proses penyembuhan luka

27
Makalah Proses Inflamasi, Gatal dan Penyembuhan Luka Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sistem Integumen Disusun oleh : Kelompok Tutor 7 Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran 2014 I. Proses Inflamasi dan Gatal Lisdian Widowati 220110120088 Entri Aprilia 220110120096 Anggi Putri A 220110120102 Janna Nahdya 220110120110 Fiska Oktori 220110120116 Eka Ratnasari 220110120122 Maryam Jamilah 220110120129 Ulfathea 220110120135 Sellyan Septiani B. 220110120142 Siti Hanifah R.F. 220110120148 Widya Dahlia J. 220110120154 Wenda Rizki P. 220110120162 Wita Lestari 220110120168

Upload: putri-nuurunnisa

Post on 19-Oct-2015

53 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kesehatan

TRANSCRIPT

MakalahProses Inflamasi, Gatal dan Penyembuhan LukaDisusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sistem Integumen

Disusun oleh :Kelompok Tutor 7Lisdian Widowati220110120088

Entri Aprilia220110120096

Anggi Putri A220110120102

Janna Nahdya220110120110

Fiska Oktori220110120116

Eka Ratnasari220110120122

Maryam Jamilah220110120129

Ulfathea220110120135

Sellyan Septiani B.220110120142

Siti Hanifah R.F.220110120148

Widya Dahlia J.220110120154

Wenda Rizki P.220110120162

Wita Lestari220110120168

Fakultas KeperawatanUniversitas Padjadjaran2014I. Proses Inflamasi dan GatalA. Definisi

Inflamasi adalah respon fisiologis tubuh terhadap suatu injuri dan gangguan oleh faktor eksternal. Inflamasi terbagi menjadi dua pola dasar. Inflamasi akut adalah radang yang berlansung relatif singkat, dari beberapa menit sampai beberapa hari, dan ditandai dengan perubahan vaskular, eksudasi cairan dan protein plasma serta akumulasi neutrofil yang menonjol. Inflamasi akut dapat berkembang menjadi suatu inflamasi kronis jika agen penyebab injuri masih tetap ada. Inflamasi kronis adalah respon proliferatif dimana terjadi proliferasi fibroblas, endotelium vaskuler, dan infiltrasi sel mononuklear (limfosit, sel plasma dan makrofag). Respon peradangan meliputi suatu suatu perangkat kompleks yang mempengaruhi perubahan vaskular dan selular.

B. Proses Terjadinya Respon Imun pada Inflamasi

Antigen terikat pada sel yang dapat mempresentasikan antigen seperti sel Langerhans, makrofag dan dendrosit dermis. Sel tersebut akan memproses antigen dan mempresentasikan fragmen antigen kepada limfosit spesifik. Dalam keadaan normal sejumlah kecil limfosit akan melalui dermis di luar pembuluh darah. Limfosit kemudian akan membentuk sel inflamasi perivaskular. Banyak ahli imunologis berpendapat bahwa populasi limfosit di kulit dilengkapi oleh suatu program untuk beraksi dengan antigen yang sebelumnya telah pernah kontak dengan kulit. Sirkulasi limfosit dari kulit ke kelenjar limfe kembali ke kulit disebut homing. Limfosit homing masuk ke dalam kulityang tidak mengalami inflamasi untuk mencari adanya antigen. Bila ada antigen, limfosit akan mengaktivasi sel endotel gepeng untuk mengumpulkan limfosit lain sebagai bagian dari reaksi inflamasi yang ditimbulkannya. Bila limfosit spesifik yang telah tersentisisasibereaksi dengan antigen, respons imun dapat timbul. Kurang lebih 5% dari limfosit di dermis pada reaksi imun yang diperantarai oleh sel adalah limfosit yang secara spesifik bereaksi terhadap antigen. Limfosit tambahan dapat dikumpulkan ke area tersebut oleh limfokin yang dikeluarkan oleh limfosit spesifik sebagai respons terhadap adanya antigen. Respons imun dapat pula ditimbulkan di epidermis. Sel T masuk ke dalam epidermis dari dermis. Agar hal ini dapat terjadi sel T harus melewati daerah membran basalis dan menembus keratinosit. Substansi mediator seperti IL-8 dianggap berperan terhadap penarikan limfosit ke dalam epidermis. Keratinosit memproduksi IL-8 terutama bila dirangsang oleh gamma-interferon. Bila telah terdapat dalam epidermis, limfosit dapat diaktivasi oleh sel Langerhans. Keadaan ini dapat memperkuat respons imun dan membantu eliminasi antigen atau menghancurkan sel yang terinfeksi. Sejumlah sel helper dan sel supresor pada infiltrat akan mengatur proses inflamasi yang terjadi.

