika Self-Regulated Learning
(PMSRL) Sebagai Upaya Menumbuhkan Pola Pikir Kreatif
dan Inovatif dalam Pembelajaran Matematika Berbasis IT
di Era Revolusi Industri
PMSRL adalah salah satu model pempelajaran matematika
yang dikembangkan oleh Asmarani (2016). PMSRL dipilih
sebagai salah satu model pembelajaran yang mampu
menumbuh kembangkan pola pikir kreatif dan inovatif. PMSRL
merupakan model yang berorientasi pada peserta didik. PMSRL
dikembangkan untuk melatih pola pikir kreatif dan inovatif
melalui kegiatan pemberian tugas atau masalah untuk
310
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
diselesaikan secara mandiri. Aktivitas ini sering kita kenal
dengan Self-Regulated Learning. Sementara itu menurut Keyser,
M.W (2000) Self-Regulated Learning adalah salah satu metode
yang dapat digunakan untuk mengaktifkan peserta didik agar
lebih kreatif dan inovatif. Hal inilah yang menjadi pertimbangan
mengapa model PMSRL dapat digunakan untuk menumbuhkan
pola pikir kreatif dan inovatif dalampembelajaran matematika
berbasis IT.
PMSRL dikembangkan dengan 4 fase penting yaitu fase-1
perencanaan, fase-2 menampilkan, fase-3 refleksi, dan fase-4
pemantapan. Fase perencanaan di awali dengan pemberian
tugas atau masalah kepada peserta didik. Masalah yang
diberikan berupa tugas mengoperasikan software yang telah
ditentukan oleh pendidik. Di fase ini peserta didik mulai
merencanakan strategi apa yang akan digunakan untuk
menyelesaikan tugas atau masalah yang diberikan. Selain itu
peserta didik dituntut untuk bisa menetapkan tujuan dari tugas
yang dipberikan, memahaminya, dan menggali informasi yang
sesuai sehingga tersusun rencana penyelesaian yang tepat.
Aktivitas ini merupakan aktivitas mengkontruksi ide atau
gagasan baru yang yang menekankan pada kelancaran,
keluwesan, keaslian, dan elaborasi dari peserta didik
(Fitriarosah, 2016).
Fase kedua yaitu fase menampilkan. Pada fase ini peserta
didik mulai melaksanakan apa yang mereka rencanakan.
Mereka akan mencoba berbagai strategi yang memungkinkan
dilakukan dalam fase ini. Menurut Paris (2001) mengatakan
peserta didik yang sukses adalah peserta didik yang berhasil
menerapkan berbagai macam strategi pembelajaran dalam
menyelesaikan tugas. Ketika mencoba berbagai strategi,
kreatifitas peserta didik akan diuji kembali dalam fase ini.
Pemilihan strategi membutuhkan intuisi dan pemikiran
divergen untuk menghasilkan ide-ide untuk menemukan
penyelesaian (Suriany, 2016)
Fase ketiga yaitu fase Refleksi. Pada fase refleksi ini peserta
didik akan menampilkan hasil kerjanya untuk mendapatkan
311
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
umpan balik dari yang lain. Umpan balik berarti mendengarkan
pernyataan orang lain dan menerimanya dengan pikiran
terbuka serta menghargainya. Akan tetapi, umpan balik yang
diberikan tidak berarti bahwa dia harus setuju dengan atau
bertindak atas setiap saran, artinya perlu mendengarkan,
merenungkan, dan mengambil tindakan yang tepat. Berbagai
pertanyaan juga masukan dari peserta didik yang lain akan
merangsang sekaligus menantang presenter untuk terus
mengembangkan banyak ide menghasilkan sesuatu yang baru
(Saefudin, 2012).
Fase keempat yaitu fase Pemantapan. Pada fase
pemantapan aktivitas yang dilkukan adalah menerapkan
pengetahuan dan keterampilan yang dia peroleh untuk
memecahkan masalah. Hal ini bertujuan agar pengetahuan
maupun keterampilan yang diperoleh dapat dipahami dengan
baik dan menjadi lebih bermakna. Jika seorang siswa mampu
mengembangkan konsep, kaidah, prinsip, dan strategi yang
bervariasi untuk memecahkan masalah, maka pengetahuan
yang diperolehnya lebih berakar (Winkel, 2012). Sementara
menurut Uno (2014) dengan belajar menemukan hubungan dan
metode baru untuk mendapatkan jawaban dari suatu masalah
dapat menumbuhkan pola piker kreatif.
Berikut bagan model PMSRL dalam pembelajaran
matematika berbasis IT
312
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Bagan 1 Model PMSRL Dalam Pembelajaran Matematika Berbasis
IT
1. Melakukan umpan balik
2. Mengevaluasi hasil kerja
1. Melaksanakan
rencana
2. Memantau strategi
1. memahami
masalah
2. Menentukan
rencana
penyelesaian
1. Fase Perencanaan
2. Fase Menampilkan
3. Fase Refleksi
4. Fase Pemantapan Menyelesaikan masalah
matematika
313
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Daftar Pustaka
Asmarani. 2016. Pengembangan Model Pembelajaran
Matematika Self-Regulated Learning Disertasi. Tidak
diterbitkan.
Cheng, V.M.Y. (2010). Teaching Creative Thinking In Regular
Science Lessons: Potentials And Obstacles Of Three
Different approaches in an Asian context. Asia-Pacific
Forum on Science Learning and Teaching, 11(1), Article 17,
p.1
Depdiknas. 2013. Kurikulum 2013. Depdiknas. Jakarta.
Dilla, Siska Chindy, dkk. 2018. Faktor Gender dan Resiliensi
dalam Pencapaian Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis
Siswa SMA. Journal of Medives. 2 (1): 129-136
Fitriarosah, N.2016. Pengembangan Kemampuan Berpikir
Kreatif Matematis untuk siswa SMP.Malang: Prosiding
Seminar Nasional Pendidikan 2016 volume 1 tahun 2016
Universitas Kanjuruhan Malang. 243-249
McGregor, Debra. 2007. Developing Thinking Developing
Learning. Poland: Open University Press.
Moma, La. 2015. Pengembangan Instrumen Kemampuan
Berpikir Kreatif Matematis Untuk Siswa SMP. Delta-Pi:
Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika PMIPA FKIP
Universitas Pattimura Ambon. volume 4 nomor 1, hlm 27-
41.
Houng, E. 2014. “Creative Thinking Abilities:Measures for
Various Domains” dalam O’Neil et al (Ed.), Teaching and
Measuring Cognitive Readiness. New York: © Springer
Science+Business Media New York. Hlm. 208
Laius, A., & Rannikmae, M. (2014). Longitudinal Teacher
Training Impact on Students’ Attributes of Scientific
Literacy. International Journal of Humanities and Social
Science, 4(6): 63-72
314
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Paris, S.G. 2001. Classroom Applications of Research on Self-
Regulated Learning. Journal Educational Psychologist,
36(2): 89–101
Park. H. 2004.The Effects of Divergent Production Activities
With Math Inquiry and Think Aloud of Students With Math
Difficulty. Disertasi. [Online] Tersedia:
http://txspace.tamu.edu/bitstream/1969.1/2228/1/etd‐
tamu‐2004.
Saefudin, A.A. 2012. Pengembangan Kemampuan Berpikir
Kreatif siswa dalam pembelajaran matematika dengan
pendekatan Pendidikan matematika Realistik Indonesia
(PMRI). Al–Bidayah volume 4 nomer 1. hlm37-48.
Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi
Standar Proses Pendidikan. Jakarta : kencana.
Siswono, Tatag Yuli Eko. 2006. Desain Tugas untuk
Mengidentifikasi Kemampuan Berpikir kreatif Siswa dalam
Matematika. Jurnal. Online
http://tatagyes.files.wordpress.com/2007/10/tatag_jurna
l_unej.pdf.