C. Mekanisme Rasa Gatal

Sampai saat ini neurofisiologi rasa gatal masih belum jelas. Terdapat 3 teori yang diajukan untuk menerangkan mekanisme rasa gatal, yaitu :

1. Teori Spesifisitas

Teori ini menyatakan bahwa terdapat suatu kelompok sel saraf sensoris yang hanya memberikan respon terhadap stimuli pruritogenik. Teori ini didukung oleh bukti-bukti adanya serabut saraf C spesifik untuk rasa gatal yang menghantarkan rangsang rasa gatal dari perifer ke sentral dan terdapatnya sel saraf yang sensitif terhadap histamin pada traktus spinotalamikus. Eksperimen pada awal 1980 mendapatkan bahwa peningkatan intensitas rasa gatal menginduksi rasa gatal yang lebih hebat tetapi tidak menyebabkan nyeri. Hal ini memperkuat teori bahwa rasa gatal dan nyeri adalah sensasi yang terpisah yang disalurkan melalui jaras yang berbeda.

2. Teori IntensitasTeori ini mengatakan bahwa perbedaan intensitas stimulus berperan penting pada aktivasi serabut saraf. Intensitas stimulus yang rendah akan mengaktivasi serabut saraf rasa gatal, sedangkan peningkatan intensitas stimulus akan mengaktivasi serabut saraf nyeri. Kelemahan teori ini adalah perangsangan dengan stimulus noksius (termal dan mekanik) pada dosis ambang rangsang tidak menimbulkan rasa gatal. Pemeriksaan mikroneurografi juga tidak dapat membuktikan kebenaran teori ini. Pengobatan yang menghambat nyeri tidak dapat menghambat rasa gatal melainkan malah sebaliknya, menyebabkan rasa gatal.3. Teori SelektivitasTeori ini menyatakan bahwa terdapat suatu kelompok nosiseptor aferen yang secara selektif memberikan respon terhadap stimulus pruritogenik. Kelompok nosiseptor ini memiliki hubungan sentral yang berbeda dan mengaktifkan sel saraf sentral yang berbeda pula. Teori ini didukung oleh penemuan yang mendapatkan bahwa stimulus mekanik, termal dan kimia noksius dengan memakai bradikinin lebih nyata menginduksi rasa gatal daripada nyeri padapenderita gatal kronis.4. SensitisasiRasa gatal kronis memiliki banyak persamaan dengan nyeri kronis, keduanya diduga melalui mekanisme perifer dan sentral.Mediator inflamasi klasik, antara lain prostaglandin, bradikinin, leukotrien, serotonin, pH yang rendah dan substansi P, dapat mensensitisasi nosiseptor secara kimiawi. Mediator inflamasi tersebut menurunkan ambang rangsang reseptor terhadap mediator lain seperti histamin dan capsaicin, sebagai akibatnya terjadi induksi baik pada nyeri maupun rasa gatal.a. Sensitisasi periferPada penderita gatal kronis, dermatitis atopik dan dermatitis kontak terdapat peningkatan mediator neurotropin 4 (NT-4) serta ekspresiserum nerve growth factor (NGF). NGF dan NT-4 juga dapat mensensitasi nosiseptor. Peningkatan mediator tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat perifer terjadi mekanisme sensitisasi yang sama antara nyeri dan rasa gatal sehingga sampai sekarang belum dapat dibedakan antara nosiseptor dan pruriseptor.