Suriany,Erma. 2016. Peningkatan Kemampuann Berpikir
Kreatif Matematis Siswa SMA Melalui Pembelajaran Math-
Talk Learning Community. Indonesian Digital Journal of
Mathematics and Education. volume 5. Hlm 296-303.
Surya, H. 2011. Strategi Jitu mencapai Kesuksesan Belajar.
Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Uno, B. H. 2014. Variabel Penelitian dalam Pendidikan dan
Pembelajaran. Jakarta:PT. Ina Publikatama.
Winkel, W.S. 2012 Psikologi Pengajaran. Media Abadi.
Yogyakarta.
Zakariya 2015 “Penerapan Media Pembelajaran Animasi untuk
Meningkatkan Hasil Belajar pada Materi Kompetensi Dasar
Konstruksi Tangga Mahasiswa Kelas XI TGB SMK Negeri 3
Surabaya”, Volume 2, Nomor 2, Tahun 2015.
315
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
PERAN PENDIDIK DALAM MENUMBUHKAN KREATIFITAS DAN INOVASI MELALUI PEMBELAJARAN
MATEMATIKA BERBASIS TEKNOLOGI DI ERA RI 4.0
Yus Mochamad Cholily
Program Studi Pendidikan Matematika
Universitas Muhammadiyah Malang
ABSTRAK
Kita hidup di jaman era revolusi industri 4.0 sehingga aktivitas
manusia selalu berhubungan dengan teknologi. Tidak terkecuali
di dunia pendidikan. Kini pembelajaran dapat dilakukan melalui
teknologi. sehingga lebih mudah bagi pendidik dan siswa dalam
melaksanakan proses belajar mengajar. Hal ini semua menjadi
tantangan bagi pelaku pendidikan. Kemudahan setiap orang
dalam menggunakan internet terkadang disalahgunakan.
Sehingga pendidik perlu membimbing siswa dalam
memanfaatkan teknologi dengan baik. Tutntutan pada dunia
pendidikan ke depan salah satunya yaitu pola pikir kreatif dan
inovatif yang berwawan ke depan. Pembelajaran matematika
dapat salah satu sarana untuk melatih siswa dalam berfikir
kreatif dan inovatif melalui pemecahan masalah. Melalui
pembelajaran matematika berbasis teknologi yang baik akan
menumbuhkan kreatifitas dan inovasi pada siswa karena secara
umum siswa sudah paham dengan teknologi. Sikap kreatifitas
merupakan kemampuan untuk menciptakan hal baru,
sedangkan inovasi siswa akan muncul melalui eksperimennya
sehingga mereka mampu menemukan sesuatu yang baru.
Kreatifitas dan inovasi merupakan sifat bawaan tiap individu
yang dapat ditumbuhkembangkan. Pendidik mempunyai peran
untuk menstimulasi siswa sehingga muncul sikap kreatif dan
inovatifnya. Stimulasi melalui metode, media serta teknologi
316
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
diharapkan mampu menumbuhkan sikap kreatif dan inovatif
siswa.
Kata kunci: Kreatif dan Inovatif, Pembelajaran Matematika,
Revolusi Industri 4.0
Pendahuluan
Era Revolusi Industri (RI) dimulai dari RI 1.0 pada sekitar
abad ke-18, RI 2.0 pada abad ke 19-20, RI 3.0 sekitar tahun
1970an kemudian RI 4.0 yang dimulai pada tahun 2010an
hingga kini. RI 4.0 menggunakan rekayasa intelegensia dan
internet of thing sebagai tulang punggung pergerakan dan
konektivitas manusia dan mesin (Prasetyo & Trisyanti, 2018).
Indonesia telah memasuki era revolusi industri 4.0 sejak tahun
2018. Berbagai perubahan dan usaha dilakukan oleh
pemerintahan Indonesia untuk menghadapi dampak RI 4.0. Di
bidang pendidikan, Indonesia saat ini berada pada peringkat ke-
38 dari 137 negara di Asia Tenggara.
Era Revolusi Industri (RI) 4.0 membawa tuntutan
tersendiri bagi dunia pendidikan. Salah satu tuntutannya adalah
kemampuan berfikir kreatif dan inovatif (Hakim, 2019; Sujadi,
2018). Baik pendidik maupun siswa harus kreatif dan inovatif.
Seorang pendidik harus kreatif dan inovatif dalam
menyampaikan pembelajaran kepada siswa (Wartomo, 2016).
Pendidik yang kreatif dan inovatif dapat membangun kreatifitas
dan inovasi dalam diri siswa. Pendidik yang tidak kreatif dan
inovatif tidak akan bisa memenuhi tuntutan era RI 4.0. Begitu
pula dengan siswanya. Siswa harus dapat berfikir kreatif dan
inovatif agar dapat mengikuti perkembangan jaman. Menurut
Nasir (Ristekdikti, 2018) perlu dipersiapkan Sumber Daya
Manusia yang kompeten dan mampu berfikir inovatif dalam
menerapkan ilmunya pada dunia kerja.
Kenyataannya, siswa Indonesia saat masih perlu
ditumbuhkan sikap kreatif dan inovatifnya. Kreatifitas siswa
Indonesia dalam penelitian Listyowati dkk menunjukkan siswa
317
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
belum tuntas tes kreatifitas. Hasil observasi di SMP Negeri 2
Padang juga menunjukkan bahwa siswa tidak kreatif (Hasanah,
Ilyas, & Afdal, 2018). Siswa Indonesia masih sering mencotek,
masih banyak siswa yang belum dapat mengembangkan
kreatifitas dalam belajar dan mengikuti kegiatan
ekstrakurikuler, serta siswa kurang semangat dalam mengikuti
pembelajaran. Hal tersebut mungkin karena pendidik yang
tidak mampu memvariasi metode pembelajaran yang
digunakan dalam mengajar sehingga siswa tidak minat
mengikuti proses belajar mengajar.
Fakta lain menunjukkan bahwa tidak semua pendidik di
Indonesia dapat memanfaatkan kemajuan teknologi karena
rendahnya pengetahuan pendidik pada teknologi. Selain itu,
pendidik masih terbiasa dengan pembelajaran konvensional era
tahun 80an. Sedangkan siswa jaman sekarang sudah tidak dapat
menerima system pembelajaran 80an (Wartomo, 2016).
Keadaan seperti ini dapat memperburuk permasalahan
pendidikan di era RI 4.0. Seharusnya perlu diberikan
pembimbingan kepada pendidik dalam memanfaatkan
kemajuan teknologi pada pembelajaran (Andriani, 2010).
Pendidik memiliki peran penting dalam
menumbuhkembangkan kreatifitas dan inovasi siswa. Melalui
pembelajaran matematika berbasis teknologi, pendidik dapat
membantu siswa untuk menumbuhkan pola pikir kreatif dan
inovatif. Pembelajaran matematika dapat melatih siswa dalam
berfikir kreatif dan inovatif dalam pemecahan masalah
(Sudrajat, 2008).Oleh sebab itu, seorang pendidik harus dapat
memenuhi tuntutan jaman dan menyadari perannya dalam
menumbuhkan kreatifitas dan inovasi siswa. Sehingga pendidik
harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan untuk
membantu siswanya dalam menumbuhkan kreatifitas dan
inovasi.
Era Revolusi Industri 4.0
318
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Pendidikan pada era revolusi 4.0 di abad ini berbeda
dengan abad sebelumnya. Kini telah dikenal super komputer,
Internet of Things (IoT), dan Internet of People (IoP). Revolusi
Industri 4.0 berpotensi untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat (Syamsuar & Reflianto, 2018). Kemajuan teknologi
mengubah kehidupan manusia mulai dari kebiasaan, cara hidup
hingga ilmu pengetahuan manusia (Suciati, 2018).