b. Sensitisasi sentralAda banyak persamaan mekanisme sensitisasi sentral pada nyeri dan rasa gatal. Aktivitas nosiseptor kimia pada penderita gatal kronis menimbulkan sensitisasi sentral sehingga meningkatkan sensitivitas terhadap rasa gatal. Terdapat dua tipe peningkatan sensitivitas terhadap rasa gatal, yang pertama adalah aloknesis yang analog dengan alodinia terhadap rangsang nyeri. Alodinia artinya rabaan atau tekanan ringan yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan rasa nyeri oleh penderita dirasakan nyeri, sedangkan aloknesis adalah rabaan atau tekanan ringan yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan rasa gatal oleh penderita dirasakan gatal. Aloknesis sering dijumpai, bahkan pada penderita dermatitis atopik aloknesis merupakan gejala utama. Aloknesis dapat menerangkan keluhan rasa gatal yang berhubungan dengan berkeringat, perubahan suhu mendadak, serta memakai dan melepas pakaian. Seperti halnya alodinia, fenomena ini memerlukan aktivitas sel saraf yang terus berlangsung (ongoing activity).Tipe kedua adalah hiperknesis punktat yang analog dengan hiperalgesia. Pada hiperalgesia, suatu rangsang nyeri berupa tusukan ringan (pinprick) dipersepsi sebagai nyeri yang lebih hebat di sekitar daerah inflamasi, sedangkanhiperknesis punctat merupakan peningkatan sensitivitas pada rasa gatal dimana suatu rangsang berupa tusukan ringan yang menginduksi rasa gatal dipersepsi sebagai rasa gatal yang lebih hebat di daerah sekitar lesi kulit. Fenomena ini tidak memerlukan aktivitas nosiseptor primer yang terus berjalan sehingga dapat berlangsung lebih lama. Hiperalgesia dapat menetap berjam-jam setelah trauma.

D. Interaksi antara rasa gatal dan nyeri

1. Mediator dan reseptor yang berperan dalam proses rasa gatal dan nyeri

Reseptor yang berperan pada induksi rasa gatal antara lain reseptor histamin dan protei- nase activated receptor 2, sedangkan mediator untuk rasa gatal antara lain adalah histamin, triptase, endotelin dan interleukin (IL-2, IL-4,IL-6 dan IL-31). Pada proses penghantaran nyeri, mediator dan reseptor yang berperan antara lain asetilkolin, reseptor muskar- inik M 1-5 dan ATP atau adenosin.8Meskipun demikian sebagian besar mediator dan reseptor menginduksi keduanya, baik nyeri maupun rasa gatal, misalnya substansi P dan reseptor-reseptornya (reseptor neurokinin 1-3). Mekanisme serupa diperkirakan juga terjadi pada neuropeptide yang lain seperti VIP (Vasoactive Intestinal Peptide), neuropeptide Y atau neurotensin, proton (pH rendah), panas atau capsaicin, dan reseptor yang berhubungan dengan TRPV1.Mediator dan reseptor rasa gatal maupun nyeri yang bekerja di perifer dan/atau sentral dapat dipakai sebagai target terapi anti nosiseptif. Pada susunan saraf pusat, reseptor -opioid menghambat nyeri tetapi menginduksi rasa gatal, sedangkan reseptor -opioid dapat menghilangkan rasa gatal. Reseptor cannabinoid pada kulit dapat menghambat depolarisasi dan pelepasan neuropeptid sehingga menekan rasa gatal dan nyeri.2. Modulasi rasa gatal oleh rangsangan noksius dan non-noksius Pengalaman sehari-hari mengajarkan kita bahwa rasa gatal dapat dikurangi dengan rangsangan noksius berupa garukan. Terdapat bukti-bukti bahwa rasa gatal dapat dimodulasi oleh rangsang noksius: rangsang termal, mekanik dan listrik dapat menghambat rasa gatal yang diinduksi oleh histamin. Rangsang termal telah terbukti menghambat nyeri pada manusia dan binatang, inhibisi ini diduga melalui sensitisasi perifer dan sentral.Pendinginan mempunyai efek penghambatan perifer; aktivasi nosiseptor oleh histamin dapat dikurangi dengan pendinginan, sebaliknya pe- manasan pada kulit akan merangsang eksaserbasi rasa gatal. Meskipun demikian, begitu rangsang panas berubah menjadi noksius maka akan terjadi inhibisi sentral yang bekerja melawan efek rasa gatal tersebut. Penelitian akhir-akhir ini mendapatkan bahwa rangsang panas noksius dan garukan menghasilkan inhibisi yang lebih kuat dibandingkan dengan rangsang dingin noksius.Garukan berulang pada tempat yang jauh dari lokasi rasa gatal dan rangsang panas noksius menghambat aliran darah kulit yang diinduksi histamin. Sedangkan pendinginan pada kulit tidak berpengaruh signifikan pada aliran darah kulit dan pemanasan meningkatkan aliran darah kulit yang diinduksi histamin. Jadi mekanisme perifer saja tidak dapat menjelaskan modulasi nyeri oleh rangsang panas noksius. Inhibisi diduga melalui modulasi sentral yang mengalihkan perhatian penderita dari rasa gatalnya. Studi MRI fungsional dan PET menunjukkan adanya peningkatan ekstensif aktivasi bagian otak yang penting pada pemusatan perhatian seperti area prefrontal. 3. Peran opioid terhadap rasa gatal dan nyeri Rangsang noksius dapat mengurangi rasa gatal, dan sebaliknya analgesik yang meng-hambat nyeri akan menyebabkan rasa gatal bertambah.Pada binatang percobaan, pemberian antagonis reseptor -opioid seperti naloxone dapat mengurangi rasa gatal tetapi disertai dengan induksi nyeri. Sebaliknya pemberian antagonis reseptor -opioid pada binatang memperberat rasa gatal. Nalbuphine yang merupa- kan agonis reseptor -opioid dapat mengurangi rasa gatal yang diinduksi oleh reseptor -opioid. Konsep baru terapi rasa gatal kronis dengan memakai agonis reseptor -opioid sudah terbukti berhasil baik.