Era Revolusi Industri (RI) 4.0 membawa tuntutan
tersendiri bagi dunia pendidikan. Salah satu tuntutannya adalah
kemampuan berfikir kreatif dan inovatif (Hakim, 2019; Sujadi,
2018). Menurut Roekel (dalam Susriyati Mahanal, 2014), siswa
harus menguasai 4 keterampilan yang salah satunya adalah
kreatifitas dan inovasi. Baik pendidik maupun siswa harus
kreatif dan inovatif. Seorang pendidik dituntut untuk kreatif dan
inovatif dalam menyampaikan pembelajaran kepada siswa
(Wartomo, 2016). Pendidik yang kreatif dan inovatif dapat
membangun kreatifitas dan inovasi dalam diri siswa. Pendidik
yang tidak kreatif dan inovatif tidak akan bisa memenuhi
tuntutan era RI 4.0. Oleh sebab itu diharapkan pendidik dapat
menciptakan pembelajaran yang menumbuhkan kreatifitas dan
inovasi siswa (Hasibuan, 2017). Begitu pula dengan siswanya.
Siswa harus dapat berfikir kreatif dan inovatif agar dapat
mengikuti perkembangan jaman. Menurut M.Nasir perlu
dipersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten dan
berfikir inovatif dalam menerapkan ilmunya dalam dunia
pekerjaan (Ristekdikti, 2018).
Era RI 4.0 ini seluruh kehidupan manusia dikuasai oleh
teknologi. Sangat diharapkan bahwa pendidik harus memiliki
kemampuan dan keterampilan dalam menggunakan teknologi
(Syamsuar & Reflianto, 2018). Pendidik juga harus dapat
menggunakan teknologi dalam pembelajaran. Hal ini tentunya
juga membutuhkan dukungan pemerintah dalam hal
transformasi pembelajaran menggunakan teknologi digital
untuk mendorong pembelajaran yang berpusat pada minat
belajar peserta didik (Sujadi, 2018).
319
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Kreatif dan Inovatif
Seseorang dapat dikatakan kreatif ketika ia mampu
menghasilkan suatu hal yang baru, baik gagasan baru serta
dapat menggunakannya untuk memecahkan masalah
(Andheska, 2017; Hasanah et al., 2018). Seseorang juga dapat
dikatakan kreatif jika ia dapat mengembangkan potensinya,
membuat hal-hal yang sifatnya masih baru, serta peka terhadap
masalah dirinya dan lingkungannya. Kreatif merupakan sifat
dasar seseorang untuk berpikir positif sehingga dapat
mengembangkan potensinya dengan baik (Sunarto, 2019).
Kreatifitas merupakan potensi bawaan dari tiap orang serta
pengaruh dari lingkungannya (Hartanto, 2011). Kreatifitas
bersumber dari imajinasi, ide, dan proses kreatif (Istifadah &
Tjaraka, 2017). Oleh sebab itu kreatifitas dapat dan perlu dilatih
serta ditumbuhkembangkan.
Inovasi merupakan proses dalam menciptakan
gagasan/hal-hal baru yang belum pernah ada (Afifah, 2015).
Revolusi industri telah membawa perubahan yang dapat
memudahkan pendidik dalam berinovasi pada proses belajar
mengajar. Pendidik yang melakukan inovasi dalam
pembelajaran adalah pendidik yang menggunakan berbagai
macam metode pembelajaran dan selalu peka terhadap
perubahan siswanya (Sunarto, 2019).
Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi
Kemajuan teknologi mengubah kehidupan manusia
mulai dari kebiasaan, cara hidup hingga ilmu pengetahuan
manusia (Suciati, 2018). Termasuk dalam proses belajar
mengajar. Kemajuan teknologi juga memudahkan individu
untuk memperoleh ilmu pengetahuan (Andriani, 2010).
Revolusi Industri 4.0 membawa perubahan yang cepat dalam
kemajuan dan teknologi. Tinggal bagaimana tiap individu dapat
menyikapi perubahan ini sehingga teknologi pada era 4.0 dapat
dimanfaatkan pada pembelajaran.