E. Aspek klinis interaksi rasa gatal dan nyeri Karakteristik klinis gatal dan nyeri kronis dapat dilihat pada tabel. Rangsang noksius dan garukan berulang telah terbukti menghambat rasa gatal akibat histamin pada orang sehat. Namun apabila terjadi sensitisasi sentral, dapat timbul hiperknesis punktat dimana rangsang noksius dipersepsi sebagai gatal. Pada penderita gatal kronis, rangsang noksius seperti stimulasi listrik, panas dan asetilkolin pada daerah dekat lesi kulit yang biasanya menimbulkan nyeri pada orang normal dipersepsi sebagai rasa gatal pada penderita tersebut. Rangsang noksius yang pada orang sehat dapat menghambat gatal malahan menim- bulkan rasa gatal pada penderita tersebut. Hal ini dapat menerangkan mengapa garukan malahan memperberat rasa gatal dan menimbulkan lingkaran setan pada penderita gatal kronis. Fenomena ini diduga disebabkan oleh penurunan aktivasi perifer dan peningkatan persepsi rasa gatal akibat penurunan ambang persepsi rasa gatal. Pada penderita gatal kronis terjadi gangguan pada proses penghambatan rasa gatal oleh nyeri.Sebaliknya pada penderita nyeri neuropatik seperti Herpes Zoster, jika dirangsang memakai iontoforesis histamin akan menyebab- kan rasa nyeri seperti terbakar, bukannya rasa gatal seperti yang terjadi pada orang sehat.Terdapat bermacam-macam mediator yang berpotensi sebagai algogenik pada kulit yang meradang. Mediator-mediator tersebut dapat memprovokasi gatal pada penderita yang telah tersensitisasi. Hal ini menyebabkan pendekatan terapi dengan target hanya pada satu mediator pruritus pada penderita gatal kronis menjadi kurang rasional. Terapi yang tepat berdasarkan mekanismenya adalah kombinasi obat-obatan yang bekerja secara sentral menghambat sensitisasi dan obat topikal yang menghambat inflamasi pada penderita gatal neuropatik. Ringkasan Terdapat banyak persamaan mekanisme antara rasa gatal dan nyeri, keduanya melalui pola sensitisasi perifer dan sentral. Pada keadaan normal terjadi interaksi antagonis antara rasa gatal dan nyeri: rasa nyeri dapat mengurangi rasa gatal.Pada keadaan patologis, misalnya pada penderita gatal kronis dimana telah terjadi sensitisasi baik perifer maupun sentral, rangsang nyeri pada daerah dekat lesi kulit yang biasanya menimbulkan nyeri pada orang normal dapat dipersepsi sebagai rasa gatal. Sebaliknya pada penderita nyeri neuropatik, rangsangan mediator gatal akan menyebabkan rasa nyeri seperti terbakar, bukannya rasa gatal seperti yang terjadi pada orang sehat.Terapi anti inflamasi untuk menurunkan sensitisasi perifer dapat mengurangi rasa gatal maupun nyeri. Sedangkan terapi dengan gabapentin atau pregabalin diharapkan dapat menghambat sensitisasi sentral pada penderita gatal neuropatik. Konsep baru terapi gatal kronis dengan memakai agonis reseptor -opioid sudah terbukti berhasil baik.

I. Proses Penyembuhan LukaA. DefinisiLuka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul : 1. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ 2. Respon stres simpatis 3. Perdarahan dan pembekuan darah 4. Kontaminasi bakteri 5. Kematian sel

Penyembuhan luka adalah suatu bentuk proses usaha untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi. Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena berbagai kegiatan bio-seluler, bio-kimia terjadi berkisanambungan. Komponen utama dalam proses penyembuhan luka adalah kolagen disamping sel epitel. Fibroblas adalah sel yang bertanggung jawab untuk sintesis kolagen.

B. Klasifikasi Luka Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka itu dan menunjukkan derajat luka (Taylor, 1997). 1. Berdasarkan tingkat kontaminasi a) Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah takterinfeksi yang mana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan dimasukkan drainase tertutup (misal; Jackson Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%. b) Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% - 11%. c) Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%. d) Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya mikroorganisme pada luka2. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka a) Stadium I : Luka Superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit. b) Stadium II : Luka Partial Thickness : yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal. c) Stadium III : Luka Full Thickness : yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya. d) Stadium IV : Luka Full Thickness yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas. 3. Berdasarkan waktu penyembuhan luka a) Luka akut : yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati. b) Luka kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.

C. Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka

Usia, Semakin tua seseorang maka akan menurunkan kemampuan penyembuhanj aringan Infeksi, Infeksi tidak hanya menghambat proses penyembuhan luka tetapi dapat juga menyebabkan kerusakan pada jaringan sel penunjang, sehingga akan menambah ukuran dari luka itu sendiri, baik panjang maupun kedalaman luka. Hipovolemia, Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka. Hematoma, Hematoma merupakanbekuandarah. Seringkali darah pada luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk ke dalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal tersebu tmemerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka. Benda asing, Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah Iskemia, Iskemi merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibatf aktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri. Diabetes, Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat masuk kedalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh. Pengobatan, Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap cedera, Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan, Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular.D. Proses Penyembuhan LukaKondisi yang diperlukan untuk Penyembuhan Luka Faktor sistemik. Faktor ini meliputi status nutrisi dan kesehatan umum yang baik. Infeksi, gangguan imunitas, misal diabetes melitus dan kanker dapat mengurangi kecepatan penyembuhan luka. Faktor luka. Faktor lokal yang membantu penyembuhan luka meliputi suplai darah yang baik untuk memberikan oksigen dan nutrien serta mengeluarkan produk sisa juga bebas dari kontaminasi, misal benda asing atau kimia toksik. a. Penyembuhan PrimerMetode penyembuhan ini terjadi setelah perusakan jaringan saat tepi luka yang rusak tertutup rapat. Terdapat beberapa tahap yang tumpang tindih dalam proses perbaikan. Inflamasi. Permukaan yang terpotong menjadi terinflamasi dan bekuan darah serta debris sel mengisi celah di antara permukaan tersebut dalam beberapa jam. Fagosit dan fibroblas berpindah ke bekuan darah : Fagosit mulai untuk membuang bekuan dan aktivitas sel debris dalam menstimulasi fibroblas. Fibroblas menyekresi serat-serat kolagen yang nantinya akan memulai untuk mengikat atau menyatukan kembali permukaan. Proliferasi. Sel epitelium berproliferasi di sepanjang luka melalui bekuan darah. Epidermis menyatu dan tumbuh ke atas sehingga lapisan kulit kembali utuh. Bekuan di atas jaringan yang baru menjadi keropeng (kering) dan terpisah setelah 3-10 hari. Jaringan granulasi, terdiri atas kuncup kapiler yang baru, fagosit, dan fibroblas, membentuk mengelilingi bekuan, serta memulihkan suplai darah ke luka. Fibroblas terus menyekresi serat kolagen hingga bekuan darah dan bakteri di singkirkan melalui fagositosis. Maturasi. Jaringan granulasi diganti oleh jaringan parut fibrosa. Penyusuna ulang serat kolagen terjadi dan kekuatan luka meningkat. Pada saat pembuluh darah jaringan parut menjadi sedikit, muncul setelah beberapa bulan sebagai garis halus. Pembentukan lorong terjadi saat jahitan diangkat dan sembuh dengan proses yang sama.