Matematika merupakan ilmu yang dipelajari pada semua
jenjang pendidikan. Belajar matematika dapat menjadi bekal
320
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
bagi tiap individu untuk mempelajari pengetahuan modern
karena bersifat dinamis serta segala ilmu pengetahuan
didasarkan oleh bahasa matematika (Sudrajat, 2008). Selama ini
seringkali matematika menjadi momok bagi siswa di Indonesia
(Rangkuti, 2014). Diperlukan pendidik yang kreatif untuk
melakukan inovasi dalam pembelajaran matematika agar siswa
senang dalam belajar matematika (Rangkuti, 2014).
Abad 21 juga menutut pendidik untuk dapat
mengembangan pembelajaran yang sesuai dengan
perkembangan jaman. Pendidik harus memiliki cerminan
kinerja inovatif yaitu dapat merekayasa organisasi,
mengembangkan keterampilan serta menerapkan teknologi
baru (Hasibuan, 2017). Inovasi pembelajaran di era RI 4.0 dapat
dilakukan dengan memanfaatkan sarana teknologi informasi
era RI 4.0 (Syamsuar & Reflianto, 2018). Selain itu, kemajuan
teknologi informasi di era RI 4.0 ini dapat memudahkan
pendidik maupun siswa untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Tidak terkecuali pada pembelajaran matematika. Tidak hanya
dalam pembelajaran, pendidik dapat memanfaatkan teknologi
Big Data untuk meneliti dan menganalisa kemampuan anak agar
dapat menentukan metode pembelajaran yg tepat.
Teknologi internet yang kini dapat digunakan dimanapun
juga harus dapat dimanfaatkan oleh guru untuk melakukan
pembelajaran secara online. Pembelajaran secara online
mungkin dapat menarik minat dan motivasi siswa. Sehingga
belajar matematika menjadi menyenangkan. Pembelajaran
online di Indonesia dapat dilakukan misalnya dengan membuat
blog atau website yang berisikan materi, media maupun tugas
yang harus diselesaikan oleh siswa. Selain itu, saat ini sedang
marak penggunaan media sosial Whatsapp yang juga dapat
dimanfaatkan oleh guru dengan membuat grup obrolan sebagai
tempat diskusi. Sehingga pembelajaran matematika dapat
dilakukan dimanapun dan kapanpun.
321
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Peran Pendidik dalam Menumbuhkan Pola Pikir Kreatif
dan Inovatif
Berdasarkan kebijakan pendidikan nasional, seorang
pendidik harus memiliki empat kompetensi yaitu kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, serta
kompetensi professional (Afifah, 2015). Kompetensi pedagogik
berarti pendidik harus memiliki landasan pendidikan,
memahami peserta didik, dapat merancang pembelajaran,
melaksanakan pembelajaran yang mendidik dan dialogis,
mengevaluasi hasil pembelajaran, serta membantu peserta
didik untuk mengaktualisasikan diri. Peran pendidik dalam
pembelajaran era digital yaitu sebagai sumber belajar,
fasilitator, pengelola, demonstrator, pembimbing, motivator,
evaluator (Wartomo, 2016). Pendidik juga harus memiliki
cerminan kinerja inovatif dengan merekayasa organisasi,
mengembangkan keterampilan serta menerapkan teknologi
baru (Hasibuan, 2017).
Pendidik tentunya memiliki peran penting dalam
menumbuhkembangkan kreatifitas dan inovasi siswa. Pendidik
pada pembelajaran matematika dapat merancang pembelajaran
yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa,
termasuk sikap kreatif (Rangkuti, 2014). Oleh sebab itu, seorang
pendidik matematika harus dapat memenuhi tuntutan jaman
dan menyadari perannya dalam menumbuhkan kreatifitas dan
inovasi siswa. Sehingga pendidik harus mengetahui apa yang
harus mereka lakukan untuk membantu siswanya dalam
menumbuhkan kreatifitas dan inovasi. Melalui pembelajaran
matematika berbasis teknologi, pendidik dapat membantu
siswa untuk menumbuhkan pola pikir kreatif dan inovatif.
Kreatifitas dapat dikembangkan di lingkungan sekolah oleh
pendidik. Menurut Semiawan (dalam Hartanto, 2011), pendidik
yang dapat memupuk kreatifitas adalah pendidik yang dapat
memberikan rasa aman secara psikologis kepada siswa. Rasa
aman tersebut dapat diciptakan dengan menerima siswa apa
adanya, tidak memberikan ancaman, memahami pikiran,
perasaan dan perilaku anak, menerima minat dan gagasan anak
322
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
secara terbuka, dan memberi waktu siswa untuk berkembang.
Selain memberikan rasa aman, memberikan latihan pemecahan
masalah juga dapat mengembangkan kreatifitas anak (Hartanto,
2011).
Referensi:
Afifah, N. (2015). Problematika Pendidikan di Indonesia (Telaah
dari Aspek pembelajaran). Elementary, 1(1), 41–47.
Andheska, H. (2017). Membangun Kreativitas Siswa Dalam
Pembelajaran Menulis Dengan Memanfaatkan Media
Pembelajaran Inovatif. Bahastra, 36(1), 55.
Andriani, D. E. (2010). Mengembangkan Profesionalitas Guru
Abad 21 melalui Program Pembimbingan yang Efektif.
Manajemen Pendidikan, 6(2), 41–42.
Hakim, A. R. (2019). Menjawab Tantangan “Era Industry 4.0”
Dengan Menjadi Wirausahawan Di Bidang Pendidikan
Matematika. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan
KALUNI, 2, 480–489.
Hartanto. (2011). Mengembangkan Kreatifitas Siswa melalui
Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Inquiri.
Kependidikan Triadik, 14(1), 11–18.
Hasanah, A., Ilyas, A., & Afdal, A. (2018). Kreativitas Siswa dan
Upaya Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dalam
Pengembangannya. Insight: Jurnal Bimbingan Konseling,
7(1), 1–8.
Hasibuan, R. P. (2017). Peran Guru dalam Pendidikan. Prosding
Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Medan, 1(2), 1–6.
Istifadah, N., & Tjaraka, H. (2017). Kreativitas dan Inovasi pada
Industri Kreatif untuk Meningkatkan Daya Saing dan
Kesinambungan Pertumbuhan Ekonomi. Conference on
Management and Behavioral Studies, 89–99.
323
| Prosiding Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika V 2019 |
Prasetyo, B., & Trisyanti, U. (2018). Revolusi industri 4.0 dan
tantangan perubahan sosial. “Strategi Pembangunan
Nasional Menghadapi Revolusi Industri 4.0,” 22–27.
Rangkuti, A. N. (2014). Tantangan dan peluang pembelajaran
matematika. Jurnal Pendidikan Matematika, II(01), 1–13.
Ristekdikti. (2018). Kreatif dan Inovatif di Era Revolusi Industri.
Media Pustakawan, 8(1), 1–56.
Suciati. (2018). Pengembangan Kreativitas Inovatif melalui
Pembelajaran Digital. Jurnal Pendidikan, 19(2), 145–154.
Sudrajat. (2008). Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. “The Power
of Mathematics for All Aplications,” 1–12.
Sujadi, I. (2018). Peran Pembelajaran Matematika pada
Penguatan Nilai Karakter Bangsa di Era 4.0. Silogisme, 1–13.
Sunarto, S. (2019). Pengembangan Kreativitas-Inovatif Dalam
Pendidikan Seni Melalui Pembelajaran Mukidi. Refleksi
Edukatika : Jurnal Ilmiah Kependidikan, 8(2).
Susriyati Mahanal. (2014). Peran Guru Dalam Melahirkan
Generasi Emas Dengan. Seminar Nasional Pendidikan HMPS
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Halu Oleo,
1(September), 1–16.
Syamsuar, & Reflianto. (2018). Pendidikan Dan Tantangan
Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi Di Era Revolusi
Industri 4.0. Jurnal Ilmiah Teknologi Pendidikan, 2(2),
n.page.
Wartomo. (2016). Peran Guru dalam Pembelajaran Era Digital.
Prosiding Temu Ilmiah Nasional Guru, 1–9(November),
265–275.