b. Penyembuhan Sekunder Metode penyembuhan ini terjadi setelah perusakan sejumlah besar jaringan atau saat tepi luka tidak dapat menutup rapat, misal ulserasi varises dan ulkus dekobitus. Inflamasi. Inflamsi terjadi pada permukaan jaringan yang sehat dan pemisahan jaringan nekrotik (pengelupasan luka) dimulai, hal ini terutama karena kerja fagosit pada eksudat inflamasi. Proliferasi. Proliferasi dimulai sebagai jaringan granulasi, terdiri atas kuncup kapiler, fagosit, dan fibroblas, serta terbentuk di dasar rongga. Jaringan granulasi tumbuh menuju permukaan, mungkin distimulasi oleh makrofag. Fagosit di dalam suplai darah yang banyak berguna untuk mencegah infeksi luka dengan menelan bakteri setelah terpisah dari sel nekrotik. Sebagian fibroblas pada luka memiliki kemampuan yang terbatas untuk berkontraksi, mengurangi ukuran luka, dan mempersingkat waktupenyembuhan. Saat jaringan granulasi mencapai dermis, sel epitelium di bagian tepi akan berpoliferasi dan tumbuh menuju pusat. Maturasi. Maturasi terjadi akibat fibrosis, yakni jaringan parut menggantikan jaringan granulasi, biasanya setelah beberapa bulan hingga lapisan kulit kembali utuh. Jaringan parut tampak berkilau dan tidak mengandung kelenjer keringat, folikel rambut, atau kelenjer sebaseus

E. Cara Penyembuhan Luka Prinsip-prinsip perawatan luka adalah: 1. Pembersihan luka.Setiap luka harus dibersihkan dengan air yang mengalir apakah dengan slang atau timba. Sakit? Tidak bila segera diguyur. Jangan menggunakan antiseptik karena akan merusak kulit dan memperlama sembuh.Kena pasir seperti luka lecet si kecil ketika terjatuh? Juga diguyur dan bila segera dilakukan tidak sakit karena setiap trauma mempunyai fase syok. Bila masih ada pasir tekan-tekan diatasnya dengan kasa basah. Jangan dengan kapas! Karena kapas tidak menyerap air. Luka tusuk seperti terkena jarum sewaktu menjahit juga diguyur dengan memijit sekitar luka sampai keluar darah. Bila kena paku yang kotor Anda harus ke rumah sakit karena memerlukan insisi silang untuk membersihkannya. 2. Penghentian perdarahan.Luka yang memerlukan tindakan ini adalah luka pada urat darah baik nadi yang tandanya terlihat semprotan atau semburan darah ataupun vena, yang darahnya mengalir terus. Bila dibiarkan korban akan jatuh dalam syok. Ini harus dihentikan dengan berbagai cara seperti menekan bagian yang luka, meninggikan bagian yang luka dari jantung; menekan urat darah besar yang mendarahi daerah luka; bebat di proksimal atau di bagian yang lebih dekat ke jantung. 3. Penutupan lukaLuka ditutup dengan kasa atau kain bersih tapi jangan dengan kapas. Kasa dan kain bersih mengisap air hingga kotoran luka terangkat tetapi kapas sebaliknya. Ia tidak mengisap air hingga kotoran luka bertumpuk diatas luka.4. Pencegahan infeksiLuka bersih yang dirawat dengan benar tidak memerlukan antibiotika kecuali suntikan tetanus pada luka dalam akibat tusukan benda tajam yang kotor atau berkarat seperti paku dan gigitan binatang termasuk manusia.

Referensi

Askep Luka Bakar, materikuliah Bu NursiswatiBlack&Hawks.2005.Medical - Surgical Nursing, Clinical Management For Positive Outcomes 7th Edition.Missouri:Elsevier SaundersDahl MV. Clinical immunodermatology; edisi ke-3. St. Louis: Mosby 1996. h. 121-31.Kowalak, Welsh, Mayer.2011.Buku Ajar Patofisiologi.Jakarta:EGCMajalah Cermin Dunia Kedokteran vol.84.2011Nurachmah,Elly.2011.Dasar-dasar Anatomi dan Fisiologi Adaptasi Indonesia dari Ross and Wilson Anatomy and Physiology in Health and Illness.Jakarta: Penerbit Salemba Medika.Perawatanluka di rumah secara umum Suaradokter.comYosipovitch G, Ishhiuji Y. Neurophysiology of Itch. In: Granstein RD (eds). Neuroimmunology of the skin. Springer-Verlag, Berlin-Heidelberg 2009; pp 179-85